Minggu, 05 Januari 2025

ayub 14


 dan para sahabatnya berlaku sama seperti yang biasa di-

lakukan para pihak yang berselisih, yaitu saling meremehkan peng-

ertian, hikmat, dan cara menangani masalah masing-masing pihak. 

Semakin lama pertikaian ditarik semakin menjadi panas. Memulai 

pertengkaran yaitu  seperti membuka jalan air; jadi undurlah sebelum 

perbantahan mulai. Elifas menyatakan percakapan Ayub sebagai gila, 

tidak ada gunanya, dan tidak memiliki arah tujuan. Dan Ayub di sini 

juga menggambarkan sifat yang sama terhadap Elifas. Siapa yang be-

bas melontarkan kecaman semacam itu, ia harus menantikan balas-

annya. Mudah saja untuk mengecam, tidak ada habisnya: namun  cui 

bono? – apa gunanya? Kecaman hanya membangkitkan kemarahan 

orang, namun  tidak akan pernah meyakinkan hati orang akan penilai-

an mereka, dan juga tidak akan membawa kebenaran kepada kejelas-

an. Ayub di sini menegur Elifas,  

1. sebab  mengulang-ulang hal-hal yang tidak perlu (ay. 2): “Hal 

seperti itu telah acap aku dengar. Engkau tidak memberitahuku 

apa pun selain apa yang telah kuketahui sebelumnya, tidak ada 

apa-apa selain yang telah engkau katakan sebelumnya. Engkau 

tidak menawarkan apa pun yang baru. Hal yang sama diulang-

ulang saja.” Pengulangan seperti ini bagi Ayub merupakan sebuah 

cobaan besar atas kesabarannya, sama seperti yang ditimbulkan 

oleh semua masalahnya itu. Penyampaian hal-hal yang sama 

terus-menerus oleh seorang musuh sungguh membuat hati panas 

dan memuakkan, namun  oleh seorang guru, hal itu sering diperlu-

kan, dan tidak boleh dikeluhkan oleh murid, yang harus mene-

rima ajaran demi ajaran, baris demi baris. Banyak hal yang telah 

kita dengar yang sangatlah baik untuk kita dengarkan kembali, 

agar kita dapat mengerti dan mengingatnya dengan lebih baik, 

dan lebih disentuh dan dipengaruhi olehnya.  

2. sebab  Elifas sembarangan menerapkan perkataannya terhadap 

diri Ayub. Mereka datang dengan rencana untuk menghibur Ayub, 

namun  mereka tidak cakap dalam bertindak, sehingga saat  me-

nyentuh masalah Ayub, mereka salah memahaminya: “Penghibur 

sialan kamu semua. Bukannya menawarkan sesuatu untuk meri-

ngankan derita, malah menambah duka, dan membuatnya lebih 

menyedihkan.” Penyakit pasien sungguh menyedihkan bila obat-

obatnya yaitu  racun dan dokternya justru menjadi penyakitnya 

yang paling parah. Apa yang dikatakan Ayub di sini tentang te-

man-temannya benar-benar berlaku juga tentang semua makhluk 

ciptaan, sebab  dibandingkan dengan Allah, suatu kali kelak kita 

akan dibuat untuk melihat dan mengakuinya, bahwa mereka se-

mua yaitu  penghibur sialan. Pada waktu kita sedang diinsafkan 

akan dosa, diserang oleh hati nurani, dan dijerat kematian, maka 

hanya Roh yang terberkati itu sajalah yang dapat menghibur kita 

sebenar-benarnya. Semua yang lain, tanpa Dia, hanya dapat meng-

hibur dengan menyedihkan dan hanya menyanyikan lagu buat hati 

yang berat tanpa guna.  

3. sebab   Elifas berlaku kurang ajar tanpa berhenti. Ayub berharap 

bahwa omong kosong akan ada akhirnya (ay. 3). Jika sia-sia, 

maka lebih baik kata-kata itu tidak pernah dimulai, dan lebih 

cepat berakhir, maka lebih baik. Barang siapa bijak, ia berbicara 

dengan arah tujuan, dan bijak pula untuk mengetahui kapan cu-

kup berkata tentang sesuatu dan kapan waktunya untuk berhenti.  

4. sebab  Elifas keras kepala tanpa sebab. Apa yang merangsang 

engkau untuk menyanggah? Kita berlaku terlalu percaya diri dan 

sembrono jika menuduh orang telah berbuat kejahatan yang tidak 

dapat kita buktikan, jika menghakimi keadaan rohani seseorang 

berdasarkan kondisi lahiriah mereka, dan jika mengajukan kem-

bali keberatan-keberatan yang telah berulang-ulang dijawab, 

seperti yang dilakukan Elifas.  

5. sebab  Elifas melanggar hukum-hukum suci tentang persahabat-

an, yaitu berbuat terhadap saudaranya apa yang dia sendiri tidak 

ingin diperlakukan oleh saudaranya, dan apa yang saudaranya 

tidak ingin diperlakukan oleh dia. Ini yaitu  suatu teguran yang 

tajam dan sangat menggugah hati (ay. 4-5).  

(1) Ia merindukan para sahabatnya, dalam khayalannya, untuk 

sesaat saja bertukar keadaan, untuk mencoba mengganti jiwa 

mereka dengan jiwanya, untuk mengandaikan diri mereka se-

dang berada dalam penderitaan seperti dia dan mengandaikan 

dia sedang dalam keadaan nyaman seperti mereka. Ini bukan-

lah anggapan yang aneh atau tidak masuk akal, melainkan 

apa yang dapat dengan cepat menjadi kenyataan. Begitu aneh, 

begitu mendadak, begitu sering, terjadi perubahan-perubahan 

dalam urusan manusia. Begitu cepat roda berputar, sehingga 

jari-jarinya segera berubah tempat. Apa pun dukacita saudara-

saudara kita, kita harus dengan rasa simpati menjadikannya 

milik kita, sebab  kita tidak tahu seberapa cepat keadaan 

mereka juga menimpa kita.  

(2) Ayub menyatakan buruknya perilaku mereka terhadap dirinya, 

dengan menunjukkan apa yang dapat dilakukannya kepada 

mereka seandainya mereka berada di dalam kondisinya: Aku 

pun dapat berbicara seperti kamu. Memang mudah saja untuk 

menginjak-injak orang yang jatuh, dan menunjuk kesalahan 

mereka yang sedang mengalami penderitaan hebat saat  me-

reka mengaduh kesakitan dan sengsara: “Aku dapat menumpuk 

kata-kata yang melawanmu (KJV), seperti yang engkau lakukan 

terhadap aku. Bagaimana rasanya, apakah kamu suka? Mau-

kah kamu menanggungnya?”  

(3) Ia menunjukkan kepada mereka apa yang harus mereka laku-

kan, dengan memberi tahu mereka apa yang akan dia lakukan 

seandainya mereka sendiri yang sedang menderita (ay. 5): “Aku 

akan menguatkan hatimu, dan mengatakan semua yang dapat 

kukatakan untuk meredakan kesedihanmu, bukan yang akan 

memperberatnya.” Merupakan hal yang wajar bagi para pen-

derita untuk berandai-andai apa yang akan mereka lakukan 

seandainya orang lain yang menderita seperti mereka. namun  

mungkin hati kita sendiri dapat menipu kita. Kita tidak tahu 

apa yang harus kita lakukan. Kita mendapati lebih mudah 

untuk memahami masuk akal dan pentingnya suatu perintah 

saat  kita mendapat kesempatan untuk menuntut manfaat-

nya, ketimbang saat  kita mendapat kesempatan untuk mela-

kukan perintah itu sebab  kewajiban. Lihatlah apa panggilan 

tugas kita bagi saudara kita yang berada dalam penderitaan.  

[1] Kita harus mengatakan dan melakukan semua yang dapat 

kita lakukan untuk menguatkan mereka, dengan menya-

rankan berbagai pertimbangan yang tepat untuk menguat-

kan keyakinan mereka kepada Allah dan untuk mendu-

kung semangat mereka yang hampir tenggelam. Iman dan 

kesabaran merupakan kekuatan dari penderita. Apa pun 

pertolongannya, anugerah-anugerah ini menguatkan lutut-

lutut yang goyah.  

[2] Untuk meredakan kesedihan mereka, semua penyebab ke-

sedihan mereka, bila mungkin, atau setidaknya kemarahan 

mereka terhadap penyebab tersebut. Kata-kata yang baik 

tidaklah membuahkan hasil. namun  kata-kata baik tersebut 

bisa saja berguna bagi mereka yang berada dalam pen-

deritaan, sebab  tidak hanya memberi penghiburan kepada 

mereka melihat teman-teman yang peduli kepada mereka, 

kata-kata baik itu juga dapat mengingatkan mereka akan 

sesuatu yang mungkin telah mereka lupakan akibat kese-

dihan yang melanda mereka. Kendati kata-kata keras tidak 

mematahkan tulang, namun kata-kata yang baik dapat 

membantu membuat tulang-tulang yang patah bersukacita.

 Dan orang-orang yang memiliki lidah seorang murid tahu 

bagaimana memberi semangat baru kepada orang yang letih 

lesu.  

Kesedihan Ayub 

(16:6-16) 

6 namun  bila aku berbicara, penderitaanku tidak menjadi ringan, dan bila aku 

berdiam diri, apakah yang hilang dari padaku? 7 namun  sekarang, Ia telah 

membuat aku lelah dan mencerai-beraikan segenap rumah tanggaku, 8 su-

dah menangkap aku; inilah yang menjadi saksi; kekurusanku telah bangkit 

menuduh aku. 9 Murka-Nya menerkam dan memusuhi aku, Ia menggertak-

kan giginya terhadap aku; lawanku memandang aku dengan mata yang ber-

api-api. 10 Mereka mengangakan mulutnya melawan aku, menampar pipiku 

dengan cercaan, dan bersama-sama mengerumuni aku. 11 Allah menyerah-

kan aku kepada orang lalim, dan menjatuhkan aku ke dalam tangan orang 

fasik. 12 Aku hidup dengan tenteram, namun  Ia menggelisahkan aku, aku di-

tangkap-Nya pada tengkukku, lalu dibanting-Nya, dan aku ditegakkan-Nya 

menjadi sasaran-Nya. 13 Aku dihujani anak panah, ginjalku ditembus-Nya 

dengan tak kenal belas kasihan, empeduku ditumpahkan-Nya ke tanah. 14 Ia 

merobek-robek aku, menyerang aku laksana seorang pejuang. 15 Kain kabung 

telah kujahit pada kulitku, dan tandukku kumasukkan ke dalam debu; 

16 mukaku merah sebab  menangis, dan bulu mataku ditudungi kelam pekat, 

Keluhan Ayub di sini sama pahitnya seperti semua keluhannya yang 

ada di dalam semua percakapannya, dan ia tidak tahu apakah harus 

menekannya atau melampiaskannya. Kadang-kadang yang satu dan 

kadang-kadang yang lain memberi kelegaan kepada penderita, ter-

gantung temperamen atau keadaannya. namun  Ayub tidak mendapat 

pertolongan dari kedua-duanya (ay. 6).  

1. Kadang-kadang melampiaskan kesedihan memberikan kelegaan. 

namun , “Bila aku berbicara” kata Ayub, “penderitaanku tidak men-

jadi ringan, semangatku tidak pernah lebih ringan saat  mencu-

rahkan keluhanku. Bahkan, apa yang aku bicarakan begitu disa-

lahpahami sehingga berbalik membuat kesedihanku bertambah 

buruk.”  

2. Di waktu lain berdiam diri membuat masalah lebih ringan dan le-

bih cepat dilupakan. namun  (kata Ayub) kendati aku bersabar aku 

tidak pernah menjadi lebih baik. Apakah yang hilang dariku? Aku 

tetap tidak merasa lebih nyaman. Jika dia mengeluh, dia dikecam 

sebagai pemarah. Jika tidak sebagai orang yang cemberut. Jika 

dia mempertahankan ketulusannya, itu menjadi kejahatannya. 

Jika dia tidak memberi jawab kepada tuduhan orang, kebung-

kamannya dianggap sebagai pengakuan akan kesalahannya. 

Inilah pernyataan kesedihan Ayub yang membuatnya muram. 

O betapa kita harus memuji Allah, bahwa kita tidak membuat ke-

luhan yang demikian! Ia mengeluh,  

I. Bahwa keluarganya tercerai-berai (ay. 7): “Ia telah membuat aku 

lelah, lelah berbicara, lelah menanggung, lelah dengan teman-

teman, lelah dengan hidup itu sendiri. Perjalananku di dunia ter-

nyata begitu tidak nyaman sehingga aku sangat lelah dengannya.” 

Inilah yang membuat hidupnya lelah, yaitu semua yang biasa ber-

sama dia hilang, anak dan hamba-hambanya dibunuh dan orang 

miskin yang tinggal dalam rumahnya yang besar cerai-berai. 

Kumpulan orang baik yang dulunya bertemu di rumahnya untuk 

beribadah, kini tercerai-berai, dan dia menghabiskan hari Sabat-

nya dalam kesunyian dan kesendirian. Memang dia mempunyai 

teman, namun  begitu payah sampai rasanya lebih baik ia sendirian 

saja, sebab mereka tampak senang dengan kebinasaannya. Apa-

bila orang-orang terkasih dan teman-teman berada jauh dari kita, 

maka kita harus melihat dan mengakui tangan Allah di dalamnya, 

yang membuat mereka hilang dari kita.  

II. Bahwa tubuhnya menjadi lapuk oleh sakit penyakit dan sakit 

perih, sehingga dia telah menjadi tengkorak belaka, tidak ada apa-

apa selain kulit dan tulang (ay. 8). Wajahnya berkerut, bukan ka-

rena umur, namun  sebab  penyakit: Engkau telah memenuhi wa-

jahku dengan kerutan. Dagingnya telah habis akibat borok dan 

bisul yang menggerogoti, sehingga kekurusannya telah bangkit, 

yaitu tulang-tulangnya, yang mula-mula tidak tampak, menonjol 

keluar (33:21). Inilah yang disebut saksi-saksi yang menuduhnya, 

saksi-saksi ketidaksenangan Allah terhadap dia, saksi-saksi yang 

dipakai teman-temannya untuk membuktikan dia sebagai seorang 

yang jahat. Atau, “Mereka yaitu  saksi-saksi bagiku, bahwa keluh-

anku bukanlah tanpa sebab,” atau “saksi-saksi terhadap diriku, 

bahwa aku yaitu  seorang yang sedang sekarat dan akan segera 

lenyap.” 

III. Bahwa musuhnya yaitu  suatu kengerian baginya, mengancam 

dia, membuatnya ketakutan, menatapnya dengan sangar, dan 

menumpahkan segala kemarahan terhadapnya (ay. 9): Murkanya 

menerkam aku. namun  siapakah musuh ini?  

1. Elifas, yang menunjukkan dirinya sangat jengkel terhadapnya, 

dan mungkin yang memperlihatkan tanda-tanda kemarahan 

seperti yang disebutkan di sini: paling tidak, apa yang di-

katakannya telah mengoyak nama baik Ayub dan hanya meng-

gunturkan kengerian semata-mata kepadanya. Matanya diper-

tajam untuk menemukan celaan terhadap Ayub, dan sangat 

biadab dia serta semua temannya menyerang Ayub. Atau,  

2. Iblis. Ia yaitu  musuh yang membencinya, dan mungkin, 

dengan izin TUHAN, menakutinya dengan banyak penampak-

an, seperti yang dipikirkan sebagian orang, ia menakuti Juru-

selamat kita, yang membuat-Nya menderita sengsara hebat di 

taman. Demikianlah Iblis bermaksud untuk membuat Ayub 

mengutuk Allah. Bukan tidak mungkin bahwa inilah musuh 

yang dimaksudkannya. Atau,  

3. Allah sendiri. Apabila kita memahami sang musuh yaitu  

Allah, maka semua ungkapan di sini memang sama terburu-

burunya seperti yang ungkapannya yang lain. Allah tidak 

membenci siapa pun dari makhluk ciptaan-Nya. namun  kese-

dihan Ayub benar-benar menyatakan kepadanya kegerian dari 

Yang Mahakuasa: dan tidak ada hal yang lebih menyedihkan 

bagi seorang yang baik daripada memahami bahwa Allah 

menjadi musuhnya. Jika murka seorang raja menjadi seperti 

utusan kematian, maka betapa lagi murka Raja di atas segala 

raja!  

IV. Bahwa semua yang di sekitarnya berlaku kasar kepadanya (ay. 

10). Mereka datang kepada Ayub dengan mulut terbuka untuk 

menggasak dia, seakan-akan mereka hendak menelan dia hidup-

hidup, begitu mengerikan ancaman mereka dan begitu menghina 

sikap perilaku mereka kepadanya. Mereka lampiaskan segala mur-

ka menyala-nyala, bahkan menghantamnya di pipi. Dan di sini ba-

nyak yang merupakan sekutu. Mereka berkerumun melawannya, 

bahkan yang hina (Mzm. 35:15). Di sini Ayub menjadi gambaran 

Kristus, sebagaimana orang-orang zaman dahulu memperlakukan 

dia demikian: ungkapan-ungkapan di sini dipakai  sebagai nu-

buat tentang segala penderitaan-Nya (Mzm. 22:14), Mereka me-

ngangakan mulutnya terhadap aku. Dan (Mi. 4:14, KJV), mereka 

akan menghajar sang Hakim Israel dengan tongkat di pipi, yang 

secara harfiah dipenuhi (Mat. 26:67). Betapa bertambah banyak 

jumlah orang yang menyusahkan Dia!  

V. Bahwa Allah, ketimbang membebaskan Ayub dari tangan mereka, 

seperti yang diharapkannya, malah menyerahkan dia ke dalam 

tangan mereka (ay. 11): Ia menyerahkan aku kepada orang lalim. 

Mereka tidak dapat memiliki kuasa untuk melawan Ayub jika hal 

itu tidak diberikan dari atas kepada mereka. sebab  itu Ayub me-

mandang melampaui mereka kepada Allah yang memberi mereka 

tugas, seperti yang diperbuat Daud saat  Simei mengutukinya. 

namun  Ayub merasa aneh, dan sukar memikirkannya, bagaimana 

orang-orang itu dapat memiliki kuasa melawan dia, padahal mere-

ka juga sama-sama menjadi musuh Allah. Allah kadang-kadang 

memanfaatkan orang-orang fasik sebagai pedang-Nya untuk sa-

ling hantam (Mzm. 17:13) dan juga sebagai tongkat-Nya untuk 

menghajar anak-anak-Nya sendiri (Yes. 10:5). Di sini pula Ayub 

yaitu  suatu gambaran dari Kristus, yang diserahkan ke dalam 

tangan orang-orang lalim, untuk disalibkan dan dibunuh, menu-

rut maksud dan rencana Allah (Kis. 2:23). 

VI. Bahwa Allah tidak hanya menyerahkan dia ke dalam tangan 

orang-orang lalim, namun  juga mengambil dia ke dalam tangan-

Nya sendiri, yang merupakan suatu hal yang mengerikan (ay. 12): 

“Aku hidup dengan tenteram selama ini dengan menikmati segala 

karunia Allah yang berlimpah, yang tidak resah dan gelisah, 

seperti yang dialami sebagian orang di tengah-tengah kemakmur-

an mereka, sehingga menyulut marah-Nya untuk mengambil kem-

bali semua karunia-Nya dari mereka. Meskipun begitu Ia mem-

banting aku, menaruh aku ke atas wadah kesakitan, dan mero-

bek-robek aku.” Allah, dalam mencelakakan dia, tampak,  

1. Seolah-olah amat murka. Kendati Allah tidak murka, dia ber-

pikir demikian, saat  Ia menangkapnya pada tengkuknya, 

sama seperti seorang kuat yang sedang marak mengangkat 

seorang anak kecil, dan membantingnya, dengan bersorak da-

lam kuasa-Nya yang tak tertahankan.  

2. Seolah-olah Allah memihak. “Ia membedakan aku dari umat 

manusia selebihnya dengan perlakuan keras terhadapku: Ia 

menegakkan aku menjadi sasaran-Nya, papan tempat sasaran 

hujan anak panah-Nya. Kepadaku anak-anak panah itu di-

arahkan dan semuanya datang bukan secara kebetulan. Ter-

hadap aku semuanya diterbangkan, seakan-akan aku ini pen-

dosa terbesar dari antara semua orang di Timur atau dipilih 

untuk dijadikan contoh.” saat  Allah menetapkan dirinya se-

bagai sasaran, para pemanah-Nya yang sekarang ini menge-

lilinginya. Allah memiliki para pemanah yang siap diperintah-

Nya, yang pasti akan mengenai sasaran yang telah disiapkan-

Nya. Siapa pun musuh kita, kita harus memandang mereka 

sebagai para pemanah Allah, dan melihat Dia mengarahkan 

anak panah. Dia TUHAN, biarlah diperbuat-Nya apa yang di-

pandang-Nya baik.  

3. Seolah-olah Ia kejam dan murka-Nya tak henti-hentinya sama 

seperti kuasanya yang tak dapat ditahan. Seolah-olah Ia ber-

usaha menyentuhnya di bagian yang paling lembut, ginjalku 

ditembus-Nya dan sakitnya tak tertahankan. Mungkin itu rasa 

sakit ginjal, batu ginjal, yang menyerang di bagian ginjal. 

Seolah-olah Ia tidak punya belas kasihan untuknya, tidak me-

nyayangkan atau mengurangi deritanya. Dan seolah-olah Ia 

tidak bertujuan lain selain kematiannya, kematian di tengah-

tengah siksaan yang paling menyakitkan: Empeduku ditumpah-

kan-Nya ke tanah, seperti saat  manusia menangkap seekor 

binatang buas, dan membunuhnya, membukanya, lalu menge-

luarkan empedu dengan segala isinya. Ia pikir darahnya di-

tumpahkan, seakan-akan tidak hanya tidak berharga, namun  

juga memuakkan.  

4. Seolah-olah Ia tidak memakai akal sehat dan tidak puas-puas-

nya dalam penghukuman-Nya (ay. 14): “Ia merobek-robek aku, 

menyerang aku laksana seorang pejuang, mengejarku dengan 

luka demi luka.” Demikianlah berbagai masalahnya berdatang-

an. Sementara seorang utusan kabar buruk sedang berbicara, 

utusan yang lain datang: dan masih terjadi. Borok dan bisul 

yang baru muncul setiap hari, sehingga tidak ada harapan 

baginya akan ada akhir dari masalahnya. Demikianlah Ayub 

berpikir bahwa Allah menyerang dia seperti seorang raksasa, 

yang tidak mungkin dapat dihadapinya. Seperti para raksasa 

tua menyergap semua sesama mereka yang malang, yang ter-

lalu sukar untuk mereka hadapi. Perhatikanlah, bahkan orang-

orang yang baik, saat  mereka berada dalam masalah yang 

besar dan tidak biasa, tidak punya basa-basi untuk menghibur 

pikiran yang bukan-bukan tentang Allah. 

VII. Bahwa Ayub telah melepaskan diri dari segala kehormatannya, 

semua penghiburannya, seturut dengan tindakan penyelenggara-

an Allah yang menimpa di sekelilingnya. Beberapa orang dapat 

mengurangi masalah mereka sendiri dengan menyembunyikan-

nya, dengan menegakkan kepala setinggi-tingginya dan mema-

sang wajah sebaik biasanya. namun  Ayub tidak dapat melakukan 

yang demikian: ia telah menerima pelajaran dari segala masalah-

nya itu, dan, sebagai seorang petobat dan penderita yang sung-

guh-sungguh, dia merendahkan diri di bawah tangan Allah yang 

kuat (ay. 15-16).  

1. Ia sekarang mengesampingkan semua hiasan dan pakaian ha-

lusnya, tidak memikirkan kenyamanan atau keindahan dalam 

berpakaian, melainkan menjahit kain karung pada kulitnya. 

Pakaian ini dianggapnya cukup pantas untuk tubuh yang telah 

tercemar seperti dirinya. Kain sutera pada borok, borok seperti 

pada dirinya, pikirnya, tidaklah cocok. Kain karung akan men-

jadi lebih cocok. Barang siapa menyukai pakaian yang indah-

indah dengan terlalu berlebihan, ia akan sulit dilepaskan dari-

nya oleh penyakit dan usia lanjut, serta, seperti Ayub (ay. 8), 

oleh kerut dan kurus. Ayub tidak hanya mengenakan kain ka-

rung, namun  juga menjahitkannya di atas kulit, sebab  ia berte-

kad untuk hidup dengan merendahkan diri sepanjang bencana 

menimpanya.  

2. Ia tidak bersikeras pada hal-hal kehormatan, melainkan me-

rendahkan diri di bawah penyelenggaraan Allah yang meren-

dahkan: Dan tandukku kumasukkan ke dalam debu, dan me-

nolak kehormatan yang biasa diberikan kepada martabatnya, 

kekuasaannya, dan keunggulannya. Perhatikanlah, saat  Allah 

merendahkan keadaan kita, hal itu seharusnya juga merendah-

kan roh kita. Lebih baik memasukkan tanduk kita ke dalam 

debu daripada meninggikannya untuk melawan rancangan 

Penyelenggaraan Allah dan mematahkannya pada akhirnya. 

Elifas menggambarkan Ayub sebagai orang yang tinggi hati 

dan angkuh dan tidak mau merendahkan diri di bawah pende-

ritaannya. “Tidak,” kata Ayub, “aku mengenal hal-hal yang

 lebih baik. Debu yaitu  tempat yang paling cocok bagiku seka-

rang ini.”  

3. Ia membuang kegembiraan sebagai sesuatu yang benar-benar 

tidak cocok untuk saat ini, dan menetapkan diri untuk mena-

bur dengan air mata (ay. 16): “Mukaku merah sebab  menangis 

terus-menerus sebab  dosa-dosaku, sebab murka Allah me-

lawanku, dan sebab  kekasaran para sahabatku: semua ini 

telah membawa suatu kelam pekat menudungi bulu mataku.” 

Ia tidak hanya menyeka habis semua keindahannya, namun  

juga hampir menguras habis air matanya. Dalam hal ini pula 

Ayub yaitu  suatu gambaran dari Kristus, yang menjadi ma-

nusia yang penuh derita, dan banyak mencucurkan air mata, 

dan yang menyatakan berbahagia orang-orang yang berduka, 

sebab  mereka akan dihibur. 

Kesaksian Hati Nurani Ayub dan Penghiburannya 

(16:17-22) 

17 sungguhpun tidak ada kelaliman pada tanganku, dan doaku bersih. 18 Hai 

bumi, janganlah menutupi darahku, dan janganlah kiranya teriakku men-

dapat tempat perhentian! 19 Ketahuilah, sekarang pun juga, Saksiku ada di 

sorga, Yang memberi kesaksian bagiku ada di tempat yang tinggi. 20 Sekali-

pun aku dicemoohkan oleh sahabat-sahabatku, namun ke arah Allah mataku 

menengadah sambil menangis, 21 supaya Ia memutuskan perkara antara 

manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan sesamanya. 22 sebab  

sedikit jumlah tahun yang akan datang, dan aku akan menempuh jalan, dari 

mana aku tak akan kembali lagi. 

Kondisi Ayub yaitu  sangat memilukan. namun , tidak punya lagikah 

ia apa-apa untuk mendukungnya, untuk menghiburnya? Ya punya, 

dan di sini ia memberi tahu kita apa itu. 

I. Ia memiliki kesaksian hati nuraninya bahwa ia telah menjalani 

hidup dengan benar dan tidak pernah membiarkan diri jatuh da-

lam dosa besar. Tak seorang pun yang lebih siap daripada Ayub 

untuk mengakui dosa-dosa kesalahannya. namun , setelah menye-

lidikinya, Ayub tidak dapat menuduh diri dengan kejahatan besar 

apa pun, yang dapat menjadikan dia lebih menderita daripada 

orang lain (ay. 17). 

1. Ia telah menjaga hati nuraninya agar tidak berbuat salah,  

(1) Terhadap manusia: “Tidak ada kelaliman pada tanganku, 

tidak ada kekayaan yang aku dapatkan atau simpan dengan 

cara tidak adil.” Elifas menyatakan Ayub sebagai seorang 

yang semena-mena dan penindas. “Tidak,” katanya, “aku ti-

dak pernah berbuat salah kepada siapa pun, melainkan sela-

lu membenci keuntungan yang diperoleh melalui penindasan.”  

(2) Terhadap Allah: Dan doaku bersih. Doa tidak dapat bersih 

sepanjang tangan kita penuh dengan darah (Yes. 1:15). Eli-

fas menuduh Ayub munafik dalam beribadah, namun Ayub 

secara khusus menyebutkan kehidupan doanya, tindakan 

besar dari kesalehan, dan mengakui bahwa di dalam hal ini 

dia bersih, kendati tidak dari semua kesalahan, namun 

jauh dari segala tipu muslihat. Doanya tidaklah seperti doa 

orang-orang Farisi, yang mencari tidak lebih jauh daripada 

untuk dilihat oleh manusia, dan untuk dipuji. 

2. Penegasan atas ketulusannya ini ia dukung dengan mengutuk 

dirinya dengan aib dan kebingungan jika itu tidak benar (ay. 18).  

(1) Seandainya benar ada ketidakadilan dilakukan tangannya, 

maka ia ingin hal tersebut tidak tersembunyi: Hai bumi, 

janganlah menutupi darahku, yaitu, “Darah orang lain yang 

tak bersalah, yang dituduhkan kepadaku telah kutumpah-

kan.” Pembunuhan akan terkuak, jadi “Nyatakanlah,” kata 

Ayub, “jika aku memang pernah bersalah atas dosa itu” 

(Kej. 4:10-11). Harinya akan datang saat  bumi tidak lagi 

menyembunyikan darah yang tertumpah di atasnya (Yes. 

26:21), dan seorang yang baik dijauhkan kiranya dari keta-

kutan akan hari itu.  

(2) Seandainya ada ketidaktulusan dalam doa-doanya, dia ber-

harap doa-doanya tidak diterima: Janganlah kiranya teriak-

ku mendapat tempat perhentian. Ia bersedia dihakimi oleh 

peraturan ini, Seandainya ada niat jahat dalam hatiku, 

tentulah Tuhan tidak mau mendengar (Mzm. 66:18). Ada 

kemungkinan makna lain dari perkataan ini, yaitu bahwa, 

tampaknya, dia memandang kematiannya sebagai akibat 

perbuatan para sahabatnya, yang telah menghancurkan 

hatinya dengan berbagai kecaman mereka yang kasar. Ia 

mendakwa mereka bersalah atas darahnya, dengan memo-

hon Allah untuk membalaskannya. Tampaknya ia juga me-

mohon kepada Allah agar teriakan darahnya tidak tersem-

bunyi, namun  naik ke sorga dan didengar oleh Dia yang 

mengadakan penyelidikan terhadap darah.  

II. Ia dapat berpegang kepada kemahatahuan Allah tentang ketulus-

annya (ay. 19). Kesaksian di dalam hati kita tidak akan mendu-

kung kita jika kita tidak memiliki saksi di sorga bagi kita. Sebab 

Allah yaitu  jauh lebih besar dari hati kita (KJV), dan kita tidak 

menjadi hakim bagi diri kita sendiri. Inilah yang menjadi sorak 

kemenangan Ayub, Saksiku ada di sorga. Perhatikanlah, merupa-

kan suatu penghiburan yang tak terkatakan bagi seorang yang 

baik saat  dia dicela saudara-saudaranya, bahwa ada Allah di 

sorga yang mengetahui kelurusan hatinya dan akan membersih-

kan namanya cepat atau lambat (Lih. Yoh. 5:31, 37). Saksi dari 

sorga ini lebih berharga daripada seribu saksi. 

III. Ia memiliki Allah untuk mencurahkan isi hatinya (ay. 20-21). Lihat-

lah di sini,  

1. Bagaimana duduk perkaranya antara dia dan para sahabat-

nya. Ia tidak tahu bagaimana membersihkan diri dari mereka. 

Ia tidak dapat mengharapkan mereka akan menjadi pendengar 

yang adil atau berurusan dengan adil. “Teman-temanku (demi-

kian mereka menyebut diri) mencomooh aku. Mereka bertekat 

tidak hanya untuk melawan aku, namun  juga untuk memper-

malukan aku. Mereka bersepakat melawan aku dengan meng-

gunakan segala keahlian dan kefasihan mereka” (demikianlah 

istilah yang dipakai) “untuk menjatuhkanku.” Cemoohan sa-

habat lebih tajam daripada cemoohan musuh. namun  kita ha-

rus bersiap menerimanya dan bersiap diri pula.  

2. Bagaimana duduk perkaranya antara dirinya dan Allah. Ia tidak 

meragukan bahwa,  

(1) Allah benar-benar memperhatikan kesengsaraannya: Kepa-

da Allah mataku menengadah dan menangis. Ayub berkata 

(ay. 16), dia telah banyak menangis, dan di sini dia mem-

beri tahu kita ke mana air matanya mengalir. Kesengsa-

raannya bukanlah berasal dari dunia, namun  dia berduka 

sebab  menurut kehendak Allah, menangis di hadapan 

TUHAN, dan mempersembahkan kepada-Nya korban hati 

yang hancur. Perhatikanlah, bahkan air mata, saat  diku-

duskan bagi Allah, dapat memberikan kelegaan kepada 

jiwa yang tertekan. Dan jika manusia meremehkan kese-

dihan kita, kita boleh merasa terhibur, bahwa Allah meng-

hargainya.  

(2) Bahwa pada waktunya Allah akan membuktikan dia tidak 

bersalah (ay. 21): supaya Ia memutuskan perkara antara 

manusia dengan Allah! Ia yakin sekarang pun ia dapat 

memperoleh kebebasan dari Allah, sama seperti manusia 

mendapat kebebsan dari hakim di dunia ini, dan sebab  itu 

ia tidak ragu membawa perkaranya kepada-Nya, yang 

yaitu  Hakim sekaligus Saksi atas ketulusannya. Bahasa 

harapan ini mirip seperti di dalam Yesaya 50:7-8, bahwa 

aku tidak akan mendapat malu sebab Dia yang menyatakan 

aku benar telah dekat. Beberapa penafsir memberi arti Injili 

pada ayat ini dan teks aslinya memang sangat dekat de-

ngan makna itu. Dan Ia memutuskan perkara yaitu ada se-

seorang yang akan memutuskan, antara manusia dengan 

Allah, dan bahkan Anak Manusia bagi para sahabat-Nya 

atau sesamanya. Orang-orang yang menumpahkan air 

mata di hadapan Allah, kendati mereka tidak dapat memu-

tuskan perkara bagi diri sendiri, sebab  jarak dan keku-

rangan mereka, memiliki seorang sahabat untuk membela 

mereka, yaitu Anak Manusia, dan berdasarkan hal ini kita 

harus mendasarkan semua harapan kita bahwa kita di-

terima oleh Allah.  

IV. Ia memiliki suatu harapan akan kematian yang akan mengakhiri 

semua penderitaannya. Ia memiliki keyakinan yang begitu kuat 

terhadap Allah, hingga ia bergembira saat memikirkan kedatang-

an kematiannya yang mendekat. sebab  saat kematian itu ia di-

tentukan untuk hidup kekal, dan ia tidak ragu lagi keadaannya 

akan menjadi baik saat itu. saat  sedikit jumlah tahun itu datang 

(jumlah tahun yang ditentukan dan ditetapkan bagiku), maka aku 

pun akan menempuh jalan, dari mana aku tak akan kembali 

lagi. Perhatikanlah,  

1. Mati yaitu  menempuh jalan ke mana kita tidak akan kembali 

lagi. Kematian yaitu  menempuh suatu perjalanan, suatu per-

jalanan yang panjang, suatu perjalanan untuk selama-lama-

nya, untuk berpindah dari sini ke negeri yang lain, dari dunia 

jasmani ke dunia roh. Kematian yaitu  suatu perjalanan ke 

rumah yang kita rindukan. Tidak akan ada lagi jalan untuk 

kembali ke dalam keadaan kita di dunia ini atau untuk kem-

bali mengubah keadaan kita di dunia lain.  

2. Kita semua pasti, dan sangat segera, menempuh perjalanan 

ini. Dan berbahagialah orang yang selalu menjaga hati nurani 

yang baik untuk memikirkannya, sebab itulah yang menjadi 

mahkota kelurusan hati mereka. 

 

  

PASAL 17  

Dalam pasal ini, 

I. Ayub merenungkan kecaman keras yang dilontarkan saha-

bat-sahabatnya kepadanya. Ia memandang dirinya sudah 

mendekati ajal (ay. 1). Ia berseru kepada Allah dan memohon 

kepada-Nya agar segera tampil baginya dan membenarkan-

nya, sebab  mereka telah memperlakukannya dengan salah, 

sedangkan ia tidak tahu bagaimana harus membenarkan 

dirinya sendiri (ay. 2-7). Namun, ia juga berharap bahwa 

kalaupun harus menjadi kejutan baginya, janganlah hal itu 

menjadi batu sandungan bagi orang-orang baik sebab  meli-

hat dirinya diperlakukan sekeji itu (ay. 8-9). 

II.  Ayub merenungkan pengharapan-pengharapan palsu yang 

disodorkan para sahabatnya itu kepadanya, bahwa ia akan 

melihat hari-hari baik lagi. Ini menunjukkan bahwa hidupnya 

akan segera berakhir, dan bersama tubuhnya, semua peng-

harapannya akan terkubur di dalam debu (ay. 10-16). sebab  

merasa bahwa sahabat-sahabatnya bagaikan orang asing, 

yang membuatnya sangat bersedih, Ayub merasa dekat de-

ngan kematian dan kubur, dan hal ini memberinya sedikit 

penghiburan. 

Keadaan Ayub yang Menyedihkan;  

Kebaikan dari Masalah-masalahnya  

(17:1-9) 

1 Semangatku patah, umurku telah habis, dan bagiku tersedia kuburan.  

2 Sesungguhnya, aku menjadi ejekan; mataku terpaksa menyaksikan tan-

tangan mereka. 3 Biarlah Engkau menjadi jaminanku bagi-Mu sendiri! Siapa 

lagi yang dapat membuat persetujuan bagiku? 4 sebab  hati mereka telah 

Kaukatupkan bagi pengertian; itulah sebabnya Engkau mencegah mereka 

untuk menang. 5 Barangsiapa mengadukan sahabatnya untuk mencari ke-

untungan, mata anak-anaknya akan menjadi rabun. 6 Aku telah dijadikan 

sindiran di antara bangsa-bangsa, dan aku menjadi orang yang diludahi 

mukanya. 7 Mataku menjadi kabur sebab  pedih hati, segala anggota tubuh-

ku seperti bayang-bayang. 8 Orang-orang yang jujur tercengang sebab  hal 

itu, dan orang yang tidak bersalah naik pitam terhadap orang fasik. 9 Meski-

pun begitu orang yang benar tetap pada jalannya, dan orang yang bersih 

tangannya bertambah-tambah kuat. 

Tutur kata Ayub di dalam perikop ini agak kacau dan terpotong-

potong. Dengan tiba-tiba ia beralih dari satu pokok pembicaraan ke 

pokok lain, yang lazim terjadi pada orang yang sedang merasa ter-

tekan. Meskipun begitu, kita dapat menyingkat apa yang dikatakan 

dalam perikop di atas ke dalam tiga pokok: 

I. Keadaan menyedihkan yang sedang dialami Ayub yang malang 

itu, dan yang digambarkannya untuk menekankan kekasaran si-

kap sahabat-sahabatnya terhadap dirinya, dan untuk membenar-

kan keluh kesahnya sendiri. Mari kita lihat seperti apa perkara-

nya. 

1. Ayub orang yang sudah mendekati ajal (ay. 1). Ia berkata sebe-

lumnya (16:22), “sebab  sedikit jumlah tahun yang akan 

datang (KJV: saat  sedikit jumlah tahun tiba), aku akan menem-

puh jalan yang panjang itu.” Namun, di sini ia meralat perkata-

annya sendiri. “Mengapa aku berbicara tentang jumlah tahun 

yang akan datang? Wahai! Aku baru memulai perjalanan itu, 

dan sekarang aku siap diserahkan. Waktu keberangkatanku 

sudah dekat. Semangatku patah, atau sudah hancur. Sema-

ngatku sudah habis, celakalah aku.” Memang baik bagi kita 

untuk memandang diri mendekati ajal, dan terutama memikir-

kan hal itu sementara kita sedang sakit. Kita sedang mende-

kati ajal, yaitu, 

(1) Hidup kita sedang menuju akhir, sebab  napas kehidupan 

itu sedang menuju ke sana. Hidup itu senantiasa maju, 

tidak lebih dari pada embusan nafas yang keluar lewat hi-

dungnya (Yes. 2:22), pintu tempat napas itu masuk (Kej. 

2:7). Napas itu sudah berada di ujung hidung, siap untuk 

berangkat. Mungkin saja penyakit yang dialami Ayub me-

rintangi pernapasannya, sehingga napasnya pendek, dan 

setelah beberapa saat akan berhenti. Kiranya yang diurapi 

TUHAN menjadi nafas hidup kami, dan kiranya napas 

rohani diembuskan ke dalam diri kita, dan napas itu tidak 

akan pernah tercemar. 

(2) Waktu kita sudah hampir berakhir: umurku telah habis, 

padam bagaikan lilin yang sejak pertama kali dinyalakan, 

terus meleleh semakin berkurang dan secara bertahap 

akan habis terbakar dengan sendirinya. Namun, akibat 

berbagai hal tak terduga, nyalanya dapat juga padam. 

Begitu jugalah halnya dengan kehidupan ini. Oleh sebab  

itu menjadi urusan kita untuk dengan hati-hati mengha-

biskan waktu kita dan melewatkannya untuk mempersiap-

kan diri menyambut kekekalan yang tidak akan pernah 

padam. 

(3) Kedatangan kita dinantikan di rumah yang kita rindukan 

itu: kuburan-kuburan tersedia bagiku (KJV). namun , bukan-

kah sebuah kubur saja sudah cukup? Benar, namun di 

sini Ayub berbicara tentang pekuburan nenek moyangnya, 

sebab ke sanalah ia akan dikumpulkan: “Pekuburan tem-

pat mereka dibaringkan telah siap menantiku juga.” Peku-

buran bersama, tempat berkumpulnya orang-orang mati. 

Ke mana pun kita pergi, hanya terdapat satu langkah di 

antara kita dengan kubur. Apa saja boleh belum siap, 

namun  kubur tetap siap. Itu tempat tidur yang segera di-

buat. Apabila kubur sudah siap menanti kita, maka sudah 

menjadi urusan kita untuk mempersiapkan diri masuk 

kubur. Kuburan yang tersedia bagiku (demikianlah mak-

sudnya), tidak saja menandakan penantian, namun  juga 

pengharapan Ayub terhadap kematian. “Urusanku dengan 

dunia telah selesai, dan sekarang tidak ada lagi yang 

kuharapkan selain kubur.” 

2. Ayub orang yang dianggap hina (ay. 6): “Ia” (maksudnya Elifas 

menurut beberapa orang, atau lebih tepatnya Allah, yang sejak 

awal diakui Ayub sebagai sumber celaka yang dialaminya) 

“telah menjadikan aku sindiran di antara bangsa-bangsa, per-

bincangan seluruh negeri, sasaran olok-olok orang banyak, sa-

saran pandangan semua orang, dan menjadikanku orang yang 

diludahi mukanya di hadapan umum, supaya siapa pun yang 

mau, dapat mempermainkanku.” Orang menggubah balada bagi 

Ayub; namanya sudah menjadi sebuah peribahasa, bahkan 

sampai sekarang pun: miskin seperti Ayub. “Aku telah dijadikan 

sindiran,” atau celaan orang, padahal dahulu saat  masih mak-

mur, aku bagaikan rebana deliciæ humani generis – kesayangan 

umat manusia, yang disukai mereka semua. Memang sudah 

lazim bagi orang-orang yang dahulu dihormati sebab  kekayaan 

mereka, kemudian dihina dalam kemiskinan mereka. 

3. Ayub seorang yang penuh duka (ay. 7). Ia begitu banyak mena-

ngis hingga nyaris kehilangan penglihatannya: Mataku menjadi 

kabur sebab  pedih hati. Dukacita dunia mendatangkan kege-

lapan dan kematian (16:16). Ia begitu bersedih hingga seluruh 

dagingnya nyaris habis dan sosoknya menjadi seperti kerang-

ka, tulang berbalut kulit belaka: “Segala anggota tubuhku seper-

ti bayang-bayang. Aku telah menjadi begitu miskin dan kurus 

hingga tidak layak lagi disebut manusia, namun  bayang-bayang 

manusia.”  

II. Perlakuan jahat para sahabat Ayub yang salah melihat kesengsa-

raannya. Mereka menginjak-injaknya, menghinanya, dan meng-

anggap dia orang munafik sebab  ditimpa penderitaan seberat itu. 

Perlakukan yang keras! Sekarang amatilah,  

1. Bagaimana Ayub menggambarkan perilaku itu, dan penjelasan 

yang diberikannya dalam menanggapi pembicaraan mereka de-

ngannya. Ayub memandang dirinya telah diperlakukan dengan 

sangat keji oleh mereka. 

(1) Mereka melecehkan dia dengan kecaman-kecaman buruk, 

menuduhnya sebagai orang jahat, yang pantas dibuat hina 

dan menjadi celaan seperti itu (ay. 2). “Mereka itu para peng-

ejek, yang mencemooh celakaku, dan menghinaku, sebab  

aku direndahkan seperti ini. Mereka bersikap seperti itu ter-

hadapku, memperlakukanku dengan buruk, berpura-pura 

bersahabat saat  mengunjungiku, namun  sesungguhnya ber-

niat buruk terhadapku. Aku tidak bisa melepaskan diri dari 

mereka. Mereka senantiasa mencabik-cabikku, dan tidak 

akan mau tergerak hatinya, baik oleh akal sehat maupun 

rasa iba, sehingga menjatuhkan dakwaan itu.” 

(2) Mereka juga melecehkan dia dengan janji-janji indah, kare-

na tujuan mereka hanyalah untuk mengolok-olok dia. Ayub 

menganggap mereka (ay. 5) sebagai orang-orang yang seka-

dar menyanjung-nyanjung sahabat mereka belaka. Mereka 

semua datang untuk berkabung bersamanya. Elifas meng-

awali dengan memberikan pujian kepadanya (4:3). Mereka 

semua berjanji kepadanya bahwa ia akan bahagia apabila 

bersedia menerima nasihat mereka. Semua ini dianggapnya 

sebagai sanjungan semata, dan dimaksudkan untuk sema-

kin menyakiti hatinya. Ayub menyebut semua perkataan 

ini sebagai ejekan mereka belaka (ay. 2). Mereka berusaha 

sebisa-bisanya untuk memanas-manasi hatinya, dan sesu-

dah itu menyalahkan dia sebab  menjadi marah. Sebalik-

nya, Ayub menganggap dirinya patut dimaafkan selama 

matanya terpaksa menyaksikan tantangan mereka. Tantang-

an itu, untuk memanas-manasi hatinya, tidak pernah ber-

henti, dan ia tidak dapat melepaskan pandangannya darinya. 

Perhatikanlah, sikap kejam orang-orang yang menginjak-

injak sahabat mereka di tengah penderitaan, yang meng-

olok-olok dan kemudian memperlakukan mereka dengan 

keji, sudah cukup untuk bisa mencobai, kalau bukan mele-

lahkan, kesabaran orang, bahkan Ayub sendiri. 

2. Bagaimana Ayub mengecam perlakuan mereka itu.  

(1) Perlakuan mereka itu merupakan tanda bahwa hati mereka 

telah dikatupkan bagi pengertian (ay. 4). Dalam perkara ini 

mereka telah kehilangan akal sehat, dan bahwa hikmat 

mereka yang dahulu telah undur dari diri mereka. Hikmat 

merupakan pemberian Allah, yang diberikan-Nya kepada 

beberapa orang dan ditahan-Nya bagi yang lain, dikarunia-

kan-Nya pada suatu waktu, dan pada waktu lain Ia mena-

hannya. Orang-orang yang tidak memiliki belas kasihan, 

juga tidak memiliki pengertian. Apabila tidak terdapat ke-

lembutan hati dalam diri seseorang, patut dipertanyakan 

apakah terdapat pengertian di dalam dirinya. 

(2) Perlakuan mereka itu akan menjadi celaan mereka untuk 

seterusnya dan menurunkan derajat mereka: itulah sebab-

nya Engkau mencegah mereka untuk menang. Orang-orang 

dengan hati yang dikatupkan bagi pengertian pasti akan 

dijauhkan dari kehormatan. saat  Allah menghilangkan 

akal sehat manusia, Ia akan merendahkan mereka. Sudah 

barang tentu orang-orang yang nyaris tidak mengenal cara-

cara Penyelenggaraan Allah tidak akan memperoleh kehor-

matan untuk mengambil keputusan dalam perselisihan ini! 

Kehormatan itu disediakan bagi orang yang mempunyai pe-

rasaan dan watak yang lebih baik, misalnya seperti Elihu, 

yang tampil demikian di kemudian hari. 

(3) Perlakuan mereka itu akan membawa kutukan ke atas ke-

luarga mereka. Orang yang melanggar hukum kudus persa-

habatan seperti itu akan kehilangan manfaatnya. Tidak 

saja bagi dirinya sendiri, namun  juga bagi keturunannya: 

“Bahkan mata anak-anaknya akan menjadi rabun, dan apa-

bila mereka mencari pertolongan serta penghiburan dari 

para sahabat mereka dan sahabat ayah mereka, mereka 

akan mencari dengan sia-sia seperti yang telah kualami, 

dan merasa sangat kecewa seperti aku kecewa terhadap-

mu.” Perhatikanlah, orang-orang yang memperlakukan se-

sama mereka dengan keji, tanpa sadar pada akhirnya akan 

mendatangkan perlakuan yang lebih buruk lagi kepada 

anak-anak mereka sendiri. 

3. Bagaimana Ayub mengalihkan seruannya dari para sahabat-

nya kepada Allah (ay. 3): Biarlah Engkau menjadi jaminanku 

bagi-Mu sendiri. Artinya, “Biarlah aku mendapat jaminan bah-

wa Allah akan mendengarkan dan memutuskan perkara ini 

sendiri, maka aku tidak menginginkan apa pun lagi. Biarlah 

seseorang mengikutsertakan Allah untuk menangani persoalan 

ini.” Demikianlah orang-orang yang tidak dituduh oleh hati 

nurani mereka memiliki keyakinan terhadap Allah. Dengan ke-

rendahan hati dan keberanian serta rasa percaya, mereka da-

pat memohon Dia memeriksa dan menguji mereka. Beberapa 

penafsir berpendapat bahwa di sini Ayub memandang kepada 

pengantaraan Kristus, sebab  ia berbicara tentang kepastian 

bersama Allah. Tanpa Dia, Ayub tidak berani menghadap 

Allah, atau mengajukan perkaranya ke pengadilan-Nya. Sebab, 

meskipun tuduhan sahabat-sahabatnya terhadap dirinya itu 

sepenuhnya palsu, namun ia tidak dapat membenarkan diri 

sendiri di hadapan Allah kecuali melalui seorang pengantara. 

Keterangan dalam bahasa Inggris tentang ayat ini juga me-

ngandung arti seperti itu: “Kumohon kepada-Mu, biarlah Eng-

kau menjadi jaminanku bagi-Mu sendiri, yaitu Kristus yang ber-

ada bersama-Mu di sorga dan telah menjadi jaminanku. Biar-

lah Ia mengajukan perkaraku dan membelaku. Maka siapa lagi 

yang dapat membuat persetujuan bagiku? Artinya, “Maka siapa 

pula yang berani menghadapiku? Siapa yang akan mengaju-

kan tuntutan kepadaku apabila Kristus menjadi pembelaku?” 

(Rm. 8:32-33). Kristus merupakan kepastian jaminan yang 

lebih kuat (Ibr. 7:22), jaminan ketetapan Allah. Dan, apabila Ia 

menjamin kita, maka kita tidak perlu takut kepada apa pun 

yang melawan kita. 

III. Pelajaran yang harus diambil orang benar dari penderitaan Ayub 

yang diterimanya dari Allah, dari musuh-musuhnya, dan dari sa-

habat-sahabatnya (ay. 8-9). Amatilah di sini, 

1. Bagaimana orang-orang kudus digambarkan. 

(1) Mereka yaitu  orang-orang yang jujur, tulus dan bersung-

guh-sungguh. Mereka bertindak berdasarkan pegangan hati 

yang tetap, tidak menyimpang. Seperti inilah tabiat Ayub 

(1:1), dan boleh jadi ia berbicara tentang orang-orang jujur, 

terutama yang pernah dekat dengannya. 

(2) Mereka yaitu  orang-orang yang tidak bersalah. Tidak ber-

arti mereka sama sekali tidak pernah bersalah, namun  mere-

ka berusaha keras dan bertekad untuk tidak berbuat salah. 

Ketulusan hati merupakan keadaan tidak bersalah yang 

bersifat Injili, dan orang-orang yang jujur disebut bebas 

dari pelanggaran besar (Mzm. 19:14). 

(3) Mereka yaitu  orang-orang yang benar, yang berjalan me-

nurut jalan yang benar. 

(4) Mereka yaitu  orang yang bersih tangannya, bersih dari 

pencemaran dosa besar, dan saat  dinodai dengan kele-

mahan, dibasuh tangannya tanda tak bersalah (Mzm. 26:6). 

2. Bagaimana mereka seharusnya tersentuh mendengar penutur-

an perihal kesesakan yang dialami Ayub. Tidak perlu diragu-

kan lagi bahwa banyak pertanyaan akan timbul berkenaan de-

ngan dirinya, dan semua orang akan membicarakan dia serta 

perkaranya. Manfaat apa yang bisa ditarik orang-orang baik 

dari peristiwa ini? 

(1) Hal itu akan mencengangkan mereka: Orang-orang yang 

jujur tercengang sebab  hal itu. Mereka akan bertanya-ta-

nya saat mendengar betapa orang sebaik Ayub harus ditim-

pa kemalangan seberat itu, yang mengena tubuh, nama 

baik, serta kekayaannya. Betapa Allah sampai menekankan 

tangan dengan begitu berat ke atasnya, dan betapa saha-

bat-sahabat yang seharusnya menghibur dia, justru me-

nambah kesedihannya. Betapa seorang kudus yang luar 

biasa ini harus menderita seperti itu, dan seorang yang 

sangat berjasa seperti dia justru disingkirkan di tengah 

kegunaannya. Apa yang harus kita katakan terhadap hal-

hal ini? Orang-orang jujur, walaupun secara umum yakin 

bahwa Allah bijaksana dan kudus dalam segala sesuatu 

yang dilakukan-Nya, mau tidak mau akan tercengang juga 

melihat cara tindakan Allah semacam itu. Hal yang seolah-

olah tampak bertentangan ini tidak akan tersingkap sampai 

rahasia Allah selesai terjadi. 

(2) Peristiwa Ayub ini akan mendorong semangat orang benar 

untuk bertindak. Alih-alih mundur dan tawar hati untuk 

melayani Allah, begitu melihat perlakuan keras yang di-

alami hamba Allah yang setia ini, mereka justru akan se-

makin berani maju terus dan bertekun dalam pelayanan 

mereka kepada-Nya. Hal yang menjadi perhatian Paulus 

(1Tes. 3:3) juga merupakan perhatian Ayub, yaitu supaya 

jangan ada orang yang menjadi goyah, baik dalam hal 

kekudusan maupun penghiburan akibat kesusahan-kesu-

sahan ini. Janganlah seorang pun sebab  hal-hal ini lalu 

berpikir buruk tentang jalan-jalan atau pekerjaan Allah. 

Hal yang menjadi penghiburan bagi Paulus juga merupa-

kan penghiburan bagi Ayub, yakni bahwa kebanyakan sau-

dara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan sebab  pe-

menjaraannya (Flp. 1:14). Dengan peristiwa yang menimpa 

Ayub ini, semua orang benar hendaknya terdorong,  

[1] Untuk melawan dosa dan menentang kesimpulan-

kesimpulan cemar dan jahat yang ditarik orang-orang 

fasik dari penderitaan Ayub. Misalnya bahwa Allah telah 

meninggalkan bumi, bahwa percuma saja melayani Dia, 

dan sejenisnya: orang yang tidak bersalah naik pitam 

terhadap orang fasik. Mereka tidak akan tahan mende-

ngar hal ini (Why. 2:2), namun  akan menghadapi mereka. 

Mereka akan berupaya menyelidiki apa makna dari 

penyelenggaraan Allah semacam ini, serta mempelajari 

pasal-pasal yang sukar ini untuk dibaca dengan cermat. 

Mereka akan terdorong untuk membela perkara agama 

yang benar yang disalahi dengan melawan semua pe-

nentangnya. Perhatikanlah, keberanian orang-orang du-

niawi dalam  menyerang agama sudah seharusnya me-

ningkatkan keberanian dan kebulatan hati semua saha-

bat dan pembela agama. Sudah tiba waktunya untuk 

bertindak saat diumumkan di pintu gerbang perkemah-

an, Siapa yang memihak kepada TUHAN? saat  per-

buatan jahat tampil dengan berani, tidak ada waktu lagi 

bagi kebajikan untuk bersembunyi sebab  rasa takut. 

[2] Untuk bertekun dalam agama. Orang yang benar, alih-

alih mundur atau beranjak pergi, saat melihat peman-

dangan mengerikan ini, atau berdiam diri untuk me-

nimbang-nimbang apakah maju terus atau tidak (kait-

kan dengan 2Sam. 2:23), akan tetap pada jalannya de-

ngan semakin teguh serta tegas, dan mendesak maju. 

“Walaupun ia sudah memperkirakan lebih dahulu bah-

wa penjara dan sengsara menunggunya, ia tidak meng-

hiraukan nyawanya sedikitpun” (Kis. 20:24). Orang-orang 

yang tetap memandang sorga sebagai tujuan akhir mere-

ka, akan tetap menjadikan agama sebagai jalan hidup 

mereka, apa pun kesukaran dan keputusasaan yang me-

reka hadapi di dalamnya. 

[3] Untuk kemudian bertumbuh di dalam kasih karunia. 

Apa pun yang terjadi, orang benar tidak saja tetap pada 

jalannya, malah semakin bertambah-tambah kuat. De-

ngan melihat pencobaan orang-orang lain dan penga-

lamannya sendiri, ia menjadi lebih giat dan bersema-

ngat melaksanakan kewajibannya, lebih hangat dan 

penuh kecintaan, serta lebih bertekad dan tidak gentar. 

Semakin buruk orang lain, semakin menjadi lebih baik 

ia. Apa yang mencemaskan orang lain, justru membuat-

nya berbesar hati. Angin yang bertiup kencang membuat 

pelancong merapatkan jubahnya dengan lebih erat. Ba-

rang siapa benar-benar bijaksana dan baik, ia akan se-

nantiasa bertumbuh semakin bijak dan baik. Kecakap-

an dalam beragama dan beribadah merupakan tanda 

baik adanya kesungguhan dan ketulusan hati di dalam-

nya. 

Ayub Menegur Ketiga Sahabatnya;  

Kesia-siaan Pengharapan Duniawi 

(17:10-16) 

10 namun  kamu sekalian, silakan datang kembali! Seorang yang mempunyai 

hikmat takkan kudapati di antara kamu! 11 Umurku telah lalu, telah gagal 

rencana-rencanaku, cita-citaku. 12 Malam hendak dijadikan mereka siang: 

terang segera muncul dari gelap, kata mereka. 13 Apabila aku mengharapkan 

dunia orang mati sebagai rumahku, menyediakan tempat tidurku di dalam ke-

gelapan, 14 dan berkata kepada liang kubur: Engkau ayahku, kepada berenga: 

IArtikel  dan saudara perempuanku, 15 maka di manakah harapanku? Siapakah 

yang melihat adanya harapan bagiku? 16 Keduanya akan tenggelam ke dasar 

dunia orang mati, apabila kami bersama-sama turun ke dalam debu.” 

Sahabat-sahabat Ayub berpura-pura menghibur dia dengan pengha-

rapan bahwa ia akan kembali kepada masa kemakmurannya. Namun 

dalam perikop ini ia menunjukkan, 

I.   Bahwa sungguh bodoh mereka berkata demikian (ay. 10): “Silakan 

datang kembali. Yakinlah bahwa kamu sekalian keliru, biarkan aku 

membujukmu mempercayai kata-kataku. sebab  seorang yang 

mempunyai hikmat takkan kudapati di antara kamu, yang tahu 

bagaimana menjelaskan sulitnya penyelenggaraan Allah atau ba-

gaimana menerapkan penghiburan janji-janji-Nya.” Orang tidak 

berlaku bijaksana dalam menghibur mereka yang menderita, jika 

penghiburan yang mereka berikan didasarkan pada kemungkinan 

bahwa keadaan orang itu akan pulih dan pada kelegaan duniawi 

semata. Memang kita tidak boleh berputus asa, namun penghi-

buran semacam itu sama sekali tidaklah pasti. sebab  kalau janji 

seperti itu gagal, yang mungkin terjadi, maka penghiburan yang 

didasarkan atas hal itu akan gagal juga. Oleh sebab  itu, bijaklah 

kita jika menghibur diri dan orang lain yang sedang mengalami 

kesesakan, dengan sesuatu yang tidak akan gagal, yaitu janji 

Allah, kasih dan kasih karunia-Nya, serta pengharapan akan 

kehidupan kekal yang kuat dasarnya. 

II. Bahwa Ayub akan jauh lebih bodoh apabila ia memperhatikan 

perkataan mereka, sebab, 

1. Semua kehidupan Ayub telah runtuh dan ia berada dalam 

kebingungan luar biasa (ay. 11-12).