maknai Quran yang
sampai pada pandangan semacam itu. Tujuan akhir sang mistikus yaitu
“kembali” kepada sang Pencipta, sembari mengakui bahwa wujudnya tetap
merupakan bagian dari ciptaan sehingga tak bisa tidak merupakan sesuatu
yang terpisah.
Kontribusi Al-Sinkili mengenai hal-hal mistis bermula saat Safiyyat
al-Din memintanya menulis Mir’at al-tullab (Cermin para Pencari). Dalam
karyanya itu, al-Sinkili mencari jalan tengah antara kaum antinomi ekstatis
lokal dan kaum Syari‘ah-sentris yang hendak (kembali) ke Asia Tenggara. Hal
ini ditunjukkan oleh fakta bahwa dia memparafrasekan puisi Hamzah al-
Fansuri tanpa menyebutkan namanya.
Sebagaimana al-Raniri, al-Sinkili pun tidak menentang martabat tujuh
al-Burhanpuri. Sebaliknya, dalam Daqa’iq al-huruf (Rincian Huruf-Huruf) dia
menentang perancuan esensi batin yang kekal dengan esensi eksternal yang
tampak isebab hal itu berarti menyamakan ciptaan dengan Tuhan. Tak
diragukan lagi, orang Banten yang menjadi utusannya, ‘Abd al-Muhyi, yaitu
seorang pengajar Tuhfah, seperti halnya seorang wakilnya yang lain, Syekh
Burhan al-Din (1646–1704), yang kini dikenang sebagai sosok pengislam
Minangkabau (meskipun ada banyak makam muslim yang lebih tua) dan
pendiri sebuah sekolah di Ulakan.
Al-Sinkili lebih dikenal isebab terjemahan dan tafsir Quran-nya,
Tarjuman al-mustafid (Terjemahan yang Bermanfaat). Karyanya itu merupakan
tafsir pertama yang utuh dan berbahasa Melayu berdasar pembahasan “dua
Jalal” dari Mesir; Jalal al-Din al-Mahalli (1389–1459) dan muridnya Jalal al-
Din al-Suyuti (1445–1505).60 Cukup berbeda dari situasi abad keenam belas
saat terdapat perhatian besar terhadap pengetahuan tentang “Sufisme” yang
bisa disampaikan oleh seorang tamu asing dan kesediaan untuk berfilsafat
mengenai esensi-esensi abadi, Aceh abad ketujuh belas menjadi pusat kegiatan
kecendekiawanan dan pertukaran yang disponsori kerajaan bagi ajaran tarekat
dalam tradisi Syattari. Namun, Aceh bukanlah satu-satunya kerajaan yang
menghasilkan cendekiawan berkaliber internasional.
Ambil contoh Yusuf al-Maqassari (alias Syekh Yusuf Taj al-Khalwati,
1627–99) yang lahir di Kerajaan Gowa, Sulawesi, yang baru diislamkan. Yusuf
pergi ke Arabia pada September 1644. Dia singgah di Banten dan menjadi
sahabat putra mahkota. Lalu, dia singgah di Aceh, dan mungkin termasuk
yang menyesali kepergian al-Raniri.61 Seperti halnya al-Sinkili, al-Maqassari
menghabiskan bertahun-tahun dalam berbagai lingkaran pengajaran di Timur
Tengah. Dia menjalin hubungan dengan persaudaraan Naqsyabandi dan
menyalin karya Mawlana Jami (w. 1492) di bawah bimbingan al-Kurani. Pada
akhirnya, dia memilih masuk tarekat Khalwatiyyah dan dibaiat di Damaskus
oleh Ayyub al-Khalwati (1586–1661).
saat kembali ke Nusantara pada pengujung 1660-an, al-Maqassari,
yang kemudian lebih dikenal sebagai Syekh Yusuf, disambut di Banten, tempat
teman lamanya saat itu menduduki takhta sebagai Sultan Ageng Tirtayasa
(berkuasa 1651–83). Syekh Yusuf kemudian menikah dengan keluarga
kerajaan dan berkorespondensi dengan kalangan elite di tanah kelahirannya.
Barangkali, inilah yang menjadikan Banten sebagai tempat mengungsi bagi
orang-orang Makassar saat gabungan pasukan Belanda dan Bugis menyerbu
Gowa pada 1669.
Syekh Yusuf banyak dikenal oleh orang-orang Indonesia saat ini isebab
memimpin perlawanan terhadap Belanda di Banten sesudah campur tangan
VOC pada 1683. sesudah penangkapan dan pengasingan Sultan Ageng, Syekh
Yusuf mengambil alih komando selama beberapa pekan dari Karangnunggal.
Syekh Yusuf ditangkap Belanda pada Desember 1683 dan diasingkan ke
Ceylon. Dia terus menulis surat untuk komunitas di tanah airnya dari pulau
itu hingga 1693 saat dikirim lebih jauh lagi ke barat menuju Tanjung
Harapan. Di tempat inilah Syekh Yusuf meninggal pada 1699.
Selama masa pengasingan Syekh Yusuf tetap menjadi saluran bagi
otoritas tarekat di kawasan yang dia tinggali. Hal ini kemudian menjadi
teladan bagi peniruan retrospektif di tempat-tempat tertentu dia pernah
aktif. Sajarah Banten dan variasi Melayu-nya, Hikayat Hasan al-Din, berusaha
mencocok-cocokkan beberapa koneksi Khalwati yang dimiliki Syekh Yusuf
dengan muhaqqiqin terkemuka, kepada Sunan Gunung Jati pada permulaan
abad keenam belas. Sajarah bahkan menggembar-gemborkan mereka dalam
hal-hal tertentu dengan menjadikan salah seorang wali mereka sebagai seorang
sayyid, yang secara rutin berkomunikasi dengan Nabi, belum lagi dengan
sekian Sufi masyhur yang belum tentu hidup pada masa yang sama dengannya
atau berada di Mekah pada saat dia konon berhaji. Para Sufi ini termasuk
Mawlana Jami, serta ahli fikih Kairo, Zakariyya’ al-Ansari (1420–1520) dan
muridnya ‘Abd al-Wahhab al-Sya‘rani (1493–1565).
Karya-karya Zakariyya’ al-Ansari dan ‘Abd al-Wahhab al-Sya‘rani bisa
dibilang baru memberikan pengaruh besar pada abad kedelapan belas dan
kesembilan belas, justru saat keduanya sudah lama meninggal. Sebuah
laporan kerajaan yang lebih bisa diandalkan dari Gowa, ditulis beberapa
waktu sebelum 1729, mencatat kedatangan wakil utama Syekh Yusuf, ‘Abd
al-Basir (alias Tuang Rappang, w. 1723) dari Banten pada 1678, yang disusul
oleh anggota rombongannya dari Cirebon pada 1684.64 Terdapat bukti kuat
mengenai kegiatan Khalwati di Sulawesi pada 1688 saat seorang pendeta
Prancis, Nicholas Gervaise (sekitar 1662–1729), menerbitkan sebuah laporan
mengenai Makassar. Sebagian besar laporan itu didasarkan pada wawancara
dengan dua pangeran yang diajarnya di Paris. Dalam laporannya, Gervaise
menggambarkan betapa para pemimpin agama setempat, yang dikenal sebagai
Agguy, memimpin masjid-masjid batu yang terawat dengan baik. Masjid-
masjid itu juga dilengkapi dengan sekelompok fakir selibat yang disebut
Santari, yang bertugas melayani masjid.65 Gervaise mencatat:
mereka tidak banyak terpapar bahaya melanggar kesetiaan terhadap Panggilan
dan Sumpah Kesucian mereka. Mereka Hidup Malam dan Siang dalam Sel-
Sel kecil, terpisah satu sama lain, yang semuanya dibangun dalam Masjid. Di
sana, setiap Pagi, mereka menerima Sedekah Orang-Orang Beriman, yang tak
sedikit pun mereka nikmati di luar Kepatutan. saat mereka menghendaki
sesuatu yang diperlukan untuk Menopang Hidup, mereka beranggapan bahwa
suatu Kehormatan untuk Mengemis dari pintu ke pintu. Jumlah mereka lebih
kurang, sesuai dengan besarnya Masjid. Mereka tidak memelihara Rambut
ataupun Janggut. Topi sederhana dari Linen putih menutupi Kepala mereka
dan Pakaian berwarna serupa, yang mereka kenakan, mencapai tidak lebih dari
Lutut mereka. Jika harus pergi ke luar negeri isebab sebuah Urusan penting,
mereka memohon izin dari Agguy Agung, dan kemudian mereka mengenakan
pakaian yang dianggap nyaman. Mereka pun tidak berbeda dari kaum Awam,
hanya Kepala mereka gundul, membawa sebuah Serban putih, dan tidak
menyandang Pedang bengkok ataupun Keris di Pinggang.
Barangkali ini yaitu rujukan Barat pertama yang jelas tentang para
pengikut tarekat di Nusantara. Rujukan itu juga bercorak Kairo, khususnya
dalam istilah yang digunakan sebagaimana dikomunikasikan oleh dua anggota
muda kalangan elite terdidik. Kata Agguy, misalnya, sangat dekat dengan
varian Kairo dari Hajji (Haggi), gelar yang banyak digunakan oleh para guru
Asia Tenggara. Shalat Jumat dalam teks Gervaise dirujuk sebagai Guman,
dari pelafalan ala Mesir terhadap kata “Jumat” (al-gum‘a).67 Namun, hal ini
tidak menunjukkan apa pun selain tanda kehadiran seorang cendekiawan
yang berasal dari Mesir atau orang-orang Jawi yang pernah berguru kepada
orang Mesir. Bahkan, Gervaise berusaha menunjukkan bahwa orang-orang
taat Makassar hanya bermaksud meniru bentuk Islam saja, dan itu bukan
Islam Kairo:
Dan, sekarang tidaklah untuk dibayangkan, dengan ketepatan macam apa
orang-orang Makassar melaksanakan Kewajiban yang dibebankan oleh Agama
mereka yang baru. Mereka tidak melewatkan Hari-Hari suci paling biasa
sekalipun yang diwajibkan tanpa menunjukkan Ketaatan mereka, dengan
Usaha yang keras, dengan suatu Amal Baik atau lainnya. Mengabaikan satu
Sujud, atau Membasuh secara sembrono, dianggap sebagai Kejahatan besar.
Beberapa dari mereka semata-mata isebab Sentimen Pertobatan, seumur hidup
menghindari meminum Tuak-Palem, meski itu tidak dilarang oleh Hukum.
Ada sebagian yang lebih memilih mati isebab Haus, ketimbang Minum Segelas
Air, sejak Matahari terbit hingga Matahari terbenam, sepanjang waktu Puasa.
Lebih dari itu, mereka jauh lebih taat ketimbang Mahometan lain isebab mereka
melaksanakan sangat banyak Upacara yang tidak dilakukan di kalangan orang-
orang Turki ataupun kaum Mahometan India isebab mereka yakin bahwa
upacara-upacara itu dilaksanakan di Mekah, yang mereka anggap sebagai Pusat
Agama mereka, dan Teladan yang harus mereka ikuti.
Santari bukanlah satu-satunya anggota elite Agguy yang digambarkan
oleh Gervaise. Ada juga para anggota junior dari kalangan ulama ini, yang
dikenal sebagai Labe, dan para Toüan, alias “Tuan” yang menduduki posisi
paling penting; yang otoritasnya juga didasarkan pada Teladan “Mekah”:
Perintah ketiga yaitu mengenai Toüan, yang tidak bisa disematkan selain di
Mekah, dan itu pun harus dilakukan langsung oleh Mufti Agung. Dari sanalah
munculnya, bahwa hanya ada sangat sedikit Toüan di Makassar isebab tidak
semua orang mau bersulit-sulit bepergian jauh untuk Ditunjuk atau melibatkan
diri mereka dalam Pengorbanan yang begitu besar. Perintah ini, yang diterima
dari Mufti Agung, menyatakan mereka semua sebagai setara dalam kaitannya
dengan Martabat Karakter, namun tidak setara secara Yurisdiksi, membuat
sebuah perbedaan besar di antara mereka. Mereka yang melayani Masjid-Masjid
paling besar, memiliki lebih banyak Penghargaan dan Kekuasaan dibandingkan
yang lain. Dia yang memiliki Kehormatan untuk berada dekat Raja yaitu
yang tertinggi dari semuanya, seperti halnya sang Patriark dan Ulama tertinggi
Kerajaan. Dia tidak mengakui siapa pun di atasnya, selain Mufti Agung
Mekah. Mereka semua boleh Menikah. Jika Istri mereka meninggal, mereka
diizinkan menikah lagi. Namun, Poligami dilarang bagi mereka. Jika terbukti
melakukannya, hukumannya sangat berat dan mustahil bisa mereka hindari.
isebab mereka dicintai dan dihormati oleh semua Orang, yang memberi mereka
Hadiah setiap hari. Tidak ada Pernikahan ataupun Perayaan, yang mereka tidak
diundang dan disambut dengan penuh hormat. Kehidupan yang mereka jalani
tampak sangat nyaman dan mudah
Hal yang jauh lebih penting, kita mulai melihat bukti bahwa pemujaan
yang dipertahankan oleh para Agguy mengambil nada yang jelas bercorak
kerajaan dan dilokalisasi. Pada 1701 laporan tahunan Gowa menyebutkan
bahwa para raja mulai mengunjungi makam Dato-ri-Bandung, yang konon
yaitu salah seorang dari pendakwah Islam pertama di Makassar pada 1570-
an. Namun, tak lama kemudian, mereka lebih menyukai berkunjung ke
makam Syekh Yusuf sesudah jenazahnya dibawa pulang dari Tanjung Harapan
pada 1705. Mungkin ini sebagai tanggapan atas desakan putranya, yang lebih
dulu kembali pada Juni 1702.70 Tak diragukan lagi, putranya diterima di
istana, dan silsilah Kerajaan Makassar memasukkan garis keturunan Syekh
Yusuf dengan semangat yang sama seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang
Banten saat menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai seorang Khalwati dan
keturunan Nabi. Bahkan, kembalinya Syekh Yusuf dalam keadaan meninggal
tampaknya menutup jalan bagi peran yang sebelumnya dimainkan oleh para
Agguy dan para pemukim seperti syekh Arab, ‘Umar Ba Mahsun (1634–93),
yang juga tiba pada 1684 (beberapa pekan sesudah para pengikut Syekh Yusuf ),
dan kemudian berperan sebagai seorang Tuan terkemuka.
KEKACAUAN DI KARTASURA
Azyumardi Azra menyatakan bahwa Syekh Yusuf secara konsisten menekankan
perlunya keseimbangan antara Syari‘ah dan Sufisme dalam ajaran-ajarannya.
Namun, berbeda dari al-Qusyasyi, dia berpandangan bahwa seorang pemula
harus sepenuhnya setia kepada syekhnya. Kesetiaan semacam itu pastinya ada
dalam pikiran orang-orang Belanda saat mereka mengirim Syekh Yusuf ke
seberang Samudra Hindia, atau saat mengawasi para bupati mengangkat
para pangeran seperti Mallawang Gawe (w. 1742) di dalam benteng Belanda
dengan cara ala baiat seorang Sufi.72 Hal itu terbukti menjadi sebuah persoalan
saat , selama beberapa dekade berikutnya, sekutu formal mereka di Mataram
berada di bawah pengaruh para guru Sufi lain.
Pada permulaan abad kedelapan belas Belanda telah menggerogoti
wilayah Mataram sebagai imbalan atas bantuan militer guna melawan
pemberontakan di pesisir utara. Dalam proses ini , mereka memperoleh
hak untuk memungut pajak atas nama keturunan Sultan Agung. Namun,
tarikh Jawa hanya mengungkapkan sedikit perhatian terhadap Belanda, yang
kelihatannya tidak begitu memahami apa yang tengah terjadi di istana dalam
kaitannya dengan Islam. Banyak dari hal-hal berikut tampaknya hanya sedikit
masuk ke perhitungan Belanda, dan hanya kita ketahui melalui karya Ricklefs
mengenai laporan-laporan Jawa dan dari berbagai pengamatan superfisial
yang dilakukan oleh Belanda.
Menurut beberapa sumber, pada 1731 seorang guru diadili di bawah
kekuasaan Pakubuwana II (berkuasa 1726–49) isebab mengungkapkan
kebenaran mistis kepada orang awam. Guru ini yaitu Hajji Ahmad
Mutamakin dari Desa Cabolek, dekat Semarang, yang mengaku telah diajari
teknik-teknik Naqsyabandi oleh Syekh “Zayn al-Yamani”, yang kemungkinan
yaitu putra salah seorang guru al-Sinkili dan al-Maqassari. Tentu saja,
silsilahnya yang asing dianggap mencurigakan. Dalam Serat Cabolek, Ketib
Anom dari Kudus mengejek Mutamakin isebab bukti kesahihan Arabia
miliknya dan kesukaannya terhadap kitab-kitab asing. Sejauh berkaitan
dengan Ketib Anom, pengetahuan sejati mengenai Sufisme sudah ditemukan
dalam naskah-naskah kawi semisal Ramayana. Ada semacam bukti mengenai
konflik antara pemahaman lokal yang sintetis terhadap Sufisme dan Sufisme
yang diimpor dari Arabia, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu, bahasa
kecendekiawanan lain milik ‘Abd al-Ra’uf, Syekh Yusuf, dan ‘Abd al-Muhyi.
Hajji Mutamakin tampaknya berhasil lolos dari hukuman terakhir,
dan pengikut Ketib Anom, Pangeran Urawan, menunjukkan kepada orang
udik yang kebingungan itu betapa Sufisme sejati ditemukan dalam karya-
karya Indo-Jawa. Namun, Urawan sendiri memiliki hubungan dengan
arus pengaruh Arab-Melayu yang sama. Sebagai putra seorang buangan
kerajaan yang dikirim ke Batavia pada 1721, Urawan berada di pusat sebuah
kelompok yang terbentuk di sekeliling Pakubuwana II sekitar 1729 yang
tampaknya aktif terutama sejak 1731 hingga 1738. Atas desakan Belanda,
Urawan diasingkan ke Ceylon. Tindakan ini menimbulkan kegemparan besar
dalam lingkaran orang-orang saleh. Walaupun begitu, Urawan hampir tidak
mungkin bertindak sendiri. Para sekutunya meliputi kepala menteri pada
masa mendatang, Natakusuma, dan dua orang lain dari Batavia. Salah satunya
yaitu seorang guru bergelar Kiai Mataram, yang datang pada 1735. Yang lain
yaitu seorang Arab bernama Sayyid ‘Alwi, yang datang pada 1737.
Ajaran-ajaran yang disokong oleh kelompok ini sampai sekarang
belum jelas. Ajaran ini tampaknya ditentang oleh sebuah faksi yang
didukung oleh nenek Pakubuwana II, yang mensponsori penulisan ulang
beberapa naskah yang sejak zaman Sultan Agung diyakini memiliki kekuatan
magis penyatu dunia Jawa dan Islam. Di antaranya yaitu pengerjaan ulang
kisah Al-Quran mengenai Yusuf; Kitab Usulbiyya (?), yang sangat dipengaruhi
oleh Isra’ wa-mi‘raj Muhammad (lihat di bawah), dan hikayat Iskandar yang
diterjemahkan dari teladan Melayu yang dibawa dari Champa.
Selain menunjukkan perlawanan yang lebih tegas terhadap Belanda,
terdapat beberapa petunjuk bahwa setidaknya seorang anggota faksi pemuda
dengan cara tertentu terhubung pada tarekat Qadiriyyah. Meskipun terdapat
beberapa keterkaitan Qadiri dalam kisah ini , dapat dinyatakan bahwa
keterkaitan-keterkaitan ini berhubungan dengan Syattariyyah yang
dibawa ke Jawa oleh ‘Abd al-Muhyi. Kecenderungan terbuka Natakusuma
dan Sayyid ‘Alwi menjadi lebih jelas saat Perang Tiongkok meletus pada
Oktober 1740. Faksi Natakusuma menugaskan penulisan rangkaian silsilah
Syattari menyusul kemenangan awal Jawa atas garnisun Belanda di Kartasura.
Silsilah ini juga dilengkapi dengan penafsiran nakal terhadap Fath al-rahman
kali pertama ditulis oleh Sufi-kesatria dari Damaskus, Wali Raslan, dan
disunting oleh al-Ansari. Pastinya terdapat semacam gema global di sini isebab
al-Ansari, qadi Syafi‘i terkenal di Mesir di bawah Qa’it Bey (memerintah
1468–95), digambarkan sebagai sahabat Sunan Gunung Jati di Mekah.
Meski melakukan penyusunan dan doa semacam itu, kemenangan
terakhir tidak menjadi milik orang Jawa. Kekalahan istana dari pasukan
Madura membuat Pakubuwana II kembali ke pangkuan Belanda. sesudah
mengembara di hutan belantara dekat Ponorogo, Pakubuwana II bahkan
mengasingkan para gurunya di masa lalu. Dengan melakukan hal itu, dia
sekaligus meninggalkan kesalehan mendiang neneknya dan kesalehan para
sekutu Batavia-nya yang saling bersaing. Panggung kini sudah siap bagi suara-
suara lain untuk menantang legitimasi Belanda di Jawa.
Kita sudah melihat bahwa berbagai kesulitan menimpa setiap upaya untuk
menyusun sebuah sejarah langsung mengenai perpindahan agama dan
Islamisasi warga Indonesia yang sangat beragam hingga pertengahan abad
kedelapan belas. Yang muncul yaitu sebuah pemahaman bahwa beberapa
istana penting mengklaim peran sebagai pembela Islam (tanpa memedulikan
tindakan mereka terhadap kegiatan-kegiatan kaum Muslim di sekitar mereka)
dan biasanya mencari pengesahan dari seberang lautan. Orang yang memiliki
garis keturunan Nabi di Mekah atau para cendekiawan yang terkait dengan
mereka yaitu yang paling disukai. Sebagai bagian dari kerumitan ini ,
bentuk mutakhir ortodoksi tingkat tinggi sebagaimana yang telah diwujudkan
oleh praksis Sufi tampaknya juga diterima. Namun, alih-alih menjadi sebuah
mekanisme perubahan agama, Sufisme secara resmi terbatas hanya untuk elite
kerajaan, sedangkan kepatuhan terhadap Syari‘ah dibebankan kepada rakyat.
Lagi pula, berdasar kasus tunggal Kamal al-Din, kita mulai melihat tarikan
gravitasi yang kuat dari Kairo. Hal yang wajar, mengingat Mesir berada di
bawah para penguasa Mamluk dan Utsmani yang menyokong tempat-tempat
suci. Pada abad kedelapan belas, karya beberapa cendekiawan Mesir, yang
separuhnya tidak menyukai tradisi Madinah dan para pendukungnya, mulai
mendapatkan tempat yang tetap dalam kurikulum para cendekiawan Jawi di
seluruh kawasan, terutama di tempat para sultan masih berkuasa, meski hanya
dalam nama.
MENINGGALKAN ISTANA
Dibandingkan Aceh, Banten, dan Mataram, kita hanya mengetahui sedikit hal mengenai perdebatan di negara-negara muslim lain yang kerap
berperang di bagian timur Nusantara, meski tampaknya perdebatan di sana
mengikuti jejak Sumatra. Berbagai legenda Makassar, misalnya, mengklaim
penggunaan diplomasi seorang ratu Aceh yang meyakinkan raja mereka untuk
memeluk Islam Mekah. Meskipun dibuat-buat, namun dongeng-dongeng
semacam itu menggambarkan jalur penyebaran Islam di seluruh kawasan
ini.1 Tentu saja dongeng-dongeng itu hanya memberi kita sedikit informasi
mengenai cara-cara perpindahan agama, kecuali beberapa petunjuk yang
masih ada, tempat ikonografi dan tampilan lisan bisa memainkan peranan.
Tepat sebelum menggambarkan buah yang berduri dan berbau
menyengat yang kita kenal sebagai durian, Mansur al-Misri, orang Mesir
yang merapat di istana Ratu Safiyyat al-Din, menulis bahwa dirinya pernah
diminta oleh beberapa orang Belanda di Batavia untuk mengenakan pakaian
cendekiawan keagamaan setempat (yang dia sebut bukan kostum ulama
Mesir atau Utsmani) dan berpose untuk para seniman lokal, biasanya
menggambarkan para “utusan/nabi” (anbiya’ihim) yang mengempit Al-
Quran. Objek mereka yang lebih lazim sebenarnya yaitu para wali seperti
Sunan Kalijaga. Setidaknya, sebuah sumber Jawa dari awal abad kesembilan
belas menunjukkan adanya garis pembeda yang samar antara para wali dan
para nabi.2
Gaung dari penggambaran demikian ditemukan dalam sebuah sketsa
yang dikirimkan kepada Orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, oleh
Muhammad Yasin dari Kelayu di Pulau Lombok. Sketsa itu menggambarkan
sosok berjanggut seperti orang Arab, memegang sebilah tombak di tangan
kanan dan mengempit tas berisi kitab suci di lengannya.3 Sosok itu menyerupai
darwis Sufi, yang masih bisa difoto di Timur Tengah pada abad kesembilan
belas. Sosok semacam ini juga melambangkan wali tradisional pesisir utara
yang digambarkan sebagai utusan suci, pembuat undang-undang, dan kesatria.
Kita mesti bertanya sekali lagi tentang naskah-naskah apa lagi yang
mungkin dibawa oleh para juru dakwah semacam itu, dan di mana (serta
kapan) Sufisme tarekat mengambil tempat dalam misi mereka. Meski
cendekiawan yang berpengaruh, A.H. Johns, pernah memandang syahadat
Islam sebagai “praktis sinonim” dengan keanggotaan dalam sebuah tarekat
di Asia Tenggara, belakangan dia melonggarkan pandangan-pandangannya.
Bahkan, meski ajaran-ajaran yang dihubungkan dengan Malik Ibrahim dan
Seh Bari dipenuhi dengan spekulasi mistis, mereka tidak membuat rujukan
tak langsung pada praktik tarekat, membuat kita bertanya-tanya naskah apa
lagi selain Al-Quran yang mungkin berada di tangan para wali utusan yang
mendahului ‘Abd al-Ra’uf dan Syekh Yusuf
LOKASI-LOKASI PEMBELAJARAN
Sufisme, sebagaimana mewujud dalam praktik tarekat, bukanlah satu-satunya
bentuk pembelajaran Islami yang kerap ditonjolkan dari bermacam bentuk
yang ditawarkan para wali. Para wali juga diduga menjadi pelopor berdirinya
sekolah-sekolah keagamaan, yang dikenal sebagai pesantren (secara harfiah
berarti ‘tempat santri [para siswa keagamaan]’) yang begitu sering dikaitkan
dengan sosok-sosok seperti Mawlana Maghribi.
Tidak ada laporan yang mendukung bahwa pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga semacam pesantren pada masa-masa
awal penyebaran Islam, tidak di mana pun selain di beranda-beranda masjid
yang direstui istana. Memang ada kesaksian pelancong, seperti Jacob van Neck
(1564–1638), yang melihat sebuah sekolah yang dijalankan oleh pendakwah
negara di Ternate pada 1599 (ilustrasi memperlihatkan iring-iringan penguasa
menuju masjid dengan tasbih di tangannya, lihat Gambar 5). Juga ada John
Davis, yang mencatat keberadaan “banyak sekolah” (dan penggunaan tasbih)
di Aceh pada tahun yang sama. Namun, hanya sedikit bukti bahwa situs-situs
semacam itu merupakan kompleks pesantren yang besar seperti sekarang,
Pada tilikan pertama, laporan tak langsung Gervaise mengenai Makassar
pada 1680-an seperti menyediakan bukti tentang hubungan antara para
penguasa, guru, dan mistikus tarekat. Namun, dia segera menyadari bahwa
kaum Santari yaitu para asketis dewasa, bukannya orang-orang muda yang
mempelajari kitab-kitab pengantar dasar yang lazim dikenal sebagai santri
di Indonesia sekarang. Komunitas kalangan muda ini menerima pelajaran
di pondok-pondok dalam bimbingan para Agguy dua jam sehari di sela-sela
pelajaran keterampilan yang lebih praktis. Sayangnya, tidak ada gambaran
yang sama mengenai Jawa. Ricklefs menegaskan bahwa tak ada bukti
mengenai keberadaan pesantren di Jawa sebelum 1718, meskipun laporan
VOC menyebutkan musuh Kartasura di Surabaya mendirikan “sekolah
pelatihan”. Dia sekadar menduga melalui pernyataannya bahwa Pakubuwana
II mendirikan pesantren besar Tegalsari, dekat Ponorogo, dalam rangka
memulihkan kekuasaan spiritualnya sesudah kekalahannya pada 1740.
Tidak adanya bukti mengenai restu kerajaan tidak serta-merta
membatalkan kenyataan bahwa sekolah-sekolah Islam independen sudah ada
pada abad kedelapan belas atau lebih awal. Hanya saja, persetujuan istana
pasti sangat penting untuk mempertahankan struktur yang disyaratkan oleh
para pendukung Syekh Yusuf atau ‘Abd al-Ra’uf jika mereka terlibat dalam
praktik-praktik seperti yang telah kita lihat di Sulawesi. Di Asia Tenggara,
pengakuan kerajaan umumnya sangat diperlukan isebab dapat membebaskan
guru dan pengikutnya dari semua kewajiban pajak dan kerja rodi.
Pada pertengahan abad kesembilan belas terdapat beberapa kisah
mengenai para penguasa Jawa, seperti Pakubuwana II dan Mangkubumi
(1749–92), yang menerapkan kebiasaan lama dan menjadikan desa-desa
dengan lokasi pengajaran keagamaan atau makam suci sebagai perdikan yang
“bebas” dari semua pajak dan wajib kerja. Dalam hal ini, tampak bahwa ajaran
Syattari sudah diterima oleh semakin banyak anggota keraton-keraton Jawa
dan tanah-tanah perdikan yang mereka sokong.
Pada mulanya tidak semua perdikan terkait dengan tarekat Syattariyyah,
kalaupun itu pernah terjadi. Piagam Tegalsari hanya menyebutkan bahwa
Pakubuwana II mendesak semua pendiri perdikan membaca teks-teks
keagamaan ataupun tarekat tertentu, tanpa menyebut sedikit pun naskah
apa yang harus dibaca. Pada 1789 terdapat bukti mengenai sebuah orientasi
Syattari yang didukung oleh kerajaan, dengan menyebut Pakubuwana IV dari
Surakarta (berkuasa 1788–1820) telah dipengaruhi oleh sebuah faksi yang
praksisnya menyimpang dari dominasi ajaran “Karang”. Meskipun tidak jelas
ajaran apa yang diwakili oleh kelompok tandingan ini—apakah merupakan
“penyimpangan” domestik atau mungkin tantangan dari ajaran “Mekah” yang
baru yaitu tarekat Sammaniyyah (lihat di bawah)—“Karang” hampir pasti
merujuk pada jaringan yang terhubung dengan ‘Abd al-Muhyi, yang makam,
gua, (dan sekolah)-nya ditemukan di kawasan Karangnunggal, Banten.8
Kesan paling menarik terkait kemunculan perdikan-perdikan yang
berorientasi Syattari yaitu mengenai persoalan penamaan. Pada pengujung
abad kesembilan belas jenis sekolah Islam yang disokong kaum Syattari jarang
dikenal sebagai pesantren, namun lebih sebagai pondok yang diasumsikan
berasal dari bahasa Arab untuk tempat menginap (funduq, yang aslinya yaitu
pinjaman dari bahasa Yunani). Para utusan Aceh, seperti halnya orang-orang
Venesia dan Portugis, menginap di berbagai funduq di Kairo pada abad keenam
belas. Hal ini membuat kita bertanya-tanya apakah “penginapan” dagang
bergaya Utsmani berhasil sampai ke Asia Tenggara, tempat ia bertransformasi,
berdasar para penghuninya, menjadi inti bagi penanaman ajaran Islam.
Sekali lagi, hanya ada sedikit bukti mengenai lembaga-lembaga yang
secara spesifik bercorak keagamaan dengan model ini sebelum abad kedelapan
belas. Alih-alih, kita menemukan beberapa rujukan singkat untuk kata kerja
yang berbasis pada pondok dengan makna umum “menaungi” dalam tarikh-
tarikh Melayu abad ketujuh belas dari Borneo, yang menambah bobot pada
kesan bahwa sekolah asrama yang independen memang merupakan sebuah
inovasi belakangan.
PAHAM PEMBAHARUAN SAMMANI DI PALEMBANG, BANJARMASIN,
DAN BANTEN
Salah satu sumber yang memproyeksikan pesantren masa lalu yaitu Serat
Centhini dari abad kesembilan belas, tempat seorang pertapa menjelaskan
bahwa dirinya belajar di Karang di bawah bimbingan ‘Abd al-Qadir al-Jilani.
Mengesampingkan watak legenda dari sebagian besar klaim semacam itu,
para cendekiawan menunjukkan bahwa teks ini , serta beragam teks
Islam, tetap berharga jika dibaca bersamaan dengan laporan-laporan L.W.C.
van den Berg (1845–1927), yang disusun sesudah dia berkeliling Jawa pada
1885. Kedua sumber itu menjelaskan bahwa asupan kecendekiawanan kaum
Muslim Jawa menjadi kian stabil dan terikat dengan standar yang ditetapkan
di Mekah dan barangkali di Masjid al-Azhar Kairo, yang antara 1794 hingga
1812 dipimpin oleh ‘Abdallah al-Syarqawi.
Meskipun ada beberapa petunjuk mengenai kehadiran orang Asia
Tenggara di Kairo pada masa akhir kehidupan al-Syarqawi, popularitasnya
barangkali sudah tecermin pada masa-masa awalnya di Mekah atau saat
kunjungan rutinnya ke sana. Mungkin di Mekah-lah al-Syarqawi membaiat dua
orang Jawi ke dalam persaudaraan Sammani, yang didirikan oleh Muhammad
Samman (1717–76) dari Madinah, yang membina hubungan tarekat dengan
Kairo pada 1760. Salah seorang dari kedua murid Jawi ini yaitu Muhammad
Nafis al-Banjari yang “mabuk” (aktif pada 1770-an–1820-an), yang lain yaitu
Da’ud al-Fatani yang lebih “sadar” dan produktif (w. sekitar 1845). Seperti
akan kita ketahui, para pendahulu kedua orang ini harus dipandang sebagai
perintis pergeseran ke arah kecendekiawanan Mesir dengan pengorbanan
(publik) berupa muhaqqiqin Madinah yang lebih spekulatif. Yang paling
terkenal dari para pendahulu ini yaitu ‘Abd al-Samad al-Falimbani
(1719–89) dan Muhammad Arsyad al-Banjari (w.1812?). Keduanya pernah
belajar langsung kepada Syekh Samman di Madinah. Keduanya juga dianggap
memainkan peran krusial dalam mengarahkan istana-istana Melayu pada
tulisan-tulisan al-Ghazali dan para penafsirnya di Mesir.
‘Abd al-Samad dan Arsyad melanjutkan tren yang sedang berkembang
di Nusantara. Palembang yang merupakan kampung halaman ‘Abd al-Samad
tengah berkembang sebagai pusat kecendekiawanan pada abad kedelapan
belas, mengalahkan Aceh dan barangkali mengimbangi Patani di Utara.
sesudah tidak lagi menjadi daerah bawahan Mataram, pada 1750-an Palembang
mengalahkan rival lamanya, Jambi, dan menyaingi Banten berebut kendali
atas kawasan-kawasan penghasil lada yang menguntungkan di Lampung.
Sementara Jawa semakin hancur dan kian tenggelam dalam genggaman
VOC sesudah Perang Tiongkok, Sultan Mahmud Badr al-Din (berkuasa 1724–
57) di Palembang menerima baik para penambang timah Tiongkok maupun
para pedagang Belanda. Pada sebuah kesempatan dia berkelakar bahwa dirinya
akan “menembakkan lada dan timah pada VOC”, yang pada gilirannya akan
membombardirnya “dengan rial Spanyol dalam jumlah besar”. Masa damai
panjang Palembang di bawah Mahmud dan para penerusnya menarik banyak
pelancong Arab dan memungkinkan sebagian anggota istana menyibukkan
diri dengan menertibkan mistisisme antinomi. Putra mahkota yang kemudian
memerintah dengan gelar Sultan Ahmad Taj al-Din (berkuasa 1757–74) sebelum
turun takhta untuk menjadi Susuhunan (1774–76), mensponsori sebuah
terjemahan Fath al-rahman karya Wali Raslan yang memberikan paparan jauh
lebih akurat mengenai bentuk mutakhir ortodoksi yang dijumpai di Mekah
atau Kairo ketimbang varian-varian yang disusun di Kartasura pada 1740-an.
G.W.J. Drewes untuk kali pertama tertarik terhadap persoalan ini saat
dia menunjukkan kontribusi dua cendekiawan Palembang, Syihab al-Din b.
‘Abdallah Ahmad dan Kemas Fakhr al-Din, yang masing-masing aktif pada
1750-an dan 1770-an. Mereka juga diantisipasi oleh seorang Aceh yang aktif
di Mekah, Muhammad Zayn al-Asyi, yang harus dianggap sebagai seorang
Sufi yang berusaha membatasi ajaran-ajaran Wujudiyyah pada kalangan
terpilih; meski dia memberikan kritik pada serangan-serangan yang dilakukan
al-Raniri maupun rekan-rekan senegaranya yang mengklaim mengerti tulisan-
tulisan al-Qusyasyi, al-Kurani, atau bahkan al-Sinkili sesudah belajar hanya
selama dua atau tiga tahun.
Muhammad Zayn al-Asyi menasihati rekan-rekannya sesama Jawi agar
tidak membaca karya-karya al-Fansuri, Syams al-Din, dan Sayf al-Rijal.
Dia melakukannya isebab merasa rekan-rekannya tidak kompeten untuk
memahami karya-karya itu. Di Sumatra, Syihab al-Din mengajukan argumen
menentang kecenderungan “Melayu” untuk mengikuti para guru yang tidak
kompeten dan menempatkan diri mereka di atas Syari‘ah. Syihab al-Din juga
mendesak agar kitab-kitab (yang diduga bercorak Syattari) mengenai martabat
tujuh disingkirkan dari jangkauan orang-orang yang tak memenuhi syarat.
Kemas Fakhr al-Din yang memparafrasakan Fath al-rahman pada 1770-an
mengeluarkan seruan yang pada hakikatnya serupa, dan kemungkinan di
bawah pengaruh personal salah satu dari banyak orang Arab yang tertarik
tinggal di Kesultanan.
Sudah banyak kajian mengenai kebangkitan komunitas Arab Palembang.
Misalnya, diklaim bahwa ‘Abd al-Samad yaitu cucu seorang mufti Kedah
kelahiran Yaman. Dilahirkan di Palembang sekitar 1719, masa-masa awal
studi dan pengajarannya dihabiskan di Zabid, tempat dia membentuk
hubungan dengan para cendekiawan seperti cendekiawan serbabisa dari India,
Murtada al-Zabidi (1732–90), yang pergi ke Kairo pada 1766. Perjumpaan-
perjumpaan semacam itu menarik al-Falimbani lebih jauh ke Mesir—
bersama tiga koleganya yang terkenal: Muhammad Arsyad al-Banjari, ‘Abd
al-Wahhab al-Bugisi, dan ‘Abd al-Rahman b. Ahmad al-Misri. Ada dorongan
yang mengilhaminya untuk menempatkan diri di bawah bimbingan Syekh
Samman di Madinah antara 1767 dan 1772, tempat dia mengawali studinya
dengan membaca Fath al-rahman.
Jika Muhammad Arsyad, ‘Abd al-Wahhab, dan ‘Abd al-Rahman
mengadakan perjalanan dari Hijaz ke Nusantara pada 1772, al-Falimbani
hanya bisa melakukan kunjungan singkat ke Tanah Air, kalaupun pernah,
mengingat dia kembali aktif di Mekah dan Ta’if sejak 1773 hingga 1789.
Namun, tetap saja merupakan sebuah kemungkinan bahwa kunjungan
singkat semacam itu telah membuat Kemas Fakhr al-Din memparafrasakan
Fath al-rahman dan mengilhami istana untuk beralih ke Sammaniyyah secara
keseluruhan; dan mengorbankan Syattariyyah.
Petunjuk lain mengenai iklim religius yang menonjol di Palembang
barangkali bisa diperoleh dari buku panduan Sufi koleksi William Marsden
muda di Bengkulu antara 1771 dan 1779. Kemungkinan besar Marsden
memperolehnya bersama-sama dokumen lain, sebuah kitab pengantar
(karya al-Sanusi) yang dibuat dengan rapi milik Sultan Ahmad dan disalin
tak lama sesudah turun takhta pada 1774. Sebagaimana sudah bisa diduga,
buku panduan Sufi itu memuat penjelasan berbagai nasihat standar bagi sang
murid perihal keharusan memiliki seorang syekh dan mengikutinya dalam
hal-hal seperti mengurangi tidur dan makan. Juga terdapat beberapa bagian
berbahasa Jawa yang berisi gambaran-gambaran tentang tradisi Syattari dan
pernyataan-pernyataan kurang baik tentang al-Ghazali. Namun, di tengah-
tengah bahan yang heterogen ini, terdapat sebuah catatan berbahasa Melayu
yang, meskipun bersifat umum, hampir bisa menunjuk secara tidak langsung
pada hilangnya otoritas seorang guru setempat yang dulu pernah memiliki
naskah-naskah ini. Catatan itu berbunyi: “isebab dia tidak tahu bagaimana
menafsirkan perilaku para Sahabat, dia pun kehilangan imannya dengan
menyerang mereka; isebab hadits Rasulullah, semoga shalawat dan salam
tercurah kepadanya, mewajibkan kita menghormati dan menghargai mereka.
Maka, ketahuilah bahwa ini yaitu akar sejati dari keyakinan.”
Sebagian besar koleksi perpustakaan Palembang, yang dikirimkan ke
Batavia pada 1822, menunjukkan gerakan menjauh dari tradisi Syattari Jawi
(lihat Bab 5). Selain beberapa kitab pengantar dan bahan-bahan berbahasa
Melayu dan Jawa yang terserak di sana sini (termasuk karya-karya al-Raniri
dan al-Sinkili), terdapat beberapa naskah kunci yang mewakili sebuah tradisi
pembakuan. Naskah-naskah ini meliputi Hikam (Hikmah-Hikmah) karya Ibn
‘Ata’ Allah al-Iskandari (w.1309), karya-karya al-Ghazali, dan Fath al-rahman
karya al-Ansari. Sebaliknya, tulisan-tulisan al-Fansuri dan Syams al-Din sama
sekali tak dijumpai.
Tak ada bukti kuat bahwa para penyokong karya-karya Wali Raslan di
Palembang pernah menyebut-nyebut namanya seperti yang dilakukan orang-
orang Jawa yang menang di Kartasura. Kita mungkin bertanya-tanya apakah
hal itu benar adanya mengingat makna umum dalam tiga risalah yang konon
dikirimkan dari Mekah oleh ‘Abd al-Samad persis sebelum perjalanan yang
diyakini dilakukannya ke Nusantara. Beberapa salinan yang nyaris identik dari
sebuah surat yang mendorong pelaksanaan perang suci, dan yang barangkali
berfungsi sebagai sebuah rekomendasi bagi para pembawanya, dikirimkan
kepada Hamengkubuwana I dan saudara tirinya, Susuhunan Prabu Jaka.
Segera sesudah kembali ke Mekah, ‘Abd al-Samad mulai menulis sebuah
risalah mengenai berbagai keutamaan jihad. Meski demikian, al-Falimbani
lebih merupakan sang “reformis” yang dipotret oleh Azyumardi Azra, dan dia
disebut-sebut dalam sejarah Indonesia lebih isebab terjemahannya terhadap
karya-karya Ghazali, seperti Hidayat al-salikin (Petunjuk bagi para Pejalan,
1778) dan Sayr al-salikin (Jalur para Pejalan, 1788).
Dulu diyakini bahwa al-Falimbani yaitu pengarang risalah bertajuk
Tuhfat al-raghibin (Anugerah bagi Orang-Orang yang Berhasrat). Namun, sudah
ditunjukkan bahwa penulis karya ini yaitu teman seperjalanannya,
Muhammad Arsyad al-Banjari, yang sangat mungkin mempersembahkan
karya itu untuk Sultan Tamhid Allah di Banjarmasin (berkuasa 1773–1808).
Pada masa mudanya Muhammad Arsyad mendapatkan perlindungan
dari Sultan Tahlil Allah (1700–45), yang kemudian mengambilnya sebagai
menantu. Sultan ini juga mendirikan rumah di Mekah untuk rakyatnya yang
berhaji. saat tiba di sana, Muhammad Arsyad meniru apa yang dilakukan
al-Falimbani yakni bergabung dengan para cendekiawan seperti Muhammad
b. Sulayman al-Kurdi (1715–80) sebelum melanjutkan perjalanan ke Kairo.
Di sana dia terinspirasi oleh banyaknya jumlah madrasah isebab sejarah lisan
melaporkan bahwa saat kembali ke Banjar dia mendirikan sebuah kompleks
bersama-sama ‘Abd al-Wahhab al-Bugisi. Dia juga memimpin kampanye
menentang seorang tokoh Wujudi setempat bernama ‘Abd al-Hamid Abulung.
Menurut orang-orang Banjar, Abulung yaitu murid Muhammad Nafis
al-Banjari yang bermukim di Mekah, yang dilaporkan pernah menyatakan
bahwa “tak ada sesuatu pun yang wujud selain Dia ... Dia yaitu aku dan aku
yaitu Dia”. Dalam sebuah kisah yang seharusnya sudah familier bagi kita,
Sultan Tamhid Allah memerintahkan agar dia dieksekusi.
Kita memiliki dasar historiografis yang lebih kuat pada 1781 saat
Muhammad Arsyad, yang bertindak berdasar perintah kerajaan,
menjabarkan Sirat al-mustaqim (Jalan yang Lurus) karya al-Raniri untuk
menghasilkan karyanya sendiri Sabil al-muhtadin (Jalan Orang-Orang yang
Mendapat Petunjuk). Berbeda dari al-Falimbani, Muhammad Arsyad yang
menempatkan dirinya dalam silsilah muhaqqiqin sama sekali tidak merujuk
kepada Ibrahim al-Kurani, Syams al-Din, atau al-Burhanpuri. Sebaliknya, dia
mendukung gerakan kembali pada tulisan-tulisan yang lebih terkendali, yaitu
karya para cendekiawan Mesir yang “sadar” seperti al-Suyuti dan al-Sya‘rani;
bahkan karya terbaru mengenai abad kedelapan belas menunjukkan bahwa
karya-karya al-Sya‘rani menempati kedudukan yang kian bergengsi dalam
konteks Utsmani. Juga terlihat jelas bahwa, agak mirip al-Raniri, generasi yang
sedang naik daun itu tidak menyukai berbagai karya dan praktik “tradisional”
Melayu. Al-Banjari mencemooh hikayat sebagai kisah yang tidak bisa dibuktikan
dan mengutuk praktik pemberian sesaji untuk menolak bala sebagai “menjadi
adat di beberapa tempat di negeri di bawah angin”. Sikap serupa berlangsung di
Terengganu hingga 1830-an, sekitar tiga dekade sesudah seorang qadi setempat
mengeluarkan fatwa agar semua naskah semacam itu dibakar.
Walaupun begitu, berbagai kebiasaan lama terbukti sulit untuk
dihilangkan dari kawasan Melayu. Pada 1837 para misionaris Barat mendapati
orang-orang Brunei dengan penuh minat menantikan hikayat-hikayat terbaru
dari Singapura. Berbagai afiliasi tarekat pesaing juga sama tangguhnya.
Beberapa silsilah Sufi yang dikumpulkan di Filipina Selatan menunjukkan
bahwa, meskipun Sammaniyyah mengalami kebangkitan di istana Palembang,
Syattariyyah tetap hadir di sekitar pedalaman Sumatra.24 Syattariyyah juga
mendapatkan kekuatan di kawasan utara Semenanjung Malaya di bawah
pengaruh murid al-Falimbani, Da’ud al-Fatani, yang tampaknya lebih tertarik
pada pendekatan yuridis gurunya ketimbang tarekatnya. Para pendukung
martabat tujuh pun tidak dibungkam. Muhammad Nafis al-Banjari menyusun
Durr al-nafis (Mutiara yang Berharga) yang secara persis mengungkapkan
teosofi ini pada 1786. Hal ini bisa jadi merupakan kasus tempat kisah Kamal
al-Din terulang isebab karya itu sangat mungkin ditulis dari Mekah atau
Madinah yang relatif aman.
Kita memiliki pernyataan eksplisit ‘Abd al-Samad dan Muhammad
Arsyad untuk mendasari diskusi kita mengenai berbagai peristiwa di Sumatra
Timur dan Kalimantan Tenggara. Namun, saat hendak menilai maksud
rekan-rekan seperjalanan mereka di Jawa Tengah dan Timur, lebih sedikit
bukti yang tersedia. Bisa jadi Sammaniyyah memang telah tersebar di kalangan
prajurit elite Mangkunegara I (1726–96)—salah satu surat al-Falimbani dari
Mekah, bersama sebuah panji, dikirimkan kepadanya pada 1772—namun
seorang saksi mata dari 1780-an hanya melaporkan kerapnya pelaksanaan
dzikr tanpa menghubungkan penyebutan tarekat tertentu dengannya.
Sebaliknya, dengan keyakinan yang lebih besar kita bisa menunjuk
bahwa mengerasnya sikap penentangan terhadap tradisi Madinah di Jawa
Barat isebab perpustakaan Kerajaan Banten—tempat Sammaniyyah
menemukan dukungan tarekat Rifa‘iyyah—memuat karya-karya berbahasa
Arab yang sangat mirip seperti yang ditemukan di Palembang. Sebagian besar
kitab-kitab ini bisa dikaitkan dengan para cendekiawan Mesir ataupun para
pengarang yang dipengaruhi oleh kecendekiawanan Mesir. Secara khusus,
terdapat beberapa salinan Yawaqit wa-l-jawahir (Yakut dan Permata) dan
Mizan (Neraca) karya al-Sya‘rani. Pertama, teks eskatologis dan memuat
gambaran Hari Kiamat. Kedua, traktat yang terdiri atas ajaran-ajaran keempat
imam, dengan mengikuti Khidr, yang pendapatnya diklaim oleh al-Sya‘rani
telah dimintanya melalui saudara mistisnya.
Kita harus ingat bahwa orang Mesir yang menentang tradisi Madinah
bukanlah penentang praktik-praktik tarekat ataupun komunikasi mistis secara
keseluruhan. Al-Suyuti terkenal sangat menentang kecendekiawanan “Persia”
dan al-Sya‘rani kritis terhadap kaum Khalwati serta Naqsyabandi Mesir
yang kebanyakan yaitu orang Turki dan Persia. Padahal keduanya yaitu
Sufi.28 Hal ini juga tidak berarti bahwa semua karya yang populer pada masa
sebelumnya dilarang. Kitab-kitab pengantar Muhammad b. Yusuf al-Sanusi,
“sang kebanggaan kaum muhaqqiqin”, tetap digunakan. Demikian pula
arsip-arsip Banten yang meliputi beberapa salinan Dala’il al-khayrat (Petunjuk
Menuju Kebaikan), yaitu buku panduan doa yang disusun untuk memuji
Nabi oleh rekan al-Sanusi sesama orang Magribi, Muhammad b. Sulayman al-
Jazuli (w. 1465). Salinan naskah ini bisa ditemukan di seluruh kawasan Islam,
berbentuk lembaran-lembaran penuh hiasan yang secara jelas memberikan
gambaran pusara dan mimbar Nabi, meski tampaknya suasana reformis pada
akhir abad kedelapan belas membuatnya diganti dengan gambaran yang
kurang terperinci terhadap tempat-tempat suci di Mekah dan Madinah.
Seperti yang akan kita lihat, gambaran ini dipilih untuk dikenang
dan disalin oleh kaum jihadi di Pegunungan Padang pada abad kesembilan
belas. Alih-alih melanjutkan pembahasan panjang lebar untuk merekonstruksi
berbagai koleksi yang dikumpulkan pusat-pusat lainnya, seperti Brunei (yang
mengembangkan minat terhadap Al-Quran Dagistan yang dihiasi gambar-
gambar), kita sekarang harus kembali ke kurikulum pondok-pondok pada
abad kesembilan belas, yang pada masa ini pastinya sudah ada di seluruh
Nusantara, dan membicarakan betapa beberapa murid menapaki jalur
pembelajaran muslim.
Gambar 3. Islam Nusantara, 1600–1900.
PERMULAAN YANG MENDASAR, AKHIR YANG MISTIS
Memahami Al-Quran yaitu inti dari pendidikan Islam. Murid Jawi lazimnya
akan memulainya dari juz terakhir, yaitu juz ketiga puluh.30 Dibantu guru
serta teman-teman sebaya, sang murid belajar cara melafalkan teks ini
menggunakan berbagai teknik pengucapan. Seluruh rangkaian studi yang
menekankan penghafalan dan pelafalan lisan juga merupakan keterampilan
yang sangat penting dan sangat dihargai bagi transmisi kesusastraan Melayu
secara umum. Orang buta dianggap sebagai praktisi yang paling terkenal dan
mahir, sebagaimana dicatat oleh Zayn al-Din dari Sumbawa dalam buku ajar
karyanya dari 1888:
Sebagian ulama menyatakan bahwa penglihatan lebih unggul dibandingkan
pendengaran isebab penglihatan memungkinkan seseorang menangkap
semua bentuk, warna, dan gerakan, berbeda dengan pendengaran, yang hanya
menangkap jejak-jejak suara. Namun, pernyataan ini terbantahkan oleh
kenyataan mengenai adanya banyak hal di dunia yang tidak tertangkap oleh
orang-orang yang sepenuhnya melihat.
Pada usia dua belas, murid yang berdedikasi biasanya sudah
menyelesaikan bacaan seluruh Al-Quran dan siap melanjutkan pelajaran
dasar-dasar keimanan. Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa teks-teks
yang paling populer di Nusantara dahulu yaitu Sittin mas’ala fi l-fiqh (Enam
Puluh Pertanyaan mengenai Fikih) karya Abul-‘Abbas al-Misri (w.1416); Alf
masa’il (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan sebuah kompilasi
anonim yang disebut Bab ma‘rifat al-islam (Bab mengenai Mengenal Islam).
Pada pertengahan abad kesembilan belas, karya-karya ini tergantikan
oleh dua karya lain. Yang pertama yaitu kitab tanya-jawab Abu l-Layts al-
Samarqandi (w. 983 atau 993). Di Jawa, kitab yang kerap disebut Asmarakandi
ini diringkas dalam Bab ma‘rifat al-islam. Yang lain yaitu Umm al-barahin
karya al-Sanusi, yang dikenal oleh orang Melayu dengan nama Sifat Dua
Puluh dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai
Sanusi
Sebagian besar kitab-kitab di atas disusun sebagai tanya-jawab yang
mudah dihafalkan, seperti contoh dari kitab pengantar karya al-Samarqandi
berikut:
Jika engkau ditanya, “Apa itu iman?” maka jawabannya, “Saya percaya kepada
Tuhan, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, Hari Akhir,
dan bahwa takdir—baik atau buruk—ditetapkan oleh Allah Yang Mahakuasa.
Jika engkau ditanya, “Bagaimana beriman pada kitab?” maka jawabannya,
“Allah Yang Mahakuasa telah menurunkan kitab untuk [setiap] nabi, dari
sebuah tempat yang tidak diciptakan, abadi, dan tanpa lawan. Siapa pun yang
meragukan apa yang ada dalam Surah-Surah atau Syahadat, dia telah berbuat
kekafiran.”
Dengan cara yang mirip, sang murid mempelajari jumlah kitab
yang dibawa oleh masing-masing nabi serta bagaimana masing-masing
kitab menggantikan kitab yang datang sebelumnya sampai dengan Nabi
Muhammad datang membawa Al-Quran. Meskipun kitab tanya-jawab al-
Samarqandi digunakan untuk waktu yang lama, Umm al-barahin-lah yang
paling banyak digunakan pada pengujung abad kesembilan belas. Zayn al-
Din, yang memberikan anotasinya terhadap karya ini pada 1880-an,
mencatat bahwa Umm al-barahin yaitu “yang paling terkenal di semua
kalangan orang Arab, Jawi, Turki, India, dan lainnya”. Teks al-Sanusi memang
menawarkan sebuah ringkasan mengenai sifat-sifat Tuhan serta mendaftar
sifat-sifat para nabi dan wali yang mudah dihafalkan dan dipahami oleh setiap
orang beriman. Kitab ini juga menggambarkan para malaikat, Hari
Kiamat, dan semua “rahasia” dzikr.
Untuk memperoleh pemahaman terdalam, seseorang tetap saja
membutuhkan bimbingan guru yang ahli dalam masalah-masalah ini .
Dalam komentarnya, Zayn al-Din menulis panjang lebar untuk menjelaskan
berbagai perbedaan antara para nabi dan malaikat. Zayn juga secara ringkas
menjelaskan bagaimana berbagai kelompok bisa diklasifikasikan menurut
derajat kausalitas yang mereka kaitkan pada kehendak Tuhan vs tindakan
manusia. saat al-Sanusi bicara mengenai rahasia-rahasia dzikr, Zayn
al-Din menambahkan bahwa sementara ulama biasa harus mengulangi
kalimat “Tiada tuhan selain Allah” sebanyak tiga ratus kali sehari, Sufi harus
melakukannya setidaknya dua belas ribu kali, terutama jika diperintahkan
demikian oleh tarekat.
Meskipun ada penyebutan tarekat, para pembaca teks al-Sanusi atau
bahkan komentar Zayn al-Din yang tidak berpengalaman tidak mungkin
akan siap menerima pengajaran cara-cara sebuah tarekat dari tangan syekhnya,
terutama mengingat keunggulan yang diberikan pada pengetahuan tentang
Syari‘ah. Sang murid pertama-tama harus menghafalkan kitab-kitab mengenai
tata bahasa, seperti Ajurrumiyya yang diberi judul sesuai nama pengarangnya,
yaitu Abu ‘Abdallah Muhammad b. Da’ud b. Ajurrum (w. 1323). Baru sesudah
itu dia mampu mendekati karya-karya fikih yang lebih padat beserta berbagai
komentar dan komentar-atas-komentarnya. Kitab-kitab fikih kerap memerinci
berbagai kewajiban dasar yang sama, mulai dari urusan kebersihan, ritual,
shalat, haji, warisan, hingga jihad. Dalam hal fikih, “pendekatan” atau “aliran
yuridis” (madzhab) Imam Syafi‘i memang paling diikuti di Asia Tenggara,
namun keempat mazhab Suni lainnya tetap dinyatakan absah.36
Pengetahuan yang diperoleh seorang murid akan bergantung pada
pengalaman pribadi sang guru sehingga aman untuk mengatakan bahwa
kitab-kitab inti Imam Syafi‘i dibaca di mana-mana. Melalui kitab-kitab
ini , para murid menjadi tahu betapa aturan-aturan fikih bergantung
pada prinsip-prinsip umum keimanan dan pada berbagai riwayat sahih
mengenai perbuatan Nabi. Yang lebih penting, mereka akan mempelajari
makna substantif Al-Quran melalui penggunaan teks-teks tafsir. Teks tafsir
yang paling populer di kalangan orang-orang Asia Tenggara yaitu karya “dua
Jalal”. Terkait dengan hal ini, Tarjuman al-mustafid karya ‘Abd al-Ra’uf dari
Singkel yang paling lama digunakan di wilayah-wilayah berbahasa Melayu
di Nusantara, meskipun penggunaannya biasanya dikaitkan dengan silsilah
“Qusyasyi” dari Syattariyyah.
Bukti mengenai berbagai persoalan yang disebutkan di atas dan mengenai
berbagai strategi menghafal yang digunakan mudah ditemukan dalam banyak
manuskrip yang tersimpan dalam berbagai koleksi saat ini. Dalam sebuah
contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan sebuah
ringkasan teks fikih karya Ba Fadl al-Hadrami (w. 151