Minggu, 05 Januari 2025

ayub 22


 ir seperti 

oleh api, batu-batu berharga yang berkilauan bagaikan api, yaitu  

belerang yang mudah terbakar, dan batu bara, yang cocok dijadi-

kan bahan bakar. Sama seperti kita menerima makanan, begitu 

pula kita menerima bahan bakar dari dalam tanah. Di dalamnya 

terdapat batu-batu lazurit serta batu permata lainnya, dan dari 

sana juga emas urai digali (ay. 6). Hikmat Sang Pencipta telah me-

nempatkan benda-benda ini,  

1. Jauh dari pandangan kita, untuk mengajar kita supaya tidak 

terus memperhatikan hal-hal tadi (Ams. 23:5). 

2. Di bawah kaki kita, untuk mengajar kita supaya tidak mende-

kapnya dengan erat, atau mengarahkan hati kepadanya, namun  

menginjak-injaknya dengan rasa jijik yang kudus. Lihatlah 

betapa bumi penuh dengan ciptaan Allah (Mzm. 104:24), kemu-

dian mengambil kesimpulan dari sana bahwa Allah tidak saja 

yang empunya bumi serta segala isinya (Mzm. 24:1), namun  

juga betapa penuh sorga dengan kekayaan Allah, kota Sang 

Raja Agung, yang bila dibandingkan dengannya, bumi ini ha-

nyalah sebuah negeri yang miskin belaka. 

II. Kekayaan yang tersembunyi di dalam tanah tidak dapat diperoleh 

selain dengan susah payah. 

1. Kekayaan itu sulit ditemukan, sebab  hanya di beberapa tem-

pat saja ada tempat orang menambang perak (ay. 1). Batu-batu 

permata itu, meskipun cemerlang, disebut batu-batu di dalam 

kekelaman dan kelam pekat, sebab  terkubur dalam tanah 

tanpa dikenal dan tidak tampak oleh mata. Manusia mungkin 

harus mencari lama sebelum bisa menemukannya. 

2. saat  ditemukan, batu-batu itu sulit dikeluarkan. Manusia 

harus memutar akal guna menemukan cara dan sarana untuk 

mendapatkan harta tersembunyi ini. Mereka harus membawa 

lampu untuk menyudahi kegelapan. Jika satu jalan tidak ber-

hasil, atau satu cara gagal terlaksana, mereka harus mencoba 

cara lain, hingga mereka dapat menyelidikinya sampai se-

dalam-dalamnya, dan membongkar setiap batu untuk men-

capainya (ay. 3). Mereka harus bergumul dengan aliran sungai 

di bawah tanah (ay. 4, 10-11), dan menerobos bebatuan yang 

bisa dikatakan merupakan akar atau dasar gunung (ay. 9). 


Nah, Allah membuat pencarian emas, perak, dan batu permata 

begitu sulit dilakukan, 

(1) Untuk membangkitkan dan mendorong ketekunan. Dii 

laboribus omnia vendunt – Kerja keras merupakan harga 

yang ditetapkan para dewa untuk segala hal. Apabila hal-

hal berharga terlalu mudah diperoleh, manusia tidak akan 

pernah belajar berjerih payah. Namun demikian, kesulitan 

memperoleh kekayaan bumi ini bisa memberitahukan ke-

pada kita betapa kerajaan sorga mengalami kekerasan 

sebagai akibatnya. 

(2) Untuk mengendalikan dan mengekang kemegahan dan 

kemewahan. Apa yang diperlukan secukupnya bisa diper-

oleh dengan sedikit upaya di permukaan tanah. namun , apa 

yang diperlukan untuk perhiasan haruslah digali dengan 

susah payah dari dalam perut bumi. Hal yang diperlukan 

sekadar untuk makanan, murah harganya, sedangkan un-

tuk keindahan, orang harus membayar mahal. 

III. Walaupun kekayaan di bawah tanah begitu sulit didapatkan, 

manusia tetap menginginkannya. Orang yang menyukai perak, 

tidak puas bila hanya mempunyai perak, namun juga tidak puas 

bila tidak memilikinya sama sekali. Bagaimanapun, orang-orang 

yang memiliki banyak, berkeras memiliki lebih banyak lagi. Lihat-

lah di sini, 

1. Penemuan apa saja yang diraih manusia demi memperoleh ke-

kayaan ini. Mereka menyelidikinya sampai sedalam-dalamnya 

(ay. 3). Mereka mempunyai keahlian dan mesin untuk menge-

ringkan perairan, dan membawa harta yang telah digali di 

tambang dan terancam tenggelam di dalamnya (ay. 4). Manu-

sia memakai  pompa, pipa, dan terusan untuk membuka 

jalan. Setelah semua rintangan disingkirkan, mereka melintasi 

jalan ke sana yang tidak dikenal seekor burung buaspun (ay. 7-

8). Tidak terlihat oleh mata burung elang yang tajam dan jeli, 

serta tidak dilalui anak-anak singa yang berkeliaran di seluruh 

penjuru rimba belantara. 

2. Betapa keras usaha manusia, dan betapa besar biaya yang me-

reka keluarkan demi mendapatkan kekayaan ini. Mereka me-

nembus bebatuan dan menggali terowongan di gunung (ay. 10). 

3. Betapa besar bahaya yang mereka hadapi. Orang-orang yang 

menggali tambang terancam nyawanya, sebab air sungai yang 

merembes harus dibendungnya (ay. 11). Mereka senantiasa 

menghadapi bahaya tercekik oleh kelembapan udara, atau 

tertimpa atau terkubur hidup-hidup oleh tanah longsor. Lihat-

lah bagaimana orang bodoh menambahkan beban kepada diri-

nya sendiri. Ia sudah ditetapkan untuk makan dari hasil ke-

ringatnya. Namun, seakan-akan itu belum cukup, ia hendak 

memperoleh emas dan perak yang membahayakan nyawanya, 

meskipun semakin banyak yang diperoleh, semakin turun pula 

nilainya. Pada zaman Salomo, nilai perak sama dengan batu 

biasa. 

4. Amatilah apa yang membuat manusia mau menjalani kerja ke-

ras dan bahaya ini: matanya melihat segala sesuatu yang ber-

harga (ay. 10). Bagi mereka, perak dan emas merupakan ba-

rang mulia, dan mereka memusatkan perhatian dalam upaya 

mencari benda-benda itu. Mereka membayangkan kemilaunya, 

dan dengan harapan bisa memperolehnya, mereka mengabai-

kan semua kesulitan ini. Akhirnya mereka mendapatkan hasil 

dari kerja keras mereka: apa yang tersembunyi dibawanya ke 

tempat terang (ay. 11). Apa yang tersembunyi di dalam tanah, 

diletakkan di atasnya. Logam yang tadinya tersembunyi di 

dalam bijih besi, kemudian dihaluskan dan keluar dari dapur 

peleburan dalam keadaan murni. Ia lalu beranggapan bahwa 

semua jerih payahnya sudah terbayar. Tengoklah para buruh 

tambang, wahai pemalas di bidang agama, perhatikanlah ja-

lan-jalan mereka, dan jadilah bijaksana. Biarlah tekad, kete-

kunan, dan kesetiaan mereka dalam mencari kekayaan yang 

bisa musnah itu membuat kita malu dengan keengganan dan 

ketakutan kita dalam mencari kekayaan sejati. Memperoleh 

hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas! Betapa jauh 

lebih mudah dan aman! Walau demikian, emas tetap saja 

dicari-cari, sedangkan kasih karunia diabaikan. Akankah ha-

rapan terhadap yang terbaik dari bumi serta segala isinya 

(demikianlah benda-benda itu disebut, walau sebenarnya tidak 

berharga dan bisa lenyap) begitu mendorong ketekunan, dan 

bukankah harapan pasti akan hal-hal yang benar-benar ber-

harga di sorga jauh lebih berharga lagi? 


Keunggulan Hikmat 

(28:14-19) 

14 Kata samudera raya: Ia tidak terdapat di dalamku, dan kata laut: Ia tidak 

ada padaku. 15 Untuk gantinya tidak dapat diberikan emas murni, dan harga-

nya tidak dapat ditimbang dengan perak. 16 Ia tidak dapat dinilai dengan 

emas Ofir, ataupun dengan permata krisopras yang mahal atau dengan per-

mata lazurit; 17 tidak dapat diimbangi oleh emas, atau kaca, ataupun ditukar 

dengan permata dari emas tua. 18 Baik gewang, baik hablur, tidak terhitung 

lagi; memiliki hikmat yaitu  lebih baik dari pada mutiara. 19 Permata krisolit 

Etiopia tidak dapat mengimbanginya, ia tidak dapat dinilai dengan emas 

murni. 

Sesudah berbicara tentang kekayaan duniawi, yang begitu dihargai 

manusia sehingga rela bersusah payah untuk mendapatkannya, da-

lam perikop ini Ayub berbicara tentang permata lain yang lebih 

berharga, yaitu hikmat dan akal budi, yaitu mengenal dan menikmati 

Allah serta diri kita sendiri. Orang-orang yang menemukan segala 

cara dan sarana untuk memperkaya diri, menyangka diri mereka 

sangat berhikmat. Namun Ayub tidak mau menyebut mereka berhik-

mat. Ia percaya bahwa mereka telah mencapai maksud mereka, dan 

membawa apa yang mereka cari itu ke tempat terang (ay. 11). 

Namun, ia bertanya, “Di mana hikmat? Hikmat itu tidak ada di sini.” 

Jalan mereka yaitu  kebodohan mereka. Oleh sebab  itu kita harus 

mencarinya di tempat lain. Hikmat itu tidak akan ditemukan di mana 

pun selain dalam asas-asas dan hidup beragama. Terdapat lebih ba-

nyak pengetahuan, kepuasan, dan kebahagiaan sejati di dalam hal-

hal sejati tentang Allah, yang menunjukkan jalan menuju sukacita 

sorgawi kepada kita, dibanding filsafat atau ilmu matematika, yang 

hanya menunjukkan jalan menuju perut bumi. Terdapat dua hal 

yang tidak dapat ditemukan berkenaan dengan hikmat ini: 

I. Harganya, sebab tidak ternilai. Nilainya jelas jauh melebihi selu-

ruh kekayaan dunia ini: Jalan ke sana tidak diketahui manusia 

(ay. 13). Artinya, 

1. Hanya sedikit orang yang menghargai hikmat seperti seharus-

nya. Manusia tidak mengetahui nilainya, keunggulannya yang 

ada dikandungnya, kebutuhan mereka akan hikmat, dan be-

tapa sangat bermanfaat hal itu bagi mereka. Oleh sebab  itu, 

meskipun mereka mempunyai banyak uang untuk mendapat-

kan hikmat ini, mereka tidak berakal budi (Ams. 17:16), tidak 

menaruh perhatian kepadanya. Ayam jantan dalam dongeng 

binatang tidak mengetahui nilai batu permata yang ditemukan-

nya di tumpukan kotoran, dan oleh sebab  itu ia lebih suka 

menemukan gandum. Manusia tidak mengetahui nilai anuge-

rah, dan oleh sebab  itu tidak mau bersusah payah untuk men-

dapatkannya. 

2. Tidak seorang pun dapat memperkirakan nilai hikmat dengan 

benar, sekalipun ia memiliki seluruh kekayaan dunia ini. Hal 

ini dijelaskan Ayub dalam ayat 15 dan seterusnya, di mana ia 

mendaftarkan sejumlah bona notabilia – harta paling berharga 

di dunia ini. Di sini emas disebutkan lima kali. Perak juga di-

sebut-sebut, menyusul sejumlah batu permata, yaitu permata 

krisopras dan lazurit, mutiara dan batu delima, serta permata 

krisolit Etiopia. Semua ini merupakan benda-benda termahal 

di pasaran dunia. Namun, jika seseorang diminta memberikan, 

bukan saja semua ini, bergunung-gunung darinya, melainkan 

juga seisi rumahnya, atau seluruh kekayaannya di dunia ini, 

demi memperoleh hikmat, maka pastilah ia akan menolak 

mentah-mentah. Kekayaan ini memang bisa sedikit berman-

faat bagi orang untuk mencari hikmat, seperti halnya Salomo, 

namun  hikmat tidak dapat dibeli dengan semua ini. Hikmat 

merupakan pemberian Roh Kudus, dan orang tidak dapat 

membeli karunia Allah dengan uang (Kis. 8:20). sebab  hikmat 

tidak mengalir melalui darah dan sebab  itu tidak kita peroleh 

berdasarkan keturunan, maka hikmat juga tidak dapat diper-

oleh dengan uang, atau dengan membelinya. Karunia-karunia 

roh diberikan tanpa uang dan harga, sebab tidak ada uang 

sebanyak apa pun yang dapat menentukan harganya. Hikmat 

juga merupakan pemberian berharga bagi orang yang memiliki-

nya, yang membuat dia lebih kaya dan bahagia, lebih berharga 

daripada emas ataupun batu permata. Memperoleh hikmat sung-

guh jauh melebihi memperoleh emas. Emas yaitu  milik orang 

lain, sedangkan hikmat yaitu  milik kita. Emas dipakai  bagi 

tubuh dan untuk satu masa, sedangkan hikmat yaitu  untuk 

jiwa dan kekekalan. Kiranya hal yang paling berharga di mata 

Allah juga demikian di mata kita (Ams. 3:14 dst.). 

II. Tempat hikmat, yang tidak bisa ditemukan. Di mana hikmat dapat 

diperoleh? (ay. 12). Ayub menanyakan hal ini, 

1. Sebagai orang yang ingin sekali menemukannya. Inilah per-

tanyaan yang harus diajukan oleh kita semua. saat  keba-

nyakan orang bertanya, “Di manakah uang dapat diperoleh?”, 

kita harus bertanya, Di mana hikmat dapat diperoleh?, supaya 

kita tidak mencari dan mendapatkan filsafat sia-sia atau cara 

pikiran duniawi, namun  agama sejati. Sebab itulah satu-satu-

nya hikmat sejati, yaitu yang paling terbaik dalam meningkat-

kan kecakapan dan paling menjamin kesejahteraan rohani kita 

yang kekal. Inilah yang harus kita kejar dan gali (Ams. 2:3-4). 

2. Sebagai orang yang berputus asa dalam mencarinya di mana-

mana selain di dalam Allah, dan dengan cara apa pun selain 

melalui penyingkapan ilahi: Jalan ke sana tidak didapati di 

negeri orang hidup (ay. 13). Kita tidak dapat memperoleh pe-

mahaman yang tepat tentang Allah dan kehendak-Nya, ten-

tang diri kita sendiri serta kewajiban dan kepentingan kita, 

dengan membaca Artikel  tulisan manusia, namun  dengan mem-

baca kitab Allah dan tulisan para abdi Allah. Begitu parah ke-

merosotan kodrat manusia hingga tidak dapat ditemukan 

hikmat sejati pada siapa pun selain orang-orang yang sudah 

lahir baru, dan yang melalui kasih karunia, ikut mengambil 

bagian dalam kodrat ilahi. Mengenai yang lain, bahkan yang 

paling berbakat dan giat sekalipun, mereka tidak dapat mem-

beri kita penjelasan tentang hikmat yang telah hilang ini. 

(1) Tanyakanlah kepada para buruh tambang, dan melalui me-

reka kata samudera raya: Ia tidak terdapat di dalamku (ay. 

14). Orang-orang yang menggali sampai ke perut bumi 

untuk menjarah harta di dalamnya, tidak dapat menemu-

kan permata langka ini di sana, atau menguasainya dengan 

seluruh keahlian mereka. 

(2) Tanyakanlah kepada para pelaut, dan melalui mereka kata 

laut: Ia tidak ada padaku. Hikmat tidak akan pernah bisa 

diperoleh dengan mengarungi laut atau menyelam di da-

lamnya. Hikmat tidak akan pernah bisa mengisap kelim-

pahan laut dan harta yang terpendam di dalam pasir. Di 

tempat orang menambang perak tidak akan ditemukan 

hikmat selain melalui kasih karunia. Manusia lebih mudah 

menerobos kesulitan yang mereka hadapi dalam upaya 

memperoleh kekayaan duniawi, dibanding menerobos ke-

sulitan yang mereka temui dalam upaya memperoleh hik-

mat sorgawi. Mereka lebih memilih bersusah payah untuk 

mempelajari cara menjalani hidup di dunia ini daripada 

cara untuk hidup selamanya di dunia yang lebih baik. Ma-

nusia telah menjadi begitu buta dan bodoh, hingga per-

cuma saja bertanya kepadanya, Di manakah tempatnya hik-

mat itu, dan di manakah jalan menuju ke sana? 

Hikmat yang Tersembunyi bagi Manusia;  

Hikmat yang Dinyatakan bagi Manusia 

(28:20-28) 

20 Hikmat itu, dari manakah datangnya, atau akal budi, di manakah tempat-

nya? 21 Ia terlindung dari mata segala yang hidup, bahkan tersembunyi bagi 

burung di udara. 22 Kebinasaan dan maut berkata: Hanya desas-desusnya 

yang sampai ke telinga kami. 23 Allah mengetahui jalan ke sana, Ia juga me-

ngenal tempat kediamannya. 24 sebab  Ia memandang sampai ke ujung-

ujung bumi, dan melihat segala sesuatu yang ada di kolong langit. 25 saat  

Ia menetapkan kekuatan angin, dan mengatur banyaknya air, 26 saat  Ia 

membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh, 27 saat  itulah Ia 

melihat hikmat, lalu memberitakannya, menetapkannya, bahkan menyelidiki-

nya; 28 namun  kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, takut akan 

Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi.” 

Pertanyaan yang diajukan Ayub (ay. 12) ditanyakannya lagi dalam 

perikop ini, sebab  pertanyaan itu terlampau berharga, terlampau 

penting, untuk diabaikan begitu saja, sehingga kita bergegas mena-

nyakannya. Mengenai hal ini, kita harus terus mencari sampai 

menemukan jawabannya, sampai rasa ingin tahu kita terhadap hal 

itu terpenuhi. Dengan mencari tahu hal ini secara tekun, Ayub akhir-

nya menyimpulkan bahwa terdapat dua jenis hikmat. Salah satunya 

yaitu  hikmat yang  tersembunyi di dalam Allah, rahasia yang bukan 

milik kita, sedangkan yang lain yang diberitahukan oleh-Nya dan 

dinyatakan kepada manusia, ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita. 

I. Pengetahuan tentang kehendak rahasia Allah, yaitu kehendak 

penyelenggaraan-Nya, berada di luar jangkauan kita, dan merupa-

kan hal yang disimpan Allah bagi diri-Nya sendiri. Rahasia itu 

bagi TUHAN, Allah kita. Mengetahui rincian hal yang akan dilaku-

kan Allah di kemudian hari dan alasan untuk apa yang sedang 

dilakukan-Nya sekarang, yaitu  pengetahuan yang pertama-tama 

dibicarakan Ayub. 

1. Pengetahuan ini tersembunyi bagi kita. Hal ini begitu tinggi 

hingga kita tidak mampu meraihnya (ay. 21-22): Ia terlindung 

dari mata segala yang hidup, bahkan mata para filsuf, tokoh 

pemerintahan, dan orang-orang kudus sekalipun. Hikmat ter-

sembunyi bagi burung di udara. Meskipun burung terbang 

tinggi di cakrawala langit, walau mereka tampak lebih dekat 

dengan dunia di atas tempat sumber hikmat berada, meskipun 

mengamati dari jauh (39:32), namun mata mereka tidak mam-

pu menembus rancangan dan putusan hikmat Allah. Tidak, 

manusia memang memiliki hikmat melebihi burung di udara, 

namun tidak memiliki hikmat ini. Bahkan orang-orang yang 

dengan pemikiran mereka melambung tinggi serta mengang-

gap diri mereka seperti burung di udara dan lebih tinggi  dari 

orang lain pun tidak dapat berlagak memiliki pengetahuan ini. 

Ayub dan sahabat-sahabatnya telah berdebat tentang cara-

cara dan alasan-alasan menyangkut penyelenggaraan Allah 

dalam pemerintahan dunia. “Alangkah bodohnya kita” (kata 

Ayub), “sebab  bertengkar dalam kegelapan seperti ini, mem-

perdebatkan hal yang tidak kita pahami!” Batas kemampuan 

dan kedalaman daya berpikir manusia tidak akan pernah 

mampu memahami dalamnya kebijaksanaan ilahi. Siapa yang 

dapat menjelaskan dasar pemikiran Penyelenggaraan Allah, 

atau peraturan, ukuran, dan cara-cara pemerintahan Allah? 

Arcana imperii – dewan penasihat hikmat ilahikah? sebab  itu 

marilah kita merasa puas saja untuk tidak mengetahui kejadian-

kejadian yang akan datang tentang Penyelenggaraan Allah, 

sampai waktu menyingkapkannya (Kis. 1:7). Juga, hendaklah 

kita merasa puas untuk tidak mengetahui alasan tersembunyi 

Penyelenggaraan Allah, hingga kekekalan mengungkapkannya. 

Nah, Allah yaitu  Allah yang menyembunyikan diri (Yes. 

45:15). Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia. Walaupun 

hikmat ini tersebunyi bagi segala yang hidup, namun kebina-

saan dan maut berkata: Hanya desas-desusnya yang sampai 

ke telinga kami. Walaupun mereka tidak dapat bercerita ten-

tang diri sendiri, sebab tidak ada pertimbangan, pengetahuan 

dan hikmat dalam dunia orang mati, apalagi hal ini, namun 

ada dunia di balik kematian dan kubur yang berbatasan 

dengan kegelapan yang harus kita lalui. Di sana kita akan 

melihat jelas apa yang sekarang masih gelap bagi kita. “Ber-

sabarlah,” kata Maut kepada jiwa yang bertanya-tanya ingin 

tahu: “Sebentar lagi aku akan menjemput dan membawamu ke 

tempat di mana bahkan hikmat ini pun bisa ditemukan.” 

saat  genaplah keputusan rahasia Allah, semua akan dibuka-

kan, dan kita akan mengetahui sebagaimana kita diketahui. 

saat  tirai kedagingan dikoyak dan awan-awan yang mengha-

langi pandangan tersibak, kita akan tahu apa yang dilakukan 

Allah, meskipun sekarang ini kita tidak tahu (Yoh. 13:7). 

2. Pengetahuan ini tersembunyi di dalam diri Allah, seperti yang 

dikatakan sang rasul (Ef. 3:9). Allah mengetahui semua per-

buatan-Nya, meskipun kita tidak (Kis. 15:18, KJV). Ada alasan-

alasan yang baik bagi apa yang dilakukan-Nya, meskipun kita 

tidak dapat menyebutkannya dengan pasti (ay. 23): Allah me-

ngetahui jalan ke sana. Manusia adakalanya melakukan hal 

yang tidak mereka ketahui, namun  Allah tidak pernah seperti 

itu. Manusia melakukan apa yang tidak mereka rencanakan. 

Kejadian-kejadian baru membawa mereka kepada rencana-

rencana baru, dan mengharuskan mereka mengambil tindak-

an baru. Sebaliknya, Allah melakukan segala sesuatu sesuai 

maksud tujuan yang Ia niatkan dan tidak pernah diubah oleh-

Nya. Manusia adakalanya melakukan sesuatu tanpa bisa 

memberikan alasan tepat. Sebaliknya, di dalam setiap kehen-

dak Allah terdapat rencana atau putusan hikmat. Ia mengeta-

hui baik apa maupun mengapa Ia melakukannya, seluruh 

rangkaian kejadian maupun urutan dan tempat setiap kejadi-

an. Pengetahuan ini Ia miliki dengan sempurna, namun me-

nyimpannya untuk diri-Nya sendiri. Di sini diberikan dua 

alasan mengapa Allah perlu memahami jalan-Nya sendiri, dan 

hanya jalan-Nya semata: 

(1) sebab  sekarang semua kejadian diatur oleh Sang Penye-

lenggara yang Maha melihat dan Mahakuasa (ay. 24-25). Ia 

yang memerintah dunia yaitu , 

[1] Mahatahu, sebab  Ia memandang sampai ke ujung-

ujung bumi, baik berkenaan dengan tempat maupun 

waktu. Masa-masa yang jauh, kawasan-kawasan yang 

jauh, berada di bawah pandangan-Nya. Kita tidak me-

mahami jalan kita sendiri, apalagi memahami jalan 

Allah, sebab jangkauan pandangan kita pendek. Betapa 

sedikit yang kita ketahui tentang apa yang dilakukan-

Nya di dunia, apalagi apa yang akan dilakukan. Mata 

TUHAN ada di segala tempat, bahkan lebih dari itu, 

mata-Nya menjelajah seluruh bumi. Tidak ada suatu pun 

yang sedang atau akan tersembunyi dari-Nya, dan 

itulah alasan mengapa beberapa orang fasik sangat ber-

hasil sedangkan yang lain dihukum berat di dunia ini, 

sesuatu yang merupakan rahasia bagi kita dan diketa-

hui oleh-Nya. Kejadian-kejadian dalam satu hari dan 

pengalaman satu manusia, begitu berkaitan dengan dan 

begitu bergantung pada pengalaman orang lain, semua-

nya terbuka dan tampak jelas bagi-Nya. Ia melihat se-

muanya itu seluruhnya secara utuh. Ia yaitu  Hakim 

yang cakap dalam melihat setiap bagian peristiwa. 

[2] Mahakuasa. Ia mampu melakukan segala sesuatu, dan 

sangat teliti serta tepat dalam segala yang dilakukan-

Nya. Sebagai bukti mengenai hal ini, Ayub menyebut-

kan angin dan air (ay. 25). Apakah yang lebih ringan 

daripada angin? Namun, Allah mempunyai cara-cara 

untuk meredakannya. Ia tahu cara menetapkan kekuat-

an angin, dan mengeluarkan angin dari dalam perbenda-

haraan-Nya (Mzm. 135:7). Ia memperhatikan dengan 

rinci apa yang dikeluarkan-Nya, seperti yang dilakukan 

manusia saat  mengeluarkan uang dari perbendahara-

an mereka. Ia tidak melakukannya dengan serampang-

an seperti yang diperbuat manusia saat  membawa 

keluar sampah. Dari antara segala benda yang dapat 

dirasakan indra, tidak ada yang tidak dapat dijelaskan 

seperti angin. Kita mendengar bunyinya, namun  tidak 

tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Namun, 

Allah mengeluarkannya dengan penuh pertimbangan, 

dengan bijak mengaturnya dari titik mana ia akan 

berembus dan sekuat apa. Ia menimbang serta meng-

ukur air laut dan air hujan, membagi ukuran pasang 

surut air dan curah hujan. Terdapat hubungan terus-

menerus di antara awan dan lautan, air di atas cakra-

wala maupun di bawahnya. Uap air naik ke langit, air 

hujan turun ke bumi. Udara mengembun menjadi air, 

air menguap menjadi udara. Allah yang agung mencatat 

dengan teliti seluruh persediaan selama melakukan 

karya demi kepentingan orang banyak, dan memastikan 

tidak ada yang terbuang percuma. Nah, jika dalam hal-

hal ini saja Allah sudah begitu teliti, maka terlebih lagi 

dalam menyalurkan rasa tidak senang maupun Penye-

lenggaraan, pahala maupun hukuman kepada anak-

anak manusia, sesuai dengan aturan keadilan.  

(2) sebab  semua kejadian sudah dirancang dan ditentukan 

sejak kekekalan dengan pengetahuan yang tidak dapat 

salah tentang hal yang belum terjadi dan dengan maklumat 

yang tidak dapat diubah (ay. 26-27). saat  menetapkan 

jalannya alam, Allah menobatkan terlebih dahulu seluruh 

pekerjaan dan cara kerja pemerintahan-Nya. 

[1] Ia menetapkan jalannya alam. Ayub terutama menye-

butkan ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh. 

Cara dan urutan umum serta penggunaan dan tujuan 

tertentu dari penyelenggaraan yang ganjil ini, baik alas-

an maupun pengaruhnya, ditetapkan melalui tujuan 

ilahi. Oleh sebab itu Allah dikatakan membuat kilat 

mengikuti hujan (Mzm. 135:7; Yer. 10:13). 

[2] saat  melaksanakan hal itu, Ia menentukan dahulu 

semua tindakan penyelenggaraan-Nya, dan membuat 

gambaran yang tepat dari seluruh karya-Nya mulai dari 

awal sampai akhir. Kemudian, dari kekekalan Ia melihat 

dalam diri-Nya sendiri dan menyatakan kepada diri-Nya 

sendiri, rencana dari semua karya-Nya. Setelah itu Ia 

mempersiapkan, memastikan, dan mengukuhkannya. Ia 

menyiapkan segala sesuatu bagi semua karya-Nya, su-

paya saat  segala sesuatu hendak dilaksanakan, tidak 

ada lagi yang masih harus dicari-cari. Tidak akan ter-

jadi hal yang tidak terduga yang menyimpang dari cara 

atau waktu yang sudah ditetapkan-Nya. Sebab segala 

sesuatu telah diatur dengan setepat-tepatnya seakan-

akan Ia telah mempelajari dan menelusurinya terlebih 

dahulu, sehingga apa pun yang dilakukan-Nya, tak 

dapat ditambah dan tak dapat dikurangi, dan oleh sebab 

itu akan tetap ada untuk selamanya (Pkh. 3:14). Bebe-

rapa penafsir beranggapan bahwa di sini Ayub berbicara 

tentang hikmat sebagai seorang pribadi, dan menerje-

mahkan perkatannya dengan, Kemudian ia melihat dan 

menunjukkan hikmat, dst., dan tafsiran ini sejajar de-

ngan yang dikatakan Salomo mengenai hikmat Sang 

Bapa, firman yang kekal (Ams. 8:22, dst.). Pada mula-

nya yaitu  Firman; Firman itu bersama-sama dengan 

Allah (Yoh. 1:1-2).  

II. Pengetahuan tentang kehendak Allah yang disingkapkan, kehen-

dak perintah-Nya, dan hal ini ada dalam jangkauan kita. Penying-

kapan ini sejajar dengan kemampuan kita, dan untuk kebaikan 

kita (ay. 28): namun  kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, 

takut akan Tuhan, itulah hikmat. Jangan sampai ada yang berkata 

bahwa saat  Allah menyembunyikan rancangan-Nya dari manu-

sia, dan melarangnya menghampiri pohon pengetahuan baik dan 

jahat itu, ini disebabkan sebab  Ia enggan menambahkan kebaha-

giaan dan kepuasan sejati kepada manusia. Tidak, Ia membiarkan 

manusia mengetahui sebanyak yang diperlukannya supaya ia 

tahu kewajibannya dan berbahagia. Kepadanya akan dipercaya-

kan kedaulatan pikiran-Nya sebanyak yang diperlukan dan yang 

sesuai untuk tujuan tertentu. Namun, manusia tidak boleh meng-

anggap dirinya cocok menjadi penasihat pribadi-Nya. Menurut 

beberapa penafsir, Ia mengatakan hal itu kepada Adam, manusia 

pertama, pada hari ia diciptakan. Allah berkata dengan jelas 

bahwa Adam tidak boleh menyukakan diri dengan keinginan ber-

lebihan untuk menyelidiki rahasia-rahasia penciptaan, atau ber-

lagak bisa memecahkan semua gejala alam. Manusia akan men-

dapati bahwa sungguh mustahil atau tidak bermanfaat melaku-

kan hal itu. Tidak ada hikmat (menurut Uskup Agung Tillotson) 

yang lebih rendah daripada hikmat yang menganggap dunia dapat 

memahami falsafah tentang dirinya sendiri. Hendaklah manusia 

memandang hal ini sebagai hikmatnya, yaitu untuk takut kepada 

TUHAN dan menjauhkan diri dari kejahatan. Hendaklah ia mem-

pelajari hal itu, dan dengan begitu ia sudah mengetahui cukup 

banyak. Biarlah pengetahuan ini membantunya. saat  Allah me-

larang manusia makan buah dari pohon pengetahuan yang baik 

dan jahat, Ia mengizinkan dia makan dari pohon kehidupan, dan 

inilah pohon itu (Ams. 3:18). Kita tidak dapat memperoleh hikmat 

sejati selain melalui penyataan ilahi. Tuhanlah yang memberikan 

hikmat (Ams. 2:6). Hal itu tidak ditemukan dalam rahasia-rahasia 

alam ataupun penyelenggaraan Allah, namun  di dalam aturan bagi 

perilaku kita sendiri. Kepada manusia Ia tidak berkata, “Naiklah 

ke langit untuk mengambil kebahagiaan dari sana,” atau “Turun-

lah ke bawah untuk mengambilnya dari sana.” Tidak, firman ini 

sangat dekat kepadamu (Ul. 30:14). Hai manusia, telah diberitahu-

kan kepadamu apa yang baik, bukan yang hebat. Bukan apa yang 

dirancang Allah bagimu, melainkan apa yang dituntut TUHAN dari 

padamu (Mi. 6:8). Hai para pria, kepadamulah aku berseru (Ams. 

8:4). Ya TUHAN, siapakah manusia itu hingga ia diperhatikan dan 

dilawat seperti itu! Lihat, camkanlah, perhatikanlah ini, biarlah 

orang yang mempunyai telinga mendengarkan apa yang dikatakan 

Allah semesta alam kepada anak-anak manusia: takut akan 

Tuhan, itulah hikmat. Di sini terdapat, 

1. Gambaran agama sejati, agama murni, dan yang tidak cemar. 

Sikap takut akan Allah dan menjauhi kejahatanlah yang serasi 

dengan penggambaran Allah tentang Ayub (1:1). Takut akan 

TUHAN merupakan sumber dan ringkasan isi seluruh agama. 

Ada rasa takut seperti seorang budak terhadap Allah, yang 

timbul dari pemikiran buruk tentang diri-Nya, dan hal ini 

bertolak belakang dengan agama (Mat. 25:24). Ada juga rasa 

takut terhadap Allah sebab  mementingkan diri sendiri dan 

timbul dari pikiran menakutkan tentang diri-Nya, yang bisa 

saja merupakan suatu langkah yang baik menuju agama (Kis. 

9:5). Dan masih ada lagi rasa takut anak kepada Allah, yang 

timbul dari pikiran mulia dan luhur mengenai diri-Nya, dan ini 

merupakan hidup serta jiwa seluruh agama. Dan saat  rasa 

takut seperti seorang anak ini bertakhta di dalam hati, ada 

tekad untuk terus menjauhi kejahatan (Ams. 16:6). Hal ini 

sangat diperlukan dalam hidup beragama. Pertama-tama kita 

harus berhenti berbuat jahat, atau kita tidak akan pernah 

belajar untuk berbuat baik. Virtus est vitium fugere – Bahkan 

dalam upaya menjauhkan diri dari perbuatan jahat pun 

terdapat kebajikan. 

2. Penghargaan terhadap agama: merupakan hikmat dan peng-

ertian. Menjadi benar-benar saleh yaitu  menjadi benar-benar 

bijaksana. Sama seperti hikmat Allah tampak dalam penetap-

an aturan ibadah beragama, begitu juga hikmat manusia tam-

pak dalam penetapan aturan ibadah beragama, dan dari sini 

hikmat manusia tampak dalam perbuatannya dalam menjalani 

dan menaati ibadah agama. Inilah pengertian, sebab inilah 

pengetahuan terbaik mengenai kebenaran. Inilah hikmat, se-

bab ini merupakan penanganan terbaik terhadap urusan-

urusan kita. Tidak ada cara yang lebih pasti yang dapat me-

nuntun jalan kita dan membantu kita untuk mencapai tujuan 

akhir kita selain hidup dengan saleh. 

 

 

  

PASAL  29  

etelah tutur kata yang luhur tentang hikmat pada pasal sebelum-

nya, Ayub duduk dan berhenti sejenak, bukan sebab  kehabisan 

napas dalam berbicara, melainkan sebab  ia tidak mau menguasai 

percakapan itu sendiri. Ia ingin memberi ruang bagi sahabat-saha-

batnya untuk berpendapat, jika mereka berkenan. Akan namun , 

mereka tidak mengatakan apa pun. Jadi, setelah kembali menenang-

kan diri, Ayub pun melanjutkan tutur katanya mengenai perkaranya 

sendiri, yang dicatat dalam pasal ini dan dua pasal selanjutnya. 

Dalam perkataannya itu, Ayub memaparkan 

I. Tingginya kemakmuran yang ia miliki sebelum ia jatuh. Dan, 

II. Dalamnya kesengsaraan ke mana ia terjerumus. Penuturan 

itu dimaksudkannya untuk membangkitkan belas kasihan 

kawan-kawannya, serta untuk membenarkan, atau setidak-

nya memberi alasan bagi keluh kesahnya. Namun, selain itu 

juga, 

III. Untuk menghentikan kecaman para sahabatnya terhadap 

dirinya, Ayub mengajukan banyak pernyataan dan rincian 

mengenai ketulusan hatinya. Dalam pasal ini, ia melihat 

kembali hari-hari kejayaannya serta menunjukkan, 

1. Betapa besar kenyamanan serta kepuasan yang dialami 

rumah tangga dan keluarganya (ay. 1-6). 

2. Betapa besar kehormatan dan kekuasaan yang ia miliki di 

negerinya, dan betapa ia disegani segala kelompok orang 

(ay. 7-10). 

3. Betapa banyaknya kebajikan yang ia perbuat dalam po-

sisinya sebagai hakim (ay. 11-17). 

4. Betapa cerah pengharapannya bahwa kebahagiaannya di 

rumah akan tetap langgeng (ay. 18-20) dan pelayanannya 

di luar rumah akan terus berlangsung (ay. 21-25). Segala 

hal tersebut dijabarkan Ayub untuk menyatakan besar-

nya malapetakanya saat itu. Ia seperti Naomi yang ber-

kata, “Dengan tangan yang penuh aku pergi, namun  de-

ngan tangan kosong TUHAN memulangkan aku.” 

Kemakmuran Ayub di Masa Lalu 

(29:1-6) 

1 Maka Ayub melanjutkan uraiannya: 2 Ah, kiranya aku seperti dalam bulan-

bulan yang silam, seperti pada hari-hari, saat  Allah melindungi aku,  

3 saat  pelita-Nya bersinar di atas kepalaku, dan di bawah terang-Nya aku 

berjalan dalam gelap; 4 seperti saat  aku mengalami masa remajaku, saat  

Allah bergaul karib dengan aku di dalam kemahku; 5 saat  Yang Mahakuasa 

masih beserta aku, dan anak-anakku ada di sekelilingku; 6 saat  langkah-

langkahku bermandikan dadih, dan gunung batu mengalirkan sungai minyak 

di dekatku. 

Orang-orang yang mengalami kehilangan bolehlah berbicara, dan 

tiada yang mereka bicarakan dengan penuh perasaan selain tentang 

segala penghiburan yang direnggut dari mereka. Kemakmuran mere-

ka yang dahulu merupakan salah satu topik paling menyenangkan 

dalam pikiran dan percakapan mereka. Demikian pula halnya Ayub. 

Ia memulai ucapannya dengan sebuah harapan (ay. 2): Ah, kiranya 

aku seperti dalam bulan-bulan yang silam! Ia pun mengenang kembali 

kemakmurannya. Kerinduannya ialah, 

1. “Ah, kiranya aku berada dalam keadaan sebaik dahulu, kiranya 

kekayaan, kehormatan, dan kesenanganku sebesar yang semula!” 

Ia mengharapkan hal tersebut bukan semata demi kenyamanan-

nya, namun  demi nama baik dan kemuliaan Allah yang dianggap-

nya telah pudar oleh sebab penderitaannya itu. “Ah, kiranya aku 

dikembalikan kepada kemakmuranku, sehingga kecaman dan 

teguran teman-temanku dibungkam sepenuhnya, bahkan terma-

suk dasar pendirian mereka sendiri, dan disingkirkan selamanya!” 

Jika inilah yang menjadi tujuan kita dalam mendambakan kehi-

dupan, kesehatan, dan kemakmuran, yakni supaya Allah diper-

muliakan dan nama baik pengakuan iman kita terselamatkan, 

terjaga, serta berkembang, maka keinginan itu bukan hanya 

wajar, namun  juga rohani.  

2. “Ah, kiranya aku berada dalam keadaan batin yang baik seperti 

dahulu!” Hal yang paling Ayub keluhkan saat ini ialah beban 

jiwanya sebab  Allah undur darinya. Oleh sebab itulah dia ber-

harap jiwanya dilapangkan dan dikuatkan dalam beribadah ke-

pada Allah seperti sediakala, dan supaya ia memiliki kebebasan 

dan persekutuan dengan-Nya seperti semula. saat   itu ia me-

rasa berbahagia dalam keadaan tersebut. Seperti saat  Ayub 

mengalami masa remajanya (ay. 4), sewaktu ia berada dalam 

puncak usianya untuk menikmati semua hal itu dan merasakan 

kepuasan setinggi-tingginya. Perhatikanlah, orang yang berhasil 

pada masa muda biasanya tidak mengetahui hari-hari gelap dan 

suram yang menantinya di depan. Ada dua hal yang membuat 

bulan-bulan yang silam menyenangkan bagi Ayub: 

I. Penghiburan dalam Allah. Inilah puncak sukacita Ayub di tengah 

kemakmurannya. Di kala kemakmuran itu bersemi dan manis, ia 

memiliki perkenanan Allah dan tanda bukti perkenanan tersebut. 

Ayub tidak menganggap kemakmurannya sebagai nasib baik, atau 

hasil dari kesanggupannya, atau berkat kekuatan tangannya 

sendiri. Sebaliknya ia mengungkapkan pengakuan yang sama 

seperti Daud (Mzm. 30:8), “TUHAN, oleh sebab  Engkau berkenan, 

Engkau telah menempatkan aku di atas gunung yang kokoh.” Jiwa 

yang telah mendapat anugerah akan bergirang sebab  senyuman 

Allah, bukan senyuman dunia ini. Ada empat hal yang sangat 

menyenangkan bagi Ayub yang saleh saat  itu: 

1. Keyakinan yang dimilikinya dalam perlindungan ilahi. Itulah 

hari-hari, saat  Allah melindungi aku (ay. 2). Bahkan pada 

masa kejayaan itu pun Ayub menyadari dirinya rentan bahaya, 

namun  ia tidak menjadikan hartanya sebagai kota yang kuat, 

tidak pula ia percaya akan harta bendanya, namun  nama 

TUHAN yaitu  menara yang kuat baginya. Hanya dalam nama 

Tuhan Ayub merasa aman, ia mengakui bahwa Tuhanlah 

sumber keamanannya saat itu dan bahwa kenyamanan terjaga 

baginya. Iblis melihat bahwa pagar di sekeliling Ayub yaitu  

perbuatan Allah (1:10), dan Ayub sendiri pun melihatnya serta 

mengakui bahwa pemeliharaan-Nyalah yang menjaga nyawaku 

(10:12). Hanya orang yang dilindungi Allah yang akan aman 

dan tenang. Oleh sebab  itu, barang siapa memiliki kelimpah-

an dunia ini janganlah menganggap dirinya aman, kecuali bila 

Allah melindungi mereka. 

2. Kepuasan yang dimilikinya dalam perkenanan ilahi (ay. 3): 

Pelita-Nya bersinar di atas kepalaku. Yaitu, Allah mengangkat 

tinggi cahaya perkenanan-Nya supaya menyinari Ayub, mem-

beri dia jaminan dan penghiburan yang manis dari kasih-Nya. 

Cahaya pelita itulah bentuk perkenanan ilahi yang terbaik bagi 

orang-orang kudus di dunia ini, dibandingkan dengan apa 

yang telah disimpan bagi mereka di kehidupan yang akan da-

tang. Kepuasan yang Ayub rasakan dalam perkenanan ilahi 

berlimpah, sebab dengan cahaya pelita itu ia berjalan melalui 

kegelapan. Cahaya itu menuntunnya di tengah keraguan, 

menghiburnya di tengah dukacita, menopangnya di tengah 

beban hidup, serta menolongnya melewati segala kesukaran. 

Barang siapa memiliki cahaya kemakmuran lahiriah yang pa-

ling terang sekalipun, pasti tetap akan mengalami masa-masa 

kekelaman. Adakalanya mereka dirintangi, terkadang rugi, dan 

terkadang bersedih. Namun, barang siapa mendapat bagian 

dalam perkenanan Allah dan tahu cara menghargainya, ia 

dapat berjalan dengan riang dan bahagia oleh cahaya perke-

nanan itu melewati seluruh kegelapan di lembah air mata. Hal 

itu menyukakan hati kita, cukup untuk mengimbangi segala 

dukacita yang kita alami saat ini. 

3. Persekutuan yang dimilikinya dengan firman ilahi saat  itu 

(ay. 4): Allah bergaul karib dengan aku di dalam kemahku. Ya-

itu, Allah bercakap-cakap secara terbuka dengan Ayub layak-

nya sahabat karib. Ia mengenal pikiran Allah, tidak kabur 

seperti belakangan ini. TUHAN bergaul karib dengan orang 

yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya 

kepada mereka (Mzm. 25:14), yang tidak diketahui orang lain. 

Allah menyampaikan perkenanan dan anugerah-Nya kepada 

umat-Nya dan menerima ibadah mereka dengan cara yang 

tidak diketahui oleh dunia. Sebagian tafsiran berbunyi, “saat  

perhimpunan jemaat Allah ada di dalam kemahku.” Rabi 

Solomon menafsirkannya sebagai kumpulan umat Allah yang 

biasa bertemu di rumah Ayub untuk beribadah, dan Ayublah 

yang memimpinnya. Ayub sangat menikmati hal itu, dan bu-

barnya perhimpunan itu mendukakan dia. Atau “perhimpunan 

jemaat Allah” tadi mungkin juga diartikan sebagai para malai-

kat Allah yang mendirikan kemah-kemahnya di sekeliling tem-

pat tinggal Ayub. 

4. Jaminan hadirat ilahi yang dimilikinya (ay. 5): saat  Yang 

Mahakuasa masih beserta aku. Sekarang, Ayub pikir Allah su-

dah meninggalkannya, namun  pada hari-hari dahulu itu, Allah 

menyertai dia, dan itulah segalanya bagi Ayub. Bila hadirat 

Allah menyertai seseorang di rumahnya, sekalipun hanya 

gubuk, tempat itu akan menjadi kastil dan istana. 

II. Ia memiliki penghiburan dalam keluarganya. Semua sangat me-

nyenangkan di sana, ada langit-langit untuk mencecap makanan 

dan ada makanan untuk langit-langitnya. Kehilangan salah satu-

nya merupakan kesusahan besar. 

1. Ayub punya banyak anak yang menikmati segala miliknya. 

Anak-anakku ada di sekelilingku. Ia memiliki banyak anak, 

cukup untuk mengelilinginya, dan mereka taat serta patuh 

kepadanya. Anak-anak itu ada di sekeliling Ayub, tahu apa 

yang dia inginkan, sehingga bisa melayaninya. yaitu  suatu 

kegembiraan bagi para orangtua saat melihat anak-anak ada 

di dekat mereka. Hati Ayub hancur saat  mengenang peng-

hiburan ini, yang sekarang telah dirampas darinya. Ia meng-

anggap kehadiran anak-anak di sekelilingnya sebagai bukti 

penyertaan Allah. Namun, sesungguhnya saat kita kehilangan 

anak-anak, inilah penghiburan bagi kita, yaitu bahwa kita 

tidak kehilangan Allah. 

2. Ayub memiliki harta berlimpah untuk menyokong hidup ang-

gota keluarganya yang banyak (ay. 6). Hasil susunya melimpah 

ruah hingga langkah-langkahnya bermandikan dadih. Kebun 

zaitunnya begitu subur, melampaui harapan, hingga seolah 

gunung batu mengalirkan sungai minyak di dekatnya. Ayub 

tidak mengukur kekayaannya berdasarkan perak dan emas, 

yang hanya berguna untuk ditimbun, melainkan dengan dadih 

dan minyak, yang ada untuk dipakai. Apakah gunanya harta 

kekayaan bila kita tidak memanfaatkannya untuk diri sendiri 

dan mempergunakannya untuk berbuat baik bagi orang lain? 

Kejayaan Ayub yang Semula 

(29:7-17) 

7 Apabila aku keluar ke pintu gerbang kota, dan menyediakan tempat dudukku 

di tengah-tengah lapangan, 8 maka saat  aku kelihatan, mundurlah orang-

orang muda dan bangkitlah orang-orang yang sudah lanjut umurnya, lalu 

tinggal berdiri; 9 para pembesar berhenti bicara, dan menutup mulut mereka 

dengan tangan; 10 suara para pemuka membisu, dan lidah mereka melekat 

pada langit-langitnya; 11 apabila telinga mendengar tentang aku, maka aku 

disebut berbahagia; dan apabila mata melihat, maka aku dipuji. 12 sebab  

aku menyelamatkan orang sengsara yang berteriak minta tolong, juga anak 

piatu yang tidak ada penolongnya; 13 aku mendapat ucapan berkat dari orang 

yang nyaris binasa, dan hati seorang janda kubuat bersukaria; 14 aku berpa-

kaian kebenaran dan keadilan menutupi aku seperti jubah dan serban;  

15 aku menjadi mata bagi orang buta, dan kaki bagi orang lumpuh; 16 aku 

menjadi bapa bagi orang miskin, dan perkara orang yang tidak kukenal, ku-

selidiki. 17 Geraham orang curang kuremuk, dan merebut mangsanya dari 

giginya. 

Pada ayat-ayat di atas, diceritakan tentang Ayub di masa lampau 

saat  ia memiliki kehormatan dan kuasa. Meskipun sudah memiliki 

cukup kebahagiaan di rumahnya sendiri, ia tidak membatasi dirinya 

di dalam rumah. Kita tidak dilahirkan untuk diri sendiri, melainkan 

untuk orang banyak. saat  ada urusan yang harus dikerjakan di 

pintu gerbang, tempat pengadilan, Ayub keluar ke pintu gerbang kota 

(ay. 7), bukan dengan bergaya untuk memegahkan diri, melainkan 

guna melakukan keadilan. Perhatikanlah, pengadilan dilaksanakan 

di pintu gerbang, di jalan, di tempat-tempat umum yang bisa dida-

tangi semua orang dengan bebas, agar setiap orang yang mau dapat 

hadir sebagai saksi atas segala sesuatu yang diucapkan dan dilaku-

kan, juga supaya saat  penghakiman dijatuhkan atas yang bersalah, 

orang lain mendengarnya dan merasa takut. Ayub dahulu yaitu  

seorang pembesar, hakim, pejabat pengadilan, seorang yang berkua-

sa di antara orang-orang di daerah timur. Tentang dia diceritakan,  

I. Betapa ia sangat dihormati dan disegani oleh segala kelompok 

orang, bukan hanya sebab  jabatannya yang tinggi, namun  juga 

sebab  amal pribadinya, kebijaksanaannya yang unggul, kejujur-

an, serta kepemimpinan yang baik. 

1. Rakyat menghormati Ayub dan segan kepadanya (ay. 8). Kare-

na daya tarik serta keluhuran dalam penampilan dan sorot 

wajahnya, juga ketegasannya yang terkenal dalam mengecam 

segala kejahatan dan kesalahan, semua orang di sekelilingnya 

menunjukkan sikap sopan dan hormat terhadap dia. Orang-

orang muda tidak mampu mengangkat muka di hadapannya, 

atau mungkin juga sebab  sadar bahwa ada sesuatu yang 

kurang patut pada diri mereka, dan mundurlah orang-orang 

muda itu dan menyingkir daripadanya. Demikian pula orang-

orang yang sudah lanjut umurnya, walaupun tinggal di tempat, 

mereka tidak tetap duduk, namun  bangkitlah mereka lalu 

tinggal berdiri untuk menyambutnya. Orang-orang yang sepa-

tutnya dihormati oleh orang lain justru memberi hormat ke-

padanya. Kebajikan serta kesalehan membangkitkan kesegan-

an dari semua orang dan biasanya mendapat penghormatan. 

Namun, barang siapa bersifat baik dan juga melakukan yang 

baik, ia layak dihormati dua kali lipat. Sama seperti keseder-

hanaan patut dimiliki orang-orang muda dan para bawahan, 

demikianlah kemuliaan layak didapat mereka yang lanjut usia 

dan berkuasa. Rasa takut dan hormat layak bagi pemerintah 

dan harus dibayarkan kepada mereka (Rm. 13:7). Jika orang 

besar dan baik sedemikian dihormati, terlebih lagi Allah yang 

besar dan baik, Dia harus ditakuti! 

2. Para pembesar dan pemuka sangat menyegani Ayub (ay. 9-10). 

Sebagian penafsir beranggapan bahwa orang-orang itu yaitu  

pejabat yang lebih rendah di bawahnya, sehingga penghormat-

an mereka kepada Ayub disebabkan oleh jabatannya sebagai 

pemimpin dan atasan mereka. Namun, tampaknya dugaan 

yang lebih masuk akal yaitu  mereka itu sejajar dengan Ayub 

dan berbagi kekuasaan yang sama dengannya. Penghormatan 

mereka yang istimewa kepada Ayub timbul sebab  kemampu-

an serta jasanya yang luar biasa. Semua sepakat bahwa Ayub 

lebih unggul dalam kecepatan daya tangkap, ketajaman peni-

laian, ketepatan tindakan, serta kejelasan dan kelimpahan 

tutur kata. Oleh sebab  itu, di antara rekan-rekannya, Ayub 

menjadi pembimbing serta penasihat hukum dan keadilan. 

Semua patuh dan setuju pada perkataannya. Saat Ayub da-

tang ke pengadilan, khususnya saat  ia berdiri untuk angkat 

bicara mengenai suatu perkara, para pembesar berhenti bicara, 

suara para pemuka membisu, supaya mereka bisa menyimak 

perkataannya dengan lebih teliti dan memahami maksudnya. 

Saat tiba giliran Ayub berbicara, orang-orang yang cepat lidah-

nya, suka mendengar suaranya sendiri, dan tidak terlalu 

peduli pada ucapan orang lain pun sangat ingin mendengar 

pendapat Ayub, sebesar keinginan mereka untuk menyuara-

kan pendapat pribadi. Orang yang ragu-ragu dengan penilai-

annya sendiri juga merasa puas dengan penilaian Ayub. Mere-

ka mengagumi keterampilannya menyibak suatu masalah dan 

menguak persoalan membingungkan yang mereka tidak tahu 

harus diapakan. Sewaktu para pembesar dan pemuka saling 

berbantah, semua setuju untuk mengajukan perkara tersebut 

kepada Ayub dan tunduk pada keputusannya. Berbahagialah 

orang yang diberkati dengan karunia menonjol seperti ini. Me-

reka berkesempatan besar untuk menghormati Allah dan ber-

buat baik, namun  sangat perlu berhati-hati terhadap keangkuh-

an. Berbahagialah rakyat yang diberkati dengan orang-orang 

terkemuka seperti itu. Itu suatu tanda yang baik bagi mereka. 

II. Betapa besar kebajikan yang diperbuat Ayub dalam kedudukan-

nya. Ia sangat berjasa bagi negerinya dengan kuasa yang dimiliki-

nya itu. Di sini, kita akan melihat dengan nilai apa Ayub meng-

hargai dirinya sewaktu ia masih berjaya. yaitu  wajar bila manu-

sia memegang nilai-nilai tertentu bagi dirinya, dan kita bisa meni-

lai sifat kita sendiri dengan membandingkannya terhadap nilai 

yang kita anut. Ayub menghargai dirinya, bukan berdasarkan ke-

hormatan yang dimiliki keluarganya, besarnya kekayaan, tinggi-

nya pendapatan, limpahnya makanan, banyaknya hamba yang 

melayani dia, panji-panji lambang martabatnya, kereta kuda dan 

iring-iringannya, jamuan mewah yang diadakannya, ataupun ke-

besaran yang dibuat baginya, melainkan berdasarkan manfaat diri 

yang ia beri bagi orang lain. Kebaikan yaitu  kemuliaan Allah, 

dan itu akan menjadi milik kita. Bila kita murah hati seperti 

Allah, kita pun sempurna seperti Dia. 

1. Ayub menilai dirinya berdasarkan penghargaan, kasih sayang, 

serta doa-doa dari orang bijak kepadanya. Bukan berdasarkan 

kata-kata sanjungan terpelajar dari para cendekiawan dan 

pujangga, melainkan luapan puji-pujian dari orang-orang di 

sekelilingnya. Semua orang yang pernah mendengar perkataan 

Ayub, melihat sepak terjangnya, bagaimana ia mengabdikan 

diri bagi kepentingan masyarakat dengan kuasa dan kasih 

sayang seorang bapa bagi negerinya, mereka memberkati dia 

dan memberi kesaksian tentangnya (ay. 11). Banyak perkataan 

manis mereka ucapkan tentangnya dan doa-doa yang baik 

mereka panjatkan baginya. Membuat semua orang takut ti-

daklah dipandang Ayub sebagai suatu kehormatan (Oderint 

dum metuant – Biarlah mereka membenci, asalkan mereka juga 

takut). Bersikap sewenang-wenang, memaksakan kehendak 

dan caranya sendiri tanpa memedulikan kata orang juga tidak 

dianggapnya sebagai kehormatan. Namun, seperti Mordekhai, 

ia disukai oleh banyak sanak saudaranya (Est. 10:3). Daripada 

tepuk tangan orang-orang yang jauh, Ayub lebih menghargai 

pengakuan dari mereka yang pernah menyaksikan tindak 

tanduknya, yang biasa menyertainya, melihat serta mende-

ngarnya, dan dapat memberi kesaksian sebab  tahu secara 

langsung, khususnya orang yang telah menerima manfaat 

darinya dan dapat berbicara berdasarkan pengalaman. Seperti 

itulah ucapan berkat dari orang yang nyaris binasa (ay. 13) 

dan yang terselamatkan dari kebinasaan berkat bantuan 

Ayub. Oleh sebab itu, kiranya orang-orang besar dan mereka 

yang makmur berbuat baik, maka mereka akan mendapatkan 

puji-pujian serupa. Juga sebaliknya, orang-orang yang mene-

rima perbuatan baik kiranya memandang kebaikan itu sebagai 

utang yang harus mereka bayarkan kepada para pembela dan 

dermawan mereka itu, dengan cara mengucapkan berkat dan 

kesaksian yang baik tentang mereka. Juga, dengan cara 

memakai amal mereka sebagai penghormatan bagi mereka di 

bumi dan penghiburan bagi mereka di sorga. Dan tidak juga 

untuk memuji dan berdoa bagi mereka. Barang siapa tidak 

mau memberi balasan sekecil itu, mereka itu sungguh tidak 

tahu berterima kasih. 

2. Ayub menilai dirinya berdasarkan perbuatan baiknya terhadap 

mereka yang paling tidak berdaya menolong diri sendiri, orang-

orang miskin dan berkekurangan, para janda dan anak yatim, 

orang buta dan lumpuh, mereka yang tidak bisa diharapkan 

untuk mampu membalas jasanya.  

(1) Bila orang miskin dicelakai atau ditindas, mereka berseru 

kepada Ayub, dan kalau didapatinya bahwa keterangan 

mereka benar, ia bukan hanya mendengar dan bersimpati, 

namun  juga mengulurkan tangan: aku menyelamatkan orang 

sengsara yang berteriak minta tolong (ay. 12). Ia tidak akan 

membiarkan mereka diinjak-injak dan ditekan. Bahkan, 

aku menjadi bapa bagi orang miskin (ay. 16), bukan hanya 

menjadi hakim yang melindungi dan memastikan bahwa 

mereka memperoleh keadilan, namun  menjadi bapa yang me-

nyediakan kebutuhan mereka dan memastikan bahwa mere-

ka tidak berkekurangan. Juga, membimbing dan mengarah-

kan mereka, serta bangkit dan bertindak bagi mereka dalam 

tiap kesempatan. Bukan merupakan kehinaan bagi seorang 

pembesar untuk menjadi bapa bagi orang miskin.  

(2) Ayub siap membantu anak-anak yatim yang tidak punya 

siapa-siapa. Bila mereka mengalami kesesakan, Ayub siap 

membebaskan mereka. Ia menolong mereka supaya mereka 

melakukan yang terbaik dengan sedikit yang mereka miliki. 

Ia membantu mereka membayarkan utang dan mendapat-

kan apa yang seharusnya dibayarkan kepada mereka. Ia 

menyokong mereka terjun di tengah masyarakat, memban-

tu mereka memperoleh pekerjaan, serta menolong mereka 

dalam pekerjaan tersebut. Seperti itulah seharusnya kita 

membantu para anak yatim.  

(3) Orang yang nyaris binasa diselamatkan Ayub dari kebinasa-

an. Ia melegakan mereka yang kelaparan dan hampir mati 

sebab  kekurangan, merawat yang sakit, orang buangan, 

orang yang menerima tuduhan palsu. Ia menyelamatkan 

yang terancam dirampas dari harta miliknya secara tidak 

adil, atau yang nyaris binasa dalam bentuk apa pun. Besar-

nya bahaya yang mengancam orang-orang itu justru mem-

buat Ayub makin lekas bertindak lebih sungguh-sungguh 

bagi mereka. Jadi, kebaikannya yang tepat waktu itu terasa 

semakin menyentuh hati dan bermanfaat, sehingga mereka 

pun semakin memberkati dia dengan limpahnya.  

(4) Para janda yang merintih sebab  dukacita dan gemetar 

ketakutan dibuatnya menyanyi dengan sukaria. Ia melin-

dungi dan memelihara mereka dengan sungguh-sungguh, 

kepentingan mereka didukungnya sepenuh hati. Seharus-

nya menjadi kesen