n Allah beserta
permohonan agar perkaranya didengar di sana. Dengan ini sepertinya
ia hendak mengakhiri tuturannya. Namun ada lagi dosa tertentu,
sehingga ia menganggap perlu untuk membela diri tidak bersalah. Ia
membersihkan diri,
I. Dari tuduhan bersikap pura-pura dan munafik. Kejahatan umum
yang dituduhkan para sahabat Ayub terhadap dirinya yaitu
bahwa di balik topeng pengakuan beragama, ia telah menyem-
bunyikan sejumlah besar dosa tersembunyi, dan bahwa ia sebe-
narnya sama jahatnya dengan orang-orang lain, hanya saja ia me-
miliki keahlian untuk menutup-nutupinya. Zofar menyindirnya
(20:12), menyembunyikan kesalahannya di bawah lidahnya. “Tidak,”
kata Ayub, “aku tidak pernah melakukan itu (ay. 33), aku tidak
pernah menutupi pelanggaranku seperti manusia (KJV: Adam),
tidak pernah meringankan dosa dengan dalih-dalih tidak berarti,
atau membuat rangkaian daun ara untuk menutupi kemaluanku.
Aku juga tidak pernah menyembunyikan kesalahanku dalam hati-
ku bagaikan menyimpan benda kesayangan yang tidak mau aku
lepaskan, atau bagaikan barang curian yang membuatku takut
ketahuan.” Menutupi dosa kita merupakan sifat alami yang kita
warisi dari orangtua pertama kita. Kita enggan mengakui kesalah-
an kita, mau meringankan dosa-dosa kita, dan berusaha sedapat
mungkin untuk memindahkan kesalahan kepada orang-orang
lain, seperti yang dilakukan Adam kepada istrinya, bukan tanpa
memikirkan Allah dalam hatinya. Bagaimanapun, siapa menyem-
bunyikan pelanggarannya seperti itu tidak akan beruntung (Ams.
28:13). Melalui sanggahannya ini, Ayub menyiratkan dua hal yang
merupakan bukti nyata ketulusannya:
1. Bahwa ia tidak bersalah melakukan pelanggaran atau kejahat-
an besar, atau tidak memelihara ketulusannya, seperti yang
dituduhkan kepadanya dan ia yang ia sanggah mati-matian.
Dalam sanggahannya ini Ayub bersikap adil. Walaupun me-
nyangkali beberapa dosa, ia tidak sadar diri sehingga bisa
membuatnya melakukan dosa.
2. Bahwa jika ada suatu pelanggaran atau kejahatan dilakukan-
nya sebab tidak ada manusia yang tidak berdosa, ia senan-
tiasa siap mengakuinya. Begitu merasa bahwa apa yang dikata-
kan atau dilakukannya itu salah, ia selalu siap menarik kembali
perkataannya atau membatalkannya sedapat mungkin dengan
bertobat, mengakuinya baik di hadapan Allah maupun manu-
sia, dan meninggalkan dosa itu. Ini dilakukannya dengan terus
terang.
II. Dari tuduhan bersikap pengecut dan takut tanpa dasar. Keberani-
an dirinya terhadap apa yang baik dipakainya sebagai bukti
tentang ketulusannya (ay. 34): Apakah aku takuti khalayak ramai
... sehingga aku berdiam diri? Tidak, semua orang yang mengenal
Ayub tahu bahwa ia orang yang memiliki tekad tanpa rasa takut
dalam membela perkara yang benar. Ia berani tampil, berbicara,
dan bertindak demi membela agama dan keadilan. Ia tidak takut
kepada manusia dan tidak pernah merasa terancam atau digertak
sehingga meninggalkan kewajibannya, namun tetap tegar. Amati-
lah,
1. Betapa tinggi kesadaran Ayub dalam melaksanakan tugas se-
bagai hakim, atau sebagai seorang pemuka, di lingkungan
tempat ia tinggal. Ia tidak akan dan tidak berani berdiam diri
saat ia harus berbicara menangani perkara yang benar, atau
tidak keluar dari pintu rumahnya saat ia harus ke luar untuk
berbuat baik. Bisa saja terjadi bahwa kita justru berdosa saat
berdiam diri dan mengundurkan diri pada waktu kita terpang-
gil untuk mencela dosa dan memberikan kesaksian kita untuk
menentangnya, untuk mempertahankan kebenaran dan jalan-
jalan Allah, untuk membela keadilan orang-orang yang disakiti
atau ditindas, untuk melayani masyarakat atau membela ke-
hormatan agama kita.
2. Betapa Ayub tidak begitu mengindahkan hal-hal yang menge-
cilkan hati dalam melaksanakan tugasnya. Ia tidak peduli
dengan teriakan-teriakan orang banyak, tidak takut kepada
khalayak ramai, atau mundur akibat ancaman orang-orang
kuat: tidak pernah penghinaan kaum keluarga mengagetkan-
nya. Ia tidak bisa dihalangi oleh jumlah ataupun kecakapan,
cemooh ataupun penghinaan, atau bahaya yang dihadapi
sebab berlaku adil terhadap orang-orang yang disakiti. Tidak.
Ia menolak untuk dipengaruhi dan bersikap berat sebelah oleh
semua hal semacam itu, dan tidak pernah membiarkan per-
kara benar dikalahkan oleh suatu paksaan apa pun. Ia takut
kepada Allah yang perkasa, bukan kepada orang banyak, ke-
pada kutuk, bukan kepada penghinaan kaum keluarga.
III. Dari tuduhan telah melakukan penindasan, kekerasan, dan men-
jahati sesamanya yang miskin. Amatilah di sini,
1. Isi pembelaan dirinya, bahwa tanahnya diperoleh dan diguna-
kannya dengan jujur, sehingga ladangnya tidak bisa berteriak
sebab dia dan alur bajaknya menangis bersama-sama (ay. 38),
seperti yang dialami orang-orang yang mendapatkan harta
tanahnya melalui penipuan dan pemerasan (Hab. 2:9-11). Di-
katakan bahwa seluruh ciptaan mengerang di bawah dosa
manusia. Apa yang diperoleh dan disimpan dengan tidak adil,
berteriak-teriak kepada manusia dan menuduh dia, mengu-
tuknya, dan menuntut keadilan darinya atas kerugian yang
didatangkannya itu. Dosa penindasannya tidak akan lolos dari
hukuman, sehingga ladang serta alur-alur bajaknya bangkit
bersaksi melawan dia, dan menjadi penuntutnya. Ada dua hal
yang disampaikan Ayub dengan rasa aman mengenai harta
tanahnya:
(1) Bahwa ia tidak pernah memakan habis hasilnya dengan
tidak membayar (ay. 39). Apa yang dibelinya, pasti dibayar
lunas olehnya, seperti yang dilakukan Abraham dengan
tanah yang dibelinya (Kej. 23:16), dan juga Daud (2Sam.
24:24). Para pekerja yang dipekerjakan Ayub menerima gaji
seperti seharusnya, dan apabila ia memanfaatkan buah-
buah dari hasil ladang, ia membayar para penyewanya,
atau memotongnya dari ongkos sewa mereka.
(2) Bahwa Ayub tidak pernah menyebabkan para pemilik ta-
nah kehilangan nyawa mereka, tidak pernah mendapatkan
tanah seperti Ahab mendapatkan kebun anggur Nabot
dengan cara membunuh pewarisnya dan merampas waris-
annya. Ia tidak pernah membiarkan orang-orang yang me-
ngelola ladang-ladangnya itu mati kelaparan, atau membu-
nuh mereka dengan cara menawar dengan harga teramat
murah serta memanfaatkan mereka dengan semena-mena.
Tidak seorang pun penyewa, pekerja, atau hambanya dapat
mengeluh tentang Ayub.
2. Bagaimana Ayub meneguhkan pembelaannya. Seperti yang su-
dah sering terjadi, ia melakukannya dengan ucapan kutuk
yang sesuai (ay. 40): “Andai kata aku telah memperoleh tanah-
ku dengan tidak adil, maka biarlah bukan gandum yang tum-
buh, namun onak, gulma paling jahat dan bukannya gandum
terbaik.” saat manusia memperoleh tanah dengan cara tidak
adil, maka sudah sepantasnya kenyamanan yang dihasilkan
itu akan diambil dari mereka, sehingga pegharapan mereka di-
kecewakan. Mereka memang menabur benih di ladang mereka,
namun tidak menabur bakal tanaman yang seharusnya tum-
buh. Allah akan memberikan isi bagi benih. Yang ditaburkan
mereka benih gandum, namun yang tumbuh yaitu semak
duri. Apa yang diperoleh manusia dengan cara tidak jujur,
tidak akan pernah membawa kebaikan bagi mereka. Menjelang
akhir pembelaannya, Ayub naik banding ke kursi penghakim-
an Allah menyangkut kebenarannya (ay. 35-37): Ah, sekiranya
ada yang mendengarkan aku! Bahkan, Hendaklah Yang Maha-
kuasa menjawab aku! Hal inilah yang dirindukannya dan se-
ring dikeluhkannya sebagai sesuatu yang tidak dapat diper-
olehnya. Sekarang, sesudah ia mengajukan pembelaan dengan
begitu terperinci, ia meninggalkannya dalam bentuk catatan
dengan harapan akan didengar. Ia seolah-olah membuat ber-
kasnya, sampai perkaranya ditangani.
(1) Persidangan diajukan, didesak dengan sungguh: “Ah, sekira-
nya ada yang mendengarkan aku. Perkaraku begitu benar,
dan buktiku begitu jelas, hingga aku bersedia menyerahkan-
nya kepada orang biasa sekalipun. Namun, aku ingin agar
Yang Mahakuasa sendirilah yang akan menentukannya.”
Hati yang tulus tidak takut diteliti. Orang yang tulus ber-
harap mempunyai jendela di dadanya, supaya semua orang
bisa melihat maksud hatinya. Bagaimanapun, hati yang
tulus terutama ingin agar segala sesuatu ditentukan oleh
penghakiman Allah, yang kita yakini pasti sesuai dengan
kebenaran. Inilah doa kudus Daud, Selidikilah aku, ya
Allah, dan kenallah hatiku. Penghiburan Paulus yaitu ,
Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan.
(2) Sang penuntut dipanggil, dan penggugat dihadirkan serta
diperintahkan untuk memasukkan laporannya, untuk me-
nyampaikan apa yang perlu dikatakannya melawan sang
pesakitan, sebab ia membela kebebasannya: “Sekiranya
ada surat tuduhan yang ditulis lawanku. Sekiranya sahabat-
sahabatku yang telah menuduhku sebagai orang fasik mau
mencatat tuduhan mereka dalam bentuk tertulis, supaya
tuduhan itu dapat dipastikan, dan supaya kita bisa meng-
adili perkara itu dengan lebih baik.” Ayub akan sangat se-
nang melihat pernyataan tertulis, salinan dakwaan terhadap
dirinya itu. Ia tidak akan menyembunyikannya di bawah
ketiaknya, namun akan dia pikul, supaya bisa dilihat dan
dibaca semua orang, dan akan dia pakai bagaikan mahkota.
Ia senang memandangnya sebagai perhiasannya, sebab,
[1] Apabila surat itu mengungkapkan dosa yang telah di-
perbuat namun belum disadarinya, ia akan senang me-
ngetahuinya, supaya ia bisa menyesalinya dan beroleh
pengampunan. Orang yang baik bersedia mengetahui
hal terburuk pada dirinya, dan akan berterima kasih
kepada orang-orang yang dengan jujur mau memberi-
tahukan kesalahannya kepadanya.
[2] Apabila dakwaan itu ternyata palsu, ia tidak akan ragu
menyangkal pernyataan tanpa bukti itu, supaya keti-
dakbersalahannya dapat dibersihkan dalam terang, se-
hingga ia terbebas dengan kehormatan yang jauh lebih
besar lagi. Namun,
[3] Ayub percaya bahwa saat para lawannya telah menu-
lis semua dakwaan mereka dan memeriksa perkara itu
dengan begitu cermat seperti yang seharusnya mereka
lakukan, maka semua tuduhan mereka itu pasti akan
terbukti sepele dan kecil. Semua orang yang melihatnya
akan berkata, “Bila hanya inilah yang bisa mereka kata-
kan melawan Ayub, maka sungguhlah memalukan bah-
wa mereka telah begitu menyusahkan dia.”
(3) Sang terdakwa siap tampil dan mengikuti seluruh aturan
main yang jujur seperti yang mereka inginkan. Setiap lang-
kahnya akan diberitahukannya kepada mereka (ay. 37). Ia
akan mengajak mereka melihat sejarah kehidupannya sen-
diri. Ia akan menunjukkan kepada mereka semua tahap
dan kejadian di dalamnya. Ia akan menguraikan perilaku-
nya, apa saja yang bisa melawan dia dan juga yang mendu-
kungnya, lalu membiarkan mereka menilainya sesuka hati
mereka. Ayub begitu yakin akan ketulusannya, hingga
bagaikan seorang raja yang akan dimahkotai dan bukan se-
orang tawanan yang hendak diadili, ia akan menghadap
Dia, untuk mendengar tuduhan dari para pendakwanya
maupun untuk mendengar hukuman yang akan dijatuh-
kan Sang Hakim. Demikianlah kesaksian hati nuraninya
menjadi sukacitanya.
Hic murus aheneus esto, nil conscire sibi –
Kiranya ini menjadi benteng tembaga pertahananmu,
Untuk memelihara ketulusan hati nuranimu.
Orang-orang yang telah memelihara tangan mereka
tanpa cela di dunia ini seperti yang dilakukan Ayub, dapat
mengangkat wajah mereka tanpa cela kepada Allah, dan
dapat menghibur diri mereka dengan pengharapan akan
penghakiman-Nya saat mereka dikecam dengan tidak adil
oleh manusia. Jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka
kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah.
Sekianlah kata-kata Ayub. Yaitu, sekarang ia sudah
menyampaikan segala sesuatu yang hendak dikatakannya
untuk menjawab sahabat-sahabatnya. Sesudah itu ia me-
ngatakan sesuatu dengan nada mengecam dan menghu-
kum diri sendiri (40:4-5; 42:2 dst.), namun di sini ia meng-
akhiri apa yang hendak dikatakannya dengan nada mem-
bela dan membersihkan diri. Apabila ini masih belum cu-
kup juga, ia tidak akan berkata apa-apa lagi. Ayub tahu
apabila ia sudah berkata cukup banyak, dan akan tunduk
saja pada putusan pengadilan. Menurut beberapa penafsir,
cara Ayub mengutarakan pendapatnya menyiratkan bahwa
ia menutup tuturannya dengan nada yakin serta penuh
kemenangan. Sekarang ia menguasai medan tempur dan
tidak ragu akan memenangkannya. Siapakah yang akan
menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang mem-
benarkan mereka.
PASAL 32
ekarang panggung kosong, sebab Ayub dan tiga sahabatnya
telah duduk, dan baik dia maupun para sahabatnya itu tidak
punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Maka tepatlah kini waktunya
bagi seorang penengah untuk menyela, dan Elihulah orangnya. Da-
lam pasal ini, kita dapati,
I. Sedikit keterangan mengenai Elihu, asal-usulnya, kehadiran-
nya di tengah perbantahan ini, serta pandangannya menge-
nai perdebatan ini (ay. 1-5).
II. Permintaan maafnya sebab berani angkat bicara mengenai
topik yang telah dijabarkan secara cerdas dan panjang lebar
oleh mereka yang lebih tua (ay. 6-10). Elihu memberi alasan-
nya bahwa,
1. Meski belum berpengalaman seperti orang yang berumur
tinggi, dirinya memiliki pengertian seorang manusia (ay.
6-10).
2. Ia telah menyimak seluruh perkataan mereka dengan sa-
bar (ay. 11-13).
3. Ia memiliki sesuatu yang baru untuk diajukan (ay. 14-17).
4. Pikirannya sangat penuh dengan masalah yang diperde-
batkan ini, dan ia akan lega bila dapat menyalurkannya
(ay. 18-20).
5. Ia bertekad untuk berbicara tanpa memihak (ay. 21-22).
Dan, Elihu sungguh bertutur dengan amat baik hingga
Ayub tidak menjawab dia. Allah pun tidak menghardik
Elihu, saat ia menegur Ayub dan ketiga sahabatnya.
Tutur Kata Elihu
(32:1-5)
1 Maka ketiga orang itu menghentikan sanggahan mereka terhadap Ayub,
sebab ia menganggap dirinya benar. 2 Lalu marahlah Elihu bin Barakheel,
orang Bus, dari kaum Ram; ia marah terhadap Ayub, sebab ia menganggap
dirinya lebih benar dari pada Allah, 3 dan ia juga marah terhadap ketiga orang
sahabat itu, sebab mereka mempersalahkan Ayub, meskipun tidak dapat
memberikan sanggahan. 4 Elihu menangguhkan bicaranya dengan Ayub, ka-
rena mereka lebih tua dari pada dia. 5 namun setelah dilihatnya, bahwa mulut
ketiga orang itu tidak lagi memberi sanggahan, maka marahlah ia.
Pada umumnya, orang-orang muda berbantah dan yang lanjut usia
menengahi. Namun, dalam kasus ini, saat orang-orang tua yang
berbantah, seorang muda bangkit menjadi penengah, untuk menegur
mereka sebab menjadi panas hati, yang tidak patut bagi mereka.
Ada macam-macam teman Ayub yang hadir saat itu, yang datang
untuk menjenguk dia dan menerima pengajaran darinya. Nah, pada
ayat-ayat di atas, kita temukan:
I. Penyebab bungkamnya tiga sahabat Ayub. Ketiga orang itu meng-
hentikan sanggahan mereka terhadap Ayub, dan membiarkannya
berbicara, sebab ia menganggap dirinya benar. Inilah alasannya
mereka berhenti berbicara, sebab percuma saja berbantah dengan
orang yang keras kepala (ay. 1). Orang yang sok tahu memang
sulit dibentuk. Ada lebih banyak harapan bagi orang yang bebal,
sebab perbuatan Allah, daripada bagi orang yang bebal yang
membebalkan dirinya sendiri (Ams. 26:12). Namun, mereka ber-
tiga keliru menilai Ayub: ia memang sungguh benar di hadapan
Allah, bukan semata benar di matanya sendiri. Jadi, sebenarnya
demi menyelamatkan nama baik sendirilah mereka membuat
alasan untuk berdiam diri. Hal ini biasanya dilakukan oleh pihak
yang bertikai saat mereka sudah kehabisan kata-kata namun tidak
mau mengaku bahwa mereka tidak mampu berdebat lagi.
II. Alasan Elihu, si orang keempat, berbicara. Nama Elihu artinya
Allahku ialah Dia. Tiga orang lainnya telah sia-sia saja berusaha
meyakinkan Ayub, namun Allahku ialah Dia mampu dan akan me-
lakukannya, dan akhirnya berhasil pula. Hanya Dia yang dapat
membuka pengertian manusia. Dikatakan bahwa Elihu yaitu
orang Bus, putra kedua Nahor (Kej. 22:21), dan dari kaum Ram,
yaitu Aram (menurut sebagian penafsir), bapa leluhur orang Aram
sekaligus asal-usul nama bangsa itu (Kej. 22:21). Alkitab versi
bahasa Kasdim menuliskan “dari kaum Abram,” sebab menduga
bahwa nama Abram mula-mula yaitu Ram – artinya yang luhur,
lalu berubah menjadi Abram – bapa yang luhur, dan terakhir men-
jadi Abraham – bapa yang luhur atas banyak bangsa. Elihu tidak
begitu terkenal seperti yang lainnya sehingga ia perlu dijabarkan
secara khusus.
1. Elihu berbicara sebab dia marah dan merasa kemarahannya
beralasan. Setelah menyimak perdebatan Ayub dan kawan-
kawannya, ia tidak pergi dari situ lalu memfitnah mereka di
luar, membicarakan hal-hal yang buruk di belakang. Sebalik-
nya, ia merasa perlu menyampaikan apa yang ingin ia katakan
langsung di hadapan mereka, supaya mereka dapat membela
diri jika bisa.
(1) Elihu marah kepada Ayub sebab menurutnya Ayub tidak
berbicara dengan hormat tentang Allah sebagaimana mesti-
nya, dan hal itu memang benar (ay. 2): ia menganggap diri-
nya lebih benar dari pada Allah, yaitu, Ayub lebih meng-
utamakan untuk membersihkan dirinya dari tuduhan bah-
wa ia fasik sehingga tertimpa penderitaan, daripada mem-
bersihkan nama Allah dari tuduhan berlaku tidak adil
dalam membuatnya menderita. Ayub tampak lebih peduli
pada kehormatannya sendiri daripada kehormatan Allah,
padahal seharusnya ia mengutamakan untuk membenar-
kan Allah dan memuliakan Dia, baru kemudian membiar-
kan nama baiknya pulih dengan sendirinya. Perhatikanlah,
hati yang penuh anugerah akan mengutamakan kehormat-
an Allah dan marah bila kehormatan-Nya diabaikan, dike-
sampingkan, atau dinista. Kita tidak melanggar hukum
kelemahlembutan bila marah kepada teman kita saat mere-
ka menghina Allah. “Enyahlah Iblis,” demikian kata Kristus
kepada Simon. Elihu mengakui bahwa Ayub yaitu se-
orang yang baik, namun ia tidak akan menyetujui perkataan
Ayub yang menurutnya keliru. Tidak menegur kesalahan
teman yaitu pujian yang keterlaluan.
(2) Elihu marah kepada teman-teman Ayub, sebab menurut-
nya mereka tidak bermurah hati kepada Ayub sebagaimana
seharusnya (ay. 3): mereka mempersalahkan Ayub, meski-
pun tidak dapat memberikan sanggahan. Mereka mengha-
kimi Ayub sebagai orang munafik, fasik, dan tidak mau me-
narik tuduhan itu. Ditambah lagi, mereka tidak dapat
membuktikan tuduhan mereka ataupun menyanggah bukti-
bukti yang dikemukakan Ayub mengenai kesalehannya.
Tiga orang itu tidak mampu membuktikan dasar pemikiran
mereka, namun berpegang teguh pada kesimpulan yang me-
reka buat. Mereka tidak dapat menjawab penjelasan Ayub,
namun tidak mau menyerah. Benar ataupun salah, mereka
tetap menekan dia. Itu tidak adil. Jarang ada pertengkaran
yang timbul dan berlangsung hingga lama seperti ini tanpa
ada pihak yang salah. Sebagai penengah, Elihu tidak ber-
pihak kepada siapa pun, melainkan sama-sama kesal ter-
hadap kekeliruan dan tingkah laku kedua belah pihak.
Barang siapa tulus hati mencari kebenaran, ia tidak boleh
berpihak dalam penilaiannya mengenai pihak-pihak yang
bertikai, serta tidak boleh menyangkal apa yang benar dan
baik pada pihak mana pun demi menemukan apa yang sa-
lah. Ia juga tidak boleh menyetujui atau membela apa yang
salah demi kepentingan kebenaran dan kebaikan. Ia harus
belajar memisahkan yang baik dari yang jahat.
2. Elihu berbicara sebab pikirnya itu waktu yang tepat, dan su-
dah tiba gilirannya untuk bersuara (ay. 4-5).
(1) Ia telah menunggu Ayub berkata-kata, menyimaknya de-
ngan sabar hingga tutur kata Ayub selesai.
(2) Ia telah menunggu sampai kawan-kawan Ayub diam, su-
paya tidak memotong dan menghalangi mereka, bukan ka-
rena orang-orang itu lebih bijak daripada Elihu, melainkan
sebab mereka lebih tua, maka sepantasnyalah mereka
berbicara lebih dahulu. Elihu amat rendah hati, ia tidak
mau mengurangi hak mereka. Ada aturan-aturan keutama-
an yang harus dijalankan demi terjaganya keteraturan.
Meskipun kehormatan batin yang nyata akan selalu meng-
ikuti hikmat dan kelayakan yang sejati, namun sebab
setiap orang merasa dirinya atau kawannya sendiri yang
paling bijak dan paling layak, maka diperlukan aturan ter-
tentu untuk menjaga kehormatan lahiriah, sehingga diber-
lakukanlah keutamaan berdasarkan usia atau tingkat ke-
dudukan. Dengan cara itu, mereka yang senior lebih ber-
hak sebab mereka sudah menjalankan kewajiban yang
sama semasa mereka masih muda atau masih menduduki
jabatan lebih rendah. Sementara yang sekarang lebih muda
atau rendah patut mengalah sebab nantinya mereka juga
akan mendapatkan hak keutamaan itu saat menjadi senior.
Tutur Kata Elihu
(32:6-14)
6 Lalu berbicaralah Elihu bin Barakheel, orang Bus itu: “Aku masih muda
dan kamu sudah berumur tinggi; oleh sebab itu aku malu dan takut menge-
mukakan pendapatku kepadamu. 7 Pikirku: Biarlah yang sudah lanjut usia-
nya berbicara, dan yang sudah banyak jumlah tahunnya memaparkan hik-
mat. 8 namun roh yang di dalam manusia, dan nafas Yang Mahakuasa, itulah
yang memberi kepadanya pengertian. 9 Bukan orang yang lanjut umurnya
yang mempunyai hikmat, bukan orang yang sudah tua yang mengerti keadil-
an. 10 Oleh sebab itu aku berkata: Dengarkanlah aku, akupun akan menge-
mukakan pendapatku. 11 Ketahuilah, aku telah menantikan kata-katamu,
aku telah memperhatikan pemikiranmu, hingga kamu menemukan kata-kata
yang tepat. 12 Kepadamulah kupusatkan perhatianku, namun sesungguhnya,
tiada seorangpun yang mengecam Ayub, tiada seorangpun di antara kamu
menyanggah perkataannya. 13 Jangan berkata sekarang: Kami sudah men-
dapatkan hikmat; hanya Allah yang dapat mengalahkan dia, bukan manusia.
14 Perkataannya tidak tertuju kepadaku, dan aku tidak akan menjawabnya
dengan perkataanmu.
Dalam ayat-ayat di atas tampaklah bahwa Elihu:
I. Seorang yang sangat sopan dan rendah hati. Walaupun masih
muda dan cakap, ia tidak berbuat semaunya sendiri, sombong,
ataupun berlagak. Wajahnya bercahaya dan ia tidak menyadari-
nya, seperti Musa, sehingga lebih teranglah cahaya itu. Kiranya
semua orang, terutama para pemuda, memperhatikan dan mene-
ladani hal ini.
1. Elihu merendahkan dirinya dan penilaiannya sendiri (ay. 6):
“Aku masih muda; oleh sebab itu aku malu dan takut mengemu-
kakan pendapatku kepadamu, sebab aku khawatir akan keliru
atau melakukan sesuatu yang tidak pantas.” Ia sungguh-sung-
guh memperhatikan semua yang telah berlangsung dan memi-
kirkan dengan teliti segala yang didengarnya, sehingga ia
dapat membangun penilaian tentang semua itu. Elihu tidak
mengabaikannya sebagai gagasan pemikiran yang asing, tidak
pula menolaknya sebab dianggap rumit. Walaupun demikian,
sejelas apa pun perkara itu baginya, ia takut menyampaikan
pendapat, sebab pandangannya berbeda dengan mereka yang
lebih tua. Perhatikanlah, kita wajib waspada menilai pemikiran
kita mengenai hal-hal yang menjadi perdebatan, harus lebih
cepat untuk mendengar pendapat orang lain dan lambat untuk
menyampaikan pendapat kita sendiri, apalagi bila pendapat
kita bertentangan dengan pandangan orang lain yang kita
hormati sebab lebih saleh dan berpengalaman.
2. Elihu sangat menyegani orang yang lebih tua dan berharap
banyak kepada mereka (ay. 7): Pikirku: Biarlah yang sudah
lanjut usianya berbicara. Perhatikanlah, umur serta pengalam-
an memberikan orang wawasan besar untuk menilai berbagai
hal. Kedua hal itu mengisi manusia dengan banyak bahan per-
timbangan yang mematangkan dan meningkatkan kemampu-
an berpikirnya. Itulah sebabnya orang-orang tua harus ber-
upaya untuk belajar sekaligus mengajar orang lain, bila tidak,
maka tingginya umur hanya akan mempermalukan mereka.
Itu pula sebabnya orang-orang muda harus mendengarkan
pengarahan orang tua. yaitu baik untuk menumpang di
rumah orang yang sudah lama menjadi murid (Kis. 21:16; Tit.
2:4). Kerendahan hati Elihu tampak dalam kesabarannya me-
nyimak perkataan orang-orang yang lebih tua itu (ay. 11-12).
Ia menantikan ucapan mereka dengan penuh pengharapan.
Didengarkannya pertimbangan mereka supaya dapat mema-
hami artinya serta mengerti alur pengajaran dan kekuatan pe-
maparan mereka. Elihu menyimak orang-orang tua itu dengan
tekun dan teliti,
(1) Sekalipun mereka lambat dan memerlukan waktu sangat
lama untuk menemukan apa yang hendak dikatakan. Wa-
laupun mereka sering kali harus mencari penjelasan dan
kata-kata yang tepat, berhenti sejenak dan ragu, serta
kurang sigap dalam berbicara, Elihu mengabaikan semua
itu dan memperhatikan pemikiran mereka. Bila pemikiran
mereka benar-benar meyakinkan, Elihu tidak akan mere-
mehkannya sedikit pun hanya sebab cara penyampaian-
nya yang kurang.
(2) Meskipun mereka berbicara dengan sembarangan tanpa
tujuan jelas, dan walau tidak seorang pun menyanggah
Ayub ataupun mengucapkan sesuatu yang tepat untuk me-
yakinkannya, namun Elihu tetap mendengarkan mereka
dengan harapan mereka akhirnya mencapai suatu kesepa-
katan. Sering kali kita harus mau mendengarkan apa yang
tidak kita sukai, kalau tidak kita tidak dapat membuktikan
apa-apa. Kesabaran Elihu dalam menyimak penuturan
orang-orang itu menjadi dasar untuk
[1] Memberi dirinya kebebasan berbicara pada gilirannya
dan membuatnya berhak meminta perhatian mereka.
Hanc veniam petimusque damusque vicissim – kita saling
memberi dan meminta kebebasan. Siapa yang sudah
mendengar boleh berbicara, dan yang sudah belajar
boleh mengajar.
[2] Membuat Elihu mampu menilai perkataan mereka. Ia
telah memperhatikan maksud mereka sehingga tahu
jawaban apa yang harus diberikan. Marilah kita meng-
hargai pandangan sesama kita sebelum mengkritik me-
reka. Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mende-
ngar, atau baru mendengar sebagian saja, itulah kebo-
dohan dan kecelaannya, dan itu membuktikan bahwa
dia kurang sopan dan angkuh.
II. Seorang yang berakal sehat sekaligus berani. Ia juga tahu kapan
dan bagaimana harus berbicara, kapan dan bagaimana harus ber-
diam diri. Elihu sangat menghormati kawan-kawannya sehingga
tidak mau memotong pembicaraan mereka, namun ia juga sangat
menghargai kebenaran dan keadilan (sahabatnya yang lebih baik)
sehingga tidak mau tinggal diam membiarkan kebenaran itu di-
salahi. Dengan berani, Elihu menegaskan bahwa,
1. Manusia yaitu makhluk yang berakal budi. Jadi, setiap orang
memiliki kebijaksanaan untuk menilai dan berhak mendapat-
kan kebebasan berbicara pada gilirannya. Ia punya maksud
yang sama dengan Ayub, Aku pun mempunyai pengertian,
sama seperti kamu (12:3), saat berkata, “Roh yang di dalam
manusia, itulah yang memberi kepadanya pengertian” (ay. 8).
Hanya saja, Elihu mengutarakannya dengan lebih rendah hati,
yakni bahwa setiap manusia memiliki pengertian sama seperti
orang lain juga, dan tidak seorang pun bisa mengaku dirinya
sebagai satu-satunya yang berakal budi ataupun menguasai
semuanya. Seandainya maksud perkataan Elihu yaitu , “Aku
juga mendapat pewahyuan, sama seperti kamu,” (demikian pe-
nafsiran sebagian orang), maka ia harus membuktikannya.
Namun, jika maksudnya hanyalah “Aku juga memiliki akal
budi, sama seperti kamu,” maka mereka tidak dapat menyang-
kalnya, sebab akal budi yaitu kehormatan milik semua ma-
nusia. Dan mengakuinya bukanlah suatu kesombongan, dan
mereka pun tidak bisa membantahnya (ay. 10): Oleh sebab itu
aku berkata: Dengarkanlah aku. Dari ayat ini, pelajarilah
(1) Jiwa manusia yaitu roh (ay. 8), bukan benda dan tidak
bergantung kepada kebendaan, namun mampu mengolah
hal-hal yang rohani, yang tidak dapat dicerna oleh indra.
(2) Jiwa itu yaitu roh yang berpengertian. Ia mampu mene-
mukan dan menerima kebenaran, membicarakannya dan
menelitinya, dan mengarahkan serta memimpin berdasar-
kan kebenaran itu.
(3) Roh berpengertian itu ada dalam setiap manusia. Itulah
terang yang menerangi setiap orang (Yoh. 1:9).
(4) Wahyu dari Allah Yang Mahakuasalah yang memberi kita
roh pengertian. Sebab Dialah Bapa segala roh dan sumber
pengertian (Lih. Kej. 2:7; Pkh. 12:7; Za. 12:1).
2. Orang yang lebih berhasil dan maju dalam hal kebesaran dan
ketenaran tidak selalu lebih unggul dalam pengetahuan dan
hikmat (ay. 9): Bukan orang yang lanjut umurnya (KJV: orang
besar) yang mempunyai hikmat. Sungguh disayangkan me-
mang, namun begitulah kenyataannya, supaya dengan demi-
kian mereka tidak akan pernah menyalahgunakan kebesaran
dan akan lebih banyak berbuat kebaikan dengan hikmat mere-
ka. Manusia seharusnya lebih diutamakan sebab hikmatnya,
dan barang siapa memiliki kehormatan dan kuasa, merekalah
yang paling memerlukan hikmat serta paling banyak berke-
sempatan untuk memanfaatkannya. Namun, tidak berarti
bahwa orang-orang besar pasti selalu bijaksana. sebab itu,
yaitu tindakan bodoh bila kita sepenuhnya tunduk mutlak
pada perkataan mereka. Orang yang tua tidak selalu mengerti
bagaimana menilai dengan benar, mereka pun bisa salah, jadi
janganlah memaksakan setiap kepala untuk patuh kepada
mereka. Malahan, oleh sebab itulah orang-orang tua tidak
boleh merasa terhina bila ada yang menentang pendapatnya,
melainkan menganggap ajaran orang muda sebagai kebaikan
bagi mereka. Oleh sebab itu aku berkata: Dengarkanlah aku
(ay. 10). Kita harus bersedia mendengarkan pemikiran orang-
orang yang lebih rendah daripada kita dalam hal apa pun serta
menerimanya. Orang yang bermata sehat bisa melihat lebih
jauh ke depan saat ia berdiri di tanah datar, daripada orang
rabun yang melihat dari puncak gunung tertinggi. Lebih baik
seorang muda miskin namun berhikmat dari pada seorang raja
tua namun bodoh (Pkh. 4:13).
3. Harus ada sesuatu yang dikatakan untuk menjernihkan seng-
keta tersebut, sebab sejauh ini, semua yang telah mereka
ucapkan hanya menambah kerumitan dan membingungkan
(ay. 13): “Aku harus berbicara. Jangan berkata sekarang: Kami
sudah mendapatkan hikmat. Jangan beranggapan bahwa pen-
dapat kalian terhadap Ayub sudah mutlak dan tidak terban-
tahkan. Jangan pula berpikir bahwa Ayub hanya bisa diyakin-
kan dan ditundukkan oleh perkataanmu, bahwa hanya Allah
yang dapat mengalahkan dia, bukan manusia. Janganlah ber-
anggapan bahwa penderitaan yang luar biasa ini bukti bahwa
Allah memusuhinya, sehingga dengan demikian pastilah ia
seorang yang fasik. Aku harus menunjukkan bahwa dugaan
itu keliru dan Ayub dapat diyakinkan tanpa memaksakan pen-
dapat tersebut.” Atau, “Jangan berpikir bahwa kalian sudah
menemukan cara yang paling bijak, untuk tidak perlu lagi
berdebat dengan Ayub, melainkan menyerahkan kepada Allah
yang akan mengalahkan dia.” Saat kita mendengar kekeliruan
berkembang dan diperdebatkan, terutama dengan alasan un-
tuk membela perkara Allah, maka itulah waktunya kita angkat
bicara. Saat keadilan Allah disebut-sebut untuk membenarkan
keangkuhan dan amarah manusia, saat penghakiman Allah
dibawa-bawa sebagai alasan demi mendukung tuduhan yang
tidak adil terhadap sesama manusia, itulah waktunya kita
harus berbicara bagi Allah.
4. Elihu memiliki pemikiran baru untuk diajukan dan ia akan
berusaha membereskan perbantahan itu dengan cara yang
lebih baik daripada yang sudah dilakukan selama itu (ay. 14).
Elihu merasa dirinya akan didengarkan dengan baik sebab:
(1) Ia tidak akan menyanggah pernyataan Ayub tentang kesa-
lehannya, namun menerima kebenaran pernyataan itu, dan
sebab itu tidak menempatkan diri sebagai lawan Ayub.
“Perkataannya tidak tertuju kepadaku. Aku tidak hendak
menyanggah topik utama penuturannya, dan aku pun se-
pendapat dengan prinsip-prinsipnya. Aku hanya ingin se-
dikit mengingatkan Ayub atas ucapannya yang penuh
amarah.”
(2) Elihu tidak akan mengulangi pendapat kawan-kawan Ayub
ataupun mendukung prinsip mereka. “Aku tidak akan men-
jawabnya dengan perkataanmu, yaitu tidak dengan bahan
pembicaraan yang sama, sebab bila aku hanya mengulangi
apa yang sudah dikatakan, silakanlah menyuruhku diam
sebab ucapanku percuma saja. Aku tidak akan marah dan
jengkel terhadap Ayub, seperti yang kalian lakukan terha-
dap Ayub, yang tidak kusukai pada diri kalian.” Orang
bijak akan meninggalkan persoalan yang sudah selesai di-
tangani, kecuali bila ia dapat mengubah dan memperbaiki
apa yang sudah dilakukan. Untuk apa dia actum agere –
mengerjakan yang sudah selesai dikerjakan?
Tutur Kata Elihu
(32:15-22)
15 Mereka bingung, mereka tidak dapat memberi sanggahan lagi, mereka
tidak dapat berbicara lagi. 16 Haruskah aku menunggu, sebab mereka putus
bicara, sebab mereka berdiri di sana dan tidak memberi sanggahan lagi?
17 Akupun hendak memberi sanggahan pada giliranku, akupun akan menge-
mukakan pendapatku. 18 sebab aku tumpat dengan kata-kata, semangat
yang ada dalam diriku mendesak aku. 19 Sesungguhnya, batinku seperti ang-
gur yang tidak mendapat jalan hawa, seperti kirbat baru yang akan meletup.
20 Aku harus berbicara, supaya merasa lega, aku harus membuka mulutku
dan memberi sanggahan. 21 Aku tidak akan memihak kepada siapapun dan
tidak akan menyanjung-nyanjung siapapun, 22 sebab aku tidak tahu me-
nyanjung-nyanjung; jika demikian, maka segera Pembuatku akan mencabut
nyawaku."
Ada tiga hal yang dapat memaafkan tindakan Elihu yang menengahi
perdebatan yang sudah sedemikian memanas oleh pihak-pihak ter-
pelajar ini:
1. Panggung perdebatan sudah kosong, dan sebab itu ia tidak me-
nyerobot pembicaraan pihak mana pun: Mereka bingung (ay. 15),
mereka berdiri di sana dan tidak memberi sanggahan lagi (ay. 16).
Mereka bukan hanya berhenti berbicara, namun berdiri diam,
menunggu bila ada yang hendak mengutarakan pendapat. Jadi,
Elihu memiliki ruang dan giliran yang adil diberikan kepadanya.
Teman-teman Ayub pun tampaknya tidak puas dengan perkataan
mereka sendiri, seandainya mereka puas, tentu mereka sudah
bubar, bukannya berdiri diam menanti apa yang mungkin diaju-
kan oleh orang lain. Itu sebabnya Elihu berkata (ay. 17), “Akupun
hendak memberi sanggahan pada giliranku. Aku tidak berlagak
dapat memberi putusan yang pasti. Tidak, penghakiman yaitu
milik Tuhan, dan Dialah yang menentukan siapa yang benar dan
siapa yang salah. Namun, sebab kalian telah mengemukakan
pendapat masing-masing, aku juga akan mengutarakan penda-
patku. Biarlah pendapatku ini dinilai bersama dengan yang lain-
nya.” saat suatu hal diajukan dengan amat rendah hati, meski
oleh orang yang paling rendah sekalipun, pendapat itu pantas
didengar dan dipertimbangkan dengan adil. Menurut saya, patut
diduga bahwa Elihulah penulis kitab ini, seperti dapat terlihat
dari tuturannya. Dia menulis sebagai sejarawan yang mengung-
kapkan fakta, sehingga setelah ia meminta perhatian mereka
seperti tertulis dalam ayat-ayat sebelumnya, mereka pun bingung,
mereka berhenti berbisik-bisik, dan tidak membantah kebebasan
berbicara yang diminta Elihu. Mereka hanya berdiri diam untuk
mendengar apa yang hendak dia katakan sebab terkesima
dengan keberanian sekaligus kerendahan hati yang tampak dalam
kata-kata pendahuluannya.
2. Elihu gelisah, bahkan tertekan oleh pemikiran yang ingin dike-
luarkannya mengenai perkara tersebut. Mereka harus membiar-
kannya bicara, sebab ia tidak dapat menahannya. saat ia me-
nyala seperti api, saat berkeluh kesah (Mzm. 39:4, KJV: mere-
nungkannya, api membakarnya), terkurung dalam tulang-tulangnya
(Yer. 20:9). Seperti wanita menyusui yang dibebat dadanya tidak
akan tahan membiarkannya terlalu lama, demikianlah Elihu tidak
tahan untuk mencurahkan pikirannya mengenai perkara Ayub
(ay. 18-20). Bila pihak-pihak yang berbantah itu telah membahas
pokok perkara yang dianggap tepat oleh Elihu, ia akan tinggal
diam saja. Namun, sebab pikirnya mereka semua melewatkan-
nya, ia pun ingin mencoba menggarapnya. Elihu mengemukakan,
(1) Bahwa ada banyak sekali yang ingin disampaikannya, “Aku
tumpat dengan kata-kata, penuh kepalaku dengan masalah
yang diperdebatkan, setelah menyimak semua yang telah di-
bicarakan sejauh ini dan merenungkannya.” saat orang-
orang yang tua telah kehabisan bahan pengajaran tentang
Penyelenggaraan ilahi, Allah bisa membangkitkan orang lain,
bahkan orang muda sekalipun, dan mengisi diri mereka de-
ngan bahan untuk mendidik jemaat-Nya. Sebab topik itu tidak
akan pernah mati meski orang-orang yang mengajarkannya
mati.
(2) Bahwa ia wajib menyampaikannya, “Semangat yang ada dalam
diriku bukan hanya menunjukkan apa yang harus dikatakan,
namun juga mendorongku untuk mengatakannya. Jadi, bila
aku tidak mengeluarkannya (kepalaku seperti sedang diragi-
kan dan mengembang), aku seperti kirbat baru yang akan
meletup (ay. 19). Lihatlah, seorang hamba Tuhan yang baik
akan sangat berdukacita bila ia dibungkam dan dipaksa diam
di sudut. Pikirannya penuh, penuh dengan Kristus, penuh de-
ngan sorga, dan ingin menyampaikan semua itu demi kebaik-
an orang lain, namun tidak dapat.
(3) Bahwa jika Elihu bisa menyampaikan pikirannya, ia akan me-
rasa lega dan puas (ay. 20). Aku harus berbicara, supaya me-
rasa lega, bukan hanya lega dari tekanan menahan isi pikir-
annya, namun juga lega sebab telah berusaha melakukan yang
baik sesuai dengan posisi dan kemampuannya. Bagi orang
saleh, kebebasan berbicara demi kemuliaan Allah dan pertum-
buhan sesama merupakan suatu kelegaan besar.
3. Dengan sebebas dan setulus-tulusnya Elihu sudah membulatkan
hati untuk mengucapkan apa yang menurutnya benar, bukan
yang menurutnya bisa menyenangkan pendengar (ay. 21-22),
“Aku tidak akan memihak kepada siapapun, seperti para hakim
yang memihak dengan tujuan memperkaya diri, bukan menegak-
kan keadilan. Aku tidak akan menyanjung-nyanjung siapa pun.” Ia
tidak akan mengucapkan selain apa yang dipikirkannya, sebab
(1) Rasa kasihan kepada Ayub, sebab ia malang dan menderita. Ia
tidak akan mengatakan bahwa keadaan Ayub lebih baik dari-
pada yang dipikirkannya hanya sebab takut membuat Ayub
semakin berduka. “Dia harus diberitahu kebenarannya, biar-
lah dia menanggung itu semampunya.” Orang yang sedang ke-
susahan tidak boleh disanjung-sanjung, ia harus mendengar
apa yang benar. saat masalah menimpa seseorang, yaitu
tindakan bodoh bila kita menimpakan dosa kepada mereka
sebab kasihan (Im. 19:17), sebab tindakan itu sungguh me-
nambah hal yang terburuk atas persoalan mereka. Janganlah
memihak kepada orang miskin dalam perkaranya, jangan pula
menjatuhkannya (Kel. 23:3). Janganlah memihak kepada yang
bertampang memelas lebih daripada yang bertampang som-
bong sehingga keadilan diperkosa, sebab itu namanya meman-
dang muka.
(2) Atau juga sebab hendak menyanjung teman-teman Ayub,
sebab mereka makmur dan memiliki nama baik. Janganlah
mereka berharap Elihu akan menyampaikan hal-hal yang
mendukung perkataan mereka, sebab ia hanya menerima apa
yang dianggapnya benar. Elihu juga tidak akan memuji peng-
ajaran mereka hanya sebab martabat mereka. Tidak. Meski-
pun Elihu masih muda, ia tidak akan menutupi kebenaran
untuk menyanjung orang-orang besar demi kepentingannya
sendiri. Keputusannya amatlah baik, “Aku tidak tahu menyan-
jung-nyanjung. Aku tidak pernah membiasakan diri dengan
bahasa yang menyanjung-nyanjung.” Dan alasannya pun amat-
lah baik, “Jika demikian, maka segera Pembuatku akan men-
cabut nyawaku. Baiklah kita tetap gentar dengan rasa takut
yang kudus terhadap penghakiman Allah. Dia yang menjadi-
kan kita akan menghempaskan kita dalam murka-Nya, bila
kita tidak berperilaku sebagaimana mestinya. Dia membenci
segala kepalsuan dan sanjungan, dan Dia akan segera menge-
rat segala bibir yang manis dan setiap lidah yang bercakap
besar (Mzm. 12:4). Semakin dekat kita memandang kemuliaan
Allah Sang Pencipta, dan semakin gentar kita akan murka
serta keadilan-Nya, maka semakin terhindar pula kita dari ba-
haya dosa menyanjung manusia atau sikap takut akan manu-
sia.
PASAL 33
ata pengantar yang megah, seperti gunung kokoh, sering meng-
awali penampilan yang buruk. namun tuturan Elihu di sini tidak
mengecewakan harapan yang diangkat dalam kata pengantarnya.
Tuturannya padat berisi, bersemangat, dan sangat sesuai dengan
pokok bahasan. Dalam pasal sebelumnya dia telah mengatakan apa
yang harus dikatakan kepada ketiga sahabat Ayub. Dan sekarang
tiba gilirannya menghadapi Ayub sendiri dan menujukan perkataan-
nya kepadanya.
I. Ia meminta Ayub untuk berkenan menerima apa yang akan di-
katakannya, dan berharap Ayub menerimanya sebagai orang
yang sudah begitu sangat sering diharapkannya, yang mem-
bela perkaranya dan menerima pembelaannya atas nama Allah
(ay. 1-7).
II. Atas nama Allah Elihu menyanggah Ayub, sebab kata-kata
yang diucapkannya, di tengah panasnya perdebatan, menyin-
dir Allah telah beperkara secara keras dengannya (ay. 8-11).
III. Elihu berusaha untuk meyakinkan Ayub akan kesalahan dan
kebodohannya, dengan memperlihatkan kepadanya,
1. Kedaulatan Allah atas manusia (ay. 12-13).
2. Kepedulian Allah terhadap manusia dan berbagai cara dan
sarana yang dipakai -Nya untuk melakukan kebaikan
bagi jiwanya. Jadi beralasan bagi kita untuk merenungkan
bahwa hal inilah juga untuk dirancangkan-Nya saat Ia
menimpakan penderitaan badan ke atas diri Ayub (ay. 14).
(1) Ayub kadang-kadang mengeluh tentang mimpi-mimpi
buruknya (7:14). “Mengapa,” tanya Elihu, “Allah ka-
dang-kadang menginsafkan dan mengajari manusia
melalui mimpi-mimpi yang demikian,“ (ay. 15-18).
(2) Ayub secara khusus mengeluh tentang penyakit dan
rasa sakitnya. Dan, berkenaan dengan hal ini, Elihu
menunjukkan bahwa semua sakit penyakit itu yaitu
jauh dari sebagai tanda murka Allah, seperti yang di-
duga oleh Ayub. Juga, itu bukanlah bukti-bukti kemu-
nafikan Ayub, seperti yang dituduhkan oleh teman-
teman Ayub. Sebaliknya, sakit penyakit itu sungguh
merupakan cara yang bijaksana dan penuh anugerah
yang dipakai anugerah ilahi untuk meningkatkan pe-
ngenalan Ayub akan Allah, untuk menghasilkan kesa-
baran, pengalaman, dan pengharapan (ay. 19-30). Dan
akhirnya, Elihu mengakhiri tuturannya dengan se-
buah permohonan kepada Ayub, untuk menjawabnya
atau memberi dia izin untuk melanjutkan (ay. 31-33).
Tutur Kata Elihu
(33:1-7)
1 “Akan namun sekarang, hai Ayub, dengarkanlah bicaraku, dan bukalah te-
lingamu kepada segala perkataanku. 2 Ketahuilah, mulutku telah kubuka,
lidahku di bawah langit-langitku berbicara. 3 Perkataanku keluar dari hati
yang jujur, dan bibirku menyatakan dengan terang apa yang diketahui. 4 Roh
Allah telah membuat aku, dan nafas Yang Mahakuasa membuat aku hidup.
5 Jikalau engkau dapat, jawablah aku, bersiaplah engkau menghadapi aku,
pertahankanlah dirimu. 6 Sesungguhnya, bagi Allah aku sama dengan eng-
kau, aku pun dibentuk dari tanah liat. 7 Jadi engkau tak usah ditimpa ke-
gentaran terhadap aku, tekananku terhadap engkau tidak akan berat.
Beberapa alasan dipakai Elihu di sini untuk membujuk Ayub untuk
tidak hanya mendengarkan dia dengan sabar, namun juga untuk per-
caya bahwa dia bermaksud baik baginya dan sebab itu kiranya mau
berbaik hati menyambutnya. Juga Elihu meminta Ayub agar bersedia
menerima petunjuk yang hendak diberikan kepadanya. Kiranya Ayub
mempertimbangkan,
1. Bahwa Elihu tidak ikut bersama dengan tiga sahabatnya untuk
menentangnya. Dalam pasal sebelumnya Elihu telah menyatakan
ketidaksenangannya terhadap tindakan mereka, menyanggah du-
gaan mereka, dan menolak cara yang mereka ambil untuk me-
nyembuhkan Ayub. “Akan namun sekarang, hai Ayub, dengarkan-
lah bicaraku (ay. 1). Mereka semua memiliki nada lagu yang sama,
semuanya berbicara dengan tekanan yang sama. namun aku mau
mencoba suatu perkataan yang baru, sebab itu bukalah telinga-
mu kepada segala perkataanku, jangan sebagian saja.” Sebab kita
tidak dapat menilai sebuah percakapan kecuali kita menerima
seluruhnya dan mendengarkan semuanya.
2. Bahwa Elihu bersungguh-sungguh dalam berkata-kata, tidak ha-
nya sekadar memasukkan kata-kata, atau memberikan pernyata-
an singkat, untuk memperlihatkan kecerdasannya. Sesudah lama
berdiam, dia membuka mulutnya (ay. 2), dengan pertimbangan
dan rancangan. Berdasarkan pertimbangan yang matang dia mu-
lai berbicara dan bersiap untuk melanjutkan jika Ayub memberi-
kan perhatiannya.
3. Bahwa dia bertekad untuk mengatakan apa yang ada dalam pikir-
annya dan bukan yang lain (ay. 3): “Perkataanku keluar dari hati
yang jujur, murni dari seluruh keyakinan dan perasaanku.” Ada
alasan untuk mencurigai bahwa ketiga sahabat Ayub itu sung-
guh-sungguh tidak berpikir bahwa Ayub yaitu seorang yang
begitu jahat seperti yang mereka gambarkan dalam percakapan
mereka. Mereka menggambarkan dia sebagai orang jahat semata-
mata untuk mendukung dugaan mereka mengenai penyebab pen-
deritaannya. Dan perbuatan seperti ini sungguh tidaklah adil. Me-
rupakan perbuatan yang hina untuk menuduh orang lain fasik
dengan lidah kita hanya untuk suatu tujuan tertentu, padahal
kita yakin betul bahwa orang itu sebenarnya seorang yang baik.
Elihu yaitu seorang yang jujur dan menolak untuk berbuat
demikian.
4. Bahwa apa yang akan dikatakannya nanti mudah saja untuk di-
pahami, dan tidaklah samar atau sukar: Bibirku menyatakan de-
ngan terang apa yang diketahui. Ayub pastilah mampu memahami
dan menangkap maksudnya. Barang siapa berbicara tentang hal-
hal dari Tuhan, ia harus dengan hati-hati menghindari semua
perkataan dan ungkapan yang tidak jelas dan membingungkan,
dan berbicara dengan sejelas dan seterang mungkin. Sebab de-
ngan begitu, tampak bahwa mereka sungguh-sungguh memahami
apa yang mereka bicarakan, bahwa mereka bermaksud jujur, dan
berniat untuk membangun para pendengar.
5. Bahwa dalam tuturannya, Elihu akan mempergunakan sebaik
mungkin akal budi dan pemahaman yang telah Allah berikan
kepadanya, yaitu hidup itu, jiwa berakal budi yang diterimanya
dari Roh Allah dan nafas Yang Mahakuasa (ay. 4). Elihu meng-
akui diri tidak pas untuk disejajarkan dengan para seniornya,
namun dia ingin mereka tidak merendahkan usia mudanya, sebab
dia juga yaitu karya ciptaan Allah sama seperti mereka, yang
dibuat oleh tangan yang sama, diberkati dengan kekuatan dan
kemampuan yang sama, dan dirancang bagi tujuan agung yang
sama. Oleh sebab itu, mengapa tidak Allah yang telah menjadi-
kannya memakainya sebagai alat bagi kebaikan Ayub? Dengan
pertimbangan ini pula kita harus menyemangati diri, dan mung-
kin Elihu memanfaatkan hal ini, untuk berbuat baik sesuai kedu-
dukan kita dan menurut kemampuan kita. Allah telah menjadi-
kan kita, dan memberi kita hidup, oleh sebab nya kita harus
belajar mempergunakan hidup kita untuk tujuan yang baik. Kita
harus menghabiskan hidup kita untuk memuliakan Allah dan
melayani generasi kita menurut kehendak-Nya, supaya dengan
begitu kita dapat memenuhi tujuan dari penciptaan kita dan tidak
akan dikatakan bahwa kita diciptakan dengan sia-sia.
6. Bahwa Elihu juga bersedia untuk mendengarkan keberatan Ayub
terhadap apa yang dikatakannya (ay. 5): “Jikalau engkau dapat,
jawablah aku. Jika engkau masih kuat dan bersemangat, dan
tidak terkuras oleh rasa sakit dan perdebatan, bersiaplah engkau
menghadapi aku, aturlah kata-katamu, dan aku pasti akan mem-
pertimbangkannya.” Orang-orang yang dapat berbicara dengan
akal akan mendengar dengan akal pula.
7. Bahwa ia sering mengharapkan seseorang akan tampil bagi Allah,
yang dengannya dia dapat dengan bebas berdebat, dan kepada-
nya, sebagai penengah, dia dapat membawa perkaranya, dan se-
perti itulah Elihu adanya (ay. 6): Sesungguhnya, bagi Allah aku
sama dengan engkau. Betapa dengan sedihnya Ayub berharap
(16:21), semoga ada orang yang memutuskan perkara antara
manusia dengan Allah! dan (23:3), Ah, semoga aku tahu mendapat-
kan Dia. Hanya orang itu yang akan membuatnya tenang sehingga
kegentaran terhadap Engkau janganlah menimpa aku (13:21). “Se-
karang,” kata Elihu, “pandanglah aku, untuk sekali ini, sebagai
pengganti Allah. Aku akan berusaha untuk membela perkara-Nya
dengan engkau dan menunjukkan kepadamu di mana engkau te-
lah menghina Dia dan mengapa Ia melawan engkau. Dan jika ada
pembelaanmu atau keluhanmu terhadap Allah, tujukan itu ke-
padaku.”
8. Bahwa dia sebanding dengan Ayub: “Aku pun dibentuk dari tanah
liat. Aku juga, sama seperti manusia yang pertama (Kej. 2:7), Aku
juga sama seperti engkau.” Ayub telah mengajukan hal ini kepada
Allah sebagai suatu alasan mengapa Allah tidak seharusnya me-
nimpakan beban berat ke atasnya (10:9), Ingatlah, bahwa Engkau
yang membuat aku dari tanah liat. “Aku,” kata Elihu, “dibentuk
dari tanah liat sama seperti engkau,” dibentuk dari tanah liat yang
sama, demikian dibaca oleh sebagian penafsir. Memang baik bagi
kita semua untuk mempertimbangkan bahwa kita dibentuk dari
tanah liat. Dan baik bagi kita bahwa orang-orang yang berbicara
atas nama Allah juga demikian, bahwa Ia berbicara kepada kita
melalui orang-orang seperti diri kita, sesuai dengan harapan Israel
saat mereka dicobai (Ul. 5:24). Allah dengan bijaksana menaruh
harta mulia ke dalam bejana tanah liat seperti diri kita (2Kor. 4:7).
9. Bahwa Ayub tidak perlu takut terhadap sanggahan Elihu (ay. 7):
“Engkau tak usah ditimpa kegentaran terhadap aku,”
(1) “Seperti yang telah diperbuat oleh teman-temanmu dengan
perdebatan mereka. Aku tidak akan mencela engkau seperti
yang mereka lakukan atau menjatuhkan dakwaan yang berat
terhadap engkau, tidak,”
(2) “Seperti yang akan Allah lakukan jika Ia harus tampil untuk
beperkara dengan engkau. Aku berdiri sama tinggi dengan
engkau, dibuat dari cetakan yang sama, dan sebab itu aku
tidak dapat mendatangkan kengerian itu ke atas dirimu, se-
perti engkau bisa alami jika Keagungan ilahi tampil melawan-
mu.” Jika kita mau menginsafkan orang dengan benar, kita
harus melakukannya dengan memberi alasan yang masuk
akal, bukan dengan menakut-nakuti, dengan perdebatan yang
adil, bukan dengan tangan yang keras.
Tutur Kata Elihu
(33:8-13)
8 namun engkau telah berbicara dekat telingaku, dan ucapan-ucapanmu telah
kudengar: 9 Aku bersih, aku tidak melakukan pelanggaran, aku suci, aku ti-
dak ada kesalahan. 10 namun Ia mendapat alasan terhadap aku, Ia mengang-
gap aku sebagai musuh-Nya. 11 Ia memasukkan kakiku ke dalam pasung, Ia
mengawasi segala jalanku. 12 Sesungguhnya, dalam hal itu