Minggu, 05 Januari 2025

ayub 21

 


wah menggeletar, demikian juga air dan 

penghuninya. Barulah kemudian mengikuti, Dunia orang mati 

terbuka di hadapan Allah, yang dilambangkan dengan teng-

gelamnya makhluk-makhluk raksasa dari dunia purba. Demi-

kianlah cendekiawan Tuan Joseph Mede memahaminya, dan 

dengannya menggambarkan Kitab Amsal 21:16, di mana dunia 

orang mati disebut arwah-arwah berkumpul. Kata yang sama 

dipakai juga di sini, yang di sana disebutkan kumpulan roh-

roh, sebagai kiasan kepada tenggelamnya orang-orang berdosa 

dari dunia purba. Dan adakah yang lebih mengerikan daripada 

saat  kebesaran Allah tampak dalam kebinasaan kekal orang 

tidak beriman dan rintihan para penghuni negeri kegelapan? 

Orang-orang yang tidak mau bersama dengan para malaikat 

takut dan menyembah akan selamanya bersama dengan roh-

roh jahat takut dan gemetar. Dalam hal ini Allah akan dimu-

liakan. 

3. Apabila kita menengadah ke langit di atas, kita akan melihat 

contoh-contoh dari kedaulatan dan kekuasaan Allah.  

(1)  Allah membentangkan utara di atas kekosongan (ay. 7). De-

mikianlah yang dilakukannya mula-mula, saat  Ia mem-

bentangkan langit seperti tenda (Mzm. 104:2). Dan Ia masih 

terus menjaganya tetap terbentang dan akan melakukan-

nya sampai pemusnahan segala sesuatu, saat  mereka 

semua akan digulung bagaikan sebuah gulungan kitab (Why. 

6:14). Ayub menyebut utara sebab  negerinya terletak di 

belahan bumi utara. Dan udara yaitu  tempat kosong yang 

terbentang di atas (Lih. Mzm. 89:12). Betapa kosongnya 

dunia ini dibandingkan dengan yang lain!  

(2) Ia menjaga air yang dikatakan berada di atas awan agar 

tidak tercurah turun ke atas bumi, seperti yang pernah ter-

jadi sekali (ay. 8): Ia membungkus air di dalam awan-Nya, 

seakan-akan air tersebut diikat kencang dalam sebuah kan-

tong, hingga ada kesempatan untuk dipakai . Dan, betapa 

pun sangat beratnya air itu terangkat dan terbentang, na-

mun awan itu tidak robek, sebab jika tidak, air akan ter-

sembur keluar dan tumpah berhamburan. Sebaliknya, air 

itu, seperti biasanya, tersaring melalui awan, lalu turun se-

tetes demi setetes, sebab  kasihan kepada bumi, dalam 

hujan kecil atau hujan besar sesuai kehendak-Nya.  

(3) Allah menyembunyikan kemuliaan dari dunia atas, yang 

kilaunya menyilaukan mata tidak dapat kita tahan sebagai 

makhluk fana (ay. 9): Ia menutupi pemandangan takhta-

Nya, terang tempat Ia berdiam, dan melingkupinya dengan 

awan, yang melaluinya Ia mengadili (22:13). Allah mewajib-

kan kita untuk hidup oleh iman, bukan oleh penglihatan. 

sebab  hal ini yang disepakati dalam masa percobaan. 

Sebab bukanlah suatu cobaan yang adil jika wajah takhta 

Allah dapat dilihat sekarang seperti yang akan terlihat di 

hari besar itu.  

Supaya jangan takhta-Nya yang tinggi,  

terang benderang tak terperikan, 

Dengan kemuliaan mengerikan menerjang mata kita, 

Kekuatan menyilaukannya diputuskan-Nya,  

dengan menarik tirai  

Penutup yang gelap,  

dan menyebar awan-Nya di antaranya.  

– Sir R. Blackmore 

(4) Segala hiasan cerah di langit yaitu  karya tangan-Nya (ay. 

13): Oleh nafas-Nya, Roh yang kekal yang bergerak di atas 

permukaan air, nafas dari mulut-Nya (Mzm. 33:6), langit 

menjadi cerah. Ia tidak hanya yang menjadikannya, namun  

juga yang memperindahnya, dengan heran menyelubungi-

nya dengan bintang-bintang di malam hari dan melukisnya 

dengan cahaya matahari di siang hari. Allah, setelah mem-

buat manusia menatap ke atas (Os homini sublime dedit – 

Kepada manusia Ia memberikan muka yang bisa tegak ke 

atas), sebab  itu menghiasi langit, untuk mengundangnya 

menatap ke atas, supaya, dengan menyenangkan matanya 

dengan terang cahaya matahari dan terang berkilau dari 

bintang-bintang, jumlahnya, urutan, dan berbagai besaran, 

yang, seperti begitu banyaknya butiran emas, memper-

indah bentangan langit-langit di atas kepala kita, ia dapat 

dibawa untuk mengagumi Sang Pencipta Agung, Bapa dan 

Sumber segala terang, dan berkata, “Kalau jalan masuknya 

saja sudah begitu sangat mewah, apalagi istana-Nya! Jika-

lau langit yang kelihatan saja sudah begitu mulia, apalagi 

sorga yang tidak terlihat oleh mata!” Dari hiasan-hiasan 

cantik di ruang tunggu kita sudah dapat menyimpulkan 

bagaimana mulianya perabot yang ada di ruang utama. 

Kalau bintang-bintang saja sudah begitu terang, betapa lagi 

para malaikat! Apa yang dimaksudkan di sini dengan ular 

yang tangkas yang telah dibentuk oleh tangan-Nya, tidak 

pasti. Beberapa penafsir menduga itu sebagai bagian dari 

hiasan langit, bimasakti, kata sebagian orang. Suatu rasi 

bintang, kata penafsir lain. Kata asli yang sama dipakai 

juga untuk Lewiatan (Yes. 27:1), dan mungkin dapat diarti-

kan sebagai ikan paus atau buaya, yang banyak menampil-

kan kekuatan dari Sang Pencipta. Dan mengapa Ayub tidak 

boleh mengakhiri dengan kesimpulan tersebut, sementara 

Allah sendiri berbuat demikian? (ps. 41). 

II. Ayub menyimpulkan, pada akhirnya, dengan sebuah perkataan 

semuanya itu (ay. 14): Sesungguhnya, semuanya itu hanya ujung-

ujung jalan-Nya, hanya sebagian saja hasil dari kebijaksanaan dan 

kuasa-Nya, jalan-jalan yang dijalani-Nya dan yang melaluinya Ia 

membuat diri dikenal kepada anak-anak manusia. Di sini,  

1. Ia mengakui, dengan rasa kagum, penemuan yang dibuat ten-

tang Allah. Semua hal ini yang telah dikatakannya sendiri, dan 

yang telah dikatakan oleh Bildad, yaitu  jalan-jalan-Nya, dan 

semua ini didengar orang tentang Dia. Inilah hal-hal tentang 

Allah. namun ,  

2. Ayub mengagumi kedalaman yang tak terselami. Apa yang 

telah kita katakan ini hanyalah sebagian saja dari jalan-jalan-

Nya, sebagian kecil saja. Setelah kita mengetahui semua yang 

Allah ungkapkan kepada kita dan semua yang telah kita selidiki 

tentang Dia, masih juga ada banyak hal yang masih gelap bagi 

kita tentang Dia, sehingga kita harus menyimpulkan, Sesung-

guhnya, semuanya itu hanya ujung-ujung jalan-Nya. Sesuatu 

kita dengar tentang Dia melalui karya-karya-Nya dan firman-

Nya. namun , aduh! betapa lembutnya bisikan yang kita dengar 

dari pada-Nya, betapa hanya sedikit saja yang kita ketahui 

tentang Dia. Kita tahu namun  hanya sebagian. Kita bernubuat, 

namun  hanya sebagian. Setelah kita mengatakan semua se-

mampu kita tentang Allah, kita harus melakukannya seperti 

Rasul Paulus (Rm. 11:33). Dengan putus asa menemukan da-

sarnya, kita harus duduk di tepi jurang dan menyembah keda-

laman: O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan penge-

tahuan Allah! Hanya suatu bagian kecil saja apa yang kita 

dengar dan ketahui tentang Allah dalam keadaan kita yang 

sekarang ini. Ia tak terbatas dan tak terselami. Pemahaman 

dan kemampuan kita lemah dan dangkal, dan temuan sepe-

nuhnya tentang kemuliaan ilahi disimpan bagi keadaan yang 

akan datang. Bahkan guntur kuasa-Nya (yaitu, guntur-Nya yang 

dahsyat), salah satu dari yang paling rendah dari jalan-jalan-

Nya yang nampak di dunia kita ini, tidak dapat kita pahami 

(37:4-5). Terlebih lagi, jauh lebih sedikit lagi yang dapat kita 

pahami tentang kekuatan-Nya yang Mahadahsyat dan kuasa-

Nya yang Mahakuasa, daya dan tindakannya yang teramat me-

ngerikan, dan terutama kekuatan murka-Nya (Mzm. 90:11). 

Allah itu Mahabesar, dan kita tidak mengenal-Nya. 

 

 

  

PASAL  27  

yub kadang-kadang mengeluh tentang teman-temannya sebab  

mereka begitu bersemangat untuk berdebat sampai jarang mem-

beri kesempatan kepada dia berkata-kata: “Bersabarlah dengan aku, 

aku akan berbicara.” Dan, “Oh diamlah sebentar!“ namun  sekarang, 

sepertinya mereka telah kehabisan napas, sehingga ada banyak ke-

sempatan untuk Ayub mengatakan apa maunya. Mungkin mereka 

sudah diyakinkan bahwa Ayub benar, atau mereka putus asa untuk 

meyakinkan dia bahwa dia bersalah. Oleh sebab  itu mereka mele-

takkan senjata dan menyerah. Ayub terlalu tangguh bagi mereka dan 

memaksa mereka untuk meninggalkan medan pertempuran. Sebab 

hebatlah kebenaran itu dan akan menang. Apa yang telah Ayub 

katakan (ps. 26) merupakan sebuah jawaban yang cukup bagi tutur-

an Bildad. Dan kini Ayub berhenti sejenak untuk melihat apakah 

Zofar akan mengambil gilirannya untuk berbicara lagi. namun , Zofar 

menolaknya, jadi Ayub sendiri yang melanjutkan, dan, tanpa ganggu-

an apa pun yang menjengkelkannya, ia mengatakan semua yang 

ingin dikatakannya.  

I. Ia mulai dengan pernyataan tegas mengenai ketulusan hati-

nya dan tekadnya untuk mempertahankannya (ay. 2-6).  

II. Ia mengungkapkan kengerian dosa kefasikan yang dituduh-

kan kepadanya (ay. 7-10).  

III. Ia menunjukkan akhir yang menyengsarakan dari orang fasik, 

betapa pun lama kemakmuran mereka, dan kutukan yang 

menghampiri mereka serta yang menimpa keluarga mereka 

(ay. 11-23).  

Ketegasan Ayub tentang Ketulusannya 

(27:1-6) 

1 Maka Ayub melanjutkan uraiannya: 2 “Demi Allah yang hidup, yang tidak 

memberi keadilan kepadaku, dan demi Yang Mahakuasa, yang memedihkan 

hatiku, 3 selama nafasku masih ada padaku, dan roh Allah masih di dalam 

lubang hidungku, 4 maka bibirku sungguh-sungguh tidak akan mengucap-

kan kecurangan, dan lidahku tidak akan melahirkan tipu daya. 5 Aku sama 

sekali tidak membenarkan kamu! Sampai binasa aku tetap mempertahankan 

bahwa aku tidak bersalah. 6 Kebenaranku kupegang teguh dan tidak kule-

paskan; hatiku tidak mencela sehari pun dari pada umurku. 

Perkataan Ayub di sini disebut sebagai sebuah perumpamaan (mashal), 

judul dari amsal-amsal Salomo, sebab  dalam dan berbobot, mengan-

dung pengajaran, dan ia berbicara dengan penuh kuasa. Kata untuk 

“perumpamaan” ini berasal dari sebuah kata yang berarti memerin-

tah, atau berkuasa. Dan beberapa penafsir menganggap Ayub se-

karang menang atas para lawannya dan berbicara sebagai orang yang 

telah mencengangkan mereka. Kalau seorang pengkhotbah berbicara 

dengan luar biasa, kita berkata ia tahu bagaimana dominari in concio-

nibus – menguasai para pendengarnya. Inilah yang dilakukan Ayub di 

sini. Selama ini perselisihan panjang terjadi antara Ayub dan teman-

temannya. Mereka sepertinya sudah bersepakat untuk menyelesai-

kan pokok masalahnya. Oleh sebab  itu, sebab  sumpah itu menjadi 

suatu pengokohan baginya, yang mengakhiri segala bantahan (Ibr. 

6:16), maka Ayub di sini mendukung semua yang telah dikatakannya 

untuk mempertahankan ketulusannya dengan sebuah sumpah yang 

tulus, untuk membungkam pertentangan, dan menerima kesalahan 

seluruhnya ke atas dirinya jika dia berdusta. Amatilah,  

I. Bentuk sumpahnya (ay. 2): Demi Allah yang hidup, yang tidak 

memberi keadilan kepadaku. Di sini,  

1. Ia berbicara sangat luhur tentang Allah, dengan menyebut Dia 

Allah yang hidup (yang berarti abadi, Allah yang kekal, yang 

memiliki kehidupan dalam diri-Nya sendiri) dan dengan ber-

seru kepada-Nya sebagai satu-satunya Hakim yang berdaulat. 

Kita tidak dapat bersumpah demi seseorang yang lebih besar 

sebab  tidak ada yang lebih besar daripada Dia, dan sebab  

itu merupakan penghinaan bagi Dia untuk bersumpah demi 

yang lain.  

2. Namun Ayub juga mengatakan perkataan keras dan tidak pan-

tas mengenai Allah. Ia mengatakan bahwa Allah tidak memberi 

keadilan kepadanya (yaitu menolak bersikap adil kepadanya 

dalam perdebatan ini dan tidak tampil membela dirinya). Ia 

mengatakan Allah terus melanjutkan malapetaka terhadapnya, 

sehingga memberi alasan kepada teman-temannya untuk me-

ngecam dia. Menurutnya, Allah telah mengambil darinya ke-

sempatan yang diharapkannya sekarang untuk membersihkan 

dirinya. Elihu menegur Ayub untuk perkataan ini (34:5). 

Sebab, Allah benar di dalam segala jalan-jalan-Nya, dan tidak 

pernah tidak berlaku adil kepada manusia. Namun lihatlah 

betapa kita cenderung putus asa bila pertolongan Allah tidak 

segera ditunjukkan kepada kita, betapa ciut nyali kita dan 

betapa cepat lelah untuk menanti waktu Allah. Ia juga menu-

duh Allah sebab  telah memedihkan hatinya, tidak hanya tidak 

tampil baginya, malah tampil melawan dirinya. Ia menuduh 

Allah telah menimpakan malapetaka yang dahsyat hingga me-

mahitkan hidupnya dan semua penghiburannya. Kita, dengan 

ketidaksabaran kita, menggusarkan jiwa kita sendiri dan 

kemudian mengeluh bahwa Allah menggusarkan kita. Namun 

lihatlah keyakinan Ayub akan kebaikan perkaranya dan ke-

baikan Allahnya. Ia percaya kendati Allah tampaknya marah 

dengan dirinya dan bertindak melawan dia sekarang ini, na-

mun dengan senang hati ia tetap dapat menyerahkan perkara-

nya kepada Dia. 

II. Isi sumpahnya (ay. 3-4).  

1. Bahwa dia tidak akan mengucapkan kecurangan atau melahir-

kan tipu daya. Bahwa, secara umum, dia tidak akan pernah 

membiarkan dirinya berbohong, bahwa seperti di dalam debat 

ini dia selalu mengatakan sejujurnya apa yang dipikirkannya, 

maka dia tidak akan menentang hati nuraninya dengan me-

ngatakan hal yang sebaliknya. Ia tidak akan memegang ajaran 

atau menyampaikan fakta apa pun selain yang dipercayainya 

benar. Ia juga tidak akan menyangkal suatu kebenaran, 

sekalipun kebenaran itu melawannya. Dan, sementara teman-

temannya menuduh dirinya munafik dan jahat, dia siap untuk 

menjawab, dengan bersumpah, semua tuduhan mereka, jika 

memang diperlukan demikian. Di satu pihak, demi seluruh 

dunia, dia tidak akan menyangkal tuduhan jika dia tahu diri-

nya memang bersalah, dan akan mengakui kebenarannya, 

seluruh kebenarannya, dan tidak lain selain kebenaran bahwa 

dia bersalah dan akan menanggung malu atas kefasikannya. 

Di pihak lain, sebab  dia sadar akan ketulusan dirinya, dan 

bahwa dia bukanlah orang yang demikian seperti yang ditu-

duhkan teman-temannya, maka dia pun tidak akan pernah 

mengkhianati ketulusannya, atau menuduh diri sendiri de-

ngan kesalahan yang tidak dilakukannya. Ia tidak mau diseret, 

tidak, tidak dengan rangkaian tuduhan yang tidak benar, 

untuk menuduh diri secara palsu. Jika kita tidak boleh ber-

saksi palsu terhadap sesama kita, maka tidak juga terhadap 

diri kita sendiri.  

2. Bahwa dia akan berpegang pada tekadnya ini sepanjang hi-

dupnya (ay. 3): Selama nafasku masih ada padaku. Tekad kita 

untuk melawan dosa seharusnya tetap ada, bertekad selama 

hidup. Dalam hal-hal yang meragukan dan tidak menentu, 

tidaklah aman untuk bertekad bulat melakukan hal-hal yang 

meragukan atau tidak pasti. Kita tidak tahu, siapa tahu kita 

perlu mengubah pikiran kita: Allah yang akan menyatakan 

kepada kita apa yang tidak kita sadari sekarang ini. Namun di 

dalam hal yang sangat jelas seperti Ayub ini, kita pun tidak 

dapat pasti apakah bisa menahan mulut untuk tidak berkata 

yang jahat. Ada alasan tersirat dalam tekad Ayub di sini, yaitu 

bahwa napas kita tidaklah selalu di dalam diri kita. Tidak lama 

lagi semua kita harus mengembuskan napas kita yang ter-

akhir, dan sebab nya, sementara napas ada di dalam kita, 

jangan pernah mengembuskan kejahatan dan kebohongan, 

atau membiarkan diri untuk mengatakan atau melalukan apa 

pun yang melawan kita nanti saat  napas kita lenyap. Napas 

di dalam kita disebut roh Allah, sebab  Ia mengembuskannya 

ke dalam diri kita. Dan ini merupakan alasan lain mengapa 

kita tidak boleh mengatakan hal yang jahat. Allah-lah yang 

memberi kita kehidupan dan napas, sehingga, selama kita ber-

napas, kita harus memuji Dia. 

III. Penjelasan sumpahnya (ay. 5-6): “Aku sama sekali tidak akan 

membenarkan kamu dalam tuduhanmu yang tidak menyenangkan 

terhadap diriku, dengan mengakui diriku seorang munafik: tidak, 

sampai binasa aku tetap mempertahankan bahwa aku tidak ber-

salah. Kebenaranku kupegang teguh dan tidak kulepaskan.”  


1. Ia akan selalu menjadi seorang yang jujur, akan memegang 

teguh ketulusannya, dan tidak mengutuki Allah, seperti yang 

didesak-desak Iblis, melalui istrinya, untuk ia lakukan (2:9). 

Ayub di sini berpikir segera akan mati, jadi ia mau bersiap un-

tuk kematian, dan sebab nya bertekad untuk tidak menjauh 

dari keyakinan agamanya, kendati dia telah kehilangan semua 

yang dimiliknya di dunia. Perhatikanlah, persiapan terbaik 

bagi kematian yaitu  bertekun hingga mati untuk hidup be-

nar. “Sampai binasa aku,” yaitu, “kendati aku harus mati oleh 

malapetaka ini, aku tidak akan melepaskan Allahku dan aga-

maku. Kendati Ia hendak membunuh aku, namun aku hendak 

membela perilakuku di hadapan-Nya.”  

2. Ia akan selalu mempertahankan bahwa dia yaitu  seorang 

yang jujur. Ia tidak akan meninggalkan, tidak akan menjauhi 

hati nurani dan penghiburan serta kehormatan dari ketulus-

annya. Ia bertekad untuk mempertahankan ketulusannya 

hingga akhir. “Allah tahu, dan hatiku juga tahu, bahwa aku 

selalu berniat baik, dan tidak membiarkan diri dalam melalai-

kan kewajiban ibadah atau mengakui dosa jika bersalah. Ini-

lah sukacitaku dan tidak seorang pun akan kubiarkan untuk 

merampasnya. Aku tidak pernah berdusta melawan kebenar-

anku.” Begitu sering terjadi nasib orang yang benar difitnah 

dan dikutuk sebagai munafik. Namun patut bagi mereka ber-

diri tegak dengan berani menghadapi semua tuduhan tersebut 

dan tidak menjadi tawar hati olehnya atau berpikir yang buruk 

tentang diri sendiri sebab nya. Seperti kata sang rasul (Ibr. 

13:18): Sebab kami yakin, bahwa hati nurani kami yaitu  baik, 

sebab  di dalam segala hal kami menginginkan suatu hidup 

yang baik. 

Hic murus aheneus esto, nil conscire sibi.  

Jadikanlah ini benteng pertahananmu yang kuat,  

Tetap pertahankan kesucian hati nuranimu.  

Ayub banyak mengeluhkan tentang teguran teman-teman-

nya. namun , katanya, hatiku tidak mencela diriku, yaitu, “Aku 

tidak akan pernah membiarkan hatiku mencela diriku, melain-

kan akan tetap menjaganya menjauh dari pelanggaran. Dan, 

sementara aku berbuat demikian, aku tidak akan membiarkan 

hatiku mencela diriku.” Siapakah yang akan menggugat orang-

orang pilihan Allah? Allah yang membenarkan mereka. Hati 

nurani yaitu  wakil Allah dalam diri kita, jadi jika kita sudah 

menetapkan hati untuk tidak mencela kita, janganlah kita 

memberi kesempatan untuk itu, supaya kita tidak menghina 

Allah, dan bersalah terhadap diri sendiri. Sebab merupakan hal 

yang baik, saat  seseorang berdosa, untuk memiliki hati yang 

menghantam dirinya sendiri sebab  dosanya (2Sam. 24:10). 

namun  baiklah kita membulatkan hati untuk tidak mencela diri 

sendiri saat  kita masih memegang teguh ketulusan hidup. 

Sebab hal ini dapat menghancurkan rancangan roh jahat yang 

mencobai orang-orang Kristen untuk mempersoalkan pengang-

katan diri mereka sebagai anak Allah, Jika engkau anak Allah, 

dan bersepakat dengan pekerjaan Roh kebaikan, yang bersaksi 

bahwa mereka yaitu  anak Allah. 

Keadaan Orang Fasik 

(27:7-10) 

7 Biarlah musuhku mengalami seperti orang fasik, dan orang yang melawan 

aku seperti orang yang curang. 8 sebab  apakah harapan orang durhaka, kalau 

Allah menghabisinya, kalau Ia menuntut nyawanya? 9 Apakah Allah akan men-

dengar teriaknya, jika kesesakan menimpa dia? 10 Dapatkah ia bersenang-

senang sebab  Yang Mahakuasa dan berseru kepada Allah setiap waktu? 

Ayub setelah dengan sungguh-sungguh menegaskan hatinya bahwa 

ia hidup tulus, maka untuk membersihkan namanya lebih lanjut, di 

sini mengungkapkan kengerian yang dirasakannya sebab  dituduh 

sebagai seorang fasik. 

I. Ia memberi tahu kita betapa terkejutnya dia memikirkan kalau 

dirinya benar seorang fasik, sebab  dia melihat keadaan seorang 

munafik dan seorang fasik pastilah sangat sengsara tak terba-

yangkan (ay. 7): Biarlah musuhku mengalami seperti orang fasik, 

suatu ungkapan kiasan, seperti dalam Daniel 4:19, Biarlah mimpi 

itu tertimpa atas musuh tuanku. Ayub sangat jauh dari meman-

jakan diri dalam cara hidup yang jahat, apalagi menjanjikan yang 

terbaik bagi dirinya dengan cara hidup jahat itu. Ia tahu hal yang 

terburuk pasti menimpa orang yang berbuat demikian, sehingga 

kalau seandainya ia mau mengutuki seseorang yang menjadi 

musuh besarnya, mungkin ia akan mengutuki orang itu dengan

 celaka yang menimpa orang fasik. Bukan berarti kita diperboleh-

kan mengharapkan siapa pun menjadi jahat, atau bahwa siapa 

pun yang tidak jahat harus diperlakukan sebagai jahat. namun  

mungkin lebih baik kita hidup dalam keadaan seperti yang di-

alami seorang pengemis, seorang pelarian, seorang budak, atau 

apa pun, daripada hidup dalam keadaan yang diderita orang 

fasik, semakmur apa pun ia.  

II. Ayub memberi kita alasannya. 

1. sebab  harapan orang durhaka tidak akan dimahkotai (ay. 8): 

sebab  apakah harapan orang durhaka? Bildad telah mengu-

tuknya (8:13-14), dan Zofar (11:20), dan Ayub di sini setuju 

dengan mereka, dan membaca kematian harapan orang dur-

haka dengan pastinya. Dan hal ini cocok menjadi alasan 

mengapa dia tidak akan meninggalkan ketulusannya, dan 

tetap berpegang teguh hidup benar. Perhatikanlah, pertim-

bangan akan keadaan sengsara orang fasik, dan terutama 

orang durhaka, seharusnya membuat kita selalu hidup benar. 

Sebab kita akan tamat, dan selamanya tamat, jika tidak demi-

kian dan juga untuk mendapatkan bukti penghiburan dari ke-

tulusan hidup kita. Sebab bagaimana kita bisa menjadi tenang 

jika selalu dihadapi dengan ketidakpastian? Teman-teman 

Ayub membujuknya bahwa semua harapannya yaitu  semata-

mata harapan orang durhaka (4:6). “Tidak,” katanya, “Aku 

tidak mau, demi seluruh dunia, berlaku begitu bodoh sampai 

membangun di atas suatu dasar yang rapuh demikian. Sebab 

apakah harapan orang durhaka?” Lihatlah di sini,  

(1) Orang durhaka tertipu. Ia telah menjadi makmur, dan me-

miliki harapan. Inilah sisi terangnya. Memang dibiarkan 

bahwa dia menjadi makmur oleh kemunafikannya, men-

dapat pujian dan sanjungan dari manusia dan kekayaan 

dunia ini. Raja Yehu mendapat sebuah kerajaan oleh ke-

durhakaannya dan orang-orang Farisi dari banyak meme-

ras rumah janda. Di atas kemakmuran ini orang durhaka 

membangun harapannya. Ia berharap berada dalam keada-

an yang baik bagi dunia yang akan datang, sebab  dia me-

rasa layak untuknya, dan dia memberkati diri dengan cara-

nya sendiri.  

(2) Orang durhaka menemukan dirinya tertipu. Ia pada akhir-

nya akan melihat dirinya tertipu sedemikian hebatnya. Sebab,  

[1] Allah akan menuntut nyawanya, sangat bertentangan 

dengan keinginannya. Lukas 12:20, Jiwamu akan diam-

bil dari padamu. Allah, sebagai Hakim, mengambil jiwa-

nya untuk diadili dan ditentukan nasibnya seperti apa 

dalam keadaan kekekalan. Saat itulah ia akan jatuh 

dalam tangan Allah yang hidup, diadili dengan segera.  

[2] Lalu apakah harapannya? Akan menjadi sia-sia belaka 

dan suatu kebohongan. Tidak ada yang akan menggan-

tikannya. Kekayaan dari dunia ini, yang diharapkannya, 

harus ditinggalkannya (Mzm. 49:18). Kebahagiaan du-

nia lain, yang diharapkannya, pasti tidak akan didapat-

kannya. Ia berharap masuk sorga, namun  dia dengan 

malu akan sangat dikecewakan. Ia akan membela diri 

sebagai orang beragama, punya hak istimewa dan ber-

buat banyak hal, namun  semua pembelaan dirinya akan 

ditolak sebagai tidak ada harnya: Aku tidak pernah me-

ngenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku. Dengan demikian, 

secara keseluruhannya, sudah pasti bahwa seorang 

yang durhaka, dengan segala miliknya dan semua ha-

rapannya, akan mengenaskan di saat kematian. 

2. sebab  doa orang fasik tidak akan didengar (ay. 9): Apakah 

Allah akan mendengar teriaknya, jika kesesakan menimpa dia? 

Tidak, Ia tidak akan mendengar. Tidak dapat diharapkan Ia 

akan mendengarnya. Jika pertobatan yang sungguh-sungguh 

ditunjukkannya, Allah akan mendengar teriakannya dan me-

nerima dia (Yes. 1:18). Namun, jika dia terus tidak bertobat 

dan tidak berubah, jangan dia pikir akan mendapatkan per-

kenan dari Allah. Amatilah,  

(1) Celaka akan datang menimpanya, hal itu sudah pasti. Ce-

laka di dalam dunia sering mengejutkan orang-orang yang 

merasa sangat aman dengan kemakmurannya yang tidak 

terputus. Kematian akan datang, dan celaka menyertainya, 

saat  dia harus meninggalkan dunia dan segala kesenang-

an di dalamnya. Penghakiman pada hari besar itu akan da-

tang. Ketakutan akan mengejutkan orang durhaka (Yes. 

33:14).  


(2) Saat itulah dia akan berseru kepada Allah, akan berdoa, 

dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Orang-orang yang 

dalam kemakmuran mengabaikan Allah, entah tidak ber-

doa sama sekali atau bersikap dingin dan acuh tak acuh di 

dalam doa, saat  masalah datang akan membuat mereka 

memohon kepada-Nya dan berteriak-teriak dengan sung-

guh-sungguh. namun ,  

(3) Akankah Allah mendengarkan dia? Dalam masalah kehi-

dupan ini, Allah telah memberi tahu kita bahwa Ia tidak 

akan mendengarkan doa-doa orang yang menyimpan niat 

jahat di dalam hati (Mzm. 66:18) dan menegakkan berhala 

di dalam hati (Yeh. 14:4). Ia tidak akan peduli dengan doa 

orang-orang yang memalingkan telinga hukum-Nya (Ams. 

28:9). Pergi sajalah berseru kepada para allah yang telah 

kamu pilih itu (Hak. 10:14). Dalam penghakiman yang akan 

datang, sudah pasti, Allah tidak akan mendengarkan te-

riakan orang-orang yang hidup dan mati dalam kedurhaka-

an mereka. Ratapan sedih mereka tidak akan dikasihani. 

Maka aku juga akan menertawakan celakamu. Segala per-

mohonan mereka yang mendesak-desak akan ditepiskan, 

dan semua pembelaan mereka ditolak. Keadilan yang dite-

gakkan tidak bisa dibengkokkan, dan hukuman yang su-

dah putus tidak dapat dibatalkan (Lih. Mat. 7:22-23; Luk. 

13:26; dan gadis-gadis bodoh Mat. 25:11). 

3. sebab  agama orang durhaka tidaklah menghibur atau tetap 

(ay. 10): Dapatkah ia bersenang-senang sebab  Yang Maha-

kuasa? Tidak, tidak sama sekali sebab  kesenangannya yaitu  

di dalam keuntungan dunia dan kesenangan daging, lebih 

daripada di dalam Allah, terutama tidak di dalam waktu kesu-

sahan. Dapatkah ia berseru kepada Allah setiap waktu? Tidak, 

dalam kemakmuran dia tidak akan berseru kepada Allah, me-

lainkan merendahkan Dia. Dalam kemalangan dia tidak akan 

memanggil Allah, melainkan mengutuk Dia. Ia menjadi lelah 

dengan agamanya saat  ia tidak mendapatkan apa-apa oleh-

nya, atau berada dalam bahaya kehilangan. Perhatikanlah,  

(1) Orang-orang yaitu  durhaka jika, kendati mereka meng-

akui agama, tidak bersuka di dalamnya atau bertekun di 

dalamnya, yang menganggap agama mereka sebagai suatu 


tugas dan pekerjaan yang melelahkan, meletihkan, bersi-

kap dingin terhadapnya, yang memakai nya hanya 

untuk mendapatkan timbal balik, dan mengesampingkan-

nya saat  tidak ada keuntungan. Mereka akan berseru ke-

pada Allah saat  ada keperluan, atau selama masih sema-

ngat beribadah, namun  meninggalkannya saat  mendapat 

pergaulan lain, atau saat  hati sudah mendingin.  

(2) Alasan mengapa orang durhaka tidak bertekun di dalam 

agama yaitu  sebab  mereka tidak memiliki kesukaan di 

dalamnya. Orang-orang yang tidak bergembira di dalam 

Yang Mahakuasa tidak akan memanggil Dia. Lebih banyak 

penghiburan kita dapatkan dalam agama kita, maka lebih 

erat kita akan bersandar kepadanya. Orang-orang yang 

tidak bergembira di dalam Allah akan mudah dipikat oleh 

indra kesenangan, dan terseret jauh dari agama mereka. 

Mereka mudah lari oleh salib kehidupan ini, dan begitu 

jauh terusir dari agama mereka, dan tidak akan memang-

gil-manggil Allah. 

Warisan Orang Fasik 

(27:11-23) 

11 Aku akan mengajari kamu tentang tangan Allah, apa yang dimaksudkan 

oleh Yang Mahakuasa tidak akan kusembunyikan. 12 Sesungguhnya, kamu 

sekalian telah melihatnya sendiri; mengapa kamu berpikir yang tidak-tidak? 

13 Inilah bagian orang fasik yang ditentukan Allah, dan milik pusaka orang-

orang lalim yang mereka terima dari Yang Mahakuasa: 14 kalau anak-anak-

nya bertambah banyak mereka menjadi makanan pedang, dan anak cucunya 

tidak mendapat cukup makan; 15 siapa yang luput dari padanya, akan turun 

ke kubur sebab  wabah, dengan tidak ditangisi oleh janda mereka. 16 Jikalau 

ia menimbun uang seperti debu banyaknya, dan menumpuk pakaian seperti 

tanah liat, 17 sekalipun ia yang menumpuknya, namun orang benar yang 

akan memakainya, dan orang yang tidak bersalah yang akan membagi-bagi 

uang itu. 18 Ia mendirikan rumahnya seperti sarang laba-laba, seperti gubuk 

yang dibuat penjaga. 19 Sebagai orang kaya ia membaringkan diri, namun  tidak 

dapat ia mengulanginya: saat  ia membuka matanya, maka tidak ada lagi 

semuanya itu. 20 Kedahsyatan mengejar dia seperti air bah, pada malam hari 

ia diterbangkan badai; 21 angin timur mengangkatnya, lalu lenyaplah ia; ia 

dilemparkannya dari tempatnya. 22 Dengan tak kenal belas kasihan Allah me-

lempari dia, dengan cepat ia harus melepaskan diri dari kuasa-Nya. 23 Oleh 

sebab  dia orang bertepuk tangan, dan bersuit-suit sebab  dia dari tempat 

kediamannya.”

 


Para sahabat Ayub telah melihat sangat banyak penderitaan dan 

kehancuran yang menimpa orang-orang fasik, terutama para penin-

das. Dan Ayub, sementara panasnya perdebatan berlangsung, telah 

berbicara banyak dengan sangat yakin, tentang kemakmuran mere-

ka. namun  sekarang saat  panasnya pertempuran hampir berakhir, 

dia bersedia mengakui betapa banyak dia setuju dengan pendapat 

para sahabatnya itu, dan di mana letak perbedaan antara pendapat-

nya dan pendapat mereka.  

1. Ia sepakat dengan mereka bahwa orang fasik yaitu  orang-orang 

yang menderita, bahwa Allah pasti akan berurusan dengan para 

penindas kejam, dan suatu waktu, dengan suatu cara, keadilan-

Nya akan mengadakan pembalasan terhadap mereka atas semua 

penghinaan yang telah mereka lakukan terhadap Allah dan atas 

semua kesalahan yang telah mereka perbuat terhadap sesama 

mereka. Kebenaran ini sangat dikuatkan dan disepakati bahkan 

oleh orang-orang yang marah dalam perdebatan ini. Namun,  

2. Dalam hal ini mereka berbeda. Mereka sependapat bahwa hukum-

an yang pantas ini dalam kehidupan sekarang ini dan secara ke-

lihatan ditimpakan ke atas para penindas kejam, sehingga mereka 

menggeletar sepanjang hidupnya, sehingga dalam kemakmuran, 

mereka didatangi perusak, sehingga mereka takkan menjadi kaya, 

dan rantingnyapun tidak akan menghijau, dan sebelum genap ma-

sanya, ajalnya akan sampai (demikian kata Elifas, 15:20-21, 29, 

32). Juga, langkahnya yang kuat terhambat, dan kedahsyatan me-

ngejutkan dia di mana-mana (demikian kata Bildad, 18:7, 11). Bah-

wa dia sendiri menelan kekayaan, namun  memuntahkannya kem-

bali, dan bahwa dalam kemewahannya yang berlimpah-limpah ia 

penuh kuatir, ia ditimpa kesusahan dengan sangat dahsyatnya, 

demikian kata Zofar (20:15, 22). Namun demikian, Ayub berpen-

dapat bahwa, dalam banyak kejadian, hukuman tidak menimpa 

mereka dengan segera, namun  ditangguhkan untuk beberapa wak-

tu. Pembalasan tersebut menghantam dengan perlahan seperti 

yang telah ditunjukkannya (ps. 21 dan ps. 24). Sekarang tiba 

saatnya Ayub menunjukkan bahwa pembalasan menghantam 

dengan pasti dan sangat hebat, dan penangguhan hukuman bu-

kanlah pengampunan.  

I. Ayub di sini berusaha untuk menempatkan perkara ini di bawah 

terang sejati (ay. 11-12): Aku akan mengajari kamu. Kita tidak se-


harusnya merasa terhina untuk belajar bahkan dari orang-orang 

yang sakit dan miskin, bahkan dari orang yang sedang kesal sekali-

pun, jika mereka menyampaikan apa yang benar dan baik. Amati-

lah,  

1. Apa yang ingin diajarkannya kepada mereka: “Apa yang dimak-

sudkan oleh Yang Mahakuasa,”  yaitu, “putusan hikmat dan 

tujuan Allah mengenai orang fasik, yang tersembunyi dalam 

diri-Nya, dan yang tidak dapat dengan tergesa-gesa engkau ha-

kimi. Juga aku akan mengajari kamu tentang cara-cara yang 

penyelenggaraan-Nya yang biasanya Ia lakukan terhadap me-

reka.” Hal ini, kata Ayub, tidak akan kusembunyikan. Apa yang 

tidak disembunyikan Allah dari kita, tidak seharusnya kita 

sembunyikan dari orang-orang yang mau untuk diajar. Hal-hal 

yang dinyatakan yaitu  bagi kita dan bagi anak-anak kita.  

2. Bagaimana dia akan mengajar mereka: melalui tangan Allah, ya-

itu, melalui kekuatan dan bantuan-Nya. Orang-orang yang 

berusaha untuk mengajar orang lain harus mencari tangan 

Allah untuk mengarahkan mereka, untuk membuka telinga 

mereka (Yes. 50:4), dan untuk membuka bibir mereka. Orang-

orang yang diajar Allah dengan tangan yang kuat sangat di-

mampukan untuk mengajar orang lain (Yes. 8:11).  

3.  Mengapa mereka harus belajar hal-hal yang hendak ia ajarkan 

kepada mereka (ay. 12). Yaitu, supaya mereka diteguhkan oleh 

penyelidikan mereka sendiri. Kamu sekalian telah melihatnya 

sendiri (namun  apa yang telah kita dengar dan lihat dan ke-

tahui, masih perlu diajarkan, supaya kita menjadi sempurna 

di dalam pelajaran kita). Juga, supaya mereka dapat dituntun 

untuk menghakimi Ayub dengan benar. “Mengapa kamu berpi-

kir yang tidak-tidak, mengutuki aku sebagai seorang fasik ka-

rena aku tertimpa celaka?” Kebenaran, jika dipahami dan di-

terapkan dengan benar, akan menyembuhkan kita dari kesia-

siaan pikiran yang timbul dari kesalahan kita. Kebenaran yang 

secara khusus disampaikan Ayub sekarang di hadapan mere-

ka yaitu  bagian orang fasik yang ditentukan oleh Allah, khu-

susnya bagian orang-orang lalim atau penindas (ay. 13). Ban-

dingkan 20:29. Bagian mereka di dalam dunia mungkin ada-

lah kekayaan dan kedudukan, namun  bagian mereka dengan 

Allah yaitu  kehancuran dan kesengsaraan. Mereka ada di 


luar kendali kuasa duniawi, bisa saja, namun  Yang Mahakuasa 

dapat mengendalikan mereka. 

II. Ayub menunjukkan bahwa orang fasik, dalam beberapa perkara, 

mungkin saja berhasil dan makmur, namun  kehancuran mengikuti 

mereka. Dan itulah bagian mereka, itulah warisan, milik pusaka 

mereka, yang harus mereka terima turun-temurun. 

1. Mereka boleh berhasil sampai kepada anak-anak mereka, te-

tapi kehancuran mendatangi mereka. Anak-anaknya mungkin 

bertambah banyak (ay. 14) atau makin besar (demikian kata 

sebagian orang). Mereka sangat banyak jumlahnya, menjadi 

terhormat dan punya harta kekayaan yang besar. Orang-orang 

duniawi dikatakan memiliki anak-anak (Mzm. 17:14), dan, se-

perti yang ada di dalam catatan pinggir, anak-anak mereka 

menjadi kenyang. Melalui mereka orangtua berharap untuk 

hidup dan melalui kedudukan mereka, orangtua dihormati. 

namun  semakin banyak anak-anak yang mereka tinggalkan, 

dan semakin besar kemakmuran yang mereka tinggalkan, se-

makin banyak dan semakin adil mereka meninggalkan panah-

panah penghakiman Allah diarahkan kepada mereka, yaitu 

tiga hukuman yang dahsyat, pedang, kelaparan, dan penyakit 

sampar (2Sam. 24:13).  

(1) Sebagian dari mereka akan mati oleh pedang, mungkin pe-

dang peperangan. Mereka dibesarkan untuk hidup dengan 

pedang mereka, seperti Esau (Kej. 27:40), dan mereka yang 

berlaku demikian biasanya mati oleh pedang, cepat atau 

lambat), atau oleh pedang keadilan sebab  kejahatan mere-

ka, atau pedang pembunuh sebab  harta kekayaan mereka.  

(2) Anak-anak yang lain lagi akan mati sebab  kelaparan (ay. 

14): Anak-cucunya tidak mendapat cukup makan. Orang 

fasik berpikir telah menjamin anak-anak mereka dengan 

harta kekayaan yang berlimpah, namun  mereka bisa dibuat 

menjadi miskin, sampai tidak memiliki dukungan hidup se-

hari-hari yang diperlukan, setidak-tidaknya tidak dapat 

hidup dengan nyaman. Mereka menjadi sedemikian keku-

rangan sehingga tidak akan memiliki makanan yang cukup. 

Mereka menjadi begitu serakah atau begitu tidak puas, 

sehingga apa pun yang mereka miliki tidak akan memuas-


kan mereka, sebab  tidak begitu banyak atau tidak begitu 

enak seperti yang biasa mereka makan. Kamu makan namun  

tidak sampai kenyang (Hag. 1:6).  

(3) Anak-anak lain yang terluput akan turun ke kubur, yaitu, 

akan mati sebab  wabah, yang disebut Maut (Why. 6:8), 

dan dikuburkan secara khusus dan dengan tergesa-gesa, 

segera sesudah mati, tanpa upacara apa pun, dikubur se-

cara penguburan keledai. Dan bahkan dengan tidak di-

tangisi oleh janda mereka, sebab  tidak ada kesempatan 

untuk itu. Atau hal itu menunjukkan, bahwa orang-orang 

fasik ini, sebab  mereka hidup sembarangan, saat  mati 

pun tidak ditangisi, bahkan janda-janda mereka akan me-

rasa bahagia sebab  terbebas dari suaminya yang fasik.  

2. Mereka bisa saja berhasil dalam harta kekayaan, namun  kehan-

curan menyertai hartanya juga (ay. 16-18).  

(1) Mereka bisa saja kaya dalam hal uang dan makanan, da-

lam hal pakaian dan perabot. Mereka menimbun uang se-

perti debu banyaknya, dan menumpuk pakaian seperti ta-

nah liat. Mereka menimbun pakaian di sekeliling mereka, 

sebanyak tumpukan tanah liat. Atau hal itu menyiratkan 

bahwa mereka memiliki begitu banyak pakaian sehingga 

pakaian-pakaian tersebut bahkan menjadi suatu beban 

bagi mereka. Mereka memuati dirinya dengan barang gadai-

an (Hab. 2:6). Lihatlah seperti apa perhatian dan urusan 

orang-orang duniawi, yaitu menimbun kekayaan duniawi. 

Kelimpahan mungkin bertambah sampai emas dan perak 

berkarat dan pakaian dimakan ngengat (Yak. 5:2-3). Na-

mun apa hasilnya? Ia tidak akan pernah menjadi lebih 

baik. Kematian akan melucutinya, kematian akan meram-

pasnya, cepat atau lambat (Luk. 12:20). Bahkan, Allah te-

lah menetapkannya bahwa orang benar yang akan mema-

kainya, dan orang yang tidak bersalah yang akan membagi-

bagi uang itu.  

[1] Mereka akan memilikinya dan membaginya di antara 

mereka. Dengan satu atau lain cara Penyelenggaraan 

ilahi telah menetapkannya demikian sehingga orang 

yang baik akan mendapatkan dengan benar kekayaan 

yang didapatkan orang fasik dengan cara tidak benar. 


Kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar (Ams. 

13:22). Allah membuang kekayaan manusia sesuka hati-

Nya dan sering membuat kehendak mereka bertentangan 

dengan kehendak diri mereka sendiri. Orang benar, yang 

dibenci dan dianiaya orang fasik, akan menguasai semua 

jerih payahnya dan pada waktunya mendapat kembali 

dengan keuntungan semua yang dahulu dirampas dari-

padanya. Perhiasan Mesir yaitu  upah orang Israel. 

Salomo mengamati (Pkh. 2:26) bahwa Allah membuat 

orang berdosa membanting tulang bagi orang benar. Se-

bab orang berdosa diberikan tugas untuk mengumpulkan 

dan menimbun untuk diberikan kepada orang yang di 

hadapan Allah.  

[2] Orang benar akan melakukan kebaikan dengan harta 

orang fasik. Orang yang tidak bersalah tidak akan me-

ngumpulkan perak seperti yang dilakukan orang fasik, 

melainkan akan membaginya di antara orang miskin, 

akan memberikan bahagian kepada tujuh, bahkan ke-

pada delapan orang, yang sama dengan menimbun yang 

terbaik bagi keamanan dan keselamatan mereka. Uang 

yaitu  seperti pupuk, tidak akan ada gunanya jika 

tidak disebar. Pada waktu Allah memperkaya orang be-

nar, mereka harus ingat bahwa mereka hanyalah para 

pelayan-Nya dan harus memberikan pertanggungjawab-

an kepada-Nya. Orang fasik membawa kutukan kepada 

keluarga mereka dengan apa yang mereka peroleh secara 

tidak benar, sedangkan orang benar membawa berkat 

bagi keluarga mereka dengan memanfaatkan dengan be-

nar apa yang diperoleh orang fasik itu. Orang yang mem-

perbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, me-

ngumpulkan itu untuk orang-orang yang mempunyai be-

las kasihan kepada orang-orang lemah (Ams. 28:8).  

(2) Orang fasik bisa saja membangun rumah-rumah yang ko-

koh dan megah. Namun rumah-rumah mereka seperti ru-

mah yang dibuat oleh ngengat di pakaian lama, yang dari-

nya ia akan dikebas keluar (ay. 18, KJV). Ia merasa sangat 

aman di dalamnya, seperti sebuah ngengat, dan tidak me-

nyadari bahaya. Namun rasa amannya hanya akan berlang-

sung sebentar saja seperti sebuah gubuk yang dibuat pen-


jaga, yang akan segera diruntuhkan dan lenyap dan tempat-

nya tidak akan mengenalnya lagi.  

3. Kehancuran mendatangi orang-orang mereka, kendati mereka 

hidup lama dengan sehat dan damai (ay. 19): orang kaya mem-

baringkan diri untuk tidur, menenangkan diri dalam kelim-

pahan hartanya (Jiwaku beristirahatlah), berbaring di dalam-

nya sebagai bentengnya yang kuat, dan tampak bagi orang lain 

sangat bahagia dan nyaman. namun  tidak dapat ia mengulangi-

nya lagi, yaitu, tidak dapat memiliki pikiran yang tenang, dan 

menetap, dan berkumpul, untuk menikmati kekayaannya. Ia 

tidak dapat tidur dengan nyenyak seperti yang disangka orang. 

Ia berbaring, namun  kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak 

membiarkan dia tidur, paling tidak, tidak begitu enak seperti 

orang yang bekerja (Pkh. 5:11). Ia berbaring, namun  terus 

berbalik ke kanan ke kiri sampai fajar hari, dan saat  ia mem-

buka matanya, maka tidak ada lagi semuanya itu. Ia melihat 

dirinya, dan semua yang dimilikinya, bergegas pergi, seolah-

olah, dalam sekejap mata. Kekhawatirannya meningkatkan ke-

takutannya, dan keduanya membuatnya tidak tenang, sehingga, 

kalau kita menghampirinya di ranjang tidurnya, kita tidak 

mendapatinya bahagia. Dan, pada akhirnya, kita dipanggil 

untuk mengantar kepergiannya, dan melihat betapa mengenas-

kan dia dalam kematian dan sesudah kematian. 

(1) Ia mati secara mengenaskan. Kematian baginya yaitu  raja 

segala kengerian (ay. 20-21). saat  suatu penyakit mema-

tikan menimpanya, betapa ketakutannya dia! Kedahsyatan 

mengejar dia seperti air bah, seakan-akan dia dikelilingi 

oleh ombak yang bergelora. Ia gemetar saat  berpikir seben-

tar lagi meninggalkan dunia ini, dan banyak lagi tentang me-

ninggalkan yang lain. Hal ini mencampur banyak kesusahan, 

penderitaan dan kekesalan, sebagaimana yang diamati oleh 

Salomo (Pkh. 5:16). Kengerian ini mengakibatkan dia,  

[1] Merasa putus asa dalam kesunyian dan kemurungan. 

Lalu badai murka Allah, badai kematian, dapat dikata-

kan meniup dan menyeret dia pergi, saat  tak seorang 

pun sadar atau memperhatikannya. Atau,  

[2] Merasa putus asa sampai kehilangan akal. Ia dikatakan 

diangkat, dan bergegas dari tempatnya seperti badai, 


dan dengan angin timur yang kencang dan keras, serta 

mematikan. Kematian, bagi seorang yang benar, yaitu  

seperti angin sepoi-sepoi yang membawanya ke negeri 

sorgawi, namun , bagi orang fasik, kematian yaitu  se-

perti sebuah angin timur, sebuah badai, yang meng-

hempaskannya dengan terburu-buru dalam kebingung-

an dan keheranan menuju kehancuran. 

(2) Ia menderita sengsara setelah kematian.  

[1] Jiwanya jatuh di bawah amarah Allah yang adil, dan hal 

itulah yang membuatnya gemetar menjelang kematian 

(ay. 22): Dengan tak kenal belas kasihan Allah melem-

pari dia. Selama dia hidup dia telah mendapatkan belas 

kasihan supaya ia bertobat. namun  sekarang hari kesa-

baran Allah telah berakhir, dan Ia tidak akan menya-

yangkan lagi, melainkan menumpahkan ke atasnya se-

luruh cawan murka-Nya. Apa yang dilemparkan Allah 

ke atas manusia, tidak ada yang dapat luput darinya 

atau bertahan di bawahnya. Kita membaca tentang 

Allah melempari batu-batu besar dari langit ke atas 

orang-orang Kanaan (Yos. 10:11), yang melaksanakan 

hukuman mengerikan di antara mereka. Dan apa jadi-

nya saat  Ia melemparkan kemarahan-Nya sepenuh-

penuhnya ke atas hati nurani orang-orang berdosa, 

seperti tutup timah gantang? (Zak. 5:7-8). Orang berdosa 

yang terkutuk, saat  melihat murka Allah menerobos 

masuk kepadanya, akan mati-matian melarikan diri 

dari tangan-Nya. namun  ia tidak berhasil: pintu-pintu 

gerbang neraka terkunci dan terpalang, dan jurang pe-

misah yang luar biasa lebar menganga, dan sia-sialah 

untuk mengharapkan perlindungan dari batu dan gu-

nung. Barang siapa yang tidak mau dibujuk untuk ter-

bang ke lengan tangan anugerah ilahi, yang terulurkan 

untuk menerima mereka, tidak akan sanggup lari dari 

tangan murka Allah, yang dengan segera akan terulur 

untuk membinasakan mereka.  

[2] Ingatan orang fasik jatuh di bawah kemarahan yang adil 

dari seluruh umat manusia (ay. 23): Oleh sebab  dia 

orang bertepuk tangan, yaitu, mereka akan bersuka di 


dalam pengadilan Allah, yang olehnya dia dibinasakan. 

Mereka senang dengan kejatuhannya. Bila orang fasik 

binasa, gemuruhlah sorak-sorai (Ams. 11:10). saat  Allah 

menguburnya, manusia akan mendesis untuk mengusir-

nya keluar dari tempatnya, dan meninggalkan tanda hina 

pada namanya untuk selamanya. Di tempat yang sama 

di mana ia pernah dibelai dan disanjung, di sana pula ia 

akan ditertawakan (Mzm. 52:8) dan abunya akan diin-

jak-injak. 

 

  

PASAL  28  

si tuturan pasal ini mengandung warna yang sangat berbeda de-

ngan semua pasal lain dalam kitab ini. Ayub melupakan kepedihan 

dan seluruh kesedihannya, berbicara bagaikan seorang filsuf atau 

seniman musik brilian. Dalam tuturan pasal ini terlihat sejumlah 

besar falsafah tentang alam maupun moral. Namun, pertanyaannya 

yaitu , bagaimana semua pemikiran ini dimasukkan di sini? Tidak 

perlu diragukan lagi bahwa tujuannya bukan sekadar sebagai hibur-

an, atau pengalihan dari perdebatan. Kalaupun memang demikian 

tujuannya, tidak ada salahnya juga. saat  perbantahan semakin 

memanas, ada baiknya kita kehilangan pokok debatnya daripada 

kehilangan kendali atas amarah kita. Akan namun , semua pemikiran 

ini memang masih berkaitan dengan pokok masalah yang diperdebat-

kan. Selama ini Ayub dan sahabat-sahabatnya sedang memperbin-

cangkan tentang dispensasi Penyelenggaraan Allah terhadap orang 

fasik dan benar. Ayub telah menunjukkan bahwa sebagian orang 

fasik hidup dan mati dalam kemakmuran, sementara sebagian yang 

lain terkena penghukuman Allah secara terang-terangan di masa hi-

dupnya sekarang. Namun, bila ada yang menanyakan alasan 

mengapa beberapa orang dihukum di dunia ini sedangkan yang lain 

tidak, mereka harus diberi tahu bahwa ini yaitu  pertanyaan yang 

tidak dapat dijawab. Pengetahuan tentang alasan perihal keadaan 

dalam pemerintahan Allah di dunia dirahasiakan dari kita, dan 

janganlah kita berlagak tahu tentang hal itu atau berupaya meraih-

nya. Zofar berharap Allah akan menunjukkan “rahasia hikmat” 

kepada Ayub (11:6). “Tidak,” kata Ayub, “rahasia bukanlah milik kita, 

milik kita hanyalah hal-hal yang dinyatakan (Ul. 29:29). Dan dalam 

pasal ini ia menunjukkan, 

I. Perihal kekayaan duniawi, betapa hal itu sangat dicari-cari 

dan dikejar anak-anak manusia, betapa dengan susah payah 

mereka melakukannya, betapa dengan segala daya upaya, 

dan betapa dengan penuh bahaya mereka mendapatkannya 

(ay. 1-11). 

II. Perihal hikmat (ay. 12). Secara umum, harganya sangatlah 

mahal dan tidak terhitung nilainya (ay. 15-19). Tempatnya 

sangat dirahasiakan (ay. 14, 20, 22). Khususnya terdapat 

hikmat yang tersembunyi di dalam Allah (ay. 23-27), dan ter-

dapat juga hikmat yang dibukakan kepada anak-anak manu-

sia (ay. 28). Pertanyaan kita tentang yang pertama haruslah 

dicela, sedangkan tentang yang belakangan justru dianjur-

kan, sebab itulah yang merupakan urusan kita. 

Luasnya Penemuan Manusia 

(28:1-13) 

1 “Memang ada tempat orang menambang perak dan tempat orang melim-

bang emas; 2 besi digali dari dalam tanah, dan dari batu dilelehkan tembaga. 

3 Orang menyudahi kegelapan, dan batu diselidikinya sampai sedalam-

dalamnya, di dalam kekelaman dan kelam pekat. 4 Orang menggali tambang 

jauh dari tempat kediaman manusia, mereka dilupakan oleh orang-orang 

yang berjalan di atas, mereka melayang-layang jauh dari manusia. 5 Tanah 

yang menghasilkan pangan, di bawahnya dibongkar-bangkir seperti oleh api.  

6 Batunya yaitu  tempat menemukan lazurit yang mengandung emas urai.  

7 Jalan ke sana tidak dikenal seekor burung buaspun, dan mata elang tidak 

melihatnya; 8 binatang yang ganas tidak menginjakkan kakinya di sana dan 

singa tidak melangkah melaluinya. 9 Manusia melekatkan tangannya pada 

batu yang keras, ia membongkar-bangkir gunung-gunung sampai pada akar-

akarnya; 10 di dalam gunung batu ia menggali terowongan, dan matanya 

melihat segala sesuatu yang berharga; 11 air sungai yang merembes diben-

dungnya, dan apa yang tersembunyi dibawanya ke tempat terang. 12 namun  di 

mana hikmat dapat diperoleh, di mana tempat akal budi? 13 Jalan ke sana 

tidak diketahui manusia, dan tidak didapati di negeri orang hidup. 

Dalam perikop ini Ayub menunjukkan, 

1. Betapa jauh akal manusia dapat menyelami kedalaman alam dan 

menyambar kekayaan yang ada di dalamnya. Betapa banyak pe-

ngetahuan dan kekayaan yang bisa diraih manusia melalui pen-

carian yang mereka lakukan dengan rajin dan cerdik. Namun, 

apakah manusia dengan akal mereka lalu bisa memahami alasan 

mengapa beberapa orang fasik makmur dan yang lain dihukum, 

mengapa beberapa orang baik makmur sedangkan yang lain men-

derita? Tidak, sama sekali tidak. Lubang-lubang besar dan gelap 


di bumi mungkin saja ditemukan, namun  tidak demikian halnya 

dengan putusan hikmat sorga. 

2. Betapa dengan sangat susah payah orang-orang duniawi mencari 

kekayaan. Ayub telah memperhatikan orang-orang fasik (27:16) 

yang menimbun uang seperti debu banyaknya. Sekarang ia me-

nunjukkan di sini dari mana datangnya perak yang begitu disukai 

itu, dan bagaimana memperolehnya. Tujuannya yaitu  untuk 

memperlihatkan betapa kecil alasan yang dimiliki orang kaya 

untuk membangga-banggakan kekayaan dan kebesaran mereka. 

Amatilah di sini, 

I. Kekayaan dunia ini tersembunyi di dalam tanah. Dari sanalah 

perak dan emas, yang di kemudian hari mereka murnikan, di-

ambil (ay. 1). Di sanalah logam mulia itu berbaur dengan tanah 

dan segala kotoran, yang tampaknya tidak berharga, dan bernilai 

tidak lebih dari tanah biasa. Sangat banyak dari gumpalan tanah 

dan kotoran itu yang teronggok dan diabaikan, sampai tanah dan 

segala isinya dibakar. Di dalam puisinya berjudul Avarice (Gila 

Harta) Tuan Herbert mengemukakan hal ini guna mendatangkan 

rasa malu kepada manusia supaya tidak cinta akan uang: 

Wahai uang, kutuk kenikmatan, sumber petaka, 

Dari mana asalmu, hingga tampak begitu menawan? 

Aku tahu asal-usulmu rendah dan nista, 

Manusia menemukanmu di tambang kotor dan hina. 

Dukunganmu tentulah tidak berarti, 

Bagi kerajaan agung yang kau tempati. 

Ia begitu rindu, di saat kau miskin dan papa, 

Ia menggalimu dari kegelapan lubang dan gua. 

Manusia menyebutmu hartanya yang membuat kaya, 

Dan sementara menggalimu terjatuh ke dalam lubang. 

Besi dan tembaga, logam-logam yang tidak begitu berharga 

namun  lebih berguna, digali dari dalam tanah (ay. 2), dan ditemu-

kan dalam jumlah sangat besar. Hal ini memang menurunkan 

nilainya, namun  membawa manfaat besar bagi manusia yang lebih 

baik tidak memiliki emas daripada besi. Bahkan lebih dari itu, 

tanah yang menghasilkan pangan, yaitu gandum, penopang kehi-

dupan yang diperlukan manusia (ay. 5). Dari sanalah diambil 

bahan untuk memelihara kehidupan manusia, untuk mengingat-

kannya kepada asal-usulnya. Ia berasal dari tanah, dan akan se-

gera kembali ke tanah juga. Di bawahnya dibongkar-bangk