Minggu, 05 Januari 2025

ayub 30


a yub tidak mampu menyediakan bekal bagi singa dan bu-

rung gagak (39:1-3). Jika dalam kejadian-kejadian biasa 

di alam ini saja Ayub sudah dibuat bingung, maka betapa 

lancangnya ia berlagak menyelami segala rancangan pe-

merintahan Allah dan menghakiminya? Dalam hal ini 

(menurut pengamatan Uskup Patrick), Allah mulai dengan 

memakai tuturan Elihu, yang paling mendekati kebenaran 

dan melanjutkannya dengan kata-kata yang tidak dapat 

ditiru, jauh mengungguli perkataan Elihu dan yang lain-

nya, dalam hal keanggunan bertutur, bagaikan bunyi 

guntur dibandingkan dengan bisikan. 

Allah Menjawab dari Dalam Badai  

(38:1-3) 

1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub: 2 “Siapakah dia yang mengge-

lapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?  

3 Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya 

engkau memberitahu Aku. 

Marilah kita amati di sini, 

1. Siapa yang berfirman. Yaitu, TUHAN, Yehova, bukan malaikat cip-

taan, melainkan Sang Firman kekal itu sendiri, pribadi kedua 

Trinitas yang terpuji. sebab  Dia, oleh Dia dunia dan segala isinya 

telah dijadikan, dan Dialah Anak Allah, tidak ada yang lain. Yang 

sama yang berbicara di sini yang di kemudian hari berbicara dari 

gunung Sinai. Di sini Ia mengawali dengan penciptaan dunia, se-

dangkan di gunung Sinai Ia berfirman tentang pembebasan kaum 

Israel dari Mesir. Dan melalui kedua peristiwa ini dapat disimpul-

kan betapa pentingnya kita berserah diri kepada-Nya. Sebelumnya 

Elihu berkata, Allah berfirman dengan satu dua cara kepada 

manusia, namun  orang tidak memperhatikannya (33:14), namun  di 

sini tidak bisa tidak mereka pasti memahami perkataan-Nya, dan 

tidak hanya itu saja, kita masih akan makin diteguhkan oleh 

firman yang [telah] disampaikan oleh para nabi (2Ptr. 1:19). 

2. Kapan Ia berfirman. Maka, yaitu sesudah mereka menyampaikan 

perkataan mereka namun belum juga menemukan ujungnya. 

Maka saat itulah tiba waktunya bagi Allah untuk menengahi, dan 

penghakiman-Nya sesuai dengan kebenaran. Pada waktu kita 

tidak mengetahui siapa yang berada di pihak yang benar, dan 

mungkin ragu apakah kita sendiri sudah benar, hal ini bisa meng-

hibur kita, bahwa Allah akan segera memutuskannya di lembah 

penentuan (Yl. 3:14). Ayub telah membungkam ketiga sahabatnya, 

namun tidak berhasil meyakinkan mereka terutama perihal ke-

tulusan hidupnya. Elihu telah membungkam Ayub, namun tidak 

mampu membuatnya mengakui bahwa ia telah salah mengurus 

perdebatan ini. Namun, sekarang Allah datang untuk melakukan 

kedua hal tersebut. Pertama-tama Ia menginsafkan Ayub akan 

kata-katanya yang tidak pantas itu, sehingga membuat Ayub 

berseru, Peccavi – Aku telah bersalah. Dan sesudah merendahkan 

Ayub, Ia memberikan kehormatan kepadanya dengan menginsaf-

kan ketiga sahabatnya, bahwa mereka telah memperlakukan dia 

dengan tidak benar. Cepat atau lambat, kedua hal inilah yang 

akan dilakukan Allah bagi umat-Nya. Ia akan menunjukkan ke-

salahan-kesalahan mereka, supaya mereka merasa malu, dan Ia 

akan menunjukkan kebenaran mereka kepada yang lain, serta 

membawanya ke tempat terang, supaya yang lain malu sebab  

telah mencela mereka dengan tidak adil. 

3. Bagaimana Ia berfirman. Yaitu, dari dalam badai, dari dalam awan 

yang bergulung-gulung dan melingkupi, yang diperhatikan Elihu 

(37:1-2, 9). Angin badai juga mendahului penglihatan yang diper-

oleh Yehezkiel (Yeh. 1:4), dan penglihatan Elia (1Raj. 19:11). Allah 

dikatakan berjalan dalam puting beliung (Nah. 1:3), dan untuk 

menunjukkan bahwa bahkan angin topan pun menggenapi fir-

man-Nya, di sini angin itu dijadikan sarananya juga. Ini menun-

jukkan betapa dahsyat suara Allah, bahwa suara itu tidak hilang 

begitu saja, namun  terdengar dengan sangat jelas, bahkan di te-

ngah deru angin badai sekalipun. Demikianlah Allah merancang 

untuk mengejutkan Ayub, dan meminta perhatiannya. Adakala-

nya Allah menjawab umat-Nya sendiri dengan hukuman mengeri-

kan, seakan-akan keluar dari badai, namun senantiasa dalam 

kebenaran. 

4. Kepada siapa Ia berfirman. Ia menjawab Ayub, mengarahkan per-

kataan-Nya kepada dia, untuk menginsafkannya akan kekeliruan-

nya, sebelum membersihkannya dari fitnah yang dilontarkan ke-

padanya. Hanya Allah sendirilah yang mampu menyadarkan 

orang sepenuhnya akan dosa. Dan orang-orang yang direncana-

kan-Nya untuk Ia tinggikan, akan direndahkan-Nya terlebih da-

hulu. Orang-orang yang rindu mendengar dari Allah seperti yang 

dilakukan Ayub, pada akhirnya pasti akan mendengar dari-Nya. 

5. Apa yang difirmankan-Nya. Kita dapat menduga bahwa Elihu, 

atau beberapa pendengar lain, mencatat secara harfiah apa ada-

nya segala sesuatu yang terdengar dari dalam badai itu, sebab 

kita mendapati (Why. 10:4) bahwa saat  guruh itu selesai ber-

bicara, Yohanes siap mencatatnya. Atau, kalaupun tidak dicatat 

saat  itu, penulis Kitab Ayub ini diilhami Roh Kudus untuk me-

nulisnya, sehingga kita yakin bahwa di sini kita memperoleh 

laporan yang sangat benar dan tepat tentang apa yang dikatakan. 

Kata Kristus, Roh Kudus akan mengingatkan kamu seperti yang 

dilakukan-Nya di sini, akan semua yang telah Kukatakan kepada-

mu. Kata-kata pendahaluannya sangat tajam menyelidiki. 

(1) Allah menegur Ayub atas kebodohan dan kekurangajarannya 

dalam apa yang diucapkannya (ay. 2): Siapakah dia yang ber-

bicara seperti ini? Apakah dia Ayub? Apa! Seorang manusia? 

Makhluk ciptaan yang lemah, bodoh, dan hina itu. Beraninya 

dia berlagak mengajari Aku apa yang harus Aku perbuat, atau 

berdebat dengan Aku atas apa yang telah Aku lakukan? Apa-

kah dia Ayub? Apa! Hamba-Ku Ayub, orang yang sempurna dan 

tulus itu? Masakan ia sampai sedemikian lupa diri dan ber-

tindak tidak seperti dirinya? Siapa, di manakah ia yang meng-

gelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak 

berpengetahuan? Biarlah ia memperlihatkan wajahnya kalau 

berani, dan mempertahankan apa yang telah dikatakannya.” 

Perhatikanlah, menggelapkan keputusan hikmat Allah dengan 

kebodohan kita merupakan penghinaan dan hasutan terbesar 

terhadap Allah. Mengenai keputusan Allah, harus kita akui 

bahwa kita sama sekali tidak berpengetahuan. Putusan hik-

mat-Nya begitu dalam sehingga tidak mampu kita ukur. Kita 

sama sekali tidak ada apa-apanya, salah sasaran, jika kita 

menganggap diri mampu menjelaskannya. Namun demikian, 

kita terlampau mudah berbicara dengan sangat yakin dan 

berani tentang hal itu seolah-olah kita memahaminya. Dan, 

aduh! Bukannya menjelaskannya, kita justru membuatnya se-

makin gelap. Kita mempermalukan dan membuat bingung diri 

sendiri dan satu sama lain, saat  kita berbantah mengenai 

aturan putusan perintah Allah, termasuk rancangan, alasan, 

dan cara pelaksanaan penyelenggaraan serta anugerah-Nya. 

Iman yang penuh kerendahan hati dan ketaatan yang tulus akan 

melihat lebih jauh dan lebih baik ke dalam rahasia TUHAN, 

dibandingkan segala macam aliran filsafat dan segala penyeli-

dikan ilmu pengetahuan. Kata pertama yang diucapkan Allah 

ini yang paling menonjol, sebab dalam pertobatannya, itulah 

yang Ayub selami betul-betul, sebab  perkataan itu yang mem-

buatnya terdiam dan merendahkan diri (42:3). Perkataan itu ia 

ulangi dan dengungkan seperti anak panah yang tertancap 

dalam dirinya: “Aku ini orang bodoh yang telah menggelapkan 

putusan hikmat.” Ada kesan bahwa perkataan ini tertuju ke-

pada Elihu, seakan-akan yang dimaksudkan Allah yaitu  dia, 

sebab  dialah yang terakhir berbicara, dan yang sedang ber-

bicara saat  badai itu mulai menerjang. Namun Ayub mene-

rapkannya pada dirinya sendiri, seperti yang patut kita lakukan 

saat  teguran saleh diberikan, dan tidak (seperti yang dila-

kukan kebanyakan orang) melontarkannya kepada orang lain. 

(2) Allah menantang Ayub untuk memberikan bukti-bukti penge-

tahuan yang dimilikinya yang dapat membenarkan dirinya 

layak menyelidiki kebijaksanaan ilahi (ay. 3): “Bersiaplah eng-

kau sebagai laki-laki gagah berani. Persiapkanlah dirimu un-

tuk pertemuan itu. Aku akan menanyai engkau, dan mengaju-

kan beberapa pertanyaan kepadamu, supaya engkau mem-

beritahu Aku bila kau mampu, sebelum aku menjawab perta-

nyaanmu.” Orang-orang yang pergi ke sana kemari untuk 

meminta Allah bertanggung jawab, harus siap menerima peng-

ajaran dan diminta untuk bertanggung jawab, supaya mereka 

dapat menyadari kebodohan dan kesombongan mereka sen-

diri. Di sini Allah mengingatkan Ayub akan apa yang pernah 

dikatakannya (13:22). Panggillah, maka aku akan menjawab. 

“Sekarang tepatilah perkataanmu itu.” 

Penciptaan Dunia 

(38:4-11) 

4 Di manakah engkau, saat  Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, 

kalau engkau mempunyai pengertian! 5 Siapakah yang telah menetapkan 

ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? – Atau siapakah yang telah 

merentangkan tali pengukur padanya? 6 Atas apakah sendi-sendinya dilan-

tak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya 7 pada waktu bintang-

bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-

sorai? 8 Siapa telah membendung laut dengan pintu, saat  membual ke luar 

dari dalam rahim? – 9 saat  Aku membuat awan menjadi pakaiannya dan 

kekelaman menjadi kain bedungnya; 10 saat  Aku menetapkan batasnya, 

dan memasang palang dan pintu; 11 saat  Aku berfirman: Sampai di sini 

boleh engkau datang, jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu yang 

congkak akan dihentikan! 

Untuk merendahkan hati Ayub, dalam perikop ini Allah menunjuk-

kan ketidaktahuan Ayub, bahkan tentang bumi dan laut. Walaupun 

letaknya begitu dekat dan tampak begitu luas, namun Ayub tidak 

mampu menjelaskan asal-usulnya, apalagi asal-usul sorga di atas 

dan neraka di bawah, yang letaknya begitu jauh, atau asal-usul bebe-

rapa bagian benda yang begitu kecil, dan lalu, yang paling sedikit 

dari semuanya yang kia ketahui, yaitu tentang kebijaksanaan ilahi. 

I. Mengenai pembentukan bumi. “Jikalau ia memiliki pengetahuan 

yang begitu dalam sebagaimana yang disangkanya mengenai kebi-

jaksanaan Allah, biarlah ia memberikan beberapa penjelasan ten-

tang bumi yang dipijaknya, yang diberikan kepada anak-anak 

manusia.”

1. Biarlah ia mengatakan di mana ia berada saat  dunia di ba-

wah ini dijadikan, dan apakah ia memberikan saran atau ikut 

membantu dalam karya agung itu (ay. 4): “Di manakah engkau, 

saat  Aku meletakkan dasar bumi? Lagakmu besar sekali, 

coba berani katakan ini? Apakah engkau hadir saat  dunia 

dijadikan?” Lihatlah di sini, 

(1) Keagungan dan kemuliaan Allah: Aku meletakkan dasar 

bumi. Ini membuktikan bahwa hanya Dialah satu-satunya 

Allah yang hidup dan sejati, satu-satunya  Allah yang ber-

kuasa (Yes. 40:21; Yer. 10:11-12), dan kenyataan ini men-

dorong kita untuk senantiasa percaya kepada-Nya (Yes. 

51:13, 16). 

(2) Kehinaan dan kerendahan manusia: “Di manakah engkau 

saat  itu? Engkau telah berhasil menjadi tokoh yang be-

gitu penting di antara bangsa-bangsa di timur, dan me-

nyampaikan sabda Allah, serta menjadi hakim kebijaksana-

an ilahi, di manakah engkau saat  dasar bumi diletak-

kan?” Saat dunia diciptakan, kita ini sama sekali belum 

ada, apa lagi ikut ambil bagian dalam pembentukannya. 

sebab  itu janganlah kita berlagak punya hak untuk me-

nguasainya, atau berlagak menjadi saksi penciptaannya 

sehingga memahami asal-usulnya. Manusia pertama saja 

tidak menyaksikannya, apalagi kita. Kehormatan itu hanya 

bagi Kristus, yang hadir saat  semua ini terjadi (Ams. 8:22 

dst.; Yoh. 1:1-2). namun  kita, anak-anak kemarin, tidak me-

ngetahui apa-apa. Oleh sebab itu janganlah kita mencari-

cari kesalahan dalam karya-karya Allah, ataupun meng-

atur-atur Dia. Ia tidak meminta petunjuk kepada kita keti-

ka Ia menjadikan dunia, namun hasilnya sungguh baik. 

Jadi mengapa pula kita mengharapkan Dia harus mengam-

bil petunjuk dari kita dalam mengatur dunia? 

2. Biarlah Ayub menjelaskan bagaimana dunia ini dijadikan, dan 

memberikan uraian terperinci tentang cara mahakarya yang 

agung ini dibentuk dan ditegakkan: “Nyatakanlah, apakah 

engkau bahkan memiliki pengertian seperti yang kausangka, 

seperti apa perkembangan pekerjaan itu.” Orang-orang yang 

menyangka memiliki pengertian melebihi orang lain, haruslah 

membuktikannya. Tunjukkan imanmu melalui perbuatanmu, 

dan pengetahuanmu melalui perkataanmu. Biarlah Ayub me-

nyatakan apabila ia mampu, 

(1) Bagaimana caranya dunia ini dibentuk hingga sedemikian 

indah dan cermatnya, dengan sedemikian tepat, begitu me-

ngagumkan dalam keselarasan dan seimbang di setiap ba-

giannya (ay. 5): “Majulah, dan katakan, siapakah yang telah 

menetapkan serta merentangkan tali pengukur padanya?” 

Engkaukah ahli bangunan yang membentuk polanya, ke-

mudian menggambar semua ukurannya sesuai pola itu? 

Bumi yang sangat luas ini dicetak secara teratur seolah-

olah telah dikerjakan memakai  tali pengukur dan 

ukuran tertentu. namun  siapa yang mampu menggambar-

kan bagaimana ia dibentuk sedemikian? Siapa gerangan 

yang mampu menentukan lingkaran dan garis tengahnya, 

serta semua garis yang ditarik di permukaan bumi? Sampai 

hari ini pun masih diperdebatkan apakah bumi diam di 

tempat atau berputar. Kalau begitu, bagaimana kita bisa me-

nentukan dengan ukuran apa bumi pada awalnya dibentuk? 

(2) Bagaimana bumi bisa terpancang sekokoh itu. Walaupun 

tidak bergantung pada apa pun, namun bumi kokoh, tidak 

dapat dipindahkan. namun  siapa gerangan yang dapat me-

ngatakan atas apakah sendi-sendinya dilantak, dikencang-

kan, sehingga tidak tenggelam sebab  bebannya sendiri, 

atau siapakah yang memasang batu penjurunya, sehingga 

bagian-bagiannya tidak jatuh berserakan? (ay. 6). Segala 

sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selama-

nya (Pkh. 3:14). Oleh sebab itu, seperti halnya kita tidak 

dapat menemukan kesalahan dalam karya Allah, demikian 

pula kita tidak perlu mencemaskannya. Karya-Nya akan 

bertahan selamanya dan memenuhi tujuannya, yaitu se-

mua karya penyelenggaraan-Nya serta karya penciptaan-

Nya itu. Tindakan kedua pekerjaan-Nya ini tidak akan per-

nah bisa dipatahkan. Sama halnya juga, karya penebusan 

pun sama kokohnya, di mana Kristus sendirilah yang me-

rupakan dasar dan batu penjurunya. Jemaat-Nya berdiri 

kokoh seperti halnya bumi. 

3. Biarlah Ayub mengulangi, jika memang ia mampu, lagu-lagu 

pujian yang dilantunkan pada saat-saat khidmat itu (ay. 7), 

pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-

sama. Pada waktu itu para malaikat (anak sulung Bapa terang 

itu), yang pada pagi hari bersinar seterang bintang fajar, se-

gera keluar sebelum muncul terang yang diperintahkan Allah 

untuk bersinar dari dalam kegelapan ke atas benih-benih di 

dunia bawah ini, yaitu bumi, yang pada awalnya tanpa bentuk 

dan kosong. Para malaikat itu yaitu  semua anak Allah, yang 

bersorak-sorai saat melihat dasar bumi diletakkan. Sebab, 

meskipun bumi tidak dijadikan bagi mereka, melainkan bagi 

anak-anak manusia, dan meskipun bumi akan menambah 

pekerjaan dan pelayanan mereka, namun mereka tahu bahwa 

Sang Hikmat dan Firman yang kekal yang mereka sembah itu 

(Ibr. 1:6), akan bersuka, akan bermain-main di atas muka 

bumi-Nya, dan bahwa anak-anak manusia menjadi kesenang-

an-Nya (Ams. 8:31). Para malaikat disebut anak-anak Allah, 

sebab  mereka sangat serupa dengan gambar dan rupa-Nya, 

tinggal bersama-Nya di rumah-Nya di sorga, serta melayani 

Dia seperti anak melayani bapanya. Sekarang amatilah di sini, 

(1) Kemuliaan Allah, sebagai Pencipta dunia, harus dirayakan 

dengan sukacita dan kemenangan oleh semua makhluk 

ciptaan-Nya yang berakal budi. Sebab, mereka memenuhi 

syarat dan ditetapkan untuk menjadi penghimpun puji-puji-

an bagi-Nya dari semua ciptaan yang lebih rendah, yang da-

pat memuji Dia sebagai bukti kepiawaian pekerjaan tangan-

Nya. 

(2) Pekerjaan para malaikat yaitu  memuji-muji Allah. Semakin 

banyak kita menaikkan puji-pujian kudus dengan rendah 

hati, penuh syukur dan sukacita, semakin kita melakukan 

kehendak Allah seperti yang mereka lakukan. Sementara 

kita begitu mandul dan tidak sempurna dalam memuji-muji 

Allah, sungguh menjadi penghiburan saat kita tahu bahwa 

para malaikat melakukannya dengan cara lebih baik. 

(3) Para malaikat dengan satu suara serentak melantunkan 

puji-pujian bagi Allah. Mereka bernyanyi bersama-sama de-

ngan serasi tanpa nada sumbang. Paduan suara terindah 

yaitu  memuji-muji Allah. 

(4) Semua malaikat melakukannya, termasuk mereka yang di 

kemudian hari jatuh dan meninggalkan tempat kediaman 

pertama mereka. Bahkan orang-orang yang telah memuji-

muji Allah pun bisa saja berubah menghujat Dia akibat 

kuasa dosa yang menipu. Namun, Allah akan tetap dipuji 

selama-lamanya. 

II.  Mengenai pembendungan laut di tempat yang sudah ditentukan 

untuk itu (ay. 8, dst.). Ini merujuk kepada hari ketiga penciptaan, 

saat  Allah berkata (Kej. 1:9), Hendaklah segala air yang di ba-

wah langit berkumpul pada satu tempat,.... Dan jadilah demikian. 

1. Dari kedalaman yang kacau-balau, di mana bumi dan air ma-

sih bercampur aduk, air pun membual ke luar bagaikan dari 

dalam rahim (ay. 8), sebab  menaati perintah ilahi. Setelah itu 

air yang menyelubungi kedalaman dan melampaui gunung-

gunung, mundur dengan segera. Terhadap hardik-Mu air itu 

melarikan diri (Mzm. 104:6-7). 

2. Bayi yang baru lahir ini diberi pakaian dan dibedung dengan 

kain lampin (ay. 9). Awan menjadi pakaiannya yang menutupi-

nya, dan kekelaman (pantai-pantai luas yang terpencil dan 

berjauhan letaknya satu sama lain) menjadi kain bedungnya. 

Lihatlah betapa mudah Allah yang perkasa mengendalikan 

lautan yang bergelora. Sekalipun ganas gelombang pasangnya 

dan dahsyat terjangan ombak tingginya, Ia mengurus laut ba-

gaikan juru rawat membedung bayi dengan pakaian. Tidak 

dikatakan bahwa Ia menjadikan batu-batu karang dan gunung-

gunung sebagai kain bedungnya, melainkan awan dan keke-

laman, sesuatu yang tidak kita sadari dan hampir tidak kita 

pikirkan bisa dipakai  untuk tujuan itu. 

3. Selain itu, tersedia palungan juga bagi bayi ini: Aku menetap-

kan batasnya (ay. 10). Baginya, tanah digali menjadi lembah-

lembah yang cukup luas untuk menerima dan membaringkan-

nya di situ. Jika angin sesekali menerpanya, hal itu (menurut 

Uskup Patrick), rasanya bagaikan buaian yang diayun-ayun 

sehingga bayi itu lebih cepat terlelap. Mengenai laut, bagi se-

tiap kita tersedia tempat yang sudah ditetapkan. Sebab Ia yang 

menentukan waktu sebelum itu, juga menentukan batas-batas 

tempat tinggal kita. 

4. sebab  bayi ini menjadi sulit dikendalikan dan berbahaya aki-

bat dosa manusia, hal yang merupakan asal penyebab seluruh 

keresahan dan bahaya di dunia bawah ini, tersedia pula pen-

jara yang disiapkan untuk itu, dengan memasang palang dan

 pintu (ay. 10). Sebagai teguran terhadap kedurjanaannya, dika-

takan, Sampai di sini boleh engkau datang, jangan lewat. Laut 

yaitu  milik Allah, sebab Dialah yang membuatnya. Ia me-

ngendalikannya dan berkata kepadanya, di sinilah gelombang-

gelombangmu yang congkak akan dihentikan (ay. 11). Hal ini 

dapat dianggap sebagai tindakan kuasa Allah atas laut. Meski-

pun merupakan bentangan yang sangat luas, dan gerakannya 

terkadang sangat buas, Allah mampu mengendalikannya. Om-

baknya tidak akan lebih tinggi dan air pasangnya tidak akan 

bergulung lebih jauh daripada yang diizinkan Allah. Hal ini 

disebutkan sebagai alasan mengapa kita harus berdiri dengan 

takjub di hadapan Allah (Yer. 5:22), namun juga mengapa kita 

harus berbesar hati di dalam Dia. Sebab Ia yang membungkam 

gelora laut, bahkan deru ombaknya, juga mampu meredakan 

kegemparan bangsa-bangsa (Mzm. 65:8). Hal ini juga harus 

dipandang sebagai tindakan belas kasih Allah kepada dunia 

umat manusia dan contoh kesabaran-Nya terhadap anugerah-

Nya kepada manusia itu namun  yang berbalik menjengkelkan 

hati-Nya. Meskipun Ia dengan mudah dapat menutupi bumi 

dengan air lautan kembali (dan menurut saya, setiap air pa-

sang yang terjadi dua kali sehari bisa saja mengancam kita 

dan menunjukkan apa yang bisa saja dan akan dilakukan 

lautan apabila Allah mengizinkannya), Ia tetap saja mengen-

dalikannya sebab  Ia tidak mau ada yang binasa, dan supaya  

disimpan untuk hari penghakiman (2Ptr. 3:7). 

Karya Allah 

(38:12-24) 

12 Pernahkah dalam hidupmu engkau menyuruh datang dinihari atau fajar 

kautunjukkan tempatnya 13 untuk memegang ujung-ujung bumi, sehingga 

orang-orang fasik dikebaskan dari padanya? 14 Bumi itu berubah seperti 

tanah liat yang dimeteraikan, segala sesuatu berwarna seperti kain. 15 Orang-

orang fasik dirampas terangnya, dan dipatahkan lengan yang diacungkan.  

16 Engkaukah yang turun sampai ke sumber laut, atau berjalan-jalan melalui 

dasar samudera raya? 17 Apakah pintu gerbang maut tersingkap bagimu, atau 

pernahkah engkau melihat pintu gerbang kelam pekat? 18 Apakah engkau 

mengerti luasnya bumi? Nyatakanlah, kalau engkau tahu semuanya itu. 19 Di 

manakah jalan ke tempat kediaman terang, dan di manakah tempat tinggal 

kegelapan, 20 sehingga engkau dapat mengantarnya ke daerahnya, dan me-

ngetahui jalan-jalan ke rumahnya? 21 Tentu engkau mengenalnya, sebab  

saat  itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak! 22 Apakah 

engkau telah masuk sampai ke perbendaharaan salju, atau melihat perben

daharaan hujan batu, 23 yang Kusimpan untuk masa kesesakan, untuk 

waktu pertempuran dan peperangan? 24 Di manakah jalan ke tempat terang 

berpencar, ke tempat angin timur bertebar ke atas bumi? 

Dalam perikop ini TUHAN selanjutnya mengajukan banyak pertanya-

an penuh teka-teki kepada Ayub untuk menginsafkan dia akan keti-

daktahuannya. Dengan demikian Ia membuatnya malu akan kebo-

dohannya untuk mengatur-atur Allah. Kalau saja kita bersedia meng-

uji diri kita dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, maka kita 

akan tersadar bahwa apa yang kita ketahui tidak ada artinya sama 

sekali bila dibandingkan dengan apa yang tidak kita ketahui. Di sini 

Ayub ditantang memberikan penjelasan tentang enam hal: 

I.   Tentang fajar pada pagi hari, yakni fajar dari atas (ay. 12-15). 

Sama seperti tidak ada makhluk kasat mata yang tentang keada-

an dan asal usulnya kita tahu dengan benar-benar yakin, demiki-

an pula tidak ada yang lebih membingungkan bagi kita untuk 

menggambarkannya, atau lebih membuat kita ragu untuk menen-

tukan apa sebenarnya hal itu, dibandingkan dengan terang. Kita 

menyambut datangnya pagi hari, dan senang melihat fajar, namun, 

1. Terang itu bukannya baru diperintahkan ada sejak hari-hari 

hidup kita, melainkan sudah seperti itu lama sebelum kita 

lahir. sebab  itu, terang itu tidak dibuat oleh kita atau khusus 

dirancang bagi kita, namun  kita menerimanya sebagaimana 

adanya, sama seperti banyak angkatan yang telah mendahului 

kita menerimanya. Fajar mengetahui tempatnya sebelum kita 

mengetahui tempat kita, sebab kita ini ibarat anak yang baru 

lahir kemarin. 

2. Bukan kita, bukan siapa pun yang mula-mula memerintah 

fajar untuk keluar, atau menetapkan tempatnya menyingsing 

dan bersinar, ataupun saatnya. Pergantian siang dan malam 

bukanlah rancangan kita. Kemuliaan Allah-lah yang ditunjuk-

kannya, dan karya tangan-Nya, bukan kemuliaan dan karya 

tangan kita (Mzm. 19:2-3). 

3. Sungguh di luar kemampuan kita untuk mengubah pergantian 

hari ini: “Pernahkah dalam hidupmu engkau menyuruh datang 

dinihari? Pernahkah engkau menaikkan cahaya fajar lebih ce-

pat daripada waktunya yang sudah ditentukan, demi melayani 

kepentinganmu saat  engkau menantikan datangnya pagi 

hari? Pernahkah engkau demi kepentinganmu sendiri  meme-

rintahkan fajar berpindah ke tempat selain tempatnya sendiri? 

Tidak, tidak pernah. Kalau begitu mengapa engkau berlagak 

hendak memberikan arahan bagi kebijaksanaan ilahi, atau ber-

harap cara-cara penyelenggaraan Allah diubah demi kesenang-

anmu?” Kita perlu berhati-hati agar jangan sampai melanggar 

kovenan siang dan malam hari seperti bagian apa saja dari 

kovenan Allah dengan umat-Nya, dan terutama bagian ini, Aku 

akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang.  

4. Allah sendirilah yang sudah menetapkan supaya fajar me-

ngunjungi bumi, dan menyebarkan cahaya pagi ke udara yang 

menerimanya seperti tanah liat yang dimeteraikan (ay. 14), dan 

langsung menerima pengaruhnya, sehingga dengan demikian 

segala sesuatu diterangi olehnya. Sama seperti cap meterai 

meninggalkan bentuknya di atas bantalan lilin. Segala sesuatu 

berwarna seperti kain, atau seakan-akan dibungkus dengan 

kain. Tiap pagi bumi mengenakan wajah baru, dan mengena-

kan pakaian seperti kita, mengenakan terang sebagai pakaian-

nya, sehingga dengan demikian dapat terlihat. 

5. Hal ini menjadi kengerian bagi para pelaku kejahatan. Tidak 

ada suatu pun yang lebih nyaman bagi umat manusia selain 

terang pagi hari. Terang itu sangat menyenangkan bagi mata, 

sangat bermanfaat bagi kehidupan serta kegiatan di dalamnya, 

dan kebaikannya tersebar ke semua tempat, sebab  memegang 

ujung-ujung bumi (ay. 13). Dan dengan nyanyian kita kepada 

terang itulah kita harus tinggal, sebab  memberikan manfaat 

kepada bumi. Namun, di sini Allah mengamati betapa terang 

itu tidak disambut baik oleh orang-orang yang melakukan ke-

jahatan, dan oleh sebab  itu mereka membenci terang. Allah 

membuat terang sebagai pelayan keadilan maupun kasih se-

tia-Nya. Terang dirancang supaya habis orang-orang fasik dari 

bumi. Dan demi tujuan itu, terang memegang ujung-ujung 

bumi, sama seperti kita memegang ujung-ujung pakaian kita 

untuk mengebaskan debu dan ngengat dari dalamnya. Ayub 

telah mengamati betapa terang pagi hari sangat menakutkan 

bagi para pelaku kejahatan, sebab terang menelanjangi me-

reka (24:13, dst.) Dan di sini Allah mendukung pengamatan-

nya, dan bertanya kepadanya apakah dunia ini berutang budi 

kepadanya atas kebaikan itu? Tidak, Sang Hakim Agung dunia-

lah yang mengutus berkas-berkas sinar pagi hari sebagai utus-

an untuk menemukan para penjahat, supaya mereka tidak saja 

akan dikalahkan dalam segala maksud mereka dan dipermalu-

kan, namun  juga supaya mereka dapat dibawa kepada penghu-

kuman yang memang pantas mereka terima (ay. 15). Juga, 

supaya terang mereka dirampas, artinya, supaya mereka kehi-

langan rasa nyaman, kepercayaan, kebebasan, dan nyawa me-

reka. Selain itu, supaya lengan mereka yang diacungkan, yang 

mereka angkat tinggi-tinggi untuk melawan Allah dan manu-

sia, akan dipatahkan, sehingga kekuatan mereka yang menda-

tangkan celaka itu dicabut. Apakah yang dikatakan di sini 

mengenai terang pagi hari dirancang untuk melambangkan 

terang Injil Kristus dan menjadi perlambang untuk itu, tidak 

akan saya sebutkan. Namun saya yakin bahwa hal ini berguna 

untuk mengingatkan kita akan puji-pujian yang diucapkan 

bagi Injil oleh Zakharia tepat pada saat terbitnya surya pagi 

Injil itu, yaitu dalam nyanyian ucapan syukurnya (Luk. 1:78-

79, Oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan 

mana Ia akan melawat kita, … untuk menyinari mereka yang 

diam dalam kegelapan, yang hatinya tertuju kepadanya seperti 

tanah liat yang dimeteraikan, 2Kor. 4:6). Puji-pujian yang mirip 

juga diucapkan perawan Maria dalam nyanyiannya (Luk. 1:51), 

yang menunjukkan bahwa Allah melalui Injil-Nya telah 

memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan 

mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya, dengan 

terang yang dirancang-Nya untuk menggoncang orang-orang 

fasik, menggoncang kejahatan keluar dari muka bumi, serta 

mematahkan lengannya yang teracung. 

II.  Tentang sumber laut (ay. 16): “Engkaukah yang turun sampai ke 

sumber laut, atau berjalan-jalan melalui dasar samudera raya? 

Tahukah engkau apa yang terdapat di dasar samudra, harta ka-

run yang tersembunyi di dalam pasir sana? Atau dapatkah eng-

kau memberikan penjelasan perihal pasang surut air di laut? Uap 

air senantiasa diembuskan dari laut. Tahukah engkau bagaimana 

persediaan air ditambahkan sehingga senantiasa mencukupi? 

Sungai-sungai senantiasa mengalir ke dalam laut. Tahukah eng-

kau bagaimana airnya terus-menerus dilepaskan, sehingga tidak 

membanjiri daratan? Apakah engkau mengenal rahasia sungai-

sungai di bawah tanah yang membuat air beredar?” Jalan Allah 

dalam mengatur dunia dikatakan melalui laut dan melalui muka 

air yang luas (Mzm. 77:20), menyiratkan bahwa jalan-Nya tersem-

bunyi bagi kita dan tidak boleh kita campuri. 

III. Tentang gerbang kematian: pernahkah engkau melihat pintu ger-

bang kelam pekat? (ay. 17). Kematian merupakan rahasia besar. 

1. Kita tidak tahu kapan, dan bagaimana, melalui cara apa, kita 

atau orang-orang lain akan menemui ajal. Kita tidak tahu 

jalan apa yang harus kita lalui yang darinya kita tidak akan 

kembali, penyakit atau musibah apa yang akan menjadi pintu 

yang mengantar kita ke tempat tinggal yang telah ditetapkan 

bagi semua makhluk hidup. Manusia tidak mengetahui waktu-

nya. 

2. Kita tidak dapat menggambarkan seperti apa kematian itu 

sebenarnya, bagaimana simpul yang menyatukan tubuh dan 

jiwa itu diuraikan, atau bagaimana nafas manusia naik ke atas 

(Pkh. 3:21) untuk menjadi apa kita tidak tahu, dan untuk hi-

dup seperti apa kita tidak tahu, seperti yang diutarakan Tuan 

Norris. Katanya, dengan rasa ingin tahu yang amat sangat, 

jiwa meluncur ke dalam samudra raya kekekalan dan meng-

undurkan diri ke jurang yang belum pernah disinggahi! Mari-

lah kita memastikan agar pintu gerbang sorga akan dibukakan 

bagi kita di seberang kematian sana, supaya kita tidak perlu 

lagi merasa takut terhadap terbukanya gerbang kematian, 

meskipun itu jalan yang hanya akan kita lalui satu kali. 

3. Kita tidak memiliki hubungan apa pun dengan jiwa-jiwa yang 

telah terpisah, atau pengetahuan apa pun tentang keadaan 

mereka. Itu yaitu  kawasan tidak dikenal yang belum tersing-

kap, tempat mereka dipindahkan. Kita tidak dapat mendengar 

dari mereka atau mengirimkan berita kepada mereka. Semen-

tara masih berada di sini, di dunia indra, kita membicarakan 

dunia roh bagaikan orang buta membicarakan warna. Namun 

saat  pindah ke sana, kita akan takjub saat mendapati beta-

pa kelirunya kita. 

IV. Tentang luasnya bumi (ay. 18): Apakah engkau mengerti luasnya 

bumi? Pengetahuan mengenai hal ini mungkin sebanding dengan 

pengetahuan Ayub dan masih terjangkau olehnya. Namun demi-

kian, Ayub ditantang untuk menyatakan ini apabila ia memang 

mampu. Kita bertempat tinggal di bumi. Allah telah memberikan-

nya kepada anak-anak manusia. Namun siapa gerangan yang per-

nah menelitinya, atau mampu memberikan uraian mengenai luas-

nya? Bumi hanyalah seperti sebuah titik di tengah alam semesta. 

Walau demikian, meskipun bumi kecil, kita tidak dapat menyata-

kan luasnya dengan tepat. Ayub belum pernah berlayar menge-

lilingi dunia, atau siapa pun sebelum dia. Begitu sedikit yang di-

ketahui manusia tentang luasnya bumi, hingga baru beberapa 

abad yang lalulah benua Amerika ditemukan, yang selama itu ter-

sembunyi. Kesempurnaan ilahi lebih panjang daripada bumi dan 

lebih lebar daripada samudra. sebab  itu, sungguh lancang kita 

ini, yang tidak tahu tentang luasnya bumi, untuk menyelam ke 

kedalaman rancangan hikmat Allah. 

V. Tentang tempat dan jalan dari terang dan kegelapan. Sebelum ini 

Ia sudah bicara tentang fajar (ay. 12), dan sekarang Ia kembali 

menyebutnya (ay. 19): Di manakah jalan ke tempat kediaman te-

rang? Kemudian sekali lagi (ay. 24): Di manakah jalan ke tempat 

terang berpencar? Allah menantang Ayub untuk menggambarkan, 

1. Bagaimana terang dan kegelapan diciptakan pada mulanya. 

saat  Allah pada mulanya menyebarkan kegelapan di atas 

samudra, dan kemudian memerintahkan kepada terang untuk 

bersinar dari dalam kegelapan melalui firman yang penuh 

kuasa, Jadilah benda-benda penerang, apakah Ayub menjadi 

saksi mata bagi perintah-Nya dan pelaksanaanya? Mampukah 

ia mengatakan tempat sumber terang dan kegelapan berada, 

dan ke mana kedua “raja” ini menjauhkan istana mereka terpi-

sah satu sama lain, sementara mereka memerintah secara ber-

gantian di satu dunia saja? Walaupun kita begitu rindu meli-

hat fajar menyingsing atau bayang-bayang petang muncul, na-

mun kita tidak tahu ke mana kita harus mengutus orang atau 

pergi untuk menjemputnya. Kita juga tidak bisa berbicara 

tentang jalan-jalan ke rumahnya (ay. 20). saat  mereka dicip-

takan kita belum lahir. Jumlah hari-hari kita pun tidak begitu 

banyak untuk dapat menggambarkan kelahiran ciptaan ter-

sulung yang dapat dilihat itu (ay. 21). Jadi masakan kita mau 

berusaha menyingkapkan semua rancangan Allah yang sudah 

ada sejak kekekalan, atau menemukan jalan-jalan ke rumah-

nya, untuk mencoba mengubahnya? Allah bermegah sebab  Ia 

telah membentuk terang dan menciptakan kegelapan. sebab  

itu, jika kita harus menerima terang dan kegelapan sebagai-

mana adanya, menyambut kedatangan mereka, dan tidak ber-

bantah-bantah tentang keduanya namun  memanfaatkan me-

reka dengan sebaik-baiknya, maka demikianlah halnya kita 

harus dengan cara yang sama, menyesuaikan diri dengan ke-

damaian dan kemalangan yang diciptakan Allah (Yes. 45:7). 

2. Bagaimana terang dan kegelapan masih terus silih berganti. 

Allah sendirilah yang membuat terbitnya pagi dan petang ber-

sorak-sorai (Mzm. 65:9). sebab  perintah-Nyalah, dan bukan 

perintah kita yang dilaksanakan oleh terbitnya terang pagi hari 

dan datangnya kegelapan malam. Kita bahkan tidak mampu 

mengatakan dari mana keduanya itu datang dan pergi (ay. 24): 

Di manakah jalan ke tempat terang berpencar pada pagi hari, 

saat  dalam sekejap terang itu bersinar ke segala penjuru di 

atas kaki langit, seakan-akan terang pagi hari terbang ber-

sama sayap-sayap angin timur. Begitu cepat, begitu kuat te-

rang itu melesat dan menyerakkan kegelapan malam, seperti 

angin timur menyerakkan awan? Oleh sebab  itu kita mem-

baca tentang sayap fajar (Mzm. 139:9), yang di atasnya terang 

dibawa terbang ke ujung laut, dan ke tempat angin timur ber-

tebar ke atas bumi. Sungguh menakjubkan perubahan yang 

terjadi setiap pagi dengan kembalinya terang, dan setiap pe-

tang dengan kembalinya kegelapan. Namun, kita memang su-

dah tahu itu akan terjadi, jadi datangnya terang dan kegelapan 

itu tidak membuat kita terkejut atau gelisah lagi. sebab  itu, 

jika kita dengan cara yang sama juga mau memperlakukan 

perubahan-perubahan yang terjadi pada keadaan lahiriah kita, 

maka janganlah kita mengharapkan siang hari akan ber-

langsung terus-menerus, atau berputus asa di tengah kegelap-

an malam menantikan kembalinya pagi hari. Allah telah meng-

atur supaya yang satu datang silih berganti, seperti halnya 

siang dan malam, dan begitu jugalah seharusnya sikap kita 

(Pkh. 7:14). 

VI. Tentang perbendaharaan salju atau perbendaharaan hujan batu 

(ay. 22-23): “Apakah engkau telah masuk ke dalamnya dan me-

lihatnya?” Di dalam awan-awan dihasilkan salju dan hujan batu 

dan dari sana turun dengan begitu lebat hingga orang berpikir di 

situ terdapat perbendaharaan. Padahal, keduanya menurut pen-

dapat saya dihasilkan extempore – dengan tiba-tiba, dan pro re nata 

– sesuai kesempatan. Adakalanya salju atau hujan batu datang 

tepat pada waktu tertentu untuk memenuhi tujuan Penyeleng-

garaan Allah, saat  Ia membela umat-Nya melawan musuh-Nya 

dan musuh umat-Nya, hingga orang berpikir bahwa keduanya 

disimpan seperti peluru atau persenjataan, mesiu, dan perbekalan 

untuk menghadapi masa kesusahan. Pada waktu pertempuran 

dan peperangan, saat  Allah akan menghadapi dunia secara 

umum, misalnya dengan air bah, saat  tingkap-tingkap langit 

terbuka dan air keluar dari perbendaharaan ini untuk meneng-

gelamkan dunia yang jahat, yang berperang melawan sorga. Atau 

melawan orang-orang maupun golongan tertentu, seperti pada 

waktu Allah mengeluarkan hujan batu besar untuk melawan 

orang Kanaan (Yos. 10:11). Lihatlah betapa bodohnya berkelahi 

melawan Allah yang telah siap sedia seperti ini untuk bertempur 

dan berperang. Dan sebab  itu, betapa penting bagi kita untuk 

berdamai dengan-Nya serta tetap berada di dalam kasih-Nya. 

Kalau Allah mau, Ia mampu bertempur dengan berjaya dengan 

memakai salju dan hujan batu atau juga dengan petir dan kilat 

atau pedang malaikat! 

Kekuasaan dan Kebaikan Allah yang Berdaulat 

(38:25-38; 39:1-3)∗ 

25 Siapakah yang menggali saluran bagi hujan deras dan jalan bagi kilat 

guruh, 26 untuk memberi hujan ke atas tanah di mana tidak ada orang, ke 

atas padang tandus yang tidak didiami manusia; 27 untuk mengenyangkan 

gurun dan belantara, dan menumbuhkan pucuk-pucuk rumput muda?  

28 Apakah hujan itu berayah? Atau siapakah yang menyebabkan lahirnya 

titik air embun? 29 Dari dalam kandungan siapakah keluar air beku, dan em-

bun beku di langit, siapakah yang melahirkannya? 30 Air membeku seperti 

batu, dan permukaan samudera raya mengeras. 31 Dapatkah engkau mem-

berkas ikatan bintang Kartika, dan membuka belenggu bintang Belantik?  

32 Dapatkah engkau menerbitkan Mintakulburuj pada waktunya, dan me-

mimpin bintang Biduk dengan pengiring-pengiringnya? 33 Apakah engkau

                                                 

∗ Ada perbedaan pembagian perikop antara LAI dan KJV (sebagai versi Alkitab yang di-

rujuk oleh seri Artikel  “Tafsiran Matthew Henry”). Pasal 38:25-41 versi KJV dijumpai pada 

pasal 38:25-38 dan dilanjutkan pada pasal 39:1-3 pada versi LAI . Versi KJV pasal 38 ter-

diri atas 41 ayat (38:1-41) sedangkan pada versi LAI terdiri atas 38 ayat (38:1-38) – ed.  


mengetahui hukum-hukum bagi langit? atau menetapkan pemerintahannya 

di atas bumi? 34 Dapatkah engkau menyaringkan suaramu sampai ke awan-

awan, sehingga banjir meliputi engkau? 35 Dapatkah engkau melepaskan 

kilat, sehingga sabung-menyabung, sambil berkata kepadamu: Ya? 36 Siapa 

menaruh hikmat dalam awan-awan atau siapa memberikan pengertian ke-

pada gumpalan mendung? 37 Siapa dapat menghitung awan dengan hikmat, 

dan siapa dapat mencurahkan tempayan-tempayan langit, 38 saat  debu 

membeku menjadi logam tuangan, dan gumpalan tanah berlekat-lekatan?  

39:1 Dapatkah engkau memburu mangsa untuk singa betina, dan memuaskan 

selera singa-singa muda, 39:2 kalau mereka merangkak di dalam sarangnya, 

mengendap di bawah semak belukar? 39:3 Siapakah yang menyediakan mang-

sa bagi burung gagak, apabila anak-anaknya berkaok-kaok kepada Allah, 

berkeliaran sebab  tidak ada makanan? 

Sampai sekarang ini Allah telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan 

kepada Ayub yang dapat menginsafkannya atas kebodohan dan pan-

dangannya yang dangkal. Sekarang Ia datang dengan cara yang sama 

untuk menunjukkan ketidakmampuan dan kelemahannya. Sama se-

perti sedikit saja yang diketahuinya sehingga tidak sepantasnya me-

nyalahkan kebijaksanaan ilahi, demikian juga sedikit yang bisa dila-

kukannya. Oleh sebab  itu ia tidak pantas menentang pelaksanaan 

Penyelenggaraan Allah. Hendaklah ia merenungkan betapa hebat apa 

yang dilakukan Allah, dan mencoba apakah ia mampu berbuat yang 

sama, atau apakah ia menganggap dirinya tandingan yang sederajat 

dengan-Nya. 

I. Allah memiliki guntur, kilat, hujan, dan es untuk diperintah, te-

tapi Ayub tidak memilikinya. Oleh sebab itu janganlah ia berani 

membandingkan dirinya dengan Allah, atau berselisih dengan-

Nya. Tidak ada yang lebih tidak pasti dibandingkan cuaca, atau 

yang dapat kita jangkau untuk tentukan. Cuaca akan menjadi 

seperti yang disukai Allah, bukan menjadi seperti yang kita sukai, 

jadi kita hanya menerima apa yang Ia berkenan berikan untuk 

menyenangkan kita. Mengenai hal ini, amatilah di sini, 

1. Betapa agungnya Allah. 

(1) Ia berkuasa dan berdaulat atas lautan, telah menentukan 

arah arusnya, meskipun terlihat meluap dan lepas dari 

pengawasan-Nya (ay. 25). Ia telah menggali saluran, meng-

arahkan hujan supaya jatuh di mana, bahkan saat  curah 

hujan teramat lebat, dengan kepastian seolah-olah air itu 

mengalir melalui terusan atau pipa penyalur. Demikianlah 

hati para raja dikatakan ada di tangan-Nya, dan seperti 

halnya dengan hujan, atau sungai-sungai Allah, Ia mem-

belokkan hati mereka ke mana pun Ia kehendaki. Setiap 

tetes air mengalir seperti yang diarahkan. Allah telah ber-

sumpah bahwa air bah tidak akan meliputi bumi lagi seperti 

pada zaman Nuh. Dan kita melihat bahwa Ia mampu meng-

genapi apa yang telah dijanjikan-Nya, sebab Ia memiliki 

hujan yang mengalir di saluran air. 

(2) Ia berkuasa atas kilat dan guntur, yang tidak menyambar 

secara serampangan, namun  ke arah yang ditunjukkan-Nya. 

Keduanya disebut-sebut di sini sebab  Ia membuat kilat 

mengikuti hujan (Mzm. 135:7). Hendaklah orang-orang yang 

takut akan Allah tidak merasa gentar terhadap kilat atau 

guntur, sebab  keduanya bukanlah peluru buta, melainkan 

keluar mengikuti arah yang ditunjukkan Allah yang tidak 

bermaksud menyakiti mereka. 

(3) Dalam mengarahkan hujan, Ia tidak mengabaikan hutan 

belantara dan padang yang tandus (ay. 26-27), di mana 

tidak ada orang. 

[1] Tempat tidak ada orang yang dipekerjakan untuk meng-

urus hasil buminya. Penyelenggaraan Allah menjangkau 

lebih jauh daripada kerajinan manusia. Andai kata Ia 

tidak menyatakan lebih banyak kebaikan bagi banyak 

makhluk rendah dibanding manusia, maka mereka 

akan tidak berdaya. Allah mampu membuat tanah men-

jadi subur tanpa keahlian atau jerih payah kita (Kej. 

2:5-6). saat  belum ada orang untuk mengusahakan 

tanah itu, kabut naik dan membasahinya. Akan namun , 

kita tidak dapat membuatnya subur tanpa Allah. Dialah 

yang memberikan pertumbuhan. 

[2] Tempat tidak ada orang untuk menerima persediaan 

ataupun mengambil manfaat dari buah-buahan yang di-

hasilkan. Meskipun Allah dengan perkenanan istimewa 

melawat dan memperhatikan manusia, Ia tidak melupa-

kan makhluk-makhluk yang lebih rendah. Sebaliknya, 

Ia menumbuhkan pucuk-pucuk rumput muda sebagai 

makanan bagi segala yang hidup, selain tumbuh-tum-

buhan untuk diusahakan manusia. Bahkan rasa haus 

keledai-keledai hutan pun dipuaskan (Mzm. 104:11). 

Allah mempunyai cukup banyak bagi semuanya, dan de-

ngan ajaib menyediakan makanan bahkan bagi makh-

luk-makhluk yang tidak memberikan manfaat kepada 

manusia atau dijadikan makanan oleh manusia. 

(4) Di satu sisi, Allah yaitu  Ayah dari hujan (ay. 28). Hujan 

tidak memiliki ayah lain. Allah menghasilkannya melalui 

kuasa-Nya. Ia menguasai dan mengarahkannya, dan meng-

gunakannya sesuka hati-Nya. Bahkan sebagai Allah alam 

semesta ini, titik-titik embun kecil pun disuling-Nya untuk 

membasahi bumi. Sebagai Allah kasih karunia, Ia meng-

hujani kita dengan kebenaran. Dia sendiri seperti embun 

bagi Israel. (Hos. 14:6-7; Mi. 5:6). 

(5) Hujan es dan embun beku yang membuat air menjadi beku 

dan bumi dilapisi embun beku, dihasilkan melalui penye-

lenggaraan-Nya (ay. 29-30). Semua ini merupakan hal-hal 

yang sangat lazim, sehingga mengurangi keajaibannya. Te-

tapi, mengingat betapa besar perubahan yang terjadi dalam 

waktu sangat singkat, bagaimana perairan bagaikan ter-

sembunyi di balik batu, seperti di balik batu kubur, ter-

hampar di atasnya (begitu tebal dan kuat lapisan es yang 

menutupinya), bahkan bagian dalam laut pun adakalanya 

menjadi beku, maka kita akan bertanya, “Dari dalam kan-

dungan siapakah keluar air beku? Kekuatan penciptaan 

apa gerangan yang mampu menghasilkan karya sehebat 

itu?” Tidak ada kekuatan selain kekuatan Sang Pencipta 

sendiri. Embun beku dan salju datang dari Dia, dan oleh 

sebab itu seharusnya memimpin pikiran dan perenungan 

kita kepada Dia yang melakukan hal-hal besar dan yang 

tidak terselidiki. Dan kita akan semakin mudah menang-

gung ketidaknyamanan cuaca musim dingin apabila kita 

tahu cara memanfaatkan perenungan ini dengan baik. 

2. Betapa lemahnya manusia. Mampukah ia melakukan hal-hal 

seperti ini? Mampukah Ayub? Tidak (ay. 34-35). 

(1) Ia tidak mampu memerintahkan satu curahan hujan pun 

untuk melegakan diri atau teman-temannya: “Dapatkah 

engkau menyaringkan suaramu sampai ke awan-awan, se-

hingga banjir meliputi engkau untuk mengairi ladang-la-

dangmu yang kering dan merekah?” Bila kita menyaring-

kan suara kepada Allah, berdoa meminta hujan, kita 

mungkin akan memperolehnya (Za. 10:1). namun , bila kita 

menyaringkan suara kepada awan untuk memerintahnya, 

mereka akan memberi tahu kita bahwa mereka tidak berse-

dia, dan kita pun tidak mendapatkan apa-apa (Yer. 14:22). 

Langit tidak akan mendengarkan bumi kecuali Allah me-

nyuruhnya (Hos. 2:20). Lihatlah betapa kita yaitu  makh-

luk-makhluk yang malang, miskin, dan bergantung pada-

Nya. Kita tidak bisa hidup tanpa hujan. Kita juga tidak da-

pat memperolehnya kapan pun kita mau. 

(2) Manusia tidak mampu memerintah satu kilatan petir untuk 

menyambar saat  ia hendak memakai nya untuk mem-

buat gentar musuh-musuhnya (ay. 35): “Dapatkah engkau 

melepaskan kilat, sehingga pergi melaksanakan tugas yang 

engkau berikan, dan melakukannya sesuai keinginanmu? 

Apakah mereka akan datang memenuhi panggilanmu, dan 

berkata kepadamu, Ya?” Tidak. Para pelayan murka Allah 

tidak akan menjadi pelayan amarah kita. Mengapa pula 

mereka harus melakukannya, bukankah amarah manusia 

tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah? (Lih. Luk. 

9:55). 

II.  Bintang-bintang di langit siap mematuhi dan menerima tanggung 

jawab dari Allah. Sebaliknya, mereka tidak siap mematuhi kita. 

Perenungan kita sekarang harus meningkat lebih tinggi, jauh di 

atas awan-awan, menuju terang-terang mulia di atas. Allah khu-

susnya tidak menyebut planet yang bergerak di lintasan lebih 

rendah, namun  bintang-bintang yang tempatnya sudah tertentu 

dan jauh lebih tinggi. Diperkirakan bahwa mereka memengaruhi 

bumi, meskipun letaknya sangat jauh. Bukan pengaruh atas 

pikiran manusia atau kejadian-kejadian penyelenggaraan-Nya (na-

sib manusia tidak ditentukan oleh perbintangan), melainkan atas 

peredaran lazim alam semesta. Mereka dipakai  untuk tanda-

tanda dan musim, untuk menentukan hari dan tahun (Kej. 1:14). 

Dan jika bintang-bintang saja memiliki kekuasaan sebesar itu 

atas bumi ini (ay. 33), walaupun tempat mereka ada di angkasa 

dan hanya benda mati, maka terlebih lagi Dia yang yaitu  Pencip-

ta mereka dan kita, dan yang yaitu  Sang Akal Budi Kekal. Seka-

rang lihatlah betapa lemahnya kita. 

1. Kita tidak mampu mengubah pengaruh bintang-bintang (ay. 

31), yang menghasilkan kegembiraan musim semi: Dapatkah 

engkau memberkas ikatan bintang Kartika yang yaitu  gugus-

an bintang luar biasa dengan penampilan yang begitu agung 

(tidak ada yang lebih agung), dan mengeluarkan pengaruh 

yang kuat dan tidak menyenangkan, yang tidak dapat kita 

kendalikan atau tolak. Baik musim panas maupun musim 

dingin akan mempunyai waktu masing-masing. Allah bisa saja 

mengubahnya bila Ia mau. Ia mampu membuat cuaca musim 

semi terasa dingin, dan dengan demikian membuka belenggu 

bintang Belantik. namun , kita tidak dapat melakukannya. 

2. Kita tidak berkuasa mengatur pergerakan bintang-bintang, dan 

kita juga tidak diberi kepercayaan untuk mengarahkan mereka. 

Allah, yang menyebut nama-nama semua bintang (Mzm. 147:4), 

memanggil mereka keluar sesuai musimnya, menetapkan bagi 

mereka saat terbit dan terbenamnya. Dan ini bukanlah wila-

yah kekuasaan kita. Kita tidak mampu menerbitkan Mintakul-

buruj, bintang-bintang di selatan, atau memimpin bintang Biduk 

dengan pengiring-pengiringnya di utara (ay. 32). Allah mampu 

mengerahkan bintang-bintang ke medan pertempuran, seperti 

yang dilakukan-Nya saat  berperang melawan Sisera, dan me-

mimpin mereka dalam penyerangan yang disuruhkan-Nya ke-

pada mereka. namun  manusia tidak mampu berbuat demikian. 

3. Kita tidak saja tidak punya kepentingan dalam pengaturan bin-

tang-bintang (pengaturan yang mengatur mereka, dan peng-

aturan yang dipercayakan kepada mereka, sebab mereka meng-

atur dan diatur), namun  juga sama sekali tidak tahu apa-apa 

mengenai hal itu. Kita tidak mengetahui hukum-hukum bagi 

langit (ay. 33). Kita begitu tidak mampu mengubah mereka se-

hingga juga tidak mampu memberi penjelasan tentang mereka. 

Mereka merupakan rahasia bagi kita. Oleh sebab itu, masih 

lancang jugakah kita berlagak tahu tentang putusan hikmat 

Allah dan alasan-alasannya? Jika kita diberi wewenang untuk 

menentukan kekuasaan bintang-bintang atas dunia, kita akan 

segera kebingungan. Jadi akankah kita mengajari Allah cara 

mengatur dunia? 

III. Allah yaitu  pencipta dan pemberi, bapa dan sumber dari seluruh 

hikmat dan pengertian (ay. 36). Jiwa manusia lebih mulia dan 

unggul dibanding bintang-bintang di langit itu sendiri, dan ber-

sinar lebih terang. Segala kekuatan dan kecakapan akal budi yang 

melengkapi manusia, serta hasil pemikirannya yang luar biasa, 

membawa manusia kepada semacam persekutuan dengan para 

malaikat. Dan dari manakah asal terang ini, kalau bukan dari 

Bapa segala terang? Siapa lagi yang menaruh hikmat dalam awan-

awan atau siapa memberikan pengertian kepada hati? 

1. Jiwa yang berakal itu sendiri, beserta semua kecakapannya, 

datang dari Dia yang yaitu  Allah alam semesta, sebab Ia 

membentuk roh manusia di dalam dirinya. Kita tidak mencip-

takan jiwa kita sendiri, dan juga tidak mampu menjelaskan 

bagaimana cara kerjanya, atau bagaimana jiwa itu bersatu 

dengan tubuh kita. Hanya Dia yang membuat semua itulah 

yang mengenal dan tahu cara menanganinya. Ia membentuk 

hati manusia dengan cara serupa dalam beberapa hal, namun 

tetap tidak sama dengan yang lain. 

2. Hikmat sejati, beserta kelengkapan dan penggunaannya, da-

tang dari Dia sebagai Allah kasih karunia dan Bapa dari setiap 

anugerah yang baik dan sempurna. Jadi akankah kita berlagak 

lebih bijaksana daripada Allah, sementara kita sendiri menda-

patkan seluruh hikmat dari-Nya? Bahkan lebih dari itu, akan-

kah kita berlagak berhikmat melebihi bidang kita, di luar batas 

yang diberikan-Nya kepada pengertian kita? Tujuan Allah ada-

lah supaya kita melayani Dia dan melakukan kewajiban kita 

dengan hikmat itu, dan bukan supaya dengan hikmat itu kita 

lalu mengangkat diri menjadi pengatur atas bintang-bintang 

atau kilat. 

IV. Awan-awan berada di bawah pengetahuan dan kendali Allah, na-

mun tidak demikian halnya dengan kita (ay. 37). Dapatkah ma-

nusia dengan seluruh hikmatnya menghitung awan, atau (bisa 

juga diartikan), menyatakan dan menjelaskan hakikat mereka? 

Walaupun berada dekat dengan kita dalam lapisan udara yang me-

liputi bumi, kita mengetahui lebih sedikit tentang awan diband