Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada
masa Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya pada masa
Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam pada
masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah
mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia
menjadi pejabat-pejabat penting di istana, terutama dari
keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah lama
bersentuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme
yang mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan
mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini semakin nyata
setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran
Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab
resmi negara. Pada masa ini pendidikan Islam mencapai zaman
keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan, sains dan
pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat
sehingga menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada
tandingnya di dunia dan filsafat serta ilmu pengetahuannya
menjadi kiblat dunia pada saat itu.
Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains)
merupakan isu klasik yang sampai saat ini masih berkembang
di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam tidak
mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena
al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang
lengkap dan sempurna yang mencakup semua aspek
kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau
penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah
merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam
di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan
terhadap yang lainnya.
Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca
(baca: mengamati) gejala alam dan merenungkannya. Al-
Qur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi, ilmu
kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk
dipikirkan oleh manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima
puluh ayat – sekitar seperdelapan al-Qur’an– yang mendorong
orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan
menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta berusaha
memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai
bagian dari hidupnya. Kaum muslim zaman klasik
memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan
penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di
samping dorongan lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan
sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah
Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran al-Qur’an, para
ilmuwan muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam
setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak
saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu,
B. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an
Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang
sulit dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh
sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara
rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data
pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala
alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan
manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang
diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang
produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan
untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu,
secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan
teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara
gamblang.
Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas,
al-Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena
alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima
puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling
awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi
pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-
Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani,
dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada
Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan
mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta
mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya
(Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah
tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman
terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada
Tuhannya.
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat
ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an
telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama
dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat
11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia
mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an
menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini.
Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati
kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; al-
Ghasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca (al-
‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97;
Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang
berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11;
Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah:
5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18),
dan mengambil pelajaran (Yunus: 3).
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan
teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima
Nabi Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang
Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca).
Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS
al-‘Alaq: 1-5)
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar
kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis
maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia.
(Shihab, 1996:433)
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk
membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab,
sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak
mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang
bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan
umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan
beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu
non agama sebagai berikut:
1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara
mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti pada
ayat 9 surat al-Zumar:
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui.”
Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS
12:76; QS 16: 70.
2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan
bahwa ilmu itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan
hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada
surat Fathir ayat 27-28:
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan
dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan
yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung
itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam
warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di
atas dihubungkan dengan orang yang menyadari
sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”)
dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di
hadapan Allah Yang Maha Mulia.
3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun.
“Qarun berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu
yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44-
45).
Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu
pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah
itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini.
Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan
tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka
bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah
‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan
firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya).
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau
kata yang semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam al-
Qur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan
semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan
(sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat mengambil
manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan
pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai
dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15-
16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin
yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena
aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan
dan penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan:
“bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai
kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah
laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada
dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang
panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke
bawah, akan mengganggu aliran udara karena pada bagian
yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain.
Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari
pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang
melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan
sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut
aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam
bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat
material tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu
untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan
kecepatan tertentu.
Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di
alam semesta ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua
potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia)
dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di
samping itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi
manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana
memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu
cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu
pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat
3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan
memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan
beberapa langkah/proses sebagai berikut.
Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia
untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya
mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi
di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat
Yunus ayat 101.
“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor)
apa yang ada di langit dan di bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni
memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran
kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap
kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati
(Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam
firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor)
onta bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia
diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka ditegakkan.
Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”
Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk
mengadakan pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini
diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan
ukuran.”
Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang
mendalam terhadap fenomena alam melalui proses penalaran
yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang
rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11-
12.
“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman-
tanaman zaitun, korma, anggur, dan segala macam buah-
buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau
berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari
dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan
(bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum
yang menalar.”
Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah
yang sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini,
yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu
menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi
dan pengukuran itu.
Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an,
kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir
dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap
gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada
penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah,
kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha
Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah
yang dinampakkan.
Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya
mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terdidik dan bijak
yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki
ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman
seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi
dan lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan
untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan
bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap
rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan
(order) di alam ini tersingkap.
C. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an
Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu
pengetahuan (sains dan teknologi), dapat dirumuskan beberapa
prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan
ilmiah manusia sebagai berikut.
1. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang
digariskan oleh al-Qur’an dalam mendukung dan
memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan
erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep
kekhalifahan memiliki sifat yang multi dimensional.
Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan
manusia sebagai pengatur dunia ini dengan segenap
kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali
dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan
berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan
sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih
keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan nanti.
Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk
yang paling bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan
makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini merupakan
konsekuensi logis dari anugerah kemampuan dan kekuatan
yang dimilikinya.
Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk
yang memiliki peranan penting untuk mengolah potensi-
potensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam
mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial,
dan spiritual yang didasarkan pada hukum-hukum Allah.
Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam
semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan,
menggerakkan segala sesuatu, dan mengawasinya), bukan
manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas.
2. Prinsip Keseimbangan
Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an
adalah keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara luas
dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambi berbagai
bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah dengan susunan
dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan
kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang
membentuk manusia itu.
Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya
keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian manusia
(spiritual dan material) sehingga manusia mampu berbuat,
berubah dan bergerak secara seimbang.
3. Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk
pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan,
tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam
kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan.
Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah
dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah
telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya
yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam
mengelola alam semesta secara positif dan aktif. Tetapi,
bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai
dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia
dan alam semesta. Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam
ekspoitasi yang melampaui batas.
Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu
pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor kondusif
bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban
yang sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.
4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik
Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem
penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang
Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak
untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan
keterkaitan itu.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan
sebagian besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan
penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka
sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat
dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang
diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses
penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih,
teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya
terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi,
Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.
Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa
ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) merupakan kebutuhan
dasar manusia yang Islami selama manusia melakukannya
dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta
mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan
tersebut dengan cara-cara yang benar dan memuaskan.
D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan
Epistemologis
Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapa
isu penting di seputar epistemologi sains dan teknologi modern
patut dipertimbangkan.
Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan
sarat nilai menjadi perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan
Barat sejak Spengler menerbitkan bukunya The Decline of the
West setelah Perang Dunia I.
Argumen bahwa sains itu netral – bahwa sains bisa
digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk; bahwa
pengetahuan yang mendalam tentang atom bisa digunakan
untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa menyembuhkan
penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa dipergunakan
untuk mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa
dipergunakan untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa
genetika) – semua tampak amat meyakinkan. Tetapi, benarkah
sains dapat dipisahkan dari penerapannya (teknologi)?
Padahal, sejak masa renaissance (masa kelahiran sains modern)
tujuan sains adalah untuk diterapkan dengan menempatkan
manusia sebagai penguasa alam dan memberinya kebebasan
untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia
sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya.
Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya
sudah dirasakan dalam realitas kehidupan dahulu dan saat ini.
Dengan demikian, pada hakekatnya sains tidak dapat
dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains
tidak netral. Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang
pertanyaan: “sistem nilai siapa yang mempengaruhi sains?”
Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi
kuat bahwa sains banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang
dianut komunitas ahli sains yang terkait, yang setengahnya
tidak serasi dengan nilai Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang
menyertai sains modern harus diantisipasi secara cermat agar
kita tidak terperangkap dalam nilai-nilai yang tidak Islami itu.
Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah
mengembangkan suatu pola di mana rasionalisme dan
empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan (scientific
method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas
pada pola pikir manusia di hampir semua bidang
kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas realitas-
realitas – baik realitas sosial, individual, bahkan juga
keagamaan – diukur berdasarkan kesadaran obyektif di mana
eksperimen, pengalaman empiris, dan abstraksi kuantitatif
adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya. Akibatnya, seperti
pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwan India) yang ingin
memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India, sains
telah memungkinkan manusia untuk memandang setiap
persoalan secara obyektif dan membebaskan manusia dari
ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains juga
membebaskan manusia dari agamanya. Tampaknya, menurut
AB Shah, dunia pengalaman kita sudah semakin sempit. Yang
nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk
agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.
Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai
sekularisme. Sains memisahkan secara jelas antara dunia
material dengan spiritual, antara pengamat dengan yang
diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan
alam. Akibatnya, karena sains hanya mengamati fakta dan
aspek yang dapat diukur, sifat ruhaniah dari alam dan benda-
benda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang disebut
sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991)
Belum diketahui secara persis sejauh mana dampak
nilai-nilai yang menyertai perkembangan sains itu terhadap
masyarakat Muslim. Akan tetapi, apa yang dikemukan di atas
(bahkan mungkin lebih dari itu) bukanlah rekaan dan
mengada-ada. Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang
dan generasi mendatang, yang oleh Ziauddin Sardar (1987: 86)
digambarkan sebagai imperialisme epistemologis. Dalam
ungkapannya:“Epistemologi peradaban Barat kini telah
menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan
dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif
lainnya. Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan
sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan citra
manusia Barat.”
Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di
dalamnya sains dan teknologi) Barat demikian kuatnya yang,
tampaknya, tidak memungkinkan bagi siapapun untuk
menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum
mampu menciptakan epistemologi alternatif sebagai tandingan,
dalam kapasitas kemampuan masing-masing umat harus
kembali kepada al-Qur’an seraya mencermati pesan-pesan
ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam semesta.
Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang
diciptakan oleh Allah memiliki kerangka tujuan ilahiyah.
Berpijak pada ajaran Tauhid – di mana Allah adalah Pencipta
alam semesta, segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali
kepada-Nya – seyogyanya setiap langkah yang diambil
ditujukan untuk memperoleh keridlaan-Nya dan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Penyelidikan untuk
menyingkap rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait
dengan kerangka tujuan ini.
Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap
alam semesta hanya untuk pemuasan keinginan (science for
science), seperti yang berlaku di Barat. Menurut al-Qur’an, sains
hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir. Pemahaman
seseorang terhadap alam harus mampu membawa
kesadarannya kepada Allah Yang Maha Sempurna dan Maha
Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur’an menampakkan
dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam surat
al-An’am: 76-79.
Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka
cakrawala peneliti kepada pandangan alam yang lebih
komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara parsial dan
sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan
kesalinghubungan dalam kesatuan di balik keragaman. Inilah
yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap benda yang
diciptakan oleh Allah berada dalam satu kerangka tujuan,
sehingga benda terkecilpun memiliki nilai.
Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada
kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas
eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab itu, ada banyak hal
yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan demikian
tumbuh suatu kesadaran bahwa pada hakekatnya pengetahuan
manusia itu sangat terbatas.
E. Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sain dalam
Proses Pembelajaran
Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi
agama dan sains, secara umum ada empat pola yang
menggambarkan hubungan tersebut. Keempat hubungan itu
adalah berupa konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
Hubungan yang bersifat konflik menempatkan agama dan
sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling bertentangan.
Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan
menegasi kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan
sebagainya.
Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya
sebagai interdependensi menganggap adanya distribusi
wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah sains.
Keduanya tidak saling menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas
memberi jawaban tentang proses kerja sebuah penciptaan
dengan mengandalkan data publik yang obyektif. Sementara
agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang lebih
besar bagi kehidupan seseorang.
Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains
dan agama bertautan dalam model dialog. Model ini
menggambarkan sains dan agama itu memiliki dimensi irisan
yang bisa diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains
bisa dipecahkan melalui kajian-kajian agama dan sebaliknya.
Keempat, hubungan antara sains dan agama itu
dinyatakan sebagai hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa
digambarkan dalam dua bentuk yakni teologi natural (natural
theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu
merupakan sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology
of nature) yang menganggap bahwa pertemuan dengan Tuhan
harus senantiasa di-up grade sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan (Barbour, 2005).
Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah
mengisyaratkan pentingnya ilmu pengetahuan dan menjadikan
proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping itu, al-Quran
juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini mengindikasikan
bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam pandangan
al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang
secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa
agama dan sain merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan
demikian, dalam pandangan al-Quran, sains dan agama
merupakan dua hal yang terintegrasi.
Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses
mengamati, menemukan, memahami, dan menghayati
sunnatullah, yang berupa fenomena alamiah maupun sosial,
kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi
kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya serta
menjadikan kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya
Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan
pembelajaran. Tujuan ini akan membimbing peserta belajar
kepada kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas
eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-prinsip
dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf,
keseimbangan, taskhir, dan keterkaitan antara makhluk dengan
Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam mempelajari subyek
apapun.
Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembaga-
lembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga
perguruan tinggi, masih menghadapi perosalan serius yang
bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada beberapa persoalan
yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini, yaitu:
1) munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang
berdampak pada munculnya split personality dalam diri peserta
didik; 2) kesenjangan antara sistem pendidikan dengan ajaran
Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh dari cita-
cita pendidikan Islam.
Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu
dilakukan upaya integrasi dalam pendidikan, sebagaimana
yang telah di lakukan sekelompok ahli pendidikan atau
cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan tesebut. Ada
tiga tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan
yaitu: 1) integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran, 3)
integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).
Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilai-
nilai ilahiyah dalam keseluruhan materi pelajaran, mulai dari
perumusan standar kompetensi sampai dengan evaluasi
pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud adalah
menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang sains
kepada peserta didik di saat proses pembelajran berlangsung.
Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan integrasi
pembelajaran) merupakan langkah strategis ke arah integrasi
ilmu.
Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan,
setidaknya, pembelajaran sains (kealaman maupun sosial)
harus mampu menghantarkan peserta didik kepada kesadaran
yang permanen tentang keberadaan Allah. Sementara
pembelajaran agama harus mampu memotivasi peserta didik
untuk melakukan kegiatan ilmiah secara terus-menerus. Inilah
yang sesungguhnya yang menjadi inti pandangan al-Quran
tentang sains.
Islam pernah menjadi ahli dan penemu di berbagai
bidang sains dan teknologi pada masa klasik, namun sekarang
kemajuan sains dan teknologi dalam berapa dasawarsa abad
XX telah menempatkan negara-negara yang penduduknya
mayoritas Muslim dalam posisi pinggiran.
Langkah awal yang harus ditempuh adalah
membongkar kembali pemahaman umat Islam terhadap agama
yang dianutnya. Misalnya, beberapa terminologi keagamaan
seperti jihad, ilmu, taqwa, amal shalih, dan ihsan perlu
ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar
terminologi ibadah dalam arti sempit.
Terminologi jihad yang sementara ini dipahami dalam
konteks ‘perang’ melawan orang kafir dengan harapan pahala
dan mati syahid, harus diperluas dalam konteks jihad
menuntut ilmu.
Persepsi umat Islam tentang ilmu dan persepsi-persepsi
lain yang terkait dengan ilmu, seperti sekolah agama dan
ulama, harus diluruskan. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu
agama (ilmu naqli) dan ilmu non agama (ilmu aqli). Persepsi
yang membuat dikotomi itu telah menjauhkan umat Islam dari
kemajuan sains dan teknologi. Sains yang maknanya adalah
ilmu dianggap begitu asing dalam pemikiran sebagian besar
umat Islam masa kini. Akibatnya, karena kata ulama (yang
memiliki akar kata yang sama dengan ilmu) dipersepsi sebatas
orang yang berilmu di bidang pengetahuan agama, tidak
mengherankan apabila tokoh-tokoh sains Muslim tidak
dikenali sebagaimana tokoh-tokoh ulama (agama).
Demikian pula dengan terminologi amal shalih dan
ihsan amat perlu diterjemahkan dalam konteks yang meliputi
karya sains dan teknologi, bukan kebajikan dalam arti sempit.
Umpamanya, seseorang yang mencipta teori baru di bidang
sains dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia dan
kemanusiaan harus dihargai sebagai orang yang berbuat shalih.
Pengembangan pemahaman umat Islam terhadap
agamanya itu mudah-mudahan dapat memotivasi untuk
menekuni sains dan teknologi dengan landasan nilai-nilai al-
Qur’an.