ru
tentangnya. Hashim Amir Ali, misalnya, menegaskan bahwa
seluruh kelompok huruf misterius itu, bukan hanya beberapa
diantaranya, merupakan seruan-seruan yang ditujukan kepada
Nabi.67 Jadi, gagasan ini pada dasarnya merupakan reiterasi dari
gagasan klasik tentang huruf-huruf ini sebagai media
pembangkit perhatian. Demikian pula, Ali Nashuh al-Thahir
mengelaborasi kembali gagasan klasik tentang fawâtih al-suwar
sebagai simbol-simbol numerik. Menurutnya, nilai-nilai numerik
dari huruf-huruf ini mencerminkan jumlah ayat dalam surat-
surat atau kelompok-kelompok surat dalam bentuk orisinalnya,
yang dalam kebanyakan kasus berasal dari periode Makkah.
Contohnya, surat 7 yang diawali dengan huruf-huruf a-l-m-sh ( l
+ 30 + 40 + 90 = 161 ), menurut al-Thahir, pada mulanya hanya
terdiri dari 161 ayat pertama. namun , dalam kasus-kasus lainnya ia
mesti menggabungkan berbagai kelompok surat untuk memperoleh
jumlah ayat yang dibutuhkan bagi suatu surat. Jadi, dengan
menambahkan 111 ayat yang ada dalam surat 12 kepada “120
ayat Makkiyah” dari surat 11, ia memperoleh jumlah 231 ayat,
yang disimpulkannya sebagai nilai huruf-huruf a-l-r ( 1 + 30 + 200
= 231 ) pada permulaan kedua surat ini .68 Sayangnya surat-
surat lain yang diawali dengan huruf-huruf senada – yakni a-l-r
pada permulaan surat-surat 10; 14; dan 15 – tidak disinggungnya,
yang tentu saja akan menghasilkan kesimpulan berbeda.
Berbagai gagasan tafsir – baik gagasan dasar yang diletakkan
para mufassir klasik ataupun varian-varian dan improvisasi-
improvisasinya yang dikemukakan sarjana Muslim belakangan –
mengenai makna huruf-huruf misterius jelas terlihat sangat
spekulatif, dan terkadang bahkan agak bersifat arbitrer. namun ,
gagasan-gagasan ini sama sekali tidak keluar dari konsepsi
dasar bahwa huruf-huruf ini merupakan bagian dari wahyu
Ilahi atau al-Quran yang diterima Muhammad. Konsepsi tentang
huruf-huruf misterius sebagai bagian al-Quran yang diwahyukan
Tuhan ini mulai bergeser saat para sarjana Barat berusaha
mengungkap tabir misteri huruf-huruf ini . Beberapa di
antaranya, dengan mengembangkan gagasan klasik Islam –
sebagaimana akan ditelusuri dalam bab 7 – melangkah ke arah
yang berlawanan: Keabsahan fawâtih sebagai bagian dari risalah
Ilahi yang diterima Muhammad mulai dipertanyakan lewat
interpretasi mereka tentangnya.
Setelah ungkapan tasmiyah dan huruf-huruf misterius pada
permulaan 29 surat di atas, surat-surat al-Quran terbagi ke dalam
ayat-ayat yang panjangnya sangat bervariasi, namun tidak ditetapkan
secara arbitrer. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan sarjana
Muslim dalam menetapkan panjang pendeknya suatu ayat. Orang-
orang Madinah yang awal menghitung beberapa 6000 ayat di dalam
al-Quran, sedangkan orang-orang Madinah yang belakangan
menghitung 6124 ayat; orang-orang Makkah menghitung beberapa
6219 ayat; orang-orang Kufah beberapa 6263 ayat; orang-orang
Bashrah beberapa 6204 ayat; dan orang-orang Siria (Syam) beberapa
6225 ayat.69 Sementara suatu riwayat dalam Fihrist menyebutkan
ada 6226 ayat di dalam al-Quran.70 Tradisi Islam sangat sadar
akan sistem-sistem perhitungan ayat al-Quran yang bersifat regional
atau lokal. Anton Spitaler, dalam surveinya tentang hal ini, bahkan
membedakannya ke dalam 21 sistem penghitungan ayat.71 namun
dalam mushaf utsmani edisi standar Mesir, yang menjadi panutan
sebagian besar dunia Islam dewasa ini, ayat al-Quran seluruhnya
dihitung 6236 ayat. Berbagai perbedaan dalam penghitungan ayat
ini tentunya tidak mengimplikasikan perbedaan kandungan al-
Quran untuk setiap sistem penghitungannya, sebab yang menjadi
rujukan dalam berbagai sistem ini adalah textus receptus
utsmani.
Perbedaan penghitungan ayat – selain disebab kan perbedaan
dalam penetapan basmalah sebagai ayat atau bukan dan fawãtih
sebagai ayat/ayat-ayat terpisah atau tersendiri, sebagaimana telah
dikemukakan di atas – pada hakikatnya disebabkan oleh perbedaan
dalam menentukan apakah rima telah menandakan berakhirnya
suatu ayat atau masih berlanjut – dalam istilah tradisionalnya:
perbedaan dalam penetapan ra’sul ãyah (kepala ayat) dan fãshilah.
Hal ini terjadi akibat adanya kenyataan bahwa rima atau purwakanti
di dalam al-Quran sebagian besarnya dihasilkan lewat penggunaan
bentuk-bentuk atau akhiran-akhiran gramatikal yang sama.
Dalam beberapa surat, yang pada umumnya merupakan surat-
surat panjang, ayatnya panjang-panjang dan menggugah; sementara
dalam surat-surat pendek, ayatnya pendek-pendek, namun padat dan
mengena. Memang ada pengecualian terhadap generalisasi
semacam ini – misalnya surat 26 yang terhitung panjang, memiliki
200 ayat pendek, sementara surat 98 yang terhitung pendek, berisi
8 ayat panjang – namun secara keseluruhan itulah gambaran umum
ayat-ayat al-Quran.
Otentisitas dan Integritas Mushaf Utsmani
Hadits dan Integritas Mushaf Utsmani
Mushaf utsmani, secara doktrinal, dipandang telah mencakupkeseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Muhammad yang
semestinya dimasukkan ke dalam kompilasi ini . namun ,
beberapa riwayat yang sampai ke tangan kita dewasa ini juga
memberitakan eksistensi beberapa wahyu lainnya yang tidak terekam
secara tertulis di dalamnya. Material-material ekstra-quranik ini
sebagian besarnya dikemukakan dalam bahasan panjang lebar para
ulama tentang nãsikh-mansûkh. Sebagian lagi direkam dalam
kumpulan hadits qudsi, yang sejak awal Islam telah dipandang
sebagai bukan bagian al-Quran, sekalipun sama-sama bersumber
dari Tuhan.
Secara garis besarnya, ada tiga kategori utama dalam
berbagai bahasan tentang nãsikh-mansûkh:
(i) wahyu yang terhapus baik hukum maupun bacaannya di
dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilãwah);
(ii) wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau
bacaannya masih ada di dalam mushaf (naskh al-hukm
dûna al-tilãwah); dan
(iii) wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, namun hukum-
nya masih berlaku (naskh al-tilãwah dûna al-hukm).
Dari ketiga kategori di atas, hanya kategori pertama dan terakhir
yang relevan dan berkaitan secara langsung dengan masalah
otentisitas dan integritas mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini
– yakni mushaf utsmani – sebab keduanya sama-sama menyiratkan
tidak direkamnya beberapa wahyu secara tertulis ke dalam mushaf
ini . Sekalipun demikian, wahyu-wahyu yang dinyatakan
“terhapus” ini sebagiannya masih sempat direkam dalam beberapa
hadits dan riwayat lainnya.
Kategori yang pertama-tama akan dibahas di sini adalah bagian-
bagian wahyu yang teksnya masih sempat direkam di dalam
beberapa prophetologia, namun baik bacaan maupun hukumnya
dinyatakan terhapus (naskh al-hukm wa al-tilãwah). Di dalam
riwayat-riwayat kategori ini, ada rujukan yang jelas tentang
eksistensinya sebagai bagian al-Quran pada masa tertentu. Yang
paling sering disebut, sekalipun dengan beberapa perbedaan yang
tajam antara satu dengan lainnya,1 adalah ayat berikut:
Artinya:
Seandainya anak adam (manusia) memiliki dua gunungan harta
kekayaan, maka ia akan meminta tambah untuk ketiga kalinya
dua gunungan harta kekayaan itu, namun hanya debu yang
akan memenuhi perutnya. Dan Allah akan mengampuni or-
ang-orang yang kembali (bertaubat) kepa-Nya.2
Dalam mushaf Ubay, ayat ini disisipkan di antara ayat 24 dan
25 dari surat 10. beberapa sahabat Nabi, di antaranya Abu Musa
al-Asy‘ari, seperti dikemukakan beberapa riwayat, memandangnya
sebagai bagian al-Quran yang diwahyukan Tuhan, namun pada masa
belakangan telah dinasakh. Penjelasan tradisional juga
mengungkapkan gagasan yang sama sehubungan dengan eksistensi
ayat/hadits itu. Namun, dari segi rima (taqfiyah), tampaknya ayat
ini tidak cocok ditempatkan di sini, seandainya pernah
diposisikan demikian, sebab ayat-ayat sebelum dan sesudahnya
rata-rata berima dalam -ûn – kecuali ayat 25 yang berima dalam -
îm (atau -in). Lebih jauh, kata-kata yang digunakannya secara jelas
menunjukkan asal-usulnya sebagai hadits. Bahkan, ungkapan ibn
ãdam, sebagaimana ditunjukkan Schwally, merupakan ungkapan
yang asing bagi al-Quran.3 Di samping itu, dalam riwayat Bukhari
dari Ibn Zubayr, ayat di atas hanya disebut sebagai hadits Nabi,
bukan wahyu al-Quran.4
Masih dari mushaf Ubay, diriwayatkan bahwa dalam surat 98
ia memiliki sebuah ayat ekstra berikut ini:
Artinya:
Sesungguhnya Agama di sisi Allah adalah al-hanifiyyah, bukan
Yahudi dan bukan pula Nasrani. Maka barang siapa yang
berbuat baik, tidak akan diingkari jerih payahnya.6
Rima ayat di atas – yakni -ah – hingga taraf tertentu, bisa
dikatakan relatif cocok dengan rima ayat-ayat dalam surat 98. namun ,
seandainya ayat ini betul-betul bagian al-Quran, maka bentuk
awalnya pasti agak berbeda, sebab kata-kata - yang alasan penggunaan kata-kata bentukannya cukup
jelas di dalam al-Quran, dalam kasus “ayat” ini terlihat merupakan
kata bentukan yang asing dalam pemakaian kitab suci ini .
Menurut salah satu riwayat yang dikemukakan dalam Itqãn,
Maslamah ibn Mukhallad al-Anshari membacakan dua ayat berikut
ini kepada temannya sebagai bagian al-Quran, namun tidak terekam
secara tertulis dalam mushaf resmi utsmani:
Artinya:
(1) Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah
dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka,
maka bergembiralah kamu, sebab sesungguhnya kamu
adalah orang-orang yang beruntung.
(2) Dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan
membantu dan berperang bersama mereka melawan kaum
yang dikutuk Tuhan, maka tak satu jiwa pun yang
mengetahui apa yang disimpankan untuk mereka dari
berbagai hal yang menyenangkan pandangan mata, sebagai
balasan terhadap apa yang mereka lakukan.
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 263
Kedua ayat di atas, dalam keseluruhan kasus, menggunakan
kosa kata yang banyak digunakan di dalam al-Quran. Perubahan
gramatik kata ganti orang, seperti ada di dalamnya, juga sering
muncul di dalam al-Quran. namun , penggunaan konstruksi (tarkîb)
! dengan bentuk imperatif (’amr) dalam ayat pertama, tidak pernah
muncul di dalam bagian manapun dari al-Quran. Di samping itu,
bunyi kedua ayat di atas lebih merupakan penggabungan – dengan
sedikit tambahan – dari 8:72 dan 32:17, yang barangkali dilakukan
Maslamah untuk menonjolkan para sahabat Nabi berhadapan
dengan pemimpin dinasti Umaiyah, Mu‘awiyah. Maslamah wafat
pada masa pemerintahan Mu‘awiyah, yang dinastinya dipandang
sebagai
(“yang dikutuk Tuhan”).
Dalam riwayat lain dituturkan bahwa Umar ibn Khaththab,
saat menjabat sebagai Khalifah, pernah bertanya kepada Abd al-
Rahman ibn Auf (w. 653/3) apakah ia mengenal ayat berikut ini:
Artinya:
Berjuanglah seperti kalian telah berjuang untuk pertama
kalinya.
Jawaban Abd al-Rahman ibn Auf adalah ayat ini
merupakan salah satu ayat al-Quran yang terhapus.11 Penggunaan
kosa kata dan struktur kalimatnya memang terlihat sangat quranik,
namun keberadaan versi lainnya dari ayat ini yang lebih
terelaborasi,12 membuat keraguan timbul sehubungan dengan asal-
usulnya sebagai wahyu al-Quran.
Imam Muslim (w. 821) meriwayatkan dalam Shahîh-nya bahwa
Abu Musa pernah mengabarkan mereka biasa membaca suatu surat
al-Quran yang panjangnya menyerupai musabbihãt,13 namun yang
bisa diingatnya dari surat ini hanyalah ayat berikut:14
Artinya:
Hai orang-orang beriman, mengapa kalian katakan apa yang
tidak kalian lakukan? Maka dituliskan sebuah kesaksian di leher-
lehermu dan kalian akan ditanya tentangnya di hari berbangkit.
Bagian awal “ayat” di atas mirip dengan 61:2; dan kalau mau
ditetapkan, fragmen ayat ini barangkali termasuk ke bagian surat
ini . namun , rimanya terlihat tidak cocok dengan rima ayat-
ayat surat ini, bahkan untuk keseluruhan surat musabbihãt yang
rata-rata berima dalam -ûn dan -în. Lebih jauh, “ayat” ini
diriwayatkan sebagai bagian al-Quran yang terhapus; dan hadits-
hadits tentang penghapusan ini tidak dapat dipercaya sama sekali.
Di samping itu, ayat yang dipermasalahkan di sini jelas tidak
ada di dalam kodeks Abu Musa; sebab, kalau tercantum di
dalamnya, tentu tidak mudah baginya untuk melupakannya.15
Demikian pula, Bukhari meriwayatkan dari Anas ibn Malik
yang menceriterakan bahwa sehubungan dengan orang-orang yang
wafat dalam pertempuran Bi’r Ma‘una turun suatu ayat al-Quran
yang pada masa belakangan dihapus.16 Teks ayat ini , seperti
direkam Itqân,17 adalah:
Artinya:
Sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu
Tuhan kami, dan Dia ridla kepada kami dan kami pun ridla
kepada-Nya.
Varian ayat ini sangat banyak dan bahkan dituturkan dalam
bentuk hadits.18 Kenyataan ini dengan jelas membuktikan asal-
usulnya sebagai bukan bagian al-Quran, sekalipun fraseologinya
(’uslûb) bisa dipandang – dan memang memanfaatkan kosa kata –
quranik.
Dalam kategori yang sama adalah yang lazim disebut sebagai
“ayat-ayat setan.” Dalam riwayat disebutkan bahwa saat Nabi
tengah mengharapkan wahyu yang akan membimbing para
pedagang dan pemimpin warga Makkah untuk menerima
agamanya, setan lalu menyelipkan dua ayat – menurut riwayat
diposisikan setelah 53:19-20 – berikut ke dalam wahyu Tuhan:19
Artinya:
(1) Mereka inilah perantara-perantara agung,
(2) Yang syafaatnya sungguh sangat diharapkan.
Dalam ayat-ayat sisipan setan di atas, diperkenankan campur
tangan (syafaat) tiga dewa lokal Arab. namun belakangan – tidak
jelas berapa lama setelah itu – Muhammad menyadari bahwa bagian
“wahyu” di atas tidak bersumber dari Tuhan. Ia menerima suatu
wahyu Ilahi yang mengoreksi atau “menghapuskannya,” di mana
setelah dua ayat pertama (53:19-20), datang bagian berikut: “Apakah
laki-laki untuk kamu dan perempuan untuk-Nya? Yang demikian
itu tentunya merupakan pembagian yang tidak adil” (53:21-22).
Dalam butir-butir pokok, terlihat bahwa laporan hadits tentang
“ayat-ayat setan” itu dapat dibenarkan, sebab agak sulit
membayangkan kaum Muslimin merekayasa kisah semacam itu
mengenai Muhammad. Dari sisi kesejarahan, kisah ini terjadi pada
saat kaum Muslimin mengalami tantangan dan siksaan yang sangat
keji, sehingga Nabi menyuruh mereka berhijrah ke Abisinia. Dengan
demikian, kisah ini cocok dengan konteks kesejarahannya dan
mengungkapkan kompromi yang diusaha kan Nabi terhadap orang-
orang Quraisy.20 Barangkali pertimbangan semacam inilah yang
melandasi penerimaan sejarawan dan mufassir agung al-Thabari
terhadap kebenaran kisah itu. namun , ada kecenderungan yang
kuat di kalangan sarjana Muslim hingga dewasa ini untuk menolak
keabsahannya, sebab kompromi dalam ajaran teologis yang paling
fundamental – yakni tawhîd – merupakan suatu hal yang sulit
dibayangkan telah dilakukan oleh Nabi.
Masih banyak lagi riwayat tentang “ayat-ayat” quranik semacam
ini, yang lazimnya didiskusikan secara rinci dalam literatur-literatur
nasikh-mansukh. Material-material ini biasanya dimasukkan
ke dalam kategori pertama nasikh-mansukh: naskh al-hukm wa-l-
tilãwah, yakni wahyu yang dihapus baik ketentuan hukum ataupun
bacaannya. Bahkan di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa
surat-surat tertentu pada mulanya memiliki kandungan yang lebih
ekstensif dari kandungan aktual surat-surat ini di dalam
mushaf utsmani. Contohnya, surat 33 – yang di dalam mushaf
utsmani hanya memiliki 73 ayat – dikabarkan pada mulanya
memiliki sekitar 200 ayat, atau sepanjang surat 2, atau lebih panjang
lagi. Demikian pula, surat 9 dan surat 98 juga dikabarkan pada
awalnya memiliki kandungan yang lebih ekstensif dari yang ada
sekarang, dan sebagainya.
Beberapa riwayat – seperti dikesankan bahasan-bahasan nasikh-
mansukh – mengungkapkan bahwa kandungan al-Quran pada
awalnya sangat ekstensif dibandingkan kandungan aktualnya
dewasa ini. Al-Thabrani melaporkan bahwa Umar ibn Khaththab
berkata: “al-Quran itu terdiri dari 1.027.000 kata.”22 Namun, al-
Quran yang ada di tangan kita sekarang jelas tidak mencapai
sepertiga dari jumlah kata yang disebutkan dalam riwayat tadi.
Jadi, menurut riwayat ini , sekitar dua pertiga bagian kitab
suci al-Quran telah hilang atau dihapuskan. Riwayat fantastik
semacam ini – yang secara jelas menegasikan adanya usaha dan
perhatian serius Nabi dan generasi pertama Muslim untuk
memelihara al-Quran, baik secara hafalan ataupun tulisan –
didukung oleh riwayat lainnya, yang lebih fantastik lagi, dari Abd
Allah ibn Umar:
Sungguh seseorang di antara kamu akan berkata: “Saya telah
mendapatkan al-Quran yang lengkap,” dan tidak mengetahui
taraf kelengkapannya. Sesungguhnya banyak bagian al-Quran
yang telah hilang (dzahaba), dan sebab itu seharusnya ia
berkata: “Saya telah mendapatkan yang masih ada.”23
beberapa riwayat lainnya mengungkapkan bahwa surat-surat
tertentu telah dinasakh secara menyeluruh. Suatu surat semisal
musabbihãt – sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Abu Musa
al-Asy‘ari, yang telah disinggung di atas – dikatakan telah hilang,
kecuali salah satu ayatnya.24 Di samping itu, dua surat ekstra –
surat al-khal‘ dan surat al-hafd – dalam mushaf Ubay, juga biasanya
diklasifikasikan ke dalam kategori ini. Kedua surat ekstra ini, secara
lengkap, bisa dikemukakan sebagai berikut:
Artinya:
Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang
(1) Ya Allah, kami memohon kepada-Mu pertolongan dan
ampunan.
(2) Kami menyanjung-Mu dan tidak bersikap kafir kepada-
Mu.
(3) Kami ungkapkan puja-puji kepada-Mu dan kami
tinggalkan orang-orang yang berlaku curang kepada-Mu.
Artinya:
Dengan nama Allah yang pengasih, yang penyayang
(1) Ya Allah, kepada-Mu lah kami menyembah.
(2) Dan kepada-Mu lah kami bersembahyang dan bersujud.
(3) Dan kepada-Mu lah kami berjalan bergegas-gegas dan
bersegera.
(4) Kami berharap akan limpahan rahmat-Mu.
(5) Dan kami takut akan azab-Mu.
(6) Sesungguhnya azab-Mu menimpa semua orang yang
kafir.
Seperti terlihat, bentuk dan kandungan kedua surat di atas
adalah doa. Biasanya, doa di dalam al-Quran diawali dengan
ungkapan qul (“katakanlah”) untuk melegitimasi keberadaannya
sebagai wahyu, misalnya surat 113 dan 114. namun , tidak semua
ungkapan doa di dalam al-Quran – misalnya surat 1 – diawali
dengan formula qul. sebab itu, pijakan semacam ini tidak dapat
dipertahankan. Namun, sebagaimana ditunjukkan Schwally,
penggunaan konstruksi gramatik dan beberapa kosa kata yang asing
bagi al-Quran di dalam kedua surat itu telah menimbulkan
keraguan untuk menetapkannya sebagai bagian orisinal kitab suci
ini , atau bahkan dari ungkapan Nabi sendiri. Penggunaan
kata kerja {Yv (“memuja”) dan MB (“bersegera”), dan penggunaan
konstruksi gramatik kata %W (“berjalan bergegas-gegas”) yang
disambung dengan 'v |v (kepada Tuhan) – yang tidak dapat
ditemukan di bagian manapun dalam al-Quran – dan lainnya,
telah mengarakan kepada kesimpulan ini .
Kesimpulan di atas memang mendukung teori ortodoksi Is-
lam tentang kedua surat ini sebagai bukan bagian al-Quran.
namun , pijakan penolakannya jelas berbeda, sebab argumentasi
dasar ortodoksi adalah bahwa penerimaan kesejatian kedua surat
itu sebagai wahyu Ilahi akan membahayakan kesucian teks utsmani.
Tampaknya kedua surat di atas telah digunakan pada masa Nabi
sebagai doa biasa. Dalam beberapa hadits, kedua surat itu sering
dirujuk sebagai du‘ã al-qunût, dan Umar ibn Khaththab – dan
Ubay sendiri – menggunakannya dalam fungsi ini .27
Penyebutan lainnya untuk kedua “surat” itu sebagai du‘ã al-fajr
atau sekedar al-du‘ã,28 menunjukkan bahwa keduanya tidak
memiliki kaitan dengan al-Quran, melainkan sekedar doa biasa.
Kategori ketiga dari nasikh-mansukh, naskh al-tilãwah dûna
al-hukm, mengungkapkan eksistensi beberapa bagian al-Quran yang
telah dihapus bacaannya, namun hukumnya dinyatakan masih
berlaku. Yang terhitung populer untuk kategori ini adalah “ayat
rajam” (
), yang mengungkapkan bentuk hukuman rajam
bagi pezina. Menurut beberapa riwayat, Khalifah Kedua, Umar
ibn Khaththab, memandangnya sebagai bagian al-Quran. Ayat ini,
dalam versi Itqãn,29 adalah sebagai berikut:
Artinya:
Apabila seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan
dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian
hukum dari Tuhan, dan Tuhan maha kuasa lagi bijaksana.
Sebagian besar riwayat yang ada mengungkapkan ayat ini
termasuk kategori bagian al-Quran yang dinasakh. Semula posisi
ayat ini, menurut riwayat ini , berada di dalam surat 33. namun ,
gagasan ini terlihat tidak logis, sebab ayat-ayat dalam surat itu
berima dalam -ã, sementara ayat di atas berima dalam -îm. Menurut
suatu riwayat yang dikemukakan Bukhari, posisi semula ayat
ini adalah dalam surat 24.30 Riwayat ini lebih logis, sebab –
selain rima ayat terlihat cocok dengan surat itu – salah satu
kandungan surat 24 membahas tentang perbuatan zina yang
dilakukan laki-laki dan wanita. Namun, dalam surat ini ada
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 269
batasan terhadap hukuman perbuatan zina dengan cambukan, yang
secara jelas bertentangan dengan ayat di atas. Lebih jauh, secara
fraseologis, kata }-
tidak pernah digunakan di
dalam al-Quran. Jadi, eksistensi “ayat rajam” sebagai bagian al-
Quran – sekalipun belakangan dikategorikan mansûkh – jelas sangat
meragukan.
Di samping berbagai riwayat tentang bagian-bagian al-Quran
yang kemudian dikategorikan sebagai mansûkhãt – baik dalam
kategori pertama maupun ketiga – hadits-hadits juga mengungkap-
kan beberapa logia ketuhanan yang sejak awal Islam tidak dipan-
dang sebagai bagian al-Quran. Secara teknis, riwayat-riwayat se-
macam ini diklasifikasikan sebagai al-hadîts al-qudsî
). Hadits qudsi lazimnya
didefinisikan sebagai hadits yang disandarkan Nabi kepada Allah,
yakni Nabi meriwayatkannya sebagai kalam Allah.31 Beberapa
ilustrasi hadits jenis ini bisa dikemukakan di sini.
Ilustrasi pertama bisa dilihat dalam suatu hadits yang
diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurayrah bahwa Rasulullah saw.
mengatakan Allah pernah berfirman:
Artinya:
Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik
di waktu malam maupun siang hari.
Ilustrasi lainnya bisa diambil dari himpunan hadits Bukhari,
Shahîh, di mana diriwayatkan Nabi pernah menyampaikan bahwa
– sehubungan dengan puasa – Allah pernah berfirman:
Artinya:
Setiap amal perbuatan manusia adalah untuknya, kecuali puasa
yang merupakan amalan untuk-Ku dan Aku sendiri akan
mengganjarnya. Puasa adalah pelindung, dan apabila seseorang
dari kamu berpuasa, maka janganlah ia memaki atau
membentak. Jika seseorang memaki atau bertengkar dengannya,
maka ia mesti berkata: “Saya sedang puasa.” Demi Dzat yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang
berpuasa lebih disenangi di sisi Allah dari pada wewangi kesturi.
Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan:
kebahagiaan di kala berbuka dan kebahagiaan saat bertemu
Tuhannya dengan puasanya
Dalam tradisi Islam, perbedaan teknis antara hadits qudsi dan
al-Quran telah dielaborasi sedemikian rupa. Hal-hal yang
ditekankan dalam pembedaan teknis ini, antara lain, adalah: (i) al-
Quran itu mukjizat, hadits qudsi tidak; (ii) penisbatan al-Quran
semata-mata hanya kepada Tuhan, sedangkan penisbatan hadits
qudsi kepada Tuhan bersifat pekabaran; (iii) periwayatan al-Quran
bersifat mutawatir, hadits qudsi tidak demikian; dan (iv) pembacaan
al-Quran adalah ibadah yang berpahala, dan sebab itu dibaca di
dalam shalat, sementara hadits qudsi tidak diperintahkan untuk
dibaca di dalam shalat.34 sebab itu, adalah tepat jika para sarjana
Muslim telah membedakan secara tajam antara hadits qudsi dan
al-Quran, dengan mengkategorikan yang pertama (hadits qudsi)
sebagai
dan yang kedua (al-Quran) sebagai )
.
namun , suatu fakta yang mesti diperhatikan di sini adalah bahwa,
secara redaksional, ungkapan bahasa yang digunakan al-Quran
memiliki karakteristik spesifik yang bisa membedakannya baik
dari hadits qudsi ataupun hadits biasa.
Skeptisisme Sekte Islam terhadap Mushaf Utsmani
Di dalam dunia Islam sendiri muncul keraguan di kalangan
sekte-sekte tertentu terhadap integritas mushaf utsmani. Skeptisisme
semacam ini pada faktanya tidak dipijakkan pada kritik historis
atau kajian ilmiah yang mendalam tentangnya, namun lebih
bertumpu pada prasangka dogmatis atau etis. Jadi, sekelompok
Mu‘tazilah yang saleh mengemukakan keraguan mereka terhadap
bagian-bagian tertentu al-Quran – yang berisi hujatan-hujatan
kepada musuh-musuh Nabi – sebagai non-ilahiah, dan dengan
demikian bukan merupakan bagian integral kitab suci ini .
Bagi mereka, tidak mungkin suatu pekabaran mulia yang berasal
dari “luh yang terpelihara” memuat hal-hal semacam itu. Demikian
pula, sekte Maimuniyah dari aliran Khawarij menolak eksistensi
surat 12 (Yusuf) sebagai bagian kitab suci al-Quran, sebab surat
ini – menurut mereka – berisi kisah cinta yang tidak patut
dikategorikan sebagai wahyu al-Quran.
Berbeda dengan kecenderungan di atas, yang mempermasalah-
kan penambahan-penambahan di dalam mushaf utsmani, kalangan
tertentu dalam sekte Syi‘ah menuduh bahwa Utsman telah
menggantikan dan tidak mencakupkan ke dalam kodifikasinya
beberapa besar bagian al-Quran, baik dalam bentuk surat, ayat,
dan bahkan kata-kata tertentu. Istilah yang biasanya digunakan
untuk mengemukakan berbagai tuduhan ini adalah tabdîl ( M+ )
atau tahrîf (?@).36 Jika di kalangan sekte-sekte Islam lainnya
merebak pandangan bahwa bagian-bagian al-Quran yang
dipermasalahkan otentisitasnya itu masuk ke dalam mushaf
utsmani lantaran ketidaksengajaan atau kealpaan para pengumpul
al-Quran, maka kalangan tertentu Syi‘ah melihatnya sebagai hal
yang tendensius dan mencerminkan niat jahat kolektornya.
Menurut mereka, kesucian yang dimiliki Ali bedan anak-
keturunannya tidak lagi ditemukan di dalam al-Quran lantaran
Abu Bakr dan Utsman telah menghilangkan, mengubah atau
bahkan memerasnya keluar. Seluruh bagian wahyu yang dinyatakan
kelompok Sunni sebagai mansûkhãt – yakni yang hilang dalam
kategori pertama nasikh-mansukh – ditegaskan berisi pembicaraan
tentang Ali. Bahkan, ada gagasan yang berkembang di kalangan
Syi‘ah bahwa seperempat bagian al-Quran dalam kenyataannya
membahas tentang keluarga Ali – 70 ayat di antaranya khusus
tentang Ali sendiri;37 seperempat bagian lagi tentang tentang
musuhnya; kemudian seperempat bagian lagi tentang aturan-
aturan hukum; dan sisanya yang seperempat bagian tentang adat
kebiasaan (sunan) dan tamsilan
Menurut Abu al-Hasan Ali ibn Ibrahim al-Qummi (w. 919/
20), otoritas Syi‘ah abad ke-4H, ada sekitar 500 tempat di
dalam al-Quran yang telah diubah.39 Di samping itu, wahyu-wahyu
al-Quran yang diturunkan kepada Nabi lebih banyak dari yang
terekam dalam teks utsmani. Jadi, misalnya, surat 24 semestinya
berisi lebih dari seratus ayat, dan surat 15 bahkan memiliki sekitar
190 ayat.40 Demikian pula, surat 98 – menurut beberapa riwayat
yang beredar di kalangan Sunni pada awalnya memiliki kandungan
yang lebih ekstensif dari yang ada sekarang41 – dikatakan memuat
daftar nama 70 orang Quraisy bersama nama-nama bapak mereka,
yang dalam teks utsmani dengan sengaja dihilangkan.42 namun ,
pandangan-pandangan semacam ini, sebagaimana juga eksis di
kalangan Sunni dalam bentuk doktrin nasikh-mansukh yang agak
berbeda, secara sederhana bisa dikesampingkan. Al-Quran hanya
menyebut beberapa nama orang yang semasa dengan Nabi dalam
berbagai kesempatan berbeda. Kitab suci ini tidak mungkin
menyebut 70 nama sekaligus, apalagi ditambah dengan nama bapak-
bapak mereka.
Suatu riwayat senada yang beredar di kalangan Syi‘ah,
bersumber dari Ibn Abbas, menyebutkan bahwa 9:64 pada mulanya
memuat 70 nama orang munafik (munãfiqûn) berikut nama bapak-
bapak mereka.43 namun sisipan semacam ini, jika memang ada,
terlihat tidak cocok dengan konteks ayat ini . Barangkali,
riwayat semacam ini lahir dari keyakinan umum kaum Syi‘ah yang
menuduh – bahkan menyumpah – seluruh musuh Ali, termasuk
tiga khalifah pertama, sebagai orang munafik lantaran menghalangi
Ali menuju tampuk kekhalifan.
Varian bacaan kelompok Syi‘ah, yang dipandang telah
dimanipulasi Abu Bakr dan Utsman saat mengumpulkan al-
Quran, pada umumnya mengungkapkan tentang Ali dan para
imam mereka. Hal ini selaras dengan tendensi populer yang pernah
diformulasikan Imam Ja‘far al-Shadiq: “Seandainya al-Quran dibaca
dalam bentuk saat diwahyukan, maka nama-nama kami (yakni
para imam – pen.) akan ditemukan di dalamnya”.44 Formulasi ini
barangkali dirumuskan pada permulaan abad ke-4H, sebab muncul
dalam karya mufassir Syi‘ah terkemuka saat itu, al-Qummi, dan
varian bacaan yang dikemukakannya selaras dengan yang
diberitakan Anbari (w. 328 H.) sebagai populer pada masanya.
Lebih jauh, eksistensi varian-varian semacam itu dapat ditelusuri
jejaknya hingga abad ke-2H.
Mayoritas varian bacaan ini terdiri dari kata-kata ‘alî atau ãlu
muhammadin (“keluarga Muhammad”), yang disisipkan ke dalam
teks tanpa melihat makna kontekstualnya. Jadi, tanpa memperhatikan
rima, di beberapa tempat – misalnya 3:51; 19:36; 36:61; dan 43: 61,64
– di mana muncul ungkapan hãdzã shirãthun mustaqîmun (- ,
=A F), dibaca sebagai shirãthun ‘alîyin (#)L=A). Setelah ungkapan
wa laqad nasharakumullãh bi-badrin dalam 3:123, disisipkan
tambahan bi-sayfi ‘alîyin (“melalui pedang Ali”). Demikian pula,
setelah ungkapan “Sesungguhnya jika mereka, setelah menganiaya
dirinya, datang kepadamu” dalam 4:64, disisipkan ungkapan “wahai
Ali” (#)L). Dalam 4:166, setelah kata anzalahu – juga dalam 5:67,
setelah kata min rabbika – ditambahkan ungkapan fî ‘alîyin (#)L \
). Sementara dalam 4:168, setelah kata wa zhalamû – juga dalam
26:227, setelah kata zhalamû – disisipkan sebagai obyek ungkapan
‘alã muhammadin haqqahum.46 Di beberapa tempat–misalnya 6:93
– yang secara umum meng-ungkapkan tentang perbuatan pendosa
dan penindasan, selalu disisipkan sebagai obyek ungkapan
“keluarga” Nabi.47 namun , sisipan-sisipan semacam ini, jika
dipandang sebagai bagian otentik al-Quran, tentunya akan
menghasilkan kenyataan historis yang berbeda dari kenyataan
aktual yang terjadi. Jika bagian-bagian al-Quran itu eksis, Ali dan
anak keturunannya tentu akan mengalami nasib lain, sebab bagian-
bagian ini jelas akan menjadi argumen pamungkas untuk
mengenyahkan berbagai tindakan ketidakadilan dan kezaliman atas
mereka.
Terkadang, bacaan yang merupakan koreksi atas bacaan dalam
tradisi teks utsmani muncul sebagai tuduhan atas penyelewengan
teks yang dilakukan para khalifah pengumpul al-Quran. Koreksi-
koreksi semacam ini terarah kepada masalah-masalah mendasar
dan terlihat ditujukan untuk kepentingan golongan. Hal ini terlihat
jelas dalam koreksi-koreksi teks al-Quran yang berkaitan dengan
penyebutan dan pujian untuk para imam. Contohnya adalah 3:110,
“kuntum khayr ummatin ( , )…,” “kamu adalah umat terbaik…,”
yang dikoreksi menjadi “kuntum khayr a’immatin ( I )…,” “kamu
adalah imam-imam terbaik …”. Koreksi ini terlihat hanya berupa
perubahan ringan terhadap kerangka grafis, namun akibatnya
terhadap perubahan kandungan makna jelas sangat substansial.
Demikian pula, ungkapan ummatan wasathan ( V$ , ) dalam
2:143, dikoreksi menjadi a’immatan wasathan ( V$ I ). Kata
a’immah dalam kasus-kasus ini – menurut tafsiran Syi‘ah –
merupakan teks wahyu yang asli, dan ini bisa dibuktikan dengan
22:78, yang merujuk kepada para imam: “…susaha Rasul menjadi
saksi atas kamu (para imam – pen.) dan kamu (para imam) menjadi
saksi atas segenap manusia….” Demikianlah, beberapa besar kata
ummah yang muncul dalam berbagai bagian al-Quran telah
dikoreksi menjadi a’immah.48
Ilustrasi yang dikemukakan di atas juga mengungkapkan salah
satu perbedaan mendasar antara Sunni dan Syi‘ah: Di kalangan
Sunni, titik berat bentukan (gestaltung) politik dan keagamaan
diletakkan sepenuhnya pada ummah, keseluruhan warga atau
consensus ecclesiae. Sedangkan kalangan Syi‘ah meletakkannya
semata-mata pada otoritas, kata dan ajaran para imam.49 Menurut
kelompok Sunni, konsensus warga tidak mungkin keliru,50
sedangkan kelompok Syi‘ah memandang para imam terpelihara
dari kekurangan, kesalahan dan kekeliruan (ma‘shûm). Otoritas
individual para imam dalam Syi‘ah merupakan tolok ukur segala
kebenaran, bukan faktor kolektivitas seperti di kalangan Sunni.
Hal-hal inilah yang tampak dalam perjalanan historis kedua sekte
Islam itu, dan bisa dikatakan hanya terletak pada perbedaan bacaan
antara ummah dan a’immah, namun memiliki implikasi dalam
bentuk perbedaan-perbedaan doktrinal yang substansial.
Sehubungan dengan gambaran tentang imam yang muncul di
dalam mushaf utsmani, juga dikemukakan beberapa koreksi. Salah
satu contohnya adalah 25:74, “…dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang takwa (waj‘alnã lil-muttaqîna imãman).”
Ungkapan wahyu yang “sejati” dalam hal ini, menurut kalangan
Syi‘ah, adalah: “…jadikanlah bagi kami seorang imam dari orang-
orang yang takwa (waja‘alanã min al-muttaqîna imãman).”
Terkadang emendasi ditujukan untuk menggantikan ungkapan-
ungkapan yang tidak pantas dengan ungkapan sebaliknya. Suatu
ilustrasi mengenai koreksi jenis ini bisa dikemukakan lewat 3:123:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di Badr saat kamu
dalam keadaan rendah (adzillatun).” Kata adzillah, menurut
kalangan Syi‘ah, tidak digunakan dalam wahyu orisinal, namun kata
dlu‘afã’ (“lemah”).
Senada dengan itu, beberapa bagian al-Quran yang memberi
kesan tentang Nabi sebagai orang yang tidak lepas dari perbuatan
keliru, dikoreksi untuk menjaga citranya sebagai seorang yang
terpelihara dari kekeliruan atau dosa (ma‘shûm). Ilustrasi yang
memadai di sini adalah ungkapan 93:7, wa wajadaka dlãllan (&x)
fahadã (MN). Dalam ayat ini, Nabi dilukiskan sebagai orang yang
khilaf, dan lukisan semacam itu tentunya berseberangan dengan
dogma tentang citranya dan bukan merupakan teks orisinal wahyu.
Ungkapan wahyu yang sejati di sini adalah wa wajadaka dlãllun
( Jx ) fahudiya (MN). Jadi, dengan perubahan kecil – kata dlãllan
diubah menjadi dlãllun dan kata kerja fahadã menjadi bentuk
pasif fahudiyã – ungkapan 93:7 bermakna: “Dan seorang yang khilaf
menemukanmu dan diberi petunjuk (melaluimu).”51
beberapa koreksi Syi‘ah lainnya yang dilakukan terhadap textus
receptus al-Quran bukan berdasar tendensi sektarian, namun
berpijak pada pengamatan umum terhadap partikel illã (&),
“kecuali,” yang diemendasi dengan walã (&$), “dan juga tidak.”
Contohnya adalah 2:150, “Agar tidak ada hujjah bagi manusia
atas kamu, kecuali (illã) orang-orang yang zalim di antara mereka.”
Partikel illã di sini diganti dengan walã, sehingga bagian akhirnya
bermakna: “dan juga tidak (walã) bagi yang zalim.” Contoh lain
adalah 4:92, “Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh
mukmin lainnya, kecuali (illã) tidak sengaja,” yang setelah partikel
illã diganti dengan walã memiliki makna: “dan juga tidak (walã)
sebab tidak sengaja.
Koreksi yang agak radikal terhadap teks utsmani dikemukakan
sehubungan dengan komposisi ayat di dalam surat-surat. Koreksi
ini ditujukan untuk membuktikan kesembronoan dan kedangkalan
redaksi mushaf utsmani, seperti terlihat di berbagai tempat di dalam
al-Quran yang tidak berjalin atau berkelindan. Sehubungan dengan
fenomena ini , al-Qummi mengemukakan:
Mereka (tim redaksi mushaf utsmani) telah memporak-
porandakan al-Quran dan tidak menyusunnya berdasar tata
urutannya sebagaimana saat diturunkan Tuhan: 4:3
sebenarnya merupakan sambungan dari 4:127a, yang berada
di posisi akhir; susunannya secara bersama-sama adalah sebagai
berikut: “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita;
katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka
dan apa yang dibacakan kepadamu di dalam Kitab tentang
para wanita yatim yang tidak kamu berikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka, dan kamu tidak (?) ingin
mengawini mereka’,” kemudian menyusul sambungannya
dalam ayat 3: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil
terhadap perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi, dua atau tiga atau empat; dan jika
kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka seorang saja.”
Demikianlah susunan asli ayat ini .
Senada dengan itu, berbagai bagian al-Quran lainnya – baik
menyangkut ayat-ayat hukum ataupun kisah-kisah dan peringatan
kitab suci ini – telah direkomposisi untuk memperlihatkan
pemorak-porandaan susunan ayat yang dilakukan dalam teks
utsmani. Jadi, 4:104 dan 16:126 memiliki posisi awal dalam surat
3 dan berada bersama-sama dengan gambaran Perang Uhud; 26:48
merupakan kelanjutan dari 25:5; atau 32:28 semestinya ditempatkan
setelah 32:21. Demikian pula, 29:16,17 langsung disambung dengan
29:24, sementara ayat-ayat yang berada di antara keduanya memiliki
posisi awal di tempat-tempat lain; penempatannya di sini
merupakan kesembronoan atau kelalaian para pengumpul mushaf
utsmani. Yang sejenis dengan ilustrasi terakhir adalah 31:13, yang
semestinya ditempatkan langsung sebelum ayat 16; sementara ayat-
ayat yang ada di antara keduanya telah memutuskan kesinambung-
an petuah Luqman terhadap anaknya.
Tudingan tentang kesembronoan para pengumpul mushaf
utsmani dalam penyusunan ayat-ayat al-Quran ini, dalam
kenyataannya, telah menghantam doktrin yang berkembang secara
luas di kalangan Sunni mengenai susunan ayat-ayat dalam surat-
surat al-Quran sebagai bersumber dari Nabi
Ketidakberjalinan rangkaian ayat di dalam al-Quran memang
merupakan salah satu karakteristik kitab suci ini . namun ,
mengklaim bahwa hal ini merupakan kesembronoan para
penghimpun al-Quran yang awal, seperti telah diperlihatkan dalam
bab 4 dan 5, jelas merupakan pernyataan yang ahistoris.
Merupakan suatu hal yang pasti dalam sejarah bahwa Nabi
sendirilah yang merangkai berbagai bagian atau ayat al-Quran yang
diwahyukan kepadanya dan menetapkan susunannya secara pasti
dalam surat-surat yang ada. Susunan ini diketahui dan diikuti para
sahabatnya. Itulah sebabnya, saat kita membuka kumpulan al-
Quran para sahabat, yang terutama ditemukan di dalamnya adalah
perbedaan-perbedaan substansial dalam aransemen surat, bukan
susunan ayat. Lebih jauh, jika para sahabat telah menghafal dan
menuliskan wahyu dalam kadar yang beragam, maka bisa
diperkirakan berbagai perbedaan substansial dalam komposisi ayat
di dalam naskah-naskah mereka ketimbang yang bisa ditemukan
dalam fenomena mashãhif yang awal. Dengan demikian, tudingan
yang dikemukakan kelompok tertentu Syi‘ah dalam hal ini secara
faktual tidak memiliki pijakan historis, selain angan-angan kosong
belaka.
Di samping berbagai tudingan di atas, di kalangan tertentu
Syi‘ah berkembang gagasan tentang tidak dimasukkannya beberapa
surat ke dalam mushaf resmi utsmani lantaran niat buruk para
pengumpulnya. Namun, surat-surat jenis ini hanya sedikit di
antaranya yang bisa diselamatkan dari kemusnahan. Surat-surat
ini, antara lain, adalah dua surat ekstra dalam mushaf Ubay –
yakni surat al-khal‘ dan surat al-hafd – yang telah dibahas di atas,
surat al-nûrayn (42 ayat), dan surat al-walãyah (7 ayat ).
Surat al-nûrayn pertama kali diperkenalkan oleh Garcin de
Tassy dan Mirza Kazembeg dalam Journal Asiatique (edisi 1842,
1843). Teks surat ini, yang diedit Kazembeg,55 adalah sebagai
berikut:
Artinya:
Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang
(1) Wahai orang-orang beriman, berimanlah kepada dua
cahaya yang telah Kami turunkan, yang membacakan
kepada kamu ayat-ayat-Ku dan memperingatkan kamu
tentang azab Hari yang pedih.
(2) Dua cahaya, yang satunya berasal dari lainnya,
sesungguhnya Kami maha mendengar dan maha
mengetahui.
(3) Sesungguhnya orang-orang yang memegang teguh
perjanjian Allah dan rasul-Nya (dalam ayat-ayat?), bagi
mereka surga yang menyenangkan.
(4) Dan orang-orang kafir, setelah beriman, yang melanggar
perjanjian dan apa yang telah mereka sepakati bersama
rasul, maka mereka akan dilempar ke dalam api neraka.
(5) Mereka telah menzalimi diri mereka sendiri dan enggan
melakukan yang diperintahkan rasul; mereka itu akan
diberi minum dari kubangan air neraka yang mendidih.
(6) Sesungguhnya Dialah Tuhan yang menyinari langit dan
bumi dengan sekehendak-Nya; Dia memilih di antara
malaikat dan rasul dan memasukkan ke dalam golongan
yang beriman.
(7) Kesemuanya itu merupakan ciptaan-Nya; Tuhan
melakukan apa yang Dia kehendaki, tiada tuhan selain
Dia yang maha pengasih, maha penyayang.
(8) Orang-orang sebelumnya telah melakukan makar terhadap
para rasul. Maka Aku menimpakan balasan atas makar
mereka. Sesungguhnya balasan-Ku amat pedih sekali.
(9) Tuhan telah memusnahkan kaum Ad dan Tsamud atas
perbuatan mereka dan menjadikan mereka sebagai
peringatan bagi kamu, maka tidakkah kamu bertakwa?
(10)Dan Firaun telah Aku tenggelamkan bersama seluruh
pengikutnya lantaran membangkang terhadap Musa dan
saudaranya Harun, agar menjadi pertanda bagi kamu;
sesungguhnya sebagian besar dari kalian adalah orang yang
fasik.
(11) Sesungguhnya Tuhan akan mengumpulkan mereka pada
Hari Akhirat, maka tidak ada jawaban yang bisa mereka
kemukakan saat mereka ditanya.
(12) Sesungguhnya neraka jahim adalah tempat kediaman
mereka, dan Tuhan maha mengetahui dan bijaksana.
(13)Hai rasul, sampaikanlah peringatan-Ku kepada mereka,
agar mereka mengerjakannya (mengindahkannya).
(14) Sungguh telah merugi orang-orang yang menghindari dari
ayat-ayat dan hukum-hukum-Ku.56
(15) Perumpamaan orang-orang yang memegang teguh
perjanjian denganmu, sesungguhnya Aku telah memberi
imbalan kepada kamu dengan surga yang penuh
kenikmatan.
(16) Sesungguhnya Tuhanlah yang memiliki ampunan dan
ganjaran yang berlimpah.
(17) Sesungguhnya Ali termasuk orang yang takwa.
(18)Dan sungguh Kami akan menjamin haknya pada Hari
Pengadilan.
(19)Dan Kami tidak membiarkannya dizalimi.
(20)Dan telah Kami muliakan dia di antara keseluruhan
keluargamu.
(21) Ia dan anak keturunannya menunggu dengan sabar.
(22)namun musuh mereka adalah imam orang berdosa.
(23)Katakanlah kepada mereka yang kafir setelah beriman:
kalian mencari kemewahan kehidupan duniawi dan
berlomba-lomba dengannya dan melupakan apa yang
dijanjikan Tuhan dan rasul-Nya, melanggar perjanjian-
perjanjian setelah dibuat, maka Kami telah membuat untuk
kamu perumpamaan-perumpamaan, semoga kalian
mendapat petunjuk.
(24)Hai rasul, telah Kami turunkan kepadamu ayat-ayat yang
jelas, di dalamnya adalah suatu…,57 barang siapa yang mati
dalam keadaan menerimanya atau barang siapa yang
berpaling darinya setelahmu, maka semuanya akan
dijelaskan.
(25)Maka berpalinglah kamu dari mereka, sebab sesungguh-
nya mereka adalah orang yang durhaka.
(26)Sungguh mereka akan dihadapkan pada suatu hari, di mana
tidak sesuatupun bermanfaat bagi mereka, dan tidaklah
mereka dikasihani.
(27) Sesungguhnya bagi mereka suatu tempat di neraka, yang
tidak bisa mereka tinggalkan.
(28)Maka sucikanlah nama Tuhanmu dan jadilah di antara
orang-orang yang bersujud.
(29) Sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dan Harun
(dengan berturut-turut?), maka mereka melakukan
kekerasan terhadap Harun. Maka kesabaran itu lebih baik.
Kemudian Kami jadikan sebagian di antara mereka
menjadi monyet dan babi dan mengutuk mereka hingga
Hari Berbangkit.
(30)Maka Bersabarlah, mereka suatu saat akan tertimpa.58
(31)Kami telah memberimu kuasa penuh sebagaimana utusan-
utusan sebelummu.
(32)Dan telah Kami berikan untukmu dari mereka suatu tugas,
barangkali mereka akan berbalik kembali.
(33)Dan barang siapa yang berpaling dari perintah-Ku, maka
sesungguhnya Aku akan mengembalikannya. Mereka
hanya menikmati kekufurannya dalam waktu yang singkat.
Maka janganlah bertanya kepada pengingkar janji.
(34)Hai rasul, telah Kami jadikan untukmu di tengkuk orang-
orang yang beriman suatu perjanjian, maka berpegang
teguhlah dan jadilah orang yang berterima kasih.
(35) Sesungguhnya Ali cemas akan Hari Kemudian; selama
malam hari ia bersujud dengan khidmat dan meng-
harapkan imbalan dari Tuhannya. Katakanlah: Apakah
sama orang-orang yang zalim …?59 Dan mereka tahu akan
azab-Ku.
(36)Rantai akan dikalungkan ke leher mereka dan mereka akan
menyesali perbuatan mereka.
(37)Kami telah menjanjikan bagimu anak keturunan yang
saleh.
(38)Dan mereka tidak akan menentang perintah Kami.
(39)Atas merekalah salawat dan rahmat dari-Ku, baik dalam
keadaan hidup maupun mati dan pada Hari kebangkitan
mereka.
(40) Dan amarah-Ku bagi orang-orang yang menindas mereka
setelah kamu; mereka adalah orang-orang jahat yang
merugi.
(41)namun orang-orang yang mengikuti jalan mereka akan
beroleh rahmat dari-Ku, dan mereka akan aman di dalam
teras kebun surga.
(42)Terpujilah Tuhan, Penguasa sekalian alam. Amin!
Seperti terlihat, rangkaian kata-kata dalam surat di atas – pada
tataran permukaan – memberi kesan yang cukup baik tentangnya
sebagai bagian al-Quran, sebab sebagian besar kalimat dan
ungkapannya mengikuti gaya kitab suci ini . namun ,
sebagaimana dikemukakan Schwally, saat diperiksa secara teliti
– dari sisi leksikal (mufradãtî), stilistik (uslûbî ) dan kandungannya
– akan terlihat surat ini sebagai rekayasa belakangan.60 Secara
leksikal, beberapa kata yang digunakan dalam surat ini –
seperti kata anzala yang dihubungkan dengan obyek personal, yakni
Muhammad dan Ali, kata nûr yang ditransfer kepada pribadi-
pribadi yang sama,61 kata-kata nawwara, nadima, washiyun, dan
maslakun – tidak pernah muncul di dalam keseluruhan al-Quran.
beberapa ungkapan juga digunakan dalam konstruksi yang
asing bagi al-Quran. Contohnya, kata ‘ashã yang dikonstruksikan
dengan datif (maf‘ûl gayr al-mubãsyir) dalam ayat 5 di atas, hanya
muncul di dalam al-Quran secara teratur dalam konstruksi akusatif
(nashb). Ungkapan yawm al-hasyr (ayat 11) tidak pernah digunakan
al-Quran untuk merujuk hari akhirat, sekalipun kata kerja hasyara
sering digunakan. Demikian pula, bagã (ayat 39) di dalam al-Quran
– maupun dalam bahasa Arab – biasanya dihubungkan dengan
‘alã ditambah bentuk person (syakhsh).
Dari sisi stilistik, bagian-bagian tertentu dalam surat di atas
dapat dipertanyakan. Kata-kata bimã syã’a (ayat 6) merupakan cara
pengungkapan yang tidak bagus untuk mã syã’a. Demikian pula,
ungkapan ataynã bika-l-hukmi (ayat 31) sangat aneh dalam bahasa
Arab, sebab semestinya diformulasikan sebagai ataynãka bi-l-
hukmi. Sementara penggabungan kata-kata ballig indzãrî (ayat 13)
terlihat tidak qurani, sekalipun kata ballaga dan andzara banyak
digunakan di dalam al-Quran. Yang agak lain dari bentuk stilistik
ini adalah pencampuradukan antara ayat-ayat panjang dan ayat-
ayat pendek di dalam surat ini . Ayat-ayat pendek – seperti
diyakini beberapa pakar kajian-kajian al-Quran – merupakan
karakteristik surat-surat Makkiyah awal, sementara ungkapan yã
ayyuhã-lladzîna ãmanû (ayat 1) dan yã ayyuhã-l-rasûl ( ayat 13, 23
dan 24) merupakan karakteristik surat-surat Madaniyah.
Dari segi kandungannya, beberapa penilaian bisa dikemukakan.
Pengubahan orang-orang yang memusuhi Musa dan Harun
menjadi monyet dan babi (ayat 29), terlihat mirip dengan
kandungan 5:60, namun bagian al-Quran ini tidak mengungkapkan
kaitan historisnya dengan kedua nabi ini . Demikian pula,
tema-tema seperti pesan kepada nabi agar bersabar (ayat 30),
penekanan yang tegas terhadap hari akhirat, dan kisah umat
terdahulu dengan para utusan Tuhan, merupakan tema-tema favorit
surat-surat Makkiyah di dalam al-Quran. Sebaliknya, pemilahan
manusia ke dalam kategori beriman dan yang kemudian
menyangkali keimanannya (ayat 4, 23), terlihat tidak mengacu
kepada periode pewahyuan manapun, namun kepada konteks
perseteruan di dalam Islam yang mencuat beberapa saat setelah
wafatnya Nabi.
Kesimpulan terakhir di atas didukung oleh beberapa ayat di
dalam surat ini yang bertalian dengan Ali. Orang suci Syi‘ah
ini disebut namanya dalam dua kesempatan (ayat 17 dan 35),
kemudian dirujuk dengan kata washî yang populer di kalangan
Syi‘ah.62 Demikian pula, nasib Ali dan anak keturunannya, yang
terjadi jauh setelah wafatnya Nabi, dituturkan di beberapa
kesempatan (ayat 5, 17 ff., 24, dan 40). Sekalipun gelar terhormat
Imãm untuk Ali dan anak keturunannya tidak muncul dalam surat
al-nûrayn, namun musuh mereka – yakni Mu‘awiyah – dirujuk
sebagai imãm al-mujrimîn (ayat 22).
Sementara kata nûr yang dinisbatkan kepada Muhammad dan
Ali, tampaknya bersumber dari teori gnostik maupun teori Syi‘ah
sendiri. Dalam teori ini dikemukakan bahwa sejak penciptaan
manusia, suatu substansi cahaya Ilahiah berpindah secara teratur
dari Adam kepada anak keturunannya yang terpilih, hingga
akhirnya kepada kakek Muhammad dan Ali, yakni Abd al-
Muthalib. Pada titik ini, cahaya ini membelah dua dan
berpindah kepada Abd Allah dan Abu Thalib – secara berturut-
turut adalah ayah Nabi dan ayah Ali. Dari sini, cahaya ilahi itu
berpindah ke Ali, kemudian menurun dari satu imam ke imam
lainnya dalam tradisi Syi‘ah.63
Analisis terhadap surat al-nûrayn di atas memperlihatkan
bahwa surat ini jelas merupakan rekayasa Syi‘ah yang
belakangan. Kapan tepatnya surat ini direkayasa agak sulit
ditetapkan. Yang jelas, otoritas-otoritas Syi‘ah yang awal, seperti
al-Qummi (abad ke-4H), maupun dari abad pertengahan, seperti
Muhammad ibn Murtadla (w. 1044), tampaknya belum mengenal
surat itu. Kalau tidak demikian, mereka tentu akan menyebutnya
dalam karya-karya mereka.64 Menurut Kazem-Beg, tidak ada
karya otentik dalam tradisi kesarjanaan Syi‘ah Imamiyah yang
menyinggung tentang surat ini, dan tidak seorang penulis pun
yang mengenal nûrayn sebagai judul surat itu sebelum abad ke-16.
Sementara nûrayn sebagai sebutan untuk Muhammad dan Ali baru
muncul pada abad ke-14.65
Kelemahan senada juga terlihat dalam sûrat al-walãyah. Orang
yang mengenal dengan baik bahasa Arab secara langsung akan
menyimpulkannya sebagai rekayasa. Judul surat yang digunakan
dalam manuskrip – ditemukan di Bankipur, India, pada 1912 –
yakni sûrat al-walãyat (dengan 5 , bukan ), secara jelas telah
menunjukkan kekeliruannya dari sisi bahasa. Lebih jauh, gaya
bahasa surat ini mencoba mengimitasi gaya al-Quran, namun tidak
selalu berhasil. Ada beberapa kesalahan gramatik dan penggunaan
kata dalam konteks yang memperlihatkannya sebagai kreasi pasca
pewahyuan al-Quran. Terjemahan surat ini dapat dikemukakan
sebagai berikut:
Dengan nama Allah yang pengasih, yang penyayang
(1) Hai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Nabi
dan kepada pengampu (al-walî ), yang keduanya telah Kami
bangkitkan (utus): Mereka akan membimbing kalian ke
jalan yang benar.
(2) Seorang Nabi dan seorang pengampu, satu dari lainnya,
dan Aku maha mengetahui, maha mendengar.
(3) Sesungguhnya orang-orang yang dengan penuh keimanan
menunaikan perjanjian Tuhan, merekalah pemilik taman
surga.
(4) Dan mereka yang, saat dibacakan ayat-ayat Kami
kepadanya, menganggap ayat-ayat Kami sebagai ke-
bohongan,
(5) Sungguh mereka akan beroleh tempat yang luas di neraka,
saat diumumkan kepada mereka di Hari Berbangkit:
“di manakah orang-orang yang bersalah itu, yang
menganggap Utusan-utusan Kami adalah pembohong?”
(6) Dia tidaklah menciptakan mereka, para utusan itu, kecuali
dengan kebenaran; dan Tuhan tidak berniat meng-
ungkapkannya hingga suatu waktu yang ditetapkan.
(7) Dan keraskanlah suaramu dalam memuja Tuhanmu, dan
Ali adalah (salah satu) dari orang-orang yang me-
nyaksikan.
Di samping kedua surat di atas, dalam manuskrip Bankipur
juga eksis beberapa “ayat Syi‘ah” yang tidak terekam di dalam
Mushaf utsmani.67 Tidak berbeda dari “ayat-ayat Syi‘ah” yang telah
dibahas, kandungan ayat-ayat Syi‘ah dalam manuskrip Bankipur
mengekspresikan kemuliaan ahl al-bayt, anak keturunan Ali, sebagai
pewaris sebenarnya hak-hak spiritual Muhammad yang dikehendaki
Tuhan. namun , pada titik inilah ayat-ayat ini secara jelas
membuktikan dirinya sebagai rekayasa belakangan, sekalipun gaya
bahasanya digubah mengikuti gaya al-Quran, atau secara sederhana
disisipkan ungkapan yang berhubungan dengan ahl al-bayt ke
dalam bagian tertentu al-Quran.
Uraian-uraian sejauh ini tentang pandangan kelompok tertentu
Syi‘ah terhadap integritas dan otentisitas mushaf utsmani, secara
jelas memperlihatkan betapa kecilnya kepercayaan mereka terhadap
mushaf ini . Menurut keyakinan umum kelompok ini,
sekalipun mushaf utsmani bukan salinan al-Quran yang lengkap,
segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah al-Quran. Redaksi
lengkap dan otentik al-Quran yang dikumpulkan Ali, diwariskan
secara turun-temurun kepada para imam hingga akhirnya berada
di tangan Imam Mahdi yang dinantikan. saat Imam keduabelas
ini muncul kembali, ia akan mengungkapkan al-Quran yang sejati.
Selama masa penantian, mushaf utsmani tetap digunakan dalam
praxis kehidupan keagamaan pengikut Syi‘ah.
namun , gagasan tentang tahrîf yang dikemukakan sejauh ini
hanya merupakan salah satu sudut pandang yang berkembang di
kalangan Syi‘ah. ada sudut pandang lainnya yang lebih
dominan di dalam sekte ini , yang tidak mengakui eksistensi
pengubahan al-Quran yang ada di tangan kita dewasa ini.
Muhammad ibn Babawayh (w. 991/2), muhaddits terkemuka di
kalangan Syi‘ah Imamiyah, bahkan menghitung keimanan terhadap
non-alterasi al-Quran sebagai bagian doktrin Syi‘ah Imamiyah. Ahli
fikih (faqîh) kelompok Syi‘ah yang sama, Abu Ja‘far Muhammad
ibn al-Hasan al-Thusi (w. 1067), figur mayor lainnya yang
menyepakati sudut pandang ini, bahkan mengutip pandangan
gurunya, al-Syarif al-Murtadla (w. 1044), yang mendukung doktrin
non-alterasi dengan bukti-bukti sangat lengkap. Mufassir Syi‘ah
terkemuka, al-Thabarsi (w. 1153), juga mengkonfirmasi doktrin
ini dalam pengantar tafsirnya, Majma‘ al-Bayãn. Sementara
di kalangan fuqahã’ Syi‘ah – seperti Syaikh Ja‘far Kasyif al-Githa,
al-Syahsyahani, dan lainnya – juga disepakati gagasan senada.69
Gagasan tentang otentisitas dan integritas mushaf al-Quran
yang ada di tangan kita dewasa ini, belakangan juga diajukan secara
frontal oleh marja‘-e-taqlîd sekte Syi‘ah Imamiyah abad ini, al-Sayyid
Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu’i (w. 1992). Dalam pengantar al-
Qurannya, Bayãn fî Tafsîr al-Qur’ãn,70 al-Khu’i membantai gagasan
yang berkembang, baik di kalangan Syi‘ah sendiri maupun di
kalangan Sunni, tentang tahrîf al-Quran, dengan menganalisis
secara cermat pijakan-pijakan yang dikemukakan para pendukung
gagasan ini .
Otentisitas dan Integritas Mushaf Utsmani dalam
Pandangan Barat
Kajian-kajian modern tentang al-Quran di kalangan sarjana
Barat dalam kenyataannya belum memunculkan masalah serius
sehubungan dengan keaslian dan integritas al-Quran yang ada di
tangan kita dewasa ini. beberapa sarjana di kawasan matahari
terbenam ini memang telah mengajukan dugaan-dugaan tentang
pemalsuan bagian-bagian tertentu kitab suci ini yang
dilakukan secara sengaja, namun argumen-argumen yang
dikemukakan untuk menopang tuduhan itu tampaknya tidak
begitu substansial dan bisa dikesampingkan secara sederhana.
Sarjana Barat pertama yang secara ilmiah mengemukakan
dugaan kepalsuan bagian tertentu al-Quran adalah orientalis asal
Perancis, Silvestre de Sacy. Ia