2) dengan terjemahan
antarbaris yang tidak lengkap.
Sebaliknya, buku catatan kebanyakan murid jauh lebih penuh sesak.
Anotasi kata-per-kata yang dilafalkan oleh sang guru kerap berdesakan dengan
penjelasan lebih panjang di bagian pinggir mengenai pentingnya sebuah istilah
atau gagasan tertentu. Kelaziman yang terjadi dalam buku-buku semacam ini
yaitu pernyataan bahwa Islam tidaklah lengkap tanpa memberi perhatian
pada dimensi batin, dan sebuah peringatan bahwa pengetahuan mengenai
realitas sejati harus dicari oleh semua orang. Begitu pula berbagai pemikiran
yang dihubungkan kepada Ibn al-‘Arabi yang melanjutkan tradisi yang
dipopulerkan oleh al-Fansuri dan Syams al-Din, dan kemudian dimoderatkan
oleh ‘Abd al-Ra’uf.
Diskusi mistis mengenai hubungan antara “batin” dan “lahir” merupakan
sesuatu yang ajek dalam sejarah Islam. Namun, kita perlu menekankan
bahwa menghubungkan wacana semacam itu dengan aktivisme tarekat
hanyalah dugaan sejarah yang tidak didasarkan bukti kuat. Penyebutan
topik-topik ini secara umum harus dipahami dalam wacana yang lebih
luas mengenai ajaran etis, yang lazim disebut sebagai akhlaq. Meskipun kita
mendapati beragam pengetahuan rahasia dalam buku-buku pegangan siswa,
kadang disandingkan kutipan-kutipan dari Imam ‘Ali atau Ibn al-‘Arabi, hal
ini jarang sekali bisa dilacak pada sebuah silsilah yang bisa dibuktikan atau
bahkan dalam arti umum kepada para tokoh Jawi di kalangan muhaqqiqin.
di atas melemahkan pernyataan yang lazim bahwa Islam
Indonesia pada abad kedelapan belas hakikatnya yaitu Sufisme tarekat.
Namun, bukti yang ada memberikan ruang kepada kita untuk menyatakan
bahwa baiat minoritas yang menonjol pada saat itu terhadap seorang syekh
Sufi tertentu bergantung pada apa yang diyakini sebagai klaim sang syekh
terhadap ortodoksi dan hubungannya dengan Mekah. Lagi pula, Sufisme
hanya bisa diakses oleh sekelompok elite sehingga wajar jika dalam lingkaran-
lingkaran tarekat terdapat persaingan untuk masuk ke dalam elite ini
dan untuk memiliki jubah sang guru asli. Pakubuwana IV barangkali tidak
menyaksikan tantangan Sammani terhadap ajaran Karang pada akhir 1780-
an, namun ada lebih dari cukup pengikut Syattari untuk berbagi warisan ‘Abd
al-Muhyi. Lagi pula, perdebatan sering kali lebih bercorak politis ketimbang
doktrinal.
Berbagai koleksi manuskrip saat ini menunjukkan fakta bahwa banyak
orang Jawa tetap berbaiat pada Syattariyyah dan menggunakan teks-teks
terkait seperti Tarjuman karya al-Sinkili serta Tuhfa karya al-Burhanpuri.
Ajaran Melayu “Karang” yang lebih tua juga tetap mendapatkan dukungan
di Jawa hingga beberapa lama melalui berbagai silsilah dan dalam aneka
bentuk. Namun, kadang-kadang berbagai penafsiran dan persaingan bisa
menimbulkan sempalan-sempalan baru yang lebih terhubung dengan berbagai
mitos Wali Sanga ketimbang dengan Arabi via ‘Abd al-Muhyi (lihat Bab 8).
Sebuah contoh silsilah ‘Abd al-Muhyi yang lebih bisa diverifikasi berlanjut
melalui Bagus Nur Zayn dari Cirebon, dan dari sana ke putra-putranya. Jalur
yang lain mengarah ke dua guru Batavia, Anak Tong dan Baba Jainan, yang
pada gilirannya akan disusul oleh dua orang Syattari penutur bahasa Melayu
yang bermukim di kota itu selama kekuasaan peralihan Inggris pada 1811–16.
Mereka yaitu Enci’ Baba Salihin dan Hazib Sa‘id dari Matraman, keduanya
mantan murid Hajji Nur Ahmad Awaneh dari Tegal.
Bagaimana persisnya seorang mukmin berbaiat kepada seorang guru
Syattari seperti Bagus Anom? Kita bisa merujuk pada instruksi yang ditulis
untuk seorang syekh dalam sebuah buku panduan yang dicetak di Singapura
pada 1877:
Mintalah orang untuk bertobat dari dosa-dosanya dan peganglah tangan semua
yang hadir. Suruhlah sang murid menyentuhkan tangan ke tanah dan sesudah nya
sang syekh meletakkan tangannya di atas tangan si murid. Kemudian, sang syekh
membaca [dalam bahasa Arab]: Aku berlindung dari setan yang terkutuk. Bahwa
orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka
hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka
maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar atas (janji)
sendiri; dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, Dia akan memberinya
pahala yang besar. [QS. 48:10] Kemudian, sang syekh berkata: Ya Allah, aku
rela Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, Al-
Quran sebagai tuntunan, Kakbah sebagai kiblat, Tuan Syekh sebagai syekh, guru
dan pembimbing kami, dan para fakir yang mengikuti[nya] sebagai saudara. Aku
punya hak dan kewajiban yang sama seperti mereka. Ketaatan menyatukan kami,
ketidaktaatan menceraikan kami.
Baiat yaitu sebuah pengukuhan yang membuat syekh dan murid
menyatu dalam sebuah kontinum hubungan yang terentang hingga pribadi
Nabi Muhammad. Baiat memberikan akses terhadap pengetahuan mengenai
yang Ilahiah kepada murid yang membaiatkan kesetiaan total kepada
sang syekh. Secara teoretis, individu yang telah mencapai visi mengenai
Tuhan yang disahihkan oleh syekhnya dapat memimpin upacara dzikr atau
bertindak sebagai wakilnya, yang diizinkan untuk memberikan petunjuk dan
berwenang menerima murid-murid baru dengan sebuah lisensi (ijazah) yang
menguraikan silsilahnya. Sebagaimana telah dijelaskan, otoritas dalam tarekat
sangat bergantung pada silsilah. Kitab panduan abad kesembilan belas yang
dikutip di atas, misalnya, memasukkan silsilah “Syaytari” [sic] yang diwariskan
dari pengarang Melayu dan pengikut ‘Abd al-Samad, Da’ud b. ‘Abdallah dari
Patani, yang berlanjut ke belakang melalui klan Tahir dari Aceh hingga al-
Qusyasyi.
Walaupun begitu, bagi kebanyakan Sufi, keikutsertaan dalam sebuah
tarekat jarang berarti lebih dari mempelajari aturan-aturan tarekat ini ,
mengikuti dzikr bersama, dan membaca wirid. Yang sangat populer yaitu
perayaan-perayaan yang dikenal sebagai mawlid dan hawl, memperingati
ulang tahun (kelahiran, kematian, atau keduanya) Nabi dan seorang wali
tertentu. Tapi, apa makna bagi para individu melakukan baiat semacam itu
dan menempatkan diri mereka dalam sebuah garis transmisi? Meskipun ini
pertanyaan yang sulit, dalam berbagai teks terdapat petunjuk mengenai apa
yang diharap akan dirasakan oleh individu. Pada 27 Agustus 1810 Hazib
Sa‘id menyelesaikan studinya di bawah bimbingan Nur Ahmad dari Tegal
dan diberi lisensi untuk menyampaikan ajaran-ajarannya kepada orang lain.
sesudah menyamakan baiatnya kepada sang syekh dengan janji setia kepada
Tuhan—seperti yang diperintahkan dalam buku panduan Syattari yang
dikutip di atas—Hazib Sa‘id menyalin sebuah pernyataan, pertama dalam
bahasa Arab dan kemudian pernyataan yang serupa (namun tidak persis) dalam
bahasa Melayu, menegaskan berlanjutnya hubungan antara guru dan murid.
Sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan yang berbahasa Melayu:
Aku rela dengan Tuhan Allah dan aku rela dengan Nabi Muhammad yang
perintahnya kuikuti sejak kehidupan ini hingga akhirat. Aku rela Islam sebagai
agamaku dan Al-Quran yang hukumnya kuikuti. Aku rela Kakbah sebagai
kiblatku untuk kuhadapi dengan dadaku. Aku rela untuk mengarahkan hatiku
kepada Allah Yang Mahakuasa. Aku rela isebab ruhku memuji Allah, dan aku
rela isebab indraku mendapat izin dari Allah Yang Mahakuasa, dan aku rela
orang yang mengajariku menjadi guruku.
Dari panduan berbahasa Melayu-Jawa, jelaslah bahwa Hazib Sa‘id dan
Baba Salihin menyelesaikan program yang sama. Keduanya juga memiliki
silsilah yang menyebut-nyebut Hamza al-Fansuri, meskipun hanya dalam
konteks pernyataan bahwa ‘Abd al-Ra’uf dari Singkel tergolong dalam
kelompok orang “Jawi” yang sama.42 Pertanyaan apakah Hazib Sa‘id dan
Baba Salihin menganggap diri mereka sebagai bagian dari orang-orang ini
sulit untuk dijawab, dan sama sekali tidak jelas bahwa para guru ini , atau
murid-murid mereka, mewakili orang beriman pada umumnya di Jawa abad
kesembilan belas. Dengan mengingat pembatasan ini, kita perlu memikirkan
cara-cara komunitas Islam dikomunikasikan di luar konteks elite para syekh
tarekat dan sekolah-sekolah yang baru muncul yang kadang mereka bina.
MENUJU SEBUAH PUBLIK MUSLIM?
Sudah dijelaskan bahwa ruang publik muslim modern mengakar pada
berbagai kelompok sosial dan gerakan populer yang lebih awal, termasuk
pada apa yang sekarang disebut persaudaraan Sufi “internasional”. Berbagai
tradisi Islam, seperti shalat berjemaah, hidangan syukuran, dan ziarah pada
makam para wali, menyebar dalam sangat banyak cara. Tradisi lainnya
yang juga lazim yaitu minat terhadap kisah-kisah para nabi dan wali, yang
dituturkan kepada para pendengar yang tertarik terhadap tafsir Al-Quran
dalam bentuk mistisnya. Dalam hal ini pula telah dijelaskan bahwa sastra
Melayu klasik dipenuhi perumpamaan Sufi, dan bahwa catatan-catatan
semisal Hikayat Muhammad Hanafiyya harus dibaca sebagai uraian alegoris
mengenai mistisisme Wujudi.
Meskipun hikayat-hikayat lokal terbukti menyerap banyak ajaran Sufi,
patut diragukan bahwa sebagian besar pendengarnya dapat memahami pesan-
pesannya yang tersembunyi. Puisi mistis al-Fansuri dan kisah para pahlawan
Islam pasti diminati, terutama kisah kehidupan Nabi Muhammad. Puisi-puisi
pujian seperti Burdah (Selendang) karya al-Busiri (w. sekitar 1296) sangat
populer, sama halnya dengan teks-teks mengenai kelahiran Nabi karya Ibn
al-Dayba‘i (1461–1537) dan Ja‘far al-Barzanji (1690–1764). Banyak yang
meyakini bahwa Nabi Muhammad turut hadir bersama para pendengar
manakala teks-teks itu dibacakan. Kebenaran keyakinan ini masih
menjadi perdebatan teologis. Yang jelas, perilaku sebagian besar yang hadir
cukup mengganggu kaum puritan. Mereka mengeluhkan bahwa banyak Jawi
hanya datang untuk merokok, menonton pertunjukan wayang yang diadakan
bersamaan, atau sekadar berjalan-jalan.
Diduga teks yang paling populer yaitu Isra’ wa-mi‘raj al-nabi, yang
berkisah tentang Nabi Muhammad menaiki binatang ajaib terbang menembus
tujuh langit dan bertemu Allah, yang mengizinkan dia berada sejauh “dua ujung
busur” dari ‘arasy. Kisah ini yaitu rujukan tak langsung bagi jarak mistis yang
disebut oleh al-Burhanpuri, namun kebanyakan pendengar umumnya sekadar
menikmati drama petualangan ini . Mi‘raj cenderung dibesar-besarkan
dalam karya-karya utama lainnya, seperti Yawaqit karya al-Sha‘rani dan
karya heterodoks berbahasa Jawa Kitab Usulbiyya, tempat Nabi Muhammad
disebutkan bertanya kepada Allah apakah dia boleh duduk di atas ‘arasy.
Kisah-kisah tambahan seperti itu pada akhirnya akan kurang disukai isebab
banyak pembaca lebih memilih untuk mencari kisah yang asli. Pada awal abad
kedua puluh seorang mantan santri mengamati bahwa Mi‘raj sangat populer
di kalangan teman-temannya isebab di dalamnya dijelaskan secara ringkas
kewajiban-kewajiban dasar Islam melalui dialog antara Nabi Muhammad dan
Nabi Musa. Namun, apa pun yang dilakukan para pendengar Jawi terhadap
puisi-puisi Sufi, Mi‘raj, atau sejarah dinasti mereka sendiri, jelaslah bahwa
mereka selalu mengikuti perkembangan terkini di dunia Islam yang lebih
luas, tempat mereka merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan.
sesudah mempertanyakan kekunoan pesantren dan penyebaran tarekat pada
masa-masa awal, bab ini mencari tanda-tanda fenomena ini di tempat-
tempat seperti Sulawesi, tempat ditemukan bukti mengenai Khalwatiyyah. Juga
Jawa, yang pada akhirnya didominasi oleh para guru Syattari yang mengklaim
sebagai pewaris Karangnunggal. Kita kemudian memeriksa kecenderungan
yang terjadi pada abad kedelapan belas; yaitu, sebuah reaksi (Kairo) terhadap
popularitas muhaqqiqin yang berorientasi Madinah yang meletakkan fondasi
bagi kurikulum Islam standar di Asia Tenggara. Hal ini jelas terlihat di
pelabuhan Palembang yang kaya, tempat tarekat Sammaniyyah memainkan
peranannya dalam mengembangkan dan memperbaiki kecendekiawanan Sufi.
Namun, sekali lagi penekanan ditujukan pada pembatasan akses terhadap
risalah-risalah filosofis yang muskil bagi orang-orang terpilih dan mencegah
persebaran teks-teks lebih awal dan hikayat-hikayat sejenis yang populer, yang
meski begitu terus didukung oleh orang-orang Melayu.
Gambar 4. Imam Bonjol, sekitar 1848. Dari H.J.J.L. de Stuers, De vestiging en uitbreiding
der Nederlanders ter westkust van Sumatra.
Tentu saja perubahan tidak langsung terjadi, jauh dari itu, dan bagian
berikutnya dari bab ini berhenti sejenak untuk menjelaskan bagaimana para
siswa bisa mengakses rangkaian teks yang membentuk jalur pendidikan
Islami yang kian terbakukan, dan betapa banyak orang, meskipun berbagai
peringatan dikeluarkan di istana, yang mengaitkan diri mereka pada sebuah
tarekat, entah itu dari tradisi spekulatif yang lebih tua, atau terkait dengan
gaya Sammani yang lebih baru. Sammaniyyah memang hanyalah sebuah
alternatif, sebagaimana akan kita lihat dalam kisah yang mengelilingi tokoh-
tokoh kontroversial seperti Imam Bonjol dari Sumatra.
Kita sekarang sudah melihat betapa, pada pengujung abad kedelapan belas, para cendekiawan Jawi terkemuka menjalin hubungan dengan wacana
“Mekah” yang tengah bangkit yang menegaskan kembali norma-norma
Ghazalian yang memisahkan hukum dan mistisme. Sebagiannya kemudian
memungkinkan bentuk-bentuk Islam ortodoks, yang mewujud dalam
madrasah, bagi kaum beriman yang terdidik, dan tarekat bagi kelompok
terpilih. Mengingat langkanya informasi yang bisa diandalkan, kita harus
menyimpulkan, setidaknya untuk saat ini, bahwa bentuk-bentuk semacam
itu bukannya tidak ada atau sangat terbatas di tanah Jawi pada abad-abad
sebelumnya. Untuk melaksanakan program mereka, para cendekiawan seperti
al-Falimbani dan al-Banjari membutuhkan dukungan para pangeran yang
kuat, baik untuk membiayai persinggahan mereka ke luar negeri atau untuk
kesediaan mendengarkan pesan mereka sesudah mereka kembali. Namun,
Palembang dan Banjarmasin lebih merupakan pengecualian ketimbang
kelaziman.
Dalam banyak contoh lain, raja-raja pribumi terus terpinggirkan oleh
kekuatan Eropa, khususnya di Jawa. Seperti yang sekarang akan kita lihat,
penerapan berbagai rencana untuk mereformasi Islam di pulau-pulau itu segera
terjerumus menjadi rencana dengan berbagai sumber kekayaan alternatif
dan menghadapi beragam penafsiran liar yang berkobar di tengah ketiadaan
pengawasan kerajaan. Banyak penulis memandang marginalisasi berbagai
kelompok elite kerajaan sebagai sebuah gejala guncangan yang ditimbulkan
oleh “modernisasi” atau “globalisasi”, namun secara umum kita harus hati-hati
dalam menerapkan istilah-istilah ini . Dan, istilah-istilah itu kian penuh
tendensi jika diterapkan pada konteks abad kesembilan belas saat sebagian
orang mengacaukan kebangkitan gerakan-gerakan puritan dengan apa yang
dianggap sebagai bentuk cikal bakal modernisme. Pencampuradukan ini
merupakan produk sampingan yang anakronistis dari persekutuan para
reformis awal abad kedua puluh dengan pihak yang sesekali menjadi sekutu
mereka di wilayah yang sekarang menjadi Arab Saudi. Sekarang kita akan
kembali ke Arabia.
GUNCANGAN WAHHABI
Ahmad b. Zayni Dahlan (1816–86) menulis pada 1880-an yang isinya
menyesali perilaku tak terkendali orang-orang Jawi yang mendengarkan
puisi-puisi al-Dayba‘i dalam sebuah fatwa yang disusun di Mekah serta
menggambarkan dua malapetaka yang menimpa penguasa Utsmani, Sultan
Selim III (berkuasa 1761–1808). Malapetaka pertama yaitu invasi Prancis ke
Mesir pada 1798. Invasi ini menurut Dahlan mempercepat malapetaka kedua,
yaitu puncak ledakan besar “perselisihan” gerakan Wahhabi yang dimulai oleh
Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab (1703–92).
Menurut Dahlan, perang kali pertama meletus pada 1790–91
sesudah kegagalan Wahhabi melarang banyak praktik yang didukung oleh
para pendahulu Dahlan. Pada dekade berikutnya Wahhabiyyah berhasil
memperoleh baiat kesukuan dan, pada 1803, menyapu bersih Ta’if. Mekah
saat itu sedang sibuk menuntaskan musim haji. sesudah itu, orang-orang
ditindas dan dihalang-halangi melakukan perbuatan-perbuatan yang
menjurus politeistis seperti mencari perantaraan (tawassul) dari para wali atau
mengunjungi makam mereka (ziyarah). Dahlan mencemooh sikap Ibn ‘Abd
al-Wahhab dan mengklaim bahwa kedua praktik ini disahkan dalam
tradisi Kenabian. Dahlan mengajukan klaim ini dengan mengutip
guru Ibn ‘Abd al-Wahhab sendiri (juga guru al-Falimbani), Muhammad b.
Sulayman al-Kurdi.1
Garnisun Wahhabi dapat dipukul mundur dari Mekah, tapi kisah belum
berakhir. sesudah perang-perang selanjutnya, Mekah kembali diduduki pada
Februari 1806. Lalu, menyusul Madinah. Kedua kota ini tetap di bawah
pemerintahan Wahhabi selama tujuh tahun. Selama masa itu, kafilah-kafilah
haji dari Suriah dan Mesir dihalang-halangi, konsumsi tembakau dilarang,
dan penghancuran kubah di atas makam-makam wali dimulai. Selain itu,
sebagaimana diingat dengan tajam oleh Dahlan, membaca Dala’il al-khayrat
dengan nyaring juga dilarang.Dahlan kemudian menegaskan bahwa sesudah
kemenangan gemilang Utsmani melawan kekuatan-kekuatan Kristen, raja
muda Mesir, Muhammad ‘Ali Pasha (berkuasa 1805–48), diperintahkan
mengokohkan kembali kendali Utsmani. Mekah berhasil direbut kembali
pada 1813. Saat ini, berita mengenai kekejaman Wahhabi telah menyebar
ke seluruh dunia Islam. Seseorang asal Madinah, yang menyebut dirinya
keturunan Ahmad al-Qusyasyi, menyuguhi penguasa Bone dengan berbagai
cerita mengenai betapa kaum Wahhabi memerintahkan semua kubah
dihancurkan, kecuali kubah Nabi di Madinah dan kubah “Muhammad
Badawi” di Mekah [sic].
Walaupun begitu, terdapat beberapa Jawi yang justru terbangkitkan
semangatnya ketimbang khawatir oleh peristiwa-peristiwa ini , termasuk
para anggota gerakan Padri yang mungkin menyaksikan pendudukan Mekah
yang pertama. Sebagian kaum Padri, yang menyatakan diri sebagai “orang
putihan” yang benar-benar taat, bisa jadi yaitu simpatisan Wahhabi. Banyak
hal yang mereka upayakan di Sumatra Barat, mulai dari melarang konsumsi
alkohol dan candu hingga melarang penajaman gigi, pewarisan matrilineal,
serta judi sabung ayam. Meskipun, upaya ini bisa saja dilaksanakan oleh
orang-orang saleh lainnya. Betapa pun, terdapat bukti mengenai gerakan
yang sama kerasnya di Sumbawa pada sekitar masa itu, yang muncul sesudah
malapetaka letusan Gunung Tambora pada 1815. Bahkan, para pemimpinnya
masih dihormati sebagai wali pada 1847. Sungguh sebuah fakta yang akan
menyinggung perasaan setiap Wahhabi kalau saja mereka ada di kawasan itu.
Ketimbang melihat kemunculan Wahhabi di Sumatra Barat, akan lebih
berguna memahami gerakan Padri yang berkembang di lingkungan para
cendekiawan dari tradisi Syattari, yang menolak otoritas para guru petahana
yang berkedudukan di kota dataran rendah Ulakan. Kita mungkin ingat,
kawasan ini yaitu situs makam dan sekolah Syekh Burhan al-Din yang
didirikan di wilayah kekuasaan istana Minangkabau. Istana ini kini
terpinggirkan dan cadangan emas aluvial yang menyokongnya sudah habis.
Sementara itu gerakan Padri bersatu di sekitar Cangking, sebuah kota dataran
tinggi yang menjadi kaya isebab perniagaan kopi. Di sanalah, sesudah beberapa
konfrontasi yang penuh kekerasan, kaum Syattari pemberontak bisa dikatakan
“merumuskan ulang” ajaran-ajaran mereka agar selaras dengan persaudaraan
Naqsyabandiyyah yang lebih menonjol secara global.
Agak aneh isebab sumber-sumber Belanda dari 1840-an menggambarkan
kaum Padri membawa tasbih, yang merupakan aksesori para Sufi, bukan orang-
orang Wahhabi (lihat Gambar 4).6 Di sisi lain, yaitu tindakan sembrono
untuk memberikan perhatian berlebihan pada pengamatan Belanda awal, yang
sangat sering diambil dari catatan para petugas lapangan atau dari perbincangan
dengan para informan yang fungsi keagamaannya kerap disalahpahami
oleh Belanda. Seorang cendekiawan penting dari 1840-an bergantung pada
memoar Jenderal H.J.J.L. Ridder de Stuers (1788–1861), dilengkapi dengan
wawancara dengan Tuanku Elok Kota Lawas, Angku Bendara Panjang dari
Batipu di Baru, dan beberapa “pendeta”. berdasar informasi semacam
itu, Ridder de Stuers menulis mengenai perseteruan yang terjadi berdekade-
dekade sebelumnya antara propagandis Padri paling bersemangat, Tuanku
Nan Rinceh (w. 1832), yang dalam serangan-serangannya bersandar pada
“kitab suci fiqh” melawan mantan gurunya, tokoh Syattari Tuanku Nan Tua
dari Kota Tua, Cangking (w. 1824), yang sejauh berkaitan dengannya konon
telah membalas dengan “kitab tarekat” yang sama-sama anonim.
Walaupun begitu, mungkin saja memercayai rekonstruksi peristiwa-
peristiwa yang menyertai sebuah transisi dari tarekat yang terbatas menjadi
tarekat yang mengklaim otoritas yang berakar pada praksis Mekah (jika bukan
Wahhabi). Laporan utama mengenai perang ini , yang ditulis oleh Syekh
Jalal al-Din Ahmad dari Samiang, Kota Tua, juga dikenal sebagai Faqih Saghir,
mendukung skenario ini.8 Seorang juru bicara mendiang Tuanku Nan Tua,
Jalal al-Din menjelaskan secara ringkas sebuah sejarah kontroversial mengenai
reformisme yang diluncurkan oleh gurunya, yang ditampilkannya sebagai
wali pewaris garis silsilah ‘Abd al-Qadir al-Jilani, yang telah memerintahkan
‘Abd al-Ra’uf untuk mengislamkan Sumatra dan menyebarkan pengetahuan
tarekat ke Ulakan. Namun, yang menarik, Jalal al-Din tidak menyebut
Burhan al-Din, yang kerap dihubungkan dengan Islamisasi kawasan ini .
Perang kali pertama meletus saat fatwa keras Nan Tua menentang
perjudian dan konsumsi minuman keras ditolak oleh elite tradisional. Masjid
serta sekolah Jalal al-Din dibakar sebagai tindakan balasan, yang mengundang
pembalasan serupa dari kaum reformis. sesudah itu, menurut Jalal al-Din, dia
dan gurunya menyadari bahwa kekerasan tidaklah berguna dan berdamai
dengan lawan-lawan mereka. Namun, perdamaian tidak bisa diterima oleh
sebagian Tuanku yang lebih muda, yang terus membakari desa-desa lawan
mereka dan membunuhi serta memperbudak penduduknya. Salah seorang
penghasut yang menonjol yaitu tokoh yang sudah disebutkan sebelumnya,
Tuanku Nan Rinceh, yang berperan sebagai pelindung bagi salah seorang dari
tiga haji yang konon menyaksikan pengambilalihan Mekah yang pertama
dan mendorong kampanye menentang semua penyimpangan lokal. sesudah
Tuanku Nan Rinceh dan rekan-rekannya mengejek perintah Nan Tua agar
desa-desa dengan penduduk Muslim tidak dianiaya, delapan pemberontak
muda terkemuka berusaha menemukan seorang imam baru untuk
mengesahkan tindakan-tindakan mereka.
Sampai titik ini dalam penuturan Jalal al-Din, jalinan tak terucapkan yang
tampaknya mengikat para Tuanku dari dataran tinggi yaitu tarekat Syattari
‘Abd al-Ra’uf. yaitu ajaran-ajaran Syattari yang pura-pura dibela oleh para
pendukung Nan Tua saat para Tuanku pemberontak mengajukan juru bicara
pesaing mereka, Tuanku Nan Salih. Ini bisa disimpulkan dari kenyataan bahwa
Tuanku Nan Salih yaitu putra dari seorang korban kampanye Nan Tua pada
masa sebelumnya, yang dikenal bukan isebab ketidaktaatannya, melainkan
isebab oposisinya terhadap ajaran Syattari dan pastinya otoritas Ulakan.
Juga tampak bahwa Tuanku Nan Rinceh dalam kampanyenya yang berapi-
api itu diikuti oleh seorang Tuanku di Samani, yang namanya paling tidak
menunjuk pada tren reformis yang lebih tua yang menyaingi Syattariyyah.
sesudah sebuah perdebatan yang tidak tuntas Delapan Tuanku melanjutkan
aksi mereka dengan kekuatan penuh (sejak sekitar 1815), membakar pusat
Syattari di Paninjauan, membunuh putra Nan Tua, dan memaksa sang syekh
yang sudah renta itu bersembunyi. Dia juga menyerahkan Jalal al-Din ke
tangan Belanda, dan untuk merekalah dia menuliskan versinya (dan dengan
demikian juga versi mereka) mengenai kisah ini.
Rujukan tak langsung lain terhadap pertempuran antara berbagai silsilah
Sufi yang bersaing bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Syekh Da’ud dari
Sunur (w. 1858), yang menuliskan sebuah serangan terhadap kaum Syattari
sesudah kekalahannya di tangan seorang syekh Lubuk Ipoh pada akhir 1820-an.
Dalam traktat ini, yang kemungkinan ditulis sesudah dia singgah di Arabia dan
bermukim di kota pesisir Trumon, dia bicara mengenai keunggulan Islam yang
dipraktikkan di Mekah dan Madinah—pada saat itu terlepas dari kekakuan
fatwa Wahhabi—sembari mencatat bahwa doktrin martabat tujuh tidak lagi
dipelajari di sana, seperti halnya dikecam di Kairo. Selain itu, sejalan dengan
al-Falimbani, yang terjemahannya dia puji sembari mencela hikayat tradisional
Melayu, dia menekankan karya-karya al-Ghazali dan Imam Nawawi.
Mengingat besarnya penentangan terhadap ajaran martabat tujuh, yang
terkait erat dengan tradisi Syattari, apakah mungkin bahwa Tuanku Nan
Salih atau Syekh Da’ud telah menjadi Naqsyabandi? Hanya sedikit bukti
mengenai kehadiran Naqsyabandi di Sumatra Barat, meskipun keberadaan
tarekat ini semakin lazim di Asia Tenggara.13 Misalnya, ‘Abdallah b.
‘Abd al-Qahhar mengajarkan ritual-ritual Naqsyabandi bersama dengan
ritual Syattariyyah di Banten pada 1750-an dan 1760-an, dan nama ini
dimunculkan dalam teks-teks seperti Sajarah Banten dan padanan Melayu-
nya Hikayat Hasan al-Din.14 Kita juga memiliki catatan mengenai Sultan Sufi
dari Bone, yang kemungkinan besar merasa ngeri mendengar laporan-laporan
mengenai kekejaman Wahhabi di Mekah dan memerintahkan penyalinan
Al-Quran pada 1804 oleh seorang Makassar yang menyatakan diri sebagai
“Naqsyabandi dalam hal tarekat”.
Dengan mengingat contoh-contoh semacam itu, sangatlah mungkin
bahwa Tuanku Nan Salih dan Syekh Da’ud mewakili sebuah garis baru
Naqsyabandi yang tumbuh dari konflik-konflik lokal Syattari. Berbagai upaya
Naqsyabandi berikutnya untuk menjalin hubungan dengan tatanan Utsmani
yang dipulihkan kembali pada 1820-an barangkali bisa menjelaskan adanya
kesan bahwa Syekh Da’ud telah menganut mazhab fikih “Hanafi”, mengingat
bahwa mazhab ini dominan di bawah kekuasaan Utsmani, dan didukung oleh
tokoh-tokoh penting Naqsyabandi di Suriah. Para pengamat Eropa 1880-an
pun mengklaim bahwa kaum Hanafi (yang keras) telah berhasil mendominasi
Cangking, meski tulisan Syekh Da’ud sendiri tegas menyatakan bahwa dirinya
seorang penganut mazhab Syafi‘i.
Kemudian, terdapat bukti mengenai murid-murid Da’ud. Di Trumon
ada guru penguasa setempat, Raja Bujang (w. 1832/33) dan guru putra
Faqih Saghir, Ahmad b. Jalal al-Din, yang kembali ke Cangking sebagai
seorang Naqsyabandi pada 1860-an.17 Selain itu, bisa jadi Da’ud merupakan
pembimbing Isma‘il dari Simabur (Fort van der Capellen), yang belakangan
dikenal sebagai Isma‘il al-Minankabawi. Menurut B.J.O. Schrieke (1890–
1945), guru pertama Isma‘il terbunuh oleh “kaum Padri” dan dimakamkan
di Solok. Namun, pada 1830-an, Isma‘il memelintir puisi Da’ud untuk
menyerang syekh Lubuk Ipoh. Pada awal 1850-an dia aktif merekrut anggota
Naqsyabandiyyah di Singapura, bahkan mengibarkan bendera Utsmani yang
konon dibawanya dari Mekah.
Naqsyabandi atau bukan, berbagai perbedaan yang menopang konflik di
Sumatra Barat akan diselesaikan dengan melibatkan Belanda yang memihak
elite tradisional pada 1821. Hal ini menjadi latar bagi sebuah jihad di dataran
tinggi melawan orang-orang asing. Sebelum Belanda bisa memulai operasi
militer, kesadaran mengenai tidak bisa diandalkannya dukungan Inggris
membuat mereka menuntut perdamaian pada 1824. Ini bukan berarti
pertanda baik bagi kaum Padri, yang kehilangan jalur perniagaan mereka di
pantai utara. Dengan dimulainya kembali peperangan sesudah Perang Jawa
(1825–30) usai, Belanda akan menghadapi sisa-sisa gerakan yang benar-benar
membuat habis kekayaan. Bukti mengenai isolasi semacam itu jelas terlihat
dalam kasus salah seorang pemimpin terakhirnya, Imam Bonjol (1772–1864),
yang diyakini oleh Belanda telah mengirimkan emas kepada Raja Bujang
untuk ditukar senjata. Namun, Raja Bujang kehilangan dukungan lokalnya
dan meninggal pada 1831.
Pada saat bersamaan Imam Bonjol mundur dari posisi garis kerasnya
menentang penyimpangan lokal. Dinyatakan bahwa hal ini terjadi disebabkan
oleh berita (sangat basi) mengenai kekalahan Wahhabiyyah, namun kita
sudah mendapati rujukan dalam laporan mengenai pasukan Bonjol yang
melantunkan dzikr dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi sebelum
kembalinya utusan yang dikirim ke Mekah. Dengan kekalahannya pada 1837,
Belanda menyita setidaknya satu jilid yang menyatakan bahwa Bonjol selalu
berminat pada eskatologi Sufi isebab jilid itu memasukkan nukilan-nukilan
dari Dala’il al-khayrat dan tulisan-tulisan al-Yafi‘i, serta nasihat al-Qusyasyi
mengenai seberapa sering sebuah dzikr tertentu harus dibaca.
PERANG JAWA
Sejauh berkaitan dengan Belanda, mengalahkan tantangan kaum Padri
harus ditunda saat Jawa, jantung imperium Belanda di Asia, terancam
oleh sebuah pemberontakan Islam dengan skala yang jauh lebih besar. Pada
1825 putra mantan Sultan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro (sekitar 1785–
1855), mengumpulkan ribuan “orang putihan” yang sadar agama di pulau
itu untuk melawan Belanda dan Sultan yang masih remaja. Terdapat banyak
faktor yang mengakibatkan konflik ini, terutama penjarahan Yogyakarta
oleh Inggris pada 1812, meningkatnya serbuan Belanda sesudah nya, dan
pelembagaan pajak pertanian oleh orang-orang Tionghoa. Namun, tidaklah
akurat mengklaim bahwa perlawanan itu didasarkan berpuluh-puluh tahun
kebencian di pedesaan isebab sesudah perjanjian Giyanti 1755 sebagian besar
wilayah pedesaan teramati damai. Hanya terjadi sedikit wabah penyakit dan
populasi pun bertambah, begitu pula populasi kelas petani yang merdeka.
Kesejahteraan ini mendukung bertambahnya jumlah sekolah, yang para
gurunya kemungkinan besar sangat ingin agar lembaga mereka diklasifikasikan
sebagai perdikan.
Pangeran Diponegoro sejak awal terkenal dengan kesalehannya.
Kakek buyutnya yaitu seorang guru agama (kiai) dari Sragen. Sebagian
besar masa mudanya dihabiskan bersama putri sang guru, yang tanahnya
di Tegalrejo dia warisi.Pangeran Diponegoro sangat suka menyendiri dan
sering menghindari kewajibannya untuk hadir secara rutin di keraton. Dia
sering mengunjungi pemakaman Imogiri, yang diklaimnya telah mengalami
komunikasi mistis dengan Sunan Kalijaga. Sikapnya itu sama sekali tidak
membuat sang pangeran tidak diterima di keraton. Usaha menjauh itu
baru terjadi saat dia secara sengaja menentang otoritas Belanda dengan
menolak mengizinkan pembangunan jalan baru yang melewati tanahnya.
sesudah terjadi pertempuran kecil, Diponegoro mundur untuk menghimpun
kekuatan. Ribuan orang bergabung dengannya, termasuk orang-orang Bugis
dari Sulawesi. Pengikutnya yang paling menonjol berasal dari kalangan santri
perdikan, di antara mereka yang terkemuka yaitu Kiai Mojo dari Pajang
(sekitar 1792–1849), guru putra Diponegoro.22 sesudah meraih beberapa
kemenangan, Diponegoro perlahan-lahan mulai tertekan. Salah satu pukulan
utama terjadi pada November 1828 saat Kiai Mojo ditangkap Belanda
dan diasingkan ke Manado. Diponegoro akhirnya tertangkap pada 1830 dan
dibuang ke Makassar.
Kekalahan Diponegoro membuat kerajaan di Jawa Tengah semakin
terikat dalam kekuasaan Belanda dan menjauh dari pengaruh Islam yang
eksplisit. Istana pesaing di Solo bahkan membuat olok-olok yang mengejek
Diponegoro isebab bergaul dengan “sampah” semisal kaum santri, dan
sebagian cendekiawan sesudah nya kadang-kadang bisa disalahkan isebab
memiliki asumsi bahwa keraton dan pesantren selalu bertentangan. Kiai Mojo
bisa jadi kecewa sesudah mengetahui bahwa, sesudah mengibarkan bendera
jihad, Diponegoro justru lebih tertarik untuk mendirikan sebuah negara.
Namun, kepedulian mendalam sang pangeran terhadap Islam seperti yang
ditanamkan oleh keluarganya, dan seorang guru Sufi awal yang mungkin
berasal dari Sumatra, Kiai Taftayani, tidak bisa diabaikan.
Tentu saja, kita tidak boleh mengasumsikan bahwa jihad yaitu monopoli
Wahhabi, atau terkejut isebab buku catatan Diponegoro di Makassar memuat
doa yang berkaitan dengan Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah. Seorang
keturunan Diponegoro yang mengunjungi Manado pada abad kedua puluh
tampaknya lebih terkejut isebab Kiai Mojo yaitu seorang Syattari bukannya
Naqsyabandi atau Qadiri. Pastinya koleksi buku Diponegoro tidak
memenuhi standar Wahhabi, dan Kiai Mojo berperilaku dengan cara yang
agak tidak Wahhabi, seperti menggunakan para pelayan untuk memegangi
ujung jubah putihnya dan payung emas saat berjalan.
Tampaknya Diponegoro merupakan perwujudan apa yang disebut
Ricklefs “sintesis mistis”. Bahkan, terdapat pasase dalam buku catatannya
yang secara tidak langsung merujuk pada pengalaman ekstatik. Kita mungkin
bertanya-tanya apakah Diponegoro menghubungkan kegagalan akhirnya pada
sebuah momen kelalaian tertentu saat , dirinya dikuasai oleh manifestasi
apa yang diyakininya sebagai Kehadiran Ilahiah, “dia lalai tidak memberikan
penghormatan [kepada-Nya]”. Bagaimanapun, saat Diponegoro
mengibarkan panji-panjinya, tampaknya ada seruan yang disengaja terhadap
kenangan mengenai Sultan Agung sebagai seorang Sufi dan bahkan mungkin
terhadap kesan mengenai ortodoksi Mesir-Utsmani yang sezaman. Penyebutan
gelar “Ali Basah” terhadap komandan lapangannya bisa jadi merupakan
sebuah rujukan langsung kepada Muhammad ‘Ali Pasha, yang pasukannya
baru saja mengalahkan Wahhabiyyah. Begitu pula, gelar Kalipat Rasululah
dan Kabirulmukminin yang disandangnya, serta nama “Ngabdulhamid”, bisa
dianggap sebagai sebuah klaim kesamaan dengan ‘Abd al-Hamid I (1774–89),
sultan Utsmani pertama yang menggunakan gelar Khalifah.
Akan namun , sebagaimana sang sultan, Diponegoro ditakdirkan untuk kalah
dalam perang. Menilai kekalahan Diponegoro, Peter Carey menulis, “sebuah era
dalam sejarah Jawa ditutup. Kepercayaan diri komunitas-komunitas keagamaan
dihancurkan, Eropa menggantikan Arabi sebagai kekuatan asing yang dominan
di Jawa, dan kemerdekaan politik raja-raja Jawa Tengah berakhir”. Meskipun
Diponegoro yaitu pangeran terakhir yang berusaha menyatukan sebuah
aliansi besar dengan kaum putihan Jawa yang religius, banyak kiai yang terus
melanjutkan dialog dengan Mekah tanpa merujuk kepada para sultan yang
segera berlalu atau pada berbagai dekrit dari Den Haag.
PENJELASAN LEBIH JAUH MENGENAI PONDOK
Pasca-Perang Padri dan Perang Jawa, ulama semakin menjauh dari keraton.
Alih-alih membuat lembaga-lembaga Islam mengalami penurunan, aneksasi
Jawa secara keseluruhan sebenarnya terbukti membawa berkah bagi wilayah
perdikan. Status perdikan dilindungi dan diabsahkan oleh kolonial. Juga sangat
mungkin bahwa independensi sebagian ulama meningkat sesudah dimulainya
Sistem Tanam Paksa pada 1830.30 Meskipun memaksa banyak petani menanam
tanaman niaga, seperti tebu, nila, dan kopi untuk negara, tanam paksa juga
memungkinkan sekelompok minoritas untuk menjadi pemilik tanah yang
luas; termasuk para guru agama dan orang-orang tanggungan mereka yang
mampu mempertahankan (atau memalsukan) status bebas pajak mereka.
Pada 1855 seorang pengamat Belanda mencatat bahwa banyak
kompleks perdikan bisa dikatakan “termasuk yang paling baik, paling kaya,
dan berpenduduk paling banyak” di Jawa. Seorang misionaris lain menunjuk
pertumbuhan desa-desa perdikan sebagai penyebab utama Islamisasi Jawa
secara berkelanjutan. Pandangan ini didukung oleh survei yang dilaksanakan
pada 1882, yang mendaftar keberadaan sekitar 244 perdikan dengan “wilayah
sakral” yang kerap menikmati akses tak terbatas terhadap perdagangan kopi.
Dampak lain kekuasaan Belanda yang menguntungkan yaitu
terbukanya jaringan komunikasi. Jalan Raya Pos, yang diselesaikan pada 1808
dan jalan-jalan pendukungnya menjadi sarana para santri untuk berpindah
dari satu pondok ke pondok yang baru serta sarana para penilik Belanda untuk
mengawasi perkebunan. Pada akhir 1840-an pondok-pondok yang terletak
di sekitar kota-kota perdagangan utama menjadi simpul-simpul penting
pertukaran intelektual. Dari sini para murid dengan tingkat pendidikan lebih
tinggi bisa pergi ke pelabuhan-pelabuhan yang lebih besar dan memanfaatkan
kehadiran lebih banyak cendekiawan Arab. Dua tujuan utama dalam jaringan
ini yaitu Surabaya, tempat klan Habsyi bisa dijumpai, dan Singapura,
tempat tinggal ‘Abd al-Rahman al-Saqqaf dan Salim b. Sumayr yang kitab
pengantarnya, Safinat al-najah (Perahu Keselamatan), populer di kawasan ini.
Kita sekarang juga mulai mengidentifikasi para tokoh Jawi kunci yang
aktif di simpul-simpul ini . Tokoh termasyhur pada pertengahan abad
barangkali yaitu Kiai ‘Ubayda. Guru ini mengklaim sebagai keturunan
Sunan Ampel dan memimpin sebuah pesantren di Sidosremo, dekat Surabaya.
Sementara itu, banyak rekan sezamannya yang menonjol di Mekah. Mereka
ini termasuk Junayd dari Batavia dan Zahid dari Solo (yang seguru dengan
Diponegoro), serta seorang cendekiawan lain yang lebih tua dan memperoleh
pujian universal, yaitu ‘Abd al-Ghani dari Bima, Sumbawa. ‘Abd al-Ghani
dikenal sebagai murid ‘Abd al-Samad al-Falimbani. Dia mengkhususkan diri
dalam pengajaran fikih di Malaya dan masih dikenang dengan penuh cinta
pada 1880-an, nyaris sebagai wali dan guru terkemuka bagi seluruh generasi
cendekiawan Jawi.
Terdapat banyak cendekiawan semacam ‘Abd al-Ghani yang dikenal
isebab ajaran mereka, namun hanya sedikit yang tersisa dari kontribusi
individual yang mereka berikan pada literatur pesantren Jawa yang mungkin
menandingi karya-karya terjemahan yang dibuat untuk tanah Melayu oleh al-
Falimbani, Arsyad al-Banjari, atau Da’ud al-Fatani.35 Meski begitu, beberapa
orang Jawa yang sezaman dengan Syekh Da’ud membuat tulisan dengan niat
serupa, termasuk orang-orang Jawa yang menjadi rival Ahmad Rifa’i dari
Kalisalak (alias Ripangi, 1786–1875) dan Asy’ari dari Kaliwungu, Kendal.
Putra pejabat senior masjid (penghulu) Kendal, Rifa’i, pergi ke Mekah pada
akhir Perang Jawa. Dia mengikuti teladan Aceh dan Mekah, menghasilkan
pengerjaan ulang teks-teks Syafi’i dari sekitar 1837, sebelum kembali untuk
mendirikan sekolahnya sekitar 1839.36 Asy’ari juga aktif belajar di Semarang
dan Terboyo, kemudian menghabiskan tujuh tahun di Aceh. Di sanalah dia
kali pertama membaca karya Melayu yang menjadi dasar karya dasarnya,
Masa’ila (Pertanyaan-Pertanyaan), yang akan tetap digunakan di Jawa hingga
1890-an.
Juga terdapat beberapa catatan dari 1880-an mengenai Kiai Hajji
Hamim dari Gadu Pesing, yang mengkhususkan diri dalam menerjemahkan
karya-karya berbahasa Arab. Namun, kenangan mengenai dirinya sudah
memudar jika dibandingkan kenangan mengenai Salih dari Darat, Semarang
(1820–1904), yang mempromosikan Hikam karya Ibn ‘Ata’ Allah versinya
sendiri, serta beberapa bagian Ihya’ ‘ulum al-din karya al-Ghazali.38 Salih,
putra pendukung Diponegoro yang lain, konon juga memiliki kaitan dengan
warisan al-Falimbani melalui kakeknya.39 Dengan demikian, ulama Jawa ini,
sembari menjaga jarak dari Belanda, terlibat secara aktif dalam menganotasi
fikih untuk konstituen lokal mereka. Namun, kontribusi mereka baru muncul
di percetakan pada masa lebih belakangan dibandingkan karya orang-orang
Melayu yang sezaman, dan cenderung kalah pamor dibandingkan karya-
karya berbahasa Arab yang dihasilkan oleh cendekiawan-cendekiawan Arab
yang berada di tengah-tengah mereka dan, serta oleh rekan sesama Jawi
mereka yang bermukim di Mekah. Situasi semacam itu disinggung dalam
memoar seorang mualaf Kristen, Kartawidjaja dari Cirebon (1849–1914),
yang mendaftar beragam karya yang rencananya akan dia pelajari pada awal
1860-an di Pesantren Babakan, dekat Cirebon. Karya-karya meliputi Safina
karya Bin Sumayr dan beberapa judul yang disusun oleh para guru di Mekah
dan Semarang, tempat para siswa terbaik dari Jawa Barat dan Tengah dikirim
orangtua untuk menjadi santri atau kadang pergi haji.
POPULARISASI TAREKAT LEBIH LANJUT: SEKITAR 1850–1890
Pertumbuhan pesantren dan pelucutan elite priayi dari kekuasaan bisa jadi
membantu fragmentasi hegemoni Syattari “Karang” yang sudah berlangsung
lama. Kartawidjaja muda mengklaim bahwa dia bergabung dengan sebuah
tarekat Sufi di Babakan, meski dia keliru menggolongkan risalah-risalah
dogmatis karya al-Samarqandi dan al-Sanusi sebagai karya mistisisme.
Dia juga mengelompokkan puisi mistis sebagai ciptaan Wali Sanga, yang
digambarkannya sebagai para penyangkal akhirat. Tentu saja saat menuliskan
memoarnya, Kartawidjaja hanya punya sedikit waktu untuk para santri dan
haji. Namun, dia tetap menghormati para Sufi, yang “jalan hidupnya lebih
baik daripada yang lain”, dan menegaskan bahwa tiga kelompok mereka ada
di Jawa: Naqsyabandiyyah (yang diyakininya dipimpin di Mekah oleh ‘Abd
al-Qadir dari Semarang, jika bukan oleh sang wali ‘Abd al-Qadir al-Jilani
sendiri [lihat di bawah]), Syattariyyah, dan “Tarek Moehamaddia” (yang dia
pikir merupakan bikinan Wali Sanga).
Kartawidjaja benar mengenai adanya persaingan tiga pihak di kalangan
Sufi Jawa, meski patut diingat bahwa beberapa pesantren tertutup bagi
ketiganya. Penghindaran ajaran tarekat yaitu sebuah ciri mencolok pesantren
‘Ubayda. Namun, kadang terdapat hubungan yang kabur isebab para guru
tarekat, terutama mereka yang baru kembali dari Mekah, berusaha meyakinkan
calon murid pesantren dengan menekankan ketepatan metode mereka dan
mengklaim persetujuan dari penguasa Kota Suci. Naqsyabandiyyah tentu saja
tidak dipimpin oleh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, seperti yang keliru dipikirkan
Kartawidjaja, namun sebagian dari syekh-syekhnya biasanya memandang wali
ini sebagai seorang mediator utama dalam ritual-ritual mereka. Mereka
menekankan bahwa ritual-ritual ini lebih sering dipraktikkan di Mekah
ketimbang ritual Syattariyyah. Juga terdapat beberapa petunjuk bahwa sebagian
guru Naqsyabandi, yang membanggakan silsilah yang terentang ke belakang
hingga Khalifah Abu Bakr dan tampaknya sangat sukses dengan sebuah kelas
pedagang yang kaya, menghadapi penentangan dari jaringan perdikan-priayi,
sebagaimana mereka sudah dan akan, menghadapi perlawanan di tempat-
tempat lain di Nusantara. Pada 1855, misalnya, seorang “J.L.V.”, pengamat
yang telah menulis kekayaan desa-desa perdikan, menggambarkan dampak
“para imam” tertentu yang telah mengunjungi Mekah, sebagai berikut.
Tersebar di antara orang-orang, terlebih di beberapa desa yang berdekatan,
ditemukan sekte yang mengikuti ajaran aboe bakar, seorang murid mohammad,
yang menyimpang dari Mohammedanisme biasa dalam praktik-praktiknya.
Mereka dikenang di kalangan orang lain dengan nama “doel”, yang maknanya
tidak jelas bagi kita. Kita kerap mendapati sekte ini di bagian-bagian lain Jawa;
mereka memiliki imam-imam sendiri dan tidak terlalu dihormati para imam
Islam yang sebenarnya. Kita melihat mereka memiliki ikatan yang sangat kuat,
dan wilayah utama yang membuat mereka berbeda dari Mohammedan biasa
yaitu pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu yang hanya diketahui
mereka, agar mereka tidak diganggu atau ditekan oleh pemerintah Pribumi.
Mereka berkumpul, lelaki dan perempuan, menyibukkan diri dengan bernyanyi
sesuai irama sejenis drum pribumi yang disebut “rebana”, dengan terus-
menerus berseru “La il Allah Illalah!” dan menggerakkan tubuh bagian atas
maju-mundur, sampai sebagian besar mereka memasuki keadaan mabuk atau
sangat gembira, melompat ke kiri dan kanan, merangkak, duduk, berbaring,
dengan guncangan-guncangan kuat dan gerakan-gerakan bingung, kemudian
mereka akhirnya jatuh pingsan. Selama itu, lelaki dan perempuan—bahkan
yang paling tua, yang kadang kesulitan untuk berdiri—bergiliran menari
dengan cara pribumi (tandak). Mereka yang jatuh pingsan dianggap beruntung
isebab dalam kesempatan inilah mereka mendapatkan visi akan Tuhan. Mereka
dibaringkan di pinggir, dan dilumuri dengan sejenis air kuning dari kunyit.
Perlahan-lahan mereka kemudian sadar dalam keadaan sangat kelelahan, dan
berusaha mulai lagi dari awal.
sesudah mengesampingkan praktik-praktik mereka, sang pengamat
kemudian menggambarkan bagaimana mereka dipandang oleh pihak-pihak
“ortodoks” tertentu:
Sekte ini semakin menyebar ke seluruh populasi, meskipun pertemuan-
pertemuannya, sebagaimana digambarkan di atas, sangatlah jarang. Kebencian,
yang dipelihara oleh para pemimpin dan imam Islam ortodoks terhadap kelompok-
kelompok menyimpang ini, mengakibatkan mereka tidak dipandang terhormat
oleh semua orang ... jika mereka dicurigai melakukan satu atau lain hal yang
bertentangan dengan tatanan yang berlaku, hal itu akan sangat cepat diketahui
dan tak akan berhasil. Dalam hal-hal lain, perilaku mereka tidaklah menonjol dan
tidak terlalu aneh sehingga pemerintah Eropa membiarkan mereka dan sekadar
mengawasi aktivitas mereka. Belakangan ini, banyak dari mereka yang beralih ke
Islam ortodoks sehingga perlahan-lahan punah dan tidak lagi ada.
Misionaris Samuel Eliza Harthoorn (1831–83) juga menunjuk pada
keberadaan sebuah sekte di Malang, Jawa Timur, yang secara mengejek disebut
pasek dul atau “Dul yang penuh dosa”. Sekte-sekte semacam itu dikaitkan
dengan Wong Birai yang antinomi, yang digambarkan dalam Serat Centhini
sebagai peserta dalam perkumpulan-perkumpulan orgy, dan dengan seorang
guru Arab bernama ‘Abd al-Malik yang dimakamkan di Mantingan, dekat
Jepara. Sementara identifikasi dengan ‘Abd al-Malik tampaknya mungkin,
kolega Harthoorn, Carel Poensen (1836–1919), secara eksplisit memisahkan
Wong Birai (yang disebutnya Santri Birai) dari Dul yang sektarian, meski
dia mengklaim bahwa mereka sama-sama dianggap sebagai ahli bidah.
Bagaimanapun, kaum Naqsyabandi di sekitar Madiun barangkali yaitu
orang Jawa pertama yang mulai melabeli para tetangga mereka yang tak taat
aturan sebagai wong abangan, berkebalikan dengan diri mereka sendiri kaum
putihan yang benar-benar tanpa noda.
Meski terdapat permusuhan dan harapan yang jelas dari para pengamat
semacam itu pada pertengahan abad, Naqsyabandiyyah akan berkembang
pesat pada pengujung abad sebagai kaum putihan Jawa yang berpengaruh.
Kadang mereka berhasil demikian di wilayah-wilayah tempat para bupati
sendiri aktif dalam melakukan haji dan mendorong pelaksanaannya kepada
warga mereka. Namun, meski bisa dibuat sebuah kaitan antara meningkatnya
minat rakyat terhadap Islam dan kemunculan Naqsyabandiyyah di Jawa,
kemungkinan kecil bahwa mereka ini yaitu kelompok yang sama yang
barangkali mulai menerobos masuk ke Sumatra Barat pada 1820-an melalui
Syekh Da’ud dari Sunur.
Sebaliknya, sebuah upaya perumusan ulang tarekat ini, yang dirintis oleh
tokoh yang lama bermukim di Bagdad dan Damaskus, Khalid al-Syahrazuri
al-Kurdi (1776–1827), menerima dimensi yang kian populis di kawasan
Timur Arab. Hal ini terjadi sebagiannya isebab perumusan ulang ini
menawarkan jalur yang lebih singkat menuju pencerahan. Pastinya upaya itu
menarik redaktur dan murid Da’ud, Isma‘il al-Minankabawi.
Dilahirkan di Kurdistan Irak, Khalid tengah menjalani pencarian
spiritual di Mekah saat kota itu jatuh ke tangan Wahhabi untuk kali kedua.
sesudah menjalin hubungan dengan seorang guru India di Madinah, dia
mengembara ke anak benua pada 1809. Sekembalinya ke Irak pada 1811,
Khalid menawarkan ajaran-ajaran Naqsyabandiyyah versinya sendiri kepada
para muridnya. Dikenal sebagai Khalidiyyah, versinya itu menonjol isebab
klaim sebagai praksis yang paling setia terhadap amalan para sahabat pertama
Nabi.
Sejalan dengan itu, Khalid kadang menyebut jalurnya sebagai Siddiqiyyah,
mengikuti nama Abu Bakr al-Siddiq, sebuah kaitan yang disinggung dalam
pengamatan Belanda yang merendahkan di atas.46 Pada akhirnya, dia akan
dikenal terutama isebab beberapa teknik baru yang menambahi praktik-
praktik Mujaddidi yang lebih tua berupa memusatkan perhatian pada latifah-
latifah, apa yang disebut sebagai “seluk-beluk” yang terhubung dengan
titik-titik penting dalam tubuh. Di antara inovasi Mawlana Khalid yaitu
khalwah atau “penarikan diri” (dalam bahasa Melayu dikenal sebagai suluk),
dan rabitah, atau “hubungan” yang terbentuk antara hati murid yang cakap
dan hati sang syekh, yang citranya harus dibayangkan selama dzikr melalui
konsentrasi penuh.
Praktik-praktik demikian memunculkan kontroversi di dalam dan di
luar lingkaran Naqsyabandi, terutama saat Khalid bersikeras agar para
pengikutnya hanya membayangkan citranya. Namun, tak bisa disangkal
bahwa metode-metodenya berhasil memopulerkan tarekat ini, sebagian
dibantu oleh kaitannya dengan klaim Utsmani yang sedang bangkit terhadap
perlindungan atas dunia Islam yang lebih luas. Pada 1840-an salah seorang
wakilnya dari Sulaymaniyyah aktif merekrut anggota di Mekah, dan pada
1867 pewaris terpentingnya di Suriah diundang untuk mendirikan pondok
permanen di sana.48 Lokasi pasti pusat Sufi yaitu di bukit bernama Jabal Abi
Qubays, yang sudah menjadi lokasi beberapa pondok.
Pada 1870-an kunjungan kepada tokoh-tokoh Khalidi seperti Sulayman
Afandi (alias Sulayman Pasha atau Sulayman Zuhdi) kelahiran Dagestan akan
menjadi bagian penting dalam perjalanan ke Mekah bagi banyak Jawi. Sebagai
konsekuensinya, Khalidiyyah menemukan ruang dalam jejaring pesantren
dan istana-istana Jawi yang ada. Bisa dikatakan bahwa mereka telah menjadi
ortodoksi Mekah yang baru. Pada awal 1880-an terdapat kekhawatiran di
keraton Surakarta saat disadari bahwa para pangeran sendiri tidak kebal
terhadap argumen-argumen mereka.
Agen dalam insiden ini yaitu ‘Abd al-Qadir dari Semarang, yang
memulai kariernya sebagai dai di masjid utama kota ini , dan yang
dikacaukan Kartawidjaja sebagai ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Dia menjadi
wakil Khalidiyyah yang aktif saat berada di Mekah untuk haji keduanya,
kemudian kembali ke Semarang sebagai imam terkemuka di sana dan mulai
menunjuk wakil-wakilnya sendiri. Pada 1881 dia pergi ke Solo,