Selasa, 26 November 2024

sain Alquran 8



menelusuri pendekatan integral sebagai pendekatan utama 


pemikiran Wilber dan hubungannya dengan modernitas. Bagian 


berikutnya menguraikan tentang kecenderungan Wilber terhadap 


posmodernisme yang menjadi titik tolak dalam menganalisis relasi 


sais dan agama. Sebelum menguraikan kritik terhadap pemikiran 


Guessoum secara singkat, bab ini ditutup dengan analisis dan 


tawaran Guessoum tentang integrasi sains dan agama. 


A. Dinamika Intelektual dan Fondasi Epistemologi 


Pemikiran Ken Wilber 


1. Biografi Singkat 


Ken Wilber (selanjutnya disebut Wilber) lahir di kota 


Oklahoma Amerika Serikat pada   Januari 1   . Semasa sekolah 


Wilber menetap di beberapa tempat karena mengikuti ayahnya 


yang seorang militer. Ayahnya yaitu  seorang pilot pesawat 


tempur Amerika yang menikah dengan ibunya Wilber tidak berapa 


setelah Perang Dunia II berakhir. Masa kecil Wiber banyak 


dihabiskan bersama ibunya. Ibunya memiliki karakter estetis yang 


tinggi sehingga hal ini  mewarnai karakter Wilber. Sisi 


feminim Wilber lebih berkembang dalam jiwanya. Pada sisi lain, ayahnya yang berlatar belakang militer dan atletis juga tidak luput 


membentuk karakter Wilber. Dua karakter yang bertolak belakang 


ini menjadikan Wilber memiliki kepribadian yang unik, integral


dan holistik.


Wilber yaitu  anak tunggal sehingga segala perhatian dan 


kasih sayang kedua orang tuanya hanya tertumpah kepadanya. 


Wilber menjadi siswa yang sangat cerdas dan aktif semasa sekolah 


dasar dan menengah. Ia selalu menduduki prestasi puncak di 


sekolah. Wilber juga aktif dalam berbagai organisasi sekolah dan 


mengikuti berbagai kegiatan olah raga seperti sepak bola, bola 


volly, bola basket dan senam. Semasa sekolah menengah, Wilber


selama empat tahun terakhir sudah berpindah sekolah selama 


empat kali. Kondisi ini  turut memengaruhi karakter Wilber


baik positif maupun negatif. Wilber selalu mendapatkan teman 


baru dan tidak berapa lama setelah itu berpisah dan mendapat 


teman baru lagi karena sering pindah sekolah. Kondisi ini  


kadang kala membuat ia tidak nyaman dan trauma.1


Dua karakter yang dikotomis seperti yang telah 


disebutkan di atas membuat sebagian orang salah memahami 


tentang Wilber. Wilber pada dasarnya tidak terlalu suka menulis. 


Ia lebih senang berfikir dan berfikir. Ia yaitu  seorang pemikir, 


namun karena ide dan pemikirannya harus disampaikan dan 


dikomunikasikan kepada orang lain, maka salah satu caranya agar 


dapat dipahami oleh banyak orang yaitu  dengan menulis. 


 Ia 


sering menyendiri untuk mengasah intelektualitasnya dalam


menulis. Menulis baginya membutuhkan ketenangan. Pada kondisi 


ini , Wilber sering dianggap sebagai orang yang tidak 


memiliki sensitivitas sosial. Masa dewasa Wilber sering 


dihabiskan dengan membaca, menulis dan melakukan meditasi. 


Wilber menyelesaikan pendidikan menengahnya di 


Bellevue, Nebraska dan kemudian melanjutkan kuliah kedokteran 


di Universitas Duke. Kuliah di kedokteran yaitu  keinginan orang 


tuanya, karena mereka mengiginkan Wilber menjadi seorang 


dokter. Pada akhirnya, Wilber dapat menyelesaikan pendidikan 


sarjananya dan mendapatkan dua gelar sekaligus dalam bidang 


biologi dan kimia. 


Wilber berikutnya mendapatkan tawaran beasiswa untuk 


mengambil magister di bidang biofisika dan biokimia di Nebraska. Selama tahun pertama dan kedua perkuliahan, ia mulai tidak 


tertarik mendalami sains serta lebih banyak membaca psikologi, 


filsafat, metafisika, dan agama baik yang berasal dari Barat 


maupun Timur. Kondisi ini  menyebabkan ia tidak dapat 


menyelesaikan (dropped out) dari studi magister. Ia lebih banyak 


menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis buku. 


Wilber telah menulis    buku tentang spiritualitas dan sains serta 


telah diterjemahkan ke dalam    bahasa. Wilber mengembangkan 


psikologi transpersonal dan psikologi humanistik yang secara jelas 


menghubungkannya dengan spiritualitas. Wilber juga disebut 


sebagai ‚The Einstein of Consciousness Research.‛ Pada tahun 


    , Wilber mendirikan The Integral Institute, sebuah lembaga 


yang fokus meneliti dan mendiskusikan isu-isu tentang sains dan 


warga  dalam perspektif integralisme.


Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Wilber mengajar 


sains, hukum dan psikologi. Pada tahun 1   , ia menikahi seorang 


muridnya bernama Amy Wagner. Istrinya bekerja di sebuah toko 


buku terbesar di sana. Selain mengajar, Wilber lebih banyak 


menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis sampai 


menghasilkan puluhan buku baik dalam bidang sains, filsafat, 


psikologi dan spiritualitas. 


Setelah berpisah dengan istri pertamanya, Wilber pindah 


ke San Fracisco dan menikah dengan Terry Killam. Tidak 


beberapa lama setelah pernikahannya pada tahun 1   , selama 


hampir sepuluh tahun, Wilber tidak menghasilkan tulisan karena 


ia harus fokus merawat istrinya yang didiagnosa mengidap kanker. 


Istrinya meninggal pada tahun 1   . Sejak merawat istrinya, 


Wilber mengalami perubahan yang luar biasa dalam hidupnya. Ia 

lebih cenderung mendalami ajaran dan pengobatan spiritual 


Budhisme dan beberapa ajaran spiritualitas timur lainya.


 . Karakter dan Konsep Epistemologi Wilber


Jennifer Woodhull menyebut Wilber sebagai seorang 


integrasionis, filsuf, psikolog, guru spiritual, dan penulis yang 


produktif. Wilber memiliki afinitas dengan Budhisme dan bahkan 


ia menyebut dirinya sebagai murid dari guru Budha Tibet.Sebagai seorang pemikir dan ahli psikologi teoretis yang 


terkemuka dewasa ini, Wilber memiliki kemampuan dan analisis 


yang kuat untuk melakukan sintesis dari berbagai bidang ilmu 


meliputi psikologi, filsafat, sosiologi, antropologi, dan agama. Ia 


juga mampu mengintegrasikan dua hal dan sudut pandang yang 


secara nyata bertentangan seperti timur dan barat, psikologi dan 


filsafat, serta sains dan agama. 


Wilber sangat terkesan dengan konsep psikologi Carl Jung 


tentang perbedaan kesadaran personal dan kesadaran kolektif. Di 


samping itu, ia juga sangat terkesan dengan konsep Roberto 


Assagioli tentang perbedaan psikosintesis personal atau 


psikologikal dengan psikosintesis transpersonal atau spiritual. 


Kedua konsep inilah yang memberi  inspirasi bagi Wilber untuk 


pertama kali merumuskan model integralnya. 


Wilber juga sangat terkesan dengan filsafat perennial yang 


dipaparkan oleh Husthon Smith dalam bukunya Forgotten Truth.


 


Filsafat perennial inilah yang nantinya banyak memberi  warna 


terhadap pemikiran Wilber, terutama pandangannya tentang 


agama umumnya dan spiritualitas khususnya. 


Geoffrey D. Falk menyebut Wilber dengan berbagai 


variasi gelar dan keunggulan. Ken Wilber yaitu  Einstein yang 


telah lama dicari dalam riset kesadaran, seorang jenius zaman ini, 


ahli psikologi transpersonal (integral) yang ternama, filsuf dunia, 


pendeta Amerika, pemikir yang paling komprehensif, inspiratif, 


dan berpengaruh. Wilber pertama kali menulis buku sejak usia    


tahun setelah drop out dari Pascasarjana bidang bio-kimia


(Biochemestry) tahun 1    dan sampai saat ini telah menulis lebih 


dari dua puluh buku dan mendirikan serta memimpin The Integral 


Institute.


Menurut Frank Visser, Wilber memiliki tujuh peran yang 


berhubungan dengan intelektualitas dan spiritualitas. Ketujuh 


peran ini  yaitu  teoretisi, sintetisi, kritikus, ahli polemik, pundit, pembimbing spiritual, dan mistikus. Sebagai seorang 


teoretisi, ia menguasai berbagai macam teori ilmu-ilmu sosial, 


pskologi Barat, dan spiritualitas Timur. Peran yang kedua 


ditunjukkan dengan kemampuannya untuk melakukan analisis 


dialektis yang menghasilkan sistem yang bersifat integratif, 


termasuk tentang sains dan agama. Wilber juga merupakan 


seorang kritikus ulung khususnya dalam kajian psikologi, sains 


sosial, dan spiritualitas. Peran berikutnya yaitu  kemampuannya 


untuk menjawab berbagai polemik dan memberi  jalan keluar 


yang kaya dengan berbagai teori dan pendekatan. Wilber merasa 


dirinya lebih sebagai pundit dan bukan guru. Pundit baginya 


cenderung memiliki kemampuan seperti seorang ahli spiritual 


sekaligus praktisi, sementara guru lebih cenderung mengajar 


spiritualitas. Ia juga berperan sebagai guide atau pembimbing 


kerohanian khususnya dalam Zen Budhisme. Peran yang terakhir 


yaitu  mistikus. Ia banyak menguasai berbagai pendekatan mistik 


dalam berbagai agama termasuk memahami tentang sufisme.

B. Pendekatan Integral dan Modernitas 


Dalam memahami dan mendalami pemikiran Wilber, ada 


beberapa istilah kunci dan penting yang sering dikemukakan oleh 


Wilber pada sebagian besar karya-karyanya. Istilah-istilah ini  


mesti dipahami secara tepat dan komprehensif karena Wilber 


sering memakai nya untuk menggambarkan suatu konsep 


tertentu yang saling berhubungan dengan konsep-konsep yang 


lain. Istilah-istilah ini  yaitu  empat kuadran (the four 


quadrants), rantai besar wujud (the great chain of being), dan 


pendekatan integral (the integral approach).


Integral menurut Wilber memiliki makna komprehensif, 


inklusif, luas, dan merangkul segala hal. Pendekatan integral


yaitu  memakai  sebanyak mungkin perspektif, gaya, dan 


metodologi dalam menghadapi dan menyelesaikan segala hal dan 


segala disiplin ilmu terutama filsafat, psikologi, dan agama


ataupun spiritualitas. Hal ini  disebabkan semua itu terdiri 


dari beragam paradigma dan aliran.

Konsep empat kuadran (the four quadrants) yaitu  


pengembangan dari ‚Rantai Besar Wujud‛ atau ‚The Great Chain 


of Being.‛ Rantai Besar Wujud memiliki ratusan hirarki secara keseluruhan baik yang ada  pada pra modern, modern, maupun 


postmodern. Dari ratusan unsur hirarki ini , Wilber 


mengelompokannya menjadi empat model utama yang disebut 


dengan Empat Kuadran (the Four Quadrants). Semua unsur dari 


keempat kuadran ini  saling berhubungan. Empat kuadran 


inilah nantinya menjadi langkah yang menentukan dan memilki 


kaitan yang sangat penting dalam relasi sains dan agama.1 


Dalam konteks sains, Wilber juga mengaitkan kedua 


konsep ini  di atas dengan kesatuan sains yang terdiri dari 


tiga domain utama physiosphere (materi), biosphere (hidup), dan 


noosphere (jiwa). Ketiganya yaitu  manifestasi dari Spirit yang 


saling berhubungan secara terus menerus dalam Satu Rantai Besar 


Wujud (One Great Chain of Being). Konsep kesatuan dan 


keterkaitan antara satu dengan yang lain yaitu  sebuah 


kesimpulan ilmiah dan bukan hanya kesimpulan keagamaan.

Sebelum membahas konsep-konsep ini , sebagai dasar 


pemikiran Wilber, perlu dilihat terlebih dahulu konsep Wilber


tentang empat kuadran.


Kuadran pertama yaitu  kuadran kanan atas (The Upper￾Right Quadrant). Kuandran ini merupakan nilai ilmiah standar 


dari komponen individu alam semesta antara lain atom, molekul, 


sel tunggal, organisme bersel banyak, organisme bersel kompleks, 


reptil, mamalia purba, makhluk hidup yang memiliki akal, 


makhluk hidup yang kemampuan akalnya semakin tinggi yang 


disebutnya ‚SF1, SF , dan SF ‛. Hirarki dari setiap komponen ini 


bersifat asimetris seperti atom mengandung netron tapi tidak 


sebaliknya, molekul mengandung atom tapi tidak sebaliknya, dan 


seterusnya. Di samping itu, perkembangan setiap komponen 


meliputi komponen sebelumnya dengan keunikan tersendiri yang 


tidak dimiliki komponen sebelumnya.

Kuadran kedua yaitu  kuandran kanan bawah (The 


Lower-Right Quandrant). Kuadran ini kebalikan dari yang 


pertama. Jika kuadran pertama semakin tinggi tingkatnya semakin 


besar, maka kuadran kedua ini semakin tinggi semakin kecil. 


Kuadran ini disebut juga dengan kolektif luar atau sosial yang 


meliputi mulai dari yang tertinggi galaksi, planet, sampai kepada negara/bangsa.Kuadran kanan baik atas maupun bawah 


menampilkan realitas-realitas luar yang dapat dilihat (visible 


ekterior realities). Kuadran pertama juga disebut dengan 


eksterior individu, sedangkan kuadran kedua disebut dengan 


eksterior kolektif.

Kuadran ketiga yaitu  kuandran kiri atas (The Upper-Left 


Quadrant). Komponen kuadran ini bersifat kesadaran sisi dalam 


yang dimulai dari kesadaran individu yang paling sederhana 


seperti indrawi sampai tingkat tinggi yaitu visi kreatif. Komponen 


kuadran ini bersifat intensional individu.

Kuadran terakhir yaitu  kuadran kiri bawah (The Lower￾Left Quadrant). Kuadran ini terdiri dari komponen pandangan 


dunia yang bersifat kolektif/sosial. Semakin tinggi tingkatnya 


maka pandangan dunia semakin dalam dan kompleks. Komponen￾komponen kuadran ini bersifat kultural. Kuadran kiri baik atas 


maupun bawah menampilkan realitas-realitas interior yang tidak 


dapat dilihat (invisible interior realities). Kuadran ketiga juga 


disebut dengan interior individu, sedangkan kuadran terakhir 


disebut dengan interior kolektif.

Semua komponen sisi kanan dapat ditangkap melalui 


monologikal perspektif atau pengalaman inderawi, sedangkan sisi 


kiri seperti makna, nilai, pemahaman dan sebagainya tidak dapat 


diketahui dengan pengalaman inderawi. Sisi kiri atau interior


harus dilihat dengan introspeksi dan interpretasi. Kuadran kanan 


menunjukkan realitas luar dan bersifat objektif, sedangkan 


kuadran kiri menunjukkan realitas dalam dan bersifat subjektif. 


Setiap aspek dari seluruh kuadran saling berhubungan sehingga 


seharusnya menjadi aspek-aspek intrinsik dari kosmos itu sendiri. 


Masing-masing komponen dari semua kuadran menunjukkan 


berbagai bidang ilmu dan didalami oleh ahli yang beragam. Mulai 


dari atom sampai organisme yaitu  bidang ilmu kealaman (natural sciences), mulai dari persepsi sampai konsep yaitu  bidang 


psikologi, dan seterusnya. Salah satu kelemahan modernitas 


yaitu  cenderung menguasai satu kuadran dan menolak serta 


mereduksi yang lain. Inilah yang disebut oleh Vincent P. Pecora 


bahwa modernitas itu memperbesar peran rasio sekaligus 


menghancurkan rasio itu sendirEmpat kuadran ini  pada dasarnya menunjukkan 


hubungan yang tepat antara sains dan spiritualitas. Keempat 


kuadran ini  juga menunjukkan dimensi-dimensi utama dan 


penting dari seluruh realitas baik yang bersifat relatif maupun 


utama (ultimate).   Pada bagian lain, Wilber menyebut bahwa 


keempat kuadran ini  menunjukkan pertumbuhan, 


perkembangan atau evolusi.   Dari konsep empat kuadran


ini , Wilber cenderung memakai  pendekatan 


multiperspektif terhadap suatu realitas. Sudut pandang 


multiperspektif ini yaitu  dengan cara menganalisis berbagai konsep agama dan filsafat serta melihat berbagai kritik terhadap 


keduanya.


Wilber memberi  simbol terhadap seni, moral dan sains


dengan Saya (I), Kami (We), dan Ia (It). Seni bersifat subjektif, 


moral bersifat intersubjektif, dan sains bersifat objektif. 


Modernitas membedakan antara I dan We, sehingga kolektif tidak 


dapat menentukan individu, artinya hak seseorang tidak dapat 


disalahgunakan oleh negara, gereja, dan warga  secara umum. 


Demikian juga dengan pembedaan antara I dan It, hal ini  


dapat bermakna seseorang tidak dapat menentukan objektifitas 


sains melainkan objektifitas ditentukan oleh fakta empiris. Oleh 


karena itu, nilai-nilai dan makna modernitas seperti demokrasi 


liberal, kesetaraan, kebebasan, feminisme, ekologi, fisika modern


dan sebagainya semuanya didasarkan baik keseluruhan maupun 


sebagian atas pembedaan ekspresi estetika/seni, hukum moral, dan 


sains empiris.

Sains, seni, dan moral serta empat kuadran seperti yang 


diuraikan di atas yaitu  dasar dari pendekatan integral yang 


dikembangkan Wilber. Jika salah satu dari dimensi dan kuadran 


ini  hilang, maka hal ini  akan menghancurkan 


semuanya.   Hal ini  menunjukkan bahwa semua dimensi, 


jenis, dan kuadran bagi Wilber memiliki peran yang sangat 


penting dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 


Pembedaan (diferensiasi) ranah seni, sains dan moral


yaitu  nilai dan martabat modernitas sedangkan pemisahan 


(dissosiasi) dan dominasi serta penguasaan ranah sains terhadap 


ranah moral dan seni yaitu  sebuah bencana modernitas. Sains 


monologis dengan berbagai variasinya termasuk positivisme, 


analisis empiris, teori proses dinamis, teori sistem dan teori-teori 


lainnya mendominasi diskursus di dunia Barat. Dengan analogi I, 


We dan It, I dan We dikuasai oleh It. Inilah yang pada akhirnya 


menghasilkan saintisme. Wilber menyebut bencana ini sebagai 


‚kehancuran kosmos (the collapse of Cosmos)‛ yaitu dominasi 


secara nyata sains monologis empiris terhadap segalanya. Oleh 


karena itu, untuk mengatasi bencana modernitas yaitu  dengan


cara menghilangkan pemisahan (dissosiasi) tiga ranah sehingga 


satu ranah tidak menguasai yang lain, bukan denganmenghapuskan pembedaan (differensiasi). Salah satu bentuk 


pemisahan atau dissosiasi pada modernitas di Eropa yaitu  


pemisahan jiwa dan badan (mind and body), bukan pembedaan 


(differensiasi) keduanya.


Pemisahan jiwa dan badan (mind and body) yaitu  konsep 


dualisme yang dikembangkan oleh Rene Descartes (1   -1   ). 


Descartes membedakan substansi secara ontologis dan 


epistemologis menjadi jiwa sebagai res cogitan dan badan sebagai 


res extensa. Kedua substansi ini  yaitu  realitas terpisah. 


Filsafat rasionalisme inilah yang menjadi salah satu aliran utama 


dalam filsafat modern (modernisme).

Bencana modernisme bukanlah disebabkan oleh sains 


yang bersifat holistik dan atomistik, melainkan oleh sains yang 


bersifat empiris, monologis, instrumental, dan klaim objektif. 


Sifat-sifat seperti itu lama kelamaan merusak ranah lain seperti 


spirit, nilai, etika, seni, kesadaran, dan sebagainya. Benda-benda 


yang bersifat empiris berada di eksterior sehingga dapat ditangkap 


dengan indera. Kesadaran, pikiran, jiwa dan Tuhan berada pada 


posisi interior, dan tidak dapat ditangkap dengan indera. 


Kesalahan terbesar modernitas yaitu  memaksakan dan mereduksi 


dimensi interior (I dan We) kepada permukaan eksterior (objektif 


It). Hal ini tentu saja merusak dimensi interior. Inilah sebabnya, 


sains modern tidak sesuai dengan pluralisme epistemologi. 


Akibatnya hubungan sains modern bertentangan dengan 


spiritualitas karena sains modern menolak realitas ranah interior 


yang berdampak pada penolakan terhadap keseluruhan Rantai 


Besar Wujud (the Great Chain of Being), padahal semua berada 


pada tingkatan rantai besar ini  kecuali badan atau materi. 


Jadi, itulah masalah pokok mengapa sains modern menolak agama, 


karena bentuk interior yang lebih tinggi diganti dengan dominasi 


eksterior yang monologis.

Dalam konteks tiga konsep besar I, We, dan It, kuadran


kiri atas mewakili I, kuadran kiri bawah mewakili We, dan kedua 


kuadran kanan mewakili It. Konsep Wilber tentang tiga konsep 


besar ini  dipengaruhi oleh berbagai pemikir antara lain Plato (Keindahan, Kebaikan, dan Kebenaran), Kant (Kritik akal murni, 


kritik akal praktis, dan kritik keputusan), Popper (Subjective/I, 


Kultural/We, dan Objectif/It), Habermas (tiga klaim validitas),


dan Budhisme (Budha, Dharma dan Sangha),.

Pemikiran Immanuel Kant   pada dasarnya terkait dengan 


tiga pertanyaan besar yaitu apa yang dapat diketahui, apa yang 


seharusnya dilakukan, dan apa yang dapat diharapkan. Pertanyaan 


ketiga bernuansa keagamaan, sehingga jawabannya sangat erat 


kaitannya dengan relasi sains dan agama.



Tiga model validitas pengetahuan yaitu paradigma, 


pengalaman, dan falsifikasi dapat digunakan sebagai alat untuk 


mengintegrasikan empat kuadran dengan holarki besar tradisional 


tentang wujud termasuk agama. Pada dasarnya setiap level dari 


rantai besar tradisi (The Great Chain of Tradition) tidak seragam 


dan monolitik, namun setiap level paling tidak terdiri dari empat 


dimensi atau empat kuadran. Keempat dimensi ini  yaitu  


subjektif, objektif, intersubjektif dan interobjektif. Wilber 


menyebutnya juga sebagai intentional (kuadran kiri atas), 


behavioural (kuadran kanan atas), cultural (kuadran kiri bawah), 


dan social (kuadran kanan bawah). Keempat ranah ini  


secara ideal yaitu  satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat 


dipisahkan sebagai ranah interior dan eksterior. 


Penyatuan ranah interior dan eksterior ataupun bagian 


kuadran kiri dan kanan yaitu  sebuah model naturalisme 


transendental atau transendentalisme naturalistik. Oleh karena itu, 


model penyatuan ini tidak dapat menghindari penyatuan antara 


spiritual dan natural. Pandangan dunia pra modern lebih cenderung menekankan pada ranah interior sedangkan pandangan 


dunia modern yaitu  sepenuhnya ranah eksterior. Pada dasarnya, 


model penyatuan ini  yaitu  cara yang paling tepat untuk 


mengintegrasikan kebijaksanaan pra modern dan pengetahuan


modern (premodern wisdom and modern knowledge).


Salah satu dimensi penting dari setiap tingkatan Holarki 


Besar Wujud yaitu  sains objektif. Sains dapat berfungsi sebagai 


bagian luar dari Spirit, kebenaran objektif dari Spirit, dan 


permukaan Spirit>. Sains objektif yaitu  pandangan yang sering 


dijadikan karakter utama dari sains modern. Hal ini  sangat 


sesuai dengan pandangan positivisme. Positivisme mengklaim 


bahwa metode empiris sains yaitu  sepenuhnya bersifat objektif


dan tanpa bias sehingga paradigma personal saintis tidak 


memengaruhi pandangan keilmuan mereka. Pandangan 


positivistik ini  sekaligus membantah pemikiran Kuhn


tentang paradigma yang berperan penting dalam perkembangan 


sains. 1


Bagi Wilber, ranah esoterik agama yaitu  rangkaian 


praktek kontemplatif dan pengalaman kesadaran aktual serta 


langsung seperti zikir, yoga, tai chi dan sebagainya. Oleh karena 


itu, meski sebagian besar klaim menganggap bahwa agama 


bersifat dogmatis dan tidak dapat diverifikasi sehingga tidak 


dapat melawati pengujian sains mendalam, bagi Wilber sisi 


esoteris agama bukan terdiri dari rangkaian mitos dan kepercayaan 


yang tidak dapat diverifikasi.   Salah satu aliran dalam filsafat


yaitu positivisme logis menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan 


metafisika tidaklah bermakna karena pernyataan ini  tidak 


dapat diverifikasi secara faktual. Inilah yang dibantah oleh Wilber


di atas. Hal ini  menunjukkan bahwa pada dasarnya Wilber


mengkritk serta menyerang semua pandangan yang bersifat 


empirisme dan positivisme, termasuk positivisme logis. 


Praktek esoteris yaitu  praktek spiritual yang dilakukan 


berdasarkan tradisi keagamaan dan biasanya dilakukan secara 


khusus serta tersembunyi. Dalam filsafat perennial, kebenaran 


universal dari semua agama cenderung dikaitkan dengan 


kebenaran esoteris.   Oleh karena itulah, beberapa pandangan yang terkait dengan mistisisme dan spiritualitas dapat dilihat sisi-sisi 


kesamaannya, meskipun tentu saja ada perbedaan. 


Kebebasan manusia dalam politik dan pemikiran sebagai 


inti dari pencerahan di Barat (Enlightenment of the West) dan 


kebebasan spiritual sebagai inti dari pencerahan di Timur (The 


Enlightenment of the East) yaitu  contoh dan wujud dari integrasi 


modernitas dengan pramodernitas. Dengan kata lain, integrasi 


pencerahan di Barat (sains modern) dan pencerahan di timur 


(agama esoerik) merupakan integrasi yang ideal.   Menurut Frank 


Visser, Wilber telah memberi  kontribusi yang berharga 


terhadap integrasi pemikiran Barat dan Timur.  


Krisis ekologi yang terjadi yaitu  akibat dari pandangan 


dunia yang rusak (a fractured worldview). Pandangan dunia ini 


secara tajam memisahkan jiwa dan badan, subjek dan objek, 


budaya dan alam, pemikiran dan benda, nilai dan fakta, spirit dan 


materi, manusia dan non manusia. Pandangan dunia seperti ini 


bersifat dualistik, mekanistik, atomistik, antroposentris, hirarkis. 


Bagi Wilber, bumi sesungguhnya tubuh dan darah, sehingga 


perilaku merusak lingkungan sama dengan melakukan bunuh diri 


secara perlahan dan mengerikan.   Kesadaran kesatuan alam perlu 


dimiliki oleh manusia. Wilber menyebut pandangan ini dengan 


deep ecology (ekologi yang mendalam).  


Untuk menyelamatkan bumi dan manusia itu sendiri, 


pandangan dunia yang rusak ini  harus diganti dengan 


pandangan dunia baru. Pandangan dunia baru ini  bersifat 


holistik, lebih relasional, lebih integratif, lebih menghargai bumi, 


dan tidak human sentris. Pandangan dunia seperti ini menghargai 


seluruh jaringan kehidupan yang mengandung nilai intrinsik dan 


menjadi inti dari eksistensi manusia itu sendiri.  


Bagi Wilber, pandangan dunia holisitik dan menyatu 


ini  pada dasarnya telah ada sejak Plato dan Aristoteles pada 


masa Yunani Kuno dan tetap bertahan sampai akhir abad ke-1 . 


Sejak munculnya sains modern yang sering diasosiasikan dengan 


Copernicus, Keppler, Bacon, Galilio, Newton dan sebagainya 


pandangan dunia ini  menjadi runtuh meskipun pada dasarnya 


para saintis ini  tidak menduga dan menginginkan keruntuhan ini .


  


Berdasarkan pluralisme epistemologi, sains empiris


berhubungan dengan ranah pengalaman inderawi, dan sedikit 


terkait dengan ranah mental, namun tidak ada hubungan sama 


sekali dengan ranah kontemplasi dan spiritual. Berbagai teori dan 


paradigma baru tidak akan berhubungan dengan ranah 


kontemplasi ini . Akibat dari paradigma baru, kontemplasi 


diganti dan didominasi dengan mental dan indera. Pendekatan ini 


menghancurkan dorongan keagamaan dan tidak membantu 


integrasi sains dan agama.


  


Ranah inderawi bersifat monologis, ranah mental/pikiran 


bersifat dialogis, dan ranah kontemplasi/spiritual bersifat 


translogis. Hampir semua sains empiris bersifat monologis karena 


objeknya yaitu  benda mati. Objek dari ranah mental yaitu  


manusia sehingga bersifat dialogis. Dalam ranah ini diperlukan 


pemaknaan simbol, interpretasi, dan hermeneutik. Translogis 


berada dibalik dari monologis dan dialogis. Pada ranah (domain)


ini diperlukan pendekatan kontemplatif dan spiritual. 1


Pereduksian kuadran kiri oleh kuadran kanan yaitu  


bentuk kehancuran modernitas. Kehancuran modernitas itu 


disebut sebagai kemerosotan dunia (disenchantment of the world) 


oleh Weber, kolonialisasi sains terhadap nilai menurut Habermas, 


manusia dimensi satu oleh Marcuse, dan desakralisasi dunia oleh 


Schoun.   Semua tokoh ini  memang banyak memberi  


inspirasi terhadap pemikiran Wilber. 


Secara kultural, perkembangan modernitas di Barat dan 


meluas ke seluruh dunia berlangsung dalam beberapa model 


transisi budaya. Model transisi modernitas ini  yaitu  


penyebaran dengan cara imitasi, pembentukan pemahaman 


melalui Negara ataupun kekuatan sosio kultural lain, pencarian 


makna baru untuk menggantikan paham tradisional, upaya-upaya 


perubahan warga  secara menyeluruh, perubahan pandangan 


dunia yang mengarah kepada humanistik dan saintifik, politik 


gender yang patriarki, dan kolonialisme.   Modernitas telah membelah pemikiran Barat. Agama (teologi) berjalan secara 


independen tanpa intervensi sains. Pada sisi lain, sains berjalan 


secara bebas pula tanpa campur tangan agama.  


Pendekatan integral atau holistik terhadap realitas 


meliputi fisika, biologi, psikologi, teologi dan mistisisme.  


Integral yang dimaksud Wilber seperti yang telah dijelaskan 


sebelumnya yaitu  pendekatan yang bersifat komprehensif, 


inklusif, luas, dan merangkul segala hal. Wilber menilai lebih jauh 


bahwa kesalahan fatal modernitas tidak hanya menyerang 


spritualitas tapi lebih dari itu menyerang seluruh dimensi sisi kiri


kuadran. Barat modern yaitu  satu-satunya peradaban besar tanpa 


Rantai Besar Wujud (the Great Nest of Being) dalam sejarah 


manusia.  


Pada masa modernitas, moral, kontemplasi, interpretasi, 


ekspresi estetik dan persepsi introspektif (yang termasuk kuadran 


sisi kiri) semakin menjadi lemah dan berkurang karena semakin 


menguatnya peran dan otoritas fisika khususnya dan ilmu 


kealaman (natural sciences) umumnya. Modernitas yang 


menghilangkan seluruh dimensi sisi interior menyebabkan sains 


kehilangan makna, nilai, dan kedalaman. Sisi kiri mengandung 


kualitas sedangkan sisi kanan mencakup kuantitas.  


Pemikir-pemikir yang berpandangan bahwa sains 


menghancurkan spiritualitas dan khususnya agama yaitu  karena 


mereka tidak memahami dengan baik sisi mistik dari agama.  


Teologi sangat tergantung pada rasionalisme dan fakta-fakta 


empiris. Dalam konteks perkembangan teologi di Barat, filsafat


telah merusak sisi rasional agama, dan sains telah merusak sisi 


empiris dari agama. Teologi yang pada dasarnya sangat lemah 


nilai-nilai spiritualitasnya ini  akhirnya terpinggirkan sehingga yang tetap bertahan secara serius yaitu  hanya filsafat 


dan sains.  


Teologi pada masa skolastik Barat dengan Thomas 


Aquinas   sebagai salah seorang tokoh utamanya menjadi ‚ratu 


sains (the queen of sciences).‛ Posisi teologi seperti itu tetap 


diperoleh pada masa posmodernisme atau kontemporer jika 


memenuhi paling tidak tiga persyaratan. Teologi mesti 


memperkuat ikatannya dengan masa sebelumnya, mencari dan 


menemukan jawaban terhadap berbagai persoalan kontemporer, 


dan memberi  arah terhadap pengembangan ke depan melalui 


diskursus multi dan interdisipliner. 1


 


Pada dasarnya, saintisme terbukti tidak benar jika  


merujuk beberapa pemikir seperti Frijoft Schuon dan Huston 


Smith. Salah satu upaya untuk melepaskan diri dari saintisme dan 


empirisme yang ekslusif yaitu  dengan cara menyadari bahwa 


pengetahuan empiris bukanlah satu-satunya bentuk pengetahuan 


melainkan ada  jenis pengetahuan yang lain yaitu pengetahuan 


mental-rasional dan pengetahuan spiritual-kontemplatiKonflik antara sains empiris dan agama yang terjadi pada 


dasarnya yaitu  konflik antara aspek-aspek pseudo-saintifik dari 


agama dan aspek-aspek pseudo-keagamaan dari sains. 


Kemungkinan tidak terjadi konflik jika  sains tetap sains dan 


agama tetap agama. Konflik terjadi akibat kesalahan kategori 


yaitu teolog mencoba menjadi saintis dan sebaliknya saintis 


mencoba menjadi teolog.  


Fisika dan mistisisme bukanlah memakai  pendekatan 


yang berbeda untuk realitas yang sama melainkan keduanya 


memakai  pendekatan yang berbeda untuk dua tingkatan 


realitas yang berbeda meskipun mistisisme mengarah kepada 


realitas yang lebih tinggi tapi meliputi fisika.  


Terkait dengan tiga ranah pengetahuan yaitu inderawi, 


pikiran/akal, dan kontemplatif/spiritual serta peran akal yang lebih 


besar, Wilber melengkapi konsep pengetahuan Habermas. Ketika 


akal membatasi dirinya terhadap pengetahuan inderawi, bentuk 


pengetahuan ini disebut dengan analitis empiris yang bersifat 


tehknis. Ketika pikiran berhubungan dengan pikiran-pikiran lain, 


model pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan hermeneutik, 


fenomenologis, historis, dan rasional serta mengarah kepada yang 


bersifat praktis dan moral. Habermas menurut Wilber tidak 


membahas pandangan yang bersifat mistik dan spiritual. Wilber


menambahkan ketika pikiran mencoba menyentuh ranah spiritual, 


maka pengetahuan ini bersifat paradoksikal atau dialektik radikal. 


Habermas membagi sains ke dalam tiga jenis yaitu sains 


analitis empiris, sains hermeneutik historis, dan sains kritis.  


Inilah yang menjadi keberatan Wilber karena mestinya ada sains 


spiritual. Pada sisi lain, pemikiran Habermas pada dasarnya 


memberi  semacam energi atau dorongan inspiratif tradisi


keagamaan tanpa merusak pentingnya rasionalitas dan prinsip￾prinsip kebebasan modernitas. Bagi Wilber, Habermas yaitu  


filsuf terbesar yang masih hidupBuku Wilber tentang integrasi sains dan agama 


ditujukannya kepada pembaca yang ortodoks, konvensional, dunia 


arus utama, dan bukan untuk paradigma baru, era baru, dan 


pertentangan budaya.   Pengalaman bagi Wilber pada dasarnya 


bentuk lain dari kesadaran. Jika seseorang merasakan badannya, 


hal itu berarti ia menyadari akan tubuhnya bahkan lebih jauh 


menyadari pikirannya. Oleh karena itu, pengalaman tidak hanya 


bersifat inderawi, tapi juga terkait dengan pikiran (mind) dan 


spirit.  


Menurut Efron Lumban Gaol, Wilber menyimpulkan 


kontemplasi sebagai satu-satunya unsur agama yang dapat 


memainkan peran penting dan memberi  solusi atas segala 


kebingungan dan perubahan yang begitu besar abad ini. Dalam 


konteks kontemplasi inilah, agama perlu dipertemukan dengan 


sains dengan cara mengkaji pengetahuan baik agama ataupun 


sains melalui analisis lima sikap korelatif. Upaya integrasi ini 


yaitu  untuk memetakan kembali eksistensi tiga ranah 


pengetahuan untuk menguji pengetahuan yang menyeluruh. Lima 


sikap korelasi agama dan sains ini  yaitu  sains menyangkal 


agama, agama menyangkal sains, sains selaras dengan agama dari 


sisi pengetahuan, sains memiliki argumen tersendiri tentang 


eksistensi roh, dan sains yaitu  interpretasi tentang dunia seperti 


seni.  


Wilber sependapat dengan beberapa pemikir seperti 


Habermas dan Jean Gebser yang membagi pandangan dunia pra 


modern menjadi tiga yaitu kuno (archaic), magis (magic), dan 


mitos (mythic). Pandangan dunia pra modern tidak secara jelas 


memisahkan antara estetika, sains, dan agama. Meskipun diklaim 


bahwa pandangan dunianya bersifat holistik dan menyatu, tapi 


kenyataan sebenarnya berlawanan. Hal ini  dapat dilihat pada 


abad pertengahan adanya dominasi dan kontrol dari kalangan 


agama yang begitu besar termasuk terhadap perkembangan sains. 


Ini menunjukkan bahwa adanya pemisahan yang cukup jelas.Fisika modern sebagai salah satu sains modern yaitu  


ilmu yang berkembang sangat pesat sejalan dengan menguatnya 


positivisme. Positivisme pada dasarnya memperkokoh eksistensi 


dan hegemoni ilmu alam (natural sciences). Positivisme termasuk 


positivisme logis mendapatkan kritik yang sangat kuat dari 


rasionalisme kritis, teori kritis, dan realisme ilmiah. Ketiga aliran 


dan pandangan ini  dianggap sebagai gerakan antipositivisme. 


Karl Popper sebagai filsuf dan saintis yang menolak 


beberapa konsep dan pandangan positivisme dikategorikan 


sebagai pelopor aliran rasionalisme kritis. Popper mengkritik 


pandangan positivisme logis yang menganggap bahwa ungkapan 


metafisika tidak bermakna (meaningless) karena tidak dapat 


diverifikasi secara empiris. Menurut Popper, verifikasi tidak dapat 


dijadikan alat untuk menguji kebermaknaan metafisika. Kritik lain 


Popper terhadap positivisme yaitu  pandangan bahwa dasar 


ilmiah yaitu  prinsip-prinsip induksi yang memperkuat peran ilmu 


alam begitu besar. Tawaran Popper terhadap persoalan keilmuan 


yaitu  falsifikasi yang menjadikan cara berfikir deduktif sebagai 


alat untuk memecahkan persoalan keilmuan. Kritik terakhir 


Popper terhadap positivisme (positivisme logis khususnya) yaitu  


tentang sensasionalisme (pengalaman inderawi) sebagai dasar 


sains empiris. 1Pandangan ini  jelas membuktikan bahwa 


Wilber dalam banyak hal mendukung pemikiran beberapa filsuf


sains kontemporer seperti Karl Popper dan Thomas Kuhn. Para 


filsuf sains kontemporer ini  memiliki latar belakang ilmu￾ilmu kealaman (natural sciences).


Berbeda dengan pemahaman di atas, bagi para fisikawan 


modern sendiri yang menemukan dan mengembangkan fisika 


quantum dan relativitas yaitu Einstein, Schroedinger, Heisenberg, 


Bohr, Eddington, Pauli, de Broglie, Jeans, dan Planck secara 


umum menyatakan bahwa fisika modern tidak mendukung 


ataupun menolak pandangan dunia spiritual-mistik (mystical￾spiritual worldview). Fisika modern yaitu  murni teori ilmiah dan 


tidak ada hubungannya dengan agama.


   Teori Quantum berasal 


dari percobaan-percobaan dari fisikawan untuk memahami sifat 


dari partikel atom dan sub-atom. Menurut teori ini, entitas seperti proton dan elektron yaitu  partikel sekaligus gelombang (both 


particles and waves). Fisika Quantum yaitu  mutlak sebagai 


sentral dari fisika modern.


  


Pandangan fisikawan ini  diragukan oleh Wilber. 


Wilber melihat pada dasarnya para fisikawan modern seperti 


Schroedinger dan Eddington yang menyatakan bahwa fisika tidak 


ada hubungannya dengan metafisika dan spiritualitas bersikap 


tidak konsisten. Eddington pernah menyatakan bahwa ia 


melakukan eksplorasi terhadap dunia luar dengan memakai  


metode fisika bukan untuk mencapai realitas konkrit melainkan 


dunia bayangan dari simbol-simbol (shadow world of symbols). 


Oleh karena itu, bagi Wilber, para fisikawan modern ini  


memandang bahwa fisika berhubungan dengan bayangan 


(shadows), di balik bayangan atau sama halnya dengan di balik 


fisik. Untuk mencapai yang ada di balik fisik artinya menuju 


metafisika. Meskipun demikian, bagi Wilber para fisikawan 


modern ini  tidaklah memberi  kontribusi positif terhadap 


metafisika selain sebuah kesalahan spektakuler.   Kesalahan 


ini  tentu saja reduksionisme realitas dengan hanya mengakui 


eksistensi materi saja. Itulah yang menjadi problem utama sains


modern sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan modernitas. 


C. Posmodernisme Ken Wilber 


Posmodernisme yaitu  sebuah fase perkembangan 


pemikiran yang masih diperdebatkan keberadaannya. Pada 


dasarnya, posmodernisme dipahami sebagai penolakan, kritik, 


antitesis, dan perlawanan terhadap modernisme. Terlepas dari 


perbedaan pendapat tentang ciri dan eksistensi posmodernisme 


yang telah diuraikan pada bab kedua pada disertasi ini, Ken 


Wilber cenderung menempatkan pemikirannya dalam hal tertentu 


sebagai bagian dari posmodernisme. Hal ini  karena pada 


dasarnya garis besar pemikiran Wilber yaitu  kritik terhadap 


modernitas dengan segala ketimpangan dan kekurangan padanya.


Menurut Wilber seiring kehancuran modernitas menjadi 


positivisme, empirisisme, behaviorisme, dan teori sistem muncul 


perlawanan posmodernisme. Bentuk perlawanan terhadap 


modernisme sebenarnya secara umum dapat dibagi menjadi empat yaitu romantisme, idealisme, posmodernisme, dan integral. Pada 


dasarnya keempat pemikiran dan gerakan di atas menentang cara 


pandang monologikal hegemoni modernisme.   Integral yaitu  


sebuah model pendekatan dalam pemikiran Wilber sebagaimana 


yang telah diuraikan sebelumnya. 


Yang menarik dari pemikiran analisis Wilber yaitu  


tentang pemikiran Immanuel Kant. Bagi Wilber, sebelum keempat 


pemikiran di atas, perlawanan terhadap modernisme telah dirintis 


oleh Immanuel Kant. Kant berupaya membedakan tiga komponen 


besar (seni, moral dan sains) dengan pemikirannya tentang kritik 


terhadap akal teoretis (sains/empiris), akal praktis (moral), dan 


akal murni (estetika dan metafisika). Dalam konteks integrasi, 


Kant setidaknya telah berupaya memperkenalkan estetika untuk 


mengintegrasikan moral dan sains, meskipun upaya ini  tidak 


tercapai karena tetap saja terjadi pemisahan terhadap ketiga 


komponen ini .   Dalam konteks ini , Kant dapat saja 


dikategorikan sebagai perintis posmodernisme meskipun 


epistemologi yang dibangun oleh kritisisme Kant termasuk 


bercirikan epistemologi fondasionalisme. Epistemologi 


fondasionalisme yaitu  merupakan ciri utama dari modernisme 


yang sarat dengan kerancuan dari sudut pandang posmodernisme 


Richard Rorty.   Salah satu kelemahan berbagai konsep 


posmodernisme yaitu  melupakan prinsip kesatuan (unity) dan 


terlalu menonjolkan keragaman (diversity). Visi integralnya Ken 


Wilber yaitu  memandang segala bentuk keragaman ke dalam 


satu bentuk kesatuan utuh (unity-in-diversity).  


Upaya posmodernisme dalam pengertian yang luas seperti 


Romatisisme dan Idealisme tidak berhasil menghadapi pemisahan 


realitas, bencana modernitas dan otoritas sains. Salah satu upaya 


lain untuk menggeser otoritas sains yang berlebihan yaitu  dengan 


cara menggali fondasi sains itu sendiri. Menurut Wilber, satu￾satunya cara memahami posmodernisme dalam pengertian khusus 


yaitu  dengan menangkap peran intrinsik dari interpretasi. Interpretasi sangat penting baik dalam konteks epistemologi 


maupun ontologi posmodernisme.  


Posmodernisme ekstrim memandang interpretasi yaitu  


satu-satunya kebenaran objektif. Interpretasi merupakan bagian 


dari sisi kiri atau interior sehingga prinsip posmodernisme ekstrim 


ini bertolak belakang dengan kebenaran objektif modernisme yang 


berasal dari sisi kanan atau eksterior. Oleh karena itu, pada 


dasarnya paradigma baru posmodernisme yaitu  pendekatan 


integrasi sains dan agama.  


Ronald Hendel membagi posmodernisme menjadi dua 


yaitu posmodenisme kuat dan lunak (strong and weak 


postmodernism). Posmodernisme kuat sering dikaitkan dengan 


para pemikir posmodernisme Prancis seperti Michael Foucault dan 


Jaquaes Derrida yang mengembangkan kritik Nietzcshe terhadap 


rasionalisme dan humanisme menjadi sebuah kritikan keras 


terhadap semua klaim epistemologis. Posmodernisme lunak juga 


sepakat terhadap kritik ini  namun tetap mempertahankan 


peran praktis akal dan keunggulan manusia. posmodernisme keras 


tidak dapat dipertahankan baik secara praktis maupun teoristis, 


sedangkan posmodernisme lunak lebih dapat diterima. 1


 


Wilber mengemukakan tiga asumsi penting 


posmodernisme. Pertama, realitas yaitu  konstruksi dan 


interpretasi manusia. Kedua, pemaknaan terhadap sesuatu 


tergantung konteks dan konteks tidak terbatas. Ketiga, kognisi 


yaitu  istimewa dan bukan perspektif tunggal. Bagi Wilber, 


asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh posmodernisme ini  


cukup akurat dan sangat penting kaitannya dengan peluang 


integrasi sains dan agama. Namun sayangnya, asumsi 


posmodernisme ini  dihantam secara luar biasa oleh 


posmodernisme ekstrim sehingga mengakibatkan lahirnya 


pandangan dunia yang bersifat dekonstruktif. Oleh karena itu, 


integrasi sains dan agama harus melalui perspektif dan asumsi 


posmodernisme yang meliputi konstruktivisme, kontekstualisme, 


dan integralisme yang semuanya mengarah ke persoalan linguistik (linguistic turn).  


Posmodernisme dengan segala variasinya dan para pemikir 


‚paradigma baru‛ Amerika sering dikaitkan dengan pemikiran 


Kuhn yang telah disalahpahami ini , termasuk pemikiran 


spiritualitas Wilber sendiri.   Pandangan posmodernisme ekstrim 


yang menganggap bahwa tidak ada interpretasi yang valid, semua 


relatif, dan nihilisme menyebabkan semua teori dan pemikiran 


diragukan termasuk integrasi sains dan agama. Menurut Wilber, 


posmodernisme ekstrim bersifat narsistik, kontradiktif dan patut 


untuk dipertanyakan. Ia menyebut posmodernisme ekstrim ini 


dengan kontradiksi performatif (performative contradiction). 


Beberapa pemikir dapat diindikasikan sebagai pemikir 


posmodernisme ekstrim seperti Habermas, Karl Otto Apel, Ernst 


Gellner, dan lain-lain. meskipun sekarang telah ada semacam 


konsensus bahwa posmodernisme ekstrim sudah berakhir.   Secara 


singkat dapat dikatakan bahwa tidak ada kebenaran (no truth) 


yaitu  dogma posmodernisme yang sulit untuk dibantah.  


Romatisme berupaya untuk kembali kepada sifat dan 


kepercaayaan kepada Tuhan seperti yang dicetuskan oleh Jean 


Jacques Rousseau. Gerakan ini bagi Wilber membingungkan 


karena berupaya menggabungkan prarasional dengan transrasional 


yang keduanya sama-sama non rasional. Tokoh yang paling 


menonjol di sini menurut Wilber yaitu  Sigmund Freud yang 


cenderung memakai  semua pengalaman transrasional yang 


asli dan mereduksinya infantilisme prarasional. Lebih jauh, upaya 


romatisme untuk mengintegrasikan tiga komponen besar hanyalah 


menghilangkan nilai rasional dan konvensional. Integrasi ketiga 


komponen ini  tidak tampak, bahkan pemisahan ketiganya 


masih terlihat jelas.  


Perbedaan antara pra modern dan modern yang paling 


mendasar yaitu  tentang konsep alam semesta (universe) yang 


jelas arahnya. Sebagian besar agama-agama dengan berbagai 


variasinya mengakui penciptaan, ketuhanan, keseimbangan, dan 


kedamaian di alam semesta. Berbeda dengan pramodern, 


modernitas mulai mempertanyakan dan bahkan menghilangkan 


berbagai konsep ini . Manusia mulai menjauh dari Tuhan, dan berorientasi antrhroposentris. Pemahaman tentang sejarah yaitu  


devolusi (berasal dari Tuhan) diganti dengan evolusi (berkembang 


menuju Tuhan). Hal ini  dapat dilihat pada pemikiran 


idealisme Schelling dan Hegel, bahkan Herbert Spencer 


menjadikan evolusi sebagai hukum universal dan kemudian 


Charles Darwin menerapkannya pada biologi.  


Munculnya idealisme telah dimulai oleh Immanuel Kant. 


Idealisme merupakan sebuah pemikiran tentang kosmos dan 


sejarah manusia sebagian besar dilandaskan pada evolusi dan 


perkembangan Roh Absolut. Kant telah berupaya membedakan 


antara tiga komponen besar yaitu seni, moral, dan sains meskipun 


gagal mengintegrasikannya. Kant melihat bahwa manusia tidak 


mampu menangkap noumena (sesuatu yang sebenarnya) dan hanya 


mampu menangkap fenomena atau penampakan dari sesuatu yang 


sebenarnya melalui kategori-kategori dari pikiran. Lebih jauh, 


idealisme Jerman menekankan bahwa dunia tidak dapat dipersepsi 


melainkan dikonstruksi. Salah satu pemikir idealisme lainnya 


yaitu Johann Fichte meyakini bahwa bentuk-bentuk pengetahuan 


(sains) dan moral dapat diintegrasikan melalui kesadaran terhadap 


Yang Absolut (Absolute Self). Hal ini  tentu saja dapat 


dilakukan dengan menghilangkan pemisahan (dualisme) yang 


menjadi inti penyakit modernitas.  


Integrasi tidak akan dapat tercapai pada alam saja atau 


pikiran saja ataupun kombinasi keduanya. Yang hanya dapat 


mengintegrasikan yaitu  hanya Spirit yang berada dibalik alam 


dan pikiran ini . Transendensi Spirit meliputi alam dan 


pikiran.   sementara idealisme memberi  ruang yang sangat luas 


terhadap seni, moral dan sains dan hubungannya dengan Spirit. 


Oleh karena itu, idealisme sangat berpeluang untuk 


mengintegrasikan seni, moral, dan sains. Spiritualitas yang tidak 


mengakui dan mencakup evolusi akan hilang. Sains modern


menolak sifat spiritual dari evolusi namun tetap mempertahankan 


pandangan evolusi itu sendiri. Sains modern mengakui sisi luar 


(eksterior) evolusi tapi menolak sisi interior (interior) evolusi. 


Meskipun demikian, sains modern tetap berupaya mengumpulkan 


banyak bukti untuk memperkuat evolusi secara umum, sedangkan 


agama berupaya menolak evolusi dengan cara setidaknya berpegang pada prinsip evolusi tidak lebih dari sebuah hipotesis.  


Wilber pada dasarnya memandang ada kesamaan yang 


begitu jelas antara sains modern dan filsafat timur tentang esensi 


realitas. Realitas bagi keduanya bukanlah sesuatu yang terpisah, 


melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh seperti sebuah atom 


raksasa yang tidak memiliki batas. 1


Romatisisme dan idealisme memandang bahwa sains 


yaitu  salah satu model dari pluralisme epistemologi sehingga 


sains dan agama memiliki tempat yang terpisah namun realitasnya 


sama penting. Sedangkan posmodernisme lebih bersifat teoretis


dan mendekonstruksi segala bentuk segala bentuk epistemologi. 


Agama, romatisisme dan idealisme secara epistemologis tidak 


dapat sejalan dan mengimbangi monisme sains modern yang 


agresif.


  


Dalam empat atau lima dekade terakhir ini, evolusi 


budaya mengarah dari tingkatan dasar perkembangan dan 


pertumbuhan kemanusiaan menuju berbagai model perkembangan 


yang bersifat pluralistik, relativistik, individualistik, aktualisasi 


diri, multikultural dan sebagainya. Semua model ini  secara 


umum disebut dengan posmodernisme. Wilber juga menyebut 


evolusi budaya seperti itu dengan ‚green wave‛ atau ‚gelombang 


hijau.‛  


Posmodernisme secara umum memandang bahwa semua 


pengetahuan terikat dengan budaya sehingga tidak perspektif 


universal yang diterima. Pengetahuan yaitu  konstruksi dan 


interpretasi manusia dan bukan pemberian. Posmodernisme juga 


tidak mengakui kerangka moral dan etika universal dan otonomi 


radikal dari kebenaran (truth). Secara singkat, posmodernisme 


memandang semua pengetahuan bersifat kontekstual, 


interpretatif, konstruktif dan tidak universal. Bagi Wilber, 


posmodernisme sebagai sebuah pandangan filsafat telah mati saat 


ini karena pengakuan terhadap tidak ada kebenaran (no truth) 


yaitu  suatu kegilaan (aperspective madness). Jika pandangan 


ini  memengaruhi evolusi budaya maka kebudayaan ini  


akan hancur.

Tradisi-tradisi kontemplatif diserang baik oleh 


modernisme maupun posmodernisme. Modernisme menyerang 


subjektitas tradisi kontemplatif, sedangkan posmodernisme 


menyerang intersubjektifitas tradisi kontemplatif. Sains modern 


sebagai salah satu produk modernisme segala bentuk pengetahuan 


dan kepercayaan yang diperoleh melalui kontemplasi sama halnya 


dengan posmodernisme. Sebagai solusi dari dua permasalahan 


ini , Wilber menawarkan pendekatan integral yang disebut 


dengan All Quadrants All Levels (AQAL) atau Integral 


Methodological Pluralism (IMP)  


D. Integrasi Sains dan Agama 


Relasi sains dan agama merupakan dua hal yang sangat 


penting dan menjadi topik yang hangat sampai saat ini. Sains 


berupaya mencari kebenaran dengan memakai  metode 


tertentu dan agama memberi makna. Mempertemukan kebenaran 


dan makna atau sains dan agama sangat sulit untuk secara 


bersama-sama dan relasi keduanya untuk dapat diterima oleh 


semua kalangan.   Ketidaksepakatan tentang otoritas relatif dari 


sumber pengetahuan selalu menjadi masalah yang diperdebatkan 


tentang relasi sains dan agama.


   Sains dan agama telah membagi 


perhatiannya terhadap hubungan antara yang dapat diobservasi 


dan yang tidak dapat diobservasi (the observable and the 


unobservable).  


Berdasarkan empat pola relasi sains dan agama menurut 


Barbour seperti yang telah diuraikan pada bab kedua, integrasi 


yaitu  salah satu dari pola relasi ini . Pola relasi yang lain 


yaitu  konflik, independensi, dan dialog. Sedangkan Haught juga 


merumuskan empat pola relasi yaitu konflik, kontras, kontak, dan 


konfirmasi. Pola Barbour dan Haught pada dasarnya hampir sama 


meskipun ada  perbedaan yang tidak begitu signifikan. 


Hampir senada yang dikemukakan oleh Barbour dan 


Haught, Wilber merumuskan lima pola dan sikap hubungan sains


dan agama yang berkembang. Pertama yaitu  sains menolak validitas agama. Sikap ini dibangun dengan pendekatan empiris 


dan positivistik. Seperti yang dikembangkan oleh antara lain 


Auguste Comte, Karl Marx, Sigmund Freud, dan Bertrand Russell. 


Kedua yaitu  agama menolak validitas sains. Sikap ini dilakukan 


oleh kalangan fundamentalis agama yang menolak modernitas. 


Sikap ketiga yaitu  sains salah satu bentuk pengetahuan dan 


dapat sejalan dengan agama (pluralisme epistemologi). Sikap 


keempat yaitu  sains menawarkan argumen yang dapat 


menguatkan eksistensi Spirit/Roh. Kelima yaitu  pandangan yang 


menjadikan sains bukan pengetahuan tentang dunia melainkan 


interpretasi tentang dunia sehingga status sains sama dengan seni 


(paradigma posmodernisme). Sikap pertama dan kedua 


menunjukkan dengan jelas bahwa agama dan sains tidak dapat 


diintegrasikan. Tiga sikap berikutnya menggambarkan bahwa 


tidak cukup kuat bukti untuk integrasi sains dan agama.   Berbeda 


dengan kelima sikap ini , pada uraian berikutnya akan 


diuraikan konsep Wilber tentang beberapa persyaratan dan 


argumen terjadinya integrasi sains dan agama.


Pola relasi sains dan agama yang pertama baik menurut 


Barbour maupun Haught yaitu  konflik. Ken Wilber menilai 


bahwa paling tidak ada dua alasan yang mendasar terjadinya 


konflik antara sains dan agama. Kedua alasan ini  yaitu  


pertama adanya penolakan modernisme terutama positivisme


radikal dan materialisme ilmiah terhadap segala hal yang bersifat 


non fisik, sedangkan yang kedua yaitu  dogma dan tema-tema 


mitos-puitis dari penganut agama tradisional bertentangan dengan 


investigasi ilmiah.1  


Konflik sains dan agama seperti ini  pada dasarnya 


tidak perlu terjadi jika tidak ada kesalahan kategori. Jika sains 


dipahami tetap sains dan agama tetap agama sehingga teolog 


tidak berupaya menjadi saintis dan sebaliknya saintis tidak 


menjadi teolog. Oleh karena itu, bagi Wilber, konflik sains dan 


agama yaitu  konflik antara aspek-aspek pseudo ilmiah dari 


agama dan aspek-aspek pseudo keagamaan dari sains (the pseudoscientific of religion and pseudoreligious of science).1 1


Sains modern sangat antagonis dengan agama yang telah mapann 


(established religions). Sains ortodoks dan agama ortodoks sangat 


tidak dipercaya dan keduanya saling merendahkan.


Sains dan agama tidaklah sepadan (inncommensurability) 


karena agama bebas dari keraguan dan tidak seperti sains, agama 


mengatur seluruh bentuk kehidupan dan tidak seperti sains, serta 


agama lebih merupakan gambaran seseorang untuk mengatur 


hidupnya, bukanlah ekspresi keyakinan. Tesis ketidaksepadanan 


sains dan agama yang dikemukakan oleh Putnam didasarkan atas 


kontemplasinya terhadap standar dasar yang berbeda dari 


kognitifitas. Sains didasarkan pada vernunftig (rasionalitas 


diskursif) sedangkan agama didasarkan pada verstand 


(pemahaman).1  


Diskursus neo-ateisme (New Atheists Discourse) 


cenderung mempertentangkan antara agama dan sains, keyakinan 


dan keraguan, serta pra modern dan modern. Diskursus neo￾ateisme ini  merujuk pada pemikiran dan tulisan dari by 


Richard Dawkins (    ), Daniel Dennett (    ), Christopher 


Hitchens (    ), dan Sam Harris (    ).1  


Pengalaman spiritual (mistisisme) sebenarnya dapat 


dibuktikan oleh siapa saja bila metode yang digunakan sama 


seperti halnya dengan pengalaman inderawi (fisika). Bagi Wilber, 


tidak ada pertentangan antara sains dan agama. Pertentangan yang 


ada yaitu  pertentangan antara sains dan agama yang bersifat 


eksperensial melawan sains dan agama yang bersifat dogmatik. 


Dengan kata lain, pertentangan yang terjadi yaitu  sains dan 


agama yang asli (genuine science and religion) melawan sains 


semu dan agama semu (pseoudo-science and pseudo-religion).1  


Upaya untuk mengintegrasikan agama dan sains tidaklah 


mudah. Untuk mengintegrasikan sains dan agama harus dicari dan ditemukan terlebih dahulu inti kesamaan semua agama. Jika hal 


itu tidak dapat dilakukan, maka integrasi sains dan agama yang 


dihasilkan hanya bersifat parsial dan pada agama tertentu saja. 


Integrasi ini  merupakan integrasi sempit. Wilber


menawarkan sebuah pendekatan integral untuk penelitian terhadap 


berbagai fenomena dalam setiap kuadran dan tingkatan dan 


menghubungkan satu sama lain tanpa reduksi. Pendekatan integral 


ini  yaitu  sebuah model harmonisasi sains dalam pengertian 


luas terhadap setiap kuadran (pembedaan-pembedaan dalam 


modernitas) dan tingkatan (agama-agama pramodern). Dengan 


pendekatan integral inilah, integrasi agama dan sains dapat 


direalisasikan secara lebih luas dan dalam.1  


Menurut Wilber, jika integrasi sains dan agama benar￾benar dapat dilakukan, maka integrasi ini  harus mencakup 


integrasi tiga aspek besar (The Big Three) yaitu seni, moral, dan 


sains. Integrasi bukan dengan merubah bentuk dari ketiga aspek 


ini  agar sesuai, namun dengan mengambil masing-masing 


aspek setepat mungkin. Integrasi bukan untuk memaksa sains 


mengikuti paradigma baru agar cocok dengan spiritualitas. 


Integrasi bukan dimaksudkan untuk menghapus perbedaan. 


Pendekatan integrasi di atas yaitu  pendekatan integral terhadap 


tiga aspek besar (The Big Three) yaitu seni, moral, dan sains.1  


Peluang integrasi sains dan agama yang paling besar 


yaitu  dengan cara mengintegrasikan tiga aspek besar (The Big 


Three), mengatasi pemisahan dan bencana modernitas, dan 


memberi  tempat yang lebih besar bagi posmodernitas.1  Dalam 


menganalisis relasi sains dan agama menurut Wilber perlu terlebih 


dahulu dipahami definisi sains itu sendiri. Orang tentu saja bebas 


mendefinisikan sains sepanjang konsisten sehingga dapat 


dipahami secara jelas hubungan sains dan agama ini . Jika 


sains didefinisikan secara sederhana sebagai pengetahuan, maka 


agama menjadi salah satu bentuk sains. Pada sisi lain, jika sains 


dipahami sebagai sebuah pengetahuan empiris yang dapat 


dibuktikan kebenarannya secara empiris, maka semua agama 


yaitu  non ilmiah. Konsekuensi logis dari konsep sains ini 


memunculkan dua pandangan. Pertama, agama yaitu  keyakinan 


dan nilai personal dan tidak dapat masuk ke ranah saintifik. 


Pandangan ini sejalan dengan yang dikembangkan oleh para saintis modern bahwa agama tidak bertentangan, tidak dapat 


dikompromikan, dan setara dengan sains karena ranah keduanya 


memang berbeda. Kedua, agama sebagai suatu yang non ilmiah 


dipandang secara pejoratif seperti pandangan agama menurut 


Comte, Freud, Marx, Feurbach dan pandangan tokoh positivisme 


logis seperti Ayer dan Quine.1  


 


Jika ranah pengetahuan yang didasarkan pada rasional dan 


spiritual tidak dapat dikategorikan sebagai sains karena tidak 


empiris, maka meski agak keberatan, Wilber menyebutnya dengan 


‚sains yang lebih tinggi‛ atau ‚higher science.‛ Dalam 


perkembangan kontemporer, banyak teori-teori filsafat, psikologi, 


dan sosiologi yang termasuk pada ‚higher sciences‛ yang pada 


awalnya hanya memakai  kerangka analitis empiris, mencoba 


memperluas dan mengembangkan dengan memakai  


pendekatan transendental dan rasional seperti Piaget, Lacan, 


Whitehead, Habermas, dan Gadamer. Sementara itu, banyak pula 


teori-teori yang diklaim termasuk ke dalam ‚new and higher 


sciences‛ (sains baru dan lebih tinggi) yang bersifat transendental, 


transpersonal dan spiritual mengembangkan sisi-sisi empirisnya. 


Empiris di sini tentu saja bersifat eksperensial dan eksperimental 


seperti yoga.


1  


Sains yaitu  setiap disiplin ilmu yang secara sadar 


mengikuti tiga model akumulasi dan verifikasi data baik dalam 


ranah sensibilia (indera), intelligibilia (akal), maupun transendelia


(spiritual). Data yang berasal dari ranah indera disebut dengan 


sains monologis atau sains analitis empiris. Data yang berasal dari 


ranah intelligibilia atau akal disebut dengan sains dialogis atau 


sains rasional, mental-fenomenologis, hermenutik dan semiotik. 


Data yang berasal dari ranah transendelia disebut dengan sains 


transendental, transpersonal, transogikal, dan kontemplatif.11 


Untuk memperoleh definisi dan pemahaman yang tepat 


tentang sains, harus dibedakan antara metode sains dan ranah 


(domain) sains. Metode terkait dengan epistemologi sains dan 


ranah terkait dengan ontologi sains. Menurut Wilber, sebagian 


besar definisi sains han