wah menggeletar, demikian juga air dan
penghuninya. Barulah kemudian mengikuti, Dunia orang mati
terbuka di hadapan Allah, yang dilambangkan dengan teng-
gelamnya makhluk-makhluk raksasa dari dunia purba. Demi-
kianlah cendekiawan Tuan Joseph Mede memahaminya, dan
dengannya menggambarkan Kitab Amsal 21:16, di mana dunia
orang mati disebut arwah-arwah berkumpul. Kata yang sama
dipakai juga di sini, yang di sana disebutkan kumpulan roh-
roh, sebagai kiasan kepada tenggelamnya orang-orang berdosa
dari dunia purba. Dan adakah yang lebih mengerikan daripada
saat kebesaran Allah tampak dalam kebinasaan kekal orang
tidak beriman dan rintihan para penghuni negeri kegelapan?
Orang-orang yang tidak mau bersama dengan para malaikat
takut dan menyembah akan selamanya bersama dengan roh-
roh jahat takut dan gemetar. Dalam hal ini Allah akan dimu-
liakan.
3. Apabila kita menengadah ke langit di atas, kita akan melihat
contoh-contoh dari kedaulatan dan kekuasaan Allah.
(1) Allah membentangkan utara di atas kekosongan (ay. 7). De-
mikianlah yang dilakukannya mula-mula, saat Ia mem-
bentangkan langit seperti tenda (Mzm. 104:2). Dan Ia masih
terus menjaganya tetap terbentang dan akan melakukan-
nya sampai pemusnahan segala sesuatu, saat mereka
semua akan digulung bagaikan sebuah gulungan kitab (Why.
6:14). Ayub menyebut utara sebab negerinya terletak di
belahan bumi utara. Dan udara yaitu tempat kosong yang
terbentang di atas (Lih. Mzm. 89:12). Betapa kosongnya
dunia ini dibandingkan dengan yang lain!
(2) Ia menjaga air yang dikatakan berada di atas awan agar
tidak tercurah turun ke atas bumi, seperti yang pernah ter-
jadi sekali (ay. 8): Ia membungkus air di dalam awan-Nya,
seakan-akan air tersebut diikat kencang dalam sebuah kan-
tong, hingga ada kesempatan untuk dipakai . Dan, betapa
pun sangat beratnya air itu terangkat dan terbentang, na-
mun awan itu tidak robek, sebab jika tidak, air akan ter-
sembur keluar dan tumpah berhamburan. Sebaliknya, air
itu, seperti biasanya, tersaring melalui awan, lalu turun se-
tetes demi setetes, sebab kasihan kepada bumi, dalam
hujan kecil atau hujan besar sesuai kehendak-Nya.
(3) Allah menyembunyikan kemuliaan dari dunia atas, yang
kilaunya menyilaukan mata tidak dapat kita tahan sebagai
makhluk fana (ay. 9): Ia menutupi pemandangan takhta-
Nya, terang tempat Ia berdiam, dan melingkupinya dengan
awan, yang melaluinya Ia mengadili (22:13). Allah mewajib-
kan kita untuk hidup oleh iman, bukan oleh penglihatan.
sebab hal ini yang disepakati dalam masa percobaan.
Sebab bukanlah suatu cobaan yang adil jika wajah takhta
Allah dapat dilihat sekarang seperti yang akan terlihat di
hari besar itu.
Supaya jangan takhta-Nya yang tinggi,
terang benderang tak terperikan,
Dengan kemuliaan mengerikan menerjang mata kita,
Kekuatan menyilaukannya diputuskan-Nya,
dengan menarik tirai
Penutup yang gelap,
dan menyebar awan-Nya di antaranya.
– Sir R. Blackmore
(4) Segala hiasan cerah di langit yaitu karya tangan-Nya (ay.
13): Oleh nafas-Nya, Roh yang kekal yang bergerak di atas
permukaan air, nafas dari mulut-Nya (Mzm. 33:6), langit
menjadi cerah. Ia tidak hanya yang menjadikannya, namun
juga yang memperindahnya, dengan heran menyelubungi-
nya dengan bintang-bintang di malam hari dan melukisnya
dengan cahaya matahari di siang hari. Allah, setelah mem-
buat manusia menatap ke atas (Os homini sublime dedit –
Kepada manusia Ia memberikan muka yang bisa tegak ke
atas), sebab itu menghiasi langit, untuk mengundangnya
menatap ke atas, supaya, dengan menyenangkan matanya
dengan terang cahaya matahari dan terang berkilau dari
bintang-bintang, jumlahnya, urutan, dan berbagai besaran,
yang, seperti begitu banyaknya butiran emas, memper-
indah bentangan langit-langit di atas kepala kita, ia dapat
dibawa untuk mengagumi Sang Pencipta Agung, Bapa dan
Sumber segala terang, dan berkata, “Kalau jalan masuknya
saja sudah begitu sangat mewah, apalagi istana-Nya! Jika-
lau langit yang kelihatan saja sudah begitu mulia, apalagi
sorga yang tidak terlihat oleh mata!” Dari hiasan-hiasan
cantik di ruang tunggu kita sudah dapat menyimpulkan
bagaimana mulianya perabot yang ada di ruang utama.
Kalau bintang-bintang saja sudah begitu terang, betapa lagi
para malaikat! Apa yang dimaksudkan di sini dengan ular
yang tangkas yang telah dibentuk oleh tangan-Nya, tidak
pasti. Beberapa penafsir menduga itu sebagai bagian dari
hiasan langit, bimasakti, kata sebagian orang. Suatu rasi
bintang, kata penafsir lain. Kata asli yang sama dipakai
juga untuk Lewiatan (Yes. 27:1), dan mungkin dapat diarti-
kan sebagai ikan paus atau buaya, yang banyak menampil-
kan kekuatan dari Sang Pencipta. Dan mengapa Ayub tidak
boleh mengakhiri dengan kesimpulan tersebut, sementara
Allah sendiri berbuat demikian? (ps. 41).
II. Ayub menyimpulkan, pada akhirnya, dengan sebuah perkataan
semuanya itu (ay. 14): Sesungguhnya, semuanya itu hanya ujung-
ujung jalan-Nya, hanya sebagian saja hasil dari kebijaksanaan dan
kuasa-Nya, jalan-jalan yang dijalani-Nya dan yang melaluinya Ia
membuat diri dikenal kepada anak-anak manusia. Di sini,
1. Ia mengakui, dengan rasa kagum, penemuan yang dibuat ten-
tang Allah. Semua hal ini yang telah dikatakannya sendiri, dan
yang telah dikatakan oleh Bildad, yaitu jalan-jalan-Nya, dan
semua ini didengar orang tentang Dia. Inilah hal-hal tentang
Allah. namun ,
2. Ayub mengagumi kedalaman yang tak terselami. Apa yang
telah kita katakan ini hanyalah sebagian saja dari jalan-jalan-
Nya, sebagian kecil saja. Setelah kita mengetahui semua yang
Allah ungkapkan kepada kita dan semua yang telah kita selidiki
tentang Dia, masih juga ada banyak hal yang masih gelap bagi
kita tentang Dia, sehingga kita harus menyimpulkan, Sesung-
guhnya, semuanya itu hanya ujung-ujung jalan-Nya. Sesuatu
kita dengar tentang Dia melalui karya-karya-Nya dan firman-
Nya. namun , aduh! betapa lembutnya bisikan yang kita dengar
dari pada-Nya, betapa hanya sedikit saja yang kita ketahui
tentang Dia. Kita tahu namun hanya sebagian. Kita bernubuat,
namun hanya sebagian. Setelah kita mengatakan semua se-
mampu kita tentang Allah, kita harus melakukannya seperti
Rasul Paulus (Rm. 11:33). Dengan putus asa menemukan da-
sarnya, kita harus duduk di tepi jurang dan menyembah keda-
laman: O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan penge-
tahuan Allah! Hanya suatu bagian kecil saja apa yang kita
dengar dan ketahui tentang Allah dalam keadaan kita yang
sekarang ini. Ia tak terbatas dan tak terselami. Pemahaman
dan kemampuan kita lemah dan dangkal, dan temuan sepe-
nuhnya tentang kemuliaan ilahi disimpan bagi keadaan yang
akan datang. Bahkan guntur kuasa-Nya (yaitu, guntur-Nya yang
dahsyat), salah satu dari yang paling rendah dari jalan-jalan-
Nya yang nampak di dunia kita ini, tidak dapat kita pahami
(37:4-5). Terlebih lagi, jauh lebih sedikit lagi yang dapat kita
pahami tentang kekuatan-Nya yang Mahadahsyat dan kuasa-
Nya yang Mahakuasa, daya dan tindakannya yang teramat me-
ngerikan, dan terutama kekuatan murka-Nya (Mzm. 90:11).
Allah itu Mahabesar, dan kita tidak mengenal-Nya.
PASAL 27
yub kadang-kadang mengeluh tentang teman-temannya sebab
mereka begitu bersemangat untuk berdebat sampai jarang mem-
beri kesempatan kepada dia berkata-kata: “Bersabarlah dengan aku,
aku akan berbicara.” Dan, “Oh diamlah sebentar!“ namun sekarang,
sepertinya mereka telah kehabisan napas, sehingga ada banyak ke-
sempatan untuk Ayub mengatakan apa maunya. Mungkin mereka
sudah diyakinkan bahwa Ayub benar, atau mereka putus asa untuk
meyakinkan dia bahwa dia bersalah. Oleh sebab itu mereka mele-
takkan senjata dan menyerah. Ayub terlalu tangguh bagi mereka dan
memaksa mereka untuk meninggalkan medan pertempuran. Sebab
hebatlah kebenaran itu dan akan menang. Apa yang telah Ayub
katakan (ps. 26) merupakan sebuah jawaban yang cukup bagi tutur-
an Bildad. Dan kini Ayub berhenti sejenak untuk melihat apakah
Zofar akan mengambil gilirannya untuk berbicara lagi. namun , Zofar
menolaknya, jadi Ayub sendiri yang melanjutkan, dan, tanpa ganggu-
an apa pun yang menjengkelkannya, ia mengatakan semua yang
ingin dikatakannya.
I. Ia mulai dengan pernyataan tegas mengenai ketulusan hati-
nya dan tekadnya untuk mempertahankannya (ay. 2-6).
II. Ia mengungkapkan kengerian dosa kefasikan yang dituduh-
kan kepadanya (ay. 7-10).
III. Ia menunjukkan akhir yang menyengsarakan dari orang fasik,
betapa pun lama kemakmuran mereka, dan kutukan yang
menghampiri mereka serta yang menimpa keluarga mereka
(ay. 11-23).
Ketegasan Ayub tentang Ketulusannya
(27:1-6)
1 Maka Ayub melanjutkan uraiannya: 2 “Demi Allah yang hidup, yang tidak
memberi keadilan kepadaku, dan demi Yang Mahakuasa, yang memedihkan
hatiku, 3 selama nafasku masih ada padaku, dan roh Allah masih di dalam
lubang hidungku, 4 maka bibirku sungguh-sungguh tidak akan mengucap-
kan kecurangan, dan lidahku tidak akan melahirkan tipu daya. 5 Aku sama
sekali tidak membenarkan kamu! Sampai binasa aku tetap mempertahankan
bahwa aku tidak bersalah. 6 Kebenaranku kupegang teguh dan tidak kule-
paskan; hatiku tidak mencela sehari pun dari pada umurku.
Perkataan Ayub di sini disebut sebagai sebuah perumpamaan (mashal),
judul dari amsal-amsal Salomo, sebab dalam dan berbobot, mengan-
dung pengajaran, dan ia berbicara dengan penuh kuasa. Kata untuk
“perumpamaan” ini berasal dari sebuah kata yang berarti memerin-
tah, atau berkuasa. Dan beberapa penafsir menganggap Ayub se-
karang menang atas para lawannya dan berbicara sebagai orang yang
telah mencengangkan mereka. Kalau seorang pengkhotbah berbicara
dengan luar biasa, kita berkata ia tahu bagaimana dominari in concio-
nibus – menguasai para pendengarnya. Inilah yang dilakukan Ayub di
sini. Selama ini perselisihan panjang terjadi antara Ayub dan teman-
temannya. Mereka sepertinya sudah bersepakat untuk menyelesai-
kan pokok masalahnya. Oleh sebab itu, sebab sumpah itu menjadi
suatu pengokohan baginya, yang mengakhiri segala bantahan (Ibr.
6:16), maka Ayub di sini mendukung semua yang telah dikatakannya
untuk mempertahankan ketulusannya dengan sebuah sumpah yang
tulus, untuk membungkam pertentangan, dan menerima kesalahan
seluruhnya ke atas dirinya jika dia berdusta. Amatilah,
I. Bentuk sumpahnya (ay. 2): Demi Allah yang hidup, yang tidak
memberi keadilan kepadaku. Di sini,
1. Ia berbicara sangat luhur tentang Allah, dengan menyebut Dia
Allah yang hidup (yang berarti abadi, Allah yang kekal, yang
memiliki kehidupan dalam diri-Nya sendiri) dan dengan ber-
seru kepada-Nya sebagai satu-satunya Hakim yang berdaulat.
Kita tidak dapat bersumpah demi seseorang yang lebih besar
sebab tidak ada yang lebih besar daripada Dia, dan sebab
itu merupakan penghinaan bagi Dia untuk bersumpah demi
yang lain.
2. Namun Ayub juga mengatakan perkataan keras dan tidak pan-
tas mengenai Allah. Ia mengatakan bahwa Allah tidak memberi
keadilan kepadanya (yaitu menolak bersikap adil kepadanya
dalam perdebatan ini dan tidak tampil membela dirinya). Ia
mengatakan Allah terus melanjutkan malapetaka terhadapnya,
sehingga memberi alasan kepada teman-temannya untuk me-
ngecam dia. Menurutnya, Allah telah mengambil darinya ke-
sempatan yang diharapkannya sekarang untuk membersihkan
dirinya. Elihu menegur Ayub untuk perkataan ini (34:5).
Sebab, Allah benar di dalam segala jalan-jalan-Nya, dan tidak
pernah tidak berlaku adil kepada manusia. Namun lihatlah
betapa kita cenderung putus asa bila pertolongan Allah tidak
segera ditunjukkan kepada kita, betapa ciut nyali kita dan
betapa cepat lelah untuk menanti waktu Allah. Ia juga menu-
duh Allah sebab telah memedihkan hatinya, tidak hanya tidak
tampil baginya, malah tampil melawan dirinya. Ia menuduh
Allah telah menimpakan malapetaka yang dahsyat hingga me-
mahitkan hidupnya dan semua penghiburannya. Kita, dengan
ketidaksabaran kita, menggusarkan jiwa kita sendiri dan
kemudian mengeluh bahwa Allah menggusarkan kita. Namun
lihatlah keyakinan Ayub akan kebaikan perkaranya dan ke-
baikan Allahnya. Ia percaya kendati Allah tampaknya marah
dengan dirinya dan bertindak melawan dia sekarang ini, na-
mun dengan senang hati ia tetap dapat menyerahkan perkara-
nya kepada Dia.
II. Isi sumpahnya (ay. 3-4).
1. Bahwa dia tidak akan mengucapkan kecurangan atau melahir-
kan tipu daya. Bahwa, secara umum, dia tidak akan pernah
membiarkan dirinya berbohong, bahwa seperti di dalam debat
ini dia selalu mengatakan sejujurnya apa yang dipikirkannya,
maka dia tidak akan menentang hati nuraninya dengan me-
ngatakan hal yang sebaliknya. Ia tidak akan memegang ajaran
atau menyampaikan fakta apa pun selain yang dipercayainya
benar. Ia juga tidak akan menyangkal suatu kebenaran,
sekalipun kebenaran itu melawannya. Dan, sementara teman-
temannya menuduh dirinya munafik dan jahat, dia siap untuk
menjawab, dengan bersumpah, semua tuduhan mereka, jika
memang diperlukan demikian. Di satu pihak, demi seluruh
dunia, dia tidak akan menyangkal tuduhan jika dia tahu diri-
nya memang bersalah, dan akan mengakui kebenarannya,
seluruh kebenarannya, dan tidak lain selain kebenaran bahwa
dia bersalah dan akan menanggung malu atas kefasikannya.
Di pihak lain, sebab dia sadar akan ketulusan dirinya, dan
bahwa dia bukanlah orang yang demikian seperti yang ditu-
duhkan teman-temannya, maka dia pun tidak akan pernah
mengkhianati ketulusannya, atau menuduh diri sendiri de-
ngan kesalahan yang tidak dilakukannya. Ia tidak mau diseret,
tidak, tidak dengan rangkaian tuduhan yang tidak benar,
untuk menuduh diri secara palsu. Jika kita tidak boleh ber-
saksi palsu terhadap sesama kita, maka tidak juga terhadap
diri kita sendiri.
2. Bahwa dia akan berpegang pada tekadnya ini sepanjang hi-
dupnya (ay. 3): Selama nafasku masih ada padaku. Tekad kita
untuk melawan dosa seharusnya tetap ada, bertekad selama
hidup. Dalam hal-hal yang meragukan dan tidak menentu,
tidaklah aman untuk bertekad bulat melakukan hal-hal yang
meragukan atau tidak pasti. Kita tidak tahu, siapa tahu kita
perlu mengubah pikiran kita: Allah yang akan menyatakan
kepada kita apa yang tidak kita sadari sekarang ini. Namun di
dalam hal yang sangat jelas seperti Ayub ini, kita pun tidak
dapat pasti apakah bisa menahan mulut untuk tidak berkata
yang jahat. Ada alasan tersirat dalam tekad Ayub di sini, yaitu
bahwa napas kita tidaklah selalu di dalam diri kita. Tidak lama
lagi semua kita harus mengembuskan napas kita yang ter-
akhir, dan sebab nya, sementara napas ada di dalam kita,
jangan pernah mengembuskan kejahatan dan kebohongan,
atau membiarkan diri untuk mengatakan atau melalukan apa
pun yang melawan kita nanti saat napas kita lenyap. Napas
di dalam kita disebut roh Allah, sebab Ia mengembuskannya
ke dalam diri kita. Dan ini merupakan alasan lain mengapa
kita tidak boleh mengatakan hal yang jahat. Allah-lah yang
memberi kita kehidupan dan napas, sehingga, selama kita ber-
napas, kita harus memuji Dia.
III. Penjelasan sumpahnya (ay. 5-6): “Aku sama sekali tidak akan
membenarkan kamu dalam tuduhanmu yang tidak menyenangkan
terhadap diriku, dengan mengakui diriku seorang munafik: tidak,
sampai binasa aku tetap mempertahankan bahwa aku tidak ber-
salah. Kebenaranku kupegang teguh dan tidak kulepaskan.”
1. Ia akan selalu menjadi seorang yang jujur, akan memegang
teguh ketulusannya, dan tidak mengutuki Allah, seperti yang
didesak-desak Iblis, melalui istrinya, untuk ia lakukan (2:9).
Ayub di sini berpikir segera akan mati, jadi ia mau bersiap un-
tuk kematian, dan sebab nya bertekad untuk tidak menjauh
dari keyakinan agamanya, kendati dia telah kehilangan semua
yang dimiliknya di dunia. Perhatikanlah, persiapan terbaik
bagi kematian yaitu bertekun hingga mati untuk hidup be-
nar. “Sampai binasa aku,” yaitu, “kendati aku harus mati oleh
malapetaka ini, aku tidak akan melepaskan Allahku dan aga-
maku. Kendati Ia hendak membunuh aku, namun aku hendak
membela perilakuku di hadapan-Nya.”
2. Ia akan selalu mempertahankan bahwa dia yaitu seorang
yang jujur. Ia tidak akan meninggalkan, tidak akan menjauhi
hati nurani dan penghiburan serta kehormatan dari ketulus-
annya. Ia bertekad untuk mempertahankan ketulusannya
hingga akhir. “Allah tahu, dan hatiku juga tahu, bahwa aku
selalu berniat baik, dan tidak membiarkan diri dalam melalai-
kan kewajiban ibadah atau mengakui dosa jika bersalah. Ini-
lah sukacitaku dan tidak seorang pun akan kubiarkan untuk
merampasnya. Aku tidak pernah berdusta melawan kebenar-
anku.” Begitu sering terjadi nasib orang yang benar difitnah
dan dikutuk sebagai munafik. Namun patut bagi mereka ber-
diri tegak dengan berani menghadapi semua tuduhan tersebut
dan tidak menjadi tawar hati olehnya atau berpikir yang buruk
tentang diri sendiri sebab nya. Seperti kata sang rasul (Ibr.
13:18): Sebab kami yakin, bahwa hati nurani kami yaitu baik,
sebab di dalam segala hal kami menginginkan suatu hidup
yang baik.
Hic murus aheneus esto, nil conscire sibi.
Jadikanlah ini benteng pertahananmu yang kuat,
Tetap pertahankan kesucian hati nuranimu.
Ayub banyak mengeluhkan tentang teguran teman-teman-
nya. namun , katanya, hatiku tidak mencela diriku, yaitu, “Aku
tidak akan pernah membiarkan hatiku mencela diriku, melain-
kan akan tetap menjaganya menjauh dari pelanggaran. Dan,
sementara aku berbuat demikian, aku tidak akan membiarkan
hatiku mencela diriku.” Siapakah yang akan menggugat orang-
orang pilihan Allah? Allah yang membenarkan mereka. Hati
nurani yaitu wakil Allah dalam diri kita, jadi jika kita sudah
menetapkan hati untuk tidak mencela kita, janganlah kita
memberi kesempatan untuk itu, supaya kita tidak menghina
Allah, dan bersalah terhadap diri sendiri. Sebab merupakan hal
yang baik, saat seseorang berdosa, untuk memiliki hati yang
menghantam dirinya sendiri sebab dosanya (2Sam. 24:10).
namun baiklah kita membulatkan hati untuk tidak mencela diri
sendiri saat kita masih memegang teguh ketulusan hidup.
Sebab hal ini dapat menghancurkan rancangan roh jahat yang
mencobai orang-orang Kristen untuk mempersoalkan pengang-
katan diri mereka sebagai anak Allah, Jika engkau anak Allah,
dan bersepakat dengan pekerjaan Roh kebaikan, yang bersaksi
bahwa mereka yaitu anak Allah.
Keadaan Orang Fasik
(27:7-10)
7 Biarlah musuhku mengalami seperti orang fasik, dan orang yang melawan
aku seperti orang yang curang. 8 sebab apakah harapan orang durhaka, kalau
Allah menghabisinya, kalau Ia menuntut nyawanya? 9 Apakah Allah akan men-
dengar teriaknya, jika kesesakan menimpa dia? 10 Dapatkah ia bersenang-
senang sebab Yang Mahakuasa dan berseru kepada Allah setiap waktu?
Ayub setelah dengan sungguh-sungguh menegaskan hatinya bahwa
ia hidup tulus, maka untuk membersihkan namanya lebih lanjut, di
sini mengungkapkan kengerian yang dirasakannya sebab dituduh
sebagai seorang fasik.
I. Ia memberi tahu kita betapa terkejutnya dia memikirkan kalau
dirinya benar seorang fasik, sebab dia melihat keadaan seorang
munafik dan seorang fasik pastilah sangat sengsara tak terba-
yangkan (ay. 7): Biarlah musuhku mengalami seperti orang fasik,
suatu ungkapan kiasan, seperti dalam Daniel 4:19, Biarlah mimpi
itu tertimpa atas musuh tuanku. Ayub sangat jauh dari meman-
jakan diri dalam cara hidup yang jahat, apalagi menjanjikan yang
terbaik bagi dirinya dengan cara hidup jahat itu. Ia tahu hal yang
terburuk pasti menimpa orang yang berbuat demikian, sehingga
kalau seandainya ia mau mengutuki seseorang yang menjadi
musuh besarnya, mungkin ia akan mengutuki orang itu dengan
celaka yang menimpa orang fasik. Bukan berarti kita diperboleh-
kan mengharapkan siapa pun menjadi jahat, atau bahwa siapa
pun yang tidak jahat harus diperlakukan sebagai jahat. namun
mungkin lebih baik kita hidup dalam keadaan seperti yang di-
alami seorang pengemis, seorang pelarian, seorang budak, atau
apa pun, daripada hidup dalam keadaan yang diderita orang
fasik, semakmur apa pun ia.
II. Ayub memberi kita alasannya.
1. sebab harapan orang durhaka tidak akan dimahkotai (ay. 8):
sebab apakah harapan orang durhaka? Bildad telah mengu-
tuknya (8:13-14), dan Zofar (11:20), dan Ayub di sini setuju
dengan mereka, dan membaca kematian harapan orang dur-
haka dengan pastinya. Dan hal ini cocok menjadi alasan
mengapa dia tidak akan meninggalkan ketulusannya, dan
tetap berpegang teguh hidup benar. Perhatikanlah, pertim-
bangan akan keadaan sengsara orang fasik, dan terutama
orang durhaka, seharusnya membuat kita selalu hidup benar.
Sebab kita akan tamat, dan selamanya tamat, jika tidak demi-
kian dan juga untuk mendapatkan bukti penghiburan dari ke-
tulusan hidup kita. Sebab bagaimana kita bisa menjadi tenang
jika selalu dihadapi dengan ketidakpastian? Teman-teman
Ayub membujuknya bahwa semua harapannya yaitu semata-
mata harapan orang durhaka (4:6). “Tidak,” katanya, “Aku
tidak mau, demi seluruh dunia, berlaku begitu bodoh sampai
membangun di atas suatu dasar yang rapuh demikian. Sebab
apakah harapan orang durhaka?” Lihatlah di sini,
(1) Orang durhaka tertipu. Ia telah menjadi makmur, dan me-
miliki harapan. Inilah sisi terangnya. Memang dibiarkan
bahwa dia menjadi makmur oleh kemunafikannya, men-
dapat pujian dan sanjungan dari manusia dan kekayaan
dunia ini. Raja Yehu mendapat sebuah kerajaan oleh ke-
durhakaannya dan orang-orang Farisi dari banyak meme-
ras rumah janda. Di atas kemakmuran ini orang durhaka
membangun harapannya. Ia berharap berada dalam keada-
an yang baik bagi dunia yang akan datang, sebab dia me-
rasa layak untuknya, dan dia memberkati diri dengan cara-
nya sendiri.
(2) Orang durhaka menemukan dirinya tertipu. Ia pada akhir-
nya akan melihat dirinya tertipu sedemikian hebatnya. Sebab,
[1] Allah akan menuntut nyawanya, sangat bertentangan
dengan keinginannya. Lukas 12:20, Jiwamu akan diam-
bil dari padamu. Allah, sebagai Hakim, mengambil jiwa-
nya untuk diadili dan ditentukan nasibnya seperti apa
dalam keadaan kekekalan. Saat itulah ia akan jatuh
dalam tangan Allah yang hidup, diadili dengan segera.
[2] Lalu apakah harapannya? Akan menjadi sia-sia belaka
dan suatu kebohongan. Tidak ada yang akan menggan-
tikannya. Kekayaan dari dunia ini, yang diharapkannya,
harus ditinggalkannya (Mzm. 49:18). Kebahagiaan du-
nia lain, yang diharapkannya, pasti tidak akan didapat-
kannya. Ia berharap masuk sorga, namun dia dengan
malu akan sangat dikecewakan. Ia akan membela diri
sebagai orang beragama, punya hak istimewa dan ber-
buat banyak hal, namun semua pembelaan dirinya akan
ditolak sebagai tidak ada harnya: Aku tidak pernah me-
ngenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku. Dengan demikian,
secara keseluruhannya, sudah pasti bahwa seorang
yang durhaka, dengan segala miliknya dan semua ha-
rapannya, akan mengenaskan di saat kematian.
2. sebab doa orang fasik tidak akan didengar (ay. 9): Apakah
Allah akan mendengar teriaknya, jika kesesakan menimpa dia?
Tidak, Ia tidak akan mendengar. Tidak dapat diharapkan Ia
akan mendengarnya. Jika pertobatan yang sungguh-sungguh
ditunjukkannya, Allah akan mendengar teriakannya dan me-
nerima dia (Yes. 1:18). Namun, jika dia terus tidak bertobat
dan tidak berubah, jangan dia pikir akan mendapatkan per-
kenan dari Allah. Amatilah,
(1) Celaka akan datang menimpanya, hal itu sudah pasti. Ce-
laka di dalam dunia sering mengejutkan orang-orang yang
merasa sangat aman dengan kemakmurannya yang tidak
terputus. Kematian akan datang, dan celaka menyertainya,
saat dia harus meninggalkan dunia dan segala kesenang-
an di dalamnya. Penghakiman pada hari besar itu akan da-
tang. Ketakutan akan mengejutkan orang durhaka (Yes.
33:14).
(2) Saat itulah dia akan berseru kepada Allah, akan berdoa,
dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Orang-orang yang
dalam kemakmuran mengabaikan Allah, entah tidak ber-
doa sama sekali atau bersikap dingin dan acuh tak acuh di
dalam doa, saat masalah datang akan membuat mereka
memohon kepada-Nya dan berteriak-teriak dengan sung-
guh-sungguh. namun ,
(3) Akankah Allah mendengarkan dia? Dalam masalah kehi-
dupan ini, Allah telah memberi tahu kita bahwa Ia tidak
akan mendengarkan doa-doa orang yang menyimpan niat
jahat di dalam hati (Mzm. 66:18) dan menegakkan berhala
di dalam hati (Yeh. 14:4). Ia tidak akan peduli dengan doa
orang-orang yang memalingkan telinga hukum-Nya (Ams.
28:9). Pergi sajalah berseru kepada para allah yang telah
kamu pilih itu (Hak. 10:14). Dalam penghakiman yang akan
datang, sudah pasti, Allah tidak akan mendengarkan te-
riakan orang-orang yang hidup dan mati dalam kedurhaka-
an mereka. Ratapan sedih mereka tidak akan dikasihani.
Maka aku juga akan menertawakan celakamu. Segala per-
mohonan mereka yang mendesak-desak akan ditepiskan,
dan semua pembelaan mereka ditolak. Keadilan yang dite-
gakkan tidak bisa dibengkokkan, dan hukuman yang su-
dah putus tidak dapat dibatalkan (Lih. Mat. 7:22-23; Luk.
13:26; dan gadis-gadis bodoh Mat. 25:11).
3. sebab agama orang durhaka tidaklah menghibur atau tetap
(ay. 10): Dapatkah ia bersenang-senang sebab Yang Maha-
kuasa? Tidak, tidak sama sekali sebab kesenangannya yaitu
di dalam keuntungan dunia dan kesenangan daging, lebih
daripada di dalam Allah, terutama tidak di dalam waktu kesu-
sahan. Dapatkah ia berseru kepada Allah setiap waktu? Tidak,
dalam kemakmuran dia tidak akan berseru kepada Allah, me-
lainkan merendahkan Dia. Dalam kemalangan dia tidak akan
memanggil Allah, melainkan mengutuk Dia. Ia menjadi lelah
dengan agamanya saat ia tidak mendapatkan apa-apa oleh-
nya, atau berada dalam bahaya kehilangan. Perhatikanlah,
(1) Orang-orang yaitu durhaka jika, kendati mereka meng-
akui agama, tidak bersuka di dalamnya atau bertekun di
dalamnya, yang menganggap agama mereka sebagai suatu
tugas dan pekerjaan yang melelahkan, meletihkan, bersi-
kap dingin terhadapnya, yang memakai nya hanya
untuk mendapatkan timbal balik, dan mengesampingkan-
nya saat tidak ada keuntungan. Mereka akan berseru ke-
pada Allah saat ada keperluan, atau selama masih sema-
ngat beribadah, namun meninggalkannya saat mendapat
pergaulan lain, atau saat hati sudah mendingin.
(2) Alasan mengapa orang durhaka tidak bertekun di dalam
agama yaitu sebab mereka tidak memiliki kesukaan di
dalamnya. Orang-orang yang tidak bergembira di dalam
Yang Mahakuasa tidak akan memanggil Dia. Lebih banyak
penghiburan kita dapatkan dalam agama kita, maka lebih
erat kita akan bersandar kepadanya. Orang-orang yang
tidak bergembira di dalam Allah akan mudah dipikat oleh
indra kesenangan, dan terseret jauh dari agama mereka.
Mereka mudah lari oleh salib kehidupan ini, dan begitu
jauh terusir dari agama mereka, dan tidak akan memang-
gil-manggil Allah.
Warisan Orang Fasik
(27:11-23)
11 Aku akan mengajari kamu tentang tangan Allah, apa yang dimaksudkan
oleh Yang Mahakuasa tidak akan kusembunyikan. 12 Sesungguhnya, kamu
sekalian telah melihatnya sendiri; mengapa kamu berpikir yang tidak-tidak?
13 Inilah bagian orang fasik yang ditentukan Allah, dan milik pusaka orang-
orang lalim yang mereka terima dari Yang Mahakuasa: 14 kalau anak-anak-
nya bertambah banyak mereka menjadi makanan pedang, dan anak cucunya
tidak mendapat cukup makan; 15 siapa yang luput dari padanya, akan turun
ke kubur sebab wabah, dengan tidak ditangisi oleh janda mereka. 16 Jikalau
ia menimbun uang seperti debu banyaknya, dan menumpuk pakaian seperti
tanah liat, 17 sekalipun ia yang menumpuknya, namun orang benar yang
akan memakainya, dan orang yang tidak bersalah yang akan membagi-bagi
uang itu. 18 Ia mendirikan rumahnya seperti sarang laba-laba, seperti gubuk
yang dibuat penjaga. 19 Sebagai orang kaya ia membaringkan diri, namun tidak
dapat ia mengulanginya: saat ia membuka matanya, maka tidak ada lagi
semuanya itu. 20 Kedahsyatan mengejar dia seperti air bah, pada malam hari
ia diterbangkan badai; 21 angin timur mengangkatnya, lalu lenyaplah ia; ia
dilemparkannya dari tempatnya. 22 Dengan tak kenal belas kasihan Allah me-
lempari dia, dengan cepat ia harus melepaskan diri dari kuasa-Nya. 23 Oleh
sebab dia orang bertepuk tangan, dan bersuit-suit sebab dia dari tempat
kediamannya.”
Para sahabat Ayub telah melihat sangat banyak penderitaan dan
kehancuran yang menimpa orang-orang fasik, terutama para penin-
das. Dan Ayub, sementara panasnya perdebatan berlangsung, telah
berbicara banyak dengan sangat yakin, tentang kemakmuran mere-
ka. namun sekarang saat panasnya pertempuran hampir berakhir,
dia bersedia mengakui betapa banyak dia setuju dengan pendapat
para sahabatnya itu, dan di mana letak perbedaan antara pendapat-
nya dan pendapat mereka.
1. Ia sepakat dengan mereka bahwa orang fasik yaitu orang-orang
yang menderita, bahwa Allah pasti akan berurusan dengan para
penindas kejam, dan suatu waktu, dengan suatu cara, keadilan-
Nya akan mengadakan pembalasan terhadap mereka atas semua
penghinaan yang telah mereka lakukan terhadap Allah dan atas
semua kesalahan yang telah mereka perbuat terhadap sesama
mereka. Kebenaran ini sangat dikuatkan dan disepakati bahkan
oleh orang-orang yang marah dalam perdebatan ini. Namun,
2. Dalam hal ini mereka berbeda. Mereka sependapat bahwa hukum-
an yang pantas ini dalam kehidupan sekarang ini dan secara ke-
lihatan ditimpakan ke atas para penindas kejam, sehingga mereka
menggeletar sepanjang hidupnya, sehingga dalam kemakmuran,
mereka didatangi perusak, sehingga mereka takkan menjadi kaya,
dan rantingnyapun tidak akan menghijau, dan sebelum genap ma-
sanya, ajalnya akan sampai (demikian kata Elifas, 15:20-21, 29,
32). Juga, langkahnya yang kuat terhambat, dan kedahsyatan me-
ngejutkan dia di mana-mana (demikian kata Bildad, 18:7, 11). Bah-
wa dia sendiri menelan kekayaan, namun memuntahkannya kem-
bali, dan bahwa dalam kemewahannya yang berlimpah-limpah ia
penuh kuatir, ia ditimpa kesusahan dengan sangat dahsyatnya,
demikian kata Zofar (20:15, 22). Namun demikian, Ayub berpen-
dapat bahwa, dalam banyak kejadian, hukuman tidak menimpa
mereka dengan segera, namun ditangguhkan untuk beberapa wak-
tu. Pembalasan tersebut menghantam dengan perlahan seperti
yang telah ditunjukkannya (ps. 21 dan ps. 24). Sekarang tiba
saatnya Ayub menunjukkan bahwa pembalasan menghantam
dengan pasti dan sangat hebat, dan penangguhan hukuman bu-
kanlah pengampunan.
I. Ayub di sini berusaha untuk menempatkan perkara ini di bawah
terang sejati (ay. 11-12): Aku akan mengajari kamu. Kita tidak se-
harusnya merasa terhina untuk belajar bahkan dari orang-orang
yang sakit dan miskin, bahkan dari orang yang sedang kesal sekali-
pun, jika mereka menyampaikan apa yang benar dan baik. Amati-
lah,
1. Apa yang ingin diajarkannya kepada mereka: “Apa yang dimak-
sudkan oleh Yang Mahakuasa,” yaitu, “putusan hikmat dan
tujuan Allah mengenai orang fasik, yang tersembunyi dalam
diri-Nya, dan yang tidak dapat dengan tergesa-gesa engkau ha-
kimi. Juga aku akan mengajari kamu tentang cara-cara yang
penyelenggaraan-Nya yang biasanya Ia lakukan terhadap me-
reka.” Hal ini, kata Ayub, tidak akan kusembunyikan. Apa yang
tidak disembunyikan Allah dari kita, tidak seharusnya kita
sembunyikan dari orang-orang yang mau untuk diajar. Hal-hal
yang dinyatakan yaitu bagi kita dan bagi anak-anak kita.
2. Bagaimana dia akan mengajar mereka: melalui tangan Allah, ya-
itu, melalui kekuatan dan bantuan-Nya. Orang-orang yang
berusaha untuk mengajar orang lain harus mencari tangan
Allah untuk mengarahkan mereka, untuk membuka telinga
mereka (Yes. 50:4), dan untuk membuka bibir mereka. Orang-
orang yang diajar Allah dengan tangan yang kuat sangat di-
mampukan untuk mengajar orang lain (Yes. 8:11).
3. Mengapa mereka harus belajar hal-hal yang hendak ia ajarkan
kepada mereka (ay. 12). Yaitu, supaya mereka diteguhkan oleh
penyelidikan mereka sendiri. Kamu sekalian telah melihatnya
sendiri (namun apa yang telah kita dengar dan lihat dan ke-
tahui, masih perlu diajarkan, supaya kita menjadi sempurna
di dalam pelajaran kita). Juga, supaya mereka dapat dituntun
untuk menghakimi Ayub dengan benar. “Mengapa kamu berpi-
kir yang tidak-tidak, mengutuki aku sebagai seorang fasik ka-
rena aku tertimpa celaka?” Kebenaran, jika dipahami dan di-
terapkan dengan benar, akan menyembuhkan kita dari kesia-
siaan pikiran yang timbul dari kesalahan kita. Kebenaran yang
secara khusus disampaikan Ayub sekarang di hadapan mere-
ka yaitu bagian orang fasik yang ditentukan oleh Allah, khu-
susnya bagian orang-orang lalim atau penindas (ay. 13). Ban-
dingkan 20:29. Bagian mereka di dalam dunia mungkin ada-
lah kekayaan dan kedudukan, namun bagian mereka dengan
Allah yaitu kehancuran dan kesengsaraan. Mereka ada di
luar kendali kuasa duniawi, bisa saja, namun Yang Mahakuasa
dapat mengendalikan mereka.
II. Ayub menunjukkan bahwa orang fasik, dalam beberapa perkara,
mungkin saja berhasil dan makmur, namun kehancuran mengikuti
mereka. Dan itulah bagian mereka, itulah warisan, milik pusaka
mereka, yang harus mereka terima turun-temurun.
1. Mereka boleh berhasil sampai kepada anak-anak mereka, te-
tapi kehancuran mendatangi mereka. Anak-anaknya mungkin
bertambah banyak (ay. 14) atau makin besar (demikian kata
sebagian orang). Mereka sangat banyak jumlahnya, menjadi
terhormat dan punya harta kekayaan yang besar. Orang-orang
duniawi dikatakan memiliki anak-anak (Mzm. 17:14), dan, se-
perti yang ada di dalam catatan pinggir, anak-anak mereka
menjadi kenyang. Melalui mereka orangtua berharap untuk
hidup dan melalui kedudukan mereka, orangtua dihormati.
namun semakin banyak anak-anak yang mereka tinggalkan,
dan semakin besar kemakmuran yang mereka tinggalkan, se-
makin banyak dan semakin adil mereka meninggalkan panah-
panah penghakiman Allah diarahkan kepada mereka, yaitu
tiga hukuman yang dahsyat, pedang, kelaparan, dan penyakit
sampar (2Sam. 24:13).
(1) Sebagian dari mereka akan mati oleh pedang, mungkin pe-
dang peperangan. Mereka dibesarkan untuk hidup dengan
pedang mereka, seperti Esau (Kej. 27:40), dan mereka yang
berlaku demikian biasanya mati oleh pedang, cepat atau
lambat), atau oleh pedang keadilan sebab kejahatan mere-
ka, atau pedang pembunuh sebab harta kekayaan mereka.
(2) Anak-anak yang lain lagi akan mati sebab kelaparan (ay.
14): Anak-cucunya tidak mendapat cukup makan. Orang
fasik berpikir telah menjamin anak-anak mereka dengan
harta kekayaan yang berlimpah, namun mereka bisa dibuat
menjadi miskin, sampai tidak memiliki dukungan hidup se-
hari-hari yang diperlukan, setidak-tidaknya tidak dapat
hidup dengan nyaman. Mereka menjadi sedemikian keku-
rangan sehingga tidak akan memiliki makanan yang cukup.
Mereka menjadi begitu serakah atau begitu tidak puas,
sehingga apa pun yang mereka miliki tidak akan memuas-
kan mereka, sebab tidak begitu banyak atau tidak begitu
enak seperti yang biasa mereka makan. Kamu makan namun
tidak sampai kenyang (Hag. 1:6).
(3) Anak-anak lain yang terluput akan turun ke kubur, yaitu,
akan mati sebab wabah, yang disebut Maut (Why. 6:8),
dan dikuburkan secara khusus dan dengan tergesa-gesa,
segera sesudah mati, tanpa upacara apa pun, dikubur se-
cara penguburan keledai. Dan bahkan dengan tidak di-
tangisi oleh janda mereka, sebab tidak ada kesempatan
untuk itu. Atau hal itu menunjukkan, bahwa orang-orang
fasik ini, sebab mereka hidup sembarangan, saat mati
pun tidak ditangisi, bahkan janda-janda mereka akan me-
rasa bahagia sebab terbebas dari suaminya yang fasik.
2. Mereka bisa saja berhasil dalam harta kekayaan, namun kehan-
curan menyertai hartanya juga (ay. 16-18).
(1) Mereka bisa saja kaya dalam hal uang dan makanan, da-
lam hal pakaian dan perabot. Mereka menimbun uang se-
perti debu banyaknya, dan menumpuk pakaian seperti ta-
nah liat. Mereka menimbun pakaian di sekeliling mereka,
sebanyak tumpukan tanah liat. Atau hal itu menyiratkan
bahwa mereka memiliki begitu banyak pakaian sehingga
pakaian-pakaian tersebut bahkan menjadi suatu beban
bagi mereka. Mereka memuati dirinya dengan barang gadai-
an (Hab. 2:6). Lihatlah seperti apa perhatian dan urusan
orang-orang duniawi, yaitu menimbun kekayaan duniawi.
Kelimpahan mungkin bertambah sampai emas dan perak
berkarat dan pakaian dimakan ngengat (Yak. 5:2-3). Na-
mun apa hasilnya? Ia tidak akan pernah menjadi lebih
baik. Kematian akan melucutinya, kematian akan meram-
pasnya, cepat atau lambat (Luk. 12:20). Bahkan, Allah te-
lah menetapkannya bahwa orang benar yang akan mema-
kainya, dan orang yang tidak bersalah yang akan membagi-
bagi uang itu.
[1] Mereka akan memilikinya dan membaginya di antara
mereka. Dengan satu atau lain cara Penyelenggaraan
ilahi telah menetapkannya demikian sehingga orang
yang baik akan mendapatkan dengan benar kekayaan
yang didapatkan orang fasik dengan cara tidak benar.
Kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar (Ams.
13:22). Allah membuang kekayaan manusia sesuka hati-
Nya dan sering membuat kehendak mereka bertentangan
dengan kehendak diri mereka sendiri. Orang benar, yang
dibenci dan dianiaya orang fasik, akan menguasai semua
jerih payahnya dan pada waktunya mendapat kembali
dengan keuntungan semua yang dahulu dirampas dari-
padanya. Perhiasan Mesir yaitu upah orang Israel.
Salomo mengamati (Pkh. 2:26) bahwa Allah membuat
orang berdosa membanting tulang bagi orang benar. Se-
bab orang berdosa diberikan tugas untuk mengumpulkan
dan menimbun untuk diberikan kepada orang yang di
hadapan Allah.
[2] Orang benar akan melakukan kebaikan dengan harta
orang fasik. Orang yang tidak bersalah tidak akan me-
ngumpulkan perak seperti yang dilakukan orang fasik,
melainkan akan membaginya di antara orang miskin,
akan memberikan bahagian kepada tujuh, bahkan ke-
pada delapan orang, yang sama dengan menimbun yang
terbaik bagi keamanan dan keselamatan mereka. Uang
yaitu seperti pupuk, tidak akan ada gunanya jika
tidak disebar. Pada waktu Allah memperkaya orang be-
nar, mereka harus ingat bahwa mereka hanyalah para
pelayan-Nya dan harus memberikan pertanggungjawab-
an kepada-Nya. Orang fasik membawa kutukan kepada
keluarga mereka dengan apa yang mereka peroleh secara
tidak benar, sedangkan orang benar membawa berkat
bagi keluarga mereka dengan memanfaatkan dengan be-
nar apa yang diperoleh orang fasik itu. Orang yang mem-
perbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, me-
ngumpulkan itu untuk orang-orang yang mempunyai be-
las kasihan kepada orang-orang lemah (Ams. 28:8).
(2) Orang fasik bisa saja membangun rumah-rumah yang ko-
koh dan megah. Namun rumah-rumah mereka seperti ru-
mah yang dibuat oleh ngengat di pakaian lama, yang dari-
nya ia akan dikebas keluar (ay. 18, KJV). Ia merasa sangat
aman di dalamnya, seperti sebuah ngengat, dan tidak me-
nyadari bahaya. Namun rasa amannya hanya akan berlang-
sung sebentar saja seperti sebuah gubuk yang dibuat pen-
jaga, yang akan segera diruntuhkan dan lenyap dan tempat-
nya tidak akan mengenalnya lagi.
3. Kehancuran mendatangi orang-orang mereka, kendati mereka
hidup lama dengan sehat dan damai (ay. 19): orang kaya mem-
baringkan diri untuk tidur, menenangkan diri dalam kelim-
pahan hartanya (Jiwaku beristirahatlah), berbaring di dalam-
nya sebagai bentengnya yang kuat, dan tampak bagi orang lain
sangat bahagia dan nyaman. namun tidak dapat ia mengulangi-
nya lagi, yaitu, tidak dapat memiliki pikiran yang tenang, dan
menetap, dan berkumpul, untuk menikmati kekayaannya. Ia
tidak dapat tidur dengan nyenyak seperti yang disangka orang.
Ia berbaring, namun kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak
membiarkan dia tidur, paling tidak, tidak begitu enak seperti
orang yang bekerja (Pkh. 5:11). Ia berbaring, namun terus
berbalik ke kanan ke kiri sampai fajar hari, dan saat ia mem-
buka matanya, maka tidak ada lagi semuanya itu. Ia melihat
dirinya, dan semua yang dimilikinya, bergegas pergi, seolah-
olah, dalam sekejap mata. Kekhawatirannya meningkatkan ke-
takutannya, dan keduanya membuatnya tidak tenang, sehingga,
kalau kita menghampirinya di ranjang tidurnya, kita tidak
mendapatinya bahagia. Dan, pada akhirnya, kita dipanggil
untuk mengantar kepergiannya, dan melihat betapa mengenas-
kan dia dalam kematian dan sesudah kematian.
(1) Ia mati secara mengenaskan. Kematian baginya yaitu raja
segala kengerian (ay. 20-21). saat suatu penyakit mema-
tikan menimpanya, betapa ketakutannya dia! Kedahsyatan
mengejar dia seperti air bah, seakan-akan dia dikelilingi
oleh ombak yang bergelora. Ia gemetar saat berpikir seben-
tar lagi meninggalkan dunia ini, dan banyak lagi tentang me-
ninggalkan yang lain. Hal ini mencampur banyak kesusahan,
penderitaan dan kekesalan, sebagaimana yang diamati oleh
Salomo (Pkh. 5:16). Kengerian ini mengakibatkan dia,
[1] Merasa putus asa dalam kesunyian dan kemurungan.
Lalu badai murka Allah, badai kematian, dapat dikata-
kan meniup dan menyeret dia pergi, saat tak seorang
pun sadar atau memperhatikannya. Atau,
[2] Merasa putus asa sampai kehilangan akal. Ia dikatakan
diangkat, dan bergegas dari tempatnya seperti badai,
dan dengan angin timur yang kencang dan keras, serta
mematikan. Kematian, bagi seorang yang benar, yaitu
seperti angin sepoi-sepoi yang membawanya ke negeri
sorgawi, namun , bagi orang fasik, kematian yaitu se-
perti sebuah angin timur, sebuah badai, yang meng-
hempaskannya dengan terburu-buru dalam kebingung-
an dan keheranan menuju kehancuran.
(2) Ia menderita sengsara setelah kematian.
[1] Jiwanya jatuh di bawah amarah Allah yang adil, dan hal
itulah yang membuatnya gemetar menjelang kematian
(ay. 22): Dengan tak kenal belas kasihan Allah melem-
pari dia. Selama dia hidup dia telah mendapatkan belas
kasihan supaya ia bertobat. namun sekarang hari kesa-
baran Allah telah berakhir, dan Ia tidak akan menya-
yangkan lagi, melainkan menumpahkan ke atasnya se-
luruh cawan murka-Nya. Apa yang dilemparkan Allah
ke atas manusia, tidak ada yang dapat luput darinya
atau bertahan di bawahnya. Kita membaca tentang
Allah melempari batu-batu besar dari langit ke atas
orang-orang Kanaan (Yos. 10:11), yang melaksanakan
hukuman mengerikan di antara mereka. Dan apa jadi-
nya saat Ia melemparkan kemarahan-Nya sepenuh-
penuhnya ke atas hati nurani orang-orang berdosa,
seperti tutup timah gantang? (Zak. 5:7-8). Orang berdosa
yang terkutuk, saat melihat murka Allah menerobos
masuk kepadanya, akan mati-matian melarikan diri
dari tangan-Nya. namun ia tidak berhasil: pintu-pintu
gerbang neraka terkunci dan terpalang, dan jurang pe-
misah yang luar biasa lebar menganga, dan sia-sialah
untuk mengharapkan perlindungan dari batu dan gu-
nung. Barang siapa yang tidak mau dibujuk untuk ter-
bang ke lengan tangan anugerah ilahi, yang terulurkan
untuk menerima mereka, tidak akan sanggup lari dari
tangan murka Allah, yang dengan segera akan terulur
untuk membinasakan mereka.
[2] Ingatan orang fasik jatuh di bawah kemarahan yang adil
dari seluruh umat manusia (ay. 23): Oleh sebab dia
orang bertepuk tangan, yaitu, mereka akan bersuka di
dalam pengadilan Allah, yang olehnya dia dibinasakan.
Mereka senang dengan kejatuhannya. Bila orang fasik
binasa, gemuruhlah sorak-sorai (Ams. 11:10). saat Allah
menguburnya, manusia akan mendesis untuk mengusir-
nya keluar dari tempatnya, dan meninggalkan tanda hina
pada namanya untuk selamanya. Di tempat yang sama
di mana ia pernah dibelai dan disanjung, di sana pula ia
akan ditertawakan (Mzm. 52:8) dan abunya akan diin-
jak-injak.
PASAL 28
si tuturan pasal ini mengandung warna yang sangat berbeda de-
ngan semua pasal lain dalam kitab ini. Ayub melupakan kepedihan
dan seluruh kesedihannya, berbicara bagaikan seorang filsuf atau
seniman musik brilian. Dalam tuturan pasal ini terlihat sejumlah
besar falsafah tentang alam maupun moral. Namun, pertanyaannya
yaitu , bagaimana semua pemikiran ini dimasukkan di sini? Tidak
perlu diragukan lagi bahwa tujuannya bukan sekadar sebagai hibur-
an, atau pengalihan dari perdebatan. Kalaupun memang demikian
tujuannya, tidak ada salahnya juga. saat perbantahan semakin
memanas, ada baiknya kita kehilangan pokok debatnya daripada
kehilangan kendali atas amarah kita. Akan namun , semua pemikiran
ini memang masih berkaitan dengan pokok masalah yang diperdebat-
kan. Selama ini Ayub dan sahabat-sahabatnya sedang memperbin-
cangkan tentang dispensasi Penyelenggaraan Allah terhadap orang
fasik dan benar. Ayub telah menunjukkan bahwa sebagian orang
fasik hidup dan mati dalam kemakmuran, sementara sebagian yang
lain terkena penghukuman Allah secara terang-terangan di masa hi-
dupnya sekarang. Namun, bila ada yang menanyakan alasan
mengapa beberapa orang dihukum di dunia ini sedangkan yang lain
tidak, mereka harus diberi tahu bahwa ini yaitu pertanyaan yang
tidak dapat dijawab. Pengetahuan tentang alasan perihal keadaan
dalam pemerintahan Allah di dunia dirahasiakan dari kita, dan
janganlah kita berlagak tahu tentang hal itu atau berupaya meraih-
nya. Zofar berharap Allah akan menunjukkan “rahasia hikmat”
kepada Ayub (11:6). “Tidak,” kata Ayub, “rahasia bukanlah milik kita,
milik kita hanyalah hal-hal yang dinyatakan (Ul. 29:29). Dan dalam
pasal ini ia menunjukkan,
I
I. Perihal kekayaan duniawi, betapa hal itu sangat dicari-cari
dan dikejar anak-anak manusia, betapa dengan susah payah
mereka melakukannya, betapa dengan segala daya upaya,
dan betapa dengan penuh bahaya mereka mendapatkannya
(ay. 1-11).
II. Perihal hikmat (ay. 12). Secara umum, harganya sangatlah
mahal dan tidak terhitung nilainya (ay. 15-19). Tempatnya
sangat dirahasiakan (ay. 14, 20, 22). Khususnya terdapat
hikmat yang tersembunyi di dalam Allah (ay. 23-27), dan ter-
dapat juga hikmat yang dibukakan kepada anak-anak manu-
sia (ay. 28). Pertanyaan kita tentang yang pertama haruslah
dicela, sedangkan tentang yang belakangan justru dianjur-
kan, sebab itulah yang merupakan urusan kita.
Luasnya Penemuan Manusia
(28:1-13)
1 “Memang ada tempat orang menambang perak dan tempat orang melim-
bang emas; 2 besi digali dari dalam tanah, dan dari batu dilelehkan tembaga.
3 Orang menyudahi kegelapan, dan batu diselidikinya sampai sedalam-
dalamnya, di dalam kekelaman dan kelam pekat. 4 Orang menggali tambang
jauh dari tempat kediaman manusia, mereka dilupakan oleh orang-orang
yang berjalan di atas, mereka melayang-layang jauh dari manusia. 5 Tanah
yang menghasilkan pangan, di bawahnya dibongkar-bangkir seperti oleh api.
6 Batunya yaitu tempat menemukan lazurit yang mengandung emas urai.
7 Jalan ke sana tidak dikenal seekor burung buaspun, dan mata elang tidak
melihatnya; 8 binatang yang ganas tidak menginjakkan kakinya di sana dan
singa tidak melangkah melaluinya. 9 Manusia melekatkan tangannya pada
batu yang keras, ia membongkar-bangkir gunung-gunung sampai pada akar-
akarnya; 10 di dalam gunung batu ia menggali terowongan, dan matanya
melihat segala sesuatu yang berharga; 11 air sungai yang merembes diben-
dungnya, dan apa yang tersembunyi dibawanya ke tempat terang. 12 namun di
mana hikmat dapat diperoleh, di mana tempat akal budi? 13 Jalan ke sana
tidak diketahui manusia, dan tidak didapati di negeri orang hidup.
Dalam perikop ini Ayub menunjukkan,
1. Betapa jauh akal manusia dapat menyelami kedalaman alam dan
menyambar kekayaan yang ada di dalamnya. Betapa banyak pe-
ngetahuan dan kekayaan yang bisa diraih manusia melalui pen-
carian yang mereka lakukan dengan rajin dan cerdik. Namun,
apakah manusia dengan akal mereka lalu bisa memahami alasan
mengapa beberapa orang fasik makmur dan yang lain dihukum,
mengapa beberapa orang baik makmur sedangkan yang lain men-
derita? Tidak, sama sekali tidak. Lubang-lubang besar dan gelap
di bumi mungkin saja ditemukan, namun tidak demikian halnya
dengan putusan hikmat sorga.
2. Betapa dengan sangat susah payah orang-orang duniawi mencari
kekayaan. Ayub telah memperhatikan orang-orang fasik (27:16)
yang menimbun uang seperti debu banyaknya. Sekarang ia me-
nunjukkan di sini dari mana datangnya perak yang begitu disukai
itu, dan bagaimana memperolehnya. Tujuannya yaitu untuk
memperlihatkan betapa kecil alasan yang dimiliki orang kaya
untuk membangga-banggakan kekayaan dan kebesaran mereka.
Amatilah di sini,
I. Kekayaan dunia ini tersembunyi di dalam tanah. Dari sanalah
perak dan emas, yang di kemudian hari mereka murnikan, di-
ambil (ay. 1). Di sanalah logam mulia itu berbaur dengan tanah
dan segala kotoran, yang tampaknya tidak berharga, dan bernilai
tidak lebih dari tanah biasa. Sangat banyak dari gumpalan tanah
dan kotoran itu yang teronggok dan diabaikan, sampai tanah dan
segala isinya dibakar. Di dalam puisinya berjudul Avarice (Gila
Harta) Tuan Herbert mengemukakan hal ini guna mendatangkan
rasa malu kepada manusia supaya tidak cinta akan uang:
Wahai uang, kutuk kenikmatan, sumber petaka,
Dari mana asalmu, hingga tampak begitu menawan?
Aku tahu asal-usulmu rendah dan nista,
Manusia menemukanmu di tambang kotor dan hina.
Dukunganmu tentulah tidak berarti,
Bagi kerajaan agung yang kau tempati.
Ia begitu rindu, di saat kau miskin dan papa,
Ia menggalimu dari kegelapan lubang dan gua.
Manusia menyebutmu hartanya yang membuat kaya,
Dan sementara menggalimu terjatuh ke dalam lubang.
Besi dan tembaga, logam-logam yang tidak begitu berharga
namun lebih berguna, digali dari dalam tanah (ay. 2), dan ditemu-
kan dalam jumlah sangat besar. Hal ini memang menurunkan
nilainya, namun membawa manfaat besar bagi manusia yang lebih
baik tidak memiliki emas daripada besi. Bahkan lebih dari itu,
tanah yang menghasilkan pangan, yaitu gandum, penopang kehi-
dupan yang diperlukan manusia (ay. 5). Dari sanalah diambil
bahan untuk memelihara kehidupan manusia, untuk mengingat-
kannya kepada asal-usulnya. Ia berasal dari tanah, dan akan se-
gera kembali ke tanah juga. Di bawahnya dibongkar-bangk