Ia mengakui bahwa se-
masa hidup makmur dahulu, ia acapkali menyenangkan diri
dengan rencana-rencana yang harus dilakukannya beserta
harapan akan menikmati hasilnya. Namun, sekarang ia me-
mandang masa itu telah berlalu atau mendekati akhirnya.
Semua rencana itu telah gagal dan harapan-harapannya telah
hancur. Dahulunya ia berpikir untuk meluaskan wilayahnya,
memperbesar kumpulan ternaknya, dan mengamankan kese-
jahteraan anak-anaknya. Ia mungkin saja mempunyai rencana
saleh untuk memajukan agama di negerinya, mengatasi pen-
deritaan, memperbarui hal-hal yang cemar, membantu kaum
miskin, dan mungkin juga menggalang dana untuk amal. Na-
mun Ayub berkesimpulan bahwa sekarang semua pikiran ini
sudah berakhir. Ia tidak akan pernah beroleh kepuasan meli-
hat semua rencana itu terlaksana. Perhatikanlah, akhir hidup
kita akan menjadi akhir seluruh perencanaan dan pengharap-
an kita di dunia ini. Namun, apabila kita melekat kepada
TUHAN dengan sepenuh hati, maka kematian pun tidak akan
menggagalkan tujuan itu. sebab mendengar nasihat-nasihat
baru, Ayub terus diperhadapkan kepada rasa tidak nyaman
(ay. 12): sebab telah gagal rencana-rencananya, malam hen-
dak dijadikan mereka siang. Dalam kesia-siaan mereka, ada
orang-orang yang hendak mengubah malam menjadi siang dan
siang menjadi malam. Namun, Ayub berbuat demikian di te-
ngah kesesakan dan penderitaan rohnya, dan ini mendatang-
kan rintangan baginya,
(1) Untuk beristirahat pada malam hari. Matanya tidak dapat
terpejam, sehingga malam hari melelahkan dia seperti hal-
nya kerja keras pada siang hari.
(2) Untuk menikmati siang hari. “Terang pagi hari sangat di-
nantikan, namun sebab kegelapan batin ini, kesenangan
yang bisa diperoleh darinya segera lenyap. Bagiku, siang
hari sama menyedihkannya dengan gelap pekatnya malam
hari” (Ul. 28:67). Lihatlah, betapa kita harus mensyukuri
kesehatan dan kenyamanan yang memampukan kita me-
nyambut baik kegelapan malam maupun terang pagi hari.
2. Segala sesuatu yang diharapkan Ayub dari dunia ini akan se-
gera terkubur bersamanya. sebab itu, sungguh merupakan
olok-olok baginya untuk berpikir tentang hal-hal besar seperti
semua harapan yang diucapkan mereka untuk membuai diri-
nya (5:19; 8:21; 11:17). “Wahai! Kamu hanya membodohiku.”
(1) Ayub melihat dirinya sedang masuk kubur. Rumah yang
menyenangkan, tempat tidur yang nyaman, dan hubungan
yang cocok, merupakan beberapa hal yang memuaskan
kita di dunia ini. Namun Ayub tidak mengharapkan satu
pun dari hal-hal ini di atas tanah. Semua yang dirasakan
dan dilihatnya sungguh tidak menyenangkan dan tidak
nyaman. Sebaliknya, ia mengharapkan hal-hal itu di bawah
tanah.
[1] Ia tidak mengandalkan rumah apa pun selain kubur saja
(ay. 13): “Jika aku menunggu, jika ada suatu tempat
yang mampu membuatku merasa nyaman kembali, maka
itulah kubur. Aku akan menipu diri sendiri apabila
mengharapkan jalan keluar dari kesesakanku selain
apa yang akan diberikan kematian kepadaku. Tidak ada
yang lebih pasti daripada itu.” Perhatikanlah, di tengah
semua kemakmuran kita, ada baiknya kita memikirkan
kematian juga. Apa pun yang kita harapkan, hendaklah
kita juga memastikan diri untuk mengharapkannya, ka-
rena hal itu bisa saja menghalangi hal-hal lain yang kita
harapkan, namun sebaliknya, tidak ada yang dapat men-
cegahnya. Lihatlah betapa Ayub tidak saja berusaha
berdamai dengan kubur, namun juga malah menyodor-
kannya bagi dirinya sendiri sebagai hal yang patut di-
sambut: “Itulah rumahku.” Kubur itu sebuah rumah.
Bagi orang fasik, kubur merupakan penjara (24:19-20).
Bagi orang saleh, kubur yaitu Betania, jalan lintasan
dalam perjalanan pulang mereka. “Inilah rumahku, ke-
punyaanku melalui warisan, aku dilahirkan untuk ke
sana. Inilah rumah bapaku. Itu yaitu kepunyaanku
sebab telah dibeli. Aku telah membuat diriku menjijik-
kan baginya.” Tidak lama lagi kita semua harus pindah
ke rumah ini. Jadi sungguh bijak apabila kita memper-
siapkan diri dengan baik. Hendaklah kita berpikir ten-
tang kepindahan ke sana, dan menyiapkan diri ke ru-
mah yang dirindukan itu.
[2] Ayub tidak mengharapkan tempat tidur yang nyaman
selain yang ada dalam kegelapan: “Di sana,” katanya,
“aku telah menyediakan tempat tidurku. Tempat tidur
itu sudah dibaut, sudah siap, dan aku bersiap-siap per-
gi ke sana sekarang.” Kubur yaitu tempat tidur, kare-
na kita akan beristirahat di dalamnya pada malam hari
kehidupan kita di bumi, dan bangkit dari dalamnya
pada pagi di hari yang kekal itu (Yes. 57:2). Hendaklah
hal ini membuat orang-orang baik bersedia untuk mati.
Mata itu hanyalah seperti pergi tidur. Orang baik sudah
letih dan mengantuk, jadi sudah tiba saatnya mereka
berbaring di tempat tidur. Mengapa mereka tidak mau
pergi-pergi juga, saat Bapa mereka memanggil? “Bah-
kan lebih dari itu, aku telah menyediakan tempat tidurku,
dengan mempersiapkannya. Aku telah berupaya mem-
buatnya terasa nyaman, dengan memelihara hati nura-
niku tetap murni, dengan melihat Kristus berbaring di
dalamnya, sehingga dengan demikian mengubahnya
menjadi tempat tidur yang harum dengan rempah-rem-
pah, serta memandang lebih jauh kepada kebangkitan.”
[3] Ayub tidak mengharapkan hubungan serasi selain yang
didapatkannya di dalam kubur (ay. 14): aku berkata
kepada liang kubur, yaitu tempat tubuh itu akan han-
cur, Engkau ayahku, sebab tubuh kita dibentuk dari ta-
nah, dan kepada berenga (belatung – pen.) di dalam-
nya. Engkau iArtikel dan saudara perempuanku, kepada
siapa aku bersatu, sebab manusia yaitu ulat, dan de-
ngan siapa aku harus membiasakan diri, sebab berenga-
berenga akan berkeriapan di atasku (21:26). Ayub menge-
luh bahwa keluarganya telah dijauhkan darinya (19:13-
14). Oleh sebab itu, di sini ia menyatakan dekat dengan
orang-orang lain yang akan dekat dengannya saat ke-
luarganya sendiri tidak mau mengakuinya. Perhatikanlah,
Pertama, kita semua berkeluarga dekat dengan kebi-
nasaan dan ulat.
Kedua, itulah sebabnya ada baiknya kita mengenal
mereka dengan baik, dengan cara sering bergaul akrab
dengan mereka di dalam pikiran maupun perenungan
kita, yang akan sangat membantu kita mengatasi kecin-
taan kita terhadap hidup dan ketakutan kita yang ber-
lebihan terhadap kematian.
(2) Ayub melihat semua pengharapannya dari dunia ini ikut
turun ke kubur bersamanya (ay. 15-16): “Mengingat bahwa
tidak lama lagi aku harus meninggalkan dunia ini, maka di
manakah harapanku? Bagaimanakah aku yang tidak ber-
harap untuk hidup ini dapat berharap untuk hidup mak-
mur?” Ayub tidaklah putus harapan, hanya saja harapan-
nya tidaklah diarahkan ke tempat yang diinginkan para
sahabatnya itu. Jikalau hanya dalam hidup ini ia menaruh
pengharapan, maka ia yaitu orang yang paling malang
dari segala manusia. “Tidak, mengenai pengharapanku,
pengharapan yang dapat menghibur dan mendukungku
itu, siapa yang akan melihatnya? Hal yang kuharapkan
tidak tampak oleh mata, bukan hal-hal yang dapat dilihat
dan bersifat sementara, melainkan hal-hal yang tidak ter-
lihat dan bersifat kekal.” Apa itu harapannya? Inilah yang
akan dikatakannya kepada kita (19:25), Non est mortale
quod opto, immortale peto – aku tidak mencari apa yang
dapat binasa, melainkan apa yang tetap kekal selamanya.
“Sebaliknya, pengharapan-pengharapan yang kamu pakai
untuk membuaiku, sahabat-sahabatku, semua itu akan
turun bersamaku ke liang kubur. Kamu sendiri juga se-
dang menuju kematian, dan tidak mampu menggenapi jan-
ji-janjimu. Aku pun sudah mau mati dan tidak dapat menik-
mati janji-janjimu yang muluk itu. Oleh sebab itu, mengingat
bahwa sisa hidup kita akan bersatu dalam debu, maka ma-
rilah kita menyingkirkan segala pikiran kita tentang dunia
ini dan memancangkan hati kita kepada dunia yang lain.”
Segera saja kita ada dalam ke debu, sebab kita berasal dari
debu. Debu dan abu di dalam liang kubur, ke dasar dunia
orang mati, bertahan teguhlah di sana, jangan lepaskan tali
ikatan kematian sampai pada hari kebangkitan yang agung
itu. Namun, kita akan beristirahat di dalam kubur sana.
Kita akan beristirahat bersama-sama. Sekarang ini Ayub
dan sahabat-sahabatnya memang tidak sependapat, namun
mereka semua akan diam di dalam kubur. Tanah kubur ti-
dak lama lagi akan membungkam mulut mereka semua dan
mengakhiri perdebatan itu. Hendaklah pandangan akan hal
ini mendinginkan panas pikiran semua yang berbantah dan
melunakkan hati semua yang berselisih di dunia ini.
PASAL 18
alam pasal ini Bildad melancarkan serangan kedua kepada
Ayub. Dalam tuturannya yang pertama (ps. 8) dia memberi Ayub
kekuatan untuk berharap bahwa semua akan baik-baik saja. namun
di sini tidak ada satu kata penguatan pun. Ia bertambah kesal dan
sangat jauh dari diyakinkan oleh segala jawaban Ayub sehingga dia
lebih sakit hati.
I. Ia dengan tajam menegur Ayub angkuh dan emosional, serta
keras kepala (ay. 1-4).
II. Ia membicarakan panjang lebar tentang ajaran yang diperta-
hankannya sebelumnya, mengenai kesengsaraan orang jahat
dan kehancuran yang menyertai mereka (ay. 5-21). Dalam
hal ini dia tampaknya terus mengarahkan pandangannya ter-
hadap keluhan-keluhan Ayub akan sengsara yang dialami-
nya, bahwa ia berada di dalam gelap, kebingungan, terperang-
kap, ketakutan, dan sedang bergegas meninggalkan dunia.
“Ini,” kata Bildad, “menggambarkan keadaan dari orang jahat,
dan engkau salah satunya.”
Seruan Bildad yang Kedua
(18:1-4)
1 Maka Bildad, orang Suah, menjawab: 2 “Bilakah engkau habis bicara? Sa-
darilah, baru kami akan bicara. 3 Mengapa kami dianggap binatang? Meng-
apa kami bodoh dalam pandanganmu? 4 Engkau yang menerkam dirimu sen-
diri dalam kemarahan, demi kepentinganmukah bumi harus menjadi sunyi,
dan gunung batu bergeser dari tempatnya?
Bildad di sini melepaskan anak panahnya, bahkan kata-kata yang
lebih tajam, terhadap Ayub yang malang, tanpa menyadari bahwa,
kendati dia seorang yang baik dan bijaksana, dalam hal ini dia sedang
melayani rancangan Iblis dalam menambahkan penderitaan Ayub.
I. Ia menuduh Ayub berbicara bodoh tidak habis-habisnya, seperti
yang juga dituduhkan Elifas (15:2-3): Bilakah engkau habis
bicara? (ay. 2). Di sini dia menyindir, tidak hanya Ayub saja, namun
juga semua peserta debat, dengan menganggap Elifas dan Zofar
tidak berbicara sesuai tujuan yang seharusnya. Mungkin juga ia
menyindir beberapa orang lain yang hadir, yang mungkin memi-
hak Ayub dengan menyumbangkan sepatah dua patah kata,
kendati hal itu tidak dicatat di sini. Bildad jemu mendengarkan
orang lain berbicara, dan tidak sabar menunggu gilirannya, yang
tidak patut diperbuatnya, sebab kita harus cepat untuk men-
dengar dan lambat untuk berbicara. Sudah menjadi kebiasaan
bagi orang-orang yang berdebat untuk memandang dirinyalah
yang paling berhikmat, dan dirinyalah yang paling berhak untuk
berbicara dan diikuti. Betapa tidak pantasnya perilaku ini dapat
dilihat oleh siapa pun, namun hanya segelintir orang yang ber-
perilaku demikian yang menyadari kesalahannya sendiri. Di
kemudian hari Ayub mendapat kesempatan untuk memberikan
perkataannya yang terakhir dalam perdebatan itu (29:22): Sehabis
bicaraku tiada seorang pun angkat bicara lagi, saat ia berkuasa
dan makmur. namun sekarang dia miskin dan sedemikian diren-
dahkan sehingga hampir tidak diperbolehkan untuk berbicara
sama sekali, dan setiap hal yang dikatakannya difitnah dengan
keji seperti sebelumnya. Hikmat sebab nya (seiring perjalanan
dunia) sama baiknya dengan warisan (Pkh. 7:11). Sebab hikmat
orang miskin dihina, dan, sebab ia miskin, perkataannya tidak
didengar orang (Pkh. 9:16).
II. Tanpa sadar, Bildad ikut melayani rancangan Iblis terhadap Ayub,
dengan menuduh Ayub, bahwa ia mengabaikan apa yang dikata-
kan para sahabatnya kepadanya, seperti tampak dalam perkataan
ini, Sadarilah, baru kami akan berbicara. Dan memang tidak ada
gunanya untuk berbicara, meskipun apa yang dikatakan banyak
gunanya, jika orang yang diajak bicara tidak mau peduli dan mem-
perhatikan. Kiranya pendengaran dipertajam untuk mendengar se-
perti seorang murid, barulah lidah seorang murid dapat berguna de-
ngan baik (Yes. 50:4) dan bukan sebaliknya. Sungguh semangat
hati orang-orang yang menyampaikan hal-hal tentang Allah bila
mereka melihat para pendengar memberi perhatian.
III. Bildad juga menuduh Ayub dengan angkuhnya telah menghina
dan meremehkan para sahabatnya dan apa yang mereka tawar-
kan (ay. 3): Mengapa kami dianggap binatang? Hal ini sangat me-
nyakitkan hati. Ayub memang telah menyebut mereka para pen-
cemooh, tidak bijaksana dan jahat, tidak berakal budi dan kasar,
namun ia tidak menganggap mereka binatang. Namun Bildad meng-
anggapnya demikian,
1. Sebab ia sangat tersinggung dengan apa yang dikatakan Ayub
seakan-akan perkataan Ayub sangat luar biasa menghinanya.
Orang sombong sering mudah merasa terhina melebihi kenya-
taannya.
2. Sebab hatinya yang panas ingin mencari gara-gara untuk ber-
sikap keras kepada Ayub. Orang-orang yang cenderung bersikap
keras terhadap orang lain biasanya berpikiran bahwa orang lain
yang terlebih dahulu telah bersikap demikian kepada mereka.
IV. Bildad menuduh Ayub penuh nafsu kemarahan: Engkau mener-
kam dirimu sendiri dalam kemarahan (ay. 4). Dengan ini dia seper-
tinya menyindir apa yang telah dikatakan Ayub sebelumnya
(13:14): Maka dagingku akan kuambil dengan gigiku? “Itu kesalah-
anmu sendiri,” kata Bildad. Atau Bildad menyindir apa yang telah
dikatakan Ayub dalam pasal 16:9, di mana dia sepertinya menu-
duh Allah, atau menurut beberapa penafsir, Elifas: Ia menerkam
aku dalam kemarahannya. ”Tidak,” kata Bildad, “engkau sendiri
yang akan menanggungnya.” Engkau yang menerkam dirimu sen-
diri dalam kemarahan. Perhatikanlah, kemarahan yaitu suatu
dosa yang hukumannya yaitu kemarahan itu sendiri. Orang-
orang yang penuh amarah merobek-robek dan menyiksa diri me-
reka sendiri. Engkau merobek jiwamu (demikian artinya). Setiap
dosa melukai jiwa, merobeknya, berbuat tidak baik terhadapnya
(Ams. 8:36), terutama nafsu amarah yang tidak terkendali.
V. Bildad menuduh Ayub memiliki pengharapan yang sombong dan
angkuh untuk memberi hukum bahkan kepada Sang Penyeleng-
gara sendiri: “Demi kepentinganmukah bumi harus menjadi sunyi?
Tentu tidak. Tidak ada alasan untuk hal itu, bahwa jalannya alam
harus diubah dan tata aturan hukum yang sudah ditetapkan
dapat dilanggar untuk memuaskan selera satu orang. Ayub, pikir-
mu dunia tidak dapat bertahan tanpa engkau? Bahwa jika engkau
hancur, maka seluruh dunia akan ikut hancur dan lenyap ber-
sama engkau?” Beberapa penafsir menjadikannya sebagai teguran
terhadap Ayub yang berusaha membenarkan dirinya sendiri, kare-
na ia seakan mengakui diri seorang yang jahat atau menyangkal
Allah Sang Penyelenggara dan menduga Dia telah meninggalkan
bumi sehingga gunung batu pun bergeser dari tempatnya. Namun,
sepertinya itu merupakan teguran yang adil terhadap keluh-kesah
Ayub. Bila kita mempersoalkan peristiwa Penyelenggaraan Allah,
kita lupa bahwa, apa pun yang menimpa kita, itu yaitu ,
1. Sesuai dengan tujuan dan pertimbangan kekal Allah.
2. Sesuai dengan firman yang tertulis. Demikianlah yang tertulis
bahwa di dalam dunia kita harus mengalami penderitaan,
bahwa sebab setiap hari kita berdosa, maka kita harus me-
nantikan akibatnya, dan,
3. Sesuai dengan cara dan kebiasaan yang umum, jejak Penyeleng-
garaan, yang tidak lain selain yang umum terjadi pada manusia.
sebab itu, untuk berharap bahwa pertimbangan Allah harus
berubah, cara-Nya berubah, dan firman-Nya gagal, untuk me-
nyenangkan kita, yaitu sama tidak masuk akal dan bodohnya
seperti berpikiran bahwa demi kepentinganmukah bumi harus
menjadi sunyi, dan gunung batu bergeser dari tempatnya?
Keadaan Orang Fasik yang Menyengsarakan
(18:5-10)
5 Bagaimanapun juga terang orang fasik tentu padam, dan nyala apinya tidak
tetap bersinar. 6 Terang di dalam kemahnya menjadi gelap, dan pelita di atas-
nya padam. 7 Langkahnya yang kuat terhambat, dan pertimbangannya sen-
diri menjatuhkan dia. 8 sebab kakinya sendiri menyangkutkan dia dalam
jaring, dan di atas tutup pelubang ia berjalan. 9 Tumitnya tertangkap oleh
jebak, dan ia tertahan oleh jerat. 10 Tali tersembunyi baginya dalam tanah,
perangkap terpasang baginya pada jalan yang dilaluinya.
Selebihnya dari tuturan Bildad sepenuhnya disampaikan dalam sua-
tu gambaran yang indah tentang keadaan menyedihkan dari seorang
fasik. Ada banyak kebenaran dalam tuturannya itu, yang akan sa-
ngat berguna jika dipertimbangkan dengan sepatutnya, yaitu bahwa
keadaan yang penuh dosa penuh kesengsaraan, dan bahwa pelang-
garan akan menjadi kehancuran manusia jika mereka tidak bertobat
darinya. Namun tidaklah benar bahwa semua orang fasik secara keli-
hatan dan terbuka dijadikan menderita di dalam dunia ini. Juga
tidak benar bahwa semua yang dibawa ke dalam kesesakan dan ma-
salah yang besar di dalam dunia ini sebab nya dianggap dan pastilah
merupakan orang fasik, sementara tidak ada buktinya. Oleh sebab
itu, kendati Bildad menganggap tuturannya itu dengan mudah saja
dapat dikatakan benar berlaku pada diri Ayub, hal itu tetap tidak
aman dan tidak adil. Dalam ayat-ayat di atas ini kita menemukan,
I. Kehancuran orang fasik sudah dapat dilihat dan diramalkan, dalam
kiasan kegelapan (ay. 5-6): Terang orang fasik tentu padam. Bahkan
terangnya, bagian yang terbaik dan yang paling cemerlang darinya,
akan menjadi padam. Bahkan apa yang dibangga-banggakannya
akan mengecewakannya. Atau kata bagaimanapun bisa merujuk
pada keluhan Ayub akan kesusahan besar yang dia alami dan ke-
gelapan yang segera dimasukinya di tempat tidurnya. “Bagai-
manapun,” kata Bildad, “demikianlah jadinya. Engkau ditutupi
awan, dalam kesesakan serta dijadikan sengsara, dan tidak ada
yang lebih baik yang dapat diharapkan. Sebab terang orang fasik
tentu padam, dan sebab nya terangmu juga.” Amatilah di sini,
1. Orang fasik bisa saja mendapat sedikit terang untuk sesaat,
sedikit kesenangan, sedikit sukacita, sedikit pengharapan, dan
juga kekayaan, serta kehormatan, dan kuasa. Namun terang-
nya itu hanyalah suatu percikan (ay. 5), kecil saja dan segera
akan padam. Itu hanyalah sebuah lilin (ay. 6), yang meleleh,
dan segera padam, serta mudah mati tertiup. Itu bukan Te-
rang TUHAN (yaitu terang matahari), namun terang apinya sen-
diri dan percikan terangnya (Yes. 50:11).
2. Terangnya pasti akan padam pada akhirnya, padam seluruh-
nya, hingga tidak ada suatu percikan pun yang tersisa untuk
dapat menyalakan api lain. Bahkan sementara dia berada di
dalam kemahnya, sementara dia ada di dalam tubuhnya, yang
merupakan kemah jiwa (2Kor. 5:1), terangnya itu akan men-
jadi gelap. Ia tidak akan memiliki kenyamanan yang sejati,
tidak ada sukacita yang memuaskan, tidak ada pengharapan
yang mendukung. Bahkan terang di dalam dirinya menjadi
gelap. Dan betapa gelapnya kegelapan itu! Namun, saat dia
dipadamkan oleh kematian, pelita di atasnya padam. Akhir
hidupnya akan menjadi akhir dari semua hari-harinya dan
membalikkan semua harapannya menjadi keputusasaan yang
tanpa akhir. Pengharapan orang fasik gagal pada kematian-
nya (Ams. 11:7). Kamu akan berbaring di tempat siksaan.
II. Persiapan yang mendahului kehancuran orang fasik dikiaskan
seperti seekor binatang atau burung yang tertangkap dalam se-
buah perangkap, atau seorang penjahat yang tertangkap dan dita-
han untuk dihukum (ay. 7-10).
1. Iblis sedang mempersiapkan kehancurannya. Iblis yaitu pe-
rampok yang akan menang melawan dia (ay. 9, KJV). Sebab,
sebab ia yaitu seorang pembunuh, maka ia juga seorang
perampok, sejak mulanya. Ia, sebagai si penggoda, memasang
jerat bagi orang-orang berdosa di jalan mereka, ke mana pun
mereka pergi, dan dia akan menang. Apabila dia membuat me-
reka berdosa seperti dirinya, dia akan membuat mereka seng-
sara seperti dirinya juga. Ia memburu nyawa yang berharga.
2. Orang fasik sendiri mempersiapkan bagi kehancurannya sen-
diri dengan terus berbuat dosa, dan dengan demikian menim-
bun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka
dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan. Allah menye-
rahkan dia, sebagaimana yang dia inginkan dan patut mene-
rimanya, kepada pertimbangannya sendiri, sehingga pertim-
bangannya sendiri menjatuhkan dia (ay. 7). Segala rencana dan
usahanya yang berdosa membawanya ke dalam kejahatan.
Ia tersangkut dalam jaring oleh kakinya sendiri (ay. 8), lari ke-
pada kehancurannya sendiri, terjerat dalam perbuatan tangan-
nya sendiri (Mzm. 9:17). Tergelincir sebab lidah mereka sen-
diri (Mzm. 64:9). Orang yang jahat terjerat oleh pelanggarannya.
3. Allah sedang mempersiapkan kehancurannya. Orang berdosa
oleh dosanya sedang mempersiapkan bahan bakarnya, lalu Allah
melalui murka-Nya mempersiapkan apinya. Lihatlah di sini,
(1) Bagaimana orang berdosa bernafsu untuk berlari sendiri ke
dalam jerat, dan siapa yang hendak Allah binasakan, Ia
akan memanasi hati orang itu.
(2) Bagaimana dia dipermalukan: Langkahnya yang kuat, ran-
cangan dan upayanya yang kuat, terhambat, sehingga dia
tidak akan mencapai apa yang dia maksudkan. Dan sema-
kin dia berusaha untuk melepaskan dirinya, semakin dia
akan terjerat. Orang jahat akan bertambah buruk.
(3) Bagaimana dia diamankan dan dijaga supaya tidak luput
dari hukuman Allah yang sedang mengejarnya. Tumitnya
tertangkap oleh jebak. Ia tidak dapat lagi lolos dari murka
ilahi yang sedang mengejarnya seperti orang yang begitu
ditangkap oleh pemburunya tidak dapat melarikan diri. Allah
tahu menyimpan orang-orang jahat untuk disiksa pada hari
penghakiman (2Ptr. 2:9).
Keadaan Orang Fasik yang Menyengsarakan
(18:11-21)
11 Kedahsyatan mengejutkan dia di mana-mana, dan mengejarnya di mana
juga ia melangkah. 12 Bencana mengidamkan dia, kebinasaan bersiap-siap
menantikan dia jatuh. 13 Kulit tubuhnya dimakan penyakit, bahkan anggota
tubuhnya dimakan oleh penyakit parah. 14 Ia diseret dari kemahnya, tempat
ia merasa aman, dan dibawa kepada raja kedahsyatan. 15 Dalam kemahnya
tinggal apa yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia, di atas tempat
kediamannya ditaburkan belerang. 16 Di bawah keringlah akar-akarnya, dan
di atas layulah rantingnya. 17 Ingatan kepadanya lenyap dari bumi, namanya
tidak lagi disebut di lorong-lorong. 18 Ia diusir dari tempat terang ke dalam
kegelapan, dan ia dienyahkan dari dunia. 19 Ia tidak akan mempunyai anak
atau cucu cicit di antara bangsanya, dan tak seorang pun yang tinggal hidup
di tempat kediamannya. 20 Atas hari ajalnya orang-orang di Barat akan ter-
cengang, dan orang-orang di Timur akan dihinggapi ketakutan. 21 Sungguh,
demikianlah tempat kediaman orang yang curang, begitulah tempat tinggal
orang yang tidak mengenal Allah.”
Bildad di sini menggambarkan kehancuran yang disimpan bagi orang
fasik di dunia lain. Kehancuran tersebut dalam tingkat tertentu se-
ring menyergap mereka juga di dalam dunia ini. Mari dan lihatlah be-
tapa sengsaranya kondisi orang berdosa saat hari hidupnya gagal.
I. Lihatlah hatinya menjadi tertekan dan lemah akibat diterpa ke-
ngerian terus-menerus yang timbul dari rasa bersalahnya sendiri
dan ketakutan akan murka Allah (ay. 11-12): Kedahsyatan menge-
jutkan dia di mana-mana. Kengerian dari hati nuraninya sendiri
akan menghantui dia, sehingga dia tidak akan pernah menjadi
tenang. Ke mana pun dia pergi, kengerian ini akan mengikuti dia.
Ke arah mana pun dia memandang, kengerian ini akan menatap
wajahnya. Kengerian itu membuatnya gemetar melihat dirinya di-
lawan oleh seluruh ciptaan, melihat sorga mengernyit dahi kepa-
danya, neraka menganga baginya, dan bumi muak dengannya.
Siapa yang selalu membawa penuduh dan penyiksanya sendiri,
selalu dekat di hatinya, tidak dapat tidak, selalu takut di setiap
sudut. Hal ini akan mendorongnya untuk bangkit, seperti pen-
jahat, yang, sebab menyadari kesalahannya sendiri, mengambil
langkah seribu dan lari walaupun tidak ada yang mengejarnya
(Ams. 28:1). Namun kakinya tidak akan berguna baginya, sebab
tertahan oleh jerat (ay. 9). Orang berdosa segera diatasi kemaha-
kuasaan ilahi begitu ia melarikan diri dari kemahatahuan ilahi
(Am. 9:2-3). Tidak heran bahwa orang berdosa itu putus asa dan
terganggu dengan rasa takut, sebab,
1. Ia melihat kehancuran mendekatinya: Kebinasaan bersiap-siap
menantikan dia jatuh, menangkapnya saat keadilan telah
memberikan putusan, sehingga dia binasa dalam sekejap mata
(Mzm. 73:19).
2. Ia merasa sama sekali tidak sanggup untuk bergulat dengan-
nya, entah untuk menghindarinya atau bertahan di bawahnya.
Apa yang ia andalkan sebagai kekuatannya seperti kekayaan,
kekuasaan, kemegahan, teman, dan ketabahan semangatnya
sendiri, maka akan mengecewakannya pada saat dibutuhkan,
dan mati kelaparan, artinya, semuanya itu tidak akan berguna
apa-apa lagi baginya selain menjadikannya seperti orang yang
kelaparan, yang kepayahan akibat kelaparan, seperti saat
terjadi peperangan. Demikianlah perkaranya, sehingga tidak
heran ia menjadi kengerian bagi dirinya sendiri. Perhatikanlah,
jalan dosa yaitu jalan ketakutan, yang menuntun kepada
kebingungan selamanya, yang ditandai dengan kengerian yang
terus-menerus menerpa hati nurani bahwa ia bersalah sehing-
ga menjadi tidak tenteram, seperti yang terjadi pada Kain dan
Yudas.
II. Lihatlah orang fasik dilahap dan ditelan oleh kematian yang me-
nyengsarakan. Dan memang sungguh menyedihkan kematian se-
orang fasik, betapa pun aman dan riangnya hidupnya tadinya.
1. Lihatlah dia sekarat, tertangkap oleh kematian anak sulung,
yaitu suatu penyakit, atau suatu hajaran luar biasa mirip
kematian itu sendiri. Kematian yang begitu ngeri, demikian di-
sebut (2Kor. 1:10), seorang utusan kematian yang di dalamnya
terkandung kekuatan dan kengerian yang tidak biasa. Ia dile-
mahkan oleh pertanda kematian, yang memakan kulit tubuh-
nya, yaitu, yang membuat tulang-tulangnya keropos dan meng-
habisinya. Ia diseret dari kemahnya, tempat ia merasa aman (ay.
14), yaitu, semua yang diandalkannya akan diambil darinya,
sehingga tidak punya apa-apa lagi untuk bergantung, tidak,
termasuk kemahnya sendiri. Jiwanya yaitu keyakinannya,
namun itu pun akan diambil dari kemah tubuhnya, seperti se-
buah pohon yang menghalangi jalan. “Jiwamu akan diambil
darimu.”
2. Lihatlah dia mati dan lihatlah perkaranya dengan mata iman.
(1) Ia kemudian dibawa kepada raja kengerian. Ia dikelilingi
dengan kengerian selama masih hidup (ay. 11), dan kema-
tian yaitu raja dari semua kengerian tersebut. Semua
kengerian menyerang orang berdosa atas nama kematian,
sebab dengan alasan kematianlah semua orang berdosa se-
umur hidup berada dalam perhambaan (Ibr. 2:15), dan pada
akhirnya mereka akan dibawa ke tempat yang sangat lama
mereka takuti, seperti seorang tawanan kepada si penakluk.
Kematian itu mengerikan bagi alam. Juruselamat kita sen-
diri berdoa, Bapa selamatkanlah Aku. Namun bagi orang
fasik kematian itu secara khusus yaitu sang raja kengeri-
an, sebab merupakan suatu titik akhir bagi kehidupan
tempat mereka menggantungkan kebahagiaan dan sebuah
jalan kepada kehidupan di mana mereka akan menemukan
kesengsaraan tanpa akhir. Oleh sebab itu, betapa baha-
gianya orang-orang kudus, sebab raja kengerian ini men-
jadi seorang teman dan hamba bagi mereka! Dan untuk ini
mereka berutang banyak kepada Tuhan Yesus, yang oleh-
Nya kematian dihapuskan, dan sifatnya diubahkan.
(2) Ia kemudian diusir dari tempat terang ke dalam kegelapan
(ay. 18), dari terang dunia ini, dan kondisinya yang enak,
ke dalam kegelapan, kegelapan kubur, kegelapan neraka,
ke dalam kegelapan yang pekat, dan tidak pernah melihat
terang (Mzm. 49:20), tanpa sedikit pun cahaya, tanpa ada
harapan pun.
(3) Ia dienyahkan dari dunia, dengan tergesa-gesa dan diseret
pergi oleh para utusan maut, dengan pedihnya bertentang-
an dengan kehendaknya, diusir seperti Adam keluar dari
taman Firdaus, sebab dunia yaitu Firdaus baginya. Hal
ini menyatakan bahwa dia ingin mati-matian tinggal di sini.
Berangkat ia enggan, namun dia harus pergi. Dunia ini su-
dah jemu dengannya, sehingga mengusirnya, senang meng-
hindar darinya. Inilah kematian bagi orang yang fasik.
III. Lihatlah keluarganya tenggelam dan terputus (ay. 15). Murka dan
kutukan Allah menyala dan tertuju, tidak hanya pada kepala dan
hatinya, namun juga pada rumahnya pula, untuk membakarnya
dengan kayu dan batu-batu (Za. 5:4). Kematian itu sendiri akan
tinggal di dalam kemahnya, dan, setelah mengusirnya, akan
menduduki rumahnya, sehingga menjadi kengerian dan kehan-
curan semua yang ditinggalkannya. Bahkan tempat tinggalnya
akan dihancurkan oleh sebab pemiliknya: Belerang akan ditabur-
kan di atas tempat kediamannya, menghujaninya seperti Sodom,
yang sepertinya dirujuk di sini. Beberapa penafsir menganggap
Bildad di sini mencela Ayub dengan peristiwa yang menimpa ter-
nak domba dan hamba-hambanya yang dibakar dengan api dari
langit. Alasan diberikan di sini mengapa kemahnya ditandai bagi
kehancuran: sebab itu bukan miliknya. Yaitu, kemah tersebut
diperoleh secara tidak benar, dan dijauhkan dari pemiliknya yang
sah, dan sebab nya janganlah dia mengharapkan kenyamanan
darinya atau kelangsungannya. Anak-anaknya akan binasa, entah
bersama-sama dia atau sesudah dia (ay. 16). Sehingga, akar-
akarnya dalam dirinya sendiri menjadi kering di bawah dan di
atas layulah rantingnya (setiap anak dari keturunan keluarganya)
akan diputus. Demikianlah keluarga Yerobeam, Baesa, dan Ahab
diputus. Tak ada yang menjadi keturunan mereka dibiarkan tetap
hidup. Orang-orang yang berakar di bumi ada kemungkinan
melihat akarnya menjadi kering. namun , jika kita berakar di dalam
Kristus, bahkan daun kita pun tidak akan menjadi layu, apalagi
sampai ranting-rantingnya dipotong. Orang-orang yang memeduli-
kan kehormatan sejati dari keluarganya, dan kesejahteraan ca-
bang-cabangnya, akan takut layu oleh dosa. Pemusnahan keluar-
ga orang berdosa disebutkan lagi (ay. 19): Ia tidak akan mempu-
nyai anak atau cucu cicit, untuk menikmati kekayaannya dan
meneruskan namanya. Dari antara yang berkerabat dengannya,
tak seorang pun yang tinggal hidup di tempat kediamannya. Dosa
meneruskan suatu kutukan ke atas keturunan, dan kesalahan
bapa-bapa sering ditimpakan kepada anak-anak. Di sini, mungkin
Bildad menyindir kematian anak-anak dan para hamba Ayub,
sebagai bukti lebih lanjut Ayub seorang yang fasik. Padahal
semua yang terlahir tanpa keturunan tidaklah selalu tanpa kasih
karunia. Ada nama yang lebih baik dari pada anak-anak lelaki dan
perempuan.
IV. Lihatlah ingatan akan orang fasik terkubur bersamanya, kenang-
an akan namanya menjadi menjijikkan. Ia entah akan dilupakan
atau dibicarakan dengan penghinaan (ay. 17): Ingatan kepadanya
lenyap dari bumi. Dan, jika sampai lenyap, lenyap seluruhnya,
sebab tidak pernah tertulis di sorga, seperti nama-nama orang
kudus (Luk. 10:20). Semua kehormatannya akan tergeletak dan
lenyap di dalam debu, atau ternodai dengan kehinaan abadi,
sehingga namanya tidak lagi disebut di lorong-lorong, pergi tanpa
dirindukan. Jadi, hukuman Allah mengikutinya, setelah kemati-
an, di dalam dunia ini, sebagai suatu petunjuk akan keseng-
saraan jiwanya sesudah kematian, dan sebagai suatu pertanda
akan penghinaan serta rasa malu kekal yang akan dialaminya
pada waktu dia bangkit kelak di hari yang agung itu. Kenangan
kepada orang benar mendatangkan berkat, namun nama orang fasik
menjadi busuk (Ams. 10:7).
V. Lihatlah suatu keheranan besar terjadi di mana-mana atas keja-
tuhannya (ay. 20). Orang-orang yang melihatnya merasa ketakut-
an, begitu mendadak perubahannya, begitu mematikan hukum-
annya, begitu mengancam semua orang di sekitarnya: dan mereka
yang datang kemudian, dan mendengar kabar tentang hal itu,
merasa terkejut. Telinga mereka berdenging-denging, hati mereka
gemetar, dan mereka berteriak, TUHAN, betapa mengerikannya
Engkau dalam penghukuman-Mu! Suatu tempat atau seseorang
yang sepenuhnya dihancurkan dikatakan dijadikan kedahsyatan
(Ul. 28:37; 2Taw. 7:21; Yer. 25:9, 18). Dosa-dosa yang mengerikan
membawa hukuman yang dahsyat dan aneh.
VI. Lihatlah semua yang menimpa orang fasik ini diteguhkan kebe-
narannya dengan bulat hati sejak zaman bapak leluhur, yang
didasarkan pada pengetahuan mereka tentang Allah dan banyak
pengamatan mereka tentang penyelenggaraan-Nya (ay. 21): Sung-
guh, demikianlah tempat kediaman orang yang curang, begitulah
tempat tinggal orang yang tidak mengenal Allah! Inilah keadaan-
nya. Lihatlah di sini apa permulaan dan apa akhir dari kejahatan
dunia yang jahat ini.
1. Permulaannya yaitu ketidakacuhan terhadap Allah, sengaja
tidak mau peduli dengan-Nya. Orang cukup tahu tentang Dia,
namun mengabaikan Dia, dan sebab itu mereka tidak dapat di-
maafkan selamanya. Mereka tidak mengenal Allah lalu me-
lakukan semua kejahatan. Firaun tidak mengenal TUHAN, dan
sebab nya tidak mau menaati suara-Nya.
2. Akhir darinya, yaitu kehancuran sepenuhnya. Demikianlah, be-
gitu mengenaskan, tempat kediaman orang fasik. Pembalasan
akan dilaksanakan terhadap mereka yang tidak mengenal Allah
(2Tes. 1:8). Sebab, Jika Ia tidak mendapat kehormatan dari
seseorang, Dia akan mendapatkan sendiri kehormatan pada
orang itu. sebab itu, mari kita berdiri dengan takut dan gen-
tar, jangan berbuat dosa, sebab dosa hanya membawa kepa-
hitan pada akhirnya.
PASAL 19
asal ini berisi jawaban Ayub terhadap tuturan Bildad pada pasal
sebelumnya. Meskipun Ayub berduka dan hatinya panas, semen-
tara Bildad juga sangat kesal, Ayub tetap membiarkan dia mengucap-
kan semua yang hendak dikatakannya tanpa memotong pembicara-
annya. Namun, setelah dia selesai, Ayub pun menanggapi apa ada-
nya, yang isinya,
I. Ayub mengeluh atas perlakuan tidak baik, dan ia menerima-
nya dengan tidak baik pula, yakni bahwa,
1. Para penghiburnya justru menambah-nambahi kesusah-
annya (ay. 2-7).
2. Allah yaitu penyebab kesengsaraannya (ay. 8-12).
3. Kerabat dan sahabat-sahabatnya menjadi orang asing bagi-
nya dan malu terhadapnya di tengah penderitaan itu (ay.
13-22).
II. Ayub menghibur dirinya dengan keyakinan akan mendapat
kebahagiaan di kehidupan di dunia lain, walaupun di dunia
ini ia tidak mendapat banyak penghiburan. Keyakinan itu
melahirkan pernyataan iman yang sungguh-sungguh, disertai
keinginan agar pernyataan itu dicatat sebagai bukti ketulus-
an hatinya (ay. 23-27).
III. Ayub mengakhiri ucapannya dengan peringatan kepada para
sahabatnya untuk tidak bersikukuh memaksakan kecaman
keras mereka terhadapnya (ay. 28-29).
Bantahan Ayub terhadap ketidakadilan yang dirasakan-
nya terkadang bisa menjadi alasan bagi kita untuk membe-
narkan keluhan-keluhan kita. Namun, di sisi lain, pandang-
annya yang cerah terhadap masa depan seharusnya mem-
buat kita, orang Kristen, merasa malu, dan patut membung-
kam keluh kesah kita, atau setidaknya menyeimbangkannya.
Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad
(19:1-7)
1 namun Ayub menjawab: 2 Berapa lama lagi kamu menyakitkan hatiku, dan
meremukkan aku dengan perkataan? 3 Sekarang telah sepuluh kali kamu
menghina aku, kamu tidak malu menyiksa aku. 4 Jika aku sungguh tersesat,
maka aku sendiri yang menanggung kesesatanku itu. 5 Jika kamu sungguh
hendak membesarkan diri terhadap aku, dan membuat celaku sebagai bukti
terhadap diriku, 6 insafilah, bahwa Allah telah berlaku tidak adil terhadap
aku, dan menebarkan jala-Nya atasku. 7 Sesungguhnya, aku berteriak: Kela-
liman!, namun tidak ada yang menjawab. Aku berseru minta tolong, namun
tidak ada keadilan.
Sahabat-sahabat Ayub sebelumnya telah melontarkan kecaman yang
amat pedas terhadapnya, yaitu bahwa Ayub pastilah orang fasik
sebab ia didera oleh petaka yang sangat menyedihkan. Sekarang,
Ayub mengutarakan betapa sakit hatinya oleh sebab kecaman itu.
Dua kali Bildad mengawali ucapannya dengan “Berapa lama lagi”
(8:2, 18:2), jadi sekarang, saat menjawab dia secara khusus, Ayub
juga memulainya dengan “Berapa lama lagi” (ay. 2). Sesuatu yang
tidak kita sukai biasanya terasa lama, namun lebih pantas bila Ayub
yang merasakan betapa lamanya orang-orang itu menyerang dia,
daripada mereka merasa betapa lamanya Ayub berbicara, padahal
Ayub hanya membela diri. Alasan yang kuat boleh dicetuskan untuk
membela diri, bila kita berhak melakukannya, ketimbang untuk me-
nyerang sesama kita, walaupun kita berhak melakukannya. Nah, per-
hatikanlah,
I. Bagaimana ia menggambarkan jahatnya mereka terhadap dirinya
dan apa tanggapannya.
1. Mereka menyakitkan hatinya, dan sakit hati itu lebih menyiksa
daripada tulang-tulang yang gemetar (Mzm. 6:3-4). Mereka
yaitu sahabatnya, mereka datang untuk menghibur, bersikap
seolah hendak menasihati dia demi kebaikan. Namun, dengan
menunjukkan khidmat dan hikmat serta kesalehan palsu,
mereka justru merenggut dia dari satu-satunya penghiburan
yang dia miliki, yaitu Allah yang baik, hati nurani yang baik,
dan nama yang baik. Semua itu menyakitkan hatinya.
2. Mereka meremukkan Ayub dengan perkataan, kata-kata yang
sangat keras dan kejam hingga bisa meremukkan seseorang.
Mereka mendukakan dia, sehingga ia pun remuk. sebab itu,
kelak semua perkataan keras yang diucapkan terhadap Kris-
tus dan umat-Nya akan diperhitungkan (Yud. 15). Para saha-
batnya menghina dia (ay. 3), mengecapnya berkarakter buruk,
dan menyalahkannya atas hal-hal yang bahkan tidak ia keta-
hui. Bagi orang jujur, tuduhan yaitu sesuatu yang menyakit-
kan.
4. Mereka menjadi orang asing terhadap dia, merasa malu terha-
dapnya sebab sekarang ia berada dalam masalah, dan
mereka berpura-pura tidak mengenalnya (2:12). Mereka juga
tidak merasa dekat lagi dengan dia seperti dahulu saat ia
masih berjaya. Orang dipimpin oleh roh dunia ini, bukan oleh
prinsip-prinsip kehormatan dan kasih sejati, bila mereka
menjadi orang asing bagi sahabat mereka atau bagi sahabat
Allah, saat sahabat itu sedang mengalami kesulitan. Seorang
sahabat mengasihi setiap waktu.
5. Mereka tidak hanya menjadi orang asing terhadap Ayub, namun
juga membesarkan diri terhadap dia (ay. 5). Mereka tidak ha-
nya malu sebab dia, namun meninggikan diri atasnya, meng-
hina dia, dan memegahkan diri untuk menekannya. Mengin-
jak-injak orang yang sedang terpuruk yaitu perbuatan yang
tercela, tindakan yang hina.
6. Mereka membuat cela Ayub sebagai bukti terhadap dirinya,
artinya, mereka memanfaatkan penderitaannya sebagai alasan
untuk membuktikan bahwa dia orang fasik. Seharusnya, para
sahabat itu membela kesalehan Ayub dan menolong dia ber-
sukacita sebab kelurusan hatinya di tengah sengsaranya.
Seharusnya mereka menjadikan kesalehannya itu sebagai
bukti menentang celanya (seperti kata Rasul Paulus, 2Kor.
1:12). Namun, bukannya berbuat demikian, mereka malah
menjadikan cela Ayub sebagai bukti untuk membantah kesa-
lehannya, suatu tindakan yang bukan hanya jahat, namun juga
sangat tidak adil. Di manakah lagi kita bisa mendapati orang
jujur, jika cela dipakai sebagai dalih melawan dia?
II. Bagaimana Ayub membesar-besarkan kejahatan mereka,
1. Bahwa mereka telah banyak kali menyiksa dia (ay. 3): “Seka-
rang telah sepuluh kali kamu menghina aku,” maksudnya sa-
ngat sering (seperti Kej. 31:7; Bil. 14:22). Lima kali sudah me-
reka berbicara, dan setiap ucapan merupakan cercaan ganda.
Ayub berbicara seolah ia sudah mencatat setiap celaan mereka
secara rinci dan tahu ada berapa banyak jumlahnya. Perbuat-
an seperti ini menyebalkan, tidak bersahabat, dan tampak
seperti pembalasan dendam. Lebih baik kita menjaga ketente-
raman hati sendiri dengan melupakan segala luka dan keja-
hatan orang, bukan mengingat-ingat dan menghitungnya.
2. Mereka masih tetap melecehkan Ayub dan tampaknya sudah
bertekad terus melakukannya: “Berapa lama lagi kamu menya-
kitkan hatiku?” (ay. 2, 5). “Aku tahu kalian sungguh hendak
membesarkan diri terhadap aku, tidak peduli apa pun yang te-
lah kukatakan untuk membela diri.” Orang yang banyak bicara
jarang merasa kata-katanya sudah cukup. saat mulut terbuka
dengan berapi-api, telinga pun tuli terhadap akal sehat.
3. Mereka tidak malu atas perbuatan mereka (ay. 3). Seharusnya
mereka malu atas kekerasan hati mereka, yang tidak pantas
mereka perbuat, malu dengan sikap kejam, yang tidak patut
dilakukan orang yang baik. Juga, seharusnya mereka malu
dengan tipu daya mereka, yang tidak patut dilakukan seorang
sahabat. Namun, merasa malukah mereka? Tidak, sekalipun
ditegur berulang-ulang kali, mereka tidak tersipu-sipu.
III. Bagaimana Ayub menjawab kecaman tajam sahabat-sahabatnya,
yakni dengan menunjukkan bahwa apa yang mereka kecam itu
seharusnya dapat dimaklumi, yang seharusnya sudah mereka
pertimbangkan.
1. Segala kesalahan dari penilaian Ayub dapat dimaklumi (ay. 4),
“Jika aku sungguh tersesat, jika aku bersalah sebab ketidak-
tahuan atau kekeliruan,” sesuatu yang memang wajar terjadi
pada manusia, bahkan pada orang yang baik. Humanum est
errare – kesalahan lekat pada kemanusiaan. Kita pun harus
mau mengakui bila diri kita bersalah. Bodohlah untuk berpikir
bahwa kita ini tidak dapat berbuat salah. “Namun demikian,”
kata Ayub, “Aku sendiri yang menanggung kesesatanku itu,”
yaitu, “Aku bicara berdasarkan penilaianku yang terbaik, de-
ngan segala ketulusan, bukan dengan semangat pertentang-
an.” Atau, “Sekalipun aku bersalah, aku menanggungnya sen-
diri, dan tidak menimpakannya kepada orang lain seperti yang
kalian lakukan. Aku menilai diri sendiri dan perbuatanku sen-
diri dengan penilaianku. Aku tidak ikut campur urusan orang
lain, entah mengajar atau menghakimi mereka.” Kesalahan ma-
nusia lebih harus dimaafkan lagi bila mereka menanggungnya
sendiri, tidak mengusik orang lain dengan kesalahan tersebut.
Berpeganglah pada keyakinan yang engkau miliki itu, bagi diri-
mu sendiri. Sebagian penafsir memaknai perkataan Ayub tadi
demikian: “Bila aku bersalah, akulah yang menanggung akibat-
nya. Jadi, kalian tidak perlu memusingkan diri. Bahkan akulah
yang menanggungnya dengan berat, jadi tidak usahlah kalian
menambahi sengsaraku dengan segala teguranmu.”
2. Meledaknya kemarahan Ayub, yang tidak dapat dibenarkan,
namun patut dimaklumi mengingat besarnya dukacita dan pa-
rahnya penderitaannya. “Jika kalian mau terus mencela setiap
keluhanku, menjelek-jelekkannya seburuk mungkin, dan me-
makainya untuk menyerangku, rasakanlah sendiri penyebab
keluhan itu dan pertimbangkanlah sebelum kalian mengha-
kimi keluhanku dan memakainya untuk menghina aku: Insafi-
lah, bahwa Allah telah berlaku tidak adil terhadap aku (ay. 6).
Ayub ingin para sahabatnya memikirkan tiga hal ini:
(1) Bahwa persoalannya sangat berat. Ia diperlakukan tidak
adil dan tidak mampu menolong dirinya sendiri, terperang-
kap bagai dalam jala dan tidak dapat keluar.
(2) Bahwa Allah yang merancangkannya, dan bahwa Dia me-
nyerangnya: “Tangan-Nyalah yang memperlakukanku de-
ngan tidak adil, dan jala-Nya yang memerangkap aku. Oleh
sebab itu, tidak perlulah kalian tampil menyerang aku seper-
ti ini. Sudah cukup aku bergumul dengan murka Allah, ja-
ngan lagi aku harus bergulat dengan amarah kalian. Biarlah
permusuhan Allah terhadapku selesai lebih dahulu sebe-
lum kalian mulai menyerang aku.” yaitu jahat bila kita
mengejar orang yang Allah pukul, dan menambah kesakitan
orang-orang yang Kautikam (Mzm. 69:27).
(3) Bahwa tidak ada harapan bagi Ayub untuk meringankan
penderitaannya (ay. 7). Ia mengerang sebab rasa sakitnya,
namun tiada kelegaan. Ia memohon agar boleh tahu penye-
bab sengsaranya, namun tidak dapat menemukan jawabnya.
Ia naik banding ke pengadilan Allah agar dibuktikan tidak
bersalah, namun ia tidak didengar, apalagi diadili perkara-
nya. Aku berteriak: Kelaliman!, namun tidak ada yang menja-
wab. Adakalanya, Allah memang tampak seolah memaling-
kan telinga dari umat-Nya, murka terhadap doa-doa mereka
dan mengabaikan permohonan mereka, maka dalam keada-
an itu, dapat dimaklumi bila umat Allah mengeluh dengan
pahit. Celakalah kita bila Allah melawan kita!
Keluhan Ayub tentang Murka Allah;
Keluhan Ayub tentang Kawan-kawannya
(19:8-22)
8 Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku tidak dapat melewatinya,
dan jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap. 9 Ia telah menanggalkan kemuliaanku
dan merampas mahkota di kepalaku. 10 Ia membongkar aku di semua tempat,
sehingga aku lenyap, dan seperti pohon harapanku dicabut-Nya. 11 Murka-Nya
menyala terhadap aku, dan menganggap aku sebagai lawan-Nya. 12 Pasukan-
Nya maju serentak, mereka merintangi jalan melawan aku, lalu mengepung
kemahku. 13 Saudara-saudaraku dijauhkan-Nya dari padaku, dan kenalan-
kenalanku tidak lagi mengenal aku. 14 Kaum kerabatku menghindar, dan
kawan-kawanku melupakan aku. 15 Anak semang dan budak perempuanku
menganggap aku orang yang tidak dikenal, aku dipandang mereka orang
asing. 16 Kalau aku memanggil budakku, ia tidak menyahut; aku harus
membujuknya dengan kata-kata manis. 17 Nafasku menimbulkan rasa jijik
kepada isteriku, dan bauku memualkan saudara-saudara sekandungku. 18
Bahkan kanak-kanakpun menghina aku, kalau aku mau berdiri, mereka
mengejek aku. 19 Semua teman karibku merasa muak terhadap aku; dan
mereka yang kukasihi, berbalik melawan aku. 20 Tulangku melekat pada kulit
dan dagingku, dan hanya gusiku yang tinggal padaku. 21 Kasihanilah aku,
kasihanilah aku, hai sahabat-sahabatku, sebab tangan Allah telah menimpa
aku. 22 Mengapa kamu mengejar aku, seakan-akan Allah, dan tidak menjadi
kenyang makan dagingku?
Tanpa belas kasihan, Bildad telah memelintir keluhan Ayub dan
menjadikannya gambaran keadaan orang fasik yang menyedihkan.
Namun, dalam ayat-ayat di atas, Ayub mengulangi perkataan Bildad
itu untuk membangkitkan rasa iba dan menggerakkan naluri kebaik-
an mereka, bila mereka masih memilikinya.
I. Ayub mengeluhkan tanda-tanda murka Allah yang sedang menim-
pa dirinya, yang menyuntikkan akar pahit serta empedu menjadi
derita dan sengsara. Alangkah nestapa nada-nada keluh kesah
Ayub! “Murka-Nya menyala terhadap aku, berkobar dan menggen-
tarkan aku, membakar dan menyengsarakan aku,” (ay. 11). Apa-
kah api neraka itu, kalau bukan murka Allah sendiri? Hati nurani
yang sudah mati rasa akan merasakannya kelak, namun tidak
takut terhadapnya saat ini. Hati nurani yang terang takut terha-
dapnya saat ini, namun tidak akan merasakannya kelak. Ketakutan
Ayub waktu saat ini yaitu bahwa Allah menganggap dia sebagai
lawan-Nya, namun sebenarnya Allah mengasihi dan bermegah di
dalam dia sebagai sahabat-Nya yang setia. Pemikiran bahwa orang
yang dihajar Allah berarti dianggap-Nya sebagai musuh yaitu
kekeliruan besar, namun sangat lazim dipikirkan orang. Sesung-
guhnya, Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya (Ibr. 12:6) seba-
gai pendisiplinan terhadap anak-anak-Nya. Namun, ke mana pun ia
memandang, ia hanya melihat tanda-tanda murka Allah terhadap
dia.
1. Apakah ia memandang kembali kemakmurannya di masa
lampau? Di situ ia melihat tangan Allah mengakhiri semuanya
itu (ay. 9): “Ia telah menanggalkan kemuliaanku, kekayaanku,
kehormatanku, kekuatanku, dan segala kesempatan untuk
melakukan yang baik. Anak-anakku dahulu yaitu kemulia-
anku, namun aku sudah kehilangan mereka. Dan mahkota apa
pun yang dahulu ada di kepalaku, Dia telah mengambilnya
dariku dan membaringkan segala kehormatanku di dalam
debu.” Lihatlah betapa sia-sianya kemuliaan duniawi: dalam
sekejap semua itu bisa dirampas dari kita, dan apa pun yang
direnggut dari kita, kita harus memandang serta mengakui
bahwa tangan Tuhan sendirilah yang bekerja di dalamnya,
menurut rancangan-Nya.
2. Apakah Ayub memandang pada semua kesukarannya saat ini?
Ia melihat Allah yang memberi perintah kepada semua kesu-
karan itu dan memerintahkan mereka untuk menyerang dia.
Segala persoalan itu yaitu pasukan-Nya yang bertindak ber-
dasarkan perintah-Nya dan berkemah mengepung dia (ay. 12).
Yang paling menggelisahkannya bukanlah sebab tertimpa
semua kesengsaraan itu, melainkan sebab mereka menimpa-
nya sebagai pasukan Allah, sehingga tampaknya Allah sendiri-
lah yang berperang melawan dia dan menghendaki kehancur-
annya. Pasukan Allah berkemah mengepung kemah Ayub, se-
perti tentara mendirikan tembok pengepungan di sekeliling
kota yang kuat, memotong semua jalan masuk bahan pangan
ke dalam kota, dan menghajarnya berulang-ulang. Demikian-
lah kemah Ayub diserbu. Sebelumnya, pasukan Allah berke-
mah melindungi dia: Engkau yang membuat pagar sekeliling
dia. Sekarang yang terjadi sebaliknya, mereka mengepung dia
untuk menggentarkan dia dan membongkarnya di semua tem-
pat (ay. 10).
3. Apakah Ayub melihat ke depan untuk mencari kelepasan? Ia
melihat tangan Allah memangkas semua harapan yang ada
(ay. 8): “Jalanku ditutup-Nya dengan tembok, sehingga aku
tidak dapat melewatinya. Tiada cara bagiku untuk menyela-
matkan diri, entah dengan keluar dari masalah ini ataupun
menghibur diri di dalamnya. Bila aku bergerak, maju selang-
kah saja mencari kelepasan, ternyata jalanku ditutup-Nya. Aku
tidak bisa melakukan apa yang kumau, bahkan hendak mene-
nangkan diri dengan pengharapan akan datang kelepasan pun
aku tidak dapat. Kelepasan itu bukan hanya di luar jangkau-
anku, namun juga di luar batas pandanganku, tidak terlihat.
Jalan-jalanku itu dibuat-Nya gelap, dan tiada yang tahu sampai
berapa lama lagi” (Mzm. 74:9). Ayub menyimpulkan (ay. 10),
“Aku lenyap, terhilang dan tercabut dari dunia ini, seperti po-
hon harapanku dicabut-Nya, dicabut sampai ke akar-akarnya
hingga tidak akan pernah tumbuh lagi.” Pengharapan dalam
kehidupan yang sekarang dapat musnah, namun pengharapan
orang saleh, saat ditumbangkan dari dunia ini, sesungguh-
nya seperti pohon yang dicabut dan ditanam di taman Tuhan.
Oleh sebab itu, tak ada alasan bagi kita untuk mengeluh jika
Allah mencabut harapan kita dari pasir dan memindahkannya
ke batu karang, dari yang