Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 10

 


ru

tentangnya. Hashim Amir Ali, misalnya, menegaskan bahwa

seluruh kelompok huruf misterius itu, bukan hanya beberapa

diantaranya, merupakan seruan-seruan yang ditujukan kepada

Nabi.67  Jadi, gagasan ini pada dasarnya merupakan reiterasi dari

gagasan klasik tentang huruf-huruf ini  sebagai media

pembangkit perhatian. Demikian pula, Ali Nashuh al-Thahir

mengelaborasi kembali gagasan klasik tentang fawâtih al-suwar

sebagai simbol-simbol numerik. Menurutnya, nilai-nilai numerik

dari huruf-huruf ini  mencerminkan jumlah ayat dalam surat-

surat atau kelompok-kelompok surat dalam bentuk orisinalnya,

yang dalam kebanyakan kasus berasal dari periode Makkah.

Contohnya, surat 7 yang diawali dengan huruf-huruf  a-l-m-sh ( l

+ 30 + 40 + 90 = 161 ), menurut al-Thahir, pada mulanya hanya

terdiri dari 161 ayat pertama. namun , dalam kasus-kasus lainnya ia

mesti menggabungkan berbagai kelompok surat untuk memperoleh

jumlah ayat yang dibutuhkan bagi suatu surat. Jadi, dengan

menambahkan 111 ayat yang ada  dalam surat 12 kepada “120

ayat Makkiyah” dari surat 11, ia memperoleh jumlah 231 ayat,

yang disimpulkannya sebagai nilai huruf-huruf a-l-r ( 1 + 30 + 200

= 231 ) pada permulaan kedua surat ini .68  Sayangnya surat-

surat lain yang diawali dengan huruf-huruf senada – yakni a-l-r

pada permulaan surat-surat 10; 14; dan 15 – tidak disinggungnya,

yang tentu saja akan menghasilkan kesimpulan berbeda.

Berbagai gagasan tafsir – baik gagasan dasar yang diletakkan

para mufassir klasik ataupun varian-varian dan improvisasi-

improvisasinya yang dikemukakan sarjana Muslim  belakangan –

mengenai makna huruf-huruf misterius jelas terlihat sangat

spekulatif, dan terkadang bahkan agak bersifat arbitrer. namun ,

gagasan-gagasan ini  sama sekali tidak keluar dari konsepsi

dasar bahwa huruf-huruf ini  merupakan bagian dari wahyu

Ilahi atau al-Quran yang diterima Muhammad. Konsepsi tentang

huruf-huruf misterius sebagai bagian al-Quran yang diwahyukan

Tuhan ini mulai bergeser saat  para sarjana Barat berusaha 

mengungkap tabir misteri huruf-huruf ini . Beberapa di

antaranya, dengan mengembangkan gagasan klasik Islam –

sebagaimana akan ditelusuri dalam bab 7 – melangkah ke arah

yang berlawanan: Keabsahan fawâtih sebagai bagian dari risalah

Ilahi yang diterima Muhammad mulai dipertanyakan lewat

interpretasi mereka tentangnya.

Setelah ungkapan tasmiyah dan huruf-huruf misterius pada

permulaan 29 surat di atas, surat-surat al-Quran terbagi ke dalam

ayat-ayat yang panjangnya sangat bervariasi, namun  tidak ditetapkan

secara arbitrer. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan sarjana

Muslim dalam menetapkan panjang pendeknya suatu ayat. Orang-

orang Madinah yang awal menghitung beberapa  6000 ayat di dalam

al-Quran, sedangkan orang-orang Madinah yang belakangan

menghitung 6124 ayat; orang-orang Makkah menghitung beberapa 

6219 ayat; orang-orang Kufah beberapa  6263 ayat; orang-orang

Bashrah beberapa  6204 ayat; dan orang-orang Siria (Syam) beberapa 

6225 ayat.69  Sementara suatu riwayat dalam Fihrist menyebutkan

ada  6226 ayat di dalam al-Quran.70  Tradisi Islam  sangat sadar

akan sistem-sistem perhitungan ayat al-Quran yang bersifat regional

atau lokal. Anton Spitaler, dalam surveinya tentang hal ini, bahkan

membedakannya ke dalam 21 sistem penghitungan ayat.71  namun 

dalam mushaf utsmani edisi standar Mesir, yang menjadi panutan

sebagian besar dunia Islam dewasa ini, ayat al-Quran seluruhnya

dihitung 6236 ayat. Berbagai perbedaan dalam penghitungan ayat

ini tentunya tidak mengimplikasikan perbedaan kandungan al-

Quran untuk setiap sistem penghitungannya, sebab   yang menjadi

rujukan dalam berbagai sistem ini   adalah textus receptus

utsmani.

Perbedaan penghitungan ayat – selain disebab kan perbedaan

dalam penetapan basmalah sebagai ayat atau bukan dan fawãtih

sebagai ayat/ayat-ayat terpisah atau tersendiri, sebagaimana telah

dikemukakan di atas – pada hakikatnya disebabkan oleh perbedaan

dalam  menentukan  apakah rima telah menandakan berakhirnya

suatu ayat atau masih berlanjut – dalam istilah tradisionalnya:

perbedaan dalam penetapan ra’sul ãyah (kepala ayat) dan fãshilah.

Hal ini terjadi akibat adanya kenyataan bahwa rima atau purwakanti

di dalam al-Quran sebagian besarnya dihasilkan lewat penggunaan

bentuk-bentuk atau akhiran-akhiran gramatikal yang sama.

Dalam beberapa surat, yang pada umumnya merupakan surat-

surat panjang, ayatnya panjang-panjang dan menggugah; sementara

dalam surat-surat pendek, ayatnya pendek-pendek, namun  padat dan

mengena. Memang ada  pengecualian terhadap generalisasi

semacam ini – misalnya surat 26 yang terhitung panjang, memiliki

200 ayat pendek, sementara surat 98 yang terhitung pendek, berisi

8 ayat panjang – namun  secara keseluruhan itulah gambaran umum

ayat-ayat al-Quran.


Otentisitas dan Integritas Mushaf Utsmani

Hadits dan Integritas Mushaf Utsmani

Mushaf utsmani, secara doktrinal, dipandang telah mencakupkeseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Muhammad yang

semestinya dimasukkan ke dalam kompilasi ini . namun ,

beberapa  riwayat yang sampai ke tangan kita dewasa ini juga

memberitakan eksistensi beberapa  wahyu lainnya yang tidak terekam

secara tertulis di dalamnya. Material-material ekstra-quranik ini

sebagian besarnya dikemukakan dalam bahasan panjang lebar para

ulama tentang nãsikh-mansûkh. Sebagian lagi direkam dalam

kumpulan hadits qudsi, yang sejak awal Islam telah dipandang

sebagai bukan bagian al-Quran, sekalipun sama-sama bersumber

dari Tuhan.

Secara garis besarnya, ada  tiga kategori utama dalam

berbagai bahasan tentang nãsikh-mansûkh:

(i) wahyu yang terhapus baik hukum maupun bacaannya di

dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilãwah);

(ii) wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau

bacaannya masih ada  di dalam mushaf (naskh al-hukm

dûna al-tilãwah); dan

(iii) wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, namun  hukum-

nya masih berlaku (naskh al-tilãwah dûna al-hukm).

Dari ketiga kategori di atas, hanya kategori pertama dan terakhir

yang relevan dan  berkaitan secara langsung dengan masalah

otentisitas dan integritas mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini

– yakni mushaf utsmani – sebab  keduanya sama-sama menyiratkan

tidak direkamnya beberapa  wahyu secara tertulis ke dalam mushaf

ini . Sekalipun demikian, wahyu-wahyu yang dinyatakan

“terhapus” ini sebagiannya masih sempat direkam dalam beberapa 

hadits dan  riwayat lainnya.

Kategori yang pertama-tama akan dibahas di sini adalah bagian-

bagian wahyu yang teksnya masih sempat direkam di dalam

beberapa  prophetologia, namun  baik bacaan maupun hukumnya

dinyatakan terhapus (naskh al-hukm wa al-tilãwah). Di dalam

riwayat-riwayat kategori ini, ada  rujukan yang jelas tentang

eksistensinya sebagai bagian al-Quran pada masa tertentu. Yang

paling sering disebut, sekalipun dengan beberapa  perbedaan yang

tajam antara satu dengan lainnya,1  adalah ayat berikut:



Artinya:

Seandainya anak adam (manusia) memiliki dua gunungan harta

kekayaan, maka ia akan meminta tambah untuk ketiga kalinya

dua gunungan harta kekayaan itu, namun  hanya debu yang

akan memenuhi perutnya. Dan Allah akan mengampuni or-

ang-orang yang kembali (bertaubat) kepa-Nya.2

Dalam mushaf Ubay, ayat ini disisipkan di antara ayat 24 dan

25 dari surat 10. beberapa  sahabat Nabi, di antaranya Abu Musa

al-Asy‘ari, seperti dikemukakan beberapa riwayat, memandangnya

sebagai bagian al-Quran yang diwahyukan Tuhan, namun  pada masa

belakangan telah dinasakh. Penjelasan tradisional juga

mengungkapkan gagasan yang sama sehubungan dengan   eksistensi

ayat/hadits itu. Namun, dari segi rima (taqfiyah), tampaknya ayat

ini  tidak cocok ditempatkan di sini, seandainya pernah

diposisikan demikian, sebab  ayat-ayat sebelum dan sesudahnya

rata-rata berima dalam -ûn –  kecuali ayat 25 yang berima dalam -

îm (atau -in). Lebih jauh, kata-kata yang digunakannya secara jelas

menunjukkan asal-usulnya sebagai hadits. Bahkan, ungkapan ibn

ãdam, sebagaimana ditunjukkan Schwally, merupakan ungkapan

yang asing bagi al-Quran.3  Di samping itu, dalam riwayat Bukhari

dari Ibn Zubayr, ayat di atas hanya disebut sebagai hadits Nabi,

bukan wahyu al-Quran.4


Masih dari mushaf Ubay, diriwayatkan bahwa dalam surat 98

ia memiliki sebuah ayat ekstra berikut ini:


Artinya:

Sesungguhnya Agama di sisi Allah adalah al-hanifiyyah, bukan

Yahudi dan bukan pula Nasrani. Maka barang siapa yang

berbuat baik, tidak akan diingkari jerih payahnya.6

Rima ayat di atas – yakni -ah –  hingga taraf tertentu, bisa

dikatakan relatif cocok dengan rima ayat-ayat dalam surat 98. namun ,

seandainya ayat ini betul-betul bagian al-Quran, maka bentuk

awalnya pasti agak berbeda, sebab  kata-kata -   yang alasan penggunaan kata-kata bentukannya cukup

jelas di dalam al-Quran, dalam kasus “ayat” ini terlihat merupakan

kata bentukan yang asing dalam pemakaian kitab suci ini .

Menurut salah satu riwayat yang dikemukakan dalam Itqãn,

Maslamah ibn Mukhallad al-Anshari membacakan dua ayat berikut

ini kepada temannya sebagai bagian al-Quran, namun  tidak terekam

secara tertulis dalam mushaf resmi utsmani: 


Artinya:

(1) Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah

dan  berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka,

maka bergembiralah kamu, sebab  sesungguhnya kamu

adalah orang-orang yang beruntung.

(2) Dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan

membantu dan  berperang bersama mereka melawan kaum

yang dikutuk Tuhan, maka tak satu jiwa pun yang

mengetahui apa yang disimpankan untuk mereka dari

berbagai hal yang menyenangkan pandangan mata, sebagai

balasan terhadap apa yang mereka lakukan.

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  263

Kedua ayat di atas, dalam keseluruhan kasus, menggunakan

kosa kata yang banyak digunakan di dalam al-Quran. Perubahan

gramatik kata ganti orang, seperti ada  di dalamnya, juga sering

muncul di dalam al-Quran. namun , penggunaan konstruksi (tarkîb)

 ! dengan bentuk imperatif (’amr) dalam ayat pertama, tidak pernah

muncul di dalam bagian manapun dari al-Quran. Di samping itu,

bunyi kedua ayat di atas lebih merupakan penggabungan – dengan

sedikit tambahan – dari 8:72 dan 32:17, yang barangkali dilakukan

Maslamah untuk menonjolkan para sahabat Nabi berhadapan

dengan pemimpin dinasti Umaiyah, Mu‘awiyah. Maslamah wafat

pada masa pemerintahan Mu‘awiyah, yang dinastinya dipandang

sebagai 

  (“yang dikutuk Tuhan”).

Dalam riwayat lain dituturkan bahwa Umar ibn Khaththab,

saat  menjabat sebagai Khalifah, pernah bertanya kepada Abd al-

Rahman ibn Auf  (w. 653/3) apakah ia mengenal ayat berikut ini:

      

Artinya:

Berjuanglah seperti kalian telah berjuang untuk pertama

kalinya.

Jawaban Abd al-Rahman ibn Auf adalah ayat ini 

merupakan salah satu ayat al-Quran yang terhapus.11  Penggunaan

kosa kata dan struktur kalimatnya memang terlihat sangat quranik,

namun  keberadaan versi lainnya dari ayat ini  yang lebih

terelaborasi,12  membuat keraguan timbul sehubungan dengan asal-

usulnya sebagai wahyu al-Quran.

Imam Muslim (w. 821) meriwayatkan dalam Shahîh-nya bahwa

Abu Musa pernah mengabarkan mereka biasa membaca suatu surat

al-Quran yang panjangnya menyerupai musabbihãt,13 namun  yang

bisa diingatnya dari surat ini  hanyalah ayat berikut:14



Artinya:

Hai orang-orang beriman, mengapa kalian katakan apa yang

tidak kalian lakukan? Maka dituliskan sebuah kesaksian di leher-

lehermu  dan kalian akan ditanya tentangnya di hari berbangkit.


Bagian awal “ayat” di atas mirip dengan 61:2; dan kalau mau

ditetapkan, fragmen ayat ini barangkali termasuk ke bagian surat

ini . namun , rimanya terlihat tidak cocok dengan rima ayat-

ayat surat ini, bahkan untuk keseluruhan surat musabbihãt yang

rata-rata berima dalam -ûn dan -în. Lebih jauh, “ayat” ini 

diriwayatkan sebagai bagian al-Quran yang terhapus; dan hadits-

hadits tentang penghapusan ini tidak dapat dipercaya sama sekali.

Di samping itu, ayat yang dipermasalahkan di sini jelas tidak

ada  di dalam kodeks Abu Musa; sebab, kalau tercantum di

dalamnya, tentu tidak mudah baginya untuk melupakannya.15

Demikian pula, Bukhari meriwayatkan dari Anas ibn Malik

yang menceriterakan bahwa sehubungan dengan orang-orang yang

wafat dalam pertempuran Bi’r Ma‘una turun suatu ayat al-Quran

yang pada masa belakangan dihapus.16  Teks ayat ini , seperti

direkam Itqân,17  adalah:


Artinya:

Sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu

Tuhan kami, dan Dia ridla kepada kami dan  kami pun ridla

kepada-Nya.

Varian ayat ini sangat banyak dan bahkan dituturkan dalam

bentuk hadits.18  Kenyataan ini dengan jelas membuktikan asal-

usulnya sebagai bukan bagian al-Quran, sekalipun fraseologinya

(’uslûb) bisa dipandang – dan memang memanfaatkan kosa kata –

quranik.

Dalam kategori yang sama adalah yang lazim disebut sebagai

“ayat-ayat setan.” Dalam riwayat disebutkan bahwa saat  Nabi

tengah mengharapkan wahyu yang akan membimbing para

pedagang dan pemimpin warga  Makkah untuk menerima

agamanya, setan lalu menyelipkan dua ayat – menurut riwayat

diposisikan setelah 53:19-20 –  berikut ke dalam wahyu Tuhan:19

Artinya:

(1) Mereka inilah perantara-perantara agung,

(2) Yang syafaatnya sungguh sangat diharapkan.

Dalam ayat-ayat sisipan setan di atas, diperkenankan campur

tangan (syafaat) tiga dewa lokal Arab. namun  belakangan – tidak

jelas berapa lama setelah itu – Muhammad menyadari bahwa bagian

“wahyu” di atas tidak bersumber dari Tuhan. Ia menerima suatu

wahyu Ilahi yang mengoreksi atau “menghapuskannya,” di mana

setelah dua ayat pertama (53:19-20), datang bagian berikut: “Apakah

laki-laki untuk kamu dan perempuan untuk-Nya? Yang demikian

itu tentunya merupakan pembagian yang tidak adil” (53:21-22).

Dalam butir-butir pokok, terlihat bahwa laporan hadits tentang

“ayat-ayat setan” itu dapat dibenarkan, sebab  agak sulit

membayangkan kaum Muslimin merekayasa kisah semacam itu

mengenai Muhammad. Dari sisi kesejarahan, kisah ini terjadi pada

saat kaum Muslimin mengalami tantangan dan siksaan yang sangat

keji, sehingga Nabi menyuruh mereka berhijrah ke Abisinia. Dengan

demikian, kisah ini  cocok dengan konteks kesejarahannya dan

mengungkapkan kompromi yang diusaha kan Nabi terhadap orang-

orang Quraisy.20  Barangkali pertimbangan semacam inilah yang

melandasi penerimaan sejarawan dan mufassir agung al-Thabari

terhadap kebenaran kisah itu. namun , ada  kecenderungan yang

kuat di kalangan sarjana Muslim hingga dewasa ini untuk menolak

keabsahannya, sebab  kompromi dalam ajaran teologis yang paling

fundamental – yakni tawhîd – merupakan suatu hal yang sulit

dibayangkan telah dilakukan oleh Nabi.

Masih banyak lagi riwayat tentang “ayat-ayat” quranik semacam

ini, yang lazimnya didiskusikan secara rinci dalam literatur-literatur

nasikh-mansukh. Material-material ini  biasanya dimasukkan

ke dalam kategori pertama nasikh-mansukh: naskh al-hukm wa-l-

tilãwah, yakni wahyu yang dihapus baik ketentuan hukum ataupun

bacaannya. Bahkan di dalam beberapa  riwayat disebutkan bahwa

surat-surat tertentu pada mulanya memiliki kandungan yang lebih

ekstensif dari kandungan aktual surat-surat ini  di dalam

mushaf utsmani. Contohnya, surat 33 – yang di dalam mushaf

utsmani hanya memiliki 73 ayat – dikabarkan pada mulanya

memiliki sekitar 200 ayat, atau sepanjang surat 2, atau lebih panjang

lagi. Demikian pula, surat 9 dan surat 98 juga dikabarkan pada

awalnya memiliki kandungan yang lebih ekstensif dari yang ada

sekarang, dan sebagainya.

Beberapa riwayat – seperti dikesankan bahasan-bahasan nasikh-

mansukh –  mengungkapkan bahwa kandungan al-Quran pada

awalnya sangat ekstensif dibandingkan kandungan aktualnya

dewasa ini. Al-Thabrani melaporkan bahwa Umar ibn Khaththab

berkata: “al-Quran itu terdiri dari 1.027.000 kata.”22  Namun, al-

Quran yang ada di tangan kita sekarang jelas tidak mencapai

sepertiga dari jumlah kata yang disebutkan dalam riwayat tadi.

Jadi, menurut riwayat ini , sekitar dua pertiga bagian kitab

suci al-Quran telah hilang atau dihapuskan. Riwayat fantastik

semacam ini – yang secara jelas menegasikan adanya usaha  dan

perhatian serius Nabi dan generasi pertama Muslim untuk

memelihara al-Quran, baik secara hafalan ataupun tulisan –

didukung oleh riwayat lainnya, yang lebih fantastik lagi, dari Abd

Allah ibn Umar:

Sungguh seseorang di antara kamu akan berkata: “Saya telah

mendapatkan al-Quran yang lengkap,” dan tidak mengetahui

taraf kelengkapannya. Sesungguhnya banyak bagian al-Quran

yang telah hilang (dzahaba), dan sebab  itu seharusnya ia

berkata: “Saya telah mendapatkan yang  masih ada.”23

beberapa  riwayat lainnya mengungkapkan bahwa surat-surat

tertentu telah dinasakh secara menyeluruh. Suatu surat semisal

musabbihãt – sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Abu Musa

al-Asy‘ari, yang telah disinggung di atas – dikatakan telah hilang,

kecuali salah satu ayatnya.24  Di samping itu, dua surat ekstra –

surat al-khal‘ dan surat al-hafd – dalam mushaf Ubay, juga biasanya

diklasifikasikan ke dalam kategori ini. Kedua surat ekstra ini, secara

lengkap, bisa dikemukakan sebagai berikut:

Artinya:

Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang

(1) Ya Allah, kami memohon kepada-Mu pertolongan dan

ampunan.


(2) Kami menyanjung-Mu dan tidak bersikap kafir kepada-

Mu.

(3) Kami ungkapkan puja-puji kepada-Mu dan kami

tinggalkan orang-orang yang berlaku curang kepada-Mu.

Artinya:

Dengan nama Allah yang pengasih, yang penyayang

(1) Ya Allah, kepada-Mu lah kami menyembah.

(2) Dan kepada-Mu lah kami bersembahyang dan  bersujud.

(3) Dan kepada-Mu lah kami berjalan bergegas-gegas dan 

bersegera.

(4) Kami  berharap akan limpahan rahmat-Mu.

(5) Dan kami takut akan azab-Mu.

(6) Sesungguhnya azab-Mu menimpa semua orang yang

kafir.

Seperti terlihat, bentuk dan kandungan kedua surat di atas

adalah doa. Biasanya, doa di dalam al-Quran diawali dengan

ungkapan qul (“katakanlah”) untuk melegitimasi keberadaannya

sebagai wahyu, misalnya surat 113 dan 114. namun , tidak semua

ungkapan doa di dalam al-Quran – misalnya surat 1 – diawali

dengan formula qul. sebab  itu, pijakan semacam ini tidak dapat

dipertahankan. Namun, sebagaimana ditunjukkan Schwally,

penggunaan konstruksi gramatik dan beberapa  kosa kata yang asing

bagi al-Quran di dalam kedua surat itu telah menimbulkan

keraguan untuk menetapkannya sebagai bagian orisinal kitab suci

ini , atau bahkan dari ungkapan Nabi sendiri. Penggunaan

kata kerja {Yv (“memuja”) dan MB (“bersegera”), dan  penggunaan

konstruksi gramatik kata %W (“berjalan bergegas-gegas”) yang

disambung dengan 'v |v (kepada Tuhan) – yang tidak dapat

ditemukan di bagian manapun dalam al-Quran – dan lainnya,

telah mengarakan kepada kesimpulan ini .


Kesimpulan di atas memang mendukung teori ortodoksi Is-

lam tentang kedua surat ini  sebagai bukan bagian al-Quran.

namun , pijakan penolakannya jelas berbeda, sebab  argumentasi

dasar ortodoksi  adalah bahwa penerimaan kesejatian kedua surat

itu sebagai wahyu Ilahi akan membahayakan kesucian teks utsmani.

Tampaknya kedua surat di atas telah digunakan pada masa Nabi

sebagai doa biasa. Dalam beberapa  hadits, kedua surat itu sering

dirujuk sebagai du‘ã al-qunût, dan Umar ibn Khaththab – dan 

Ubay sendiri – menggunakannya dalam fungsi ini .27

Penyebutan lainnya untuk kedua “surat” itu sebagai du‘ã al-fajr

atau sekedar al-du‘ã,28  menunjukkan bahwa keduanya tidak

memiliki kaitan dengan al-Quran, melainkan sekedar doa biasa.

Kategori ketiga dari nasikh-mansukh, naskh al-tilãwah dûna

al-hukm, mengungkapkan eksistensi beberapa  bagian al-Quran yang

telah dihapus bacaannya, namun  hukumnya dinyatakan masih

berlaku. Yang terhitung populer untuk kategori ini adalah “ayat

rajam”  ( 

 ), yang mengungkapkan bentuk hukuman rajam

bagi pezina. Menurut beberapa riwayat, Khalifah Kedua, Umar

ibn Khaththab, memandangnya sebagai bagian al-Quran. Ayat ini,

dalam versi Itqãn,29  adalah sebagai berikut:



Artinya:

Apabila seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan

dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian

hukum dari Tuhan, dan Tuhan maha kuasa lagi bijaksana.

Sebagian besar riwayat yang ada mengungkapkan ayat ini

termasuk kategori bagian al-Quran yang dinasakh. Semula posisi

ayat ini, menurut riwayat ini , berada di dalam surat 33. namun ,

gagasan ini terlihat tidak logis, sebab  ayat-ayat dalam surat itu

berima dalam -ã, sementara ayat di atas berima dalam  -îm. Menurut

suatu riwayat yang dikemukakan Bukhari, posisi semula ayat

ini  adalah dalam surat 24.30  Riwayat ini lebih logis, sebab  –

selain rima ayat terlihat cocok dengan surat itu – salah satu

kandungan surat 24 membahas tentang perbuatan zina yang

dilakukan laki-laki dan wanita. Namun, dalam surat ini ada 

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  269

batasan terhadap hukuman perbuatan zina dengan cambukan, yang

secara jelas bertentangan dengan ayat di atas. Lebih jauh, secara

fraseologis, kata  }-

  tidak pernah digunakan di

dalam al-Quran. Jadi, eksistensi “ayat rajam” sebagai bagian al-

Quran – sekalipun belakangan dikategorikan mansûkh – jelas sangat

meragukan.

Di samping berbagai riwayat tentang bagian-bagian al-Quran

yang kemudian dikategorikan sebagai mansûkhãt – baik dalam

kategori pertama maupun ketiga – hadits-hadits juga mengungkap-

kan beberapa  logia ketuhanan yang sejak awal Islam tidak dipan-

dang sebagai bagian al-Quran. Secara teknis, riwayat-riwayat se-

macam ini diklasifikasikan sebagai al-hadîts al-qudsî 

). Hadits qudsi lazimnya

didefinisikan sebagai hadits yang disandarkan Nabi kepada Allah,

yakni Nabi meriwayatkannya sebagai kalam Allah.31  Beberapa

ilustrasi hadits jenis ini bisa dikemukakan di sini.

Ilustrasi pertama bisa dilihat dalam suatu hadits yang

diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurayrah bahwa Rasulullah saw.

mengatakan Allah pernah berfirman: 

Artinya:

Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik

di waktu malam maupun siang hari.

Ilustrasi lainnya bisa diambil dari himpunan hadits Bukhari,

Shahîh, di mana diriwayatkan Nabi pernah menyampaikan  bahwa

– sehubungan dengan puasa – Allah pernah berfirman:

Artinya:

Setiap amal perbuatan manusia adalah untuknya, kecuali puasa

yang merupakan amalan untuk-Ku dan Aku sendiri akan

mengganjarnya. Puasa adalah pelindung, dan apabila seseorang

dari kamu berpuasa, maka janganlah ia memaki atau

membentak. Jika seseorang memaki atau bertengkar dengannya,

maka ia mesti berkata: “Saya sedang puasa.” Demi Dzat yang

jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang

berpuasa lebih disenangi di sisi Allah dari pada wewangi kesturi.

Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan:

kebahagiaan di kala berbuka dan kebahagiaan saat  bertemu

Tuhannya dengan puasanya

Dalam tradisi Islam, perbedaan teknis antara hadits qudsi dan

al-Quran telah dielaborasi sedemikian rupa. Hal-hal yang

ditekankan dalam pembedaan teknis ini, antara lain, adalah: (i) al-

Quran itu mukjizat, hadits qudsi tidak; (ii) penisbatan al-Quran

semata-mata hanya kepada Tuhan, sedangkan penisbatan hadits

qudsi kepada Tuhan bersifat pekabaran; (iii) periwayatan al-Quran

bersifat mutawatir, hadits qudsi tidak demikian; dan (iv) pembacaan

al-Quran adalah ibadah yang berpahala, dan sebab  itu dibaca di

dalam shalat,  sementara hadits qudsi tidak diperintahkan untuk

dibaca di dalam shalat.34  sebab  itu, adalah tepat jika para sarjana

Muslim telah membedakan secara tajam antara hadits qudsi dan

al-Quran, dengan mengkategorikan yang pertama (hadits qudsi)

sebagai 

dan yang kedua (al-Quran) sebagai )€  

.

namun , suatu fakta yang mesti diperhatikan di sini adalah bahwa,

secara redaksional, ungkapan bahasa yang digunakan al-Quran

memiliki karakteristik spesifik yang bisa membedakannya baik

dari hadits qudsi ataupun hadits biasa.

Skeptisisme Sekte Islam terhadap Mushaf Utsmani

Di dalam dunia Islam sendiri muncul keraguan di kalangan

sekte-sekte tertentu terhadap integritas mushaf utsmani. Skeptisisme

semacam ini pada faktanya tidak dipijakkan pada kritik historis

atau kajian ilmiah yang mendalam tentangnya, namun  lebih

bertumpu pada prasangka dogmatis atau etis. Jadi, sekelompok

Mu‘tazilah yang saleh mengemukakan keraguan mereka terhadap

bagian-bagian tertentu al-Quran – yang berisi hujatan-hujatan

kepada musuh-musuh Nabi – sebagai non-ilahiah, dan dengan

demikian bukan merupakan bagian integral kitab suci ini .

Bagi mereka, tidak mungkin suatu pekabaran mulia yang berasal

dari “luh yang terpelihara” memuat hal-hal semacam itu. Demikian

pula, sekte Maimuniyah dari aliran Khawarij menolak eksistensi

surat 12 (Yusuf) sebagai bagian kitab suci al-Quran, sebab  surat

ini – menurut mereka – berisi kisah cinta yang tidak patut

dikategorikan sebagai wahyu al-Quran.

Berbeda dengan kecenderungan di atas, yang mempermasalah-

kan penambahan-penambahan di dalam mushaf utsmani, kalangan

tertentu dalam sekte Syi‘ah menuduh bahwa Utsman telah

menggantikan dan tidak mencakupkan ke dalam kodifikasinya

beberapa  besar bagian al-Quran, baik dalam bentuk surat, ayat,

dan bahkan kata-kata tertentu. Istilah yang biasanya digunakan

untuk mengemukakan berbagai tuduhan ini adalah tabdîl ( M+ )

atau tahrîf (?@).36  Jika di kalangan sekte-sekte Islam lainnya

merebak pandangan bahwa bagian-bagian al-Quran yang

dipermasalahkan otentisitasnya itu masuk ke dalam mushaf

utsmani lantaran ketidaksengajaan atau kealpaan para pengumpul

al-Quran, maka kalangan tertentu Syi‘ah melihatnya sebagai hal

yang tendensius dan mencerminkan niat jahat kolektornya.

Menurut mereka, kesucian yang dimiliki Ali bedan  anak-

keturunannya tidak lagi ditemukan di dalam al-Quran lantaran

Abu Bakr dan Utsman telah menghilangkan, mengubah atau

bahkan memerasnya keluar. Seluruh bagian wahyu yang dinyatakan

kelompok Sunni sebagai mansûkhãt – yakni yang hilang dalam

kategori pertama nasikh-mansukh – ditegaskan berisi pembicaraan

tentang Ali. Bahkan, ada  gagasan yang berkembang di kalangan

Syi‘ah bahwa seperempat bagian al-Quran dalam kenyataannya

membahas tentang keluarga Ali – 70 ayat di antaranya khusus

tentang Ali sendiri;37  seperempat bagian lagi tentang  tentang

musuhnya;  kemudian  seperempat  bagian  lagi tentang aturan-

aturan hukum; dan  sisanya yang seperempat bagian tentang adat

kebiasaan (sunan) dan tamsilan 

Menurut Abu al-Hasan Ali ibn Ibrahim al-Qummi (w. 919/

20), otoritas Syi‘ah abad ke-4H,  ada  sekitar 500 tempat di

dalam al-Quran yang telah diubah.39  Di samping itu, wahyu-wahyu

al-Quran yang diturunkan kepada Nabi lebih banyak dari yang

terekam dalam teks utsmani. Jadi, misalnya, surat 24 semestinya

berisi lebih dari seratus ayat, dan surat 15 bahkan memiliki sekitar

190 ayat.40  Demikian pula, surat 98 – menurut beberapa  riwayat

yang beredar di kalangan Sunni pada awalnya memiliki kandungan

yang lebih ekstensif dari yang ada sekarang41  – dikatakan memuat

daftar nama 70 orang Quraisy bersama nama-nama bapak mereka,

yang dalam teks utsmani dengan sengaja dihilangkan.42  namun ,

pandangan-pandangan semacam ini, sebagaimana juga eksis di

kalangan Sunni dalam bentuk doktrin nasikh-mansukh yang agak

berbeda, secara sederhana bisa dikesampingkan. Al-Quran hanya

menyebut beberapa nama orang yang semasa dengan Nabi dalam

berbagai kesempatan berbeda. Kitab suci ini tidak mungkin

menyebut 70 nama sekaligus, apalagi ditambah dengan nama bapak-

bapak mereka.

Suatu riwayat senada yang beredar di kalangan Syi‘ah,

bersumber dari Ibn Abbas, menyebutkan bahwa 9:64 pada mulanya

memuat 70 nama orang munafik (munãfiqûn) berikut nama bapak-

bapak mereka.43  namun  sisipan semacam ini, jika memang ada,

terlihat tidak cocok dengan konteks ayat ini . Barangkali,

riwayat semacam ini lahir dari keyakinan umum kaum Syi‘ah yang

menuduh – bahkan menyumpah – seluruh musuh Ali, termasuk

tiga khalifah pertama, sebagai orang munafik lantaran menghalangi

Ali menuju tampuk kekhalifan.

Varian bacaan  kelompok Syi‘ah, yang dipandang telah

dimanipulasi Abu Bakr dan Utsman saat  mengumpulkan al-

Quran, pada umumnya mengungkapkan tentang Ali dan para

imam mereka. Hal ini selaras dengan tendensi populer yang pernah

diformulasikan Imam Ja‘far al-Shadiq: “Seandainya al-Quran dibaca

dalam bentuk saat  diwahyukan, maka nama-nama kami (yakni

para imam – pen.) akan ditemukan di dalamnya”.44  Formulasi ini

barangkali dirumuskan pada permulaan abad ke-4H, sebab  muncul

dalam karya mufassir Syi‘ah terkemuka saat itu, al-Qummi, dan

varian bacaan yang dikemukakannya selaras dengan yang

diberitakan Anbari (w. 328 H.) sebagai populer pada masanya.

Lebih jauh, eksistensi varian-varian semacam itu dapat ditelusuri

jejaknya hingga abad ke-2H.

Mayoritas varian bacaan ini terdiri dari kata-kata ‘alî atau ãlu


muhammadin (“keluarga Muhammad”), yang disisipkan ke dalam

teks tanpa melihat makna kontekstualnya. Jadi, tanpa memperhatikan

rima, di beberapa  tempat – misalnya 3:51; 19:36; 36:61; dan 43: 61,64

– di mana muncul ungkapan hãdzã shirãthun mustaqîmun (- ,

= A F), dibaca sebagai shirãthun ‘alîyin (#)L= A). Setelah ungkapan

wa laqad nasharakumullãh bi-badrin dalam 3:123, disisipkan

tambahan bi-sayfi ‘alîyin (“melalui pedang Ali”). Demikian pula,

setelah ungkapan “Sesungguhnya jika mereka, setelah menganiaya

dirinya, datang kepadamu” dalam 4:64, disisipkan ungkapan “wahai

Ali” (#)L). Dalam 4:166, setelah kata anzalahu – juga dalam 5:67,

setelah kata min rabbika – ditambahkan ungkapan fî ‘alîyin (#)L \

). Sementara dalam 4:168, setelah kata wa zhalamû  –  juga dalam

26:227, setelah kata zhalamû – disisipkan sebagai obyek ungkapan

‘alã muhammadin haqqahum.46  Di beberapa  tempat–misalnya 6:93

– yang secara umum meng-ungkapkan tentang perbuatan pendosa

dan penindasan, selalu disisipkan sebagai obyek ungkapan

“keluarga” Nabi.47  namun , sisipan-sisipan semacam ini, jika

dipandang sebagai bagian otentik al-Quran, tentunya akan

menghasilkan kenyataan historis yang berbeda dari kenyataan

aktual yang terjadi. Jika bagian-bagian al-Quran itu eksis, Ali dan

anak keturunannya tentu akan mengalami nasib lain, sebab  bagian-

bagian ini  jelas akan menjadi argumen pamungkas untuk

mengenyahkan berbagai tindakan ketidakadilan dan kezaliman atas

mereka.

Terkadang, bacaan yang merupakan koreksi atas bacaan dalam

tradisi teks utsmani muncul sebagai tuduhan atas penyelewengan

teks yang dilakukan para khalifah pengumpul al-Quran. Koreksi-

koreksi semacam ini terarah kepada masalah-masalah mendasar

dan terlihat ditujukan untuk kepentingan golongan. Hal ini terlihat

jelas dalam koreksi-koreksi teks al-Quran yang berkaitan dengan

penyebutan dan pujian untuk para imam. Contohnya adalah 3:110,

“kuntum khayr ummatin ( , )…,” “kamu adalah umat terbaik…,”

yang dikoreksi menjadi “kuntum khayr a’immatin (  I )…,” “kamu

adalah imam-imam terbaik …”. Koreksi ini  terlihat hanya berupa

perubahan ringan terhadap kerangka grafis, namun akibatnya

terhadap perubahan kandungan makna jelas sangat substansial.

Demikian pula, ungkapan ummatan wasathan ( V$ , ) dalam

2:143, dikoreksi menjadi a’immatan wasathan ( V$  I ). Kata

a’immah dalam kasus-kasus ini  – menurut tafsiran Syi‘ah –

merupakan teks wahyu yang asli, dan ini bisa dibuktikan dengan

22:78, yang merujuk kepada para imam: “…susaha  Rasul menjadi

saksi atas kamu (para imam – pen.) dan kamu (para imam) menjadi

saksi atas segenap manusia….” Demikianlah, beberapa  besar kata

ummah yang muncul dalam berbagai bagian al-Quran telah

dikoreksi menjadi  a’immah.48

Ilustrasi yang dikemukakan di atas juga mengungkapkan salah

satu perbedaan mendasar antara Sunni dan Syi‘ah: Di kalangan

Sunni, titik berat bentukan (gestaltung) politik dan keagamaan

diletakkan sepenuhnya pada ummah, keseluruhan warga  atau

consensus ecclesiae. Sedangkan kalangan Syi‘ah meletakkannya

semata-mata pada otoritas, kata dan ajaran para imam.49  Menurut

kelompok Sunni, konsensus warga  tidak mungkin keliru,50

sedangkan kelompok Syi‘ah memandang para imam terpelihara

dari kekurangan, kesalahan dan kekeliruan (ma‘shûm). Otoritas

individual para imam dalam Syi‘ah merupakan tolok ukur segala

kebenaran, bukan faktor kolektivitas seperti di kalangan Sunni.

Hal-hal inilah yang tampak dalam perjalanan historis kedua sekte

Islam itu, dan bisa dikatakan hanya terletak pada perbedaan bacaan

antara ummah dan a’immah, namun  memiliki implikasi dalam

bentuk perbedaan-perbedaan doktrinal yang substansial.

Sehubungan dengan gambaran tentang imam yang muncul di

dalam mushaf utsmani, juga dikemukakan beberapa  koreksi. Salah

satu contohnya adalah 25:74, “…dan jadikanlah kami imam bagi

orang-orang yang takwa (waj‘alnã lil-muttaqîna imãman).”

Ungkapan wahyu yang “sejati” dalam hal ini, menurut kalangan

Syi‘ah, adalah: “…jadikanlah bagi kami seorang imam dari orang-

orang yang takwa (waja‘alanã min al-muttaqîna imãman).”

Terkadang emendasi ditujukan untuk menggantikan ungkapan-

ungkapan yang tidak pantas dengan ungkapan sebaliknya. Suatu

ilustrasi mengenai koreksi jenis ini bisa dikemukakan lewat 3:123:

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di Badr saat  kamu

dalam keadaan rendah (adzillatun).” Kata adzillah, menurut

kalangan Syi‘ah, tidak digunakan dalam wahyu orisinal, namun  kata

dlu‘afã’ (“lemah”).

Senada dengan itu, beberapa  bagian al-Quran yang memberi

kesan tentang Nabi sebagai orang yang tidak lepas dari perbuatan

keliru, dikoreksi untuk menjaga citranya sebagai seorang yang

terpelihara dari kekeliruan atau dosa (ma‘shûm). Ilustrasi yang

memadai di sini adalah ungkapan 93:7, wa wajadaka dlãllan (&x)

fahadã (MN). Dalam ayat ini, Nabi dilukiskan sebagai orang yang

khilaf, dan lukisan semacam itu tentunya berseberangan dengan

dogma tentang citranya dan  bukan merupakan teks orisinal wahyu.

Ungkapan wahyu yang  sejati di sini adalah  wa wajadaka dlãllun

( Jx ) fahudiya (MN). Jadi, dengan perubahan kecil – kata dlãllan

diubah menjadi dlãllun dan  kata kerja fahadã menjadi bentuk

pasif fahudiyã – ungkapan 93:7 bermakna: “Dan seorang yang khilaf

menemukanmu dan diberi petunjuk (melaluimu).”51

beberapa  koreksi Syi‘ah lainnya yang dilakukan terhadap textus

receptus al-Quran bukan berdasar  tendensi sektarian, namun 

berpijak pada pengamatan umum terhadap partikel illã (& ),

“kecuali,” yang diemendasi dengan walã (&$), “dan juga tidak.”

Contohnya adalah 2:150, “Agar tidak ada hujjah bagi manusia

atas kamu, kecuali (illã) orang-orang yang zalim di antara mereka.”

Partikel illã di sini diganti dengan walã, sehingga bagian akhirnya

bermakna: “dan juga tidak (walã) bagi yang zalim.” Contoh lain

adalah 4:92, “Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh

mukmin lainnya, kecuali (illã) tidak sengaja,” yang setelah partikel

illã diganti dengan walã memiliki makna: “dan juga tidak (walã)

sebab  tidak sengaja.

Koreksi yang agak radikal terhadap teks utsmani dikemukakan

sehubungan dengan komposisi ayat di dalam surat-surat. Koreksi

ini ditujukan untuk membuktikan kesembronoan dan kedangkalan

redaksi mushaf utsmani, seperti terlihat di berbagai tempat di dalam

al-Quran yang tidak berjalin atau berkelindan. Sehubungan dengan

fenomena ini , al-Qummi mengemukakan:

Mereka (tim redaksi mushaf utsmani) telah memporak-

porandakan al-Quran dan tidak menyusunnya berdasar  tata

urutannya sebagaimana saat  diturunkan Tuhan: 4:3

sebenarnya merupakan sambungan dari 4:127a, yang berada

di posisi akhir; susunannya secara bersama-sama adalah sebagai

berikut: “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita;

katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka

dan apa yang dibacakan kepadamu di dalam Kitab tentang

para wanita yatim yang tidak kamu berikan kepada mereka

apa yang ditetapkan untuk mereka, dan kamu tidak (?) ingin

mengawini mereka’,” kemudian menyusul sambungannya

dalam ayat 3: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil

terhadap perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita

(lain) yang kamu senangi, dua atau tiga atau empat; dan jika

kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka seorang saja.”

Demikianlah susunan asli ayat ini .

Senada dengan itu, berbagai bagian al-Quran lainnya – baik

menyangkut ayat-ayat hukum ataupun kisah-kisah dan  peringatan

kitab suci ini  – telah direkomposisi untuk memperlihatkan

pemorak-porandaan susunan ayat yang dilakukan dalam teks

utsmani. Jadi, 4:104 dan 16:126 memiliki posisi awal dalam surat

3 dan berada bersama-sama dengan gambaran Perang Uhud; 26:48

merupakan kelanjutan dari 25:5; atau 32:28 semestinya ditempatkan

setelah 32:21. Demikian pula, 29:16,17 langsung disambung dengan

29:24, sementara ayat-ayat yang berada di antara keduanya memiliki

posisi awal di tempat-tempat lain; penempatannya di sini

merupakan kesembronoan atau kelalaian para pengumpul mushaf

utsmani. Yang sejenis dengan ilustrasi terakhir adalah 31:13, yang

semestinya ditempatkan langsung sebelum ayat 16; sementara ayat-

ayat yang ada di antara keduanya telah memutuskan kesinambung-

an petuah Luqman terhadap anaknya.

Tudingan tentang kesembronoan para pengumpul mushaf

utsmani dalam penyusunan ayat-ayat al-Quran ini, dalam

kenyataannya, telah menghantam doktrin yang berkembang secara

luas di kalangan Sunni mengenai susunan ayat-ayat dalam surat-

surat al-Quran sebagai bersumber dari Nabi 

Ketidakberjalinan rangkaian ayat di dalam al-Quran memang

merupakan salah satu karakteristik kitab suci ini . namun ,

mengklaim bahwa hal ini  merupakan kesembronoan para

penghimpun al-Quran yang awal, seperti telah diperlihatkan dalam

bab 4 dan 5, jelas merupakan  pernyataan yang ahistoris.

Merupakan suatu hal yang pasti dalam sejarah bahwa Nabi

sendirilah yang merangkai berbagai bagian atau ayat al-Quran yang

diwahyukan kepadanya dan menetapkan susunannya secara pasti

dalam surat-surat yang ada. Susunan ini diketahui dan diikuti para

sahabatnya. Itulah sebabnya, saat  kita membuka kumpulan al-

Quran para sahabat, yang terutama ditemukan di dalamnya adalah

perbedaan-perbedaan substansial dalam aransemen surat, bukan

susunan ayat. Lebih jauh, jika para sahabat telah menghafal dan

menuliskan wahyu dalam kadar yang beragam, maka bisa

diperkirakan berbagai perbedaan substansial dalam komposisi ayat

di dalam naskah-naskah mereka ketimbang yang bisa ditemukan

dalam fenomena mashãhif yang awal. Dengan demikian, tudingan

yang dikemukakan kelompok tertentu Syi‘ah dalam hal ini secara

faktual tidak memiliki pijakan historis, selain angan-angan kosong

belaka.

Di samping berbagai tudingan di atas, di kalangan tertentu

Syi‘ah berkembang gagasan tentang tidak dimasukkannya beberapa 

surat ke dalam mushaf resmi utsmani lantaran niat buruk para

pengumpulnya. Namun, surat-surat jenis ini hanya sedikit di

antaranya yang bisa diselamatkan dari kemusnahan. Surat-surat

ini, antara lain, adalah dua surat ekstra dalam mushaf Ubay –

yakni surat al-khal‘ dan surat al-hafd –  yang telah dibahas di atas,

surat al-nûrayn (42 ayat), dan  surat al-walãyah (7 ayat ).

Surat al-nûrayn pertama kali diperkenalkan oleh Garcin de

Tassy dan Mirza Kazembeg dalam Journal Asiatique (edisi 1842,

1843). Teks surat ini, yang diedit Kazembeg,55  adalah sebagai

berikut:


Artinya:

Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang

(1) Wahai orang-orang beriman, berimanlah kepada dua

cahaya yang telah Kami turunkan, yang membacakan

kepada kamu ayat-ayat-Ku dan memperingatkan kamu

tentang azab Hari yang pedih.

(2) Dua cahaya, yang satunya berasal dari lainnya,

sesungguhnya Kami maha mendengar dan maha

mengetahui.

(3) Sesungguhnya orang-orang yang memegang teguh

perjanjian Allah dan rasul-Nya (dalam ayat-ayat?), bagi

mereka surga yang menyenangkan.

(4) Dan orang-orang kafir, setelah beriman, yang melanggar

perjanjian dan apa yang telah mereka sepakati bersama

rasul, maka mereka akan dilempar ke dalam api neraka.

(5) Mereka telah menzalimi diri mereka sendiri dan enggan

melakukan yang diperintahkan rasul; mereka itu akan

diberi minum dari kubangan air neraka yang mendidih.

(6) Sesungguhnya Dialah Tuhan yang menyinari langit dan

bumi dengan sekehendak-Nya; Dia memilih di antara

malaikat dan rasul dan  memasukkan ke dalam golongan

yang beriman.

(7) Kesemuanya itu merupakan ciptaan-Nya; Tuhan

melakukan apa yang Dia kehendaki, tiada tuhan selain

Dia yang maha pengasih, maha penyayang.

(8) Orang-orang sebelumnya telah melakukan makar terhadap

para rasul. Maka Aku menimpakan balasan atas makar

mereka. Sesungguhnya balasan-Ku amat pedih sekali.

(9) Tuhan telah memusnahkan kaum Ad dan Tsamud atas

perbuatan mereka dan menjadikan mereka sebagai

peringatan bagi kamu, maka tidakkah kamu bertakwa?

(10)Dan Firaun telah Aku tenggelamkan bersama seluruh

pengikutnya lantaran membangkang terhadap Musa dan

saudaranya Harun, agar menjadi pertanda bagi kamu;

sesungguhnya sebagian besar dari kalian adalah orang yang

fasik.

(11) Sesungguhnya Tuhan akan mengumpulkan mereka pada

Hari Akhirat, maka tidak ada jawaban yang bisa mereka

kemukakan saat  mereka ditanya.

(12) Sesungguhnya neraka jahim adalah tempat kediaman

mereka, dan Tuhan maha mengetahui dan bijaksana.

(13)Hai rasul, sampaikanlah peringatan-Ku kepada mereka,

agar mereka mengerjakannya (mengindahkannya).

(14) Sungguh telah merugi orang-orang yang menghindari dari

ayat-ayat dan hukum-hukum-Ku.56

(15) Perumpamaan orang-orang yang memegang teguh

perjanjian denganmu, sesungguhnya Aku telah memberi

imbalan kepada kamu dengan surga yang penuh

kenikmatan.

(16) Sesungguhnya Tuhanlah yang memiliki ampunan dan

ganjaran yang berlimpah.

(17) Sesungguhnya Ali termasuk orang yang takwa.

(18)Dan sungguh Kami akan menjamin haknya pada Hari

Pengadilan.

(19)Dan Kami tidak membiarkannya dizalimi.

(20)Dan telah Kami muliakan dia di antara keseluruhan

keluargamu.

(21) Ia dan anak keturunannya menunggu dengan sabar.

(22)namun  musuh mereka adalah imam orang berdosa.

(23)Katakanlah kepada mereka yang kafir setelah beriman:

kalian mencari kemewahan kehidupan duniawi dan

berlomba-lomba dengannya dan  melupakan apa yang

dijanjikan Tuhan dan rasul-Nya, melanggar perjanjian-

perjanjian setelah dibuat, maka Kami telah membuat untuk

kamu perumpamaan-perumpamaan, semoga kalian

mendapat petunjuk.

(24)Hai rasul, telah Kami turunkan kepadamu ayat-ayat yang

jelas, di dalamnya adalah suatu…,57  barang siapa yang mati

dalam keadaan menerimanya  atau barang siapa yang

berpaling darinya setelahmu, maka semuanya akan

dijelaskan.

(25)Maka berpalinglah kamu dari mereka, sebab  sesungguh-

nya mereka adalah orang yang durhaka.

(26)Sungguh mereka akan dihadapkan pada suatu hari, di mana

tidak sesuatupun bermanfaat bagi mereka, dan tidaklah

mereka dikasihani.

(27) Sesungguhnya bagi mereka suatu tempat  di neraka, yang

tidak bisa mereka  tinggalkan.

(28)Maka sucikanlah nama Tuhanmu dan jadilah di antara

orang-orang yang bersujud.

(29) Sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dan Harun

(dengan berturut-turut?), maka mereka melakukan

kekerasan terhadap Harun. Maka kesabaran itu lebih baik.

Kemudian Kami jadikan sebagian di antara mereka

menjadi monyet dan babi dan  mengutuk mereka hingga

Hari Berbangkit.

(30)Maka Bersabarlah, mereka suatu saat  akan tertimpa.58

(31)Kami telah memberimu kuasa penuh sebagaimana utusan-

utusan sebelummu.

(32)Dan telah Kami berikan untukmu dari mereka suatu tugas,

barangkali mereka akan berbalik kembali.

(33)Dan barang siapa yang berpaling dari perintah-Ku, maka

sesungguhnya Aku akan mengembalikannya. Mereka

hanya menikmati kekufurannya dalam waktu yang singkat.

Maka janganlah bertanya kepada pengingkar janji.

(34)Hai rasul, telah Kami jadikan untukmu di tengkuk orang-

orang yang beriman suatu perjanjian, maka berpegang

teguhlah dan  jadilah orang yang berterima kasih.

(35) Sesungguhnya Ali cemas akan Hari Kemudian; selama

malam hari ia bersujud dengan khidmat dan meng-

harapkan imbalan dari Tuhannya. Katakanlah: Apakah

sama orang-orang yang zalim …?59  Dan mereka tahu akan

azab-Ku.

(36)Rantai akan dikalungkan ke leher mereka dan mereka akan

menyesali perbuatan mereka.

(37)Kami telah menjanjikan bagimu anak keturunan yang

saleh.

(38)Dan mereka tidak akan menentang perintah Kami.

(39)Atas merekalah salawat dan rahmat dari-Ku, baik dalam

keadaan hidup maupun mati dan pada Hari kebangkitan

mereka.

(40) Dan amarah-Ku bagi orang-orang yang menindas mereka

setelah kamu; mereka adalah orang-orang jahat yang

merugi.

(41)namun  orang-orang yang mengikuti jalan mereka akan

beroleh rahmat dari-Ku, dan mereka akan aman di dalam

teras kebun surga.

(42)Terpujilah Tuhan, Penguasa sekalian alam. Amin!

Seperti terlihat, rangkaian kata-kata dalam surat di atas – pada

tataran permukaan – memberi kesan yang cukup baik tentangnya

sebagai bagian al-Quran, sebab  sebagian besar kalimat dan

ungkapannya mengikuti gaya kitab suci ini . namun ,

sebagaimana dikemukakan Schwally, saat  diperiksa secara teliti

– dari sisi leksikal (mufradãtî), stilistik (uslûbî ) dan kandungannya

– akan terlihat surat ini sebagai rekayasa belakangan.60  Secara

leksikal, beberapa  kata yang digunakan dalam surat ini  –

seperti kata anzala yang dihubungkan dengan obyek personal, yakni

Muhammad dan Ali, kata nûr yang ditransfer kepada pribadi-

pribadi yang sama,61  kata-kata nawwara, nadima, washiyun, dan

maslakun – tidak pernah muncul di dalam keseluruhan al-Quran.

beberapa  ungkapan juga digunakan dalam konstruksi yang

asing bagi al-Quran. Contohnya, kata ‘ashã yang dikonstruksikan

dengan datif (maf‘ûl gayr al-mubãsyir) dalam ayat 5 di atas, hanya

muncul di dalam al-Quran secara teratur dalam konstruksi akusatif

(nashb). Ungkapan yawm al-hasyr (ayat 11) tidak pernah digunakan

al-Quran untuk merujuk hari akhirat, sekalipun kata kerja hasyara

sering digunakan. Demikian pula, bagã (ayat 39) di dalam al-Quran

– maupun dalam bahasa Arab – biasanya dihubungkan dengan

‘alã ditambah bentuk person (syakhsh).

Dari sisi stilistik, bagian-bagian tertentu dalam surat di atas

dapat dipertanyakan. Kata-kata bimã syã’a (ayat 6) merupakan cara

pengungkapan yang tidak bagus untuk mã syã’a. Demikian pula,

ungkapan ataynã bika-l-hukmi (ayat 31) sangat aneh dalam bahasa

Arab, sebab  semestinya diformulasikan sebagai ataynãka bi-l-

hukmi. Sementara penggabungan kata-kata ballig indzãrî (ayat 13)

terlihat tidak qurani, sekalipun kata ballaga dan andzara banyak

digunakan di dalam al-Quran. Yang agak lain dari bentuk stilistik

ini adalah pencampuradukan antara ayat-ayat panjang dan ayat-

ayat pendek di dalam surat ini . Ayat-ayat pendek – seperti

diyakini beberapa  pakar kajian-kajian al-Quran – merupakan

karakteristik surat-surat Makkiyah  awal, sementara ungkapan yã

ayyuhã-lladzîna ãmanû  (ayat 1) dan yã ayyuhã-l-rasûl ( ayat 13, 23

dan 24) merupakan karakteristik surat-surat Madaniyah.

Dari segi kandungannya, beberapa penilaian bisa dikemukakan.

Pengubahan orang-orang yang memusuhi Musa dan Harun

menjadi monyet dan babi (ayat 29), terlihat mirip dengan

kandungan 5:60, namun  bagian al-Quran ini tidak mengungkapkan

kaitan historisnya dengan  kedua nabi ini . Demikian pula,

tema-tema seperti pesan kepada nabi agar bersabar (ayat 30),

penekanan  yang tegas terhadap hari akhirat, dan  kisah umat

terdahulu dengan para utusan Tuhan, merupakan tema-tema favorit

surat-surat Makkiyah di dalam al-Quran. Sebaliknya, pemilahan

manusia ke dalam kategori beriman dan yang kemudian

menyangkali keimanannya (ayat 4, 23), terlihat tidak mengacu

kepada periode pewahyuan manapun, namun  kepada konteks

perseteruan di dalam Islam yang mencuat beberapa saat setelah

wafatnya Nabi.

Kesimpulan terakhir di atas didukung oleh beberapa  ayat di

dalam surat ini  yang bertalian dengan Ali. Orang suci Syi‘ah

ini disebut namanya dalam dua kesempatan (ayat 17 dan 35),

kemudian dirujuk dengan kata washî yang populer di kalangan

Syi‘ah.62  Demikian pula, nasib Ali dan anak keturunannya, yang

terjadi jauh setelah wafatnya Nabi, dituturkan di beberapa 

kesempatan (ayat 5, 17 ff., 24, dan 40). Sekalipun gelar terhormat

Imãm untuk Ali dan anak keturunannya tidak muncul dalam surat

al-nûrayn, namun  musuh mereka – yakni Mu‘awiyah – dirujuk

sebagai imãm al-mujrimîn (ayat 22).

Sementara kata nûr yang dinisbatkan kepada Muhammad dan

Ali, tampaknya bersumber dari teori gnostik maupun teori Syi‘ah

sendiri. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sejak penciptaan

manusia, suatu substansi cahaya Ilahiah berpindah secara teratur

dari Adam kepada anak keturunannya yang terpilih, hingga

akhirnya kepada kakek Muhammad dan Ali, yakni Abd al-

Muthalib. Pada titik ini, cahaya ini  membelah dua dan 

berpindah kepada Abd Allah dan Abu Thalib – secara berturut-

turut adalah ayah Nabi dan ayah Ali. Dari sini, cahaya ilahi itu

berpindah ke Ali, kemudian menurun dari satu imam ke imam

lainnya dalam tradisi Syi‘ah.63

Analisis terhadap surat al-nûrayn di atas memperlihatkan

bahwa surat ini  jelas merupakan rekayasa Syi‘ah yang

belakangan. Kapan tepatnya surat ini  direkayasa agak sulit

ditetapkan. Yang jelas, otoritas-otoritas Syi‘ah yang awal, seperti

al-Qummi (abad ke-4H), maupun dari abad pertengahan, seperti

Muhammad ibn Murtadla (w. 1044), tampaknya belum mengenal

surat itu. Kalau tidak demikian, mereka tentu akan menyebutnya

dalam karya-karya mereka.64  Menurut Kazem-Beg, tidak ada 

karya otentik dalam tradisi kesarjanaan Syi‘ah Imamiyah yang

menyinggung tentang surat ini, dan tidak seorang penulis pun

yang mengenal nûrayn sebagai judul surat itu sebelum abad ke-16.

Sementara nûrayn sebagai sebutan untuk Muhammad dan Ali baru

muncul pada abad ke-14.65

Kelemahan senada juga terlihat dalam sûrat al-walãyah. Orang

yang mengenal dengan baik bahasa Arab secara langsung akan

menyimpulkannya sebagai rekayasa. Judul surat yang digunakan

dalam manuskrip – ditemukan di Bankipur, India, pada 1912 –

yakni sûrat al-walãyat (dengan 5 , bukan  ), secara jelas telah

menunjukkan kekeliruannya dari sisi bahasa. Lebih jauh, gaya

bahasa surat ini mencoba mengimitasi gaya al-Quran, namun  tidak

selalu berhasil. Ada beberapa  kesalahan gramatik dan penggunaan

kata dalam konteks yang memperlihatkannya sebagai kreasi pasca

pewahyuan al-Quran. Terjemahan surat ini dapat dikemukakan

sebagai berikut:

Dengan nama Allah yang pengasih, yang penyayang

(1) Hai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Nabi

dan kepada pengampu (al-walî ), yang keduanya telah Kami

bangkitkan (utus): Mereka akan membimbing kalian ke

jalan yang benar.

(2) Seorang Nabi dan seorang pengampu, satu dari lainnya,

dan Aku maha mengetahui, maha mendengar.

(3) Sesungguhnya orang-orang yang dengan penuh keimanan

menunaikan perjanjian Tuhan, merekalah pemilik taman

surga.

(4) Dan mereka yang, saat  dibacakan ayat-ayat Kami

kepadanya, menganggap ayat-ayat Kami sebagai ke-

bohongan,

(5) Sungguh mereka akan beroleh tempat yang luas di neraka,

saat  diumumkan kepada mereka di Hari Berbangkit:

“di manakah orang-orang yang bersalah itu, yang

menganggap Utusan-utusan Kami adalah pembohong?”

(6) Dia tidaklah menciptakan mereka, para utusan itu, kecuali

dengan kebenaran; dan Tuhan tidak berniat meng-

ungkapkannya hingga suatu waktu yang ditetapkan.

(7) Dan keraskanlah suaramu dalam memuja Tuhanmu, dan

Ali adalah (salah satu) dari orang-orang yang me-

nyaksikan.

Di samping kedua surat di atas, dalam manuskrip Bankipur

juga eksis beberapa  “ayat Syi‘ah” yang tidak terekam di dalam

Mushaf utsmani.67  Tidak berbeda dari “ayat-ayat Syi‘ah” yang telah

dibahas, kandungan ayat-ayat Syi‘ah dalam manuskrip Bankipur

mengekspresikan kemuliaan ahl al-bayt, anak keturunan Ali, sebagai

pewaris sebenarnya hak-hak spiritual Muhammad yang dikehendaki

Tuhan. namun , pada titik inilah ayat-ayat ini  secara jelas

membuktikan dirinya sebagai rekayasa belakangan, sekalipun gaya

bahasanya digubah mengikuti gaya al-Quran, atau secara sederhana

disisipkan ungkapan yang berhubungan dengan ahl al-bayt ke

dalam bagian tertentu al-Quran.

Uraian-uraian sejauh ini tentang pandangan kelompok tertentu

Syi‘ah terhadap integritas dan otentisitas mushaf utsmani, secara

jelas memperlihatkan betapa kecilnya kepercayaan mereka terhadap

mushaf ini . Menurut keyakinan umum kelompok ini,

sekalipun mushaf utsmani bukan salinan al-Quran yang lengkap,

segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah al-Quran. Redaksi

lengkap dan otentik al-Quran yang dikumpulkan Ali, diwariskan

secara turun-temurun kepada para imam hingga akhirnya berada

di tangan Imam Mahdi yang dinantikan. saat  Imam keduabelas

ini muncul kembali, ia akan mengungkapkan al-Quran yang sejati.

Selama masa penantian, mushaf utsmani tetap digunakan dalam

praxis kehidupan keagamaan pengikut Syi‘ah.

namun , gagasan tentang tahrîf yang dikemukakan sejauh ini

hanya merupakan salah satu sudut pandang yang berkembang di

kalangan Syi‘ah. ada  sudut pandang lainnya yang lebih

dominan di dalam sekte ini , yang tidak mengakui eksistensi

pengubahan al-Quran yang ada di tangan kita dewasa ini.

Muhammad ibn Babawayh (w. 991/2), muhaddits terkemuka di

kalangan Syi‘ah Imamiyah, bahkan menghitung keimanan terhadap

non-alterasi al-Quran sebagai bagian doktrin Syi‘ah Imamiyah. Ahli

fikih (faqîh) kelompok Syi‘ah yang sama, Abu Ja‘far Muhammad

ibn al-Hasan al-Thusi (w. 1067), figur mayor lainnya yang

menyepakati sudut pandang ini, bahkan mengutip pandangan

gurunya, al-Syarif al-Murtadla (w. 1044), yang mendukung doktrin

non-alterasi dengan bukti-bukti sangat lengkap. Mufassir Syi‘ah

terkemuka, al-Thabarsi (w. 1153), juga mengkonfirmasi doktrin

ini  dalam pengantar tafsirnya, Majma‘ al-Bayãn. Sementara

di kalangan fuqahã’ Syi‘ah – seperti Syaikh Ja‘far Kasyif al-Githa,

al-Syahsyahani, dan lainnya – juga disepakati gagasan senada.69

Gagasan tentang otentisitas dan integritas mushaf al-Quran

yang ada di tangan kita dewasa ini, belakangan juga diajukan secara

frontal oleh marja‘-e-taqlîd sekte Syi‘ah Imamiyah abad ini, al-Sayyid

Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu’i (w. 1992). Dalam pengantar al-

Qurannya, Bayãn fî Tafsîr al-Qur’ãn,70  al-Khu’i membantai gagasan

yang berkembang, baik di kalangan Syi‘ah sendiri maupun di

kalangan Sunni, tentang tahrîf al-Quran, dengan menganalisis

secara cermat pijakan-pijakan yang dikemukakan para pendukung

gagasan ini .

Otentisitas dan Integritas Mushaf Utsmani dalam

Pandangan Barat

Kajian-kajian modern tentang al-Quran di kalangan sarjana

Barat dalam kenyataannya belum memunculkan masalah serius

sehubungan dengan keaslian dan integritas al-Quran yang ada di

tangan kita dewasa ini. beberapa  sarjana di kawasan matahari

terbenam ini memang telah mengajukan dugaan-dugaan tentang

pemalsuan bagian-bagian tertentu kitab suci ini  yang

dilakukan secara sengaja, namun  argumen-argumen yang

dikemukakan untuk menopang tuduhan itu tampaknya tidak

begitu substansial dan bisa dikesampingkan secara sederhana.

Sarjana Barat pertama yang secara ilmiah mengemukakan

dugaan kepalsuan bagian tertentu al-Quran adalah orientalis asal

Perancis, Silvestre de Sacy. Ia