angkuh, seakan-akan dia benar-benar penguasa dunia
ini, seolah-olah kerajaan dunia dan kemuliaannya yaitu mi-
liknya (Luk. 4:6), dan kini dia sedang berjalan-jalan mengeli-
lingi semua daerah kekuasaannya.
(2) Mungkin ia berkata-kata dengan rasa marah dan tidak puas.
Ia telah berjalan mengelilingi dan menjelajah, namun tidak
mendapatkan ketenangan, lebih banyak menyerupai seorang
pelarian dan gelandangan seperti Kain di tanah Nod.
(3) Mungkin ia berkata-kata dengan hati-hati: “Aku telah beker-
ja keras, berkeliling dan menjelajah,” atau (seperti yang di-
baca oleh sebagian orang) “memeriksa di sekeliling bumi,”
sungguh-sungguh mencari suatu kesempatan untuk melaku-
kan kejahatan. Ia berjalan berkeliling mencari orang yang da-
pat dimangsanya. sebab itu kita perlu awas dan waspada.
IV. Pertanyaan yang diajukan Allah kepada Iblis tentang Ayub (ay. 8):
Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Seperti saat
kita bertemu dengan seseorang yang baru pulang dari tempat
yang jauh, di mana kita memiliki seorang teman yang sangat kita
kasihi, maka kita siap untuk bertanya, “Jadi kamu mengunjungi
tempat itu rupanya. Apakah kamu melihat temanku di sana?”
Amatilah,
1. Betapa hormatnya Allah berbicara tentang Ayub: Ia yaitu ham-
ba-Ku. Orang-orang yang baik yaitu hamba-hamba Allah, dan
Ia senang menganggap diri-Nya merasa terhormat dengan pe-
layanan mereka, dan demikian pula halnya mereka kepada-
Nya menjadi ternama dan terpuji (Yer. 13:11), dan suatu mah-
kota keagungan (Yes. 62:3). “Di sanalah hamba-Ku Ayub. Tidak
ada yang seperti dia, tak seorang pun yang Kuhargai seperti
dia, dari antara semua penguasa dan raja-raja di bumi. Satu
saja orang saleh seperti dia setara nilainya dengan gabungan
mereka semua: tak seorang pun seperti dia yang sedemikian
saleh dan jujur. Banyak yang berbuat baik, namun dia mengung-
guli semuanya. Tidak dapat dijumpai iman sebesar ini, tidak,
sekalipun di antara orang Israel.” Demikian pula Kristus, lama
sesudahnya, memuji si perwira dan perempuan dari Kanaan
itu, yang keduanya, sama seperti Ayub, yaitu orang asing
bagi warga Israel. Orang-orang kudus bermegah di dalam Allah
– Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah?, dan Ia
pun senang bermegah di dalam mereka – Siapakah seperti
Israel di antara bangsa-bangsa? Demikian pula di sini, tiada
seorang pun seperti Ayub, tak seorang pun di bumi yang tidak
sempurna itu. Orang-orang yang di sorga memang jauh lebih
cemerlang dari Ayub. Yang paling kecil di dalam kerajaan sorga
lebih besar dari dia. namun di bumi tidak ada yang seperti
dia. Tidak ada yang seperti dia di negeri itu. Demikianlah orang
yang baik yaitu kemuliaan negerinya.
2. Betapa tepatnya Allah memberi tahu Iblis tentang sifat Ayub:
Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Yang dengan
ini bermaksud,
(1) Untuk memperberat kemurtadan dan penderitaan roh jahat
tersebut: “Betapa tidak samanya engkau dari dia!” Perhati-
kanlah, kekudusan dan kebahagiaan orang-orang saleh me-
rupakan kehinaan dan siksaan bagi Iblis dan anak-anaknya.
(2) Untuk menjawab bualan Iblis bahwa dia punya kekuasaan
di bumi ini. “Aku telah mengelilingi dan menjelajah bumi,”
katanya, “dan seluruh bumi yaitu milikku. Semua manu-
sia yang penuh nafsu daging telah merusak jalan mereka.
Mereka semua duduk tenang dan beristirahat di dalam
dosa-dosa mereka,” (Zak. 1:10-11). “Bahkan, lihatlah,” kata
Allah, “Ayub yaitu hamba-Ku yang setia.” Iblis boleh
membual, namun dia tidak akan dapat menang.
(3) Untuk menangkal tuduhan Iblis, seolah-olah Ia berkata,
“Iblis, Aku tahu tujuanmu. Engkau datang untuk memberi
tahu hal-hal yang menentang Ayub. namun apakah engkau
memperhatikannya? Bukankah sifat salehnya yang tidak
perlu dipertanyakan lagi itu membuatmu berbohong?” Per-
hatikanlah, Allah mengetahui semua niat jahat si Iblis dan
cara-caranya untuk melawan hamba-hamba-Nya. Dan kita
punya seorang Pembela yang siap untuk tampil membela
kita, bahkan sebelum kita dituduh.
V. Fitnahan jahat Iblis terhadap Ayub, sebagai jawaban terhadap
pujian Allah kepada Ayub. Iblis tidak dapat menyangkal bahwa
Ayub takut akan Allah, sehingga ia menuduh Ayub hanya menge-
jar uang dalam beragama, dan sebab itu ia seorang yang muna-
fik (ay. 9): Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut
akan Allah? Amatilah,
1. Betapa tidak tahannya si Iblis mendengarkan Ayub dipuji-puji,
kendati Allah sendiri yang memujinya. Sungguh serupa de-
ngan si Iblis orang-orang yang tidak tahan mendengar orang
lain yang dipuji-puji dan bukannya mereka. Orang yang demi-
kian menggerutu terhadap nama baik yang pantas didapat
orang lain, seperti Saul (1Sam. 18:5, dll.) dan orang-orang
Farisi (Mat. 21:15).
2. Betapa bingungnya Iblis dalam menemukan sesuatu alasan
untuk melawan Ayub. Ia tidak dapat menuduh Ayub atas se-
suatu yang jahat, sehingga menuduh dia berbuat baik sebab
ada udang di balik batu. Seandainya separuh saja dari tuduh-
an para sahabat Ayub yaitu benar (15:4, 22:5), maka tak ayal
lagi Iblis pasti telah memakai nya untuk melawan Ayub.
Akan namun tidak ada sesuatu yang bisa dituduhkan, maka
sebab nya,
3. Lihatlah betapa liciknya dia mencela Ayub sebagai seorang mu-
nafik, dengan tidak menyatakan bahwa dia seorang yang demi-
kian, melainkan hanya bertanya, “Bukankah dia demikian?” Ini
yaitu cara yang umum dari para pemfitnah, pembisik, penjilat,
untuk memakai cara bertanya saat mau memfitnah sesuatu
yang mereka tidak punya alasan untuk membenarkannya. Per-
hatikanlah, tidaklah aneh jika orang-orang yang diperkenan
dan diterima Allah dicela tidak adil oleh si Iblis dan antek-
anteknya. Jika mereka luar biasa unggul dalam kesalehan,
maka dengan mudah mereka dituduh munafik, seperti yang
dituduhkan Iblis kepada Ayub. Dan jika mereka tidak punya
jalan untuk membersihkan diri, maka mereka dapat bersabar
saja menantikan penghakiman Allah. Sama seperti tidak ada
hal lain yang harus kita takutkan selain berlaku munafik,
demikian pula tidak ada hal lain yang perlu kita takuti saat
dipanggil dan dianggap demikian tanpa sebab.
4. Betapa tidak adilnya Iblis menuduh Ayub mata duitan untuk
membuktikan dia seorang munafik. Sungguh benar bahwa
Ayub takut Allah sebab sesuatu. Ia telah beroleh banyak oleh
sikapnya tersebut, sebab kesalehan yaitu keuntungan be-
sar. Namun, salah besar jika Ayub tidak akan takut kepada
Allah jika dia tidak mendapat sesuatu olehnya, seperti kenya-
taannya. Teman-teman Ayub menuduhnya munafik sebab dia
mendapat tulah yang hebat, sedangkan Iblis menuduhnya mu-
nafik sebab dia sangat kaya. Begitulah, bukan hal yang sulit
bagi orang yang mau memfitnah untuk mencari-cari alasan.
Bukanlah ada udang di balik batu kalau kita taat demi men-
dapatkan upah kekekalan. Sebaliknya, memiliki tujuan untuk
mendapatkan keuntungan duniawi yang sifatnya sementara di
dalam kehidupan beragama, dan menjadikan agama sebagai
alat, merupakan penyembahan berhala rohani, sebab menyem-
bah ciptaan lebih daripada Sang Pencipta, dan pada akhirnya
dapat membuat orang murtad dan binasa. Orang tidak da-
pat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.
VI. Keluhan yang disampaikan oleh Iblis tentang kemakmuran Ayub
(ay. 10). Amatilah,
1. Apa yang telah Allah lakukan bagi Ayub. Ia melindunginya,
membuat pagar di sekelilingnya, untuk menjaga hamba-Nya,
keluarganya, dan semua miliknya. Perhatikanlah, umat pilihan
Allah dijaga di bawah perlindungan-Nya yang khusus, mereka
dan semua yang menjadi milik mereka. Anugerah ilahi mem-
buat pagar di sekeliling kehidupan rohani mereka, dan penye-
lenggaraan ilahi di sekeliling kehidupan jasmani mereka, se-
hingga mereka aman dan tenang. Allah membuat Ayub mak-
mur, bukan dalam kemalasan atau ketidakbenarannya (Iblis
tidak dapat menuduhnya sebab hal demikian), melainkan di
jalan kerajinan dan kejujuran: Apa yang dikerjakannya telah
Kauberkati . Tanpa berkat Allah, sekalipun tangan begitu kuat,
begitu terampil, pekerjaan tidak akan berhasil. namun , dengan
berkat-Nya, apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri.
Berkat TUHAN menjadikan kaya: Iblis sendiri mengakuinya.
2. Bagaimana si Iblis memperhatikan keberhasilan Ayub itu dan
memakainya untuk melawannya. Iblis berbicara tentang ke-
berhasilannya dengan kejengkelan. “Aku melihat Engkau telah
membuat pagar sekeliling dia.” Seolah-olah Iblis telah berjalan
mengeliling pagarnya, untuk melihat kalau-kalau dia dapat
melihat suatu celah untuk masuk dan mencelakainya. Namun
dia kecewa: pagar itu tertutup sangat rapat. Orang fasik meli-
hatnya, ia menjadi marah, dan berbantah melawan Ayub, bah-
wa satu-satunya alasan mengapa dia tetap melayani Allah
yaitu sebab Allah telah membuatnya kaya. “Tidak heran ka-
lau ia setia kepada pemerintah yang berkenan kepadanya, dan
mau melayani seorang Tuan yang membayarnya dengan begitu
baik.”
VII. Bukti yang berusaha diberikan oleh Iblis tentang kemunafikan
dan sifat mencari untung Ayub dalam hidup keagamaannya, jika
Allah mau memberinya izin untuk menelanjangi dia dari kekaya-
annya. “Bagaimana kalau kita coba begini saja,” katanya (ay. 11).
“buatlah dia miskin, berpalinglah dari dia, ulurkan tangan-Mu
melawan dia, lalu lihatlah bagaimana jadinya dengan hidup ke-
agamaannya. Ambillah apa yang dimilikinya dan akan kelihatan
dirinya yang sebenarnya. Apabila ia tidak mengutuki Engkau di
hadapan-Mu, jangan lagi mempercayaiku, panggil aku pembohong
dan penuduh palsu. Kiranya aku binasa jika dia tidak mengutuki-
Mu.” Demikianlah beberapa orang menafsirkan kutukan ini, yang
dengan hati-hati disembunyikan si Iblis, namun dilontarkan de-
ngan lancang dan berani oleh para pendakwah cemar di zaman
kita sekarang. Amatilah,
1. Betapa ringannya dia berbicara tentang penderitaan yang di-
inginkannya bagi Ayub: “Jamahlah semua yang ia punyai, di-
mulai dengan dirinya, buatlah dia miskin. Sebuah salib kecil
akan mengubah nada bicaranya.”
2. Betapa dengkinya dia berbicara tentang pengaruh penderitaan
itu terhadap Ayub: “Ia tidak hanya akan meninggalkan iba-
dahnya, namun dengan terang-terangan juga akan berbantah.
Ia tidak hanya akan menuduh Engkau tidak benar, namun juga
bahkan mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” Kata yang diterje-
mahkan dengan kutuk yaitu barac, kata yang sama yang
biasanya dan mula-mula menunjuk kepada arti memberkati.
Namun mengutuk TUHAN yaitu sesuatu yang tidak benar
sehingga bahasa suci tidak akan memakai kata tersebut:
namun jika arti demikian yang dimaksud, maka kata tersebut
harus dipahami demikian (1Raj. 21:10-13), di mana kata ter-
sebut dipakai terhadap kejahatan yang dituduhkan kepada
Nabot, bahwa dia menghujat Allah dan raja. Sekarang,
(1) Sepertinya Iblis sungguh yakin bahwa Ayub, jika dijadikan
miskin, akan menyangkal agamanya dan pengakuan iman-
nya, sehingga dengan demikian (seperti seorang sarjana
mengamatinya dalam karyanya, Mount of Spirits), Iblis akan
membangun kerajaan atas seluruh dunia di antara anak-
anak manusia. Allah menyatakan Ayub yaitu orang ter-
baik yang pernah hidup: kini, jika Iblis dapat membuktikan
dia seorang yang munafik, maka dengan sendirinya Allah
gagal memiliki seorang hamba yang setia di antara ma-
nusia. Juga, bahwa tidak kesalehan yang sedemikian benar
dan sungguh-sungguh di dunia, sebaliknya agama yaitu
palsu sama sekali, dan Iblis yaitu raja de facto – yang se-
benarnya, atas semua umat manusia. Namun, tampak jelas
bahwa Tuhan mengenal siapa kepunyaan-Nya dan tidak
akan tertipu dalam hal apa pun.
(2) Meskipun demikian, jika Ayub tetap mempertahankan aga-
manya, Iblis akan tetap puas melihatnya tertimpa tulah
dengan dahsyat. Ia membenci orang-orang yang baik, dan
bergembira di dalam kesengsaraan mereka, seperti Allah ber-
gembira di dalam kemakmuran mereka.
VIII. Izin yang diberikan Allah kepada Iblis untuk mencelakakan Ayub
sebagai ujian kesungguhan hatinya. Iblis menginginkan Allah
melakukannya: Ulurkanlah tangan-Mu sekarang. Allah mengizin-
kan Iblis untuk melakukannya (ay. 12): “Nah, segala yang dipu-
nyainya ada dalam kuasamu. Buatlah cobaan setajam yang
engkau dapat. Lakukan yang terburuk terhadapnya.” Kini,
1. Memang mengherankan bahwa Allah sampai memberikan
Iblis izin yang demikian, sampai memberikan nyawa merpati-
Nya ke dalam tangan sang musuh, seperti seekor anak dom-
ba kepada seekor singa. Namun Ia melakukannya bagi kemu-
liaan-Nya, bagi kehormatan Ayub, sebagai pembuktian atas
Penyelenggaraan-Nya, dan penguatan bagi umat-Nya yang
tertimpa celaka di segala abad, untuk menjadikan perkara
yang benar ini sebagai contoh yang bermanfaat. Ia membiar-
kan Ayub dicobai, seperti Ia membiarkan Petrus ditampi, te-
tapi menjaga agar imannya tidak gugur (Luk. 22:32), supaya
cobaan tersebut mendatangkan puji-pujian dan kemuliaan
dan kehormatan (1Ptr. 1:7). namun ,
2. Merupakan suatu kelegaan bahwa Allah telah mengikat si Iblis,
dengan rantai yang besar (Why. 20:1). Iblis tidak dapat men-
celakakan Ayub tanpa seizin Allah, tanpa meminta dan men-
dapat izin-Nya lebih dahulu, dan ia tidak dapat bertindak
melebihi dari yang diizinkan: “Hanya janganlah engkau meng-
ulurkan tanganmu terhadap dirinya. Jangan menyentuh tu-
buhnya, hanya harta miliknya saja.” Iblis hanya memiliki
kuasa yang dibatasi. Ia tidak punya kuasa untuk merusak-
kan manusia selain apa yang mereka berikan saja, tidak
punya kuasa untuk mencelakakan manusia selain dari apa
yang diberikan kepadanya dari atas.
IX. Iblis meninggalkan pertemuan anak-anak Allah itu. Sebelum me-
reka bubar, Iblis pergi (seperti Kain, Kej. 4:16) dari hadapan
TUHAN. Tidak lagi menunggu di hadapan-Nya (seperti Doeg, 1Sam.
21:7) sampai dia telah mencapai tujuan kejahatannya. Ia pergi,
1. Senang sebab telah mencapai tujuannya, bangga dengan izin
untuk melakukan kejahatan kepada seorang yang baik. Dan,
2. Bertekad untuk tidak kehilangan waktu, melainkan dengan
segera melaksanakan rencananya. Ia pergi sekarang, bukan
untuk mengelilingi dan menjelajah, mengembara tanpa arah di
bumi, melainkan langsung menuju satu titik tujuan, untuk
menyergap Ayub yang malang, yang dengan hati-hati terus
menjalankan kewajibannya dan tidak tahu apa-apa tentang
hal perkaranya. Apa yang terjadi antara roh yang baik dan
yang jahat tentang diri kita, kita tidak menyadarinya.
Malapetaka yang Menimpa Ayub dan
Kematian Anak-anaknya
(1:13-19)
13 Pada suatu hari, saat anak-anaknya yang lelaki dan yang perempuan
makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung,
14 datanglah seorang pesuruh kepada Ayub dan berkata: “Sedang lembu sapi
membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya, 15 da-
tanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul
penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga
dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” 16 Sementara orang itu ber-
bicara, datanglah orang lain dan berkata: “Api telah menyambar dari langit
dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga.
Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu
kepada tuan.” 17 Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan
berkata: “Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu
unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata
pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal
itu kepada tuan.” 18 Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan
berkata: “Anak-anak tuan yang lelaki dan yang perempuan sedang makan-
makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, 19 maka
tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilanda-
nya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, se-
hingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberi-
tahukan hal itu kepada tuan.”
Di sini kita mendapati sebuah laporan khusus tentang masalah-ma-
salah Ayub.
I. Iblis menimpakan malapetaka ke atasnya pada hari saat anak-
anaknya mulai berpesta di rumah saudara mereka yang sulung (ay.
13), yang kita bisa duga, perjamuan pestanya pastilah sangat me-
wah dan berlimpah, mengingat sang putra sulung mendapat dua
kali lipat bagian warisan. Seluruh keluarga, tak diragukan, sedang
menikmati ketenangan sempurna, dan semuanya nyaman tanpa
masalah. Namun, kali ini Iblis telah memilih, bahwa malapetaka,
yang datang sekarang, akan lebih menyedihkan. Malam hari yang
selalu kurindukan itu sekarang menggentarkan aku (Yes. 21:4).
II. Semua malapetaka mendatangi Ayub sekaligus. Sementara seorang
utusan membawa kabar buruk, masuk lagi seorang utusan lain,
dan sebelum dia sempat menyelesaikan ceritanya, datang pula
utusan yang ketiga, dan yang keempat juga segera datang. Demi-
kianlah, Iblis, dengan izin TUHAN, mengatur,
1. Supaya terjadilah murka Allah yang lebih dari biasanya datang
menimpa Ayub dalam semua malapetaka ini, sehingga Ayub
menjadi marah terhadap Penyelenggaraan ilahi. Seakan-akan
hal ini sudah ditetapkan, benar atau salah, untuk menghan-
curkan dia, dan tidak memberinya waktu untuk membela diri.
2. Supaya Ayub tidak mendapat kesempatan untuk berpikir dan
merenung, sehingga berserah diri kepada Allah. Sebaliknya
dengan malapetaka yang banyak dan rumit ini ia dapat dibuat
kewalahan dan tidak berdaya. Jika tidak ada waktu baginya
untuk berhenti sejenak, ia akan berbicara tanpa banyak pikir,
lalu segera mengutuki Allahnya. Perhatikanlah, anak-anak
Allah sering kali merasa berbeban berat saat tertimpa berba-
gai cobaan yang datang bertubi-tubi. Kesusahan demi kesu-
sahan datang silih berganti. Gelombang dan ombak memukul
silih-berganti. sebab itu, kiranya satu malapetaka mendorong
dan menolong kita untuk bersiap bagi yang lain. Sebab, betapa
pun dalamnya kita telah meminum cawan yang pahit, sepan-
jang kita ada di dalam dunia ini, kita tidak dapat memastikan
bahwa kita telah meminum bagian kita dan akhirnya telah
berlalu dari kita.
III. Segala malapetaka itu merampas dari Ayub semua yang dimiliki-
nya, dan mengakhiri semua kesenangannya. Rincian kerugiannya
sesuai dengan daftar panjang semua harta miliknya yang disebut-
kan sebelumnya.
1. Ia memiliki 500 pasang lembu dan 500 keledai betina, dan se-
jumlah besar hamba-hambanya untuk menjaga dan memeliha-
ranya. Dan Ayub kehilangan semuanya ini dalam sekejap (ay.
14-15). Laporan yang diterimanya memberi tahu dia,
(1) Bahwa semuanya terjadi bukanlah sebab kecerobohan
dari para hambanya. Sebab kalau tidak, pastilah kemarah-
annya sudah menimpa mereka saat itu: Sedang lembu sapi
membajak, tidak sedang bermain, dan keledai-keledainya
tidak sedang tersesat sehingga diambil orang, melainkan
sedang makan rumput di sebelahnya, di bawah pengawasan
hamba-hambanya, masing-masing di tempatnya. Dan orang-
orang yang sedang lewat, kita menduga, pasti menyapa me-
reka dan berkata, Semoga Allah melancarkan pembajakan-
nya. Perhatikanlah, semua kepintaran, perhatian, dan kera-
jinan kita tidak dapat menjamin kita dari malapetaka, tidak,
termasuk dari bencana yang umumnya disebabkan oleh ke-
cerobohan dan kelalaian. Jikalau bukan TUHAN yang meng-
awal kota, kendati begitu waspada, sia-sialah pengawal
berjaga-jaga. Namun menjadi suatu penghiburan bagi kita,
bahwa saat masalah menimpa, kita sedang berada di
jalan tugas panggilan kita, dan tidak menyimpang.
(2) Bahwa malapetaka itu terjadi sebab kejahatan tetangga-
nya orang-orang Syeba, mungkin segerombolan perampok
yang hidup dengan menjarah dan merampas. Mereka mem-
bawa lari lembu dan keledai, dan membunuh para hamba-
nya yang dengan setia dan berani telah melakukan yang
terbaik untuk mempertahankan ternak yang dijaganya,
dan hanya satu yang selamat, bukan sebab kebaikannya
atau kebaikan tuannya, melainkan agar Ayub dapat tahu
dengan pasti tentang hal itu melalui seorang saksi mata
sebelum dia mendengarnya melalui kabar burung, yang
akan memberi tahu dia secara bertahap. Kita tidak punya
alasan untuk mencurigai Ayub atau para hambanya telah
berbuat hal-hal yang membuat marah orang-orang Syeba
sehingga mereka melakukan penyerangan itu, namun Iblis
yang memasukkannya ke dalam hati mereka untuk mela-
kukannya, melakukannya sekarang, sehingga ia mendapat
keuntungan ganda, yaitu membuat Ayub menderita dan
mereka berdosa. Perhatikanlah, saat Iblis mendapat izin
Allah untuk melakukan kejahatan, dia tidak akan keku-
rangan orang jahat untuk menjadi alatnya dalam melak-
sanakan kejahatan itu, sebab dia yaitu roh yang sekarang
sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.
2. Ayub memiliki 7.000 ekor kambing domba dan para gembala
untuk menjaganya. Dan semuanya lenyap sesaat oleh sam-
baran petir (ay. 16). Ayub mungkin, dalam pemikirannya, siap
untuk menghardik orang-orang Syeba, segera pergi menghajar
mereka sebab ketidakadilan dan kekejaman mereka, saat
kabar berikutnya segera mengarahkan dia untuk menatap ke
atas: Api Allah telah menyambar dari langit. Sama seperti gun-
tur yaitu suara-Nya, demikian pula petir yaitu api-Nya: na-
mun petir yang ini begitu tidak biasanya dan ditujukan lang-
sung kepada Ayub, sehingga semua domba dan gembalanya
tidak hanya terbunuh, namun hangus terbakar sesaat . Hanya
satu gembala saja yang dibiarkan hidup untuk membawa kabar
kepada Ayub yang malang. Iblis, yang bertujuan untuk mem-
buat Ayub mengutuk Allah dan menyangkal agamanya, meng-
atur bagian dari pencobaan ini dengan sangat lihai, supaya
(1) Domba-dombanya, yang biasa dipakai Ayub secara khu-
sus sebagai korban persembahan untuk menghormati Allah,
semuanya diambil darinya, seakan-akan Allah marah ter-
hadap persembahannya dan menghukumnya dengan hal-
hal yang dipakainya dalam melayani Dia. Sebelumnya Iblis
telah memfitnah Ayub di hadapan Allah sebagai seorang
hamba palsu, dengan maksud membuat sorga dan bumi
bertengkar. Sekarang ia memfitnah Allah sebagai Tuan
yang kejam di hadapan Ayub, sebab Ia tidak mau melin-
dungi kawanan domba yang darinya Ia telah menerima
begitu banyak korban bakaran. Hal ini bisa mencobai Ayub
untuk berkata, Sia-sialah untuk beribadah kepada Allah.
(2) Si utusan menyebut petir sebagai api dari Allah (dan tidak
salah memang), namun mungkin Iblis dengan ini merancang
untuk memasukkan ke dalam pikiran Ayub, bahwa Allah
telah berbalik menjadi musuhnya dan berperang melawan-
nya, yang sungguh lebih menyedihkan baginya ketimbang
semua hinaan dari orang-orang Syeba. Ayub mengakui
(31:23) bahwa celaka yang dari pada Allah menakutkan aku.
Betapa mengerikannya kabar tentang kehancuran ini saat
itu, yang datang langsung dari tangan Allah! Seandainya
api dari langit membakar domba di atas mezbah, Ayub
mungkin memahaminya sebagai suatu tanda perkenan
Allah. namun , api membakar ternak di padang, dia tidak da-
pat tidak memandangnya sebagai tanda murka Allah. Tidak
ada yang seperti itu sejak terakhir Sodom dihanguskan.
3. Ayub memiliki 3.000 ekor unta, dan budak-budak menjaganya.
Dan dia kehilangan semuanya di waktu yang bersamaan oleh
orang-orang Kasdim, yang datang dalam tiga gerombolan, dan
mengangkut semuanya serta membunuh para budak (ay. 17).
Seandainya api dari Allah, yang menimpa para budak Ayub
yang jujur, yang sedang menjalankan tugas mereka, menimpa
para perampok Syeba dan Kasdim yang sedang melakukan
kejahatan, maka hukuman Allah akan menjadi seperti gunung
yang tinggi menjulang, tampak jelas dan mencolok. Namun,
saat jalan hidup orang jahat makmur, dan mereka membawa
rampasannya, sementara orang-orang yang benar dan baik
tiba-tiba binasa, maka kebenaran Allah tampak seperti samu-
dera raya yang teramat dalam, yang dasarnya tidak dapat kita
temukan (Mzm. 36:7).
4. Milik kepunyaan Ayub yang paling disayangi dan berharga di
matanya yaitu sepuluh anaknya. Dan, untuk mengakhiri tra-
gedi ini, kabar dibawa kepadanya, di waktu yang bersamaan,
bahwa mereka semua telah terbunuh dan terkubur di dalam
reruntuhan rumah di mana mereka sedang berpesta, beserta
semua hamba yang melayani mereka, kecuali satu yang da-
tang untuk membawa kabar ini (ay. 18-19). Ini yaitu kehi-
langan Ayub yang terbesar, yang tidak bisa tidak sangat dekat
dengannya. Dan sebab nya si Iblis menyimpannya untuk saat
yang terakhir, sehingga, jika semua hasutan yang lain gagal,
yang ini mungkin dapat membuatnya mengutuki Allah. Anak-
anak kita yaitu bagian dari diri kita. Sungguh sukar untuk
berpisah dengan mereka, dan menyentuh orang baik tepat
pada bagian yang paling lembut. namun berpisah dengan mere-
ka semua sekaligus, dan semuanya hilang lenyap dalam seke-
jap, yang telah bertahun-tahun menjadi perhatian dan peng-
harapannya, memang suatu kepergian yang sangat cepat.
(1) Mereka semua mati bersama, dan tak satu pun yang terting-
gal hidup. Daud, kendati seorang yang baik dan bijaksana,
hancur hatinya oleh kematian seorang putranya. Betapa su-
litnya hal itu ditanggung oleh Ayub yang malang, yang ke-
hilangan mereka semua, dan, dalam sesaat saja menjadi
tiada beranak!
(2) Mereka mati secara mendadak. Seandainya mereka diambil
melalui penyakit tahunan, maka dia akan sanggup mem-
perhatikan untuk menantikan kematian mereka dan ber-
siap-siap untuk perpisahan. namun kematian yang ini da-
tang menimpanya tanpa memberinya peringatan apa pun.
(3) Mereka mati saat sedang berpesta dan bersukaria. Sean-
dainya mereka mati tiba-tiba saat sedang berdoa, dia
mungkin merasa lebih menanggungnya. Ia berharap kema-
tian itu mendapati mereka dalam keadaan baik-baik saja
jika darah mereka telah bercampur dengan pesta mereka,
sebab dia sering menjadi khawatir kalau-kalau mereka
telah berbuat dosa dan mengutuki Allah di dalam hati. Men-
dapati hari itu datang kepada mereka tanpa terduga, layak-
nya seperti seorang pencuri datang di malam hari, saat
kepala mereka mungkin sedang pusing dan mabuk. Hal ini
tidak dapat tidak semakin menambah kesedihannya, meng-
ingat betapa dia selalu menjaga jiwa anak-anaknya, dan
sekarang mereka berada jauh dari jangkauan korban yang
biasa dipersembahkannya menurut jumlah mereka masing-
masing. Lihatlah bagaimana segala sesuatu tampak sama
bagi semua orang. Anak-anak Ayub terus-menerus didoa-
kan oleh ayah mereka dan hidup di dalam kasih satu sama
lain, namun berakhir dengan akhir yang menyedihkan ini.
(4) Mereka mati oleh hempasan angin yang disembur Iblis, si
penguasa kerajaan angkasa (Ef. 2:2), namun hal tersebut
dipandang sebagai tangan Allah langsung, dan suatu per-
tanda dari murka-Nya. Demikianlah Bildad memahaminya
(8:4): Anak-anakmu telah berbuat dosa terhadap Dia, maka
Ia telah membiarkan mereka dikuasai oleh pelanggaran me-
reka.
(5) Mereka diambil saat dia paling membutuhkan penghibur-
an dari mereka setelah kehilangan segalanya. Betapa pa-
yahnya penghibur-penghibur yang berupa ciptaan. Hanya
di dalam Allah kita mendapatkan pertolongan segera di
segala waktu.
Kesengsaraan Ayub dan Ketaatannya
(1:20-22)
20 Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya,
kemudian sujudlah ia dan menyembah, 21 katanya: “Dengan telanjang aku
keluar dari kandungan iArtikel , dengan telanjang juga aku akan kembali ke
dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama
TUHAN!” 22 Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menu-
duh Allah berbuat yang kurang patut.
Iblis telah melakukan semua yang diinginkannya untuk melawan
Ayub, untuk memanas-manasi hatinya supaya mengutuki Allah. Ia
telah menyentuh semua yang dimilikinya, mengambilnya dengan me-
ninggalkan seorang saksi. Orang yang dulunya dilihat di bawah
matahari sebagai orang yang terkaya di sebelah timur, kini sebelum
malam tiba telah menjadi miskin dan hanya tinggal kenangan saja.
Jika kekayaannya, seperti yang disindir oleh Iblis, yaitu satu-satu-
nya pegangan dasar agamanya, maka sekarang dengan kehilangan
segala kekayaannya itu, pastilah ia juga kehilangan agamanya. Na-
mun laporan yang kita dapat, dalam ayat-ayat ini, tentang pengabdi-
annya yang saleh meski dijerat penderitaan, cukup untuk membukti-
kan bahwa si Iblis itu pembohong dan Ayub yaitu seorang yang
jujur.
I. Ayub berperilaku layaknya seorang laki-laki di bawah penderita-
annya, tidak bodoh dan tidak tanpa perasaan seperti sebuah
batu. Juga tidak aneh atau berhati dingin dengan kematian anak-
anak dan budak-budaknya. Tidak (ay. 20), dia berdiri, lalu mengo-
yak jubahnya, dan mencukur kepalanya, yang merupakan kebia-
saan waktu itu untuk mengungkapkan rasa dukacita yang hebat,
untuk menunjukkan bahwa dia sungguh merasakan tangan
TUHAN teracung melawan dia. Namun dia tidak meledak dalam
ketidaksenonohan atau berubah dalam murka yang menggila. Ia
tidak menjadi lemah lunglai, melainkan bangkit dan tampil seperti
sang juara dalam pertandingan. Ia tidak mengoyak pakaiannya
dalam kepanasan amarah, melainkan dengan sungguh-sungguh,
sesuai dengan kebudayaan negerinya, mengoyak jubahnya atau
pakaian luarnya. Ia tidak mencukur rambutnya dengan liar, me-
lainkan dengan rapi menggunduli kepalanya. Dengan semuanya
ini tampak jelas bahwa Ayub menjaga emosinya dan dengan be-
rani menguasai hati dan pikirannya dan menenangkan jiwanya, di
tengah-tengah semua petaka yang menggoncangkan hati ini.
Waktu saat dia mulai menunjukkan perasaannya segera dapat
dilihat. Saat mendengar tentang kematian anak-anaknya, maka
Ayub pun bangun, lalu mengoyak jubahnya. Hati duniawi yang
tidak percaya akan berkata, “Sekarang sebab daging tubuh telah
tiada, maka baik pula jika mulut juga pergi. Sekarang sebab
sudah tidak ada warisan, maka baik pula jika tidak ada anak-
anak.” namun Ayub tahu lebih baik dan bersyukur bahwa Sang
Penyelenggara telah menjaga nyawa anak-anaknya, kendati dia
hanya memiliki sisa sedikit untuk mereka, sebab Jehovah-jireh –
TUHAN akan menyediakan. Beberapa penafsir, dengan mengingat
kebiasaan orang-orang Yahudi untuk mengoyak pakaian mereka
saat mendengar suatu hujatan, menduga bahwa Ayub mengo-
yakkan pakaiannya sebab ia marah dengan suatu kemarahan
yang kudus terhadap pikiran menghujat yang sedang ditanamkan
si Iblis ke dalam pikirannya, yang mencobainya untuk mengutuki
Allah.
II. Ayub menguasai diri layaknya seorang yang baik dan bijaksana di
bawah penderitaannya, layaknya seorang yang saleh dan jujur,
dan seorang yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan mele-
bihi permasalahan lahiriah.
1. Ia merendahkan diri di bawah tangan Allah, dan menyesuai-
kan diri dengan tindakan penyelenggaraan ilahi yang dialami-
nya, sebagai orang yang tahu bagaimana berkekurangan dan
bagaimana berkelebihan. saat Allah memanggil untuk mera-
tap dan menangis, Ayub meratap dan menangis, mengoyak ju-
bahnya dan mencukur kepalanya. Dan, sebagai orang yang me-
rendahkan diri bahkan tersungkur ke tanah di hadapan Allah,
dia sujud menyembah, sebagai seorang yang bertobat sebab
menyesali dosanya, dan berserah diri sepenuhnya kepada ke-
hendak Allah, menerima hukuman atas kesalahannya. Dengan
ini dia menunjukkan ketulusan hatinya. Sebab orang-orang
yang fasik hatinya tidak berteriak minta tolong, kalau mereka
dibelenggu-Nya (36:13). Dengan ini dia mempersiapkan diri
untuk menjadi baik melalui penderitaan. Sebab bagaimana
kita dapat memanfaatkan kesedihan yang tidak kita rasakan?
2. Ia menenteramkan diri dengan pikiran-pikiran yang tenang,
supaya tidak dapat terganggu dan kehilangan kendali atas
jiwanya melalui semua peristiwa ini. Ia mempertimbangkan
keadaan umum kehidupan manusia, dan menerapkannya bagi
dirinya: Dengan telanjang, seperti halnya orang lain, aku ke-
luar dari kandungan iArtikel , dengan telanjang juga aku akan
kembali ke dalamnya, ke dalam pangkuan ibu semua manusia,
yaitu bumi, seperti seorang anak yang saat sakit atau kelelah-
an, membaringkan kepalanya ke dada ibunya. sebab kita ber-
asal dari debu, maka kita akan kembali kepada debu (Kej.
3:19), kembali menjadi tanah seperti semula (Pkh. 12:7), dengan
telanjang aku akan kembali ke sana, dari mana aku dibentuk,
yaitu dari tanah (33:6). Rasul Paulus merujuk kepada perkataan
Ayub ini (1Tim. 6:7). Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke
dalam dunia, melainkan mendapatkannya dari orang lain.
Maka kita pun tidak dapat membawa apa-apa keluar, melain-
kan harus meninggalkannya bagi orang lain. Kita datang ke
dalam dunia dengan telanjang, tidak hanya tanpa senjata,
namun juga tanpa pakaian, tak berdaya, tanpa bekerja, tidak
tertutupi dan terpagari dengan baik seperti makhluk ciptaan
yang lain. Dosalah yang di dalamnya kita dilahirkan membuat
kita telanjang, yang membuat kita malu, di hadapan Allah
yang kudus. Kita pun akan keluar dari dunia ini dengan telan-
jang. Tubuh demikian, kendati jiwa yang telah dikuduskan
ditutupi dengan baju (2Kor. 5:3). Kematian melucuti kita dari
semua kesenangan kita. Pakaian tidak akan dapat mengha-
ngatkan atau menyenangkan suatu tubuh jenazah. Pertim-
bangan ini membungkam Ayub saat mengalami kehilangan
segala sesuatu itu.
(1) Sekarang ia ada sebagaimana ia ada awal mulanya. Ia me-
mandang dirinya telanjang, tidak cacat, tidak terluka. Dahu-
lu ia sendirian, saat tidak memiliki apa-apa, dan sebab -
nya sekarang menyusut menjadi keadaannya yang semula.
Nemo tam pauper potest esse quam natus est – tak seorang
pun dapat menjadi begitu miskin seperti saat dia dilahirkan –
Min. Felix. Apabila kita menjadi miskin, tidak ada yang salah
dengan kita, juga tidak dilukai, sebab kita hanya menjadi
seperti saat kita dilahirkan.
(2) Ia ada di mana dia harus berada pada akhirnya, tanpa pa-
kaian atau tanpa membawa apa-apa, sedikit lebih cepat dari
yang diduga. Jika kita menanggalkan pakaian kita sebelum
kita pergi tidur, mungkin agak tidak nyaman, namun mung-
kin lebih baik dilahirkan di waktu mendekati jam tidur.
3. Ia memberi kemuliaan kepada Allah, dan memberi rasa hormat
yang besar atas Penyelenggaraan ilahi, dan berserah diri de-
ngan lemah lembut atas kehendak-Nya. Kita bergembira men-
dapati Ayub ada dalam keadaan yang baik, hal inilah yang
diuji pada dirinya apakah ia tulus dalam beragama atau tidak,
kendati dia tidak mengetahui sedang diuji. Iblis berkata bahwa
ia akan mengutuk Allah saat diterpa derita. namun Ayub me-
muji Allah, sehingga membuktikan diri sebagai seorang yang
saleh dan jujur.
(1) Ia mengakui tangan Allah ada baik di dalam belas kasihan
yang telah ia nikmati sebelumnya maupun di dalam mala-
petaka yang kini sedang dialaminya: TUHAN yang memberi,
TUHAN yang mengambil. Kita harus mengakui Penyeleng-
garaan ilahi,
[1] Dalam semua penghiburan kita. Allah yang memberi ke-
beradaan kita, yang menjadikan kita dan bukan diri kita
sendiri, memberi kita kekayaan. Bukanlah kerajinan
dan keahlian kita yang membuat kita kaya, namun ber-
kat Allah atas semua kerja dan usaha kita. Ia memberi
kita kuasa untuk memperoleh kekayaan, tidak hanya
membuat segala ciptaan bagi kita, namun memberi bagi-
an yang terbaik sebagai warisan kita.
[2] Dalam semua salib penderitaan kita. Yang sama yang
memberi, mengambil kembali. Apakah mungkin Ayub
tidak melakukan yang seharusnya dengan miliknya? Li-
hatlah bagaimana Ayub melihat melampaui semua sa-
rana, dan mengarahkan mata kepada Sang Penyebab
pertama. Ia tidak berkata, “TUHAN yang memberi dan
orang-orang Syeba serta Kasdim yang telah mengambil.
Allah yang menjadikan aku kaya dan Iblis yang telah
menjadikan aku miskin.” namun sebaliknya, “Ia yang
memberi, telah mengambil kembali.” Dan untuk alasan
ini dia menjadi bisu, dan tidak bisa berkata apa-apa, se-
bab Allah yang menyebabkannya. Ia yang telah mem-
berikan semua dapat mengambil apa, kapan dan berapa
banyak yang disukai-Nya. Maka filsuf Seneca pun dapat
menyatakan demikian, Abstulit, sed et dedit – ia telah
mengambil, namun ia pula yang memberi. Dan Epictetus
berkata dengan sangat baik (Bab 15), “saat Anda kehi-
langan penghiburan, katakanlah seorang anak diambil
melalui kematian, atau sebagian dari milik kepunyaan-
mu hilang, janganlah berkata apōlesa auto – Aku telah
kehilangan, namun sebaliknya, apedōka – Aku telah me-
ngembalikannya kepada pemiliknya yang sah. namun jika
engkau membantah (kata Epictetus), kakos ho aphelome-
nos – Ia seorang yang jahat sebab telah merampok aku.
Dan aku akan menjawab, ti de soi melei – Ada apa de-
ngan kamu kalau dengan tanganmu yang Dia berikan,
engkau mengembalikan apa yang telah diberikan-Nya?”
(2) Ia memuji Allah atas kebaikan dan penderitaan. saat
semuanya tiada dia sujud dan menyembah. Perhatikanlah,
malapetaka tidak seharusnya mengalihkan kita dari iba-
dah, namun sebaliknya mendorong kita kepadanya. Meratap
tidak seharusnya mencegah kita untuk menabur atau un-
tuk menyembah. Ia memandang tidak hanya tangan Allah,
namun juga nama Allah, di dalam malapetakanya, dan mem-
beri kemuliaan: Terpujilah nama TUHAN. Ia masih memiliki
pikiran yang agung dan baik tentang Allah seperti sebelum-
nya, dan tetap giat memuji Dia bagi kemuliaan-Nya. Hati-
nya tetap memuji Allah bahkan saat Ia mengambil dan
juga saat Ia memberi. Demikianlah kita harus menyanyi-
kan kasih setia dan hukum (Mzm. 101:1).
[1] Ia memuji Allah atas apa yang telah diberikan-Nya, ken-
dati kini telah diambil. saat penghiburan kita dising-
kirkan dari kita, kita harus bersyukur kepada Allah ka-
rena kita pernah memilikinya begitu lama lebih dari
yang semestinya. Bahkan,
[2] Ia memuja Allah bahkan saat Ia mengambil, dan mem-
beri hormat kepada-Nya dengan suatu penyerahan diri
yang tulus. Bahkan, dia bersyukur kepada Allah atas
rancangan baik-Nya melalui semua malapetaka yang di-
alaminya, atas dukungan anugerah-Nya, dan atas ha-
rapan untuk mempercayai kebahagiaan yang akan dite-
rimanya pada akhirnya.
Akhirnya, inilah kesaksian agung yang diberikan oleh Roh
Kudus bagi keteguhan Ayub dan sikapnya yang baik selama
dalam penderitaan. Ia lulus ujian dengan pujian (ay. 22). Dalam
kesemuanya ini Ayub tidak berbuat salah, sebab dia tidak
mengatai Allah, atau mencela hikmat-Nya dalam apa yang telah
dilakukan-Nya. Kekecewaan dan ketidaksabaran akan menye-
babkan tuduhan kepada Allah. Namun hal inilah yang diwas-
padai Ayub. Demikian pula kita seharusnya, dengan mengakui
bahwa sebagaimana Allah telah berbuat benar, namun kitalah
yang berbuat jahat, demikian pula Allah telah berbuat bijak-
sana, namun kitalah yang bertindak bodoh, sangat bodoh.
Orang-orang yang tidak hanya menahan emosinya di bawah
salib dan penderitaan, namun juga tetap memelihara pikiran
yang baik tentang Allah dan persekutuan yang manis dengan
Dia, maka entah ia akan dipuji manusia atau tidak, yang pasti
pujian akan datang dari Allah, seperti halnya Ayub di sini.
PASAL 2
ada pasal sebelumnya, Ayub berlaku tidak bercela dalam ujian
yang diadakan antara Allah dan Iblis mengenai dia. Iblis telah
diizinkan menjamah, menyentuh, dan merampas segala miliknya,
dan ia begitu yakin bahwa setelah itu Ayub pasti mengutuki Allah di
depan wajah-Nya. Akan namun , sebaliknya, Ayub justru memuji Allah,
dan dengan demikian ia terbukti sebagai orang yang tulus, sedang-
kan Iblis nyata sebagai penuduh dan penipu. Sampai di sini, mung-
kin kita berpikir bahwa kesimpulannya jelas dan bahwa nama baik
Ayub tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, Ayub dikenal tahan uji,
dan oleh sebab itu, dalam pasal ini ia kembali dijadikan sasaran serta
dibawa ke dalam pencobaan untuk kedua kalinya.
I. Iblis bergerak memberi pencobaan lain yang akan menjamah
tulang dan dagingnya (ay. 1-5).
II. Allah mengizinkannya demi mengerjakan kekudusan pada
akhirnya (ay. 6).
III. Iblis menghantam Ayub dengan penyakit yang menyiksa dan
menjijikkan (ay. 7-8).
IV. Istri Ayub menggoyahkan dia untuk mengutuki Allah, namun
Ayub tahan uji (ay. 9-10).
V. Sahabat-sahabatnya datang untuk turut berbelasungkawa
dan menghibur dia (ay. 11-13).
Dalam hal inilah orang saleh itu nyata sebagai teladan dalam
menanggung sengsara dan kesabaran.
Iblis Diizinkan Merundung Ayub Lagi
(2:1-6)
1 Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di an-
tara mereka datang juga Iblis untuk menghadap TUHAN. 2 Maka bertanyalah
TUHAN kepada Iblis: “Dari mana engkau?” Lalu jawab Iblis kepada TUHAN:
“Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajah bumi.” 3 Firman TUHAN kepada
Iblis: “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang-
pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan
Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun
engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa
alasan.” 4 Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: “Kulit ganti kulit! Orang akan
memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya. 5 namun ulurkanlah
tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau
di hadapan-Mu.” 6 Maka firman TUHAN kepada Iblis: “Nah, ia dalam kuasa-
mu; hanya sayangkan nyawanya.”
Pada bacaan di atas, Iblis, musuh bebuyutan Allah dan semua orang
saleh, terus mendesak tuntutan jahatnya terhadap Ayub, yang diben-
cinya sebab Allah mengasihi dia. Iblis melakukan semua yang ia bisa
untuk memisahkan Ayub dari Allah, menabur perpecahan dan per-
seteruan antara mereka, dengan mendesak Allah agar membuat Ayub
menderita, lalu mendorong Ayub untuk menghujat Allah. Mungkin
kita mengira Iblis sudah puas dengan upaya sebelumnya untuk men-
cobai Ayub, di mana ia sangat dipermalukan, kebingungan, dan kece-
wa. Namun, kejahatan tidak kenal lelah, begitu pula Iblis dan antek-
anteknya. Barang siapa memfitnah orang-orang baik dan bersaksi
dusta tentang mereka, ia akan tetap berbicara sekalipun bukti yang
ada begitu lengkap dan jelas-jelas bertentangan, dan meskipun bukti-
bukti itu telah ditunjukkan dalam persoalan yang mereka kemuka-
kan. Iblis hendak mencetuskan kembali perkara Ayub. Si pendakwa
orang kudus yang jahat, kelewatan, dan tidak tahu malu itu (Why.
12:10) tampil dengan mendakwa mereka di hadapan Allah kita siang
dan malam, terus mengulang dan mendesakkan tuduhan atas mere-
ka walaupun telah dijawab berulang kali. Demikian pula Iblis di sini
mendakwa Ayub hari demi hari. Dalam bacaan di atas kita temukan,
I. Pengadilan Allah dibuka, lalu si pendakwa atau penuduh pun
tampil (ay. 1-2), seperti sebelumnya (1:6-7). Para malaikat meng-
hadap takhta Allah dan Iblis ada di antara mereka. Mungkin kita
mengira ia datang untuk mengakui kejahatannya terhadap Ayub
serta kekeliruannya tentang orang itu, serta berseru, Pecavi – Aku
telah bersalah, sebab telah memungkiri orang yang dipuji Allah,
dan untuk meminta ampun. Namun, sebaliknya, Iblis justru da-
tang dengan rencana lain menentang Ayub. Ia mendapat pertanya-
an yang sama seperti sebelumnya, “Dari mana engkau?”, dan ia
menjawab seperti sebelumnya juga, “Dari perjalanan mengelilingi
dan menjelajah bumi,” seolah-olah ia tidak pernah melakukan per-
buatan jahat apa saja, padahal ia telah menganiaya orang baik itu.
II. Sang Hakim sendiri membela terdakwa dengan berkata (ay. 3),
“Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub dengan lebih
sungguh-sungguh daripada sebelumnya? Dan, sudahkah engkau
akhirnya yakin bahwa dialah hamba-Ku yang setia, saleh dan
jujur, sebab engkau melihat sendiri bahwa dia tetap tekun dalam
kesalehannya?” Pujian terakhir itu ditambahkan kepada sifat
Ayub sebagai pencapaian lebih lanjut. Alih-alih melepaskan aga-
manya dan mengutuki Allah, ia memegangnya lebih erat lagi dari-
pada sebelumnya, sebagaimana sekarang ia mendapat kesempat-
an luar biasa untuk membuktikannya. Dalam kelimpahan mau-
pun kesesakan, ia tetap sama, bahkan lebih baik. Ia juga lebih
tulus dan bersemangat dalam memuji Allah daripada sebelumnya,
dan akarnya makin kuat setelah diguncang. Lihatlah,
1. Bagaimana Iblis dikecam atas tuduhannya terhadap Ayub:
“Engkau telah membujuk Aku melawan dia, sebagai pendakwa,
untuk mencelakakannya tanpa alasan.” Atau, “Sia-sialah eng-
kau membujuk Aku melawan dia, sebab Aku tidak akan per-
nah melakukannya.” saat orang saleh dihempaskan, mereka
tidak binasa (2Kor. 4:9). Betapa indahnya bagi kita sebab yang
menjadi hakim kita bukanlah manusia maupun setan-setan,
sebab mereka bisa membinasakan kita, entah kita benar atau
salah. Akan namun , penghakiman kita berasal dari Tuhan, yang
penilaian-Nya tidak pernah salah maupun berat sebelah.
2. Bagaimana Ayub dipuji atas kesetiaannya sekalipun ia dise-
rang: “Ia tetap bertahan pada kesalehannya, sebagai senjata-
nya, dan engkau tidak bisa melucuti dia. Kesalehannya seperti
hartanya, dan engkau tidak bisa merampasnya dari dia. Ma-
lahan usahamu untuk merebutnya justru membuat dia meme-
gangnya lebih erat lagi. Bukannya goyah oleh pencobaan, ia
malah berdiri semakin teguh.” Allah berbicara tentang kesaleh-
an Ayub itu dengan kekaguman dan perkenanan serta keme-
nangan dalam kuasa dari anugerah-Nya sendiri. Ia tetap tekun
dalam kesalehannya. Dengan demikian, ujian terhadap iman-
nya terbukti menjadi puji-pujian dan kehormatan Ayub (1Ptr.
1:7). Kesetiaan memahkotai ketulusan.
III. Dakwaan diajukan lebih lanjut (ay. 4). Alasan apa yang dapat di-
kemukakan Iblis atas kegagalan usahanya sebelumnya? Apa yang
dapat diucapkannya untuk meredakan kegagalan itu, saat ia be-
gitu yakin bahwa dirinya akan menang? Tentu saja, inilah yang
akan dikatakannya, “Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan se-
gala yang dipunyainya ganti nyawanya.” Ada kebenaran yang ter-
kandung dalam perkataan itu, yakni bahwa mengasihi diri dan
mempertahankan diri yaitu suatu pegangan yang ada dalam hati
manusia, yang sangat besar kuasanya dan menguasai manusia.
Manusia lebih mengasihi dirinya sendiri ketimbang keluarga ter-
dekat mereka, bahkan anak-anaknya yang merupakan bagian
dari diri mereka. Manusia bukan hanya rela mempertaruhkan, te-
tapi juga menyerahkan harta kekayaan untuk menyelamatkan
nyawanya. Seluruh kehidupan yang manis dan berharga, selama
manusia itu sehat dan nyaman, hatinya akan tetap tenang, tidak
peduli seberapa pun yang mereka korbankan. Pemikiran ini perlu
kita pegang baik-baik, dan selama Allah masih mengaruniakan
kehidupan, kesehatan, serta organ tubuh dan akal budi yang
baik, kita harus lebih bersabar dalam menanggung hilangnya
bentuk kenyamanan yang lain (Lih. Mat. 6:25). Akan namun , Iblis
memakai alasan tersebut sebagai dasar dakwaan terhadap Ayub,
dengan liciknya ia menyebut Ayub,
1. Bersikap tidak semestinya terhadap orang-orang yang ada di
sekelilingnya, tidak menyayangkan kematian anak-anak dan
para hambanya, serta tidak peduli berapa banyak di antara
mereka yang dikuliti, asalkan dirinya sendiri bisa tidur dengan
tubuh yang utuh terbungkus kulit. Iblis berkata-kata seolah
Ayub yang begitu memperhatikan jiwa putra-putrinya itu bisa
bersikap acuh terhadap tubuh jasmani mereka, dan seperti
burung unta memperlakukan anak-anaknya dengan keras se-
olah-olah bukan anaknya sendiri.
2. Sepenuhnya mementingkan diri sendiri, tidak memedulikan
hal lain kecuali kenyamanan dan keamanannya sendiri. Se-
olah-olah agamanya telah menjadikannya orang yang masam,
muram, dan bertabiat jahat. Seperti itulah biasanya Iblis dan
antek-anteknya kerap memfitnah jalan Allah dan umat-Nya.
IV. Tantangan untuk mencobai kesalehan Ayub lebih lanjut (ay. 5), “Te-
tapi ulurkanlah tangan-Mu, sebab tanganku terlalu pendek untuk
menjangkaunya, dan terlalu lemah untuk menyakitinya. Dan ja-
mahlah tulang dan dagingnya, yaitu satu-satunya bagian dari diri-
nya yang peka, buatlah dia sakit dengan pukulan (Mi. 6:13), dan
aku berani bertaruh, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu,
dan melepaskan kesalehannya.” Iblis tahu, dan kita pun menda-
patinya lewat pengalaman, bahwa yang paling mampu mengacau-
kan pikiran dan membuatnya berantakan yaitu rasa nyeri yang
teramat sangat serta sakit-penyakit pada tubuh. Tidak ada yang
bisa membantah melawan indra tubuh. Rasul Paulus sendiri be-
gitu kesulitan menanggung duri dalam daging, dan tidak mampu
menahannya tanpa anugerah khusus dari Kristus (2Kor. 12:7, 9).
V. Iblis diizinkan untuk melakukan pencobaan tersebut (ay. 6). Iblis
ingin Allah sendiri yang mengulurkan tangan dan melakukannya,
namun tidak dengan rela hati Ia menindas, tidak pula ia senang
merisaukan anak-anak manusia, apalagi anak-anak-Nya sendiri
(Rat. 3:33). Oleh sebab itu, jika memang harus diperbuat, biarlah
Iblis yang melakukannya, sebab ia bersuka dalam melakukan
perbuatan demikian. “Nah, ia dalam kuasamu, lakukan yang ter-
buruk padanya, namun dengan syarat dan batasan, sayangkan
nyawanya, atau jiwanya. Sengsarakan dia, namun jangan sampai
mati.” Iblis memburu nyawa yang berharga, dan akan mengambil-
nya jika bisa, dengan harapan bahwa penderitaan yang memati-
kan akan memaksa Ayub mengutuki Allahnya. Akan namun , Allah
menyediakan belas kasihan bagi Ayub setelah pencobaannya sele-
sai, oleh sebab itu ia harus bertahan hidup, dan bagaimana pun
kesengsaraannya, nyawanya harus tetap diberikan menjadi bagi-
annya. Seandainya Allah tidak merantai si singa yang mengaum-
aum, ia akan melahap kita dalam sekejap! Sejauh apa pun Allah
mengizinkan murka Iblis dan orang fasik mendera umat-Nya, Dia
tetap akan membuat semua itu berbalik menjadi puji-pujian bagi
Dia dan umat-Nya, lalu sisa panas hati itu akan Kauperikatping-
gangkan (Mzm. 76:11). “Sayangkan nyawanya,” yaitu “akal budi-
nya” (menurut sebagian penafsir), “Biarkan dia tetap memiliki ke-
warasan, sebab kalau tidak demikian, pencobaan itu tidaklah adil.
Jika dalam keadaan tidak waras ia mengutuki Allah, maka itu
bukan bukti bahwa ia tidak saleh. Itu bukanlah bahasa hatinya,
melainkan penyakit.” Ayub yang difitnah oleh Iblis ini menjadi
gambaran Kristus, yang tentang-Nya diucapkan nubuatan perta-
ma bahwa Iblis akan meremukkan tumitnya (Kej. 3:15), dan demi-
kianlah Dia dicobai, seperti dalam perkara Ayub. Iblis mencobai
dia agar meninggalkan kesalehan-Nya, keduduka