ndah,
namun cukup manis! Cobalah, Saudara-Saudara, perhatikan sekarang juga,
pikirkanlah sejenak. Pelajaran apa yang bisa kita ambil darinya? Seperti gambar-
gambar lainnya, yang satu ini juga menggambarkan, secara sangat sederhana,
Fondasi, Tujuan, dan Cita-cita serta Kenangan “Islam Raya”. Rakyat Indonesia!
Bayangkan. Pikirkan. Renungkan! Betapa tanah yang untuknya kita akan
menumpahkan darah kita bisa begitu gemerlap dan memesona! Aman, damai,
dan puas. Kita ingin menyaksikan masa keemasannya yang asli dan ... bahkan
lebih lagi ... yang akan datang! Namun ... ini semua masih merupakan impian
dan cita-cita yang harus diwujudkan. Syarat-syaratnya? Iman, harapan, dan
tindakan. Namun, hal yang paling penting yaitu agar kita menjadi SADAR.
Perhatikan, dan semoga Tuhan bersama kita.
Yang lain juga merasa bahwa Indonesia masa depan membutuhkan
kenangan keemasan muslim yang sepatutnya. Agoes Salim menandai kelahiran
Nabi pada 1941 dengan sebuah pidato panjang berjudul “Riwajat Kedatangan
Islam di Indonesia”. Mantan abdi kekuasaan kolonial itu (dan musuh bagi
Pijper yang sinis) menyatakan bahwa kepustakaan Barat harus dibaca ulang
dengan latar sumber-sumber non-Barat. Dia meyakini bahwa yaitu laporan
yang, paling banter, “tidak memuaskan” yang mengklaim bahwa Islam baru
datang ke Tanah Air pada abad ketiga belas. Dia merujuk pada sumber-
sumber Tiongkok yang diyakininya menunjukkan kehadiran muslim yang
lebih awal. Dia mengutip Syakib Arslan untuk bertanya apakah Islam benar-
benar datang lewat tangan orang-orang Afrika Utara sebelumnya.83
Para cendekiawan Belanda digusur dari tempat istimewa mereka tanpa
menyadarinya. Ini yaitu urusan kesarjanaan seperti biasa. Pijper memberikan
kuliah-kuliah yang diterima dengan baik di Batavia mengenai orang-orang Arab
Hindia yang setia, memuji al-Habsyi sebagai pewaris Sayyid ‘Utsman yang
memberi inspirasi, dan melanjutkan diskusinya dengan al-Irsyad dan Persatuan
Islam mengenai langkah-langkah menuju sebuah volume yang direncanakan
mengenai reformisme.84 Drewes, tepat sebelum menduduki apa yang diniatkan
sebagai jabatan sementara di Leiden, menerbitkan sebuah buku bersama Raden
Poerbatjaraka (1884–1964) mengenai bertahannya kisah-kisah ‘Abd al-Qadir
dalam kesusastraan Indonesia. Di Utrecht, Jan Edel menggunakan manuskrip yang
dikumpulkan oleh Djajadiningrat dan Pijper untuk mempertahankan sebuah tesis
di bawah bimbingan Juynboll mengenai Hikayat Hasan al-Din. Dalam tesisnya,
dia berusaha keras menentukan identitas berbagai individu Banten ketimbang
mempertanyakan apa tepatnya sifat rujukan pada Khidr atau sifat ritus berbagai
tarekat Sufi. Untuk maksud yang sama, Voorhoeve mengunjungi Barus dengan
harapan menemukan makam Hamzah Fansuri. Namun, penduduk setempat
hanya bisa menunjukkan kepadanya apa yang mereka yakini sebagai makam
seorang Arab bernama Syekh Mahmud.86 Dalam sebuah surat yang ditulis tujuh
bulan kemudian, dia mengungkapkan harapan bahwa Drewes barangkali segera
datang ke Sumatra.87 Bagaimanapun, berbagai peristiwa segera akan mengejutkan
semua orang. Pada Maret 1942 Belanda disapu bersih, para mualaf Jepang dikirim
ke masjid-masjid tertentu dan ke kantor-kantor yang sebelumnya dijalankan oleh
para penerus Snouck. Terlepas dari usaha kembali Belanda yang gagal pada 1945–
49, era kerja sama dan persaingan yang formatif telah berakhir. Dan, bersamanya
berakhir pula masa lalu kolonial Indonesia.
Peristiwa Afdeling B mendatangkan malapetaka dan secara tidak langsung
menghancurkan hubungan antara para penasihat kolonial dan negara. Berbagai
peristiwa ini menunjukkan bahwa persoalan-persoalan modern tidaklah
terselesaikan. Peristiwa ini juga memberdayakan kekuatan-kekuatan
yang kebangkitannya akan berakibat pada pengucilan praktis Kantor Urusan
Pribumi dari berbagai putusan penting yang memengaruhi kehidupan orang-
orang Indonesia yang terbebas dari janji-janji perwalian kolonial. Para juru
kampanye Sarekat Islam dan lembaga-lembaga terkait juga dipaksa mundur
dari ranah politik yang semakin didominasi oleh para agitator nasionalis
dan komunis, yang mengarahkan serangan retoris mereka terhadap orang-
orang yang mereka yakini telah mengakibatkan keterbelakangan yang meluas
di kalangan orang-orang Indonesia. Sudut pandang mereka bisa ditentang,
namun serangan mereka selaras dengan konsensus keilmuan global mengenai
apa itu Islam yang sejati, baik dalam keadaannya yang hidup maupun dalam
historisnya. Zaman telah berubah, dan orang-orang Indonesia juga harus
berubah.
Harapan saya buku ini akan memberikan sebuah kontribusi yang berarti bagi kajian Islam di Asia Tenggara dan bagi keilmuan yang lebih luas
mengenai Dunia Muslim. Saya telah mempertanyakan konsensus yang
berlaku saat ini mengenai esensi formasi religius Indonesia dengan menyoroti
berbagai asumsi yang terbentuk selama era kolonial. Ini bukanlah sebuah
jalur yang langsung, oleh isebab itu patutlah kiranya di titik ini diceritakan
alur keseluruhannya untuk menunjukkan bagaimana kesarjanaan kolonial
menafsirkan yang prakolonial, dan kemudian mengubah ragam-ragam
tertentu kritik-diri Sufi reformis menjadi wacana modernis.
beberapa kerja persiapan tertentu diperlukan untuk menyiapkan
panggung. Beberapa bab pertama berusaha memahami unsur-unsur tertentu
dari yang diketahui mengenai Islamisasi kawasan dan memperlihatkan
bahwa klaim-klaim genealogis mengenai pengetahuan Sufi kadang-kadang
menggantikan berbagai kenangan perpindahan agama yang lebih tua. Segera
sesudah kita memikirkan kembali klaim-klaim demikian, kita juga harus
memikirkan kembali gagasan bahwa Sufisme pasti menyediakan mekanisme
pendukung bagi perpindahan agama di Asia Tenggara atau menjelaskan
tradisi toleransi ekumenis Indonesia yang kerap dikumandangkan. Saya
telah menunjukkan sebaliknya bahwa pengenalan teknik-teknik formal
pengetahuan Sufi (yang umumnya terjadi sesudah nya) kerap berkaitan dengan
intoleransi ulama terhadap variasi populer yang barangkali bermula sebagai
peniruan atas hak-hak istimewa istana. Dalam arti ini, sebuah obeservasi
yang dibuat oleh Christopher Bayly tampaknya tepat: apa yang dibutuhkan
dalam kebanyakan konteks yaitu pengakuan akan keunggulan pemujaan
sang kaisar, bukannya keseragaman keyakinan.1 Cukuplah dikatakan bahwa,
pada abad kedelapan belas, hubungan yang kian intens antara istana-istana
Asia dan pusat-pusat pengetahuan Timur Tengah menghasilkan seruan
menuju prinsip bahwa praktik-praktik legal normatif harus mendefinisikan
standar Islam bagi sebagian besar kaum beriman. Seruan demikian dibarengi
oleh penerimaan atau penolakan (yang kurang lazim) terhadap orang-orang
asing dan upaya untuk membatasi pengetahuan Sufi pada sekelompok elite
terpelajar yang bisa menilai mereka. Dalam kaitannya dengan hal ini, saya
juga telah menunjukkan bahwa penyebaran kesarjanaan Mesir sangat penting
dalam sebuah upaya yang bisa dikatakan berjangkauan global. Namun,
dari satu sudut pandang, proyek yang ditujukan untuk mempertahankan
otoritas istana di berbagai pusat Jawi secara paradoksal terhambat sekaligus
ditingkatkan oleh campur tangan Eropa. Larangan yang dikeluarkan keraton-
keraton Jawa khususnya tampak tidak berarti isebab populasi Muslim yang
semakin sadar memanfaatkan jaringan transportasi modern untuk mengejar
berbagai peluang pendidikan massal atas nama para sultan kuno. Namun,
meski para pembantu dan keturunan mereka barangkali mengangguk setuju
terhadap jumlah pesantren yang kian meningkat, banyak yang dibuat gelisah
oleh popularitas ajaran tarekat yang lebih baru yang ditawarkan oleh para
guru yang mengklaim punya hubungan kuat dengan Mekah serta jubah
otoritas Nabi.
Barangkali perubahan-perubahan yang paling signifikan terhadap
hubungan antarmuslim di pentas global terjadi sesudah berbagai perang yang
mendera Arabia, Sumatra, dan Jawa saat sebuah korpus klasik baru mulai
dicetak, diawasi oleh para cendekiawan ternama di pusat-pusat ini
dan Kairo serta Singapura. Dalam apa yang semula tampaknya merupakan
paradoks, korpus ini diklaim oleh para guru Sufi populer yang mewakili
spektrum paling luas kesalehan dan pengalaman langsung berorientasi-Syari‘ah
terhadap berbagai Tempat Suci. Pastinya, kumpulan ahli hukum resmi dan
Sufi populer yang saling bertentangan, yang masing-masing bersenjatakan
dan memperdebatkan teks-teks tercetak, tidaklah mungkin bersepakat untuk
bersikap antikolonial. Sebaliknya, kita bisa mengamati munculnya sebuah
ruang publik muslim yang penuh persaingan di bawah kekuasaan Belanda,
dan yang para pesertanya bahkan akan berusaha terlibat dengan struktur
kekuasaan ini untuk mengejar agenda mereka sendiri.
Sebelum menjelajahi berbagai sejarah ini , di bagian kedua saya
beralih untuk memperkenalkan orang-orang Eropa agar kita memikirkan
kembali hubungan antara perusahaan-perusahaan dagang dan berbagai usaha
agamawan metropolitan yang lebih tua, menyasar pendapat yang kerap
dinyatakan bahwa Belanda sekadar memedulikan keuntungan di Asia. Kita
sekarang mestinya sudah mengenali bahwa terdapat para cendekiawan Belanda
yang berusaha merumuskan bagaimana mereka seharusnya memperlakukan
para pemeluk sebuah agama yang mereka yakini sudah mereka pahami
sepenuhnya dan bahkan diyakini oleh orang-orang paling optimis di
antara mereka bahwa mereka bisa menghapusnya. Tentu saja pengetahuan
tidaklah cukup. Keakraban dengan Islam dan rasa jijik yang terlalu sering
ditimbulkannya memastikan bahwa hanya sedikit yang dilakukan secara
sistematis untuk meneliti Islam sebagai sebuah tantangan. Momen itu baru
datang bersama dengan serangan Inggris pada akhir abad kedelapan belas.
Sejak saat itu, pesantren-pesantren yang kian mandiri unjuk gigi di Jawa, dan
kaum pembaharu yang radikal di Sumatra mengarahkan api jihad mereka
terhadap para penyusup Barat.
Islam pada akhirnya muncul sebagai sesuatu yang jauh lebih besar
daripada sekadar syahadat yang menyusahkan, yang dipaksakan pada sebuah
populasi yang lunak dan pasif oleh campuran orang-orang Arab dan haji
yang tak bisa dipilah-pilah. Oleh isebab itu, Belanda berusaha menerima
Islam dalam cara yang bermanfaat bagi negara kolonial mereka. Namun,
berubah-ubahnya pendanaan dan persaingan akademik melemahkan usaha
ini dan menimbulkan produksi buku-buku panduan yuridis yang berasal
dari arsip, bukannya dari lapangan. yaitu para misionaris yang sekali lagi
membuat terobosan penting dalam mengingatkan metropolis mengenai siapa
yang merupakan “muslim” dan siapa yang bukan, dengan memilih untuk
lebih mendengarkan kata-kata para bangsawan dan orang Arab setempat
dibandingkan mereka yang merupakan bagian dari banyak haji dan “pendeta”
keliling yang merampas otoritas pihak yang disebut sebelumnya.
Berbagai sejarah salah pengenalan dan salah informasi ini , yang
diungkapkan secara gamblang oleh pembantaian Cilegon pada 1888,
menciptakan karier sang Orientalis muda yang lancang Snouck Hurgronje.
saat kita mengikuti perjalanan dan pekerjaannya, kita melihat betapa
keprihatinan kesarjanaan Protestan menjadi terjerat baik dengan imperatif
kolonial maupun berbagai visi reformis mengenai Islam, dalam sebuah rute
yang membawa kita dari Mekah ke Jawa dan dari Kairo ke Leiden. Snouck bisa
dikatakan lebih menyukai penafsiran elitis para sekutu pentingnya yang muslim
ketimbang lawan-lawan mereka yang terlalu populis. Keduanya sepakat bahwa
tarekat merupakan sisa-sisa kebodohan masa lalu yang terinspirasi oleh India.
Pada akhirnya, Snouck, dengan memanfaatkan sisa-sisa tekstual pengetahuan
yang sudah kehilangan kilaunya di Jawa, mendidik lingkaran sarjana-pejabatnya
sendiri yang tidak pernah mempertanyakan guru mereka mengenai
persoalan orang-orang Indonesia pada masa lalu, masa kini, atau masa depan.
Ironisnya bukti definitif mengenai hubungan antara Sufisme dan sinkretisme
India tidak pernah ditemukan dalam teks-teks yang dibawa pulang Snouck ke
Leiden. Namun, ini hanya sedikit berarti isebab berbagai perubahan besar segera
terjadi di koloni. Belanda pastinya merestui kemunculan berbagai tren dalam
wacana Islam yang menyebar dari Kairo dan Singapura yang mendesak orang-
orang Muslim untuk bereaksi pada kekuasaan kolonial dengan menemukan
jalan modern mereka sendiri. Jalan ini akan berupa jalan modern yang tentu
saja memungkinkan mereka meraih kembali tempat di meja bangsa-bangsa
modern hanya pada masa depan yang agak tidak jelas.
Snouck dan para pengikutnya, Belanda maupun Indonesia, menikmati
akses pada eselon tertinggi kekuasaan dan pengaruh kolonial hanya selama
orang-orang Muslim modern yang mereka dukung mengesampingkan
harapan mereka untuk merdeka. Namun, seiring berlalunya waktu, harapan
ini tampak semakin bisa dicapai. Rakyat kolonial yang sudah begitu lama
berkolaborasi dengan negara kolonial mulai mengutuknya. Kutukan
mereka semakin fasih saat kaum Nasionalis dan negara sama-sama mulai
meninggalkan para penengah Orientalis mereka. Bahkan, kredibilitas (dan
oleh isebab itu manfaat bersama) para Penasihat mengalami kerusakan
yang tak dapat diperbaiki pada pengujung 1920-an. Namun, hanya sedikit
kritikus di kedua kubu mempertanyakan - historis mereka.
Berbagai itu masih bersama kita sekarang. Pastinya terdapat warna
Islam pada berbagai insiden seperti yang terjadi di Garut pada 1919, namun
hanya sedikit pejabat kolonial yang mengawasi para Sufi yang terinspirasi
Mekah. Ada bahaya global yang lebih jelas untuk ditangani: kaum Sosialis dan
Komunis, yang telah berbaur di Kanton atau Paris. Jin modern sudah keluar
dari botol, dan dia bukanlah Sufi isebab para Sufi berada jauh pada masa lalu.
Dan, orang bisa memahami apa pun yang dia suka dari masa lalu.
abangan (Jaw.) “orang-orang merah”, mereka yang disebut kurang
berkomitmen pada formalitas praktik Islam.
adat (Mal.) (Ar., ‘ada) tradisi pribumi yang sering kali dihormati
atau ditoleransi dalam warga Islam.
afdeeling (Bld.) subdivisi administratif.
akhlaq (Ar.) moral, etika.
‘Alawi,
j. ‘Alawiyyun (Ar.) nama keluarga yang menunjukkan garis keturunan
dari Nabi melalui seorang imigran ke Hadramaut
pada abad kesembilan, Ahmad b. ‘Isa (820–924).
‘Arafah dataran di luar Mekah tempat ritual “berdiri”
(wukuf) dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah
haji.
a‘yan kharijah (Ar.) esensi-esensi eksternal tuhan yang dapat
didemonstrasikan.
a‘yan tsabitah (Ar.) esensi-esensi internal tuhan yang “tetap” atau
“abadi”.
barakah (Ar., Mal.) berkah Ilahiah yang diberikan di situs-situs suci atau
di hadapan para guru yang dihormati.
batik (Mal., Jaw.) kain celup tradisional Asia Tenggara.
batin (Ar.) sifat internal segala sesuatu.
bay‘ah (Ar.) baiat, pernyataan sumpah setia.
bid‘ah (Ar.) bidah, mengada-adakan.
bilad al-jawa (Ar.) Asia Tenggara.
bupati (Jaw.) jabatan pribumi tertinggi dalam hierarki birokrasi
Belanda.
contrôleur (Bld.) kontrolir, inspektur.
dajjal (Ar.) pendusta, anti-Kristus.
dalang (Mal.) (Jaw., dhalang) juru boneka, lazimnya dalam
pertunjukan boneka bayangan tradisional (wayang).
GLOSARIUM
debus (Jaw.) (Ar., dabus) jarum yang digunakan dalam ritual
penusukan, yang dikaitkan dengan tarekat Rifa‘i.
dzikr (Ar.) “mengingat” Tuhan melalui cara-cara mental atau
fisik yang kerap ditentukan oleh seorang guru Sufi.
Ethici (Bld.) para pembaharu politik Belanda yang secara terbuka
mengaku peduli pada kesejahteraan rakyat Hindia
Belanda.
fatwa, j. fatawa (Ar.) pendapat yuridis yang disampaikan oleh seorang
ulama, yang secara khusus dikenal sebagai seorang
mufti.
fiqh (Ar.) fikih, yurisprudensi Islam.
habib (Ar.) “kekasih [Tuhan]”, gelar kehormatan yang diadopsi
oleh beberapa sayyid ‘Alawi.
hadits, j. ahadits (Ar.) hadis, tradisi yang dikaitkan atau dicontohkan oleh
Nabi.
hajj (Ar.) ibadah haji, kunjungan ke Mekah dan berbagai
upacara terkait yang dilaksanakan pada awal
Dzulhijjah.
Hajji, pr. Hajjah (Ar.) seseorang yang telah menyelesaikan ibadah haji.
Hanafi (Ar.) berkaitan dengan mazhab yang merujuk kepada
Nu‘man b. Tsabit Abu Hanifa (699–767).
Hanbali (Ar.) berkaitan dengan mazhab yang merujuk kepada
Ahmad b. Hanbal (780–855).
haqq (Ar.) realitas puncak; Tuhan.
Haramayn (Ar.) dua situs suci, Mekah dan Madinah.
hasyiyah (Ar.) catatan pinggir.
hijrah (Ar.) imigrasi Nabi Muhammad ke Madinah pada 620,
dijadikan sebagai permulaan penanggalan Kalender
Muslim.
hikayat (Mal.) (Arab, hikayah) roman, dongeng, atau laporan.
hilal (Ar.) bulan sabit.
hulubalang (Mal.) komandan.
ihram (Ar.) keadaan/pakaian suci yang diperlukan untuk
melaksanakan ibadah haji.
ijazah (Ar.) sertifikat dari seorang alim ulama yang memberikan
otoritas untuk mengajarkan teks tertentu atau
memberikan instruksi dalam ritual tertentu.
ijma‘ (Ar.) konsensus, sering dimaksudkan sebagai konsensus
keilmuan yang dicapai oleh ulama.
ijtihad (Ar.) penafsiran individual terhadap sumber-sumber
Islam.
‘ilm (Ar.) pengetahuan.
imam (Ar.) pemimpin, umumnya dalam shalat berjemaah.
Indologie (Bld.) studi mengenai Hindia dan peradaban-
peradabannya.
inlander (Bld.) pribumi.
insan al-kamil, al- (Ar.) “manusia sempurna”, kosmografi ideal Sufi.
irsyadi,
j. irsyadiyyun (Ar.) para pengikut al-Irsyad, gerakan Arab reformis di
Jawa.
jaksa (Mal.) hakim.
Jawa (Ar.) Jawa, Asia Tenggara.
Jawi (1) (Ar.) apa pun yang berasal dari atau berkaitan dengan
Asia Tenggara.
Jawi (2) (Mal.) aksara Arab yang dimodifikasi untuk menulis
bahasa Melayu.
Jawi, j. Jawa (3) (Ar.) penduduk Asia Tenggara.
jimat (Mal., Jaw.) berasal dari kata (Ar.) ‘azimah.
jubba (Ar.) jubah yang kerap dikenakan oleh ulama atau oleh
pemangku otoritas.
Ka‘bah (Ar.) Kakbah, tempat suci utama di Mekah dan titik
pusat bagi shalat kaum Muslim.
kampung (Mal.) desa, daerah.
kaum (Mal.) (Arab, qawm) kelompok orang, lazimnya di
Indonesia dipahami sebagai orang-orang Muslim
yang taat.
Kaum Muda (Mal.) kelompok reformis.
Kaum Tua (Mal.) kelompok tradisionalis.
kayfiyyah (Ar.) cara, buku panduan untuk praktik Sufi.
khalifah (Ar.) wakil, lazimnya wakil seorang syekh Sufi.
khalwah (Ar.) isolasi, penarikan diri.
khatib (Ar.) orang yang menyampaikan khotbah Jumat, lihat
khutbah.
khutbah (Ar.) khotbah, pidato yang disampaikan pada shalat
Jumat.
kiai (Jaw.) cendekiawan Islam yang dihormati.
kitab (Ar.) buku; (Mal.) buku keagamaan.
kramat (Jaw.) situs suci.
kraton (Mal., Jaw.) wilayah istana yang berpagar.
kris, keris (Mal., Jaw.) belati, kerap dipercaya menjadi wadah kekuatan
mistis.
kufr (Ar.) kekafiran, penolakan terhadap Islam.
274 — SEJARAH ISLAM DI NUSANTARA
lahir (Mal., Jaw.) aspek eksoteris praktik Islam.
langgar (Mal., Jaw.) sekolah desa, umumnya lebih kecil daripada sebuah
pesantren atau pondok.
latifah (Ar.) seluk-beluk atau titik tekan.
madzhab,
j. madzahib (Ar.) mazhab, aliran yuridis dalam Islam.
magang (Jaw.) kerani, tingkatan priayi paling rendah dalam sistem
administrasi Belanda.
Maliki (Ar.) anggota mazhab yang merujuk kepada Malik b.
Anas (711–795).
mansak,
j. manasik (Ar.) buku panduan untuk pelaksanaan ibadah haji.
ma‘rifa (Ar.) gnosis, pengetahuan tentang yang Ilahiah.
martabat tujuh (Mal.) tujuh tingkat wujud.
Masjid al-Haram,
al- (Ar.) masjid yang mengitari Kakbah di Mekah.
mawlid (Ar.) peringatan kelahiran Nabi.
mufti (Ar.) ahli hukum.
muhaddits (Ar.) ahli hadis; bdk. hadits.
muhaqqiq,
j. muhaqqiqun (Ar.) lit. para ahli verifikasi; para pencari realitas puncak,
bdk. haqq, tahqiq.
murid (Ar.) murid Sufi.
nagari (Minang) desa.
nahdah (Ar.) kebangkitan, renaisans.
negeri (Mal.) negara, kota.
ngelmu (Jaw.) pengetahuan; lihat juga‘ilm.
orang putih (Mal.) bersih secara keagamaan; analog dengan Jaw.
putihan.
penghulu (Mal.) pemimpin atau penguasa, lazimnya seorang pejabat
keagamaan yang disokong dengan gaji tetap.
peranakan (Mal.) keturunan asing kelahiran setempat.
perdikan,
pradikan (Jaw.) desa atau sekolah yang dibebaskan dari pajak.
pesantren (Jaw.) sekolah asrama untuk pengajaran keagamaan.
pondok (Mal.) kediaman, juga sebuah sekolah keagamaan.
prang sabil (Mal.) perang suci.
predikant,
j. predikanten (Bld.) pendeta.
priayi (Jaw.) kalangan elite bangsawan Jawa.
priester (Bld.) pendeta
priesterraad,
j. priesterraden (Bld.) pengadilan atau dewan dengan kekuasaan atas soal-
soal hukum Islam.
primbon (Jaw.) panduan pengajaran.
putihan (Jaw.) “orang-orang putih”, kelompok yang bersih secara
keagamaan; lihat juga orang putih.
qadi (Ar.) hakim.
qiblah (Ar.) arah Kakbah di Mekah yang menjadi orientasi
semua masjid.
Raad van Indië (Bld.) Dewan Hindia, dewan penasihat utama di Hindia
Belanda.
rabitah (Ar.) hubungan; dalam Sufisme secara lebih khusus,
hubungan yang terjalin antara syekh dan murid.
Ramadan (Ar.) bulan puasa.
ratib (Ar.) wirid; latihan ketaatan Sufi.
rechtzinnig (Bld.) ortodoks.
riwaq, j. arwiqa (Ar.) asrama tempat tinggal di al-Azhar dan masjid-
masjid pengajaran utama lainnya.
Rum (Ar.) (Mal. Rum) Turki Utsmani.
rust en orde (Bld.) kedamaian dan ketenangan.
salik (Ar.) pejalan (di jalur mistis), lihat suluk.
santri (Jaw.) pelajar agama.
sayyid, j. sadah (Ar.) keturunan Nabi; bdk. habib.
sembahyang (Mal.) shalat.
shalat (Ar.) lima ibadah harian yang diwajibkan atas kaum
Muslim.
Syafi‘i (Ar.) anggota mazhab yang merujuk kepada Muhammad
b. Idris al-Syafi‘i (767–820).
syahadah (Ar.) pernyataan keimanan kepada satu Tuhan dan
Muhammad sebagai Nabi-Nya.
syari‘ah (Ar.) Hukum Suci sebagaimana diwahyukan kepada
Muhammad dan ditafsirkan oleh ulama.
syekh, j. syuyukh (Ar.) tetua atau pemimpin, lazimnya seorang alim senior
atau guru Sufi.
Sufi (Ar.) mistikus muslim.
suluk (Ar.) berjalan di jalur mistis; Jaw. puisi mistis.
sunah (Ar.) tradisi ortodoks yang dibangun di atas peniruan
terhadap kehidupan Nabi.
Suni (Ar.) anggota komunitas ortodoks.
surah (Ar.) bab dalam Al-Quran.
surau (Mal.) ruang shalat.
tahlil (Ar.) pernyataan la ilaha illa llah, “tiada tuhan selain
Allah”.
tahqiq (Ar.) verifikasi.
tariqa, j. turuq (Ar.) tarekat, persaudaraan mistis.
tasawwuf (Ar.) mistisisme.
tawajjuh (Ar.) pertemuan langsung antara syekh dan murid.
tawassul (Ar.) perantaraan yang diberikan oleh seorang wali.
Tuanku (Mal.) pemimpin keagamaan.
ummah, j. umam (Ar.) komunitas, bangsa.
Volkslectuur (Bld.) [Kantor untuk] Pustaka Rakyat, alias Balai Poestaka.
vreemde
oosterlingen (Bld.) orang-orang Timur asing.
wahdat al-wujud (Ar.) kesatuan wujud antara Tuhan dan makhluk.
Wahhabi (Ar.) pengikut ajaran-ajaran Wahhabiyyah.
Wahhabiyyah (Ar.) gerakan kesalehan yang didirikan di Arabia oleh
Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab (1703–87).
wali, j. awliya’ (Ar.) orang suci, seseorang yang “dekat kepada Tuhan”.
waqf, j. awqaf (Ar.) wakaf, sumbangan yang diikrarkan selamanya
untuk penggunaan personal atau publik.
wasiyyah (Ar.) wasiat, pernyataan terakhir.
wayang (Mal., Jaw.) pertunjukan bayangan.
wedana (Jaw.) pejabat rendah yang bertugas mengawasi sebuah
kota kecil.
wujudi (Ar.) seorang pengikut filsafat “kesatuan wujud”; bdk.
wahdat al-wujud.
Zabaj (Ar.) nama kuno untuk Asia Tenggara.
zahir (Ar.) yang eksternal, lihat lahir.
zawiyah (Ar.) pondok bagi para Sufi.
ziyarah (Ar.) kunjungan, biasanya ke sebuah makam suci demi
mencari tawassul.
Ar. Bahasa Arab
Archief Archief voor de geschiedenis der oude Hollandsche zending,
J.A. Grothe (ed.), 6 vol., (Utrecht: Van Bentum, 1884–91)
b. Ibn, atau Bin; penyebutan dalam bahasa Arab untuk
“putra dari”
BB Binnenlandsch Bestuur, Kepegawaian Negeri Hindia
Belanda
BKI Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
CSI Centraal Sarekat Islam, badan koordinasi Sarekat Islam
Bld. Bahasa Belanda
EI2 Encyclopaedia of Islam, Edisi Kedua, P. Bearman dkk.
(ed.), 12 vol., (Leiden: Brill, 1954–2005)
EI3 Encyclopaedia of Islam Three, Gudrun Krämer dkk. (ed.),
(Leiden: Brill, 2007–)
f Gulden Belanda
GAL Carl Brockelmann, Geschichte der arabischen Litteratur,
Jan Just Witkam, pengantar dan ed., 2 vol. 3 sup.,
(Leiden: Brill, 1996)
GG Gouveneur Generaal van Nederlandsch Indië, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda
HAZEU* Collectie Hazeu, KITLV, H 1083
IG Indisch Gids
IJMES International Journal of Middle East Studies
ILS Islamic Law and Society
IOL India Office Library, British Library
IOR India Office Records, British Library
IPO Overzicht van de Inlandsche- en Maleisch- Chinese Pers
JALAL AL-DIN* Maleisch leesboek voor eerstbeginnenden en meergevorderden;
Vijfde stukje; Bevattende een verhaal van den aanvang der
Padri-onlusten op Sumatra, door Sjech Djilâl-Eddîn, J.J. de
Hollander, ed., (Leiden: Brill, 1857)
Jaw. Bahasa Jawa
JESHO Journal of the Economic and Social History of the Orient
JIB Jong Islamieten Bond
JMBRAS Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
JRAS Journal of the Royal Asiatic Society
JSEAS Journal of Southeast Asian Studies
KERN* Collectie Kern, KITLV, H 797
KIAZ/KIZ Kantoor voor Inlandsch en Arabisch Zaken/Kantoor
voor Inlandsch Zaken; Kantor Urusan Pribumi dan Arab,
kemudian menjadi Kantor Urusan Pribumi
KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde;
Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Asia Tenggara dan
Karibia, Leiden
LOr. Leiden University Library, ms. Or.
LUB Leiden University Library
Mel. Bahasa Melayu
MCP Malay Concordance Project, Australian National
University, http://mcp.anu.edu.au/
MinBuZa Nationaal Archief, Den Haag, Ministerie van Buitenlandse
Zaken: A-dossiers, 1815–1940, nummer toegang 2.05.03
MR Nationaaal Archief, Den Haag, Ministerie van Koloniën:
Mailrapporten 1869–1900, nummer toegang 2.10.02
MNZG Mededeelingen van wege het Nederlandsche
Zendelinggenootschap
NBG Nederlandsch Bijbel Genootschap; warga Injil
Belanda
NU Nahdlatul Ulama
NZV Nederlandsche Zendings Vereeniging; Organisasi Misi
Belanda
ONOI F. Valentyn, Oud en Nieuw Oost-Indiën, vervattende een
naauwkeurige en uitvoerige verhandeling van Nederlants
Mogentheyd in die Gewesten, enz.met meer dan 1050
prentverbeeldingen verrykt ... en met ... kaarten opgeheldert,
5 vols. (D ordrecht [etc.]: Van Braam, 1724–26)
* Perhatikan bahwa HAZEU, JALAL AL-DIN, KERN, dan PIJPER sebagai sumber ditulis
menggunakan huruf kapital untuk membedakannya dari nama orang.
DAFTAR SINGKATAN DAN RUJUKAN ARSIP — xi
ONZ Orgaan der Nederlandsche Zendingsvereeniging
PIJPER* Collectie Pijper, notes, LO r. 26.337
Plakaatboek J.A. van der Chijs, Nederlandsch-Indisch plakaatboek,
1602–1811, 16 vol., (Batavia dan The Hague,
Landsdrukkerij dan Nijhoff)
PNRI Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
PS Korespondensi antara G.F. Pijper dan C. Snouck
Hurgronje, dalam Collectie Pijper, LO r. 26.335
PUL Princeton University Library
Q Al-Quran
RIMA Review of Indonesian and Malaysian Affairs
SB Amicissime: Brieven van Christiaan Snouck Hurgronje
aan Herman Bavinck, 1878–1921, J. de Bruijn (ed.),
(Amsterdam: Historisch Documentatiecentrum voor het
Nederlands Protestantisme, 1992)
SI Sarekat Islam
TBG Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde
TKNM Tentara Kanjeng Nabi Muhammad
TNI Tijdschrift voor Neêrlands Indië
Vb Nationaal Archief, Den Haag, Ministerie van Koloniën:
Openbaar Verbaal, 1901–1952, nummer toegang
2.10.36.04
VBG Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen VG Verspreide geschriften van C.
Snouck Hurgronje, A.J. Wensinck (ed.), 6 vol., (Leiden:
Brill, 1923–27)
VK Orientalism and Islam: The letters of C. Snouck Hurgronje
to Th. Nöldeke from the Tübingen University Library, S. van
Koningsveld (ed.), (Leiden: Faculteit der Godgeleerdheid,
1985)