Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 2


 maknai Quran yang 

sampai pada pandangan semacam itu. Tujuan akhir sang mistikus yaitu  

“kembali” kepada sang Pencipta, sembari mengakui bahwa wujudnya tetap 

merupakan bagian dari ciptaan sehingga tak bisa tidak merupakan sesuatu 

yang terpisah.

Kontribusi Al-Sinkili mengenai hal-hal mistis bermula saat  Safiyyat 

al-Din memintanya menulis Mir’at al-tullab (Cermin para Pencari). Dalam 

karyanya itu, al-Sinkili mencari jalan tengah antara kaum antinomi ekstatis 

lokal dan kaum Syari‘ah-sentris yang hendak (kembali) ke Asia Tenggara. Hal 

ini ditunjukkan oleh fakta bahwa dia memparafrasekan puisi Hamzah al-

Fansuri tanpa menyebutkan namanya. 

Sebagaimana al-Raniri, al-Sinkili pun tidak menentang martabat tujuh 

al-Burhanpuri. Sebaliknya, dalam Daqa’iq al-huruf (Rincian Huruf-Huruf) dia 

menentang perancuan esensi batin yang kekal dengan esensi eksternal yang 

tampak isebab  hal itu berarti menyamakan ciptaan dengan Tuhan. Tak 

diragukan lagi, orang Banten yang menjadi utusannya, ‘Abd al-Muhyi, yaitu  

seorang pengajar Tuhfah, seperti halnya seorang wakilnya yang lain, Syekh 

Burhan al-Din (1646–1704), yang kini dikenang sebagai sosok pengislam 

Minangkabau (meskipun ada banyak makam muslim yang lebih tua) dan 

pendiri sebuah sekolah di Ulakan. 

Al-Sinkili lebih dikenal isebab  terjemahan dan tafsir Quran-nya, 

Tarjuman al-mustafid (Terjemahan yang Bermanfaat). Karyanya itu merupakan 

tafsir pertama yang utuh dan berbahasa Melayu berdasar  pembahasan “dua 

Jalal” dari Mesir; Jalal al-Din al-Mahalli (1389–1459) dan muridnya Jalal al-

Din al-Suyuti (1445–1505).60 Cukup berbeda dari situasi abad keenam belas 

saat  terdapat perhatian besar terhadap pengetahuan tentang “Sufisme” yang 

bisa disampaikan oleh seorang tamu asing dan kesediaan untuk berfilsafat 

mengenai esensi-esensi abadi, Aceh abad ketujuh belas menjadi pusat kegiatan 

kecendekiawanan dan pertukaran yang disponsori kerajaan bagi ajaran tarekat 

dalam tradisi Syattari. Namun, Aceh bukanlah satu-satunya kerajaan yang 

menghasilkan cendekiawan berkaliber internasional. 

Ambil contoh Yusuf al-Maqassari (alias Syekh Yusuf Taj al-Khalwati, 

1627–99) yang lahir di Kerajaan Gowa, Sulawesi, yang baru diislamkan. Yusuf 

pergi ke Arabia pada September 1644. Dia singgah di Banten dan menjadi 

sahabat putra mahkota. Lalu, dia singgah di Aceh, dan mungkin termasuk 

yang menyesali kepergian al-Raniri.61 Seperti halnya al-Sinkili, al-Maqassari 

menghabiskan bertahun-tahun dalam berbagai lingkaran pengajaran di Timur 

Tengah. Dia menjalin hubungan dengan persaudaraan Naqsyabandi dan 

menyalin karya Mawlana Jami (w. 1492) di bawah bimbingan al-Kurani. Pada 

akhirnya, dia memilih masuk tarekat Khalwatiyyah dan dibaiat di Damaskus 

oleh Ayyub al-Khalwati (1586–1661).

saat  kembali ke Nusantara pada pengujung 1660-an, al-Maqassari, 

yang kemudian lebih dikenal sebagai Syekh Yusuf, disambut di Banten, tempat 

teman lamanya saat itu menduduki takhta sebagai Sultan Ageng Tirtayasa 

(berkuasa 1651–83). Syekh Yusuf kemudian menikah dengan keluarga 

kerajaan dan berkorespondensi dengan kalangan elite di tanah kelahirannya. 

Barangkali, inilah yang menjadikan Banten sebagai tempat mengungsi bagi 

orang-orang Makassar saat  gabungan pasukan Belanda dan Bugis menyerbu 

Gowa pada 1669. 

Syekh Yusuf banyak dikenal oleh orang-orang Indonesia saat ini isebab  

memimpin perlawanan terhadap Belanda di Banten sesudah  campur tangan 

VOC pada 1683. sesudah  penangkapan dan pengasingan Sultan Ageng, Syekh 

Yusuf mengambil alih komando selama beberapa pekan dari Karangnunggal. 

Syekh Yusuf ditangkap Belanda pada Desember 1683 dan diasingkan ke 

Ceylon. Dia terus menulis surat untuk komunitas di tanah airnya dari pulau 

itu hingga 1693 saat  dikirim lebih jauh lagi ke barat menuju Tanjung 

Harapan. Di tempat inilah Syekh Yusuf meninggal pada 1699.

Selama masa pengasingan Syekh Yusuf tetap menjadi saluran bagi 

otoritas tarekat di kawasan yang dia tinggali. Hal ini kemudian menjadi 

teladan bagi peniruan retrospektif di tempat-tempat tertentu dia pernah 

aktif. Sajarah Banten dan variasi Melayu-nya, Hikayat Hasan al-Din, berusaha 

mencocok-cocokkan beberapa koneksi Khalwati yang dimiliki Syekh Yusuf 

dengan muhaqqiqin terkemuka, kepada Sunan Gunung Jati pada permulaan 

abad keenam belas. Sajarah bahkan menggembar-gemborkan mereka dalam 

hal-hal tertentu dengan menjadikan salah seorang wali mereka sebagai seorang 

sayyid, yang secara rutin berkomunikasi dengan Nabi, belum lagi dengan 

sekian Sufi masyhur yang belum tentu hidup pada masa yang sama dengannya 

atau berada di Mekah pada saat dia konon berhaji. Para Sufi ini  termasuk 

Mawlana Jami, serta ahli fikih Kairo, Zakariyya’ al-Ansari (1420–1520) dan 

muridnya ‘Abd al-Wahhab al-Sya‘rani (1493–1565).

Karya-karya Zakariyya’ al-Ansari dan ‘Abd al-Wahhab al-Sya‘rani bisa 

dibilang baru memberikan pengaruh besar pada abad kedelapan belas dan 

kesembilan belas, justru saat keduanya sudah lama meninggal. Sebuah 

laporan kerajaan yang lebih bisa diandalkan dari Gowa, ditulis beberapa 

waktu sebelum 1729, mencatat kedatangan wakil utama Syekh Yusuf, ‘Abd 

al-Basir (alias Tuang Rappang, w. 1723) dari Banten pada 1678, yang disusul 

oleh anggota rombongannya dari Cirebon pada 1684.64 Terdapat bukti kuat 

mengenai kegiatan Khalwati di Sulawesi pada 1688 saat  seorang pendeta 

Prancis, Nicholas Gervaise (sekitar 1662–1729), menerbitkan sebuah laporan 

mengenai Makassar. Sebagian besar laporan itu didasarkan pada wawancara 

dengan dua pangeran yang diajarnya di Paris. Dalam laporannya, Gervaise 

menggambarkan betapa para pemimpin agama setempat, yang dikenal sebagai 

Agguy, memimpin masjid-masjid batu yang terawat dengan baik. Masjid-

masjid itu juga dilengkapi dengan sekelompok fakir selibat yang disebut 

Santari, yang bertugas melayani masjid.65 Gervaise mencatat:

mereka tidak banyak terpapar bahaya melanggar kesetiaan terhadap Panggilan 

dan Sumpah Kesucian mereka. Mereka Hidup Malam dan Siang dalam Sel-

Sel kecil, terpisah satu sama lain, yang semuanya dibangun dalam Masjid. Di 

sana, setiap Pagi, mereka menerima Sedekah Orang-Orang Beriman, yang tak 

sedikit pun mereka nikmati di luar Kepatutan. saat  mereka menghendaki 

sesuatu yang diperlukan untuk Menopang Hidup, mereka beranggapan bahwa 

suatu Kehormatan untuk Mengemis dari pintu ke pintu. Jumlah mereka lebih 

kurang, sesuai dengan besarnya Masjid. Mereka tidak memelihara Rambut 

ataupun Janggut. Topi sederhana dari Linen putih menutupi Kepala mereka 

dan Pakaian berwarna serupa, yang mereka kenakan, mencapai tidak lebih dari 

Lutut mereka. Jika harus pergi ke luar negeri isebab  sebuah Urusan penting, 

mereka memohon izin dari Agguy Agung, dan kemudian mereka mengenakan 

pakaian yang dianggap nyaman. Mereka pun tidak berbeda dari kaum Awam, 

hanya Kepala mereka gundul, membawa sebuah Serban putih, dan tidak 

menyandang Pedang bengkok ataupun Keris di Pinggang.

Barangkali ini yaitu  rujukan Barat pertama yang jelas tentang para 

pengikut tarekat di Nusantara. Rujukan itu juga bercorak Kairo, khususnya 

dalam istilah yang digunakan sebagaimana dikomunikasikan oleh dua anggota 

muda kalangan elite terdidik. Kata Agguy, misalnya, sangat dekat dengan 

varian Kairo dari Hajji (Haggi), gelar yang banyak digunakan oleh para guru 

Asia Tenggara. Shalat Jumat dalam teks Gervaise dirujuk sebagai Guman, 

dari pelafalan ala Mesir terhadap kata “Jumat” (al-gum‘a).67 Namun, hal ini 

tidak menunjukkan apa pun selain tanda kehadiran seorang cendekiawan 

yang berasal dari Mesir atau orang-orang Jawi yang pernah berguru kepada 

orang Mesir. Bahkan, Gervaise berusaha menunjukkan bahwa orang-orang 

taat Makassar hanya bermaksud meniru bentuk Islam saja, dan itu bukan 

Islam Kairo:

Dan, sekarang tidaklah untuk dibayangkan, dengan ketepatan macam apa 

orang-orang Makassar melaksanakan Kewajiban yang dibebankan oleh Agama 

mereka yang baru. Mereka tidak melewatkan Hari-Hari suci paling biasa 

sekalipun yang diwajibkan tanpa menunjukkan Ketaatan mereka, dengan 

Usaha yang keras, dengan suatu Amal Baik atau lainnya. Mengabaikan satu 

Sujud, atau Membasuh secara sembrono, dianggap sebagai Kejahatan besar. 

Beberapa dari mereka semata-mata isebab  Sentimen Pertobatan, seumur hidup 

menghindari meminum Tuak-Palem, meski itu tidak dilarang oleh Hukum. 

Ada sebagian yang lebih memilih mati isebab  Haus, ketimbang Minum Segelas 

Air, sejak Matahari terbit hingga Matahari terbenam, sepanjang waktu Puasa. 

Lebih dari itu, mereka jauh lebih taat ketimbang Mahometan lain isebab  mereka 

melaksanakan sangat banyak Upacara yang tidak dilakukan di kalangan orang-

orang Turki ataupun kaum Mahometan India isebab  mereka yakin bahwa 

upacara-upacara itu dilaksanakan di Mekah, yang mereka anggap sebagai Pusat 

Agama mereka, dan Teladan yang harus mereka ikuti.

Santari bukanlah satu-satunya anggota elite Agguy yang digambarkan 

oleh Gervaise. Ada juga para anggota junior dari kalangan ulama ini, yang 

dikenal sebagai Labe, dan para Toüan, alias “Tuan” yang menduduki posisi 

paling penting; yang otoritasnya juga didasarkan pada Teladan “Mekah”:

Perintah ketiga yaitu  mengenai Toüan, yang tidak bisa disematkan selain di 

Mekah, dan itu pun harus dilakukan langsung oleh Mufti Agung. Dari sanalah 

munculnya, bahwa hanya ada sangat sedikit Toüan di Makassar isebab  tidak 

semua orang mau bersulit-sulit bepergian jauh untuk Ditunjuk atau melibatkan 

diri mereka dalam Pengorbanan yang begitu besar. Perintah ini, yang diterima 

dari Mufti Agung, menyatakan mereka semua sebagai setara dalam kaitannya 

dengan Martabat Karakter, namun  tidak setara secara Yurisdiksi, membuat 

sebuah perbedaan besar di antara mereka. Mereka yang melayani Masjid-Masjid 

paling besar, memiliki lebih banyak Penghargaan dan Kekuasaan dibandingkan 

yang lain. Dia yang memiliki Kehormatan untuk berada dekat Raja yaitu  

yang tertinggi dari semuanya, seperti halnya sang Patriark dan Ulama tertinggi 

Kerajaan. Dia tidak mengakui siapa pun di atasnya, selain Mufti Agung 

Mekah. Mereka semua boleh Menikah. Jika Istri mereka meninggal, mereka 

diizinkan menikah lagi. Namun, Poligami dilarang bagi mereka. Jika terbukti 

melakukannya, hukumannya sangat berat dan mustahil bisa mereka hindari. 

isebab  mereka dicintai dan dihormati oleh semua Orang, yang memberi mereka 

Hadiah setiap hari. Tidak ada Pernikahan ataupun Perayaan, yang mereka tidak 

diundang dan disambut dengan penuh hormat. Kehidupan yang mereka jalani 

tampak sangat nyaman dan mudah

Hal yang jauh lebih penting, kita mulai melihat bukti bahwa pemujaan 

yang dipertahankan oleh para Agguy mengambil nada yang jelas bercorak 

kerajaan dan dilokalisasi. Pada 1701 laporan tahunan Gowa menyebutkan 

bahwa para raja mulai mengunjungi makam Dato-ri-Bandung, yang konon 

yaitu  salah seorang dari pendakwah Islam pertama di Makassar pada 1570-

an. Namun, tak lama kemudian, mereka lebih menyukai berkunjung ke 

makam Syekh Yusuf sesudah  jenazahnya dibawa pulang dari Tanjung Harapan 

pada 1705. Mungkin ini sebagai tanggapan atas desakan putranya, yang lebih 

dulu kembali pada Juni 1702.70 Tak diragukan lagi, putranya diterima di 

istana, dan silsilah Kerajaan Makassar memasukkan garis keturunan Syekh 

Yusuf dengan semangat yang sama seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang 

Banten saat  menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai seorang Khalwati dan 

keturunan Nabi. Bahkan, kembalinya Syekh Yusuf dalam keadaan meninggal 

tampaknya menutup jalan bagi peran yang sebelumnya dimainkan oleh para 

Agguy dan para pemukim seperti syekh Arab, ‘Umar Ba Mahsun (1634–93), 

yang juga tiba pada 1684 (beberapa pekan sesudah  para pengikut Syekh Yusuf ), 

dan kemudian berperan sebagai seorang Tuan terkemuka.

KEKACAUAN DI KARTASURA

Azyumardi Azra menyatakan bahwa Syekh Yusuf secara konsisten menekankan 

perlunya keseimbangan antara Syari‘ah dan Sufisme dalam ajaran-ajarannya. 

Namun, berbeda dari al-Qusyasyi, dia berpandangan bahwa seorang pemula 

harus sepenuhnya setia kepada syekhnya. Kesetiaan semacam itu pastinya ada 

dalam pikiran orang-orang Belanda saat  mereka mengirim Syekh Yusuf ke 

seberang Samudra Hindia, atau saat  mengawasi para bupati mengangkat 

para pangeran seperti Mallawang Gawe (w. 1742) di dalam benteng Belanda 

dengan cara ala baiat seorang Sufi.72 Hal itu terbukti menjadi sebuah persoalan 

saat , selama beberapa dekade berikutnya, sekutu formal mereka di Mataram 

berada di bawah pengaruh para guru Sufi lain.

Pada permulaan abad kedelapan belas Belanda telah menggerogoti 

wilayah Mataram sebagai imbalan atas bantuan militer guna melawan 

pemberontakan di pesisir utara. Dalam proses ini , mereka memperoleh 

hak untuk memungut pajak atas nama keturunan Sultan Agung. Namun, 

tarikh Jawa hanya mengungkapkan sedikit perhatian terhadap Belanda, yang 

kelihatannya tidak begitu memahami apa yang tengah terjadi di istana dalam 

kaitannya dengan Islam. Banyak dari hal-hal berikut tampaknya hanya sedikit 

masuk ke perhitungan Belanda, dan hanya kita ketahui melalui karya Ricklefs 

mengenai laporan-laporan Jawa dan dari berbagai pengamatan superfisial 

yang dilakukan oleh Belanda.

Menurut beberapa sumber, pada 1731 seorang guru diadili di bawah 

kekuasaan Pakubuwana II (berkuasa 1726–49) isebab  mengungkapkan 

kebenaran mistis kepada orang awam. Guru ini yaitu  Hajji Ahmad 

Mutamakin dari Desa Cabolek, dekat Semarang, yang mengaku telah diajari 

teknik-teknik Naqsyabandi oleh Syekh “Zayn al-Yamani”, yang kemungkinan 

yaitu  putra salah seorang guru al-Sinkili dan al-Maqassari. Tentu saja, 

silsilahnya yang asing dianggap mencurigakan. Dalam Serat Cabolek, Ketib 

Anom dari Kudus mengejek Mutamakin isebab  bukti kesahihan Arabia 

miliknya dan kesukaannya terhadap kitab-kitab asing. Sejauh berkaitan 

dengan Ketib Anom, pengetahuan sejati mengenai Sufisme sudah ditemukan 

dalam naskah-naskah kawi semisal Ramayana. Ada semacam bukti mengenai 

konflik antara pemahaman lokal yang sintetis terhadap Sufisme dan Sufisme 

yang diimpor dari Arabia, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu, bahasa 

kecendekiawanan lain milik ‘Abd al-Ra’uf, Syekh Yusuf, dan ‘Abd al-Muhyi.

Hajji Mutamakin tampaknya berhasil lolos dari hukuman terakhir, 

dan pengikut Ketib Anom, Pangeran Urawan, menunjukkan kepada orang 

udik yang kebingungan itu betapa Sufisme sejati ditemukan dalam karya-

karya Indo-Jawa. Namun, Urawan sendiri memiliki hubungan dengan 

arus pengaruh Arab-Melayu yang sama. Sebagai putra seorang buangan 

kerajaan yang dikirim ke Batavia pada 1721, Urawan berada di pusat sebuah 

kelompok yang terbentuk di sekeliling Pakubuwana II sekitar 1729 yang 

tampaknya aktif terutama sejak 1731 hingga 1738. Atas desakan Belanda, 

Urawan diasingkan ke Ceylon. Tindakan ini menimbulkan kegemparan besar 

dalam lingkaran orang-orang saleh. Walaupun begitu, Urawan hampir tidak 

mungkin bertindak sendiri. Para sekutunya meliputi kepala menteri pada 

masa mendatang, Natakusuma, dan dua orang lain dari Batavia. Salah satunya 

yaitu  seorang guru bergelar Kiai Mataram, yang datang pada 1735. Yang lain 

yaitu  seorang Arab bernama Sayyid ‘Alwi, yang datang pada 1737.

Ajaran-ajaran yang disokong oleh kelompok ini  sampai sekarang 

belum jelas. Ajaran ini  tampaknya ditentang oleh sebuah faksi yang 

didukung oleh nenek Pakubuwana II, yang mensponsori penulisan ulang 

beberapa naskah yang sejak zaman Sultan Agung diyakini memiliki kekuatan 

magis penyatu dunia Jawa dan Islam. Di antaranya yaitu  pengerjaan ulang 

kisah Al-Quran mengenai Yusuf; Kitab Usulbiyya (?), yang sangat dipengaruhi 

oleh Isra’ wa-mi‘raj Muhammad (lihat di bawah), dan hikayat Iskandar yang 

diterjemahkan dari teladan Melayu yang dibawa dari Champa.

Selain menunjukkan perlawanan yang lebih tegas terhadap Belanda, 

terdapat beberapa petunjuk bahwa setidaknya seorang anggota faksi pemuda 

dengan cara tertentu terhubung pada tarekat Qadiriyyah. Meskipun terdapat 

beberapa keterkaitan Qadiri dalam kisah ini , dapat dinyatakan bahwa 

keterkaitan-keterkaitan ini  berhubungan dengan Syattariyyah yang 

dibawa ke Jawa oleh ‘Abd al-Muhyi. Kecenderungan terbuka Natakusuma 

dan Sayyid ‘Alwi menjadi lebih jelas saat  Perang Tiongkok meletus pada 

Oktober 1740. Faksi Natakusuma menugaskan penulisan rangkaian silsilah 

Syattari menyusul kemenangan awal Jawa atas garnisun Belanda di Kartasura. 

Silsilah ini juga dilengkapi dengan penafsiran nakal terhadap Fath al-rahman 

kali pertama ditulis oleh Sufi-kesatria dari Damaskus, Wali Raslan, dan 

disunting oleh al-Ansari. Pastinya terdapat semacam gema global di sini isebab  

al-Ansari, qadi Syafi‘i terkenal di Mesir di bawah Qa’it Bey (memerintah 

1468–95), digambarkan sebagai sahabat Sunan Gunung Jati di Mekah.

Meski melakukan penyusunan dan doa semacam itu, kemenangan 

terakhir tidak menjadi milik orang Jawa. Kekalahan istana dari pasukan 

Madura membuat Pakubuwana II kembali ke pangkuan Belanda. sesudah  

mengembara di hutan belantara dekat Ponorogo, Pakubuwana II bahkan 

mengasingkan para gurunya di masa lalu. Dengan melakukan hal itu, dia 

sekaligus meninggalkan kesalehan mendiang neneknya dan kesalehan para 

sekutu Batavia-nya yang saling bersaing. Panggung kini sudah siap bagi suara-

suara lain untuk menantang legitimasi Belanda di Jawa.


Kita sudah melihat bahwa berbagai kesulitan menimpa setiap upaya untuk 

menyusun sebuah sejarah langsung mengenai perpindahan agama dan 

Islamisasi warga  Indonesia yang sangat beragam hingga pertengahan abad 

kedelapan belas. Yang muncul yaitu  sebuah pemahaman bahwa beberapa 

istana penting mengklaim peran sebagai pembela Islam (tanpa memedulikan 

tindakan mereka terhadap kegiatan-kegiatan kaum Muslim di sekitar mereka) 

dan biasanya mencari pengesahan dari seberang lautan. Orang yang memiliki 

garis keturunan Nabi di Mekah atau para cendekiawan yang terkait dengan 

mereka yaitu  yang paling disukai. Sebagai bagian dari kerumitan ini , 

bentuk mutakhir ortodoksi tingkat tinggi sebagaimana yang telah diwujudkan 

oleh praksis Sufi tampaknya juga diterima. Namun, alih-alih menjadi sebuah 

mekanisme perubahan agama, Sufisme secara resmi terbatas hanya untuk elite 

kerajaan, sedangkan kepatuhan terhadap Syari‘ah dibebankan kepada rakyat. 

Lagi pula, berdasar  kasus tunggal Kamal al-Din, kita mulai melihat tarikan 

gravitasi yang kuat dari Kairo. Hal yang wajar, mengingat Mesir berada di 

bawah para penguasa Mamluk dan Utsmani yang menyokong tempat-tempat 

suci. Pada abad kedelapan belas, karya beberapa cendekiawan Mesir, yang 

separuhnya tidak menyukai tradisi Madinah dan para pendukungnya, mulai 

mendapatkan tempat yang tetap dalam kurikulum para cendekiawan Jawi di 

seluruh kawasan, terutama di tempat para sultan masih berkuasa, meski hanya 

dalam nama. 

MENINGGALKAN ISTANA

Dibandingkan Aceh, Banten, dan Mataram, kita hanya mengetahui sedikit hal mengenai perdebatan di negara-negara muslim lain yang kerap 

berperang di bagian timur Nusantara, meski tampaknya perdebatan di sana 

mengikuti jejak Sumatra. Berbagai legenda Makassar, misalnya, mengklaim 

penggunaan diplomasi seorang ratu Aceh yang meyakinkan raja mereka untuk 

memeluk Islam Mekah. Meskipun dibuat-buat, namun  dongeng-dongeng 

semacam itu menggambarkan jalur penyebaran Islam di seluruh kawasan 

ini.1 Tentu saja dongeng-dongeng itu hanya memberi kita sedikit informasi 

mengenai cara-cara perpindahan agama, kecuali beberapa petunjuk yang 

masih ada, tempat ikonografi dan tampilan lisan bisa memainkan peranan. 

Tepat sebelum menggambarkan buah yang berduri dan berbau 

menyengat yang kita kenal sebagai durian, Mansur al-Misri, orang Mesir 

yang merapat di istana Ratu Safiyyat al-Din, menulis bahwa dirinya pernah 

diminta oleh beberapa orang Belanda di Batavia untuk mengenakan pakaian 

cendekiawan keagamaan setempat (yang dia sebut bukan kostum ulama 

Mesir atau Utsmani) dan berpose untuk para seniman lokal, biasanya 

menggambarkan para “utusan/nabi” (anbiya’ihim) yang mengempit Al-

Quran. Objek mereka yang lebih lazim sebenarnya yaitu  para wali seperti 

Sunan Kalijaga. Setidaknya, sebuah sumber Jawa dari awal abad kesembilan 

belas menunjukkan adanya garis pembeda yang samar antara para wali dan 

para nabi.2

Gaung dari penggambaran demikian ditemukan dalam sebuah sketsa 

yang dikirimkan kepada Orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, oleh 

Muhammad Yasin dari Kelayu di Pulau Lombok. Sketsa itu menggambarkan 

sosok berjanggut seperti orang Arab, memegang sebilah tombak di tangan 

kanan dan mengempit tas berisi kitab suci di lengannya.3 Sosok itu menyerupai 

darwis Sufi, yang masih bisa difoto di Timur Tengah pada abad kesembilan 


belas. Sosok semacam ini juga melambangkan wali tradisional pesisir utara 

yang digambarkan sebagai utusan suci, pembuat undang-undang, dan kesatria. 

Kita mesti bertanya sekali lagi tentang naskah-naskah apa lagi yang 

mungkin dibawa oleh para juru dakwah semacam itu, dan di mana (serta 

kapan) Sufisme tarekat mengambil tempat dalam misi mereka. Meski 

cendekiawan yang berpengaruh, A.H. Johns, pernah memandang syahadat 

Islam sebagai “praktis sinonim” dengan keanggotaan dalam sebuah tarekat 

di Asia Tenggara, belakangan dia melonggarkan pandangan-pandangannya. 

Bahkan, meski ajaran-ajaran yang dihubungkan dengan Malik Ibrahim dan 

Seh Bari dipenuhi dengan spekulasi mistis, mereka tidak membuat rujukan 

tak langsung pada praktik tarekat, membuat kita bertanya-tanya naskah apa 

lagi selain Al-Quran yang mungkin berada di tangan para wali utusan yang 

mendahului ‘Abd al-Ra’uf dan Syekh Yusuf

LOKASI-LOKASI PEMBELAJARAN

Sufisme, sebagaimana mewujud dalam praktik tarekat, bukanlah satu-satunya 

bentuk pembelajaran Islami yang kerap ditonjolkan dari bermacam bentuk 

yang ditawarkan para wali. Para wali juga diduga menjadi pelopor berdirinya 

sekolah-sekolah keagamaan, yang dikenal sebagai pesantren (secara harfiah 

berarti ‘tempat santri [para siswa keagamaan]’) yang begitu sering dikaitkan 

dengan sosok-sosok seperti Mawlana Maghribi. 

Tidak ada laporan yang mendukung bahwa pendidikan keagamaan 

diselenggarakan oleh lembaga-lembaga semacam pesantren pada masa-masa 

awal penyebaran Islam, tidak di mana pun selain di beranda-beranda masjid 

yang direstui istana. Memang ada kesaksian pelancong, seperti Jacob van Neck 

(1564–1638), yang melihat sebuah sekolah yang dijalankan oleh pendakwah 

negara di Ternate pada 1599 (ilustrasi memperlihatkan iring-iringan penguasa 

menuju masjid dengan tasbih di tangannya, lihat Gambar 5). Juga ada John 

Davis, yang mencatat keberadaan “banyak sekolah” (dan penggunaan tasbih) 

di Aceh pada tahun yang sama. Namun, hanya sedikit bukti bahwa situs-situs 

semacam itu merupakan kompleks pesantren yang besar seperti sekarang,

Pada tilikan pertama, laporan tak langsung Gervaise mengenai Makassar 

pada 1680-an seperti menyediakan bukti tentang hubungan antara para 

penguasa, guru, dan mistikus tarekat. Namun, dia segera menyadari bahwa 

kaum Santari yaitu  para asketis dewasa, bukannya orang-orang muda yang 

mempelajari kitab-kitab pengantar dasar yang lazim dikenal sebagai santri 

di Indonesia sekarang. Komunitas kalangan muda ini menerima pelajaran 

di pondok-pondok dalam bimbingan para Agguy dua jam sehari di sela-sela 

pelajaran keterampilan yang lebih praktis. Sayangnya, tidak ada gambaran 

yang sama mengenai Jawa. Ricklefs menegaskan bahwa tak ada bukti 

mengenai keberadaan pesantren di Jawa sebelum 1718, meskipun laporan 

VOC menyebutkan musuh Kartasura di Surabaya mendirikan “sekolah 

pelatihan”. Dia sekadar menduga melalui pernyataannya bahwa Pakubuwana 

II mendirikan pesantren besar Tegalsari, dekat Ponorogo, dalam rangka 

memulihkan kekuasaan spiritualnya sesudah  kekalahannya pada 1740.

Tidak adanya bukti mengenai restu kerajaan tidak serta-merta 

membatalkan kenyataan bahwa sekolah-sekolah Islam independen sudah ada 

pada abad kedelapan belas atau lebih awal. Hanya saja, persetujuan istana 

pasti sangat penting untuk mempertahankan struktur yang disyaratkan oleh 

para pendukung Syekh Yusuf atau ‘Abd al-Ra’uf jika mereka terlibat dalam 

praktik-praktik seperti yang telah kita lihat di Sulawesi. Di Asia Tenggara, 

pengakuan kerajaan umumnya sangat diperlukan isebab  dapat membebaskan 

guru dan pengikutnya dari semua kewajiban pajak dan kerja rodi. 

Pada pertengahan abad kesembilan belas terdapat beberapa  kisah 

mengenai para penguasa Jawa, seperti Pakubuwana II dan Mangkubumi 

(1749–92), yang menerapkan kebiasaan lama dan menjadikan desa-desa 

dengan lokasi pengajaran keagamaan atau makam suci sebagai perdikan yang 

“bebas” dari semua pajak dan wajib kerja. Dalam hal ini, tampak bahwa ajaran 

Syattari sudah diterima oleh semakin banyak anggota keraton-keraton Jawa 

dan tanah-tanah perdikan yang mereka sokong.

Pada mulanya tidak semua perdikan terkait dengan tarekat Syattariyyah, 

kalaupun itu pernah terjadi. Piagam Tegalsari hanya menyebutkan bahwa 

Pakubuwana II mendesak semua pendiri perdikan membaca teks-teks 

keagamaan ataupun tarekat tertentu, tanpa menyebut sedikit pun naskah 

apa yang harus dibaca. Pada 1789 terdapat bukti mengenai sebuah orientasi 

Syattari yang didukung oleh kerajaan, dengan menyebut Pakubuwana IV dari 

Surakarta (berkuasa 1788–1820) telah dipengaruhi oleh sebuah faksi yang 

praksisnya menyimpang dari dominasi ajaran “Karang”. Meskipun tidak jelas 

ajaran apa yang diwakili oleh kelompok tandingan ini—apakah merupakan 

“penyimpangan” domestik atau mungkin tantangan dari ajaran “Mekah” yang 

baru yaitu tarekat Sammaniyyah (lihat di bawah)—“Karang” hampir pasti 

merujuk pada jaringan yang terhubung dengan ‘Abd al-Muhyi, yang makam, 

gua, (dan sekolah)-nya ditemukan di kawasan Karangnunggal, Banten.8

Kesan paling menarik terkait kemunculan perdikan-perdikan yang 

berorientasi Syattari yaitu  mengenai persoalan penamaan. Pada pengujung 

abad kesembilan belas jenis sekolah Islam yang disokong kaum Syattari jarang 

dikenal sebagai pesantren, namun  lebih sebagai pondok yang diasumsikan 

berasal dari bahasa Arab untuk tempat menginap (funduq, yang aslinya yaitu  

pinjaman dari bahasa Yunani). Para utusan Aceh, seperti halnya orang-orang 

Venesia dan Portugis, menginap di berbagai funduq di Kairo pada abad keenam 

belas. Hal ini membuat kita bertanya-tanya apakah “penginapan” dagang 

bergaya Utsmani berhasil sampai ke Asia Tenggara, tempat ia bertransformasi, 

berdasar  para penghuninya, menjadi inti bagi penanaman ajaran Islam.

Sekali lagi, hanya ada sedikit bukti mengenai lembaga-lembaga yang 

secara spesifik bercorak keagamaan dengan model ini sebelum abad kedelapan 

belas. Alih-alih, kita menemukan beberapa rujukan singkat untuk kata kerja 

yang berbasis pada pondok dengan makna umum “menaungi” dalam tarikh-

tarikh Melayu abad ketujuh belas dari Borneo, yang menambah bobot pada 

kesan bahwa sekolah asrama yang independen memang merupakan sebuah 

inovasi belakangan.

PAHAM PEMBAHARUAN SAMMANI DI PALEMBANG, BANJARMASIN, 

DAN BANTEN

Salah satu sumber yang memproyeksikan pesantren masa lalu yaitu  Serat 

Centhini dari abad kesembilan belas, tempat seorang pertapa menjelaskan 

bahwa dirinya belajar di Karang di bawah bimbingan ‘Abd al-Qadir al-Jilani. 

Mengesampingkan watak legenda dari sebagian besar klaim semacam itu, 

para cendekiawan menunjukkan bahwa teks ini , serta beragam teks 

Islam, tetap berharga jika dibaca bersamaan dengan laporan-laporan L.W.C. 

van den Berg (1845–1927), yang disusun sesudah  dia berkeliling Jawa pada 

1885. Kedua sumber itu menjelaskan bahwa asupan kecendekiawanan kaum 

Muslim Jawa menjadi kian stabil dan terikat dengan standar yang ditetapkan 

di Mekah dan barangkali di Masjid al-Azhar Kairo, yang antara 1794 hingga 

1812 dipimpin oleh ‘Abdallah al-Syarqawi.

Meskipun ada beberapa petunjuk mengenai kehadiran orang Asia 

Tenggara di Kairo pada masa akhir kehidupan al-Syarqawi, popularitasnya 

barangkali sudah tecermin pada masa-masa awalnya di Mekah atau saat 

kunjungan rutinnya ke sana. Mungkin di Mekah-lah al-Syarqawi membaiat dua 

orang Jawi ke dalam persaudaraan Sammani, yang didirikan oleh Muhammad 

Samman (1717–76) dari Madinah, yang membina hubungan tarekat dengan 

Kairo pada 1760. Salah seorang dari kedua murid Jawi ini yaitu  Muhammad 

Nafis al-Banjari yang “mabuk” (aktif pada 1770-an–1820-an), yang lain yaitu  

Da’ud al-Fatani yang lebih “sadar” dan produktif (w. sekitar 1845). Seperti 

akan kita ketahui, para pendahulu kedua orang ini harus dipandang sebagai 

perintis pergeseran ke arah kecendekiawanan Mesir dengan pengorbanan 

(publik) berupa muhaqqiqin Madinah yang lebih spekulatif. Yang paling 

terkenal dari para pendahulu ini  yaitu  ‘Abd al-Samad al-Falimbani 

(1719–89) dan Muhammad Arsyad al-Banjari (w.1812?). Keduanya pernah 

belajar langsung kepada Syekh Samman di Madinah. Keduanya juga dianggap 

memainkan peran krusial dalam mengarahkan istana-istana Melayu pada 

tulisan-tulisan al-Ghazali dan para penafsirnya di Mesir.

‘Abd al-Samad dan Arsyad melanjutkan tren yang sedang berkembang 

di Nusantara. Palembang yang merupakan kampung halaman ‘Abd al-Samad 

tengah berkembang sebagai pusat kecendekiawanan pada abad kedelapan 

belas, mengalahkan Aceh dan barangkali mengimbangi Patani di Utara.

sesudah  tidak lagi menjadi daerah bawahan Mataram, pada 1750-an Palembang 

mengalahkan rival lamanya, Jambi, dan menyaingi Banten berebut kendali 

atas kawasan-kawasan penghasil lada yang menguntungkan di Lampung. 

Sementara Jawa semakin hancur dan kian tenggelam dalam genggaman 

VOC sesudah  Perang Tiongkok, Sultan Mahmud Badr al-Din (berkuasa 1724–

57) di Palembang menerima baik para penambang timah Tiongkok maupun 

para pedagang Belanda. Pada sebuah kesempatan dia berkelakar bahwa dirinya 

akan “menembakkan lada dan timah pada VOC”, yang pada gilirannya akan 

membombardirnya “dengan rial Spanyol dalam jumlah besar”. Masa damai 

panjang Palembang di bawah Mahmud dan para penerusnya menarik banyak 

pelancong Arab dan memungkinkan sebagian anggota istana menyibukkan 

diri dengan menertibkan mistisisme antinomi. Putra mahkota yang kemudian 

memerintah dengan gelar Sultan Ahmad Taj al-Din (berkuasa 1757–74) sebelum 

turun takhta untuk menjadi Susuhunan (1774–76), mensponsori sebuah 

terjemahan Fath al-rahman karya Wali Raslan yang memberikan paparan jauh 

lebih akurat mengenai bentuk mutakhir ortodoksi yang dijumpai di Mekah 

atau Kairo ketimbang varian-varian yang disusun di Kartasura pada 1740-an.

G.W.J. Drewes untuk kali pertama tertarik terhadap persoalan ini saat  

dia menunjukkan kontribusi dua cendekiawan Palembang, Syihab al-Din b. 

‘Abdallah Ahmad dan Kemas Fakhr al-Din, yang masing-masing aktif pada 

1750-an dan 1770-an. Mereka juga diantisipasi oleh seorang Aceh yang aktif 

di Mekah, Muhammad Zayn al-Asyi, yang harus dianggap sebagai seorang 

Sufi yang berusaha membatasi ajaran-ajaran Wujudiyyah pada kalangan 

terpilih; meski dia memberikan kritik pada serangan-serangan yang dilakukan 

al-Raniri maupun rekan-rekan senegaranya yang mengklaim mengerti tulisan-

tulisan al-Qusyasyi, al-Kurani, atau bahkan al-Sinkili sesudah  belajar hanya 

selama dua atau tiga tahun. 

Muhammad Zayn al-Asyi menasihati rekan-rekannya sesama Jawi agar 

tidak membaca karya-karya al-Fansuri, Syams al-Din, dan Sayf al-Rijal. 

Dia melakukannya isebab  merasa rekan-rekannya tidak kompeten untuk 

memahami karya-karya itu. Di Sumatra, Syihab al-Din mengajukan argumen 

menentang kecenderungan “Melayu” untuk mengikuti para guru yang tidak 

kompeten dan menempatkan diri mereka di atas Syari‘ah. Syihab al-Din juga 

mendesak agar kitab-kitab (yang diduga bercorak Syattari) mengenai martabat 

tujuh disingkirkan dari jangkauan orang-orang yang tak memenuhi syarat. 

Kemas Fakhr al-Din yang memparafrasakan Fath al-rahman pada 1770-an 

mengeluarkan seruan yang pada hakikatnya serupa, dan kemungkinan di 

bawah pengaruh personal salah satu dari banyak orang Arab yang tertarik 

tinggal di Kesultanan.

Sudah banyak kajian mengenai kebangkitan komunitas Arab Palembang. 

Misalnya, diklaim bahwa ‘Abd al-Samad yaitu  cucu seorang mufti Kedah 

kelahiran Yaman. Dilahirkan di Palembang sekitar 1719, masa-masa awal 

studi dan pengajarannya dihabiskan di Zabid, tempat dia membentuk 

hubungan dengan para cendekiawan seperti cendekiawan serbabisa dari India, 

Murtada al-Zabidi (1732–90), yang pergi ke Kairo pada 1766. Perjumpaan-

perjumpaan semacam itu menarik al-Falimbani lebih jauh ke Mesir—

bersama tiga koleganya yang terkenal: Muhammad Arsyad al-Banjari, ‘Abd 

al-Wahhab al-Bugisi, dan ‘Abd al-Rahman b. Ahmad al-Misri. Ada dorongan 

yang mengilhaminya untuk menempatkan diri di bawah bimbingan Syekh 

Samman di Madinah antara 1767 dan 1772, tempat dia mengawali studinya 

dengan membaca Fath al-rahman. 

Jika Muhammad Arsyad, ‘Abd al-Wahhab, dan ‘Abd al-Rahman 

mengadakan perjalanan dari Hijaz ke Nusantara pada 1772, al-Falimbani 

hanya bisa melakukan kunjungan singkat ke Tanah Air, kalaupun pernah, 

mengingat dia kembali aktif di Mekah dan Ta’if sejak 1773 hingga 1789. 

Namun, tetap saja merupakan sebuah kemungkinan bahwa kunjungan 

singkat semacam itu telah membuat Kemas Fakhr al-Din memparafrasakan 

Fath al-rahman dan mengilhami istana untuk beralih ke Sammaniyyah secara 

keseluruhan; dan mengorbankan Syattariyyah.

Petunjuk lain mengenai iklim religius yang menonjol di Palembang 

barangkali bisa diperoleh dari buku panduan Sufi koleksi William Marsden 

muda di Bengkulu antara 1771 dan 1779. Kemungkinan besar Marsden 

memperolehnya bersama-sama dokumen lain, sebuah kitab pengantar 

(karya al-Sanusi) yang dibuat dengan rapi milik Sultan Ahmad dan disalin 

tak lama sesudah  turun takhta pada 1774. Sebagaimana sudah bisa diduga, 

buku panduan Sufi itu memuat penjelasan berbagai nasihat standar bagi sang 

murid perihal keharusan memiliki seorang syekh dan mengikutinya dalam 

hal-hal seperti mengurangi tidur dan makan. Juga terdapat beberapa bagian 

berbahasa Jawa yang berisi gambaran-gambaran tentang tradisi Syattari dan 

pernyataan-pernyataan kurang baik tentang al-Ghazali. Namun, di tengah-

tengah bahan yang heterogen ini, terdapat sebuah catatan berbahasa Melayu 

yang, meskipun bersifat umum, hampir bisa menunjuk secara tidak langsung 

pada hilangnya otoritas seorang guru setempat yang dulu pernah memiliki 

naskah-naskah ini. Catatan itu berbunyi: “isebab  dia tidak tahu bagaimana 

menafsirkan perilaku para Sahabat, dia pun kehilangan imannya dengan 

menyerang mereka; isebab  hadits Rasulullah, semoga shalawat dan salam 

tercurah kepadanya, mewajibkan kita menghormati dan menghargai mereka. 

Maka, ketahuilah bahwa ini yaitu  akar sejati dari keyakinan.”

Sebagian besar koleksi perpustakaan Palembang, yang dikirimkan ke 

Batavia pada 1822, menunjukkan gerakan menjauh dari tradisi Syattari Jawi 

(lihat Bab 5). Selain beberapa kitab pengantar dan bahan-bahan berbahasa 

Melayu dan Jawa yang terserak di sana sini (termasuk karya-karya al-Raniri 

dan al-Sinkili), terdapat beberapa naskah kunci yang mewakili sebuah tradisi 

pembakuan. Naskah-naskah ini meliputi Hikam (Hikmah-Hikmah) karya Ibn 

‘Ata’ Allah al-Iskandari (w.1309), karya-karya al-Ghazali, dan Fath al-rahman 

karya al-Ansari. Sebaliknya, tulisan-tulisan al-Fansuri dan Syams al-Din sama 

sekali tak dijumpai.

Tak ada bukti kuat bahwa para penyokong karya-karya Wali Raslan di 

Palembang pernah menyebut-nyebut namanya seperti yang dilakukan orang-

orang Jawa yang menang di Kartasura. Kita mungkin bertanya-tanya apakah 

hal itu benar adanya mengingat makna umum dalam tiga risalah yang konon 

dikirimkan dari Mekah oleh ‘Abd al-Samad persis sebelum perjalanan yang 

diyakini dilakukannya ke Nusantara. Beberapa salinan yang nyaris identik dari 

sebuah surat yang mendorong pelaksanaan perang suci, dan yang barangkali 

berfungsi sebagai sebuah rekomendasi bagi para pembawanya, dikirimkan 

kepada Hamengkubuwana I dan saudara tirinya, Susuhunan Prabu Jaka. 

Segera sesudah  kembali ke Mekah, ‘Abd al-Samad mulai menulis sebuah 

risalah mengenai berbagai keutamaan jihad. Meski demikian, al-Falimbani 

lebih merupakan sang “reformis” yang dipotret oleh Azyumardi Azra, dan dia 

disebut-sebut dalam sejarah Indonesia lebih isebab  terjemahannya terhadap 

karya-karya Ghazali, seperti Hidayat al-salikin (Petunjuk bagi para Pejalan, 

1778) dan Sayr al-salikin (Jalur para Pejalan, 1788).

Dulu diyakini bahwa al-Falimbani yaitu  pengarang risalah bertajuk 

Tuhfat al-raghibin (Anugerah bagi Orang-Orang yang Berhasrat). Namun, sudah 

ditunjukkan bahwa penulis karya ini  yaitu  teman seperjalanannya, 

Muhammad Arsyad al-Banjari, yang sangat mungkin mempersembahkan 

karya itu untuk Sultan Tamhid Allah di Banjarmasin (berkuasa 1773–1808).

Pada masa mudanya Muhammad Arsyad mendapatkan perlindungan 

dari Sultan Tahlil Allah (1700–45), yang kemudian mengambilnya sebagai 

menantu. Sultan ini juga mendirikan rumah di Mekah untuk rakyatnya yang 

berhaji. saat  tiba di sana, Muhammad Arsyad meniru apa yang dilakukan 

al-Falimbani yakni bergabung dengan para cendekiawan seperti Muhammad 

b. Sulayman al-Kurdi (1715–80) sebelum melanjutkan perjalanan ke Kairo. 

Di sana dia terinspirasi oleh banyaknya jumlah madrasah isebab  sejarah lisan 

melaporkan bahwa saat  kembali ke Banjar dia mendirikan sebuah kompleks 

bersama-sama ‘Abd al-Wahhab al-Bugisi. Dia juga memimpin kampanye 

menentang seorang tokoh Wujudi setempat bernama ‘Abd al-Hamid Abulung. 

Menurut orang-orang Banjar, Abulung yaitu  murid Muhammad Nafis 

al-Banjari yang bermukim di Mekah, yang dilaporkan pernah menyatakan 

bahwa “tak ada sesuatu pun yang wujud selain Dia ... Dia yaitu  aku dan aku 

yaitu  Dia”. Dalam sebuah kisah yang seharusnya sudah familier bagi kita, 

Sultan Tamhid Allah memerintahkan agar dia dieksekusi.

Kita memiliki dasar historiografis yang lebih kuat pada 1781 saat  

Muhammad Arsyad, yang bertindak berdasar  perintah kerajaan, 

menjabarkan Sirat al-mustaqim (Jalan yang Lurus) karya al-Raniri untuk 

menghasilkan karyanya sendiri Sabil al-muhtadin (Jalan Orang-Orang yang 

Mendapat Petunjuk). Berbeda dari al-Falimbani, Muhammad Arsyad yang 

menempatkan dirinya dalam silsilah muhaqqiqin sama sekali tidak merujuk 

kepada Ibrahim al-Kurani, Syams al-Din, atau al-Burhanpuri. Sebaliknya, dia 

mendukung gerakan kembali pada tulisan-tulisan yang lebih terkendali, yaitu 

karya para cendekiawan Mesir yang “sadar” seperti al-Suyuti dan al-Sya‘rani; 

bahkan karya terbaru mengenai abad kedelapan belas menunjukkan bahwa 

karya-karya al-Sya‘rani menempati kedudukan yang kian bergengsi dalam 

konteks Utsmani. Juga terlihat jelas bahwa, agak mirip al-Raniri, generasi yang 

sedang naik daun itu tidak menyukai berbagai karya dan praktik “tradisional” 

Melayu. Al-Banjari mencemooh hikayat sebagai kisah yang tidak bisa dibuktikan 

dan mengutuk praktik pemberian sesaji untuk menolak bala sebagai “menjadi 

adat di beberapa tempat di negeri di bawah angin”. Sikap serupa berlangsung di 

Terengganu hingga 1830-an, sekitar tiga dekade sesudah  seorang qadi setempat 

mengeluarkan fatwa agar semua naskah semacam itu dibakar.

Walaupun begitu, berbagai kebiasaan lama terbukti sulit untuk 

dihilangkan dari kawasan Melayu. Pada 1837 para misionaris Barat mendapati 

orang-orang Brunei dengan penuh minat menantikan hikayat-hikayat terbaru 

dari Singapura. Berbagai afiliasi tarekat pesaing juga sama tangguhnya. 

Beberapa silsilah Sufi yang dikumpulkan di Filipina Selatan menunjukkan 

bahwa, meskipun Sammaniyyah mengalami kebangkitan di istana Palembang, 

Syattariyyah tetap hadir di sekitar pedalaman Sumatra.24 Syattariyyah juga 

mendapatkan kekuatan di kawasan utara Semenanjung Malaya di bawah 

pengaruh murid al-Falimbani, Da’ud al-Fatani, yang tampaknya lebih tertarik 

pada pendekatan yuridis gurunya ketimbang tarekatnya. Para pendukung 

martabat tujuh pun tidak dibungkam. Muhammad Nafis al-Banjari menyusun 

Durr al-nafis (Mutiara yang Berharga) yang secara persis mengungkapkan 

teosofi ini pada 1786. Hal ini bisa jadi merupakan kasus tempat kisah Kamal 

al-Din terulang isebab  karya itu sangat mungkin ditulis dari Mekah atau 

Madinah yang relatif aman.

Kita memiliki pernyataan eksplisit ‘Abd al-Samad dan Muhammad 

Arsyad untuk mendasari diskusi kita mengenai berbagai peristiwa di Sumatra 

Timur dan Kalimantan Tenggara. Namun, saat  hendak menilai maksud 

rekan-rekan seperjalanan mereka di Jawa Tengah dan Timur, lebih sedikit 

bukti yang tersedia. Bisa jadi Sammaniyyah memang telah tersebar di kalangan 

prajurit elite Mangkunegara I (1726–96)—salah satu surat al-Falimbani dari 

Mekah, bersama sebuah panji, dikirimkan kepadanya pada 1772—namun  

seorang saksi mata dari 1780-an hanya melaporkan kerapnya pelaksanaan 

dzikr tanpa menghubungkan penyebutan tarekat tertentu dengannya. 

Sebaliknya, dengan keyakinan yang lebih besar kita bisa menunjuk 

bahwa mengerasnya sikap penentangan terhadap tradisi Madinah di Jawa 

Barat isebab  perpustakaan Kerajaan Banten—tempat Sammaniyyah 

menemukan dukungan tarekat Rifa‘iyyah—memuat karya-karya berbahasa 

Arab yang sangat mirip seperti yang ditemukan di Palembang. Sebagian besar 

kitab-kitab ini bisa dikaitkan dengan para cendekiawan Mesir ataupun para 

pengarang yang dipengaruhi oleh kecendekiawanan Mesir. Secara khusus, 

terdapat beberapa salinan Yawaqit wa-l-jawahir (Yakut dan Permata) dan 

Mizan (Neraca) karya al-Sya‘rani. Pertama, teks eskatologis dan memuat 

gambaran Hari Kiamat. Kedua, traktat yang terdiri atas ajaran-ajaran keempat 

imam, dengan mengikuti Khidr, yang pendapatnya diklaim oleh al-Sya‘rani 

telah dimintanya melalui saudara mistisnya.

Kita harus ingat bahwa orang Mesir yang menentang tradisi Madinah 

bukanlah penentang praktik-praktik tarekat ataupun komunikasi mistis secara 

keseluruhan. Al-Suyuti terkenal sangat menentang kecendekiawanan “Persia” 

dan al-Sya‘rani kritis terhadap kaum Khalwati serta Naqsyabandi Mesir 

yang kebanyakan yaitu  orang Turki dan Persia. Padahal keduanya yaitu  

Sufi.28 Hal ini juga tidak berarti bahwa semua karya yang populer pada masa 

sebelumnya dilarang. Kitab-kitab pengantar Muhammad b. Yusuf al-Sanusi, 

“sang kebanggaan kaum muhaqqiqin”, tetap digunakan. Demikian pula 

arsip-arsip Banten yang meliputi beberapa  salinan Dala’il al-khayrat (Petunjuk 

Menuju Kebaikan), yaitu buku panduan doa yang disusun untuk memuji 

Nabi oleh rekan al-Sanusi sesama orang Magribi, Muhammad b. Sulayman al-

Jazuli (w. 1465). Salinan naskah ini bisa ditemukan di seluruh kawasan Islam, 

berbentuk lembaran-lembaran penuh hiasan yang secara jelas memberikan 

gambaran pusara dan mimbar Nabi, meski tampaknya suasana reformis pada 

akhir abad kedelapan belas membuatnya diganti dengan gambaran yang 

kurang terperinci terhadap tempat-tempat suci di Mekah dan Madinah.

Seperti yang akan kita lihat, gambaran ini  dipilih untuk dikenang 

dan disalin oleh kaum jihadi di Pegunungan Padang pada abad kesembilan 

belas. Alih-alih melanjutkan pembahasan panjang lebar untuk merekonstruksi 

berbagai koleksi yang dikumpulkan pusat-pusat lainnya, seperti Brunei (yang 

mengembangkan minat terhadap Al-Quran Dagistan yang dihiasi gambar-

gambar), kita sekarang harus kembali ke kurikulum pondok-pondok pada 

abad kesembilan belas, yang pada masa ini pastinya sudah ada di seluruh 

Nusantara, dan membicarakan betapa beberapa murid menapaki jalur 

pembelajaran muslim.

Gambar 3. Islam Nusantara, 1600–1900.

PERMULAAN YANG MENDASAR, AKHIR YANG MISTIS

Memahami Al-Quran yaitu  inti dari pendidikan Islam. Murid Jawi lazimnya 

akan memulainya dari juz terakhir, yaitu juz ketiga puluh.30 Dibantu guru 

serta teman-teman sebaya, sang murid belajar cara melafalkan teks ini  

menggunakan berbagai teknik pengucapan. Seluruh rangkaian studi yang 

menekankan penghafalan dan pelafalan lisan juga merupakan keterampilan 

yang sangat penting dan sangat dihargai bagi transmisi kesusastraan Melayu 

secara umum. Orang buta dianggap sebagai praktisi yang paling terkenal dan 

mahir, sebagaimana dicatat oleh Zayn al-Din dari Sumbawa dalam buku ajar 

karyanya dari 1888:

Sebagian ulama menyatakan bahwa penglihatan lebih unggul dibandingkan 

pendengaran isebab  penglihatan memungkinkan seseorang menangkap 

semua bentuk, warna, dan gerakan, berbeda dengan pendengaran, yang hanya 

menangkap jejak-jejak suara. Namun, pernyataan ini terbantahkan oleh 

kenyataan mengenai adanya banyak hal di dunia yang tidak tertangkap oleh 

orang-orang yang sepenuhnya melihat.

Pada usia dua belas, murid yang berdedikasi biasanya sudah 

menyelesaikan bacaan seluruh Al-Quran dan siap melanjutkan pelajaran 

dasar-dasar keimanan. Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa teks-teks 

yang paling populer di Nusantara dahulu yaitu  Sittin mas’ala fi l-fiqh (Enam 

Puluh Pertanyaan mengenai Fikih) karya Abul-‘Abbas al-Misri (w.1416); Alf 

masa’il (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan sebuah kompilasi 

anonim yang disebut Bab ma‘rifat al-islam (Bab mengenai Mengenal Islam). 

Pada pertengahan abad kesembilan belas, karya-karya ini  tergantikan 

oleh dua karya lain. Yang pertama yaitu  kitab tanya-jawab Abu l-Layts al-

Samarqandi (w. 983 atau 993). Di Jawa, kitab yang kerap disebut Asmarakandi 

ini diringkas dalam Bab ma‘rifat al-islam. Yang lain yaitu  Umm al-barahin 

karya al-Sanusi, yang dikenal oleh orang Melayu dengan nama Sifat Dua 

Puluh dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai 

Sanusi

Sebagian besar kitab-kitab di atas disusun sebagai tanya-jawab yang 

mudah dihafalkan, seperti contoh dari kitab pengantar karya al-Samarqandi 

berikut:

Jika engkau ditanya, “Apa itu iman?” maka jawabannya, “Saya percaya kepada 

Tuhan, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, Hari Akhir, 

dan bahwa takdir—baik atau buruk—ditetapkan oleh Allah Yang Mahakuasa. 

Jika engkau ditanya, “Bagaimana beriman pada kitab?” maka jawabannya, 

“Allah Yang Mahakuasa telah menurunkan kitab untuk [setiap] nabi, dari 

sebuah tempat yang tidak diciptakan, abadi, dan tanpa lawan. Siapa pun yang 

meragukan apa yang ada dalam Surah-Surah atau Syahadat, dia telah berbuat 

kekafiran.”

Dengan cara yang mirip, sang murid mempelajari jumlah kitab 

yang dibawa oleh masing-masing nabi serta bagaimana masing-masing 

kitab menggantikan kitab yang datang sebelumnya sampai dengan Nabi 

Muhammad datang membawa Al-Quran. Meskipun kitab tanya-jawab al-

Samarqandi digunakan untuk waktu yang lama, Umm al-barahin-lah yang 

paling banyak digunakan pada pengujung abad kesembilan belas. Zayn al-

Din, yang memberikan anotasinya terhadap karya ini  pada 1880-an, 

mencatat bahwa Umm al-barahin yaitu  “yang paling terkenal di semua 

kalangan orang Arab, Jawi, Turki, India, dan lainnya”. Teks al-Sanusi memang 

menawarkan sebuah ringkasan mengenai sifat-sifat Tuhan serta mendaftar 

sifat-sifat para nabi dan wali yang mudah dihafalkan dan dipahami oleh setiap 

orang beriman. Kitab ini  juga menggambarkan para malaikat, Hari 

Kiamat, dan semua “rahasia” dzikr.

Untuk memperoleh pemahaman terdalam, seseorang tetap saja 

membutuhkan bimbingan guru yang ahli dalam masalah-masalah ini . 

Dalam komentarnya, Zayn al-Din menulis panjang lebar untuk menjelaskan 

berbagai perbedaan antara para nabi dan malaikat. Zayn juga secara ringkas 

menjelaskan bagaimana berbagai kelompok bisa diklasifikasikan menurut 

derajat kausalitas yang mereka kaitkan pada kehendak Tuhan vs tindakan 

manusia. saat  al-Sanusi bicara mengenai rahasia-rahasia dzikr, Zayn 

al-Din menambahkan bahwa sementara ulama biasa harus mengulangi 

kalimat “Tiada tuhan selain Allah” sebanyak tiga ratus kali sehari, Sufi harus 

melakukannya setidaknya dua belas ribu kali, terutama jika diperintahkan 

demikian oleh tarekat.

Meskipun ada penyebutan tarekat, para pembaca teks al-Sanusi atau 

bahkan komentar Zayn al-Din yang tidak berpengalaman tidak mungkin 

akan siap menerima pengajaran cara-cara sebuah tarekat dari tangan syekhnya, 

terutama mengingat keunggulan yang diberikan pada pengetahuan tentang 

Syari‘ah. Sang murid pertama-tama harus menghafalkan kitab-kitab mengenai 

tata bahasa, seperti Ajurrumiyya yang diberi judul sesuai nama pengarangnya, 

yaitu Abu ‘Abdallah Muhammad b. Da’ud b. Ajurrum (w. 1323). Baru sesudah  

itu dia mampu mendekati karya-karya fikih yang lebih padat beserta berbagai 

komentar dan komentar-atas-komentarnya. Kitab-kitab fikih kerap memerinci 

berbagai kewajiban dasar yang sama, mulai dari urusan kebersihan, ritual, 

shalat, haji, warisan, hingga jihad. Dalam hal fikih, “pendekatan” atau “aliran 

yuridis” (madzhab) Imam Syafi‘i memang paling diikuti di Asia Tenggara, 

namun  keempat mazhab Suni lainnya tetap dinyatakan absah.36

Pengetahuan yang diperoleh seorang murid akan bergantung pada 

pengalaman pribadi sang guru sehingga aman untuk mengatakan bahwa 

kitab-kitab inti Imam Syafi‘i dibaca di mana-mana. Melalui kitab-kitab 

ini , para murid menjadi tahu betapa aturan-aturan fikih bergantung 

pada prinsip-prinsip umum keimanan dan pada berbagai riwayat sahih 

mengenai perbuatan Nabi. Yang lebih penting, mereka akan mempelajari 

makna substantif Al-Quran melalui penggunaan teks-teks tafsir. Teks tafsir 

yang paling populer di kalangan orang-orang Asia Tenggara yaitu  karya “dua 

Jalal”. Terkait dengan hal ini, Tarjuman al-mustafid karya ‘Abd al-Ra’uf dari 

Singkel yang paling lama digunakan di wilayah-wilayah berbahasa Melayu 

di Nusantara, meskipun penggunaannya biasanya dikaitkan dengan silsilah 

“Qusyasyi” dari Syattariyyah.

Bukti mengenai berbagai persoalan yang disebutkan di atas dan mengenai 

berbagai strategi menghafal yang digunakan mudah ditemukan dalam banyak 

manuskrip yang tersimpan dalam berbagai koleksi saat ini. Dalam sebuah 

contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan sebuah 

ringkasan teks fikih karya Ba Fadl al-Hadrami (w. 151