dan para sahabatnya berlaku sama seperti yang biasa di-
lakukan para pihak yang berselisih, yaitu saling meremehkan peng-
ertian, hikmat, dan cara menangani masalah masing-masing pihak.
Semakin lama pertikaian ditarik semakin menjadi panas. Memulai
pertengkaran yaitu seperti membuka jalan air; jadi undurlah sebelum
perbantahan mulai. Elifas menyatakan percakapan Ayub sebagai gila,
tidak ada gunanya, dan tidak memiliki arah tujuan. Dan Ayub di sini
juga menggambarkan sifat yang sama terhadap Elifas. Siapa yang be-
bas melontarkan kecaman semacam itu, ia harus menantikan balas-
annya. Mudah saja untuk mengecam, tidak ada habisnya: namun cui
bono? – apa gunanya? Kecaman hanya membangkitkan kemarahan
orang, namun tidak akan pernah meyakinkan hati orang akan penilai-
an mereka, dan juga tidak akan membawa kebenaran kepada kejelas-
an. Ayub di sini menegur Elifas,
1. sebab mengulang-ulang hal-hal yang tidak perlu (ay. 2): “Hal
seperti itu telah acap aku dengar. Engkau tidak memberitahuku
apa pun selain apa yang telah kuketahui sebelumnya, tidak ada
apa-apa selain yang telah engkau katakan sebelumnya. Engkau
tidak menawarkan apa pun yang baru. Hal yang sama diulang-
ulang saja.” Pengulangan seperti ini bagi Ayub merupakan sebuah
cobaan besar atas kesabarannya, sama seperti yang ditimbulkan
oleh semua masalahnya itu. Penyampaian hal-hal yang sama
terus-menerus oleh seorang musuh sungguh membuat hati panas
dan memuakkan, namun oleh seorang guru, hal itu sering diperlu-
kan, dan tidak boleh dikeluhkan oleh murid, yang harus mene-
rima ajaran demi ajaran, baris demi baris. Banyak hal yang telah
kita dengar yang sangatlah baik untuk kita dengarkan kembali,
agar kita dapat mengerti dan mengingatnya dengan lebih baik,
dan lebih disentuh dan dipengaruhi olehnya.
2. sebab Elifas sembarangan menerapkan perkataannya terhadap
diri Ayub. Mereka datang dengan rencana untuk menghibur Ayub,
namun mereka tidak cakap dalam bertindak, sehingga saat me-
nyentuh masalah Ayub, mereka salah memahaminya: “Penghibur
sialan kamu semua. Bukannya menawarkan sesuatu untuk meri-
ngankan derita, malah menambah duka, dan membuatnya lebih
menyedihkan.” Penyakit pasien sungguh menyedihkan bila obat-
obatnya yaitu racun dan dokternya justru menjadi penyakitnya
yang paling parah. Apa yang dikatakan Ayub di sini tentang te-
man-temannya benar-benar berlaku juga tentang semua makhluk
ciptaan, sebab dibandingkan dengan Allah, suatu kali kelak kita
akan dibuat untuk melihat dan mengakuinya, bahwa mereka se-
mua yaitu penghibur sialan. Pada waktu kita sedang diinsafkan
akan dosa, diserang oleh hati nurani, dan dijerat kematian, maka
hanya Roh yang terberkati itu sajalah yang dapat menghibur kita
sebenar-benarnya. Semua yang lain, tanpa Dia, hanya dapat meng-
hibur dengan menyedihkan dan hanya menyanyikan lagu buat hati
yang berat tanpa guna.
3. sebab Elifas berlaku kurang ajar tanpa berhenti. Ayub berharap
bahwa omong kosong akan ada akhirnya (ay. 3). Jika sia-sia,
maka lebih baik kata-kata itu tidak pernah dimulai, dan lebih
cepat berakhir, maka lebih baik. Barang siapa bijak, ia berbicara
dengan arah tujuan, dan bijak pula untuk mengetahui kapan cu-
kup berkata tentang sesuatu dan kapan waktunya untuk berhenti.
4. sebab Elifas keras kepala tanpa sebab. Apa yang merangsang
engkau untuk menyanggah? Kita berlaku terlalu percaya diri dan
sembrono jika menuduh orang telah berbuat kejahatan yang tidak
dapat kita buktikan, jika menghakimi keadaan rohani seseorang
berdasarkan kondisi lahiriah mereka, dan jika mengajukan kem-
bali keberatan-keberatan yang telah berulang-ulang dijawab,
seperti yang dilakukan Elifas.
5. sebab Elifas melanggar hukum-hukum suci tentang persahabat-
an, yaitu berbuat terhadap saudaranya apa yang dia sendiri tidak
ingin diperlakukan oleh saudaranya, dan apa yang saudaranya
tidak ingin diperlakukan oleh dia. Ini yaitu suatu teguran yang
tajam dan sangat menggugah hati (ay. 4-5).
(1) Ia merindukan para sahabatnya, dalam khayalannya, untuk
sesaat saja bertukar keadaan, untuk mencoba mengganti jiwa
mereka dengan jiwanya, untuk mengandaikan diri mereka se-
dang berada dalam penderitaan seperti dia dan mengandaikan
dia sedang dalam keadaan nyaman seperti mereka. Ini bukan-
lah anggapan yang aneh atau tidak masuk akal, melainkan
apa yang dapat dengan cepat menjadi kenyataan. Begitu aneh,
begitu mendadak, begitu sering, terjadi perubahan-perubahan
dalam urusan manusia. Begitu cepat roda berputar, sehingga
jari-jarinya segera berubah tempat. Apa pun dukacita saudara-
saudara kita, kita harus dengan rasa simpati menjadikannya
milik kita, sebab kita tidak tahu seberapa cepat keadaan
mereka juga menimpa kita.
(2) Ayub menyatakan buruknya perilaku mereka terhadap dirinya,
dengan menunjukkan apa yang dapat dilakukannya kepada
mereka seandainya mereka berada di dalam kondisinya: Aku
pun dapat berbicara seperti kamu. Memang mudah saja untuk
menginjak-injak orang yang jatuh, dan menunjuk kesalahan
mereka yang sedang mengalami penderitaan hebat saat me-
reka mengaduh kesakitan dan sengsara: “Aku dapat menumpuk
kata-kata yang melawanmu (KJV), seperti yang engkau lakukan
terhadap aku. Bagaimana rasanya, apakah kamu suka? Mau-
kah kamu menanggungnya?”
(3) Ia menunjukkan kepada mereka apa yang harus mereka laku-
kan, dengan memberi tahu mereka apa yang akan dia lakukan
seandainya mereka sendiri yang sedang menderita (ay. 5): “Aku
akan menguatkan hatimu, dan mengatakan semua yang dapat
kukatakan untuk meredakan kesedihanmu, bukan yang akan
memperberatnya.” Merupakan hal yang wajar bagi para pen-
derita untuk berandai-andai apa yang akan mereka lakukan
seandainya orang lain yang menderita seperti mereka. namun
mungkin hati kita sendiri dapat menipu kita. Kita tidak tahu
apa yang harus kita lakukan. Kita mendapati lebih mudah
untuk memahami masuk akal dan pentingnya suatu perintah
saat kita mendapat kesempatan untuk menuntut manfaat-
nya, ketimbang saat kita mendapat kesempatan untuk mela-
kukan perintah itu sebab kewajiban. Lihatlah apa panggilan
tugas kita bagi saudara kita yang berada dalam penderitaan.
[1] Kita harus mengatakan dan melakukan semua yang dapat
kita lakukan untuk menguatkan mereka, dengan menya-
rankan berbagai pertimbangan yang tepat untuk menguat-
kan keyakinan mereka kepada Allah dan untuk mendu-
kung semangat mereka yang hampir tenggelam. Iman dan
kesabaran merupakan kekuatan dari penderita. Apa pun
pertolongannya, anugerah-anugerah ini menguatkan lutut-
lutut yang goyah.
[2] Untuk meredakan kesedihan mereka, semua penyebab ke-
sedihan mereka, bila mungkin, atau setidaknya kemarahan
mereka terhadap penyebab tersebut. Kata-kata yang baik
tidaklah membuahkan hasil. namun kata-kata baik tersebut
bisa saja berguna bagi mereka yang berada dalam pen-
deritaan, sebab tidak hanya memberi penghiburan kepada
mereka melihat teman-teman yang peduli kepada mereka,
kata-kata baik itu juga dapat mengingatkan mereka akan
sesuatu yang mungkin telah mereka lupakan akibat kese-
dihan yang melanda mereka. Kendati kata-kata keras tidak
mematahkan tulang, namun kata-kata yang baik dapat
membantu membuat tulang-tulang yang patah bersukacita.
Dan orang-orang yang memiliki lidah seorang murid tahu
bagaimana memberi semangat baru kepada orang yang letih
lesu.
Kesedihan Ayub
(16:6-16)
6 namun bila aku berbicara, penderitaanku tidak menjadi ringan, dan bila aku
berdiam diri, apakah yang hilang dari padaku? 7 namun sekarang, Ia telah
membuat aku lelah dan mencerai-beraikan segenap rumah tanggaku, 8 su-
dah menangkap aku; inilah yang menjadi saksi; kekurusanku telah bangkit
menuduh aku. 9 Murka-Nya menerkam dan memusuhi aku, Ia menggertak-
kan giginya terhadap aku; lawanku memandang aku dengan mata yang ber-
api-api. 10 Mereka mengangakan mulutnya melawan aku, menampar pipiku
dengan cercaan, dan bersama-sama mengerumuni aku. 11 Allah menyerah-
kan aku kepada orang lalim, dan menjatuhkan aku ke dalam tangan orang
fasik. 12 Aku hidup dengan tenteram, namun Ia menggelisahkan aku, aku di-
tangkap-Nya pada tengkukku, lalu dibanting-Nya, dan aku ditegakkan-Nya
menjadi sasaran-Nya. 13 Aku dihujani anak panah, ginjalku ditembus-Nya
dengan tak kenal belas kasihan, empeduku ditumpahkan-Nya ke tanah. 14 Ia
merobek-robek aku, menyerang aku laksana seorang pejuang. 15 Kain kabung
telah kujahit pada kulitku, dan tandukku kumasukkan ke dalam debu;
16 mukaku merah sebab menangis, dan bulu mataku ditudungi kelam pekat,
Keluhan Ayub di sini sama pahitnya seperti semua keluhannya yang
ada di dalam semua percakapannya, dan ia tidak tahu apakah harus
menekannya atau melampiaskannya. Kadang-kadang yang satu dan
kadang-kadang yang lain memberi kelegaan kepada penderita, ter-
gantung temperamen atau keadaannya. namun Ayub tidak mendapat
pertolongan dari kedua-duanya (ay. 6).
1. Kadang-kadang melampiaskan kesedihan memberikan kelegaan.
namun , “Bila aku berbicara” kata Ayub, “penderitaanku tidak men-
jadi ringan, semangatku tidak pernah lebih ringan saat mencu-
rahkan keluhanku. Bahkan, apa yang aku bicarakan begitu disa-
lahpahami sehingga berbalik membuat kesedihanku bertambah
buruk.”
2. Di waktu lain berdiam diri membuat masalah lebih ringan dan le-
bih cepat dilupakan. namun (kata Ayub) kendati aku bersabar aku
tidak pernah menjadi lebih baik. Apakah yang hilang dariku? Aku
tetap tidak merasa lebih nyaman. Jika dia mengeluh, dia dikecam
sebagai pemarah. Jika tidak sebagai orang yang cemberut. Jika
dia mempertahankan ketulusannya, itu menjadi kejahatannya.
Jika dia tidak memberi jawab kepada tuduhan orang, kebung-
kamannya dianggap sebagai pengakuan akan kesalahannya.
Inilah pernyataan kesedihan Ayub yang membuatnya muram.
O betapa kita harus memuji Allah, bahwa kita tidak membuat ke-
luhan yang demikian! Ia mengeluh,
I. Bahwa keluarganya tercerai-berai (ay. 7): “Ia telah membuat aku
lelah, lelah berbicara, lelah menanggung, lelah dengan teman-
teman, lelah dengan hidup itu sendiri. Perjalananku di dunia ter-
nyata begitu tidak nyaman sehingga aku sangat lelah dengannya.”
Inilah yang membuat hidupnya lelah, yaitu semua yang biasa ber-
sama dia hilang, anak dan hamba-hambanya dibunuh dan orang
miskin yang tinggal dalam rumahnya yang besar cerai-berai.
Kumpulan orang baik yang dulunya bertemu di rumahnya untuk
beribadah, kini tercerai-berai, dan dia menghabiskan hari Sabat-
nya dalam kesunyian dan kesendirian. Memang dia mempunyai
teman, namun begitu payah sampai rasanya lebih baik ia sendirian
saja, sebab mereka tampak senang dengan kebinasaannya. Apa-
bila orang-orang terkasih dan teman-teman berada jauh dari kita,
maka kita harus melihat dan mengakui tangan Allah di dalamnya,
yang membuat mereka hilang dari kita.
II. Bahwa tubuhnya menjadi lapuk oleh sakit penyakit dan sakit
perih, sehingga dia telah menjadi tengkorak belaka, tidak ada apa-
apa selain kulit dan tulang (ay. 8). Wajahnya berkerut, bukan ka-
rena umur, namun sebab penyakit: Engkau telah memenuhi wa-
jahku dengan kerutan. Dagingnya telah habis akibat borok dan
bisul yang menggerogoti, sehingga kekurusannya telah bangkit,
yaitu tulang-tulangnya, yang mula-mula tidak tampak, menonjol
keluar (33:21). Inilah yang disebut saksi-saksi yang menuduhnya,
saksi-saksi ketidaksenangan Allah terhadap dia, saksi-saksi yang
dipakai teman-temannya untuk membuktikan dia sebagai seorang
yang jahat. Atau, “Mereka yaitu saksi-saksi bagiku, bahwa keluh-
anku bukanlah tanpa sebab,” atau “saksi-saksi terhadap diriku,
bahwa aku yaitu seorang yang sedang sekarat dan akan segera
lenyap.”
III. Bahwa musuhnya yaitu suatu kengerian baginya, mengancam
dia, membuatnya ketakutan, menatapnya dengan sangar, dan
menumpahkan segala kemarahan terhadapnya (ay. 9): Murkanya
menerkam aku. namun siapakah musuh ini?
1. Elifas, yang menunjukkan dirinya sangat jengkel terhadapnya,
dan mungkin yang memperlihatkan tanda-tanda kemarahan
seperti yang disebutkan di sini: paling tidak, apa yang di-
katakannya telah mengoyak nama baik Ayub dan hanya meng-
gunturkan kengerian semata-mata kepadanya. Matanya diper-
tajam untuk menemukan celaan terhadap Ayub, dan sangat
biadab dia serta semua temannya menyerang Ayub. Atau,
2. Iblis. Ia yaitu musuh yang membencinya, dan mungkin,
dengan izin TUHAN, menakutinya dengan banyak penampak-
an, seperti yang dipikirkan sebagian orang, ia menakuti Juru-
selamat kita, yang membuat-Nya menderita sengsara hebat di
taman. Demikianlah Iblis bermaksud untuk membuat Ayub
mengutuk Allah. Bukan tidak mungkin bahwa inilah musuh
yang dimaksudkannya. Atau,
3. Allah sendiri. Apabila kita memahami sang musuh yaitu
Allah, maka semua ungkapan di sini memang sama terburu-
burunya seperti yang ungkapannya yang lain. Allah tidak
membenci siapa pun dari makhluk ciptaan-Nya. namun kese-
dihan Ayub benar-benar menyatakan kepadanya kegerian dari
Yang Mahakuasa: dan tidak ada hal yang lebih menyedihkan
bagi seorang yang baik daripada memahami bahwa Allah
menjadi musuhnya. Jika murka seorang raja menjadi seperti
utusan kematian, maka betapa lagi murka Raja di atas segala
raja!
IV. Bahwa semua yang di sekitarnya berlaku kasar kepadanya (ay.
10). Mereka datang kepada Ayub dengan mulut terbuka untuk
menggasak dia, seakan-akan mereka hendak menelan dia hidup-
hidup, begitu mengerikan ancaman mereka dan begitu menghina
sikap perilaku mereka kepadanya. Mereka lampiaskan segala mur-
ka menyala-nyala, bahkan menghantamnya di pipi. Dan di sini ba-
nyak yang merupakan sekutu. Mereka berkerumun melawannya,
bahkan yang hina (Mzm. 35:15). Di sini Ayub menjadi gambaran
Kristus, sebagaimana orang-orang zaman dahulu memperlakukan
dia demikian: ungkapan-ungkapan di sini dipakai sebagai nu-
buat tentang segala penderitaan-Nya (Mzm. 22:14), Mereka me-
ngangakan mulutnya terhadap aku. Dan (Mi. 4:14, KJV), mereka
akan menghajar sang Hakim Israel dengan tongkat di pipi, yang
secara harfiah dipenuhi (Mat. 26:67). Betapa bertambah banyak
jumlah orang yang menyusahkan Dia!
V. Bahwa Allah, ketimbang membebaskan Ayub dari tangan mereka,
seperti yang diharapkannya, malah menyerahkan dia ke dalam
tangan mereka (ay. 11): Ia menyerahkan aku kepada orang lalim.
Mereka tidak dapat memiliki kuasa untuk melawan Ayub jika hal
itu tidak diberikan dari atas kepada mereka. sebab itu Ayub me-
mandang melampaui mereka kepada Allah yang memberi mereka
tugas, seperti yang diperbuat Daud saat Simei mengutukinya.
namun Ayub merasa aneh, dan sukar memikirkannya, bagaimana
orang-orang itu dapat memiliki kuasa melawan dia, padahal mere-
ka juga sama-sama menjadi musuh Allah. Allah kadang-kadang
memanfaatkan orang-orang fasik sebagai pedang-Nya untuk sa-
ling hantam (Mzm. 17:13) dan juga sebagai tongkat-Nya untuk
menghajar anak-anak-Nya sendiri (Yes. 10:5). Di sini pula Ayub
yaitu suatu gambaran dari Kristus, yang diserahkan ke dalam
tangan orang-orang lalim, untuk disalibkan dan dibunuh, menu-
rut maksud dan rencana Allah (Kis. 2:23).
VI. Bahwa Allah tidak hanya menyerahkan dia ke dalam tangan
orang-orang lalim, namun juga mengambil dia ke dalam tangan-
Nya sendiri, yang merupakan suatu hal yang mengerikan (ay. 12):
“Aku hidup dengan tenteram selama ini dengan menikmati segala
karunia Allah yang berlimpah, yang tidak resah dan gelisah,
seperti yang dialami sebagian orang di tengah-tengah kemakmur-
an mereka, sehingga menyulut marah-Nya untuk mengambil kem-
bali semua karunia-Nya dari mereka. Meskipun begitu Ia mem-
banting aku, menaruh aku ke atas wadah kesakitan, dan mero-
bek-robek aku.” Allah, dalam mencelakakan dia, tampak,
1. Seolah-olah amat murka. Kendati Allah tidak murka, dia ber-
pikir demikian, saat Ia menangkapnya pada tengkuknya,
sama seperti seorang kuat yang sedang marak mengangkat
seorang anak kecil, dan membantingnya, dengan bersorak da-
lam kuasa-Nya yang tak tertahankan.
2. Seolah-olah Allah memihak. “Ia membedakan aku dari umat
manusia selebihnya dengan perlakuan keras terhadapku: Ia
menegakkan aku menjadi sasaran-Nya, papan tempat sasaran
hujan anak panah-Nya. Kepadaku anak-anak panah itu di-
arahkan dan semuanya datang bukan secara kebetulan. Ter-
hadap aku semuanya diterbangkan, seakan-akan aku ini pen-
dosa terbesar dari antara semua orang di Timur atau dipilih
untuk dijadikan contoh.” saat Allah menetapkan dirinya se-
bagai sasaran, para pemanah-Nya yang sekarang ini menge-
lilinginya. Allah memiliki para pemanah yang siap diperintah-
Nya, yang pasti akan mengenai sasaran yang telah disiapkan-
Nya. Siapa pun musuh kita, kita harus memandang mereka
sebagai para pemanah Allah, dan melihat Dia mengarahkan
anak panah. Dia TUHAN, biarlah diperbuat-Nya apa yang di-
pandang-Nya baik.
3. Seolah-olah Ia kejam dan murka-Nya tak henti-hentinya sama
seperti kuasanya yang tak dapat ditahan. Seolah-olah Ia ber-
usaha menyentuhnya di bagian yang paling lembut, ginjalku
ditembus-Nya dan sakitnya tak tertahankan. Mungkin itu rasa
sakit ginjal, batu ginjal, yang menyerang di bagian ginjal.
Seolah-olah Ia tidak punya belas kasihan untuknya, tidak me-
nyayangkan atau mengurangi deritanya. Dan seolah-olah Ia
tidak bertujuan lain selain kematiannya, kematian di tengah-
tengah siksaan yang paling menyakitkan: Empeduku ditumpah-
kan-Nya ke tanah, seperti saat manusia menangkap seekor
binatang buas, dan membunuhnya, membukanya, lalu menge-
luarkan empedu dengan segala isinya. Ia pikir darahnya di-
tumpahkan, seakan-akan tidak hanya tidak berharga, namun
juga memuakkan.
4. Seolah-olah Ia tidak memakai akal sehat dan tidak puas-puas-
nya dalam penghukuman-Nya (ay. 14): “Ia merobek-robek aku,
menyerang aku laksana seorang pejuang, mengejarku dengan
luka demi luka.” Demikianlah berbagai masalahnya berdatang-
an. Sementara seorang utusan kabar buruk sedang berbicara,
utusan yang lain datang: dan masih terjadi. Borok dan bisul
yang baru muncul setiap hari, sehingga tidak ada harapan
baginya akan ada akhir dari masalahnya. Demikianlah Ayub
berpikir bahwa Allah menyerang dia seperti seorang raksasa,
yang tidak mungkin dapat dihadapinya. Seperti para raksasa
tua menyergap semua sesama mereka yang malang, yang ter-
lalu sukar untuk mereka hadapi. Perhatikanlah, bahkan orang-
orang yang baik, saat mereka berada dalam masalah yang
besar dan tidak biasa, tidak punya basa-basi untuk menghibur
pikiran yang bukan-bukan tentang Allah.
VII. Bahwa Ayub telah melepaskan diri dari segala kehormatannya,
semua penghiburannya, seturut dengan tindakan penyelenggara-
an Allah yang menimpa di sekelilingnya. Beberapa orang dapat
mengurangi masalah mereka sendiri dengan menyembunyikan-
nya, dengan menegakkan kepala setinggi-tingginya dan mema-
sang wajah sebaik biasanya. namun Ayub tidak dapat melakukan
yang demikian: ia telah menerima pelajaran dari segala masalah-
nya itu, dan, sebagai seorang petobat dan penderita yang sung-
guh-sungguh, dia merendahkan diri di bawah tangan Allah yang
kuat (ay. 15-16).
1. Ia sekarang mengesampingkan semua hiasan dan pakaian ha-
lusnya, tidak memikirkan kenyamanan atau keindahan dalam
berpakaian, melainkan menjahit kain karung pada kulitnya.
Pakaian ini dianggapnya cukup pantas untuk tubuh yang telah
tercemar seperti dirinya. Kain sutera pada borok, borok seperti
pada dirinya, pikirnya, tidaklah cocok. Kain karung akan men-
jadi lebih cocok. Barang siapa menyukai pakaian yang indah-
indah dengan terlalu berlebihan, ia akan sulit dilepaskan dari-
nya oleh penyakit dan usia lanjut, serta, seperti Ayub (ay. 8),
oleh kerut dan kurus. Ayub tidak hanya mengenakan kain ka-
rung, namun juga menjahitkannya di atas kulit, sebab ia berte-
kad untuk hidup dengan merendahkan diri sepanjang bencana
menimpanya.
2. Ia tidak bersikeras pada hal-hal kehormatan, melainkan me-
rendahkan diri di bawah penyelenggaraan Allah yang meren-
dahkan: Dan tandukku kumasukkan ke dalam debu, dan me-
nolak kehormatan yang biasa diberikan kepada martabatnya,
kekuasaannya, dan keunggulannya. Perhatikanlah, saat Allah
merendahkan keadaan kita, hal itu seharusnya juga merendah-
kan roh kita. Lebih baik memasukkan tanduk kita ke dalam
debu daripada meninggikannya untuk melawan rancangan
Penyelenggaraan Allah dan mematahkannya pada akhirnya.
Elifas menggambarkan Ayub sebagai orang yang tinggi hati
dan angkuh dan tidak mau merendahkan diri di bawah pende-
ritaannya. “Tidak,” kata Ayub, “aku mengenal hal-hal yang
lebih baik. Debu yaitu tempat yang paling cocok bagiku seka-
rang ini.”
3. Ia membuang kegembiraan sebagai sesuatu yang benar-benar
tidak cocok untuk saat ini, dan menetapkan diri untuk mena-
bur dengan air mata (ay. 16): “Mukaku merah sebab menangis
terus-menerus sebab dosa-dosaku, sebab murka Allah me-
lawanku, dan sebab kekasaran para sahabatku: semua ini
telah membawa suatu kelam pekat menudungi bulu mataku.”
Ia tidak hanya menyeka habis semua keindahannya, namun
juga hampir menguras habis air matanya. Dalam hal ini pula
Ayub yaitu suatu gambaran dari Kristus, yang menjadi ma-
nusia yang penuh derita, dan banyak mencucurkan air mata,
dan yang menyatakan berbahagia orang-orang yang berduka,
sebab mereka akan dihibur.
Kesaksian Hati Nurani Ayub dan Penghiburannya
(16:17-22)
17 sungguhpun tidak ada kelaliman pada tanganku, dan doaku bersih. 18 Hai
bumi, janganlah menutupi darahku, dan janganlah kiranya teriakku men-
dapat tempat perhentian! 19 Ketahuilah, sekarang pun juga, Saksiku ada di
sorga, Yang memberi kesaksian bagiku ada di tempat yang tinggi. 20 Sekali-
pun aku dicemoohkan oleh sahabat-sahabatku, namun ke arah Allah mataku
menengadah sambil menangis, 21 supaya Ia memutuskan perkara antara
manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan sesamanya. 22 sebab
sedikit jumlah tahun yang akan datang, dan aku akan menempuh jalan, dari
mana aku tak akan kembali lagi.
Kondisi Ayub yaitu sangat memilukan. namun , tidak punya lagikah
ia apa-apa untuk mendukungnya, untuk menghiburnya? Ya punya,
dan di sini ia memberi tahu kita apa itu.
I. Ia memiliki kesaksian hati nuraninya bahwa ia telah menjalani
hidup dengan benar dan tidak pernah membiarkan diri jatuh da-
lam dosa besar. Tak seorang pun yang lebih siap daripada Ayub
untuk mengakui dosa-dosa kesalahannya. namun , setelah menye-
lidikinya, Ayub tidak dapat menuduh diri dengan kejahatan besar
apa pun, yang dapat menjadikan dia lebih menderita daripada
orang lain (ay. 17).
1. Ia telah menjaga hati nuraninya agar tidak berbuat salah,
(1) Terhadap manusia: “Tidak ada kelaliman pada tanganku,
tidak ada kekayaan yang aku dapatkan atau simpan dengan
cara tidak adil.” Elifas menyatakan Ayub sebagai seorang
yang semena-mena dan penindas. “Tidak,” katanya, “aku ti-
dak pernah berbuat salah kepada siapa pun, melainkan sela-
lu membenci keuntungan yang diperoleh melalui penindasan.”
(2) Terhadap Allah: Dan doaku bersih. Doa tidak dapat bersih
sepanjang tangan kita penuh dengan darah (Yes. 1:15). Eli-
fas menuduh Ayub munafik dalam beribadah, namun Ayub
secara khusus menyebutkan kehidupan doanya, tindakan
besar dari kesalehan, dan mengakui bahwa di dalam hal ini
dia bersih, kendati tidak dari semua kesalahan, namun
jauh dari segala tipu muslihat. Doanya tidaklah seperti doa
orang-orang Farisi, yang mencari tidak lebih jauh daripada
untuk dilihat oleh manusia, dan untuk dipuji.
2. Penegasan atas ketulusannya ini ia dukung dengan mengutuk
dirinya dengan aib dan kebingungan jika itu tidak benar (ay. 18).
(1) Seandainya benar ada ketidakadilan dilakukan tangannya,
maka ia ingin hal tersebut tidak tersembunyi: Hai bumi,
janganlah menutupi darahku, yaitu, “Darah orang lain yang
tak bersalah, yang dituduhkan kepadaku telah kutumpah-
kan.” Pembunuhan akan terkuak, jadi “Nyatakanlah,” kata
Ayub, “jika aku memang pernah bersalah atas dosa itu”
(Kej. 4:10-11). Harinya akan datang saat bumi tidak lagi
menyembunyikan darah yang tertumpah di atasnya (Yes.
26:21), dan seorang yang baik dijauhkan kiranya dari keta-
kutan akan hari itu.
(2) Seandainya ada ketidaktulusan dalam doa-doanya, dia ber-
harap doa-doanya tidak diterima: Janganlah kiranya teriak-
ku mendapat tempat perhentian. Ia bersedia dihakimi oleh
peraturan ini, Seandainya ada niat jahat dalam hatiku,
tentulah Tuhan tidak mau mendengar (Mzm. 66:18). Ada
kemungkinan makna lain dari perkataan ini, yaitu bahwa,
tampaknya, dia memandang kematiannya sebagai akibat
perbuatan para sahabatnya, yang telah menghancurkan
hatinya dengan berbagai kecaman mereka yang kasar. Ia
mendakwa mereka bersalah atas darahnya, dengan memo-
hon Allah untuk membalaskannya. Tampaknya ia juga me-
mohon kepada Allah agar teriakan darahnya tidak tersem-
bunyi, namun naik ke sorga dan didengar oleh Dia yang
mengadakan penyelidikan terhadap darah.
II. Ia dapat berpegang kepada kemahatahuan Allah tentang ketulus-
annya (ay. 19). Kesaksian di dalam hati kita tidak akan mendu-
kung kita jika kita tidak memiliki saksi di sorga bagi kita. Sebab
Allah yaitu jauh lebih besar dari hati kita (KJV), dan kita tidak
menjadi hakim bagi diri kita sendiri. Inilah yang menjadi sorak
kemenangan Ayub, Saksiku ada di sorga. Perhatikanlah, merupa-
kan suatu penghiburan yang tak terkatakan bagi seorang yang
baik saat dia dicela saudara-saudaranya, bahwa ada Allah di
sorga yang mengetahui kelurusan hatinya dan akan membersih-
kan namanya cepat atau lambat (Lih. Yoh. 5:31, 37). Saksi dari
sorga ini lebih berharga daripada seribu saksi.
III. Ia memiliki Allah untuk mencurahkan isi hatinya (ay. 20-21). Lihat-
lah di sini,
1. Bagaimana duduk perkaranya antara dia dan para sahabat-
nya. Ia tidak tahu bagaimana membersihkan diri dari mereka.
Ia tidak dapat mengharapkan mereka akan menjadi pendengar
yang adil atau berurusan dengan adil. “Teman-temanku (demi-
kian mereka menyebut diri) mencomooh aku. Mereka bertekat
tidak hanya untuk melawan aku, namun juga untuk memper-
malukan aku. Mereka bersepakat melawan aku dengan meng-
gunakan segala keahlian dan kefasihan mereka” (demikianlah
istilah yang dipakai) “untuk menjatuhkanku.” Cemoohan sa-
habat lebih tajam daripada cemoohan musuh. namun kita ha-
rus bersiap menerimanya dan bersiap diri pula.
2. Bagaimana duduk perkaranya antara dirinya dan Allah. Ia tidak
meragukan bahwa,
(1) Allah benar-benar memperhatikan kesengsaraannya: Kepa-
da Allah mataku menengadah dan menangis. Ayub berkata
(ay. 16), dia telah banyak menangis, dan di sini dia mem-
beri tahu kita ke mana air matanya mengalir. Kesengsa-
raannya bukanlah berasal dari dunia, namun dia berduka
sebab menurut kehendak Allah, menangis di hadapan
TUHAN, dan mempersembahkan kepada-Nya korban hati
yang hancur. Perhatikanlah, bahkan air mata, saat diku-
duskan bagi Allah, dapat memberikan kelegaan kepada
jiwa yang tertekan. Dan jika manusia meremehkan kese-
dihan kita, kita boleh merasa terhibur, bahwa Allah meng-
hargainya.
(2) Bahwa pada waktunya Allah akan membuktikan dia tidak
bersalah (ay. 21): supaya Ia memutuskan perkara antara
manusia dengan Allah! Ia yakin sekarang pun ia dapat
memperoleh kebebasan dari Allah, sama seperti manusia
mendapat kebebsan dari hakim di dunia ini, dan sebab itu
ia tidak ragu membawa perkaranya kepada-Nya, yang
yaitu Hakim sekaligus Saksi atas ketulusannya. Bahasa
harapan ini mirip seperti di dalam Yesaya 50:7-8, bahwa
aku tidak akan mendapat malu sebab Dia yang menyatakan
aku benar telah dekat. Beberapa penafsir memberi arti Injili
pada ayat ini dan teks aslinya memang sangat dekat de-
ngan makna itu. Dan Ia memutuskan perkara yaitu ada se-
seorang yang akan memutuskan, antara manusia dengan
Allah, dan bahkan Anak Manusia bagi para sahabat-Nya
atau sesamanya. Orang-orang yang menumpahkan air
mata di hadapan Allah, kendati mereka tidak dapat memu-
tuskan perkara bagi diri sendiri, sebab jarak dan keku-
rangan mereka, memiliki seorang sahabat untuk membela
mereka, yaitu Anak Manusia, dan berdasarkan hal ini kita
harus mendasarkan semua harapan kita bahwa kita di-
terima oleh Allah.
IV. Ia memiliki suatu harapan akan kematian yang akan mengakhiri
semua penderitaannya. Ia memiliki keyakinan yang begitu kuat
terhadap Allah, hingga ia bergembira saat memikirkan kedatang-
an kematiannya yang mendekat. sebab saat kematian itu ia di-
tentukan untuk hidup kekal, dan ia tidak ragu lagi keadaannya
akan menjadi baik saat itu. saat sedikit jumlah tahun itu datang
(jumlah tahun yang ditentukan dan ditetapkan bagiku), maka aku
pun akan menempuh jalan, dari mana aku tak akan kembali
lagi. Perhatikanlah,
1. Mati yaitu menempuh jalan ke mana kita tidak akan kembali
lagi. Kematian yaitu menempuh suatu perjalanan, suatu per-
jalanan yang panjang, suatu perjalanan untuk selama-lama-
nya, untuk berpindah dari sini ke negeri yang lain, dari dunia
jasmani ke dunia roh. Kematian yaitu suatu perjalanan ke
rumah yang kita rindukan. Tidak akan ada lagi jalan untuk
kembali ke dalam keadaan kita di dunia ini atau untuk kem-
bali mengubah keadaan kita di dunia lain.
2. Kita semua pasti, dan sangat segera, menempuh perjalanan
ini. Dan berbahagialah orang yang selalu menjaga hati nurani
yang baik untuk memikirkannya, sebab itulah yang menjadi
mahkota kelurusan hati mereka.
PASAL 17
Dalam pasal ini,
I. Ayub merenungkan kecaman keras yang dilontarkan saha-
bat-sahabatnya kepadanya. Ia memandang dirinya sudah
mendekati ajal (ay. 1). Ia berseru kepada Allah dan memohon
kepada-Nya agar segera tampil baginya dan membenarkan-
nya, sebab mereka telah memperlakukannya dengan salah,
sedangkan ia tidak tahu bagaimana harus membenarkan
dirinya sendiri (ay. 2-7). Namun, ia juga berharap bahwa
kalaupun harus menjadi kejutan baginya, janganlah hal itu
menjadi batu sandungan bagi orang-orang baik sebab meli-
hat dirinya diperlakukan sekeji itu (ay. 8-9).
II. Ayub merenungkan pengharapan-pengharapan palsu yang
disodorkan para sahabatnya itu kepadanya, bahwa ia akan
melihat hari-hari baik lagi. Ini menunjukkan bahwa hidupnya
akan segera berakhir, dan bersama tubuhnya, semua peng-
harapannya akan terkubur di dalam debu (ay. 10-16). sebab
merasa bahwa sahabat-sahabatnya bagaikan orang asing,
yang membuatnya sangat bersedih, Ayub merasa dekat de-
ngan kematian dan kubur, dan hal ini memberinya sedikit
penghiburan.
Keadaan Ayub yang Menyedihkan;
Kebaikan dari Masalah-masalahnya
(17:1-9)
1 Semangatku patah, umurku telah habis, dan bagiku tersedia kuburan.
2 Sesungguhnya, aku menjadi ejekan; mataku terpaksa menyaksikan tan-
tangan mereka. 3 Biarlah Engkau menjadi jaminanku bagi-Mu sendiri! Siapa
lagi yang dapat membuat persetujuan bagiku? 4 sebab hati mereka telah
Kaukatupkan bagi pengertian; itulah sebabnya Engkau mencegah mereka
untuk menang. 5 Barangsiapa mengadukan sahabatnya untuk mencari ke-
untungan, mata anak-anaknya akan menjadi rabun. 6 Aku telah dijadikan
sindiran di antara bangsa-bangsa, dan aku menjadi orang yang diludahi
mukanya. 7 Mataku menjadi kabur sebab pedih hati, segala anggota tubuh-
ku seperti bayang-bayang. 8 Orang-orang yang jujur tercengang sebab hal
itu, dan orang yang tidak bersalah naik pitam terhadap orang fasik. 9 Meski-
pun begitu orang yang benar tetap pada jalannya, dan orang yang bersih
tangannya bertambah-tambah kuat.
Tutur kata Ayub di dalam perikop ini agak kacau dan terpotong-
potong. Dengan tiba-tiba ia beralih dari satu pokok pembicaraan ke
pokok lain, yang lazim terjadi pada orang yang sedang merasa ter-
tekan. Meskipun begitu, kita dapat menyingkat apa yang dikatakan
dalam perikop di atas ke dalam tiga pokok:
I. Keadaan menyedihkan yang sedang dialami Ayub yang malang
itu, dan yang digambarkannya untuk menekankan kekasaran si-
kap sahabat-sahabatnya terhadap dirinya, dan untuk membenar-
kan keluh kesahnya sendiri. Mari kita lihat seperti apa perkara-
nya.
1. Ayub orang yang sudah mendekati ajal (ay. 1). Ia berkata sebe-
lumnya (16:22), “sebab sedikit jumlah tahun yang akan
datang (KJV: saat sedikit jumlah tahun tiba), aku akan menem-
puh jalan yang panjang itu.” Namun, di sini ia meralat perkata-
annya sendiri. “Mengapa aku berbicara tentang jumlah tahun
yang akan datang? Wahai! Aku baru memulai perjalanan itu,
dan sekarang aku siap diserahkan. Waktu keberangkatanku
sudah dekat. Semangatku patah, atau sudah hancur. Sema-
ngatku sudah habis, celakalah aku.” Memang baik bagi kita
untuk memandang diri mendekati ajal, dan terutama memikir-
kan hal itu sementara kita sedang sakit. Kita sedang mende-
kati ajal, yaitu,
(1) Hidup kita sedang menuju akhir, sebab napas kehidupan
itu sedang menuju ke sana. Hidup itu senantiasa maju,
tidak lebih dari pada embusan nafas yang keluar lewat hi-
dungnya (Yes. 2:22), pintu tempat napas itu masuk (Kej.
2:7). Napas itu sudah berada di ujung hidung, siap untuk
berangkat. Mungkin saja penyakit yang dialami Ayub me-
rintangi pernapasannya, sehingga napasnya pendek, dan
setelah beberapa saat akan berhenti. Kiranya yang diurapi
TUHAN menjadi nafas hidup kami, dan kiranya napas
rohani diembuskan ke dalam diri kita, dan napas itu tidak
akan pernah tercemar.
(2) Waktu kita sudah hampir berakhir: umurku telah habis,
padam bagaikan lilin yang sejak pertama kali dinyalakan,
terus meleleh semakin berkurang dan secara bertahap
akan habis terbakar dengan sendirinya. Namun, akibat
berbagai hal tak terduga, nyalanya dapat juga padam.
Begitu jugalah halnya dengan kehidupan ini. Oleh sebab
itu menjadi urusan kita untuk dengan hati-hati mengha-
biskan waktu kita dan melewatkannya untuk mempersiap-
kan diri menyambut kekekalan yang tidak akan pernah
padam.
(3) Kedatangan kita dinantikan di rumah yang kita rindukan
itu: kuburan-kuburan tersedia bagiku (KJV). namun , bukan-
kah sebuah kubur saja sudah cukup? Benar, namun di
sini Ayub berbicara tentang pekuburan nenek moyangnya,
sebab ke sanalah ia akan dikumpulkan: “Pekuburan tem-
pat mereka dibaringkan telah siap menantiku juga.” Peku-
buran bersama, tempat berkumpulnya orang-orang mati.
Ke mana pun kita pergi, hanya terdapat satu langkah di
antara kita dengan kubur. Apa saja boleh belum siap,
namun kubur tetap siap. Itu tempat tidur yang segera di-
buat. Apabila kubur sudah siap menanti kita, maka sudah
menjadi urusan kita untuk mempersiapkan diri masuk
kubur. Kuburan yang tersedia bagiku (demikianlah mak-
sudnya), tidak saja menandakan penantian, namun juga
pengharapan Ayub terhadap kematian. “Urusanku dengan
dunia telah selesai, dan sekarang tidak ada lagi yang
kuharapkan selain kubur.”
2. Ayub orang yang dianggap hina (ay. 6): “Ia” (maksudnya Elifas
menurut beberapa orang, atau lebih tepatnya Allah, yang sejak
awal diakui Ayub sebagai sumber celaka yang dialaminya)
“telah menjadikan aku sindiran di antara bangsa-bangsa, per-
bincangan seluruh negeri, sasaran olok-olok orang banyak, sa-
saran pandangan semua orang, dan menjadikanku orang yang
diludahi mukanya di hadapan umum, supaya siapa pun yang
mau, dapat mempermainkanku.” Orang menggubah balada bagi
Ayub; namanya sudah menjadi sebuah peribahasa, bahkan
sampai sekarang pun: miskin seperti Ayub. “Aku telah dijadikan
sindiran,” atau celaan orang, padahal dahulu saat masih mak-
mur, aku bagaikan rebana deliciæ humani generis – kesayangan
umat manusia, yang disukai mereka semua. Memang sudah
lazim bagi orang-orang yang dahulu dihormati sebab kekayaan
mereka, kemudian dihina dalam kemiskinan mereka.
3. Ayub seorang yang penuh duka (ay. 7). Ia begitu banyak mena-
ngis hingga nyaris kehilangan penglihatannya: Mataku menjadi
kabur sebab pedih hati. Dukacita dunia mendatangkan kege-
lapan dan kematian (16:16). Ia begitu bersedih hingga seluruh
dagingnya nyaris habis dan sosoknya menjadi seperti kerang-
ka, tulang berbalut kulit belaka: “Segala anggota tubuhku seper-
ti bayang-bayang. Aku telah menjadi begitu miskin dan kurus
hingga tidak layak lagi disebut manusia, namun bayang-bayang
manusia.”
II. Perlakuan jahat para sahabat Ayub yang salah melihat kesengsa-
raannya. Mereka menginjak-injaknya, menghinanya, dan meng-
anggap dia orang munafik sebab ditimpa penderitaan seberat itu.
Perlakukan yang keras! Sekarang amatilah,
1. Bagaimana Ayub menggambarkan perilaku itu, dan penjelasan
yang diberikannya dalam menanggapi pembicaraan mereka de-
ngannya. Ayub memandang dirinya telah diperlakukan dengan
sangat keji oleh mereka.
(1) Mereka melecehkan dia dengan kecaman-kecaman buruk,
menuduhnya sebagai orang jahat, yang pantas dibuat hina
dan menjadi celaan seperti itu (ay. 2). “Mereka itu para peng-
ejek, yang mencemooh celakaku, dan menghinaku, sebab
aku direndahkan seperti ini. Mereka bersikap seperti itu ter-
hadapku, memperlakukanku dengan buruk, berpura-pura
bersahabat saat mengunjungiku, namun sesungguhnya ber-
niat buruk terhadapku. Aku tidak bisa melepaskan diri dari
mereka. Mereka senantiasa mencabik-cabikku, dan tidak
akan mau tergerak hatinya, baik oleh akal sehat maupun
rasa iba, sehingga menjatuhkan dakwaan itu.”
(2) Mereka juga melecehkan dia dengan janji-janji indah, kare-
na tujuan mereka hanyalah untuk mengolok-olok dia. Ayub
menganggap mereka (ay. 5) sebagai orang-orang yang seka-
dar menyanjung-nyanjung sahabat mereka belaka. Mereka
semua datang untuk berkabung bersamanya. Elifas meng-
awali dengan memberikan pujian kepadanya (4:3). Mereka
semua berjanji kepadanya bahwa ia akan bahagia apabila
bersedia menerima nasihat mereka. Semua ini dianggapnya
sebagai sanjungan semata, dan dimaksudkan untuk sema-
kin menyakiti hatinya. Ayub menyebut semua perkataan
ini sebagai ejekan mereka belaka (ay. 2). Mereka berusaha
sebisa-bisanya untuk memanas-manasi hatinya, dan sesu-
dah itu menyalahkan dia sebab menjadi marah. Sebalik-
nya, Ayub menganggap dirinya patut dimaafkan selama
matanya terpaksa menyaksikan tantangan mereka. Tantang-
an itu, untuk memanas-manasi hatinya, tidak pernah ber-
henti, dan ia tidak dapat melepaskan pandangannya darinya.
Perhatikanlah, sikap kejam orang-orang yang menginjak-
injak sahabat mereka di tengah penderitaan, yang meng-
olok-olok dan kemudian memperlakukan mereka dengan
keji, sudah cukup untuk bisa mencobai, kalau bukan mele-
lahkan, kesabaran orang, bahkan Ayub sendiri.
2. Bagaimana Ayub mengecam perlakuan mereka itu.
(1) Perlakuan mereka itu merupakan tanda bahwa hati mereka
telah dikatupkan bagi pengertian (ay. 4). Dalam perkara ini
mereka telah kehilangan akal sehat, dan bahwa hikmat
mereka yang dahulu telah undur dari diri mereka. Hikmat
merupakan pemberian Allah, yang diberikan-Nya kepada
beberapa orang dan ditahan-Nya bagi yang lain, dikarunia-
kan-Nya pada suatu waktu, dan pada waktu lain Ia mena-
hannya. Orang-orang yang tidak memiliki belas kasihan,
juga tidak memiliki pengertian. Apabila tidak terdapat ke-
lembutan hati dalam diri seseorang, patut dipertanyakan
apakah terdapat pengertian di dalam dirinya.
(2) Perlakuan mereka itu akan menjadi celaan mereka untuk
seterusnya dan menurunkan derajat mereka: itulah sebab-
nya Engkau mencegah mereka untuk menang. Orang-orang
dengan hati yang dikatupkan bagi pengertian pasti akan
dijauhkan dari kehormatan. saat Allah menghilangkan
akal sehat manusia, Ia akan merendahkan mereka. Sudah
barang tentu orang-orang yang nyaris tidak mengenal cara-
cara Penyelenggaraan Allah tidak akan memperoleh kehor-
matan untuk mengambil keputusan dalam perselisihan ini!
Kehormatan itu disediakan bagi orang yang mempunyai pe-
rasaan dan watak yang lebih baik, misalnya seperti Elihu,
yang tampil demikian di kemudian hari.
(3) Perlakuan mereka itu akan membawa kutukan ke atas ke-
luarga mereka. Orang yang melanggar hukum kudus persa-
habatan seperti itu akan kehilangan manfaatnya. Tidak
saja bagi dirinya sendiri, namun juga bagi keturunannya:
“Bahkan mata anak-anaknya akan menjadi rabun, dan apa-
bila mereka mencari pertolongan serta penghiburan dari
para sahabat mereka dan sahabat ayah mereka, mereka
akan mencari dengan sia-sia seperti yang telah kualami,
dan merasa sangat kecewa seperti aku kecewa terhadap-
mu.” Perhatikanlah, orang-orang yang memperlakukan se-
sama mereka dengan keji, tanpa sadar pada akhirnya akan
mendatangkan perlakuan yang lebih buruk lagi kepada
anak-anak mereka sendiri.
3. Bagaimana Ayub mengalihkan seruannya dari para sahabat-
nya kepada Allah (ay. 3): Biarlah Engkau menjadi jaminanku
bagi-Mu sendiri. Artinya, “Biarlah aku mendapat jaminan bah-
wa Allah akan mendengarkan dan memutuskan perkara ini
sendiri, maka aku tidak menginginkan apa pun lagi. Biarlah
seseorang mengikutsertakan Allah untuk menangani persoalan
ini.” Demikianlah orang-orang yang tidak dituduh oleh hati
nurani mereka memiliki keyakinan terhadap Allah. Dengan ke-
rendahan hati dan keberanian serta rasa percaya, mereka da-
pat memohon Dia memeriksa dan menguji mereka. Beberapa
penafsir berpendapat bahwa di sini Ayub memandang kepada
pengantaraan Kristus, sebab ia berbicara tentang kepastian
bersama Allah. Tanpa Dia, Ayub tidak berani menghadap
Allah, atau mengajukan perkaranya ke pengadilan-Nya. Sebab,
meskipun tuduhan sahabat-sahabatnya terhadap dirinya itu
sepenuhnya palsu, namun ia tidak dapat membenarkan diri
sendiri di hadapan Allah kecuali melalui seorang pengantara.
Keterangan dalam bahasa Inggris tentang ayat ini juga me-
ngandung arti seperti itu: “Kumohon kepada-Mu, biarlah Eng-
kau menjadi jaminanku bagi-Mu sendiri, yaitu Kristus yang ber-
ada bersama-Mu di sorga dan telah menjadi jaminanku. Biar-
lah Ia mengajukan perkaraku dan membelaku. Maka siapa lagi
yang dapat membuat persetujuan bagiku? Artinya, “Maka siapa
pula yang berani menghadapiku? Siapa yang akan mengaju-
kan tuntutan kepadaku apabila Kristus menjadi pembelaku?”
(Rm. 8:32-33). Kristus merupakan kepastian jaminan yang
lebih kuat (Ibr. 7:22), jaminan ketetapan Allah. Dan, apabila Ia
menjamin kita, maka kita tidak perlu takut kepada apa pun
yang melawan kita.
III. Pelajaran yang harus diambil orang benar dari penderitaan Ayub
yang diterimanya dari Allah, dari musuh-musuhnya, dan dari sa-
habat-sahabatnya (ay. 8-9). Amatilah di sini,
1. Bagaimana orang-orang kudus digambarkan.
(1) Mereka yaitu orang-orang yang jujur, tulus dan bersung-
guh-sungguh. Mereka bertindak berdasarkan pegangan hati
yang tetap, tidak menyimpang. Seperti inilah tabiat Ayub
(1:1), dan boleh jadi ia berbicara tentang orang-orang jujur,
terutama yang pernah dekat dengannya.
(2) Mereka yaitu orang-orang yang tidak bersalah. Tidak ber-
arti mereka sama sekali tidak pernah bersalah, namun mere-
ka berusaha keras dan bertekad untuk tidak berbuat salah.
Ketulusan hati merupakan keadaan tidak bersalah yang
bersifat Injili, dan orang-orang yang jujur disebut bebas
dari pelanggaran besar (Mzm. 19:14).
(3) Mereka yaitu orang-orang yang benar, yang berjalan me-
nurut jalan yang benar.
(4) Mereka yaitu orang yang bersih tangannya, bersih dari
pencemaran dosa besar, dan saat dinodai dengan kele-
mahan, dibasuh tangannya tanda tak bersalah (Mzm. 26:6).
2. Bagaimana mereka seharusnya tersentuh mendengar penutur-
an perihal kesesakan yang dialami Ayub. Tidak perlu diragu-
kan lagi bahwa banyak pertanyaan akan timbul berkenaan de-
ngan dirinya, dan semua orang akan membicarakan dia serta
perkaranya. Manfaat apa yang bisa ditarik orang-orang baik
dari peristiwa ini?
(1) Hal itu akan mencengangkan mereka: Orang-orang yang
jujur tercengang sebab hal itu. Mereka akan bertanya-ta-
nya saat mendengar betapa orang sebaik Ayub harus ditim-
pa kemalangan seberat itu, yang mengena tubuh, nama
baik, serta kekayaannya. Betapa Allah sampai menekankan
tangan dengan begitu berat ke atasnya, dan betapa saha-
bat-sahabat yang seharusnya menghibur dia, justru me-
nambah kesedihannya. Betapa seorang kudus yang luar
biasa ini harus menderita seperti itu, dan seorang yang
sangat berjasa seperti dia justru disingkirkan di tengah
kegunaannya. Apa yang harus kita katakan terhadap hal-
hal ini? Orang-orang jujur, walaupun secara umum yakin
bahwa Allah bijaksana dan kudus dalam segala sesuatu
yang dilakukan-Nya, mau tidak mau akan tercengang juga
melihat cara tindakan Allah semacam itu. Hal yang seolah-
olah tampak bertentangan ini tidak akan tersingkap sampai
rahasia Allah selesai terjadi.
(2) Peristiwa Ayub ini akan mendorong semangat orang benar
untuk bertindak. Alih-alih mundur dan tawar hati untuk
melayani Allah, begitu melihat perlakuan keras yang di-
alami hamba Allah yang setia ini, mereka justru akan se-
makin berani maju terus dan bertekun dalam pelayanan
mereka kepada-Nya. Hal yang menjadi perhatian Paulus
(1Tes. 3:3) juga merupakan perhatian Ayub, yaitu supaya
jangan ada orang yang menjadi goyah, baik dalam hal
kekudusan maupun penghiburan akibat kesusahan-kesu-
sahan ini. Janganlah seorang pun sebab hal-hal ini lalu
berpikir buruk tentang jalan-jalan atau pekerjaan Allah.
Hal yang menjadi penghiburan bagi Paulus juga merupa-
kan penghiburan bagi Ayub, yakni bahwa kebanyakan sau-
dara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan sebab pe-
menjaraannya (Flp. 1:14). Dengan peristiwa yang menimpa
Ayub ini, semua orang benar hendaknya terdorong,
[1] Untuk melawan dosa dan menentang kesimpulan-
kesimpulan cemar dan jahat yang ditarik orang-orang
fasik dari penderitaan Ayub. Misalnya bahwa Allah telah
meninggalkan bumi, bahwa percuma saja melayani Dia,
dan sejenisnya: orang yang tidak bersalah naik pitam
terhadap orang fasik. Mereka tidak akan tahan mende-
ngar hal ini (Why. 2:2), namun akan menghadapi mereka.
Mereka akan berupaya menyelidiki apa makna dari
penyelenggaraan Allah semacam ini, serta mempelajari
pasal-pasal yang sukar ini untuk dibaca dengan cermat.
Mereka akan terdorong untuk membela perkara agama
yang benar yang disalahi dengan melawan semua pe-
nentangnya. Perhatikanlah, keberanian orang-orang du-
niawi dalam menyerang agama sudah seharusnya me-
ningkatkan keberanian dan kebulatan hati semua saha-
bat dan pembela agama. Sudah tiba waktunya untuk
bertindak saat diumumkan di pintu gerbang perkemah-
an, Siapa yang memihak kepada TUHAN? saat per-
buatan jahat tampil dengan berani, tidak ada waktu lagi
bagi kebajikan untuk bersembunyi sebab rasa takut.
[2] Untuk bertekun dalam agama. Orang yang benar, alih-
alih mundur atau beranjak pergi, saat melihat peman-
dangan mengerikan ini, atau berdiam diri untuk me-
nimbang-nimbang apakah maju terus atau tidak (kait-
kan dengan 2Sam. 2:23), akan tetap pada jalannya de-
ngan semakin teguh serta tegas, dan mendesak maju.
“Walaupun ia sudah memperkirakan lebih dahulu bah-
wa penjara dan sengsara menunggunya, ia tidak meng-
hiraukan nyawanya sedikitpun” (Kis. 20:24). Orang-orang
yang tetap memandang sorga sebagai tujuan akhir mere-
ka, akan tetap menjadikan agama sebagai jalan hidup
mereka, apa pun kesukaran dan keputusasaan yang me-
reka hadapi di dalamnya.
[3] Untuk kemudian bertumbuh di dalam kasih karunia.
Apa pun yang terjadi, orang benar tidak saja tetap pada
jalannya, malah semakin bertambah-tambah kuat. De-
ngan melihat pencobaan orang-orang lain dan penga-
lamannya sendiri, ia menjadi lebih giat dan bersema-
ngat melaksanakan kewajibannya, lebih hangat dan
penuh kecintaan, serta lebih bertekad dan tidak gentar.
Semakin buruk orang lain, semakin menjadi lebih baik
ia. Apa yang mencemaskan orang lain, justru membuat-
nya berbesar hati. Angin yang bertiup kencang membuat
pelancong merapatkan jubahnya dengan lebih erat. Ba-
rang siapa benar-benar bijaksana dan baik, ia akan se-
nantiasa bertumbuh semakin bijak dan baik. Kecakap-
an dalam beragama dan beribadah merupakan tanda
baik adanya kesungguhan dan ketulusan hati di dalam-
nya.
Ayub Menegur Ketiga Sahabatnya;
Kesia-siaan Pengharapan Duniawi
(17:10-16)
10 namun kamu sekalian, silakan datang kembali! Seorang yang mempunyai
hikmat takkan kudapati di antara kamu! 11 Umurku telah lalu, telah gagal
rencana-rencanaku, cita-citaku. 12 Malam hendak dijadikan mereka siang:
terang segera muncul dari gelap, kata mereka. 13 Apabila aku mengharapkan
dunia orang mati sebagai rumahku, menyediakan tempat tidurku di dalam ke-
gelapan, 14 dan berkata kepada liang kubur: Engkau ayahku, kepada berenga:
IArtikel dan saudara perempuanku, 15 maka di manakah harapanku? Siapakah
yang melihat adanya harapan bagiku? 16 Keduanya akan tenggelam ke dasar
dunia orang mati, apabila kami bersama-sama turun ke dalam debu.”
Sahabat-sahabat Ayub berpura-pura menghibur dia dengan pengha-
rapan bahwa ia akan kembali kepada masa kemakmurannya. Namun
dalam perikop ini ia menunjukkan,
I. Bahwa sungguh bodoh mereka berkata demikian (ay. 10): “Silakan
datang kembali. Yakinlah bahwa kamu sekalian keliru, biarkan aku
membujukmu mempercayai kata-kataku. sebab seorang yang
mempunyai hikmat takkan kudapati di antara kamu, yang tahu
bagaimana menjelaskan sulitnya penyelenggaraan Allah atau ba-
gaimana menerapkan penghiburan janji-janji-Nya.” Orang tidak
berlaku bijaksana dalam menghibur mereka yang menderita, jika
penghiburan yang mereka berikan didasarkan pada kemungkinan
bahwa keadaan orang itu akan pulih dan pada kelegaan duniawi
semata. Memang kita tidak boleh berputus asa, namun penghi-
buran semacam itu sama sekali tidaklah pasti. sebab kalau janji
seperti itu gagal, yang mungkin terjadi, maka penghiburan yang
didasarkan atas hal itu akan gagal juga. Oleh sebab itu, bijaklah
kita jika menghibur diri dan orang lain yang sedang mengalami
kesesakan, dengan sesuatu yang tidak akan gagal, yaitu janji
Allah, kasih dan kasih karunia-Nya, serta pengharapan akan
kehidupan kekal yang kuat dasarnya.
II. Bahwa Ayub akan jauh lebih bodoh apabila ia memperhatikan
perkataan mereka, sebab,
1. Semua kehidupan Ayub telah runtuh dan ia berada dalam
kebingungan luar biasa (ay. 11-12).