Jumat, 03 Januari 2025

upah menurut islam

 



Upah dalam bahasa Arab disebut al-ujrah. dari segi bahasa al-ajru 

yang berarti „iwad (ganti) kata ‚al-ujrah‛ atau  al-ajru‟ yang 

menurut bahasa berarti al-iwad (ganti), dengan kata lain imbalan 

yang diberikan sebagai upah atau ganti suatu perbuatan. Metode 

yang dianjurkan oleh Islam dalam menentukan standar upah 

diseluruh negeri yaitu  dengan benar-benar memberi kebebasan 

dalam bekerja. Setiap orang bebas memilih pekerjaan apa saja 

sesuai dengan kemampuan atau keahlian yang dimiliki serta tidak 

ada pembatasan yang mungkin dapat menciptakan kesulitan-

kesulitan bagi para pekerja dalam memilih pekerjaan yang sesuai.   

Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kecenderungan besar 

dalam memenuhi bisnis dengan pihak lain. Berbagai pilihan model-model 

bisnis mendorong manusia untuk memilih yang terbaik baginya, lebih 

mudah prosesnya dan tidak mengandung resiko tinggi. Kecenderungan 

ini  lebih dianut oleh golongan masyarakat kelas menengah kebawah 

dan mereka yaitu  yang tidak setiap saat memiliki modal besar untuk 

memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sering sekali manusia melakukan 

suatu perjanjian dalam melakukan suatu perjanjian dalam melakukan 

kegiatannya sehari hari. jika  dua orang atau pihak saling berjanji untuk 

melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau 

pihak itu mengikat diri kepada yang lauin untuk melakukan atau 

memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan.1 

Upah menurut keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi 

Nomor 102 Tahun 2004 yaitu  hak yang diterima pekerja dan dinyatakan 

dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja yang dibayarkan 

berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sebab  jasa yang diberikannya. 

                                                         

Majikan sebagai pemberi kerja bertanggung jawab sepenuhnya untuk 

membayar upah pekerjanya, baik dalam kondisi untung ataupun sedang 

merugi. 

Model upah seperti ini telah dikenal lama jauh sebelum masuknya 

agama islam. Dalam banyak cerita tarikh islam, Muhammad semasa kecil 

pernah bekerja sebagai pengembala kambing bagi warga  Mekah dengan 

imbalan upah. Bahkan, sesudah  dewasa Muhammad beberpa kali melakukan 

transaksi untuk menjalankan barang dagangan Khodijah dengan imbalan 

upah seekor unta yang masih muda dalam setiap kali perjalan ke kota-kota 

dagang. sesudah  Muhammad dikenal oleh warga  Mekah dengan 

kerajinan dan kejujuran serta integritasnya yang tinggi, maka reputasinya 

sebagai pedagnag menjadi semakin baik. Reputasi ini telah menarik minat 

Khodijah untuk lebih mempercayakan barang dagangannya kepada 

Muhammad. Al-Allamah Adz-Dzahabi telah meriwayatkan dari cerita 

Muhammad: “... Saya telah dua kali melakukan perjalanan dagang untuk 

Khodijah dan mendapatkan upah dua ekor unta betina dewasa.“  

Dalam al-Qur‟an dijelaskan dalam surat ath-Thalaq ayat 6 tentang 

upah: 

 

Artinya: …lalu  jika mereka menyusukan anak-anakmu 

untukmu.Maka berikanlah kepada mereka upahnya...2 

 

Adapun mengenai ayat di atas upah itu harus diberikan kepada 

orang yang telah bekerja. Upah seperti itulah yang disebut ujrah yang 

sesungguhnya. 

Selain model hubungan pekerja-majikan dengan sistem upah 

sebagaimana telah di uraikan, waktu itu dikenal pula model yang 

menggabungkan upah dengan bonus prestasi kerja. Dalam suatu 

kesempatan, Khadijah setuju mempekerjakan Muhammad untuk membawa 

barang-barang dagangannya ke Syam dengan upah yang telah ditentukan. 

sebab  prestasi dan kejujurannya, Muhammad berhasil menjual barang-

barang Khadijah dengan memberi lebih banyak keuntungan dibandingkan 

                                                         

yang pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Dari prestasinya ini , 

Khadijah lalu  memberikan sebagian keuntungan yang lebih banyak 

dibandingkan  yang telah disepakati sebelumnya

  

1. Pengertian Upah (Ujrah)  

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang tidak 

bisa hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain. salah satu 

bentuk kegiatan manusia dalam lingkup muamalah ialah upah-

mengupah, yang dalam fiqih islam disebut ujrah. 

Upah dalam bahasa Arab disebut al-ujrah. dari segi bahasa al-

ajru yang berarti „iwad (ganti) kata ‚al-ujrah‛ atau  al-ajru‟ yang menurut 

bahasa berarti al-iwad (ganti), dengan kata lain imbalan yang diberikan 

sebagai upah atau ganti suatu perbuatan.

Pengertian upah dalam kamus bahasa negara kita  yaitu  uang 

dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai 

pembayaran tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.

Dalam hukum upah, ada beberapa macam upah, agar kita dapat 

mengerti sampai mana batas-batas sesuatu upah dapat diklasifikasikan 

sebagai upah yang wajar. Maka seharusnya kita mengetahui terlebih 

dahulu beberapa pengertian tentang upah atau al-ujrah : Idris Ahmad 

berpendapat bahwa upah yaitu  mengambil manfaat tenaga orang lain 

dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.6 

Nurimansyah Haribuan mendefinisikan bahwa upah yaitu  

segala macam bentuk penghasilan yang diterima buruh (pekerja) baik 

berupa uang ataupun barang dalam jangka waktu tertentu pada suatu 

kegiatan ekonomi.

                                                          

Yang dimaksud dengan al-ujrah yaitu  pembayaran (upah kerja) 

yang diterima pekerja selama ia melakukan pekerjaan. Islam 

memberikan pedoman bahwa penyerahan upah dilakukan pada saat 

selesainya suatu pekerjaan. Dalam hal ini, pekerja dianjurkan untuk 

mempercepat pelayanan kepada majikan sementara bagi pihak majikan 

sendiri disarankan mempercepat pembayaran upah pekerja.  

Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa upah 

atau al-ujrah yaitu  pembayaran atau imbalan yang wujudnya dapat 

bermacam-macam, yang dilakukan atau diberikan seseorang atau suatu 

kelembagaan atau instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja dan 

prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang telah dilakukannya.  

Pemberian upah (al-ujrah) itu hendaknya berdasarkan akad 

(kontrak) perjanjian kerja, sebab  akan menimbulkan hubungan 

kerjasama antara pekerja dengan majikan atau pengusaha yang berisi 

hak-hak atas kewajiban masing-masing pihak. Hak dari pihak yang satu 

merupakan suatu kewajiban bagi pihak yang lainnya, adanya kewajiban 

yang utama bagi majikan yaitu  membayar upah. 

Penetapan upah bagi tenaga kerja harus mencerminkan keadilan, 

dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan, sehingga 

pandangan Islam tentang hak tenaga kerja dalam menerima upah lebih 

terwujud. Sebagaimana di dalam Al-Qur‟an juga dianjurkan untuk 

bersikap adil dengan menjelaskan keadilan itu sendiri.  

Upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding 

dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan, seharusnya cukup 

juga bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang wajar. Dalam 

hal ini baik sebab  perbedaan tingkat kebutuhan dan kemampuan 

seseorang ataupun sebab  faktor lingkungan dan sebagainya.

 

2. Dasar Hukum Upah (Ujrah)  

Pada penjelasan di atas mengenai ujrah telah dituangkan secara 

eksplisit, oleh sebab  itu yang dijadikan landasan hukum. Dasar yang 

membolehkan upah yaitu  firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya.  

a.  Landasan Al-Qur'an  

Surat Az- Zukhruf ayat 32:  

 

Artinya :  Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? 

Kami telah menentukan antara mereka penghidupan 

mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah 

meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang 

lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat 

mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat 

Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. 

(Q. S. Az- Zukhruf: 32).9 

 

Ayat di atas menegaskan bahwa penganugerahan rahmat 

Allah, apalagi pemberian waktu, semata-mata yaitu  wewenang 

Allah, bukan manusia. Allah telah membagi-bagi sarana 

penghidupan manusia dalam kehidupan dunia, sebab  mereka 

tidak dapat melakukannya sendiri dan Allah telah meninggikan 

sebagian  mereka dalam harta benda, ilmu, kekuatan, dan lain-lain 

atas sebagian yang lain, sehingga mereka dapat saling tolong-

menolong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. sebab  itu 

masing-masing saling membutuhkan dalam mencari dan mengatur 

kehidupannya.dan rahmat Allah baik dari apa yang mereka 

kumpulkan walau seluruh kekayaan dan kekuasan duniawi, 

sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.10 

 

Surat Al-Qashas ayat 26-27 :  

 

Artinya :  Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya 

bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja 

(pada kita), sebab  Sesungguhnya orang yang paling 

                                                          

 

baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah 

orang yang Kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah 

dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud 

menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua 

anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku 

delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun 

Maka itu yaitu  (suatu kebaikan) dari kamu, Maka 

Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya 

Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang 

baik". (Q. S Al-Qashas: 26-27).11 

 

b. Landasan Sunnah  

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu 

Hurairah mengatakan bahwa Nabi Saw. memusuhi tiga golongan di 

hari kiamat yang salah satu golongan ini  yaitu  orang yang 

tidak membayar upah pekerja.  

Telah menceritakan kepada saya Yusuf bin Muhammad 

berkata, telah menceritakan kepada saya Yahya bin Sulaim dari 

Isma'il bin Umayyah dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah 

radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

Allah Ta'ala berfirman: Ada tiga jenis orang yang aku berperang 

melawan mereka pada hari qiyamat, seseorang yang bersumpah 

atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang 

merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang 

memperkerjakan pekerja lalu  pekerja itu menyelesaikan 

pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya.‛ (H.R. Bukhari).12 

Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah 

bahwa pemberian upah diberikan kepada pekerja sebelum kering 

keringatnya. 

“Al-„Abbas ibn al-Walid al-Dimasyqiy telah memberitakan kepada 

kami, (katanya) Wahb ibn Sa‟id ibn „Athiyyah al-Salamiy telah 

memberitakan kepada kami, (katanya) „Abdu al-Rahman ibn Zaid 

ibn Salim telah memberitakan kepada kami, (berita itu berasal) 

dari ayahnya, dari „Abdillah ibn „Umar dia berkata: Rasulullah 

                                                          


 

Saw. telah berkata: “Berikan kepada bawahanmu upahnya sebelum 

kering keringatnya”. (H.R Ibnu Majah)13 

 

Pemberian upah atas tukang bekam dibolehkan, sehingga 

mengupah atas jasa pengobatan pun juga diperbolehkan. 

Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan 

Muslim dari Ibnu „Abbas. 

“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah 

menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada 

kami Ibnu Thowus dari bapaknya dari Ibnu 'Abbas radliallahu 

'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbekam 

dan memberi upah tukang bekamnya”. 

 

Hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh 

Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda : 

“ Mereka (para budak dan pelayanmu) yaitu  saudaramu, Allah 

menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang 

siapa memiliki  saudara di bawah asuhannya maka harus 

diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan 

memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan 

tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat 

berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, 

maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. 

Muslim). 

 

 

Dari hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa Upah 

yaitu  imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam 

bentuk imbalan materi di dunia (Adildan Layak) dan dalam bentuk 

imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik). 

 

3.  Rukun dan Syarat Upah  

a.  Rukun Upah (Ujrah)  

Rukun yaitu  unsur-unsur yang membentuk sesuatu, 

sehingga sesuatu itu terwujud sebab  adanya unsur-unsur ini  

yang membentuknya. Misalnya rumah, terbentuk sebab  adanya 

unsur-unsur yang membentuknya, yaitu pondasi, tiang, lantai, 

                                                          

 

dinding, atap dan seterusnya. Dalam konsep Islam, unsur-unsur 

yang membentuk sesuatu itu disebut rukun.15 

Ahli-ahli hukum madzhab Hanafi, menyatakan bahwa 

rukun akad hanyalah ijab dan qabul saja, mereka mengakui bahwa 

tidak mungkin ada akad tanpa adanya para pihak yang 

membuatnya dan tanpa adanya obyek akad. Perbedaan dengan 

madzhab Syafi‟i hanya terletak dalam cara pandang saja, tidak 

menyangkut substansi akad.  

Adapun menurut Jumhur Ulama, rukun Ijarah ada (4) 

empat, yaitu:  

1) Aqid (orang yang berakad).  

Yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau 

upah mengupah. Orang yang memberikan upah dan yang 

menyewakan disebut mu‟jir dan orang yang menerima upah 

untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu disebut 

musta‟jir.16 

sebab  begitu pentingnya kecakapan bertindak itu sebagai 

persyaratan untuk melakukan sesuatu akad, maka golongan 

Syafi‟iyah dan Hanabilah menambahkan bahwa mereka yang 

melakukan akad itu harus orang yang sudah dewasa dan tidak 

cukup hanya sekedar mumayyiz saja. 

2) Sigat  

Pernyataan kehendak yang lazimnya disebut sigat akad 

(sigatul-„aqd), terdiri atas ijab dan qabul. Dalam hukum 

perjanjian Islam, ijab dan qabul dapat melalui: 1) ucapan, 2) 

utusan dan tulisan, 3) isyarat, 4) secara diam-diam, 5) dengan 

diam semata.23 Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab dan 

qabul pada jual beli, hanya saja ijab dan qabul dalam ijarah 

harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.

 

3) Upah (Ujrah)  

Yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta‟jir atas jasa 

yang telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu‟jir. 

Dengan syarat hendaknya:  

a) Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. sebab  itu ijarah 

tidak sah dengan upah yang belum diketahui. 

b) Pegawai khusus seperti seorang hakim tidak boleh 

mengambil uang dari pekerjaannya, sebab  dia sudah 

mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia 

mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji 

dua kali dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan saja.  

c) Uang sewa harus diserahkan bersamaan dengan 

penerimaan barang yang disewa. Jika lengkap manfaat yang 

disewa, maka uang sewanya harus lengkap.18 Yaitu, 

manfaat dan pembayaran (uang) sewa yang menjadi obyek 

sewa-menyewa. 

4) Manfaat 

Untuk mengontrak seorang musta‟jir harus ditentukan 

bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Oleh sebab  itu, 

jenis pekerjaannya harus dijelaskan, sehingga tidak kabur. 

sebab  transaksi ujrah yang masih kabur hukumnya yaitu  

fasid.18 

b.  Syarat Upah (Ujrah) 

Dalam hukum Islam mengatur sejumlah persyaratan yang 

berkaitan dengan ujrah (upah) sebagai berikut: 

a. Upah harus dilakukan dengan cara-cara musyawarah dan 

konsultasi terbuka, sehingga dapat terwujudkan di dalam diri 

                                                          

 

setiap individu pelaku ekonomi, rasa kewajiban moral yang tinggi 

dan dedikasi yang loyal terhadap kepentingan umum.

b. Upah harus berupa mal mutaqawwim dan upah ini  harus 

dinyatakan secara jelas. Konkrit atau dengan menyebutkan kriteria-

kriteria. sebab  upah merupakan pembayaran atas nilai manfaat, nilai 

ini  disyaratkan harus diketahui dengan jelas. Mempekerjakan orang 

dengan upah makan, merupakan contoh upah yang tidak jelas sebab  

mengandung unsur jihalah (ketidak pastian). Ijarah seperti ini menurut 

jumhur fuqaha‟, selain malikiyah tidak sah. Fuqaha malikiyah 

menetapkan keabsahan ijarah ini  sepanjang ukuran upah yang 

dimaksudkan dan dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan. 

c. Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya. Mengupah suatu pekerjaan 

dengan pekerjaan yang serupa, merupakan contoh yang tidak memenuhi 

persyaratan ini. sebab  itu hukumnya tidak sah, sebab  dapat 

mengantarkan pada praktek riba. Contohnya: memperkerjakan kuli 

untuk membangun rumah dan upahnya berupa bahan bangunan atau 

rumah. 

d. Upah perjanjian persewaan hendaknya tidak berupa manfaat dari jenis 

sesuatu yang dijadikan perjanjian. Dan tidak sah membantu seseorang 

dengan upah membantu orang lain. Masalah ini  tidak sah sebab  

persamaan jenis manfaat. Maka masing-masing itu berkewajiban 

mengeluarkan upah atau ongkos sepantasnya sesudah  menggunakan 

tenaga seseorang ini .

e. Berupa harta tetap yang dapat diketahui. 

Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan, maka 

akadnya tidak sah sebab  ketidak jelasan menghalangi penyerahan dan 

penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad ini . Kejelasan 

objek akad (manfaat) terwujud dengan penjelasan, tempat manfaat, 

                                                          

masa waktu, dan penjelasan, objek kerja dalam penyewaan para 

pekerja.

1) Penjelasan tempat manfaat  

Disyaratkan bahwa manfaat itu dapat dirasakan, ada harganya, dan 

dapat diketahui. 

2) Penjelasan Waktu  

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk menetapkan awal waktu 

akad, sedangkan ulama Syafi‟iyah mensyaratkannya, sebab bila tidak 

dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib 

dipenuhi. Di dalam buku karangan Wahbah zuhaili Sayafi‟iiyah sangat 

ketat dalam mensyaratkan waktu. Dan bila pekerjaan ini  sudah 

tidak jelas, maka hukumnya tidak sah.22 

3) Penjelasan jenis pekerjaan  

Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan 

ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan 

atau pertantangan.  

4) Penjelasan waktu kerja  

Tentang batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan 

kesepakatan dalam akad. Syarat-syarat pokok dalam al-Qur‟an 

maupun as-Sunnah mengenai hal pengupahan yaitu  para musta‟jir 

harus memberi upah kepada mu‟ajir sepenuhnya atas jasa yang 

diberikan, sedangkan mu‟ajir harus melakukan pekerjaan dengan 

sebaik-baiknya, kegagalan dalam memenuhi syarat-syarat ini 

dianggap sebagai kegagalan moral baik dari pihak musta‟jir maupun 

mu‟ajir dan ini harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.23 

 

D. Macam-macam dan Jenis Upah (Ujrah) 

Upah diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:  

a. Upah yang sepadan (ujrah al-misli) 

                                                          

Ujrah al-misli yaitu  upah yang sepadan dengan kerjanya serta sepadan 

dengan jenis pekerjaannya, sesuai dengan jumlah nilai yang disebutkan 

dan disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pemberi kerja dan penerima 

kerja (pekerja) pada saat transaksi pembelian jasa, maka dengan itu untuk 

menentukan tarif upah atas kedua belah pihak yang melakukan transaksi 

pembeli jasa, tetapi belum menentukan upah yang disepakati maka 

mereka harus menentukan upah yang wajar sesuai dengan pekerjaannya 

atau upah yang dalam situasi normal biasa diberlakukan dan sepadan 

dengan tingkat jenis pekerjaan ini . Tujuan ditentukan tarif upah 

yang sepadan yaitu  untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak, baik 

penjual jasa maupun pembeli jasa, dan menghindarkan adanya unsur 

eksploitasi di dalam setiap transaksi-transaksi dengan demikian, melalui 

tarif upah yang sepadan, setiap perselisihan yang terjadi dalam transaksi 

jual beli jasa akan dapat terselesaikan secara adil.24 

b.  Upah yang telah disebutkan (ujrah al-musamma)  

Upah yang disebut (ujrah al-musamma) syaratnya ketika disebutkan harus 

disertai adanya kerelaan (diterima) kedua belah pihak yang sedang 

melakukan transaksi terhadap upah ini . Dengan demikian, pihak 

musta‟jir tidak boleh dipaksa untuk membayar lebih besar dari apa yang 

telah disebutkan, sebagaimana pihak ajir juga tidak boleh dipaksa untuk 

mendapatkan lebih kecil dari apa yang yang telah disebutkan, melainkan 

upah ini  merupakan upah yang wajib mengikuti ketentuan syara‟. 

jika  upah ini  disebutkan pada saat melakukan transaksi, maka 

upah ini  pada saat itu merupakan upah yang disebutkan (ajrun 

musamma). jika  belum disebutkan, ataupun terjadi perselisihan 

terhadap upah yang telah di sebutkan, maka upahnya bisa diberlakukan 

upah yang sepadan (ajrul misli).

Adapun jenis upah pada awalnya terbatas dalam beberapa jenis saja, tetapi 

sesudah  terjadi perkembangan dalam bidang muamalah pada saat ini, maka 

jenisnya pun sangat beragam, diantaranya:  

a. Upah perbuatan taat  

Menurut mazhab Hanafi, menyewa orang untuk shalat, atau puasa, atau 

menunaikan ibadah haji, atau membaca al-Qur‟an, atau pun untuk azan, 

tidak dibolehkan, dan hukumnya diharamkan dalam mengambil upah 

atas pekerjaan ini . sebab  perbuatan yang tergolong taqarrub 

jika  berlangsung, pahalanya jatuh kepada si pelaku, sebab  itu tidak 

boleh mengambil upah dari orang lain untuk pekerjaan itu.26 

b. Upah mengajarkan Al-Qur'an  

Pada saat ini para fuqaha menyatakan bahwa boleh mengambil upah dari 

pengajaran Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu syariah lainnya, sebab  para guru 

membutuhkan penunjang kehidupan mereka dan kehidupan orang-

orang yang berada dalam tanggungan mereka. Dan waktu mereka juga 

tersita untuk kepentingan pengajaran al-Qur‟an dan ilmu-ilmu syariah 

ini , maka dari itu diperbolehkan memberikan kepada mereka 

sesuatu imbalan dari pengajaran ini.27 

c. Upah sewa-menyewa tanah  

Dibolehkan menyewakan tanah dan disyaratkan menjelaskan kegunaan 

tanah yang disewa, jenis apa yang ditanam di tanah ini , kecuali jika 

orang yang menyewakan mengizinkan ditanami apa saja yang 

dikehendaki. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ijarah 

dinyatakan fasid (tidak sah). 

d. Upah sewa-menyewa kendaraan  

Boleh menyewakan kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya, 

dengan syarat dijelaskan tempo waktunya, atau tempatnya. Disyaratkan 

pula kegunaan penyewaan untuk mengangkut barang atau untuk 

ditunggangi, apa yang diangkut dan siapa yang menunggangi. 

                                                          

e. Upah sewa-menyewa rumah  

Menyewakan rumah yaitu  untuk tempat tinggal oleh penyewa, atau si 

penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara 

meminjamkan atau menyewakan kembali, diperbolehkan dengan syarat 

pihak penyewa tidak merusak bangunan yang disewanya. Selain itu pihak 

penyewa memiliki  kewajiban untuk memelihara rumah ini , 

sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.28 

f. Upah pembekaman  

Usaha bekam tidaklah haram, sebab  Nabi Saw. pernah berbekam dan 

beliau memberikan imbalan kepada tukang bekam itu, sebagaimana 

dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 

„Abbas. Jika sekiranya haram, tentu beliau tidak akan memberikan upah 

kepadanya. 

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan 

kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thowus 

dari bapaknya dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Nabi 

shallallahu 'alaihi wasallam berbekam dan memberi upah tukang 

bekamnya.

g. Upah menyusui anak  

Dalam al-Qur‟an sudah disebutkan bahwa diperbolehkan memberikan 

upah bagi orang yang menyusukan anak, sebagaimana yang tercantum 

dalam surah al-Baqarah ayat 233.  

dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, 

Maka tidak ada dosa bagimu jika  kamu memberikan 

pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada 

Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang 

kamu kerjakan.

 

 

h. Perburuhan  

Disamping sewa-menyewa barang, sebagaimana yang telah diutarakan di 

atas, maka ada pula persewaan tenaga yang lazim disebut perburuhan. 

Buruh yaitu  orang yang menyewakan tenaganya kepada orang lain 

untuk dikaryakan berdasarkan kemampuannya dalam suatu pekerjaan.

E. Sistem pemberian Ujrah/Upah di negara kita   

Dalam hukum perupahan, ada beberapa macam perupahan, agar kita 

mengerti sampai mana batas-batas sesuatu upah dapat diklasifikasikan sebagai 

upah yang wajar. Ada beberapa pengertian upah atau ujrah : 

1. Idris Ahmad berpendapat bahwa upah yaitu  mengambil manfaat tenaga 

orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.

2. Nurumansyah Haribuan mendefinisikan bahwa upah yaitu  segala macam 

bentuk penghasilan yang diterima buruh baik berupa uang ataupun 

barang dalam jangka waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi. 

Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ujrah yaitu  akad 

pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah, tanpa 

diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Transaksi 

ujrah didasarkan pada adanya perpindahan manfaat. Pada prinsipnya hampir 

sama dengan jual beli. 

 

F.  Berakhirnya Ujrah  

Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya ujrah, yaitu :  

1. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah 

ditentukan dan selesainya pekerjaan.33 

2. Pembatalan akad. 

 

G. Upah dalam Pekerjaan Ibadah 

     Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti sholat, puasa, haji dan 

membaca Al-Qur‟an di perselisihkan kebolehannya oleh para ulama, sebab  

berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini. 

                                                          

     Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti 

menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al-Qur‟an yang 

pahalanya di hadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak 

dari yang menyewa, adzan, komat, dan menjadi imam, haram hukumnya 

mengambil upah dari pekerjaan ini  sebab  Rasulallah SAW. Bersabda: 

“Bacalah olehmu Al-Qur‟an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”. 

“Jika kamu mengangkat seseorang menjadi Mu‟adzin, maka janganlah kamu 

pungut dari adzan itu suatu upah”. 

Perbuatan seperti adzan, komat, shalat, haji, puasa, membaca Al-Qur‟an 

dan dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrab kepada Allah sebab nya tidak 

boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah. 

Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di Negara negara kita , jika  

salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati 

(keluarga) memerintah kapada para santri atau yang lainnya yang pandai 

membaca Al-Qur‟an di rumah atau di kuburan secara bergantian selama tiga 

malam bila yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang yang 

meninggal sudah dewasa dan adapula bagi orang-orang tertentu mencapai 

empat puluh malam. sesudah  selesai pembacaan Al-Qur‟an pada waktu yang 

telah ditentukan, mereka diberi upah alakadarnya dari jasanya ini . 

Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum Islam sebab  yang membaca 

Al-Qur‟an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. 

Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun membaca Al-Qur‟an 

niat sebab  Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur‟an untuk dirinya sendiri 

dan tidak bisa diberikan kepada orang lain, sebab  Allah berfirman: “Mereka 

mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat 

siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan” (Al-Baqarah: 282). 

Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, para ulama 

memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai 

perbuatan baik, seperti para pengajar Al-Qur‟an, guru-guru di sekolah dan yang 

lainnya dibolehkan mengambil upah sebab  mereka membutuhkan tunjangan 

untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, mengingat 

mereka tidak semapat melakukan pekerjaan lain seperti dagang, bertani dan 

yang lainnya dan waktunya tersita untuk mengajarkan Al-Qur‟an. 

Menurut Mazhab Hanbali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan 

adzan, komat, mengajarkan Al-Qur‟an, fiqh, hadits, badal haji dan puasa qodo 

yaitu  tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah 

ini . Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan ini  jika 

termasuk kapada mashalih, seperti mengajarkan Al-Qur‟an, hadits dan fiqh, 

dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca 

Al-Qur‟an, shalat, dan yang lainnya. 

Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah 

sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu sebab  itu termasuk 

jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula. 

Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai imbalan 

mengajar Al-Qur‟an dan pengajarna ilmu, baik secara bulanan maupun 

sekaligus sebab  nash yang melarang tidak ada. 

Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawah Al-

Qur‟an dan mengajarkannya bila kaintan pembacaan dan pengajarannya 

dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil 

imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur‟an, adzan dan badal haji. 

Imam Syafi‟i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran 

berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqh, hadits, membangun masjid, menggali 

kuburan, memandikan mayit, dan membangun madrasah yaitu  boleh. 

     Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali 

kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan 

mayit tidak boleh. 

Untuk mempertahankan upah pada suatu standar yang wajar, islam 

memberikan kebebasan sepenuhnya dalam mobilitas tenaga kerja. Mereka 

bebas bergerak untuk mencari penghidupan di bagian mana saja di dalam 

negara atau tempat tinggal di suatu daerah. Tidak pembatasan sama sekali 

terhadap perpindahan seseorang dari satu daerah ke daerah yang lain guna 

mencari upah yang lebih tinggi.  

Metode yang dianjurkan oleh islam dalam menentukan standar upah 

diseluruh negeri yaitu  dengan benar-benar memberi kebebasan dalam 

bekerja. Setiap orang bebas memilih pekerjaan apa saja sesuai dengan 

kemampuan atau keahlian yang dimiliki serta tidak ada pembatasan yang 

mungkin dapat menciptakan kesulitan-kesulitan bagi para pekerja dalam 

memilih pekerjaan yang sesuai.  

Sebagai hasilnya, kekuatan tenaga kerja didistribusikan ke seluruh 

bidang bidang pekerjaan dan ke seluruh pelosok daerah sesuai dengan proporsi 

yang dikehendaki, dan jarang terjadi suatu kelebihan atau kekurangan tenaga 

kerja di mana-mana.