angan orang baik, dan orang besar juga,
untuk mendatangkan rasa sukacita kepada orang-orang
yang paling akrab dengan dukacita. Orang besar hendaklah
berlaku demikian juga.
(5) Kepada yang kalut sebab sebab apa pun, Ayub memberi-
kan kelegaan tepat pada waktunya, pada waktu yang se-
suai (ay. 15): aku menjadi mata bagi orang buta, membim-
bing serta memberi nasihat bagi yang tidak tahu harus
melakukan apa. Aku menjadi kaki bagi orang lumpuh, mem-
beri bantuan keuangan bagi mereka yang tahu harus mela-
kukan apa namun tidak tahu bagaimana mencapainya. Ban-
tuan yang terbaik yaitu menolong orang keluar dari keti-
dakberdayaan mereka dalam suatu masalah, di mana me-
reka sangat memerlukan pertolongan. Kita sendiri bisa saja
menjadi buta atau lumpuh, dan sebab itu kita harus
mengasihani serta menolong mereka yang sekarang buta
dan lumpuh (Yes. 35:3-4; Ibr. 12:13).
3. Ayub menilai dirinya berdasarkan hati nuraninya yang men-
junjung keadilan dan kesetaraan dalam segala tindakan. Para
sahabat Ayub melontarkan tuduhan keliru bahwa ia yaitu
seorang penindas. “Sama sekali tidaklah begitu,” ujarnya, “aku
senantiasa menjaga dan menjunjung kebenaran.”
(1) Ayub mengabdikan diri dalam menjalankan keadilan (ay.
14): Aku berpakaian kebenaran, artinya ia memiliki watak
dan kebiasaan menjalankan keadilan serta berketetapan
untuk melakukannya, seperti ikat pinggang tetap terikat
pada pinggang (Yes. 11:5). Pakaian kebenaran itu menjaga-
nya tetap teguh dan mantap dalam setiap gerak-geriknya.
Ia selalu tampil dalam pakaian kebenaran, seperti memakai
baju, tidak pernah lepas darinya. Kebenaran akan mem-
bungkus orang yang mengenakannya. Kebenaran membuat
mereka tetap hangat dan nyaman. Kebenaran menjaga mere-
ka tetap aman dan memagari mereka dari bahaya di segala
waktu. Kebenaran mempercantik diri mereka dan membuat
mereka diperkenan oleh Allah dan manusia.
(2) Ayub bersuka dalam kebenaran, bergembira dalam kesuka-
an yang kudus. Kemuliaan terbesar baginya ialah berbuat
keadilan kepada semua orang dan tidak mencelakai siapa
pun. Keadilan menutupi aku seperti jubah dan serban.
Kemungkinan, Ayub sendiri tidak mengenakan jubah dan
serban jasmani, ia tidak memedulikan lambang-lambang
kehormatan. Yang paling suka memakai simbol kehormat-
an yaitu mereka yang tidak memiliki nilai batin yang
membuat orang lain menghormati mereka. Akan namun ,
bagi Ayub, prinsip-prinsip keadilan yang mengendalikan
dirinya dan yang dipakainya untuk memimpin itulah yang
menjadi perhiasannya. Bila seorang pejabat melaksanakan
kewajiban jabatannya, itulah kehormatan baginya, jauh
melebihi emas dan kain ungu (kain kebesaran – pen.), dan
dengan demikian menjadi kegirangannya pula. Sebaliknya,
jika ia mengabaikan kewajiban, maka jubah, serban, toga,
jamang, pedang, dan tongkat kebesarannya hanyalah kehi-
naan belaka, seperti jubah ungu dan mahkota duri yang
dipakaikan orang Yahudi untuk mengolok-olok Jurusela-
mat kita. Sebab, sebagaimana baju yang dikenakan orang
mati tidak akan membuatnya hangat, demikianlah jubah
pada orang hina tidak akan membuatnya mulia.
(3) Ayub berusaha keras dalam tugas jabatannya (ay. 16):
Perkara orang yang tidak kukenal, kuselidiki. Dengan tekun
ia mencari tahu kebenaran perkaranya, menyimak perkara
dari kedua belah pihak dengan sabar dan tanpa memihak,
membuat terang segala sesuatu, serta membersihkannya
dari alasan-alasan yang tidak benar. Ayub mengkaji selu-
ruh situasi supaya dapat menemukan kebenaran dan
pangkal setiap perkara, baru kemudian membuat penilai-
an. Ia tidak akan menghakimi sebelum menyelidiki semua-
nya. Tidak pernah Ayub menjawab suatu masalah sebelum
mendengarnya, tidak pula ia membenarkan seseorang se-
kalipun orang tersebut tampaknya benar sebagai pembicara
pertama dalam suatu pertikaian (Ams. 18:17).
4. Ayub menilai dirinya berdasarkan perlawanannya terhadap
kekerasan orang-orang sombong dan jahat (ay. 17): Geraham
orang curang kuremuk. Bukan leher yang diremukkannya.
Ayub tidak mencabut nyawa mereka, namun mematahkan ra-
hangnya, artinya mencabut kekuatan mereka dalam berbuat
jahat. Ia merendahkan mereka, mempermalukan, dan menge-
kang kecongkakan mereka. Dengan begitu, direbutnya mangsa
dari gigi mereka, dilepaskannya tawanan dan hak milik orang-
orang jujur agar tidak menjadi mangsa mereka. Saat orang
curang itu berhasil menggigit mangsa dan hendak menelannya
penuh ketamakan, dengan gagah berani ia menyelamatkan-
nya, seperti Daud melepaskan anak domba dari mulut singa.
Ayub tidak takut walaupun mereka mengaum dan mengamuk
layaknya singa kehilangan mangsa. Demikianlah seharusnya
hakim yang baik ditakuti oleh para pelaku kejahatan, menjadi
kekang bagi orang fasik dan pelindung bagi orang yang tidak
bersalah. Untuk dapat melakukannya, mereka harus memper-
lengkapi diri dengan kegigihan, keteguhan, dan keberanian
yang tidak kenal takut. Seorang hakim yang duduk di kursi
pengadilan harus tegas dan berani sama seperti seorang ko-
mandan di medan perang.
Kejayaan Ayub yang Semula
(29:18-25)
18 Pikirku: Bersama-sama dengan sarangku aku akan binasa, dan memper-
banyak hari-hariku seperti burung feniks. 19 Akarku mencapai air, dan embun
bermalam di atas ranting-rantingku. 20 Kemuliaanku selalu baru padaku, dan
busurku kuat kembali di tanganku. 21 Kepadakulah orang mendengar sambil
menanti, dengan diam mereka mendengarkan nasihatku. 22 Sehabis bicaraku
tiada seorangpun angkat bicara lagi, dan perkataanku menetes ke atas mere-
ka. 23 Orang menantikan aku seperti menantikan hujan, dan menadahkan
mulutnya seperti menadah hujan pada akhir musim. 24 Aku tersenyum kepada
mereka, saat mereka putus asa, dan seri mukaku tidak dapat disuramkan
mereka. 25 Aku menentukan jalan mereka dan duduk sebagai pemimpin; aku
bersemayam seperti raja di tengah-tengah rakyat, seperti seorang yang meng-
hibur mereka yang berkabung.
Yang memahkotai kemakmuran Ayub ialah adanya harapan indah
bahwa kejayaan itu akan terus berlangsung. Walaupun secara umum
Ayub tahu bahwa dirinya tidak aman dan bisa saja tertimpa masalah
(3:26, aku tidak mendapat istirahat, namun kegelisahanlah yang tim-
bul), tidak ada alasan khusus baginya untuk merasa takut. Yang ada
justru jaminan keberlangsungan hidupnya yang tenteram.
I. Dalam ayat-ayat di atas, lihatlah apa yang Ayub pikirkan di
tengah kemakmurannya (ay. 18): Bersama-sama dengan sarangku
aku akan binasa. sebab telah membangun sarang yang hangat
dan nyaman bagi dirinya, Ayub berpikir tidak ada yang akan
mengganggunya di situ ataupun menyingkirkannya dari sana
hingga ajal menjemput. Ayub tahu dirinya tidak pernah mencuri
dari mezbah suatu bongkahan bara api yang bisa membakar
sarangnya. Ia tidak melihat ada topan yang akan meruntuhkan
sarangnya. Jadi, ia pun menyimpulkan, “Besok akan sama seperti
hari ini,” seperti kata Daud (Mzm. 30:7), “Engkau telah menempat-
kan aku di atas gunung yang kokoh, aku takkan goyah untuk sela-
ma-lamanya.” Perhatikanlah,
1. Di tengah kejayaannya, Ayub sudah berpikir tentang kematian,
namun pemikiran itu tidak menggelisahkannya. Ia tahu bahwa
meskipun sarangnya berada di tempat tinggi, ia tidak akan
luput dari jangkauan anak panah maut.
2. Namun, Ayub membuai diri dengan pengharapan kosong bahwa,
(1) Umurnya akan panjang, dan ia akan memperbanyak hari-
harinya seperti burung feniks (KJV: memperbanyak hari-
harinya seperti pasir). Maksudnya ialah seperti pasir di tepi
laut, padahal seharusnya kita menghitung hari-hari kita
seperti pasir dalam jam pasir yang akan habis dengan
segera. Lihatlah betapa orang saleh pun cenderung meng-
anggap kematian itu masih lama, sehingga membuang
jauh-jauh hari yang jahat itu dari mereka, padahal sesung-
guhnya saat kematian itu akan menjadi hari yang baik bagi
mereka.
(2) Ia akan mati dalam keadaan yang makmur. Bila harapan
semacam ini timbul dari imannya akan pemeliharaan dan
janji Allah, maka hal itu baik. Namun, bila berasal dari rasa
bangga akan hikmatnya sendiri serta kemapanan harta
duniawi, maka hal itu keliru dan merupakan dosa. Semoga
pengharapan Ayub ini sama seperti keyakinan Daud, Ke-
pada siapakah aku harus takut? (Mzm. 27:1), bukan seperti
orang kaya yang bodoh, Jiwaku, ada padamu banyak ba-
rang; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-
senanglah (Luk. 12:19).
II. Lihatlah dasar dari pemikiran Ayub tersebut.
1. Saat memandang rumahnya, ia mendapati fondasi yang teguh.
Seluruh persediaannya yaitu miliknya sendiri, tidak ada yang
bisa dituntut orang lain darinya. Tidak didapati adanya penya-
kit yang menggerogoti badannya. Tanahnya tidak terikat utang
apa pun, tidak pula dirasakannya ada hama di dasarnya. Ayub
bergerak maju dalam semua usahanya dan tidak ketinggalan.
Ia tidak kehilangan nama baik, malah mendapatkannya. Tidak
ada saingan yang mengancam, baik untuk mengungguli kehor-
matannya maupun membatasi kekuasaannya. Lihatlah bagai-
mana Ayub menggambarkan keadaan tersebut (ay. 19-20). Ia
ibarat pohon, yang akarnya bukan saja menyebar, menegak-
kan dan mengokohkannya sehingga ia tidak akan tumbang,
namun juga mencapai air, memperoleh sumber makanan dan
membuatnya subur serta berkembang, sehingga ia tidak akan
layu. Ayub berpikir dirinya diberkati dengan kesuburan tanah
sekaligus langit, sebab katanya, “Embun bermalam di atas
ranting-rantingku.” Allah Sang Penyelenggara berkenan kepa-
danya, Dia membuat seluruh kenikmatannya menyenangkan
dan usahanya berhasil. Janganlah seorang pun berpikir hen-
dak menunjang kesuksesannya dengan hal-hal yang mereka
peroleh dari dunia ini tanpa adanya berkat yang turun dari
atas. Perkenanan Allah terus berlangsung atas Ayub dalam
bentuk kemuliaan-Nya yang masih segar dalam dia. Selalu ada
hal baru yang bisa dipuji oleh orang-orang di sekeliling Ayub,
mereka tidak perlu mengulang cerita lama. Hanya dengan
kebaikan yang terus-menerus, kejayaan seseorang bisa tetap
segar dan tidak layu atau memudar. Selain itu, busurku kuat
kembali di tanganku. Artinya, kekuatan Ayub untuk melin-
dungi diri dan melawan orang yang menyerang dia masih terus
bertambah, sehingga pikirnya tiada alasan untuk takut ter-
hadap gangguan orang Syeba dan orang Kasdim.
2. Saat memandang keluar, ia mendapati dirinya sangat disukai
serta diakui. Tidak ada alasan untuk meragukan kesetiaan
kawan-kawannya, sama seperti tiadanya alasan untuk gentar
terhadap kekuatan musuh-musuhnya. Hingga detik terakhir
kemakmurannya, teman-temannya masih menghormati dia
serta bergantung padanya. Adakah alasan untuk takut, se-
mentara dialah yang menjadi penasihat dan pemberi hukum
bagi semua orang di sekitarnya? Tidak mungkin mereka ber-
tindak melawan dia sebab tiada yang dikerjakan tanpa dirinya.
(1) Ayub yaitu orang bijak di negerinya. Ia dimintai nasihat
layaknya seorang imam, dan nasihatnya diterima tanpa
keraguan (ay. 21). saat yang lain tidak bisa didengar,
“Kepadakulah orang mendengar sambil menanti, dengan
diam mereka mendengarkan nasihatku,” sebab mereka tahu
bahwa nasihat Ayub tidak bisa dibantah dan sudah tidak
dapat ditambahi lagi. Itulah sebabnya, “sehabis bicaraku
tiada seorangpun angkat bicara lagi” (ay. 22). Untuk apa
membahas lagi topik yang sudah selesai?
(2) Ayub yaitu kesayangan rakyat negerinya. Semua orang di
sekelilingnya menyukai seluruh perkataan dan perbuatan-
nya, sama seperti rakyat Daud menyukai rajanya itu (2Sam.
3:36). Ayub disenangi dan dikasihi oleh semua tetangganya,
hambanya, para penyewa tanahnya, serta bawahannya.
Belum pernah ada seseorang yang sedemikian dipuja dan
dikasihi.
[1] Yang diajak bicara oleh Ayub dianggap berbahagia, dan
mereka sendiri pun merasa bahagia. Melebihi embun
langit diterima oleh tanah kering, demikianlah ucapan
bijak Ayub diterima oleh mereka yang mendengarnya,
khususnya orang-orang yang secara khusus diajar dan
diarahkan oleh dia. Perkataannya menetes ke atas me-
reka, dan mereka menantikan itu layaknya menantikan
hujan (ay. 22-23). Mereka mengagumi ucapan berbudi
yang keluar dari mulut Ayub, memperhatikannya, me-
megangnya erat-erat, dan menyimpannya sebagai kata-
kata mutiara. Para hambanya yang setiap hari ada di
hadapan Ayub dan mendengar hikmatnya tidak akan iri
kepada para pegawai Salomo. Bijaklah orang-orang yang
tahu menghargai ujaran hikmat, menginginkannya, me-
nantikannya, dan menghirupnya seperti tanah yang
menghisap air hujan yang sering turun ke atasnya (Ibr.
6:7). Barang siapa seperti Ayub, yakni dihormati oleh
banyak orang lain hingga ipse dixit – pernyataannya
diterima mentah-mentah tanpa perlu bukti, dan memi-
liki banyak kesempatan untuk berbuat baik, haruslah
mereka sangat berhati-hati agar tidak melukai orang,
sebab satu kata buruk saja dari mulut mereka sangat
melukai.
[2] Terlebih lagi yang menerima senyum dari Ayub diang-
gap berbahagia, dan mereka sendiri pun merasa baha-
gia (ay. 24). Bila Ayub tersenyum kepada mereka, untuk
menunjukkan bahwa dirinya berkenan kepada mereka
atau senang bersama mereka, senyumannya itu begitu
menyenangkan hingga mereka seolah tidak percaya
sebab terlalu girangnya, atau sebab jarang sekali pria
yang serius itu tersenyum. Banyak orang mencari muka
pada pemerintah (KJV: mencari perkenanan pemimpin).
Ayub yaitu seorang pemimpin yang perkenanannya
sangat didambakan dan ditinggikan. Barang siapa me-
nerima salam hangat dari seorang raja besar, ia dicem-
burui oleh orang yang hanya menerima piala emas dari-
nya. Keakraban sering kali mengurangi rasa hormat.
Namun, kapan pun Ayub berakrab ria dengan orang-
orang di sekitarnya, hal itu sama sekali tidak menurun-
kan rasa hormat mereka terhadapnya. Seri mukaku
tidak dapat disuramkan mereka. Ia membagikan perke-
nanan dengan sedemikian bijaknya sehingga tidak men-
jadikan perkenanannya sesuatu yang murahan. Orang-
orang pun menerimanya dengan amat bijak sehingga
perkenanannya itu tetap dipandang layak untuk diteri-
ma lagi di lain waktu.
(3) Ayub yaitu penguasa di negerinya (ay. 25). Ia menentukan
jalan mereka, ia duduk di tempat kemudi dan memegang
kendali bagi mereka. Semua orang menyerahkan diri
kepada kepemimpinannya dan tunduk kepada perintahnya.
Kemungkinan, seperti inilah cara bangkitnya monarki atau
kerajaan besar di banyak negeri: orang seperti Ayub yang
sangat unggul melampaui sesamanya dalam hikmat dan
kejujuran sudah barang tentu menjadi pemimpin, sedang-
kan orang-orang bodoh pasti menjadi hamba orang bijak.
Bila hikmat mengalir dalam darah seseorang, kehormatan
dan kuasa menyertainya, dan sedikit demi sedikit akan
menjadi warisan turun temurun. Ada dua hal yang mem-
buat Ayub berdaulat:
[1] Ia memiliki wibawa seorang komandan atau jenderal. Ia
bersemayam seperti raja di tengah-tengah rakyat (KJV: di
tengah-tengah pasukan), memberi perintah yang tidak
dapat diganggu gugat. Tidak setiap orang berhikmat
memiliki jiwa kepemimpinan, namun Ayub memiliki ke-
duanya, dan saat ada kesempatan, ia dapat memberi
perintah seperti raja di tengah pasukannya berkata,
“Pergi!,” “Datang!,” dan, “Kerjakanlah ini!” (Mat. 8:9).
[2] Sekalipun begitu, ia memiliki kelemahlembutan seorang
pelipur lara. Ia selalu siap menolong yang tertekan se-
olah memang sudah menjadi tugasnya untuk meng-
hibur orang yang berkabung. Elifas sendiri pun meng-
akui bahwa Ayub sangat cakap dalam hal tersebut (4:3):
Tangan yang lemah telah engkau kuatkan. Dan sekarang
pun Ayub mengenangnya dengan senang, di kala ia sen-
diri sedang berduka. Akan namun , lebih mudah meng-
hibur orang lain dengan penghiburan yang pernah kita
terima, daripada menghibur diri sendiri dengan peng-
hiburan yang pernah kita berikan kepada orang lain.
Menurut saya, Ayub dapat dilihat sebagai bayang-
bayang dan gambaran Kristus dalam kuasa dan kejaya-
annya. Yesus, Tuhan kita, yaitu Raja seperti Ayub
dahulu, Raja bagi orang sengsara, Raja yang mencintai
kebenaran dan membenci kefasikan, dan kepada-Nya-
lah dunia yang nyaris binasa mengucapkan berkat (Lih.
Mzm. 72:2). Oleh sebab itu, marilah kita mendengarkan
sabda-Nya dan biarlah Dia bertakhta sebagai penguasa
dalam hati kita.
PASAL 30
ungguh sedih kata “namun sekarang” mengawali pasal ini. Nasib
malang dijelaskan di sini dengan sama hidupnya seperti kemak-
muran di dalam pasal sebelumnya, dan tingginya kemakmuran masa
lalu itu hanya menambah dalamnya kemalangan ini. Allah mengatur
keadaan yang satu muncul sesudah yang lain, dan demikian pula
dengan Ayub, sehingga malapetaka yang menimpanya mungkin tam-
pak lebih menyedihkan, dan akibatnya keadaannya lebih menim-
bulkan rasa kasihan.
I. Ia dahulu hidup dengan kehormatan yang besar, namun seka-
rang dia telah jatuh ke dalam kehinaan, dan banyak difitnah,
bahkan oleh orang-orang yang paling hina. Inilah yang sa-
ngat dikeluhkannya (ay. 1-14).
II. Ia dahulu memiliki penghiburan dan kesukaan batiniah yang
besar, namun sekarang dia menjadi kengerian dan beban bagi
diri sendiri (ay. 15-16) dan sangat tertekan dengan kesedihan
(ay. 28-31).
III. Sebelumnya ia hidup sehat walafiat, namun sekarang dia sa-
kit-sakitan dan penuh kesakitan (ay. 17-18, 29-30).
IV. Waktu itu rahasia Allah ada bersamanya, namun sekarang
komunikasinya dengan sorga terputus (ay. 20-22).
V. Selama ini ia menjanjikan umur panjang bagi diri sendiri,
namun sekarang ia melihat kematian di ambang pintu (ay. 23).
Satu hal yang paling mengejutkannya yaitu bahwa dia ter-
kejut saat mencari kedamaian. Namun dua hal telah mem-
berinya kelegaan:
1. Bahwa masalahnya tidak akan mengikutinya sampai ke
kubur (ay. 24).
2. Bahwa hati nuraninya bersaksi baginya, dalam kemak-
murannya, dia ikut bersimpati dengan orang-orang yang
mengalami sengsara (ay. 25).
Keadaan Ayub yang Direndahkan
(30:1-14)
1 “namun sekarang aku ditertawakan mereka, yang umurnya lebih muda dari
padaku, yang ayah-ayahnya kupandang terlalu hina untuk ditempatkan
bersama-sama dengan anjing penjaga kambing dombaku. 2 Lagipula, apakah
gunanya bagiku kekuatan tangan mereka? Mereka sudah kehabisan tenaga,
3 mereka merana sebab kekurangan dan kelaparan, mengerumit tanah yang
kering, belukar di gurun dan padang belantara; 4 mereka memetik gelang laut
dari antara semak-semak, dan akar pohon arar menjadi makanan mereka.
5 Mereka diusir dari pergaulan hidup, dan orang berteriak-teriak terhadap
mereka seperti terhadap pencuri. 6 Di lembah-lembah yang mengerikan
mereka harus diam, di dalam celah-celah tanah dan sela-sela gunung; 7 di
antara semak-semak mereka meraung-raung, mereka berkelompok di bawah
jeruju; 8 mereka itulah orang-orang bebal yang tak dikenal, yang didepak dari
negeri. 9 namun sekarang aku menjadi sajak sindiran dan ejekan mereka.
10 Mereka mengejikan aku, menjauhkan diri dari padaku, mereka tidak
menahan diri meludahi mukaku, 11 sebab tali kemahku telah dilepaskan
Allah dan aku direndahkan-Nya, dan mereka tidak mengekang diri terhadap
aku. 12 Di sebelah kananku muncul gerombolan, dikaitnya kakiku, dan dirin-
tisnya jalan kebinasaan terhadap aku; 13 mereka membongkar jalanku dan
mengusahakan kejatuhanku; tidak ada yang menghalang-halangi mereka.
14 Seperti melalui tembok yang terbelah lebar mereka menyerbu, mereka
datang bergelombang di tengah-tengah keruntuhan.
Di sini Ayub berkeluh kesah tentang kejatuhannya ke dalam kehina-
an yang hebat, dari puncak kehormatan dan ketenaran. Hal ini sung-
guh menyedihkan dan menghancurkan hati Ayub yang tidak bersalah
ini. Dua hal ditekankannya sebagai sangat memperberat malapetaka
yang menimpanya:
I. Rendahnya kedudukan orang-orang yang menghinanya. Dahulu
pada masa kemakmuran, kehormatannya banyak dijunjung oleh
para raja dan bangsawan yang menunjukkan hormat dan kese-
ganan kepadanya, namun sekarang kehinaannya dalam keseng-
saraan ini banyak ditambah pula dengan diinjak-injaknya dia oleh
orang-orang yang kedudukannya jauh lebih rendah daripadanya,
yang paling hina dina. Tidak ada yang lebih rendah daripada
orang-orang yang menghina Ayub ini.
1. Mereka orang-orang muda, lebih muda dari dirinya (ay. 1), ge-
rombolan anak muda (ay. 12), yang seharusnya berperilaku
hormat terhadapnya sebab umur dan kedudukannya. Bah-
kan anak-anak kecil saat sedang bermain-main, mengolok-
olok dia, seperti yang dilakukan anak-anak di Betel terhadap
sang nabi, Naiklah botak, naiklah botak. Anak-anak sering be-
lajar untuk mencela saat mereka melihat orangtuanya demi-
kian.
2. Orang-orang muda itu berasal dari keluarga yang rendah.
Ayah-ayah mereka sangat tercela sehingga orang seperti Ayub
pun merasa terhina untuk memperkerjakan mereka di ling-
kungan rumahnya, seperti menjaga domba dan menemani
gembala dengan anjing-anjing penjaga kambing domba (ay. 1).
Mereka begitu lusuh sehingga tidak pantas untuk dilihat di
antara hamba-hambanya, begitu bodoh sehingga tidak cocok
untuk dipekerjakan, dan begitu penuh kebohongannya sampai
tidaklah layak untuk dipercaya dengan pekerjaan yang paling
rendah sekalipun. Ayub di sini berbicara tentang apa yang
mungkin akan dilakukannya, bukan tentang apa yang telah
dilakukannya. Dia bukanlah orang yang punya hati sedemi-
kian kejamnya hingga menempatkan orang dengan anjing-
anjing penjaga kawanan ternaknya. Ia tahu martabat manusia
itu tinggi, dan tidak akan berbuat demikian.
3. Mereka dan keluarga mereka hanya menjadi beban yang tak
berguna di bumi ini dan tidak ada hal baiknya. Ayub sendiri,
dengan segala hikmat dan kesabarannya, tidak dapat berbuat
apa-apa bagi mereka (ay. 2). Anak-anak muda itu tidaklah co-
cok untuk bekerja, mereka begitu malas dan melakukan tu-
gasnya dengan seenaknya sendiri: Apakah gunanya bagiku
kekuatan tangan mereka? Yang tua tidak mau dinasihati da-
lam hal-hal yang terkecil, sebab memang sudah lanjut umur
mereka, sudah kehabisan tenaga, mereka dua kali lipat lebih
buruk dari anak-anak.
4. Mereka teramat sangat miskin (ay. 3). Mereka sudah hampir
kelaparan, sebab mereka tidak mau bekerja, sedangkan untuk
mengemis pun mereka malu. Seandainya mereka memang di-
buat miskin oleh tindakan Penyelenggaraan Allah, maka para
tetangga mereka pasti akan mengasihani dan menolong mere-
ka. namun , sebab mereka mengalami kesesakan sebab kema-
lasan dan hidup boros, tak seorang pun yang tergerak untuk
menolong mereka. Sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke
padang gurun untuk berlindung dan bertahan. Sengsara hi-
dup mereka, saat mereka harus memetik gelang laut di
antara semak-semak, dan akar pohon arar menjadi makanan
mereka. namun merasa senang memakannya, sebab keku-
rangan makanan yang pantas (ay. 4). Lihatlah ke mana kela-
paran akan membawa kita: separuh dunia tidak tahu bagai-
mana keadaan separuh bagian yang lainnya. Seharusnya
orang-orang yang berkelimpahan memikirkan juga mereka
yang nasibnya memburuk dan menjadi berkekurangan. Dalam
semuanya ini, kita harus mengakui kebenaran Allah, dan tidak
menganggapnya aneh, jika kemalasan menjadikan orang mis-
kin dan jiwa yang malas dibuat menderita kelaparan. Dunia
yang berjiwa pengemis ini penuh dengan orang-orang miskin
dari si jahat.
5. Mereka sangat jahat, tidak hanya menjadi beban namun juga
wabah di tempat-tempat mereka tinggal, bajingan rendah,
sampah negeri: Mereka diusir dari pergaulan hidup (ay. 5). Me-
reka berbohong, mencuri, pengintai, dan kejam, sehingga tin-
dakan terbaik yang dapat dilakukan oleh para pejabat yaitu
mengusir mereka dari negeri, sementara gerombolan orang
berteriak-teriak terhadap mereka seperti terhadap pencuri.
Enyahlah kalian dari bumi, tidak pantas kalian tinggal. Mereka
malas dan tidak mau bekerja, dan sebab itu mereka diteriaki
seperti terhadap pencuri dan memang adil demikian. Sebab
orang-orang yang tidak mendapat roti melalui pekerjaan yang
jujur, pada dasarnya sama saja dengan mencuri roti dari
mulut orang lain. Seorang pengangguran yaitu suatu gang-
guan umum. namun lebih baik untuk menitipkan mereka di
sebuah rumah penampungan daripada membuang mereka ke
padang gurun, yang akan menghukum mereka, namun tidak
akan pernah membarui mereka. Mereka dipaksa untuk tinggal
di dalam celah-celah tanah, dan di antara semak-semak mere-
ka meraung-raung (ay. 6-7). Lihatlah nasib orang-orang yang
mendapat teriakan dari negeri, teriakan dari hati nurani mere-
ka sendiri, yang menentang mereka. Mereka tidak bisa tidak
berada di dalam kengerian dan kebingungan yang terus-mene-
rus. Di antara semak-semak mereka meraung-raung (demikian
Broughton) dan berkelompok di bawah jeruju. Mereka tersengat
dan tergores di sana, sementara mereka berharap untuk ber-
naung dan berlindung. Lihatlah penderitaan apa yang ditimpa-
kan orang-orang jahat ke atas diri mereka sendiri di dunia ini.
Namun hal ini tidak ada apa-apanya dibandingkan penderita-
an yang disimpan bagi mereka di dunia lain.
6. Mereka tidak punya apa-apa sama sekali untuk dihargai.
Mereka sejenis orang yang jahat. Ya, orang yang tidak punya
nama, orang-orang yang tidak memiliki apa-apa untuk dipuji
atau diharapkan. Mereka dibuang dari bumi, didepak dari
negeri. Tidak terpikirkan jika ada manusia yang sifatnya sede-
mikian rendah dan rusak seperti orang-orang ini. saat kita
bersyukur kepada Allah bahwa kita ini diciptakan sebagai ma-
nusia, kita juga harus bersyukur tidak menjadi manusia seperti
mereka. Yang parahnya, orang-orang yang demikian berlaku
jahat terhadap Ayub,
(1) Untuk membalas dendam, sebab saat dia dahulu mak-
mur dan berkuasa, seperti layaknya seorang pejabat yang
baik, dia menerapkan hukum yang menindak tegas gelan-
dangan, bajingan, dan pengemis keras kepala, dan hal ini
kini diingat oleh orang-orang jahat ini terhadap dirinya.
(2) Untuk bersukaria atas dia, sebab mereka berpikir bahwa
dia sekarang telah menjadi seperti salah satu dari mereka
(Yes. 14:10-11). Orang-orang hina, yang jahat hatinya, suka
menghina orang-orang yang menderita (Mzm. 35:15).
II. Penghinaan terbesar yang diberikan kepada Ayub. Tidak terba-
yangkan perlakuan jahat mereka terhadapnya.
1. Mereka membuat sajak-sajak tentang Ayub, untuk bersenang-
senang (ay. 9): Aku menjadi sajak sindiran dan ejekan mereka.
Sungguh hina orang-orang yang menjadikan malapetaka se-
sama sebagai senda-gurau, dan bersukaria menghibur diri
dengan kesedihan mereka.
2. Mereka memandang Ayub seperti tontonan yang menjijikkan,
membencinya, dan menghindarinya (ay. 10), seperti monster
jelek atau berpenyakit menular. Orang-orang yang telah diusir
dari antara orang banyak itu kini mengusir Ayub. Sebab,
3. Mereka mencemooh dia sehabis-habisnya dan dengan meluap-
luap. Mereka meludahi mukanya atau bersiap untuk melaku-
kannya. Mereka mengganjal tumitnya, mengait kakinya (ay. 12),
menendangnya, entah dalam kemarahan sebab mereka mem-
benci dia, atau hanya untuk mempermainkan dia, seperti orang
bermain bola. Orang-orang yang paling saleh pun kadang-
kadang menerima perlakuan jahat dan penghinaan dari dunia
yang penuh kebencian, cibiran, dan sebab itu mereka tidak
perlu heran. Tuhan kita juga pernah dilecehkan demikian.
4. Mereka sangat jahat terhadap Ayub, tidak mempermainkan
dia, namun juga memangsa dia. Tidak hanya mengganggu dia,
namun juga menjahati dia dengan berbagai cara. Mereka me-
rintis jalan kebinasaan terhadap aku. Mereka melempar kepa-
daku penyebab celaka mereka. Yaitu, “Mereka menyalahkan
aku sebab mereka diusir.” Memang sudah biasa bagi pen-
jahat untuk membenci hakim dan hukum yang menghukum
mereka. Namun, dengan perlakukan ini,
(1) Mereka menuduhnya dengan tidak beralasan, memfitnah
dia dengan perbuatannya yang dahulu, yang di sini dikata-
kan membongkar jalanku. Mereka menuduhnya seorang
penguasa kejam dan seorang penindas sebab dia telah
menghukum mereka. Dan mungkin juga teman-teman
Ayub mendasarkan tuduhan tak berbelaskasihan mereka
(22:6, dst.) pada kecaman-kecaman yang tidak adil dan
tidak masuk akal dari orang-orang yang malang ini. Betapa
lemah dan cerobohnya para sahabat Ayub sampai mau
mengindahkan tuduhan orang-orang seperti ini terhadap
Ayub. Sebab, siapa yang akan benar jika tuduhan dari
orang jahat diperhatikan?
(2) Mereka tidak hanya bersukaria atas malapetaka Ayub, te-
tapi juga memperparahnya, berbuat sedapat mungkin un-
tuk menambah penderitaannya supaya ia semakin seng-
sara lagi. Sangatlah berdosa untuk bersuka atas malape-
taka orang, terutama orang-orang yang baik. Tidak ada
yang menghalang-halangi mereka, tidak ada yang mengatur
atau menyetujui mereka, tidak ada yang mendukung atau
melindungi mereka, namun mereka melakukannya atas
kehendak sendiri dan bersama-sama. Mereka semua bodoh
di dalam hal-hal lain, namun cukup pintar untuk melaku-
kan kejahatan, dan tidak butuh bantuan dalam melaku-
kannya. Beberapa orang menafsirkannya, Mereka mengam-
bil untung dari bencanaku, namun tidak menjadi lebih baik.
Orang-orang jahat, kendati mereka tidak mendapat apa-
apa melalui bencana orang lain, namun tetap bersukacita
di dalamnya.
5. Orang-orang yang melakukan kepadanya semua kejahatan ini
begitu banyak, sehati, dan kejam (ay. 14): Seperti melalui tem-
bok yang terbelah lebar mereka menyerbu, saat tembok ben-
teng rusak. Atau, “Mereka datang seperti tentara yang menero-
bos masuk kota yang terkepung melalui tembok kota yang
hancur, dan menerjang aku dengan kemarahan yang besar.”
Dan mereka merasa bangga dan senang dengan hal ini: Mere-
ka datang bergelombang di tengah-tengah keruntuhan, seperti
orang menggelundung dalam sebuah kasur yang empuk dan
nyaman. Mereka berguling-guling di atas Ayub dengan seluruh
berat kejahatan mereka.
III. Semua hinaan yang ditimpakan ke atas Ayub itu disebabkan oleh
masalah yang dialaminya (ay. 11): “sebab tali kemahku telah
dilepaskan Allah. Allah telah mengambil kehormatan dan kekuat-
an yang selama ini menopang diriku (12:18), Ia telah memporak-
porandakan apa yang telah aku kumpulkan dan mengacaukan
segala urusanku. sebab Ia telah menulahi aku, sehingga mereka
tidak mengekang diri terhadap aku,” yaitu, “mereka melepaskan
diri untuk berbicara dan melakukan apa yang mereka sukai
terhadap aku.” Orang-orang yang oleh Pemeliharaan Allah dilucuti
dari kehormatan mereka harus bersiap-siap dipenuhi dengan
penghinaan oleh orang-orang yang bertabiat jahat. “Oleh sebab
Allah telah melepaskan talinya” (bahasa aslinya juga berbunyi
demikian), yaitu “sebab Allah telah melepaskan tali kekang dari
kejahatan mereka, maka mereka membuang kekang dariku,” ya-
itu “mereka tidak peduli dengan otoritasku atau menghargai diri-
ku lagi.” yaitu sebab Allah yang memegang hati nurani orang,
bahkan orang-orang yang jahat, dan mengekang mereka, sehingga
kita tidak terus-menerus dihina dan dilecehkan. Dan, jika suatu
waktu kita menjumpai perlakuan buruk yang seperti ini, maka
kita harus mengakui tangan Allah dalam melepas kekang mereka,
seperti yang dialami Daud saat Simei mengutukinya: Biarkanlah
dia dan biarlah ia mengutuk, sebab TUHAN yang telah berfirman
kepadanya demikian. Nah, dalam semuanya ini,
1. Kita dapat melihat ketidakpastian dari kehormatan duniawi,
dan terutama pujian atas ketenaran, betapa cepatnya orang
dapat jatuh dari puncak martabat ke dalam kedalaman hina-
an. sebab itu betapa tidak beralasannya manusia untuk ber-
ambisi atau bangga dengan apa yang sedemikian mudah hi-
lang itu. Betapa manusia jangan menaruh keyakinan di da-
lamnya! Orang-orang yang hari ini berseru, “Hosana,” mung-
kin besok berseru, “Salibkan.” Namun ada suatu kehormatan
yang datang dari Allah, yang apabila kita pelihara, tidak akan
berubah atau hilang.
2. Kita dapat melihat bahwa sering kali nasib orang-orang yang
sangat baik dan bijaksana diinjak-injak dan dilecehkan. Dan,
3. Mereka yang memandang hanya kepada hal-hal yang keli-
hatan, membenci mereka yang dibenci dunia dunia, kendati
mereka pernah menjadi kesukaan sorga. Tidak ada yang lebih
mengenaskan dalam kemiskinan daripada saat ia membuat
manusia menjadi hina. Turba Remi sequitur fortunam, ut sem-
per odit damnatos – Penduduk Roma, yang percaya dengan per-
ubahan nasib, menganiaya yang jatuh.
4. Kita dapat melihat di dalam diri Ayub suatu perlambangan
akan Kristus, yang dijadikan olok-olok manusia dan cibiran
orang (Mzm. 22:8; Yes. 53:3), dan yang tidak menyembunyikan
wajah-Nya dari rasa malu dan ludah, dan menanggung peng-
hinaan dengan lebih baik daripada Ayub.
Keluhan Ayub Atas Malapetaka yang Menimpanya
(30:15-31)
15 Kedahsyatan ditimpakan kepadaku; kemuliaanku diterbangkan seperti
oleh angin, dan bahagiaku melayang hilang seperti awan. 16 Oleh sebab itu
jiwaku hancur dalam diriku; hari-hari kesengsaraan mencekam aku. 17 Pada
waktu malam tulang-tulangku seperti digerogoti, dan rasa nyeri yang menu-
suk tak kunjung berhenti. 18 Oleh kekerasan yang tak terlawan koyaklah
pakaianku dan menggelambir sekelilingku seperti kemeja. 19 Ia telah meng-
hempaskan aku ke dalam lumpur, dan aku sudah menyerupai debu dan abu.
20 Aku berseru minta tolong kepada-Mu, namun Engkau tidak menjawab; aku
berdiri menanti, namun Engkau tidak menghiraukan aku. 21 Engkau menjadi
kejam terhadap aku, Engkau memusuhi aku dengan kekuatan tangan-Mu.
22 Engkau mengangkat aku ke atas angin, melayangkan aku dan menghan-
curkan aku di dalam angin ribut. 23 Ya, aku tahu: Engkau membawa aku
kepada maut, ke tempat segala yang hidup dihimpunkan. 24 Sesungguhnya,
masakan orang tidak akan mengulurkan tangannya kepada yang rebah, jika-
lau ia dalam kecelakaannya tidak ada penolongnya? 25 Bukankah aku mena-
ngis sebab orang yang mengalami hari kesukaran? Bukankah susah hatiku
sebab orang miskin? 26 namun , saat aku mengharapkan yang baik, maka
kejahatanlah yang datang; saat aku menantikan terang, maka kegelap-
anlah yang datang. 27 Batinku bergelora dan tak kunjung diam, hari-hari
kesengsaraan telah melanda diriku. 28 Dengan sedih, dengan tidak terhibur,
aku berkeliaran; aku berdiri di tengah-tengah jemaah sambil berteriak minta
tolong. 29 Aku telah menjadi saudara bagi serigala, dan kawan bagi burung
unta. 30 Kulitku menjadi hitam dan mengelupas dari tubuhku, tulang-tulang-
ku mengering sebab demam; 31 permainan kecapiku menjadi ratapan, dan
tiupan serulingku menyerupai suara orang menangis.”
Dalam bagian yang kedua dari keluhan Ayub ini, yang lebih pahit,
dan sangat bernada sedih, kita dapat mengamati banyak hal yang
menjadi keluhannya dan hanya sedikit yang menghiburnya.
I. Inilah banyak hal yang dikeluhkan Ayub.
1. Secara umum, hari-harinya penuh dengan kesulitan dan ke-
sengsaraan yang hebat.
(1) Malapetaka telah menimpanya dan mengejutkannya. Mala-
petaka menimpanya (ay. 16): Hari-hari kesengsaraan men-
cekam aku. Kesengsaraan telah mencekam aku, seperti pe-
nagih utang menangkap si pengutang, menepuk punggung-
nya, dan mengamankannya. Pada waktu kesusahan datang
dengan suatu maksud, ia menangkap dengan cepat dan
tidak kehilangan pegangannya. Malapetaka mengejutkan-
nya (ay. 27): “Hari-hari kesengsaraan telah melanda diriku,”
yaitu, “kesengsaraan datang ke atas diriku tanpa mem-
berikan peringatan sebelumnya. Aku tidak mengharapkan-
nya atau melakukan persiapan apa pun bagi hari yang jahat
itu.” Amatilah, ia menghitung kesengsaraannya dengan hari,
yang akan segera dihitung dan selesai, dan tidak ada apa-
apanya dibandingkan kekekalan (2Kor. 4:17).
(2) Ia merasa sangat berduka sebab petaka itu. Batinku ber-
gelora, dan tak kunjung diam (ay. 27). Sengsara akibat mu-
sibahnya terus memangsa rohnya tanpa jeda. Ia terus ber-
sedih dari hari ke hari, selalu berkeluh kesah, selalu me-
ratap. Awan yang demikian terus-menerus menggantung di
pikirannya sehingga akibatnya dia hidup tanpa terang (ay.
26). Ia tidak memiliki sesuatu yang dapat menghiburnya. Ia
pasrah harus hidup sengsara selamanya, seperti Yakub,
yang bertekad untuk pergi berkabung di kuburan. Ia ber-
keliaran tanpa terang matahari (demikian kata sebagian
orang) di tempat-tempat yang gelap, seperti yang biasa dila-
kukan oleh orang-orang yang sedang bersedih. saat dia
pergi ke kumpulan jemaah, bergabung dengan mereka di
dalam ibadah yang khusyuk, alih-alih berdiri dengan te-
nang untuk menginginkan doa-doa mereka, ia berdiri dan
menangis keras-keras, dengan kesakitan tubuh, atau kese-
dihan pikiran, seperti orang yang setengah terganggu pikir-
annya. saat ia tampil di depan banyak orang, untuk me-
nerima kunjungan, saat hal yang baik datang kepadanya,
dia tidak dapat menahan diri, tidak dapat menjaga sopan-
santun, melainkan berdiri dan menjerit keras. Maka dia
menjadi saudara bagi serigala, dan kawan bagi burung
unta (ay. 29), memilih menyendiri dan menarik diri seperti
binatang-binatang ini (Yes. 34:13), menjerit dengan suara
yang mengerikan dan menakutkan seperti yang mereka
lakukan. Semua keluhannya yang kacau itu cocok jika di-
bandingkan dengan suara bising tidak keruan dari bina-
tang-binatang itu.
2. Kengerian dan kesusahan yang mencengkam jiwanya yaitu
bagian yang paling menyakitkan dari bencananya (ay. 15-16).
(1) Apabila dia memandang ke depan, dia melihat setiap hal
menakutkan di hadapannya. Apabila dia berusaha untuk
melepaskan kengeriannya, mereka berbalik mengamuk ke-
padanya. Apabila dia berusaha untuk melarikan diri, mere-
ka mengejar jiwanya secepat dan sekencang angin. Ia me-
ngeluh, mula-mula, tentang kedahsyatan Allah seperti
pasukan melawannya (6:4). Dan tetap saja, ke mana pun ia
memandang, mereka menghadapinya, dan ke mana pun ia
melarikan diri, mereka mengejarnya. Jiwaku (bagianku
yang terpenting, ratuku – bahasa Ibrani). Jiwa yaitu bagi-
an penting dari manusia. Jiwa yaitu kemuliaan kita. Da-
lam segala hal jiwa lebih unggul daripada tubuh, dan kare-
nanya apa yang mengejar jiwa dan mengancamnya pastilah
yang paling mengerikan.
(2) Apabila ia menengok ke belakang, ia melihat segala yang
baik yang dahulu dinikmatinya telah hilang darinya, dan
tidak ada sesuatu yang disisakan baginya kecuali ingatan
yang pahit tentangnya: Kesejahteraan dan kekayaanku te-
lah lenyap, sama cepatnya dan tiba-tibanya, tidak dapat
dipulihkan, seperti awan.
(3) Apabila ia melihat ke dalam, ia mendapati jiwanya tengge-
lam seluruhnya dan tak sanggup menopang kelemahannya,
tidak hanya terluka, namun juga hancur (ay. 16). Ia tidak
hanya lemah seperti air, namun juga, dalam pemahaman-
nya, hilang seperti air tertumpah ke tanah. Bandingkan
Mazmur 22:15, Hatiku (meleleh) menjadi seperti lilin.
3. Segala penyakit di tubuhnya sangat memilukan. Sebab,
(1) Ia penuh dengan rasa sakit, nyeri menusuk-nusuk, nyeri
yang tembus sampai ke tulang, ke semua tulangnya (ay. 17).
Rasanya seperti pedang di dalam tulangnya, yang menggero-
gotinya di waktu malam, saat dia seharusnya menyegarkan
diri dengan tidur. Sarafnya mengalami kejang-kejang yang
hebat. Otot-ototnya tidak beristirahat. Oleh sebab nyerinya
itu, ia tidak dapat beristirahat, tidur pergi dari matanya.
Tulang-tulangku mengering sebab demam (ay. 30). Ia terus
menderita demam yang tinggi, yang mengeringkan kelem-
baban tubuhnya dengan cepat dan bahkan memakan sum-
sum tulangnya. Lihatlah betapa lemahnya tubuh kita yang
membawa bibit-bibit penyakit dan kematian dalam dirinya.
(2) Badannya penuh dengan luka-luka borok dan bisul. Bebe-
rapa orang yang menderita di dalam tulang mereka tetap
dapat tidur dengan seluruh kulit yang utuh. namun sasaran
Iblis kepada Ayub meluas hingga ke tulang dan dagingnya,
tak satu pun dibiarkannya. Kulitku menjadi hitam (ay. 30).
Darah memucat, dan luka-luka bernanah dan sedikit demi
sedikit mengering dan mengeras, yang membuat kulitnya
tampak hitam. Bahkan pakaiannya berubah warna sebab
bisulnya yang terus meleleh, dan pakaian lembut yang bia-
sa dipakainya kini berubah menjadi kaku sehingga seluruh
pakaiannya menggelambir seperti kemeja (ay. 18). Akan
memuakkan untuk menggambarkan seperti apa keadaan
Ayub sebab kekurangan kain bersih dan perawatan yang
baik, dan betapa kotor semua pakaiannya. Beberapa penaf-
sir berpikir bahwa, di antara penyakit lain, Ayub menderita
bengkak di dalam tenggorokannya dan itulah yang menye-
babkan dia terikat seperti kerah leher yang kaku. Demi-
kianlah ia terhempas ke dalam lumpur (ay. 19), atau seperti
lumpur, kata beberapa orang. Tubuhnya lebih menyerupai
tumpukan kotoran ketimbang yang lain. Maka jangan
seorang pun bangga dengan pakaian mereka atau bangga
dengan kebersihan mereka. Mereka tidak tahu bahwa pe-
nyakit tertentu atau yang lain akan dapat mengubah pakai-
an mereka, dan bahkan menghempaskan mereka ke dalam
lumpur, dan menjadikan mereka memuakkan bagi diri sen-
diri maupun orang lain. Maka sebagai ganti rempah-rempah
harum akan ada bau busuk (Yes. 3:24). Sebaik apa pun,
kita ini tidak lain hanyalah debu tanah, dan tubuh kita hina.
namun kita cenderung lupa sampai Allah, melalui penyakit
menyakitkan, membuat kita merasa dan mengakui apa kita
sebenarnya. “Aku sudah menyerupai debu dan abu yang
segera akan kualami: ke mana pun aku pergi aku mem-
bawa kuburanku bersama dengan diriku.”
4. Hal yang paling membuat Ayub menderita yaitu bahwa Allah
tampak menjadi musuhnya dan berperang melawan dia. Ia
yang telah menghempaskan aku ke dalam lumpur (ay. 19), dan
kelihatannya yang menginjak-injak dia saat ia ada dalam
lumpur. Inilah yang menghancurkan hatinya lebih dari hal
lainnya,
(1) Bahwa Allah tidak tampil baginya. Ia mencari Allah, namun
tidak memperoleh perkenan dari Dia, tidak mendapatkan
kabar apa pun. Ia bersungguh-sungguh dalam permohon-
annya namun sia-sia (ay. 20): “Aku berseru minta tolong
kepada-Mu, dengan bersungguh-sungguh, Aku berdiri, dan
berseru, menunggu suatu jawaban, namun Engkau tidak
mendengarkan, Engkau tidak menghiraukan aku.” Jika doa
kita yang paling giat tidak mendatangkan hasil yang cepat,
kita tidak boleh menganggapnya aneh. Kendati keturunan
Yakub tidak pernah mencari dengan sia-sia, namun mereka
sering kali menganggap bahwa mereka tidak mendapatkan
apa-apa dan bahwa Allah tidak hanya tuli, namun juga ma-
rah dengan doa-doa umat-Nya (Mzm. 80:5).
(2) Bahwa Allah tampil menentang dia. Apa yang dikatakannya
di sini tentang Allah yaitu salah satu dari perkataan ter-
buruk yang pernah Ayub ucapkan (ay. 21): Engkau menjadi
kejam terhadap aku. Dijauhkanlah kiranya dari Allah yang
penuh rahmat dan belas kasihan untuk menjadi kejam ke-
pada siapa pun. Kasih-Nya tak pernah gagal, apalagi terha-
dap anak-anak-Nya sendiri. Ayub berbuat tidak benar dan
tidak tahu bersyukur saat berkata demikian tentang Allah.
Ia menyimpan pikiran yang keras tentang Allah, dan dosa ini
yang paling mudah menyusahkan dia saat itu. Di sini,
[1] Ia menganggap Allah berperang melawan dia dan me-
ngerahkan seluruh kekuatan-Nya untuk menghancur-
kan dirinya: Engkau memusuhi aku dengan kekuatan
tangan-Mu, atau bertindak sebagai musuh terhadap aku.
Ia dulu memiliki pemikiran yang lebih baik tentang Allah
(23:6), saat dia menyimpulkan bahwa Allah tidak akan
mengadakan perkara dengannya dalam kemahakuasaan-
Nya. Allah memiliki kedaulatan yang mutlak dan kekuat-
an yang tidak terlawankan, namun Ia tidak pernah meng-
gunakannya untuk menghancurkan atau menindas orang.
[2] Ia menganggap Allah menghina dirinya (ay. 22): Engkau
mengangkat aku ke atas angin, seperti sehelai bulu atau
daun kering yang dapat dipermainkan angin. Begitu tak
sebanding dirinya bagi Kemahakuasaan Allah. Ia mera-
sa begitu tak sanggup untuk menolong diri sendiri saat
dia diangkat naik, bukan dalam kemenangan, melainkan
dalam kengerian, ke atas sayap angin, dan bahkan peng-
hakiman Allah menghancurkannya, seperti awan dihem-
paskan oleh angin. Kodrat manusia, sekalipun dalam
keadaan terbaik apa pun, bukanlah apa-apa di hadapan
kuasa Allah. Ia hancur lebur oleh-Nya.
5. Sekarang Ayub tidak mengharapkan hal lain selain bahwa
Allah, melalui kesusahan ini, akan segera mengakhiri hidup-
nya: “Apabila aku diangkat naik ke atas awan, aku tidak dapat
mengandalkan hal lain selain mematahkan segera leherku.”
Dan dia berbicara seakan-akan Allah tidak punya rancangan
lain terhadap dirinya selain semua yang telah menimpanya ini:
“Aku tahu bahwa Engkau membawa aku, dengan begitu ba-
nyak kengerian yang lebih hebat, kepada maut, kendati aku
dapat saja dibawa ke sana tanpa semua masalah ini, sebab
itulah tempat segala yang hidup dihimpunkan” (ay. 23). Kubur-
an yaitu sebuah rumah, sebuah tempat yang sempit, gelap,
dingin, kosong, namun itu akan menjadi tempat tinggal kita, di
mana kita akan beristirahat dan menjadi aman. Itulah rumah
yang kita rindukan, rumah kita sendiri. Sebab itulah pang-
kuan ibu kita, dan di dalamnya kita dikumpulkan bersama
dengan para leluhur kita. Itulah tempat yang ditetapkan bagi
kita oleh Dia yang telah menetapkan batas-batas tempat ting-
gal kita. Tempat itu telah ditetapkan bagi semua yang hidup. Itu
yaitu suatu tempat umum, di mana orang yang kaya dan
miskin bertemu. Tempat itu ditetapkan bagi pertemuan umum.
Kita semua pasti dibawa ke sana segera. Allah-lah yang mem-
bawa kita ke sana, sebab kunci maut dan kubur ada di dalam
tangan-Nya, dan kita semua tahu bahwa, lembat atau cepat, Ia
akan membawa kita ke sana. Merupakan hal yang baik bagi
kita jika kita dengan sepatutnya mempertimbangkannya. sebab
orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati. Marilah
kita, masing-masing kita, mengetahuinya sambil berjaga-jaga.
6. Ada dua hal yang memperberat kesusahan Ayub, dan menjadi-
kannya semakin tidak dapat diterima:
(1) Bahwa ia sangat kecewa sebab harapannya tidak terka-
bulkan (ay. 26): “saat aku mengharapkan yang baik, yang
lebih baik, atau setidaknya kelangsungan dari apa yang
telah kumiliki, maka kejahatanlah yang datang.” Betapa ti-
dak menentunya semua kesukaan duniawi kita, dan betapa
bodohnya untuk memuaskan diri dengan pengharapan
yang besar darinya. Orang-orang yang menantikan terang
dari pijaran kenyamanan makhluk atau benda ciptaan
akan sangat dikecewakan, dan akan membuat mereka tidur
dalam kegelapan.
(2) Bahwa sangatlah besar perubahan yang terjadi dalam ke-
adaannya (ay. 31): “Kecapiku tidak hanya digeletakkan dan
digantung pada pohon gandarusa, namun juga diubah men-
jadi ratapan, dan tiupan serulingku menyerupai suara orang
menangis.” Ayub, dalam kemakmurannya, mengambil reba-
na dan kecapi, dan bersukaria menurut lagu seruling (21:12).
Ayub orang yang agung dan mulia, namun ia juga punya
waktu untuk bergembira. namun sekarang nadanya telah
berubah. sebab itu, kiranya orang-orang yang bersukacita
bersikap seolah-olah mereka tidak bersukacita, sebab mere-
ka tidak tahu betapa cepatnya tertawa mereka akan ber-
ubah menjadi dukacita dan sukacita mereka berubah men-
jadi beban yang berat. Demikianlah kita lihat betapa banyak
keluhan Ayub. Namun,
II. Di sini ada sesuatu di tengah-tengah semua dukacita ini yang
dinikmatinya, meskipun hanya kecil saja.
1. Ia dapat melihat ke depan, dengan lega, bahwa kematian akan
menjadi akhir dari semua malapetakanya (ay. 24): Kendati
Allah sekarang, dengan tangan yang kuat, menentang dia, “na-
mun,” katanya, ”Ia tidak akan mengulurkan tangan-Nya hingga
ke kubur.” Tangan murka Allah akan membawanya kepada
maut, namun tidak akan membawanya melampaui kematian.
Jiwanya akan menjadi aman dan bahagia di dalam dunia roh,
tubuhnya aman dan tenang di dalam debu tanah. Kendati
manusia berteriak dalam kehancurannya dan kendati, saat
mereka sedang sekarat, ada banyak kepedihan dan tangisan,
banyak helaan napas, dan ratapan, serta keluhan, namun di
dalam kubur mereka tidak akan merasakan apa-apa, mereka
tidak takut terhadap apa pun, sebab segala sesuatunya te-
nang di sana. “Kendati di dalam neraka, yang disebut keha-
ncuran, mereka berteriak, namun tidaklah demikian di dalam
kubur. Dan, dengan dilepaskan dari kematian yang kedua,
kematian yang pertama bagiku akan menjadi suatu kelegaan.”
Oleh sebab itu, dia berharap dia dapat bersembunyi di dalam
dunia orang mati (14:13).
2. Ia bercermin dengan lega atas perhatian yang selalu diberikan-
nya atas malapetaka orang lain saat dia sedang damai (ay.
25): Bukankah aku menangis sebab orang yang mengalami
hari kesukaran? Sebagian penafsir menganggap Ayub di sini
mengeluh tentang Allah, berpikir keras mengapa ia yang telah
menunjukkan belas kasihan kepada orang lain, ia sendiri tidak
mendapatkan belas kasihan. Saya lebih suka menganggap
Ayub sedang menghibur diri dengan rasa lega saat memikir-
kan perbuatannya dahulu. Hati nuraninya bersaksi bagi dia
bahwa dia selalu bersimpati dengan orang-orang yang sedang
mengalami kesusahan, dan berbuat sedapat mungkin untuk
menolong mereka. Dan sebab nya ia punya alasan untuk ber-
harap bahwa, pada akhirnya, Allah dan teman-temannya akan
mengasihaninya. Orang-orang yang berduka bersama dengan
mereka yang berduka akan menanggung kesusahannya sen-
diri dengan lebih baik saat tiba gilirannya untuk meminum
cawan yang pahit. Bukankah susah hatiku sebab orang mis-
kin? Demikian yang dibaca oleh sebagian orang, membanding-
kannya dengan apa yang ditulis oleh Rasul Paulus, 2 Korintus
11:29, Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh
dukacita? Sama seperti orang-orang yang tidak berbelas kasih-
an dan berkeras hati kepada orang lain dapat berharap untuk
mendengarnya dari hati nuraninya sendiri, saat mereka sen-
diri di dalam kesusahan, demikian pula orang-orang yang peduli
terhadap orang miskin dan menolong mereka akan terkenang
dengan perbuatan mereka itu, sehingga mereka merasa damai
di dalam kesakitan mereka (Mzm. 41:3-4).
PASAL 3 1
yub telah sering membuat pernyataan sanggahan tegas secara
umum terhadap tuduhan bahwa ia tidak tulus. Di dalam pasal
ini ia memberi sanggahan dengan menyertakan contoh-contoh khu-
sus ketulusannya, bukan dengan cara memuji diri sebab di sini ia
tidak mengumandangkan perbuatan-perbuatan baiknya, melainkan
untuk me