ah dewan penasihat untuk menasihati diri-
nya, namun Raja atas segala raja tidak perlu memiliki pena-
sihat. Juga tidak ada seorang pun yang pantas untuk
mengarahkan tindakan kita seperti Dia. Tak seorang pun
mengajar dengan otoritas yang sedemikian besar dan bukti
yang meyakinkan, dengan kerendahan hati dan belas ka-
sihan serta dengan kuasa dan keberhasilan yang sedemi-
kian hebat seperti Allah. Ia mengajar melalui Alkitab, dan
itulah kitab yang terbaik, mengajar melalui Anak-Nya, dan
Ia-lah Guru yang terbaik.
(3) Bahwa Ia selalu benar di dalam segala tindakannya tanpa
kecuali: siapa berani berkata: Engkau telah berbuat curang?
Tidak ada, siapa berani berkata demikian? Banyak yang
melakukan kejahatan, dan mereka yang memberitahunya
untuk melakukan demikian dalam kebinasaan mereka, te-
tapi siapakah yang berani berkata? Siapakah yang punya
alasan untuk berkata Ia curang? Siapa yang dapat berkata
dan membuktikannya? Pernyataan ini benar dan tidak di-
ragukan lagi, tanpa batasan, bahwa Raja segala raja tidak
dapat berbuat salah.
Tutur Kata Elihu
(36:24-33)
24 Ingatlah, bahwa engkau harus menjunjung tinggi perbuatan-Nya, yang se-
lalu dinyanyikan oleh manusia. 25 Semua orang melihatnya, manusia me-
mandangnya dari jauh. 26 Sesungguhnya, Allah itu besar, tidak tercapai oleh
pengetahuan kita, jumlah tahun-Nya tidak dapat diselidiki. 27 Ia menarik ke
atas titik-titik air, dan memekatkan kabut menjadi hujan, 28 yang dicurahkan
oleh mendung, dan disiramkan ke atas banyak manusia. 29 Siapa mengerti
berkembangnya awan, dan bunyi gemuruh di tempat kediaman-Nya? 30 Se-
sungguhnya, Ia mengembangkan terang-Nya di sekeliling-Nya, dan menu-
dungi dasar laut. 31 sebab dengan semuanya itu Ia mengadili bangsa-bangsa,
dan juga memberi makan dengan berlimpah-limpah. 32 Kedua tangan-Nya di-
selubungi-Nya dengan kilat petir dan menyuruhnya menyambar sasaran.
33 Pekik perang-Nya memberitakan kedatangan-Nya, kalau dengan murka Ia
berjuang melawan kecurangan.
Elihu di sini sedang berusaha untuk meyakinkan Ayub dengan pemi-
kiran yang agung dan luhur tentang Allah dan dengan demikian
membujuknya untuk berserah diri kepada penyelenggaraan-Nya de-
ngan hati gembira.
I. Elihu menggambarkan karya Allah, secara umum, sebagai ter-
masyhur dan mencengangkan (ay. 24). Seluruh pekerjaan-Nya
juga demikian. Yang dilakukan Allah tidak ada yang buruk. Inilah
alasannya mengapa kita seharusnya menyetujui semua cara kerja
penyelenggaraan-Nya atas kita secara khusus. Semua pekerjaan-
Nya yang kelihatan, atas alam semesta, dan yang menyangkut
dunia secara umum, sedemikian kita kagumi dan puji. Di dalam-
nya kita melihat hikmat, kuasa, dan kebaikan Sang Pencipta. Jadi
akankah kita kemudian mendapati kesalahan dalam tindakan-
Nya mengenai kita dan pertimbangan kehendak-Nya mengenai
urusan kita? Kita di sini dipanggil untuk memperhatikan pekerja-
an Allah (Pkh. 7:13).
1. Semuanya terpampang jelas di depan mata kita, tidak ada
yang lebih terang dari itu: semua orang melihatnya. Setiap
orang yang hanya memiliki sebelah mata saja masih dapat
melihatnya dari jauh. Lihat saja ke arah mana kita mau, kita
akan melihat karya hikmat dan kuasa Allah. Kita melihat hal
itu dilakukan dan hal ini sedang dilakukan, dan tidak ada
yang dapat kita katakan selain: Ini yaitu pekerjaan Allah, jari
tangan Allah. Hal itu terjadi dari pihak Tuhan. Setiap orang
dapat melihat, dari jauh, langit dan semua benda penerang-
nya, bumi dan semua isinya, sebagai pekerjaan Yang Maha-
kuasa. Jauh lebih lagi saat kita melihat semuanya dari
dekat. Lihatlah karya yang terkecil dari alam melalui sebuah
mikroskop. Tidakkah mereka tampak mengherankan? Kuasa
abadi dan keallahan dari Sang Pencipta dapat nampak kepada
pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan (Rm. 1:20). Se-
tiap orang, bahkan orang-orang yang tidak mendapat manfaat
dari penyataan ilahi dapat melihat hal ini. Sebab tidak ada
berita dan tidak ada kata dari suara pengkhotbah alam yang
terus-menerus bersuara ini yang tidak didengar (Mzm. 19:4).
2. Pekerjaan-Nya seharusnya menakjubkan bagi mata kita. Kein-
dahan dan keunggulan karya Allah, dan keselarasan dari se-
mua bagiannya, yaitu hal yang harus kita ingat untuk mem-
besarkan dan meninggikan setinggi-tingginya, tidak hanya
untuk membenarkannya sebagai benar dan baik, yang tidak
dapat dicela, melainkan juga untuk membesarkannya sebagai
bijaksana dan mulia, yang tidak dapat diciptakan atau dihasil-
kan oleh makhluk ciptaan mana pun. Manusia dapat melihat
pekerjaan-Nya dan sanggup memahami ada tangan-Nya di
dalamnya, yang tidak dapat dilihat oleh binatang, dan sebab
itu manusia selayaknya harus memuji semua pekerjaan-Nya
dan memberi-Nya kemuliaan.
II. Elihu menyatakan Allah, pencipta segala yang kita lihat, sebagai
yang tak terbatas dan tak terselami (ay. 26). Aliran keberadaan,
kuasa, dan kesempurnaan seharusnya memimpin kita kepada
sumbernya. Allah itu besar, sedemikian tak terbatas, agung dalam
kuasa, sebab Ia Mahakuasa dan berdiri sendiri, agung dalam
kekayaan, sebab Ia Swamencukupi dan Maha mencukupi. Allah
itu agung dalam diri-Nya sendiri, agung dalam semua karya-Nya.
Ia agung, dan sebab itu harus dipuji setinggi-tingginya. Ia begitu
agung, sehingga kita tidak dapat mengenal-Nya. Kita tahu bahwa
Ia ada, namun tidak tahu apa Dia. Kita tahu apa yang bukan Dia,
namun bukan apa Dia. Kita tahu hanya sebagian, namun tidak sem-
purna. Hal ini dinyatakan di sini sebagai suatu alasan mengapa
kita tidak boleh membantah tindakan-Nya, atau mencari kesalah-
an pada apa yang diperbuat-Nya, sebab hal itu sama seperti
mengatakan jahat hal-hal yang tidak kita mengerti dan menjawab
sesuatu sebelum kita mendengarnya. Kita tidak tahu lama dari
keberadaan-Nya, sebab Ia tak terbatas. Jumlah tahun-Nya tidak
dapat diselidiki, sebab Ia kekal. Tidak ada jumlah tahun keber-
adaan-Nya. Ia yaitu suatu Wujud tanpa permulaan, tanpa peng-
ganti, dan tanpa akhir. Ia sudah ada sejak dahulu kala, dan akan
tetap ada, dan selamanya sama, sang agung AKULAH AKU. Ini
alasan yang baik mengapa kita tidak boleh mengatur Dia, atau
berbantah dengan Dia, sebab, sebagaimana diri-Nya, demikian
pula cara kerja-Nya, sangat jauh dari jangkauan kita.
III. Elihu memberi beberapa contoh tentang hikmat, kuasa, dan ke-
kuasaan Allah yang berdaulat, di dalam pekerjaan alam semesta
dan dispensasi-dispensasi atas penyelenggaraan umum, yang di-
mulai dalam pasal ini dengan awan dan hujan yang berasal dari
awan. Kita tidak perlu kritis dalam memeriksa perkataan atau
filosofi dari percakapan luhur ini. Tujuan umumnya yaitu untuk
menunjukkan bahwa Allah sungguh Mahabesar tak terbatas, dan
TUHAN atas segalanya, penyebab pertama dan pengatur tertinggi
dari semua makhluk ciptaan, dan memiliki segala kuasa di Sorga
dan di bumi. Kepada Dia kita, dengan segala kerendahan hati dan
hormat, harus menyembah, memuji, dan memberi hormat. Sangat-
lah kurang ajar bagi kita untuk mengatur Dia tentang aturan dan
cara penyelenggaraan-Nya yang khusus kepada anak-anak manu-
sia. Tidak juga tidak boleh berharap dari Dia suatu pertanggung-
jawaban, padahal cara kerja dari penyelenggaraan umum-Nya ten-
tang benda-benda langit saja sudah begitu beragam dan begitu mis-
terius dan tak dapat kita mengerti. Sebelumnya Elihu, untuk me-
mengaruhi Ayub dengan keagungan dan kedaulatan Allah, meng-
arahkan dia (35:5) untuk melihat kepada awan. Dalam ayat-ayat ini
Elihu menunjukkan kepada kita apa yang dapat kita lihat di dalam
awan akan memimpin kita untuk mempertimbangkan kesempurna-
an yang mulia dari Penciptanya. Pertimbangkanlah awan,
1. Sebagai mata air bagi dunia bawah ini, sumber dan perbenda-
haraan dari kelembabannya dan sungai besar yang melaluinya
air mengalir. Awan ini suatu persediaan yang sangat perlu, se-
bab jika ia berhenti, sangat berbahaya bagi dunia bawah ini, se-
perti darah yang berhenti mengalir dalam tubuh manusia. Amat
berharga untuk mengamati di dalam kejadian yang umum ini,
(1) Bahwa awan di atas memurnikan bumi di bawah. Jika
langit menjadi tembaga, maka bumi menjadi besi. sebab
itu janji kelimpahan berlaku, Aku akan mendengarkan la-
ngit, dan langit akan mendengarkan bumi. Hal ini menyata-
kan kepada kita bahwa setiap pemberian yang baik berasal
dari atas, dari Dia Bapa segala terang dan Bapa dari hujan,
dan hal ini mendorong kita untuk mengarahkan doa-doa
kita kepada-Nya dan memandang ke atas.
(2) Bahwa air itu dikatakan disiramkan ke atas banyak manu-
sia (ay. 28). Sebab, kendati memang Allah yang memberi
hujan ke atas tanah di mana tidak ada orang (38:26, Mzm.
104:11), namun perhatian yang khusus ditujukan kepada
manusia, yang untuk kegunaannya semua makhluk cipta-
an yang lebih rendah dijadikan berguna dan yang darinya
balasan pujian dikehendaki. Di antara manusia, Ia menu-
runkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak
benar (Mat. 5:45).
(3) Air itu dikatakan disiramkan dalam tetesan kecil, bukan
dalam semburan, saat tingkap-tingkap langit terbuka (Kej.
7:11). Allah mengairi bumi yang dengannya Dia pernah me-
nenggelamkannya, hanya dengan memberikannya dengan
cara lain, untuk memberi tahu kita betapa besar kita ber-
gantung pada belas kasihan-Nya, dan betapa baiknya Ia,
dalam memberi hujan dengan tetesan kecil, sehingga man-
faatnya dapat lebih jauh dan lebih merata terbagi, seperti
melalui air hujan buatan di dalam pot.
(4) Kendati kadang-kadang hujan turun dalam tetesan yang
sangat kecil, namun, di waktu lain, hujan tercurah sangat
lebat, dan perbedaan ini antara curahan yang satu dan
yang lain harus diakui sebagai tindakan Penyelenggaraan
ilahi yang memerintahkannya demikian.
(5) Kendati hujan turun dalam tetesan, namun disiramkan ke
atas manusia secara berlimpah (ay. 28), dan sebab nya
disebut: Batang air Allah penuh air (Mzm. 65:10).
(6) Awan mencurahkan berdasarkan titik-titik air yang ditarik-
nya ke atas (ay. 27). Sama seperti langit terhadap bumi,
namun bumi tidaklah demikian dalam mengembalikannya.
(7) Curahan awan kadang-kadang menjadi suatu kengerian
yang hebat, dan di waktu lain suatu kebaikan yang besar,
bagi bumi (ay. 31). Pada waktu Allah berkenan, dengan se-
muanya itu Ia mengadili bangsa-bangsa yang Ia murkai.
Badai, prahara, dan hujan yang berkepanjangan, menghan-
curkan hasil bumi dan menyebabkan banjir, yang berasal
dari awan. Namun, sebaliknya juga, dari awan, biasanya Ia
memberi makanan dengan berlimpah. Awan menjatuhkan
kesuburan ke atas padang rumput yang berpakaian ka-
wanan kambing domba, dan lembah-lembah berselimutkan
gandum (Mzm. 65:12-14).
(8) Kadang-kadang mendekatnya hujan dicatat juga (ay. 33). Pe-
kik perang-Nya memberitakan kedatangan-Nya (KJV: bunyi
bising menandai datangnya hujan). sebab itu, kita mem-
baca (1Raj. 18:41) tentang bunyi derau hujan atau suatu ge-
muruh bunyi hujan, sebelum ia tercurah. Suatu pertanda
sambutan yang baik. Seperti bunyi gemuruh, demikian pula
wajah langit memperlihatkan kedatangan hujan (Luk. 12:56).
Ternak juga, melalui naluri yang ajaib, memahami suatu
perubahan cuaca yang akan terjadi, dan mencari perlin-
dungan, mempermalukan manusia, yang tidak mau melihat
yang jahat bakal terjadi supaya menyembunyikan diri.
2. Seperti bayang-bayang bagi dunia atas (ay. 29): Siapa mengerti
berkembangnya awan, dan bunyi gemuruh di tempat kediaman-
Nya? Awan itu terbentang di atas bumi seperti sebuah tirai atau
kanopi. Bagaimana dapat terjadi demikian, bagaimana terben-
tang, dan bagaimana bisa tenang, kita tidak dapat mengerti,
kendati kita melihatnya setiap hari. Lantas akankah kita ber-
lagak dapat memahami alasan dan cara Allah mengadili anak-
anak manusia, yang sifat dan kasusnya beragam, sementara
kita tidak mampu menjelaskan penyebaran awan yang menyelu-
bungi kilat petir? (ay. 32). Itulah awan yang akan datang (36:32;
26:9). Dan tentang hal ini kita mengerti bahwa dengan penem-
patan awan di antara kita dan matahari, kita,
(1) Kadang-kadang diuntungkan. Sebab awan berfungsi seperti
sebuah payung untuk melindungi kita dari terik panas
matahari, yang jika tidak pasti akan menimpa kita. Kabut
embun di panas musim menuai dibicarakan sebagai kese-
garan besar (Yes. 18:4).
(2) Kadang-kadang awan memarahi kita. Sebab mereka meng-
gelapkan bumi di siang hari dan menutupi cahaya mata-
hari. Dosa dibandingkan dengan awan (Yes. 44:22), sebab
dosa menyelinap di antara kita dan cahaya wajah Allah dan
menghalangi cahaya-Nya itu. Namun, kendati awan meng-
gelapkan matahari untuk sesaat, dan mencurahkan hujan,
namun (post nubila Phoebus – matahari bersinar setelah
hujan). Sesudah Allah melelahkan awan, Ia mengembang-
kan terang-Nya di sekelilingnya (ay. 30). Ada pagi yang tak
berawan sesudah hujan (2Sam. 23:4). Sinar matahari mele-
sat maju dan menjangkau menutupi bahkan dasar laut, dari
sana mengembuskan persediaan uap baru, dan dengan
demikian meningkatkan ketebalan awan (ay. 30). Dalam
kesemuanya ini, kita harus ingat untuk mengagungkan
pekerjaan Allah.
PASAL 37
ada pasal ini, Elihu melanjutkan puji-pujiannya atas kekuasaan
Allah yang dahsyat dalam benda-benda langit dan segala perubah-
an musim. Jika dalam hal perubahan musim itu kita bisa tunduk
kepada Allah, menerima cuaca sebagaimana adanya, dan memanfaat-
kannya sebaik mungkin, bukankah seharusnya kita juga bersikap
serupa dalam segala perubahan yang menimpa keadaan kita? Elihu
melihat adanya tangan Allah,
I. Dalam guntur dan kilat (ay. 1-5).
II. Dalam es dan salju, hujan dan taufan (ay. 6-13).
III. Dia memperhadapkannya kepada Ayub serta menantangnya
untuk menjelaskan berbagai fenomena alam tersebut, sehing-
ga saat Ayub mengakui ketidaktahuannya, dia akan sadar
bahwa dirinya tidak punya hak dan tidak punya kemampuan
menilai cara penyelenggaraan ilahi (ay. 14-22). Selanjutnya,
IV. Dengan prinsip tersebut, Elihu menyimpulkan bahwa Allah
itu besar dan patut ditakuti (ay. 23-24).
Tutur Kata Elihu
(37:1-5)
1 Sungguh, oleh sebab itu hatiku berdebar-debar dan melonjak dari tempat-
nya. 2 Dengar, dengarlah gegap gempita suara-Nya, guruh yang keluar dari
dalam mulut-Nya. 3 Ia melepaskannya ke seluruh kolong langit, dan juga
kilat petir-Nya ke ujung-ujung bumi. 4 Kemudian suara-Nya menderu, Ia
mengguntur dengan suara-Nya yang megah; Ia tidak menahan kilat petir, bila
suara-Nya kedengaran. 5 Allah mengguntur dengan suara-Nya yang menga-
gumkan; Ia melakukan perbuatan-perbuatan besar yang tidak tercapai oleh
pengetahuan kita;
Guntur dan kilat, yang biasanya muncul bersamaan, merupakan
petunjuk nyata dari kemuliaan, keagungan, kuasa, dan kedahsyatan
Allah yang Perkasa. Yang satu bisa didengar telinga, dan yang lain-
nya bisa dilihat mata. Dalam kedua hal itu, Allah tidak membiarkan
diri-Nya tanpa saksi akan kebesaran-Nya, sama seperti dalam hujan
dari langit dan musim-musim subur, Ia tidak membiarkan diri-Nya
tanpa saksi akan kebaikan-Nya (Kis.14:17), bahkan yang paling
bodoh dan tak berakal pun dapat melihatnya. Sekalipun peristiwa-
peristiwa alam memiliki penyebab alamiah dan akibatnya yang ber-
manfaat, yang dikaji oleh para ilmuwan, namun di atas segalanya,
semuanya itu terutama dirancang oleh Sang Pencipta untuk menyen-
tak dan membangunkan umat manusia yang tertidur, agar mereka
memikirkan adanya Allah di atas sana. Mata dan telinga merupakan
dua alat indra untuk belajar, dan oleh sebab itu, konon katanya
belum pernah diketahui ada orang yang terlahir buta dan tuli sekali-
gus, meskipun hal itu bisa saja terjadi. Melalui firman Allah, peng-
ajaran ilahi disalurkan ke dalam pikiran melalui telinga, dan lewat
karya-Nya melalui mata. Namun, sebab penglihatan dan suara yang
sudah menjadi hal biasa itu tidak berpengaruh terhadap manusia
sebagaimana mestinya, adakalanya Allah mengejutkan mereka
melalui mata dengan kilat dan melalui telinga dengan bunyi guntur.
Kemungkinan, pada waktu Elihu berbicara memang sedang ada
guntur dan kilat, sebab Elihu menjabarkan peristiwa alam tersebut
dengan keterangan waktu “saat ini.” Apalagi, tidak lama setelah itu
Allah datang berfirman (38:1), seperti yang terjadi di gunung Sinai,
guntur dan kilat menjadi pendahulu untuk menarik perhatian dan
menimbulkan kegentaran. Dalam ayat-ayat di atas, perhatikanlah,
1. Betapa Elihu sendiri takjub oleh kehadiran kemuliaan Allah
dalam guntur dan kilat, dan dia ingin supaya Ayub juga kagum
(ay. 1-2). Kata Elihu, “Sungguh, oleh sebab itu hatiku berdebar-
debar. Walaupun sudah sering aku mendengar dan melihatnya,
namun masih juga dibuatnya aku gentar, setiap sendiku gemetar,
dan jantungku berdegup seolah melonjak dari tempatnya.” Guntur
dan kilat memang mengerikan bagi orang fasik. Kaisar Caligula
misalnya, ia biasa lari ke sudut atau ke bawah ranjang sebab
ketakutan terhadapnya. Menurut peribahasa, orang yang sangat
terperanjat biasa disebut dengan istilah: bagai tersambar petir.
Bahkan orang-orang saleh pun menganggap kilat dan guntur sa-
ngat menakutkan. Dan yang paling menggentarkan orang yaitu
kecelakaan yang kerap timbul akibat guntur, banyak orang telah
terbunuh olehnya. Sodom dan Gomora menjadi reruntuhan kare-
na kilat dan guntur. Itulah tanda nyata yang menunjukkan apa
yang Allah dapat lakukan terhadap dunia yang berdosa ini, dan
pada akhirnya Dia pasti melakukannya dengan api yang telah
disediakan-Nya. Seperti Elihu, hati kita juga harus gemetar kare-
na takut akan penghakiman Allah (Mzm. 119:120). Elihu juga me-
nyuruh Ayub memperhatikannya (ay. 2). “Dengar, dengarlah
gegap gempita suara-Nya” (KJV: Dengarlah baik-baik). Barangkali
saat itu suara guntur masih jauh sehingga tidak dapat terdengar
tanpa menyimak baik-baik, atau kalaupun suaranya terdengar
dan kita tidak tahan mendengarnya, kita harus menangkap dan
memahami pengajaran yang Allah berikan melaluinya. Kita perlu
mendengar dengan sungguh-sungguh dan menaruh perhatian
penuh. Guntur juga disebut suara TUHAN (Mzm. 29:3-9), sebab
melalui guntur Allah berbicara kepada anak-anak manusia su-
paya mereka gemetar di hadapan-Nya. Juga, untuk mengingatkan
kita kepada firman dahsyat yang menjadikan dunia pada mula-
nya, yang disebut guntur (Mzm. 104:7), “Terhadap hardik-Mu air
itu melarikan diri, lari kebingungan terhadap suara guntur-Mu,”
yakni saat Allah bersabda, “Hendaklah segala air yang di bawah
langit berkumpul pada satu tempat.” Demikianlah orang yang
tergerak oleh kebesaran Allah seharusnya berusaha memengaruhi
orang lain juga.
2. Cara Elihu menjelaskan kilat dan guntur.
(1) Asal-usul mereka, bukan penyebab kedua, melainkan penye-
bab pertama. Allah-lah yang melepaskan guntur dan kilat ada-
lah milik-Nya (ay. 3). Pembentukan dan gerakan mereka bu-
kan disebabkan oleh kebetulan, namun oleh rencana hikmat
Allah, dalam pengarahan dan kedaulatan penyelenggaraan-
Nya, sekalipun bagi kita tampaknya seperti kebetulan dan
tidak dapat dikendalikan.
(2) Jangkauan kilat dan guntur. Dentuman guntur bergulung ke
seluruh kolong langit, terdengar baik dari jauh maupun dekat.
Demikian pula kilat petir ditembakkan ke ujung-ujung bumi.
Mereka datang dari salah satu ujung langit dan memancar
sampai ke ujung yang lain (Luk. 17:24). Meskipun tidak men-
jangkau semua tempat sekaligus, namun mereka dapat men-
capai jarak yang sangat jauh dalam sekejap, dan tiada tempat
yang belum pernah mengalami tanda langit tersebut.
(3) Urutan kilat dan guntur. Pertama-tama kilat dilepaskan, ke-
mudian suaranya menderu (ay. 4). Percikan api dan suara yang
ditimbulkannya dalam awan berair sebetulnya muncul bersa-
maan, namun sebab gerakan cahaya jauh lebih cepat daripada
gelombang suara, maka kita melihat kilat lebih dahulu, baru
mendengar bunyi guntur belakangan, sama seperti kita meli-
hat tembakan senjata di kejauhan, baru kemudian mendengar
bunyinya. Dalam ayat ini, guntur disebut sebagai suara ke-
agungan Allah, sebab melaluinya, Dia mengumandangkan ke-
kuasaan dan kebesaran-Nya yang melampaui segala sesuatu.
Ia memperdengarkan suara-Nya, suara-Nya yang dahsyat!
(Mzm. 68:34).
(4) Keganasan kilat guntur. Ia tidak menahan kilat petir, yaitu, Dia
tidak perlu menghentikan atau mengekang mereka supaya
jangan kacau atau lepas dari kendali-Nya, namun dibiarkan-
Nya mereka bergerak. Kata-Nya kepada mereka, Pergi!, maka
ia pergi ... Datang!, maka ia datang, ataupun … Kerjakanlah
ini!, maka ia mengerjakannya. Dia tidak menahan hujan dan
badai yang biasanya datang setelah guntur (Elihu telah mem-
bicarakannya dalam 36:27-28), namun dicurahkan-Nya mereka
ke atas bumi bila suara-Nya kedengaran. Hujan badai sangat-
lah deras, dan untuk itu Ia membuat kilat mengikuti hujan
(Mzm. 135:7).
(5) Kesimpulan Elihu berdasarkan semuanya itu (ay. 5). Jika
Allah mengguntur dengan suara-Nya yang begitu mengagum-
kan, berarti karya-karya-Nya yang lain pun demikian besarnya
dan kita tidak mampu memahaminya. Berdasarkan satu con-
toh ini saja kita dapat mengambil kesimpulan untuk semua
hal lainnya, bahwa dalam dispensasi penyelenggaraan-Nya,
ada hal-hal yang terlampau besar dan kuat untuk kita tentang
atau lawan, juga terlalu tinggi dan terlalu dalam untuk ditu-
duh atau dibantah manusia.
Tutur Kata Elihu
(37:6-13)
6 sebab kepada salju Ia berfirman: Jatuhlah ke bumi, dan kepada hujan
lebat dan hujan deras: Jadilah deras! 7 Tangan setiap manusia diikat-Nya
dengan dibubuhi meterai, agar semua orang mengetahui perbuatan-Nya.
8 Maka binatang liar masuk ke dalam tempat persembunyiannya dan tinggal
dalam sarangnya. 9 Taufan keluar dari dalam perbendaharaan, dan hawa
dingin dari sebelah utara. 10 Oleh nafas Allah terjadilah es, dan permukaan
air yang luas membeku. 11 Awanpun dimuati-Nya dengan air, dan awan me-
mencarkan kilat-Nya, 12 lalu kilat-Nya menyambar-nyambar ke seluruh
penjuru menurut pimpinan-Nya untuk melakukan di permukaan bumi segala
yang diperintahkan-Nya. 13 Ia membuatnya mencapai tujuannya, baik untuk
menjadi pentung bagi isi bumi-Nya maupun untuk menyatakan kasih setia.
Perubahan dan keganasan cuaca, basah atau kering, panas atau
dingin, kerap menjadi bahan percakapan dan pengamatan kita se-
hari-hari. Namun, alangkah jarangnya kita memikirkan dan mem-
bicarakan cuaca seperti Elihu, yakni dengan penuh penghormatan
dan kekaguman terhadap Allah yang mengatur semuanya itu, yang
menyatakan kuasa-Nya dan melaksanakan penyelenggaraan-Nya le-
wat musim dan cuaca! Kita harus menyadari kemuliaan Allah, bukan
hanya dalam guntur dan kilat, namun juga dalam perubahan cuaca
biasa, yang tidak terlalu mengerikan, tanpa suara gegap gempita.
Misalnya,
I. Salju dan hujan (ay. 6). Guntur dan kilat biasanya terjadi pada
musim panas, namun di sini, Elihu memperhatikan cuaca pada
musim dingin. Kepada salju Ia berfirman: Jatuhlah ke bumi. Allah
yang mengirimnya, Dia memerintahkan dan mengatur ke mana
salju harus jatuh dan berapa lama ia harus terhampar di muka
bumi. Dia berfirman, maka terjadilah, sama seperti dalam pencip-
taan dunia, “Jadilah terang,” demikian pula dalam karya penye-
lenggaraan dunia sehari-hari, “Salju ... jatuhlah ke bumi.” Bagi
Allah, berbicara dan bertindak bukan dua hal yang berbeda, tidak
seperti bagi manusia. Saat Dia berfirman, hujan gerimis (KJV)
bertetesan dan hujan lebat mengguyur seturut kehendak-Nya.
Septuaginta menerjemahkannya hujan musim dingin, sebab di
negara-negara tertentu, setelah musim dingin lewat, hujan pun
berhenti dan berlalu (Kid. 2:11). Dalam bahasa Ibrani, hujan
gerimis dan hujan deras dibedakan dengan istilah “tetesan hujan”
dan “hujan-hujan, banyak tetesan tercurah sekaligus. Namun,
semuanya berasal dari kekuatan-Nya: kuasa Allah ada dalam
gerimis rintik-rintik yang meresap ke tanah maupun dalam hujan
lebat yang menghantam atap rumah dan menyapu segala sesuatu
di hadapannya. Perhatikanlah, setiap hujan yang turun harus
diakui sebagai penyelenggaraan Allah, baik oleh para petani di
ladang maupun orang-orang yang dalam perjalanan, entah hujan
itu mendatangkan kebaikan atau kerugian. Menentang pekerjaan
Allah dalam cuaca yaitu perbuatan bodoh dan berdosa. Jika Dia
mengirim salju atau hujan, apakah kita bisa menahannya? Atau
haruskah kita marah sebab nya? Sama bodohnya bila kita mem-
protes apa pun yang ditentukan oleh Allah Sang Penyelenggara
bagi diri kita. Dampak dari hebatnya cuaca musim dingin mem-
buat manusia dan hewan-hewan harus bersembunyi, sebab tidak
nyaman dan berbahaya bagi mereka untuk bepergian.
1. Manusia beristirahat di rumah-rumah mereka dari pekerjaan
di ladang, dan tinggal di balik pintu (ay. 7): Tangan setiap ma-
nusia diikat-Nya. Di tengah es dan salju, saat cuaca mem-
beku, para petani tidak dapat meneruskan pekerjaan mereka,
demikian juga pedagang maupun orang yang bepergian. Bajak
disimpan, kegiatan pengiriman dihentikan, tiada yang dikerja-
kan dan tiada yang didapat, agar semua orang mengetahui per-
buatan-Nya saat mereka dipisahkan dari pekerjaannya ma-
sing-masing, sehingga mereka merenungkan karya Allah itu
dan mempermuliakan Dia. Dengan merenungkan pekerjaan
tangan-Nya dalam cuaca yang mengikat tangan manusia itu,
mereka akan dibuat bersukacita atas perbuatan besar dan
mengagumkan lainnya dari Allah. Perhatikanlah, saat de-
ngan suatu alasan kita diistirahatkan untuk melanjutkan pe-
kerjaan duniawi kita, dan berhenti darinya, kita harus me-
makai waktu untuk meningkatkan iman dan ibadah kita dan
berusaha mengenal perbuatan-perbuatan Allah dan memuji
Dia sebab karya-Nya itu, dan bukannya bermalas-malasan
dan bersantai. Tatkala tangan kita diikat, hati kita seharusnya
dibuka, supaya semakin sedikit waktu untuk melakukan pe-
kerjaan dunia, semakin banyak waktu seharusnya untuk
membaca Alkitab dan berdoa.
2. Binatang liar pun masuk ke dalam tempat persembunyiannya
dan tinggal dalam sarangnya (ay. 8). Sebagai binatang liar, me-
reka harus mencari tempat persembunyian sendiri dengan na-
lurinya, sedangkan binatang peliharaan yang melayani manu-
sia, dikandangkan dan dijaga oleh pemiliknya (Lih. Kel. 9:20).
Keledai tidak punya sarang, namun kandang yang disediakan
tuannya, tidak hanya untuk mendapat keamanan dan keha-
ngatan, namun juga diberi makan. Alam menggerakkan seluruh
makhluk untuk berlindung dari badai. Jadi, masakan manusia
tidak disediakan bahtera?
II. Angin, yang bertiup dari segala penjuru yang berbeda serta meng-
hasilkan dampak yang berbeda pula (ay. 9): Taufan keluar dari
dalam perbendaharaan (atau dari tempat tersembunyi). Ia bergerak
mengitari bumi, dan sulit ditentukan dari mana titik asalnya,
namun ia datang dari tempat perbendaharaan yang tersembunyi.
Saya tidak terlalu sependapat dengan terjemahan KJV yang me-
ngatakan dari selatan (KJV: Dari selatan datanglah angin badai),
sebab dalam ayat 17 dikatakan bahwa angin selatan itu panas.
Namun, pada saat itu, mungkin Elihu melihat awan badai datang
dari selatan dan bergerak ke arah mereka, yang dari situ Tuhan
kemudian berbicara tidak lama setelah itu (38:1). Atau, jika angin
topan yang membawa hujan datang dari selatan, maka angin yang
dingin dan kering berembus dari utara untuk menghamburkan
uap air dan menjernihkan udara.
III. Es (ay. 10). Lihatlah asal-usul dan penyebabnya: Oleh nafas Allah,
yaitu firman dari kuasa-Nya dan perintah kehendak-Nya. Atau se-
bagian penafsir memaknai bahwa angin yaitu napas Allah, sama
halnya seperti guntur yaitu suara-Nya. Es disebabkan oleh
angin dingin membekukan yang bertiup dari utara. Lihatlah dam-
paknya: permukaan air yang luas membeku. Yaitu, air yang me-
nyebar jauh dan mengalir bebas, kini dipadatkan, dibekukan,
ditahan, ditautkan dalam ikatan-ikatan yang mengkristal. Inilah
salah satu contoh kuasa Allah yang rasanya hampir sama seperti
mujizat seandainya tidak sering disaksikan.
IV. Awan-awan, tempat terbentuknya segala tetesan air yang telah dibi-
carakan Elihu sebelumnya (36:28). Ada tiga jenis awan yang ia ba-
has:
1. Awan yang hitam, padat, dan pekat, sarat dengan air. Awan-
pun dimuati-Nya dengan air (ay. 11), artinya mereka penuh dan
tumpat dengan air sehingga kemudian mengembun, meleleh
menjadi hujan, menumpahkan air hingga kering dan tidak
dapat mencurahkannya lagi. Lihatlah, betapa makhluk dan
benda-benda ciptaan bekerja keras untuk melayani manusia,
bahkan ciptaan yang berada di atas kita. Awan menyirami
bumi hingga penat. Mereka menghabiskan dirinya dan diman-
faatkan untuk kepentingan kita. Jadi, betapa memalukan dan
terkutuknya bila kita tidak banyak berbuat kebaikan di tempat
kita masing-masing, padahal kebaikan itu pun akan mengun-
tungkan kita juga, sebab siapa memberi minum, ia sendiri akan
diberi minum.
2. Awan cerah dan tipis, tanpa muatan air. Awan seperti ini di-
hamburkan Allah. Mereka terpencar-pencar dan tidak mengem-
bun menjadi hujan. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada mere-
ka. Pada malam hari, saat langit kemerahan, awan tipis itu
tersebar dan menjadi pertanda hari cerah (Mat. 16:2).
3. Awan-awan bergerak. Tidak seperti awan pekat yang melebur
menjadi hujan setempat, awan jenis ini terbawa angin dari
satu tempat ke tempat lain, menurunkan gerimis sepanjang
pergerakannya. Mereka bergerak ke seluruh penjuru menurut
pimpinan-Nya (ay. 12, KJV mengatakan “awan,” bukan “kilat”).
Pada umumnya, orang beranggapan bahwa hujan ditentukan
oleh planet-planet, suatu pandangan yang keliru baik secara
keilahian maupun secara filosofis. Sesungguhnya hujan diatur
dan dikendalikan oleh rencana Allah yang meliputi segala
sesuatu yang tampaknya biasa-biasa dan tidak berarti sekali-
pun, untuk melakukan di permukaan bumi segala yang diperin-
tahkan-Nya. Angin badai dan awan-awan yang terseret oleh-
nya, semua itu menggenapi firman Allah. Dengan cara itulah
Dia menurunkan hujan ke atas kota yang satu dan tidak me-
nurunkan hujan ke atas kota yang lain (Am. 4:7-8). Demikian-
lah kehendak-Nya terjadi di permukaan bumi, yakni di antara
anak-anak manusia yang diperhatikan oleh Allah dalam segala
peristiwa tersebut, yang dibuat-Nya mendiami seluruh muka
bumi (Kis. 17:26). Makhluk ciptaan yang lebih rendah tidak
mampu melakukan perbuatan moral, maka mereka tidak mene-
rima upah maupun hukuman. Namun, di antara anak-anak
manusia, Allah menurunkan hujan, baik sebagai teguran bagi
negeri-Nya maupun untuk menyatakan kasih setia-Nya (ay. 13).
(1) Adakalanya hujan turun sebagai penghukuman. Hujan men-
jadi bencana bagi negeri yang berdosa. Dahulu hujan pernah
dipakai sebagai alat untuk membinasakan seluruh bumi,
demikianlah sekarang pun kerap dipakai menjadi teguran
atau disiplin terhadap sejumlah bagian bumi, dengan meng-
halangi kesuburan dan panen, menimbulkan banjir, dan
merusak hasil tanam. Sebagian orang beranggapan bahwa
ada bangsa-bangsa yang menerima hukuman berupa hujan
yang terlalu banyak, bukan kekeringan.
(2) Pada lain waktu, hujan merupakan berkat bagi isi bumi-
Nya supaya subur, dan selain sebagai kebutuhan yang me-
mang perlu, Dia memberikannya untuk menyatakan kasih
setia, guna memperkaya dan membuatnya semakin subur.
Lihatlah betapa kita sangat bergantung kepada Allah, se-
bab satu hal yang sama bisa menjadi penghukuman atau
kemurahan besar tergantung ukuran pemberiannya, dan
tanpa Allah tidak mungkin ada hujan maupun hari cerah.
Tutur Kata Elihu
(37:14-20)
14 Berilah telinga kepada semuanya itu, hai Ayub, diamlah, dan perhatikan-
lah keajaiban-keajaiban Allah. 15 Tahukah engkau, bagaimana Allah memberi
tugas kepadanya, dan menyinarkan cahaya dari awan-Nya? 16 Tahukah eng-
kau tentang melayangnya awan-awan, tentang keajaiban-keajaiban dari Yang
Mahatahu, 17 hai engkau, yang pakaiannya menjadi panas, jika bumi terdiam
sebab panasnya angin selatan? 18 Dapatkah engkau seperti Dia menyusun
awan menjadi cakrawala, keras seperti cermin tuangan? 19 Beritahukanlah
kepada kami apa yang harus kami katakan kepada-Nya: tak ada yang dapat
kami paparkan oleh sebab kegelapan. 20 Apakah akan diberitahukan kepada-
Nya, bahwa aku akan bicara? Pernahkah orang berkata, bahwa ia ingin
dibinasakan?
Dalam ayat-ayat di atas Elihu berbicara langsung kepada Ayub agar
memperhatikan apa yang telah dia ucapkan sejauh ini. Ia meminta
Ayub untuk menyimak semua penuturannya (ay. 14) dan diam seje-
nak, Diamlah, dan perhatikanlah keajaiban-keajaiban Allah. Apa yang
kita dengar kemungkinan besar tidak akan bermanfaat bila kita tidak
memikirkannya. Dan kita biasanya tidak akan memikirkan sesuatu
dengan saksama, bila kita tidak diam dan menata hati untuk ber-
pikir. sebab ajaibnya, perbuatan-perbuatan Allah layak dan perlu
direnungkan, dan perenungan yang benar tentang semuanya itu
akan membantu kita bersedia menerima seluruh bentuk penyeleng-
garaan-Nya. Untuk merendahkan hati Ayub, Elihu menunjukkan ke-
padanya bahwa,
I. Ayub tidak tahu dengan mendalam tentang asal muasal peristiwa
alam. Ia tidak dapat melihat kemunculannya maupun memper-
kirakan dampaknya (ay. 15-17). “Tahukah engkau ini dan tahu-
kah engkau tentang keajaiban-keajaiban dari Yang Mahatahu?”
Ayat ini mengajarkan kita bahwa,
1. Pengetahuan Allah itu sempurna. Inilah salah satu kesempur-
naan Allah yang termulia, yaitu Dia tahu segala sesuatu de-
ngan sempurna. Dia Mahatahu. Pengetahuan-Nya murni dari
diri-Nya sendiri: Dia memiliki penglihatan dan bukan berdasar-
kan laporan. Pengetahuan-Nya mendalam dan menyeluruh.
Dia mengetahui hakikat yang sejati, bukan tampilan luar saja.
Dia mengetahui seutuhnya, bukan sebagian saja. Tidak ada
yang jauh bagi pengetahuan-Nya, semuanya dekat, tidak ada
masa depan, semuanya sekarang ini, tidak ada yang tersem-
bunyi, semuanya terbuka di hadapan-Nya. Kita harus meng-
akui hal ini dalam seluruh pekerjaan-Nya yang ajaib. Di tengah
perbuatan-perbuatan ajaib yang tidak kita pahami artinya, cu-
kuplah bagi kita untuk mengetahui bahwa semua itu dikerjakan
oleh Dia yang Mahatahu, yang tahu apa yang dikerjakan-Nya.
2. Pengetahuan manusia tidaklah sempurna. Para filsuf terbesar
pun tidak tahu banyak tentang kuasa-kuasa dan karya-karya
alam. Manusia merupakan paradoks bagi dirinya sendiri, dan
segala sesuatu tentang diri kita yaitu misteri. Daya tarik
bumi dan kesatuan bagian-bagian benda sangat pasti, namun
tidak dapat dijelaskan. Sungguh baik bila kita menyadari ke-
tidaktahuan kita. Sebagian orang memang mengakui ketidak-
tahuan mereka, sedangkan yang tidak mau mengakuinya sama
dengan membohongi diri sendiri. Dari kenyataan tersebut, kita
semua harus menyimpulkan betapa kita tidak mampu menilai
pikiran ilahi, mengingat sedikit sekali pemahaman kita menge-
nai cara kerja ilahi.
(1) Kita tidak tahu apa yang sudah dan akan Allah perintah-
kan mengenai awan-awan (ay. 15). Namun kita yakin, se-
muanya dilakukan dengan ketetapan dan rencana, namun
ketetapan apa dan rencana yang bagaimana, dan kapan
rencana itu ditentukan, kita tidak tahu. Allah sering kali
menyinarkan cahaya dari awan-Nya, berupa pelangi (menu-
rut sebagian penafsir), dan berupa kilat (demikian kata yang
lain). Namun, bisakah kita melihat atau mengetahui kapan
Dia akan mengerjakannya? Jika kita meramalkan perubah-
an cuaca beberapa jam sebelum terjadi dengan perkiraan
kasar, atau saat penyebab kedua telah mulai menampak-
kan tanda-tanda cuaca, namun semuanya itu tidak menun-
jukkan kepada kita apa tujuan Allah dalam perubahan ter-
sebut!
(2) Kita tidak tahu bagaimana awan-awan diseimbangkan di
udara, bagaimana melayangnya awan-awan, yang merupa-
kan salah satu keajaiban Allah. Awan itu begitu seimbang,
begitu menyebar hingga tidak pernah merugikan kita da-
lam mendapatkan manfaat cahaya matahari, (bahkan hari
berawan pun tetap terang), begitu seimbang hingga tidak
jatuh sekaligus atau tumpah menjadi air terjun maupun
semburan topan badai. Pelangi yaitu tanda perkenanan
Allah dalam menyeimbangkan awan-awan guna menjaga
agar dunia jangan sampai ditutupi olehnya. Bahkan, begitu
seimbangnya awan itu hingga mereka menurunkan hujan
secara merata ke atas bumi, supaya setiap tempat menda-
pat jatahnya secara bergiliran.
(3) Kita tidak tahu bagaimana cuaca yang nyaman datang ke-
tika musim dingin telah lewat (ay. 17).
[1] Bagaimana udara menjadi hangat setelah sebelumnya
dingin. Kita tahu bahwa pakaian kita menjadi hangat
pada tubuh, artinya kita dihangatkan dalam balutan
pakaian oleh sebab kehangatan udara yang kita hirup.
Tanpa berkat Allah, kita berpakaian namun badan kita
tidak akan menjadi hangat (Hag. 1:6). sebab perintah-
Nyalah pakaian kita menghangatkan kita, sebab dalam
rendahnya suhu musim dingin, pakaian itu tidak akan
dapat membuat kita tetap hangat.
[2] Bagaimana cuaca menjadi tenang setelah badai. Dia
membuat bumi terdiam sebab panasnya angin selatan,
saat musim semi datang. Milik-Nyalah angin utara yang
keras dan dingin, milik-Nya pula angin selatan yang
hangat dan menenangkan. Roh Kudus dapat diibaratkan
keduanya, sebab Dia menginsafkan sekaligus menghibur
(Kid. 4:16).
II. Ayub sama sekali tidak turut serta dalam penciptaan dunia yang
mula-mula (ay. 18), “Dapatkah engkau seperti Dia menyusun awan
menjadi cakrawala? Janganlah berlagak bahwa engkau telah
membuatnya bersama Dia, apalagi menjadikannya tanpa Dia.
Sebab Allah sama sekali tidak memerlukan bantuan baik dalam
merancang maupun melaksanakannya.” Terciptanya langit yang
akbar dan luas (Kej. 1:6-8), yang terlihat sampai hari ini merupa-
kan contoh keagungan kuasa ilahi, mengingat bahwa,
1. Meskipun berbahan cair, cakrawala itu padat. Ia keras seperti
cermin tuangan dan terkenal sebab tegak kokoh. Ia tetap
sama sejak dulu hingga sekarang dan tidak mengalami keme-
rosotan, dan penataan langit pun tidak akan berubah hingga
masanya berakhir.
2. Meskipun luas, cakrawala itu cerah dan jernih, seperti cermin
tuangan, halus dan mengkilap, tanpa cacat atau retak secuil-
pun. Dalam cakrawala, sama seperti dalam cermin, kita bisa
melihat kemuliaan Allah, dan hikmat pekerjaan tangan-Nya
(Mzm. 19:2). Tatkala memandang ke langit di atas sana, ingat-
lah bahwa itu yaitu cermin, bukan untuk menunjukkan
wajah kita sendiri, namun untuk mencerminkan kemurnian, ke-
hormatan, dan kecemerlangan dunia atas dan penghuninya
yang mulia.
III. Ayub maupun yang lainnya tidak mampu membicarakan keagung-
an Allah setara dengan kenyataannya (ay. 19-20).
1. Elihu menantang Ayub untuk memimpin mereka membahas
masalah itu, jika dia berani melakukannya. Perkataan Elihu
bernada sindiran, “Beritahukanlah kepada kami jika engkau
bisa, apa yang harus kami katakan kepada-Nya (ay. 19). Eng-
kau berdebat dengan Allah dan menyuruh kami berbantah
dengan-Nya demi engkau, coba ajari kami apa yang harus
kami ucapkan. Apakah engkau bisa melihat ke dalam jurang
lebih jauh daripada kami? Jika engkau dapat, ceritakanlah
apa yang engkau tahu, berikanlah kami pengajaran.”
2. Elihu mengakui ketidakmampuannya dalam berbicara kepada
Allah maupun berkata-kata tentang-Nya. Tak ada yang dapat
kami paparkan oleh sebab kegelapan. Perhatikanlah, manusia
yang paling cerdas sekalipun tidak tahu apa-apa mengenai
kesempurnaan hakikat ilahi yang mulia dan penataan peme-
rintahan ilahi. Barang siapa yang mendapat anugerah untuk
mengenal banyak tentang Allah sesungguhnya hanya tahu
sedikit sekali, bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan apa yang harus diketahui, dan yang akan diketahui
kelak, saat yang sempurna datang dan selubung dikoyak-
kan. Saat berbicara tentang Allah, kita akan berkata-kata
dengan kebingungan dan ketidakpastian, lalu kehilangan akal,
bukan sebab kehabisan bahan, namun kehabisan kata-kata.
Sama seperti kita harus senantiasa mengawali dengan takut
dan gentar agar jangan sampai salah ucap (De Deo etiam vera
dicere periculosum est – Saat memastikan sesuatu yang sudah
benar tentang Allah pun kita berisiko keliru), demikan pula kita
harus mengakhiri dengan segan dan malu sebab perkataan
kita tidak cukup baik. Elihu sendiri telah berbicara dengan
amat baik bagi Allah, namun ia sama sekali tidak mengharap-
kan imbalan, atau menganggap Allah berutang kepadanya,
atau merasa layak menjadi penasihat-Nya.
(1) Elihu bahkan malu sebab ucapannya, bukan sebab isi-
nya, namun pengelolaan kata-katanya, “Apakah akan diberi-
tahukan kepada-Nya, bahwa aku akan bicara? (ay. 20).
Haruskah disampaikan kepada-Nya sebagai suatu jasa
yang layak Ia ketahui? Sama sekali tidak. Janganlah ber-
kata seperti itu.” Sebab Elihu takut kalau-kalau pembicara-
an tentang keajaiban Allah menjadi rusak sebab cara pe-
nyampaiannya, ibarat wajah yang rupawan menjadi tampak
buruk sebab pelukis yang kurang ahli. Ia merasa tuturan-
nya jauh dari baik hingga berhak mendapat balas jasa, ma-
lah ia justru perlu mohon diampuni. Setelah melakukan
segalanya semampu kita bagi Allah, kita harus mengakui
bahwa kita hanyalah hamba-hamba yang tidak layak, dan
tidak ada yang bisa kita banggakan. Elihu takut berbicara
lebih banyak lagi, “Jika seorang manusia berkata-kata, jika
dia berusaha membela Allah, apalagi menentang-Nya, ten-
tulah ia akan dibinasakan (ay. 20, KJV). Apabila ia berbicara
dengan lancang, murka Allah akan segera menelannya. Se-
kalipun berbicara dengan baik pun, ia akan tersesat dalam
misteri ilahi dan dikuasai oleh silau oleh cahaya-Nya. Keka-
guman akan membutakan dan membisukan dia.
Tutur Kata Elihu
(37:21-24)
21 Sesaat terang tidak terlihat, sebab digelapkan mendung; lalu angin ber-
embus, maka bersihlah cuaca. 22 Dari sebelah utara muncul sinar keemasan;
Allah diliputi oleh keagungan yang dahsyat. 23 Yang Mahakuasa, yang tidak
dapat kita pahami, besar kekuasaan dan keadilan-Nya; walaupun kaya akan
kebenaran Ia tidak menindasnya. 24 Itulah sebabnya Ia ditakuti orang; setiap
orang yang menganggap dirinya mempunyai hikmat, tidak dihiraukan-Nya.”
Elihu mengakhiri tutur katanya dengan serangkaian ucapan singkat
namun dahsyat mengenai kemuliaan Allah yang mengesankan bagi-
nya. Ia ingin membuat orang lain juga terkesan akan kemuliaan itu
dengan kekaguman yang kudus. Elihu berbicara secara ringkas dan
tergesa-gesa, sebab kemungkinan ia sudah merasakan bahwa Allah
sebentar lagi akan mengambil alih perkara tersebut.
1. Ia melihat bahwa Allah, yang telah memutuskan untuk diam dalam
kekelaman (2Taw. 6:1; Mzm. 18:12), sedang berada di atas kereta-
Nya yang dahsyat itu dan bergerak ke arah mereka, seolah Dia
sedang menyiapkan takhta penghakiman-Nya, yang dikelilingi
oleh awan dan kekelaman (Mzm. 97:2, 9). Elihu telah melihat
awan datang dari selatan dengan angin puting beliung di pusat-
nya. Kini awan itu menggantung di atas mereka, begitu pekat dan
gelapnya hingga mereka tidak dapat melihat terang sebab dige-
lapkan mendung. Cahaya matahari sekarang tertutup. Hal itu
mengingatkannya pada kegelapan yang membuatnya tidak mam-
pu berkata-kata (ay. 19), dan takut untuk terus berbicara (ay. 20).
Itulah ketakutan yang dirasakan para murid Yesus saat mereka
masuk ke dalam awan itu (Luk. 9:34). Akan namun , Elihu melihat
bahwa langit jernih di arah utara, hal itu memberinya pengharap-
an bahwa awan-awan itu tidak berkumpul untuk mendatangkan
banjir. Awan tidak menutupi mereka, hanya mengelilingi. Ia ber-
harap angin akan berembus, maka bersihlah cuaca, seperti angin
yang dahulu pernah bertiup di muka bumi untuk mengeringkan-
nya dari air bah pada zaman Nuh (Kej. 8:1) sebagai wujud perke-
nanan Allah. Lalu dari sebelah utara muncul sinar keemasan (ay.
22) dan semuanya akan baik-baik saja. Tidak untuk selamanya
Allah murka dan tidak seterusnya Ia berbantah.
2. Elihu buru-buru mengakhiri ucapannya, sebab Allah hendak ber-
bicara. Oleh sebab itu ia menyampaikan pesannya secara singkat
dan padat sebagai rangkuman dari semua yang telah dibicarakan.
Bila diperhatikan dengan sungguh, perkataannya itu bukan hanya
menegaskan seluruh pesan yang telah diucapkannya, namun juga
membuka jalan bagi apa yang ingin Allah katakan. Elihu meng-
amati bahwa,
(1) Allah diliputi oleh keagungan yang dahsyat. Dialah Allah yang
mulia dan kesempurnaan-Nya tidak terhingga sehingga pasti
mendatangkan ketakjuban kepada semua yang ada di hadap-
an-Nya dan kengerian kepada semua lawan-Nya. Allah diliputi
oleh puji-pujian yang dahsyat (menurut sejumlah tafsiran), se-
bab Dia menakutkan sebab perbuatan-Nya yang masyhur
(Kel. 15:11).
(2) Yang Mahakuasa, tidak dapat kita pahami sekalipun kita mem-
percakapkan-Nya. Pemahaman kita yang terbatas tidak mam-
pu mengerti kesempurnaan-Nya yang tiada terbatas (ay. 23).
Bisakah kita menampung lautan dalam cangkang telur? Kita
tidak sanggup menelusuri langkah-langkah Tuhan dalam pe-
nyelenggaraan-Nya. Melalui laut jalan-Mu (Mzm. 77:20).
(3) Besar kekuasaan-Nya. sebab kebesaran kuasa-Nya itulah Dia
dapat melakukan apa pun seturut kehendak-Nya baik di langit
maupun di bumi. Luasnya semesta dan dahsyatnya kekuatan
Allah yaitu bukti kebesaran-Nya. Tiada ciptaan yang mempu-
nyai lengan sepanjang dan sekuat Dia.
(4) Agunglah Ia pula dalam hikmat dan kebenaran. Dia kaya akan
kebenaran dan penghakiman. Seandainya Dia tidak adil, ke-
kuasaan-Nya pun tidak akan dahsyat. Kita boleh yakin bahwa
Dia yang sanggup melakukan segala sesuatu pasti mengerja-
kannya demi kebaikan yang terbaik, sebab Ia bijak tidak ter-
batas. Dia tidak akan berbuat salah dalam hal apa pun, sebab
Ia adil tidak terbatas. Saat Dia melaksanakan penghakiman
atas orang berdosa, hukuman-Nya itu sarat dengan keadilan,
sehingga Dia tidak membebankan lebih daripada yang sepatut-
nya.
(5) Ia tidak menindasnya, yaitu, Tuhan tidak akan menindas de-
ngan rela hati. Dia tidak senang mendukakan anak-anak ma-
nusia, apalagi anak-anak-Nya sendiri. Dia tidak akan menim-
pakan penderitaan, kecuali ada penyebab dan bila memang
diperlukan. Lagi pula Dia tidak akan membebani kita terlalu
berat dengan penderitaan, sebab Dia memperhitungkan ke-
kuatan kita. Versi terjemahan lain menuliskan ayat 23 demi-
kian: “Yang Mahakuasa, yang tidak dapat kita pahami, besar
kekuasaan-Nya, namun Dia tidak akan menindas dengan peng-
hakiman, dan pada-Nya berlimpah keadilan. Dia tidak akan
menuding kesalahan kita dengan berat.”
(6) Dia tidak menghargai cercaan orang yang merasa dirinya bijak,
mereka tidak dihiraukan-Nya (ay. 24). Dia tidak akan meng-
ubah rancangan-Nya hanya sebab mereka, dan orang-orang
itu pun tidak akan mampu membuat Dia bekerja seturut ke-
mauan mereka. Allah memperhitungkan doa orang yang ren-
dah hati, namun mengabaikan kepintaran orang-orang culas.
Yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manu-
sia (1Kor. 1:25).
(7) Berdasarkan semuanya itu, kesimpulannya jelas, bahwa Allah
itu Mahabesar, sehingga Dia patut ditakuti. Bahkan, sebab
Dia murah hati dan tidak akan menindas, itulah sebabnya Ia
ditakuti orang. Pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau
ditakuti orang (Mzm. 130:4). Takut akan Allah merupakan ke-
wajiban dan kepentingan semua manusia. Manusia pasti takut
kepada-Nya (menurut versi terjemahan lain), cepat atau lam-
bat mereka pasti akan takut akan Dia. Barang siapa tidak mau
takut akan Tuhan dan kebaikan-Nya akan gemetar selama-
lamanya di bawah curahan cawan murka-Nya.
PASAL 38
alam kebanyakan perdebatan, hal yang dipertengkarkan yaitu
siapa yang akan membuat keputusan terakhir. Dalam percek-
cokan ini, sahabat-sahabat Ayub dengan lesu menyerahkannya ke-
pada Ayub, kemudian dari dia kepada Elihu. Namun, sesudah semua
perdebatan dewan yang berlangsung di persidangan, hakim pengadil-
anlah yang harus membuat keputusan terakhir. Demikianlah yang
dilakukan Allah di sini, dan begitu juga dalam setiap percekcokan,
sebab setiap penghakiman manusia berasal dari Dia. Dengan hu-
kuman-Nya yang menentukan, setiap orang akan tegak atau jatuh,
dan setiap perkara akan menang atau kalah. Ayub sudah sering naik
banding kepada Allah, dan mengatakan dengan berani bagaimana ia
akan mengajukan perkaranya di hadapan Dia. Bagaikan raja ia hen-
dak datang mendekat kepada-Nya. Namun, saat Allah mengambil
takhta pengadilan, Ayub tidak mampu berkata apa-apa untuk mem-
bela diri selain berdiam diri di hadapan-Nya. Sungguh tidak mudah
untuk menentang Yang Mahakuasa sebagaimana yang dibayangkan
orang. Sahabat-sahabat Ayub pun beberapa kali mengajukan perkara
kepada Allah: “Mudah-mudahan Allah sendiri berfirman!” (11:5). Seka-
rang Allah akhirnya benar-benar berfirman, saat amarah Ayub
sedikit diredakan dan ditahan melalui anjuran Elihu yang jelas dan
kuat, sehingga ia dipersiapkan untuk mendengar apa yang hendak
dikatakan Allah. Sudah merupakan tugas para hamba Allah untuk
mempersiapkan jalan bagi TUHAN. Yang dirancang Allah yang agung
dalam percakapan ini yaitu untuk merendahkan hati Ayub, dan
membuat dia bertobat serta menarik semua ucapannya yang penuh
kemarahan dan tidak pantas menyangkut tindakan pemeliharaan
Allah terhadap dirinya. Ia melakukan ini dengan mengajak Ayub
membandingkan kekekalan Allah dengan masa hidupnya sendiri,
kemahatahuan-Nya dengan kebodohan Ayub sendiri, serta kemaha-
kuasaan-Nya dengan kelemahannya sendiri.
I. Allah mengawali dengan tantangan untuk menyadarkan
Ayub dan tuntutan secara umum (ay. 2-3).
II. Allah melanjutkan dengan berbagai contoh dan bukti nyata
mengenai ketidakmampuan Ayub untuk bertengkar dengan
Allah, sebab kebodohan dan kelemahannya, sebab,
1. Ayub tidak tahu apa pun tentang penciptaan bumi (ay. 4-7).
2. Ia tidak tahu apa pun tentang pembendungan laut (ay. 8-11).
3. Tidak tahu apa pun tentang cahaya fajar (ay. 12-15).
4. Tidak tahu apa pun tentang ceruk gelap lautan dan bumi
(ay. 16-21).
5. Tidak tahu apa pun tentang sumber air di awan-awan (ay.
22-27), ataupun rancangan-rancangan tersembunyi yang
menggerakkan semua itu.
6. Ayub tidak mampu berbuat apa pun untuk membuat hu-
jan, atau salju, atau kilat (ay. 28-30, 34-35, 37-38), tidak
tahu sedikit pun tentang pergerakan bintang-bintang ter-
masuk pengaruhnya (ay. 31-33), tentang menaruh hikmat
di dalam batin orang manusia (ay. 36, TL). Yang terakhir,
A