Minggu, 05 Januari 2025

ayub 2


 angkuh, seakan-akan dia benar-benar penguasa dunia 

ini, seolah-olah kerajaan dunia dan kemuliaannya yaitu  mi-

liknya (Luk. 4:6), dan kini dia sedang berjalan-jalan mengeli-

lingi semua daerah kekuasaannya.  

(2) Mungkin ia berkata-kata dengan rasa marah dan tidak puas. 

Ia telah berjalan mengelilingi dan menjelajah, namun  tidak 

mendapatkan ketenangan, lebih banyak menyerupai seorang 

pelarian dan gelandangan seperti Kain di tanah Nod.  

(3) Mungkin ia berkata-kata dengan hati-hati: “Aku telah beker-

ja keras, berkeliling dan menjelajah,” atau (seperti yang di-

baca oleh sebagian orang) “memeriksa di sekeliling bumi,” 

sungguh-sungguh mencari suatu kesempatan untuk melaku-

kan kejahatan. Ia berjalan berkeliling mencari orang yang da-

pat dimangsanya. sebab  itu kita perlu awas dan waspada. 

IV. Pertanyaan yang diajukan Allah kepada Iblis tentang Ayub (ay. 8): 

Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Seperti saat  

kita bertemu dengan seseorang yang baru pulang dari tempat 

yang jauh, di mana kita memiliki seorang teman yang sangat kita 

kasihi, maka kita siap untuk bertanya, “Jadi kamu mengunjungi 

tempat itu rupanya. Apakah kamu melihat temanku di sana?” 

Amatilah,  

1. Betapa hormatnya Allah berbicara tentang Ayub: Ia yaitu  ham-

ba-Ku. Orang-orang yang baik yaitu  hamba-hamba Allah, dan 

Ia senang menganggap diri-Nya merasa terhormat dengan pe-

layanan mereka, dan demikian pula halnya mereka kepada-

Nya menjadi ternama dan terpuji (Yer. 13:11), dan suatu mah-

kota keagungan (Yes. 62:3). “Di sanalah hamba-Ku Ayub. Tidak 

ada yang seperti dia, tak seorang pun yang Kuhargai seperti 

dia, dari antara semua penguasa dan raja-raja di bumi. Satu 

saja orang saleh seperti dia setara nilainya dengan gabungan 

mereka semua: tak seorang pun seperti dia yang sedemikian 

saleh dan jujur. Banyak yang berbuat baik, namun  dia mengung-

guli semuanya. Tidak dapat dijumpai iman sebesar ini, tidak, 

sekalipun di antara orang Israel.” Demikian pula Kristus, lama 

sesudahnya, memuji si perwira dan perempuan dari Kanaan 

itu, yang keduanya, sama seperti Ayub, yaitu  orang asing 

bagi warga Israel. Orang-orang kudus bermegah di dalam Allah 

– Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah?, dan Ia 

pun senang bermegah di dalam mereka – Siapakah seperti 

Israel di antara bangsa-bangsa? Demikian pula di sini, tiada 

seorang pun seperti Ayub, tak seorang pun di bumi yang tidak 

sempurna itu. Orang-orang yang di sorga memang jauh lebih 

cemerlang dari Ayub. Yang paling kecil di dalam kerajaan sorga 

lebih besar dari dia. namun  di bumi tidak ada yang seperti 

dia. Tidak ada yang seperti dia di negeri itu. Demikianlah orang 

yang baik yaitu  kemuliaan negerinya.  

2. Betapa tepatnya Allah memberi tahu Iblis tentang sifat Ayub: 

Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Yang dengan 

ini bermaksud,  

(1) Untuk memperberat kemurtadan dan penderitaan roh jahat 

tersebut: “Betapa tidak samanya engkau dari dia!” Perhati-

kanlah, kekudusan dan kebahagiaan orang-orang saleh me-

rupakan kehinaan dan siksaan bagi Iblis dan anak-anaknya.  

(2) Untuk menjawab bualan Iblis bahwa dia punya kekuasaan 

di bumi ini. “Aku telah mengelilingi dan menjelajah bumi,” 

katanya, “dan seluruh bumi yaitu  milikku. Semua manu-

sia yang penuh nafsu daging telah merusak jalan mereka. 

Mereka semua duduk tenang dan beristirahat di dalam 

dosa-dosa mereka,” (Zak. 1:10-11). “Bahkan, lihatlah,” kata 

Allah, “Ayub yaitu  hamba-Ku yang setia.” Iblis boleh 

membual, namun  dia tidak akan dapat menang.  

(3) Untuk menangkal tuduhan Iblis, seolah-olah Ia berkata, 

“Iblis, Aku tahu tujuanmu. Engkau datang untuk memberi 

tahu hal-hal yang menentang Ayub. namun  apakah engkau 

memperhatikannya? Bukankah sifat salehnya yang tidak 

perlu dipertanyakan lagi itu membuatmu berbohong?” Per-

hatikanlah, Allah mengetahui semua niat jahat si Iblis dan 

cara-caranya untuk melawan hamba-hamba-Nya. Dan kita 

punya seorang Pembela yang siap untuk tampil membela 

kita, bahkan sebelum kita dituduh. 

V. Fitnahan jahat Iblis terhadap Ayub, sebagai jawaban terhadap 

pujian Allah kepada Ayub. Iblis tidak dapat menyangkal bahwa 

Ayub takut akan Allah, sehingga ia menuduh Ayub hanya menge-

jar uang dalam beragama, dan sebab  itu ia seorang yang muna-

fik (ay. 9): Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut 

akan Allah? Amatilah,  

1. Betapa tidak tahannya si Iblis mendengarkan Ayub dipuji-puji, 

kendati Allah sendiri yang memujinya. Sungguh serupa de-

ngan si Iblis orang-orang yang tidak tahan mendengar orang 

lain yang dipuji-puji dan bukannya mereka. Orang yang demi-

kian menggerutu terhadap nama baik yang pantas didapat 

orang lain, seperti Saul (1Sam. 18:5, dll.) dan orang-orang 

Farisi (Mat. 21:15).  

2. Betapa bingungnya Iblis dalam menemukan sesuatu alasan 

untuk melawan Ayub. Ia tidak dapat menuduh Ayub atas se-

suatu yang jahat, sehingga menuduh dia berbuat baik sebab  

ada udang di balik batu. Seandainya separuh saja dari tuduh-

an para sahabat Ayub yaitu  benar (15:4, 22:5), maka tak ayal 

lagi Iblis pasti telah memakai nya untuk melawan Ayub. 

Akan namun  tidak ada sesuatu yang bisa dituduhkan, maka 

sebab nya,  

3. Lihatlah betapa liciknya dia mencela Ayub sebagai seorang mu-

nafik, dengan tidak menyatakan bahwa dia seorang yang demi-

kian, melainkan hanya bertanya, “Bukankah dia demikian?” Ini 

yaitu  cara yang umum dari para pemfitnah, pembisik, penjilat, 

untuk memakai cara bertanya saat  mau memfitnah sesuatu 

yang mereka tidak punya alasan untuk membenarkannya. Per-

hatikanlah, tidaklah aneh jika orang-orang yang diperkenan 

dan diterima Allah dicela tidak adil oleh si Iblis dan antek-

anteknya. Jika mereka luar biasa unggul dalam kesalehan, 

maka dengan mudah mereka dituduh munafik, seperti yang 

dituduhkan Iblis kepada Ayub. Dan jika mereka tidak punya 

jalan untuk membersihkan diri, maka mereka dapat bersabar 

saja menantikan penghakiman Allah. Sama seperti tidak ada 

hal lain yang harus kita takutkan selain berlaku munafik, 

demikian pula tidak ada hal lain yang perlu kita takuti saat  

dipanggil dan dianggap demikian tanpa sebab.  

4. Betapa tidak adilnya Iblis menuduh Ayub mata duitan untuk 

membuktikan dia seorang munafik. Sungguh benar bahwa 

Ayub takut Allah sebab  sesuatu. Ia telah beroleh banyak oleh 

sikapnya tersebut, sebab  kesalehan yaitu  keuntungan be-

sar. Namun, salah besar jika Ayub tidak akan takut kepada 

Allah jika dia tidak mendapat sesuatu olehnya, seperti kenya-

taannya. Teman-teman Ayub menuduhnya munafik sebab  dia 

mendapat tulah yang hebat, sedangkan Iblis menuduhnya mu-

nafik sebab  dia sangat kaya. Begitulah, bukan hal yang sulit 

bagi orang yang mau memfitnah untuk mencari-cari alasan. 

Bukanlah ada udang di balik batu kalau kita taat demi men-

dapatkan upah kekekalan. Sebaliknya, memiliki tujuan untuk 

mendapatkan keuntungan duniawi yang sifatnya sementara di 

dalam kehidupan beragama, dan menjadikan agama sebagai 

alat, merupakan penyembahan berhala rohani, sebab  menyem-

bah ciptaan lebih daripada Sang Pencipta, dan pada akhirnya 

dapat membuat orang murtad dan binasa. Orang tidak da-

pat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. 

VI. Keluhan yang disampaikan oleh Iblis tentang kemakmuran Ayub 

(ay. 10). Amatilah,  

1. Apa yang telah Allah lakukan bagi Ayub. Ia melindunginya, 

membuat pagar di sekelilingnya, untuk menjaga hamba-Nya, 

keluarganya, dan semua miliknya. Perhatikanlah, umat pilihan 

Allah dijaga di bawah perlindungan-Nya yang khusus, mereka 

dan semua yang menjadi milik mereka. Anugerah ilahi mem-

buat pagar di sekeliling kehidupan rohani mereka, dan penye-

lenggaraan ilahi di sekeliling kehidupan jasmani mereka, se-

hingga mereka aman dan tenang. Allah membuat Ayub mak-

mur, bukan dalam kemalasan atau ketidakbenarannya (Iblis 

tidak dapat menuduhnya sebab  hal demikian), melainkan di 

jalan kerajinan dan kejujuran: Apa yang dikerjakannya telah 

Kauberkati . Tanpa berkat Allah, sekalipun tangan begitu kuat, 

begitu terampil, pekerjaan tidak akan berhasil. namun , dengan 

berkat-Nya, apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri. 

Berkat TUHAN menjadikan kaya: Iblis sendiri mengakuinya.  

2. Bagaimana si Iblis memperhatikan keberhasilan Ayub itu dan 

memakainya untuk melawannya. Iblis berbicara tentang ke-

berhasilannya dengan kejengkelan. “Aku melihat Engkau telah 

membuat pagar sekeliling dia.” Seolah-olah Iblis telah berjalan 

mengeliling pagarnya, untuk melihat kalau-kalau dia dapat 

melihat suatu celah untuk masuk dan mencelakainya. Namun 

dia kecewa: pagar itu tertutup sangat rapat. Orang fasik meli-

hatnya, ia menjadi marah, dan berbantah melawan Ayub, bah-

wa satu-satunya alasan mengapa dia tetap melayani Allah 

yaitu  sebab  Allah telah membuatnya kaya. “Tidak heran ka-

lau ia setia kepada pemerintah yang berkenan kepadanya, dan 

mau melayani seorang Tuan yang membayarnya dengan begitu 

baik.” 

VII. Bukti yang berusaha diberikan oleh Iblis tentang kemunafikan 

dan sifat mencari untung Ayub dalam hidup keagamaannya, jika 

Allah mau memberinya izin untuk menelanjangi dia dari kekaya-

annya. “Bagaimana kalau kita coba begini saja,” katanya (ay. 11). 

“buatlah dia miskin, berpalinglah dari dia, ulurkan tangan-Mu 

melawan dia, lalu lihatlah bagaimana jadinya dengan hidup ke-

agamaannya. Ambillah apa yang dimilikinya dan akan kelihatan 

dirinya yang sebenarnya. Apabila ia tidak mengutuki Engkau di 

hadapan-Mu, jangan lagi mempercayaiku, panggil aku pembohong 

dan penuduh palsu. Kiranya aku binasa jika dia tidak mengutuki-

Mu.” Demikianlah beberapa orang menafsirkan kutukan ini, yang 

dengan hati-hati disembunyikan si Iblis, namun  dilontarkan de-

ngan lancang dan berani oleh para pendakwah cemar di zaman 

kita sekarang. Amatilah,  

1. Betapa ringannya dia berbicara tentang penderitaan yang di-

inginkannya bagi Ayub: “Jamahlah semua yang ia punyai, di-

mulai dengan dirinya, buatlah dia miskin. Sebuah salib kecil 

akan mengubah nada bicaranya.”  

2. Betapa dengkinya dia berbicara tentang pengaruh penderitaan 

itu terhadap Ayub: “Ia tidak hanya akan meninggalkan iba-

dahnya, namun  dengan terang-terangan juga akan berbantah. 

Ia tidak hanya akan menuduh Engkau tidak benar, namun  juga 

bahkan mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” Kata yang diterje-

mahkan dengan kutuk yaitu  barac, kata yang sama yang 

biasanya dan mula-mula menunjuk kepada arti memberkati. 

Namun mengutuk TUHAN yaitu  sesuatu yang tidak benar 

sehingga bahasa suci tidak akan memakai  kata tersebut: 

namun  jika arti demikian yang dimaksud, maka kata tersebut 

harus dipahami demikian (1Raj. 21:10-13), di mana kata ter-

sebut dipakai  terhadap kejahatan yang dituduhkan kepada 

Nabot, bahwa dia menghujat Allah dan raja. Sekarang,  

(1) Sepertinya Iblis sungguh yakin bahwa Ayub, jika dijadikan 

miskin, akan menyangkal agamanya dan pengakuan iman-

nya, sehingga dengan demikian (seperti seorang sarjana 

mengamatinya dalam karyanya, Mount of Spirits), Iblis akan 

membangun kerajaan atas seluruh dunia di antara anak-

anak manusia. Allah menyatakan Ayub yaitu  orang ter-

baik yang pernah hidup: kini, jika Iblis dapat membuktikan 

dia seorang yang munafik, maka dengan sendirinya Allah 

gagal memiliki seorang hamba yang setia di antara ma-

nusia. Juga, bahwa tidak kesalehan yang sedemikian benar 

dan sungguh-sungguh di dunia, sebaliknya agama yaitu  

palsu sama sekali, dan Iblis yaitu  raja de facto – yang se-

benarnya, atas semua umat manusia. Namun, tampak jelas 

bahwa Tuhan mengenal siapa kepunyaan-Nya dan tidak 

akan tertipu dalam hal apa pun.  

(2) Meskipun demikian, jika Ayub tetap mempertahankan aga-

manya, Iblis akan tetap puas melihatnya tertimpa tulah 

dengan dahsyat. Ia membenci orang-orang yang baik, dan 

bergembira di dalam kesengsaraan mereka, seperti Allah ber-

gembira di dalam kemakmuran mereka. 

VIII. Izin yang diberikan Allah kepada Iblis untuk mencelakakan Ayub 

sebagai ujian kesungguhan hatinya. Iblis menginginkan Allah 

melakukannya: Ulurkanlah tangan-Mu sekarang. Allah mengizin-

kan Iblis untuk melakukannya (ay. 12): “Nah, segala yang dipu-

nyainya ada dalam kuasamu. Buatlah cobaan setajam yang 

engkau dapat. Lakukan yang terburuk terhadapnya.” Kini,  

1.  Memang mengherankan bahwa Allah sampai memberikan 

Iblis izin yang demikian, sampai memberikan nyawa merpati-

Nya ke dalam tangan sang musuh, seperti seekor anak dom-

ba kepada seekor singa. Namun Ia melakukannya bagi kemu-

liaan-Nya, bagi kehormatan Ayub, sebagai pembuktian atas 

Penyelenggaraan-Nya, dan penguatan bagi umat-Nya yang 

tertimpa celaka di segala abad, untuk menjadikan perkara 

yang benar ini sebagai contoh yang bermanfaat. Ia membiar-

kan Ayub dicobai, seperti Ia membiarkan Petrus ditampi, te-

tapi menjaga agar imannya tidak gugur (Luk. 22:32), supaya 

cobaan tersebut mendatangkan puji-pujian dan kemuliaan 

dan kehormatan (1Ptr. 1:7). namun ,  

2. Merupakan suatu kelegaan bahwa Allah telah mengikat si Iblis, 

dengan rantai yang besar (Why. 20:1). Iblis tidak dapat men-

celakakan Ayub tanpa seizin Allah, tanpa meminta dan men-

dapat izin-Nya lebih dahulu, dan ia tidak dapat bertindak 

melebihi dari yang diizinkan: “Hanya janganlah engkau meng-

ulurkan tanganmu terhadap dirinya. Jangan menyentuh tu-

buhnya, hanya harta miliknya saja.” Iblis hanya memiliki 

kuasa yang dibatasi. Ia tidak punya kuasa untuk merusak-

kan manusia selain apa yang mereka berikan saja, tidak 

punya kuasa untuk mencelakakan manusia selain dari apa 

yang diberikan kepadanya dari atas. 

IX. Iblis meninggalkan pertemuan anak-anak Allah itu. Sebelum me-

reka bubar, Iblis pergi (seperti Kain, Kej. 4:16) dari hadapan 

TUHAN. Tidak lagi menunggu di hadapan-Nya (seperti Doeg, 1Sam. 

21:7) sampai dia telah mencapai tujuan kejahatannya. Ia pergi,  

1. Senang sebab  telah mencapai tujuannya, bangga dengan izin 

untuk melakukan kejahatan kepada seorang yang baik. Dan,  

2. Bertekad untuk tidak kehilangan waktu, melainkan dengan 

segera melaksanakan rencananya. Ia pergi sekarang, bukan 

untuk mengelilingi dan menjelajah, mengembara tanpa arah di 

bumi, melainkan langsung menuju satu titik tujuan, untuk 

menyergap Ayub yang malang, yang dengan hati-hati terus 

menjalankan kewajibannya dan tidak tahu apa-apa tentang 

hal perkaranya. Apa yang terjadi antara roh yang baik dan 

yang jahat tentang diri kita, kita tidak menyadarinya.  

Malapetaka yang Menimpa Ayub dan  

Kematian Anak-anaknya  

(1:13-19) 

13 Pada suatu hari, saat  anak-anaknya yang lelaki dan yang perempuan 

makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung,  

14 datanglah seorang pesuruh kepada Ayub dan berkata: “Sedang lembu sapi 

membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya, 15 da-

tanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul 

penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga

dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” 16 Sementara orang itu ber-

bicara, datanglah orang lain dan berkata: “Api telah menyambar dari langit 

dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga. 

Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu 

kepada tuan.” 17 Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan 

berkata: “Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu 

unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata 

pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal 

itu kepada tuan.” 18 Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan 

berkata: “Anak-anak tuan yang lelaki dan yang perempuan sedang makan-

makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, 19 maka 

tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilanda-

nya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, se-

hingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberi-

tahukan hal itu kepada tuan.” 

Di sini kita mendapati sebuah laporan khusus tentang masalah-ma-

salah Ayub. 

I. Iblis menimpakan malapetaka ke atasnya pada hari saat  anak-

anaknya mulai berpesta di rumah saudara mereka yang sulung (ay. 

13), yang kita bisa duga, perjamuan pestanya pastilah sangat me-

wah dan berlimpah, mengingat sang putra sulung mendapat dua 

kali lipat bagian warisan. Seluruh keluarga, tak diragukan, sedang 

menikmati ketenangan sempurna, dan semuanya nyaman tanpa 

masalah. Namun, kali ini Iblis telah memilih, bahwa malapetaka, 

yang datang sekarang, akan lebih menyedihkan. Malam hari yang 

selalu kurindukan itu sekarang menggentarkan aku (Yes. 21:4). 

II. Semua malapetaka mendatangi Ayub sekaligus. Sementara seorang 

utusan membawa kabar buruk, masuk lagi seorang utusan lain, 

dan sebelum dia sempat menyelesaikan ceritanya, datang pula 

utusan yang ketiga, dan yang keempat juga segera datang. Demi-

kianlah, Iblis, dengan izin TUHAN, mengatur,  

1. Supaya terjadilah murka Allah yang lebih dari biasanya datang 

menimpa Ayub dalam semua malapetaka ini, sehingga Ayub 

menjadi marah terhadap Penyelenggaraan ilahi. Seakan-akan 

hal ini sudah ditetapkan, benar atau salah, untuk menghan-

curkan dia, dan tidak memberinya waktu untuk membela diri.  

2. Supaya Ayub tidak mendapat kesempatan untuk berpikir dan 

merenung, sehingga berserah diri kepada Allah. Sebaliknya 

dengan malapetaka yang banyak dan rumit ini ia dapat dibuat 

kewalahan dan tidak berdaya. Jika tidak ada waktu baginya 

untuk berhenti sejenak, ia akan berbicara tanpa banyak pikir, 

lalu segera mengutuki Allahnya. Perhatikanlah, anak-anak 

Allah sering kali merasa berbeban berat saat  tertimpa berba-

gai cobaan yang datang bertubi-tubi. Kesusahan demi kesu-

sahan datang silih berganti. Gelombang dan ombak memukul 

silih-berganti. sebab  itu, kiranya satu malapetaka mendorong 

dan menolong kita untuk bersiap bagi yang lain. Sebab, betapa 

pun dalamnya kita telah meminum cawan yang pahit, sepan-

jang kita ada di dalam dunia ini, kita tidak dapat memastikan 

bahwa kita telah meminum bagian kita dan akhirnya telah 

berlalu dari kita. 

III. Segala malapetaka itu merampas dari Ayub semua yang dimiliki-

nya, dan mengakhiri semua kesenangannya. Rincian kerugiannya 

sesuai dengan daftar panjang semua harta miliknya yang disebut-

kan sebelumnya. 

1. Ia memiliki 500 pasang lembu dan 500 keledai betina, dan se-

jumlah besar hamba-hambanya untuk menjaga dan memeliha-

ranya. Dan Ayub kehilangan semuanya ini dalam sekejap (ay. 

14-15). Laporan yang diterimanya memberi tahu dia,  

(1) Bahwa semuanya terjadi bukanlah sebab  kecerobohan 

dari para hambanya. Sebab kalau tidak, pastilah kemarah-

annya sudah menimpa mereka saat itu: Sedang lembu sapi 

membajak, tidak sedang bermain, dan keledai-keledainya 

tidak sedang tersesat sehingga diambil orang, melainkan 

sedang makan rumput di sebelahnya, di bawah pengawasan 

hamba-hambanya, masing-masing di tempatnya. Dan orang-

orang yang sedang lewat, kita menduga, pasti menyapa me-

reka dan berkata, Semoga Allah melancarkan pembajakan-

nya. Perhatikanlah, semua kepintaran, perhatian, dan kera-

jinan kita tidak dapat menjamin kita dari malapetaka, tidak, 

termasuk dari bencana yang umumnya disebabkan oleh ke-

cerobohan dan kelalaian. Jikalau bukan TUHAN yang meng-

awal kota, kendati begitu waspada, sia-sialah pengawal 

berjaga-jaga. Namun menjadi suatu penghiburan bagi kita, 

bahwa saat  masalah menimpa, kita sedang berada di 

jalan tugas panggilan kita, dan tidak menyimpang.  

(2) Bahwa malapetaka itu terjadi sebab  kejahatan tetangga-

nya orang-orang Syeba, mungkin segerombolan perampok 

yang hidup dengan menjarah dan merampas. Mereka mem-

bawa lari lembu dan keledai, dan membunuh para hamba-

nya yang dengan setia dan berani telah melakukan yang 

terbaik untuk mempertahankan ternak yang dijaganya, 

dan hanya satu yang selamat, bukan sebab  kebaikannya 

atau kebaikan tuannya, melainkan agar Ayub dapat tahu 

dengan pasti tentang hal itu melalui seorang saksi mata 

sebelum dia mendengarnya melalui kabar burung, yang 

akan memberi tahu dia secara bertahap. Kita tidak punya 

alasan untuk mencurigai Ayub atau para hambanya telah 

berbuat hal-hal yang membuat marah orang-orang Syeba 

sehingga mereka melakukan penyerangan itu, namun  Iblis 

yang memasukkannya ke dalam hati mereka untuk mela-

kukannya, melakukannya sekarang, sehingga ia mendapat 

keuntungan ganda, yaitu membuat Ayub menderita dan 

mereka berdosa. Perhatikanlah, saat  Iblis mendapat izin 

Allah untuk melakukan kejahatan, dia tidak akan keku-

rangan orang jahat untuk menjadi alatnya dalam melak-

sanakan kejahatan itu, sebab dia yaitu  roh yang sekarang 

sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. 

2.  Ayub memiliki 7.000 ekor kambing domba dan para gembala 

untuk menjaganya. Dan semuanya lenyap sesaat  oleh sam-

baran petir (ay. 16). Ayub mungkin, dalam pemikirannya, siap 

untuk menghardik orang-orang Syeba, segera pergi menghajar 

mereka sebab  ketidakadilan dan kekejaman mereka, saat  

kabar berikutnya segera mengarahkan dia untuk menatap ke 

atas: Api Allah telah menyambar dari langit. Sama seperti gun-

tur yaitu  suara-Nya, demikian pula petir yaitu  api-Nya: na-

mun petir yang ini begitu tidak biasanya dan ditujukan lang-

sung kepada Ayub, sehingga semua domba dan gembalanya 

tidak hanya terbunuh, namun  hangus terbakar sesaat . Hanya 

satu gembala saja yang dibiarkan hidup untuk membawa kabar 

kepada Ayub yang malang. Iblis, yang bertujuan untuk mem-

buat Ayub mengutuk Allah dan menyangkal agamanya, meng-

atur bagian dari pencobaan ini dengan sangat lihai, supaya  

(1) Domba-dombanya, yang biasa dipakai  Ayub secara khu-

sus sebagai korban persembahan untuk menghormati Allah, 

semuanya diambil darinya, seakan-akan Allah marah ter-

hadap persembahannya dan menghukumnya dengan hal-

hal yang dipakainya dalam melayani Dia. Sebelumnya Iblis 

telah memfitnah Ayub di hadapan Allah sebagai seorang 

hamba palsu, dengan maksud membuat sorga dan bumi 

bertengkar. Sekarang ia memfitnah Allah sebagai Tuan 

yang kejam di hadapan Ayub, sebab  Ia tidak mau melin-

dungi kawanan domba yang darinya Ia telah menerima 

begitu banyak korban bakaran. Hal ini bisa mencobai Ayub 

untuk berkata, Sia-sialah untuk beribadah kepada Allah.  

(2) Si utusan menyebut petir sebagai api dari Allah (dan tidak 

salah memang), namun  mungkin Iblis dengan ini merancang 

untuk memasukkan ke dalam pikiran Ayub, bahwa Allah 

telah berbalik menjadi musuhnya dan berperang melawan-

nya, yang sungguh lebih menyedihkan baginya ketimbang 

semua hinaan dari orang-orang Syeba. Ayub mengakui 

(31:23) bahwa celaka yang dari pada Allah menakutkan aku. 

Betapa mengerikannya kabar tentang kehancuran ini saat  

itu, yang datang langsung dari tangan Allah! Seandainya 

api dari langit membakar domba di atas mezbah, Ayub 

mungkin memahaminya sebagai suatu tanda perkenan 

Allah. namun , api membakar ternak di padang, dia tidak da-

pat tidak memandangnya sebagai tanda murka Allah. Tidak 

ada yang seperti itu sejak terakhir Sodom dihanguskan. 

3. Ayub memiliki 3.000 ekor unta, dan budak-budak menjaganya. 

Dan dia kehilangan semuanya di waktu yang bersamaan oleh 

orang-orang Kasdim, yang datang dalam tiga gerombolan, dan 

mengangkut semuanya serta membunuh para budak (ay. 17). 

Seandainya api dari Allah, yang menimpa para budak Ayub 

yang jujur, yang sedang menjalankan tugas mereka, menimpa 

para perampok Syeba dan Kasdim yang sedang melakukan 

kejahatan, maka hukuman Allah akan menjadi seperti gunung 

yang tinggi menjulang, tampak jelas dan mencolok. Namun, 

saat  jalan hidup orang jahat makmur, dan mereka membawa 

rampasannya, sementara orang-orang yang benar dan baik 

tiba-tiba binasa, maka kebenaran Allah tampak seperti samu-

dera raya yang teramat dalam, yang dasarnya tidak dapat kita 

temukan (Mzm. 36:7). 

4. Milik kepunyaan Ayub yang paling disayangi dan berharga di 

matanya yaitu  sepuluh anaknya. Dan, untuk mengakhiri tra-

gedi ini, kabar dibawa kepadanya, di waktu yang bersamaan, 

bahwa mereka semua telah terbunuh dan terkubur di dalam 

reruntuhan rumah di mana mereka sedang berpesta, beserta 

semua hamba yang melayani mereka, kecuali satu yang da-

tang untuk membawa kabar ini (ay. 18-19). Ini yaitu  kehi-

langan Ayub yang terbesar, yang tidak bisa tidak sangat dekat 

dengannya. Dan sebab nya si Iblis menyimpannya untuk saat 

yang terakhir, sehingga, jika semua hasutan yang lain gagal, 

yang ini mungkin dapat membuatnya mengutuki Allah. Anak-

anak kita yaitu  bagian dari diri kita. Sungguh sukar untuk 

berpisah dengan mereka, dan menyentuh orang baik tepat 

pada bagian yang paling lembut. namun  berpisah dengan mere-

ka semua sekaligus, dan semuanya hilang lenyap dalam seke-

jap, yang telah bertahun-tahun menjadi perhatian dan peng-

harapannya, memang suatu kepergian yang sangat cepat.  

(1) Mereka semua mati bersama, dan tak satu pun yang terting-

gal hidup. Daud, kendati seorang yang baik dan bijaksana, 

hancur hatinya oleh kematian seorang putranya. Betapa su-

litnya hal itu ditanggung oleh Ayub yang malang, yang ke-

hilangan mereka semua, dan, dalam sesaat  saja menjadi 

tiada beranak!  

(2) Mereka mati secara mendadak. Seandainya mereka diambil 

melalui penyakit tahunan, maka dia akan sanggup mem-

perhatikan untuk menantikan kematian mereka dan ber-

siap-siap untuk perpisahan. namun  kematian yang ini da-

tang menimpanya tanpa memberinya peringatan apa pun. 

(3) Mereka mati saat  sedang berpesta dan bersukaria. Sean-

dainya mereka mati tiba-tiba saat  sedang berdoa, dia 

mungkin merasa lebih menanggungnya. Ia berharap kema-

tian itu mendapati mereka dalam keadaan baik-baik saja 

jika darah mereka telah bercampur dengan pesta mereka, 

sebab  dia sering menjadi khawatir kalau-kalau mereka 

telah berbuat dosa dan mengutuki Allah di dalam hati. Men-

dapati hari itu datang kepada mereka tanpa terduga, layak-

nya seperti seorang pencuri datang di malam hari, saat  

kepala mereka mungkin sedang pusing dan mabuk. Hal ini 

tidak dapat tidak semakin menambah kesedihannya, meng-

ingat betapa dia selalu menjaga jiwa anak-anaknya, dan 

sekarang mereka berada jauh dari jangkauan korban yang 

biasa dipersembahkannya menurut jumlah mereka masing-

masing. Lihatlah bagaimana segala sesuatu tampak sama 

bagi semua orang. Anak-anak Ayub terus-menerus didoa-

kan oleh ayah mereka dan hidup di dalam kasih satu sama 

lain, namun berakhir dengan akhir yang menyedihkan ini.  

(4) Mereka mati oleh hempasan angin yang disembur Iblis, si 

penguasa kerajaan angkasa (Ef. 2:2), namun  hal tersebut 

dipandang sebagai tangan Allah langsung, dan suatu per-

tanda dari murka-Nya. Demikianlah Bildad memahaminya 

(8:4): Anak-anakmu telah berbuat dosa terhadap Dia, maka 

Ia telah membiarkan mereka dikuasai oleh pelanggaran me-

reka.  

(5) Mereka diambil saat  dia paling membutuhkan penghibur-

an dari mereka setelah kehilangan segalanya. Betapa pa-

yahnya penghibur-penghibur yang berupa ciptaan. Hanya 

di dalam Allah kita mendapatkan pertolongan segera di 

segala waktu.  

Kesengsaraan Ayub dan Ketaatannya 

(1:20-22) 

20 Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, 

kemudian sujudlah ia dan menyembah, 21 katanya: “Dengan telanjang aku 

keluar dari kandungan iArtikel , dengan telanjang juga aku akan kembali ke 

dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama 

TUHAN!” 22 Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menu-

duh Allah berbuat yang kurang patut. 

Iblis telah melakukan semua yang diinginkannya untuk melawan 

Ayub, untuk memanas-manasi hatinya supaya mengutuki Allah. Ia 

telah menyentuh semua yang dimilikinya, mengambilnya dengan me-

ninggalkan seorang saksi. Orang yang dulunya dilihat di bawah 

matahari sebagai orang yang terkaya di sebelah timur, kini sebelum 

malam tiba telah menjadi miskin dan hanya tinggal kenangan saja. 

Jika kekayaannya, seperti yang disindir oleh Iblis, yaitu  satu-satu-

nya pegangan dasar agamanya, maka sekarang dengan kehilangan

segala kekayaannya itu, pastilah ia juga kehilangan agamanya. Na-

mun laporan yang kita dapat, dalam ayat-ayat ini, tentang pengabdi-

annya yang saleh meski dijerat penderitaan, cukup untuk membukti-

kan bahwa si Iblis itu pembohong dan Ayub yaitu  seorang yang 

jujur.  

I. Ayub berperilaku layaknya seorang laki-laki di bawah penderita-

annya, tidak bodoh dan tidak tanpa perasaan seperti sebuah 

batu. Juga tidak aneh atau berhati dingin dengan kematian anak-

anak dan budak-budaknya. Tidak (ay. 20), dia berdiri, lalu mengo-

yak jubahnya, dan mencukur kepalanya, yang merupakan kebia-

saan waktu itu untuk mengungkapkan rasa dukacita yang hebat, 

untuk menunjukkan bahwa dia sungguh merasakan tangan 

TUHAN teracung melawan dia. Namun dia tidak meledak dalam 

ketidaksenonohan atau berubah dalam murka yang menggila. Ia 

tidak menjadi lemah lunglai, melainkan bangkit dan tampil seperti 

sang juara dalam pertandingan. Ia tidak mengoyak pakaiannya 

dalam kepanasan amarah, melainkan dengan sungguh-sungguh, 

sesuai dengan kebudayaan negerinya, mengoyak jubahnya atau 

pakaian luarnya. Ia tidak mencukur rambutnya dengan liar, me-

lainkan dengan rapi menggunduli kepalanya. Dengan semuanya 

ini tampak jelas bahwa Ayub menjaga emosinya dan dengan be-

rani menguasai hati dan pikirannya dan menenangkan jiwanya, di 

tengah-tengah semua petaka yang menggoncangkan hati ini. 

Waktu saat  dia mulai menunjukkan perasaannya segera dapat 

dilihat. Saat mendengar tentang kematian anak-anaknya, maka 

Ayub pun bangun, lalu mengoyak jubahnya. Hati duniawi yang 

tidak percaya akan berkata, “Sekarang sebab  daging tubuh telah 

tiada, maka baik pula jika mulut juga pergi. Sekarang sebab  

sudah tidak ada warisan, maka baik pula jika tidak ada anak-

anak.” namun  Ayub tahu lebih baik dan bersyukur bahwa Sang 

Penyelenggara telah menjaga nyawa anak-anaknya, kendati dia 

hanya memiliki sisa sedikit untuk mereka, sebab Jehovah-jireh – 

TUHAN akan menyediakan. Beberapa penafsir, dengan mengingat 

kebiasaan orang-orang Yahudi untuk mengoyak pakaian mereka 

saat  mendengar suatu hujatan, menduga bahwa Ayub mengo-

yakkan pakaiannya sebab  ia marah dengan suatu kemarahan 

yang kudus terhadap pikiran menghujat yang sedang ditanamkan 

si Iblis ke dalam pikirannya, yang mencobainya untuk mengutuki 

Allah. 

II. Ayub menguasai diri layaknya seorang yang baik dan bijaksana di 

bawah penderitaannya, layaknya seorang yang saleh dan jujur, 

dan seorang yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan mele-

bihi permasalahan lahiriah. 

1. Ia merendahkan diri di bawah tangan Allah, dan menyesuai-

kan diri dengan tindakan penyelenggaraan ilahi yang dialami-

nya, sebagai orang yang tahu bagaimana berkekurangan dan 

bagaimana berkelebihan. saat  Allah memanggil untuk mera-

tap dan menangis, Ayub meratap dan menangis, mengoyak ju-

bahnya dan mencukur kepalanya. Dan, sebagai orang yang me-

rendahkan diri bahkan tersungkur ke tanah di hadapan Allah, 

dia sujud menyembah, sebagai seorang yang bertobat sebab  

menyesali dosanya, dan berserah diri sepenuhnya kepada ke-

hendak Allah, menerima hukuman atas kesalahannya. Dengan 

ini dia menunjukkan ketulusan hatinya. Sebab orang-orang 

yang fasik hatinya tidak berteriak minta tolong, kalau mereka 

dibelenggu-Nya (36:13). Dengan ini dia mempersiapkan diri 

untuk menjadi baik melalui penderitaan. Sebab bagaimana 

kita dapat memanfaatkan kesedihan yang tidak kita rasakan? 

2. Ia menenteramkan diri dengan pikiran-pikiran yang tenang, 

supaya tidak dapat terganggu dan kehilangan kendali atas 

jiwanya melalui semua peristiwa ini. Ia mempertimbangkan 

keadaan umum kehidupan manusia, dan menerapkannya bagi 

dirinya: Dengan telanjang, seperti halnya orang lain, aku ke-

luar dari kandungan iArtikel , dengan telanjang juga aku akan 

kembali ke dalamnya, ke dalam pangkuan ibu semua manusia, 

yaitu bumi, seperti seorang anak yang saat  sakit atau kelelah-

an, membaringkan kepalanya ke dada ibunya. sebab  kita ber-

asal dari debu, maka kita akan kembali kepada debu (Kej. 

3:19), kembali menjadi tanah seperti semula (Pkh. 12:7), dengan 

telanjang aku akan kembali ke sana, dari mana aku dibentuk, 

yaitu dari tanah (33:6). Rasul Paulus merujuk kepada perkataan 

Ayub ini (1Tim. 6:7). Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke 

dalam dunia, melainkan mendapatkannya dari orang lain. 

Maka kita pun tidak dapat membawa apa-apa keluar, melain-

kan harus meninggalkannya bagi orang lain. Kita datang ke 

dalam dunia dengan telanjang, tidak hanya tanpa senjata, 

namun  juga tanpa pakaian, tak berdaya, tanpa bekerja, tidak 

tertutupi dan terpagari dengan baik seperti makhluk ciptaan 

yang lain. Dosalah yang di dalamnya kita dilahirkan membuat 

kita telanjang, yang membuat kita malu, di hadapan Allah 

yang kudus. Kita pun akan keluar dari dunia ini dengan telan-

jang. Tubuh demikian, kendati jiwa yang telah dikuduskan 

ditutupi dengan baju (2Kor. 5:3). Kematian melucuti kita dari 

semua kesenangan kita. Pakaian tidak akan dapat mengha-

ngatkan atau menyenangkan suatu tubuh jenazah. Pertim-

bangan ini membungkam Ayub saat mengalami kehilangan 

segala sesuatu itu.  

(1) Sekarang ia ada sebagaimana ia ada awal mulanya. Ia me-

mandang dirinya telanjang, tidak cacat, tidak terluka. Dahu-

lu ia sendirian, saat  tidak memiliki apa-apa, dan sebab -

nya sekarang menyusut menjadi keadaannya yang semula. 

Nemo tam pauper potest esse quam natus est – tak seorang 

pun dapat menjadi begitu miskin seperti saat dia dilahirkan – 

Min. Felix. Apabila kita menjadi miskin, tidak ada yang salah 

dengan kita, juga tidak dilukai, sebab kita hanya menjadi 

seperti saat kita dilahirkan.  

(2)  Ia ada di mana dia harus berada pada akhirnya, tanpa pa-

kaian atau tanpa membawa apa-apa, sedikit lebih cepat dari 

yang diduga. Jika kita menanggalkan pakaian kita sebelum 

kita pergi tidur, mungkin agak tidak nyaman, namun  mung-

kin lebih baik dilahirkan di waktu mendekati jam tidur. 

3. Ia memberi kemuliaan kepada Allah, dan memberi rasa hormat 

yang besar atas Penyelenggaraan ilahi, dan berserah diri de-

ngan lemah lembut atas kehendak-Nya. Kita bergembira men-

dapati Ayub ada dalam keadaan yang baik, hal inilah yang 

diuji pada dirinya apakah ia tulus dalam beragama atau tidak, 

kendati dia tidak mengetahui sedang diuji. Iblis berkata bahwa 

ia akan mengutuk Allah saat diterpa derita. namun  Ayub me-

muji Allah, sehingga membuktikan diri sebagai seorang yang 

saleh dan jujur.  

(1) Ia mengakui tangan Allah ada baik di dalam belas kasihan 

yang telah ia nikmati sebelumnya maupun di dalam mala-

petaka yang kini sedang dialaminya: TUHAN yang memberi, 

TUHAN yang mengambil. Kita harus mengakui Penyeleng-

garaan ilahi,  

[1] Dalam semua penghiburan kita. Allah yang memberi ke-

beradaan kita, yang menjadikan kita dan bukan diri kita 

sendiri, memberi kita kekayaan. Bukanlah kerajinan 

dan keahlian kita yang membuat kita kaya, namun  ber-

kat Allah atas semua kerja dan usaha kita. Ia memberi 

kita kuasa untuk memperoleh kekayaan, tidak hanya 

membuat segala ciptaan bagi kita, namun  memberi bagi-

an yang terbaik sebagai warisan kita.  

[2] Dalam semua salib penderitaan kita. Yang sama yang 

memberi, mengambil kembali. Apakah mungkin Ayub 

tidak melakukan yang seharusnya dengan miliknya? Li-

hatlah bagaimana Ayub melihat melampaui semua sa-

rana, dan mengarahkan mata kepada Sang Penyebab 

pertama. Ia tidak berkata, “TUHAN yang memberi dan 

orang-orang Syeba serta Kasdim yang telah mengambil. 

Allah yang menjadikan aku kaya dan Iblis yang telah 

menjadikan aku miskin.” namun  sebaliknya, “Ia yang 

memberi, telah mengambil kembali.” Dan untuk alasan 

ini dia menjadi bisu, dan tidak bisa berkata apa-apa, se-

bab Allah yang menyebabkannya. Ia yang telah mem-

berikan semua dapat mengambil apa, kapan dan berapa 

banyak yang disukai-Nya. Maka filsuf Seneca pun dapat 

menyatakan demikian, Abstulit, sed et dedit – ia telah 

mengambil, namun  ia pula yang memberi. Dan Epictetus 

berkata dengan sangat baik (Bab 15), “saat  Anda kehi-

langan penghiburan, katakanlah seorang anak diambil 

melalui kematian, atau sebagian dari milik kepunyaan-

mu hilang, janganlah berkata apōlesa auto – Aku telah 

kehilangan, namun  sebaliknya, apedōka – Aku telah me-

ngembalikannya kepada pemiliknya yang sah. namun  jika 

engkau membantah (kata Epictetus), kakos ho aphelome-

nos – Ia seorang yang jahat sebab  telah merampok aku. 

Dan aku akan menjawab, ti de soi melei – Ada apa de-

ngan kamu kalau dengan tanganmu yang Dia berikan, 

engkau mengembalikan apa yang telah diberikan-Nya?” 

(2) Ia memuji Allah atas kebaikan dan penderitaan. saat  

semuanya tiada dia sujud dan menyembah. Perhatikanlah, 

malapetaka tidak seharusnya mengalihkan kita dari iba-

dah, namun  sebaliknya mendorong kita kepadanya. Meratap 

tidak seharusnya mencegah kita untuk menabur atau un-

tuk menyembah. Ia memandang tidak hanya tangan Allah, 

namun  juga nama Allah, di dalam malapetakanya, dan mem-

beri kemuliaan: Terpujilah nama TUHAN. Ia masih memiliki 

pikiran yang agung dan baik tentang Allah seperti sebelum-

nya, dan tetap giat memuji Dia bagi kemuliaan-Nya. Hati-

nya tetap memuji Allah bahkan saat  Ia mengambil dan 

juga saat  Ia memberi. Demikianlah kita harus menyanyi-

kan kasih setia dan hukum (Mzm. 101:1). 

[1] Ia memuji Allah atas apa yang telah diberikan-Nya, ken-

dati kini telah diambil. saat  penghiburan kita dising-

kirkan dari kita, kita harus bersyukur kepada Allah ka-

rena kita pernah memilikinya begitu lama lebih dari 

yang semestinya. Bahkan,  

[2] Ia memuja Allah bahkan saat  Ia mengambil, dan mem-

beri hormat kepada-Nya dengan suatu penyerahan diri 

yang tulus. Bahkan, dia bersyukur kepada Allah atas 

rancangan baik-Nya melalui semua malapetaka yang di-

alaminya, atas dukungan anugerah-Nya, dan atas ha-

rapan untuk mempercayai kebahagiaan yang akan dite-

rimanya pada akhirnya.  

Akhirnya, inilah kesaksian agung yang diberikan oleh Roh 

Kudus bagi keteguhan Ayub dan sikapnya yang baik selama 

dalam penderitaan. Ia lulus ujian dengan pujian (ay. 22). Dalam 

kesemuanya ini Ayub tidak berbuat salah, sebab  dia tidak 

mengatai Allah, atau mencela hikmat-Nya dalam apa yang telah 

dilakukan-Nya. Kekecewaan dan ketidaksabaran akan menye-

babkan tuduhan kepada Allah. Namun hal inilah yang diwas-

padai Ayub. Demikian pula kita seharusnya, dengan mengakui 

bahwa sebagaimana Allah telah berbuat benar, namun  kitalah 

yang berbuat jahat, demikian pula Allah telah berbuat bijak-

sana, namun  kitalah yang bertindak bodoh, sangat bodoh. 

Orang-orang yang tidak hanya menahan emosinya di bawah 

salib dan penderitaan, namun  juga tetap memelihara pikiran 

yang baik tentang Allah dan persekutuan yang manis dengan 

Dia, maka entah ia akan dipuji manusia atau tidak, yang pasti 

pujian akan datang dari Allah, seperti halnya Ayub di sini. 

 

PASAL  2  

ada pasal sebelumnya, Ayub berlaku tidak bercela dalam ujian 

yang diadakan antara Allah dan Iblis mengenai dia. Iblis telah 

diizinkan menjamah, menyentuh, dan merampas segala miliknya, 

dan ia begitu yakin bahwa setelah itu Ayub pasti mengutuki Allah di 

depan wajah-Nya. Akan namun , sebaliknya, Ayub justru memuji Allah, 

dan dengan demikian ia terbukti sebagai orang yang tulus, sedang-

kan Iblis nyata sebagai penuduh dan penipu. Sampai di sini, mung-

kin kita berpikir bahwa kesimpulannya jelas dan bahwa nama baik 

Ayub tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, Ayub dikenal tahan uji, 

dan oleh sebab itu, dalam pasal ini ia kembali dijadikan sasaran serta 

dibawa ke dalam pencobaan untuk kedua kalinya. 

I. Iblis bergerak memberi pencobaan lain yang akan menjamah 

tulang dan dagingnya (ay. 1-5). 

II. Allah mengizinkannya demi mengerjakan kekudusan pada 

akhirnya (ay. 6). 

III. Iblis menghantam Ayub dengan penyakit yang menyiksa dan 

menjijikkan (ay. 7-8). 

IV. Istri Ayub menggoyahkan dia untuk mengutuki Allah, namun  

Ayub tahan uji (ay. 9-10). 

V. Sahabat-sahabatnya datang untuk turut berbelasungkawa 

dan menghibur dia (ay. 11-13).  

Dalam hal inilah orang saleh itu nyata sebagai teladan dalam 

menanggung sengsara dan kesabaran. 


Iblis Diizinkan Merundung Ayub Lagi 

(2:1-6)  

1 Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di an-

tara mereka datang juga Iblis untuk menghadap TUHAN. 2 Maka bertanyalah 

TUHAN kepada Iblis: “Dari mana engkau?” Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: 

“Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajah bumi.” 3 Firman TUHAN kepada 

Iblis: “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang-

pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan 

Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun 

engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa 

alasan.” 4 Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: “Kulit ganti kulit! Orang akan 

memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya. 5 namun  ulurkanlah 

tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau 

di hadapan-Mu.” 6 Maka firman TUHAN kepada Iblis: “Nah, ia dalam kuasa-

mu; hanya sayangkan nyawanya.” 

Pada bacaan di atas, Iblis, musuh bebuyutan Allah dan semua orang 

saleh, terus mendesak tuntutan jahatnya terhadap Ayub, yang diben-

cinya sebab Allah mengasihi dia. Iblis melakukan semua yang ia bisa 

untuk memisahkan Ayub dari Allah, menabur perpecahan dan per-

seteruan antara mereka, dengan mendesak Allah agar membuat Ayub 

menderita, lalu mendorong Ayub untuk menghujat Allah. Mungkin 

kita mengira Iblis sudah puas dengan upaya sebelumnya untuk men-

cobai Ayub, di mana ia sangat dipermalukan, kebingungan, dan kece-

wa. Namun, kejahatan tidak kenal lelah, begitu pula Iblis dan antek-

anteknya. Barang siapa memfitnah orang-orang baik dan bersaksi 

dusta tentang mereka, ia akan tetap berbicara sekalipun bukti yang 

ada begitu lengkap dan jelas-jelas bertentangan, dan meskipun bukti-

bukti itu telah ditunjukkan dalam persoalan yang mereka kemuka-

kan. Iblis hendak mencetuskan kembali perkara Ayub. Si pendakwa 

orang kudus yang jahat, kelewatan, dan tidak tahu malu itu (Why. 

12:10) tampil dengan mendakwa mereka di hadapan Allah kita siang 

dan malam, terus mengulang dan mendesakkan tuduhan atas mere-

ka walaupun telah dijawab berulang kali. Demikian pula Iblis di sini 

mendakwa Ayub hari demi hari. Dalam bacaan di atas kita temukan, 

I. Pengadilan Allah dibuka, lalu si pendakwa atau penuduh pun 

tampil (ay. 1-2), seperti sebelumnya (1:6-7). Para malaikat meng-

hadap takhta Allah dan Iblis ada di antara mereka. Mungkin kita 

mengira ia datang untuk mengakui kejahatannya terhadap Ayub 

serta kekeliruannya tentang orang itu, serta berseru, Pecavi – Aku 

telah bersalah, sebab  telah memungkiri orang yang dipuji Allah,

 dan untuk meminta ampun. Namun, sebaliknya, Iblis justru da-

tang dengan rencana lain menentang Ayub. Ia mendapat pertanya-

an yang sama seperti sebelumnya, “Dari mana engkau?”, dan ia 

menjawab seperti sebelumnya juga, “Dari perjalanan mengelilingi 

dan menjelajah bumi,” seolah-olah ia tidak pernah melakukan per-

buatan jahat apa saja, padahal ia telah menganiaya orang baik itu. 

II. Sang Hakim sendiri membela terdakwa dengan berkata (ay. 3), 

“Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub dengan lebih 

sungguh-sungguh daripada sebelumnya? Dan, sudahkah engkau 

akhirnya yakin bahwa dialah hamba-Ku yang setia, saleh dan 

jujur, sebab engkau melihat sendiri bahwa dia tetap tekun dalam 

kesalehannya?” Pujian terakhir itu ditambahkan kepada sifat 

Ayub sebagai pencapaian lebih lanjut. Alih-alih melepaskan aga-

manya dan mengutuki Allah, ia memegangnya lebih erat lagi dari-

pada sebelumnya, sebagaimana sekarang ia mendapat kesempat-

an luar biasa untuk membuktikannya. Dalam kelimpahan mau-

pun kesesakan, ia tetap sama, bahkan lebih baik. Ia juga lebih 

tulus dan bersemangat dalam memuji Allah daripada sebelumnya, 

dan akarnya makin kuat setelah diguncang. Lihatlah, 

1. Bagaimana Iblis dikecam atas tuduhannya terhadap Ayub: 

“Engkau telah membujuk Aku melawan dia, sebagai pendakwa, 

untuk mencelakakannya tanpa alasan.” Atau, “Sia-sialah eng-

kau membujuk Aku melawan dia, sebab Aku tidak akan per-

nah melakukannya.” saat  orang saleh dihempaskan, mereka 

tidak binasa (2Kor. 4:9). Betapa indahnya bagi kita sebab yang 

menjadi hakim kita bukanlah manusia maupun setan-setan, 

sebab mereka bisa membinasakan kita, entah kita benar atau 

salah. Akan namun , penghakiman kita berasal dari Tuhan, yang 

penilaian-Nya tidak pernah salah maupun berat sebelah. 

2. Bagaimana Ayub dipuji atas kesetiaannya sekalipun ia dise-

rang: “Ia tetap bertahan pada kesalehannya, sebagai senjata-

nya, dan engkau tidak bisa melucuti dia. Kesalehannya seperti 

hartanya, dan engkau tidak bisa merampasnya dari dia. Ma-

lahan usahamu untuk merebutnya justru membuat dia meme-

gangnya lebih erat lagi. Bukannya goyah oleh pencobaan, ia 

malah berdiri semakin teguh.” Allah berbicara tentang kesaleh-

an Ayub itu dengan kekaguman dan perkenanan serta keme-

nangan dalam kuasa dari anugerah-Nya sendiri. Ia tetap tekun 

dalam kesalehannya. Dengan demikian, ujian terhadap iman-

nya terbukti menjadi puji-pujian dan kehormatan Ayub (1Ptr. 

1:7). Kesetiaan memahkotai ketulusan. 

III. Dakwaan diajukan lebih lanjut (ay. 4). Alasan apa yang dapat di-

kemukakan Iblis atas kegagalan usahanya sebelumnya? Apa yang 

dapat diucapkannya untuk meredakan kegagalan itu, saat ia be-

gitu yakin bahwa dirinya akan menang? Tentu saja, inilah yang 

akan dikatakannya, “Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan se-

gala yang dipunyainya ganti nyawanya.” Ada kebenaran yang ter-

kandung dalam perkataan itu, yakni bahwa mengasihi diri dan 

mempertahankan diri yaitu  suatu pegangan yang ada dalam hati 

manusia, yang sangat besar kuasanya dan menguasai manusia. 

Manusia lebih mengasihi dirinya sendiri ketimbang keluarga ter-

dekat mereka, bahkan anak-anaknya yang merupakan bagian 

dari diri mereka. Manusia bukan hanya rela mempertaruhkan, te-

tapi juga menyerahkan harta kekayaan untuk menyelamatkan 

nyawanya. Seluruh kehidupan yang manis dan berharga, selama 

manusia itu sehat dan nyaman, hatinya akan tetap tenang, tidak 

peduli seberapa pun yang mereka korbankan. Pemikiran ini perlu 

kita pegang baik-baik, dan selama Allah masih mengaruniakan 

kehidupan, kesehatan, serta organ tubuh dan akal budi yang 

baik, kita harus lebih bersabar dalam menanggung hilangnya 

bentuk kenyamanan yang lain (Lih. Mat. 6:25). Akan namun , Iblis 

memakai alasan tersebut sebagai dasar dakwaan terhadap Ayub, 

dengan liciknya ia menyebut Ayub, 

1.  Bersikap tidak semestinya terhadap orang-orang yang ada di 

sekelilingnya, tidak menyayangkan kematian anak-anak dan 

para hambanya, serta tidak peduli berapa banyak di antara 

mereka yang dikuliti, asalkan dirinya sendiri bisa tidur dengan 

tubuh yang utuh terbungkus kulit. Iblis berkata-kata seolah 

Ayub yang begitu memperhatikan jiwa putra-putrinya itu bisa 

bersikap acuh terhadap tubuh jasmani mereka, dan seperti 

burung unta memperlakukan anak-anaknya dengan keras se-

olah-olah bukan anaknya sendiri. 

2.  Sepenuhnya mementingkan diri sendiri, tidak memedulikan 

hal lain kecuali kenyamanan dan keamanannya sendiri. Se-

olah-olah agamanya telah menjadikannya orang yang masam, 

muram, dan bertabiat jahat. Seperti itulah biasanya Iblis dan 

antek-anteknya kerap memfitnah jalan Allah dan umat-Nya. 

IV. Tantangan untuk mencobai kesalehan Ayub lebih lanjut (ay. 5), “Te-

tapi ulurkanlah tangan-Mu, sebab tanganku terlalu pendek untuk 

menjangkaunya, dan terlalu lemah untuk menyakitinya. Dan ja-

mahlah tulang dan dagingnya, yaitu satu-satunya bagian dari diri-

nya yang peka, buatlah dia sakit dengan pukulan (Mi. 6:13), dan 

aku berani bertaruh, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu, 

dan melepaskan kesalehannya.” Iblis tahu, dan kita pun menda-

patinya lewat pengalaman, bahwa yang paling mampu mengacau-

kan pikiran dan membuatnya berantakan yaitu  rasa nyeri yang 

teramat sangat serta sakit-penyakit pada tubuh. Tidak ada yang 

bisa membantah melawan indra tubuh. Rasul Paulus sendiri be-

gitu kesulitan menanggung duri dalam daging, dan tidak mampu 

menahannya tanpa anugerah khusus dari Kristus (2Kor. 12:7, 9). 

V. Iblis diizinkan untuk melakukan pencobaan tersebut (ay. 6). Iblis 

ingin Allah sendiri yang mengulurkan tangan dan melakukannya, 

namun  tidak dengan rela hati Ia menindas, tidak pula ia senang 

merisaukan anak-anak manusia, apalagi anak-anak-Nya sendiri 

(Rat. 3:33). Oleh sebab itu, jika memang harus diperbuat, biarlah 

Iblis yang melakukannya, sebab ia bersuka dalam melakukan 

perbuatan demikian. “Nah, ia dalam kuasamu, lakukan yang ter-

buruk padanya, namun  dengan syarat dan batasan, sayangkan 

nyawanya, atau jiwanya. Sengsarakan dia, namun  jangan sampai 

mati.” Iblis memburu nyawa yang berharga, dan akan mengambil-

nya jika bisa, dengan harapan bahwa penderitaan yang memati-

kan akan memaksa Ayub mengutuki Allahnya. Akan namun , Allah 

menyediakan belas kasihan bagi Ayub setelah pencobaannya sele-

sai, oleh sebab  itu ia harus bertahan hidup, dan bagaimana pun 

kesengsaraannya, nyawanya harus tetap diberikan menjadi bagi-

annya. Seandainya Allah tidak merantai si singa yang mengaum-

aum, ia akan melahap kita dalam sekejap! Sejauh apa pun Allah 

mengizinkan murka Iblis dan orang fasik mendera umat-Nya, Dia 

tetap akan membuat semua itu berbalik menjadi puji-pujian bagi 

Dia dan umat-Nya, lalu sisa panas hati itu akan Kauperikatping-

gangkan (Mzm. 76:11). “Sayangkan nyawanya,” yaitu “akal budi-

nya” (menurut sebagian penafsir), “Biarkan dia tetap memiliki ke-

warasan, sebab kalau tidak demikian, pencobaan itu tidaklah adil. 

Jika dalam keadaan tidak waras ia mengutuki Allah, maka itu 

bukan bukti bahwa ia tidak saleh. Itu bukanlah bahasa hatinya, 

melainkan penyakit.” Ayub yang difitnah oleh Iblis ini menjadi 

gambaran Kristus, yang tentang-Nya diucapkan nubuatan perta-

ma bahwa Iblis akan meremukkan tumitnya (Kej. 3:15), dan demi-

kianlah Dia dicobai, seperti dalam perkara Ayub. Iblis mencobai 

dia agar meninggalkan kesalehan-Nya, keduduka