Minggu, 14 Desember 2025

Hermeneutika Alquran 3

 


tuk menguji validitas ke wah yuanAl- Qur’an ini. Kelompok per￾tama adalah mereka yang mengguna kan pendekatan historisisme 

dan kelompok kedua adalah mereka yang memakai pendekatan 

fenomenologis.

Historisisme adalah satu kepercayaan bahwa kebenaran, arti 

dan nilai sesuatu harus ditemukan dalam konteks sejarah nya. 

Menurut Meinecke, tugas utama historisisme adalah mencari kausali￾tas atau apa yang menjadi penyebab suatu peristiwa.5

 Pembuktian￾pembuktian historisis me sering mencari landasan pada teori 

psiko analisa, misal nya teori unconciousness-nya Freud. Dengan 

me minjam teori ini, historisisme sering menyimpulkan bahwa tra￾disi, adat, bahasa dan institusi manusia adalah produk dari col￾lective unconciousness, karena itu, untuk memahami adat, bahasa 

dan tradisi tersebut harus menyertakan aspek sejarah nya.6

 Lebih 

jauh apabila dikaitkan dengan agama atau wahyu maka histori￾sisme bisa menympulkan bahwa asal-usul wahyu itu bukan dari 

realitas transenden yang tak terjangkau (Tuhan) tetapi dari sublimasi 

sosialdan juga psikologis manusia.

Dengan memakai paradigma historisisme, ditambah dengan 

“visi dan misi” tertentu, beberapa diantara orientalis menyimpul￾kan bahwa Al-Qur’an bukanlah wahyu, tetapi merupakan cipta￾an Muhammad yang diambil dari ki tab suci sebelumnya serta 

pengalaman psikologisnya sendiri. Beberapa di antaranya bahkan 

menganggap bahwa Muhammad sebenarnya mengidap penya￾kit jiwa tertentu. Ada pula yang menganggap bahwa Muhammad 

ber ilusi menerima wahyu sebagai akibat dari kekecewaan￾nya ketika kerabatnya cenderung berkosentrasi mengumpulkan 

kekayaan dan berebut kekuasaan, sementara hampir semua ang￾gota masya rakat saat itu mengalami degradasi moral. Menghadapi 

semua ini, terjadilah kekacauan dalam jiwa Muhammad.Historisisme berpendapat bahwa wahyu bukan suatu peris￾tiwa super -natural tetapi merupakan peristiwa natural. Dengan 

kata lain, wahyu bukan bersumber “dari luar” Muhammad tetapi 

merupakan ide-ide yang ditemukan dari dirinya sendiri kemu￾dian disabdakan; dengan bahasa yang lebih ilmiah dapat dika￾takan bahwa wahyu merupakan ‘penge tahuan intuitif’ dari seo￾rang Muhammad. Bahkan beberapa orientalis menyatakan bahwa 

sebenar nya Muhammad sekedar meng-“imitasi” nabi-nabi ter￾dahulu, ajaran-ajaran terdahulu, baik dari tradisi Kristen, Yahudi, 

maupun dari kitab-kitab terdahulu semisal Perjanjian Lama.8

Sementara itu pendekatan fenomenologis ketika melakukan 

kajian terhadap fenomena agama dan keberagamaan tidak meli￾hat aspek- aspek eksternalnya saja sebagaimana dalam historisis￾me, tetapi berusaha mengamati dimensi internalnya. Lebih jauh 

sebagaimana dasar filosofinya, fenomenologi berusaha menying￾kap esensi dan makna fenomena ke agamaan. Fenomenologi ber￾usaha menghilangkan prasangka-prasangka ketika meneliti atau 

mengkaji sesuatu untuk sampai kepada esensi.9

Secara umum, biasanya pendekatan fenomenologis yang 

dilakukan oleh para orientalis dalam analisis mereka terhadap 

kerasulan Muhammad dan kewahyuan Al-Qur’an cenderung 

ber nada positif. Corak fenomenologi yang banyak digunakan para 

Islamolog Barat biasanya adalah fenomenologi deskriptif, dimana 

mereka tidak menggunakan intui si yang dipan dang subyektif, te￾tapi didasarkan kepada fakta-fakta empirik. Dengan pendekatan 

ini Boisard sampai kepada kesimpulan akan kebenaran Al-Qur’an dan ke nabian Muhammad berdasarkan fakta-fakta empi rik.10

Dengan pendekatan yang sama pula Smith membuktikan kebe￾naran Al-Qur’an secara empirik didasarkan kepada peranan Al￾Qur’an yang mampu membentuk se mangat religius bagi masya￾rakat yang mengimaninya; meskipun kemudian Smith agak nya 

juga melakukan intervensi emosional dengan menyatakan bahwa 

Al-Qur’an tergolong wah yu umum yang derajatnya lebih rendah 

apabila dibandingkan dengan wahyu khusus, yaitu Yesus Kristus 

sendiri. Lebih lanjut Smith menyimpul kan bahwa Al-Qur’an adalah 

wahyu atau firman Tuhan bagi yang mengimani dan bukan firman 

Tuhan bagi yang tidak mengimani.11

Keberadaan pendekatan historisisme maupun pendekatan 

fenomeno logis yang dilakukan oleh para orientalis tersebut jelas 

meng undang pro- kontra, bahkan mungkin juga konflik. Apabila 

diasumsikan sebagai “obyektif’ se kalipun, segala jenis perspek￾tif dalam dunia ilmiah pasti mengimplikasikan sebentuk “reduk￾si”. Historisisme mereduksi fenomena kenabian dan pewahyuan 

sebagai sekedar entitas sejarah belaka, sementara fenomenologi 

me reduksi nya sebagai entitas natural- subyektif saja. Lain dari itu 

posisi para orientalis sebagai outsider dipandang kurang mampu 

menyelami secara intensif dimensi—meminjam istilah Husserl—

lebenswelt, yaitu pengalaman hidup yang dihayati sebelum orang 

mendeskripsikan dunia secara positivistik.

Relasi Al-Qur’an, Muhammad dan Umatnya

Sebagaimana dijelaskan dimuka, persoalan pewahyuan Al￾Qur’an adalah peristiwa subyektif yang hanya bisa dipahami oleh 

yang meng alami langsung, sebagaimana peristiwa serupa se￾perti ilham, intuisi, instinkmaupun imajinasi.12 Orang yang tidak 

mengalami langsung hanya bisa memahami tanda -tanda atau 

juga dampak dan pengaruh serta hasil dari peristiwa yang di￾maksud. Dari titik ini, mau atau tidak harus ditegas kan bahwa 

pertanyaan “apakah Muhammad benar-benar menerima wah yu?” 

atau pertanyaan “apakah Muhammad tidak melakukan modifi kasi 

atau manipulasi dalam me nyampaikan wahyu” jawaban pastinya 

tidak berada dalam wilayah rasional-verifikatif, tetapi lebih berada 

dalam wilayah “ke imanan”. Pandangan Immanuel Kant mungkin 

relevan dipakai sebagai kerangka dari “jawaban keimanan” ini, 

karena menurut Kant, entitas- entitas religius dan misterius yang 

mewarnai semesta agama dan keberagamaan adalah entitas yang 

tidak mungkin bisa tergarap tuntas oleh rasio manusia. Bisa saja 

manusia melakukan analisis atau justifikasi rasional, namun beta￾papun analisis atau justifikasi tersebut hanya akan berujung kepa￾da per nya taan yang spekulatif dan tentatif: bisa “ya”, bisa “tidak”. 

Orang bisa membangga kan kedalaman analisis dan justifikasi ra￾sionalnya terhadap agama, namun pasti analisis dan justifikasi 

tersebut “tidak tanpa ke lemahan”. Oleh karena itu, menurut Kant, 

lebih bijaksana apabila manusia meyediakan ruang khusus dalam 

dirinya untuk sesu atu yang bernama “keimanan” ini. Ringkasnya 

dapat disimpulkan bahwajawaban bagi pertanyaan ‘apakah Al￾Qur’an itu benar-benar wahyu dari Allah kepada Muhammad’ 

sangat ter gantung kepada asumsi dan pendiri an awal yang men￾jawab, yaitu apakah dia “beriman” atau tidak. 

Yang bisa diakses oleh Umat Islam pada saat ini jelas ha nya 

Al-Qur’an yang saat ini sudah terkodifikasi dalam satu mushaf, 

yaitu mushaf usmani.13 Kenyataan ini mengimplikasikan satu ke￾

nyataan lain, yaitu betapapun pemahaman setiap muslim terhadap 

Al-Qur’an tidak mengijin kan klaim bahwa pemahaman tersebut 

adalah “sebagaimana yang dikehendaki Allah”. Klaim transenden￾tal seperti itu menutupi fakta bahwa tidak seorang pun mampu 

mengakses secara vertikal hubungan antara Muhammad dengan 

Allah dalam peristiwa pewahyuan. Tentang hal ini cukup menarik 

apabila dicermati bahwa dalam hampir setiap Ulama’ mufassir dari 

generasi salaf dan khalaf, ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an, 

selalu menutup dengan kalimat “wallahu a’lam bi al-shawab” untuk 

menunjukkan bahwa apa yang mereka tafsirkan dari Al-Qur’an ada￾lah sebuah upaya manusiawi yang bernilai tentatif dan tidak selalu 

sejalan dengan yang dikehendaki oleh Allah.14

Diskusi yang lebih rumit terjadi sebenarnya terjadi dalam 

pembacaan dan penyikapan umat Islam terhadap Muhammad 

sendiri. Kedudukan Muhammad yang ganda, sebagai Nabi dan 

juga sebagai manusia biasa, melahirkan penafsiran yang sangat be￾ragam di kalangan umat Islam sendiri tentang sejauh mana dan 

dalam hal apa saja perilaku dan perkataannya harus diikuti. Secara 

hermeneutis diasumsikan bahwa betapapun setiap yang namanya 

manusia adalah “historis”, dalam arti pola pikir dan pola per￾ilakunya pasti ditentukan oleh latar belakang kesejarah an dimana 

dia hidup, baik dalam dataran sosial-budayanya maupun dalam 

dimensi psikologisnya. Karena Muhammad juga “manusia bia￾sa”, berarti segala ekspresi kata dan lakunya juga dibentuk oleh 

determinasi sejarahnya yang pasti tidak bisa diterjemahkan begitu 

saja secara harafiyah ke dalam segala konteks ruang dan waktu. 

Dari perspektif ini akan muncul pertanyaan “apakah tidak mung kin 

eksistensi Muhammad sebagai manusia yang menyejarah ‘mere￾duksi’ penyampaian pesan- pesan wahyu yang diterimanya se￾suai dengan konteks historis kehidupannya?”. Pertanyaan ini bisa 

muncul dengan variasi yang agak berbeda, yaitu “apakah keti￾ka Allah menurunkan wahyu —meskipun isi pesannya bermua￾tan universal— menyesuaikan dengan eksistensi Muhammad dan 

konteks historis dimana wahyu itu diturunkan agar wahyu bisa 

dipahami?”.15

Dalam tradisi pemikiran umat Islam secara umum, biasanya 

yang berasal dari Muhammad dipilah menjadi dua, yaitu Al-Qur’an 

sendiri dan Al-Sunnah Al-Nabawiyah. Kedua hal ini sama-sama 

berasal dari Nabi, namun ber beda status dan fungsi. Kalau Al￾Qur’an telah jelas kedudukan dan fungsi nya, yaitu sebagai dasar 

normatif pertama di kalangan umat Islam, sementara Sunnah pada 

dasarnya adalah aplikasi Muhammad terhadap Al-Qur’an yang 

diterjemahkannya ke dalam bahasa kata, perilaku dan tindakan.16

Perilaku Muhammad bagi umat Islam merupakan teladan terbaik 

dalam pengaplikasian Al-Qur’an, sehingga status sunnah pun 

akhirnya menjadi sumber normatif kedua setelah Al-Qur’an.

Mengenai pembedaan antara fungsi Nabi sebagai panutan 

melalui dua jalur yang berbeda ini, Ata’ al-Sid dalam disertasinya 

menyatakan bahwa dalam hal ini pribadi Muhammad hendak￾nya dipilah menjadi dua, yaitu Muhammad sebagai spokesman 

of God ketika dia menyampaikan al-Qur’an dan Muhammad se￾bagai dasein17 ketika dia mengekspresikan dan mengaplikasikan 

Al-Qur’an dalam kehidupan nyata.18 Sebagai Spokesman of God, Muhammad berfungsi sekedar menyampaikan apa yang diterima￾nya, tidak kurang dan tidak lebih. Dalam gambaran kasar mung￾kin bisa diibaratkan sebagai speaker yang hanya mem bunyikan 

apa yang masuk ke dalam dirinya. Dalam istilah hassan Hanafi, 

Muhammad ketika menerima dan menyampaikan wahyu berada 

dalam neutral conciousness, kesadaran netral.19

Adapun sebagai dasein, maka Muhammad adalah manusia 

biasa yang “historis”. Segala ekspresi kata dan perilaku nya adalah 

kontekstual, meskipun kebenaran dan kebaikan yang terkan dung 

dibalik kata dan perbuatannya tersebut bernilai univer sal, sebagai 

implikasi universalitas Risalah dan Al-Qur’an yang diaplikasi￾kan itu sendiri. Apalagi secara normatif diyakini bahwa seorang 

Muhammad adalah ma’shum dan tindak-lakunya senantiasa di￾bawah kontrol langsung dari Allah agar tidak kontra-produktif 

dengan misi Risalah yang harus disampaikannya.

Sampai disini dapat dikatakan bahwa pertanyaan tentang 

kemung kinan intervensi Muhammad terhadap penyampaian Al￾Qur’an bisa terjawab, namun masih tersisa persoalan keberadaan 

Muhammad sebagai dasein yang historis. Di satu sisi, Muhammad 

adalah manusia biasa yang perilakunya terbentuk dan terpola oleh 

determinasi-determinasi sejarah dimana dia hidup, sehingga sifat￾nya lokal dan kontekstual; namun di sisi lain, perilaku Muhammad 

yang kemudian disebut Al-Sunnah Al-Nabawiyah itu merupakan 

teladan terbaik dalam mengaplikasikan Al-Qur’an, karena jelas 

Muhammadlah yang paling tahu maksud dari wahyu, karena dia 

sendiri yang menerima wahyu secara langsung. Di satu sisi, di￾mensi lokal dan kontekstual dari perilaku Muhammad jelas tidak 

mung kin untuk diaplikasikan sepenuhnya secara universal di segala 

ruang dan waktu; sementara di sisi lain seorang muslim, kapan pun 

dan di mana pun, bertanggung jawab untuk menerjemah kan Al￾Qur’an dalam kehidupannya dengan mengikuti cara Muhammad 

menerjemahkan dalam kehidupannya yang lokal dan kontekstual, 

karena perilaku Muhammad tersebut adalah teladan terbaik.

Diskusi tentang problematika Al-Sunnah Nabawiyah ini pun 

ke mudian bergeser menjadi diskusi tentang “Arabisme” dan 

“Islamis me”; manakah dalam perilaku Muhammad yang tergolong 

“Arab” sehingga sifatnya kontekstual dan tidak harus diikuti, dan 

mana perilaku yang termasuk “Islam” sehingga harus dipatuhi. 

Tafsir terhadap tema kajian ini telah melahirkan berbagai panda￾ngan dan bahkan tak jarang membuahkan konflik. Secara umum 

pandangan umat Islam terhadap problematika ini dapat dikatakan 

terbelah menjadi dua tipe, yaitu tipe “holistika” dan tipe “subtan￾sialis”.

Menurut pandangan holistika, semua tindak perilaku Muhammad 

harus diikuti, karena jelas dia adalah representasi terbaik dalam 

menerjemahkan Al-Qur’an dalam kehidupan. Kepatuhan terhadap 

tindak perilaku Muhammad ini harus di upayakan secara maksimal 

dan “sedekat mungkin” (secara harafiyah), meskipun tentu saja 

keterbatasan ruang dan waktu membuat tidak semua teladan dari 

Nabi bisa ditiru; namun jika memang “mungkin” untuk ditiru, tidak 

ada alasan untuk tidak mengikuti contoh dari Nabi. Dalam pan￾dangan kelompok ini, tidak hanya dalam urusan Ibadah vertikal, 

bahkan dalam wilayah sosial, budaya, politik, bahkan jika mungkin 

juga otonomi-otonomi subyektif kemanusiaan, seperti pilihan baju, 

pemeliharaan jenggot dan lain sejenisnya. Tentu saja bagi kelom￾pok ini, ada hirarki nilai antara kepatuhan liturgis peri badatan yang 

wajib dengan pilihan-pilihan subyektif yang sifatnya “keutamaan” 

saja. Meskipun demikian bagi kelompok ini tetap saja lebih utama 

mereka yang dalam hidupnya berusaha secara total mengikuti 

Muhammad dalam segala aspek, dibandingkan yang tidak meng￾ikuti. Ringkasnya, bagi kelompok ini pemilahan antara “Arabisme” 

dan “Islamisme” itu tidak relevan apabila dihubungkan de ngan 

kepatuhan kepada Muhammad sebagai teladan bagi seluruh umat 

Islam. Semua yang berasal dari Muhammad pasti tidak menyalahi 

kehendak Allah, karena dia selalu berada dibawah kontrol Allah. 

Oleh karena itu, jalan yang pa ling aman agar tidak me lenceng dari 

jalan Allah adalah dengan mengikuti apapu nyang telah dilakukan 

oleh Muhammad dalam segala dimensinya.

Sementara itu bagi kelompok subtansialis tidak semua 

yang berasal dari Muhammad itu bernilai “harus diikuti”. Pada 

dataran tata hubungan vertikal melalui ibadah-ibadah resmi me￾mang Muhammad seratus persen harus di teladani secara harafi￾yah; namun pada dataran manusiawi ketika Muhammad meng￾ekspresikan dirinya sebagai manusia biasa, sebagai seorang ayah, 

suami, teman, panglima perang, dan lain sejenisnya, eks presi ke￾manusiaan Muhammad terikat oleh konteks historis kehidupan nya 

sendiri, sehingga tidak harus diikuti secara harafiyah apa adanya. 

Bahwa semua yang dilakukan oleh Muhammad itu benar dan 

baik karena dia selalu dalam kontrol Allah, memang demikianlah 

adanya, namun eks presi nilai kebenaran dan kebaikan tersebut 

oleh Muhammad dalam kehidupannya ditentukan oleh “lingku￾ngan hidup” dimana Muhammad tinggal. Oleh karena itu bagi 

kelompok ini, yang harus diikuti dari seorang Muhammad adalah 

nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung dibalik eks presi 

atau perilaku manusiawinya. Sebagai contoh, nilai ke benaran dan 

kebaikan dibalik jubah atau gamis yang dipakai oleh Muhammad 

adalah menutup aurat-menjaga kehormatan, maka yang wajib diikuti 

dari Muhammad dalam hal ini adalah aspek menutup aurat- menjaga 

kehormatan-nya, bukan memakai jubahnya. Hal yang sama bisa 

dikiaskan dengan segala perilaku manusiawi Muhammad yang 

lain, seperti cara berdagang, strategi perang, sikap terhadap isteri 

dan lain sebagainya.

Dalam “ruang publik” —meminjam istilah Habermas— dua 

kelompok pandangan yang agak bersebarangan ini sering kali 

mengalam kebuntuan -kebuntuan ketika mengupayakan titik temu. 

Perebutan wacana diantara dua kelompok tersebut seringkali be￾rakhir dengan konflik, apalagi ketika intervensi “kekuasaan” dan 

“kepentingan” turut menyela obyektifitas diskusi. Kepentingan yang 

dimaksud biasanya dalam bentuk kepentingan untuk memper￾tahankan status quo oleh kelompok tertentu agar tidak kehilangan 

otoritas akan pengu a sa an makna dalam praksis keberagamaan. 

Fenomena “kepentingan” ini jelas muncul dari kedua kelom￾pok, dan hal semacam ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, 

bahkan seringkali sifatnya niscaya, sebagaimana analisis Michel 

Foucault. 

Apabila dicermati, sebenarnya pilihan apapun, baik pilihan 

holistik mau p u n substantif, memiliki rasionalitasnya sendiri, dan 

bukan sesuatu yang patut sangat digelisahkan. Tuduhan “terbe￾lakang” dan “terasing dari realitas ruang dan waktu” oleh kelom￾pok subtansialis terhadap kelompok holistik harus di kata kan tidak 

pada tempatnya, karena bisa dilihat secara nyata, kelompok holis￾tik tersebut dalam realitas kehidupannya bukanlah isolated people

yang tidak menerima kemajuan peradaban, baik dari aspek ilmu 

penge tahuan, teknologi, budaya bahkan politik. Keberadaan me￾reka yang mampu ber kompetisi secara ketat dengan berbagai 

kalangan dalam peradaban abad-21 ini setidaknya merupakan 

bukti bahwa tidak pada tempatnya kalau mereka ini dianggap 

berperan dalam menghentikan laju progresifitas umat Islam dalam 

meng upaya kan kemajuan peradaban Islam. 

Sementara itu tuduhan “melenceng” dan “menyeleweng” 

dari tunt u n a n Islam yang sering dituduhkan oleh kelompok ho￾listik kepada kelompok subs tantif sebenarnya juga kurang tepat. 

Sebagaimana di tegaskan dimuka, dalam dimensi liturgis-vertikal 

(‘Ibadah) sebenarnya kedua kelompok ini sama-sama meya￾kini “kepatuhan-harafiyah” sebagaimana yang dicontohkan oleh 

Muhammad, dan jelas tidak ada persoalan di sini. Perbedaan pan￾dangan yang terjadi diantara kedua kelompok ini secara umum 

hanya lah dalam hal penyikapan terhadap perilaku individual-sosial￾budaya-politik Muhammad. Pada prinsipnya, kedua kelom pok se tuju 

bahwa dalam dimensi ini pun Muhammad juga harus di teladani; 

hanya saja kelompok holistik berpendapat bahwa kepatuhan itu 

haruslah harafiyah, dalam arti sedapat mungkin “meniru” apa yang 

di lakukan oleh Muhammad “lahir-batin”. Sementara kelompok 

subtantif berpandangan bahwa dalam dimensi ini, yang harus dite￾ladani dari seorang Muhammad adalah “nilai keislaman” yang be￾rada di balik perilaku individual- sosial-budaya-politik Muhammad 

tersebut, dan bukannya aspek lahiriyah nya yang merupakan eks￾presi manusia wi ala “Arab”, karena Muhammad adalah “seorang manusia Arab”. Memaksakan diri mengikuti aspek lahiriyah￾harafiyah dari perilaku Muhammad ini hanya akan membawa se￾orang muslim terjebak dalam ke terasingan ruang dan keterasingan 

waktu dimana dia hidup; dan keterasingan ini akan berimplika￾si kepada ketidakmampuan mengelola dan meng optimalkan pe￾manfaatan berbagai potensi individu- sosial-budaya-politik yang 

dimiliki demi meng ikuti pilihanindividu-sosial-budaya-politik dari 

ruang dan waktu yang jauh, yaitu Arab masa Muhammad. 

Baik paradigma holistika maupun subtansialis keduanya 

ada lah pilihan- pilihan hi dup setelah prinsip-prinsip dasar ke be￾raga maan tertentu ditaati. Perbedaan tafsir se yogyanya menjadi 

kekayaan bagi khazanah peradaban Islam, dan kekayaan kha￾zanah tentunya akan memperkokoh posisi Islam dalam per￾adaban. Dengan asumsi ini tentunya sikap yang paling awal ha￾rus dihindari adalah klaim kebenaran kelompoknya sendiri dan 

menyalahkan kelompok yang lain. Perebutan wacana dalam ru￾ang publik adalah sebuah keniscayaan demi perkembangan taraf 

hidup ke arah yang lebih baik, namun perebutan klaim dengan 

sikap “mau benarn ya sendiri” biasanya hanya akan menghadirkan 

konflik dan akan berakhir kontra-produktif secara sosial-budaya, 

bahkan politik.

Pergumulan intelektual, perebutan wacana, diskusi, per￾de batan, perbedaan pandangan, keragaman ekspresi dan lain 

sejenis nya sebenar nya menunjuk kan dinamika berpikir dan ber￾perilaku Umat. Dinamika ini pada gilirn nya akan memberikan 

kontri busi bagi lahirnya sebuah peradaban Islam yang religius, 

ilmiah, sekaligus kritis. Potensi dan kesempatan untuk memu￾lai lahirnya peradaban semacam itu sebenarnya sejak awal te lah 

terbu ka lebar dengan kebaradaan dua sumber normatif Islam, Al￾Qur’an dan Sunnah, yang interpretable, terbuka bagi ke ragaman 

perspektif dan memiliki daya adaptabilitas yang tinggi apabila 

dihadap kan dengan keberagaman realitas. Dalam istilah Nasr Abu 

Zayd, Al-Qur’an adalah sebuah teks yang memiliki nilai vitalitas 

yang tinggi karena kemam puannya untuk diinterpretasikan dalam rangka menjawab apapun problematika ruangdan waktu, kapan 

pun dan dimana pun.

Interaksi antara Al-Qur’an dan Muhammad dan juga antara umat 

Islam dengan Al-Qur’an dan Sunnah pada dasarnya adalah se￾buah interaksi yang mengandaikan adanya otoritas dan humanitas. 

Otoritas Al-Qur’an yang secara verbatim didiktekan Allah kepada 

Muhammad berhadapan dengan humanitas Muhammad yang ha￾rus menerj emahkan kandung an Al-Qur’an dalam kehidupan nya. 

Otoritas Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama Umat 

Islam berhadapan dengan humanitas umat Islam sendiri dalam 

mengelola dan menerjemahkannya dalam kehidupan. 

Otoritas belaka yang tidak berdialog dengan humanitas hanya 

akan menghasilkan dua hal, yaitu otoritas yang diam dan tidak 

berfungsi, atau hege moni dan penindasan humanitas atas nama 

otoritas yang berarti“pemaksaan”. La Ikraha Fid Din. Hegemoni 

dan penindasan ini jelas ber lawanan dengan visi rahmatan lil ‘al￾amin yang dibawa oleh Islam. “Agama Untuk Manusia, bukan 

sebaliknya,” demikian teriak para teolog pembebasan kontem￾porer. Di sisi lain, jika humanitas belaka yang dibiar kan merajalela 

tanpa kendali otoritas, maka chaos akan segera terjadi, karena 

secara naluriah manusia cenderung mencari “enaknya sendiri dan 

senang nya sendiri”; sehingga bisa dipastikan apabila dibiarkan 

saja kehidupan ini tanpa norma pengatur yang memiliki otoritas 

maka tidak lama kemudian peradaban manusia akan jatuh pada 

titiknya yang terendah. Dialektika otoritas dan humanitas, otori￾tas mempertimbangkan humanitas dan humanitas memedomani 

otoritas; dengan asumsi inilah kiranya bisa diharapkan kehidupan 

ideal yang dicita-citakan akan bisa terwujud. 


dalah Khaled Abou El-Fadl, seorang profesor hukum Islam 

di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat. Lulusan Yale 

dan Princeton—sebelumnya menggeluti studi keIslaman di 

Kuwait dan Mesir—ini piawai menguraikan nilai-nilai Islam klasik 

dalam konteks modern. Ia disebut-sebut sebagai “an enlight￾ened paragon of liberal Islam”, selain penulis prolifik dalam tema 

univer sal moralitas dan kemanusiaan, Abou El-Fadl juga se￾bagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama 

be berapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of 

Human Rights Watch dan Comission on International Relegious 

Freedom di Amerika Serikat.

Abou El Fadl dalam buku Speaking in God’s Name: Islamic 

Law, Authority, and Women,1

yang menjadi objek kajian tulisan 

ini, mengkritik lembaga fatwa seperti CRLO (Council for Scientific 

Reasech and Legal Opinion atau al-Lajnah ad-Daimah li al￾Buhus al-‘Imiyyah wa-al-Ifta’), sebuah lembaga resmi di Saudi 

Arabi yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa- fatwa 

ke aga maan yang oleh Abou El Fadl dianggap terjebak pada sikap 

oto ritarianisme, seperti fatwa pelarangan wanita mengunjungi 

makam suami, wanita mengeraskan suara dalam berdo’a, wanita 

mengendarai dan mengemudikan mobil sendiri, dan wanita harus 

di dampingi pria mahramnya.2

Abou El Fadl hendak “menghidupkan kembali” tradisi hukum 

Islam klasik yang cukup dinamis, dan memiliki basis epistemologi 

yang toleran dan pluralistik. Jika Muhammed Arkoun mengklaim, 

bahwa di dalam pemikiran Islam, masih terdapat sesuatu “yang 

tak dipikirkan” (l’impensé/unthought) dan “yang tak terpikirkan” 

(l’impensable/unthinkable), maka, Abou El Fadl menginginkan 

penggagasan dan perumusan kembali dalam khazanah pemikiran 

Islam, yaitu “sesuatu yang telah terlupakan”.3

Otoritas dan Pendekatan Hermeneutika

Abou El Fadl memulai paragraf penulisan tema ini dengan 

cara mengutip ayat Q.S Al-Mutadtsir: 31, “Tidak ada yang me￾ngetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri”. Pernyataan ini 

terdengar cukup tegas, tetapi juga agak mendua. Siapakah para 

tentara ini? Apakah masuk akal jika pertanyaan ini dimunculkan 

kepada pembaca jika memang hanya Tuhan yang mengetahui 

para tentara-Nya? Apa yang harus dipahami pembaca pembaca 

dari pernyataan ini?4

Abou El Fadl menyajikan sebuah kerangka konseptual un￾tuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian dalam 

Islam. Pembahasan otoritas nampaknya sangat penting bagi Abou 

El Fadl, karena tanpa otoritas maka yang terjadi adalah beragama 

secara subjektif, relatif dan individual. Oleh sebab itu perlu ada 

hal-hal yang baku (al-tsawabit) dalam agama.

Jika ayat tersebut dipahami secara normatif, ia bisa berarti 

bahwa siapa pun dapat bercita-cita menjadi tentara Tuhan, dan 

bahwa ia dapat bekerja keras mengerahkan kemampuan terbaik￾nya untuk mencapai kedudukan tersebut. Namun orang itu tidak 

akan pernah tahu apakah ia berhasil mencapai kedudukan ter￾hormat sebagai tentara Tuhan yang terpilih. Dengan menganggap 

bahwa tentara Tuhan itu memiliki limpahan otoritas ilahiah, pem￾baca dapat menyatakan setiap orang pada dasarnya bisa mem￾peroleh otoritas Tuhan, tapi pada kenyatannya tidak seorang pun 

yang dapat dijamin telah menerimanya.

Menurut Abou El Fadl, karena tidak ada seorang pun yang 

dapat dijamin telah menerimanya dan pengetahuan Tuhan tidak 

dapat diperoleh oleh manusia, maka orang yang berakal se￾hat tidak akan pernah yakin bahwa seseorang telah benar-benar 

mencapai kedudukan terhormat sebagai tentara Tuhan yang ter￾pilih.5

 Abou El Fadl merumuskan konsep relativisme pemahaman 

ter hadap agama. “Harus saya akui bahwa saya selalu memahami 

ayat ini sebagai sebuah penafian terhadap bentuk otoritarianis￾me—ayat tersebut menolak klaim manusia sebagai tentara Tuhan 

yang memegang otoritas-Nya”.6

Abou El Fadl membedakan dua jenis otoritas yaitu otoritas 

yang bersifat koersif dan otoritas yang bersifat persuasif. Pertama, 

otoritas koersif mengarahkan perilaku orang lain dengan cara 

membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau meng￾hukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpu￾lan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain 

kecuali harus menurutinya. Kedua, otoritas persuasif yang meli￾batkan kekuasaan yang bersifat normatif, yakni kemampuan untuk 

meng arahkan keyakinan atau prilaku seseorang atas dasar keper￾cayaan.7

Klasifikasi otoritas yang dikemukakan Abou El Fadl se￾sungguh nya merupakan pengembangan dari klasifikasi yang di￾buat oleh Richard Friedman, yang membedakan antara “me￾mangku otoritas” (being in authority; berada di dalam kekuasaan) 

dan “memegang otoritas” (being an authority; keberadaan ke￾kuasaan). 

Menurut Friedman sebagaimana dikutip Abou El Fadl, “me￾mangku otoritas” diartikan suatu otoritas didapatkan dengan ja￾batan struktural dan cenderung memaksa kepada orang lain untuk 

menerima otoritas tersebut. Dalam kasus ini tidak dikenal adanya 

“ketundukan atas keputusan pribadi”, karena seseorang bisa saja 

berbeda pendapat dengan yang memangku otoritas, namun ti￾dak memiliki pilihan lain kecuali mentaatinya. Sedangkan “peme￾gang otoritas” adalah suatu otoritas yang didapatkan tanpa jabatan 

struktural dan paksaan, melainkan karena kapabilitas dan aksep￾tabilitas se seorang yang akhirnya memunculkan kesadaran orang 

lain untuk menerimanya.8

Secara sintesis Abou El Fadl menganggap terminologi “me￾mangku otoritas” Friedman tidak lain adalah otoritas koersif, kare￾na orang yang memiliki jabatan struktur ditaati lantaran memiliki 

kekuasaan yang bersifat memaksa. Sementara otoritas per suasif 

sejalan dengan makna ungkapan “memegang otoritas”, de ngan 

memegang otoritas atau menjadi otoritatif melibatkan unsur ke￾pecayaan, dan setiap prilaku yang dapat memelihara kepercayaan 

tersebut, termasuk memberikan argumentasi persuasif, akan 

melang gengkan dan meningkatkan otoritas semacam ini.9

Dengan menggunakan teori otoritas tersebut Abou El Fadl 

mencoba mengkonstruksi gagasan tentang pemegang otoritas dalam dikursus keislaman. Dalam konstruksinya konsep otoritas 

Islam sebagi wujud menjembatani kehendak Tuhan, Abou El Fadl 

memerhatikan tiga hal berikut: Pertama berkaitan dengan “kom￾petensi” (autentisitas). Kedua, berkaitan dengan “penetapan mak￾na”. Ketiga berkaitan dengan “perwakilan”.10 Tiga pokok persoalan 

inilah menurut Abou El Fadl, memainkan peranan penting dalam 

membentuk “pemegang otoritas” dalam dikursus keislaman. Tiga 

pokok persoalan ini juga menjadi tiga kunci bagi Abou El Fadl un￾tuk memisahkan diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam 

Islam (Lihat tabel 1 dalam appendix). 

Menurut Aboe El Fadl, untuk menjawab persoalan-persoalan 

tersebut kita membutuhkan pendekatan hermenutika,11 yang dapat 

menjaga keseimbangan kekuatan antara maksud teks, pengarang 

dan pembaca. Penetapan makna berasal dari proses yang kom￾pleks, interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas 

(teks, pengarang dan pembaca). 

Maksud dari tiga unsur itu tidak ada yang mendominasi. 

Penafsiran yang tepat adalah penafsiran yang menghormati per￾anan, otonomi dan integritas teks.12 Menghormati otonomi teks 

bertujuan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca ter￾hadap teks sehingga teks bisa ditafsirkan sebebas-bebasnya. 

Maka dari itu, Abou El Fadl menegaskan gagasan tentang teks 

yang terbuka (the open text). Sedangkan sikap otoriter adalah 

proses pemasungan teks sehingga teks tidak bisa leluasa ber￾gerak dan berinteraksi dengan keragaman makna.13

Sebagian wakil (orang-orang Islam yang beriman dan shaleh, 

yang disebut sebagai wakil umum) menundukkan keinginannya 

dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada sekelompok 

orang atau wakil dari golongan tertentu (ulama). Mereka melaku￾kan hal tersebut “karena, dan hanya karena”, mereka memandang 

wakil dari golongan tertentu memiliki otoritas. Kelompok khusus ini 

menjadi otoritatif karena dipandang memiliki kompetensi dan pe￾mahaman yang khusus terhadap perintah atau kehendak Tuhan. 

Kelompok khusus (disebut dengan wakil khusus) ini di￾pandang otoritatif “bukan karena mereka memangku otoritas”— 

jabatan formal tidak relevan sama sekali— tetapi karena persepsi 

wakil umum menyangkut otoritas mereka berkaitan dengan se￾perangkat perintah (petunjuk) yang mengarah pada Jalan Tuhan. 

Proses penyerahan keputusan untuk mengetahui dan memaha￾mi Kehendak Tuhan, dari wakil umum kepada wakil khusus juga 

me miliki problem hermeneutis tersendiri, misalnya, pada proses 

tindak komunikasi dan dialog di antara keduanya.14 Abou El Fadl 

me ngutip pendapat Friedman, bahwa tunduk pada seseorang 

yang memegang otoritas melibatkan hal yang ia sebut sebagai 

“pra duga epistemologis” (epistemological presupposition).15

Abou El Fadl mengemukakan lima batasan untuk me nerima 

otoritas wakil khusus tersebut. Jika lima hal ini terpenuhi, seseorang 

bisa disebut otoritatif.16 Pertama, kejujuran (honesty). Masyarakat 

pada umumnya percaya pada kelompok wakil khusus ini bahwa 

mereka akan jujur dan dapat dipercaya dalam memahami perin￾tah Tuhan. Ia tidak akan menyembunyikan, melebih-lebihkan atau 

berbohong atas apa yang ia pahami. Ia akan mejelaskan semua 

yang ia pahami. Ia juga tidak akan berpura-pura mengetahui satu 

permasalahan dan pura-pura mengetahui perintah Tuhan, pada￾hal dirinya belum mengetahui yang sesungguhnya.

Kedua, kalangan wakil khusus harus sepenuhnya mem￾punyai kesungguhan (diligence). Dia dituntut untuk sepenuhnya 

men curahkan kemampuannya dalam menyelami satu persoalan. 

Batasan ini mungkin kelihatan samar, namun setidaknya ini ada￾lah sebuah kewajiban para wakil khusus itu untuk serius dan 

bersungguh- sungguh dengan segenap kemampunnya untuk 

me nyelami sebuah persoalan. Kata ijtihad yang berasal dari hakar 

kata jahada sesungguhnya berarti pengerahan seluruh kemam￾puan seseorang untuk menyelami sebuah persoalan. 

Ketiga, adalah prinsip kemenyeluruhan (comprehensive￾ness). Kalangan wakil khusus tersebut harus mempertimbangkan 

semua argumen dan bukti, bahkan argumen yang berten tangan 

sekalipun. Prinsip ini juga mengharuskan kaum wakil khusus ber￾tanggungjawab menyelidiki dengan kesungguhan semua bukti 

dan argumen tersebut.

Keempat, para wakil khusus tersebut haruslah melakukan 

penafsiran dan pencarian perintah Tuhan secara rasional (rea￾sonableness). Kaum wakil khusus dilarang melakukan, me minjam 

istilah Umberto Eco, “penafsiran secara berlebihan” dengan cara, 

misalnya, menafsirkan sedemikian rupa sehingga maknanya se￾suai dengan keinginan seseorang, sementara makna teks se￾sung guhnya dihiraukan. 

Penafsiran yang berlebihan terhadap teks, baik dengan cara 

membiarkan teks terbuka dan dibanjiri segala kemungkinan pe￾nafsiran yang tak terbatas sehingga tidak dapat ditampung sendiri 

oleh teks, maupun dengan membuat teks tergembok dan di diami 

hanya oleh satu macam makna penafsiran saja, telah dianggap 

mengingkari prinsip rasonalitas ini. Prinsip ini mengisyaratkan 

bahwa kaum wakil khusus haruslah mengambil jarak dengan teks 

dan menghormati integritas teks tersebut. 

Kelima, para wakil khusus haruslah bisa mengendalikan diri 

(self-restraint). Hal ini sebenarnya menunjukan sikap kerenda￾han hati. Dia bukanlah orang yang mengetahui segalanya dan 

yang mengetahui hakikat segalanya hanyalah Tuhan. Semua yang 

di lakukannya adalah usaha untuk mengungkap kehendak- Nya. 

Bagi siapapun yang pernah dididik di lingkungan pesantren pas￾ti tahu bahwa di setiap akhir pengajian, guru-guru kita selalu meng ucapkan Wa Allahu a’lam bi al-shawab yang kurang lebih 

berarti: Tuhanlah yang lebih mengetahui segalanya. Sikap ini lebih 

jauh sebenarnya bisa dilihat sebagai sikap pengendalian diri dan 

ke rendahan hati.

Dinamisasi Hukum Islam 

Gagasan tentang teks yang terbuka, menurut Khaled sa ngat 

membantu. Khaled menyatakan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah se￾bagai teks, dengan meminjam istilah Umberto Eco, me rupakan 

“karya yang terus berubah” (works in movement)—keduanya 

adalah karya yang membiarkan diri mereka terbuka bagi ber￾bagai strategi interpretasi. Ini tidak berarti bahwa keduanya ter buka 

bagi segala jenis interpretasi. Tapi maksudnya mereka mampu 

menampung gerak interpretasi yang dinamis.17

Abou El Fadl membedakan antara syari’ah dan fiqh. Hukum 

Tuhan sebagai sesuatu yang abstrak disebut dengan syari’ah 

(secara etimologis berarti “jalan”), sementara pemahaman dan 

pelaksanaan konkrit Kehendak Tuhan disebut dengan fiqh (se￾cara etimologis berarti “pemahaman”). Syar’iah adalah kehendak 

Tuhan dalam bentuk yang abstrak dan ideal, tetapi fiqh merupa￾kan hasil dari upaya manusia memahami Kehendak Tuhan. Dalam 

pengertian ini, Syari’ah selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil 

dan seimbang, sementara fiqh hanyalah upaya untuk mencapai 

cita-cita dan tujuan Syari’ah (maqashid al-syari’ah). Menurut para 

ahli hukum Islam, tujuan Syari’ah adalah untuk mewujudkan ke￾maslahatan manusia, dan tujuan fiqh adalah untuk memahami dan 

menerapkan Syari’ah.18

Dalam perkembangan hukum Islam, para ahli hukum ter￾pecah ke dalam dua madzhab. Madzhab pertama, yang dike￾nal dengan Mukhaththi’ah,19 menyatakan bahwa pada akhirnya 

ada sebuah jawaban yang tepat bagi setiap persoalan teks dan 

hukum. Namun, hanya Tuhan yang mengetahui jawaban yang 

tepat dan kebenaran baru akan terungkap pada Hari Akhir nanti. 

Dalam pengertian ini, setiap persoalan hukum dan dalam 

setiap pergulatan dengan teks, Tuhan telah menentukan jawaban 

yang tepat sejak awal, yang termuat dalam wadah penampung 

Pengetahuan Tuhan. Tapi manusia, dalam dalam sebagian besar 

kasus, tidak dapat mengetahui secara pasti dan me yakinkan apa￾kah mereka telah memperoleh jawaban yang tepat. Setiap mu￾jtahid mencapai kebenaran dalam upayanya menemukan jawaban, 

namun seorang pembaca mungkin dapat mencapai kebenaran, 

sementara yang lainnya tidak.20

Kelompok itu seringkali menyatakan bahwa sesuatu tidak 

mungkin memiliki dua realitas, bahwa sesuatu itu baik atau buruk, 

jelek atau cantik, harus salah satu di antara keduanya. Realitas 

sesuatu tidak bergantung pada pengenalan atau pengakuan dari 

orang yang mengamati realitas. Tapi realitas sesuatu melekat da￾lam realitas itu sendiri. 

Demikian pula halnya, sebuah tindakan hukum tidak bisa 

dipandang sah dan tidak sah dalam waktu yang bersamaan atau 

boleh dan tidak boleh dalam waktu yang bersamaan –harus di pilih 

salah satunya. Kelompok ini menambahkan bahwa jika berba gai 

jawaban bisa sama-sama tepat, dan jika orang tidak berusaha 

menemukan jawaban yang tepat, maka apa maksud dari semua 

perdebatan dan diskusi hukum (munazharah)? Perdebatan dan 

diskusi ini bermanfaat karena mereka berpotensi membawa kita 

semakin dekat dengan kebenaran.

Madzhab kedua, yang dikenal dengan Mushawwibah.21

Kelompok ini menyatakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti dan 

tepat (hukm mu’ayyan) yang diperintahkan Tuhan untuk ditemu￾kan oleh manusia, karena jika ada jawaban yang tepat, Tuhan 

akan membuat bukti-bukti tekstual yang jelas dan me yakin kan. 

Tuhan tidak akan membebankan manusia dengan ke wajiban 

untuk menemukan jawaban yang tepat ketika tidak ada sarana 

objektif untuk me nemu kan kebenaran sebuah makna teks dan 

persoalan hukum. 

Jika ada sebuah kebenaran objektif menyangkut segala se￾suatu, Tuhan pasti akan menjadikan kebenaran itu bisa dicapai di 

dunia ini.22 Kebenaran atau ketepatan hukum, pada kebanyakan 

kasus, bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan pada 

kenyataannya, sifat dari semua tindakan hukum seringkali ber￾gantung pada pengakuan. Tindakan yang sama bisa diperboleh￾kan dan kemudian tidak diperbolehkan karena adanya kenyataan 

yang bersifat tambahan pada karakteristik intrinsik dari tindakan 

tersebut. 

Tindakan tersebut mungkin memiliki kualitas moral yang 

melekat dalam dirinya (qabihah atau hasanah bi dzatiha) tapikua￾li tas hukumnya bergantung pada hal-hal yang tidak terkait dengan 

karakteristik tindakan itu sendiri. Perintah Tuhan kepada manusia 

adalah untuk melakukan pencarian dengan sungguh-sungguh, 

dan hukum Tuhan akan ditangguhkan hingga manusia memper￾oleh keyakinan yang kuat tentang hukum Tuhan tersebut. Ketika 

keyakinan yang kuat itu terbentuk, maka hukum Tuhan mengikuti 

apa yang diyakininya itu.

Di sinilah pentingnya melakukan ijtihad hukum, dan meng￾hin dari taqlid, meskipun kriteria ijtihad dalam pemahaman El Fadl 

sangat sulit dan penuh dengan tantangan akademik-intelektu￾al, tetapi memungkinkan seseorang, meminjam istilah M. Amin 

Abdullah, menjadi mujtahid fi al-mutlaq, bukan mujtahid fi al￾madzhab.

Menurut Abou El Fadl,23 taqlid, atau keterikatan dengan pre￾seden hukum, dipandang sebagai asumsi hukum yang bersifat 

normatif, dan sebagai sebuah doktrin, taqlid mengakui fakta bah￾wa para ahli hukum biasanya diajarkan berbagai pendapat hukum 

dan contoh yang sudah ada. Agar seorang ahli hukum mampu 

melakukan ijtihad (melepaskan diri dari keterikatan dengan pre￾seden untuk membentuk hukum yang sama sekali baru; a break 

with precedent to generate original and unprecedented law), ia 

harus me miliki kualitas pendidikan yang unggul.