ir seperti
oleh api, batu-batu berharga yang berkilauan bagaikan api, yaitu
belerang yang mudah terbakar, dan batu bara, yang cocok dijadi-
kan bahan bakar. Sama seperti kita menerima makanan, begitu
pula kita menerima bahan bakar dari dalam tanah. Di dalamnya
terdapat batu-batu lazurit serta batu permata lainnya, dan dari
sana juga emas urai digali (ay. 6). Hikmat Sang Pencipta telah me-
nempatkan benda-benda ini,
1. Jauh dari pandangan kita, untuk mengajar kita supaya tidak
terus memperhatikan hal-hal tadi (Ams. 23:5).
2. Di bawah kaki kita, untuk mengajar kita supaya tidak mende-
kapnya dengan erat, atau mengarahkan hati kepadanya, namun
menginjak-injaknya dengan rasa jijik yang kudus. Lihatlah
betapa bumi penuh dengan ciptaan Allah (Mzm. 104:24), kemu-
dian mengambil kesimpulan dari sana bahwa Allah tidak saja
yang empunya bumi serta segala isinya (Mzm. 24:1), namun
juga betapa penuh sorga dengan kekayaan Allah, kota Sang
Raja Agung, yang bila dibandingkan dengannya, bumi ini ha-
nyalah sebuah negeri yang miskin belaka.
II. Kekayaan yang tersembunyi di dalam tanah tidak dapat diperoleh
selain dengan susah payah.
1. Kekayaan itu sulit ditemukan, sebab hanya di beberapa tem-
pat saja ada tempat orang menambang perak (ay. 1). Batu-batu
permata itu, meskipun cemerlang, disebut batu-batu di dalam
kekelaman dan kelam pekat, sebab terkubur dalam tanah
tanpa dikenal dan tidak tampak oleh mata. Manusia mungkin
harus mencari lama sebelum bisa menemukannya.
2. saat ditemukan, batu-batu itu sulit dikeluarkan. Manusia
harus memutar akal guna menemukan cara dan sarana untuk
mendapatkan harta tersembunyi ini. Mereka harus membawa
lampu untuk menyudahi kegelapan. Jika satu jalan tidak ber-
hasil, atau satu cara gagal terlaksana, mereka harus mencoba
cara lain, hingga mereka dapat menyelidikinya sampai se-
dalam-dalamnya, dan membongkar setiap batu untuk men-
capainya (ay. 3). Mereka harus bergumul dengan aliran sungai
di bawah tanah (ay. 4, 10-11), dan menerobos bebatuan yang
bisa dikatakan merupakan akar atau dasar gunung (ay. 9).
Nah, Allah membuat pencarian emas, perak, dan batu permata
begitu sulit dilakukan,
(1) Untuk membangkitkan dan mendorong ketekunan. Dii
laboribus omnia vendunt – Kerja keras merupakan harga
yang ditetapkan para dewa untuk segala hal. Apabila hal-
hal berharga terlalu mudah diperoleh, manusia tidak akan
pernah belajar berjerih payah. Namun demikian, kesulitan
memperoleh kekayaan bumi ini bisa memberitahukan ke-
pada kita betapa kerajaan sorga mengalami kekerasan
sebagai akibatnya.
(2) Untuk mengendalikan dan mengekang kemegahan dan
kemewahan. Apa yang diperlukan secukupnya bisa diper-
oleh dengan sedikit upaya di permukaan tanah. namun , apa
yang diperlukan untuk perhiasan haruslah digali dengan
susah payah dari dalam perut bumi. Hal yang diperlukan
sekadar untuk makanan, murah harganya, sedangkan un-
tuk keindahan, orang harus membayar mahal.
III. Walaupun kekayaan di bawah tanah begitu sulit didapatkan,
manusia tetap menginginkannya. Orang yang menyukai perak,
tidak puas bila hanya mempunyai perak, namun juga tidak puas
bila tidak memilikinya sama sekali. Bagaimanapun, orang-orang
yang memiliki banyak, berkeras memiliki lebih banyak lagi. Lihat-
lah di sini,
1. Penemuan apa saja yang diraih manusia demi memperoleh ke-
kayaan ini. Mereka menyelidikinya sampai sedalam-dalamnya
(ay. 3). Mereka mempunyai keahlian dan mesin untuk menge-
ringkan perairan, dan membawa harta yang telah digali di
tambang dan terancam tenggelam di dalamnya (ay. 4). Manu-
sia memakai pompa, pipa, dan terusan untuk membuka
jalan. Setelah semua rintangan disingkirkan, mereka melintasi
jalan ke sana yang tidak dikenal seekor burung buaspun (ay. 7-
8). Tidak terlihat oleh mata burung elang yang tajam dan jeli,
serta tidak dilalui anak-anak singa yang berkeliaran di seluruh
penjuru rimba belantara.
2. Betapa keras usaha manusia, dan betapa besar biaya yang me-
reka keluarkan demi mendapatkan kekayaan ini. Mereka me-
nembus bebatuan dan menggali terowongan di gunung (ay. 10).
3. Betapa besar bahaya yang mereka hadapi. Orang-orang yang
menggali tambang terancam nyawanya, sebab air sungai yang
merembes harus dibendungnya (ay. 11). Mereka senantiasa
menghadapi bahaya tercekik oleh kelembapan udara, atau
tertimpa atau terkubur hidup-hidup oleh tanah longsor. Lihat-
lah bagaimana orang bodoh menambahkan beban kepada diri-
nya sendiri. Ia sudah ditetapkan untuk makan dari hasil ke-
ringatnya. Namun, seakan-akan itu belum cukup, ia hendak
memperoleh emas dan perak yang membahayakan nyawanya,
meskipun semakin banyak yang diperoleh, semakin turun pula
nilainya. Pada zaman Salomo, nilai perak sama dengan batu
biasa.
4. Amatilah apa yang membuat manusia mau menjalani kerja ke-
ras dan bahaya ini: matanya melihat segala sesuatu yang ber-
harga (ay. 10). Bagi mereka, perak dan emas merupakan ba-
rang mulia, dan mereka memusatkan perhatian dalam upaya
mencari benda-benda itu. Mereka membayangkan kemilaunya,
dan dengan harapan bisa memperolehnya, mereka mengabai-
kan semua kesulitan ini. Akhirnya mereka mendapatkan hasil
dari kerja keras mereka: apa yang tersembunyi dibawanya ke
tempat terang (ay. 11). Apa yang tersembunyi di dalam tanah,
diletakkan di atasnya. Logam yang tadinya tersembunyi di
dalam bijih besi, kemudian dihaluskan dan keluar dari dapur
peleburan dalam keadaan murni. Ia lalu beranggapan bahwa
semua jerih payahnya sudah terbayar. Tengoklah para buruh
tambang, wahai pemalas di bidang agama, perhatikanlah ja-
lan-jalan mereka, dan jadilah bijaksana. Biarlah tekad, kete-
kunan, dan kesetiaan mereka dalam mencari kekayaan yang
bisa musnah itu membuat kita malu dengan keengganan dan
ketakutan kita dalam mencari kekayaan sejati. Memperoleh
hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas! Betapa jauh
lebih mudah dan aman! Walau demikian, emas tetap saja
dicari-cari, sedangkan kasih karunia diabaikan. Akankah ha-
rapan terhadap yang terbaik dari bumi serta segala isinya
(demikianlah benda-benda itu disebut, walau sebenarnya tidak
berharga dan bisa lenyap) begitu mendorong ketekunan, dan
bukankah harapan pasti akan hal-hal yang benar-benar ber-
harga di sorga jauh lebih berharga lagi?
Keunggulan Hikmat
(28:14-19)
14 Kata samudera raya: Ia tidak terdapat di dalamku, dan kata laut: Ia tidak
ada padaku. 15 Untuk gantinya tidak dapat diberikan emas murni, dan harga-
nya tidak dapat ditimbang dengan perak. 16 Ia tidak dapat dinilai dengan
emas Ofir, ataupun dengan permata krisopras yang mahal atau dengan per-
mata lazurit; 17 tidak dapat diimbangi oleh emas, atau kaca, ataupun ditukar
dengan permata dari emas tua. 18 Baik gewang, baik hablur, tidak terhitung
lagi; memiliki hikmat yaitu lebih baik dari pada mutiara. 19 Permata krisolit
Etiopia tidak dapat mengimbanginya, ia tidak dapat dinilai dengan emas
murni.
Sesudah berbicara tentang kekayaan duniawi, yang begitu dihargai
manusia sehingga rela bersusah payah untuk mendapatkannya, da-
lam perikop ini Ayub berbicara tentang permata lain yang lebih
berharga, yaitu hikmat dan akal budi, yaitu mengenal dan menikmati
Allah serta diri kita sendiri. Orang-orang yang menemukan segala
cara dan sarana untuk memperkaya diri, menyangka diri mereka
sangat berhikmat. Namun Ayub tidak mau menyebut mereka berhik-
mat. Ia percaya bahwa mereka telah mencapai maksud mereka, dan
membawa apa yang mereka cari itu ke tempat terang (ay. 11).
Namun, ia bertanya, “Di mana hikmat? Hikmat itu tidak ada di sini.”
Jalan mereka yaitu kebodohan mereka. Oleh sebab itu kita harus
mencarinya di tempat lain. Hikmat itu tidak akan ditemukan di mana
pun selain dalam asas-asas dan hidup beragama. Terdapat lebih ba-
nyak pengetahuan, kepuasan, dan kebahagiaan sejati di dalam hal-
hal sejati tentang Allah, yang menunjukkan jalan menuju sukacita
sorgawi kepada kita, dibanding filsafat atau ilmu matematika, yang
hanya menunjukkan jalan menuju perut bumi. Terdapat dua hal
yang tidak dapat ditemukan berkenaan dengan hikmat ini:
I. Harganya, sebab tidak ternilai. Nilainya jelas jauh melebihi selu-
ruh kekayaan dunia ini: Jalan ke sana tidak diketahui manusia
(ay. 13). Artinya,
1. Hanya sedikit orang yang menghargai hikmat seperti seharus-
nya. Manusia tidak mengetahui nilainya, keunggulannya yang
ada dikandungnya, kebutuhan mereka akan hikmat, dan be-
tapa sangat bermanfaat hal itu bagi mereka. Oleh sebab itu,
meskipun mereka mempunyai banyak uang untuk mendapat-
kan hikmat ini, mereka tidak berakal budi (Ams. 17:16), tidak
menaruh perhatian kepadanya. Ayam jantan dalam dongeng
binatang tidak mengetahui nilai batu permata yang ditemukan-
nya di tumpukan kotoran, dan oleh sebab itu ia lebih suka
menemukan gandum. Manusia tidak mengetahui nilai anuge-
rah, dan oleh sebab itu tidak mau bersusah payah untuk men-
dapatkannya.
2. Tidak seorang pun dapat memperkirakan nilai hikmat dengan
benar, sekalipun ia memiliki seluruh kekayaan dunia ini. Hal
ini dijelaskan Ayub dalam ayat 15 dan seterusnya, di mana ia
mendaftarkan sejumlah bona notabilia – harta paling berharga
di dunia ini. Di sini emas disebutkan lima kali. Perak juga di-
sebut-sebut, menyusul sejumlah batu permata, yaitu permata
krisopras dan lazurit, mutiara dan batu delima, serta permata
krisolit Etiopia. Semua ini merupakan benda-benda termahal
di pasaran dunia. Namun, jika seseorang diminta memberikan,
bukan saja semua ini, bergunung-gunung darinya, melainkan
juga seisi rumahnya, atau seluruh kekayaannya di dunia ini,
demi memperoleh hikmat, maka pastilah ia akan menolak
mentah-mentah. Kekayaan ini memang bisa sedikit berman-
faat bagi orang untuk mencari hikmat, seperti halnya Salomo,
namun hikmat tidak dapat dibeli dengan semua ini. Hikmat
merupakan pemberian Roh Kudus, dan orang tidak dapat
membeli karunia Allah dengan uang (Kis. 8:20). sebab hikmat
tidak mengalir melalui darah dan sebab itu tidak kita peroleh
berdasarkan keturunan, maka hikmat juga tidak dapat diper-
oleh dengan uang, atau dengan membelinya. Karunia-karunia
roh diberikan tanpa uang dan harga, sebab tidak ada uang
sebanyak apa pun yang dapat menentukan harganya. Hikmat
juga merupakan pemberian berharga bagi orang yang memiliki-
nya, yang membuat dia lebih kaya dan bahagia, lebih berharga
daripada emas ataupun batu permata. Memperoleh hikmat sung-
guh jauh melebihi memperoleh emas. Emas yaitu milik orang
lain, sedangkan hikmat yaitu milik kita. Emas dipakai bagi
tubuh dan untuk satu masa, sedangkan hikmat yaitu untuk
jiwa dan kekekalan. Kiranya hal yang paling berharga di mata
Allah juga demikian di mata kita (Ams. 3:14 dst.).
II. Tempat hikmat, yang tidak bisa ditemukan. Di mana hikmat dapat
diperoleh? (ay. 12). Ayub menanyakan hal ini,
1. Sebagai orang yang ingin sekali menemukannya. Inilah per-
tanyaan yang harus diajukan oleh kita semua. saat keba-
nyakan orang bertanya, “Di manakah uang dapat diperoleh?”,
kita harus bertanya, Di mana hikmat dapat diperoleh?, supaya
kita tidak mencari dan mendapatkan filsafat sia-sia atau cara
pikiran duniawi, namun agama sejati. Sebab itulah satu-satu-
nya hikmat sejati, yaitu yang paling terbaik dalam meningkat-
kan kecakapan dan paling menjamin kesejahteraan rohani kita
yang kekal. Inilah yang harus kita kejar dan gali (Ams. 2:3-4).
2. Sebagai orang yang berputus asa dalam mencarinya di mana-
mana selain di dalam Allah, dan dengan cara apa pun selain
melalui penyingkapan ilahi: Jalan ke sana tidak didapati di
negeri orang hidup (ay. 13). Kita tidak dapat memperoleh pe-
mahaman yang tepat tentang Allah dan kehendak-Nya, ten-
tang diri kita sendiri serta kewajiban dan kepentingan kita,
dengan membaca Artikel tulisan manusia, namun dengan mem-
baca kitab Allah dan tulisan para abdi Allah. Begitu parah ke-
merosotan kodrat manusia hingga tidak dapat ditemukan
hikmat sejati pada siapa pun selain orang-orang yang sudah
lahir baru, dan yang melalui kasih karunia, ikut mengambil
bagian dalam kodrat ilahi. Mengenai yang lain, bahkan yang
paling berbakat dan giat sekalipun, mereka tidak dapat mem-
beri kita penjelasan tentang hikmat yang telah hilang ini.
(1) Tanyakanlah kepada para buruh tambang, dan melalui me-
reka kata samudera raya: Ia tidak terdapat di dalamku (ay.
14). Orang-orang yang menggali sampai ke perut bumi
untuk menjarah harta di dalamnya, tidak dapat menemu-
kan permata langka ini di sana, atau menguasainya dengan
seluruh keahlian mereka.
(2) Tanyakanlah kepada para pelaut, dan melalui mereka kata
laut: Ia tidak ada padaku. Hikmat tidak akan pernah bisa
diperoleh dengan mengarungi laut atau menyelam di da-
lamnya. Hikmat tidak akan pernah bisa mengisap kelim-
pahan laut dan harta yang terpendam di dalam pasir. Di
tempat orang menambang perak tidak akan ditemukan
hikmat selain melalui kasih karunia. Manusia lebih mudah
menerobos kesulitan yang mereka hadapi dalam upaya
memperoleh kekayaan duniawi, dibanding menerobos ke-
sulitan yang mereka temui dalam upaya memperoleh hik-
mat sorgawi. Mereka lebih memilih bersusah payah untuk
mempelajari cara menjalani hidup di dunia ini daripada
cara untuk hidup selamanya di dunia yang lebih baik. Ma-
nusia telah menjadi begitu buta dan bodoh, hingga per-
cuma saja bertanya kepadanya, Di manakah tempatnya hik-
mat itu, dan di manakah jalan menuju ke sana?
Hikmat yang Tersembunyi bagi Manusia;
Hikmat yang Dinyatakan bagi Manusia
(28:20-28)
20 Hikmat itu, dari manakah datangnya, atau akal budi, di manakah tempat-
nya? 21 Ia terlindung dari mata segala yang hidup, bahkan tersembunyi bagi
burung di udara. 22 Kebinasaan dan maut berkata: Hanya desas-desusnya
yang sampai ke telinga kami. 23 Allah mengetahui jalan ke sana, Ia juga me-
ngenal tempat kediamannya. 24 sebab Ia memandang sampai ke ujung-
ujung bumi, dan melihat segala sesuatu yang ada di kolong langit. 25 saat
Ia menetapkan kekuatan angin, dan mengatur banyaknya air, 26 saat Ia
membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh, 27 saat itulah Ia
melihat hikmat, lalu memberitakannya, menetapkannya, bahkan menyelidiki-
nya; 28 namun kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, takut akan
Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi.”
Pertanyaan yang diajukan Ayub (ay. 12) ditanyakannya lagi dalam
perikop ini, sebab pertanyaan itu terlampau berharga, terlampau
penting, untuk diabaikan begitu saja, sehingga kita bergegas mena-
nyakannya. Mengenai hal ini, kita harus terus mencari sampai
menemukan jawabannya, sampai rasa ingin tahu kita terhadap hal
itu terpenuhi. Dengan mencari tahu hal ini secara tekun, Ayub akhir-
nya menyimpulkan bahwa terdapat dua jenis hikmat. Salah satunya
yaitu hikmat yang tersembunyi di dalam Allah, rahasia yang bukan
milik kita, sedangkan yang lain yang diberitahukan oleh-Nya dan
dinyatakan kepada manusia, ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita.
I. Pengetahuan tentang kehendak rahasia Allah, yaitu kehendak
penyelenggaraan-Nya, berada di luar jangkauan kita, dan merupa-
kan hal yang disimpan Allah bagi diri-Nya sendiri. Rahasia itu
bagi TUHAN, Allah kita. Mengetahui rincian hal yang akan dilaku-
kan Allah di kemudian hari dan alasan untuk apa yang sedang
dilakukan-Nya sekarang, yaitu pengetahuan yang pertama-tama
dibicarakan Ayub.
1. Pengetahuan ini tersembunyi bagi kita. Hal ini begitu tinggi
hingga kita tidak mampu meraihnya (ay. 21-22): Ia terlindung
dari mata segala yang hidup, bahkan mata para filsuf, tokoh
pemerintahan, dan orang-orang kudus sekalipun. Hikmat ter-
sembunyi bagi burung di udara. Meskipun burung terbang
tinggi di cakrawala langit, walau mereka tampak lebih dekat
dengan dunia di atas tempat sumber hikmat berada, meskipun
mengamati dari jauh (39:32), namun mata mereka tidak mam-
pu menembus rancangan dan putusan hikmat Allah. Tidak,
manusia memang memiliki hikmat melebihi burung di udara,
namun tidak memiliki hikmat ini. Bahkan orang-orang yang
dengan pemikiran mereka melambung tinggi serta mengang-
gap diri mereka seperti burung di udara dan lebih tinggi dari
orang lain pun tidak dapat berlagak memiliki pengetahuan ini.
Ayub dan sahabat-sahabatnya telah berdebat tentang cara-
cara dan alasan-alasan menyangkut penyelenggaraan Allah
dalam pemerintahan dunia. “Alangkah bodohnya kita” (kata
Ayub), “sebab bertengkar dalam kegelapan seperti ini, mem-
perdebatkan hal yang tidak kita pahami!” Batas kemampuan
dan kedalaman daya berpikir manusia tidak akan pernah
mampu memahami dalamnya kebijaksanaan ilahi. Siapa yang
dapat menjelaskan dasar pemikiran Penyelenggaraan Allah,
atau peraturan, ukuran, dan cara-cara pemerintahan Allah?
Arcana imperii – dewan penasihat hikmat ilahikah? sebab itu
marilah kita merasa puas saja untuk tidak mengetahui kejadian-
kejadian yang akan datang tentang Penyelenggaraan Allah,
sampai waktu menyingkapkannya (Kis. 1:7). Juga, hendaklah
kita merasa puas untuk tidak mengetahui alasan tersembunyi
Penyelenggaraan Allah, hingga kekekalan mengungkapkannya.
Nah, Allah yaitu Allah yang menyembunyikan diri (Yes.
45:15). Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia. Walaupun
hikmat ini tersebunyi bagi segala yang hidup, namun kebina-
saan dan maut berkata: Hanya desas-desusnya yang sampai
ke telinga kami. Walaupun mereka tidak dapat bercerita ten-
tang diri sendiri, sebab tidak ada pertimbangan, pengetahuan
dan hikmat dalam dunia orang mati, apalagi hal ini, namun
ada dunia di balik kematian dan kubur yang berbatasan
dengan kegelapan yang harus kita lalui. Di sana kita akan
melihat jelas apa yang sekarang masih gelap bagi kita. “Ber-
sabarlah,” kata Maut kepada jiwa yang bertanya-tanya ingin
tahu: “Sebentar lagi aku akan menjemput dan membawamu ke
tempat di mana bahkan hikmat ini pun bisa ditemukan.”
saat genaplah keputusan rahasia Allah, semua akan dibuka-
kan, dan kita akan mengetahui sebagaimana kita diketahui.
saat tirai kedagingan dikoyak dan awan-awan yang mengha-
langi pandangan tersibak, kita akan tahu apa yang dilakukan
Allah, meskipun sekarang ini kita tidak tahu (Yoh. 13:7).
2. Pengetahuan ini tersembunyi di dalam diri Allah, seperti yang
dikatakan sang rasul (Ef. 3:9). Allah mengetahui semua per-
buatan-Nya, meskipun kita tidak (Kis. 15:18, KJV). Ada alasan-
alasan yang baik bagi apa yang dilakukan-Nya, meskipun kita
tidak dapat menyebutkannya dengan pasti (ay. 23): Allah me-
ngetahui jalan ke sana. Manusia adakalanya melakukan hal
yang tidak mereka ketahui, namun Allah tidak pernah seperti
itu. Manusia melakukan apa yang tidak mereka rencanakan.
Kejadian-kejadian baru membawa mereka kepada rencana-
rencana baru, dan mengharuskan mereka mengambil tindak-
an baru. Sebaliknya, Allah melakukan segala sesuatu sesuai
maksud tujuan yang Ia niatkan dan tidak pernah diubah oleh-
Nya. Manusia adakalanya melakukan sesuatu tanpa bisa
memberikan alasan tepat. Sebaliknya, di dalam setiap kehen-
dak Allah terdapat rencana atau putusan hikmat. Ia mengeta-
hui baik apa maupun mengapa Ia melakukannya, seluruh
rangkaian kejadian maupun urutan dan tempat setiap kejadi-
an. Pengetahuan ini Ia miliki dengan sempurna, namun me-
nyimpannya untuk diri-Nya sendiri. Di sini diberikan dua
alasan mengapa Allah perlu memahami jalan-Nya sendiri, dan
hanya jalan-Nya semata:
(1) sebab sekarang semua kejadian diatur oleh Sang Penye-
lenggara yang Maha melihat dan Mahakuasa (ay. 24-25). Ia
yang memerintah dunia yaitu ,
[1] Mahatahu, sebab Ia memandang sampai ke ujung-
ujung bumi, baik berkenaan dengan tempat maupun
waktu. Masa-masa yang jauh, kawasan-kawasan yang
jauh, berada di bawah pandangan-Nya. Kita tidak me-
mahami jalan kita sendiri, apalagi memahami jalan
Allah, sebab jangkauan pandangan kita pendek. Betapa
sedikit yang kita ketahui tentang apa yang dilakukan-
Nya di dunia, apalagi apa yang akan dilakukan. Mata
TUHAN ada di segala tempat, bahkan lebih dari itu,
mata-Nya menjelajah seluruh bumi. Tidak ada suatu pun
yang sedang atau akan tersembunyi dari-Nya, dan
itulah alasan mengapa beberapa orang fasik sangat ber-
hasil sedangkan yang lain dihukum berat di dunia ini,
sesuatu yang merupakan rahasia bagi kita dan diketa-
hui oleh-Nya. Kejadian-kejadian dalam satu hari dan
pengalaman satu manusia, begitu berkaitan dengan dan
begitu bergantung pada pengalaman orang lain, semua-
nya terbuka dan tampak jelas bagi-Nya. Ia melihat se-
muanya itu seluruhnya secara utuh. Ia yaitu Hakim
yang cakap dalam melihat setiap bagian peristiwa.
[2] Mahakuasa. Ia mampu melakukan segala sesuatu, dan
sangat teliti serta tepat dalam segala yang dilakukan-
Nya. Sebagai bukti mengenai hal ini, Ayub menyebut-
kan angin dan air (ay. 25). Apakah yang lebih ringan
daripada angin? Namun, Allah mempunyai cara-cara
untuk meredakannya. Ia tahu cara menetapkan kekuat-
an angin, dan mengeluarkan angin dari dalam perbenda-
haraan-Nya (Mzm. 135:7). Ia memperhatikan dengan
rinci apa yang dikeluarkan-Nya, seperti yang dilakukan
manusia saat mengeluarkan uang dari perbendahara-
an mereka. Ia tidak melakukannya dengan serampang-
an seperti yang diperbuat manusia saat membawa
keluar sampah. Dari antara segala benda yang dapat
dirasakan indra, tidak ada yang tidak dapat dijelaskan
seperti angin. Kita mendengar bunyinya, namun tidak
tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Namun,
Allah mengeluarkannya dengan penuh pertimbangan,
dengan bijak mengaturnya dari titik mana ia akan
berembus dan sekuat apa. Ia menimbang serta meng-
ukur air laut dan air hujan, membagi ukuran pasang
surut air dan curah hujan. Terdapat hubungan terus-
menerus di antara awan dan lautan, air di atas cakra-
wala maupun di bawahnya. Uap air naik ke langit, air
hujan turun ke bumi. Udara mengembun menjadi air,
air menguap menjadi udara. Allah yang agung mencatat
dengan teliti seluruh persediaan selama melakukan
karya demi kepentingan orang banyak, dan memastikan
tidak ada yang terbuang percuma. Nah, jika dalam hal-
hal ini saja Allah sudah begitu teliti, maka terlebih lagi
dalam menyalurkan rasa tidak senang maupun Penye-
lenggaraan, pahala maupun hukuman kepada anak-
anak manusia, sesuai dengan aturan keadilan.
(2) sebab semua kejadian sudah dirancang dan ditentukan
sejak kekekalan dengan pengetahuan yang tidak dapat
salah tentang hal yang belum terjadi dan dengan maklumat
yang tidak dapat diubah (ay. 26-27). saat menetapkan
jalannya alam, Allah menobatkan terlebih dahulu seluruh
pekerjaan dan cara kerja pemerintahan-Nya.
[1] Ia menetapkan jalannya alam. Ayub terutama menye-
butkan ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh.
Cara dan urutan umum serta penggunaan dan tujuan
tertentu dari penyelenggaraan yang ganjil ini, baik alas-
an maupun pengaruhnya, ditetapkan melalui tujuan
ilahi. Oleh sebab itu Allah dikatakan membuat kilat
mengikuti hujan (Mzm. 135:7; Yer. 10:13).
[2] saat melaksanakan hal itu, Ia menentukan dahulu
semua tindakan penyelenggaraan-Nya, dan membuat
gambaran yang tepat dari seluruh karya-Nya mulai dari
awal sampai akhir. Kemudian, dari kekekalan Ia melihat
dalam diri-Nya sendiri dan menyatakan kepada diri-Nya
sendiri, rencana dari semua karya-Nya. Setelah itu Ia
mempersiapkan, memastikan, dan mengukuhkannya. Ia
menyiapkan segala sesuatu bagi semua karya-Nya, su-
paya saat segala sesuatu hendak dilaksanakan, tidak
ada lagi yang masih harus dicari-cari. Tidak akan ter-
jadi hal yang tidak terduga yang menyimpang dari cara
atau waktu yang sudah ditetapkan-Nya. Sebab segala
sesuatu telah diatur dengan setepat-tepatnya seakan-
akan Ia telah mempelajari dan menelusurinya terlebih
dahulu, sehingga apa pun yang dilakukan-Nya, tak
dapat ditambah dan tak dapat dikurangi, dan oleh sebab
itu akan tetap ada untuk selamanya (Pkh. 3:14). Bebe-
rapa penafsir beranggapan bahwa di sini Ayub berbicara
tentang hikmat sebagai seorang pribadi, dan menerje-
mahkan perkatannya dengan, Kemudian ia melihat dan
menunjukkan hikmat, dst., dan tafsiran ini sejajar de-
ngan yang dikatakan Salomo mengenai hikmat Sang
Bapa, firman yang kekal (Ams. 8:22, dst.). Pada mula-
nya yaitu Firman; Firman itu bersama-sama dengan
Allah (Yoh. 1:1-2).
II. Pengetahuan tentang kehendak Allah yang disingkapkan, kehen-
dak perintah-Nya, dan hal ini ada dalam jangkauan kita. Penying-
kapan ini sejajar dengan kemampuan kita, dan untuk kebaikan
kita (ay. 28): namun kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya,
takut akan Tuhan, itulah hikmat. Jangan sampai ada yang berkata
bahwa saat Allah menyembunyikan rancangan-Nya dari manu-
sia, dan melarangnya menghampiri pohon pengetahuan baik dan
jahat itu, ini disebabkan sebab Ia enggan menambahkan kebaha-
giaan dan kepuasan sejati kepada manusia. Tidak, Ia membiarkan
manusia mengetahui sebanyak yang diperlukannya supaya ia
tahu kewajibannya dan berbahagia. Kepadanya akan dipercaya-
kan kedaulatan pikiran-Nya sebanyak yang diperlukan dan yang
sesuai untuk tujuan tertentu. Namun, manusia tidak boleh meng-
anggap dirinya cocok menjadi penasihat pribadi-Nya. Menurut
beberapa penafsir, Ia mengatakan hal itu kepada Adam, manusia
pertama, pada hari ia diciptakan. Allah berkata dengan jelas
bahwa Adam tidak boleh menyukakan diri dengan keinginan ber-
lebihan untuk menyelidiki rahasia-rahasia penciptaan, atau ber-
lagak bisa memecahkan semua gejala alam. Manusia akan men-
dapati bahwa sungguh mustahil atau tidak bermanfaat melaku-
kan hal itu. Tidak ada hikmat (menurut Uskup Agung Tillotson)
yang lebih rendah daripada hikmat yang menganggap dunia dapat
memahami falsafah tentang dirinya sendiri. Hendaklah manusia
memandang hal ini sebagai hikmatnya, yaitu untuk takut kepada
TUHAN dan menjauhkan diri dari kejahatan. Hendaklah ia mem-
pelajari hal itu, dan dengan begitu ia sudah mengetahui cukup
banyak. Biarlah pengetahuan ini membantunya. saat Allah me-
larang manusia makan buah dari pohon pengetahuan yang baik
dan jahat, Ia mengizinkan dia makan dari pohon kehidupan, dan
inilah pohon itu (Ams. 3:18). Kita tidak dapat memperoleh hikmat
sejati selain melalui penyataan ilahi. Tuhanlah yang memberikan
hikmat (Ams. 2:6). Hal itu tidak ditemukan dalam rahasia-rahasia
alam ataupun penyelenggaraan Allah, namun di dalam aturan bagi
perilaku kita sendiri. Kepada manusia Ia tidak berkata, “Naiklah
ke langit untuk mengambil kebahagiaan dari sana,” atau “Turun-
lah ke bawah untuk mengambilnya dari sana.” Tidak, firman ini
sangat dekat kepadamu (Ul. 30:14). Hai manusia, telah diberitahu-
kan kepadamu apa yang baik, bukan yang hebat. Bukan apa yang
dirancang Allah bagimu, melainkan apa yang dituntut TUHAN dari
padamu (Mi. 6:8). Hai para pria, kepadamulah aku berseru (Ams.
8:4). Ya TUHAN, siapakah manusia itu hingga ia diperhatikan dan
dilawat seperti itu! Lihat, camkanlah, perhatikanlah ini, biarlah
orang yang mempunyai telinga mendengarkan apa yang dikatakan
Allah semesta alam kepada anak-anak manusia: takut akan
Tuhan, itulah hikmat. Di sini terdapat,
1. Gambaran agama sejati, agama murni, dan yang tidak cemar.
Sikap takut akan Allah dan menjauhi kejahatanlah yang serasi
dengan penggambaran Allah tentang Ayub (1:1). Takut akan
TUHAN merupakan sumber dan ringkasan isi seluruh agama.
Ada rasa takut seperti seorang budak terhadap Allah, yang
timbul dari pemikiran buruk tentang diri-Nya, dan hal ini
bertolak belakang dengan agama (Mat. 25:24). Ada juga rasa
takut terhadap Allah sebab mementingkan diri sendiri dan
timbul dari pikiran menakutkan tentang diri-Nya, yang bisa
saja merupakan suatu langkah yang baik menuju agama (Kis.
9:5). Dan masih ada lagi rasa takut anak kepada Allah, yang
timbul dari pikiran mulia dan luhur mengenai diri-Nya, dan ini
merupakan hidup serta jiwa seluruh agama. Dan saat rasa
takut seperti seorang anak ini bertakhta di dalam hati, ada
tekad untuk terus menjauhi kejahatan (Ams. 16:6). Hal ini
sangat diperlukan dalam hidup beragama. Pertama-tama kita
harus berhenti berbuat jahat, atau kita tidak akan pernah
belajar untuk berbuat baik. Virtus est vitium fugere – Bahkan
dalam upaya menjauhkan diri dari perbuatan jahat pun
terdapat kebajikan.
2. Penghargaan terhadap agama: merupakan hikmat dan peng-
ertian. Menjadi benar-benar saleh yaitu menjadi benar-benar
bijaksana. Sama seperti hikmat Allah tampak dalam penetap-
an aturan ibadah beragama, begitu juga hikmat manusia tam-
pak dalam penetapan aturan ibadah beragama, dan dari sini
hikmat manusia tampak dalam perbuatannya dalam menjalani
dan menaati ibadah agama. Inilah pengertian, sebab inilah
pengetahuan terbaik mengenai kebenaran. Inilah hikmat, se-
bab ini merupakan penanganan terbaik terhadap urusan-
urusan kita. Tidak ada cara yang lebih pasti yang dapat me-
nuntun jalan kita dan membantu kita untuk mencapai tujuan
akhir kita selain hidup dengan saleh.
PASAL 29
etelah tutur kata yang luhur tentang hikmat pada pasal sebelum-
nya, Ayub duduk dan berhenti sejenak, bukan sebab kehabisan
napas dalam berbicara, melainkan sebab ia tidak mau menguasai
percakapan itu sendiri. Ia ingin memberi ruang bagi sahabat-saha-
batnya untuk berpendapat, jika mereka berkenan. Akan namun ,
mereka tidak mengatakan apa pun. Jadi, setelah kembali menenang-
kan diri, Ayub pun melanjutkan tutur katanya mengenai perkaranya
sendiri, yang dicatat dalam pasal ini dan dua pasal selanjutnya.
Dalam perkataannya itu, Ayub memaparkan
I. Tingginya kemakmuran yang ia miliki sebelum ia jatuh. Dan,
II. Dalamnya kesengsaraan ke mana ia terjerumus. Penuturan
itu dimaksudkannya untuk membangkitkan belas kasihan
kawan-kawannya, serta untuk membenarkan, atau setidak-
nya memberi alasan bagi keluh kesahnya. Namun, selain itu
juga,
III. Untuk menghentikan kecaman para sahabatnya terhadap
dirinya, Ayub mengajukan banyak pernyataan dan rincian
mengenai ketulusan hatinya. Dalam pasal ini, ia melihat
kembali hari-hari kejayaannya serta menunjukkan,
1. Betapa besar kenyamanan serta kepuasan yang dialami
rumah tangga dan keluarganya (ay. 1-6).
2. Betapa besar kehormatan dan kekuasaan yang ia miliki di
negerinya, dan betapa ia disegani segala kelompok orang
(ay. 7-10).
3. Betapa banyaknya kebajikan yang ia perbuat dalam po-
sisinya sebagai hakim (ay. 11-17).
4. Betapa cerah pengharapannya bahwa kebahagiaannya di
rumah akan tetap langgeng (ay. 18-20) dan pelayanannya
di luar rumah akan terus berlangsung (ay. 21-25). Segala
hal tersebut dijabarkan Ayub untuk menyatakan besar-
nya malapetakanya saat itu. Ia seperti Naomi yang ber-
kata, “Dengan tangan yang penuh aku pergi, namun de-
ngan tangan kosong TUHAN memulangkan aku.”
Kemakmuran Ayub di Masa Lalu
(29:1-6)
1 Maka Ayub melanjutkan uraiannya: 2 Ah, kiranya aku seperti dalam bulan-
bulan yang silam, seperti pada hari-hari, saat Allah melindungi aku,
3 saat pelita-Nya bersinar di atas kepalaku, dan di bawah terang-Nya aku
berjalan dalam gelap; 4 seperti saat aku mengalami masa remajaku, saat
Allah bergaul karib dengan aku di dalam kemahku; 5 saat Yang Mahakuasa
masih beserta aku, dan anak-anakku ada di sekelilingku; 6 saat langkah-
langkahku bermandikan dadih, dan gunung batu mengalirkan sungai minyak
di dekatku.
Orang-orang yang mengalami kehilangan bolehlah berbicara, dan
tiada yang mereka bicarakan dengan penuh perasaan selain tentang
segala penghiburan yang direnggut dari mereka. Kemakmuran mere-
ka yang dahulu merupakan salah satu topik paling menyenangkan
dalam pikiran dan percakapan mereka. Demikian pula halnya Ayub.
Ia memulai ucapannya dengan sebuah harapan (ay. 2): Ah, kiranya
aku seperti dalam bulan-bulan yang silam! Ia pun mengenang kembali
kemakmurannya. Kerinduannya ialah,
1. “Ah, kiranya aku berada dalam keadaan sebaik dahulu, kiranya
kekayaan, kehormatan, dan kesenanganku sebesar yang semula!”
Ia mengharapkan hal tersebut bukan semata demi kenyamanan-
nya, namun demi nama baik dan kemuliaan Allah yang dianggap-
nya telah pudar oleh sebab penderitaannya itu. “Ah, kiranya aku
dikembalikan kepada kemakmuranku, sehingga kecaman dan
teguran teman-temanku dibungkam sepenuhnya, bahkan terma-
suk dasar pendirian mereka sendiri, dan disingkirkan selamanya!”
Jika inilah yang menjadi tujuan kita dalam mendambakan kehi-
dupan, kesehatan, dan kemakmuran, yakni supaya Allah diper-
muliakan dan nama baik pengakuan iman kita terselamatkan,
terjaga, serta berkembang, maka keinginan itu bukan hanya
wajar, namun juga rohani.
2. “Ah, kiranya aku berada dalam keadaan batin yang baik seperti
dahulu!” Hal yang paling Ayub keluhkan saat ini ialah beban
jiwanya sebab Allah undur darinya. Oleh sebab itulah dia ber-
harap jiwanya dilapangkan dan dikuatkan dalam beribadah ke-
pada Allah seperti sediakala, dan supaya ia memiliki kebebasan
dan persekutuan dengan-Nya seperti semula. saat itu ia me-
rasa berbahagia dalam keadaan tersebut. Seperti saat Ayub
mengalami masa remajanya (ay. 4), sewaktu ia berada dalam
puncak usianya untuk menikmati semua hal itu dan merasakan
kepuasan setinggi-tingginya. Perhatikanlah, orang yang berhasil
pada masa muda biasanya tidak mengetahui hari-hari gelap dan
suram yang menantinya di depan. Ada dua hal yang membuat
bulan-bulan yang silam menyenangkan bagi Ayub:
I. Penghiburan dalam Allah. Inilah puncak sukacita Ayub di tengah
kemakmurannya. Di kala kemakmuran itu bersemi dan manis, ia
memiliki perkenanan Allah dan tanda bukti perkenanan tersebut.
Ayub tidak menganggap kemakmurannya sebagai nasib baik, atau
hasil dari kesanggupannya, atau berkat kekuatan tangannya
sendiri. Sebaliknya ia mengungkapkan pengakuan yang sama
seperti Daud (Mzm. 30:8), “TUHAN, oleh sebab Engkau berkenan,
Engkau telah menempatkan aku di atas gunung yang kokoh.” Jiwa
yang telah mendapat anugerah akan bergirang sebab senyuman
Allah, bukan senyuman dunia ini. Ada empat hal yang sangat
menyenangkan bagi Ayub yang saleh saat itu:
1. Keyakinan yang dimilikinya dalam perlindungan ilahi. Itulah
hari-hari, saat Allah melindungi aku (ay. 2). Bahkan pada
masa kejayaan itu pun Ayub menyadari dirinya rentan bahaya,
namun ia tidak menjadikan hartanya sebagai kota yang kuat,
tidak pula ia percaya akan harta bendanya, namun nama
TUHAN yaitu menara yang kuat baginya. Hanya dalam nama
Tuhan Ayub merasa aman, ia mengakui bahwa Tuhanlah
sumber keamanannya saat itu dan bahwa kenyamanan terjaga
baginya. Iblis melihat bahwa pagar di sekeliling Ayub yaitu
perbuatan Allah (1:10), dan Ayub sendiri pun melihatnya serta
mengakui bahwa pemeliharaan-Nyalah yang menjaga nyawaku
(10:12). Hanya orang yang dilindungi Allah yang akan aman
dan tenang. Oleh sebab itu, barang siapa memiliki kelimpah-
an dunia ini janganlah menganggap dirinya aman, kecuali bila
Allah melindungi mereka.
2. Kepuasan yang dimilikinya dalam perkenanan ilahi (ay. 3):
Pelita-Nya bersinar di atas kepalaku. Yaitu, Allah mengangkat
tinggi cahaya perkenanan-Nya supaya menyinari Ayub, mem-
beri dia jaminan dan penghiburan yang manis dari kasih-Nya.
Cahaya pelita itulah bentuk perkenanan ilahi yang terbaik bagi
orang-orang kudus di dunia ini, dibandingkan dengan apa
yang telah disimpan bagi mereka di kehidupan yang akan da-
tang. Kepuasan yang Ayub rasakan dalam perkenanan ilahi
berlimpah, sebab dengan cahaya pelita itu ia berjalan melalui
kegelapan. Cahaya itu menuntunnya di tengah keraguan,
menghiburnya di tengah dukacita, menopangnya di tengah
beban hidup, serta menolongnya melewati segala kesukaran.
Barang siapa memiliki cahaya kemakmuran lahiriah yang pa-
ling terang sekalipun, pasti tetap akan mengalami masa-masa
kekelaman. Adakalanya mereka dirintangi, terkadang rugi, dan
terkadang bersedih. Namun, barang siapa mendapat bagian
dalam perkenanan Allah dan tahu cara menghargainya, ia
dapat berjalan dengan riang dan bahagia oleh cahaya perke-
nanan itu melewati seluruh kegelapan di lembah air mata. Hal
itu menyukakan hati kita, cukup untuk mengimbangi segala
dukacita yang kita alami saat ini.
3. Persekutuan yang dimilikinya dengan firman ilahi saat itu
(ay. 4): Allah bergaul karib dengan aku di dalam kemahku. Ya-
itu, Allah bercakap-cakap secara terbuka dengan Ayub layak-
nya sahabat karib. Ia mengenal pikiran Allah, tidak kabur
seperti belakangan ini. TUHAN bergaul karib dengan orang
yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya
kepada mereka (Mzm. 25:14), yang tidak diketahui orang lain.
Allah menyampaikan perkenanan dan anugerah-Nya kepada
umat-Nya dan menerima ibadah mereka dengan cara yang
tidak diketahui oleh dunia. Sebagian tafsiran berbunyi, “saat
perhimpunan jemaat Allah ada di dalam kemahku.” Rabi
Solomon menafsirkannya sebagai kumpulan umat Allah yang
biasa bertemu di rumah Ayub untuk beribadah, dan Ayublah
yang memimpinnya. Ayub sangat menikmati hal itu, dan bu-
barnya perhimpunan itu mendukakan dia. Atau “perhimpunan
jemaat Allah” tadi mungkin juga diartikan sebagai para malai-
kat Allah yang mendirikan kemah-kemahnya di sekeliling tem-
pat tinggal Ayub.
4. Jaminan hadirat ilahi yang dimilikinya (ay. 5): saat Yang
Mahakuasa masih beserta aku. Sekarang, Ayub pikir Allah su-
dah meninggalkannya, namun pada hari-hari dahulu itu, Allah
menyertai dia, dan itulah segalanya bagi Ayub. Bila hadirat
Allah menyertai seseorang di rumahnya, sekalipun hanya
gubuk, tempat itu akan menjadi kastil dan istana.
II. Ia memiliki penghiburan dalam keluarganya. Semua sangat me-
nyenangkan di sana, ada langit-langit untuk mencecap makanan
dan ada makanan untuk langit-langitnya. Kehilangan salah satu-
nya merupakan kesusahan besar.
1. Ayub punya banyak anak yang menikmati segala miliknya.
Anak-anakku ada di sekelilingku. Ia memiliki banyak anak,
cukup untuk mengelilinginya, dan mereka taat serta patuh
kepadanya. Anak-anak itu ada di sekeliling Ayub, tahu apa
yang dia inginkan, sehingga bisa melayaninya. yaitu suatu
kegembiraan bagi para orangtua saat melihat anak-anak ada
di dekat mereka. Hati Ayub hancur saat mengenang peng-
hiburan ini, yang sekarang telah dirampas darinya. Ia meng-
anggap kehadiran anak-anak di sekelilingnya sebagai bukti
penyertaan Allah. Namun, sesungguhnya saat kita kehilangan
anak-anak, inilah penghiburan bagi kita, yaitu bahwa kita
tidak kehilangan Allah.
2. Ayub memiliki harta berlimpah untuk menyokong hidup ang-
gota keluarganya yang banyak (ay. 6). Hasil susunya melimpah
ruah hingga langkah-langkahnya bermandikan dadih. Kebun
zaitunnya begitu subur, melampaui harapan, hingga seolah
gunung batu mengalirkan sungai minyak di dekatnya. Ayub
tidak mengukur kekayaannya berdasarkan perak dan emas,
yang hanya berguna untuk ditimbun, melainkan dengan dadih
dan minyak, yang ada untuk dipakai. Apakah gunanya harta
kekayaan bila kita tidak memanfaatkannya untuk diri sendiri
dan mempergunakannya untuk berbuat baik bagi orang lain?
Kejayaan Ayub yang Semula
(29:7-17)
7 Apabila aku keluar ke pintu gerbang kota, dan menyediakan tempat dudukku
di tengah-tengah lapangan, 8 maka saat aku kelihatan, mundurlah orang-
orang muda dan bangkitlah orang-orang yang sudah lanjut umurnya, lalu
tinggal berdiri; 9 para pembesar berhenti bicara, dan menutup mulut mereka
dengan tangan; 10 suara para pemuka membisu, dan lidah mereka melekat
pada langit-langitnya; 11 apabila telinga mendengar tentang aku, maka aku
disebut berbahagia; dan apabila mata melihat, maka aku dipuji. 12 sebab
aku menyelamatkan orang sengsara yang berteriak minta tolong, juga anak
piatu yang tidak ada penolongnya; 13 aku mendapat ucapan berkat dari orang
yang nyaris binasa, dan hati seorang janda kubuat bersukaria; 14 aku berpa-
kaian kebenaran dan keadilan menutupi aku seperti jubah dan serban;
15 aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh; 16 aku
menjadi bapa bagi orang miskin, dan perkara orang yang tidak kukenal, ku-
selidiki. 17 Geraham orang curang kuremuk, dan merebut mangsanya dari
giginya.
Pada ayat-ayat di atas, diceritakan tentang Ayub di masa lampau
saat ia memiliki kehormatan dan kuasa. Meskipun sudah memiliki
cukup kebahagiaan di rumahnya sendiri, ia tidak membatasi dirinya
di dalam rumah. Kita tidak dilahirkan untuk diri sendiri, melainkan
untuk orang banyak. saat ada urusan yang harus dikerjakan di
pintu gerbang, tempat pengadilan, Ayub keluar ke pintu gerbang kota
(ay. 7), bukan dengan bergaya untuk memegahkan diri, melainkan
guna melakukan keadilan. Perhatikanlah, pengadilan dilaksanakan
di pintu gerbang, di jalan, di tempat-tempat umum yang bisa dida-
tangi semua orang dengan bebas, agar setiap orang yang mau dapat
hadir sebagai saksi atas segala sesuatu yang diucapkan dan dilaku-
kan, juga supaya saat penghakiman dijatuhkan atas yang bersalah,
orang lain mendengarnya dan merasa takut. Ayub dahulu yaitu
seorang pembesar, hakim, pejabat pengadilan, seorang yang berkua-
sa di antara orang-orang di daerah timur. Tentang dia diceritakan,
I. Betapa ia sangat dihormati dan disegani oleh segala kelompok
orang, bukan hanya sebab jabatannya yang tinggi, namun juga
sebab amal pribadinya, kebijaksanaannya yang unggul, kejujur-
an, serta kepemimpinan yang baik.
1. Rakyat menghormati Ayub dan segan kepadanya (ay. 8). Kare-
na daya tarik serta keluhuran dalam penampilan dan sorot
wajahnya, juga ketegasannya yang terkenal dalam mengecam
segala kejahatan dan kesalahan, semua orang di sekelilingnya
menunjukkan sikap sopan dan hormat terhadap dia. Orang-
orang muda tidak mampu mengangkat muka di hadapannya,
atau mungkin juga sebab sadar bahwa ada sesuatu yang
kurang patut pada diri mereka, dan mundurlah orang-orang
muda itu dan menyingkir daripadanya. Demikian pula orang-
orang yang sudah lanjut umurnya, walaupun tinggal di tempat,
mereka tidak tetap duduk, namun bangkitlah mereka lalu
tinggal berdiri untuk menyambutnya. Orang-orang yang sepa-
tutnya dihormati oleh orang lain justru memberi hormat ke-
padanya. Kebajikan serta kesalehan membangkitkan kesegan-
an dari semua orang dan biasanya mendapat penghormatan.
Namun, barang siapa bersifat baik dan juga melakukan yang
baik, ia layak dihormati dua kali lipat. Sama seperti keseder-
hanaan patut dimiliki orang-orang muda dan para bawahan,
demikianlah kemuliaan layak didapat mereka yang lanjut usia
dan berkuasa. Rasa takut dan hormat layak bagi pemerintah
dan harus dibayarkan kepada mereka (Rm. 13:7). Jika orang
besar dan baik sedemikian dihormati, terlebih lagi Allah yang
besar dan baik, Dia harus ditakuti!
2. Para pembesar dan pemuka sangat menyegani Ayub (ay. 9-10).
Sebagian penafsir beranggapan bahwa orang-orang itu yaitu
pejabat yang lebih rendah di bawahnya, sehingga penghormat-
an mereka kepada Ayub disebabkan oleh jabatannya sebagai
pemimpin dan atasan mereka. Namun, tampaknya dugaan
yang lebih masuk akal yaitu mereka itu sejajar dengan Ayub
dan berbagi kekuasaan yang sama dengannya. Penghormatan
mereka yang istimewa kepada Ayub timbul sebab kemampu-
an serta jasanya yang luar biasa. Semua sepakat bahwa Ayub
lebih unggul dalam kecepatan daya tangkap, ketajaman peni-
laian, ketepatan tindakan, serta kejelasan dan kelimpahan
tutur kata. Oleh sebab itu, di antara rekan-rekannya, Ayub
menjadi pembimbing serta penasihat hukum dan keadilan.
Semua patuh dan setuju pada perkataannya. Saat Ayub da-
tang ke pengadilan, khususnya saat ia berdiri untuk angkat
bicara mengenai suatu perkara, para pembesar berhenti bicara,
suara para pemuka membisu, supaya mereka bisa menyimak
perkataannya dengan lebih teliti dan memahami maksudnya.
Saat tiba giliran Ayub berbicara, orang-orang yang cepat lidah-
nya, suka mendengar suaranya sendiri, dan tidak terlalu
peduli pada ucapan orang lain pun sangat ingin mendengar
pendapat Ayub, sebesar keinginan mereka untuk menyuara-
kan pendapat pribadi. Orang yang ragu-ragu dengan penilai-
annya sendiri juga merasa puas dengan penilaian Ayub. Mere-
ka mengagumi keterampilannya menyibak suatu masalah dan
menguak persoalan membingungkan yang mereka tidak tahu
harus diapakan. Sewaktu para pembesar dan pemuka saling
berbantah, semua setuju untuk mengajukan perkara tersebut
kepada Ayub dan tunduk pada keputusannya. Berbahagialah
orang yang diberkati dengan karunia menonjol seperti ini. Me-
reka berkesempatan besar untuk menghormati Allah dan ber-
buat baik, namun sangat perlu berhati-hati terhadap keangkuh-
an. Berbahagialah rakyat yang diberkati dengan orang-orang
terkemuka seperti itu. Itu suatu tanda yang baik bagi mereka.
II. Betapa besar kebajikan yang diperbuat Ayub dalam kedudukan-
nya. Ia sangat berjasa bagi negerinya dengan kuasa yang dimiliki-
nya itu. Di sini, kita akan melihat dengan nilai apa Ayub meng-
hargai dirinya sewaktu ia masih berjaya. yaitu wajar bila manu-
sia memegang nilai-nilai tertentu bagi dirinya, dan kita bisa meni-
lai sifat kita sendiri dengan membandingkannya terhadap nilai
yang kita anut. Ayub menghargai dirinya, bukan berdasarkan ke-
hormatan yang dimiliki keluarganya, besarnya kekayaan, tinggi-
nya pendapatan, limpahnya makanan, banyaknya hamba yang
melayani dia, panji-panji lambang martabatnya, kereta kuda dan
iring-iringannya, jamuan mewah yang diadakannya, ataupun ke-
besaran yang dibuat baginya, melainkan berdasarkan manfaat diri
yang ia beri bagi orang lain. Kebaikan yaitu kemuliaan Allah,
dan itu akan menjadi milik kita. Bila kita murah hati seperti
Allah, kita pun sempurna seperti Dia.
1. Ayub menilai dirinya berdasarkan penghargaan, kasih sayang,
serta doa-doa dari orang bijak kepadanya. Bukan berdasarkan
kata-kata sanjungan terpelajar dari para cendekiawan dan
pujangga, melainkan luapan puji-pujian dari orang-orang di
sekelilingnya. Semua orang yang pernah mendengar perkataan
Ayub, melihat sepak terjangnya, bagaimana ia mengabdikan
diri bagi kepentingan masyarakat dengan kuasa dan kasih
sayang seorang bapa bagi negerinya, mereka memberkati dia
dan memberi kesaksian tentangnya (ay. 11). Banyak perkataan
manis mereka ucapkan tentangnya dan doa-doa yang baik
mereka panjatkan baginya. Membuat semua orang takut ti-
daklah dipandang Ayub sebagai suatu kehormatan (Oderint
dum metuant – Biarlah mereka membenci, asalkan mereka juga
takut). Bersikap sewenang-wenang, memaksakan kehendak
dan caranya sendiri tanpa memedulikan kata orang juga tidak
dianggapnya sebagai kehormatan. Namun, seperti Mordekhai,
ia disukai oleh banyak sanak saudaranya (Est. 10:3). Daripada
tepuk tangan orang-orang yang jauh, Ayub lebih menghargai
pengakuan dari mereka yang pernah menyaksikan tindak
tanduknya, yang biasa menyertainya, melihat serta mende-
ngarnya, dan dapat memberi kesaksian sebab tahu secara
langsung, khususnya orang yang telah menerima manfaat
darinya dan dapat berbicara berdasarkan pengalaman. Seperti
itulah ucapan berkat dari orang yang nyaris binasa (ay. 13)
dan yang terselamatkan dari kebinasaan berkat bantuan
Ayub. Oleh sebab itu, kiranya orang-orang besar dan mereka
yang makmur berbuat baik, maka mereka akan mendapatkan
puji-pujian serupa. Juga sebaliknya, orang-orang yang mene-
rima perbuatan baik kiranya memandang kebaikan itu sebagai
utang yang harus mereka bayarkan kepada para pembela dan
dermawan mereka itu, dengan cara mengucapkan berkat dan
kesaksian yang baik tentang mereka. Juga, dengan cara
memakai amal mereka sebagai penghormatan bagi mereka di
bumi dan penghiburan bagi mereka di sorga. Dan tidak juga
untuk memuji dan berdoa bagi mereka. Barang siapa tidak
mau memberi balasan sekecil itu, mereka itu sungguh tidak
tahu berterima kasih.
2. Ayub menilai dirinya berdasarkan perbuatan baiknya terhadap
mereka yang paling tidak berdaya menolong diri sendiri, orang-
orang miskin dan berkekurangan, para janda dan anak yatim,
orang buta dan lumpuh, mereka yang tidak bisa diharapkan
untuk mampu membalas jasanya.
(1) Bila orang miskin dicelakai atau ditindas, mereka berseru
kepada Ayub, dan kalau didapatinya bahwa keterangan
mereka benar, ia bukan hanya mendengar dan bersimpati,
namun juga mengulurkan tangan: aku menyelamatkan orang
sengsara yang berteriak minta tolong (ay. 12). Ia tidak akan
membiarkan mereka diinjak-injak dan ditekan. Bahkan,
aku menjadi bapa bagi orang miskin (ay. 16), bukan hanya
menjadi hakim yang melindungi dan memastikan bahwa
mereka memperoleh keadilan, namun menjadi bapa yang me-
nyediakan kebutuhan mereka dan memastikan bahwa mere-
ka tidak berkekurangan. Juga, membimbing dan mengarah-
kan mereka, serta bangkit dan bertindak bagi mereka dalam
tiap kesempatan. Bukan merupakan kehinaan bagi seorang
pembesar untuk menjadi bapa bagi orang miskin.
(2) Ayub siap membantu anak-anak yatim yang tidak punya
siapa-siapa. Bila mereka mengalami kesesakan, Ayub siap
membebaskan mereka. Ia menolong mereka supaya mereka
melakukan yang terbaik dengan sedikit yang mereka miliki.
Ia membantu mereka membayarkan utang dan mendapat-
kan apa yang seharusnya dibayarkan kepada mereka. Ia
menyokong mereka terjun di tengah masyarakat, memban-
tu mereka memperoleh pekerjaan, serta menolong mereka
dalam pekerjaan tersebut. Seperti itulah seharusnya kita
membantu para anak yatim.
(3) Orang yang nyaris binasa diselamatkan Ayub dari kebinasa-
an. Ia melegakan mereka yang kelaparan dan hampir mati
sebab kekurangan, merawat yang sakit, orang buangan,
orang yang menerima tuduhan palsu. Ia menyelamatkan
yang terancam dirampas dari harta miliknya secara tidak
adil, atau yang nyaris binasa dalam bentuk apa pun. Besar-
nya bahaya yang mengancam orang-orang itu justru mem-
buat Ayub makin lekas bertindak lebih sungguh-sungguh
bagi mereka. Jadi, kebaikannya yang tepat waktu itu terasa
semakin menyentuh hati dan bermanfaat, sehingga mereka
pun semakin memberkati dia dengan limpahnya.
(4) Para janda yang merintih sebab dukacita dan gemetar
ketakutan dibuatnya menyanyi dengan sukaria. Ia melin-
dungi dan memelihara mereka dengan sungguh-sungguh,
kepentingan mereka didukungnya sepenuh hati. Seharus-
nya menjadi kesen