menelusuri pendekatan integral sebagai pendekatan utama
pemikiran Wilber dan hubungannya dengan modernitas. Bagian
berikutnya menguraikan tentang kecenderungan Wilber terhadap
posmodernisme yang menjadi titik tolak dalam menganalisis relasi
sais dan agama. Sebelum menguraikan kritik terhadap pemikiran
Guessoum secara singkat, bab ini ditutup dengan analisis dan
tawaran Guessoum tentang integrasi sains dan agama.
A. Dinamika Intelektual dan Fondasi Epistemologi
Pemikiran Ken Wilber
1. Biografi Singkat
Ken Wilber (selanjutnya disebut Wilber) lahir di kota
Oklahoma Amerika Serikat pada Januari 1 . Semasa sekolah
Wilber menetap di beberapa tempat karena mengikuti ayahnya
yang seorang militer. Ayahnya yaitu seorang pilot pesawat
tempur Amerika yang menikah dengan ibunya Wilber tidak berapa
setelah Perang Dunia II berakhir. Masa kecil Wiber banyak
dihabiskan bersama ibunya. Ibunya memiliki karakter estetis yang
tinggi sehingga hal ini mewarnai karakter Wilber. Sisi
feminim Wilber lebih berkembang dalam jiwanya. Pada sisi lain, ayahnya yang berlatar belakang militer dan atletis juga tidak luput
membentuk karakter Wilber. Dua karakter yang bertolak belakang
ini menjadikan Wilber memiliki kepribadian yang unik, integral
dan holistik.
Wilber yaitu anak tunggal sehingga segala perhatian dan
kasih sayang kedua orang tuanya hanya tertumpah kepadanya.
Wilber menjadi siswa yang sangat cerdas dan aktif semasa sekolah
dasar dan menengah. Ia selalu menduduki prestasi puncak di
sekolah. Wilber juga aktif dalam berbagai organisasi sekolah dan
mengikuti berbagai kegiatan olah raga seperti sepak bola, bola
volly, bola basket dan senam. Semasa sekolah menengah, Wilber
selama empat tahun terakhir sudah berpindah sekolah selama
empat kali. Kondisi ini turut memengaruhi karakter Wilber
baik positif maupun negatif. Wilber selalu mendapatkan teman
baru dan tidak berapa lama setelah itu berpisah dan mendapat
teman baru lagi karena sering pindah sekolah. Kondisi ini
kadang kala membuat ia tidak nyaman dan trauma.1
Dua karakter yang dikotomis seperti yang telah
disebutkan di atas membuat sebagian orang salah memahami
tentang Wilber. Wilber pada dasarnya tidak terlalu suka menulis.
Ia lebih senang berfikir dan berfikir. Ia yaitu seorang pemikir,
namun karena ide dan pemikirannya harus disampaikan dan
dikomunikasikan kepada orang lain, maka salah satu caranya agar
dapat dipahami oleh banyak orang yaitu dengan menulis.
Ia
sering menyendiri untuk mengasah intelektualitasnya dalam
menulis. Menulis baginya membutuhkan ketenangan. Pada kondisi
ini , Wilber sering dianggap sebagai orang yang tidak
memiliki sensitivitas sosial. Masa dewasa Wilber sering
dihabiskan dengan membaca, menulis dan melakukan meditasi.
Wilber menyelesaikan pendidikan menengahnya di
Bellevue, Nebraska dan kemudian melanjutkan kuliah kedokteran
di Universitas Duke. Kuliah di kedokteran yaitu keinginan orang
tuanya, karena mereka mengiginkan Wilber menjadi seorang
dokter. Pada akhirnya, Wilber dapat menyelesaikan pendidikan
sarjananya dan mendapatkan dua gelar sekaligus dalam bidang
biologi dan kimia.
Wilber berikutnya mendapatkan tawaran beasiswa untuk
mengambil magister di bidang biofisika dan biokimia di Nebraska. Selama tahun pertama dan kedua perkuliahan, ia mulai tidak
tertarik mendalami sains serta lebih banyak membaca psikologi,
filsafat, metafisika, dan agama baik yang berasal dari Barat
maupun Timur. Kondisi ini menyebabkan ia tidak dapat
menyelesaikan (dropped out) dari studi magister. Ia lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis buku.
Wilber telah menulis buku tentang spiritualitas dan sains serta
telah diterjemahkan ke dalam bahasa. Wilber mengembangkan
psikologi transpersonal dan psikologi humanistik yang secara jelas
menghubungkannya dengan spiritualitas. Wilber juga disebut
sebagai ‚The Einstein of Consciousness Research.‛ Pada tahun
, Wilber mendirikan The Integral Institute, sebuah lembaga
yang fokus meneliti dan mendiskusikan isu-isu tentang sains dan
warga dalam perspektif integralisme.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Wilber mengajar
sains, hukum dan psikologi. Pada tahun 1 , ia menikahi seorang
muridnya bernama Amy Wagner. Istrinya bekerja di sebuah toko
buku terbesar di sana. Selain mengajar, Wilber lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis sampai
menghasilkan puluhan buku baik dalam bidang sains, filsafat,
psikologi dan spiritualitas.
Setelah berpisah dengan istri pertamanya, Wilber pindah
ke San Fracisco dan menikah dengan Terry Killam. Tidak
beberapa lama setelah pernikahannya pada tahun 1 , selama
hampir sepuluh tahun, Wilber tidak menghasilkan tulisan karena
ia harus fokus merawat istrinya yang didiagnosa mengidap kanker.
Istrinya meninggal pada tahun 1 . Sejak merawat istrinya,
Wilber mengalami perubahan yang luar biasa dalam hidupnya. Ia
lebih cenderung mendalami ajaran dan pengobatan spiritual
Budhisme dan beberapa ajaran spiritualitas timur lainya.
. Karakter dan Konsep Epistemologi Wilber
Jennifer Woodhull menyebut Wilber sebagai seorang
integrasionis, filsuf, psikolog, guru spiritual, dan penulis yang
produktif. Wilber memiliki afinitas dengan Budhisme dan bahkan
ia menyebut dirinya sebagai murid dari guru Budha Tibet.Sebagai seorang pemikir dan ahli psikologi teoretis yang
terkemuka dewasa ini, Wilber memiliki kemampuan dan analisis
yang kuat untuk melakukan sintesis dari berbagai bidang ilmu
meliputi psikologi, filsafat, sosiologi, antropologi, dan agama. Ia
juga mampu mengintegrasikan dua hal dan sudut pandang yang
secara nyata bertentangan seperti timur dan barat, psikologi dan
filsafat, serta sains dan agama.
Wilber sangat terkesan dengan konsep psikologi Carl Jung
tentang perbedaan kesadaran personal dan kesadaran kolektif. Di
samping itu, ia juga sangat terkesan dengan konsep Roberto
Assagioli tentang perbedaan psikosintesis personal atau
psikologikal dengan psikosintesis transpersonal atau spiritual.
Kedua konsep inilah yang memberi inspirasi bagi Wilber untuk
pertama kali merumuskan model integralnya.
Wilber juga sangat terkesan dengan filsafat perennial yang
dipaparkan oleh Husthon Smith dalam bukunya Forgotten Truth.
Filsafat perennial inilah yang nantinya banyak memberi warna
terhadap pemikiran Wilber, terutama pandangannya tentang
agama umumnya dan spiritualitas khususnya.
Geoffrey D. Falk menyebut Wilber dengan berbagai
variasi gelar dan keunggulan. Ken Wilber yaitu Einstein yang
telah lama dicari dalam riset kesadaran, seorang jenius zaman ini,
ahli psikologi transpersonal (integral) yang ternama, filsuf dunia,
pendeta Amerika, pemikir yang paling komprehensif, inspiratif,
dan berpengaruh. Wilber pertama kali menulis buku sejak usia
tahun setelah drop out dari Pascasarjana bidang bio-kimia
(Biochemestry) tahun 1 dan sampai saat ini telah menulis lebih
dari dua puluh buku dan mendirikan serta memimpin The Integral
Institute.
Menurut Frank Visser, Wilber memiliki tujuh peran yang
berhubungan dengan intelektualitas dan spiritualitas. Ketujuh
peran ini yaitu teoretisi, sintetisi, kritikus, ahli polemik, pundit, pembimbing spiritual, dan mistikus. Sebagai seorang
teoretisi, ia menguasai berbagai macam teori ilmu-ilmu sosial,
pskologi Barat, dan spiritualitas Timur. Peran yang kedua
ditunjukkan dengan kemampuannya untuk melakukan analisis
dialektis yang menghasilkan sistem yang bersifat integratif,
termasuk tentang sains dan agama. Wilber juga merupakan
seorang kritikus ulung khususnya dalam kajian psikologi, sains
sosial, dan spiritualitas. Peran berikutnya yaitu kemampuannya
untuk menjawab berbagai polemik dan memberi jalan keluar
yang kaya dengan berbagai teori dan pendekatan. Wilber merasa
dirinya lebih sebagai pundit dan bukan guru. Pundit baginya
cenderung memiliki kemampuan seperti seorang ahli spiritual
sekaligus praktisi, sementara guru lebih cenderung mengajar
spiritualitas. Ia juga berperan sebagai guide atau pembimbing
kerohanian khususnya dalam Zen Budhisme. Peran yang terakhir
yaitu mistikus. Ia banyak menguasai berbagai pendekatan mistik
dalam berbagai agama termasuk memahami tentang sufisme.
B. Pendekatan Integral dan Modernitas
Dalam memahami dan mendalami pemikiran Wilber, ada
beberapa istilah kunci dan penting yang sering dikemukakan oleh
Wilber pada sebagian besar karya-karyanya. Istilah-istilah ini
mesti dipahami secara tepat dan komprehensif karena Wilber
sering memakai nya untuk menggambarkan suatu konsep
tertentu yang saling berhubungan dengan konsep-konsep yang
lain. Istilah-istilah ini yaitu empat kuadran (the four
quadrants), rantai besar wujud (the great chain of being), dan
pendekatan integral (the integral approach).
Integral menurut Wilber memiliki makna komprehensif,
inklusif, luas, dan merangkul segala hal. Pendekatan integral
yaitu memakai sebanyak mungkin perspektif, gaya, dan
metodologi dalam menghadapi dan menyelesaikan segala hal dan
segala disiplin ilmu terutama filsafat, psikologi, dan agama
ataupun spiritualitas. Hal ini disebabkan semua itu terdiri
dari beragam paradigma dan aliran.
Konsep empat kuadran (the four quadrants) yaitu
pengembangan dari ‚Rantai Besar Wujud‛ atau ‚The Great Chain
of Being.‛ Rantai Besar Wujud memiliki ratusan hirarki secara keseluruhan baik yang ada pada pra modern, modern, maupun
postmodern. Dari ratusan unsur hirarki ini , Wilber
mengelompokannya menjadi empat model utama yang disebut
dengan Empat Kuadran (the Four Quadrants). Semua unsur dari
keempat kuadran ini saling berhubungan. Empat kuadran
inilah nantinya menjadi langkah yang menentukan dan memilki
kaitan yang sangat penting dalam relasi sains dan agama.1
Dalam konteks sains, Wilber juga mengaitkan kedua
konsep ini di atas dengan kesatuan sains yang terdiri dari
tiga domain utama physiosphere (materi), biosphere (hidup), dan
noosphere (jiwa). Ketiganya yaitu manifestasi dari Spirit yang
saling berhubungan secara terus menerus dalam Satu Rantai Besar
Wujud (One Great Chain of Being). Konsep kesatuan dan
keterkaitan antara satu dengan yang lain yaitu sebuah
kesimpulan ilmiah dan bukan hanya kesimpulan keagamaan.
Sebelum membahas konsep-konsep ini , sebagai dasar
pemikiran Wilber, perlu dilihat terlebih dahulu konsep Wilber
tentang empat kuadran.
Kuadran pertama yaitu kuadran kanan atas (The UpperRight Quadrant). Kuandran ini merupakan nilai ilmiah standar
dari komponen individu alam semesta antara lain atom, molekul,
sel tunggal, organisme bersel banyak, organisme bersel kompleks,
reptil, mamalia purba, makhluk hidup yang memiliki akal,
makhluk hidup yang kemampuan akalnya semakin tinggi yang
disebutnya ‚SF1, SF , dan SF ‛. Hirarki dari setiap komponen ini
bersifat asimetris seperti atom mengandung netron tapi tidak
sebaliknya, molekul mengandung atom tapi tidak sebaliknya, dan
seterusnya. Di samping itu, perkembangan setiap komponen
meliputi komponen sebelumnya dengan keunikan tersendiri yang
tidak dimiliki komponen sebelumnya.
Kuadran kedua yaitu kuandran kanan bawah (The
Lower-Right Quandrant). Kuadran ini kebalikan dari yang
pertama. Jika kuadran pertama semakin tinggi tingkatnya semakin
besar, maka kuadran kedua ini semakin tinggi semakin kecil.
Kuadran ini disebut juga dengan kolektif luar atau sosial yang
meliputi mulai dari yang tertinggi galaksi, planet, sampai kepada negara/bangsa.Kuadran kanan baik atas maupun bawah
menampilkan realitas-realitas luar yang dapat dilihat (visible
ekterior realities). Kuadran pertama juga disebut dengan
eksterior individu, sedangkan kuadran kedua disebut dengan
eksterior kolektif.
Kuadran ketiga yaitu kuandran kiri atas (The Upper-Left
Quadrant). Komponen kuadran ini bersifat kesadaran sisi dalam
yang dimulai dari kesadaran individu yang paling sederhana
seperti indrawi sampai tingkat tinggi yaitu visi kreatif. Komponen
kuadran ini bersifat intensional individu.
Kuadran terakhir yaitu kuadran kiri bawah (The LowerLeft Quadrant). Kuadran ini terdiri dari komponen pandangan
dunia yang bersifat kolektif/sosial. Semakin tinggi tingkatnya
maka pandangan dunia semakin dalam dan kompleks. Komponenkomponen kuadran ini bersifat kultural. Kuadran kiri baik atas
maupun bawah menampilkan realitas-realitas interior yang tidak
dapat dilihat (invisible interior realities). Kuadran ketiga juga
disebut dengan interior individu, sedangkan kuadran terakhir
disebut dengan interior kolektif.
Semua komponen sisi kanan dapat ditangkap melalui
monologikal perspektif atau pengalaman inderawi, sedangkan sisi
kiri seperti makna, nilai, pemahaman dan sebagainya tidak dapat
diketahui dengan pengalaman inderawi. Sisi kiri atau interior
harus dilihat dengan introspeksi dan interpretasi. Kuadran kanan
menunjukkan realitas luar dan bersifat objektif, sedangkan
kuadran kiri menunjukkan realitas dalam dan bersifat subjektif.
Setiap aspek dari seluruh kuadran saling berhubungan sehingga
seharusnya menjadi aspek-aspek intrinsik dari kosmos itu sendiri.
Masing-masing komponen dari semua kuadran menunjukkan
berbagai bidang ilmu dan didalami oleh ahli yang beragam. Mulai
dari atom sampai organisme yaitu bidang ilmu kealaman (natural sciences), mulai dari persepsi sampai konsep yaitu bidang
psikologi, dan seterusnya. Salah satu kelemahan modernitas
yaitu cenderung menguasai satu kuadran dan menolak serta
mereduksi yang lain. Inilah yang disebut oleh Vincent P. Pecora
bahwa modernitas itu memperbesar peran rasio sekaligus
menghancurkan rasio itu sendirEmpat kuadran ini pada dasarnya menunjukkan
hubungan yang tepat antara sains dan spiritualitas. Keempat
kuadran ini juga menunjukkan dimensi-dimensi utama dan
penting dari seluruh realitas baik yang bersifat relatif maupun
utama (ultimate). Pada bagian lain, Wilber menyebut bahwa
keempat kuadran ini menunjukkan pertumbuhan,
perkembangan atau evolusi. Dari konsep empat kuadran
ini , Wilber cenderung memakai pendekatan
multiperspektif terhadap suatu realitas. Sudut pandang
multiperspektif ini yaitu dengan cara menganalisis berbagai konsep agama dan filsafat serta melihat berbagai kritik terhadap
keduanya.
Wilber memberi simbol terhadap seni, moral dan sains
dengan Saya (I), Kami (We), dan Ia (It). Seni bersifat subjektif,
moral bersifat intersubjektif, dan sains bersifat objektif.
Modernitas membedakan antara I dan We, sehingga kolektif tidak
dapat menentukan individu, artinya hak seseorang tidak dapat
disalahgunakan oleh negara, gereja, dan warga secara umum.
Demikian juga dengan pembedaan antara I dan It, hal ini
dapat bermakna seseorang tidak dapat menentukan objektifitas
sains melainkan objektifitas ditentukan oleh fakta empiris. Oleh
karena itu, nilai-nilai dan makna modernitas seperti demokrasi
liberal, kesetaraan, kebebasan, feminisme, ekologi, fisika modern
dan sebagainya semuanya didasarkan baik keseluruhan maupun
sebagian atas pembedaan ekspresi estetika/seni, hukum moral, dan
sains empiris.
Sains, seni, dan moral serta empat kuadran seperti yang
diuraikan di atas yaitu dasar dari pendekatan integral yang
dikembangkan Wilber. Jika salah satu dari dimensi dan kuadran
ini hilang, maka hal ini akan menghancurkan
semuanya. Hal ini menunjukkan bahwa semua dimensi,
jenis, dan kuadran bagi Wilber memiliki peran yang sangat
penting dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pembedaan (diferensiasi) ranah seni, sains dan moral
yaitu nilai dan martabat modernitas sedangkan pemisahan
(dissosiasi) dan dominasi serta penguasaan ranah sains terhadap
ranah moral dan seni yaitu sebuah bencana modernitas. Sains
monologis dengan berbagai variasinya termasuk positivisme,
analisis empiris, teori proses dinamis, teori sistem dan teori-teori
lainnya mendominasi diskursus di dunia Barat. Dengan analogi I,
We dan It, I dan We dikuasai oleh It. Inilah yang pada akhirnya
menghasilkan saintisme. Wilber menyebut bencana ini sebagai
‚kehancuran kosmos (the collapse of Cosmos)‛ yaitu dominasi
secara nyata sains monologis empiris terhadap segalanya. Oleh
karena itu, untuk mengatasi bencana modernitas yaitu dengan
cara menghilangkan pemisahan (dissosiasi) tiga ranah sehingga
satu ranah tidak menguasai yang lain, bukan denganmenghapuskan pembedaan (differensiasi). Salah satu bentuk
pemisahan atau dissosiasi pada modernitas di Eropa yaitu
pemisahan jiwa dan badan (mind and body), bukan pembedaan
(differensiasi) keduanya.
Pemisahan jiwa dan badan (mind and body) yaitu konsep
dualisme yang dikembangkan oleh Rene Descartes (1 -1 ).
Descartes membedakan substansi secara ontologis dan
epistemologis menjadi jiwa sebagai res cogitan dan badan sebagai
res extensa. Kedua substansi ini yaitu realitas terpisah.
Filsafat rasionalisme inilah yang menjadi salah satu aliran utama
dalam filsafat modern (modernisme).
Bencana modernisme bukanlah disebabkan oleh sains
yang bersifat holistik dan atomistik, melainkan oleh sains yang
bersifat empiris, monologis, instrumental, dan klaim objektif.
Sifat-sifat seperti itu lama kelamaan merusak ranah lain seperti
spirit, nilai, etika, seni, kesadaran, dan sebagainya. Benda-benda
yang bersifat empiris berada di eksterior sehingga dapat ditangkap
dengan indera. Kesadaran, pikiran, jiwa dan Tuhan berada pada
posisi interior, dan tidak dapat ditangkap dengan indera.
Kesalahan terbesar modernitas yaitu memaksakan dan mereduksi
dimensi interior (I dan We) kepada permukaan eksterior (objektif
It). Hal ini tentu saja merusak dimensi interior. Inilah sebabnya,
sains modern tidak sesuai dengan pluralisme epistemologi.
Akibatnya hubungan sains modern bertentangan dengan
spiritualitas karena sains modern menolak realitas ranah interior
yang berdampak pada penolakan terhadap keseluruhan Rantai
Besar Wujud (the Great Chain of Being), padahal semua berada
pada tingkatan rantai besar ini kecuali badan atau materi.
Jadi, itulah masalah pokok mengapa sains modern menolak agama,
karena bentuk interior yang lebih tinggi diganti dengan dominasi
eksterior yang monologis.
Dalam konteks tiga konsep besar I, We, dan It, kuadran
kiri atas mewakili I, kuadran kiri bawah mewakili We, dan kedua
kuadran kanan mewakili It. Konsep Wilber tentang tiga konsep
besar ini dipengaruhi oleh berbagai pemikir antara lain Plato (Keindahan, Kebaikan, dan Kebenaran), Kant (Kritik akal murni,
kritik akal praktis, dan kritik keputusan), Popper (Subjective/I,
Kultural/We, dan Objectif/It), Habermas (tiga klaim validitas),
dan Budhisme (Budha, Dharma dan Sangha),.
Pemikiran Immanuel Kant pada dasarnya terkait dengan
tiga pertanyaan besar yaitu apa yang dapat diketahui, apa yang
seharusnya dilakukan, dan apa yang dapat diharapkan. Pertanyaan
ketiga bernuansa keagamaan, sehingga jawabannya sangat erat
kaitannya dengan relasi sains dan agama.
Tiga model validitas pengetahuan yaitu paradigma,
pengalaman, dan falsifikasi dapat digunakan sebagai alat untuk
mengintegrasikan empat kuadran dengan holarki besar tradisional
tentang wujud termasuk agama. Pada dasarnya setiap level dari
rantai besar tradisi (The Great Chain of Tradition) tidak seragam
dan monolitik, namun setiap level paling tidak terdiri dari empat
dimensi atau empat kuadran. Keempat dimensi ini yaitu
subjektif, objektif, intersubjektif dan interobjektif. Wilber
menyebutnya juga sebagai intentional (kuadran kiri atas),
behavioural (kuadran kanan atas), cultural (kuadran kiri bawah),
dan social (kuadran kanan bawah). Keempat ranah ini
secara ideal yaitu satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan sebagai ranah interior dan eksterior.
Penyatuan ranah interior dan eksterior ataupun bagian
kuadran kiri dan kanan yaitu sebuah model naturalisme
transendental atau transendentalisme naturalistik. Oleh karena itu,
model penyatuan ini tidak dapat menghindari penyatuan antara
spiritual dan natural. Pandangan dunia pra modern lebih cenderung menekankan pada ranah interior sedangkan pandangan
dunia modern yaitu sepenuhnya ranah eksterior. Pada dasarnya,
model penyatuan ini yaitu cara yang paling tepat untuk
mengintegrasikan kebijaksanaan pra modern dan pengetahuan
modern (premodern wisdom and modern knowledge).
Salah satu dimensi penting dari setiap tingkatan Holarki
Besar Wujud yaitu sains objektif. Sains dapat berfungsi sebagai
bagian luar dari Spirit, kebenaran objektif dari Spirit, dan
permukaan Spirit>. Sains objektif yaitu pandangan yang sering
dijadikan karakter utama dari sains modern. Hal ini sangat
sesuai dengan pandangan positivisme. Positivisme mengklaim
bahwa metode empiris sains yaitu sepenuhnya bersifat objektif
dan tanpa bias sehingga paradigma personal saintis tidak
memengaruhi pandangan keilmuan mereka. Pandangan
positivistik ini sekaligus membantah pemikiran Kuhn
tentang paradigma yang berperan penting dalam perkembangan
sains. 1
Bagi Wilber, ranah esoterik agama yaitu rangkaian
praktek kontemplatif dan pengalaman kesadaran aktual serta
langsung seperti zikir, yoga, tai chi dan sebagainya. Oleh karena
itu, meski sebagian besar klaim menganggap bahwa agama
bersifat dogmatis dan tidak dapat diverifikasi sehingga tidak
dapat melawati pengujian sains mendalam, bagi Wilber sisi
esoteris agama bukan terdiri dari rangkaian mitos dan kepercayaan
yang tidak dapat diverifikasi. Salah satu aliran dalam filsafat
yaitu positivisme logis menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan
metafisika tidaklah bermakna karena pernyataan ini tidak
dapat diverifikasi secara faktual. Inilah yang dibantah oleh Wilber
di atas. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Wilber
mengkritk serta menyerang semua pandangan yang bersifat
empirisme dan positivisme, termasuk positivisme logis.
Praktek esoteris yaitu praktek spiritual yang dilakukan
berdasarkan tradisi keagamaan dan biasanya dilakukan secara
khusus serta tersembunyi. Dalam filsafat perennial, kebenaran
universal dari semua agama cenderung dikaitkan dengan
kebenaran esoteris. Oleh karena itulah, beberapa pandangan yang terkait dengan mistisisme dan spiritualitas dapat dilihat sisi-sisi
kesamaannya, meskipun tentu saja ada perbedaan.
Kebebasan manusia dalam politik dan pemikiran sebagai
inti dari pencerahan di Barat (Enlightenment of the West) dan
kebebasan spiritual sebagai inti dari pencerahan di Timur (The
Enlightenment of the East) yaitu contoh dan wujud dari integrasi
modernitas dengan pramodernitas. Dengan kata lain, integrasi
pencerahan di Barat (sains modern) dan pencerahan di timur
(agama esoerik) merupakan integrasi yang ideal. Menurut Frank
Visser, Wilber telah memberi kontribusi yang berharga
terhadap integrasi pemikiran Barat dan Timur.
Krisis ekologi yang terjadi yaitu akibat dari pandangan
dunia yang rusak (a fractured worldview). Pandangan dunia ini
secara tajam memisahkan jiwa dan badan, subjek dan objek,
budaya dan alam, pemikiran dan benda, nilai dan fakta, spirit dan
materi, manusia dan non manusia. Pandangan dunia seperti ini
bersifat dualistik, mekanistik, atomistik, antroposentris, hirarkis.
Bagi Wilber, bumi sesungguhnya tubuh dan darah, sehingga
perilaku merusak lingkungan sama dengan melakukan bunuh diri
secara perlahan dan mengerikan. Kesadaran kesatuan alam perlu
dimiliki oleh manusia. Wilber menyebut pandangan ini dengan
deep ecology (ekologi yang mendalam).
Untuk menyelamatkan bumi dan manusia itu sendiri,
pandangan dunia yang rusak ini harus diganti dengan
pandangan dunia baru. Pandangan dunia baru ini bersifat
holistik, lebih relasional, lebih integratif, lebih menghargai bumi,
dan tidak human sentris. Pandangan dunia seperti ini menghargai
seluruh jaringan kehidupan yang mengandung nilai intrinsik dan
menjadi inti dari eksistensi manusia itu sendiri.
Bagi Wilber, pandangan dunia holisitik dan menyatu
ini pada dasarnya telah ada sejak Plato dan Aristoteles pada
masa Yunani Kuno dan tetap bertahan sampai akhir abad ke-1 .
Sejak munculnya sains modern yang sering diasosiasikan dengan
Copernicus, Keppler, Bacon, Galilio, Newton dan sebagainya
pandangan dunia ini menjadi runtuh meskipun pada dasarnya
para saintis ini tidak menduga dan menginginkan keruntuhan ini .
Berdasarkan pluralisme epistemologi, sains empiris
berhubungan dengan ranah pengalaman inderawi, dan sedikit
terkait dengan ranah mental, namun tidak ada hubungan sama
sekali dengan ranah kontemplasi dan spiritual. Berbagai teori dan
paradigma baru tidak akan berhubungan dengan ranah
kontemplasi ini . Akibat dari paradigma baru, kontemplasi
diganti dan didominasi dengan mental dan indera. Pendekatan ini
menghancurkan dorongan keagamaan dan tidak membantu
integrasi sains dan agama.
Ranah inderawi bersifat monologis, ranah mental/pikiran
bersifat dialogis, dan ranah kontemplasi/spiritual bersifat
translogis. Hampir semua sains empiris bersifat monologis karena
objeknya yaitu benda mati. Objek dari ranah mental yaitu
manusia sehingga bersifat dialogis. Dalam ranah ini diperlukan
pemaknaan simbol, interpretasi, dan hermeneutik. Translogis
berada dibalik dari monologis dan dialogis. Pada ranah (domain)
ini diperlukan pendekatan kontemplatif dan spiritual. 1
Pereduksian kuadran kiri oleh kuadran kanan yaitu
bentuk kehancuran modernitas. Kehancuran modernitas itu
disebut sebagai kemerosotan dunia (disenchantment of the world)
oleh Weber, kolonialisasi sains terhadap nilai menurut Habermas,
manusia dimensi satu oleh Marcuse, dan desakralisasi dunia oleh
Schoun. Semua tokoh ini memang banyak memberi
inspirasi terhadap pemikiran Wilber.
Secara kultural, perkembangan modernitas di Barat dan
meluas ke seluruh dunia berlangsung dalam beberapa model
transisi budaya. Model transisi modernitas ini yaitu
penyebaran dengan cara imitasi, pembentukan pemahaman
melalui Negara ataupun kekuatan sosio kultural lain, pencarian
makna baru untuk menggantikan paham tradisional, upaya-upaya
perubahan warga secara menyeluruh, perubahan pandangan
dunia yang mengarah kepada humanistik dan saintifik, politik
gender yang patriarki, dan kolonialisme. Modernitas telah membelah pemikiran Barat. Agama (teologi) berjalan secara
independen tanpa intervensi sains. Pada sisi lain, sains berjalan
secara bebas pula tanpa campur tangan agama.
Pendekatan integral atau holistik terhadap realitas
meliputi fisika, biologi, psikologi, teologi dan mistisisme.
Integral yang dimaksud Wilber seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya yaitu pendekatan yang bersifat komprehensif,
inklusif, luas, dan merangkul segala hal. Wilber menilai lebih jauh
bahwa kesalahan fatal modernitas tidak hanya menyerang
spritualitas tapi lebih dari itu menyerang seluruh dimensi sisi kiri
kuadran. Barat modern yaitu satu-satunya peradaban besar tanpa
Rantai Besar Wujud (the Great Nest of Being) dalam sejarah
manusia.
Pada masa modernitas, moral, kontemplasi, interpretasi,
ekspresi estetik dan persepsi introspektif (yang termasuk kuadran
sisi kiri) semakin menjadi lemah dan berkurang karena semakin
menguatnya peran dan otoritas fisika khususnya dan ilmu
kealaman (natural sciences) umumnya. Modernitas yang
menghilangkan seluruh dimensi sisi interior menyebabkan sains
kehilangan makna, nilai, dan kedalaman. Sisi kiri mengandung
kualitas sedangkan sisi kanan mencakup kuantitas.
Pemikir-pemikir yang berpandangan bahwa sains
menghancurkan spiritualitas dan khususnya agama yaitu karena
mereka tidak memahami dengan baik sisi mistik dari agama.
Teologi sangat tergantung pada rasionalisme dan fakta-fakta
empiris. Dalam konteks perkembangan teologi di Barat, filsafat
telah merusak sisi rasional agama, dan sains telah merusak sisi
empiris dari agama. Teologi yang pada dasarnya sangat lemah
nilai-nilai spiritualitasnya ini akhirnya terpinggirkan sehingga yang tetap bertahan secara serius yaitu hanya filsafat
dan sains.
Teologi pada masa skolastik Barat dengan Thomas
Aquinas sebagai salah seorang tokoh utamanya menjadi ‚ratu
sains (the queen of sciences).‛ Posisi teologi seperti itu tetap
diperoleh pada masa posmodernisme atau kontemporer jika
memenuhi paling tidak tiga persyaratan. Teologi mesti
memperkuat ikatannya dengan masa sebelumnya, mencari dan
menemukan jawaban terhadap berbagai persoalan kontemporer,
dan memberi arah terhadap pengembangan ke depan melalui
diskursus multi dan interdisipliner. 1
Pada dasarnya, saintisme terbukti tidak benar jika
merujuk beberapa pemikir seperti Frijoft Schuon dan Huston
Smith. Salah satu upaya untuk melepaskan diri dari saintisme dan
empirisme yang ekslusif yaitu dengan cara menyadari bahwa
pengetahuan empiris bukanlah satu-satunya bentuk pengetahuan
melainkan ada jenis pengetahuan yang lain yaitu pengetahuan
mental-rasional dan pengetahuan spiritual-kontemplatiKonflik antara sains empiris dan agama yang terjadi pada
dasarnya yaitu konflik antara aspek-aspek pseudo-saintifik dari
agama dan aspek-aspek pseudo-keagamaan dari sains.
Kemungkinan tidak terjadi konflik jika sains tetap sains dan
agama tetap agama. Konflik terjadi akibat kesalahan kategori
yaitu teolog mencoba menjadi saintis dan sebaliknya saintis
mencoba menjadi teolog.
Fisika dan mistisisme bukanlah memakai pendekatan
yang berbeda untuk realitas yang sama melainkan keduanya
memakai pendekatan yang berbeda untuk dua tingkatan
realitas yang berbeda meskipun mistisisme mengarah kepada
realitas yang lebih tinggi tapi meliputi fisika.
Terkait dengan tiga ranah pengetahuan yaitu inderawi,
pikiran/akal, dan kontemplatif/spiritual serta peran akal yang lebih
besar, Wilber melengkapi konsep pengetahuan Habermas. Ketika
akal membatasi dirinya terhadap pengetahuan inderawi, bentuk
pengetahuan ini disebut dengan analitis empiris yang bersifat
tehknis. Ketika pikiran berhubungan dengan pikiran-pikiran lain,
model pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan hermeneutik,
fenomenologis, historis, dan rasional serta mengarah kepada yang
bersifat praktis dan moral. Habermas menurut Wilber tidak
membahas pandangan yang bersifat mistik dan spiritual. Wilber
menambahkan ketika pikiran mencoba menyentuh ranah spiritual,
maka pengetahuan ini bersifat paradoksikal atau dialektik radikal.
Habermas membagi sains ke dalam tiga jenis yaitu sains
analitis empiris, sains hermeneutik historis, dan sains kritis.
Inilah yang menjadi keberatan Wilber karena mestinya ada sains
spiritual. Pada sisi lain, pemikiran Habermas pada dasarnya
memberi semacam energi atau dorongan inspiratif tradisi
keagamaan tanpa merusak pentingnya rasionalitas dan prinsipprinsip kebebasan modernitas. Bagi Wilber, Habermas yaitu
filsuf terbesar yang masih hidupBuku Wilber tentang integrasi sains dan agama
ditujukannya kepada pembaca yang ortodoks, konvensional, dunia
arus utama, dan bukan untuk paradigma baru, era baru, dan
pertentangan budaya. Pengalaman bagi Wilber pada dasarnya
bentuk lain dari kesadaran. Jika seseorang merasakan badannya,
hal itu berarti ia menyadari akan tubuhnya bahkan lebih jauh
menyadari pikirannya. Oleh karena itu, pengalaman tidak hanya
bersifat inderawi, tapi juga terkait dengan pikiran (mind) dan
spirit.
Menurut Efron Lumban Gaol, Wilber menyimpulkan
kontemplasi sebagai satu-satunya unsur agama yang dapat
memainkan peran penting dan memberi solusi atas segala
kebingungan dan perubahan yang begitu besar abad ini. Dalam
konteks kontemplasi inilah, agama perlu dipertemukan dengan
sains dengan cara mengkaji pengetahuan baik agama ataupun
sains melalui analisis lima sikap korelatif. Upaya integrasi ini
yaitu untuk memetakan kembali eksistensi tiga ranah
pengetahuan untuk menguji pengetahuan yang menyeluruh. Lima
sikap korelasi agama dan sains ini yaitu sains menyangkal
agama, agama menyangkal sains, sains selaras dengan agama dari
sisi pengetahuan, sains memiliki argumen tersendiri tentang
eksistensi roh, dan sains yaitu interpretasi tentang dunia seperti
seni.
Wilber sependapat dengan beberapa pemikir seperti
Habermas dan Jean Gebser yang membagi pandangan dunia pra
modern menjadi tiga yaitu kuno (archaic), magis (magic), dan
mitos (mythic). Pandangan dunia pra modern tidak secara jelas
memisahkan antara estetika, sains, dan agama. Meskipun diklaim
bahwa pandangan dunianya bersifat holistik dan menyatu, tapi
kenyataan sebenarnya berlawanan. Hal ini dapat dilihat pada
abad pertengahan adanya dominasi dan kontrol dari kalangan
agama yang begitu besar termasuk terhadap perkembangan sains.
Ini menunjukkan bahwa adanya pemisahan yang cukup jelas.Fisika modern sebagai salah satu sains modern yaitu
ilmu yang berkembang sangat pesat sejalan dengan menguatnya
positivisme. Positivisme pada dasarnya memperkokoh eksistensi
dan hegemoni ilmu alam (natural sciences). Positivisme termasuk
positivisme logis mendapatkan kritik yang sangat kuat dari
rasionalisme kritis, teori kritis, dan realisme ilmiah. Ketiga aliran
dan pandangan ini dianggap sebagai gerakan antipositivisme.
Karl Popper sebagai filsuf dan saintis yang menolak
beberapa konsep dan pandangan positivisme dikategorikan
sebagai pelopor aliran rasionalisme kritis. Popper mengkritik
pandangan positivisme logis yang menganggap bahwa ungkapan
metafisika tidak bermakna (meaningless) karena tidak dapat
diverifikasi secara empiris. Menurut Popper, verifikasi tidak dapat
dijadikan alat untuk menguji kebermaknaan metafisika. Kritik lain
Popper terhadap positivisme yaitu pandangan bahwa dasar
ilmiah yaitu prinsip-prinsip induksi yang memperkuat peran ilmu
alam begitu besar. Tawaran Popper terhadap persoalan keilmuan
yaitu falsifikasi yang menjadikan cara berfikir deduktif sebagai
alat untuk memecahkan persoalan keilmuan. Kritik terakhir
Popper terhadap positivisme (positivisme logis khususnya) yaitu
tentang sensasionalisme (pengalaman inderawi) sebagai dasar
sains empiris. 1Pandangan ini jelas membuktikan bahwa
Wilber dalam banyak hal mendukung pemikiran beberapa filsuf
sains kontemporer seperti Karl Popper dan Thomas Kuhn. Para
filsuf sains kontemporer ini memiliki latar belakang ilmuilmu kealaman (natural sciences).
Berbeda dengan pemahaman di atas, bagi para fisikawan
modern sendiri yang menemukan dan mengembangkan fisika
quantum dan relativitas yaitu Einstein, Schroedinger, Heisenberg,
Bohr, Eddington, Pauli, de Broglie, Jeans, dan Planck secara
umum menyatakan bahwa fisika modern tidak mendukung
ataupun menolak pandangan dunia spiritual-mistik (mysticalspiritual worldview). Fisika modern yaitu murni teori ilmiah dan
tidak ada hubungannya dengan agama.
Teori Quantum berasal
dari percobaan-percobaan dari fisikawan untuk memahami sifat
dari partikel atom dan sub-atom. Menurut teori ini, entitas seperti proton dan elektron yaitu partikel sekaligus gelombang (both
particles and waves). Fisika Quantum yaitu mutlak sebagai
sentral dari fisika modern.
Pandangan fisikawan ini diragukan oleh Wilber.
Wilber melihat pada dasarnya para fisikawan modern seperti
Schroedinger dan Eddington yang menyatakan bahwa fisika tidak
ada hubungannya dengan metafisika dan spiritualitas bersikap
tidak konsisten. Eddington pernah menyatakan bahwa ia
melakukan eksplorasi terhadap dunia luar dengan memakai
metode fisika bukan untuk mencapai realitas konkrit melainkan
dunia bayangan dari simbol-simbol (shadow world of symbols).
Oleh karena itu, bagi Wilber, para fisikawan modern ini
memandang bahwa fisika berhubungan dengan bayangan
(shadows), di balik bayangan atau sama halnya dengan di balik
fisik. Untuk mencapai yang ada di balik fisik artinya menuju
metafisika. Meskipun demikian, bagi Wilber para fisikawan
modern ini tidaklah memberi kontribusi positif terhadap
metafisika selain sebuah kesalahan spektakuler. Kesalahan
ini tentu saja reduksionisme realitas dengan hanya mengakui
eksistensi materi saja. Itulah yang menjadi problem utama sains
modern sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan modernitas.
C. Posmodernisme Ken Wilber
Posmodernisme yaitu sebuah fase perkembangan
pemikiran yang masih diperdebatkan keberadaannya. Pada
dasarnya, posmodernisme dipahami sebagai penolakan, kritik,
antitesis, dan perlawanan terhadap modernisme. Terlepas dari
perbedaan pendapat tentang ciri dan eksistensi posmodernisme
yang telah diuraikan pada bab kedua pada disertasi ini, Ken
Wilber cenderung menempatkan pemikirannya dalam hal tertentu
sebagai bagian dari posmodernisme. Hal ini karena pada
dasarnya garis besar pemikiran Wilber yaitu kritik terhadap
modernitas dengan segala ketimpangan dan kekurangan padanya.
Menurut Wilber seiring kehancuran modernitas menjadi
positivisme, empirisisme, behaviorisme, dan teori sistem muncul
perlawanan posmodernisme. Bentuk perlawanan terhadap
modernisme sebenarnya secara umum dapat dibagi menjadi empat yaitu romantisme, idealisme, posmodernisme, dan integral. Pada
dasarnya keempat pemikiran dan gerakan di atas menentang cara
pandang monologikal hegemoni modernisme. Integral yaitu
sebuah model pendekatan dalam pemikiran Wilber sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya.
Yang menarik dari pemikiran analisis Wilber yaitu
tentang pemikiran Immanuel Kant. Bagi Wilber, sebelum keempat
pemikiran di atas, perlawanan terhadap modernisme telah dirintis
oleh Immanuel Kant. Kant berupaya membedakan tiga komponen
besar (seni, moral dan sains) dengan pemikirannya tentang kritik
terhadap akal teoretis (sains/empiris), akal praktis (moral), dan
akal murni (estetika dan metafisika). Dalam konteks integrasi,
Kant setidaknya telah berupaya memperkenalkan estetika untuk
mengintegrasikan moral dan sains, meskipun upaya ini tidak
tercapai karena tetap saja terjadi pemisahan terhadap ketiga
komponen ini . Dalam konteks ini , Kant dapat saja
dikategorikan sebagai perintis posmodernisme meskipun
epistemologi yang dibangun oleh kritisisme Kant termasuk
bercirikan epistemologi fondasionalisme. Epistemologi
fondasionalisme yaitu merupakan ciri utama dari modernisme
yang sarat dengan kerancuan dari sudut pandang posmodernisme
Richard Rorty. Salah satu kelemahan berbagai konsep
posmodernisme yaitu melupakan prinsip kesatuan (unity) dan
terlalu menonjolkan keragaman (diversity). Visi integralnya Ken
Wilber yaitu memandang segala bentuk keragaman ke dalam
satu bentuk kesatuan utuh (unity-in-diversity).
Upaya posmodernisme dalam pengertian yang luas seperti
Romatisisme dan Idealisme tidak berhasil menghadapi pemisahan
realitas, bencana modernitas dan otoritas sains. Salah satu upaya
lain untuk menggeser otoritas sains yang berlebihan yaitu dengan
cara menggali fondasi sains itu sendiri. Menurut Wilber, satusatunya cara memahami posmodernisme dalam pengertian khusus
yaitu dengan menangkap peran intrinsik dari interpretasi. Interpretasi sangat penting baik dalam konteks epistemologi
maupun ontologi posmodernisme.
Posmodernisme ekstrim memandang interpretasi yaitu
satu-satunya kebenaran objektif. Interpretasi merupakan bagian
dari sisi kiri atau interior sehingga prinsip posmodernisme ekstrim
ini bertolak belakang dengan kebenaran objektif modernisme yang
berasal dari sisi kanan atau eksterior. Oleh karena itu, pada
dasarnya paradigma baru posmodernisme yaitu pendekatan
integrasi sains dan agama.
Ronald Hendel membagi posmodernisme menjadi dua
yaitu posmodenisme kuat dan lunak (strong and weak
postmodernism). Posmodernisme kuat sering dikaitkan dengan
para pemikir posmodernisme Prancis seperti Michael Foucault dan
Jaquaes Derrida yang mengembangkan kritik Nietzcshe terhadap
rasionalisme dan humanisme menjadi sebuah kritikan keras
terhadap semua klaim epistemologis. Posmodernisme lunak juga
sepakat terhadap kritik ini namun tetap mempertahankan
peran praktis akal dan keunggulan manusia. posmodernisme keras
tidak dapat dipertahankan baik secara praktis maupun teoristis,
sedangkan posmodernisme lunak lebih dapat diterima. 1
Wilber mengemukakan tiga asumsi penting
posmodernisme. Pertama, realitas yaitu konstruksi dan
interpretasi manusia. Kedua, pemaknaan terhadap sesuatu
tergantung konteks dan konteks tidak terbatas. Ketiga, kognisi
yaitu istimewa dan bukan perspektif tunggal. Bagi Wilber,
asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh posmodernisme ini
cukup akurat dan sangat penting kaitannya dengan peluang
integrasi sains dan agama. Namun sayangnya, asumsi
posmodernisme ini dihantam secara luar biasa oleh
posmodernisme ekstrim sehingga mengakibatkan lahirnya
pandangan dunia yang bersifat dekonstruktif. Oleh karena itu,
integrasi sains dan agama harus melalui perspektif dan asumsi
posmodernisme yang meliputi konstruktivisme, kontekstualisme,
dan integralisme yang semuanya mengarah ke persoalan linguistik (linguistic turn).
Posmodernisme dengan segala variasinya dan para pemikir
‚paradigma baru‛ Amerika sering dikaitkan dengan pemikiran
Kuhn yang telah disalahpahami ini , termasuk pemikiran
spiritualitas Wilber sendiri. Pandangan posmodernisme ekstrim
yang menganggap bahwa tidak ada interpretasi yang valid, semua
relatif, dan nihilisme menyebabkan semua teori dan pemikiran
diragukan termasuk integrasi sains dan agama. Menurut Wilber,
posmodernisme ekstrim bersifat narsistik, kontradiktif dan patut
untuk dipertanyakan. Ia menyebut posmodernisme ekstrim ini
dengan kontradiksi performatif (performative contradiction).
Beberapa pemikir dapat diindikasikan sebagai pemikir
posmodernisme ekstrim seperti Habermas, Karl Otto Apel, Ernst
Gellner, dan lain-lain. meskipun sekarang telah ada semacam
konsensus bahwa posmodernisme ekstrim sudah berakhir. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa tidak ada kebenaran (no truth)
yaitu dogma posmodernisme yang sulit untuk dibantah.
Romatisme berupaya untuk kembali kepada sifat dan
kepercaayaan kepada Tuhan seperti yang dicetuskan oleh Jean
Jacques Rousseau. Gerakan ini bagi Wilber membingungkan
karena berupaya menggabungkan prarasional dengan transrasional
yang keduanya sama-sama non rasional. Tokoh yang paling
menonjol di sini menurut Wilber yaitu Sigmund Freud yang
cenderung memakai semua pengalaman transrasional yang
asli dan mereduksinya infantilisme prarasional. Lebih jauh, upaya
romatisme untuk mengintegrasikan tiga komponen besar hanyalah
menghilangkan nilai rasional dan konvensional. Integrasi ketiga
komponen ini tidak tampak, bahkan pemisahan ketiganya
masih terlihat jelas.
Perbedaan antara pra modern dan modern yang paling
mendasar yaitu tentang konsep alam semesta (universe) yang
jelas arahnya. Sebagian besar agama-agama dengan berbagai
variasinya mengakui penciptaan, ketuhanan, keseimbangan, dan
kedamaian di alam semesta. Berbeda dengan pramodern,
modernitas mulai mempertanyakan dan bahkan menghilangkan
berbagai konsep ini . Manusia mulai menjauh dari Tuhan, dan berorientasi antrhroposentris. Pemahaman tentang sejarah yaitu
devolusi (berasal dari Tuhan) diganti dengan evolusi (berkembang
menuju Tuhan). Hal ini dapat dilihat pada pemikiran
idealisme Schelling dan Hegel, bahkan Herbert Spencer
menjadikan evolusi sebagai hukum universal dan kemudian
Charles Darwin menerapkannya pada biologi.
Munculnya idealisme telah dimulai oleh Immanuel Kant.
Idealisme merupakan sebuah pemikiran tentang kosmos dan
sejarah manusia sebagian besar dilandaskan pada evolusi dan
perkembangan Roh Absolut. Kant telah berupaya membedakan
antara tiga komponen besar yaitu seni, moral, dan sains meskipun
gagal mengintegrasikannya. Kant melihat bahwa manusia tidak
mampu menangkap noumena (sesuatu yang sebenarnya) dan hanya
mampu menangkap fenomena atau penampakan dari sesuatu yang
sebenarnya melalui kategori-kategori dari pikiran. Lebih jauh,
idealisme Jerman menekankan bahwa dunia tidak dapat dipersepsi
melainkan dikonstruksi. Salah satu pemikir idealisme lainnya
yaitu Johann Fichte meyakini bahwa bentuk-bentuk pengetahuan
(sains) dan moral dapat diintegrasikan melalui kesadaran terhadap
Yang Absolut (Absolute Self). Hal ini tentu saja dapat
dilakukan dengan menghilangkan pemisahan (dualisme) yang
menjadi inti penyakit modernitas.
Integrasi tidak akan dapat tercapai pada alam saja atau
pikiran saja ataupun kombinasi keduanya. Yang hanya dapat
mengintegrasikan yaitu hanya Spirit yang berada dibalik alam
dan pikiran ini . Transendensi Spirit meliputi alam dan
pikiran. sementara idealisme memberi ruang yang sangat luas
terhadap seni, moral dan sains dan hubungannya dengan Spirit.
Oleh karena itu, idealisme sangat berpeluang untuk
mengintegrasikan seni, moral, dan sains. Spiritualitas yang tidak
mengakui dan mencakup evolusi akan hilang. Sains modern
menolak sifat spiritual dari evolusi namun tetap mempertahankan
pandangan evolusi itu sendiri. Sains modern mengakui sisi luar
(eksterior) evolusi tapi menolak sisi interior (interior) evolusi.
Meskipun demikian, sains modern tetap berupaya mengumpulkan
banyak bukti untuk memperkuat evolusi secara umum, sedangkan
agama berupaya menolak evolusi dengan cara setidaknya berpegang pada prinsip evolusi tidak lebih dari sebuah hipotesis.
Wilber pada dasarnya memandang ada kesamaan yang
begitu jelas antara sains modern dan filsafat timur tentang esensi
realitas. Realitas bagi keduanya bukanlah sesuatu yang terpisah,
melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh seperti sebuah atom
raksasa yang tidak memiliki batas. 1
Romatisisme dan idealisme memandang bahwa sains
yaitu salah satu model dari pluralisme epistemologi sehingga
sains dan agama memiliki tempat yang terpisah namun realitasnya
sama penting. Sedangkan posmodernisme lebih bersifat teoretis
dan mendekonstruksi segala bentuk segala bentuk epistemologi.
Agama, romatisisme dan idealisme secara epistemologis tidak
dapat sejalan dan mengimbangi monisme sains modern yang
agresif.
Dalam empat atau lima dekade terakhir ini, evolusi
budaya mengarah dari tingkatan dasar perkembangan dan
pertumbuhan kemanusiaan menuju berbagai model perkembangan
yang bersifat pluralistik, relativistik, individualistik, aktualisasi
diri, multikultural dan sebagainya. Semua model ini secara
umum disebut dengan posmodernisme. Wilber juga menyebut
evolusi budaya seperti itu dengan ‚green wave‛ atau ‚gelombang
hijau.‛
Posmodernisme secara umum memandang bahwa semua
pengetahuan terikat dengan budaya sehingga tidak perspektif
universal yang diterima. Pengetahuan yaitu konstruksi dan
interpretasi manusia dan bukan pemberian. Posmodernisme juga
tidak mengakui kerangka moral dan etika universal dan otonomi
radikal dari kebenaran (truth). Secara singkat, posmodernisme
memandang semua pengetahuan bersifat kontekstual,
interpretatif, konstruktif dan tidak universal. Bagi Wilber,
posmodernisme sebagai sebuah pandangan filsafat telah mati saat
ini karena pengakuan terhadap tidak ada kebenaran (no truth)
yaitu suatu kegilaan (aperspective madness). Jika pandangan
ini memengaruhi evolusi budaya maka kebudayaan ini
akan hancur.
Tradisi-tradisi kontemplatif diserang baik oleh
modernisme maupun posmodernisme. Modernisme menyerang
subjektitas tradisi kontemplatif, sedangkan posmodernisme
menyerang intersubjektifitas tradisi kontemplatif. Sains modern
sebagai salah satu produk modernisme segala bentuk pengetahuan
dan kepercayaan yang diperoleh melalui kontemplasi sama halnya
dengan posmodernisme. Sebagai solusi dari dua permasalahan
ini , Wilber menawarkan pendekatan integral yang disebut
dengan All Quadrants All Levels (AQAL) atau Integral
Methodological Pluralism (IMP)
D. Integrasi Sains dan Agama
Relasi sains dan agama merupakan dua hal yang sangat
penting dan menjadi topik yang hangat sampai saat ini. Sains
berupaya mencari kebenaran dengan memakai metode
tertentu dan agama memberi makna. Mempertemukan kebenaran
dan makna atau sains dan agama sangat sulit untuk secara
bersama-sama dan relasi keduanya untuk dapat diterima oleh
semua kalangan. Ketidaksepakatan tentang otoritas relatif dari
sumber pengetahuan selalu menjadi masalah yang diperdebatkan
tentang relasi sains dan agama.
Sains dan agama telah membagi
perhatiannya terhadap hubungan antara yang dapat diobservasi
dan yang tidak dapat diobservasi (the observable and the
unobservable).
Berdasarkan empat pola relasi sains dan agama menurut
Barbour seperti yang telah diuraikan pada bab kedua, integrasi
yaitu salah satu dari pola relasi ini . Pola relasi yang lain
yaitu konflik, independensi, dan dialog. Sedangkan Haught juga
merumuskan empat pola relasi yaitu konflik, kontras, kontak, dan
konfirmasi. Pola Barbour dan Haught pada dasarnya hampir sama
meskipun ada perbedaan yang tidak begitu signifikan.
Hampir senada yang dikemukakan oleh Barbour dan
Haught, Wilber merumuskan lima pola dan sikap hubungan sains
dan agama yang berkembang. Pertama yaitu sains menolak validitas agama. Sikap ini dibangun dengan pendekatan empiris
dan positivistik. Seperti yang dikembangkan oleh antara lain
Auguste Comte, Karl Marx, Sigmund Freud, dan Bertrand Russell.
Kedua yaitu agama menolak validitas sains. Sikap ini dilakukan
oleh kalangan fundamentalis agama yang menolak modernitas.
Sikap ketiga yaitu sains salah satu bentuk pengetahuan dan
dapat sejalan dengan agama (pluralisme epistemologi). Sikap
keempat yaitu sains menawarkan argumen yang dapat
menguatkan eksistensi Spirit/Roh. Kelima yaitu pandangan yang
menjadikan sains bukan pengetahuan tentang dunia melainkan
interpretasi tentang dunia sehingga status sains sama dengan seni
(paradigma posmodernisme). Sikap pertama dan kedua
menunjukkan dengan jelas bahwa agama dan sains tidak dapat
diintegrasikan. Tiga sikap berikutnya menggambarkan bahwa
tidak cukup kuat bukti untuk integrasi sains dan agama. Berbeda
dengan kelima sikap ini , pada uraian berikutnya akan
diuraikan konsep Wilber tentang beberapa persyaratan dan
argumen terjadinya integrasi sains dan agama.
Pola relasi sains dan agama yang pertama baik menurut
Barbour maupun Haught yaitu konflik. Ken Wilber menilai
bahwa paling tidak ada dua alasan yang mendasar terjadinya
konflik antara sains dan agama. Kedua alasan ini yaitu
pertama adanya penolakan modernisme terutama positivisme
radikal dan materialisme ilmiah terhadap segala hal yang bersifat
non fisik, sedangkan yang kedua yaitu dogma dan tema-tema
mitos-puitis dari penganut agama tradisional bertentangan dengan
investigasi ilmiah.1
Konflik sains dan agama seperti ini pada dasarnya
tidak perlu terjadi jika tidak ada kesalahan kategori. Jika sains
dipahami tetap sains dan agama tetap agama sehingga teolog
tidak berupaya menjadi saintis dan sebaliknya saintis tidak
menjadi teolog. Oleh karena itu, bagi Wilber, konflik sains dan
agama yaitu konflik antara aspek-aspek pseudo ilmiah dari
agama dan aspek-aspek pseudo keagamaan dari sains (the pseudoscientific of religion and pseudoreligious of science).1 1
Sains modern sangat antagonis dengan agama yang telah mapann
(established religions). Sains ortodoks dan agama ortodoks sangat
tidak dipercaya dan keduanya saling merendahkan.
Sains dan agama tidaklah sepadan (inncommensurability)
karena agama bebas dari keraguan dan tidak seperti sains, agama
mengatur seluruh bentuk kehidupan dan tidak seperti sains, serta
agama lebih merupakan gambaran seseorang untuk mengatur
hidupnya, bukanlah ekspresi keyakinan. Tesis ketidaksepadanan
sains dan agama yang dikemukakan oleh Putnam didasarkan atas
kontemplasinya terhadap standar dasar yang berbeda dari
kognitifitas. Sains didasarkan pada vernunftig (rasionalitas
diskursif) sedangkan agama didasarkan pada verstand
(pemahaman).1
Diskursus neo-ateisme (New Atheists Discourse)
cenderung mempertentangkan antara agama dan sains, keyakinan
dan keraguan, serta pra modern dan modern. Diskursus neoateisme ini merujuk pada pemikiran dan tulisan dari by
Richard Dawkins ( ), Daniel Dennett ( ), Christopher
Hitchens ( ), dan Sam Harris ( ).1
Pengalaman spiritual (mistisisme) sebenarnya dapat
dibuktikan oleh siapa saja bila metode yang digunakan sama
seperti halnya dengan pengalaman inderawi (fisika). Bagi Wilber,
tidak ada pertentangan antara sains dan agama. Pertentangan yang
ada yaitu pertentangan antara sains dan agama yang bersifat
eksperensial melawan sains dan agama yang bersifat dogmatik.
Dengan kata lain, pertentangan yang terjadi yaitu sains dan
agama yang asli (genuine science and religion) melawan sains
semu dan agama semu (pseoudo-science and pseudo-religion).1
Upaya untuk mengintegrasikan agama dan sains tidaklah
mudah. Untuk mengintegrasikan sains dan agama harus dicari dan ditemukan terlebih dahulu inti kesamaan semua agama. Jika hal
itu tidak dapat dilakukan, maka integrasi sains dan agama yang
dihasilkan hanya bersifat parsial dan pada agama tertentu saja.
Integrasi ini merupakan integrasi sempit. Wilber
menawarkan sebuah pendekatan integral untuk penelitian terhadap
berbagai fenomena dalam setiap kuadran dan tingkatan dan
menghubungkan satu sama lain tanpa reduksi. Pendekatan integral
ini yaitu sebuah model harmonisasi sains dalam pengertian
luas terhadap setiap kuadran (pembedaan-pembedaan dalam
modernitas) dan tingkatan (agama-agama pramodern). Dengan
pendekatan integral inilah, integrasi agama dan sains dapat
direalisasikan secara lebih luas dan dalam.1
Menurut Wilber, jika integrasi sains dan agama benarbenar dapat dilakukan, maka integrasi ini harus mencakup
integrasi tiga aspek besar (The Big Three) yaitu seni, moral, dan
sains. Integrasi bukan dengan merubah bentuk dari ketiga aspek
ini agar sesuai, namun dengan mengambil masing-masing
aspek setepat mungkin. Integrasi bukan untuk memaksa sains
mengikuti paradigma baru agar cocok dengan spiritualitas.
Integrasi bukan dimaksudkan untuk menghapus perbedaan.
Pendekatan integrasi di atas yaitu pendekatan integral terhadap
tiga aspek besar (The Big Three) yaitu seni, moral, dan sains.1
Peluang integrasi sains dan agama yang paling besar
yaitu dengan cara mengintegrasikan tiga aspek besar (The Big
Three), mengatasi pemisahan dan bencana modernitas, dan
memberi tempat yang lebih besar bagi posmodernitas.1 Dalam
menganalisis relasi sains dan agama menurut Wilber perlu terlebih
dahulu dipahami definisi sains itu sendiri. Orang tentu saja bebas
mendefinisikan sains sepanjang konsisten sehingga dapat
dipahami secara jelas hubungan sains dan agama ini . Jika
sains didefinisikan secara sederhana sebagai pengetahuan, maka
agama menjadi salah satu bentuk sains. Pada sisi lain, jika sains
dipahami sebagai sebuah pengetahuan empiris yang dapat
dibuktikan kebenarannya secara empiris, maka semua agama
yaitu non ilmiah. Konsekuensi logis dari konsep sains ini
memunculkan dua pandangan. Pertama, agama yaitu keyakinan
dan nilai personal dan tidak dapat masuk ke ranah saintifik.
Pandangan ini sejalan dengan yang dikembangkan oleh para saintis modern bahwa agama tidak bertentangan, tidak dapat
dikompromikan, dan setara dengan sains karena ranah keduanya
memang berbeda. Kedua, agama sebagai suatu yang non ilmiah
dipandang secara pejoratif seperti pandangan agama menurut
Comte, Freud, Marx, Feurbach dan pandangan tokoh positivisme
logis seperti Ayer dan Quine.1
Jika ranah pengetahuan yang didasarkan pada rasional dan
spiritual tidak dapat dikategorikan sebagai sains karena tidak
empiris, maka meski agak keberatan, Wilber menyebutnya dengan
‚sains yang lebih tinggi‛ atau ‚higher science.‛ Dalam
perkembangan kontemporer, banyak teori-teori filsafat, psikologi,
dan sosiologi yang termasuk pada ‚higher sciences‛ yang pada
awalnya hanya memakai kerangka analitis empiris, mencoba
memperluas dan mengembangkan dengan memakai
pendekatan transendental dan rasional seperti Piaget, Lacan,
Whitehead, Habermas, dan Gadamer. Sementara itu, banyak pula
teori-teori yang diklaim termasuk ke dalam ‚new and higher
sciences‛ (sains baru dan lebih tinggi) yang bersifat transendental,
transpersonal dan spiritual mengembangkan sisi-sisi empirisnya.
Empiris di sini tentu saja bersifat eksperensial dan eksperimental
seperti yoga.
1
Sains yaitu setiap disiplin ilmu yang secara sadar
mengikuti tiga model akumulasi dan verifikasi data baik dalam
ranah sensibilia (indera), intelligibilia (akal), maupun transendelia
(spiritual). Data yang berasal dari ranah indera disebut dengan
sains monologis atau sains analitis empiris. Data yang berasal dari
ranah intelligibilia atau akal disebut dengan sains dialogis atau
sains rasional, mental-fenomenologis, hermenutik dan semiotik.
Data yang berasal dari ranah transendelia disebut dengan sains
transendental, transpersonal, transogikal, dan kontemplatif.11
Untuk memperoleh definisi dan pemahaman yang tepat
tentang sains, harus dibedakan antara metode sains dan ranah
(domain) sains. Metode terkait dengan epistemologi sains dan
ranah terkait dengan ontologi sains. Menurut Wilber, sebagian
besar definisi sains han