an. Jika (seperti terbukti
dalam ay. 9 yang mengikuti) tidak berguna bagi manusia,
kalau ia dikenan Allah, maka mengapa tidak diletakkannya
saja tali kekang di leher nafsunya dan ikut berkumpul
dengan pelaku kejahatan? Dia yang berkata, sia-sia sama
sekali aku membasuh tanganku, tanda tak bersalah, bukan
hanya berkhianat kepada angkatan anak-anak Allah (Mzm.
72:13, 15), namun juga memuaskan keinginan musuh-mu-
suh-Nya, dan berbicara sama seperti mereka.
Tutur Kata Elihu
(34:10-15)
10 Oleh sebab itu, kamu orang-orang yang berakal budi, dengarkanlah aku:
Jauhlah dari pada Allah untuk melakukan kefasikan, dan dari pada Yang
Mahakuasa untuk berbuat curang. 11 Malah Ia mengganjar manusia sesuai
perbuatannya, dan membuat setiap orang mengalami sesuai kelakuannya.
12 Sungguh, Allah tidak berlaku curang, Yang Mahakuasa tidak membeng-
kokkan keadilan. 13 Siapa mempercayakan bumi kepada-Nya? Siapa mem-
bebankan alam semesta kepada-Nya? 14 Jikalau Ia menarik kembali Roh-Nya,
dan mengembalikan nafas-Nya pada-Nya, 15 maka binasalah bersama-sama
segala yang hidup, dan kembalilah manusia kepada debu.
Tujuan perkataan Elihu yaitu untuk mendamaikan Ayub dengan
kesengsaraannya dan untuk menenangkan rohnya dalam kesengsa-
raan itu. Untuk ini, Elihu menunjukkan, di pasal sebelumnya, bahwa
Allah bukan bermaksud buruk dalam menyengsarakannya, namun
bermaksud memberinya keuntungan rohani. Di pasal ini, Elihu me-
nunjukkan bahwa Allah tidak bersalah kepada Ayub dengan me-
nyengsarakannya, tidak pula Dia menghukum Ayub lebih daripada
yang sepantasnya. Jika perkataan Elihu sebelumnya tidak dapat
meyakinkan Ayub, maka yang sekarang ini akan membungkamnya.
Dalam ayat-ayat di atas, Elihu menujukan perkataannya kepada
semua yang hadir: “Kamu orang-orang yang berakal budi, dengarkan-
lah aku (ay. 10), dan perlihatkan bahwa dirimu berpengertian dengan
menyetujui hal yang kukatakan ini.” Dan inilah yang dikatakan
Elihu, bahwa Allah yang benar tidak pernah, dan tidak akan pernah,
berbuat salah kepada ciptaan-Nya. Sebaliknya, jalan-jalan Allah adil,
jalan-jalan kitalah yang tidak adil. Kebenaran yang terkandung di sini
menghormati keadilan dan kesamarataan semua tindakan Allah.
Dalam ayat-ayat ini dapat kita amati,
I. Betapa jelas kebenaran ini dinyatakan, baik secara negatif mau-
pun positif.
1. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun: Jauhlah dari pada
Allah untuk melakukan kefasikan, dan dari pada Yang Maha-
kuasa untuk berbuat curang (ay. 10). Hal itu tidak sejalan
dengan kodrat-Nya yang sempurna, dan dengan kehendaknya-
Nya yang murni (ay. 12): Allah tidak berlaku curang, Yang
Mahakuasa tidak membengkokkan keadilan. Allah tidak bisa
dan tidak mau berlaku keliru, atau memperlakukan manusia
dengan keras. Allah tidak akan pernah membebankan hukum-
an yang kejam selain saat Dia menemukan dosa yang jahat,
atau memberikan hukuman yang terlalu berat, sebab dengan
begitu Dia berbuat curang dan melakukan kefasikan. Jika per-
mohonan dinaikkan kepada-Nya, atau Dia hendak menjatuhkan
putusan terakhir, Dia pasti akan melakukannya berdasarkan
penyebabnya dan tanpa memandang muka, sebab kalau tidak,
Dia membengkokkan keadilan. Dia tidak akan pernah berbuat
keliru kepada siapa pun atau memungkiri hak orang, namun
langit akan memberitakan keadilan-Nya. Sebab Dia Allah, dan
sebab itu sempurna tak terhingga dan kudus, Dia sendiri
tidak dapat berbuat salah dan tidak menyetujui perbuatan sa-
lah manusia. Dia tidak dapat mati, atau berbohong, atau me-
nyangkal Diri-Nya sendiri. Meskipun Dia Mahakuasa, Dia
tidak akan sekali-kali memakai kuasa-Nya, seperti yang sering
dilakukan manusia yang berkuasa, untuk mendukung keti-
dakadilan. Ia itu Shaddai – Allah Maha mencukupi dan sebab
itu Ia tidak dapat dicobai oleh yang jahat (Yak. 1:13) untuk
melakukan kelaliman.
2. Allah memberikan keadilan kepada semua orang (ay. 11): Ia
mengganjar manusia sesuai perbuatannya. Perbuatan baik
akan diberi upah dan perbuatan jahat akan dihukum atau di-
balas. Dengan demikian, cepat atau lambat, di dunia ini atau
yang akan datang, Dia akan membuat setiap orang mengalami
sesuai kelakuannya. Inilah aturan yang berlaku untuk keadil-
an yang merata, untuk membalaskan kepada setiap orang me-
nurut perbuatannya. Katakanlah berbahagia orang benar!
Celakalah orang fasik! Malapetaka akan menimpanya. Sekali-
pun ibadah yang tekun dilakukan saat ini tidak diupahi, dan
dosa yang terus dilakukan tidak dibalas, namun akan datang
harinya saat Allah mengganjar manusia sesuai perbuatannya,
bersama dengan bunga untuk waktu yang tertunda.
II. Betapa tegas kebenaran itu dinyatakan,
1. Disertai jaminan akan kebenarannya: Sungguh (ay. 12). Kebe-
naran ini kebenaran yang tidak dapat disangkal atau diragu-
kan oleh siapa pun, kebenaran yang dapat kita terima begitu
saja dan disetujui semua orang, bahwa Allah tidak akan ber-
laku fasik.
2. Disertai penolakan mendalam terhadap pikiran yang menyata-
kan sebaliknya (ay. 10): Jauhlah dari pada Allah untuk melaku-
kan kefasikan, dan dari kita untuk meragukannya sekecil apa
pun atau mengucapkan perkataan apa pun yang seolah menu-
ding Allah seperti itu.
III. Betapa jelas kebenaran itu dibuktikan dengan dua dalil:
1. Kedaulatan dan kekuasaan Allah yang mutlak dan tidak ter-
gantung apa pun (ay. 13): Siapa mempercayakan bumi kepada-
Nya dan memberi-Nya tugas untuk mengurus manusia di
bumi? Atau, siapa lagi yang mengatur seluruh umat manusia
selain Dia? Allah-lah satu-satunya yang menguasai semua kera-
jaan manusia, dan memiliki semuanya sendiri, dan Dia tidak
dipercayakan atau mempercayakannya kepada pihak lain.
(1) Sudah pasti bahwa pemerintahan milik Allah, dan Dia me-
merintah seturut kehendak-Nya atas alam semesta baik la-
ngit maupun bumi. Oleh sebab itu, Allah tidak dapat dike-
nai dakwaan ketidakadilan. Masakan Hakim segenap bumi
tidak menghukum dengan adil (Kej. 18:25)? Bagaimana
mungkin Allah dapat memerintah atau menghakimi dunia
jika ada, atau mungkin ada, ketidakadilan pada Allah (Rm.
3:5-6)? Dia yang memiliki kuasa yang begitu tidak terbatas
sudah pasti memiliki kemurnian yang tidak bernoda dalam
diri-Nya. Inilah alasan yang baik bagi mengapa kita harus
menerima tanpa berbantah segala perlakuan Allah kepada
kita. Bukankah Dia yang mengatur seluruh dunia pasti
akan mengatur hidup kita dan urusan kita?
(2) Begitu pula, sudah pasti bahwa Dia tidak mendapatkan
kuasa-Nya dari siapa pun, dan tidak diberikan mandat dari
siapa pun. Sebaliknya, kuasa-Nya asli dan, seperti keber-
adaan-Nya, berasal dari diri-Nya sendiri. Oleh sebab itu,
jika Dia tidak sepenuhnya adil, seluruh dunia dan urusan-
nya akan segera berada dalam kekacauan hebat. Segala
kekuasaan tertinggi di bumi berada di bawah Allah. Kepada
Allah, mereka harus bertanggung jawab, sebab mereka ti-
dak luput dari berbuat kesalahan. Akan namun , Allah tidak
berada di bawah siapa pun, sebab Allah tidak mungkin me-
lakukan apa pun yang membuat-Nya perlu diawasi. Demi-
kianlah kesempurnaan kodrat-Nya. Dan, jika Dialah peme-
gang kedaulatan mutlak, maka kita harus tunduk kepada-
Nya, sebab tidak ada kuasa lain yang kepadanya kita dapat
memohon. Itulah sebabnya ketakwaan itu suatu keharus-
an.
2. Kuasa Allah yang tidak dapat dilawan, “Jikalau Dia menetap-
kan hati-Nya atas manusia” (ay. 14, KJV) untuk menentangnya,
terlebih lagi jikalau (seperti penafsiran beberapa orang) dita-
ruh-Nya hati-Nya melawan dia, untuk menghancurkannya.
Jika Dia memperlakukan manusia berdasarkan summa potes-
tas – kedaulatan semata atau summum jus – keadilan yang
kaku, maka tidak ada yang dapat berdiri di hadapan-Nya. Roh
dan napas manusia akan segera melayang pergi dan binasalah
bersama-sama segala yang hidup (ay. 15). Sering kali, ke-
sucian manusia hanya bergantung pada ketidakmampuannya.
Manusia tidak berbuat salah sebab tidak dapat menanggung-
nya saat kesalahan itu terjadi, atau mereka tidak berkuasa
untuk melakukannya. Sebaliknya, Allah dapat menghancur-
kan manusia dengan mudah dan sekonyong-konyong. Meski-
pun demikian, Allah tidak memakai kuasanya dengan
sembarangan untuk menghancurkan manusia, sifat yang ha-
rus dikaitkan dengan kesempurnaan-Nya yang tidak terbatas
dan tidak dapat berubah. Lihatlah di sini,
(1) Hal yang dapat dilakukan Allah kepada kita. Dalam sekejap
Ia dapat membuat kita menjadi debu. Untuk melakukannya,
Dia tidak perlu mengambil tindakan tertentu yang meng-
gunakan kemahakuasaan-Nya. Cukup bagi-Nya untuk me-
narik saja penyelenggaraan-Nya yang menopang hidup kita.
Jikalau Ia menarik kembali Roh-Nya, dan mengembalikan
nafas-Nya yang berasal dari tangan-Nya dan masih berada di
tangan-Nya, maka segera saja kita pun berhenti hidup, se-
perti binatang dalam wadah yang udaranya disedot keluar.
(2) Hal yang dapat dilakukan Allah kepada kita tanpa berbuat
salah kepada kita. Ia dapat menarik kembali ciptaan yang
diberikannya untuk hidup kita. Kita hanya penyewa cipta-
an itu sesuai keinginan-Nya, dan kita pun sudah kehilang-
an hak atas ciptaan itu. Dengan demikian, selama pemberi-
an itu masih diberikan-Nya kepada kita sebab perkenan-
an-Nya semata, kita tidak memiliki alasan untuk menangis
sebab merasa dicurangi, saat ada kenyamanan yang
diambil dari hidup kita.
Tutur Kata Elihu
(34:16-30)
16 Jikalau engkau berakal budi, dengarkanlah ini, pasanglah telinga kepada
apa yang kuucapkan. 17 Dapatkah pembenci keadilan memegang kekuasaan,
dan apakah engkau mau mempersalahkan Dia yang adil dan perkasa, 18 Dia
yang berfirman kepada raja: Hai, orang dursila, kepada para bangsawan: Hai,
orang fasik; 19 Dia yang tidak memihak kepada para pembesar, dan tidak
mengutamakan orang yang terkemuka dari pada orang kecil, sebab mereka
sekalian yaitu buatan tangan-Nya? 20 Dalam sekejap mata mereka mati, ya,
pada tengah malam orang dikejutkan dan binasa; mereka yang perkasa dile-
nyapkan bukan oleh tangan orang. 21 sebab mata-Nya mengawasi jalan ma-
nusia, dan Ia melihat segala langkahnya; 22 tidak ada kegelapan ataupun
kelam kabut, di mana orang-orang yang melakukan kejahatan dapat bersem-
bunyi. 23 sebab bagi manusia Ia tidak menentukan waktu untuk datang
menghadap Allah supaya diadili, 24 orang-orang yang perkasa diremukkan-
Nya dengan tidak diperiksa, dan orang-orang lain diangkat-Nya ganti mereka.
25 Jadi, Ia mengetahui perbuatan mereka, dan menggulingkan mereka di
waktu malam, sehingga mereka hancur lebur. 26 Mereka ditampar-Nya ka-
rena kefasikan mereka, dengan dilihat orang banyak, 27 sebab mereka me-
ninggalkan-Nya, dan tidak mengindahkan satupun dari pada jalan-Nya, 28 se-
hingga mereka menyebabkan jeritan orang miskin naik ke hadapan-Nya, dan
Ia mendengar jeritan orang sengsara. 29 – Kalau Dia berdiam diri, siapa akan
menjatuhkan hukuman? Kalau Dia menyembunyikan wajah-Nya, siapa akan
melihat Dia, baik itu sesuatu bangsa atau orang seorang? –, 30 supaya jangan
menjadi raja orang fasik yang yaitu jerat bagi orang banyak.
Elihu di sini lebih mengarahkan perkataannya kepada Ayub. Sebe-
lumnya, ia berbicara kepada yang lain (ay. 10): orang-orang yang ber-
akal budi. Sekarang, saat berbicara kepada Ayub, ia menambahkan
jikalau di depan berakal budi: Jikalau engkau berakal budi, dengar-
kanlah ini dan amatilah (ay. 16).
I. Dengarkanlah ini, bahwa Allah tidak seharusnya diajak berbantah
dalam apa pun yang dilakukan-Nya. Sungguh prasangka yang
lancang jika kita menyalahkan dan menuding tindakan Allah,
seperti yang dilakukan Ayub dengan kekecewaannya. Menuding
Allah itu,
1. Sama tidak masuk akalnya seperti mengangkat seorang mu-
suh keadilan menjadi penguasa: Dapatkah pembenci keadilan
memegang kekuasaan (ay. 17). Tuhan yang adil begitu mencin-
tai keadilan sampai-sampai, dibandingkan dengan Allah, Ayub
sendiri, walaupun demikian saleh dan jujur, dapat dikatakan
membenci keadilan. Dan dapatkah Ayub memegang kekuasa-
an? Dapatkah dia mengatur Allah atau meluruskan hal yang
dilakukan-Nya? Dapatkah makhluk yang demikian tidak adil
seperti kita memberi hukum kepada Allah yang adil? Atau
haruskah Allah menyesuaikan tindakan-Nya dengan kemauan
kita? Jika kita merenungkan rusaknya kodrat kita, dan hal-hal
dalam diri kita yang bertentangan dengan hukum keadilan
yang kekal, maka pastilah kita akan menyadari betapa lancang
dan fasik jika kita mengatur Allah.
2. Menuding Allah itu sama tidak masuk akalnya seperti meng-
ajukan seorang pribadi yang paling adil dan tidak bersalah ke
persidangan, dan menjatuhkan penghakiman terhadap-Nya,
padahal sudah sangat jelas terbukti bahwa dia paling adil: Apa-
kah engkau mau mempersalahkan Dia yang adil dalam segala
jalan-Nya, yang tidak dapat tidak selalu adil?
3. Menuding Allah itu lebih tidak masuk akal dan tidak pantas
daripada perbuatan yang berkata kepada raja yang berdaulat,
Hai, orang dursila, dan kepada hakim di pengadilan, Hai, orang
fasik (ay. 18). Tindakan ini merupakan penghinaan tidak ter-
bayangkan terhadap keagungan dan kemuliaan peradilan. Ti-
dak ada raja, tidak ada pemimpin yang akan membiarkannya.
Dengan berpihak kepada pemerintah, kita menganggap putus-
an yang diberikan sudah benar, kecuali jika ada bukti jelas
untuk hal sebaliknya. Akan namun , apa pun yang kita pikirkan,
tetap tidak pantas mengatakan langsung ke hadapan raja
bahwa ia jahat. Natan menegur Daud dengan perumpamaan.
Namun, apa pun yang dilakukan imam atau nabi, tidaklah
pantas bagi seorang rakyat biasa membuat pernyataan yang
begitu berani terhadap penguasa yang ada. Betapa lebih ko-
nyol lagi untuk mengatakan hal itu kepada Allah, menuduh-
kan kejahatan kepada-Nya, yang tanpa memandang orang,
tidak tergoda untuk melakukan hal yang tidak adil! Dia tidak
mengutamakan orang yang terkemuka dari pada orang kecil,
dan sebab itu, pantaslah jika Dia memerintah, dan tidak
pantas jika kita mencari-cari kesalahan-Nya (ay. 19). Perhati-
kanlah, orang kaya dan orang miskin berdiri sama tinggi di
hadapan Allah. Orang besar tidak akan pernah lebih diuntung-
kan atau mendapat perkenanan sebab kekayaan dan kebe-
sarannya. Begitu pula, orang miskin tidak akan pernah diper-
lakukan tidak baik sebab kemiskinannya, atau perkara orang
jujur tidak dihiraukan. Ayub, walaupun saat ini miskin, tetap
mendapatkan perkenanan yang sama besar dari Allah, dan
tetap dihiraukan oleh-Nya, seperti waktu dia kaya, sebab me-
reka sekalian yaitu buatan tangan-Nya. Mengenai pribadi
mereka: orang miskin dibuat oleh tangan yang sama, meng-
gunakan cetakan yang sama, seperti halnya orang kaya. Me-
ngenai keadaan mereka: orang miskin dibuat miskin oleh pe-
nyelenggaraan ilahi, demikian pula orang kaya dibuat kaya
oleh penyelenggaraan yang sama. Oleh sebab itu, orang mis-
kin tidak akan pernah diperlakukan tidak baik sebab bagian
yang sudah ditentukan baginya itu, dan bukan sebab kesa-
lahannya.
II. Dengarkanlah ini, bahwa Allah harus diakui dan dipatuhi dalam
segala yang dilakukan-Nya. Berbagai pertimbangan diberikan Elihu
di sini kepada Ayub, untuk mengajari dia pikiran-pikiran yang
agung dan luhur akan Allah, supaya ia insaf dan tunduk lalu
menghentikan perbantahannya terhadap Allah.
1. Allah itu Mahakuasa, mampu mengendalikan orang-orang ter-
kuat sekalipun saat ia mengadakan penghakiman dengan
mereka (ay. 20). Bahkan orang banyak, seluruh bangsa, mes-
kipun begitu besar jumlahnya, dapat dikejutkan, dibuat gusar,
dan dikacaukan, sekehendak hati-Nya. Bahkan orang perkasa,
raja, meskipun begitu dihormati, ditakuti di antara manusia,
dapat, jika Allah berfirman, dilenyapkan dari takhtanya, bah-
kan dari negeri orang hidup. Mereka akan mati. Mereka akan
lenyap. Apa yang tidak dapat dilakukan-Nya, yang memiliki se-
gala kuasa maut dalam perintah-Nya? Lihatlah kehancuran
yang tiba-tiba ini: Dalam sekejap mata mereka mati. Bukan ma-
salah waktu bagi Allah untuk menjatuhkan musuh-Nya yang
sombong. Kapan saja Ia berkehendak, hal itu sesaat terjadi.
Allah juga tidak berkewajiban untuk memperingatkan mereka,
tidak, peringatan sebentar saja pun tidak. Pada malam ini juga,
jiwamu akan diambil dari padamu. Amatilah waktu terjadinya:
Pada tengah malam orang dikejutkan, saat mereka merasa
aman, lalai, dan tidak dapat menolong dirinya, seperti yang
terjadi pada orang Mesir saat anak-anak sulung mereka dibi-
nasakan. Ini pekerjaan Allah yang tiba-tiba: mereka dilenyap-
kan, bukan oleh tangan orang, tanpa dapat dilihat atau dirasa-
kan, oleh penghakiman yang diam-diam. Allah sendiri mampu
merendahkan penguasa yang lalim, tanpa bantuan atau per-
antaraan manusia. Tangan mana pun yang terkadang Dia
gunakan untuk mencapai tujuan-Nya, sebenarnya tidak dibu-
tuhkan-Nya, Dia dapat melakukannya tanpa tangan orang.
Bukan pula hanya satu orang perkasa saja yang dijungkirba-
likkan-Nya, bahkan sekumpulan besar mereka: “Orang-orang
yang perkasa diremukkan-Nya dengan tiada terbilang jumlah-
nya” (ay. 24; KJV). Sebab gabungan segala kuasa apa pun tidak
ada yang dapat bertahan terhadap Yang Mahakuasa. Meski
demikian, saat Allah menghancurkan penguasa yang lalim,
Dia tidak merancangkannya dengan semena-mena. Apabila
mereka yang memerintah dengan jahat diturunkan-Nya, bu-
kan berarti rakyat lantas tidak memiliki pemimpin. Sebab, saat
Dia meremukkan orang perkasa, orang-orang lain diangkat-
Nya ganti mereka, orang-orang yang akan memimpin dengan
lebih baik. Jika mereka tidak lebih baik, Dia menggulingkan
mereka di waktu malam, atau dalam semalam, sehingga mere-
ka hancur lebur (ay. 25). Lihatlah Belsyazar. Atau, jikalau Dia
memberi mereka kesempatan untuk bertobat, Dia tidak lantas
menghancurkan mereka sesaat itu juga, namun mereka di-
tampar-Nya sebab kefasikan mereka (ay. 26). Suatu hukuman
yang mempermalukan dan merendahkan dijatuhkan atas
mereka. Para pemimpin yang jahat ini dipukul sama seperti
orang fasik lain, sama pastinya, sama sakitnya, dipukul di
tubuhnya, hartanya, atau keluarganya, dan pukulan ini men-
jadi peringatan bagi orang-orang di sekitarnya. Pukulan ini
diberikan in terrorem – sebagai peringatan bagi yang lain, dan
sebab itu diberikan dengan dilihat orang banyak, agar mereka
dapat melihat dan menjadi takut, dan gemetar di hadapan
keadilan Allah. Jika raja saja tidak dapat bertahan di hadap-
an-Nya, bagaimana pula jadinya dengan kita!
2. Allah itu Mahatahu, dan dapat menyingkap hal-hal yang sa-
ngat tersembunyi. Sama seperti yang terkuat tidak dapat
menghadapi tangan-Nya, demikian pula yang tersamar pun
tidak dapat lolos dari mata-Nya. Oleh sebab itu, jika ada
orang dihukum lebih berat atau lebih ringan daripada yang
seharusnya menurut kita, ketimbang berbantah dengan Allah,
lebih baik kita memandangnya disebabkan oleh rahasia yang
hanya diketahui oleh Allah. Sebab,
(1) Segala sesuatu terbuka di hadapan-Nya (ay. 21): sebab
mata-Nya mengawasi jalan manusia, bukan hanya semua-
nya berada dalam jangkauan penglihatan-Nya sehingga Dia
dapat melihat mereka, namun juga mata-Nya mengawasi
mereka, Dia mengamati dan menyelidiki mereka. Dia meli-
hat kita semua, dan melihat ke mana saja kita pergi. Sila-
kan pergi ke mana saja, kita selalu diawasi oleh mata-Nya.
Semua tindakan kita, baik dan jahat, diperhitungkan, dica-
tat, dan disimpan untuk dihakimi saat kitab-kitab dibuka.
(2) Tidak ada yang tersembunyi atau dapat disembunyikan
dari-Nya (ay. 22): Tidak ada kegelapan ataupun kelam
kabut yang begitu dekat, begitu pekat, begitu tersembunyi,
begitu jauh dari cahaya atau pandangan sehingga seolah di
dalamnya orang-orang yang melakukan kejahatan dapat ber-
sembunyi dari mata yang menyelidiki dan tangan yang
membalas, yakni mata dan tangan Allah yang benar. Amati-
lah di sini,
[1] Orang-orang yang melakukan kejahatan, jika bisa, akan
bersembunyi dari mata dunia sebab rasa malu (dan
hal itu mungkin mereka lakukan), dan dari mata Allah
sebab rasa takut, seperti Adam bersembunyi di antara
pepohonan di taman Eden. namun hari itu akan datang
saat orang-orang berkuasa, dan perwira-perwira, akan
berteriak kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu
karang agar menyembunyikan mereka.
[2] Mereka akan lebih suka bersembunyi di balik bayang-
bayang maut, bersembunyi di balik kubur, dan ter-
baring di sana selamanya, ketimbang dihadapkan pada
takhta pengadilan Kristus.
(3) Sia-sia saja ingin menghindari keadilan Allah, atau melari-
kan diri saat murka-Nya mengejar kita. Orang-orang yang
melakukan kejahatan dapat mencari cara dan sarana
untuk bersembunyi dari manusia, namun tidak dari Allah: Ia
mengetahui perbuatan mereka (ay. 25), baik yang mereka
lakukan maupun yang mereka rancangkan.
3. Allah itu adil, dan dalam segala tindakan-Nya, Dia berlaku se-
suai dengan aturan kesamarataan. Bahkan sewaktu Dia meng-
gulingkan orang-orang perkasa, dan menghancurleburkan me-
reka, tetap saja bagi manusia Ia tidak menanggungkan lebih
berat daripada yang seharusnya (ay. 23). Sama seperti Allah
tidak akan menghukum yang tidak bersalah, demikian pula Ia
tidak akan menuntut mereka yang bersalah lebih dari yang
pantas menurut kesalahan mereka. Dan, mengenai kepantasan
penghukuman antara dosa dan hukuman, Sang Hikmat Tanpa
Batas yang akan menilai. Allah tidak akan memberikan alasan
bagi manusia untuk mengeluh bahwa Dia memperlakukan
mereka dengan keras, dan tidak akan ada manusia yang da-
tang menghadap Allah (KJV: berbantah dengan Allah), atau
mengajukan tuntutan melawan Dia. Jika manusia berbantah,
Allah pasti benar saat Dia berbicara, dan tidak bersalah saat
Dia menghakimi. Itulah sebabnya, Ayub memang harus diper-
salahkan atas keluhan-keluhannya terhadap Allah, dan dia di
sini dinasihati dengan baik untuk meninggalkan perbuatannya
itu, sebab ia pasti ditolak dan dianggap berlaku tidak pantas.
Tidaklah pantas bagi manusia berikhtiar untuk datang meng-
hadap Yang Mahakuasa dalam pengadilan. Demikianlah bebe-
rapa penafsir membaca seluruh ayat ini. Ayub sudah sering
kali ingin membawa perkaranya ke hadapan Allah. Elihu ber-
tanya, “Untuk apa? Penghakiman yang sudah diputuskan ber-
kaitan denganmu pasti akan diteguhkan. Tidak ada kesalahan
yang akan ditemukan dalam penghakiman-Nya, dan tidak
akan ada pengecualian apa pun di situ, selain bahwa peng-
hakiman itu harus tetap berlaku seperti adanya.” Semua yang
Allah lakukan baik, dan akan didapati demikian. Untuk mem-
buktikan bahwa saat Allah menghancurkan orang-orang per-
kasa, dan menampar mereka sebab kefasikan mereka, Dia
tidak menanggungkan kepada mereka lebih berat daripada
yang seharusnya, Dia menunjukkan kepada mereka kefasikan
mereka (ay. 27-28). Biarlah manusia membandingkannya de-
ngan hukuman mereka, dan menilai apakah mereka pantas
mendapatkannya. Singkatnya, hakim-hakim yang tidak adil
ini, yang akan dihakimi Allah dengan adil, tidak takut akan
Allah dan tidak menghormati seorangpun (Luk. 18:2).
(1) Mereka memberontak terhadap Allah: Mereka meninggal-
kan-Nya, membuang rasa takut akan Dia, dan sama sekali
tidak peduli dengan Dia. Mereka tidak mengindahkan satu-
pun dari pada jalan-Nya, tidak mengindahkan baik ketetap-
an-Nya maupun penyelenggaraan-Nya, melainkan hidup
tanpa Allah di dunia. Inilah yang menjadi alasan dari se-
gala kejahatan orang jahat, yaitu mereka meninggalkan
Allah. Dan, hal itu terjadi sebab mereka tidak mengindah-
kan Allah, bukan sebab mereka tidak bisa, namun sebab
mereka tidak mau mengindahkan-Nya. Dari ketidakacuhan
muncullah ketidaksalehan, dan dari sana muncullah segala
kebejatan.
(2) Hakim-hakim yang tidak benar itu menjadi penguasa yang
lalim bagi seluruh umat manusia (ay. 28). Mereka sendiri
tidak akan berseru kepada Allah. Namun, mereka menye-
babkan jeritan orang miskin naik ke hadapan-Nya, dan jerit-
an itu melawan mereka. Mereka mencelakakan dan menin-
das orang miskin, menyakiti mereka, menghancurkan me-
reka, membuat mereka lebih miskin lagi, dan menambah
penderitaan ke atas penderitaan mereka. Orang miskin itu
berseru kepada Allah, menaikkan keluhan mereka kepada-
Nya, dan Dia mendengar mereka dan membela perkara me-
reka. Buruklah perkara orang, jika doa dan air mata orang
miskin menentang mereka. Sebab jeritan orang yang tertin-
das, cepat atau lambat, akan menarik turun pembalasan
terhadap kepala si penindas, dan tidak seorang pun dapat
berkata pembalasan ini lebih berat daripada seharusnya
(Kel. 22:23).
4. Allah memiliki kuasa yang tidak dapat dikendalikan dalam
segala urusan anak manusia. Dia membimbing dan mengatur
segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan sekumpulan orang
maupun orang per orang sedemikian rupa sehingga hal yang
dirancangkan-Nya tidak dapat ditentang, dan hal yang dilaku-
kan-Nya tidak dapat diubah (ay. 29). Amatilah,
(1) Ketidaksukaan siapa pun di dunia tidak dapat merisaukan
orang yang ditenangkan Allah dengan senyum-Nya. Kalau
Dia memberikan ketenangan, siapa akan meresahkan?” (ay.
29, KJV). Hal ini sungguh mendatangkan tantangan bagi
segala kekuasaan di neraka dan di bumi untuk meresah-
kan orang yang kepadanya Allah memfirmankan damai dan
menciptakan damai. Jika Allah memberikan damai lahiriah
kepada sebuah bangsa, Dia dapat menjamin damai yang
diberikan-Nya, dan melumpuhkan musuh agar tidak dapat
mengganggu damai itu. Jika Allah memberikan damai ba-
tiniah kepada seseorang, yaitu ketenangan dan rasa aman
abadi yang berasal dari kebenaran, maka segala tuduhan
Iblis maupun penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat,
tidak, bahkan sergapan maut pun, tidak dapat meresahkan
orang itu. Apa yang dapat menggelisahkan orang itu sendiri
akan menetap dalam kebahagiaan (Lih. Flp. 4:7)?
(2) Senyuman seluruh dunia tidak dapat menenangkan orang
yang digelisahkan Allah dengan kemarahan-Nya. Sebab,
kalau Dia, dalam ketidaksenangan-Nya, menyembunyikan
wajah-Nya, dan menahan penghiburan perkenanan-Nya,
maka siapa akan melihat Dia? Yaitu, siapa yang dapat
sanggup memandang Allah yang sedang marah, sanggup
menghadapi murka-Nya atau mengalihkannya? Siapa yang
dapat membuat Allah memperlihatkan wajah-Nya saat Dia
memutuskan untuk menyembunyikannya, atau melihat
menembus awan dan kegelapan yang melingkupi-Nya?
Atau, siapa yang dapat sanggup memandang orang berdosa
yang gelisah sehingga memberinya kelegaan? Siapa yang
dapat tahan menjadi sahabat orang yang dimusuhi Allah?
Tidak ada orang yang dapat memberi kelegaan pada kesu-
sahan lahiriah tanpa Allah. Jika TUHAN tidak menolong
engkau, dengan apakah aku dapat menolong engkau (2Raj.
6:27)? Begitu pula, tidak ada orang yang dapat memberi
kelegaan pada pikiran yang menentang Allah dan kengeri-
an-Nya. Jika Allah menaruh kesan murka terhadap nurani
yang bersalah, segala penghiburan yang dapat diberikan
makhluk ciptaan tidak akan berarti. Seperti cuka pada
luka, demikianlah orang yang menyanyikan nyanyian untuk
hati yang sedih (Ams. 25:20, KJV) . Ketidakmampuan kita
dalam melawan segala perjaan Allah harus kita akui saat
Ia berurusan dengan sekumpulan orang maupun orang per
orang. Apa yang Ia perbuat tidak dapat dikendalikan, baik
terhadap sesuatu bangsa secara umum maupun terhadap
orang seorang dalam perkara pribadinya. Sang Penyeleng-
gara yang menguasai kerajaan-kerajaan perkasa juga meng-
atur perkara orang per orang yang hina dina. Kekuatan selu-
ruh bangsa tidak mampu menahan kuasa-Nya, dan tidak
berartinya satu orang tidak dapat lolos dari perhatian-Nya.
Dan, segala sesuatu yang dilakukan-Nya pasti akan ber-
hasil dan berjaya.
5. Allah itu bijaksana, dan peduli dengan kesejahteraan orang
banyak. Oleh sebab itu, Dia mengatur supaya jangan menjadi
raja orang fasik yang yaitu jerat bagi orang banyak (ay. 30).
Lihatlah di sini,
(1) Kesombongan orang munafik. Mereka ingin memerintah.
Pujian manusia dan kuasa di dunia yaitu upah mereka,
yang mereka kejar.
(2) Cara-cara pemimpin yang lalim. Saat ingin meninggikan
dirinya, mereka adakalanya memakai agama sebagai
jubah untuk menutupi ambisi mereka, dan dengan kemu-
nafikan, mereka naik ke atas takhta.
(3) Bahaya yang dihadapi orang banyak saat orang munafik me-
merintah. Mereka mungkin akan dijerat dalam dosa, atau
kesulitan, atau keduanya. Kuasa, di tangan orang munafik,
sering kali berbahaya bagi hak dan kemerdekaan orang ba-
nyak, yang lebih mudah mereka hasut daripada paksa. Be-
gitu pula, banyak kejahatan telah dilakukan terhadap kua-
sa kesalehan oleh perbuatan yang bertopengkan kesalehan.
(4) Tindakan yang diambil Sang Penyelenggara ilahi untuk me-
lindungi orang banyak demi menghindarkan bahaya ini, su-
paya orang fasik jangan menjadi raja (ay. 30, KJV), entah
supaya dia jangan sampai memerintah, atau jangan terlalu
lama memerintah. Jika Allah berbelaskasihan kepada sua-
tu bangsa, Dia akan mencegah naiknya pemimpin yang fa-
sik atau mempercepat keruntuhan mereka.
Tutur Kata Elihu
(34:31-37)
31 namun kalau seseorang berkata kepada Allah: Aku telah menyombongkan
diri, namun aku tidak akan lagi berbuat jahat; 32 apa yang tidak kumengerti,
ajarkanlah kepadaku; jikalau aku telah berbuat curang, maka aku tidak
akan berbuat lagi, 33 menurut hematmu apakah Allah harus melakukan pem-
balasan sebab engkau yang menolak? Jadi, engkau jugalah yang harus me-
mutuskan, bukan aku; katakanlah apa yang engkau tahu! 34 Maka orang-
orang yang berakal budi dan orang yang mempunyai hikmat yang mende-
ngarkan aku akan berkata kepadaku: 35 Ayub berbicara tanpa pengetahuan,
dan perkataannya tidak mengandung pengertian. 36 Ah, kiranya Ayub diuji
terus-menerus, sebab ia menjawab seperti orang-orang jahat! 37 sebab ia
menambahkan dosanya dengan pelanggaran, ia mengepalkan tangan di anta-
ra kami dan banyak bicara terhadap Allah.”
Dalam perikop ini,
I. Elihu mengajar Ayub apa yang seharusnya dikatakannya dalam
penderitaannya (ay. 31-32). Setelah menegur Ayub atas kata-
katanya yang cerewet dan penuh kemarahan, Elihu di sini meng-
ajarkan kata-kata yang lebih baik untuk diucapkan Ayub. saat
kita menegur yang salah, kita juga harus mengarahkan ke yang
benar, supaya teguran kita menjadi teguran yang mendidik (Ams.
6:23). Elihu tidak memaksakan kata-kata ini kepada Ayub,
melainkan menganjurkannya kepadanya, sebagai hal yang patut
dikatakan. Pada umumnya, dia ingin Ayub bertobat dari perilaku-
nya yang tidak pantas, dari ungkapan-ungkapan yang tidak patut,
dalam penderitaannya. Sahabat-sahabat Ayub yang lain ingin
agar Ayub mengakui bahwa dia orang jahat, namun mereka menga-
caukannya sebab berlebihan melakukannya. Elihu hanya ingin
membuat Ayub mengakui bahwa dia, dalam berdebat, teledor de-
ngan kata-katanya. Biarlah kita mengingat hal ini, dalam memberi
teguran, janganlah kita membuat masalah yang ada lebih buruk
daripada sebenarnya. Sebab dengan melebih-lebihkan kejahatan,
pihak penuntut bisa kalah dalam persidangan. Elihu bertindak
benar, dan terus maju. Dia mengarahkan Ayub,
1. Untuk merendahkan dirinya di hadapan Allah atas dosa-dosa-
nya, dan untuk menerima hukuman atas dosa-dosa itu, “Aku
telah menanggung hajaran” (ay. 31, KJV). Apa yang kuderita
adil bagiku, dan sebab itu, aku akan menanggungnya, dan
bukan hanya mengakui bahwa Allah benar dalam perbuatan-
nya, namun juga mengakui kebaikan-Nya.” Banyak orang yang
dihajar tidak mau menanggung hajaran yang diterimanya,
tidak mau menanggungnya dengan baik, dan akibatnya tidak
bersedia menanggungnya sama sekali. Orang yang bertobat,
jika mereka tulus, akan menerima dengan baik segala yang
dilakukan Allah, dan akan menanggung hajarannya sebagai
tindakan penyembuhan yang dimaksudkan untuk kebaikan.
2. Untuk berdoa kepada Allah agar menyingkapkan dosanya ke-
padanya (ay. 32): “Apa yang tidak kumengerti, ajarkanlah kepa-
daku. Tuhan, setelah merenungkan, aku menemukan banyak
kesalahan dalam diriku dan banyak kesalahan yang telah
kulakukan. Malah beralasan bagiku untuk takut ada lebih ba-
nyak kesalahan lagi yang tidak kusadari, kekejian yang lebih
besar, yang sebab keteledoran, kesalahan, dan suka membela
diri sendiri, belum dapat kulihat. Tuhan, buatlah aku melihat-
nya, sadarkan aku dengan nurani untuk melakukan kewajib-
anku dengan setia.” Orang benar bersedia memahami sisi ter-
buruk dirinya, dan terutama, dalam penderitaan, sangat ingin
diberi tahu alasan Allah berperkara dengannya dan rancangan
Allah dalam menegurnya.
3. Untuk menjanjikan perubahan (ay. 31): Aku tidak akan lagi
berbuat jahat. “Jikalau aku telah berbuat curang (atau, sebab
aku memang telah berbuat curang), maka aku tidak akan
berbuat lagi. Apa pun yang Engkau dapati salah dalam diriku,
dengan kasih karunia, akan kuperbaiki di masa depan.” Per-
kataan ini menyiratkan pengakuan bahwa kita telah melaku-
kan pelanggaran, penyesalan sejati, dan dukacita saleh atas
pelanggaran itu, dan ketundukan yang penuh kerendahan hati
terhadap rancangan Allah dalam menyengsarakan kita, yang
bertujuan untuk memisahkan kita dari dosa-dosa kita. De-
ngan ini, orang yang bertobat itu menyempurnakan pertobat-
annya. Sebab tidaklah cukup merasa menyesal atas dosa-dosa
kita, namun kita juga harus pergi dan tidak berbuat dosa lagi,
dan, seperti dinyatakan di sini, mengikat diri kita dengan ikat-
an tekad yang teguh untuk tidak kembali lagi melakukan ke-
bodohan. Pernyataan ini cocok dikatakan dalam tekad yang
pasti, dan cocok dikatakan kepada Allah dalam janji dan sum-
pah yang sungguh-sungguh.
II. Elihu mempersoalkan Ayub mengenai kekecewaan dan keresahan
Ayub dalam penderitaannya (ay. 23). Kita mudah berpikir bahwa
segala sesuatu yang berkaitan dengan diri kita seharusnya tepat
seperti yang kita harapkan. Namun, Elihu di sini menunjukkan,
1. Sungguh konyol dan tidak masuk akal berharap demikian:
“Menurut hematmu apakah Allah harus melakukan pembalas-
an? (ay. 33). Tidak, mengapa harus demikian?” Elihu di sini
berbicara dengan rasa hormat yang besar akan kehendak dan
hikmat ilahi, dan hatinya puas: sangatlah pantas bahwa
segala sesuatu terjadi menurut pikiran Allah. Dia juga ber-
bicara mencela lagak orang sombong, serasa ingin menguliti
mereka: Haruskah menurut kehendakmu? Haruskah kita selalu
mendapatkan kebaikan yang ingin kita nikmati? Kalau begitu,
kita harus menyalahi dan melanggar hak orang dan dengan
bodoh menjerat diri kita sendiri. Tidak bolehkah kita diseng-
sarakan sebab kita tidak mengharapkannya? Pantaskah jika
orang berdosa tidak kena hukuman, jika orang pintar tidak
boleh diajar? Atau, jika kita harus disengsarakan, pantaskah
jika boleh memilih tongkat yang akan memukul kita? Tidak.
Memang sudah seharusnya segala sesuatu terjadi menurut
pikiran Allah, dan bukan pikiran kita. Sebab Dia yaitu Pen-
cipta, dan kita ciptaan. Dia bijaksana dan Maha mengetahui
tanpa batas, sedangkan kita bodoh dan berpandangan sempit.
Pikiran Allah bulat, sementara pikiran kita terbagi-bagi.
2. Sungguh sia-sia, dan tidak ada gunanya, berharap demikian:
“Allah akan mengadakan pembalasan entah engkau menolak
atau engkau memilih.” (ay. 33, KJV). Allah akan melakukan me-
nurut cara-Nya sendiri, memenuhi, menggenapi rencana-Nya
sendiri, dan membalas menurut putusan pengadilan-Nya sen-
diri, entah engkau senang atau tidak. Allah tidak akan memin-
ta izinmu atau menanyakan saranmu. Sebaliknya, hal yang
sesuai kehendak-Nya, itulah yang akan dilakukan-Nya. Oleh
sebab itu, bijaksanalah engkau jika engkau tenang, dan meng-
ambil hikmahnya. Berbuat yang terbaik dalam keadaan yang
ada, sebab engkau tidak berkuasa mengubah keadaan itu.
Jika engkau berlagak ingin memilih dan menolak,” yaitu,
“mengatur Allah dan menentang perbuatan-Nya, aku tidak
akan berbuat demikian. Aku akan menerima saja segala yang
diperbuat-Nya. Katakanlah apa yang akan engkau lakukan,
akankah engkau menolak atau tunduk. Perkara ini dibentang-
kan dengan jelas di hadapanmu. Jangan bertele-tele. Engkau
ada di tangan Allah, bukan di tanganku.”
III. Elihu bertanya kepada semua orang yang berpengertian dan tidak
berpihak apakah bukan dosa dan kebodohan besar ucapan yang
dikatakan Ayub.
1. Elihu ingin agar masalah itu diselidiki dengan saksama dan
diperkarakan: “Ah, kiranya Ayub diuji terus-menerus (ay. 36).
Jika ada orang yang mau membenarkan ucapan Ayub, biarlah
mereka melakukannya. Jika tidak ada, marilah kita bersepa-
kat untuk memberi kesaksian yang menentangnya.” Banyak
orang menafsirkan ujian ini sebagai penderitaan Ayub: “Biar-
lah penderitaan Ayub diteruskan hingga ia betul-betul ditun-
dukkan, dan rohnya yang sombong direndahkan, sampai ia
melihat kesalahannya dan menarik kembali ucapan lancang
yang dikatakannya terhadap Allah dan penyelenggaraan-Nya.
Biarlah ujian Ayub dilanjutkan sampai tujuannya tercapai.”
2. Elihu berseru kepada Allah dan manusia, dan meminta peni-
laian keduanya atas hal itu.
(1) Beberapa orang menafsirkan ayat 36 sebagai seruan ke-
pada Allah: Ya Bapaku, kiranya Ayub diuji. Demikianlah
tafsiran luasnya, sebab kata yang sama dipakai untuk ke-
inginanku dan Bapaku. Dan beberapa orang menduga
bahwa Elihu menengadah saat mengatakan ini, yaitu, “Ya
Bapaku yang di sorga! Kiranya Ayub diuji sampai dia
tunduk.” Saat kita berdoa untuk mendapatkan manfaat
dari penderitaan, baik bagi diri kita sendiri maupun orang
lain, kita harus melihat Allah sebagai Bapa, sebab pen-
deritaan itu merupakan teguran seorang ayah dan bagian
dari didikan keluarga (Ibr. 12:7).
(2) Elihu berseru kepada orang-orang yang lewat (ay. 34):
“Kiranya orang-orang yang berakal budi berkata kepadaku
apakah mereka dapat membenarkan perkataan Ayub, bah-
wa Ayub tidak berkata-kata jahat, dan ia tidak perlu ber-
seru, Peccavi – Aku telah berbuat kesalahan.” Dalam ucap-
an yang dikatakan Ayub, Elihu melihat,
[1] Bahwa Ayub sendiri tidak benar-benar memahami diri-
nya sendiri, sehingga berbicara bodoh (ay. 35). Elihu
tidak dapat menuduh Ayub tidak berpengetahuan dan
berhikmat. Namun, dalam perkara ini, Ayub berbicara
tanpa pengetahuan, dan, apa pun yang dimaksudkan
Ayub dalam hatinya, perkataannya tidak bijaksana. Apa
yang dikatakannya terhadap istrinya dapat dikembali-
kan kepada dirinya sendiri, dia berbicara seperti orang
gila. Dan dengan pemikiran yang sama, Apakah kita
mau menerima yang baik dari Allah, namun tidak mau
menerima yang buruk (2:10)? Terkadang kita sendiri
membutuhkan dan pantas menerima teguran yang kita
berikan kepada orang lain. Orang yang menghina hik-
mat Allah sebenarnya menghina hikmatnya sendiri.
[2] Bahwa Ayub tidak memberi hormat yang seharusnya
kepada Allah, berbicara jahat. Jika perkataannya diuji
sampai akhir, yaitu, jika orang mengupasnya sampai
seburuk-buruknya, akan didapati:
Pertama, bahwa Ayub telah memihak musuh Allah:
Ia menjawab seperti orang-orang jahat. Artinya, perkata-
an Ayub cenderung menguatkan tangan dan mengeras-
kan hati orang jahat dalam kejahatan mereka, yaitu
dengan membawa-bawa masalah kesejahteraan mereka
lebih daripada yang perlu dilakukannya. Biarlah orang-
orang jahat, seperti Baal, berseru membela dirinya sen-
diri, jika mereka mau. Akan namun , jauhlah dari kita
untuk membela mereka, atau mengatakan apa pun
yang mendukung mereka.
Kedua, bahwa Ayub telah menghina sahabat-saha-
bat Allah, dan mengolok-olok mereka: “Ia bertepuk ta-
ngan di antara kami” (ay. 37, KJV). sebab itu, jika tidak
benar-benar diuji dan direndahkan, ia akan semakin
lancang dan sombong, seolah dia telah menang dan ber-
hasil membungkam kita semua.” Berbicara jahat saja
sudah cukup buruk, namun bertepuk tangan dan berso-
rak di dalamnya, seolah kesalahan dan kemarahan su-
dah menang, lebih buruk lagi.
Ketiga, bahwa Ayub telah berbicara menentang Allah
sendiri, dan, dengan mempertahankan ucapannya, ia
menambahkan dosanya dengan pelanggaran. Berbicara
menentang Allah, walaupun hanya satu kata, yaitu
dosa besar, sebab Allah yang membuat kita dapat ber-
bicara, dan sebab itu demi Dia seharusnya kita ber-
bicara. Apalagi sampai banyak bicara menentang Dia,
seolah kita ingin mengalahkan Dia dengan perkataan
kita? Apalagi sampai mengulangi perkataan kita, dan
bukan mencabutnya? Barang siapa berbuat dosa, dan,
saat diminta bertobat, terus saja menentang, ia menam-
bahkan pemberontakan pada dosanya, menjadikan dosa-
nya itu teramat sangat jahat. Errare possum, Haereticus
esse nolo – Aku bisa saja jatuh ke dalam kesalahan, namun
aku tidak akan terjun ke dalam kesesatan pikiran.
PASAL 35
arena Ayub masih diam, Elihu meneruskan tegurannya. Dan di
sini, untuk ketiga kalinya, dia berusaha menunjukkan kepada
Ayub bahwa perkataannya keliru dan harus ditarik kembali. Elihu
mendakwa Ayub atas tiga perkataan yang tidak patut, serta memberi-
kan tiga jawaban berbeda terhadap masing-masing ucapan tersebut:
I. Ayub menggambarkan ibadah kepada Allah sebagai sesuatu
yang tidak penting dan tidak menguntungkan, hanya diperin-
tahkan oleh Allah demi kepentingan-Nya sendiri, bukan demi
manusia. Elihu memperlihatkan yang sebaliknya (ay. 1-8).
II. Ayub mengeluh bahwa Allah menutup telinga-Nya terhadap
seruan orang tertindas. Terhadap tuduhan tersebut, Elihu
membela kebenaran Allah (ay. 9-13).
III. Ayub sudah putus asa menantikan kembalinya perkenanan
Allah atas dirinya, sebab begitu lama perkenanan itu tidak
kunjung datang. namun , Elihu menunjukkan alasan yang se-
benarnya di balik penundaan tersebut (ay. 14-16).
Tutur Kata Elihu
(35:1-8)
1 Maka berbicaralah Elihu: 2 “Inikah yang kauanggap adil dan yang kausebut:
kebenaranku di hadapan Allah, 3 kalau engkau bertanya: Apakah gunanya
bagiku? Apakah kelebihanku bila aku berbuat dosa? 4 Akulah yang akan mem-
beri jawab kepadamu dan kepada sahabat-sahabatmu bersama-sama dengan
engkau: 5 Arahkan pandanganmu ke langit dan lihatlah, perhatikanlah awan-
awan yang lebih tinggi dari padamu! 6 Jikalau engkau berbuat dosa, apa yang
akan kaulakukan terhadap Dia? Kalau pelanggaranmu banyak, apa yang
kaubuat terhadap Dia? 7 Jikalau engkau benar, apakah yang kauberikan
kepada Dia? Atau apakah yang diterima-Nya dari tanganmu? 8 Hanya orang
seperti engkau yang dirugikan oleh kefasikanmu dan hanya anak manusia
yang diuntungkan oleh kebenaranmu.
Dalam ayat-ayat di atas terdapat,
I. Perkataan Ayub yang jahat yang ditegur Elihu (ay. 2-3). Untuk
memperlihatkan jahatnya perkataan itu, ia mengarahkan teguran-
nya langsung kepada Ayub dan memintanya bercermin dengan
akal sehatnya sendiri: “Apakah engkau menganggap dirimu be-
nar?” (KJV). Pertanyaan itu menunjukkan keyakinan Elihu bahwa
tegurannya tepat, sebab ia berani menujukan penilaian itu ke-
pada Ayub sendiri. Barang siapa memiliki kebenaran dan keadil-
an, cepat atau lambat, hati nurani setiap orang pun akan ber-
pihak kepadanya. Pertanyaan Elihu juga menunjukkan pandang-
annya yang baik tentang Ayub. Ia percaya pikiran Ayub lebih
jernih daripada kata-katanya, dan meskipun sudah berkata ke-
liru, Ayub tidak akan bersikeras bertahan saat ia menyadari kesa-
lahannya. Sewaktu kita mengucapkan sesuatu yang salah dalam
keadaan tergesa-gesa, kita wajib mengaku bahwa pikiran kita se-
lanjutnyalah yang menyadarkan diri kita bahwa perkataan tadi
keliru. Elihu menegur Ayub sebab dua hal:
1. Ia menganggap dirinya lebih benar daripada Allah. Inilah hal
pertama yang menggusarkan Elihu (32:2). “Engkau sesung-
guhnya berkata, ‘Kebenaranku lebih daripada kebenaran Allah’”
(ay. 2, KJV). Artinya, “Yang telah kulakukan bagi Allah lebih ba-
nyak daripada semua yang pernah Dia kerjakan bagiku, sehing-
ga saat dihitung selisihnya, terbuktilah bahwa Allah berutang
kepadaku.” Ayub seolah beranggapan bahwa kesalehannya
tidak diberi imbalan yang setimpal, sedangkan dosanya dihu-
kum lebih berat daripada semestinya. Hal seperti itu sangat
jahat dan fasik untuk dipikirkan, apalagi diucapkan. saat
Ayub bersikeras tentang ketulusannya dan kekejaman perla-
kuan Allah, pada dasarnya dia berkata, “Aku lebih benar dari-
pada Allah,” padahal, walapun kita sangat baik namun penderi-
taan kita begitu berat, kita tetaplah orang berdosa, sedangkan
Allah tidak.
2. Ia menyangkal faedah dan berkat dari ibadah sebab dirinya
mengalami penderitaan. “Apakah gunanya bagiku bila aku ber-
sih dari dosa?” (ay. 3). Perkataan ini berasal dari pasal 9:30-
31, “Walaupun aku mencuci tanganku dengan sabun, apakah
gunanya bagiku? Engkau akan membenamkan aku dalam
lumpur.” Dan pasal 10:15, “Kalau aku bersalah, celakalah aku!
Dan kalau pun aku benar, sama saja.” Saat membandingkan
kesengsaraannya dengan kemakmuran orang fasik, pemazmur
juga tergoda untuk mengeluh, “Sia-sia sama sekali aku mem-
pertahankan hati yang bersih” (Mzm. 73:13). Jadi jika Ayub
mengucapkan hal serupa, ia pada dasarnya berkata, “Kebenar-
anku lebih daripada kebenaran Allah” (ay. 2, KJV), sebab bila ia
tidak mendapat apa-apa sebab kesalehannya, berarti Allah
berutang kepadanya lebih banyak daripada utangnya kepada
Allah. Akan namun , sekalipun teguran ini tampaknya beralas-
an, namun tidaklah adil menuduh Ayub bersalah di sini, se-
bab ia sendiri sebelumnya sudah menegaskan bahwa perkata-
an seperti itu yaitu ucapan jahat dari orang-orang berdosa
yang makmur (21:15, “Apa manfaatnya bagi kami, kalau kami
memohon kepada-Nya?), dan juga, Ayub sendiri mengakui ia
tidak setuju dengan ucapan seperti itu. Rancangan orang fasik
yaitu jauh dari padaku (21:16). Menuntut orang lain me-
nanggung akibat dari ucapan yang sudah jelas-jelas mereka
sangkal yaitu cara berdebat yang tidak adil.
II. Jawaban yang bagus dari Elihu terhadap ucapan Ayub (ay. 4).
“Akulah yang akan memberi jawab kepadamu dan kepada saha-
bat-sahabatmu bersama-sama dengan engkau,” yaitu, “semua
orang yang menyetujui perkataanmu dan membenarkan engkau
dengan perkataan itu, serta semua yang lain yang sependapat
dengan kata-katamu. Kepada mereka, aku hendak mengajukan
perkataan yang akan membungkam mereka semua.” Untuk itu,
Elihu memakai pernyataannya sebelumnya (33:12), yakni “Allah
itu lebih dari pada manusia.” Kebenaran ini, bila dipakai de-
ngan tepat, akan mendukung banyak maksud baik, dalam hal ini
khususnya untuk membuktikan bahwa Allah tidak berutang ke-
pada siapa pun. Orang yang paling besar sekalipun bisa saja ber-
utang kepada yang paling hina. Namun, perbedaan jarak antara
Allah dan manusia begitu tidak terbatas perbandingannya hingga
Allah yang Mahabesar tidak mungkin menerima keuntungan dari
manusia. Oleh sebab itu, mustahil Allah berutang atau memiliki
suatu kewajiban kepada manusia. Jika Dia harus bertanggung
jawab sebab tujuan dan janji-Nya, Dia bertanggung jawab ke-
pada diri-Nya sendiri. Tidak seorang pun sanggup memenuhi tan-
tangan ini (Rm. 11:35), Siapakah yang pernah memberikan sesua-
tu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Coba bukti-
kanlah. Mengapa kita harus menuntut berkat atas kesalehan kita
(seperti yang Ayub perbuat) sebagai suatu utang, padahal Allah
yang kita layani tidak mendapat keuntungan apa-apa dari kita?
1. Elihu tidak perlu membuktikan bahwa Allah lebih tinggi dari-
pada manusia. Semua menyetujui hal itu. Namun, ia berusaha
meyakinkan Ayub dan kita tentang betapa luhurnya Allah,
dengan menunjukkan tingginya langit dan awan-awan (ay. 5).
Semua itu jauh tinggi di atas kita, dan Allah jauh lebih tinggi
lagi di atas mereka. Jadi betapa jauh lagi Ia tak terjangkau
dengan dosa kita atau segala ibadah kita! Arahkan pandangan-
mu ke langit dan lihatlah, perhatikanlah awan-awan. Allah me-
negakkan manusia, coelumque tueri jussit – dan menyuruhnya
memandang ke langit. Para penyembah berhala melihat ke
atas, lantas menyembah benda-benda langit, matahari, bulan,
dan bintang-bintang. namun kita harus melihat ke langit lantas
menyembah Tuhan atas bala tentara langit. Mereka lebih ting-
gi daripada kita, namun Allah lebih tinggi dan tanpa terbatas
daripada mereka. Keagungan-Mu yang mengatasi langit (Mzm.
8:2), dan hikmat Allah lebih tinggi daripada langit (11:8).
2. Dari situ, Elihu menyimpulkan bahwa Allah tidak terpengaruh
oleh apa pun yang kita lakukan.
(1) Ia mengakui bahwa sesama manusia bisa diuntungkan atau
dirugikan oleh perbuatan kita (ay. 8): Hanya orang seperti
engkau yang mungkin dirugikan oleh kefasikanmu. Kefasik-
an dapat menimbulkan masalah bagi orang lain. Orang fasik
bisa melukai, merampok, memfitnah sesamanya, atau me-
nyeretnya ke dalam dosa sehingga mencelakakan jiwanya.
Demikian pula kebenaranmu, keadilanmu, amal baikmu,
hikmat, serta kesalehanmu, bisa menguntungkan anak ma-
nusia. Kebaikan kita dirasakan oleh orang-orang kudus
yang ada di tanah ini (Mzm. 16:3). Hanya kepada sesama
manusia seperti kitalah, kita mampu melakukan percede-
raan atau kebaikan. Dalam perbuatan kita itulah, Tuhan
yang berdaulat sekaligus Hakim atas semesta melibatkan
diri-Nya, untuk mengganjar yang berbuat baik dan meng-
hukum yang menyakiti sesama ciptaan. Dan,
(2) Elihu sepenuhnya menyangkal bahwa Allah bisa dirugikan
atau diuntungkan oleh apa pun yang diperbuat, atau yang
bisa diperbuat oleh manusia, bahkan orang terbesar di
muka bumi sekalipun.
[1] Dosa-dosa orang durhaka yang paling jahat tidak meru-
gikan Dia (ay. 6): “Jikalau engkau berbuat dosa dengan
sengaja dan dengan maksud jahat menantang Dia, bah-
kan kalau pelanggaranmu banyak dan tindakan berdosa
itu diulang-ulang begitu seringnya, apa yang kaubuat
terhadap Dia?” Pertanyaan ini yaitu tantangan bagi
pikiran kedagingan, dan menantang pendosa yang pa-
ling berani untuk melakukan yang terburuk. Pernyata-
an Elihu menunjukkan betapa besar dan mulianya
Allah hingga musuh-Nya yang terjahat pun tidak sang-
gup menyebabkan kerugian yang nyata bagi-Nya. Dosa
disebut kejahatan terhadap Allah sebab pelakunya me-
mang bermaksud menentang Allah, dan menista kehor-
matan-Nya. Namun, dosa tidak dapat berakibat apa-apa
terhadap Allah. Maksud jahat dari orang-orang berdosa
tidaklah berdaya, ia tidak mampu menghancurkan ke-
beradaan Allah maupun kesempurnaan-Nya, tidak da-
pat menggulingkan Dia dari kuasa dan kekuasaan-Nya,
tid