Selasa, 26 November 2024

sain Alquran 7


 





Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada 

masa Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya pada masa 

Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam pada 

masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah 

mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia 

menjadi pejabat-pejabat penting di istana, terutama dari 

keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah lama   

bersentuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme 

yang mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan 

mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini semakin nyata 

setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran 

Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab 

resmi negara. Pada masa ini pendidikan Islam mencapai zaman 

keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan, sains  dan 

pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat 

sehingga menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada 

tandingnya di dunia dan filsafat serta ilmu pengetahuannya 

menjadi kiblat dunia pada saat itu.  

Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) 

merupakan isu klasik yang sampai saat ini masih berkembang 

di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam tidak 

mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena 

al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang 

lengkap dan sempurna yang mencakup semua aspek 

kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau 

penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah 

merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam 

di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan 

terhadap yang lainnya. 

Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca 

(baca: mengamati) gejala alam dan merenungkannya. Al-

Qur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi, ilmu 

kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk 

dipikirkan oleh manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima 

puluh ayat – sekitar seperdelapan al-Qur’an– yang mendorong 

orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan 

menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta berusaha 

memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai  

bagian dari hidupnya.  Kaum muslim zaman klasik 

memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan 

penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di 

samping dorongan lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan 

sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah 

Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran al-Qur’an, para 

ilmuwan muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam 

setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak 

saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu,  

B.  Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an 

Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang 

sulit dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah 

himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh 

sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara 

rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data 

pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala 

alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan 

manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang 

diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang 

produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).  

Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan 

untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, 

secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan 

teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara 

gamblang.  

Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, 

al-Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena 

alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima 

puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling 

awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi 

pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-

Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, 

dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada 

Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan 

mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta 

mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya 

(Ghulsyani, 1993).  Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah 

tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman 

terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada 

Tuhannya. 

Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat 

ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an 

telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama 

dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 

11: 

“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang 

beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu 

pengetahuan beberapa derajat.”  

Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia 

mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an  

menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini. 

Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati 

kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; al-

Ghasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca (al-

‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; 

Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang 

berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; 

Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah:  

5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), 

dan mengambil pelajaran (Yunus: 3). 

Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan 

teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima 

Nabi Muhammad saw.: 

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang 

Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. 

Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang 

Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). 

Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS 

al-‘Alaq: 1-5) 

Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar 

kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka 

makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, 

mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis 

maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu 

mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. 

(Shihab, 1996:433)  

Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk 

membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, 

sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak 

mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang 

bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan 

umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan 

beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu 

non agama sebagai berikut: 

1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara 

mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti pada 

ayat 9 surat al-Zumar:                         

“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan 

orang-orang yang tidak mengetahui.” 

Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 

12:76; QS 16: 70.  

2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan 

bahwa ilmu itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan 

hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada 

surat Fathir ayat 27-28: 

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan 

dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan 

yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung 

itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam 

warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian 

(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan 

binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam 

warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada 

Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”. 

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." 

Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di 

atas dihubungkan dengan orang yang menyadari 

sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) 

dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di 

hadapan Allah Yang Maha Mulia. 

3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. 

“Qarun berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu 

yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44-

45).  

Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu 

pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah  

itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini. 

Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan 

tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka 

bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah 

‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan 

firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13: 

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan 

apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). 

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat 

tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” 

Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau 

kata yang semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam al-

Qur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan 

semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan 

(sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat mengambil 

manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan 

pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai 

dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15-

16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin 

yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena 

aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan 

dan penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: 

“bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai 

kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah 

laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada 

dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang 

panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke 

bawah, akan mengganggu aliran udara karena pada bagian 

yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain. 

Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari   

pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang 

melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan 

sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut 

aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam 

bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat 

material tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu 

untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan 

kecepatan tertentu. 

Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di 

alam semesta ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua 

potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia) 

dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di 

samping itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi 

manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana 

memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu 

cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu 

pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 

3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan 

memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan 

beberapa langkah/proses sebagai berikut. 

Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia 

untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya 

mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi 

di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat 

Yunus ayat 101.  

“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) 

apa yang ada di langit dan di bumi….”    

Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni 

memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran 

kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap  

kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati 

(Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam 

firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:  

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) 

onta bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia 

diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka ditegakkan. 

Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”  

Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk 

mengadakan pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini 

diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149. 

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan 

ukuran.” 

Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang 

mendalam terhadap fenomena alam melalui proses penalaran 

yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang 

rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11-

12. 

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman-

tanaman zaitun, korma, anggur, dan segala macam buah-

buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar 

terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau 

berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari 

dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan 

(bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang 

demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum 

yang menalar.” 

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah 

yang sesungguhnya  yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, 

yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu   

menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi 

dan pengukuran itu. 

Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, 

kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir 

dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap 

gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada 

penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah, 

kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha 

Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah 

yang dinampakkan. 

Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya 

mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terdidik dan bijak 

yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki 

ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman 

seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi 

dan lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan 

untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan 

bantuan ilmu-ilmu  serta didorong oleh semangat dan sikap 

rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan 

(order) di alam ini tersingkap. 

 

C.  Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an     

Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu 

pengetahuan (sains dan teknologi), dapat dirumuskan beberapa 

prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan 

ilmiah manusia sebagai berikut. 

 

1. Prinsip Istikhlaf 

Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang 

digariskan oleh al-Qur’an dalam mendukung dan 

memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan  

erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep 

kekhalifahan memiliki sifat yang multi dimensional. 

Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan 

manusia sebagai pengatur dunia ini dengan segenap 

kemampuan yang dimilikinya. Untuk  itu, imanusia dibekali 

dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan 

berpikir (akal). Apabila dua  kekuatan itu dipergunakan 

sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih 

keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan nanti. 

Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk 

yang paling bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan 

makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini merupakan 

konsekuensi logis dari anugerah kemampuan dan kekuatan 

yang dimilikinya. 

Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk 

yang memiliki peranan penting untuk mengolah potensi-

potensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam 

mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, 

dan spiritual yang didasarkan pada hukum-hukum Allah. 

Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam 

semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan, 

menggerakkan segala sesuatu, dan mengawasinya), bukan 

manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas. 

 

2. Prinsip Keseimbangan 

Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an 

adalah keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar 

manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara luas 

dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambi berbagai 

bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah dengan susunan 

dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan   

kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang 

membentuk manusia itu.  

Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya 

keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian manusia 

(spiritual dan material) sehingga manusia mampu berbuat, 

berubah dan bergerak secara seimbang. 

 

3. Prinsip Taskhir 

Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk 

pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, 

tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam 

kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan. 

 Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah 

dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah 

telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya 

yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam 

mengelola alam semesta secara positif dan aktif. Tetapi, 

bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai 

dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia 

dan alam semesta. Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam 

ekspoitasi yang melampaui batas.  

Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu 

pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor kondusif 

bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban 

yang sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan. 

 

4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik 

Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem 

penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang 

Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak  

untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan 

keterkaitan itu. 

 Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan 

sebagian besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan 

penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka 

sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat 

dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang 

diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses 

penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, 

teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya 

terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi, 

Maha Kuasa, dan Maha Mengatur. 

Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa 

ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) merupakan kebutuhan 

dasar manusia yang Islami selama manusia melakukannya 

dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta 

mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan 

tersebut dengan cara-cara yang benar dan memuaskan. 

 

D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan 

Epistemologis 

Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapa 

isu penting di seputar epistemologi sains dan teknologi modern 

patut dipertimbangkan. 

Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan 

sarat nilai menjadi perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan 

Barat sejak Spengler menerbitkan bukunya The Decline of the 

West setelah Perang Dunia I.     

Argumen bahwa sains itu netral – bahwa sains bisa 

digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk; bahwa 

pengetahuan yang mendalam tentang atom bisa digunakan   

untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa menyembuhkan 

penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa dipergunakan 

untuk mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa 

dipergunakan untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa 

genetika) –  semua tampak amat meyakinkan. Tetapi, benarkah 

sains dapat dipisahkan dari penerapannya (teknologi)? 

Padahal, sejak masa renaissance (masa kelahiran sains modern) 

tujuan sains adalah untuk diterapkan dengan menempatkan 

manusia sebagai penguasa alam dan memberinya kebebasan 

untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia 

sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya. 

Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya 

sudah dirasakan dalam realitas kehidupan dahulu dan saat ini. 

Dengan demikian, pada hakekatnya sains tidak dapat 

dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains 

tidak netral. Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang 

pertanyaan: “sistem nilai siapa yang mempengaruhi sains?” 

Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi 

kuat bahwa sains banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang 

dianut komunitas ahli sains yang terkait, yang setengahnya 

tidak serasi dengan nilai Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang 

menyertai sains modern harus diantisipasi secara cermat agar 

kita tidak terperangkap dalam nilai-nilai yang tidak Islami itu. 

Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah 

mengembangkan suatu pola di mana rasionalisme dan 

empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan (scientific 

method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas 

pada pola pikir manusia di hampir semua bidang 

kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas realitas-

realitas – baik realitas sosial, individual, bahkan juga 

keagamaan – diukur berdasarkan kesadaran obyektif di mana  

eksperimen, pengalaman empiris, dan abstraksi kuantitatif 

adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya. Akibatnya, seperti 

pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwan India) yang ingin 

memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India, sains 

telah memungkinkan manusia untuk memandang setiap 

persoalan secara obyektif dan membebaskan manusia dari 

ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains juga 

membebaskan manusia dari agamanya. Tampaknya, menurut 

AB Shah, dunia pengalaman kita sudah semakin sempit. Yang 

nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk 

agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.       

Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai 

sekularisme. Sains memisahkan secara jelas antara dunia 

material dengan spiritual, antara pengamat dengan yang 

diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan 

alam. Akibatnya, karena sains hanya mengamati fakta dan 

aspek yang dapat diukur, sifat ruhaniah dari alam dan benda-

benda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang disebut 

sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991)  

Belum diketahui  secara persis sejauh mana dampak 

nilai-nilai yang menyertai perkembangan sains itu terhadap 

masyarakat Muslim. Akan tetapi, apa yang dikemukan di atas 

(bahkan mungkin lebih dari itu) bukanlah rekaan dan 

mengada-ada. Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang 

dan generasi mendatang, yang oleh Ziauddin Sardar (1987: 86) 

digambarkan sebagai imperialisme epistemologis. Dalam 

ungkapannya:“Epistemologi peradaban Barat kini telah 

menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan 

dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif 

lainnya. Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan   

sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan citra 

manusia Barat.” 

Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di 

dalamnya sains dan teknologi) Barat demikian kuatnya yang, 

tampaknya, tidak memungkinkan bagi siapapun untuk 

menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum 

mampu menciptakan epistemologi alternatif sebagai tandingan, 

dalam kapasitas kemampuan masing-masing umat harus 

kembali kepada al-Qur’an seraya mencermati pesan-pesan 

ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam semesta. 

Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang 

diciptakan oleh Allah memiliki kerangka tujuan ilahiyah. 

Berpijak pada ajaran Tauhid – di mana Allah adalah Pencipta 

alam semesta, segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali 

kepada-Nya – seyogyanya setiap langkah yang diambil 

ditujukan untuk memperoleh keridlaan-Nya dan untuk 

mendekatkan diri kepada-Nya. Penyelidikan untuk 

menyingkap rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait 

dengan kerangka tujuan ini. 

Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap 

alam semesta hanya untuk pemuasan keinginan (science for 

science), seperti yang berlaku di Barat. Menurut al-Qur’an, sains 

hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir. Pemahaman 

seseorang terhadap alam harus mampu membawa 

kesadarannya kepada Allah Yang Maha Sempurna dan Maha 

Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur’an menampakkan 

dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam surat 

al-An’am: 76-79. 

Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka 

cakrawala peneliti kepada pandangan alam yang lebih 

komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara parsial dan  

sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan 

kesalinghubungan dalam kesatuan di balik keragaman. Inilah 

yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap benda yang 

diciptakan oleh Allah berada dalam satu kerangka tujuan, 

sehingga benda terkecilpun memiliki nilai. 

Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada 

kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas 

eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab itu, ada banyak hal 

yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan demikian 

tumbuh suatu kesadaran bahwa pada hakekatnya pengetahuan 

manusia itu sangat terbatas. 

E. Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sain dalam 

Proses Pembelajaran 

Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi 

agama dan sains, secara umum ada empat pola yang 

menggambarkan hubungan tersebut. Keempat hubungan itu 

adalah berupa konflik, independensi, dialog, dan integrasi. 

Hubungan yang bersifat konflik menempatkan agama dan 

sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling bertentangan. 

Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan 

menegasi kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan 

sebagainya. 

Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya 

sebagai interdependensi menganggap adanya distribusi 

wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah sains. 

Keduanya tidak saling menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas 

memberi jawaban tentang proses kerja sebuah penciptaan 

dengan mengandalkan data publik yang obyektif. Sementara 

agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang lebih 

besar bagi kehidupan seseorang.  

Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains 

dan agama bertautan dalam model dialog. Model ini 

menggambarkan sains dan agama itu memiliki dimensi irisan 

yang bisa diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains 

bisa dipecahkan melalui kajian-kajian agama dan sebaliknya. 

Keempat, hubungan antara sains dan agama itu 

dinyatakan sebagai hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa 

digambarkan dalam dua bentuk yakni teologi natural (natural 

theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu 

merupakan sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology 

of nature)  yang menganggap bahwa pertemuan dengan Tuhan 

harus senantiasa di-up grade sesuai dengan perkembangan ilmu 

pengetahuan (Barbour, 2005). 

Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah 

mengisyaratkan pentingnya ilmu pengetahuan dan menjadikan 

proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping itu, al-Quran 

juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu 

pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini mengindikasikan 

bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam pandangan 

al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang 

secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa 

agama dan sain merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan 

demikian, dalam pandangan al-Quran, sains dan agama 

merupakan dua hal yang terintegrasi. 

Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses 

mengamati, menemukan, memahami, dan menghayati 

sunnatullah, yang berupa fenomena alamiah maupun sosial, 

kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi 

kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya serta 

menjadikan kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya 

Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan 

pembelajaran. Tujuan ini akan membimbing peserta belajar 

kepada kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas 

eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-prinsip 

dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf, 

keseimbangan, taskhir, dan keterkaitan antara makhluk dengan 

Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam mempelajari subyek 

apapun. 

Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembaga-

lembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga 

perguruan tinggi, masih menghadapi perosalan serius yang 

bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada beberapa persoalan 

yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini, yaitu: 

1) munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang 

berdampak pada munculnya split personality dalam diri peserta 

didik; 2) kesenjangan antara sistem pendidikan dengan ajaran 

Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh dari cita-

cita pendidikan Islam.  

Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu 

dilakukan upaya integrasi dalam pendidikan, sebagaimana 

yang telah di lakukan sekelompok ahli pendidikan atau 

cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan tesebut. Ada 

tiga tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan 

yaitu: 1) integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran, 3) 

integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).  

Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilai-

nilai ilahiyah dalam keseluruhan materi pelajaran, mulai dari 

perumusan standar kompetensi sampai dengan evaluasi 

pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud adalah 

menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang sains 

kepada peserta didik di saat proses pembelajran berlangsung. 

Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan integrasi 

pembelajaran) merupakan langkah strategis ke arah integrasi 

ilmu. 

Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan,  

setidaknya, pembelajaran sains (kealaman maupun sosial) 

harus mampu menghantarkan peserta didik kepada kesadaran 

yang permanen tentang keberadaan Allah. Sementara 

pembelajaran agama harus mampu memotivasi peserta didik 

untuk melakukan kegiatan ilmiah secara terus-menerus. Inilah 

yang sesungguhnya yang menjadi inti pandangan al-Quran 

tentang sains. 

Islam pernah menjadi ahli dan penemu di berbagai 

bidang sains dan teknologi pada masa klasik, namun sekarang 

kemajuan sains dan teknologi dalam berapa dasawarsa abad 

XX telah menempatkan negara-negara yang  penduduknya 

mayoritas Muslim dalam posisi pinggiran.  

Langkah awal yang harus ditempuh adalah 

membongkar kembali pemahaman umat Islam terhadap agama 

yang dianutnya. Misalnya, beberapa terminologi keagamaan 

seperti jihad, ilmu, taqwa, amal shalih, dan ihsan perlu 

ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar 

terminologi ibadah dalam arti sempit.  

Terminologi jihad yang sementara ini dipahami dalam 

konteks ‘perang’ melawan orang kafir dengan harapan pahala 

dan mati syahid, harus diperluas dalam konteks jihad 

menuntut ilmu. 

Persepsi umat Islam tentang ilmu dan persepsi-persepsi 

lain yang terkait dengan ilmu, seperti sekolah agama dan 

ulama, harus diluruskan. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu 

agama (ilmu naqli) dan ilmu non agama (ilmu aqli). Persepsi 

yang membuat dikotomi itu telah menjauhkan umat Islam dari 

kemajuan sains dan teknologi. Sains yang maknanya adalah 

ilmu dianggap begitu asing dalam pemikiran sebagian besar 

umat Islam masa kini. Akibatnya, karena kata ulama (yang 

memiliki akar kata yang sama dengan ilmu) dipersepsi sebatas 

orang yang berilmu di bidang pengetahuan agama, tidak 

mengherankan apabila tokoh-tokoh sains Muslim tidak 

dikenali sebagaimana tokoh-tokoh ulama (agama). 

Demikian pula dengan terminologi amal shalih dan 

ihsan amat perlu diterjemahkan dalam konteks yang meliputi 

karya sains dan teknologi, bukan kebajikan dalam arti sempit. 

Umpamanya, seseorang yang mencipta teori baru di bidang 

sains dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia dan 

kemanusiaan harus dihargai sebagai orang yang berbuat shalih. 

Pengembangan pemahaman umat Islam terhadap 

agamanya itu mudah-mudahan dapat memotivasi untuk 

menekuni sains dan teknologi dengan landasan nilai-nilai al-

Qur’an.