membela diri. Ia hendak membersihkan diri dari segala keja-
hatan yang dituduhkan sahabat-sahabatnya. Memang hal ini sudah
menjadi utang yang harus ditanggung semua orang terhadap nama
baiknya. Perkataan sahabat-sahabat Ayub sangat terperinci dalam
menyatakan tuduhan mereka terhadap dirinya. Itulah sebabnya ia
juga terperinci dalam pembelaannya, yang sepertinya terutama meru-
juk kepada apa yang dituduhkan Elifas kepadanya (22:6, dst.). Mere-
ka tidak mengajukan saksi-saksi untuk melawan Ayub, dan mereka
juga tidak mampu membuktikan hal-hal yang sekarang mereka tu-
duhkan kepadanya. Oleh sebab itu Ayub membersihkan diri dengan
sumpah yang diucapkannya dengan sepenuh hati, beserta banyak
kutukan menakutkan perihal murka Allah seandainya ia memang
telah bersalah melakukan kejahatan-kejahatan itu. Pernyataan pem-
belaan dirinya ini menegaskan pernyataan baik Allah tentang sifat
dirinya, bahwa tidak ada seorang pun di bumi ini yang seperti dia.
Boleh jadi beberapa dari mereka yang menuduhnya itu tidak berani
bergabung dengannya, sebab ia tidak saja tidak melakukan dosa-
dosa berat yang terpapar di hadapan mata dunia, namun juga dari
banyak dosa tersembunyi, yang seandainya pun benar ia lakukan,
tidak ada yang dapat melihatnya sehingga bisa menuduhnya, sebab
bisa saja ia membuktikan dirinya tidak fasik. Ia tidak sekadar
memelihara kebersihan perilakunya, namun juga menunjukkan bahwa
di dalamnya ia memakai asas-asas yang baik. Alasan mengapa
ia menjauhkan diri dari kejahatan yaitu sebab ia takut akan Allah,
dan kesalehannya mendasari keadilan serta kasihnya terhadap se-
sama. Dan hal ini memahkotai bukti ketulusannya.
I. Dosa-dosa yang di sini tidak mau diperbuatnya yaitu ,
1. Hawa nafsu dan kecemaran hati (ay. 1-4).
2. Kecurangan dan ketidakadilan dalam perniagaan (ay. 4-8).
3. Perzinaan (ay. 9-12).
4. Kecongkakan dan sikap kasar terhadap hamba-hambanya
(ay. 13-15).
5. Sikap tidak kenal ampun terhadap kaum miskin, para
janda, dan anak-anak yatim (ay. 16-23).
6. Mengandalkan kekayaan duniawinya (ay. 24-25).
7. Penyembahan berhala (ay. 26-28).
8. Pembalasan dendam (ay. 29-31).
9. Pengabaian terhadap orang-orang asing yang malang (ay.
32).
10. Kemunafikan dalam menutup-nutupi dosa dan sikap pe-
ngecutnya sehingga terlibat dalam dosa-dosa orang lain
(ay. 33-34).
11. Penindasan dan pelanggaran keras terhadap hak orang
lain (ay. 38-40). Dan menjelang akhir pernyataannya, ia
memohon penghakiman Allah menyangkut ketulusannya
(ay. 35-37). Sekarang,
II. Di dalam semua ini kita dapat melihat,
1. Pemahaman dari zaman bapa-bapa leluhur berkenaan de-
ngan hal-hal baik dan buruk, dan tentang apa yang su-
dah sejak lama disebut dosa, yang penuh kebencian mau-
pun yang menyakitkan.
2. Pola kesalehan dan kebajikan yang mulia ditawarkan ke-
pada kita untuk ditiru. Apabila hati nurani kita dapat
bersaksi bahwa kita menaatinya, maka ini akan membuat
kita bersukacita, seperti halnya Ayub dalam masa seng-
saranya.
Ayub Membersihkan Nama Baiknya
(31:1-8)
1 “Aku telah menetapkan syarat bagi mataku, masakan aku memperhatikan
anak dara? 2 sebab bagian apakah yang ditentukan Allah dari atas, milik
pusaka apakah yang ditetapkan Yang Mahakuasa dari tempat yang tinggi?
3 Bukankah kebinasaan bagi orang yang curang dan kemalangan bagi yang
melakukan kejahatan? 4 Bukankah Allah yang mengamat-amati jalanku dan
menghitung segala langkahku? 5 Jikalau aku bergaul dengan dusta, atau
kakiku cepat melangkah ke tipu daya, 6 biarlah aku ditimbang di atas neraca
yang teliti, maka Allah akan mengetahui, bahwa aku tidak bersalah. 7 Jikalau
langkahku menyimpang dari jalan, dan hatiku menuruti pandangan mataku,
dan noda melekat pada tanganku, 8 maka biarlah apa yang kutabur, di-
makan orang lain, dan biarlah tercabut apa yang tumbuh bagiku.
Nafsu kedagingan dan cinta akan keduniawian merupakan dua batu
karang mematikan yang membelah orang banyak. Terhadap kedua
hal ini Ayub menyatakan bahwa ia senantiasa berusaha keras untuk
tetap waspada.
I. Terhadap nafsu kedagingan. Ayub tidak saja senantiasa menjauh-
kan diri dari perzinaan dan dari mencemari istri sesamanya (ay.
9), namun juga dari semua percabulan dengan perempuan mana
pun. Ia tidak memelihara selir atau gundik, namun sangat setia
kepada ranjang pernikahan, meskipun istrinya sama sekali tidak
tergolong paling bijaksana, baik, ataupun ramah. Sudah sejak
semula sudah ditentukan agar laki-laki hanya memiliki satu istri
dan melekat kepadanya seorang. Ayub menaati penetapan itu dan
sama sekali tidak terpikirkan untuk melanggarnya. Walaupun
kebesarannya bisa saja menggodanya untuk melanggar, kebaik-
annya mencegahnya dari godaan itu. Sekarang Ayub sedang ke-
sakitan dan didera penyakit secara jasmani. Berada di tengah
penderitaan itu dapat terasa cukup nyaman dalam hal tertentu,
apabila hati nurani kita dapat bersaksi bagi kita bahwa kita telah
berhati-hati dalam memelihara tubuh ini supaya tetap setia pada
pernikahan, dan menjaganya tetap kudus dan terhormat, bersih
dari nafsu-nafsu cemar. Sekarang amatilah di sini,
1. Betapa bulat hati Ayub dalam perkara ini (ay. 1): Aku telah me-
netapkan syarat bagi mataku, artinya, “Aku berjaga-jaga ter-
hadap segala kesempatan berbuat dosa, masakan aku mem-
perhatikan anak dara?” yaitu, “dengan kasih karunia Allah,
aku menahan diri sejak langkah pertama menuju dosa itu.” Ia
begitu jauh dari melakukan hubungan terlarang atau keingin-
an semacam itu, hingga,
(1) Ia bahkan tidak mau mengizinkan pandangan asusila. Ia
telah menetapkan syarat bagi matanya, membuat persetu-
juan dengan kedua matanya, hingga ia membiarkan mata-
nya senang memandang cahaya matahari dan kemuliaan
Allah bersinar dalam ciptaan yang terlihat, asalkan mata-
nya tidak tertuju kepada apa pun yang dapat menimbulkan
khayalan kotor, apalagi keinginan kotor dalam pikirannya.
Keputusan itu dibuatnya berdasarkan hukuman bahwa
apabila melakukan hal itu, maka kedua matanya akan sa-
ngat menyesal dan berurai air mata. Perhatikanlah, orang-
orang yang ingin memelihara hati mereka tetap suci harus
menjaga mata mereka, yang merupakan jalan keluar seka-
ligus jalan masuk kenajisan. Itulah sebabnya kita membaca
perihal main mata (Yes. 3:16) dan mata penuh nafsu zinah
(2Ptr. 2:14). Dosa pertama diawali dari mata (Kej. 3:6).
Urusan yang tidak boleh kita campuri, janganlah membuat
kita menginginkannya dengan bernafsu. Apa yang tidak bo-
leh kita inginkan dengan bernafsu, janganlah kita pandang.
Baik kekayaan terlarang (Ams. 23:5), anggur terlarang
(Ams. 23:31), maupun perempuan terlarang (Mat. 5:28).
(2) Ayub bahkan tidak mau membiarkan adanya pikiran sem-
barangan: “Masakan aku memperhatikan anak dara dengan
khayalan kotor atau keinginan akan dirinya?” Rasa malu
dan kehormatan mungkin dapat menahan Ayub berusaha
mendapatkan kesucian gadis perawan cantik, namun ha-
nya anugerah dan takut akan Allah sajalah yang dapat
mencegahnya berpikir tentang hal itu. Orang cemar, jika ia
tidak kudus dalam roh maupun tubuh (1Kor. 7:34). Lihat-
lah betapa uraian Kristus tentang perintah ketujuh cocok
dengan pemahaman orang di zaman dahulu, dan betapa
Ayub memahaminya dengan lebih baik dibanding orang-
orang Farisi, meskipun mereka ini menduduki kursi Musa.
2. Alasan-alasan yang memimpin Ayub dalam perkara ini. Alas-
annya bukanlah sebab takut kepada cercaan manusia, mes-
kipun hal itu patut dipertimbangkan juga (Ams. 6:33), melain-
kan sebab takut kepada murka dan kutukan Allah. Ia tahu
betul,
(1) Bahwa kenajisan merupakan dosa yang merampas segala
sesuatu yang baik, dan menghalangi kita untuk mengha-
rapkannya (ay. 2): Bagian apakah yang ditentukan Allah
dari atas? Berkat atau tanda perkenanan apakah yang
dapat diharapkan orang-orang berdosa yang tidak suci dari
Allah yang murni dan suci? Warisan dari Yang Mahakusasa
apakah yang dapat mereka cari dari sorga? Tidak ada bagi-
an, warisan, ataupun kebahagiaan sejati bagi siapa pun
selain yang di dalam Allah Yang Mahakuasa dan yang da-
tang dari atas, dari sorga. Orang-orang yang berkubang
dalam kenajisan membuat diri mereka sendiri sama sekali
tidak layak untuk bersekutu dengan Allah, baik dalam ka-
sih karunia di sini maupun dalam kemuliaan akan datang.
Mereka yang bersekutu dengan roh-roh najis akan dipisah-
kan dari Dia untuk selama-lamanya. Dan kalau sudah
begitu, bagian dan warisan apa lagi yang dapat mereka per-
oleh dari Allah? Tidak ada hal najis yang dapat memasuki
Yerusalem baru, Kota Suci itu.
(2) Kenajisan merupakan dosa yang mendatangkan balas den-
dam ilahi (ay. 3). Pasti akan binasa orang yang berbuat
dosa ini apabila ia tidak bertobat pada waktunya. Bukan-
kah kebinasaan, kebinasaan yang cepat dan pasti, bagi
orang yang curang dan kemalangan bagi yang melakukan
kejahatan ini? Orang bodoh menertawakan akibat dosa ini,
dan mengolok-oloknya. Bagi mereka, ini sekadar dosa kecil,
muslihat masa muda. Namun, mereka menipu diri sendiri
dengan kata-kata hampa. sebab hal-hal inilah, seremeh
apa pun mereka menganggapnya, murka Allah, murka
Allah yang kekal yang tidak terhindarkan, mendatangkan
murka Allah atas orang-orang durhaka (Ef. 5:6). Ada orang-
orang berdosa yang ditemui Allah dengan jalan Penyeleng-
garaan-Nya yang tidak biasa. Dan orang-orang demikian
termasuk di antaranya. Kebinasaan Sodom merupakan hu-
kuman yang aneh. Bukankah ada pemisahan (demikianlah
yang diartikan beberapa orang) bagi yang melakukan keja-
hatan? Inilah dosa yang memisahkan pikiran manusia dari
Allah (Ef. 4:18-19), dan inilah hukuman bagi orang-orang
berdosa, yaitu dipisahkan selamanya dari Dia (Why. 12:15).
(3) Kenajisan itu tidak dapat disembunyikan dari Allah yang
Mahatahu. Pikiran atau pandangan sekilas asusila tidak
dapat berlangsung begitu cepat hingga terlepas dari penge-
tahuan-Nya, apalagi perbuatan najis yang dilakukan de-
ngan begitu tersembunyi hingga disangka tidak akan terli-
hat oleh-Nya. Seandainya pun Ayub pernah tergoda mela-
kukan dosa ini, ia menahan diri darinya dan semua jalan
menuju ke sana, dengan pikiran ini (ay. 4), bukankah Allah
yang mengamat-amati jalanku. Ini seperti yang dilakukan
Yusuf (Kej. 39:9), Bagaimanakah mungkin aku melakukan
kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?
Ada dua hal yang diperhatikan Ayub:
[1] Kemahatahuan Allah. Sungguh benar sekali bahwa se-
gala jalan orang terbuka di depan mata TUHAN (Ams.
5:20-21). Dan di sini Ayub menyebutnya dengan me-
ngaitkan hal itu pada diri dan tindakannya sendiri. Bu-
kankah Allah yang mengamat-amati jalanku? TUHAN,
Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Allah melihat
berdasarkan peraturan apa kita berjalan, dengan siapa
kita berjalan, serta ke mana kita berjalan, dan oleh ka-
rena itu dengan cara apa kita berjalan.
[2] Pengamatan Allah. “Ia tidak saja melihat, namun juga
memperhatikan. Ia menghitung segala langkahku, semua
langkah keliru dalam menjalankan tugas, dan semua
langkah sampingan menuju jalan dosa.” Allah tidak saja
melihat jalan kita secara umum, namun juga memper-
hatikan setiap rincian langkah kita di dalam jalan-jalan
kita, setiap tindakan dan setiap gerakan. Ia mencatat
semua, sebab Ia akan meminta kita mempertanggung-
jawabkannya, dan akan menghakimi segala perbuatan
kita. Allah lebih memperhatikan kita dengan lebih teliti
daripada diri kita sendiri, sebab siapa gerangan yang
pernah menghitung langkahnya sendiri? Namun, Allah
menghitungnya. sebab itu, marilah kita berjalan de-
ngan hati-hati.
II. Ayub berjaga-jaga menjauhkan diri dari kecintaan terhadap du-
nia, dan dengan hati-hati menghindari semua jalan pintas yang
berdosa demi meraih kekayaan. Ia takut menarik keuntungan ter-
larang dan juga segala bentuk kesenangan terlarang. Mari kita
lihat,
1. Seperti apa pembelaannya. Secara umum, Ayub jujur dan adil
dalam semua kelakuannya. Setahu dia, ia tidak pernah mem-
perlakukan siapa pun dengan buruk.
(1) Ia tidak pernah bergaul dengan dusta (ay. 5). Yaitu, ia tidak
pernah berani berdusta guna mendapatkan harga yang
murah. Ia tidak pernah mau mengolok-olok atau menjanji-
kan yang muluk-muluk, atau banyak bicara dalam per-
lakuannya. Sebagian orang senantiasa hidup dengan tipu
daya. Mereka membesar-besarkan milik mereka melebihi
kenyataan supaya mereka dipercaya, atau justru mengecil-
kannya supaya tidak ada yang bisa diharapkan dari mere-
ka. Namun, Ayub orang yang sangat berbeda. Kekayaannya
tidak diperoleh dengan dusta, meskipun sekarang hartanya
sudah lenyap (Ams. 13:11).
(2) Ia tidak cepat melangkah ke tipu daya. Orang-orang yang
gemar menipu haruslah cekatan dan dapat berpikir cepat,
namun kecekatan dan ketajaman berpikir Ayub tidak per-
nah mengarah ke sana. Ia tidak pernah bergegas menjadi
kaya melalui tipu daya, namun selalu bertindak dengan hati-
hati, supaya tidak melakukan kesalahan sebab sikap
gegabah. Perhatikanlah, apa yang kita peroleh di dunia bisa
dipakai dengan nyaman atau hilang tanpa membuat
kita tidak nyaman, apabila diperoleh dengan jujur.
(3) Langkah-langkah Ayub tidak pernah menyimpang dari ja-
lan, dari jalan kebenaran dan perlakuan adil. Ia tidak per-
nah menyimpang dari jalan tersebut (ay. 7). Ia tidak saja
berhati-hati agar tidak berjalan menuju arah dan jalan tipu
daya, namun bahkan tidak mengambil satu langkah pun
yang menyimpang dari kejujuran. Dalam setiap tindakan
dan urusan tertentu, kita harus melekat kepada aturan-
aturan kebenaran.
(4) Hatinya tidak menuruti pandangan matanya. Yaitu, ia tidak
mendambakan milik orang lain yang dilihatnya, ataupun
berharap barang itu yaitu miliknya. Ketamakan disebut
juga keinginan mata (1Yoh. 2:16). Akhan melihat, kemu-
dian mengambil benda terkutuk. Hati yang menuruti pan-
dangan mata mau tidak mau akan menyimpang. Sebab,
hati yang demikian tidak memandang lebih jauh daripada
hal-hal yang terlihat, padahal seharusnya pandangannya
diarahkan ke sorga yang tidak dapat diraih mata. Pandang-
annya harus mengikuti perintah-perintah agama dan alas-
an yang tepat. Apabila hati menuruti pandangan mata, ia
akan tersesat menuju hal yang untuk itu Allah akan mem-
bawanya ke pengadilan (Pkh. 11:9).
(5) Bahwa tidak ada noda melekat pada tangan Ayub. Yaitu, ia
tidak dapat dituduh memperoleh apa pun dengan cara cu-
rang, atau menyimpan milik orang lain, meskipun kelihat-
annya seperti itu. Ketidakadilan merupakan noda, noda
bagi harta milik, dan noda bagi pemiliknya. Noda itu meru-
sak keindahan keduanya, dan oleh sebab itu harus di-
jauhi. Orang-orang yang sering menjalankan urusan di du-
nia mungkin mempunyai noda di tangan mereka. Namun,
mereka harus mencucinya kembali melalui pertobatan dan
ganti rugi, serta tidak membiarkan noda itu melekat pada
tangan mereka (Lih. Yes. 33:15).
2. Bagaimana Ayub mengesahkan pernyataannya. Ia begitu yakin
akan ketulusannya sendiri hingga ia,
(1) Bersedia bila barang-barang kepunyaannya diteliti (ay. 6):
biarlah aku ditimbang di atas neraca yang teliti. Yaitu,
“Biarlah apa yang kumiliki diteliti, dan ditemukan benar
beratnya.” Maksudnya, supaya menjadi tanda bahwa milik-
nya tidak diperoleh melalui dusta, sebab bila memang demi-
kian halnya, maka Tekel itu tentu akan tercatat di atasnya,
ditimbang dengan neraca dan didapati terlalu ringan. Orang
yang jujur begitu tidak takut menghadapi sidang pengadil-
an hingga ia justru menginginkannya, sebab sangat yakin
bahwa Allah mengetahui ketulusannya dan akan meng-
akuinya. Sidang itu akan membawa pujian dan kehormat-
an baginya.
(2) Ayub bersedia mengorbankan seluruh miliknya apabila di-
temukan barang dagangan terlarang selain yang didapat-
kannya dengan jujur (ay. 8): “Biarlah apa yang kutabur,
dimakan orang lain,” hal yang sudah disepakati akan men-
jadi kebinasaan para penindas (5:5), “dan biarlah tercabut
apa yang tumbuh bagiku.” Hal ini menyiratkan bahwa ia
percaya dosa memang pantas menerima hukuman ini,
bahwa biasanya memang dihukum seperti itu. Memang
sekarang seluruh kekayaannya musnah (terutama pada
waktu seperti itu, hati nuraninya pasti akan mengingatkan-
nya kepada dosanya), namun ia tahu bahwa dirinya tidak
bersalah, dan untuk itu ia berani mempertaruhkan semua
sisa kekayaannya di persidangan nanti.
Ayub Memulihkan Nama Baiknya
(31:9-15)
9 Jikalau hatiku tertarik kepada perempuan, dan aku menghadang di pintu
sesamaku, 10 maka biarlah isteriku menggiling bagi orang lain, dan biarlah
orang-orang lain meniduri dia. 11 sebab hal itu yaitu perbuatan mesum,
bahkan kejahatan, yang patut dihukum oleh hakim. 12 Sesungguhnya, itulah
api yang memakan habis, dan menghanguskan seluruh hasilku. 13 Jikalau
aku mengabaikan hak budakku laki-laki atau perempuan, saat mereka
beperkara dengan aku, 14 apakah dayaku, kalau Allah bangkit berdiri; kalau
Ia mengadakan pengusutan, apakah jawabku kepada-Nya? 15 Bukankah Ia,
yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah
satu juga yang membentuk kami dalam rahim?
Di dalam perikop ini terdapat dua contoh lagi mengenai ketulusan
Ayub:
I. Bahwa ia sangat membenci dosa perzinaan. Sama seperti ia tidak
menodai ranjang pernikahannya sendiri dengan memelihara selir
(ia bahkan sama sekali tidak memikirkan gadis pelayan, ay. 1),
demikian pula ia berhati-hati agar tidak mencemari ranjang perni-
kahan sesamanya. Marilah kita lihat di sini,
1. Betapa bersih ia dari dosa ini (ay. 9).
(1) Ia sama sekali tidak menginginkan istri sesamanya, sebab
hatinya tidak tertarik kepada perempuan. Kecantikan istri
orang lain tidak membangkitkan gairah terhadap keinginan
cemar dalam dirinya. Ia juga tidak tergoda pada daya pikat
perempuan jalang, seperti yang digambarkan dalam Amsal
7:6 dan seterusnya. Lihatlah sumber semua kenajisan da-
lam hidup ini. Asalnya dari hati yang tertipu. Setiap dosa
memang menipu, terlebih lagi dosa kenajisan.
(2) Ayub tidak pernah menyusun atau membayangkan ran-
cangan perzinaan. Ia tidak penah menghadang di pintu se-
samanya, untuk beroleh kesempatan mencemari sang istri
saat laki-laki itu tidak berada di rumah (Ams. 7:19; Ayb.
24:15).
2. Betapa ia takut kepada dosa ini, dan betapa ia mencemaskan
apa yang bisa saja terjadi akibat bahayanya, bahwa ini meru-
pakan kejahatan keji (ay. 11), salah satu dosa paling keji yang
bisa diperbuat manusia, yang sangat membangkitkan murka
Allah, dan menghancurkan kesejahteraan jiwa. Berkenaan de-
ngan celaka yang bisa ditimbulkannya, dan hukuman yang
pantas diterima sebagai akibatnya, Ayub mengakui bahwa se-
andainya ia bersalah sebab melakukan kejahatan keji itu,
maka,
(1) Nama baik keluarganya sudah sepantasnya diinjak-injak
sehina-hinanya (ay. 10): Biarlah isteriku menggiling bagi
orang lain. Biarlah ia menjadi budak (begitulah menurut
beberapa penafsir), perempuan sundal (menurut beberapa
penafsir lain). Allah acapkali menghukum seseorang de-
ngan dosa orang lain, misalnya perzinaan sang suami de-
ngan perzinaan istrinya, seperti yang dialami Daud (2Sam.
12:11), yang sama sekali tidak membebaskan pengkhia-
natan istri yang berzina itu. Sebaliknya, sebesar apa pun
ketidakjujurannya, Allah sungguh adil (Lih. Hos. 4:13). Me-
nantu-menantumu perempuan akan bersundal. Perhatikan-
lah, orang-orang yang tidak adil dan setia terhadap sanak
keluarga mereka janganlah merasa heran apabila mereka
ini juga bersikap tidak adil dan setia kepada mereka.
(2) Ayub sendiri sudah sepatutnya dijadikan teladan umum:
sebab hal itu yaitu kejahatan, yang patut dihukum oleh
hakim, meskipun orang-orang yang bersalah melakukan-
nya yaitu hakim juga seperti halnya Ayub. Perhatikanlah,
perzinaan yaitu kejahatan yang harus diketahui dan di-
hukum oleh hakim negara. Demikianlah yang diputuskan
secara hukum pada zaman bapa-bapa leluhur dahulu, se-
belum hukum Musa menjadikannya hukum utama. Per-
zinaan merupakan tindakan jahat, yang harus dihadapi
dengan kengerian pedang keadilan.
(3) Sudah sepatutnya harta miliknya hancur. Bahkan lebih
dari itu, Ayub tahu bahwa akan demikianlah jadinya (ay.
12): itulah api. Nafsu yaitu api di dalam jiwa: orang orang
yang memperturutkan hawa nafsunya dikatakan akan ter-
bakar olehnya. Api itu memakan habis segala sesuatu yang
baik di dalam jiwa, yaitu keyakinan dan penghiburan, serta
meruntuhkan hati nurani. Hawa nafsu membangkitkan api
murka Allah, yang bila tidak dipadamkan darah Kristus,
akan membakar sampai ke neraka paling bawah. Api itu
akan memakan habis bahkan sampai kekekalan. Hawa naf-
su akan membinasakan tubuh (Ams. 5:11). Api itu mema-
kan habis bagian inti, dan menghanguskan seluruh hasil.
Hawa nafsu yang menyala-nyala akan membawa hukuman
menyala-nyala juga. Mungkin ini menyinggung pembakar-
an kota Sodom, yang dimaksudkan untuk menjadi contoh
bagi orang-orang yang di kemudian hari hidup penuh dosa
dengan cara serupa.
II. Bahwa Ayub sangat memperhatikan para hambanya dan meme-
rintah mereka dengan lemah lembut. Ia memiliki rumah tangga
yang hebat dan mengelolanya dengan baik. Melalui hal ini ia
membuktikan ketulusannya, yaitu bahwa ia memiliki anugerah
untuk mengendalikan gairah maupun seleranya. Dia yang dalam
dua hal ini mampu menguasai rohnya sendiri, melebihi seorang
pahlawan (Ams. 16:32). Amatilah di sini,
1. Sikap merendah Ayub terhadap para hambanya (ay. 13): Ia
tidak mengabaikan hak budaknya laki-laki, tidak, atau perem-
puan, saat mereka beperkara dengannya. Apabila mereka
bertentangan dengannya dalam hal apa pun, ia bersedia men-
dengar alasan mereka. Apabila mereka melukai perasaannya,
atau menyalahkan dia, ia akan dengan sabar mendengarkan
perkataan mereka untuk membela diri atau memberi alasan.
Bahkan lebih dari itu, apabila mereka mengeluhkan kesukar-
an yang ditimbulkan Ayub ke atas mereka, ia tidak mengger-
tak mereka dan menyuruh mereka menutup mulut, namun
mengizinkan mereka menceritakan kisah mereka, dan mene-
bus penderitaan mereka saat terbukti bahwa mereka me-
mang berada di pihak yang benar. Sikapnya lembut kepada
mereka, tidak saja saat mereka melayani atau menyenang-
kan hatinya, namun bahkan saat mereka berselisih dengannya.
Dalam hal ini Ayub merupakan teladan besar bagi para ma-
jikan, yaitu supaya berlaku adil dan jujur terhadap hamba-
hamba mereka (Kol. 4:1; Ef. 6:9), dan tidak memerintah mere-
ka dengan keras dan sewenang-wenang. Banyak dari antara
para pekerja Ayub yang dibunuh saat sedang bekerja untuk-
nya (1:15-17). Yang lain bersikap buruk dan tidak patuh
kepadanya, serta memandang rendah perkaranya, meskipun ia
tidak pernah memandang rendah perkara mereka (19:15-16).
Namun kini Ayub merasa terhibur, bahwa saat ia masih
makmur dahulu, ia bersikap baik terhadap mereka. Perhati-
kanlah, saat hubungan baik terputus atau menyakitkan
hati, maka kesaksian hati nurani bahwa kita telah melakukan
kewajiban terhadap orang lain, akan sangat mendukung dan
menghibur kita.
2. Pertimbangan apa saja yang menggerakkan Ayub untuk mem-
perlakukan para hambanya sebaik itu. Dalam hal ini, pandang-
an matanya tertuju kepada Allah, baik sebagai Hakim maupun
Penciptanya.
(1) Sebagai Hakimnya. Ia mempertimbangkan, “Apabila aku
bertindak sewenang-wenang dan keras terhadap budak-
budakku, apakah dayaku, kalau Allah bangkit berdiri?” Ia
mempertimbangkan bahwa ia mempunyai Tuan di sorga,
kepada siapa ia bertanggung jawab, Tuan yang akan bang-
kit berdiri dan melawatnya. Kita perlu mempertimbangkan
apakah yang akan kita lakukan pada hari penghukuman
(Yes. 10:3). Mengingat bahwa kita pasti binasa saat Allah
bersikap tegas dan keras terhadap kita pada hari penghu-
kuman itu, maka sebaiknya kita bertindak lemah lembut
terhadap semua orang yang kita hadapi. Pikirkanlah apa
yang akan terjadi dengan kita apabila Allah bersikap keras
dalam menilai kesalahan kita, dan bertindak tanpa ampun,
bersikeras menuntut keadilan atas kita. Pikirkan, jangan
sampai Ia membalas setiap pelanggaran dan menuntut
ganti rugi. Jangan sampai Ia senantiasa mencaci, dan ma-
rah selamanya. sebab itu janganlah kita bersikap kasar
terhadap bawahan kita. Pertimbangkanlah apa yang akan
terjadi pada diri kita jika kita bersikap kejam dan tanpa
ampun kepada sesama kita. Seruan orang-orang yang di-
sakiti akan didengar. Dosa-dosa mereka yang mendatang-
kan kerugian akan dihukum. Orang-orang yang tidak me-
nunjukkan belas kasihan tidak akan dikasihani. Lalu apa-
kah yang harus kita lakukan?
(2) Sebagai Pencipta dirinya dan para budaknya (ay. 15). Saat
Ayub tergoda bersikap keras terhadap budak-budaknya,
tidak memberikan hak mereka dan tidak mau mendengar-
kan pertimbangan mereka, maka pikiran inilah yang mun-
cul, “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan,
membuat orang itu juga? Aku juga makhluk ciptaan seperti
budak itu, dan keberadaanku berasal dan bergantung
pada-Nya seperti dia juga. Ia ikut mengambil bagian dalam
kodrat seperti yang ada pada diriku, dan merupakan hasil
karya tangan yang sama: Bukankah kita sekalian mempu-
nyai satu Bapa?” Perhatikanlah, apa pun perbedaan yang
ada di antara manusia dalam hal keadaan lahiriah mereka,
dalam kecakapan akal budi mereka, ataupun kekuatan
jasmani mereka, dan kedudukan mereka di dunia, Ia yang
menciptakan yang satu juga menciptakan yang lain. Inilah
alasan tepat mengapa kita tidak boleh mengolok-olok kele-
mahan bawaan orang, atau menginjak-injak orang yang
dalam segala hal merupakan bawahan kita. Sebaliknya,
dalam segala hal lakukanlah seperti kita ingin diperlaku-
kan. Inilah aturan keadilan, Parium par sit ratio – Biarlah
orang-orang yang sederajat juga dinilai dan diperlakukan
sederajat. Oleh sebab itu, mengingat bahwa terdapat kesa-
maan yang begitu besar di antara manusia, sebab mereka
semua dibentuk dari cetakan yang sama, oleh kuasa yang
sama, untuk tujuan yang sama, tanpa memedulikan perbe-
daan dalam keadaan lahiriah kita, maka kita harus me-
nempatkan diri sederajat dengan orang-orang dengan siapa
kita berurusan. Dalam segala hal kita harus memperlaku-
kan mereka sama seperti kita ingin mereka memperlaku-
kan kita.
Belas Kasihan Ayub terhadap Kaum Miskin
(31:16-23)
16 Jikalau aku pernah menolak keinginan orang-orang kecil, menyebabkan
mata seorang janda menjadi pudar, 17 atau memakan makananku seorang
diri, sedang anak yatim tidak turut memakannya 18 – malah sejak mudanya
aku membesarkan dia seperti seorang ayah, dan sejak kandungan ibunya
aku membimbing dia – ; 19 jikalau aku melihat orang mati sebab tidak ada
pakaian, atau orang miskin yang tidak mempunyai selimut, 20 dan pinggang-
nya tidak meminta berkat bagiku, dan tidak dipanaskannya tubuhnya
dengan kulit bulu dombaku; 21 jikalau aku mengangkat tanganku melawan
anak yatim, sebab di pintu gerbang aku melihat ada yang membantu aku,
22 maka biarlah tulang belikatku lepas dari bahuku, dan lenganku dipatah-
kan dari persendiannya. 23 sebab celaka yang dari pada Allah menakutkan
aku, dan aku tidak berdaya terhadap keluhuran-Nya.
Elifas secara langsung menuduh Ayub tidak berbelaskasihan ter-
hadap kaum miskin (22:6, dst.): Orang yang kelaparan tidak kauberi
makan, merampas pakaian orang-orang yang melarat, dan janda-
janda kausuruh pergi dengan tangan hampa. Orang akan berpikir
Elifas tidak akan bersikap begitu yakin dan terus terang dalam tu-
duhannya, kecuali ada bukti dan dasarnya. Namun, dari apa yang
tampak dalam pembelaan Ayub, tuduhannya itu ternyata palsu dan
tanpa dasar sama sekali. Ayub tidak pernah bersalah melakukan hal
seperti itu. Lihatlah di sini,
I. Kesaksian yang diberikan hati nurani Ayub berkenaan dengan
perilakunya terhadap kaum miskin. Ia membicarakan dengan
sangat terperinci mengenai pokok ini, sebab terutama dalam hal
inilah ia dipersalahkan. Dengan sungguh-sungguh Ayub menyata-
kan dengan tegas,
1. Bahwa ia tidak pernah alpa berbuat baik kepada mereka, terus
membantu mereka sedapat mungkin setiap kali beroleh ke-
sempatan. Ia senantiasa berbelaskasihan terhadap kaum mis-
kin, dan sangat memperhatikan mereka, terutama para janda
dan anak-anak yatim yang amat membutuhkan pertolongan.
(1) Ia senantiasa siap mengabulkan keinginan pengharapan
mereka (ay. 16). Jika seorang miskin memohon bantuan-
nya, ia siap mengabulkannya. Begitu ia merasakan pan-
dangan sayu penuh pengharapan seorang janda yang me-
nandakan bahwa ia mengharapkan sedekah darinya, mes-
kipun perempuan itu tidak cukup berani memintanya,
hatinya tergerak untuk memberi kepadanya, dan tidak per-
nah menyebabkan mata seorang janda menjadi pudar.
(2) Ayub menghargai kaum miskin dan menghormati mereka.
Ia mengajak anak-anak yatim makan bersama di meja
makannya sendiri. Mereka harus makan seperti dirinya dan
akrab dengannya. Ia memperlihatkan bahwa ia senang di-
temani mereka, seolah-olah mereka anak-anaknya sendiri
(ay. 17). Sama seperti salah satu penderitaan terbesar aki-
bat kemiskinan yaitu dianggap hina, demikian juga du-
kungan sekecil apa pun kepada kaum miskin dihargai orang.
(3) Sikap Ayub terhadap mereka sangat lembut, dan ia peduli
kepada mereka bagaikan seorang ayah (ay. 18). Dia men-
jadi ayah bagi anak-anak yatim, merawat anak-anak yatim
piatu, membesarkan mereka di bawah pengamatannya sen-
diri, dan memberi mereka bukan saja pemeliharaan, me-
lainkan pendidikan juga. Ayub menjadi pembimbing bagi
janda yang telah kehilangan pembimbing masa mudanya.
Ia menasihati sang janda dalam urusan-urusannya, mem-
perhatikan keadaan mereka, dan mengurus keperluan me-
reka. Orang-orang yang tidak membutuhkan sedekah kita,
mungkin saja membutuhkan nasihat kita, dan itu pun
sungguh dapat membantu mereka. Inilah yang menurut
Ayub telah dilakukannya sejak mudanya, dan sejak kan-
dungan ibunya. Sifat lembut dan berbelaskasihan sudah
terjalin dalam tabiatnya. Sejauh yang diingat olehnya,
sudah dari sejak mudanya ia berbuat kebaikan. Selalu saja
ada janda-janda miskin atau anak yatim yang dirawatnya.
Kedua orangtuanya mengajarinya sejak belia untuk ber-
belaskasihan dan meringankan penderitaan kaum miskin,
serta membesarkan anak-anak yatim piatu.
(4) Ayub menyediakan cukup makanan bagi mereka. Mereka
menikmati makanan yang sama dengan yang dimakannya
(ay. 17), tidak makan setelah dia makan, tidak makan
remah-remah roti yang jatuh dari mejanya, namun makan
bersama dia, dari hidangan terbaik di mejanya. Orang-
orang yang berkelimpahan janganlah makan sendirian,
seolah-olah tidak ada orang selain dirinya yang perlu diper-
hatikan. Janganlah mereka makan santapan lezat sendiri,
namun berbagilah dengan orang lain, seperti Daud mengajak
Mefiboset.
(5) Ayub memperhatikan untuk memberi pakaian kepada me-
reka yang telanjang, dan ini tentu lebih mahal daripada se-
kadar memberi makanan kepada mereka (ay. 19). Orang
miskin bisa saja mati sebab kekurangan sandang seperti
halnya kekurangan makanan, sebab kekurangan sandang
untuk membungkus badannya saat tidur pada malam
hari atau saat berjalan pada siang hari. Apabila Ayub tahu
ada yang mengalami kesulitan ini, ia akan cepat-cepat
membantu mereka. Alih-alih memberikan perlengkapan
mewah kepada para hambanya, sementara kaum miskin
diusir dengan berpakaian compang-camping dan pantas di-
buang ke sampah, Ayub menyediakan pakaian hangat yang
kuat dan sengaja dibuatkan bagi mereka dari kulit bulu
domba (ay. 20), supaya setiap kali mengenakan selimut itu
di pinggang, mereka meminta berkat baginya. Mereka me-
muji sifat dermawan Ayub, memuji Allah sebab dia, dan
berdoa kepada Allah agar memberkatinya. Kawanan domba
Ayub sekarang sudah dibakar api dari langit, namun yang
menjadi penghiburan baginya yaitu bahwa ia mendapat-
kan semua itu dengan jujur, dan memakai domba-
domba itu demi kasih terhadap sesama, memberi makan
kaum miskin dengan dagingnya, dan memberi mereka
pakaian dengan bulunya.
2. Bahwa Ayub tidak pernah terlibat dalam perlakuan tidak baik
kepada orang miskin. Orang mungkin berkata bahwa ia ramah
kepada beberapa anak yatim piatu di sana-sini yang menjadi
kesayangannya, namun kepada yang lain ia bersikap keras.
Tidak, ia peduli kepada mereka semua dan tidak merugikan
siapa pun. Ia bahkan tidak pernah mengangkat tangannya me-
lawan anak yatim (ay. 21), tidak pernah mengancam atau me-
nakuti-nakuti mereka, ataupun hendak memukul mereka.
Ayub tidak pernah memakai kekuatannya untuk meng-
hancurkan orang-orang yang menentangnya atau memeras
apa pun dari mereka, meskipun di pintu gerbang ia melihat
ada yang membantunya. Yaitu, ia tidak akan melakukan keja-
hatan terhadap orang miskin, meskipun ia mendapat tempat
di hati orang banyak dan para hakim, yang pasti akan memi
haknya dan tidak menentangnya jika ia menyalahi kaum mis-
kin. Orang-orang yang berkuasa melakukan kejahatan dan
terbebas dari akibatnya, serta mempunyai harapan untuk
lolos, namun memilih untuk tidak melakukannya, dan tetap
bertindak adil, suka berbelaskasihan, di kemudian hari akan
merasa sangat terhibur saat merenungkan perilaku mereka
ini, seperti yang dilakukan Ayub di sini.
II. Kutuk yang diucapkannya untuk meneguhkan pernyataan ini (ay.
22): “Jika aku pernah menindas orang miskin, biarlah tulang beli-
katku lepas dari bahuku, dan lenganku dipatahkan dari persen-
diannya.” Yakni, “Biarlah daging lenganku membusuk dan lepas
dari tulangnya, sedangkan satu tulang terputus dari tulang lain-
nya.” Seandainya Ayub tidak bersih dari kesalahan ini, pastilah ia
tidak akan berani menantang balas dendam ilahi untuk menimpa-
nya. Ia juga menyiratkan bahwa sungguh adil apabila Allah me-
matahkan lengan yang teracung melawan anak-anak yatim, sama
seperti Ia melemahkan lengan Yerobeam yang teracung melawan
seorang nabi.
III. Landasan pikiran yang membuat Ayub menahan diri untuk tidak
beramal dan berbelaskasihan kepada orang lain. Ia tidak berani
melecehkan kaum miskin, sebab meskipun ada yang membantu-
nya di pintu gerbang sehingga ia bisa saja menguasai mereka,
namun ia tidak akan melakukanya. Sebab, ia tidak akan mampu
melawan Allah yang merupakan pelindung orang miskin yang
tertindas dan tidak akan membiarkan para penindas lepas dari
hukuman (ay. 23): “sebab celaka yang dari pada Allah menakut-
kan aku setiap kali aku tergoda melakukan dosa ini. Juga, aku
tidak mau bermusuhan dengan Dia, sebab aku tidak berdaya
terhadap keluhuran-Nya.” Ayub takjub,
1. Akan keagungan Allah, Allah yang jauh lebih tinggi di atasnya.
Ayub memikirkan keluhuran-Nya, Ia begitu tinggi, ada jarak
yang tidak terbatas di antara dia dengan Allah, yang meme-
nuhinya dengan rasa hormat sedemikian rupa terhadap Dia
hingga membuatnya bersikap sangat hati-hati dalam seluruh
perilakunya. Orang-orang yang menindas kaum miskin serta
menodai penghakiman dan keadilan, lupa bahwa pejabat ting-
gi yang satu mengawasi yang lain, begitu pula pejabat-pejabat
yang lebih tinggi mengawasi mereka, dan sanggup menghadapi
mereka (Pkh. 5:7). Sebaliknya, Ayub memperhatikan hal ini.
2. Ia mempertimbangkan murka Allah, Allah yang pasti akan me-
lawannya apabila ia menjahati kaum miskin. Celaka yang dari
pada Allah, sebab ini akan menjadi kehancuran mutlak bagi-
nya apabila ia bersalah melakukan dosa ini, dan akan senanti-
asa menakutkan dia, untuk menahannya berbuat demikian.
Perhatikanlah, orang-orang baik, bahkan yang paling baik se-
kalipun, perlu menahan diri mereka berbuat dosa dengan
takut akan celaka yang datang dari Allah, sekecil apa pun
dosa itu. Ini terutama harus menahan kita dari semua tindak-
an tidak adil dan menindas yang akan dibalas sendiri oleh
Allah. Bahkan saat keselamatan dari Allah menjadi penghi-
buran bagi kita, celaka dari Allah sudah seharusnya juga me-
nakutkan bagi kita. saat belum jatuh dalam dosa, Adam pun
menaruh hormat dengan mengingat akan ancaman hukuman.
Kebencian Ayub terhadap Penyembahan Berhala
(31:24-32)
24 Jikalau aku menaruh kepercayaan kepada emas, dan berkata kepada ken-
cana: Engkaulah kepercayaanku; 25 jikalau aku bersukacita, sebab kekaya-
anku besar dan sebab tanganku memperoleh harta benda yang berlimpah-
limpah; 26 jikalau aku pernah memandang matahari, saat ia bersinar, dan
bulan, yang beredar dengan indahnya, 27 sehingga diam-diam hatiku terpikat,
dan menyampaikan kecupan tangan kepadanya, 28 maka hal itu juga menjadi
kejahatan yang patut dihukum oleh hakim, sebab Allah yang di atas telah
kuingkari. 29 Apakah aku bersukacita sebab kecelakaan pembenciku, dan
bersorak-sorai, bila ia ditimpa malapetaka 30 – aku takkan membiarkan mu-
lutku berbuat dosa, menuntut nyawanya dengan mengucapkan sumpah
serapah! – 31 Jikalau orang-orang di kemahku mengatakan: Siapa yang tidak
kenyang dengan lauknya? 32 – malah orang asingpun tidak pernah bermalam
di luar, pintuku kubuka bagi musafir! –
Di dalam perikop ini terdapat empat pembelaan lain Ayub, yang sama
seperti pembelaan-pembelaan lain, tidak saja meyakinkan kita peri-
hal siapa dia sebenarnya dan apa yang dilakukannya, namun juga
untuk mengajar kita tentang seperti apa kita seharusnya dan apa
yang harus kita lakukan:
I. Ayub membela diri, bahwa ia tidak pernah mendambakan kekaya-
an dunia ini, atau memandangnya sebagai bagian dan kebahagia-
annya. Ia memiliki emas, emas murni. Kekayaannya besar, dan ia
memperoleh harta benda yang berlimpah-limpah. Harta benda kita
bisa menguntungkan atau justru merusak kita, sejauh apa kita
dipengaruhi olehnya. Jika kita menjadikannya sandaran dan pe-
nguasa kita, maka harta itu akan menghancurkan kita. Jika kita
menjadikannya hamba kita dan juga sarana keadilan, harta itu
akan menjadi berkat bagi kita. Di sini Ayub memberitahukan
kepada kita bagaimana pengaruh harta duniawi atas dirinya.
1. Ia tidak begitu mengandalkannya. Ia tidak menaruh kepercaya-
an kepada emas (ay. 24). Orang-orang yang berbuat demikian
sungguh sangat tidak bijaksana. Orang-orang yang mengan-
dalkan harta benda sebagai hal yang mampu membuat mereka
bahagia, yang menyangka diri mereka akan terjamin dan ter-
hormat, serta pasti memperoleh penghiburan sebab memiliki
harta duniawi berlimpah, menjadi musuh bagi diri mereka
sendiri. Sebagian orang menjadikannya pengharapan dan ja-
minan untuk kehidupan di dunia lain kelak, seolah-olah harta
itu merupakan tanda pasti akan perkenanan Allah. Sebagian
orang lagi berlaku bijak, dengan tidak berpikir seperti itu, dan
tidak berjanji kepada diri sendiri bahwa harta itu akan men-
jadi bagian mereka dalam kehidupan ini, sebab benda-benda
itu sendiri tidak menentu, apalagi memberikan kepuasan.
Sungguh sulit untuk memiliki kekayaan dan tidak mengandal-
kan harta itu. Inilah yang membuat begitu sukar bagi seorang
kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Mat. 19:23; Mrk.
10:24).
2. Ayub sama sekali tidak berpuas diri dengan hartanya (ay. 25):
jikalau aku bersukacita, sebab kekayaanku besar dan mem-
banggakan diri bahwa tanganku memperoleh harta benda yang
berlimpah-limpah. Ia tidak membanggakan hartanya, seolah-
olah harta itu semakin membuat dirinya lebih unggul. Ia juga
tidak berpikir bahwa kekuasaan dan kekuatan tangannya
yang mendatangkan kekayaan itu baginya (Ul. 8:17). Ia tidak
menyenangkan diri dengan kekayaannya itu, dibandingkan
dengan hal-hal rohani. Sukacitanya tidak berhenti dalam pem-
berian itu, namun pada Sang Pemberi melalui pemberian itu.
saat bergelimang dalam kelimpahan, Ayub tidak pernah ber-
kata, Jiwaku, beristirahatlah dengan harta bendamu, makan-
lah, minumlah dan bersenang-senanglah. Ia juga tidak mem-
berkati diri dengan kekayaannya. Ia tidak bersenang-senang
dengan berlebihan dalam harta bendanya, dan inilah yang
membantunya mampu bertahan terhadap kehilangan harta itu
dengan begitu bersabar, seperti yang telah dilakukannya. Cara
menangis seolah-olah tidak menangis; sama dengan bergembira
seolah-olah tidak bergembira. Semakin sedikit kesenangan ke-
tika menikmati, semakin sedikit pula rasa sakit saat kecewa.
II. Ayub menyatakan pembelaan bahwa ia tidak pernah menyembah
dan memberikan kemuliaan kepada makhluk dan benda ciptaan,
yang hanya layak bagi Allah saja (ay. 26-28). Kita tidak mendapati
sahabat-sahabat Ayub menuduhnya dengan perbuatan ini. Na-
mun, pada masa itu sepertinya ada orang-orang yang begitu
bodoh sampai menyembah matahari dan bulan, sebab jika tidak
demikian halnya, Ayub tentu tidak akan menyebut hal ini. Pe-
nyembahan berhala merupakan salah satu jalan lama yang dija-
lani orang-orang fasik. Penyembahan berhala paling kuno yaitu
menyembah matahari dan bulan, dan sepertinya godaan untuk
melakukan hal inilah yang paling kuat (Ul. 4:19), saat Musa
berbicara tentang bahaya yang sedang dihadapi umat Israel, yaitu
terdorong untuk menyembah benda-benda langit ini. Namun, pada
masa itu tampaknya orang masih melakukannya dengan diam-
diam, tidak berani secara terbuka, seperti yang di kemudian hari
dilakukan pada penyembahan berhala yang paling menjijikkan.
Amatilah,
1. Sejauh apa Ayub menjauhi dosa ini. Ia tidak saja tidak pernah
menekuk lutut kepada Baal (yang menurut beberapa penafsir
dirancang untuk menyembah matahari), tidak pernah tersung-
kur menyembah matahari, namun tetap menjauhkan mata,
hati, dan bibirnya dari dosa ini.
(1) Ia bahkan sama sekali tidak pernah memandang matahari
atau bulan dalam kebesaran serta kemilau mereka dengan
rasa kagum melebihi kekaguman yang membuatnya mem-
berikan seluruh kemuliaan kecerahan dan manfaat mereka
kepada Pencipta mereka. Ayub membuat kovenan dengan
matanya menentang perzinaan rohani maupun jasmani.
Inilah kovenannya, yakni setiap kali memandang benda-
benda langit yang bersinar, ia akan dengan iman meman-
dang menembus dan melampaui semua itu kepada Bapa
segala terang.
(2) Ayub memelihara hatinya dengan tekun, supaya ia tidak
diam-diam terpikat untuk berpikir bahwa terdapat kemu-
liaan ilahi dalam cemerlang terang mereka, atau ada ke-
kuatan ilahi dalam pengaruh mereka, sehingga dengan
demikian kehormatan ilahi harus diberikan kepada benda-
benda tersebut. Di sinilah sumber penyembahan berhala,
yaitu diawali di hati. Setiap manusia tergoda melakukan
itu, sama halnya dengan dosa-dosa lain, saat ia dicobai
oleh keinginannya sendiri, sebab ia diseret dan dipikat
olehnya.
(3) Ayub sama sekali tidak memuji ilah-ilah palsu ini. Ia tidak
memperlihatkan pemujaan sekecil apa pun: mulutnya tidak
mencium dia, yang sepertinya merupakan suatu upacara
yang pada masa itu biasa dijalankan, bahkan oleh orang-
orang yang tidak dianggap menyembah berhala. Di zaman
kita ini, ada peninggalan cara zaman dahulu untuk mem-
beri hormat, yaitu membungkuk atau mencium tangan.
Cara ini pada zaman dahulu sepertinya dipakai untuk
memberi penghormatan ilahi kepada matahari dan bulan.
Orang tidak mampu menjangkau benda-benda langit itu
untuk mencium mereka, sama seperti manusia mencium
anak-anak lembu (Hos. 13:2; 1Raj. 19:18). sebab itu, un-
tuk menunjukkan niat baik, mereka menunjukkan kecup-
an tangan kepada matahari dan bulan sambil menghormati
benda-benda itu sebagai tuan mereka, padahal Allah telah
menjadikan mereka sebagai hamba-hamba pelayan bagi
dunia bawah ini, untuk memegang pelita bagi kita dan me-
nerangi kita. Ayub tidak pernah melakukan semua hal ini.
2. Betapa Ayub menganggap dosa ini sangat jahat (ay. 28).
(1) Ia menganggapnya sebagai penghinaan terhadap hakim
rakyat, kejahatan yang patut dihukum oleh hakim, sebagai
hal yang mengganggu orang banyak dan menyakiti hati
para raja dan daerah-daerah kekuasaan mereka. Penyem-
bahan berhala merusak pikiran manusia, mencemarkan
perilaku mereka, merampas makna sejati agama yang me-
rupakan pengikat kuat di antara masyarakat. Penyembah-
an berhala juga membangkitkan amarah Allah sehingga Ia
menyerahkan manusia kepada pikiran jahat dan menjatuh-
kan penghukuman ke atas seluruh bangsa. Oleh sebab itu
para pelindung kesejahteraan rakyat wajib mengekangnya
menghukum pelakunya.
(2) Ayub memandang penyembahan berhala itu sebagai peng-
hinaan yang luar biasa besar kepada Allah semesta langit,
tidak kalah hebatnya dengan pengkhianatan terhadap mah-
kota dan martabat-Nya, sebab Allah yang di atas telah ku-
ingkari. Penyembahan berhala itu mengingkari keberadaan-
Nya sebagai Allah dan kedaulatan-Nya sebagai Allah yang
di atas. Penyembahan berhala itu sama saja dengan ateis-
me, tidak mengakui dan tidak percaya ada Allah. Itulah
sebabnya orang-orang bukan Yahudi dikatakan ada di luar
Allah (ateis). Perhatikanlah, kita harus takut kepada segala
sesuatu yang diam-diam menyangkali Allah yang di atas,
penyelenggaraan-Nya, ataupun setiap kesempurnaan-Nya.
III. Ayub menyatakan pembelaan bahwa ia sama sekali tidak melaku-
kan atau merancang celaka bagi siapa pun, bahwa ia tidak meng-
inginkan atau menyukai celaka yang menimpa musuh bebuyutan-
nya sekalipun. Sepertinya, mengampuni orang-orang yang ber-
buat jahat kepada kita merupakan kewajiban dalam Perjanjian
Lama, meskipun orang Farisi membuat hukum mengenai hal itu
tidak berguna sebab mereka mengajarkan, Kasihilah sesamamu
manusia dan bencilah musuhmu (Mat. 5:43). Amatilah di sini,
1. Ayub sama sekali tidak membalas dendam. Ia tidak saja tidak
membalas kerugian yang didatangkan kepadanya, tidak saja
tidak menghancurkan orang-orang yang membencinya, me-
lainkan juga,
(1) Ia sama sekali tidak bergembira saat celaka menimpa
mereka (ay. 29). Banyak orang yang tidak mau membalas
menyakiti orang lain yang menghalangi hidup mereka, atau
yang telah berbuat jahat kepada mereka, namun mereka
diam-diam merasa senang dan menertawakan orang-orang
itu saat mereka dijahati. Namun, Ayub tidak mempunyai
tabiat semacam itu. Walaupun Ayub orang yang sangat
baik, tampaknya tetap saja ada orang-orang yang memben-
ci dia. Namun, celaka menimpa orang-orang itu. Ia melihat
kehancuran mereka, namun sama sekali tidak bergembira
sebab nya, sebab sikap seperti ini sudah sepantasnya akan
membawa kehancuran baginya seperti yang tersirat dalam
Amsal 24:17-18.
(2) Ayub sama sekali tidak berharap agar celaka menimpa
mereka (ay. 30). Ia tidak pernah menuntut nyawanya de-
ngan mengucapkan sumpah serapah. Sumpah serapah ter-
hadap nyawa orang merupakan kutukan yang paling jahat.
Ia tidak pernah menginginkan kematiannya. Ia tahu bahwa
jika ia melakukannya, hal itu akan menjadi dosa baginya.
Ia berhati-hati supaya ia jangan berdosa dengan lidahnya
(Mzm. 39:2), takkan membiarkan mulutnya berbuat dosa,
dan oleh sebab itu ia tidak berani memperkatakan celaka.
Tidak, bahkan kepada musuh terbesarnya sekalipun. Apa-
bila orang lain merencanakan yang jahat kepada kita,
maka itu tidak membenarkan kita untuk merencanakan
yang jahat kepada mereka.
2. Ayub sangat terdorong untuk membalas dendam, namun men-
jauhkan diri dari hal itu (ay. 31): orang-orang di kemahnya,
yaitu para pelayan rumah tangga, budak, dan orang-orang di
sekitarnya, begitu marah terhadap musuh-musuh Ayub yang
membencinya, hingga mereka seakan ingin memakan daging
musuhnya itu seandainya Ayub mengizinkan mereka. “Siapa
yang tidak kenyang dengan lauknya? (KJV: Oh, seandainya saja
kita mendapatkan dagingnya!). Tuan kita sudi memaafkan dia,
namun kita tidak.” Lihatlah betapa Ayub sangat dikasihi oleh
keluarganya, betapa mereka mendukung perkaranya dengan
sepenuh hati, dan betapa mereka memusuhi orang-orang yang
memusuhinya. Namun, lihatlah betapa kuat Ayub mengendali-
kan amarahnya, supaya ia tidak membalas dendam meskipun
di sekelilingnya orang-orang memanas-manasinya. Perhatikan-
lah,
(1) Orang yang baik biasanya tidak begitu mempermasalahkan
penghinaan yang dilontarkan kepadanya, justru para saha-
batnya yang mempermasalahkannya bagi dia.
(2) Orang-orang besar biasanya dikelilingi orang-orang yang
menghasut mereka untuk membalas dendam. Daud pun
mengalami hal serupa (1Sam. 24:4; 26:8; 2Sam. 16:9).
Namun, apabila mereka menahan amarah tanpa memeduli-
kan hasutan dendam orang-orang di sekeliling mereka itu,
di kemudian hari hal itu bukan saja tidak akan menda-
tangkan kesedihan bagi mereka, namun juga berbalik men-
jadi puji-pujian bagi mereka.
IV. Ayub menyatakan pembelaan bahwa ia pernah bersikap buruk
atau tidak bermurah hati terhadap orang-orang asing (ay. 32):
orang asingpun tidak pernah bermalam di luar, seperti yang
dahulu mungkin dialami para malaikat di jalanan Sodom, kalau
saja Lot tidak menerima mereka di rumahnya. Boleh jadi melalui
kejadian itulah Ayub diajar seperti kepada kita (Ibr. 13:2) supaya
tidak lupa menjamu orang asing di rumah kita. Orang yang
berada di rumah harus memikirkan mereka yang berada jauh dari
rumah, bersimpati terhadap mereka, dan memperlakukan mereka
seperti ia ingin diperlakukan. Keramahtamahan dalam menyam-
but tamu merupakan kewajiban orang Kristen (1Ptr. 4:9). Di te-
ngah kemakmurannya, Ayub dikenal sebagai orang yang menge-
lola rumah tangganya dengan baik: pintuku kubuka bagi musafir.
Ia membiarkan pintu rumahnya tetap terbuka, supaya ia bisa
melihat siapa saja yang melintas, dan mengajak mereka masuk ke
rumah, seperti yang dilakukan Abraham (Kej. 18:1).
Pembelaan Ayub Atas Ketulusannya
(31:33-40)
33 Jikalau aku menutupi pelanggaranku seperti manusia dengan menyem-
bunyikan kesalahanku dalam hatiku, 34 sebab aku takuti khalayak ramai
dan penghinaan kaum keluarga mengagetkan aku, sehingga aku berdiam diri
dan tidak keluar dari pintu! 35 Ah, sekiranya ada yang mendengarkan aku! –
Inilah tanda tanganku! Hendaklah Yang Mahakuasa menjawab aku! – Sekira-
nya ada surat tuduhan yang ditulis lawanku! 36 Sungguh, surat itu akan
kupikul, dan akan kupakai bagaikan mahkota. 37 Setiap langkahku akan ku-
beritahukan kepada-Nya, selaku pemuka aku akan menghadap Dia. 38 Jika-
lau ladangku berteriak sebab aku dan alur bajaknya menangis bersama-
sama, 39 jikalau aku memakan habis hasilnya dengan tidak membayar, dan
menyusahkan pemilik-pemiliknya, 40 maka biarlah bukan gandum yang tum-
buh, namun onak, dan bukan jelai, namun lalang.” Sekianlah kata-kata Ayub.
Dalam perikop ini terdapat pembelaan Ayub terhadap tiga dosa lain,
bersama dengan naik bandingnya ia ke pengadila