Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 3

 


2) dengan terjemahan 

antarbaris yang tidak lengkap.

Sebaliknya, buku catatan kebanyakan murid jauh lebih penuh sesak. 

Anotasi kata-per-kata yang dilafalkan oleh sang guru kerap berdesakan dengan 

penjelasan lebih panjang di bagian pinggir mengenai pentingnya sebuah istilah 

atau gagasan tertentu. Kelaziman yang terjadi dalam buku-buku semacam ini 

yaitu  pernyataan bahwa Islam tidaklah lengkap tanpa memberi perhatian 

pada dimensi batin, dan sebuah peringatan bahwa pengetahuan mengenai 

realitas sejati harus dicari oleh semua orang. Begitu pula berbagai pemikiran 

yang dihubungkan kepada Ibn al-‘Arabi yang melanjutkan tradisi yang 

dipopulerkan oleh al-Fansuri dan Syams al-Din, dan kemudian dimoderatkan 

oleh ‘Abd al-Ra’uf.

Diskusi mistis mengenai hubungan antara “batin” dan “lahir” merupakan 

sesuatu yang ajek dalam sejarah Islam. Namun, kita perlu menekankan 

bahwa menghubungkan wacana semacam itu dengan aktivisme tarekat 

hanyalah dugaan sejarah yang tidak didasarkan bukti kuat. Penyebutan 

topik-topik ini  secara umum harus dipahami dalam wacana yang lebih 

luas mengenai ajaran etis, yang lazim disebut sebagai akhlaq. Meskipun kita 

mendapati beragam pengetahuan rahasia dalam buku-buku pegangan siswa, 

kadang disandingkan kutipan-kutipan dari Imam ‘Ali atau Ibn al-‘Arabi, hal 

ini jarang sekali bisa dilacak pada sebuah silsilah yang bisa dibuktikan atau 

bahkan dalam arti umum kepada para tokoh Jawi di kalangan muhaqqiqin.

   di atas melemahkan pernyataan yang lazim bahwa Islam 

Indonesia pada abad kedelapan belas hakikatnya yaitu  Sufisme tarekat. 

Namun, bukti yang ada memberikan ruang kepada kita untuk menyatakan 

bahwa baiat minoritas yang menonjol pada saat itu terhadap seorang syekh 

Sufi tertentu bergantung pada apa yang diyakini sebagai klaim sang syekh 

terhadap ortodoksi dan hubungannya dengan Mekah. Lagi pula, Sufisme 

hanya bisa diakses oleh sekelompok elite sehingga wajar jika dalam lingkaran-

lingkaran tarekat terdapat persaingan untuk masuk ke dalam elite ini  

dan untuk memiliki jubah sang guru asli. Pakubuwana IV barangkali tidak 

menyaksikan tantangan Sammani terhadap ajaran Karang pada akhir 1780-

an, namun  ada lebih dari cukup pengikut Syattari untuk berbagi warisan ‘Abd 

al-Muhyi. Lagi pula, perdebatan sering kali lebih bercorak politis ketimbang 

doktrinal.

Berbagai koleksi manuskrip saat ini menunjukkan fakta bahwa banyak 

orang Jawa tetap berbaiat pada Syattariyyah dan menggunakan teks-teks 

terkait seperti Tarjuman karya al-Sinkili serta Tuhfa karya al-Burhanpuri. 

Ajaran Melayu “Karang” yang lebih tua juga tetap mendapatkan dukungan 

di Jawa hingga beberapa lama melalui berbagai silsilah dan dalam aneka 

bentuk. Namun, kadang-kadang berbagai penafsiran dan persaingan bisa 

menimbulkan sempalan-sempalan baru yang lebih terhubung dengan berbagai 

mitos Wali Sanga ketimbang dengan Arabi via ‘Abd al-Muhyi (lihat Bab 8). 

Sebuah contoh silsilah ‘Abd al-Muhyi yang lebih bisa diverifikasi berlanjut 

melalui Bagus Nur Zayn dari Cirebon, dan dari sana ke putra-putranya. Jalur 

yang lain mengarah ke dua guru Batavia, Anak Tong dan Baba Jainan, yang 

pada gilirannya akan disusul oleh dua orang Syattari penutur bahasa Melayu 

yang bermukim di kota itu selama kekuasaan peralihan Inggris pada 1811–16. 

Mereka yaitu  Enci’ Baba Salihin dan Hazib Sa‘id dari Matraman, keduanya 

mantan murid Hajji Nur Ahmad Awaneh dari Tegal.

Bagaimana persisnya seorang mukmin berbaiat kepada seorang guru 

Syattari seperti Bagus Anom? Kita bisa merujuk pada instruksi yang ditulis 

untuk seorang syekh dalam sebuah buku panduan yang dicetak di Singapura 

pada 1877:

Mintalah orang untuk bertobat dari dosa-dosanya dan peganglah tangan semua 

yang hadir. Suruhlah sang murid menyentuhkan tangan ke tanah dan sesudah nya 

sang syekh meletakkan tangannya di atas tangan si murid. Kemudian, sang syekh 

membaca [dalam bahasa Arab]: Aku berlindung dari setan yang terkutuk. Bahwa 

orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka 

hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka 

maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar atas (janji) 

sendiri; dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, Dia akan memberinya 

pahala yang besar. [QS. 48:10] Kemudian, sang syekh berkata: Ya Allah, aku 

rela Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, Al-

Quran sebagai tuntunan, Kakbah sebagai kiblat, Tuan Syekh sebagai syekh, guru 

dan pembimbing kami, dan para fakir yang mengikuti[nya] sebagai saudara. Aku 

punya hak dan kewajiban yang sama seperti mereka. Ketaatan menyatukan kami, 

ketidaktaatan menceraikan kami.

Baiat yaitu  sebuah pengukuhan yang membuat syekh dan murid 

menyatu dalam sebuah kontinum hubungan yang terentang hingga pribadi 

Nabi Muhammad. Baiat memberikan akses terhadap pengetahuan mengenai 

yang Ilahiah kepada murid yang membaiatkan kesetiaan total kepada 

sang syekh. Secara teoretis, individu yang telah mencapai visi mengenai 

Tuhan yang disahihkan oleh syekhnya dapat memimpin upacara dzikr atau 

bertindak sebagai wakilnya, yang diizinkan untuk memberikan petunjuk dan 

berwenang menerima murid-murid baru dengan sebuah lisensi (ijazah) yang 

menguraikan silsilahnya. Sebagaimana telah dijelaskan, otoritas dalam tarekat 

sangat bergantung pada silsilah. Kitab panduan abad kesembilan belas yang 

dikutip di atas, misalnya, memasukkan silsilah “Syaytari” [sic] yang diwariskan 

dari pengarang Melayu dan pengikut ‘Abd al-Samad, Da’ud b. ‘Abdallah dari 

Patani, yang berlanjut ke belakang melalui klan Tahir dari Aceh hingga al-

Qusyasyi.

Walaupun begitu, bagi kebanyakan Sufi, keikutsertaan dalam sebuah 

tarekat jarang berarti lebih dari mempelajari aturan-aturan tarekat ini , 

mengikuti dzikr bersama, dan membaca wirid. Yang sangat populer yaitu  

perayaan-perayaan yang dikenal sebagai mawlid dan hawl, memperingati 

ulang tahun (kelahiran, kematian, atau keduanya) Nabi dan seorang wali 

tertentu. Tapi, apa makna bagi para individu melakukan baiat semacam itu 

dan menempatkan diri mereka dalam sebuah garis transmisi? Meskipun ini 

pertanyaan yang sulit, dalam berbagai teks terdapat petunjuk mengenai apa 

yang diharap akan dirasakan oleh individu. Pada 27 Agustus 1810 Hazib 

Sa‘id menyelesaikan studinya di bawah bimbingan Nur Ahmad dari Tegal 

dan diberi lisensi untuk menyampaikan ajaran-ajarannya kepada orang lain. 

sesudah  menyamakan baiatnya kepada sang syekh dengan janji setia kepada 

Tuhan—seperti yang diperintahkan dalam buku panduan Syattari yang 

dikutip di atas—Hazib Sa‘id menyalin sebuah pernyataan, pertama dalam 

bahasa Arab dan kemudian pernyataan yang serupa (namun  tidak persis) dalam 

bahasa Melayu, menegaskan berlanjutnya hubungan antara guru dan murid. 

Sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan yang berbahasa Melayu:

Aku rela dengan Tuhan Allah dan aku rela dengan Nabi Muhammad yang 

perintahnya kuikuti sejak kehidupan ini hingga akhirat. Aku rela Islam sebagai 

agamaku dan Al-Quran yang hukumnya kuikuti. Aku rela Kakbah sebagai 

kiblatku untuk kuhadapi dengan dadaku. Aku rela untuk mengarahkan hatiku 

kepada Allah Yang Mahakuasa. Aku rela isebab  ruhku memuji Allah, dan aku 

rela isebab  indraku mendapat izin dari Allah Yang Mahakuasa, dan aku rela 

orang yang mengajariku menjadi guruku. 

Dari panduan berbahasa Melayu-Jawa, jelaslah bahwa Hazib Sa‘id dan 

Baba Salihin menyelesaikan program yang sama. Keduanya juga memiliki 

silsilah yang menyebut-nyebut Hamza al-Fansuri, meskipun hanya dalam 

konteks pernyataan bahwa ‘Abd al-Ra’uf dari Singkel tergolong dalam 

kelompok orang “Jawi” yang sama.42 Pertanyaan apakah Hazib Sa‘id dan 

Baba Salihin menganggap diri mereka sebagai bagian dari orang-orang ini 

sulit untuk dijawab, dan sama sekali tidak jelas bahwa para guru ini , atau 

murid-murid mereka, mewakili orang beriman pada umumnya di Jawa abad 

kesembilan belas. Dengan mengingat pembatasan ini, kita perlu memikirkan 

cara-cara komunitas Islam dikomunikasikan di luar konteks elite para syekh 

tarekat dan sekolah-sekolah yang baru muncul yang kadang mereka bina.

MENUJU SEBUAH PUBLIK MUSLIM?

Sudah dijelaskan bahwa ruang publik muslim modern mengakar pada 

berbagai kelompok sosial dan gerakan populer yang lebih awal, termasuk 

pada apa yang sekarang disebut persaudaraan Sufi “internasional”. Berbagai 

tradisi Islam, seperti shalat berjemaah, hidangan syukuran, dan ziarah pada 

makam para wali, menyebar dalam sangat banyak cara. Tradisi lainnya 

yang juga lazim yaitu  minat terhadap kisah-kisah para nabi dan wali, yang 

dituturkan kepada para pendengar yang tertarik terhadap tafsir Al-Quran 

dalam bentuk mistisnya. Dalam hal ini pula telah dijelaskan bahwa sastra 

Melayu klasik dipenuhi perumpamaan Sufi, dan bahwa catatan-catatan 

semisal Hikayat Muhammad Hanafiyya harus dibaca sebagai uraian alegoris 

mengenai mistisisme Wujudi.

Meskipun hikayat-hikayat lokal terbukti menyerap banyak ajaran Sufi, 

patut diragukan bahwa sebagian besar pendengarnya dapat memahami pesan-

pesannya yang tersembunyi. Puisi mistis al-Fansuri dan kisah para pahlawan 

Islam pasti diminati, terutama kisah kehidupan Nabi Muhammad. Puisi-puisi 

pujian seperti Burdah (Selendang) karya al-Busiri (w. sekitar 1296) sangat 

populer, sama halnya dengan teks-teks mengenai kelahiran Nabi karya Ibn 

al-Dayba‘i (1461–1537) dan Ja‘far al-Barzanji (1690–1764). Banyak yang 

meyakini bahwa Nabi Muhammad turut hadir bersama para pendengar 

manakala teks-teks itu dibacakan. Kebenaran keyakinan ini  masih 

menjadi perdebatan teologis. Yang jelas, perilaku sebagian besar yang hadir 

cukup mengganggu kaum puritan. Mereka mengeluhkan bahwa banyak Jawi 

hanya datang untuk merokok, menonton pertunjukan wayang yang diadakan 

bersamaan, atau sekadar berjalan-jalan.

Diduga teks yang paling populer yaitu  Isra’ wa-mi‘raj al-nabi, yang 

berkisah tentang Nabi Muhammad menaiki binatang ajaib terbang menembus 

tujuh langit dan bertemu Allah, yang mengizinkan dia berada sejauh “dua ujung 

busur” dari ‘arasy. Kisah ini yaitu  rujukan tak langsung bagi jarak mistis yang 

disebut oleh al-Burhanpuri, namun  kebanyakan pendengar umumnya sekadar 

menikmati drama petualangan ini . Mi‘raj cenderung dibesar-besarkan 

dalam karya-karya utama lainnya, seperti Yawaqit karya al-Sha‘rani dan 

karya heterodoks berbahasa Jawa Kitab Usulbiyya, tempat Nabi Muhammad 

disebutkan bertanya kepada Allah apakah dia boleh duduk di atas ‘arasy. 

Kisah-kisah tambahan seperti itu pada akhirnya akan kurang disukai isebab  

banyak pembaca lebih memilih untuk mencari kisah yang asli. Pada awal abad 

kedua puluh seorang mantan santri mengamati bahwa Mi‘raj sangat populer 

di kalangan teman-temannya isebab  di dalamnya dijelaskan secara ringkas 

kewajiban-kewajiban dasar Islam melalui dialog antara Nabi Muhammad dan 

Nabi Musa. Namun, apa pun yang dilakukan para pendengar Jawi terhadap 

puisi-puisi Sufi, Mi‘raj, atau sejarah dinasti mereka sendiri, jelaslah bahwa 

mereka selalu mengikuti perkembangan terkini di dunia Islam yang lebih 

luas, tempat mereka merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan.

sesudah  mempertanyakan kekunoan pesantren dan penyebaran tarekat pada 

masa-masa awal, bab ini mencari tanda-tanda fenomena ini  di tempat-

tempat seperti Sulawesi, tempat ditemukan bukti mengenai Khalwatiyyah. Juga 

Jawa, yang pada akhirnya didominasi oleh para guru Syattari yang mengklaim 

sebagai pewaris Karangnunggal. Kita kemudian memeriksa kecenderungan 

yang terjadi pada abad kedelapan belas; yaitu, sebuah reaksi (Kairo) terhadap 

popularitas muhaqqiqin yang berorientasi Madinah yang meletakkan fondasi 

bagi kurikulum Islam standar di Asia Tenggara. Hal ini jelas terlihat di 

pelabuhan Palembang yang kaya, tempat tarekat Sammaniyyah memainkan 

peranannya dalam mengembangkan dan memperbaiki kecendekiawanan Sufi. 

Namun, sekali lagi penekanan ditujukan pada pembatasan akses terhadap 

risalah-risalah filosofis yang muskil bagi orang-orang terpilih dan mencegah 

persebaran teks-teks lebih awal dan hikayat-hikayat sejenis yang populer, yang 

meski begitu terus didukung oleh orang-orang Melayu. 

Gambar 4. Imam Bonjol, sekitar 1848. Dari H.J.J.L. de Stuers, De vestiging en uitbreiding 

der Nederlanders ter westkust van Sumatra.

Tentu saja perubahan tidak langsung terjadi, jauh dari itu, dan bagian 

berikutnya dari bab ini berhenti sejenak untuk menjelaskan bagaimana para 

siswa bisa mengakses rangkaian teks yang membentuk jalur pendidikan 

Islami yang kian terbakukan, dan betapa banyak orang, meskipun berbagai 

peringatan dikeluarkan di istana, yang mengaitkan diri mereka pada sebuah 

tarekat, entah itu dari tradisi spekulatif yang lebih tua, atau terkait dengan 

gaya Sammani yang lebih baru. Sammaniyyah memang hanyalah sebuah 

alternatif, sebagaimana akan kita lihat dalam kisah yang mengelilingi tokoh-

tokoh kontroversial seperti Imam Bonjol dari Sumatra. 

Kita sekarang sudah melihat betapa, pada pengujung abad kedelapan belas, para cendekiawan Jawi terkemuka menjalin hubungan dengan wacana 

“Mekah” yang tengah bangkit yang menegaskan kembali norma-norma 

Ghazalian yang memisahkan hukum dan mistisme. Sebagiannya kemudian 

memungkinkan bentuk-bentuk Islam ortodoks, yang mewujud dalam 

madrasah, bagi kaum beriman yang terdidik, dan tarekat bagi kelompok 

terpilih. Mengingat langkanya informasi yang bisa diandalkan, kita harus 

menyimpulkan, setidaknya untuk saat ini, bahwa bentuk-bentuk semacam 

itu bukannya tidak ada atau sangat terbatas di tanah Jawi pada abad-abad 

sebelumnya. Untuk melaksanakan program mereka, para cendekiawan seperti 

al-Falimbani dan al-Banjari membutuhkan dukungan para pangeran yang 

kuat, baik untuk membiayai persinggahan mereka ke luar negeri atau untuk 

kesediaan mendengarkan pesan mereka sesudah  mereka kembali. Namun, 

Palembang dan Banjarmasin lebih merupakan pengecualian ketimbang 

kelaziman. 

Dalam banyak contoh lain, raja-raja pribumi terus terpinggirkan oleh 

kekuatan Eropa, khususnya di Jawa. Seperti yang sekarang akan kita lihat, 

penerapan berbagai rencana untuk mereformasi Islam di pulau-pulau itu segera 

terjerumus menjadi rencana dengan berbagai sumber kekayaan alternatif 

dan menghadapi beragam penafsiran liar yang berkobar di tengah ketiadaan 

pengawasan kerajaan. Banyak penulis memandang marginalisasi berbagai 

kelompok elite kerajaan sebagai sebuah gejala guncangan yang ditimbulkan 

oleh “modernisasi” atau “globalisasi”, namun  secara umum kita harus hati-hati 

dalam menerapkan istilah-istilah ini . Dan, istilah-istilah itu kian penuh 

tendensi jika diterapkan pada konteks abad kesembilan belas saat  sebagian 

orang mengacaukan kebangkitan gerakan-gerakan puritan dengan apa yang 

dianggap sebagai bentuk cikal bakal modernisme. Pencampuradukan ini 

merupakan produk sampingan yang anakronistis dari persekutuan para 

reformis awal abad kedua puluh dengan pihak yang sesekali menjadi sekutu 

mereka di wilayah yang sekarang menjadi Arab Saudi. Sekarang kita akan 

kembali ke Arabia.

GUNCANGAN WAHHABI

Ahmad b. Zayni Dahlan (1816–86) menulis pada 1880-an yang isinya 

menyesali perilaku tak terkendali orang-orang Jawi yang mendengarkan 

puisi-puisi al-Dayba‘i dalam sebuah fatwa yang disusun di Mekah serta 

menggambarkan dua malapetaka yang menimpa penguasa Utsmani, Sultan 

Selim III (berkuasa 1761–1808). Malapetaka pertama yaitu  invasi Prancis ke 

Mesir pada 1798. Invasi ini menurut Dahlan mempercepat malapetaka kedua, 

yaitu puncak ledakan besar “perselisihan” gerakan Wahhabi yang dimulai oleh 

Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab (1703–92). 

Menurut Dahlan, perang kali pertama meletus pada 1790–91 

sesudah  kegagalan Wahhabi melarang banyak praktik yang didukung oleh 

para pendahulu Dahlan. Pada dekade berikutnya Wahhabiyyah berhasil 

memperoleh baiat kesukuan dan, pada 1803, menyapu bersih Ta’if. Mekah 

saat itu sedang sibuk menuntaskan musim haji. sesudah  itu, orang-orang 

ditindas dan dihalang-halangi melakukan perbuatan-perbuatan yang 

menjurus politeistis seperti mencari perantaraan (tawassul) dari para wali atau 

mengunjungi makam mereka (ziyarah). Dahlan mencemooh sikap Ibn ‘Abd 

al-Wahhab dan mengklaim bahwa kedua praktik ini  disahkan dalam 

tradisi Kenabian. Dahlan mengajukan klaim ini  dengan mengutip 

guru Ibn ‘Abd al-Wahhab sendiri (juga guru al-Falimbani), Muhammad b. 

Sulayman al-Kurdi.1

Garnisun Wahhabi dapat dipukul mundur dari Mekah, tapi kisah belum 

berakhir. sesudah  perang-perang selanjutnya, Mekah kembali diduduki pada 

Februari 1806. Lalu, menyusul Madinah. Kedua kota ini  tetap di bawah 

pemerintahan Wahhabi selama tujuh tahun. Selama masa itu, kafilah-kafilah 

haji dari Suriah dan Mesir dihalang-halangi, konsumsi tembakau dilarang, 

dan penghancuran kubah di atas makam-makam wali dimulai. Selain itu, 

sebagaimana diingat dengan tajam oleh Dahlan, membaca Dala’il al-khayrat 

dengan nyaring juga dilarang.Dahlan kemudian menegaskan bahwa sesudah  

kemenangan gemilang Utsmani melawan kekuatan-kekuatan Kristen, raja 

muda Mesir, Muhammad ‘Ali Pasha (berkuasa 1805–48), diperintahkan 

mengokohkan kembali kendali Utsmani. Mekah berhasil direbut kembali 

pada 1813. Saat ini, berita mengenai kekejaman Wahhabi telah menyebar 

ke seluruh dunia Islam. Seseorang asal Madinah, yang menyebut dirinya 

keturunan Ahmad al-Qusyasyi, menyuguhi penguasa Bone dengan berbagai 

cerita mengenai betapa kaum Wahhabi memerintahkan semua kubah 


dihancurkan, kecuali kubah Nabi di Madinah dan kubah “Muhammad 

Badawi” di Mekah [sic].

Walaupun begitu, terdapat beberapa Jawi yang justru terbangkitkan 

semangatnya ketimbang khawatir oleh peristiwa-peristiwa ini , termasuk 

para anggota gerakan Padri yang mungkin menyaksikan pendudukan Mekah 

yang pertama. Sebagian kaum Padri, yang menyatakan diri sebagai “orang 

putihan” yang benar-benar taat, bisa jadi yaitu  simpatisan Wahhabi. Banyak 

hal yang mereka upayakan di Sumatra Barat, mulai dari melarang konsumsi 

alkohol dan candu hingga melarang penajaman gigi, pewarisan matrilineal, 

serta judi sabung ayam. Meskipun, upaya ini  bisa saja dilaksanakan oleh 

orang-orang saleh lainnya. Betapa pun, terdapat bukti mengenai gerakan 

yang sama kerasnya di Sumbawa pada sekitar masa itu, yang muncul sesudah  

malapetaka letusan Gunung Tambora pada 1815. Bahkan, para pemimpinnya 

masih dihormati sebagai wali pada 1847. Sungguh sebuah fakta yang akan 

menyinggung perasaan setiap Wahhabi kalau saja mereka ada di kawasan itu.

Ketimbang melihat kemunculan Wahhabi di Sumatra Barat, akan lebih 

berguna memahami gerakan Padri yang berkembang di lingkungan para 

cendekiawan dari tradisi Syattari, yang menolak otoritas para guru petahana 

yang berkedudukan di kota dataran rendah Ulakan. Kita mungkin ingat, 

kawasan ini yaitu  situs makam dan sekolah Syekh Burhan al-Din yang 

didirikan di wilayah kekuasaan istana Minangkabau. Istana ini  kini 

terpinggirkan dan cadangan emas aluvial yang menyokongnya sudah habis. 

Sementara itu gerakan Padri bersatu di sekitar Cangking, sebuah kota dataran 

tinggi yang menjadi kaya isebab  perniagaan kopi. Di sanalah, sesudah  beberapa 

konfrontasi yang penuh kekerasan, kaum Syattari pemberontak bisa dikatakan 

“merumuskan ulang” ajaran-ajaran mereka agar selaras dengan persaudaraan 

Naqsyabandiyyah yang lebih menonjol secara global.

Agak aneh isebab  sumber-sumber Belanda dari 1840-an menggambarkan 

kaum Padri membawa tasbih, yang merupakan aksesori para Sufi, bukan orang-

orang Wahhabi (lihat Gambar 4).6 Di sisi lain, yaitu  tindakan sembrono 

untuk memberikan perhatian berlebihan pada pengamatan Belanda awal, yang 

sangat sering diambil dari catatan para petugas lapangan atau dari perbincangan 

dengan para informan yang fungsi keagamaannya kerap disalahpahami 

oleh Belanda. Seorang cendekiawan penting dari 1840-an bergantung pada 

memoar Jenderal H.J.J.L. Ridder de Stuers (1788–1861), dilengkapi dengan 

wawancara dengan Tuanku Elok Kota Lawas, Angku Bendara Panjang dari 

Batipu di Baru, dan beberapa “pendeta”. berdasar  informasi semacam 

itu, Ridder de Stuers menulis mengenai perseteruan yang terjadi berdekade-

dekade sebelumnya antara propagandis Padri paling bersemangat, Tuanku 

Nan Rinceh (w. 1832), yang dalam serangan-serangannya bersandar pada 

“kitab suci fiqh” melawan mantan gurunya, tokoh Syattari Tuanku Nan Tua 

dari Kota Tua, Cangking (w. 1824), yang sejauh berkaitan dengannya konon 

telah membalas dengan “kitab tarekat” yang sama-sama anonim.

Walaupun begitu, mungkin saja memercayai rekonstruksi peristiwa-

peristiwa yang menyertai sebuah transisi dari tarekat yang terbatas menjadi 

tarekat yang mengklaim otoritas yang berakar pada praksis Mekah (jika bukan 

Wahhabi). Laporan utama mengenai perang ini , yang ditulis oleh Syekh 

Jalal al-Din Ahmad dari Samiang, Kota Tua, juga dikenal sebagai Faqih Saghir, 

mendukung skenario ini.8 Seorang juru bicara mendiang Tuanku Nan Tua, 

Jalal al-Din menjelaskan secara ringkas sebuah sejarah kontroversial mengenai 

reformisme yang diluncurkan oleh gurunya, yang ditampilkannya sebagai 

wali pewaris garis silsilah ‘Abd al-Qadir al-Jilani, yang telah memerintahkan 

‘Abd al-Ra’uf untuk mengislamkan Sumatra dan menyebarkan pengetahuan 

tarekat ke Ulakan. Namun, yang menarik, Jalal al-Din tidak menyebut 

Burhan al-Din, yang kerap dihubungkan dengan Islamisasi kawasan ini .

Perang kali pertama meletus saat  fatwa keras Nan Tua menentang 

perjudian dan konsumsi minuman keras ditolak oleh elite tradisional. Masjid 

serta sekolah Jalal al-Din dibakar sebagai tindakan balasan, yang mengundang 

pembalasan serupa dari kaum reformis. sesudah  itu, menurut Jalal al-Din, dia 

dan gurunya menyadari bahwa kekerasan tidaklah berguna dan berdamai 

dengan lawan-lawan mereka. Namun, perdamaian tidak bisa diterima oleh 

sebagian Tuanku yang lebih muda, yang terus membakari desa-desa lawan 

mereka dan membunuhi serta memperbudak penduduknya. Salah seorang 

penghasut yang menonjol yaitu  tokoh yang sudah disebutkan sebelumnya, 

Tuanku Nan Rinceh, yang berperan sebagai pelindung bagi salah seorang dari 

tiga haji yang konon menyaksikan pengambilalihan Mekah yang pertama 

dan mendorong kampanye menentang semua penyimpangan lokal. sesudah  

Tuanku Nan Rinceh dan rekan-rekannya mengejek perintah Nan Tua agar 

desa-desa dengan penduduk Muslim tidak dianiaya, delapan pemberontak 

muda terkemuka berusaha menemukan seorang imam baru untuk 

mengesahkan tindakan-tindakan mereka.

Sampai titik ini dalam penuturan Jalal al-Din, jalinan tak terucapkan yang 

tampaknya mengikat para Tuanku dari dataran tinggi yaitu  tarekat Syattari 

‘Abd al-Ra’uf. yaitu  ajaran-ajaran Syattari yang pura-pura dibela oleh para 

pendukung Nan Tua saat  para Tuanku pemberontak mengajukan juru bicara 

pesaing mereka, Tuanku Nan Salih. Ini bisa disimpulkan dari kenyataan bahwa 

Tuanku Nan Salih yaitu  putra dari seorang korban kampanye Nan Tua pada 

masa sebelumnya, yang dikenal bukan isebab  ketidaktaatannya, melainkan 

isebab  oposisinya terhadap ajaran Syattari dan pastinya otoritas Ulakan. 

Juga tampak bahwa Tuanku Nan Rinceh dalam kampanyenya yang berapi-

api itu diikuti oleh seorang Tuanku di Samani, yang namanya paling tidak 

menunjuk pada tren reformis yang lebih tua yang menyaingi Syattariyyah.

sesudah  sebuah perdebatan yang tidak tuntas Delapan Tuanku melanjutkan 

aksi mereka dengan kekuatan penuh (sejak sekitar 1815), membakar pusat 

Syattari di Paninjauan, membunuh putra Nan Tua, dan memaksa sang syekh 

yang sudah renta itu bersembunyi. Dia juga menyerahkan Jalal al-Din ke 

tangan Belanda, dan untuk merekalah dia menuliskan versinya (dan dengan 

demikian juga versi mereka) mengenai kisah ini.

Rujukan tak langsung lain terhadap pertempuran antara berbagai silsilah 

Sufi yang bersaing bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Syekh Da’ud dari 

Sunur (w. 1858), yang menuliskan sebuah serangan terhadap kaum Syattari 

sesudah  kekalahannya di tangan seorang syekh Lubuk Ipoh pada akhir 1820-an. 

Dalam traktat ini, yang kemungkinan ditulis sesudah  dia singgah di Arabia dan 

bermukim di kota pesisir Trumon, dia bicara mengenai keunggulan Islam yang 

dipraktikkan di Mekah dan Madinah—pada saat itu terlepas dari kekakuan 

fatwa Wahhabi—sembari mencatat bahwa doktrin martabat tujuh tidak lagi 

dipelajari di sana, seperti halnya dikecam di Kairo. Selain itu, sejalan dengan 

al-Falimbani, yang terjemahannya dia puji sembari mencela hikayat tradisional 

Melayu, dia menekankan karya-karya al-Ghazali dan Imam Nawawi.

Mengingat besarnya penentangan terhadap ajaran martabat tujuh, yang 

terkait erat dengan tradisi Syattari, apakah mungkin bahwa Tuanku Nan 

Salih atau Syekh Da’ud telah menjadi Naqsyabandi? Hanya sedikit bukti 

mengenai kehadiran Naqsyabandi di Sumatra Barat, meskipun keberadaan 

tarekat ini  semakin lazim di Asia Tenggara.13 Misalnya, ‘Abdallah b. 

‘Abd al-Qahhar mengajarkan ritual-ritual Naqsyabandi bersama dengan 

ritual Syattariyyah di Banten pada 1750-an dan 1760-an, dan nama ini  

dimunculkan dalam teks-teks seperti Sajarah Banten dan padanan Melayu-

nya Hikayat Hasan al-Din.14 Kita juga memiliki catatan mengenai Sultan Sufi 

dari Bone, yang kemungkinan besar merasa ngeri mendengar laporan-laporan 

mengenai kekejaman Wahhabi di Mekah dan memerintahkan penyalinan 

Al-Quran pada 1804 oleh seorang Makassar yang menyatakan diri sebagai 

“Naqsyabandi dalam hal tarekat”.

Dengan mengingat contoh-contoh semacam itu, sangatlah mungkin 

bahwa Tuanku Nan Salih dan Syekh Da’ud mewakili sebuah garis baru 

Naqsyabandi yang tumbuh dari konflik-konflik lokal Syattari. Berbagai upaya 

Naqsyabandi berikutnya untuk menjalin hubungan dengan tatanan Utsmani 

yang dipulihkan kembali pada 1820-an barangkali bisa menjelaskan adanya 

kesan bahwa Syekh Da’ud telah menganut mazhab fikih “Hanafi”, mengingat 

bahwa mazhab ini dominan di bawah kekuasaan Utsmani, dan didukung oleh 

tokoh-tokoh penting Naqsyabandi di Suriah. Para pengamat Eropa 1880-an 

pun mengklaim bahwa kaum Hanafi (yang keras) telah berhasil mendominasi 

Cangking, meski tulisan Syekh Da’ud sendiri tegas menyatakan bahwa dirinya 

seorang penganut mazhab Syafi‘i.

Kemudian, terdapat bukti mengenai murid-murid Da’ud. Di Trumon 

ada guru penguasa setempat, Raja Bujang (w. 1832/33) dan guru putra 

Faqih Saghir, Ahmad b. Jalal al-Din, yang kembali ke Cangking sebagai 

seorang Naqsyabandi pada 1860-an.17 Selain itu, bisa jadi Da’ud merupakan 

pembimbing Isma‘il dari Simabur (Fort van der Capellen), yang belakangan 

dikenal sebagai Isma‘il al-Minankabawi. Menurut B.J.O. Schrieke (1890–

1945), guru pertama Isma‘il terbunuh oleh “kaum Padri” dan dimakamkan 

di Solok. Namun, pada 1830-an, Isma‘il memelintir puisi Da’ud untuk 

menyerang syekh Lubuk Ipoh. Pada awal 1850-an dia aktif merekrut anggota 

Naqsyabandiyyah di Singapura, bahkan mengibarkan bendera Utsmani yang 

konon dibawanya dari Mekah.

Naqsyabandi atau bukan, berbagai perbedaan yang menopang konflik di 

Sumatra Barat akan diselesaikan dengan melibatkan Belanda yang memihak 

elite tradisional pada 1821. Hal ini menjadi latar bagi sebuah jihad di dataran 

tinggi melawan orang-orang asing. Sebelum Belanda bisa memulai operasi 

militer, kesadaran mengenai tidak bisa diandalkannya dukungan Inggris 

membuat mereka menuntut perdamaian pada 1824. Ini bukan berarti 

pertanda baik bagi kaum Padri, yang kehilangan jalur perniagaan mereka di 

pantai utara. Dengan dimulainya kembali peperangan sesudah  Perang Jawa 

(1825–30) usai, Belanda akan menghadapi sisa-sisa gerakan yang benar-benar 

membuat habis kekayaan. Bukti mengenai isolasi semacam itu jelas terlihat 

dalam kasus salah seorang pemimpin terakhirnya, Imam Bonjol (1772–1864), 

yang diyakini oleh Belanda telah mengirimkan emas kepada Raja Bujang 

untuk ditukar senjata. Namun, Raja Bujang kehilangan dukungan lokalnya 

dan meninggal pada 1831. 

Pada saat bersamaan Imam Bonjol mundur dari posisi garis kerasnya 

menentang penyimpangan lokal. Dinyatakan bahwa hal ini terjadi disebabkan 

oleh berita (sangat basi) mengenai kekalahan Wahhabiyyah, namun  kita 

sudah mendapati rujukan dalam laporan mengenai pasukan Bonjol yang 

melantunkan dzikr dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi sebelum 

kembalinya utusan yang dikirim ke Mekah. Dengan kekalahannya pada 1837, 

Belanda menyita setidaknya satu jilid yang menyatakan bahwa Bonjol selalu 

berminat pada eskatologi Sufi isebab  jilid itu memasukkan nukilan-nukilan 

dari Dala’il al-khayrat dan tulisan-tulisan al-Yafi‘i, serta nasihat al-Qusyasyi 

mengenai seberapa sering sebuah dzikr tertentu harus dibaca.

PERANG JAWA

Sejauh berkaitan dengan Belanda, mengalahkan tantangan kaum Padri 

harus ditunda saat  Jawa, jantung imperium Belanda di Asia, terancam 

oleh sebuah pemberontakan Islam dengan skala yang jauh lebih besar. Pada 

1825 putra mantan Sultan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro (sekitar 1785–

1855), mengumpulkan ribuan “orang putihan” yang sadar agama di pulau 

itu untuk melawan Belanda dan Sultan yang masih remaja. Terdapat banyak 

faktor yang mengakibatkan konflik ini, terutama penjarahan Yogyakarta 

oleh Inggris pada 1812, meningkatnya serbuan Belanda sesudah nya, dan 

pelembagaan pajak pertanian oleh orang-orang Tionghoa. Namun, tidaklah 

akurat mengklaim bahwa perlawanan itu didasarkan berpuluh-puluh tahun 

kebencian di pedesaan isebab  sesudah  perjanjian Giyanti 1755 sebagian besar 

wilayah pedesaan teramati damai. Hanya terjadi sedikit wabah penyakit dan 

populasi pun bertambah, begitu pula populasi kelas petani yang merdeka. 

Kesejahteraan ini mendukung bertambahnya jumlah sekolah, yang para 

gurunya kemungkinan besar sangat ingin agar lembaga mereka diklasifikasikan 

sebagai perdikan.

Pangeran Diponegoro sejak awal terkenal dengan kesalehannya. 

Kakek buyutnya yaitu  seorang guru agama (kiai) dari Sragen. Sebagian 

besar masa mudanya dihabiskan bersama putri sang guru, yang tanahnya 

di Tegalrejo dia warisi.Pangeran Diponegoro sangat suka menyendiri dan 

sering menghindari kewajibannya untuk hadir secara rutin di keraton. Dia 

sering mengunjungi pemakaman Imogiri, yang diklaimnya telah mengalami 

komunikasi mistis dengan Sunan Kalijaga. Sikapnya itu sama sekali tidak 

membuat sang pangeran tidak diterima di keraton. Usaha menjauh itu 

baru terjadi saat  dia secara sengaja menentang otoritas Belanda dengan 

menolak mengizinkan pembangunan jalan baru yang melewati tanahnya. 

sesudah  terjadi pertempuran kecil, Diponegoro mundur untuk menghimpun 

kekuatan. Ribuan orang bergabung dengannya, termasuk orang-orang Bugis 

dari Sulawesi. Pengikutnya yang paling menonjol berasal dari kalangan santri 

perdikan, di antara mereka yang terkemuka yaitu  Kiai Mojo dari Pajang 

(sekitar 1792–1849), guru putra Diponegoro.22 sesudah  meraih beberapa 

kemenangan, Diponegoro perlahan-lahan mulai tertekan. Salah satu pukulan 

utama terjadi pada November 1828 saat  Kiai Mojo ditangkap Belanda 

dan diasingkan ke Manado. Diponegoro akhirnya tertangkap pada 1830 dan 

dibuang ke Makassar.

Kekalahan Diponegoro membuat kerajaan di Jawa Tengah semakin 

terikat dalam kekuasaan Belanda dan menjauh dari pengaruh Islam yang 

eksplisit. Istana pesaing di Solo bahkan membuat olok-olok yang mengejek 

Diponegoro isebab  bergaul dengan “sampah” semisal kaum santri, dan 

sebagian cendekiawan sesudah nya kadang-kadang bisa disalahkan isebab  

memiliki asumsi bahwa keraton dan pesantren selalu bertentangan. Kiai Mojo 

bisa jadi kecewa sesudah  mengetahui bahwa, sesudah  mengibarkan bendera 

jihad, Diponegoro justru lebih tertarik untuk mendirikan sebuah negara. 

Namun, kepedulian mendalam sang pangeran terhadap Islam seperti yang 

ditanamkan oleh keluarganya, dan seorang guru Sufi awal yang mungkin 

berasal dari Sumatra, Kiai Taftayani, tidak bisa diabaikan. 

Tentu saja, kita tidak boleh mengasumsikan bahwa jihad yaitu  monopoli 

Wahhabi, atau terkejut isebab  buku catatan Diponegoro di Makassar memuat 

doa yang berkaitan dengan Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah. Seorang 

keturunan Diponegoro yang mengunjungi Manado pada abad kedua puluh 

tampaknya lebih terkejut isebab  Kiai Mojo yaitu  seorang Syattari bukannya 

Naqsyabandi atau Qadiri. Pastinya koleksi buku Diponegoro tidak 

memenuhi standar Wahhabi, dan Kiai Mojo berperilaku dengan cara yang 

agak tidak Wahhabi, seperti menggunakan para pelayan untuk memegangi 

ujung jubah putihnya dan payung emas saat  berjalan.

Tampaknya Diponegoro merupakan perwujudan apa yang disebut 

Ricklefs “sintesis mistis”. Bahkan, terdapat pasase dalam buku catatannya 

yang secara tidak langsung merujuk pada pengalaman ekstatik. Kita mungkin 

bertanya-tanya apakah Diponegoro menghubungkan kegagalan akhirnya pada 

sebuah momen kelalaian tertentu saat , dirinya dikuasai oleh manifestasi 

apa yang diyakininya sebagai Kehadiran Ilahiah, “dia lalai tidak memberikan 

penghormatan [kepada-Nya]”. Bagaimanapun, saat  Diponegoro 

mengibarkan panji-panjinya, tampaknya ada seruan yang disengaja terhadap 

kenangan mengenai Sultan Agung sebagai seorang Sufi dan bahkan mungkin 

terhadap kesan mengenai ortodoksi Mesir-Utsmani yang sezaman. Penyebutan 

gelar “Ali Basah” terhadap komandan lapangannya bisa jadi merupakan 

sebuah rujukan langsung kepada Muhammad ‘Ali Pasha, yang pasukannya 

baru saja mengalahkan Wahhabiyyah. Begitu pula, gelar Kalipat Rasululah 

dan Kabirulmukminin yang disandangnya, serta nama “Ngabdulhamid”, bisa 

dianggap sebagai sebuah klaim kesamaan dengan ‘Abd al-Hamid I (1774–89), 

sultan Utsmani pertama yang menggunakan gelar Khalifah.

Akan namun , sebagaimana sang sultan, Diponegoro ditakdirkan untuk kalah 

dalam perang. Menilai kekalahan Diponegoro, Peter Carey menulis, “sebuah era 

dalam sejarah Jawa ditutup. Kepercayaan diri komunitas-komunitas keagamaan 

dihancurkan, Eropa menggantikan Arabi sebagai kekuatan asing yang dominan 

di Jawa, dan kemerdekaan politik raja-raja Jawa Tengah berakhir”. Meskipun 

Diponegoro yaitu  pangeran terakhir yang berusaha menyatukan sebuah 

aliansi besar dengan kaum putihan Jawa yang religius, banyak kiai yang terus 

melanjutkan dialog dengan Mekah tanpa merujuk kepada para sultan yang 

segera berlalu atau pada berbagai dekrit dari Den Haag.

PENJELASAN LEBIH JAUH MENGENAI PONDOK

Pasca-Perang Padri dan Perang Jawa, ulama semakin menjauh dari keraton. 

Alih-alih membuat lembaga-lembaga Islam mengalami penurunan, aneksasi 

Jawa secara keseluruhan sebenarnya terbukti membawa berkah bagi wilayah 

perdikan. Status perdikan dilindungi dan diabsahkan oleh kolonial. Juga sangat 

mungkin bahwa independensi sebagian ulama meningkat sesudah  dimulainya 

Sistem Tanam Paksa pada 1830.30 Meskipun memaksa banyak petani menanam 

tanaman niaga, seperti tebu, nila, dan kopi untuk negara, tanam paksa juga 

memungkinkan sekelompok minoritas untuk menjadi pemilik tanah yang 

luas; termasuk para guru agama dan orang-orang tanggungan mereka yang 

mampu mempertahankan (atau memalsukan) status bebas pajak mereka. 

Pada 1855 seorang pengamat Belanda mencatat bahwa banyak 

kompleks perdikan bisa dikatakan “termasuk yang paling baik, paling kaya, 

dan berpenduduk paling banyak” di Jawa. Seorang misionaris lain menunjuk 

pertumbuhan desa-desa perdikan sebagai penyebab utama Islamisasi Jawa 

secara berkelanjutan. Pandangan ini didukung oleh survei yang dilaksanakan 

pada 1882, yang mendaftar keberadaan sekitar 244 perdikan dengan “wilayah 

sakral” yang kerap menikmati akses tak terbatas terhadap perdagangan kopi.

Dampak lain kekuasaan Belanda yang menguntungkan yaitu  

terbukanya jaringan komunikasi. Jalan Raya Pos, yang diselesaikan pada 1808 

dan jalan-jalan pendukungnya menjadi sarana para santri untuk berpindah 

dari satu pondok ke pondok yang baru serta sarana para penilik Belanda untuk 

mengawasi perkebunan. Pada akhir 1840-an pondok-pondok yang terletak 

di sekitar kota-kota perdagangan utama menjadi simpul-simpul penting 

pertukaran intelektual. Dari sini para murid dengan tingkat pendidikan lebih 

tinggi bisa pergi ke pelabuhan-pelabuhan yang lebih besar dan memanfaatkan 

kehadiran lebih banyak cendekiawan Arab. Dua tujuan utama dalam jaringan 

ini yaitu  Surabaya, tempat klan Habsyi bisa dijumpai, dan Singapura, 

tempat tinggal ‘Abd al-Rahman al-Saqqaf dan Salim b. Sumayr yang kitab 

pengantarnya, Safinat al-najah (Perahu Keselamatan), populer di kawasan ini.

Kita sekarang juga mulai mengidentifikasi para tokoh Jawi kunci yang 

aktif di simpul-simpul ini . Tokoh termasyhur pada pertengahan abad 

barangkali yaitu  Kiai ‘Ubayda. Guru ini mengklaim sebagai keturunan 

Sunan Ampel dan memimpin sebuah pesantren di Sidosremo, dekat Surabaya. 

Sementara itu, banyak rekan sezamannya yang menonjol di Mekah. Mereka 

ini termasuk Junayd dari Batavia dan Zahid dari Solo (yang seguru dengan 

Diponegoro), serta seorang cendekiawan lain yang lebih tua dan memperoleh 

pujian universal, yaitu ‘Abd al-Ghani dari Bima, Sumbawa. ‘Abd al-Ghani 

dikenal sebagai murid ‘Abd al-Samad al-Falimbani. Dia mengkhususkan diri 

dalam pengajaran fikih di Malaya dan masih dikenang dengan penuh cinta 

pada 1880-an, nyaris sebagai wali dan guru terkemuka bagi seluruh generasi 

cendekiawan Jawi.

Terdapat banyak cendekiawan semacam ‘Abd al-Ghani yang dikenal 

isebab  ajaran mereka, namun  hanya sedikit yang tersisa dari kontribusi 

individual yang mereka berikan pada literatur pesantren Jawa yang mungkin 

menandingi karya-karya terjemahan yang dibuat untuk tanah Melayu oleh al-

Falimbani, Arsyad al-Banjari, atau Da’ud al-Fatani.35 Meski begitu, beberapa 

orang Jawa yang sezaman dengan Syekh Da’ud membuat tulisan dengan niat 

serupa, termasuk orang-orang Jawa yang menjadi rival Ahmad Rifa’i dari 

Kalisalak (alias Ripangi, 1786–1875) dan Asy’ari dari Kaliwungu, Kendal. 

Putra pejabat senior masjid (penghulu) Kendal, Rifa’i, pergi ke Mekah pada 

akhir Perang Jawa. Dia mengikuti teladan Aceh dan Mekah, menghasilkan 

pengerjaan ulang teks-teks Syafi’i dari sekitar 1837, sebelum kembali untuk 

mendirikan sekolahnya sekitar 1839.36 Asy’ari juga aktif belajar di Semarang 

dan Terboyo, kemudian menghabiskan tujuh tahun di Aceh. Di sanalah dia 

kali pertama membaca karya Melayu yang menjadi dasar karya dasarnya, 

Masa’ila (Pertanyaan-Pertanyaan), yang akan tetap digunakan di Jawa hingga 

1890-an.

Juga terdapat beberapa catatan dari 1880-an mengenai Kiai Hajji 

Hamim dari Gadu Pesing, yang mengkhususkan diri dalam menerjemahkan 

karya-karya berbahasa Arab. Namun, kenangan mengenai dirinya sudah 

memudar jika dibandingkan kenangan mengenai Salih dari Darat, Semarang 

(1820–1904), yang mempromosikan Hikam karya Ibn ‘Ata’ Allah versinya 

sendiri, serta beberapa bagian Ihya’ ‘ulum al-din karya al-Ghazali.38 Salih, 

putra pendukung Diponegoro yang lain, konon juga memiliki kaitan dengan 

warisan al-Falimbani melalui kakeknya.39 Dengan demikian, ulama Jawa ini, 

sembari menjaga jarak dari Belanda, terlibat secara aktif dalam menganotasi 

fikih untuk konstituen lokal mereka. Namun, kontribusi mereka baru muncul 

di percetakan pada masa lebih belakangan dibandingkan karya orang-orang 

Melayu yang sezaman, dan cenderung kalah pamor dibandingkan karya-

karya berbahasa Arab yang dihasilkan oleh cendekiawan-cendekiawan Arab 

yang berada di tengah-tengah mereka dan, serta oleh rekan sesama Jawi 

mereka yang bermukim di Mekah. Situasi semacam itu disinggung dalam 

memoar seorang mualaf Kristen, Kartawidjaja dari Cirebon (1849–1914), 

yang mendaftar beragam karya yang rencananya akan dia pelajari pada awal 

1860-an di Pesantren Babakan, dekat Cirebon. Karya-karya meliputi Safina 

karya Bin Sumayr dan beberapa judul yang disusun oleh para guru di Mekah 

dan Semarang, tempat para siswa terbaik dari Jawa Barat dan Tengah dikirim 

orangtua untuk menjadi santri atau kadang pergi haji.

POPULARISASI TAREKAT LEBIH LANJUT: SEKITAR 1850–1890

Pertumbuhan pesantren dan pelucutan elite priayi dari kekuasaan bisa jadi 

membantu fragmentasi hegemoni Syattari “Karang” yang sudah berlangsung 

lama. Kartawidjaja muda mengklaim bahwa dia bergabung dengan sebuah 

tarekat Sufi di Babakan, meski dia keliru menggolongkan risalah-risalah 

dogmatis karya al-Samarqandi dan al-Sanusi sebagai karya mistisisme. 

Dia juga mengelompokkan puisi mistis sebagai ciptaan Wali Sanga, yang 

digambarkannya sebagai para penyangkal akhirat. Tentu saja saat  menuliskan 

memoarnya, Kartawidjaja hanya punya sedikit waktu untuk para santri dan 

haji. Namun, dia tetap menghormati para Sufi, yang “jalan hidupnya lebih 

baik daripada yang lain”, dan menegaskan bahwa tiga kelompok mereka ada 

di Jawa: Naqsyabandiyyah (yang diyakininya dipimpin di Mekah oleh ‘Abd 

al-Qadir dari Semarang, jika bukan oleh sang wali ‘Abd al-Qadir al-Jilani 

sendiri [lihat di bawah]), Syattariyyah, dan “Tarek Moehamaddia” (yang dia 

pikir merupakan bikinan Wali Sanga).

Kartawidjaja benar mengenai adanya persaingan tiga pihak di kalangan 

Sufi Jawa, meski patut diingat bahwa beberapa pesantren tertutup bagi 

ketiganya. Penghindaran ajaran tarekat yaitu  sebuah ciri mencolok pesantren 

‘Ubayda. Namun, kadang terdapat hubungan yang kabur isebab  para guru 

tarekat, terutama mereka yang baru kembali dari Mekah, berusaha meyakinkan 

calon murid pesantren dengan menekankan ketepatan metode mereka dan 

mengklaim persetujuan dari penguasa Kota Suci. Naqsyabandiyyah tentu saja 

tidak dipimpin oleh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, seperti yang keliru dipikirkan 

Kartawidjaja, namun  sebagian dari syekh-syekhnya biasanya memandang wali 

ini  sebagai seorang mediator utama dalam ritual-ritual mereka. Mereka 

menekankan bahwa ritual-ritual ini  lebih sering dipraktikkan di Mekah 

ketimbang ritual Syattariyyah. Juga terdapat beberapa petunjuk bahwa sebagian 

guru Naqsyabandi, yang membanggakan silsilah yang terentang ke belakang 

hingga Khalifah Abu Bakr dan tampaknya sangat sukses dengan sebuah kelas 

pedagang yang kaya, menghadapi penentangan dari jaringan perdikan-priayi, 

sebagaimana mereka sudah dan akan, menghadapi perlawanan di tempat-

tempat lain di Nusantara. Pada 1855, misalnya, seorang “J.L.V.”, pengamat 

yang telah menulis kekayaan desa-desa perdikan, menggambarkan dampak 

“para imam” tertentu yang telah mengunjungi Mekah, sebagai berikut.

Tersebar di antara orang-orang, terlebih di beberapa desa yang berdekatan, 

ditemukan sekte yang mengikuti ajaran aboe bakar, seorang murid mohammad, 

yang menyimpang dari Mohammedanisme biasa dalam praktik-praktiknya. 

Mereka dikenang di kalangan orang lain dengan nama “doel”, yang maknanya 

tidak jelas bagi kita. Kita kerap mendapati sekte ini di bagian-bagian lain Jawa; 

mereka memiliki imam-imam sendiri dan tidak terlalu dihormati para imam 

Islam yang sebenarnya. Kita melihat mereka memiliki ikatan yang sangat kuat, 

dan wilayah utama yang membuat mereka berbeda dari Mohammedan biasa 

yaitu  pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu yang hanya diketahui 

mereka, agar mereka tidak diganggu atau ditekan oleh pemerintah Pribumi. 

Mereka berkumpul, lelaki dan perempuan, menyibukkan diri dengan bernyanyi 

sesuai irama sejenis drum pribumi yang disebut “rebana”, dengan terus-

menerus berseru “La il Allah Illalah!” dan menggerakkan tubuh bagian atas 

maju-mundur, sampai sebagian besar mereka memasuki keadaan mabuk atau 

sangat gembira, melompat ke kiri dan kanan, merangkak, duduk, berbaring, 

dengan guncangan-guncangan kuat dan gerakan-gerakan bingung, kemudian 

mereka akhirnya jatuh pingsan. Selama itu, lelaki dan perempuan—bahkan 

yang paling tua, yang kadang kesulitan untuk berdiri—bergiliran menari 

dengan cara pribumi (tandak). Mereka yang jatuh pingsan dianggap beruntung 

isebab  dalam kesempatan inilah mereka mendapatkan visi akan Tuhan. Mereka 

dibaringkan di pinggir, dan dilumuri dengan sejenis air kuning dari kunyit. 

Perlahan-lahan mereka kemudian sadar dalam keadaan sangat kelelahan, dan 

berusaha mulai lagi dari awal.

sesudah  mengesampingkan praktik-praktik mereka, sang pengamat 

kemudian menggambarkan bagaimana mereka dipandang oleh pihak-pihak 

“ortodoks” tertentu:

Sekte ini semakin menyebar ke seluruh populasi, meskipun pertemuan-

pertemuannya, sebagaimana digambarkan di atas, sangatlah jarang. Kebencian, 

yang dipelihara oleh para pemimpin dan imam Islam ortodoks terhadap kelompok-

kelompok menyimpang ini, mengakibatkan mereka tidak dipandang terhormat 

oleh semua orang ... jika mereka dicurigai melakukan satu atau lain hal yang 

bertentangan dengan tatanan yang berlaku, hal itu akan sangat cepat diketahui 

dan tak akan berhasil. Dalam hal-hal lain, perilaku mereka tidaklah menonjol dan 

tidak terlalu aneh sehingga pemerintah Eropa membiarkan mereka dan sekadar 

mengawasi aktivitas mereka. Belakangan ini, banyak dari mereka yang beralih ke 

Islam ortodoks sehingga perlahan-lahan punah dan tidak lagi ada.

Misionaris Samuel Eliza Harthoorn (1831–83) juga menunjuk pada 

keberadaan sebuah sekte di Malang, Jawa Timur, yang secara mengejek disebut 

pasek dul atau “Dul yang penuh dosa”. Sekte-sekte semacam itu dikaitkan 

dengan Wong Birai yang antinomi, yang digambarkan dalam Serat Centhini 

sebagai peserta dalam perkumpulan-perkumpulan orgy, dan dengan seorang 

guru Arab bernama ‘Abd al-Malik yang dimakamkan di Mantingan, dekat 

Jepara. Sementara identifikasi dengan ‘Abd al-Malik tampaknya mungkin, 

kolega Harthoorn, Carel Poensen (1836–1919), secara eksplisit memisahkan 

Wong Birai (yang disebutnya Santri Birai) dari Dul yang sektarian, meski 

dia mengklaim bahwa mereka sama-sama dianggap sebagai ahli bidah. 

Bagaimanapun, kaum Naqsyabandi di sekitar Madiun barangkali yaitu  

orang Jawa pertama yang mulai melabeli para tetangga mereka yang tak taat 

aturan sebagai wong abangan, berkebalikan dengan diri mereka sendiri kaum 

putihan yang benar-benar tanpa noda.

Meski terdapat permusuhan dan harapan yang jelas dari para pengamat 

semacam itu pada pertengahan abad, Naqsyabandiyyah akan berkembang 

pesat pada pengujung abad sebagai kaum putihan Jawa yang berpengaruh. 

Kadang mereka berhasil demikian di wilayah-wilayah tempat para bupati 

sendiri aktif dalam melakukan haji dan mendorong pelaksanaannya kepada 

warga mereka. Namun, meski bisa dibuat sebuah kaitan antara meningkatnya 

minat rakyat terhadap Islam dan kemunculan Naqsyabandiyyah di Jawa, 

kemungkinan kecil bahwa mereka ini yaitu  kelompok yang sama yang 

barangkali mulai menerobos masuk ke Sumatra Barat pada 1820-an melalui 

Syekh Da’ud dari Sunur.

Sebaliknya, sebuah upaya perumusan ulang tarekat ini, yang dirintis oleh 

tokoh yang lama bermukim di Bagdad dan Damaskus, Khalid al-Syahrazuri 

al-Kurdi (1776–1827), menerima dimensi yang kian populis di kawasan 

Timur Arab. Hal ini terjadi sebagiannya isebab  perumusan ulang ini  

menawarkan jalur yang lebih singkat menuju pencerahan. Pastinya upaya itu 

menarik redaktur dan murid Da’ud, Isma‘il al-Minankabawi.

Dilahirkan di Kurdistan Irak, Khalid tengah menjalani pencarian 

spiritual di Mekah saat  kota itu jatuh ke tangan Wahhabi untuk kali kedua. 

sesudah  menjalin hubungan dengan seorang guru India di Madinah, dia 

mengembara ke anak benua pada 1809. Sekembalinya ke Irak pada 1811, 

Khalid menawarkan ajaran-ajaran Naqsyabandiyyah versinya sendiri kepada 

para muridnya. Dikenal sebagai Khalidiyyah, versinya itu menonjol isebab  

klaim sebagai praksis yang paling setia terhadap amalan para sahabat pertama 

Nabi. 

Sejalan dengan itu, Khalid kadang menyebut jalurnya sebagai Siddiqiyyah, 

mengikuti nama Abu Bakr al-Siddiq, sebuah kaitan yang disinggung dalam 

pengamatan Belanda yang merendahkan di atas.46 Pada akhirnya, dia akan 

dikenal terutama isebab  beberapa  teknik baru yang menambahi praktik-

praktik Mujaddidi yang lebih tua berupa memusatkan perhatian pada latifah-

latifah, apa yang disebut sebagai “seluk-beluk” yang terhubung dengan 

titik-titik penting dalam tubuh. Di antara inovasi Mawlana Khalid yaitu  

khalwah atau “penarikan diri” (dalam bahasa Melayu dikenal sebagai suluk), 

dan rabitah, atau “hubungan” yang terbentuk antara hati murid yang cakap 

dan hati sang syekh, yang citranya harus dibayangkan selama dzikr melalui 

konsentrasi penuh.

Praktik-praktik demikian memunculkan kontroversi di dalam dan di 

luar lingkaran Naqsyabandi, terutama saat  Khalid bersikeras agar para 

pengikutnya hanya membayangkan citranya. Namun, tak bisa disangkal 

bahwa metode-metodenya berhasil memopulerkan tarekat ini, sebagian 

dibantu oleh kaitannya dengan klaim Utsmani yang sedang bangkit terhadap 

perlindungan atas dunia Islam yang lebih luas. Pada 1840-an salah seorang 

wakilnya dari Sulaymaniyyah aktif merekrut anggota di Mekah, dan pada 

1867 pewaris terpentingnya di Suriah diundang untuk mendirikan pondok 

permanen di sana.48 Lokasi pasti pusat Sufi yaitu  di bukit bernama Jabal Abi 

Qubays, yang sudah menjadi lokasi beberapa pondok. 

Pada 1870-an kunjungan kepada tokoh-tokoh Khalidi seperti Sulayman 

Afandi (alias Sulayman Pasha atau Sulayman Zuhdi) kelahiran Dagestan akan 

menjadi bagian penting dalam perjalanan ke Mekah bagi banyak Jawi. Sebagai 

konsekuensinya, Khalidiyyah menemukan ruang dalam jejaring pesantren 

dan istana-istana Jawi yang ada. Bisa dikatakan bahwa mereka telah menjadi 

ortodoksi Mekah yang baru. Pada awal 1880-an terdapat kekhawatiran di 

keraton Surakarta saat  disadari bahwa para pangeran sendiri tidak kebal 

terhadap argumen-argumen mereka.

Agen dalam insiden ini yaitu  ‘Abd al-Qadir dari Semarang, yang 

memulai kariernya sebagai dai di masjid utama kota ini , dan yang 

dikacaukan Kartawidjaja sebagai ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Dia menjadi 

wakil Khalidiyyah yang aktif saat  berada di Mekah untuk haji keduanya, 

kemudian kembali ke Semarang sebagai imam terkemuka di sana dan mulai 

menunjuk wakil-wakilnya sendiri. Pada 1881 dia pergi ke Solo,