Konsep Kerajaan Allah merupakan tema utama Yesus dalam pewartaan- Nya. Namun tema
konsep Kerajaan Allah yang diusung Yesus berbeda dengan konsep Kerajaan Allah yang telah
hidup mapan dalam diri pendengar- Nya. Oleh karena itu Yesus disebut meradikalkan makna
Kerajaan Allah yang Dia usung dari konsep yang telah dipahami secara apriori oleh orang-
orang yang hidup di zaman Yesus. Kerajaan Allah yang umumnya dipandang bersifat
eskatologis, disampaikan Yesus telah hadir bersama- sama dengan kehadiran- Nya. Yesus
bahkan menghadirkan Kerajaan Allah itu dalam praksis sosial yang nyata. Untuk itu gereja
sebagai alat Allah menyatakan Kerajaan- Nya di tengah dunia tidak dapat terlepas dari tema
ini, bahkan tema Kerajaan Allah harus menjadi pijakan utama atau dasar gereja dalam
melaksanakan- Nya. Sebab jika tidak demikian gereja tidak mungkin dapat terpisah dari
Kristus dan apa yang dikerjakan- Nya di tengah dunia. Atas dasar ini penulis ingin mengetahui
bagaimana arah menggereja GKPI secara khusus GKPI Yogyakarta sebagai tempat penelitian
penulis. Penulis ingin melihat arah menggerejanya apakah masih berpijak pada dasar yang
ditetapkan oleh Allah melalui Kristus sesuai dengan konsep Kerajaan Allah atau telah
bergeser arah. Hal itu akan coba disingkapkan melalui pertanyaan- pertanyaan penelitian
seputar konsep Kerajaan Allah yang dimengerti oleh jemaat, konsep tentang gereja yang baik
dan bagaimana pandangan mereka tentang kepedulian sosial yang ada di Indonesia khususnya
Kerajaan Allah adalah tema yang telah digeluti sejak jaman penulisan Alkitab hingga jemaat
hari ini. Tema tersebut menjadi sedemikian luas, dibahas dari berbagai perspektif, sehingga
setiap orang bisa memiliki interpretasinya sendiri. Jemaat hari ini tidak hanya mendapatkan
gambaran mengenai Kerajaan Allah dari Alkitab saja, tetapi sudah bercampur, dipengaruhi,
dan berkembang luar biasa dengan konsep sorga dari tradisi agama- agama lain, dogma, ilmu
pengetahuan, hingga pengalaman pribadi. Karena itu kadang pemahaman Kerajaan Allah
menjadi sedemikian apriori dan jamak.
Secara biblis, Yesus sendiri tidak pernah memberi defenisi yang terang tentang apa itu
Kerajaan Allah.1 Oleh karenanya pemahaman Yesus tentang Kerajaan Allah telah menuntun
perdebatan dari abad ke abad.2 Bahkan para penulis Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru sekalipun, tidak memberikan gambaran yang tunggal, jelas, dan tepat
berkelanjutan dari masa ke masa. Namun ketidakgamblangan pendefenisian yang diberikan
oleh Yesus dan keragaman tulisan para penulis Alkitab tidak menutup upaya untuk memahami
arti dan tujuan dari kehadiran Kerajaan Allah tersebut. Sebagaimana dikatakan Donald B
Kraybill, bahwa definisi untuk istilah ini tidak bisa kaku, melainkan luas dan banyak arti.3
Ada yang berpendapat bahwa Kerajaan Allah berarti pemerintahan atau kekuasaan
Allah yang dinamis. Pengertian ini hendak menekankan kegiatan pemerintahan Allah, bukan
tentang wilayahnya. Dan tampaknya pendapat tentang ini paling umum ditemukan 4 .
Sementara di pihak lain ada yang menghubungkan Kerajaan Allah dengan zaman parousia.
Namun, hal pertama yang paling jelas bisa didapatkan di sini adalah bahwa konsep Kerajaan
Allah tidak tunggal, namun dalam ketidaktunggalan tersebut, bisa jadi ada ide substansial
yang terus- menerus hidup sehingga tema ini terus hidup dari masa ke masa.
Dari sini kita akan mencoba melihat beberapa pendapat para ahli mengenai arti Kerajaan Allah
dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sampai pada pemaknaannya dalam kehidupan
gereja saat ini hingga membentuk pendapat jemaat mengenai Kerajaan Allah, baik secara
definitif maupun implikatif. Kita tidak sedang mencari tekanan mana yang paling benar, tapi
sekurang- kurangnya tulisan ini hendak menemukan bagaimana konsep Kerajaan Allah ini
berkembang dan dihayati oleh jemaat hari ini.
1.1.1 KERAJAAN ALLAH DALAM DUNIA PERJANJIAN LAMA
Sebagaimana yang dikatakan oleh George V. Pixley , bahwa ide Kerajaan Allah berakar dalam
Perjanjian Lama, sehingga Yesus sebenarnya tidak mewartakan sesuatu yang baru, tetapi
mewartakan harapan yang telah mempunyai sejarah dalam Israel.5 Dalam Alkitab dikisahkan
bahwa pada awalnya, Israel kuno memahami konsep kerajaan dalam dirinya berbeda dengan
kerajaan- kerajaan di dunia lainnya yang menginginkan seorang raja untuk memerintah.
Mereka amonarki atau anti kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Orang Israel
menginginkan Allah sendirilah yang memerintah. Kerajaan Israel pada dasarnya adalah
Kerajaan Yahweh. Pixley menilai bahwa bagi Israel kuno, Kerajaan Yahweh mempunyai arti
politis, yaitu mengesampingkan semua penguasa manusiawi. Sehingga penolakan kerajaan
manusiawi inilah yang membedakan Israel dari para tetangganya,6 sebab kerajaan bangsa-
bangsa lain dipimpin manusia. Secara ringkas kita dapat melihatnya melalui teks Gideon
dalam Hak Hak 8:22 - 23:
Kemudian berkatalah orang Israel kepada Gideon: “Biarlah engkau memerintah kami, baik engkau,
baik anakmu maupun cucumu, sebab engkaulah yang telah menyelamatkan kami dari tangan orang
Midian.” Jawab Gideon kepada mereka: “Aku tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan
memerintah kamu, tetapi TUHAN yang memerintah kamu.”
Pengamatan Pixley ini menarik, mengingat bahwa dulunya Israel pernah meminta raja
setelah mereka menyadari bahwa hanya dengan suatu organisasi yang baik dan suatu angkatan
perang yang terlatih dan berdisiplin tinggi musuh- musuh dapat dikalahkan.7
Gambaran tentang keterik atan Kerajaan Allah atau Kerajaan Yahweh dengan Kerajaan
Israel tergambar dalam pendapat Groenen 8 . Dia menyatakan bahwa ketika Kerajaan Israel
terbentuk pada tahun 1050 SM, tata masyarakat Israel sama sekali mengalami perubahan
dalam pemahaman dan iman mereka tentang Allah. Pemahaman tersebut menentukan
kedudukan raja. Raja Israel yang sebenarnya ialah Allah perjanjian. Allah menyatakan
kehendakNya melalui hukum negara. Allah memerintah umatNya dengan kuasa dan
wewenang yang jauh melebihi wewenang dan kuasa seorang kepala suku. Kekuatan Allah lah
yang menjadikan raja pemenang dalam perang. Raja manusiawi hanya lah wakilNya yang
bertugas untuk menjamin terlaksananya perjanjian Israel dengan Allah. Karena itu pemilihan
seorang raja pada mulanya ditentukan dan ditahbiskan oleh seorang nabi Allah. Relasi antara
nabi, imam, dan penguasa kerajaan akhrnya menjadi tradisi kehidupan Israel. Posisi raja
berada dalam penguasaan Allah, maka raja wajib memerintah dan melindungi rakyatnya
sebagai wakil dan kuasa Allah melulu. Raja Israel sebagai wakil Allah tentu saja seorang yang
dianggap ‘kudus’. Tetapi raja Israel tidak pernah didewakan, seperti sering terjadi pada
bangsa- bangsa lain. Kuasa raja Israel tidak pernah mutlak, tetapi selalu terikat oleh kehendak
Allah yang dinyatakanNya melalui hukum- hukumNya.
Darmawijaya juga menyatakan bahwa keinginan ini secara politis mungkin bisa
diterima, tetapi tidak demikian mudah secara religius, karena Israel mengakui hanya Allah lah
raja yang sesungguhnya. Dialah yang membimbing Israel dalam kehidupan dan perjuangan
mereka setiap saat. Maka bisa dipahami ada diskusi antara yang mendukung dan menolak
institusi itu. Hal itu bisa dilihat dalam 1 Sam 8; 10:17 - 24; 12. Kendati adanya pelbagai macam
keberatan, toh akhirnya kerajaan dibangun. 9 Bagi Pixley, inilah yang luput dari pandangan
para ahli, bahwa sikap awal penolakan seorang raja di Israel sesungguhnya memiliki maksud
politis.10 Kerajaan Israel yang dibangun pada akhirnya adalah sebuah upaya negosiasi antara
kebutuhan politis pragmatis, dengan sikap politis religius Israel tentang pemerintahan Allah.
Fuellenbach juga menyoroti bahwa pilihan pemerintahan seperti ini dikarenakan
bangsa Israel memahami bahwa dari awal mereka dipanggil keluar adalah sebagai ‘komunitas
kontras’. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan bangsa lain di sekitarnya yang
dipimpin seorang raja. Bentuk pemerintahan mereka didasarkan pada masyarakat egaliter.
Mereka tidak akan diperintah dengan kuasa, penindasan dan ketergantungan, tetapi dengan
keadilan dan kasih.11 Dari sini terbaca bahwa mereka mengingat keadaan mereka di bawah
pemerintahan di Mesir, di mana ada sistem raja dan budak, sehingga mereka tidak ingin
kembali pada masa seperti itu. Oleh karenanya membaca Kerajaan Allah pada Israel kuno
tidak terlepas pada muatan historis politiknya.
Sayangnya kemudian apa yang mereka takutkan kembali terjadi. Setidaknya hal itu
mulai terlihat pada masa pemerintahan Salomo. Salomo membuat Israel kembali menjadi
masyarakat Firaun (baca: sistem raja dan budak),12 walau sebenarnya hal ini pada jauh- jauh
hari telah diingatkan oleh nabi Samuel jika ingin memiliki seorang raja.13
Raja Salomo mengerahkan orang rodi dari antara seluruh Israel, maka orang rodi itu
ada tiga puluh ribu orang. Ia menyuruh menyuruh mereka ke gunung Libanon,
sepuluh ribu orang dalam sebulan berganti- ganti: selama sebulan mereka ada di
Libanon, selama dua bulan di rumah. Adoniram menjadi kepala rodi. Lagi pula
Salomo mempunyai tujuh puluh ribu kuli dan delapan puluh ribu tukang pahat di
pegunungan...(1 Raja- raja 5:13- 15)
Dengan berkedok ketaatan kepada Yahweh, Salomo membangun Bait Allah yang
sayangnya dalam praktek pelaksanaannya jelas terkandung unsur perbudakan. Pada awalnya
untuk melakukan pekerjaan- pekerjaan kasar ia menggunakan tenaga orang- orang Kanaan,
namun dia menjadi terlalu ambisius. Ketika rencana- rencana pembangunannya semakin besar,
ia akhirnya merekrut juga orang- orang Israel menjadi pekerja- pekerja rodi dalam proyek-
proyeknya.14 Pixley menggambarkannya demikian: 15
Daud diganti oleh putranya Salomo. Putra Daud ini tidak memiliki kepekaan bapaknya
terhadap nilai- nilai Israel; sebaliknya ia mengidam - idamkan kemewahan seperti lazim dalam
istana- istana wilayah itu. Birokrasi kerajaan meningkat hebat. Pungutan pajak harus diperluas.
Israel pun dikenakan pajak. Salomo membangun negaranya menyerupai negara- negara
Kanaan yang telah ditinggalkan suku- suku Israel. Bahkan melebihi negara- negara itu! Padahal
suku- suku Israel sudah menjauhkan diri dari keadaan- keadaan ala Kanaan! Segala
penyimpangan dari revolusi Israel ini berselubung kemegahan ketaatan terhadap Yahweh.
Salomo membangun sebuah Bait Allah untuk menyembah Yahweh. Kemegahannya dapat
menandingi kemegahan monumen- monumen kerajaan- kerajaan besar Timur Tengah. Untuk
bahan bangunannya, kayu aras didatangkan dari Libanon, perunggu dari tambang Ezion - Seber,
dan emas dari tempat- tempat yang lebih jauh lagi. Belum lagi terhitung batu- batu yang dipahat
dari gunung- gunung Yehuda sendiri (1 Raj 6). Tetapi pekerjaan yang luar biasa ini tidak jadi
dengan sendirinya. Tenaga yang diperlukan sebagiannya adalah tenaga bayaran sedangkan
sebagian lagi tenaga paksaan dari bangsa- bangsa taklukan dan suku- suku Israel sendiri.
Setelah Salomo mangkat, Israel bersatu terpecah menjadi dua kerajaan tersendiri pada
tahun 931 SM. Para penulis Alkitab menyatakan bahwa cikal- bakal perpecahan itu disebabkan
kebijaksanaan politik Salomo, yakni dia terus mencontoh tata- negara luar negeri, khususnya
yang lazim di Mesir. Groenen menyebut bahwa Salomo tidak peduli ak an rasa kesukuan yang
menjadi isu sensitif dalam masyarakat Israel dan tidak menghormati rasa kemerdekaan yang
menjadi warisan suku- suku yang tadinya setengah badui. Groenen menyebutkan bahwa ketika
Salomo membebankan macam- macam pajak dan kerja rodi demi kepentingan negara hal
tersebut bertolak belakang dengan pengalaman Israel melarikan diri dari Mesir demi
kemerdekaan mereka. Ketika mereka memiliki keinginan untuk terlepas dari tekanan
semacam itu, Salomo justru menghadirkannya di negeri mereka sendiri16 . Pemerintahan
Salomo membawa trauma pada pengalaman buruk dalam sejarah Israel kuno.
Hal tersebut diperparah dengan munculnya kalangan baru dalam masyarakat Israel,
yaitu ‘pegawai - pegawai negeri’ yang mengurus negara seolah - olah milik pribadi raja dan
dengan cara Mesir17. Selebihnya pegawai- pegawai negeri itu biasanya orang Yehuda, suku
Salomo sendiri. Hal tesebut melukai perasaan dan menimbulkan kembali persaingan antar
suku. Keadaan masyarakat merosot. Kemakmuran hanya dinikmati sedikit golongan, yaitu
golongan istana serta ‘hamba - hamba raja’, artinya: pegawai negeri. Golongan itu menindas
dan memeras rakyat biasa. Korupsi merambat kemana- mana di kalangan pegawai istana yang
memperkaya dirinya dengan keringat rakyat jelata.
Di bidang keagamaan pun terjadi kemerosotan. Sejak masa Salomo, raja- raja
melupakan kedudukannya sebagai wakil Tuhan dan penjamin perjanjian. Para pegawai dan
hamba raja pun tidak hadir sebagai lembaga eksekutif dan legislatif yang memiliki peran kritis
pada tindakan para raja. Mereka menikmati jabatan dan keuntungan yang didapatkan olehnya
hingga melupakan semangat awal berdirinya kerajaan tersebut. Mereka berhubungan dengan
luar negeri, mengambil begitu saja kebudayaan dan agama mereka, yang bagi orang Israel
adalah agama kafir yang bertentangan dengan Allah. Kadang- kadang raja malah menjadi
pemuja berhala dan dicontoh oleh rakyatnya.
Dari kemerosotan keagamaan ini, muncullah para nabi. Groenen menyatakan
pentingnya para nabi adalah untuk mempertahankan dan memperteguh umat Allah
kepercayaan dan perjanjian dengan Allah. Ketika terjadi ketidaksetiaan pada perjanjian, nabi
tampil untuk menegur dan mengecam umat beserta pemimpin- pemimpinnya.18 Para nabi ini
dengan berani dan pedas mengkritik para raja, menteri, pejabat tinggi dan kaum kaya- raya.
Para imam tidak terluput dari ancamannya, oleh karena imam- imam itu sebenarnya pegawai
negeri dan gampang saja melayani raja. Rakyat biasa pun dicela para nabi, tetapi para nabi
terutama mempersalahkan kalangan atas dalam masyarakat, karena merekalah simbol
pemerintahan Allah di Israel. Rakyat kerap dianggap sebagai korban kebijakan keliru dari para
pemimpin negara. Karena itu para nabi kerap menyuarakan pembelaan pada rakyat kecil,
lemah, dan miskin yang menjadi mangsa penindasan dan pemerasan dari pihak kalangan
atas.19 Suara kenabian yang anti penindasan ini sebenarnya adalah upaya penjagaan tradisi
perjanjian yang hidup sepanjang sejarah Israel, mulai dari keluarnya mereka dari Mesir, pada
masa para hakim, misalnya dalam Hak. 9:7 - 1520 serta pada pidato- pidato nabi Samuel21.
Proyek revolusioner Israel untuk mewujudkan masyarakat persamaan derajat
diputarbalikkan oleh keturunan Daud.22 Bukan hanya Salomo yang berbuat demikian, Pixley
menunjukkan bahwa raja- raja generasi Daud setelah terpecahnya kerajaan Israel menjadi dua
pun tidak hidup menurut cara hidup Daud. Hal ini lantas menjadi tema besar dalam tulisan
para Deuteronomis, Daud menjadi standar ketaatan raja- raja di Israel berikutnya. Ketika para
pelaksana kerajaan justru melakukan kelaliman, para nabi menyuarakan suara- suara
menentang kelaliman. Harapan akan kembalinya pemerintahan kerajaan seperti pada masa
Daud, melahirkan konsep tentang Mesias yang melawan segala bentuk penindasan. Yesaya
menyuarakan dengan keras tentang Mesias ini dalam tulisannya23. Yesaya yang menyaksikan
kemerosotan yang merambat pada umat Allah yang seharusnya ‘kudus’ dengan pedas dan
keras mengecam ketidakadilan dalam masyarakat; ibadat meriah yang tidak disertai kelakuan
yang sepadan. Yang terutama menjadi sasaran kritik nabi Yesaya ialah para pemimpin umat,
raja, imam dan para penguasa. Maka nabi Yesaya menubuatkan penghukuman yang akan
didatangkan Allah yang kudus. Namun demikian Yesaya tetap menaruh pengharapan yang
tak tergoncang. Kalaupun umat mesti menjalani hukumannya, namun tetap akan ada sebuah
‘sisa’ yang selamat. Dalam rangka ini nabi Yesaya juga berbicara tentang keturunan Daud di
masa mendatang. Raja- raja Yehuda yang dialami nabi Yesaya sangat mengecewakan. Tetapi
Tuhan tetap setia pada janjiNya kepada Daud. Karenanya di masa mendatang dari keturunan
Daud akan tampil seorang raja yang memadai cita- cita nabi Yesaya
1.1.2 KERAJAAN ALLAH DALAM PEWARTAAN YESUS
Dalam menyimpulkan arti misi dan pesan Yesus, tergambar bahwa itu dibangun dalam rangka
mewujudkan Kerajaan Allah. Menurut Lukas 4: 18 Yesus sendiri menyatakan, bahwa di dalam
pemberitaan Kerajaan Allah itu terletak tujuan misiNya (pengutusanNya). Oleh karena itulah,
menurut Riiderbos dan Baarlink, Firman Allah yang diberitakanNya disebut juga “Firman
tentang Kerajaan” atau “Perkataan tentang Kerajaan”24 (Matius 13:19: “Kepada setiap orang
yang mendengar Firman tentang Kerajaan Sorga, 25 tetapi tidak mengertinya, datanglah si
jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu: itulah benih yang ditaburkan di
pinggir jalan. ” Namun demikian, seperti telah diterangkan sebelumnya, Yesus dianggap tidak
pernah memberikan defenisi yang pasti apa makna dari Kerajaan Allah yang Dia usung.
Hunter menyikapi pandangan itu dikarenakan Kerajaan Allah itu sendiri sifatnya dinamis.
Pendapat ini mirip dengan yang diterangkan Donald B Kraybill, bahwa definisi untuk istilah
ini tidak bisa kaku, melainkan luas dan banyak arti. Namun Hunter mengungkapkan arti
dinamis yang dia maksudkan secara lebih terperinci, bahwa artinya Allah yang hidup itu
bertindak dalam kuasa kebesaranNya; Allah mengunjungi dan menebus umatNya. 26
Kedinamisan itu sendiri dapat dilihat dari pernyataan- pernyataan Yesus melalui
perumpamaan- perumpamaan yang diusungNya ketika memberikan pengajaran.
Yesus akan memulai perumpamaan itu dengan ungkapan yang karakteristik: Kerajaan
Allah dapat diumpamakan ini atau itu. Yesus mengumpamakan Kerajaan Allah dengan
berbagai cerita, bukan barang. Menurut John Wijngaards, Yesus menggunakan perumpamaan
dengan sengaja untuk membuat kita berpikir. Perumpamaan adalah metafora yang diambil
dari alam atau hidup umum, yang memikat para pendengar karena sifat hidup atau anehnya,
dan membiarkan budi pikiran cukup ragu- ragu tentang penerapan secepatnya untuk
merangsangnya berpikir secara aktif. Dengan membuat kita berpikir tentang pemerintahan
Allah melalui perumpamaan- perumpamaan, Yesus menunjukkan bahwa Kerajaan Allah
adalah sesuatu yang harus ditemukan, sesuatu yang harus tumbuh berkembang dalam diri kita.
Dari sini Wijngaards melihat bahwa Yesus tidak mengkehendaki kita memiliki pemahaman
yang statis tentang Kerajaan Allah, sebab Kerajaan Allah jelas bersifat terbuka bagi Yesus.
Sehingga Wijngaards melihat intinya jelas, yaitu Allah menjadikan bangsa- Nya bebas-
merdeka. Akan tetapi, Yesus tidak menentukan detail- detailnya untuk sepanjang waktu yang
akan datang. Ia menghendaki kita diilhami oleh kiasaan itu sehingga kita dapat senantiasa
memberikan penafsiran yang kreatif, baru tentang tindakan Allah dan jawaban atau tanggapan
25 Di antara Injil- injil, hanya Matius yang memakai istilah Kerajaan Sorga, sedangkan Markus, Lukas
dan Yohanes selalu memakai istilah Kerajaan Allah. Terminologi dalam Matius 19:23 - 23 menunjukkan bahwa
istilah Kerajaan Sorga dan Kerajaan Allah di dalam penggunaannya dapat dipertukar- tempatkan dan tidak ada
perbedaan arti di antara keduanya. Lihat: Leon Morris, New Testament Theology (Grand Rapids , Michigan:
Zondervan, 1986), 127 - 128.
kita sendiri. Keterbukaan kepada apa yang akan datang dan kepada pertumbuhan yang tak
disangka- sangka adalah ciri- ciri Kerajaan Allah sendiri menurut Wijngaards.27
Selain tampaknya disepakati bahwa Kerajaan Allah itu bersifat dinamis sehingga
pemaknaannya menjadi luas, tekanan Kerajaan Allah yang disuguhkan Yesus terlihat sama,
yaitu pada situasi sosial yang memprihatinkan. Ketidakadilan menyeruak dan memperbesar
kesenjangan sosial sekaligus kemiskinan di tubuh bangsa Israel khususnya. Penderitaan itu
disebabkan oleh 3 faktor besar: Pertama, dari pemerintahan Roma sebagai penjajah yang
menindas dan memeras dengan sistem pajaknya yang mencekik seperti pajak tanah, pajak
cacah jiwa dan pajak penjualan, bea cukai pada impor maupun ekspor; Kedua, adalah
kerakusan kaum Herodes. Penindasan ini paling dirasakan di Galilea, daerah Yesus mengajar.
Herodes diperkirakan memiliki separuh sampai dua per tiga dari seluruh tanah, di antaranya
ada yang dirampas begitu saja. Akibatnya kebanyakan petani hanya memiliki bidang tanah
yang kecil yang hasilnya terlalu sedikit untuk hidup dengan wajar. Sementara itu ada yang
hanya bisa menjadi buruh harian, dengan gaji sedikit dan sama sekali tidak mencukupi;
Ketiga, adalah tuan tanah Israel yang kaya raya. Banyak di antara mereka berasal dari
sekelompok keluarga yang anggotanya diangkat oleh Roma sebagai Imam Agung. Oleh
karena daerah kanisah berada di bawah kekuasaan Imam Agung, maka mereka memungut
retribusi dari usaha- usaha yang berlangsung di daerah tersebut. Keuntungan ini merupakan
tambahan pada penghasilan para imam dari korban- korban yang dipersembahkan dalam
rumah Tuhan. Dalam konteks ini lah Kerajaan Allah yang diserukan Yesus itu berbicara. Oleh
karenanya pewartaan kabar gembira tentang Kerajaan Allah oleh Yesus ditujukan secara
khusus kepada kaum miskin dan kaum yang tertindas oleh situasi itu.28 Albert Schweitzer
menggambarkan bahwa melalui pengajaran dan tindakan- Nya tentang Kerajaan Allah yang
sedemikian, Yesus sedang menunjukkan suatu tindakan etis.29
Choan Seng Song juga menyoroti hal yang sama: bahwa pewartaan Kerajaan Allah
tersebut dalam konteks kepedulian kepada yang menderita. Yesus yang berbicara langsung
kepada para petani miskin dan orang- orang yang tersingkir secara sosial- keagamaan
dianggapnya merupakan hal yang baru dan luar biasa. Setidaknya dalam Lukas 6:20; Matius
5:3 sebagai salah satu ucapan Yesus yang terkenal itu : “ Berbahagialah, hai kamu yang
miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. ” tergambarlah sikap keberpihakan
itu.30
Para guru agama masyarakat terpinggirkan tidak pernah mengajarkan seperti yang
Yesus ajarkan. Biasanya dipahami bahwa Kerajaan Allah adalah milik bangsa mereka ketika
bangsa itu dipulihkan kepada keagungannya di masa lampau. Hanya pada saat itu lah Kerajaan
Allah akan menjadi milik mereka. Jika Kerajaan Allah dipahami demikian, maka Kerajaan
Allah akan menjadi sesuatu yang jauh dari konteks real kehidupan orang miskin dan
menderita. Kerajaan Allah yang demikian, sekalipun bisa berdampak pada orang miskin dan
menderita, tetaplah monopoli kelompok Israel yang kuat dan berpengaruh. Kelompok yang
menderita semata- mata akan menjadi obyek atau paling tidak penerima konsekuensi dari
keputusan politis orang- orang di atasnya. Allah yang demikian tidak cukup arif kepada
kelompok menderita. Tetapi dengan mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah milik mereka,
Choan Seng Song menilai bahwasanya Yesus mengukuhkan hubungan yang langsung antara
Kerajaan Allah dan orang banyak: khususnya laki- laki, perempuan, dan anak- anak mereka
yang tertindas, tereksploitasi, terinjak- injak, tersingkirkan, orang- orang yang diperlakukan
secara tidak manusiawi dan yang baginya ketidakadilan diberlakukan.31 Bagi Joseph A Grassi,
pewartaan Kerajaan Allah seperti ini mempunyai implikasi duniawi,32 tidak melulu tentang
sesuatu yang supranatural atau yang tak terjangkau.
Praktik memasukkan orang- orang yang tersisih itu sama sekali mengabaikan adat
kebiasaan keagamaan yang ketat, sebab Kerajaan Allah Yesus adalah kerajaan yang ‘radikal’,
di mana sukacita pewartaan dan karya Yesus tidak terbatas oleh tembok- tembok yang dibuat
bahkan oleh tradisi religius yang dianggap sakral sekalipun. Pewartaan dan karya Yesus
adalah Kerajaan Allah itu sendiri. Karena itu bagi Ulrich Beyer, Kerajaan Allah inilah puncak
seluruh pekerjaan Yesus, bahwa orang- orang itu boleh mendengar dan menghayati berita
kesukaan yang justru diperuntukkan bagi mereka.33
1.1.3 GEREJA DAN KERAJAAN ALLAH
Setelah menggali konteks dan makna yang terkandung dalam perjanjian lama dan baru,
sampai lah kita dalam hubungannya dengan gereja. Dalam pikiran sejumlah besar orang
terdapat banyak kerancuan tentang hubungan antara gereja dan kerajaan. Menurut Michael
Griffiths, sebagian orang mengenal kedua kata itu, sebagian lagi lagi membuat kerajaan lebih
luas dari gereja, dan ada pula yang membatasi gereja- gereja kerajaan hanya pada gereja- gereja
yang menikmati semacam disiplin tertentu dan wewenang penggembalaan.34 Atau dengan
kata lain ada yang membedakan keduanya, namun ada pula yang mengidentikkannya.
Banawiratma melihat bahwa keduanya tidak dapat diidentikan. Dua istilah ini merupakan dua
entitas yang berbeda. Realitas Kerajaan Allah dianggap jauh lebih besar daripada gereja,
termasuk cakupan wilayahnya. Baginya fokus seluruh misteri sejarah penyelamatan Allah
bukanlah gereja, tetapi Allah yang datang ke dalam sejarah dan menyelamatkan umat manusia
melalui diri Yesus Kristus. Sang penyelamat bukanlah gereja melainkan Allah sendiri yang
dalam Kristus datang dan hadir bagi kita. Kerajaan Allah itu berdaya dan efektif dalam dunia
dan manusia secara keseluruhan bukan hanya dalam gereja saja.35 Menurut Fuellenbach,
meskipun tidak identik, bukan berarti Kerajaan Allah tidak hadir di dalam gereja. Sebab gereja
merupakan benih dan awal mula kerajaan di dunia, juga merupakan sarana agar rencana Allah
terhadap dunia dapat terungkap di dalam sejarah.36 Meski setuju dengan konsep ini, namun
Paul F Knitter menggarisbawahi agar pemahaman ini dipahami secara lebih hati- hati, supaya
gereja tidak terpusat pada dirinya sendiri dan memberhalakan diri. Knitter menjelaskan bahwa
gereja merupakan suatu sarana yang perlu, unik dan membawa kepenuhan bagi perwujudan
Kerajaan Allah di dunia, tetapi gereja bukan satu-satunya sarana. Dapat ada, dan
kemungkinan besar ada, jalan- jalan lain yang berbeda dan sungguh membawa kepenuhan
yang menyediakan kegiatan universal Kerajaan Allah.37
Kini kita dapat menyatakan bahwa perutusan gereja terletak dalam misi untuk
menghadirkan Kerajaan Allah. Dan Kerajaan Allah yang dimaksud tentu tidak terlepas dari
konsep biblis sebagaimana yang telah diuraikan. Apabila perutusan gereja merupakan
partisipasi dalam perutusan Yesus Kristus, maka isi perutusan yang diemban gereja menurut
hakikatnya bersifat transformatif sebab penghadiran Kerajaan Allah merupakan penghadiran
diri Allah yang menjadi atau yang bertransformasi. Dari sini maka menarik untuk melihat
sudah bagaimanakah kehadiran gereja di Indonesia dalam menghadirkan Kerajaan Allah? Bila
dikatakan kerajaan Allah berarti Allah memerintah, baik di sorga dan juga di gerejanya, maka
perlu dicermati sudah sejauh mana Dia memerintah dalam gereja- gereja kita? Dan sampai
sejauh mana aktivitas- aktivitas kita ditentukan oleh apa yang sudah diungkapkan Allah dalam
Alkitab?
Banyak kecendrungan yang mempersoalkan suara kenabian dalam memperjuangkan
nasib orang- orang miskin, orang- orang lemah atau orang- orang yang dicurangi haknya. Tidak
salah barangkali bila penulis sebutkan bahwa gaung gereja ketika penindasan terjadi masih
seputar pada persoalan intern, semisal penggusuran lahan gereja, pembongkaran paksa gereja
oleh pihak luar. Kekecewaan demi kekecewaan terhadap gereja timbul atas sikap gereja yang
sibuk dengan dirinya sendiri. Seperti pengamatan Singgih, Gereja - gereja di Indonesia
tampaknya masih sibuk dengan hal- hal ritual saja, seperti ibadah, kebaktian, liturgi dan doa;
demikian juga di bidang kelembagaan- kelembagaan bersifat organisatoris.38 Bukan
mengatakan berbagai hal tersebut tidak perlu, namun menyimak tugas utama perutusan gereja
di bumi, maka hal tersebut bukan lah yang terutama. Ironisnya, hal- hal tersebut lah yang
menyita perhatian gereja- gereja.
Disinyalir pula bahwa saat ini aroma persaingan antar gereja dalam memperebutkan
umat menjadi salah satu penyebab kesibukan gereja terhadap dirinya sendiri.39 Oleh
karenanya, untuk menarik banyak pengunjung, banyak gereja secara rutin mengundang
selebritis untuk menyanyi dan memberi kesaksian. Hal ini menjadi daya pikat tersendiri bagi
gereja yang mengadakannya. Bahkan tidak sedikit pula gereja yang pendetanya adalah mantan
artis. Dan menurut Yahya Wijaya, gereja seperti itu laris. 40 Kata laris yang dipakai Yahya
Wijaya cukup menggelitik, mengingat kata laris identik dengan kegiatan dagang, untung- rugi;
sementara gereja identik sebagai lembaga non- profit. Namun kecendrungan yang terhendus,
gereja juga mulai dilirik sebagai suatu market yang cukup menarik untuk mendapatkan
keuntungan.
Secara ekstrim, Bigman Sirait mengatakan bahwa semakin panjang barisan gereja
yang cinta uang. Orang ber - uang selalu diperebutkan, sementara yang miskin ekonomi terus
terabaikan. Maka kecendrungan para pemimpin gereja yang lebih dekat pada umatnya yang
kaya- raya tidak mengherankan.41 Kedekatan itu tidak melulu salah, namun menjadi persoalan
karena dorongan kedekatan itu semata didasari tujuan untuk memperoleh dukungan dana
sebagai sumber pendukung terwujudnya program- program gereja. Bahkan muncul pula
fenomena berdoa yang terpusat dalam pusaran perihal materialisme atas nama berkat,
kesembuhan, mukjizat yang sepertinya hendak memaksakan keinginan kepada Tuhan. 42
Gereja dianggap mengusung keuntungan berkedokkan pelayanan.
Cara menilai gereja berhasil atau tidak bukan lagi diukur dari azas kualitas, melainkan
kuantitas, bukan pertumbuhan iman, melainkan pertumbuhan aset. 43 Church growth atau
pertumbuhan gereja biasanya hanya dimaknai sebagai pendirian pos- pos dan cabang- cabang
gereja baru, bahkan sampai ke luar negeri. Pertumbuhan gereja secara umum dipahami
sebagai atau melalui pembangunan secara organisasi 44 Disamping itu tanda kesuksesan
lainnya dari gereja adalah pembangunan gedung gereja yang mewah. Mirisnya terkadang
gereja mewah dan megah itu dibangun di antara lingkungan yang kumuh dan
memprihatinkan.45 Padahal menurut Herlianto, pembangunan gereja- gereja besar dan mewah
tanpa memperdulikan kebutuhan gereja- gereja miskin lainnya dan masyarakat di
sekelilingnya lebih merupakan sikap cinta diri yang narsistik dan bukan merupakan buah- buah
Roh Kudus. 46
Hal ini juga yang langsung penulis amati, rasakan dan lakukan selama masa
pelayanan. Secara tertulis (melalui program- program Kerja) maupun verbal, sebagai pendeta
penuh waktu yang menjabat, pengharapan jemaat agar pendetanya dapat berbuat banyak untuk
memperbaiki dan menambahi pembangunan gedung gereja. Pada saat itu pembangunan besar
yang ingin dicapai adalah rumah dinas pendeta, Plafon gereja, keramik, teras gereja. Dan
ketika itu semua tercapai, maka setidaknya kita dianggap pendeta yang berhasil. Hal itu tidak
hanya tercermin dan berlaku di gereja yang penulis layani pada saat itu. Gereja - gereja GKPI
lainnya yang terlingkup dalam satu wilayah di tempat penulis melayani dan gereja - gereja
denominasi lain, sejauh observasi penulis, tampaknya juga memandang pada titik yang sama.
Keberhasilan seorang pendeta atau pelayan gereja diukur pada kemampuannya mengelolah
gereja di bidang keorganisasian serta pembangunan gedungnya. Realitas ini merupakan hal
yang cukup menarik untuk dicermati. Apakah konsep mulia dari Kerajaan Allah yang diusung
oleh Yesus telah benar- benar tenggelam dan terlupakan. Atau apakah ada suatu lompatan
besar yang terjadi sehingga hal- hal tersebut menjadi dimungkinkan. Dalam kerangka
menggali hal ini lah maka tulisan ini diperbuat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Kerajaan Allah yang tergambarkan di atas jelas menyajikan corak dan penekanan yang
memiliki implikasi duniawi, khususnya pada persoalan- persoalan sosial di dalam masyarakat.
Fokus ini lebih di zoom in oleh Yesus yang berseru sekaligus dipercaya menghadirkan
Kerajaan Allah itu bersama- sama dengan kehadiran- Nya. Pengajaran serta perilaku etis Yesus
menghadirkan suatu nuansa baru sekaligus angin segar di tengah kegersangan dalam
masyarakat yang mengais- ngais akan sebuah keadilan dan kepedulian. Pewartaan ini tentu
tidak dapat dianggap tidak ada, sebab telah termaktub dalam sejarah yang tercatat. Namun
menyimak realita kehadiran gereja sebagai benih dan sarana Kerajaan Allah yang memudar
dalam mewujudkannya, maka mencuatkan keraguan apakah kemudian ini hanya sebagai suatu
utopia yang tidak mungkin terjadi di konteks di dunia post modern, di mana gereja hidup dan
bertumbuh saat ini.
Perhatian utama gereja yang dihunjuk sebagai benih dan sarana adalah pada Kerajaan Allah
yang dicontohkan itu. Kerajaan Allah harus menjadi perhatian utama Gereja jika Gereja ingin
tetap setia kepada pesan Yesus. Maka perlu dikembangkan kajian bagaimana visi itu boleh
diterima oleh gereja atau jemaat yang masih terlalu menyibukkan diri pada persoalan non inti
seperti pembangunan gedung gereja, organisasi dan ibadah yang wah.
1.3 PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan mengenai latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas,
maka perlu pertama sekali dirumuskan persoalan dengan menggali akar masalah dengan
pertanyaan- pertanyaan:
1. Bagaimana jemaat GKPI memahami konsep Kerajaan Allah dalam hidup
keberimanannya?
2. Bagaimana jemaat GKPI memandang dirinya sebagai tubuh Kristus sekaligus alat
Allah untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah- tengah lingkungannya dan
dunia?
3. Bagaimanakah seharusnya arah menggereja jemaat GKPI berdasarkan konsep
Kerajaan Allah yang diusung Yesus?
1.4 JUDUL
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberi judul tesis ini sebagai berikut :
ARAH MENGGEREJA
(Kajian Teologis Konsep Kerajaan Allah
dan Eklesiologi jemaat GKPI Yogyakarta)
1.5. LANDASAN TEORI
Untuk membantu menjawab pertanyaan- pertanyaan di atas, penelitian ini akan memanfaatkan
pemikiran- pemikiran yang berkaitan dengan gereja dan Kerajaan Allah. Oleh karena Yesus
adalah dasar atau acuan dari dua hal ini, maka tentu konsep pewartaan Yesus tentang Kerajaan
Allah harus yang lebih dulu digali, kemudian dari sana lah titik berangkat gereja untuk
melakukan pelayanan- pelayanannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Leonardo Boff bahwa
gereja tidak dapat dipahami dengan sendirinya karena dipengaruhi oleh realitas yang
melampauinya, yaitu Kerajaan Allah sebagai sumbernya dan dunia sebagai locusnya. 47 Untuk
itu teori tentang Kerajaan Allah harus sangat intens dikupas. Untuk menggalinya jelaslah
bahwa penulis harus berangkat dari Yesus sebagai Sang Pewartanya.
Pertanyaan yang sering diajukan ialah: kerajaan macam manakah yang Yesus
maksudkan? 48 Sebab Yesus dianggap tidak pernah secara gamblang menjelaskan apa yang
dimaksudkan dengan Kerajaan itu. Pertanyaan ini dapat disebut lumrah, mengingat konteks
dan pengharapan yang diusung umat Israel yang telah memiliki konkret konteks sosial- politis
historisnya sendiri. Ada beberapa hal yang dianggap melatarbelakangi cara pandang Yesus
tentang Kerajaan Allah, selain konteks sosial- politik historis Israel, diantaranya pandangan
dari profetis, apokaliptik, Yudaisme dan Konteks yang melatar- belakangi pra- paham Yesus
tentang Kerajaan Allah.
Tom Jacobs berpendapat bahwa Yesus memberitakan Kerajaan Allah di dalam
pengharapan- pengharapan apokaliptis 49 zaman - Nya. Dalam bentuknya yang apokaliptis,
Kerajaan Allah oleh bangsa Yahudi yang kena pengaruh aliran apokaliptik, diartikan sebagai
suatu campur tangan Allah yang akan menggoncangkan kekuatan- kekuatan langit dan yang
membangkitkan suatu dunia baru. Dalam rangka perhatian mereka pada masa mendatang,
mereka sering tergoda untuk meramalkan dengan terlalu gegabah tentang pembalasan Allah
atas orang- orang bukan Yahudi dan tentang kapan persisnya dunia akan binasa. Kaum
apokaliptik juga sering mempergunakan gambaran- gambaran yang penuh fantasi dan khayal,
lukisan secara berlimpah- limpah tentang kebahagiaan eskatologis.50 Or ang- orang sezaman
Yesus mengharap- harapkan pewahyuan, pernyataan atau apokaliptis Allah memerintah
sebagai Raja akan segera datang. Orang - orang memohon agar Allah menegakkan Kerajaan
dalam waktu hidup mereka. Yesus menanggapi pengharapan- pengharapan apokaliptis
bangsa- Nya. Akan tetapi, tafsiran- tafsiran yang diberikan- Nya tentang apa arti pemerintahaan
Allah melampaui pemikiran- pemikiran dan pengharapan- pengharapan mereka.51
Demikian pula konteks serta pengharapan masyarakat Yudaisme di zaman Yesus,
dengan pra- paham yang dihidupi, dianggap turut mempengaruhi pandangan Yesus tentang
Kerajaan Allah52. Dalam Yudaisme, ada 3 basis kepercayaan yang umum bagi semua penulis
Yudaisme antara tahun 200 sebelum Masehi sampai tahun 100 sesudah Masehi berkaitan
dengan kedatangan Kerajaan Allah yang eskatologis dalam waktu dekat.53 Pertama, tempat
dari semua harapan eskatologis untuk datangnya Kerajaan Allah adalah dunia ini. Meskipun
dimensi spiritual dan moralnya tidak ditepis, namun dimensi politik dan historisnya tetaplah
dominan; Kedua, kedatangan Tuhan yang ditunggu- tunggu itu diharapkan akan
menyingkirkan semua yang menjadi halangan terwujudnya Kerajaan di masa kini.
Kedatangan Tuhan itu akan membebaskan Israel dari semua penindasan dan semua bangsa
akan masuk ke dalam kekuasaan Allah. Gagasan Kerajaan yang akan datang selalu dilihat
sebagai munculnya suatu Kerajaan Israel yang jaya dan meliputi seluruh bumi, di mana semua
bangsa akan menemukan damai dan kerukunan. Ketiga, datangnya Kerajaan Allah dilihat
sebagai tindakan Allah sendiri yang hanya dapat diterima oleh manusia dengan rasa syukur.
Tetapi pembaruan akhir Israel tidak bisa jalan kalau Israel tidak menerimanya dengan bebas
dan aktif. Maka, Kerajaan yang akan datang tidak menghilangkan kerja sama dari pihak
manusia. Ada keyakinan yang berkembang luas bahwa orang dapat mempercepat kedatangan
Mesias dengan doa dan perbuatan baik.
Tanpa menepis pengaruh dari dua pandangan di atas, Fuellenbach justru melihat Yesus
melalui harapan profetis54 khususnya dari teks Deutero- Yesaya. Menurut Fuellenbach, Yesus
mengambil ramalan kenabian ini dan memahami tugas- Nya mewartakan Kerajaan dalam
konteks ini. Namun yang baru dari Yesus ialah, Dia mewartakan ramalan- Nya bukan sebagai
sesuatu yang semata- mata akan terjadi di waktu yang akan datang atau sebagai objek
penantian yang mencemaskan, tetapi sebagai sesuatu yang sudah datang bersama dengan diri -
Nya. Penginjil menampilkan Yesus yang memaparkan misi- Nya kepada warga sekampung-
Nya sejalan dengan harapan Mesianis Deutero- Yesaya:
“Roh Tuhan ada pada - Ku oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang- orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan
kepada orang- orang tawanan, dan penglihatan bagi orang- orang buta, untuk membebaskan
orang- orang yang tertindas, untuk memberikan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Kemudian Ia
menutup Kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat lalu duduk; dan mata semua orang
dalam rumah ibadat itu tertuju kepadaNya. Lalu Ia mulai mengajar mereka, kata- Nya: “Pada
hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Luk 4:6 - 21.
Dari sini, Fuellenbach membaca bahwa tujuan utama pewartaan Yesus dalam
gagasan Kerajaan Allah adalah pembaruan Israel di dalam ideal Perjanjian, yang pada
gilirannya akan menghantar kepada transformasi semua struktur manusia berkaitan dengan
keadilan dan hak- hak kaum miskin. Dalam Kerajaan Allah ini semua diskriminasi pribadi
maupun kelompok akan berhenti,55 demikian Fuellenbach dengan pasti menyimpulkan
tujuan inti pewartaan Kerajaan Allah yang diusung Yesus.
Dalam melihat ini lebih jauh, maka tentu perumpamaan- perumpamaan yang
disampaikan oleh Yesus tidak boleh dilewatkan. Sebab warta Yesus tentang Kerajaan Allah
paling banyak ditemukan dalam perumpamaan- perumpamaan yang Dia sampaikan, seperti
yang dapat kita lihat di kitab- kitab Injil Sinoptik, antara lain ‘ Perumpamaan tentang
Penabur’, ‘Perumpamaan tentang Lalang’, ‘Perumpamaan tentang Biji Sesawi’,
‘ Per umpamaan tentang Ragi’, ‘Perumpamaan tentang Harta’, Perumpamaan tentang
Mutiara’, Perumpamaan tentang Pukat’. Perumpamaan- perumpamaan ini tentu memiliki
maknanya masing- masing, namun menurut George Eldon, penekanan pada aspek sosialnya
yang menonjol sehingga Yesus menyampaikan perumpamaan- perumpamaan ini.56
1.6 METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik
wawancara yang penulis lakukan terhadap jemaat GKPI Yogyakarta. Penulis akan
mengadakan wawancara terbuka dengan para narasumber sehingga mereka memberikan sudut
pandangnya, defenisinya terhadap Kerajaan Allah, sekaligus menggali pemahaman mereka
akan arti menggereja yang akan penulis gali dari pemikiran mereka tentang konsep gereja
yang baik.57 Dari pendekatan ini, penulis dapat mempelajari bagaimana mereka berbicara dari
sudut pandang mereka sendiri. Dengan pemaparan yang demikian, maka yang berbicara
adalah informasi yang diberikan oleh informan.
Terkait pengumpulan data, maka pengumpulan data dalam penelitian perlu dipantau agar data
yang diperoleh dapat terjaga tingkat validitas dan reliabilitasnya.58 Untuk itu dalam teknik
pengumpulan data ini, penulis melakukan pertama Observasi Partisipatif . Pada teknik ini
penulis melibatkan diri di tengah- tengah kegiatan observasi. Hal ini lebih mudah penulis
lakukan, sebab penulis sendiri telah menjadi anggota jemaat GKPI Yogyakarta selama dua
tahun. Penulis telah berada langsung di medan data dan jalinan keakraban telah terbangun di
sana.59 Teknik kedua yang penulis lakukan dalam pengumpulan data- data adalah dengan
wawancara terfokus dan mendalam. Terfokus karena mempunyai sasaran risetnya jelas dan
mendalam di mana data diambil dengan menggunakan observasi terhadap narasumber untuk
mendapatkan informasi sedalam- dalamnya dalam memperoleh data. 60
Penelitian kualitatif dilakukan dengan karakteristik yang mendeskripsikan suatu keadaan yang
sebenarnya atau fakta. Tetapi laporan yang dibuat bukan sekedar laporan tanpa suatu
interpretasi ilmiah.61 Oleh karen anya penelitian ini juga akan mempertemukan gagasan
teoritis dengan data di lapangan. Penulis akan mengumpulkan data- data dari sumber literatur
terkait, berupa buku cetak maupun buku elektronik, jurnal, internet, maupun sumber pustaka
lain yang relevan dengan permasalahan yang penulis teliti, kemudian memilih dan
menganalisanya.
1.7 SISTEMATIKA PENULISAN
Bab 1 Pendahuluan
Pada bagian ini pembahasan yang dicakup adalah latar belakang, rumusan
masalah, pertanyaan penelitian, judul, tujuan penelitian, metode penelitian,
landasan teori dan sistematika penulisan
Bab 2 Visi Yesus dalam Tema Kerajaan Allah
Pada bagian ini akan digali lebih luas dan mendalam konsep kerajaan Allah
yang diusung Yesus sesuai dengan konteks- Nya. Dan akan dilihat penggalian
makna itu dalam perumpamaan- perumpamaan Yesus, juga tema besar
Kerajaan Allah tentang waktu kedatangan Kerajaan Allah dan cara
memperolehnya
Bab 3 Pandangan Jemaat GKPI Yogyakarta tentang Gereja dan Kerajaan
Allah
Pada bagian ini akan dipaparkan hasil penelitian yang dilakukan kepada
jemaat GKPI Yogyakarta seputar makna Kerajaan Allah, pandangan mereka
tentang kepedulian sosial dan konsep gereja yang baik.
Bab 4 Refleksi Kerajaan Allah dalam Konteks Menggereja di GKPI Yogyakarta
Bagian ini akan menyajikan refleksi dari hasil temuan pada bab 2 dan 3 untuk
menyajikan bagaimana sesungguhnya konsep atau teologi dari Kerajaan Allah
dapat diterapkan di dan oleh gereja- gereja Indonesia sesuai dengan konteksnya
Bagian ini akan menjadi kesimpulan dari seluruh hasil analisa wawancara,
pengamatan dan studi pustaka penulis
Melalui pembacaan dan hasil wawancara di lapangan Penulis akhirnya memiliki
kesimpulan berikut dari tulisan ini:
1. Pemahaman jemaat GKPI Yogyakarta tentang Kerajaan Allah
- Dibalik ideal dan mulianya konsep Kerajaan Allah tentang kehidupan yang
berkeadilan dan cinta kasih di seluruh muka bumi, di tataran jemaat ide tentang
Kerajaan Allah masih dipahami sebatas di tataran metafisik, sesuatu yang jauh
tidak ditemukan di dunia. Kerajaan Allah dipahami sebatas sorga, yang
diasosiasikan sebagai suatu tempat atau wilayah yang diperoleh sesudah kematian.
Konsep untuk memperoleh sorga ini lah yang kemudian menggerakkan jemaat
melakukan ritual- ritual peribadahan, perbuatan baik dan sebagainya. Konsep
teologi pahala- dosa pun muncul dalam pemahaman konsep Kerajaan Allah yang
demikian. Perbuatan- perbuatan baik di bumi dipandang sebagai jalan untuk
memperolehnya, sehingga patahlah konsep Kerajaan Allah merupakan anugerah
dari Yang Empunya. Maka tidak mengherankan bila akhirnya jemaat tidak berpikir
untuk menghadirkan Kerajaan Allah yang berkonsep pro- kehidupan itu di tengah-
tengah dunia, sebab dari awal telah dipahami ia tidak ada di dunia. Konsep
hubungan yang muncul pun menjadi sempit, yaitu sebatas hubungan rohani antara
aku (personal) dengan Sang Ilahi. Orang lain dan dunia tidak mendapat tempat
dalam konsep Kerajaan Allah yang seperti ini.
- Eksklusifitas kepemilikan Kerajaan Allah juga muncul dalam cara
memperolehnya. Kerajaan Allah dipahami hanya menjadi milik dari orang- orang
yang percaya kepada Yesus. Orang - orang di luar kelompok sepemahaman, tidak
akan memperolehnya. Makna pewartaan Yesus dalam konsep Kerajaan Allah
menjadi sempit dan kasih dan anugerah Allah pun dikapling atas dasar agama yang
dianut. Yang artinya juga Yesus dikerdilkan menjadi semacam suatu agama saja.
Konsep gereja yang baik bagi jemaat GKPI Yogyakarta adalah gereja yang
melakukan pelayanan door to door atau pelayanan kunjungan pastoral ke rumah-
rumah jemaat. Ada dua manfaat yang dianggap penting dari pelayanan seperti ini,
yaitu pertama agar para pelayan mengerti pergumulan jemaatnya, sehingga kedua
jemaat merasa diperhatikan dan semakin mencintai gerejanya dan rajin datang ke
gereja sehingga bangku- bangku gereja menjadi penuh. Dari sini pun dapat
disimpulkan dua hal lainnya, yaitu suatu gereja itu baik atau tidak dilihat dari
kuantitas peserta kehadiran beribadah dan gereja itu baik atau tidak sepenuhnya
merupakan tanggung jawab dari pelayanan para pelayan gereja.
b. Dari sudut pandang pelayan gereja
Konsep gereja yang baik dilihat dari sikap jemaatnya. Atas dasar pelayanan yang
sudah diberikan kepada jemaat, maka jemaat diharapkan sudah menjadi baik dan
berbuat baik kepada Tuhan sesuai dengan kehendak- Nya yang harus dipahami
melalui khotbah- khotbah dan berbagai pelayanan lainnya yang didapat dari gereja.
Perbedaan kedua sudut pandang ini mencerminkan konsep gereja yang baik
tergantung kepada posisi dan kepentingan penilainya. Nilai yang diberikan
menjadi subjektif dan nuansa saling melemparkan tanggung jawab tidak dapat
dihindari.
3. Tentang Kegiatan Sosial atau Diakonia
Jemaat merasa gereja telah melaksanakan praktek- praktek kepedulian sosial, yaitu
dengan memberikan bantuan ke panti asuhan dan ‘Bingkisan Kasih’ berupa sembako
kepada masyarakat sekitar setiap satu tahun sekali, yaitu di setiap hari Natal. Dilihat
dari praktek diakonia yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa makna diakonia
dipersempit sebatas pada kegiatan- kegiatan amal dan bentuk diakonia yang dilakukan
masih pada tataran diakonia karitatif. Dasar pemberian ‘Bingkisan Kasih’ kepada
warga sekitar didasari kesadaran bahwa gereja berada di atas tanah kas desa, yang
sewaktu- waktu perizinannya bisa di cabut. Oleh sebab itu suasana keakraban harus
terus dirawat oleh pihak gereja dengan warga sekitar. Ditambah lagi dengan fakta-
fakta ketidakadilan terhadap umat beragama Kristen sebagai kelompok minoritas, di
mana banyak gereja yang ditutup oleh masyarakat di tempat di mana gereja itu berada.
mana perumpamaan sendiri mengandung makna yang masih harus ditafsirkan lagi
oleh pendengarNya. Ada pun 7 perumpamaan yang diberikan Yesus sebagai jalan
Yesus menyampaikan makna Kerajaan Allah yang Ia usung, yaitu: Perumpamaan
tentang Penabur , Perumpamaan tentang La lang, Perumpamaan tentang Biji Sesawi,
Perumpamaan tentang Ragi, Perumpamaan tentang Harta, Perumpamaan tentang
Mutiara dan Perumpamaan tentang Pukat . Makna Kerajaan Allah dalam
perumpamaan- perumpamaan ini harus dilihat melalui situasi politik, sosial dan budaya
di mana Yesus hidup. Terjadi ketidakadilan, penindasan, baik dari penguasa
(Romawi), maupun dari pihak kaum rohaniawan terhadap masyarakat kecil dan miskin
itu. Ketidakberdayaan masyarakat yang hidup dalam penderitaan melahirkan konsep
Kerajaan Allah, yang dulunya dimaknai diperoleh secara komunal (Kerajaan Allah
terwujud bagi bangsa Israel ketika Allah mengangkat lagi bangsa Israel pada masa
kejayaannya dulu), bukan personal. Namun Yesus telah meradikalkan konsep
Kerajaan Allah yang sudah status quo hidup lama dalam masyarakat. Salah satu bukti
kuat dari peradikalan itu adalah Yesus dengan berani menyatakan Kerajaan Allah telah
hadir bersama- sama dengan kehadiran- Nya. Oleh karenanya dalam mengajarkan
tentang Kerajaan Allah, Yesus juga melakukan tindakan- tindakan konkret seperti
mengusir setan, menyembuhkan orang sakit, menolong orang pada hari Sabat,
membuka diri untuk para pendosa dan seterusnya. Kerajaan Allah diwartakan sebagai
bentuk pro- keadilan yang membangkitkan semangat kembali pada masyarakat kecil
yang telah berputus asa.
5. Tentang Hubungan Kerajaan Allah, Gereja dan Dunia
Gereja lahir dari sejarah keprihatinan sosial yang diwariskan Yesus sehingga tidak
boleh diabaikan. Dari situ tergambar hubungan gereja dan Kerajaan Allah yang saling
mengikat kuat. Tidak ada gereja bila tidak ada Kerajaan Allah, dan Kerajaan Allah
tidak akan dimengerti bila tidak ada gereja. Tugas gereja adalah melayani Kerajaan
dan bukan mengambil alih tempat Kerajaan Allah. Atas hubungan gereja dan Kerajaan
tersebut, satu lagi yang harus disadari gereja bahwa dunia merupakan lokus gereja
berteologi .
6. Tentang Gereja dan Diakonia
Gereja hadir bukan tanpa visi dan misi. Keseluruhan pelayanan Yesus dan visi -
misiNya dalam konsep Kerajaan Allah menjadi patokan gereja dalam arah
menggerejanya. Masalah- masalah sosial menjadi sorotan utama bagi Yesus, sehingga
pewartaanNya tentang Kerajaan Allah menjadi konkret. Yesus berteologi dari bawah,
sehingga para pendengar- Nya bisa mengerti apa yang Yesus sampaikan, sebab suara
kenabian yang dibawakan Yesus tidak di awan- awan tetapi membumi. Gereja tentu
terpanggil untuk melaksanakan tugas pelayanan yang demikian. Berteologi dari
bawah, memahami masalah- masalah sosial di tempat dia berada, sebab gereja
mewarisinya dari Yesus. Salah satu jalan untuk mengimplementasikan ini adalah
dengan jalan diakonia. Sayang sekali selama ini makna diakonia dipahami salah,
sehingga unsur- unsur sosial di dalamnya tereduksi. Berdiakonia dipahami sebatas
dengan perbuatan amal. Gereja - gereja memandang berdiakonia cukup dengan berbuat
kebajikan- kebajikan, perbuatan- perbuatan amal dan seterusnya, yang akhirnya
membuat gereja dipandang tidak ada bedanya dengan lembaga atau institusi sosial
biasa. Padahal dalam diakonia sesuai dengan latar belakang munculnya makna ini
terkandung makna suara kenabian untuk mengecam kejahatan sosial. Makna ini coba
dikembalikan lagi sehingga muncul lah sekarang diakonia transformatif. Diakonia ini
berbeda dengan bentuk diakonia yang telah ada sebelumnya, yaitu diakonia karitatif
dan diakonia reformatif. Diakonia karitatif lebih kepada aksi sosial tanggap- darurat
yang wujudnya seperti memberikan sembako, memberikan pakaian kepada orang-
orang miskin dan lainnya; sementara diakonia reformatif lebih kepada aksi pelayanan
yang berusaha mencarikan solusi agar masyarakat keluar dari kemiskinannya dengan
jalan- jalan penyelenggaraan kursus, pemberdayaan, pemberian pinjaman modal dan
seterusnya; sementara diakonia transformatif dapat digambarkan sebagai pelayanan
diakonia untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang akar persoalan
yang sesungguhnya terjadi sehingga mencelikkan mata mereka. Contoh aksi
pelayanan yang dilakukan adalah sosialisasi penyadaran hukum kepada rakyat kecil
sehingga mereka tahu hak- hak nya dan menjadi berdaya.
5.2 SARA N
Akhirnya Penulis memberikan saran- saran konstruktif sebagai berikut:
Untuk Gereja
1. Gereja merupakan salah satu alat Tuhan dalam menyuarakan Kerajaan Allah yang
sesungguhnya kepada jemaat khususnya dan masyarakat umumnya. Belakangan suara
kenabian gereja untuk masalah- masalah sosial sering dipertanyakan. Gereja sebagai
lembaga atau institusi dianggap hidup dalam status quo dan hidup dalam zona nyaman
yang hanya sekedar sibuk dengan ritual. Membaca apa yang sebenarnya diharapkan
oleh Tuhan Yesus dalam konsep Kerajaan Allah yang diusungnya, maka gereja
hendaknya menggali lebih dalam lagi makna Kerajaan Allah dan mengkoreksi arah
menggerejanya sesuai dengan makna itu.
2. Konsep diakonia yang ada di gereja juga perlu dipertajam agar tidak terjebak dalam
kebiasaan mapan sekadar perbuatan- perbuatan amal (walau ini tentu juga perlu untuk
tetap dipertahankan). Gereja jangan cepat puas dengan bentuk diakonia yang ada, yang
dianggap sudah mapan. Perlahan tapi pasti gereja penting menginformasikan bentuk-
bentuk diakonia yang ada selain diakonia karitatif
3. Gereja menggali lagi pelayanan pemberdayaan manusi a dan mengembangkan
kewirausahaan di kalangan jemaat.
4. Akhirnya disadari bahwa gereja dalam kehadirannya di dunia terbentuk juga melalui
apa yang kita sebut suatu institusi. Sebagai suatu institusi tentu ada posisi - posisi
tertentu yang terdapat di dalamnya. Maka untuk setiap posisi tersebut Penulis juga
memberikan konstruktif sebagai berikut, kepada:
a. Pemimpin Gereja
Pendeta sebagai pemimpin gereja tentu merupakan seorang teolog yang telah
mendapatkan pengetahuan yang lebih memadai tentang ilmu- ilmu teologi. Pendeta
kiranya semakin memperdalam makna Kerajaan Allah sebagai dasar arah
menggereja. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah pembinaan kepada para
pelayan tahbisan lainnya yang dapat dilakukan dalam sermon- sermon gereja
ataupun acara pembinaan- pembinaan lainnya. Kemudian konsep ini juga perlu
dipertajam kepada jemaat melalui ibadah- ibadah rumah tangga sebagai wadah
untuk mengadakan Pendalaman Alkitab (PA).
b. Majelis Gereja
Majelis gereja sebagai salah satu penentu arah program gereja juga harus terbuka
dengan arah menggereja yang benar, yaitu kembali kepada konsep Kerajaan Allah
sebagai cita- cita yang harus diwujudkan. Tidak menjadi cepat puas dengan program
gereja yang ada dan berkutat hanya pada pelayanan internal yang selama ini sudah
mapan.
c. Jemaat
Jemaat yang baik adalah jemaat yang sudah siap untuk memakan makanan yang
keras, seperti dikatakan rasul Paulus. Jemaat juga perlu terus untuk menggali makna
dan arah menggerejanya selama ini, agar tidak terjebak dalam pemahaman
menggereja yang salah. Kemajuan teknologi menjadi salah satu jalan agar jemaat
bisa mengkoreksi pemahaman teologi yang diterima.







