Manusia diciptakan dengan bekal potensi berupa akal dan indera yang melekat secara
fisik dalam dirinya. Tuhan pun menyiapkan pedoman khusus kehidupan manusia guna
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya di dunia dan akhirat. Pedoman ini berupa wahyu
yang disampaikan kepada para Nabi dan Rasulnya. Akal dan indera yang dimiliki manusia ini
mendorongnya untuk senantiasa mendapatkan berbagai informasi hingga ilmu pengetahuan.
Untuk mencapai kebenaran berpikir manusia tidak dapat mengandalkan kemampuan akal dan
inderanya karena ada hal-hal di luar nalar manusia yang tidak dapat ditembus oleh
keduanya. Sehingga manusia membutuhkan petunjuk berupa pedoman wahyu. Dengan tidak
mengenyampingkan kedua potensi anugerah ini , penulis akan membahas kebenaran
wahyu, akal dan indera menjadi sumber filsafat Islam.
Keberadaan ilmu sebagaimana telah diciptakan oleh Tuhan dapat ditemukan melalui
potensi yang telah Ia berikan kepada kita diantaranya akal, dan indera. Kedua anugerah ini
memiliki kemampuan dan karakteristik yang berbeda, sehingga dalam perolehan ilmunya pun
menjadi berbeda. Akan tetapi dalam epistimologi Islam, kedua anugerah ini idealnya
dikaitkan secara konsisten agar kebenaran ilmu menjadi lebih kuat. Selain dari kedua potensi
ini , manusia juga dibekali petunjuk dan pedoman hidup oleh Tuhan yang disampaikan
melalui para nabi dan rasul yang diutus-Nya yang disebut dengan wahyu.
Pada tahap penerapannya, banyak dari para filsuf Islam telah mengkonsepkan potensi-
potensi epistimologinya secara menyeluruh. Seperti al-Ghazali, yang menyatakan potensi
untuk memperoleh pengetahuan ada tiga, yaitu melalui panca indera, akal, dan wahyu (intuisi).
Akan tetapi dalam hal ini al-Ghazali lebih menekankan kepada intuisi dalam menangkap
pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya, yaitu kebenaran yang diberikan kepada
para nabi dalam bentuk wahyu.1 Berkaitan dengan hal ini, maka dalam artikel ini penulis
berupaya untuk mengetahui lebih lanjut tentang sumber dan dasar filsafat Islam yang terdiri
dari wahyu, akal, dan indera.
A. Ciri Khas Filsafat Islam
Filsafat Islam mengkaji prolematika Tuhan, alam dan manusia berlandaskan al-Qur’an
dan Hadis. Filsafat Islam membahas detail tiga objek ini dan tidak mengabaikan kajian
filosofis sebelumnya, baik dari Timur ataupun Barat. Berikut ciri khas filsafat Islam:
1) Sebagai Filsafat Religius-Spiritual
Kajian filsafat Islam tidak terlepas dari nilai-nilai agama. Dikatakan filsafat
religius karena filsafat Islam tumbuh di jantung Islam, para pemikirnya pun kental
dengan ajaran-ajaran Islam.
Pembahasan tokoh-tokoh filsafat Islam tentang Tuhan mempunyai tujuan yang
sama yakni mengungkap ke-esa-an Tuhan. Seolah-olah filsafat Islam menyaingi aliran-
aliran kalamiah yang terdiri atas Mu’tazilah dan Asy’ariyah, kemudian mengoreksi
kekurangannya untuk dibetulkan dan konsentrasi menggambarkan Allah Yang Maha
Agung dalam pola yang berlandasakan tajrid (pengabstrakan), tanzih (penyucian)
keesaan mutlak dan kesempurnaan total.2 Sejalan dengan Ghazali dalam Marzuki yang
menyebutkan:
نكممو .دوجوملا نكمم وأ دوجولا بجاو نوكي نأ امإ دوجوملا نا دوجوملا قلعتي نأ دبلا
هريغبنكمم هرماب ملاعلاو .اماودو ادوجو قلعتيف ،دوجولا تانئاكلا قلعت نا .دوجولا بجاوب
ةقلاع تانئاكلا نيب ةقلاعلاف .رخلأا اهضعبب اهضعب تانئاكلا قلعت نع فلتخي ىلاعت للهاب
لك نأ ىنعمب ،ةلدابتم ةلع اضيأ نبلاا نكل ،نبلإل ةلع بلأاف .لاولعمو ةلع نوكي اهنم دحاو
ا نوك يف .هجولا اذه ىلع تانئاكلا هب قلعتت لاف ىلاعت الله امأ ..اذكهو ابأ بلأ3
Jiwa tidak mampu menyingkap realitas-realitas Universal kecuali dengan
bantuan langit dan alam atas. Dengan kata lain, jika meminjam istilah al-Farabi dan
Ibnu Sina, kecuali dengan bantuan akal aktif.4 Demikian halnya dengan jiwa manusia,
yang tidak dapat tenang dan tentram tanpa campur tangan Tuhan.
Jiwa, akal, hati dan ruh merupakan elemen penting manusia yang tidak luput
dari pembahasan filosof muslim. Kesemuanya merupakan satu kesatuan unsur jasmani
dan rohani manusia yang saling berhubungan namun ketiganya memiliki karakter yang
berbeda. Ibnu Maskawaih menjelaskan:
لاو امسج تسيل سفنلا سح نا تملع اذإ سفنلا نإف .اضرع لاو مسج نم اءزج وأ قدص
ملعلا اذه ذخأت تسيلف بذك .سحلا نم
Penjelasan Ibnu Maskawaih di atas merupakan kutipan petunjuk dari firman
Allah:
ىمَعَۡت لَا اهََّنِإَف ر َٰصَبَۡلۡأٱ َت نكِ ََٰلوَ ىمَعۡ بو ل قلۡٱ يِتَّلٱ يِف ِرو دُّصلٱ ٤٦
Artinya:“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada.”
Rupanya filsafat Islam telah mendekati sistem logika, filsafat dan teologi
(filsafat skolastik) yang sejalan dengan filsafat barat dan kontemporer. Bahkan Bacon
(1294) dalam Madkour menyatakan babhwa ia mengagumi teori khilafah dan imamah
Islam, sehingga ia ingin menerapkan gelar Khalifah Allah fi ardihi kepada Paus.6
Pernyataan singkat di atas cukup membuktikan bahwa filsafat Islam bercirikan
filsafat religius-spiritual. Hasil pikir para filosof bersandar atau berasas pada al-Qur’an
sebagai kitab suci umat Islam. Pengakuan bahwa ada kekuatan yang Maha Besar
dan Maha Sempurna yang menjadi pusat segala sesuatu yang ada.
2) Filsafat Rasional
Selain sebagai filsafat religius-spiritual, filsafat Islam juga bertumpu pada akal
pikiran dalam menyelesaikan persoalan objek filsafat yakni Tuhan, manusia dan alam.
Allah sebagai wajib-wujud yaitu akal murni. Menurut al-Farabi dalam Madkour, Ia
yaitu subjek yang berpikir sekaligus obyek pemikiran.7 Tuhan sebagai subjek pertama
yang memiliki kekuatan untuk mengeluarkan apa yang dipikirkan.
Sebagai objek yang dipikirkanNya, manusia pun diberikan akal untuk
memikirkan segala sesuatu yang ada, melahirkan rasa keingintahuannya akan sesuatu,
hingga menghasilkan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan tidak semua ilmu
pengetahuan telah tertulis rinci dalam wahyu. ada ilmu-ilmu yang telah ditentukan
kebenarannya oleh Allah serta ada ilmu-ilmu yang harus dicari sendiri oleh
manusia. Dalam bidang kedua ini seperti ilmu kimia, biologi, logika dan sebagainya.
Dengan akal pikiran manusia dapat mengungkap ilmu pengetahuan ini , wahyu
hanya memberikan pancingan berupa simbol-simbol.
Ar-Razi yaitu orang yang mengunggulkan rasio sebagai anugerah terbaik dari
Tuhan. Dengan rasio manusia mampu mengetahui yang baik dan buruk, berguna dan
tidak berguna. Dengan rasio pula manusia mampu mengenal Tuhan dan mengatur
hidupnya secara baik. Tidak sepatutnya meremehkan, melecehkan bahkan membatasi,
mengendalikan atau memerintahkannya, justru rasiolah yang membatasi, yang
mengendalikan dan memerintah. Kita harus bertindak sesuai perintahnya dan
senantiasa merujuk padanya dalam segala hal.8 Dalam Khudori, al-Razi
mengungkapkan bahwa ia memposisikan wahyu di bawah kekuatan dan kendali rasio.
Bagaimanapun, rasio dalam filsafat Islam digunakan untuk mendapatkan
kebenaran dalam memikirkan objek kajian filsafat. Adapun posisinya berada di bawah
wahyu, sebagai kebenaran tunggal dari Sang Pencipta rasio itu sendiri.
B. Sumber Filsafat Islam
1) Wahyu
Ilmu pengetahuan Islam menempatkan wahyu Tuhan di tempat tertinggi,
bahkan rasio berada di bawahnya. Wahyu merupakan sumber dari segala sumber
sehingga ia ditempatkan pada posisi tertinggi. Kebenaran mutlak wahyu Tuhan
merpakan status abadi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan.10 Hal ini
memberikan konsekuensi bahwa menurut pandangan Islam indera dan akal harus
tunduk kepada petunjuk wahyu.
Islam memandang bahwa kecerdasan manusia tidak sebanding dengan petunjuk
wahyu yang berasal dari sisi Tuhan. Akan tetapi dalam hal ini Islam tidak berarti
meremehkan atau tidak menghormati keberadaan pikiran manusia sebagai karunia dari
Allah swt. ada hubungan sifat dalam pandangan yang harus kita terima
kenyataannya meskipun masih banyak sekali kontroversi yang rumit:
a. Wahyu Tuhan diterima jika akal menunjukkan pada keyaninan yang benar.
b. Wahyu Tuhan berupa pembicaraan eksternal yang dibungkus ke dalam makna
sehingga masuk dalam perasaan dan pendengaran pembaca sebelum mereka
percaya dan mengimani.
c. Wahyu memberikan petunjuk dan arahan yang benar menurut Tuhan tentang
alam dan manusia, manusia dengan akalnya pun berusaha mencari petunjuk
ini .
Berbeda dengan filsafat barat, filsafat Islam menempatkan wahyu sebagai
tempat tertinggi sekaligus arah tujuan berpikir filsafat. Menurut Ibnu Maskawaih dalam
Khudori, bahwa melalui wahyu Nabi mencapai kebenaran puncak sedang filosof
mencapai kebenarana puncaknya melalui berpikir, bernalar dan merenung.12
Para filosof muslim menempatkan wahyu sebagai sumber filsafat Islam dan
dalil yang logis, lebih-lebih dalam kajian metafisika yang tidak dapat dijangkau oleh
pengetahuan inderawi. Domain metafisik dan domain eskatologis lebih tepat jika dikaji
dengan menggunakan pendekatan iman, karena ia merupakan kaharusan metafisik
(metaphysic necesity)13. Dalam hal ini para filosof muslim sangat berpegang teguh
kepada wahyu sebagai kebenaran tertinggi.
هللإا يف يأ يقيزيفاتسملا مهثحب يف ملاسلإا ةفسلاف دمتعإ دقوي ءاج ام ىلع تا
ىلع لاثم برضتلو ناهربلاو سايقلاب يا ةيلقعلا ةجاحلاب امعدم ةنسلاو باتكلا
للادتسإ ادحو ىلع ليلدك نارقلاب ةفسلافلا ىلإ ةفسلافلا لك لدتسإ دقف .الله ةين
دحأ الله وه لق :ىلاعت هلوقو .وه لاإ هلإ لا رخأ اهلإ الله عم عدت لاو :ىلاعت هلوق
.ةيقطنملا ةيلقعلا ةلدأب ةلدلأا هذه نودكؤي اوناكو...14
Jika kepada hal-hal metafisika para filosof muslim bertumpu kepada al-Qur’an,
maka demikian halnya dengan hal-hal fisik seperti manusia dan alam maka mereka pun
berpedoman kepada al-Qur’an.
Menurut al-Farabi, wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi bersumber
pada intelek aktif yaitu Allah. Seorang filosof dapat mampu mencapai intelek perolehan
(al-‘aql al-mustafid) melalui proses intelektual dan latihan sungguh-sungguh.
Pengetahuan hasil dari bernalar mereka dapatkan dari pertemuannya dengan intelek
aktif, yang sama-sama menjadi sumber wahyu kenabian. Dalam hal ini, baik secara
sebstansi dan materi, hasil renungan filosofis tidak berbeda dengan wahyu.
Meskipun hasil renungan filosofis ini tidak berbeda dengan wahyu, namun
keduanya tetap sesuatu yang tidak dapat disamakan. Filosof melibatkan akal dan peran
otak untuk memperoleh suatu kebenaran relatif. sedang Nabi tidak hanya
melibatkan intelek saja melainkan juga daya-daya kognitif lainnya. Proses penerimaan
wahyu yang terjadi antara malaikat dan Nabi merupakan suatu pengalaman spiritual
yang melebihi proses berpikir filosof. Nabi menerima wahyu tanpa tabir, terjadi
‘komunikasi’ secara langsung antara keduanya. Dalam komunikasi ini Jibril
menyentuh langsung pikiran Nabi dan ini tidak dapat dilakukan manusia biasa yang
masih menggunakan suara atau isyarat dalam menyampaikan pesan. Selanjutnya, Nabi
tidak melalui pelatihan-pelatihan khusus yang melibatkan indera internal atau eksternal
untuk mempersiapkan penerimaan wahyu. sedang filosof, ahrus menjalani latihan-
latihan intelektual dan moral sebelum mencapai titik puncak ‘kesempurnaan’, hal ini
untuk mensucikan jiwa raga demi mencapai intelek perolehan (al-‘aql al-mustafid)
untuk dapat sampai pada intelek aktif. Demikian sakral proses penerimaan wahyu
sebagai petunjuk dan sumber berfilsafat dalam Islam.
Untuk mempertemukan kebenaran wahyu, kini telah banyak kajian dan
penelitian tentang alam semesta dan manusia yang mana hasil penelitian ini sesuai
dengan petunjuk-petunjuk baik yang tersirat maupun yang tidak tersirat dalam al-
Qur’an. Pernyataan-pertanyaan mendasar dalam filsafat Islam, tentang adanya gunung
misalnya, telah tercantum di dalam al-Qur’an bahwa ia berfungsi sebagai penyeimbang
bumi, selain sebagai pasak yang ditancapkan ke dalam perut bumi. Hal-hal demikian
baru ditemukan oleh peneliti pada akhir-akhir zaman ini.
Al-Farabi sebagai filosof intuisi, menyatakan bahwa kebenaran intuisi lebih
unggul dari pada yang diperoleh indera dan rasio.16 Kebenaran yang ditangkap oleh
indera masih sangat rentan salah. Sebagai contoh kecil, pandangan mata terhadap
fatamorgana, yang semakin didekati semakin jauh. Sebagaimana yang diungkapkan
Ibnu Maskawaih, bahwa khathaul hawas meliputi kesalahan dalam jarak jauh,
kesalahan dalam jarak dekat, kesalahan dalam mendengar dan sebagainya.
Lebih lanjut, rasio pun tidak dapat sepenuhnya menjangkau makna dibalik
indera, kemampuannya sangat terbatas bahkan diluar kesanggupan akal pikiran
manusia. menurut Henry dalam Khudori, indera dan rasio berada dalam tahap
“pengetahuan mengenai” (knowledge about) belum tahap “pengetahuan tentang”
(knowledge of).
sedang pendekatan terhadap wahyu bertitik tolak dari keyakinan terhadap
kebenaran wahyu itu sendiri.19 Mencari kebenaran baru sebagai sebuah alternative
yaitu tidak tepat namun dengan memahami terhadap kebenaran mutlak yang
terkandung dalam wahyu yaitu suatu kebenaran. Dengan mengoptimalkan potensi
nalar manusia, manusia diseru untuk mendapatkan kebenaran yang diharapkan dapat
mencapai kebenaran mutlak ini ,
Dengan demikian, al-Qur’an yang berisikan wahyu ilahi sebagai sumber filsafat
Islam tidak dapat diragukan kebenarannya. Hal ini dikarenakan sifat kandungan al-
qur’an yang tidak terbatas. Ia akan terus melahirkan pemikiran-pemikiran baru bagi
siapapun yang mempelajarinya dan mengkajinya. Dengan menempatkan wahyu
sebagai posisi tertinggi sebagai sumber filsafat, membuktikan adanya pengakuan suatu
energi tak terbatas dan Maha Sempurna yang berada diluar kemampuan manusia.
2) Akal
Secara bahasa, akal merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab,‘aqala yang
berarti mengikat dan menahan. Namun, kata akal sebagai kata benda (mashdar) dari
‘aqala tidak ada dalam al-Qur’ân, akan tetapi kata akal sendiri ada dalam
bentuk lain yaitu kata kerja (fi’il mudhari’).
Kata ‘aqala bermakna mengikat dan menahan. Kata ‘iqal berarti tali yang
digunakan orang Arab untuk mengikat surban sedang i‘taqala sebutan bagi orang
yang ditahan dalam penjara dan mu‘taqal yaitu tempat penjara untuk para tahanan.
al-Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki beberapa definisi, diantanya: akal
merupakan pembeda antara manusia dan hewan, dengan akal manusia dapat memahami
dan menguasai berbagai pengetahuan. Makna selanjutnya, ilmu pengetahuan yang
dimiliki manusia akan memengaruhi akhlak/sikapnya. Terakhir, dengan akal dan
pengetahuannya manusia mampu mengontrol hawa nafsunya. 23
Kesempurnaan dan keistimewaan manusia ada pada akalnya, hal ini pula
yang membedakan manusia dengan makluk lain baik jin dan malaikat. kebahagiaan
manusia bersumber dari pengelolaan akalnya sehingga melahirkan sikap dan akhlak
mulia. Sehingga melahirkan perdamaian dan ketentraman. Nikmat besar dari Tuhan ini
merupakan anugerah yang sangat istimewa, dengannya manusia akan diantarkan pada
kebahagiaan abadi.
Akal memberikan solusi kehidupan manusia baik bersifat formal maupun tidak.
Kekholifahan manusia di bumi karena Allah siapkan pula akal baginya. Namun
demikian tidak semua hal dapat diakses oleh akal, seperti kehidupan setelah kematian,
alam ghaib, hari kiamat dan sebagainya.
Salah satu kelemahan akal yaitu ketidakmampuannya memutuskan kebaikan
dan keburukan sebelum memahami hakekat sesuatu. Akal akan menilai baik dan buruk
sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya saja. Adapun petunjuk Allah akan baik
dan buruk telah ditentukan untuk kebaikan manusia sebelum akal mampu mengenal
dan memahaminya.
Bagi Thuufayl, akal dan wahyu merupakan dua hal yang dapat mengantarkan
manusia pada pengethuan kepada Tuhan. Seseornag dapat sampai kepada Tuhan
dengan daya akal yang dimilikinya. Selain itu, melalui perantara wahyu seseorang juga
dapat sampai pada pengethuan Tuhannya. Keduanya yaitu dua cara yang tidak
bertentanga. Baginya kepercayaan kepada Allah merupakan sebuah fitrah yang tidak
dapat dilawan, apalagi dengan menggunakan akal sehatnya untuk merenung dan
memikirkkan alam sekitarnya tentu ia akan sampai kepada Tuhan.27 Dalam hal ini, Al-
Kindi mengemukakan bahwa untuk mengetahui adanya Tuhan, sebagaimana kita
memahami adanya jiwa dengan memerhatikan munculnya gerak dan efek-efek yang
dapat diamati dari tubuh maka begitu pula dengan Tuhan.28
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat diketahui bahwa akal sebagai
sumber dan dasar filsafat Islam dapat diarahkan dan digunakan untuk berpikir jernih
menuju kebenaran, yang sebelumnya telah ditetapkan oleh wahyu. Meskipun posisinya
berada dibawah wahyu, namun manusia dengan karakternya yang currioussity tidak
dapat dikungkung untuk kemudian benar-benar tunduk dan patuh terhadap wahyu tanpa
memikirkan dan melogikakan sesuatu yang abstrak. Rasa ingin tahu ini membuat
manusia berhipotesa dan kemudian dilanjutkan dengan penemuan-penemuan empirik
dan non empirik sehingga dia dengan sendirinya akan sampai pada Tuhan (kebenaran
hakiki).
3) Indera
Indera yang dalam Bahasa Arab disebut dengan Hawas merupakan salah satu
sumber filsafat Islam yang tidak dapat dihindari. Indera sebagai sarana sekaligus
sumber filsafat ilmu sangat berperan sebagai penunjang wahyu dan akal. Melalui indera
sebuah pertanyaan tentang objek kajian filsafat muncul. Kadang kala ia merupakan
proses awal yang merangsang akal manusia untuk berpikir. Menurut al-Farabi ada
beberapa jenis indera yang ada dalam diri manusia diantaranya: indera eksternal, indera
internal.
Pertama, Indera Eksternal merupakan bagian-bagian luar indera yang mana
organnya dapat dilihat dengan kasat mata. Indera eksternal atau yang disebut dengan
al-hawas al-zhahiriyah terdiri atas lima unsur: penglihatan, penciuman, pendengaran,
peraba dan pengecap. Demikian hawas mempunyai kesalahan-kesalahan dalam
memaknai objek yang ditangkap. Sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Maskwaih:
ساوحلا نإف اضيأو ،طقف )ئيش و ةدام نم نوكتت يتلا ةيداملا ءايشلاا( تاسسحملا كردت ءاطخ نم
نم و برق نم هاريام يف ئطخي رصبلا نا كلذ نم .اهماكحا اهيلع درت و اهلاعفا ئدابم يف ساوحلا
Karena demikian maka sesuailah dengan pendapat al-Farabi dan Gazali, mereka
menempatkan indera eksternal pada posisi yang paling rendah di antara indera-indera
manusia Lebih lanjut al-Farabi menyatakan bahwa pusat indera primer yaitu di
dalam hati.Dengan demikian, indera eksternal ini merupakan sebuah modal awal
untuk menangkap dan memaknai segala sesuatu yang bersifat kasar. Untuk selanjutnya
ditrasfer dan diterjemahkna oleh hati.
Naquib al-Attas, menyatakan bahwa objek pengetahuan bukanlah ada-nya,
melainkan makna-nya atau makna dari realitas objek. Dari pernyataan ini dapat
diketahui bahwa untuk mengetahui makna dari suatu objek tidak cukup diketahui dari
indera eksternal saja. Penangkapan informasi melalui indera eksternal perlu diproses
kembali untuk mengetahui suatu makna dari objek yang diamati. Dalam hal ini,
bersebrangan dengan epistimologi barat yang positivistik, materialistik dan empiris.
Kedua, indera internal disebut juga dengan al-hawas al-bathiniyah. Indera ini
memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh indera eksternal. ada beberapa
unsur indera eksternal: daya representasi, daya estimasi, daya memori, daya imajinasi
rasional, dan daya imajinasi.
Daya representasi yaitu kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk objek
meski objek ini sudah tidak lagi berada dalam jangkauan indera. Indera estimasi
(tawahhum) tidak dapat ditangkap oleh indera eksternal meskipun dapat ditangkap
melalui indera, seperti perkara indah dan tidak indah. Yang ketiga, daya ingat yaitu
kemampuan untuk menyimpan pesan-pesan yang ditangkap oleh wahm. Daya imajinasi
yaitu kemampuan untuk menyusun atau menggabung satu hal dengan hal lain dengan
kreatif.
Alkindi menyebutkan untuk mengetahui hakekat segala sesuatu tidak diperoleh
melalui alat indera, tetapi dapat dilalui dari emanasi Allah SWT. Cara mendapatkannya
melalui penyucian jiwa dari berbagai noda kehidupan yang materealistik dan syahwat
duniawi serta menyibukkan dari dengan menganalisis dan meneliti hakekat segala
sesuatu sehingga siap menerima emanasi pengetahuan dari Sang Pencipta.
Selanjutnya, indera yang digunakan untuk menjadi sumber filsafat Islam yaitu
indera eksternal dan indera internal. Keduanya harus berjalan seimbang, sehingga
kebenaran nalar tidak terhalangi oleh suatu kekurangan apapun. Sumber filsafat Islam
melalui indera ini sebagai pengantar/pendukung menuju sumber wahyu dan akal. Jika
sumber indera kurang atau tidak memberikan dukungannya dengan sempurna maka
hasil dari kajian filsafat Islam pun menjadi kurang maksimal.
Penulis berargumen bahwa sumber dan dasar filsafat Islam yang terdiri dari tiga
komponen ini harus menempati posisinya masing-masing karena tiap sumber
mempunyai karakter yang berbeda. Berikut perbedaan karakter tiga sumber filsafat
Islam:
Akal dan pengalaman empiris menjadikan kegiatan epistemologi maju ke arah
pemikiran kritis dan radikal sebagai ciri dari filsafat itu sendiri, sementara itu al-Qur’an
memayungi kegiatan akal dan pengalaman empiris menjadi teduh dengan ciri
keislaman. Artinya akal bekerja dengan semangat Qur’ani dan bermoralkan garis-garis
yang jelas dari al-Qur’an. Dialektika akal dan pengalaman empiris dengan al-Qur’an
memposisikan akal dan pengalaman empiris untuk bekerja memecahkan masalah
sedang al-Qur’an memberikan rambu-rambu moralitas terhadapnya.
Tiga instrumen epistimologi (indera, akal dan wahyu) dapat diilustrasika
sebagai berikut: wahyu ibarat cahaya/sinar terang, akal ibarat penglihatan, dan
penggunaan akal35 dan indera untuk berpikir, menalar, merenung dan mengkaji yaitu
an-nazhar yg dianjurkan al-qur’an. An-nazhar sebuah aktivitas intelektual dalam
sinaran spirit wahyu, yaitu alur menyinergikan kebenaran agamawi & kealaman.
Melalui tiga sumber di atas, tentu saja melahirkan banyak cara berpikir yang
berbeda-beda. ada yang berangkat dari wahyu untuk memikirkan manusia dan
alam, ada pula yang berangkat dari manusia dan alam untuk menuju wahyu Tuhan.
Apapun hasilnya, buah pikir yang bermuara pada wahyu yaitu hal penting yang harus
ditekankan.
SIMPULAN DAN SARAN
Wahyu, akal dan indera merupakan tiga sumber filsafat Islam yang benar. Kebenaran
wahyu terletak pada hakekatnya yang datang dari Sang Pencita fisafat Islam itu sendiri.
Kebenarannya tidak dapat digoyangkan dan digeser oleh sumber yang lain. Kebenarannya
dikatakan mutlak sebagai arah tujuan sumber akal dan indera berpikir. Demikian halnya dengan
akal. Sebagai pemberian berharga bagi manusia, akal berhak menempati posisi sumber filsafat
Islam.. Adapun indera, selain sebagai sumber sekaligus sebagai sarana manusia untuk
berfilsafat. Indera internal dan eksternal yang sempurna akan menambah kevalidan hasil pikir
terhadap objek filsafat keaagamaan Islam.