Artikel yang sedang Anda pegang ini yaitu salah satu bagian dari
Tafsiran Alkitab dari Matthew Henry yang secara lengkap men-
cakup Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Untuk edisi bahasa Indo-
nesianya, tafsiran tersebut diterbitkan dalam bentuk kitab per kitab.
Untuk kali ini, kita tiba pada pembahasan Kitab Ayub
Matthew Henry (1662-1714) yaitu seorang Inggris yang mulai
menulis Tafsiran Alkitab yang terkenal ini pada usia 21 tahun. Karya-
nya ini dianggap sebagai tafsiran Alkitab yang sarat makna dan sa-
ngat terkenal di dunia.
Kekuatan tafsiran Matthew Henry terutama terletak pada nasihat
praktis dan saran pastoralnya. Tafsirannya mengandung banyak mu-
tiara kebenaran yang segar dan sangat tepat. Walaupun ada cukup ba-
nyak kecaman di dalamnya, ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat
menuliskan tafsiran yang demikian, seperti yang berulang kali ditekan-
kannya sendiri. Beberapa pakar theologi seperti Whitefield dan Spurge-
on selalu memakai tafsirannya ini dan merekomendasikannya ke-
pada orang-orang untuk mereka baca. Whitefield membaca seluruh
tafsirannya sampai empat kali; kali terakhir sambil berlutut. Spurgeon
berkata, “Setiap hamba Tuhan harus membaca seluruh tafsiran ini
dengan saksama, paling sedikit satu kali.”
Sejak kecil Matthew sudah terbiasa menulis renungan atau ke-
simpulan firman Tuhan di atas kertas kecil. Namun, baru pada tahun
1704 ia mulai sungguh-sungguh menulis dengan maksud mener-
bitkan tafsiran tersebut. Terutama menjelang akhir hidupnya, ia
mengabdikan diri untuk menyusun tafsiran itu.
Artikel pertama tentang Kitab Kejadian diterbitkan pada tahun
1708 dan tafsiran tentang keempat Injil diterbitkan pada tahun 1710.
Sebelum meninggal, ia sempat menyelesaikan tafsiran Kisah Para Ra-
sul. Setelah kematiannya, Surat-surat dan Wahyu diselesaikan oleh
13 orang pendeta berdasarkan catatan-catatan Matthew Henry yang
telah disiapkannya sebelum meninggal. Edisi total seluruh kitab-ki-
tab diterbitkan pada tahun 1811.
Tafsiran Matthew Henry berulang kali direvisi dan dicetak ulang.
Artikel itu juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti
bahasa Belanda, Arab, Rusia, dan kini sedang diterjemahkan ke da-
lam bahasa Telugu dan Ivrit, yaitu bahasa Ibrani modern.
Riwayat Hidup Matthew Henry
Matthew Henry lahir pada tahun 1662 di Inggris. saat itu gereja
Anglikan menjalin hubungan baik dengan gereja Roma Katolik. Yang
memerintah pada masa itu yaitu Raja Karel II, yang secara resmi di-
angkat sebagai kepala gereja. Raja Karel II ingin memulihkan kekua-
saan gereja Anglikan sehingga orang Kristen Protestan lainnya sangat
dianiaya. Mereka disebut dissenter, orang yang memisahkan diri dari
gereja resmi.
Puncak penganiayaan itu terjadi saat pada 24 Agustus 1662
lebih dari dua ribu pendeta gereja Presbiterian dilarang berkhotbah
lagi. Mereka dipecat dan jabatan mereka dianggap tidak sah.
Pada masa yang sulit itu lahirlah Matthew Henry. Ayahnya,
Philip Henry, yaitu seorang pendeta dari golongan Puritan, sedang-
kan ibunya, Katherine Matthewes, seorang keturunan bangsawan.
sebab Katherine berasal dari keluarga kaya, sepanjang hidupnya
Philip Henry tak perlu memikirkan uang atau bersusah payah men-
cari nafkah bagi keluarganya, sehingga ia dapat dengan sepenuh hati
mengabdikan diri untuk pelayanannya sebagai hamba Tuhan.
Matthew yaitu anak kedua. Kakaknya, John, meninggal pada usia 6
tahun sebab penyakit campak. saat masih balita, Matthew sendiri
juga terserang penyakit itu dan nyaris direnggut maut.
Dari kecilnya Matthew sudah tampak memiliki bermacam-ma-
cam bakat, sangat cerdas, dan pintar. namun yang lebih penting lagi,
sejak kecil ia sudah mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hati dan
mengakui-Nya sebagai Juruselamatnya. Usianya baru tiga tahun ke-
tika ia sudah mampu membaca satu pasal dari Alkitab lalu memberi-
kan keterangan dan pesan tentang apa yang dibacanya.
Dengan demikian Matthew sudah menyiapkan diri untuk tugas-
nya di kemudian hari, yaitu tugas pelayanan sebagai pendeta.
Sejak masa kecilnya Matthew sudah diajarkan bahasa Ibrani,
Yunani, dan Latin oleh ayahnya, sehingga walaupun masih sangat
muda, ia sudah pandai membaca Alkitab dalam bahasa aslinya.
Pada tahun 1685, saat berusia 23 tahun, Matthew pindah ke
London, ibu kota Inggris, untuk belajar hukum di Universitas London.
Matthew tidak berniat untuk menjadi ahli hukum, ia hanya menuruti
saran ayahnya dan orang lain yang berpendapat bahwa studi itu akan
memberikan manfaat besar baginya sebab keadaan di Inggris pada
masa itu tidak menentu bagi orang Kristen, khususnya kaum Puritan.
Beberapa tahun kemudian Matthew kembali ke kampung hala-
mannya. Dalam hatinya ia merasa terpanggil menjadi pendeta. Kemu-
dian, ia diperbolehkan berkhotbah kepada beberapa jemaat di sekitar
Broad Oak. Ia menyampaikan firman Tuhan dengan penuh kuasa. Ti-
dak lama setelah itu, ia dipanggil oleh dua jemaat, satu di London dan
satu lagi jemaat kecil di wilayah pedalaman, yaitu Chester. Setelah ber-
doa dengan tekun dan meminta petunjuk Tuhan, ia akhirnya memilih
jemaat Chester, dan pada tanggal 9 Mei 1687 ia diteguhkan sebagai
pendeta di jemaat tersebut. Waktu itu Matthew berusia 25 tahun.
Di Chester, Matthew Henry bertemu dengan Katharine Hardware.
Mereka menikah pada tanggal 19 Juli 1687. Pernikahan itu sangat har-
monis dan baik sebab didasarkan atas cinta dan iman kepada Tuhan.
Namun pernikahan itu hanya berlangsung selama satu setengah tahun.
Katharine yang sedang hamil terkena penyakit cacar. Segera setelah
melahirkan seorang anak perempuan, ia meninggal pada usia 25 tahun.
Matthew sangat terpukul oleh dukacita ini. Anak Matthew dan Kather-
ine dibaptis oleh kakeknya, yaitu Pendeta Philip, ayah Matthew.
Allah menguatkan Matthew dalam dukacita yang melandanya.
Setelah satu tahun lebih telah berlalu, mertuanya menganjurkannya
untuk menikah lagi. Pada Juli 1690, Matthew menikah dengan Mary
Warburton. Tahun berikutnya, mereka diberkati dengan seorang bayi,
yang diberi nama Elisabeth. Namun, saat baru berumur satu sete-
ngah tahun, ia meninggal sebab demam tinggi dan penyakit batuk
rejan. Setahun kemudian mereka mendapat seorang anak perempuan
lagi. Dan bayi ini pun meninggal, tiga minggu kemudian. Betapa
berat dan pedih penderitaan orangtuanya. Sesudah peristiwa ini,
Matthew memeriksa diri dengan sangat teliti apakah ada dosa dalam
hidup atau hatinya yang menyebabkan kematian anak-anaknya. Ia
mengakhiri catatannya sebagai berikut, “Ingatlah bahwa anak-anak
itu diambil dari dunia yang jahat dan dibawa ke sorga. Mereka tidak
lahir percuma dan sekarang mereka telah boleh menghuni kota Yeru-
salem yang di sorga.”
Beberapa waktu kemudian mereka mendapat seorang anak perem-
puan yang bertahan hidup. Demikianlah suka dan duka silih berganti
dalam kehidupan Matthew Henry. Secara keseluruhan, Matthew Henry
mendapat 10 anak, termasuk seorang putri dari pernikahan pertama.
Selama 25 tahun Matthew Henry melayani jemaatnya di Chester.
Ia sering mendapat panggilan dari jemaat-jemaat di London untuk
melayani di sana, namun berulang kali ia menolak panggilan tersebut
sebab merasa terlalu terikat kepada jemaat di Chester. Namun ak-
hirnya, ia yakin bahwa Allah sendiri telah memanggilnya untuk men-
jadi hamba Tuhan di London, dan sebab itu ia menyerah kepada
kehendak Allah.
Pada akhir hidupnya, Matthew Henry terkena penyakit diabetes,
sehingga sering merasa letih dan lemah. Sejak masa muda, ia bekerja
dari pagi buta sampai larut malam, namun menjelang akhir hayatnya
ia tidak mampu lagi. Ia sering mengeluh sebab kesehatannya yang
semakin menurun.
Pada bulan Juni 1714 ia berkhotbah satu kali lagi di Chester,
tempat pelayanannya yang dulu. Ia berkhotbah tentang Ibrani 4:9,
“Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat
Allah.” Ia seolah-olah menyadari bahwa hari Minggu itu merupakan
hari Minggu terakhir baginya di dunia ini. Secara khusus ia mene-
kankan hal perhentian di sorga supaya anak-anak Allah dapat me-
nikmati kebersamaan dengan Tuhan.
Sekembalinya ke London, ia merasa kurang sehat. Malam itu ia
sulit tidur dan menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Ia dipenuhi
rasa damai dan menulis pesan terakhirnya: “Kehidupan orang yang
mengabdikan diri bagi pelayanan Tuhan merupakan hidup yang pa-
ling menyenangkan dan penuh penghiburan.” Ia mengembuskan
nafas terakhir pada tanggal 22 Juni 1714, dan dimakamkan tiga hari
kemudian di Chester. Nas dalam kebaktian pemakamannya diambil
dari Matius 25:21, “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali
perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah se-
tia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung
jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam keba-
hagiaan tuanmu.”
kitab Ayub ini berdiri sendiri, tidak terkait dengan kitab lain, se-
hingga harus dijelaskan sendiri. Banyak salinan dari Alkitab
Ibrani menempatkannya setelah Kitab Mazmur, dan beberapa lagi
setelah Kitab Amsal, yang mungkin memberi alasan bagi beberapa
sarjana untuk menganggapnya ditulis oleh Nabi Yesaya atau bebe-
rapa dari para nabi terakhir. Akan namun , sebab isi kitab ini berkait-
an dengan masa yang lebih kuno, maka kita tidak punya alasan
untuk berpikir lain selain bahwa susunan isi kitab ini paling tepat
ditempatkan pada urutan pertama dalam kumpulan kitab-kitab yang
mengandung moral ilahi (yaitu Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah,
Kidung Agung – pen.). Selain itu, sebab berisi pengajaran, kitab ini
tepat untuk mendahului dan memberi pengantar kepada Kitab Maz-
mur, yang bersifat renungan, dan juga mendahului Kitab Amsal, yang
bersifat praktis. Sebab bagaimana kita menyembah atau menaati
Allah yang tidak kita kenal? Mengenai kitab ini,
I. Kita yakin bahwa kitab ini diberikan melalui pengilhaman Allah,
kendati kita tidak tahu pasti siapa yang menulisnya. Orang Ya-
hudi, kendati bukan teman dari Ayub, sebab dia yaitu seorang
asing bagi lingkungan Israel, namun sebagai pemelihara sabda
Allah, mereka selalu mempertahankan kitab ini di dalam Kitab
Suci mereka. Kisah Ayub ini dirujuk oleh seorang rasul (Yak. 5:11)
dan sebuah nas (5:13) dikutip oleh rasul lain, dengan cara yang
biasa dipakai saat mengutip Kitab Suci, ada tertulis, (1Kor. 3:19).
Banyak penulis kuno berpendapat bahwa kitab ini ditulis oleh
Musa sendiri di Midian, dan disampaikan kepada saudara-sau-
daranya yang menderita di Mesir, untuk mendukung dan meng-
hibur mereka sebab beban-beban yang mereka tanggung. Serta
juga untuk mendorong pengharapan mereka bahwa Allah pada
waktunya akan melepaskan dan memulihkan mereka dengan lim-
pah, seperti yang telah diperbuat-Nya kepada Ayub si penderita
yang sabar ini. Beberapa penafsir menduga kitab ini mula-mula
ditulis dalam bahasa Arab, dan kemudian diterjemahkan ke da-
lam bahasa Ibrani oleh Salomo (menurut Monsieur Jurieu) atau
penulis lain yang diilhami, untuk dipergunakan oleh jemaat Ya-
hudi. Yang tampak paling mungkin bagi saya yaitu Elihu penulis-
nya, paling tidak berdasarkan percakapan-percakapan yang ada,
sebab (32:15-16) dia mencampur perkataan dari seorang ahli
sejarah dengan seorang pembantah. Namun, mungkin Musa yang
menulis dua pasal pertama dan yang terakhir, untuk menjelaskan
percakapan-percakapan di dalamnya. Sebab dalam pasal-pasal itu
Allah sering disebut Yehova, namun tak satu pun di dalam semua
percakapan pasal-pasal lain, kecuali pasal 12:9. Nama tersebut
hanya sedikit diketahui oleh bapak-bapak leluhur sebelum Musa
(Kel. 6:2). Jika Ayub sendiri yang menulisnya, beberapa dari pe-
nulis Yahudi mengakuinya sebagai seorang nabi di kalangan
orang-orang non-Yahudi. Jika Elihu, kita mendapati dia memiliki
suatu roh nubuatan yang memenuhinya dengan kata-kata dan
mendesaknya dengan semangat (32:18).
II. Kita yakin bahwa Kitab Ayub ini, sebab hakikat isinya, yaitu
sebuah sejarah yang sungguh-sungguh terjadi, bukan sebuah
cerita romantis, kendati dialog-dialognya bersifat puitis. Tak dira-
gukan sungguh ada seorang manusia seperti Ayub. Nabi Yehezkiel
menyebut namanya bersama Nuh dan Daniel (Yeh. 14:14). Cerita
yang kita baca di sini tentang kemakmuran dan kesalehannya,
musibah aneh yang menimpa dirinya dan kesabarannya yang
patut dicontoh, inti pokok percakapannya dengan teman-teman-
nya, dan percakapannya dengan Allah melalui tiupan angin pu-
yuh, dengan pemulihannya pada akhirnya kepada suatu keadaan
yang sangat makmur, tidak diragukan lagi yaitu sungguh-sung-
guh benar, kendati sang penulis kitab yang penuh ilham ini sangat
bebas dalam memakai kata-katanya sendiri dalam mencerita-
kan persoalan antara Ayub dan teman-temannya.
III. Kita yakin bahwa cerita ini sangat kuno, kendati kita tidak dapat
menduga waktu tepatnya kapan Ayub hidup atau kapan kitab
Ayub ditulis. Begitu banyak, begitu tampak jelas, tanda-tanda
zaman kuno terlihat dalam kitab ini, sehingga kita punya alasan
untuk menduga waktunya sama dengan Kitab Kejadian itu sen-
diri, dan Ayub yang saleh ini hidup sezaman dengan Ishak dan
Yakub. Kendati tidak menjadi ahli waris dengan mereka dari janji
Kanaan duniawi, namun ia memiliki harapan yang sama bersama
mereka akan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sor-
gawi. Mungkin Ayub yaitu keturunan dari Nahor, saudara Abra-
ham, yang memiliki anak sulung bernama Us (Kej. 22:21), dan
yang dalam keluarganya agama masih terpelihara selama bebe-
rapa abad, seperti tampak dalam Kejadian 31:53, di mana Allah
disebutkan tidak hanya sebagai Allah Abraham, namun juga Allah
Nahor. Ia hidup sebelum umur manusia diperpendek menjadi 70
hingga 80 tahun, seperti di zaman Musa, sebelum persembahan
korban ditetapkan hanya pada satu mezbah saja, sebelum kemur-
tadan besar bangsa-bangsa dari pengetahuan dan ibadah kepada
Allah yang sejati, dan sebelum ada penyembahan berhala lain se-
lain kepada matahari dan bulan, yang dihukum oleh para hakim
(31:26-28). Ia hidup di zaman saat Allah lebih dikenal dengan
nama Allah Yang Mahakuasa daripada Yehova. Sebab Ia dise-
but Shaddai – Yang Mahakuasa, lebih dari 30 kali di dalam kitab
ini. Ia hidup di zaman saat pengetahuan tentang Allah disam-
paikan bukan melalui tulisan, namun melalui mulut dari generasi
ke generasi. Sebab buktinya disebutkan di sini (8:8; 21:29; 15:18;
5:1). Oleh sebab itu kita punya alasan untuk menganggap bahwa
Ayub hidup sebelum Musa, sebab di sini tidak disebutkan sama
sekali tentang pembebasan Israel keluar dari Mesir, atau tentang
pemberian hukum Taurat. Memang ada satu nas yang dapat ditaf-
sirkan sebagai menggambarkan penenggelaman Firaun (26:12): Ia
telah meneduhkan laut dengan kuasa-Nya dan meremukkan Ra-
hab dengan kebijaksanaan-Nya (KJV: Ia membelah laut dengan
kuasa-Nya), di mana nama Mesir sering disebut di dalam Alkitab
sehubungan dengan hal ini, seperti Mazmur 87:4; Mazmur 89:11;
Yesaya 51:9. Namun ayat itu dapat juga merujuk kepada gelom-
bang-gelombang laut yang angkuh. Kita menyimpulkan sebab nya
bahwa kita di sini harus kembali kepada zaman bapak-bapak
leluhur, dan, di samping sebab kewenangannya, kita menerima
kitab ini dengan penghormatan sebab masa purbakalanya.
IV. Kita yakin bahwa kitab ini berguna bagi jemaat, dan bagi setiap
orang Kristen yang baik, kendati ada banyak bagian di dalamnya
yang gelap dan sukar untuk dimengerti. Kita tidak dapat begitu
pasti tentang arti yang sesungguhnya dari setiap kata dan frasa
bahasa Arab yang kita temui di dalamnya. Kitab Ayub ini yaitu
sebuah Artikel yang memakan banyak kerja untuk dikaji. namun
cukup jelas untuk membuat keseluruhannya menguntungkan dan
semuanya itu ditulis bagi pembelajaran kita.
1. Puisi yang mulia ini menghadirkan kepada kita, dengan peng-
gambaran yang sangat jelas dan hidup, lima hal ini di antara
yang lainnya:
(1) Sebuah monumen theologi awal mula sekali. Prinsip-prinsip
atau dasar-dasar pertama dan agung dari terang alam,
yang menjadi dasar pendirian agama alamiah, dengan jelas
dan dengan kesepakatan umum dibentangkan sebagai ke-
benaran-kebenaran abadi, dan digambarkan dan ditekan-
kan sebagai kebenaran-kebenaran yang harus diterima
oleh hati. Prinsip-prinsip ini dihadirkan kepada kita dalam
suatu bentuk perdebatan yang hangat, panjang dan ter-
pelajar. Pernahkah keberadaan Allah, atribut kesempurna-
an-Nya dan kemuliaan-Nya, hikmat-Nya yang tak terselami,
kuasa-Nya yang tak tertahankan, kemuliaan-Nya yang tak
tergambarkan, keadilan-Nya yang tidak terbengkokkan,
dan kedaulatan-Nya yang tak tertandingi, dibicarakan de-
ngan lebih jernih, lengkap, hormat dan dengan kefasihan
ilahi selain di dalam kitab ini? Penciptaan dunia dan peme-
rintahan terhadapnya di sini dijelaskan dengan rasa ka-
gum, bukan sebagai sebuah dugaan yang indah, namun un-
tuk meletakkan kewajiban yang paling kuat ke atas kita
untuk takut dan melayani, untuk tunduk dan percaya ke-
pada Pencipta, Pemilik, Tuhan, dan Penguasa kita. Kebai-
kan dan kejahatan moral, kebajikan dan perilaku buruk,
tidak pernah dibuat tampak lebih hidup, yaitu keindahan
yang satu dan keburukan yang lain, selain di dalam kitab
ini. Demikian pula halnya dengan aturan penghakiman
Allah yang tidak dapat diganggu gugat lebih tegas dibentang-
kan di sini, sehingga berbahagia orang benar! Sebab mereka
akan memakan hasil pekerjaannya. Celakalah orang fasik!
Malapetaka akan menimpanya. Semua hal ini dihadirkan di
sini bukan sebagai pertanyaan-pertanyaan sekolah untuk
mengajak dunia terpelajar menjawab, bukan pula sebagai
alat untuk mengajak dunia yang tidak terpelajar merasa
kagum. Tidak, tampak jelas melalui kitab ini bahwa semua
perkara itu yaitu kebenaran-kebenaran suci yang kepasti-
annya tidak diragukan lagi, dan yang diakui serta diterima
dengan hati tunduk oleh umat manusia yang bijaksana dan
berakal sehat di setiap masa.
(2) Kitab ini menghadirkan kita dengan sebuah contoh kesaleh-
an dari orang-orang bukan-Yahudi. Orang kudus agung ini
bukan merupakan keturunan dari Abraham, namun Nahor.
Atau, jika dari Abraham, maka bukan dari Ishak, namun dari
salah satu anak dari gundik-gundik Abraham yang disuruh-
nya pergi ke Tanah Timur (Kej. 25:6). Atau jika dari Ishak,
maka bukan dari Yakub, namun Esau. Dengan demikian
orang saleh yang agung ini ada di luar kovenan istimewa
yang hanya diberikan kepada Abraham dan keturunannya.
Ia bukan seorang Israel, bukan seorang pemeluk agama
Israel, namun tidak seperti Esau dalam hal agama. Dan
juga, ia seorang kesayangan sorga di atas bumi ini, tidak
seperti Esau. sebab itu, benarlah, sebelum Rasul Petrus
memahaminya, bahwa setiap orang dari bangsa mana pun
yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran
berkenan kepada-Nya (Kis. 10:35). Ada anak-anak Allah
yang tercerai-berai (Yoh. 11:52) di samping anak-anak Kera-
jaan yang telah dikumpulkan (Mat. 8:11-12).
(3) Kitab ini menghadirkan kita dengan sebuah eksposisi kitab
tentang Sang Penyelenggara, dan sebuah jalan keluar yang
jelas serta memuaskan dari banyak bagian yang sulit dan
kabur tentang Sang Penyelenggara. Kemakmuran orang fasik
dan penderitaan orang benar selalu dianggap sebagai dua
hal yang sulit di dalam kitab ini. namun keduanya di sini di-
uraikan dan didamaikan dengan kebijaksanaan, kemurnian,
dan kebaikan ilahi, menjelang akhir dari segala hal ini.
(4) Kitab ini menghadirkan kita dengan sebuah teladan kesa-
baran yang agung dan kebersandaran yang kuat kepada
Allah di tengah-tengah bencana yang paling menyakitkan.
Tulisan Tuan Richard Blackmore yang paling cemerlang,
dalam Kata Pengantarnya bagi uraiannya tentang kitab ini,
menjadikan Ayub seorang pahlawan yang tepat untuk se-
buah puisi kepahlawanan. Sebab, katanya, “Dia tampak
berani dalam kesesakan dan gagah berani dalam kesengsa-
raan, mempertahankan kebajikannya, dan dengan itu mem-
pertahankan karakternya, sekalipun ada dalam hasutan
tiada taranya yang bisa diciptakan oleh kejahatan neraka,
sehingga dengan demikian ia memberikan contoh yang pa-
ling mulia akan keberanian menghadapi kesakitan dalam
diam, karakter yang tidak kalah dengan karakter seorang
pahlawan yang gagah bertempur.”
(5) Kitab ini menghadirkan kita dengan sebuah gambaran ten-
tang Kristus, dan rincian tentang hal ini akan kita perhati-
kan lebih banyak pada pembahasan selanjutnya. Secara
umum, Ayub yaitu seorang penderita yang hebat, diko-
songkan dan direndahkan, namun semuanya dengan tujuan
untuk membawa dia kepada kemuliaannya yang lebih be-
sar. Demikian pula Kristus merendahkan diri supaya kita
dapat ditinggikan. Cendekiawan Uskup Patrick mengutip
St. Jerome lebih dari sekali waktu membicarakan Ayub se-
bagai sebuah perlambang dari Kristus, yang dengan meng-
abaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang
disediakan bagi Dia, yang dianiaya, untuk sesaat, oleh
manusia dan setan, dan sepertinya telah ditinggalkan Allah
pula, namun kemudian ditinggikan untuk menjadi seorang
juru syafaat bagi para sahabatnya dan menambahkan de-
rita pada kesusahannya. Pada waktu sang rasul berbicara
tentang ketekunan Ayub, dia segera memperhatikan apa
yang pada akhirnya disediakan Tuhan, yaitu, bagi Tuhan
Yesus (sebagaimana dipahami oleh beberapa penafsir),
yang diperlambangkan oleh Ayub (Yak. 5:11).
2. Dalam kitab ini kita menemukan,
(1) Kisah penderitaan Ayub dan kesabarannya (ps. 1-2), tidak
tanpa perpaduan dengan kelemahan manusia (ps. 3).
(2) Perdebatan antara dirinya dan para sahabatnya, di mana,
[1] Para penentang yaitu Elifas, Bildad, dan Zofar.
[2] Sang penanggap yaitu Ayub.
[3] Para penengah yaitu , pertama, Elihu (ps. 32-37). Kedua,
Allah sendiri (ps. 38-41).
(3) Akhir dari semuanya yaitu kehormatan dan kemakmuran
Ayub (ps. 42). Secara keseluruhan, kita belajar bahwa ke-
malangan orang benar banyak, namun saat TUHAN mele-
paskan mereka keluar dari semuanya itu, maka untuk mem-
buktikan kemurnian iman mereka … sehingga memperoleh
puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan.
PASAL 1
Sejarah Ayub dimulai di sini dengan gambaran tentang,
I. Kesalehannya yang besar secara umum (ay. 1), dan sebuah
contohnya (ay. 5).
II. Kemakmurannya yang besar (ay. 2-4).
III. Niat jahat Iblis terhadap Ayub dan izin yang diperolehnya
untuk mencobai keteguhan imannya (ay. 6-12).
IV. Bencana-bencana mengejutkan yang menimpa dirinya, ke-
hancuran harta bendanya (ay. 13-17), dan kematian semua
anaknya (ay. 18-19).
V. Kesabaran dan kesalehannya yang patut dicontoh di bawah
tekanan masalah (ay. 20-22). Dalam semuanya ini dia men-
jadi suatu teladan dalam menghadapi penderitaan, yang dari-
nya tidak ada kemakmuran yang dapat menjamin kita, namun
melaluinya kesetiaan dan kelurusan hati akan memelihara
kita.
Sifat Ayub dan Harta Kekayaannya
(1:1-3)
1 Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur;
ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. 2 Ia mendapat tujuh anak laki-
laki dan tiga anak perempuan. 3 Ia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba,
tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan
budak-budak dalam jumlah yang sangat besar, sehingga orang itu yaitu
yang terkaya dari semua orang di sebelah timur.
Mengenai Ayub kita diberi tahu di sini,
I. Bahwa dia yaitu seorang laki-laki, dan sebab itu memiliki ber-
bagai hasrat seperti orang laki-laki pada umumnya. Ia yaitu
orang Us, seorang yang terhormat, seorang terpandang dan me-
nonjol, seorang pemimpin dan punya kekuasaan. Negeri tempat
dia tinggal yaitu tanah Us, di bagian Timur Arab, yang terben-
tang ke arah Kasdim, dekat sungai Efrat, mungkin tidak jauh dari
Ur-Kasdim, tempat Abraham dipanggil. Pada waktu Allah me-
manggil seseorang yang baik keluar dari negerinya, dia bukan
tidak menyatakan diri-Nya dengan banyak saksi, namun selalu
membangkitkan orang lain untuk menjadi seorang pemberita ke-
benaran. Allah selalu memiliki sisa orang-orang-Nya yang setia di
segala tempat, memeteraikan orang-orang dari setiap bangsa, dan
juga dari setiap suku Israel (Why. 7:9). Merupakan suatu kebang-
gaan dari tanah Us memiliki seorang laki-laki yang begitu baik
seperti Ayub. Nah, ini yaitu Arab yang berbahagia, dan me-
rupakan suatu kepujian bagi Ayub bahwa dia menjadi seorang
yang luar biasa baik di suatu tempat yang begitu jahat. Semakin
buruk orang-orang yang ada di sekelilingnya, semakin baik ia.
Namanya yaitu Ayub, yang artinya seseorang yang dibenci dan
dianggap sebagai seorang musuh. Menurut tafsiran lain, artinya
seseorang yang mengeluh dan berkabung. Demikianlah, penderi-
taan yang dipikulnya dalam namanya dapat menjadi suatu peri-
ngatan bagi sukacitanya dalam kemakmurannya. Menurut Dr.
Cave, nama Ayub berasal dari kata Jaab, yang artinya mengasihi
atau mengingini, yang menyatakan betapa disambut kelahirannya
oleh orangtuanya dan betapa ia sangat diingini oleh orangtuanya.
Namun ada suatu waktu saat dia mengutuk hari kelahirannya.
Siapakah yang tahu apa jadinya dengan hari itu sekalipun dimu-
lai dengan sebuah pagi yang cerah?
II. Bahwa Ayub yaitu seorang yang sangat baik, terkenal saleh, dan
lebih baik daripada orang-orang di sekitarnya: Orang itu saleh dan
jujur. Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kita, tidak ha-
nya ia memiliki nama baik di antara manusia (yaitu ia dikenal se-
orang yang jujur), namun juga itu sudah menjadi wataknya. Sebab
ini yaitu penilaian Allah tentang dia, dan kita yakin bahwa hal
itu berdasarkan kebenaran.
1. Ayub yaitu seorang yang saleh, ia takut akan Allah, yaitu,
menyembah Dia menurut kehendak-Nya, dan hidup menurut
aturan hukum ilahi dalam segala sesuatu.
2. Ia bersungguh-sungguh dan tulus dalam hidup keagamaan-
nya: Ia menjauhi kejahatan. Bukan tanpa dosa, seperti yang di-
akuinya sendiri (9:20): sekalipun aku tidak bersalah, Ia akan
menyatakan aku bersalah. namun , dengan menghormati semua
perintah Allah dan bertujuan untuk berperilaku sebaik mung-
kin, dia sungguh-sungguh seorang yang baik seperti kelihat-
annya, dan tidak bertentangan dalam kesalehannya. Hatinya
tulus dan matanya lurus. Kesungguhan atau ketulusan hati
yaitu kesempurnaan Injili. Tidak ada agama yang tanpa ke-
sungguhan.
3. Ia jujur dalam perkaranya dengan Allah dan manusia, setia
dengan janji-janjinya, teguh dengan segala putusan hatinya,
setia pada setiap kepercayaan yang dipercayakan kepadanya,
dan sadar akan semua yang dikatakan dan dilakukannya (Lih.
Yes. 33:15). Kendati dia bukan seorang dari Israel, ia sung-
guh seorang Israel sejati.
4. Takut akan Allah yang memerintah dalam hatinya merupakan
aturan yang mengatur seluruh perilakunya. Hal ini menjadi-
kan dirinya saleh dan jujur, di dalam hati dan seluruhnya bagi
Allah, bagi apa saja dan sejalan dengan agama. Inilah yang
menjaga dia tetap dekat dan terus melakukan kewajibannya.
Ia takut akan Allah, memiliki rasa kagum kepada keagungan-
Nya, rasa hormat kepada kekuasaan-Nya, dan kengerian akan
murka-Nya.
5. Ia gentar akan pikiran untuk melakukan apa yang salah. De-
ngan rasa jijik dan benci luar biasa, serta kewaspadaan terus-
menerus, dia menjauhi kejahatan, menghindari semua jebakan
dosa dan menjauhinya, dan semua ini oleh sebab takut akan
Allah (Neh. 5:15). Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan
(Ams. 8:13) dan sebab takut akan TUHAN orang menjauhi ke-
jahatan (Ams. 16:6).
III. Bahwa dia yaitu seorang yang sangat kaya di dunia ini dan
menjadi seorang tokoh yang terkemuka di negerinya. Ia makmur
namun saleh. Kendati hal ini sukar dan langka, namun bukan tidak
mungkin, bagi seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Bagi
Allah hal ini bahkan mungkin, dan oleh anugerah-Nya cobaan
kekayaan dunia bukan tidak dapat diatasi. Ia saleh, dan kesaleh-
annya yaitu teman bagi kekayaannya. Sebab kesalehan memiliki
janji akan kehidupan yang sekarang. Ia kaya raya dan kekayaan-
nya membuat kesalehannya berkilau, dan memberikan kepadanya
banyak peluang lebih besar untuk berbuat baik sebab kebaikan
hatinya. Perbuatan salehnya yaitu ucapan syukur kepada Allah
atas kekayaannya. Dan, dalam kelimpahan segala sesuatu yang
baik yang Allah berikan kepadanya, dia melayani Allah dengan
lebih gembira.
1. Ia memiliki sebuah keluarga yang besar. Ia menonjol dalam
agama, namun bukanlah seorang petapa atau hidup menyen-
diri, melainkan sorang ayah dan tuan dari sebuah keluarga.
Merupakan contoh kemakmurannya bahwa rumahnya dipe-
nuhi dengan anak-anak, yang yaitu milik pusaka dari pada
TUHAN (Mzm. 127:3). Ia mendapat tujuh anak laki-laki dan tiga
anak perempuan (ay. 2). Sebagian keluarga dibangun dengan
anak-anak dari setiap jenis kelamin, dan ada juga yang lebih
banyak dengan jenis kelamin yang lebih mulia. Anak-anak ha-
rus dipandang sebagai berkat, sebab demikianlah mereka ada-
nya, terutama bagi orang-orang yang baik, yang akan memberi
mereka pengajaran yang baik, dan menunjukkan mereka tela-
dan yang baik, memanjatkan doa-doa bagi mereka. Ayub me-
miliki banyak anak, namun dia tidak memeras orang, melainkan
sangat bermurah hati, banyak memberi kepada orang miskin
(31:17, dst.). Orang-orang yang memiliki keluarga besar untuk
dipelihara harus mempertimbangkan bahwa apa yang mereka
berikan dengan bijaksana untuk sedekah, itu yaitu untuk ke-
pentingan yang terbaik dan menyediakan dalam dana yang ter-
baik untuk kepentingan anak-anak mereka.
2. Ia memiliki harta benda yang baik untuk menghidupi keluarga-
nya. Milik kepunyaannya sangat besar jumlahnya (ay. 3). Keka-
yaan disebut milik kepunyaan, berdasarkan kebiasaan berbicara
waktu itu. Sebab jika tidak, bagi jiwa dan dunia lain, kekayaan
hanyalah bayangan, segala sesuatu yang lenyap (Ams. 23:5).
Hanya dalam hikmat sorgawi kita mewarisi harta (Ams. 8:21).
Pada waktu itu, saat bumi belum terisi penuh, keadaannya
sama seperti yang terjadi sekarang di sebagian perkebunan,
yaitu orang dapat dengan mudah memiliki cukup lahan jika
mereka memiliki cukup alat mengelolanya. Oleh sebab itu,
harta kekayaan Ayub dijelaskan bukan dengan jumlah hektar
tanah yang dimilikinya, namun ,
(1) Dengan jumlah ternaknya, kambing domba, unta, lembu,
dan keledai muda. Jumlah dari masing-masing ternak ter-
sebut disebutkan di sini, mungkin bukan jumlah yang te-
pat, melainkan hanya perkiraan saja, lebih kurang. Kam-
bing domba disebut lebih dulu, sebab yang paling umum
dipakai dalam keluarga, seperti yang diperhatikan oleh
Salomo (Ams. 27:23, 26-27): Domba-domba muda untuk pa-
kaianmu, dan susu kambing untuk makananmu dan makan-
an keluargamu. Ayub, sepertinya, juga memiliki emas dan
perak seperti halnya Abraham (Kej. 13:2). namun saat itu
orang-orang menilai harta kekayaan mereka dan tetangga
mereka dengan apa yang berguna untuk keperluan lang-
sung daripada yang hanya untuk dipamerkan atau untuk
status saja, yang hanya cocok untuk ditimbun. Segera
sesudah Allah menciptakan manusia, dan melengkapinya
dengan kebutuhan hidup berupa tanaman dan buah-buah-
an, Ia membuatnya kaya dan besar dengan memberinya
kekuasaan atas seluruh ciptaan (Kej. 1:28). Kekuasaan atas
ciptaan ini masih terus diberikan kepada manusia, kendati
kejatuhannya (Kej. 9:2), dan masih diperhitungkan sebagai
salah satu bentuk yang paling utama dari kekayaan, kehor-
matan, dan kekuasaan manusia (Mzm. 8:7).
(2) Dengan jumlah budaknya. Ia mempunyai sangat banyak
sanak keluarga dan pekerja, yang banyak dipekerjakan
baginya dan dipelihara olehnya. Jadi, dia memiliki kehor-
matan dan melakukan kebaikan. Namun dia juga dibebani
oleh perhatian dan biaya pemeliharaan yang besar. Lihat-
lah kesia-siaan dunia ini. Saat harta benda bertambah,
bertambah pula orang yang harus menjaga dan memeli-
haranya, dan dengan bertambahnya harta, bertambah pula
orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntung-
an pemiliknya selain dari pada melihatnya? (Pkh. 5:10).
Singkat kata, Ayub yaitu yang terkaya dari semua orang
di sebelah timur. Dan mereka yaitu yang paling kaya di
dunia: orang yang benar-benar kaya yaitu yang bertam-
bah-tambah lebih dari yang di timur (Yes. 2:6). Kekayaan
Ayub, bersama hikmatnya, membuatnya mendapat kehor-
matan dan kekuasaan di negerinya, yang menjadikan diri-
nya duduk sebagai kepala (ps. 29). Ayub saleh dan jujur,
namun juga bertambah kaya, atau tepatnya, sebab itu
bertambah kaya. Sebab kejujuran yaitu kebijakan yang
terbaik, dan kesalehan serta amal biasanya merupakan
cara yang paling pasti untuk berkembang. Ia memiliki ru-
mah tangga yang besar dan banyak bisnis, namun tetap
memelihara rasa takut akan Allah dan ibadah kepada-Nya.
Ia dan keluarganya semua beribadah kepada TUHAN. Kisah
tentang kesalehan dan kemakmuran Ayub ada sebelum
sejarah penderitaannya yang hebat, untuk menunjukkan
bahwa tidak ada yang akan melindungi kita dari bencana
dan kemalangan yang umum menimpa semua manusia da-
lam hidup ini. Kesalehan juga tidak akan melindungi kita,
seperti yang keliru dipikirkan para sahabat Ayub, sebab se-
gala sesuatu sama bagi sekalian. Kekayaan juga tidak, se-
perti yang disangka oleh dunia yang ceroboh ini (Yes. 47:8).
Aku bertakhta seperti ratu, dan aku tidak akan pernah ber-
kabung.
Perhatian Ayub kepada Anak-anaknya
(1:4-5)
4 Anak-anaknya yang lelaki biasa mengadakan pesta di rumah mereka
masing-masing menurut giliran dan ketiga saudara perempuan mereka diun-
dang untuk makan dan minum bersama-sama mereka. 5 Setiap kali, apabila
hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan
mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersem-
bahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya:
“Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di
dalam hati.” Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa.
Kita di sini membaca lebih lanjut kisah tentang kemakmuran dan ke-
salehan Ayub.
I. Kebahagiaan Ayub bersama dengan anak-anaknya diperhitung-
kan di sini sebagai suatu contoh dari kemakmurannya. Sebab
penghiburan di dunia ini bersifat sementara, hanya dipinjam,
bergantung pada orang lain, dan demikian pula mereka yang ada
di sekitar kita. Ayub sendiri menyebutnya sebagai salah satu dari
sukacita terbesar dari harta kekayaannya, yaitu bahwa anak-anak
ada di sekelilingnya (29:5). Mereka selalu berpesta secara bergilir-
Kitab Ayub 1:4-5
an pada waktu-waktu tertentu (ay. 4). Mereka pesta di rumah me-
reka masing-masing. Merupakan suatu penghiburan bagi Ayub,
1. Untuk melihat anak-anaknya bertumbuh dan mapan di dunia
ini. Semua anak laki-lakinya berada di rumah masing-masing,
mungkin sudah menikah, dan kepada masing-masing mereka,
Ayub memberi suatu bagian yang pantas untuk dinikmati.
Tanaman yang tadinya menjadi tanaman buah zaitun di sekeli-
ling mejanya kini dipindahkan ke meja mereka masing-masing.
2. Untuk melihat anak-anaknya berkembang dalam usaha mere-
ka, dan sanggup untuk mengadakan pesta bagi satu sama
lain, serta mampu menanggung keperluan hidup diri sendiri.
Orangtua yang baik mengingini, memajukan, dan bergembira
dalam kekayaan dan kemakmuran anak-anak mereka seperti
miliknya sendiri.
3. Untuk melihat anak-anaknya tetap sehat, tidak ada penyakit
dalam rumah mereka, sebab hal itu dapat mengganggu pesta
mereka dan mengubahnya menjadi dukacita.
4. Terutama untuk melihat anak-anaknya hidup dalam kasih,
kesatuan, dan saling menyayangi, tidak ada caci maki atau
pertengkaran di antara mereka, tidak ada keterasingan, tidak
ada rasa malu dan sungkan antara satu dan yang lain, tidak
ada saling menang sendiri, melainkan, kendati setiap orang
tahu milik kepunyaannya sendiri, mereka hidup dengan sa-
ngat bebas seakan-akan mereka saling memiliki semua secara
bersama. Merupakan penghiburan di hati orangtua, dan indah
di mata semua orang, untuk melihat saudara-saudara hidup
rukun bersama. Sungguh alangkah indahnya! (Mzm. 133:1).
5. Penghiburannya semakin bertambah saat ia melihat saudara
laki-laki begitu baik hati kepada saudara perempuannya, se-
hingga mereka mengundang saudara-saudara perempuan un-
tuk datang berpesta bersama. Sebab saudara-saudara perem-
puan itu begitu sederhana sehingga tidak akan pergi sebelum
diundang. Saudara laki-laki yang merendahkan saudara
perempuannya, tidak mau menemani mereka, dan tidak peduli
atas kenyamanan mereka, sungguh merupakan saudara yang
kurang ajar, bertabiat buruk, bukan anak-anak Ayub. Seperti-
nya pesta perjamuan mereka begitu tenang dan pantas sebab
saudara-saudara perempuan mereka mau menemani mereka
berpesta.
6. Mereka berpesta di rumah mereka masing-masing, bukan di
tempat umum, yang dapat membuat mereka menjadi lebih
terbuka bagi pencobaan, sehingga kurang pantas. Kita tidak
mendapati bahwa Ayub sendiri ikut berpesta bersama anak-
anaknya. Tak diragukan bahwa mereka pasti mengundangnya
dan pastilah ia akan sangat disambut di meja mereka. Bukan
sebab marah atau punya tabiat buruk atau kurang kasih
sayang, sehingga Ayub menjauh dari pesta anak-anaknya,
melainkan sebab dia sudah sangat tua dan telah mati terha-
dap hal-hal yang demikian, seperti Barzilai (2Sam. 19:35).
Juga, sebab ia menganggap bahwa orang-orang muda akan
menjadi lebih bebas dan gembira jika hanya sendirian saja
tanpa kehadiran orang lain. Namun Ayub tidak mau menge-
kang anak-anaknya dari hiburan yang ia jauhi itu. Orang-
orang muda dapat diberikan kebebasan orang muda asalkan
mereka menjauhkan diri dari nafsu orang muda.
II. Kepedulian Ayub yang besar terhadap anak-anaknya diperhitung-
kan sebagai suatu tindakan dari kesalehannya: Sebab kita sung-
guh-sungguh ada sebagaimana kita terhubung satu sama lain.
Orang-orang yang baik akan berbuat baik kepada anak-anak me-
reka, dan terutama melakukan sedapat mungkin bagi kebaikan
jiwa mereka. Perhatikanlah (ay. 5), perhatian saleh Ayub bagi ke-
sejahteraan rohani anak-anaknya,
1. Ia khawatir terhadap mereka dengan kekhawatiran ilahi. Demi-
kian pula seharusnya kita terhadap diri sendiri dan orang-orang
yang paling kita sayangi, sejauh hal itu memerlukan perhatian
dan usaha kita bagi kebaikan mereka. Ayub telah memberikan
pendidikan yang baik kepada anak-anaknya, merasa terhibur
oleh mereka dan memiliki pengharapan yang baik tentang mere-
ka. Namun dia tetap berkata, “Mungkin anak-anakku sudah
berbuat dosa selama hari-hari mereka berpesta lebih dari
waktu-waktu yang lain, terlalu bergembira, terlalu banyak dan
bebas makan dan minum, dan telah mengutuki Allah di dalam
hati.” Yaitu, mungkin “telah melayani pikiran-pikiran duniawi
dan tidak ingat kepada Tuhan, berpikir yang tidak patut ten-
tang Allah dan penyelenggaraan-Nya dan tidak beribadah se-
bagaimana mestinya.” Pada waktu mereka kenyang, mereka
mau menyangkal Allah dan berkata: Siapa TUHAN itu? (Ams.
30:9), hendak melupakan Allah dan berkata, Kekuasaanku dan
kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekaya-
an ini (Ul. 8:17). Tidak yang lebih menarik pikiran menjauh
dari Allah selain kesenangan daging.
2. Segera sesudah hari-hari berpesta mereka telah berlalu, Ayub
memanggil mereka untuk mengadakan ibadah bersama. Bu-
kan saat pesta mereka sedang berlangsung, biarlah mereka
menikmati waktu berpesta. Ada waktu bagi segala sesuatu,
melainkan saat pesta tersebut telah usai, ayah mereka yang
baik mengingatkan mereka bahwa mereka harus tahu kapan
harus berhenti dan tidak berpesta pora setiap hari. Kendati
mereka memiliki hari-hari pesta setiap minggu, janganlah me-
reka melakukannya sepanjang tahun. Ada hal lain untuk me-
reka kerjakan juga. Perhatikanlah, orang-orang yang bergembira
harus menemukan waktu untuk bersungguh-sungguh juga.
3. Ayub memanggil mereka untuk menyiapkan diri untuk ber-
ibadah, memanggil dan menguduskan mereka, memerintahkan
mereka untuk memeriksa hati nurani mereka dan bertobat
dari kesalahan yang telah mereka lakukan selama berpesta,
membuang segala yang sia-sia dan menyiapkan hati untuk
beribadah. Jadi, Ayub mengatur mereka dengan wewenangnya
demi kebaikan mereka, dan mereka pun tunduk kepadanya,
meskipun mereka sudah berumah tangga sendiri. Ia tetap
menjadi imam dalam keluarga dan ke mezbahnya mereka
semua datang berkumpul, menghargai bagian mereka dalam
doa-doanya lebih daripada bagian mereka dalam kekayaannya.
Orangtua tidak dapat memberi anugerah kepada anak-anak
mereka sebab Allah-lah yang menguduskan, namun mereka
dapat memberi peringatan dan nasihat yang tepat untuk
mendorong kekudusan hidup mereka. Dalam baptisan mereka
dikuduskan bagi Allah. Kiranya menjadi kerinduan dan usaha
kita agar mereka dapat dikuduskan bagi Allah.
4. Ayub mempersembahkan korban bagi mereka, baik untuk me-
nebus dosa-dosa yang dikhawatirkannya telah mereka lakukan
selama hari-hari berpesta dan untuk memohon bagi mereka
belas kasihan Allah untuk mengampuni mereka. Juga, untuk
memohonkan anugerah Allah untuk mencegah pikiran mereka
menjadi cemar dan perilaku mereka menjadi rusak akibat gaya
hidup mereka yang bebas. Dengan begitu, untuk memelihara
kesalehan dan kemurnian hidup mereka.
Sebab dengan mata yang berduka dia sering mengamati,
Terserak dalam kesenangan yang licin tapi mematikan,
Sampah-sampah kebajikan yang telah dikuasai nafsu,
Dan bangkai yang mengapung dari kesucian yang hancur.
– Sir R. Blackmore.
Ayub, seperti Abraham, memiliki sebuah mezbah bagi ke-
luarganya, yang di atasnya, sepertinya, dia mempersembahkan
korban setiap hari. Namun, pada kesempatan yang langka ini,
dia mempersembahkan lebih banyak korban daripada biasa-
nya, dan dengan lebih khidmat, sebanyak jumlah mereka seka-
lian, satu korban untuk setiap anak. Orangtua seharusnya
secara khusus memohon kepada Allah untuk anggota keluarga
mereka. “Untuk anak ini aku berdoa, sesuai dengan wataknya,
kecerdasannya, dan keadaannya yang khas,” seharusnya dima-
sukkan ke dalam doa dan usaha mereka. saat korban-korban
ini akan dipersembahkan,
(1) Ia bangun pagi-pagi, sebagai seorang yang peduli supaya
anak-anaknya tidak terbaring lama di bawah kesalahan
dan sebagai seorang yang hatinya terpaku pada pekerjaan-
nya dan kerinduannya pada pekerjaannya tersebut.
(2) Ia mengharuskan anak-anaknya untuk menghadiri ibadah
korban supaya mereka dapat bergabung dengannya di da-
lam doa-doa yang dipanjatkan bersama dengan korban, su-
paya dengan menyaksikan penyembelihan korban, mereka
dapat merendahkan diri dan menyesali dosa-dosa mereka,
yang sebab nya mereka seharusnya pantas untuk mati.
Juga, agar dengan melihat korban itu dipersembahkan,
mereka dapat dituntun kepada Sang Pengantara. Pekerjaan
yang sungguh-sungguh ini akan menolong mereka bersikap
saleh kembali setelah hari-hari kegirangan mereka.
5. Demikianlah Ayub melakukannya setiap kali, dan tidak hanya
sewaktu ada kesempatan saja. Sebab barangsiapa telah mandi,
ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya
(Yoh. 13:10). Tindakan pertobatan dan iman harus sering di-
perbarui, sebab kita sering mengulangi pelanggaran kita. Se-
panjang hari, setiap hari, dia mempersembahkan korbannya,
setia dengan ibadahnya, tidak mengabaikannya sehari pun. Iba-
dah-ibadah khusus tidak membebaskan kita untuk melakukan
ibadah-ibadah umum yang sudah ditetapkan. Orang yang me-
layani Allah dengan benar, akan melayani Dia terus-menerus.
Iblis Menghadap Allah dan
Diizinkan untuk Menulahi Ayub
(1:6-12)
6 Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di an-
tara mereka datanglah juga Iblis. 7 Maka bertanyalah TUHAN kepada Iblis:
“Dari mana engkau?” Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: “Dari perjalanan me-
ngelilingi dan menjelajah bumi.” 8 Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis:
“Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun
di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah
dan menjauhi kejahatan.” 9 Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: “Apakah dengan
tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? 10 Bukankah Engkau yang
membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya?
Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin
bertambah di negeri itu. 11 namun ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala
yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” 12 Maka fir-
man TUHAN kepada Iblis: “Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasa-
mu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya.” Ke-
mudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN.
Ayub tidak hanya begitu kaya dan besar, namun juga begitu bijaksana
dan baik, dan mendapat perkenan sorga maupun bumi, sehingga kita
dapat menduga gunung kekayaannya berdiri begitu kuat sampai
tidak dapat digoyahkan. namun di sini kita menemukan suatu awan
tebal yang berkumpul di atas kepalanya, mengandung suatu prahara
yang mengerikan. Kita jangan pernah memikirkan diri aman dari ba-
dai sementara kita berada di dalam dunia bawah ini. Sebelum kita
diberi tahu bagaimana kesulitan mengejutkan dan menjerat Ayub di
sini di dalam dunia yang kelihatan ini, kita diberi tahu bagaimana
kesulitan itu disepakati di dalam dunia roh. Si Iblis, sebab memiliki
suatu kebencian yang hebat kepada Ayub sebab kesalehannya yang
menonjol, memohon dan memperoleh izin untuk menyiksa Ayub. Per-
cakapan antara Allah dan Iblis ini sama sekali tidak merendahkan
kebenaran kisah Ayub, sebab percakapan ini bersifat kiasan saja,
seperti yang dilihat oleh Mikha (1Raj. 22:19, dst.). Ini sebuah kiasan
yang dirancang untuk memperlihatkan niat jahat si Iblis terhadap
orang-orang yang baik, dan bahwa niat jahatnya itu selalu diawasi
dan dikekang oleh Allah. Selain itu, kiasan ini menyatakan lebih lan-
jut bahwa segala urusan di dunia ini sangat menjadi pusat perhatian
dari dunia yang tidak kelihatan itu. Dunia tersebut begitu gelap bagi
kita, namun kita terlentang sangat terbuka kepadanya. Nah di sini kita
menemukan,
I. Iblis di antara anak-anak Allah (ay. 6), seorang penentang (demi-
kianlah arti dari nama Iblis) Allah, manusia, dan semua kebaikan:
dia memaksakan diri untuk masuk ke dalam suatu perkumpulan
anak-anak Allah yang datang untuk menghadap TUHAN. Hal ini
berarti entah,
1. Sebuah pertemuan orang-orang saleh di bumi. Para penyem-
bah Allah, di zaman bapak-bapak leluhur, disebut anak-anak
Allah (Kej. 6:2). Waktu itu mereka biasa berkumpul untuk ber-
ibadah pada waktu-waktu yang tertentu. Sang Raja masuk un-
tuk menyambut para tamunya. Mata Allah ada di mana-mana.
namun ada seekor ular di Firdaus, seorang Iblis di antara anak-
anak Allah. saat mereka berkumpul, si Iblis ikut bersama
mereka, untuk mengacaukan dan mengganggu mereka, berdiri
menentang mereka. TUHAN kiranya menghardik engkau, hai
Iblis! Atau juga,
2. Itu yaitu suatu pertemuan para malaikat di sorga. Malaikat
yaitu anak-anak Allah (38:7). Mereka datang untuk memberi-
kan laporan tentang kegiatan mereka di bumi dan untuk me-
nerima petunjuk-petunjuk yang baru. Iblis yaitu salah satu
di antara mereka pada mulanya. namun Wah, engkau sudah
jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar! Namun dia
tidak ada hak lagi di dalam perkumpulan tersebut sekarang,
namun digambarkan di sini ada di antara mereka, entah di-
panggil untuk dimintai tanggung jawab sebagai seorang pen-
jahat atau menyusup sebagai seorang pengganggu.
II. Pemeriksaan Allah, bagaimana dia datang ke sini (ay. 7): Maka
bertanyalah TUHAN kepada Iblis: “Dari mana engkau?” Allah tahu
persis dari mana dia datang, dan dengan rancangan apa dia
datang ke sini. Allah tahu seperti halnya para malaikat yang baik
datang untuk melakukan kebaikan, dia datang untuk meminta
izin melakukan kecelakaan. namun dengan memanggilnya untuk
memberikan laporan, Allah menunjukkan kepada Iblis bahwa dia
berada di bawah pengawasan dan kendali. Dari mana engkau? Ia
menanyakan hal ini,
1. sebab ingin tahu apa yang membawanya ke sini. Apakah juga
Saul termasuk golongan nabi? Iblis di antara anak-anak Allah?
Ya, sebab dia menyamar sebagai Malaikat Terang (2Kor. 11:13-
14), dan tampak mirip salah satu dari mereka. Perhatikanlah,
ada kemungkinan bahwa seseorang dapat menjadi anak Iblis
namun ditemukan ada dalam perkumpulan anak-anak Allah
di dunia ini, dan di sana mungkin ia tidak terlihat oleh manu-
sia, namun ditantang oleh Allah yang maha melihat semua-
nya. Saudara, bagaimana engkau masuk ke mari? Atau,
2. Mau mencari tahu apa yang telah dilakukannya sebelum dia da-
tang ke sini. Pertanyaan yang sama mungkin juga disampaikan
kepada yang lainnya yang datang menghadap TUHAN, “Dari
mana engkau?” Kita semua bertanggung kepada Allah atas se-
mua tempat dan semua jalan yang kita lewati.
III. Laporan Iblis tentang dirinya dan tentang perjalanannya menge-
lilingi bumi. Aku datang (katanya) dari perjalanan mengelilingi dan
menjelajah bumi.
1. Ia tidak dapat mengaku-ngaku sudah melakukan kebaikan,
tidak mampu memberi laporan yang demikian seperti halnya
anak-anak Allah, yang datang menghadap TUHAN, yang datang
dari melaksanakan perintah-perintah-Nya, melayani kepenting-
an kerajaan-Nya, dan melayani orang-orang yang mewarisi kese-
lamatan.
2. Iblis tidak akan mengakui bahwa dia telah melakukan suatu
celaka, bahwa dia telah menjauhkan orang-orang dari perse-
kutuan dengan Allah, menipu dan membinasakan jiwa. Tidak,
Aku tidak berbuat jahat (Ams. 30:20). Hambamu tidak pergi ke
mana-mana. Dengan berkata bahwa dia pasti telah berjalan
mengelilingi dan menjelajah bumi, dia menyatakan bahwa dia
telah menahan diri di dalam batas-batas yang diizinkan kepa-
danya, dan tidak melanggar batas. Sebab naga besar itu dilem-
parkan ke bumi (Why. 12:9) dan belum dikurung dalam tempat
siksaan. Sementara kita ada di atas bumi ini, kita ada di dalam
jangkauannya, dan dengan begitu banyak kelicikan, ketangkas-
an, dan kecerdikan, dia pasti telah menembus ke dalam semua
sudut bumi, sehingga kita tidak dapat berada di tempat yang
aman dari cobaannya.
3. Ia tampaknya mengungkapkan beberapa tabiatnya.
(1) Mungkin ia berkata-kata dengan rasa bangga, dengan sikap
yang a