ak dapat mengusik kedamaian dan ketenangan-Nya,
tidak dapat mengalahkan rencana dan rancangan-Nya,
tidak pula dapat merampas kemuliaan-Nya yang hakiki.
Oleh sebab itu, perkataan Ayub “Apakah gunanya bagi-
ku jika aku bersih dari dosa? (ay. 3, KJV)” yaitu pema-
haman yang keliru. Allah tidak mendapat keuntungan
apa pun dari pertobatan Ayub. Dan, siapa yang diun-
tungkan lagi kalau bukan dirinya sendiri?
[2] Segala ibadah orang kudus yang paling saleh tidak
menguntungkan Dia (ay. 7). “Jikalau engkau benar, apa-
kah yang kauberikan kepada Dia?” Allah tidak membu-
tuhkan jasa kita. Kalau Dia ingin mengerjakan sesuatu,
Dia bisa melakukannya tanpa kita. Kesalehan kita tidak
menambah kebahagiaan-Nya sama sekali. Dia tidak ber-
utang budi sedikit pun kepada kita, justru kita yang
berutang budi kepada-Nya sebab Dia menjadikan kita
orang benar dan Dia menerima kebenaran kita. Oleh
sebab itu, kita tidak dapat menuntut apa pun dari-Nya,
dan tiada alasan bagi kita untuk mengeluh bila tidak
mendapatkan apa yang kita harapkan. Yang bisa kita
lakukan hanyalah bersyukur sebab memperoleh yang
lebih baik daripada apa yang pantas bagi kita.
Tutur Kata Elihu
(35:9-13)
9 Orang menjerit oleh sebab banyaknya penindasan, berteriak minta tolong
oleh sebab kekerasan orang-orang yang berkuasa; 10 namun orang tidak ber-
tanya: Di mana Allah, yang membuat aku, dan yang memberi nyanyian puji-
an di waktu malam; 11 yang memberi kita akal budi melebihi binatang di bumi,
dan hikmat melebihi burung di udara? 12 saat itu orang menjerit, namun Ia
tidak menjawab, oleh sebab kecongkakan orang-orang jahat. 13 Sungguh,
teriakan yang kosong tidak didengar Allah dan tidak dihiraukan oleh Yang
Mahakuasa.
Ayat-ayat di atas yaitu jawaban Elihu terhadap salah satu ucapan
Ayub lainnya, yang menurut Elihu, menyindir keadilan dan kebaikan
Allah, sehingga tidak boleh berlalu begitu saja tanpa ditanggapi.
I. Yang dikeluhkan Ayub ialah bahwa Allah tidak memperhatikan
jeritan orang tertindas mengenai penindas mereka (ay. 9): “Orang
menjerit oleh sebab banyaknya penindasan, banyaknya kesukar-
an yang ditimpakan oleh para penguasa lalim atas orang miskin,
serta perlakuan biadab terhadap mereka. Namun, jeritan itu sia-
sia saja. Allah tidak tampil untuk membela mereka. Mereka ber-
teriak, mereka terus berseru oleh sebab kekerasan orang-orang
yang berkuasa yang menindih mereka dengan beratnya.” Kata-
kata ini tampaknya merujuk kepada ucapan Ayub dalam pasal
24:12, “Dari dalam kota terdengar rintihan orang-orang yang ham-
pir mati dan jeritan orang-orang yang menderita luka sebab para
penindas, namun Allah tidak mengindahkan doa mereka, Dia tidak
mengadakan perhitungan dengan mereka atas hal tersebut.” Ayub
tidak tahu bagaimana harus menyikapi keadaan itu, atau me-
nyelaraskan keadilan Allah dengan pemerintahan-Nya. Adakah
Allah yang adil, dan mungkinkah Dia begitu lambat mendengar,
begitu lambat melihat?
II. Cara Elihu memecahkan persoalan pelik tersebut. Kalau jeritan
orang tertindas tidak didengar, kesalahan bukan terletak pada
Allah. Dia selalu siap mendengar dan menolong mereka. Kesalah-
annya terletak pada manusia itu sendiri. Kamu berdoa juga, namun
kamu tidak menerima apa-apa, sebab kamu salah berdoa (Yak.
4:3). Mereka berteriak minta tolong oleh sebab kekerasan orang-
orang yang berkuasa, namun teriakan itu berupa gerutuan, keluh
kesah, bukan teriakan doa pertobatan. Teriakan mereka yaitu
jeritan manusiawi yang lahir dari kegeraman, bukan dari anu-
gerah. Bacalah Hosea 7:14, “Seruan mereka kepada-Ku tidak ke-
luar dari hatinya, namun mereka meratap di pembaringan mereka.”
Kalau demikian, mana mungkin kita berharap mereka akan
dijawab dan dilepaskan?
1. Di tengah penderitaan, mereka tidak mencari Allah dan tidak
berusaha mengenal Dia (ay. 10), “namun orang tidak bertanya:
Di mana Allah, yang membuat aku?” Kesusahan diberikan
guna mengarahkan dan menggiatkan kita untuk berbalik dan
mengingini Allah (Mzm. 78:34). Namun, banyak orang yang
mengerang di bawah penindasan justru tidak mengindahkan
Allah, mereka tidak menyadari keberadaan tangan-Nya dalam
kesukaran mereka. Seandainya mereka mencari Allah, mereka
akan dapat menanggung persoalan itu dengan lebih sabar
serta mendapatkan lebih banyak berkat darinya. Di antara
banyak orang yang menderita dan tertindas, hanya sedikit
yang mendapatkan manfaat baik dari penderitaan tersebut.
Kesesakan seharusnya mengarahkan manusia kepada Allah,
namun jarang sekali hal itu terjadi! Sangat disayangkan, sedikit
sekali orang miskin dan menderita yang beriman. Setiap orang
bersungut-sungut sebab persoalannya, namun tidak seorang
pun bertanya: Di mana Allah, yang membuat aku? (ay. 10, KJV).
Artinya, tidak ada yang bertobat dari dosa-dosanya, tidak ada
yang berbalik kepada Dia yang menghajar mereka, tidak ada
yang mencari wajah Allah dan perkenanan-Nya serta peng-
hiburan di dalam Dia yang dapat melipur kesengsaraan mere-
ka. Mereka sepenuhnya tenggelam dalam parahnya keadaan,
seakan-akan situasi tersebut menjadi alasan agar mereka
boleh hidup tanpa Allah di dunia yang semestinya membuat
orang melekat semakin erat kepada-Nya. Perhatikanlah,
(1) Allah yaitu Pencipta kita, Dialah empunya keberadaan
kita. Dengan pemikiran tersebut, kita harus menghormati
dan mengingat Dia (Pkh. 12:1). Sebagian penafsir menulis-
kan “Allah, yang membuat aku,” dengan bentuk jamak,
yang menyiratkan tentang Trinitas, yaitu adanya tiga Pri-
badi dalam satu kesatuan Ke-Allah-an. “Baiklah kita men-
jadikan manusia.”
(2) sebab Allah yaitu pencipta kita, maka kita wajib men-
cari-Nya. Di manakah Dia, supaya kami dapat berbakti ke-
pada-Nya serta mengakui kebergantungan dan tanggung
jawab kami kepada Dia? Di manakah Dia, supaya kami
dapat meminta pemeliharaan dan perlindungan-Nya, mene-
rima hukum dari-Nya, dan mencari kebahagiaan kami da-
lam perkenanan Dia yang kuasanya menjadikan kami ada?
(3) Sangat disayangkan bahwa anak-anak manusia begitu ja-
rang mencari-Nya. Semua orang bertanya, “Di manakah ke-
senangan? Di mana kekayaan? Di mana bisnis yang ba-
gus?” namun , tiada seorang pun bertanya, “Di mana Allah,
yang membuat aku?”
2. Di tengah penderitaan, mereka tidak menyadari belas kasihan
yang mereka nikmati dan tidak pula bersyukur atasnya. Oleh
sebab itu, janganlah berharap Allah harus melepaskan mere-
ka dari kesusahan.
(1) Dia menyediakan penghiburan dan sukacita batiniah di
tengah kesukaran jasmani. Kita harus memanfaatkan hal
tersebut dan menunggu persoalan kita disingkirkan pada
waktu-Nya. Dia memberi nyanyian pujian di waktu malam.
Artinya, sewaktu keadaan kita begitu gelap, menyedihkan,
dan sendu, ada topangan sekaligus sukacita dan peng-
hiburan bagi kita di dalam Allah, dalam penyelenggaraan
serta janji-Nya yang cukup. Semua itu memampukan kita
untuk bersyukur dalam segala hal, bahkan bersukacita di
tengah kesengsaraan. Bila kita hanya memperhatikan ke-
sukaran kita dan mengabaikan penghiburan dari Allah
yang sudah tersedia bagi kita, maka wajarlah jika Allah me-
nolak doa-doa kita.
(2) Allah memberi kita akal budi dan pengertian untuk dipakai
(ay. 11): Allah yang memberi kita akal budi melebihi binatang
di bumi. Artinya, Dia menganugerahi kita dengan daya dan
kemampuan nalar yang lebih tinggi daripada yang diberikan
kepada binatang. Dia juga memampukan kita untuk menik-
mati kesenangan dan pekerjaan yang lebih mulia, sekarang
dan selamanya. Nah dengan pemberian-Nya ini,
[1] Beralasan bagi kita untuk mengucap syukur di tengah
beban penderitaan terberat sekalipun. Apa pun yang
dirampas dari kita, kita tetap memiliki jiwa yang kekal,
permata yang jauh lebih berharga daripada seluruh
dunia. Yang bisa membunuh tubuh pun tidak bisa
menjamah jiwa kita. Jadi, bila kesusahan kita tidak
merusak kemampuan jiwa mereka, dan kita masih
dapat menikmati fungsi akal budi serta ketenteraman
hati nurani, kita punya banyak alasan lagi untuk ber-
syukur, tidak peduli seberapa pun beratnya malapetaka
yang menimpa kita.
[2] Beralasan bagi kita untuk mencari Allah dan menanya-
kan Allah Pencipta kita di tengah penderitaan. Keung-
gulan tertinggi dari akal budi ialah bahwa ia membuat
kita dapat beragama, dan itulah yang khususnya mem-
buat kita melebihi binatang di bumi, dan burung di
udara. Biantang-binatang itu memiliki naluri dan kecer-
dasan untuk mencari makanan, obat-obatan, dan tem-
pat berteduh. namun , tidak satu pun dari mereka yang
mampu bertanya dan mencari, “Di mana Allah, yang
membuat aku?” Hal-hal mengenai logika, filsafat dan
cara hidup sudah diamati di antara binatang-binatang
yang tidak berakal, namun tidak pernah diamati tentang
keilahian atau agama di antara binatang-binatang. Hal-
hal ini hanya ada pada manusia. Oleh sebab itu, jika
orang tertindas hanya berteriak minta tolong oleh sebab
kekerasan orang-orang yang berkuasa berdasarkan akal
budi semata, dan tidak mencari Allah, maka seruan me-
reka tidak lebih daripada yang dilakukan binatang-
binatang sebab binatang mengeluh saat sakit. Me-
reka melupakan pengajaran dan hikmat yang membuat
mereka jauh melampaui binatang. Allah menolong bina-
tang sebab mereka berseru kepada-Nya dengan kemam-
puan tertinggi yang ada pada mereka (39:3; Mzm.
104:21). Namun, atas dasar apa manusia mengharap-
kan kelegaan, bila mereka berteriak kepada Allah tak
ubahnya seperti binatang, padahal mereka mampu me-
nanyakan dan mencari Allah yang membuat mereka?
3. Di tengah penderitaan, mereka tetap congkak dan angkuh,
padahal penderitaan diberikan untuk merendahkan dan men-
jauhkan mereka dari kesombongan (ay. 12). saat itu orang
menjerit, namun Ia tidak menjawab (KJV: namun tidak seorang pun
menjawab). Mereka berseru-seru melawan para penindas dan
memenuhi telinga orang-orang di sekeliling mereka dengan
keluh kesah, namun mereka tidak meluangkan waktu untuk
merenungkan tentang Allah dan penyelenggaraan-Nya. Allah
tidak menyelamatkan mereka, dan barang kali orang lain juga
tidak terlalu menghiraukan mereka. Mengapa? Oleh sebab ke-
congkakan orang-orang jahat. Mereka itu orang jahat, mereka
merancang niat jahat dalam hati, dan itu sebabnya Allah tidak
mau mendengar doa mereka (Mzm. 66:18; Yes. 1:15). Allah
tidak mendengarkan orang-orang berdosa. Persoalan mereka
mungkin juga disebabkan oleh kejahatan mereka sendiri. Me-
reka menyusahkan diri sendiri, lantas siapa yang bisa menga-
sihani mereka? Namun, bukan itu saja. Mereka juga masih
tetap congkak, sebab itulah mereka tidak mencari Allah (Mzm.
10:4). Atau, kalaupun mereka berseru kepada-Nya, Dia tidak
menjawab oleh sebab kecongkakan mereka, sebab Dia hanya
mendengarkan keinginan orang-orang yang tertindas (Mzm.
10:17, KJV: orang-orang yang rendah hati.). Dengan penyeleng-
garaan-Nya, Dia hanya membebaskan orang yang telah diper-
siapkan-Nya oleh anugerah dan dilayakkan-Nya untuk dise-
lamatkan. Kalau hati kita tetap congkak di tengah kesesakan
dan keangkuhan kita belum ditundukkan, berarti kita tidak
termasuk di antara orang yang dilayakkan itu. Jadi, kini
jelaslah bahwa jika kita berseru kepada Allah meminta kele-
pasan dari penindasan dan penderitaan, namun semua itu tidak
juga terjadi, alasannya bukan sebab tangan Tuhan terlalu
pendek atau telinga-Nya berat mendengar, namun sebab pen-
deritaan itu belum mencapai maksudnya. Kita belum cukup
belajar rendah hati dan sebab itu merupakan kesalahan kita
sendiri jika penderitaan itu terus berlanjut.
4. Permohonan mereka kepada Allah tidak tulus dan jujur, kare-
na itulah Dia tidak mendengar dan menjawab mereka (ay. 13).
Sungguh, teriakan yang kosong tidak didengar Allah. Teriakan
kosong artinya doa yang munafik, yaitu doa yang sia-sia,
keluar dari bibir yang dibuat-buat. Percuma saja berpikir bah-
wa Allah pasti mendengarnya, sebab Dia menyelidiki hati dan
menghendaki kebenaran dalam batin.
Tutur Kata Elihu
(35:14-16)
14 Lebih-lebih lagi kalau engkau berkata, bahwa engkau tidak melihat Dia,
bahwa perkaramu sudah diadukan kehadapan-Nya, namun masih juga eng-
kau menanti-nantikan Dia! 15 namun sekarang: sebab murka-Nya tidak
menghukum dan Ia tidak terlalu mempedulikan pelanggaran, 16 maka Ayub
berbesar mulut dengan sia-sia, banyak bicara tanpa pengertian.”
Ayat-ayat di atas berisi,
I. Kesalahan lain dalam ucapan Ayub yang ditegur Elihu (ay. 14),
“Lebih-lebih lagi kalau engkau berkata, bahwa engkau tidak meli-
hat Dia,” artinya,
1. “Engkau mengeluh tidak dapat memahami arti perlakuan-Nya
yang keras terhadapmu, juga maksud serta tujuannya” (23:8-9).
2. “Engkau putus asa menantikan kembalinya kemurahan Allah
kepadamu dan datangnya hari-hari baik lagi, sehingga engkau
hendak menyerah sama sekali.” Seperti kata Raja Hizkia (Yes.
38:11), “Aku tidak akan melihat TUHAN lagi.” Di tengah kelim-
pahan, biasanya kita berpikir bahwa kita akan tetap jaya.
Demikian juga di tengah kesesakan, kita berpikir bahwa kita
akan tetap terpuruk. Namun, dalam keadaan apa pun, yaitu
bodoh bila kita beranggapan bahwa besok akan sama seperti
hari ini, sama bodohnya seperti berpikir bahwa cuaca akan
selalu baik atau selalu buruk, gelombang pasang akan selalu
pasang, atau gelombang surut akan selalu surut.
II. Jawaban Elihu terhadap keputusasaan yang dituturkan Ayub, yaitu,
1. Saat ia memandang kepada Allah, tidak ada alasan yang benar
baginya untuk berputus asa sedemikian, sebab “penghakiman
ada di hadapan-Nya.” Artinya, “Allah tahu apa yang harus Dia
perbuat dan Dia akan melaksanakan segalanya dengan hikmat
dan keadilan yang tak terbatas. Dia memegang seluruh ran-
cangan dan cara penyelenggaraan dan tahu apa yang hendak
dilakukan-Nya. Kita tidak tahu, sehingga kita tidak mengerti
apa yang diperbuat Allah. Suatu hari kelak akan ada di hadap-
an-Nya hari penghakiman, dan saat itulah segala pengaturan
dunia yang tampaknya kacau akan dijelaskan dan bagian-
bagian tersembunyi akan diterangkan. Pada waktu itu engkau
akan melihat makna utuh dari segala peristiwa suram ini serta
akhir dari pengalaman yang menyesakkan ini, maka engkau
akan memandang wajah-Nya dengan sukacita. Oleh sebab itu,
percayalah kepada-Nya, bersandarlah kepada-Nya, nantikan-
lah Dia, dan yakinlah bahwa perkara ini akan berakhir baik.”
Bila kita mengingat bahwa Allah itu tidak terbatas hikmat-Nya,
kebenaran-Nya, kesetiaan-Nya, dan bahwa Dialah Allah yang
adil (Yes. 30:18), maka tiada alasan untuk berputus asa meng-
harapkan kelegaan dari-Nya. Yang ada hanyalah alasan untuk
berpengharapan dalam Dia bahwa kelegaan itu akan datang
pada waktunya, waktu yang terbaik.
2. Kalau Ayub belum juga melihat akhir dari masalahnya, itu
sebab dia tidak percaya dan menantikan Allah (ay. 15, KJV).
“sebab engkau tidak percaya kepada-Nya oleh sebab persoal-
an ini, maka penderitaan yang mula-mula datang sebab kasih
kini bercampur dengan kekesalan. Kini Allah datang dengan
murka, sebab hatimu tidak dapat mempercayai Dia, malah me-
mikirkan anggapan-anggapan keliru tentang-Nya.” Jika di
dalam kesusahan kita terkandung murka ilahi, itu sebab ke-
salahan kita sendiri, sebab kita tidak menyikapi kesusahan itu
dengan benar. Kita berbantah dengan Allah, kita bersungut-
sungut, tidak sabar, dan tidak percaya kepada Penyelenggara-
an ilahi. Inilah yang terjadi pada Ayub. Kebodohan menyesat-
kan jalan orang, lalu gusarlah hatinya terhadap Tuhan (Ams.
19:3). Elihu beranggapan bahwa Ayub tidak mengetahui dan
merenungkan hal tersebut sebagaimana mestinya di tengah
penderitaan. Dia belum juga diselamatkan sebab kesalahan-
nya sendiri. Oleh sebab itu, Elihu menyimpulkan bahwa Ayub
berbesar mulut dengan sia-sia (ay. 16) saat mengeluhkan keti-
dakadilan yang dialaminya dan dalam meminta keadilan. Ia
berbesar mulut saja dalam membenarkan diri dan membukti-
kan dirinya tidak bersalah. Semua itu sia-sia, sebab ia tidak
percaya kepada Allah dan menantikan Dia. Ia tidak menghor-
mati Allah dengan sepatutnya di tengah penderitaannya. Dia
banyak bicara, namun tanpa pengertian. Semuanya percuma,
sebab Ayub tidak menguatkan diri di dalam Allah dan meren-
dahkan diri di hadapan-Nya. Sia-sia saja kita memohon kepa-
da Allah atau membuktikan kebenaran diri, bila kita tidak
berusaha memenuhi tujuan dari penderitaan yang ditimpakan
kepada kita. Sia-sia saja kita berdoa meminta kelegaan, bila
kita tidak percaya kepada Allah. Sebab, orang yang meragukan
Allah janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu
dari Tuhan (Yak. 1:7).
Jawaban Elihu ini bisa juga ditujukan kepada perkataan
Ayub seluruhnya. Setelah menunjukkan kebodohan dalam be-
berapa bagian ucapan Ayub, Elihu menyimpulkan bahwa ada
banyak bagian lain yang sama-sama merupakan hasil ketidak-
tahuan dan kekeliruan Ayub. Elihu tidak menyebut dia muna-
fik, seperti teman-temannya yang lain, ia hanya menyalahkan
Ayub dengan dosa Musa, yaitu teledor dengan kata-katanya
saat hatinya merasa pahit. Setiap kali kita teledor dengan
kata-kata dan tidak ada orang yang tidak pernah salah ber-
ucap, lalu kita ditegur, itu yaitu belas kasihan, dan kita harus
menerimanya dengan sabar dan rela seperti Ayub, tidak meng-
ulangi namun menarik kembali perkataan kita yang salah.
PASAL 36
lihu telah menegur Ayub secara panjang lebar atas kata-katanya
yang tidak patut, dan Ayub tidak mengatakan apa pun untuk
membenarkan diri. Sekarang di sini secara lebih umum Elihu berbi-
cara lagi untuk membetulkan pemikiran Ayub tentang tindakan Allah
terhadap dirinya. Teman-teman Ayub berpegang teguh bahwa sebab
Ayub fasik, maka malapetaka menimpanya begitu hebat dan begitu
lama. namun Elihu hanya mempertahankan pendapat bahwa malape-
taka ditimpakan kepadanya hanya untuk mencobainya, dan bahwa
malapetaka diperpanjang sebab Ayub belum sepenuhnya merendah-
kan diri atau dengan semestinya menyesuaikan diri padanya. Elihu
memberikan banyak alasan, yang diambil dari hikmat dan kebenaran
Allah, perhatian-Nya kepada umat-Nya, dan terutama keagungan-Nya
dan kuasa-Nya yang Mahakuasa, yang dengan semuanya itu, di
dalam pasal ini dan pasal berikutnya, dia membujuk Ayub untuk
menyerah ke dalam tangan Allah. Dalam pasal ini kita membaca,
I. Kata pengantar Elihu (ay. 2-4).
II. Gambarannya tentang cara-cara penyelenggaraan Allah kepa-
da anak-anak manusia, seturut dengan perilaku mereka (ay.
5-15).
III. Peringatan dan nasihat baik yang diberikannya kepada Ayub
(ay. 16-21).
IV. Penjelasannya tentang kedaulatan dan kemahakuasaan Allah,
yang disampaikannya berikut contoh-contoh di dalam karya
penyelenggaraan secara umum, dan menjadi alasan mengapa
kita semua hendaknya tunduk kepada-Nya dalam semua
tindakan-Nya terhadap kita (ay. 22-33). Hal ini Elihu terus-
kan dan perluas di dalam pasal berikutnya.
Tutur Kata Elihu
(36:1-4)
1 Berkatalah Elihu selanjutnya: 2 “Bersabarlah sebentar, aku akan mengajar
engkau, sebab masih ada yang hendak kukatakan demi Allah. 3 Aku akan
meraih pengetahuanku dari jauh dan membenarkan Pembuatku; 4 sebab
sungguh-sungguh, bukan dusta perkataanku, seorang yang sempurna pe-
ngetahuannya menghadapi engkau.
Sekali lagi Elihu memohon kesabaran pendengar, dan Ayub secara
khusus, sebab dia belum mengatakan semua yang ingin dikatakan-
nya, namun dia tidak akan menahannya lama. Bersabarlah sebentar
(demikian dibaca oleh sebagian orang, ay. 2). “Perhatikan dan berilah
aku perhatianmu, sedikit waktu lagi, sebab aku ingin berbicara
sekali ini saja, sejelas mungkin sesuai dengan tujuan.” Untuk itu dia
menandaskan,
1. Bahwa dia memiliki sebuah alasan yang baik dan sebuah pokok
yang penting dan sangat bermanfaat: sebab masih ada yang hen-
dak kukatakan demi Allah. Ia berbicara sebagai seorang pembela
Allah, dan sebab nya wajar baginya untuk berharap didengar oleh
semua yang hadir. Sebagian orang berpura-pura berbicara atas
nama Allah, padahal sesungguhnya berbicara bagi diri mereka
sendiri. namun orang-orang yang dengan sungguh-sungguh tampil
di pihak Allah, dan berbicara demi kehormatan-Nya, kebenaran-
Nya, jalan-jalan-Nya, umat-Nya, pasti yakin tidak akan kekurang-
an petunjuk sebab semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu
pada saat itu juga, atau kehilangan upah mereka. Mereka juga
tidak perlu takut akan kehabisan pokok pembicaraan. Mereka
yang telah banyak berbicara, menemukan ternyata masih ada ba-
nyak lagi yang perlu diucapkan atas nama Allah.
2. Bahwa Elihu memiliki sesuatu untuk ditawarkan yang tidak
umum dan bukan pengamatan biasa-biasa saja: Aku akan meraih
pengetahuanku dari jauh (ay. 3), yaitu, “Kita akan kembali kepada
dasar-dasar utama ajaran kita dan kepada gagasan-gagasan luhur
yang dapat kita manfaatkan untuk mencapai tujuan apa saja.”
Sangatlah berguna untuk mendapatkan sampai jauh pengetahu-
an tentang Allah ini, menggalinya, mencarinya. Memperolehnya
akan mengganti kesusahan kita, dan, kendati sangat jauh dida-
pat, tidak mahal nilainya.
3. Bahwa rancangan Elihu tidak dapat disangkal yaitu jujur. Mak-
sud semuanya yaitu demi menyatakan kebenaran Sang Pencip-
ta, untuk mempertahankan dan menjelaskan kebenaran ini, bah-
wa Allah itu benar dalam semua jalan-Nya. Dalam berbicara ten-
tang Allah, dan berbicara bagi Dia, yaitu baik untuk mengingat
bahwa Ia yaitu Pencipta kita, untuk menyebut-Nya demikian,
dan sebab nya siap untuk bekerja bagi-Nya dan melayani kepen-
tingan kerajaan-Nya sebaik-baiknya. Jika Ia yaitu Pencipta kita,
maka semua yang kita miliki yaitu dari Dia, dan harus meng-
gunakan semuanya bagi Dia, dan menjadi sangat cemburu bagi
kehormatan-Nya. Bahwa Elihu bersikap adil dan apa adanya (ay.
4): “sebab sungguh-sungguh, bukan dusta perkataanku. Aku se-
tuju dengan perkataanku dan itu seturut dengan pengertian dan
pemahamanku. Kebenaran yang kuperjuangkan, dan demi kebe-
naran, dengan segala kesungguhan dan ketulusan hati.” Elihu
akan memakai dalih yang kuat dan jelas, tidak samar-samar.
“Ia yang sempurna atau benar di dalam pengetahuan sedang ber-
tukar pikiran dengan engkau. Oleh sebab itu berikanlah dia
kesempatan untuk didengar dengan saksama dan dipertimbang-
kan dengan baik, dengan maksud baik.” Kesempurnaan pengeta-
huan kita di dalam dunia ini yaitu berlaku jujur dan tulus da-
lam mencari kebenaran, di dalam menerapkannya kepada diri
sendiri, dan dalam memakai apa yang kita ketahui bagi ke-
baikan orang lain.
Tutur Kata Elihu
(36:5-14)
5 Ketahuilah, Allah itu perkasa, namun tidak memandang hina apa pun, Ia
perkasa dalam kekuatan akal budi. 6 Ia tidak membiarkan orang fasik hidup,
namun memberi keadilan kepada orang-orang sengsara; 7 Ia tidak mengalih-
kan pandangan mata-Nya dari orang benar, namun menempatkan mereka
untuk selama-lamanya di samping raja-raja di atas takhta, sehingga mereka
tinggi martabatnya. 8 Jikalau mereka dibelenggu dengan rantai, tertangkap
dalam tali kesengsaraan, 9 maka Ia memperingatkan mereka kepada perbuat-
an mereka, dan kepada pelanggaran mereka, sebab mereka berlaku cong-
kak, 10 dan ia membukakan telinga mereka bagi ajaran, dan menyuruh mere-
ka berbalik dari kejahatan. 11 Jikalau mereka mendengar dan takluk, maka
mereka hidup mujur sampai akhir hari-hari mereka dan senang sampai akhir
tahun-tahun mereka. 12 namun , jikalau mereka tidak mendengar, maka
mereka akan mati oleh lembing, dan binasa dalam kebebalan. 13 Orang-orang
yang fasik hatinya menyimpan kemarahan; mereka tidak berteriak minta
tolong, kalau mereka dibelenggu-Nya; 14 nyawa mereka binasa di masa muda,
dan hidup mereka berakhir sebelum saatnya.
Elihu, dengan berbicara atas nama Allah, dan khususnya dalam me-
nyatakan kebenaran Penciptanya, di sini menunjukkan bahwa peng-
aturan Penyelenggaraan ilahi berlaku untuk semua orang, tidak ha-
nya berdasarkan pertimbangan kekal dari kehendak-Nya, namun juga
menurut ketetapan kekal tentang kemerataan. Allah bertindak seba-
gai seorang penguasa yang benar, sebab ,
I. Ia tidak merasa hina untuk memperhatikan kehinaan ciptaan-
Nya. Pun kemiskinan atau tidak dikenalnya seseorang tidak akan
menjauhkan perkenanan-Nya. Jika manusia berkuasa, mereka
cenderung untuk memandang hina dengan angkuh terhadap
orang-orang yang tidak ada apa-apanya. Namun Allah itu perkasa,
begitu tak terbatas, namun Ia tidak memandang hina apapun (ay.
5). Ia merendahkan diri untuk memperhatikan urusan orang-
orang yang hina dina, untuk melakukan keadilan dan menunjuk-
kan kebaikan kepada mereka. Ayub berpikir dirinya dan perkara-
nya telah terabaikan, sebab Allah tidak segera datang menolong-
nya. “Tidak,” kata Elihu, Allah tidak memandang hina apapun,
yang menjadi alasan baik mengapa kita harus menghormati
semua orang. Ia perkasa dalam kekuatan akal budi, namun tidak
memandang dengan hina mereka yang hanya orang yang lemah
dan kurang bijak, jika mereka mau berlaku jujur. Bahkan sebab
alasan ini Ia tidak menghina siapa pun, yaitu bahwa sebab
hikmat dan kekuatan-Nya tak terbatas dan tak tertandingi, maka
sekalipun Ia merendahkan diri, Ia sama sekali tidak menjadi hina.
Orang-orang yang bijaksana dan baik tidak akan memandang
orang lain dengan cemoohan dan penghinaan.
II. Allah tidak memandang muka terhadap orang-orang besar, jika
mereka berlaku jahat (ay. 6): Ia tidak membiarkan orang fasik
hidup. Kendati hidup mereka dapat saja diperpanjang, namun me-
reka tidak hidup di bawah perhatian khusus dari Penyelenggara-
an ilahi, melainkan hanya perlindungan-Nya secara umum saja.
Ayub sebelumnya berkata, bahwa orang fasik tetap hidup, menjadi
tua, bahkan menjadi bertambah-tambah kuat (21:7). “Tidak,” kata
Elihu: “Allah jarang membiarkan orang fasik menjadi tua. Ia tidak
membiarkan hidup mereka begitu lama seperti yang mereka ha-
rapkan, tidak pula dengan penghiburan dan kepuasan hidup. Dan
terjaganya hidup mereka hanyalah supaya mereka disiapkan bagi
hari murka” (Rm. 2:5).
III. Allah selalu siap untuk membela yang terluka dan membela per-
kara mereka (ay. 6): Ia memberi keadilan kepada orang-orang seng-
sara, membalas penderitaan mereka akibat perselisihan mereka
dengan para penganiaya mereka, dan memaksa para penganiaya
itu untuk membayar ganti rugi atas apa yang telah mereka ram-
pas. Jika manusia tidak membela orang-orang sengsara, maka
Allah yang akan membela mereka.
IV. Allah memberi suatu perhatian khusus bagi perlindungan umat-
Nya yang hidup benar (ay. 7). Ia tidak hanya mengawasi mereka,
namun juga tidak pernah meninggalkan mereka: Ia tidak meng-
alihkan pandangan mata-Nya dari orang benar. Kendati mereka
mungkin kadang-kadang tampak diabaikan dan dilupakan, dan
hal itu tampak mengejutkan bagi mereka seperti terluput dari
Penyelenggaraan-Nya, namun mata lembut dari Bapa sorgawi
mereka tidak pernah jauh dari mereka. Jika mata kita selalu ter-
tuju kepada Allah di dalam kewajiban, maka mata-Nya selalu ter-
tuju kepada kita di dalam belas kasihan, dan, saat kita berada
di titik hidup yang terendah, Ia tidak akan meninggalkan kita.
1. Kadang-kadang Ia mendudukkan orang-orang benar ke tem-
pat-tempat kehormatan dan kemuliaan (ay. 7): di samping raja-
raja di atas takhta, dan setiap berkas dijadikan tunduk ke
hadapan mereka. Pada waktu orang-orang benar ditinggikan
ke tempat-tempat terhormat dan berkuasa, hal itu merupakan
belas kasihan kepada mereka. Sebab anugerah Allah di dalam
mereka akan mempersenjatai mereka melawan pencobaan
yang menyertai kedudukan mereka dan memampukan mereka
untuk memanfaatkan kesempatan itu untuk berbuat baik. Hal
itu juga merupakan belas kasihan bagi mereka yang berada di
bawahnya: Jika orang benar bertambah, bersukacitalah rakyat.
Jika orang benar maju, rakyat menjadi mapan. Orang-orang
yang mendapat kehormatan akan menjaga hati nurani yang
baik tetap berdiri kokoh di atas tanah yang pasti, sehingga
tempat-tempat tinggi tidaklah menjadi tanah yang licin bagi
mereka seperti bagi orang lain. namun , sebab tidak sering kita
melihat orang baik menjadi orang hebat di dunia ini, maka
ayat tadi dapat dianggap merujuk kepada kehormatan orang-
orang benar saat Penebus mereka akan bangkit di atas debu.
sebab pada saat itulah mereka akan ditinggikan dan ditegak-
kan untuk selamanya. Saat itulah mereka akan bersinar te-
rang seperti matahari, dan dijadikan raja-raja dan imam-imam
bagi Allah kita.
2. Apabila sewaktu-waktu Allah membawa mereka ke dalam ke-
susahan, hal itu yaitu bagi kebaikan jiwa mereka (ay. 8-10).
Sebagian orang baik diangkat kepada kehormatan dan kekua-
saan, namun sebagian lain dibawa ke dalam kesusahan. Kini
amatilah,
(1) Kesulitan yang diandaikan (ay. 8): Jikalau mereka dibeleng-
gu dengan rantai, dipenjarakan seperti Yusuf atau tertang-
kap dalam tali kesengsaraan lainnya, terikat oleh penderi-
taan dan penyakit, diinjak-injak oleh kemiskinan, terikat
dalam pikiran mereka, dan, kendati segala perjuangan me-
reka, tertahan lama dalam kesulitan ini. Inilah yang di-
alami Ayub. Ia terperangkap dan tertahan di dalam tali ke-
sedihan (sebagaimana dibaca oleh sebagian orang). namun
amatilah,
(2) Rancangan yang dimiliki Allah dalam membawa umat-Nya
ke dalam kesedihan seperti ini. Hal ini yaitu demi kepen-
tingan jiwa mereka. Pertimbangan ini seharusnya memper-
damaikan kita dengan malapetaka dan membuat kita ber-
pikiran baik tentangnya. Tiga hal yang dimaksudkan Allah
saat malapetaka menimpa kita:
[1] Untuk menemukan dosa masa lalu kita dan mengingat-
kan kita akan dosa itu. Ia menunjukkan kepada kita ke-
salahan yang dahulu tidak kita lihat atau sadari. Ia me-
nunjukkan kepada mereka fakta tentang dosa: Ia mem-
peringatkan mereka kepada perbuatan mereka. Dosa
yaitu perbuatan kita sendiri. Apabila ada sesuatu yang
baik di dalam diri kita, itu yaitu pekerjaan Allah. Dan
kita harus prihatin untuk melihat apa yang telah kita
perbuat melalui dosa. Ia menemukan kesalahan dosa,
menunjukkan kepada kita pelanggaran terhadap hu-
kum Allah dengan segala keberdosaannya, bahwa dosa-
dosa kita sudah melampaui batas, sudah jauh melebihi
takaran. Petobat sejati menaruh beban ke atas dirinya
sendiri, tidak mengecilkan, namun memperberat dosa me-
reka, dan mengakui bahwa mereka telah berdosa melam-
paui batas. Malapetaka kadang-kadang menjawab dosa.
Apa pun itu, malapetaka berfungsi untuk membangun-
kan kesadaran hati nurani dan membuat orang untuk
berpikir mengenai perbuatannya.
[2] Untuk membangunkan hati kita untuk menerima pe-
tunjuk sekarang: Maka Ia membukakan telinga mereka
bagi ajaran (ay. 10). Allah mengajar siapa yang dihajar-
Nya (Mzm. 94:12), dan malapetaka membuat orang ber-
sedia untuk belajar, melembekkan lilin, supaya dapat
dicetak sesuai bentuk. Namun hal ini tidaklah bekerja
dengan sendirinya, namun anugerah Allah yang bekerja
dengan dan melaluinya. Ia-lah yang membuka telinga,
yang membuka hati, yang memiliki kunci Daud.
[3] Untuk mencegah dan menarik kita dari pelanggaran di
masa yang akan datang. Inilah tugas yang diberikan
kepada malapetaka. Malapetaka yaitu suatu perintah
untuk berbalik dari kejahatan, untuk tidak berhubung-
an lagi dengan dosa, untuk berbalik darinya dengan
rasa jijik kepadanya, dan suatu tekad untuk tidak per-
nah kembali lagi kepadanya (Hos. 14:8).
3. Jika malapetaka melakukan tugasnya dan menyelesaikan apa
yang disuruhkan kepadanya, maka Allah akan menghibur me-
reka kembali, menurut waktu malapetaka ditimpakan (ay. 11):
Jikalau mereka mendengar dan takluk, jika mereka patuh
dengan rancangan-Nya dan memenuhi tujuan-Nya di dalam
masa dipensasi ini, jika, saat malapetaka disingkirkan, hati
mereka senantiasa sadar seperti saat mereka ditimpa mala-
petaka dan memenuhi janji yang mereka ikrarkan, jika mereka
hidup dalam ketaatan kepada perintah Allah, khususnya yang
berhubungan dengan ibadah dan penyembahan kepada-Nya,
serta dalam semua hal sadar akan tugas panggilan mereka
kepada-Nya, maka mereka hidup mujur sampai akhir hari-hari
mereka dan senang sampai akhir tahun-tahun mereka. Kesa-
lehan yaitu satu-satunya jalan yang pasti menuju kemak-
muran dan kebahagiaan. Ini yaitu kebenaran yang pasti, na-
mun hanya sedikit saja yang mau percaya. Jika kita dengan
setia beribadah kepada Allah,
(1) Kita memiliki janji akan kesejahteraan lahiriah, janji akan
kehidupan sekarang, dan segala penghiburannya, sepan-
jang hal itu yaitu bagi kemuliaan Allah dan kebaikan kita.
Dan siapa yang menginginkan lebih lagi?
(2) Kita memiliki kesenangan batin, penghiburan dalam perse-
kutuan dengan Allah dan hati nurani yang baik, dan keda-
maian yang luar biasa yang dimiliki oleh orang-orang yang
mengasihi hukum Allah. Jika kita tidak bersukacita senan-
tiasa di dalam Tuhan, dan dalam pengharapan akan hidup
kekal, maka itu salah kita sendiri. Jadi kesenangan apa
lagi yang lebih baik dari ini, yang bisa kita nikmati dalam
tahun-tahun kita?
4. Jika malapetaka tidak melaksanakan tugasnya, maka bersiap-
siaplah mereka menantikan tungku dipanaskan tujuh kali le-
bih panas sampai mereka hangus dilalap api (ay. 12): namun ,
jikalau mereka tidak mendengar, jika mereka tidak menjadi
lebih baik melalui malapetaka, tidak diperbarui, maka mereka
akan binasa oleh pedang murka Allah. Orang-orang yang tidak
menjadi baik oleh rotan-Nya, akan dibinasakan oleh pedang-
Nya. Dan api yang menghanguskan akan berlaku, jika api pe-
murnian tidak bekerja. Sebab, saat Allah menghukum, Ia
akan berhasil. Jika dalam keadaan terdesak itu raja Ahas ini,
malah semakin berubah setia terhadap TUHAN, maka ia ditan-
dai bagi kehancuran (2Taw. 28:22; Yer. 6:29-30). Allah ingin
mendidik mereka melalui malapetaka yang menimpa mereka,
namun mereka yang tidak menerima didikan, tidak mau mem-
perhatikan petunjuk yang diberikan. Oleh sebab itu mereka
akan binasa dalam kebebalan, sebelum mereka sadar, tanpa
pemberitahuan apa-apa lagi. Atau mereka akan mati sebab
tidak tahu, kendati mereka diberkati dengan sarana pengeta-
huan. Orang-orang yang binasa dalam kebebalan, mati tanpa
anugerah dan binasa untuk selamanya.
V. Allah membawa kehancuran ke atas orang fasik, musuh-musuh
rahasia dari kerajaan-Nya (seperti yang dijelaskan oleh Elihu, ay.
12), yang, kendati mereka terhitung di antara orang-orang benar
yang telah dibicarakan oleh Elihu sebelumnya, namun tidak me-
naati Allah, melainkan menjadi anak-anak pemberontak dan ke-
gelapan, menjadi anak-anak murka dan durhaka. Inilah orang-
orang yang fasik hatinya menyimpan kemarahan (ay. 13). Lihatlah
sifat dari orang fasik: kefasikannya terletak di dalam hati, yang
tertuju kepada dunia dan kedagingan sementara di luarnya tam-
pak tertuju kepada Allah dan agama. Banyak orang saleh secara
lahiriah dan hanya dalam perkataan saja, namun fasik di dalam
hati. Jika sumbernya rusak, maka ada banyak kejahatan di sana.
Lihatlah kejahatan dari orang fasik: orang-orang fasik menyimpan
(KJV: menimbun) kemarahan. Setiap hari mereka melakukan hal-
hal yang menimbulkan kemarahan Allah, namun semuanya itu
akan diperhitungkan pada hari besar itu nanti. Mereka menimbun
murka atas diri sendiri pada hari waktu mana murka dan hukum-
an Allah yang adil akan dinyatakan (Rm. 2:5). Dosa-dosa mereka
tersimpan pada-Nya, termeterai dalam perbendaharaan-Nya (Ul.
32:34). Bandingkan Yakobus 5:3. Sama seperti uap yang naik
akan turun menjadi hujan, demikian pula dosa yang naik, jika ti-
dak bertobat, akan turun sebagai murka. Mereka berpikir sedang
menimbun kekayaan, menimbun jasa, namun , saat perbendaha-
raan dibuka, ternyata mereka sedang menimbun murka. Amati-
lah,
1. Apa yang mereka lakukan untuk menimbun murka. Apakah
itu yang sedemikian membuat Allah marah? Yaitu, Mereka
tidak berteriak minta tolong kalau mereka dibelenggu-Nya, yaitu
saat mereka ada di dalam kesusahan, terikat dengan tali
masalah, hati mereka menjadi keras, mereka menjadi keras
kepala dan tidak mau merendahkan diri, dan tidak mau ber-
teriak kepada Allah atau memohon kepada-Nya. Mereka bodoh
dan tidak berperasaan seperti benda-benda dan batu, me-
remehkan hajaran TUHAN.
2. Apakah dampak dari murka tersebut? Nyawa mereka binasa
di masa muda, dan hidup mereka berakhir sebelum saatnya
(ay. 14). Ini yaitu bagian dari orang fasik, yang ditulahi oleh
Kristus dengan banyak malapetaka. Jika mereka tetap tidak
bertobat,
(1) Mereka akan mati secara mendadak, binasa di masa muda,
saat kematian menjadi kekejutan besar, dan kematian,
yaitu akibat dosa, selalu menjadi seperti ini bagi orang fa-
sik. Sama seperti mereka yang binasa di masa muda, mere-
ka mati saat mereka berharap untuk hidup, demikian
pula orang fasik, pada saat kematian, akan pergi ke nera-
ka, saat mereka berharap untuk pergi ke sorga. Pengha-
rapan orang fasik gagal pada kematiannya, dan harapan
orang jahat menjadi sia-sia.
(2) Mereka akan mengalami kematian yang kedua. Hidup me-
reka, sesudah kematian (demikian yang muncul di sini), ber-
akhir sebelum saatnya (KJV: ada di antara orang najis), di
antara orang-orang cabul (demikian kata sebagian orang), di
antara orang-orang berdosa yang paling berdosa dan paling
jahat, terlepas dari pengakuan iman mereka yang tampak-
nya meyakinkan. Mereka ada di antara Sodom, orang-orang
durhaka itu, yang dengan cara yang sama melakukan per-
cabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar,
telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan ke-
pada semua orang (Yud. 7). Jiwa orang fasik tetap hidup se-
sudah kematian, namun mereka hidup di antara orang-orang
najis, roh-roh najis, setan, dan malaikat-malaikatnya, untuk
selamanya terpisah dari Yerusalem baru, yang di dalam-
nya tidak ada sesuatu yang najis yang dapat masuk.
Tutur Kata Elihu
(36:15-23)
15 Dengan sengsara Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia
membuka telinga mereka. 16 Juga engkau dibujuk-Nya keluar dari dalam ke-
sesakan, ke tempat yang luas, bebas dari tekanan, ke meja hidanganmu yang
tenang dan penuh lemak. 17 namun engkau sudah mendapat hukuman orang
fasik sepenuhnya, engkau dicengkeram hukuman dan keadilan; 18 janganlah
panas hati membujuk engkau berolok-olok, janganlah besarnya tebusan me-
nyesatkan engkau. 19 Dapatkah teriakanmu meluputkan engkau dari kese-
sakan, ataukah seluruh kekuatan jerih payahmu? 20 Janganlah merindukan
malam hari, waktu bangsa-bangsa pergi dari tempatnya. 21 Jagalah dirimu,
janganlah berpaling kepada kejahatan, sebab itulah sebabnya engkau di-
cobai oleh sengsara. 22 Sesungguhnya, Allah itu mulia di dalam kekuasaan-
Nya; siapakah guru seperti Dia? 23 Siapakah akan menentukan jalan bagi-
Nya, dan siapa berani berkata: Engkau telah berbuat curang?
Elihu di sini menghampiri Ayub lebih dekat. Dan,
I. Ia memberi tahu Ayub apa yang sudah Allah lakukan baginya se-
andainya dia dengan sungguh-sungguh mau merendahkan diri di
bawah kesengsaraannya. “Kita semua tahu betapa siapnya Allah
untuk menyelamatkan orang sengsara (ay. 15). Sejak dahulu Allah
selalu demikian. Allah memandang dengan lembut orang-orang
miskin secara rohani, yang hatinya hancur dan penuh sesal. Ia
siap untuk menolong saat mereka ditimpa malapetaka. Ia mem-
buka telinga mereka, dan membuat mereka mendengar sukacita
dan kegembiraan, bahkan di dalam penindasan mereka. Semen-
tara Ia belum melepaskan mereka, Ia berbicara kepada mereka
dengan firman yang baik dan kata-kata penghiburan, untuk me-
nguatkan iman dan kesabaran mereka, meredakan ketakutan me-
reka, dan menyeimbangkan kesedihan mereka. Dan juga (ay. 16)
Ia akan melakukan kepadamu demikian, jika engkau menunduk-
kan diri kepada penyelenggaraan-Nya dan berperilaku baik. Ia
akan melepaskan dan menghibur engkau, dan kita tidak akan
mendengar keluhan-keluhanmu lagi. Apabila engkau menyesuai-
kan diri dengan kehendak Allah, kebebasan, dan kelimpahan
akan dipulihkan kepadamu dengan keuntungan.”
1. “Engkau pasti akan dilegakan, dan tidak dikungkung oleh pe-
nyakit dan kehinaan: Juga engkau dibujuk-Nya keluar dari da-
lam kesesakan, ke tempat yang luas, dan engkau tidak akan lagi
dihalangi dan segala jalanmu dipatahkan seperti sekarang.”
2. “Engkau pasti telah diperkaya dan tidak akan ditinggalkan da-
lam keadaan malang ini. Engkau pasti akan membentangkan
mejamu, tidak hanya dengan makanan yang enak, namun juga
dengan gandum yang terbaik,” (Lih. Ul. 32:14) “dan makanan
yang berlemak.” Perhatikanlah, di bawah kesengsaraan, kita
seharusnya berdiam diri mempertimbangkan bahwa, jika kita
menjadi lebih baik, maka kita akan lebih baik dalam segala
hal: jika kita telah menjawab tujuan dari suatu malapetaka,
maka malapetaka akan disingkirkan, dan pembebasan akan
tiba jika kita telah siap untuk itu. Allah akan berbuat baik
bagi kita, jika kita telah berperilaku dengan baik (Mzm. 81:14-
15; Yes. 48:18).
II. Elihu menuduh Ayub bersandar pada terangnya sendiri, dan men-
jadikan dirinya sebagai penyebab masalahnya tetap berlanjut (ay.
17): “namun engkau sudah mendapat hukuman orang fasik sepe-
nuhnya,” yaitu, “seperti apa pun engkau ini, dalam hal ini engkau
telah berlaku seperti seorang fasik, telah berbicara dan bertindak
seperti orang fasik, memuji dan melayani tujuan mereka. Dan
sebab itu, hukuman dan keadilan mencengkeram dirimu seperti
orang fasik, sebab engkau berteman dengan mereka, bertindak
seakan-akan engkau di pihak mereka, membantu dan bersekong-
kol dengan mereka. Engkau mempertahankan kepentingan orang
fasik. sebab itu, sesuai dengan apa yang diperbuatnya, seperti itu
pula hukuman Allah akan menimpanya.” Demikian kata Uskup
Patrick. Sungguh berbahaya berada di pihak yang salah: kaki
tangan pengkhianatan akan ditangani sebagai para pelaku.
III. Elihu memberi peringatan kepada Ayub untuk tidak bertahan da-
lam kelancangannya. Beberapa peringatan yang baik diberikannya
untuk tujuan ini.
1. Hendaknya Ayub tidak menganggap enteng pembalasan ilahi,
atau merasa aman seolah-olah dia tidak berada di dalam
bahaya (ay. 18): “Janganlah panas hati” (KJV: sebab ada mur-
ka.), yaitu “sebab Allah yaitu penguasa yang benar, yang
membenci semua penghinaan yang dilontarkan kepada peme-
rintahan-Nya, sebab Ia telah menyatakan murka-Nya dari sor-
ga terhadap semua orang kafir dan fasik, dan sebab engkau
memiliki alasan untuk merasa takut bahwa engkau berada di
bawah murka Allah. sebab itu berhati-hatilah jangan sampai
Ia mengambilmu secara tiba-tiba dengan hantaman-Nya, dan
jadilah bijak untuk berdamai dengan Dia segera, supaya mur-
ka-Nya menyingkir darimu.” Sebuah peringatan seperti ini juga
telah diberikan oleh Ayub kepada teman-temannya (19:29):
Takutlah kepada pedang, sebab kegeraman mendatangkan
hukuman pedang. Demikianlah orang-orang yang berdebat
cenderung, dengan terlalu berani, untuk mengikat satu sama
lain dengan hukuman Allah dan mengancam satu sama lain
dengan murka-Nya. namun siapa yang memelihara hati nurani
yang baik tidak perlu takut dengan ancaman orang-orang som-
bong yang tidak ada kuasanya. Akan namun , nasihat Elihu me-
rupakan suatu peringatan yang bersahabat bagi Ayub, dan sa-
ngat perlu. Bahkan orang yang baik sekalipun perlu dijaga un-
tuk terus melakukan kewajiban mereka dengan takut akan mur-
ka Allah. “Engkau yaitu seorang yang baik dan bijak, namun
waspyaitu jangan sampai Ia mengambil engkau, sebab yang
paling bijaksana dan yang terbaik pun sudah cukup layak bagi
hantaman-Nya.”
2. Hendaknya Ayub tidak percaya diri hingga merasa aman bah-
wa jika murka Allah menyala atasnya, dia akan dapat mene-
mukan jalan untuk luput dari hantaman-Nya.
(1) Tidak ada jalan keluar melalui uang, tidak ada penebusan
pengampunan dengan perak atau emas dan hal-hal yang
dapat rusak seperti demikian: “Bahkan suatu tebusan yang
besar tidak akan dapat melepaskan engkau (ay. 18, KJV)
saat Allah memberikan hukuman kepada engkau. Keadil-
an Allah tidak dapat disuap, begitu pula para pelayan keadil-
an-Nya. Dapatkah teriakanmu meluputkan engkau dari kese-
sakan, ataukah seluruh kekuatan jerih payahmu? [KJV: Akan-
kah Ia menghargai kekayaanmu], dan mengambilnya sebagai
pengganti hukuman? Tidak, tidak seluruh kekuatan jerih
payahmu (ay. 19). Sekalipun engkau memiliki kekayaan se-
banyak yang engkau miliki dahulu, itu pun tidak akan
mengamankan engkau, tidak akan menjamin engkau dari
hantaman murka Allah, di hari penyataan di mana harta
tidak berguna” (Ams. 11:4, Mzm. 49:8-9).
(2) Tidak ada jalan keluar melalui penyelamatan: “Sekalipun
tersedia seluruh kekuatan jerih payahmu, sekalipun engkau
dapat menghimpun begitu banyak budak dan pengikut un-
tuk tampil bagimu untuk menarik engkau keluar dari ta-
ngan pembalasan ilahi, semuanya itu sia-sia saja. Allah
tidak akan mengacuhkannya. Tidak ada yang dapat mele-
paskan dari tangan-Nya.”
(3) Tidak ada jalan keluar dengan melarikan diri (ay. 20): “Ja-
nganlah merindukan malam hari, waktu yang sering kali
cocok bagi pasukan yang kalah untuk mundur. Janganlah
berpikir bahwa engkau dapat melarikan diri dari hukuman
Allah yang adil, sebab kegelapan pun tidak menggelapkan
bagi-Nya” (Mzm. 139:11-12). Lihat pasal 34:22. “Jangan pi-
kir, sebab di malam hari orang-orang masuk untuk ber-
istirahat, naik ke tempat tidur, maka mudah untuk melari-
kan diri tanpa didapati oleh mereka, bahwa Allah juga naik
ke tempat pembaringan-Nya dan tidak dapat melihat eng-
kau. Tidak. Ia tidak terlelap dan tertidur. Mata-Nya terbuka
kepada anak-anak manusia, tidak hanya di segala tempat,
namun juga di segala waktu. Tidak ada batu karang atau gu-
nung yang dapat menutupi kita dari mata-Nya.” Sebagian
penafsir memahaminya sebagai malam kematian. Itulah
malam di mana manusia terputus dari tempat mereka,
namun Ayub bernapas lega untuk malam itu, seperti orang-
orang upahan malam menginginkan malam (7:2). “namun
jangan lakukan demikian,” kata Elihu. “Sebab engkau tidak
tahu seperti apakah malam kematian itu.” Orang-orang
yang dengan bersemangat menginginkan kematian, dengan
harapan mendapat perlindungan dari murka Allah,
mungkin saja keliru. Ada orang-orang yang dikejar oleh
murka Allah pada malam itu.
3. Hendaknya Ayub tidak melanjutkan perdebatannya yang tidak
benar itu dengan Allah dan penyelenggaraan-Nya, yang diper-
tahankannya sampai saat ini, saat dia seharusnya tunduk
kepada kesengsaraan (ay. 21): “Jagalah dirimu, jagalah sema-
ngatmu, dan janganlah berpaling kepada kejahatan, jangan
memandangnya, sebab celakalah jika engkau melakukannya.”
Jangan sekali-kali kita berpikir tentang suatu dosa, jangan
pernah memanjakannya atau membiarkan diri di dalamnya.
Menurut Elihu, Ayub perlu berhati-hati dalam hal ini, sebab
dia telah memilih kejahatan ketimbang sengsara, yaitu, lebih
memilih untuk menuruti kebanggaan dan kesenangannya sen-
diri sehingga berdebat dengan Allah, dan bukannya mema-
damkannya dengan cara berserah diri kepada-Nya dan mene-
rima hukuman. Kita dapat memahami hal ini lebih umum, dan
mengamati bahwa orang-orang yang memilih kejahatan dari-
pada kesengsaraan membuat suatu pilihan yang sangat bo-
doh. Orang-orang yang meringankan sengsara mereka dengan
kesenangan berdosa, menambah kekayaan mereka dengan
segala jerih payah yang berdosa, melepaskan diri dari masalah
mereka dengan perbuatan-perbuatan berdosa. Mereka meng-
hindari penderitaan demi kebenaran dengan berbuat dosa
terhadap hati nurani mereka, membuat suatu pilihan yang
kelak akan mereka sesali. Sebab ada lebih banyak keburukan
di dalam dosa yang paling kecil sekalipun daripada yang ada di
dalam kesengsaraan yang paling hebat. Dosa, yang terkecil
sekalipun, yaitu kejahatan, dan hanya kejahatan.
4. Janganlah Ayub coba-coba mengajari Allah atau memberi pe-
tunjuk kepada-Nya (ay. 22-23): “Allah itu mulia di dalam kekua-
saan-Nya,” yaitu, “Sungguh Ia dapat dan mampu meninggikan
dan menurunkan orang sesuka hati-Nya, dan sebab nya tidak
ada hak bagi engkau atau saya untuk berbantah dengan Dia.”
Semakin kita membesarkan Allah, semakin kita merendahkan
dan menurunkan diri sendiri. Kini pertimbangkan,
(1) Bahwa Allah berdaulat mutlak: Ia ditinggikan oleh kuasa-
Nya sendiri, dan bukan oleh kekuatan yang berasal dari
yang lain. Ia meninggikan siapa yang disukai-Nya, mening-
gikan orang-orang yang menderita dan terbuang, oleh ke-
kuatan dan kuasa yang diberikan-Nya kepada umat-Nya.
Oleh sebab nya, siapakah akan menentukan jalan bagi-Nya?
Siapakah yang melampaui-Nya di dalam jalan-Nya? Adakah
yang lebih tinggi yang memberi-Nya perintah dan yang ke-
padanya Ia harus memberi pertanggungjawaban? Tidak ada.
Ia sendiri yaitu yang teringgi dan berdiri sendiri. Siapakah
guru seperti Dia? Adakah Sang Akal Budi abadi memerlu-
kan seorang pengingat? Tidak. Jalan-Nya, dan juga jalan
kita, selalu ada di hadapan-Nya. Ia tidak menerima perin-
tah atau petunjuk dari siapa pun (Yes. 60:13-14), atau ber-
tanggung jawab kepada siapa pun. Ia yang menentukan
jalan dari seluruh makhluk ciptaan. Maka janganlah kita
menentukan jalan-Nya, melainkan serahkan kepada-Nya un-
tuk memerintah dunia, Ia-lah yang pantas melakukannya.
(2) Ia yaitu seorang guru yang tak tertandingi: Siapakah guru
seperti Dia? Sungguh konyol bagi kita untuk mengajar Dia
yang yaitu sumber dari terang, kebenaran, pengetahuan,
dan ajaran. Dia yang mengajarkan pengetahuan kepada
manusia, yang tidak sanggup dilakukan siapa pun, masak-
an Dia tidak mengetahuinya? (Mzm. 94:9-10). Masakan kita
menyalakan lilin bagi matahari? Amatilah, saat Elihu ingin
memberikan kemuliaan kepada Allah sebagai seorang pe-
nguasa, dia memuji-Nya sebagai seorang guru, sebab pe-
nguasa harus mengajar. Allah melakukan demikian. Ia meng-
ikat seorang manusia dengan tali. Dalam hal ini, seperti di
dalam semua hal yang lain, Ia tidak tertandingi. Tak se-
orang pun yang sedemikian pantas untuk mengarahkan
tindakannya selain Dia. Ia tahu apa yang harus dilakukan,
dan bagaimana melakukannya untuk yang terbaik, dan
tidak membutuhkan keterangan atau nasihat. Salomo sen-
diri memiliki sebu