Minggu, 14 Desember 2025

ginekologi yahudi di Alquran 1

 


alam menafsirkan ayat-ayat Asbâth dalam Al-Qur’an terdapat

Dbeberapa perdebatan  dari para cendekiawan Muslim atau paraulama mengenai definisi  Asbâth  itu sendiri yang mana perbedaan 

pendapat mengenai definisi  Asbâth  ini akan menimbulkan perdebatan 

akademik mengenai kedudukan  Asbâth, apakah Asbâth termasuk Nabi 

atau tidak dan kapankah istilah  Asbâth ini pertama kali dimunculkan 

dalam Al-Qur’an dan sebagainya. Selain  itu terdapat beberapa masalah 

mengenai Asbâth yang akan dikaji dalam buku ini termasuk bagaiamana 

perbedaan term Asbâth dan Bani Isra’il.

Secara garis besar  buku   ini membahas analisis terhadap presentasi Al-

Qur’an tentang term Asbâth, Banî Isrâ’îl  dan Yahudi. Seperti telah 

disebutkan Al-Qur’an telah berbicara banyak tentang Asbâth, Banî Isrâ’îl  

dan Yahudi, dan sepertinya umat inilah yang telah banyak menyita 

perhatian yang lebih serius dan intensif dalam kitab suci Islam/ Al-Qur’an 

dibanding umat-umat lain, selain umat Islam sendiri; bahkan ketika Al-

Qur’an berbicara tentang Ahli Kitab, pada umumnya yang dimaksud 

adalah umat Yahudi. Al-Qur’an kelihatannya bukan hanya merespons 

sikap kaum Yahudi pada zaman Nabi Muhammad saw, tetapi juga 

memberikan sejarah mereka yang panjang, pandangan keagamaan 

mereka, dan berbagai tingkah laku mereka sepanjang sejarah, baik positif 

maupun negatif. Karena itu sebuah penelaahan yang sangat  cermat 

diperlukan untuk menjelaskan kembali bagaimana term Asbâth, Banî 

Isrâ’îl dan Yahudi dan bagaimana Al-Qur’an mempersepsikan mereka 

sebagai sebuah bangsa dan juga sebagai sebuah komunitas agama.

Sampai pada poin ini dapat dikatakan bahwa Yahudi mendapat tempat 

yang “spesial” dalam kitab suci. Kenyataan sejarah juga menunjukan 

mereka inilah satu-satunya kelompok keagamaan yang paling intens 

berinteraksi dengan Nabi Muhammad asw. sebagai pembawa Al-Qur’an. 

Dengan kata lain mereka adalah kelompok yang ikut berperan dalam 

membentuk milieu masyarakat penerima Al-Qur’an.

 pada 

awal abad ke-7 M. Wahyu Al-Qur’an diturunkan melalui 

malaikat Jibril dan diterima oleh seorang rasul yang bernama 

Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib (571-632 M). 

Al-Qur’an mencapai tingkat kesempurnaannya sesudah  

melalui proses-proses berkesinambungan dari zaman ke 

zaman sejak awal diturunkannya wahyu-wahyu Allah swt 

kepada para Nabi dan Rasul hingga masa turunnya Al-

Qur’an pada masa Nabi Muhammad. 

Selama kurun waktu 22 tahun lebih wahyu diturunkan 

di Mekah dan Madinah, di tengah masyarakat Arab Jahiliyah. 

Keberadaan Al-Qur’an telah ditetapkan sebagai kitab suci 

yang terpelihara di sepanjang masa dan berfungsi sebagai 

petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Keterlibatan 

Tuhan secara langsung dan manusia dalam memelihara 

keorisinilan Al-Qur’an menjadi akan selalu eksis di sepanjang 

masa, baik secara lafazh maupun makna, yang karena itu pula 

Al-Qur’an menjadi mukjizat. Pemeliharaan Al-Qur’an sesuai 

dengan firman Allah, bahwa Allah swt memiliki peran 

langsung dalam menjaga eksistensi Al-Qur’an. 

Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan 

kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman hidup bagi 

umat manusia dalam menata kehidupannya, agar mereka 

memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan 

iv   Menelusuri Genealogi Yahudi dalam Al-Qur’an   

akhirat kelak. Konsep-konsep yang ditawarkan Al-Qur’an 

selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, 

karena Al-Qur’an turun untuk berdialog dengan setiap umat 

yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan masalah 

terhadap problema tersebut, kapan dan di manapun mereka 

berada. 

Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan beberapa 

nama seperti Al-Qur’an (bacaan), al-Kitâb (kitab atau buku), 

al-Furqân (pembeda antara yang baik dari yang buruk), al-

Dzikr (peringatan), Hudan (petunjuk bagi manusia pada 

umumnya dan orang-orang yang bertakwa pada khususnya), 

al-Rahmah (rahmat), al-Syifa (obat penawar), khususnya bagi 

hati yang resah dan gelisah, dan al-Maw’izhah (nasehat atau 

wejangan). Nama-nama tersebut memberikan indikasi bahwa 

Al-Qur’an adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan 

berwawasan luas. 

Sebagai pedoman hidup bagi umat manusia, 

pembicaraan Al-Qur’an terhadap suatu masalah sangat unik, 

tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-buku 

ilmu pengetahuan yang dikarang manusia. Di samping itu, 

Al-Qur’an juga sangat jarang menyajikan suatu masalah 

secara terperinci dan detail. Pembicaraan Al-Qur’an terhadap 

suatu masalah pada umumnya bersifat global, parsial dan 

seringkali menampilkan suatu masalah dalam prinsip 

pokoknya saja 

Keadaan demikian, sama sekali tidak berarti 

mengurangi nilai Al-Qur’an. Sebaliknya justru di sanalah 

letak keunikan sekaligus keistimewaannya. Dengan keadaan 

  v 

seperti itu, Al-Qur’an malah menjadi obyek kajian yang tidak 

pernah kering oleh para cendekiawan, baik muslum maupun 

nonmuslim, sehingga ia tetap aktual sejak diturunkannya 

empat belas abad yang lalu. 

Dalam upaya memahami kandungan Al-Qur’an, para 

ulama tafsir pada umumnya menafsirkan ayat demi ayat 

sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Tetapi dalam 

perkembangan selanjutnya, muncul gagasan untuk 

mengungkap petunjuk Al-Qur’an terhadap suatu masalah 

tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian 

ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik yang 

sama untuk kemudian dikaitkan antara satu ayat dengan ayat 

lainnya, sehingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan 

menyeluruh tentang masalah tersebut menurut petunjuk Al-

Qur’an. Menafsirkan al-Qur’an dengan langkah seperti ini 

disebut dengan metode maudhû’î (tematik). 

Salah satu masalah yang banyak diungkap dalam Al-

Qur’an ialah tentang sejarah dan kisah kaum-kaum terdahulu 

yang mana tujuan pengungkapan kisah-kisah tersebut sebagai 

pelajaran atau ‘ibrah bagi umat Islam yang mengimani Al-

Qur’an. Adapun diantara beberapa kisah yang diungkap atau 

dideskripsikan dalam Al-Qur’an yakni kisah para Nabi dan 

Rasul terdahulu beserta para umatnya. Diantara beberapa 

kisah tersebut yang banyak di ungkap dalam Al-Qur’an ialah 

kisah Nabi Ya’qub beserta anak cucu keturunannya yang di 

dalam Al-Qur’an ia disebut Asbâth. Adapun makna Asbâth 

yaitu anak keturunan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam dari keempat 

orang istrinya Ya’qub memiliki 12 putra, yakni dari Lea atau 

vi   Menelusuri Genealogi Yahudi dalam Al-Qur’an   

Layya enam orang putra, yaitu; Ruben, Simeon, Lewy, 

Yahuda, Isakhar dan Zebulaon. Dari Rachel lahir dua orang 

putra, yaitu ; Yusuf, dan Benyamin. Dari Bilha dua orang 

anak, yaitu ; Dann dan Naftali. Kemudian dari Zilfa dua 

orang putra, yaitu ; Gad dan  Asyer. Putra-putra Nabi 

Ya’qub inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya istilah 

Banî Isrâ’îl. Mereka dan keturunannya yang banyak disebut 

sebagai Al-Asbâth, yang berarti anak cucu. Sibith dalam 

bangsa Yahudi adalah seperti suku bagi bangsa Arab dan 

mereka yang berada dalam satu sibith berasal dari satu bapak. 

Masing-masing anak Ya’qub kemudian menjadi bapak bagi 

Sibith Banî Isrâ’îl. Maka seluruh Banî Isrâ’îl  berasal dari putra-

putra Ya’qub yang berjumlah 12 orang. 

Dalam menafsirkan ayat-ayat Asbâth dalam Al-

Qur’an terdapat beberapa perdebatan dari para cendekiawan 

Muslim atau para ulama mengenai definisi  Asbâth  itu sendiri 

yang mana perbedaan pendapat mengenai definisi  Asbâth  

ini akan menimbulkan perdebatan akademik mengenai 

kedudukan  Asbâth, apakah Asbâth termasuk Nabi atau tidak 

dan kapankah istilah  Asbâth ini pertama kali dimunculkan 

dalam Al-Qur’an dan sebagainya. Selain itu terdapat 

beberapa masalah mengenai Asbâth yang akan dikaji dalam 

buku ini termasuk bagaiamana perbedaan term Asbâth dan 

Bani Isra’il. 

Kemudian dalam buku ini juga akan membahas 

tentang kaum Yahudi yang mana kaum Ahli Kitab terutama 

kalangan Yahudi, adalah komunitas yang termasuk menonjol 

keterlibatannya dalam perkembangan pembentukan 

  vii 

keyakinan Islam. Kelompok ini seringkali berhadapan 

dengan Nabi saw. baik dalam suasana keakraban maupun 

permusuhan. Komunikasi dan interaksi mereka dengan Nabi 

dan kaum muslimin telah menyebabkan banyak ayat Al-

Qur’an turun memberi respons, dan hubungan ini dalam 

beberapa hal berakhir dengan konflik. Memang harus diakui 

bahwa pada dasarnya yang menjadi sasaran awal Al-Qur’an 

adalah situasi kota Mekkah. namun kemudian, tidak 

terhindarkan, masyarakat Yahudi dan Nasrani ikut terlibat, 

sebab dalam pandangan Al-Qur’an manusia sesungguhnya 

umat yang satu. Untuk mengajak manusia melaksanakan 

kebaikan dan meninggalkan tindakan-tindakan jahat dan 

tidak bermoral, pertama sekali yang harus dilakukan adalah 

meyakinkan mereka akan adanya konsekuensi-konsekuensi 

dari semua perbuatannya, kebaikan akan dibalas dengan 

pahala yang besar, sedangkan kejahatan akan mendatangkan 

malapetaka yang merugikan. Karena itu Al-Qur’an selalu 

menekankan pentingnya beriman kepada Allah swt dan 

beriman kepada Hari Akhir dan beramal saleh. Berangkat 

dari keyakinan inilah, persoalan-persoalan teologi mulai 

muncul, dan para penentang Nabi di Mekah seringkali 

menjadikan orang Yahudi sebagai konsultan mereka untuk 

mendapatkan argumentasi melawan Nabi saw, akibatnya, Al-

Qur’an kemudian bukan hanya mengkritik konsep-konsep 

teologi orang Yahudi yang di anggap menyimpang, tetapi 

juga “membongkar” perilaku mereka sepanjang sejarah. 

Nabi Muhammad saw. pada awalnya menaruh 

harapan besar pada orang-orang Yahudi sebagai pendukung 

viii   Menelusuri Genealogi Yahudi dalam Al-Qur’an   

bagi agama yang sedang beliau dakwahkan, sebab beliau 

menganggap mereka memiliki basis keyakinan yang 

bersumber pada ajaran yang sejalan dengan agama yang 

beliau bawa. Interaksi Nabi Muhammad saw. dengan kaum 

muslim di satu pihak, dengan pihak Yahudi di pihak lain 

kemudian menjadi intens, dan wahyu pun turun memberikan 

berbagai tanggapan, mengkritik dan pada akhirnya bahkan 

mengecam tindakan-tindakan mereka yang ternyata tidak 

seperti yang diharapkan, yakni justru menjadi penentang 

utama bagi risalah yang dibawa Nabi saw. Perkembangan 

sikap Al-Qur’an terhadap Yahudi ini menarik, karena ia 

bergerak seiring dengan perkembangan kondisi politik dan 

pembentukan masyarakat muslim masa awal.    

Alasan mengapa buku ini membahas Asbâth, Bani 

Isra’il dan Yahudi dalam Al-Qur’an adalah karena persoalan 

tentang Asbâth, Bani Isra’il dan Yahudi telah menjadi topik 

penting bukan hanya karena jarang diangkat secara serius 

dalam diskursus keislaman, namun juga untuk urgensi 

pengetahuan yang mendalam akan korelasi antara ketiga 

term tersebut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya 

bahwa dari kedua belas putra nabi Ya’qub lah yang menjadi 

cikal bakal Banî Isrâ’îl, yang kemudian sesudah  keturunan 

Isra’il atau Nabi Ya’qub berkembang banyak maka kaum 

yang banyak ini disebut sebagai Asbâth yang terbagi dalam 

dua belas suku Banî Isrâ’îl, sedangkan Yahudi berasal dari 

salah satu keturunan dari dua belas suku Asbâth ini, maka 

bisa ditarik kesimpulan bahwa Yahudi memiliki relasi dengan  

Asbâth. Dari hipotesa ini, maka dalam buku ini mengkaji 

  ix 

penelusuran sejarah term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi dan 

bagaimana relasi antara ketiganya sesuai petunjuk ayat-ayat 

dalam Al-Qur’an yang memakai ketigaa term tersebut. 

Secara garis besar buku   ini membahas analisis 

terhadap presentasi Al-Qur’an tentang term Asbâth, Banî 

Isrâ’îl dan Yahudi. Seperti telah disebutkan Al-Qur’an telah 

berbicara banyak tentang Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi, dan 

sepertinya umat inilah yang telah banyak menyita perhatian 

yang lebih serius dan intensif dalam kitab suci Islam/ Al-

Qur’an dibanding umat-umat lain, selain umat Islam sendiri; 

bahkan ketika Al-Qur’an berbicara tentang Ahli Kitab, pada 

umumnya yang dimaksud adalah umat Yahudi. Al-Qur’an 

kelihatannya bukan hanya merespons sikap kaum Yahudi 

pada zaman Nabi Muhammad saw, tetapi juga memberikan 

sejarah mereka yang panjang, pandangan keagamaan mereka, 

dan berbagai tingkah laku mereka sepanjang sejarah, baik 

positif maupun negatif. Karena itu sebuah penelaahan yang 

sangat cermat diperlukan untuk menjelaskan kembali 

bagaimana term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi dan 

bagaimana Al-Qur’an mempersepsikan mereka sebagai 

sebuah bangsa dan juga sebagai sebuah komunitas agama. 

Sampai pada poin ini dapat dikatakan bahwa Yahudi 

mendapat tempat yang “spesial” dalam kitab suci. Kenyataan 

sejarah juga menunjukan mereka inilah satu-satunya 

kelompok keagamaan yang paling intens berinteraksi dengan 

Nabi Muhammad asw. sebagai pembawa Al-Qur’an. Dengan 

kata lain mereka adalah kelompok yang ikut berperan dalam 

membentuk milieu masyarakat penerima Al-Qur’an. 

x   Menelusuri Genealogi Yahudi dalam Al-Qur’an   

Di samping dari apa yang telah dipaparkan di atas 

ada beberapa faktor lain yang melatar belakangi penulis 

untuk meneliti masalah term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi 

ini, karena banyak pemahaman simpang siur yang banyak 

dikonsumsi kalangan umum mengenai asal muasal Yahudi 

dan beragam perdebatan seputar darimanakah Yahudi itu 

berasal, apakah ia termasuk agama atau suku, kalau ia 

merupakan agama, kapankah awal kemunculannya dan lain 

sebagainya. 

 Dari  persoalan di atas maka penelitian dalam buku 

ini akan berusaha menjawab dan memberikan titik terang 

persoalan  tersebut dengan menelusuri sejarah yakni 

menemukan korelasi antara Asbâth , Banî Isrâ’îl  dan Yahudi 

dalam pandangan Al-Qur’an sesuai informasi-informasi yang 

diberitakan Allah dalam Al-Qur’an mengenai hal tersebut 

dengan menggunakan metode tafsir maudhû’î (tematik). 


DASAR-DASAR PENGETAHUAN  

METODE TAFSIR MAUDHےΠ

 

 

Bagian Pertama ini, pembaca akan dikenalkan 

dasar-dasar pengetahuan tentang metode tafsir maudhû’î, 

mulai dari definisi metode tafsir maudhû’î, sejarah 

metode tafsir maudhû’î, bentuk-bentuk kajian metode 

tafsir maudhû’î, langkah-langkah kerja metode tafsir 

maudhû’î, kelebihan-kekurangan metode tafsir maudhû’î, 

urgensi metode tafsir maudhû’î dan hal-hal yang harus 

diperhatikan  Penafsir maudhû’î. 

Yang menarik dari bab pertama ini adalah diketahui 

bahwa metode maudhû’î,  ini adalah metode yang 

sebenarnya sudah ada sejak dulu kala dengan bentuknya 

yang masih sederhana yang belum dimaksudkan sebagai 

metode yang memiliki karakter metodelogis yang berdiri 

sendiri. 

A. Definisi Tafsir Maudhû’î 

Sejalan dengan perkembangan zaman, umat Islam 

dihadapkan dengan berbagai persoalan yang semakin 

kompleks. Pada saat bersamaan, mendapatkan jawaban 

secara “instan” dari persoalan semakin digemari, 

2    

mendapat jawaban yang mudah.1 Al-Qur’an sebagai kitab 

suci sepanjang masa diyakin memuat pemecahan masalah 

dan persoalan tersebut. Hal ini kemudian membuat para 

ahli tafsir untuk menyajikan jawaban persoalan yang terus 

bermunculan. Menampilkan penafsiran yang praktis 

dirasa sangat perlu. Penafsiran “yang praktis” yang 

dimaksud disini adalah penafsiran yang secara khusus 

membahas tema atau pokok permasalahan tertentu. 

Dalam kaidah ilmu tafsir, disebut dengan penafsiran 

metode maudhû’î (tematis). 

Tafsir maudhû’î merupakan sebuah metode tafsir 

yang dicetuskan oleh para ulama untuk memahami 

makna-makna dalam ayat-ayat al- Qur’an. Untuk 

mendapatkan pengetahuan yang komprehensif dan 

mendalam tentang metode tafsir maudhû’î, maka akan 

dipaparkan terlebih dahulu pengertian  tafsir secara 

umum. 

Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, 

berasal dari kata al-Fasr yang berarti menjelaskan, 

menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna 

yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba-

yadhribu” dan nashara yanshuru”. Dikatakan, “fasara 

(asy- syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran” dan “fasarahu” 

artinya abanahu (menjelaskannya). Kata al-tafsir dan al-

 3 

fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang 

tertutup2. 

Kata tafsir di ambil dari ungkapan orang Arab: 

fassartu al-faras (  سرفلا ترسف),  yang berarti saya 

melepaskan kuda. Hal ini dianalogikan kepada seorang 

penafsir yang melepaskan seluruh kemampuan berfikirnya 

untuk bisa mengurai makna ayat al-Qur’an yang 

tersembunyi di balik teks dan sulit dipahami3. Jika dilihat 

dari semua pengertian di atas, maka tafsir secara bahasa 

memiliki arti menyingkap sebuah makna ayat al-Qur’an. 

Sedangkan tafsir secara terminologi atau istilah 

para ulama dalam mendefinisikan berbeda pendapat 

dalam sisi redaksinya, namun jika dilihat dari segi makna 

dan tujuannya memiliki pengertian yang sama. Pengertian 

tafsir memiliki dua sudut pandang, ada yang memaknai 

tafsir sebagai disiplin ilmu ada yang memaknai tafsir 

sebagai kegiatan atau aktifitas. Namun, menurut peneliti 

lebih sepakat kepada pendapat pertama, yakni tafsir 

sebagai sebuah ilmu4. Berikut beberapa pengertian tafsir 

 

21Manna Khalil al Qatthan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir 

AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 455. 

3Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren) 

Purna Siswa 2011 MHM Lirboyo Kota Kediri, Al-Qur’an 

Kitab Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: 

Lirboyo Press, 2013), h. 188. 

4Tafsir memiliki aturan-aturan tersendiri didalamnya seperti kaidah-

kaidah penafsiran, metode penafsiran, syarat-syarat mufassir, 

langkah-langkah menafsirkan, dan masih banyak lagi tentang 

4    

secara terminologinya: 

1. Menurut Az Zarkasy yang dikutip oleh al-Suyuthi, 

tafsir berarti ilmu untuk memahami kitab Allah Swt. 

Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, 

menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum- 

hukum dan hikmahnya5. 

2. Menurut Abu Hayyan yang diikuti al-Alusi, tafsir 

adalah disiplin ilmu yang mengkaji tentang cara 

pengucapan hukumnya, baik yang partikular (juz’i) 

maupun yang global (kulli), serta makna-makna yang 

terkandung di dalamnya. 

3. Tafsir merupakan ilmu yang mengkaji tentang aspek-

aspek yang meliputi al-Qur‟an yang dikonsentrasikan 

terhadap maksud-maksud Allah Swt. yang tertuang di 

dalam al-Qur‟an dengan kadar kemampuan manusia. 

Secara umum kalau kita melihat pemaparan di atas, 

bahwa tafsir merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk 

 

mengkaji al-Qur’an secara komprehensif. Tafsir juga 

merupakan kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami 

dan menjelaskan kandungan al-Qur‟an dengan ilmu-ilmu 

pengetahuan yang digunakan6. 

Kata maudhû’î dinisbatkan kepada kata al-maudhû’, 

yang berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau 

pembahasan. Dalam bahasa Arab kata maudhû’î berasal 

dari bahasa Arab (عوضوم) yang merupakan isim maf‟ul 

dari fi‟il madzi (عضو) yang berarti meletakkan, 

menjadikan, menghina, mendustakan dan membuat-buat7. 

Secara semantik, tafsir maudhû’î berarti menafsirkan al-

Qur’an menurut tema atau topik tertentu. Dalam 

bahasa indonesia biasa disebut dengan tafsir tematik8. 

Tafsir menurut pendapat mayoritas ulama adalah 

“Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki 

tujuan dan tema yang sama9.” 

Semua ayat yang berkaitan tentang suatu tema 

tersebut dikaji dan dihimpun yang berkaitan. 

Pengkajiannya secara mendalam dan tuntas dari berbagai 

aspek yang terkait dengannya seperti asbāb an-nuzūl, 

kosakata dan lain sebagainya. Semua dijelaskan secara 

rinci dan tuntas serta didkng oleh dalil-dalil atau fakta-

fakta yang dapat dipertanggng jawabkan secara ilmiah, 

baik argumen itu berasal dari al-Qur‟an, hadits, maupun 

pemikiran rasional10. 

Al-Qur’an memang sesungguhnya menghimpun 

tema-tema yang perlu digali dengan menggunkan metode 

maudhû’î. Jika menafsirkan al- Qur‟an dengan metode 

yang seperti ini kita akan bisa menetapkan syariat yang 

cocok untuk setiap waktu dan tempat.11 Dari sana kita 

bisa menetapkan undang-undang kehidupan yang siap 

berhadapan dengan perubahan dinamika kehidupan, 

undang-undang wadh’iyyah dan unsur eksternal yang kita 

hadapi dalam keberagaman sehari-hari12. 

Selama perjalanan hadirnya al-Qur’an, telah 

diyakini bahwa akan selalu berdialog dengan setiap 

generasi dan kondisi. Al-Qur’an harus mampu menjawab 

segala tantangan kehidupan yang sangat beragam agar 

nilai-nilai yang terkandung dapat terealisasi secara ideal. 

Salah satu jalan yang di ambil adalah menafsirkan al-

Qur’an dengan metode maudhû’î (tematik)13. 

Sesuai dengan namanya tematik, maka yang 

menjadi ciri utama dari metode ini ialah menonjolkan 

tema, judul, atau topik pembahasan, jadi ada yang 

menyebut sebagai metode topikal. Mufassir akan 

mencari tema-tema yang ada ditengah masyarakat yang 

ada di dalam al-Qur‟an ataupun dari yang lainnya. 

Tema-tema yang dipilih akan dikaji secara tuntas dari 

berbagai aspek sesuai dengan petunjuk dalam ayat-ayat 

yang akan ditafsirkan. Masalah-masalah yang ada harus 

dikaji secara tuntas dan menyeluruh agar mendapatkan 

sebuah solusi dari permasalahan tersebut14. 

Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan 

yang dimaksud,maka metode tafsir ini lahir dan 

mengikuti aturan-aturan perkembangan keilmuan yang 

sering terjadi dalam metode-metode tafsir. Maka dari itu 

metode ini memiliki beberapa tahapan atau periode yang 

pada awalnya metode ini menginduk pada metode tafsir 

klasik yang berperan sebagai pengasuhnya, kemudian 

sesudah  mandiri, metode ini memisahkan diri dan 

memiliki sifat penafsiran (khas) terhadap tema-tema al-

Qur’an yang terlepas dari kerangka umum metode tafsir 

 

B. Sejarah Tafsir Maudhû’î 

Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an yang 

seringkali dikenal dengan tafsir bil-ma’tsûr pada dasarnya 

telah memperlihatkan keselarasan ayat-ayat al-Qur’an. 

Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an ini pada dasarnya 

menjadi cikal bakal atau bibit dari tafsir maudhû’î. Dalam 

perkembangan berikutnya benih atau bibit tafsir maudhû’î 

sangat banyak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir, hanya 

saja masih dalam bentuknya yang sederhana, belum 

mengambil bentuk yang lebih tegas dan bisa dikatakan 

sebagai metode yang berdiri sendiri. Kadang-kadang 

masih dalam bentuk yang sangat ringkas seperti yang 

terdapat dalam tafsir karya Al-Fakhr al-Razi karya al-

Qurtuby dan karya Ibu al-‘Arabi. Dengan demikian bisa 

dikatakan bahwa metode maudhû’î i ini adalah metode 

yang sebenarnya sudah ada sejak dulu kala dengan 

bentuknya yang masih sederhana yang belum 

dimaksudkan sebagai metode yang memiliki karakter 

metodelogis yang berdiri sendiri.

Bukti nyata keberadaan tafsir maudhû’î a telah ada 

sejak zaman dulu, bisa juga disebut sejak zaman 

Rasulullah, hal ini bisa kita lihat dari sejarah tentang 

 

penafsiran Rasulullah terhadap kata (  ظالم ) yang 

dihubungkan dengan kata syirik karena adanya 

kesamaan makna. 

Ali Khalil dalam komentarnya tentang riwayat ini 

menegaskan bahwa dengan penafsiran ini Rasulullah 

telah memberikan pelajaran kepada para sahabat bahwa 

tindakan menghimpun sejumlah ayat dapat memperjelas 

pokok masalah dan akan melenyapkan keraguan menurut 

beliau, hal tersebut menunjukkan bahwa tafsir maudhû’î 

telah dikenal sejak zaman Rasulullah, akan tetapi belum 

memiliki karakter metodologis yang mampu berdiri 

sendiri. 

Contoh penafsiran yang pernah dilakukan oleh 

Rasulullah ketika itu ialah menjelaskan tentang arti 

Zhulum dalam QS. al-An’am (6: 82). 

  َنْوَُدتْه ُّم ْمُهَو ُنَْمْلْا ُمَُهل َكِٕى

ٰۤ

ٰلُوا ٍمْلُظِب ْمَُهناَمِْيا ا ْْٓوُِسبْلَي ْمَلَو اُْونَمٰا َنْيِذََّلا   

“Orang-orang yang beriman dan tidak 

mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman 

(syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan 

mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” 

Nabi saw. Menjelaskan bahwa zhulum yang 

dimaksud adalah syirik sambil membaca firman Allah 

dalam QS. Luqman (31:13)17. 

 ٌمْيِظَع  ٌمْلَُظل  َكْر ِ شلا  َّنِاۗ ِ هللّٰاِب  ْكِرُْشت   َلْ  َّيَُنبٰي  ٗهُظَِعي  َُوهَو  ٖهِنْبِلْ  ُنٰمُْقل  َلاَق  ْذِاَو 

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, 

di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, 

janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya 

mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman 

yang besar". 

Perkembangan tafsir pada masa klasik agak kurang 

peduli terhadap penafsiran al-Qur’an dengan cara tematik, 

ada dua faktor ketidakpedulian ini: Pertama, metode 

tematik ini mengarah kepada kajian spesialis yang 

bertujuan mengkaji satu tema bahasan. Kedua Para 

penafsir klasik tidak melakukan cara kajian yang seperti 

ini karena pada masa lalu spesialisasi belum menjadi 

tujuan kajian.  Para penafsir klasik belum merasakan perlu 

dan pentingnya untuk melakukan topik-topik tertentu 

yang terdapat di dalam al-Quran. Hal ini disebabkan 

karena para panafsir masa lalu hafal al-Qur’an dan ilmu 

keislaman mereka sangat dalam serta mencakup semua 

aspek, oleh sebab itu mereka berpotensi untuk 

menghubungakan satu ayat dengan ayat yang lain yang ia 

jelaskan melalui spesialisasi ilmunya.18  

Pada perkembangan selanjutnya muncul perhatian 

dan minat untuk melakukan pembahasan baru berdasar 

corak tafsir maudhui, karena disebabkan oleh beberapa 

 

faktor: Pertama, Al-Qu’ran sebagai kitab suci umat Islam 

mengandung bermacam-macam ilmu yang bernilai tinggi 

sehingga banyak tokoh ilmuan dan para penelit berupaya 

mencapai khazanah al-Quran tersebut. Kedua, Banyaknya 

minat terhadap kajian al-Qur’an dari orang-orang non-

Arab baik muslim ataupun non-muslim mempelajari 

masalah-masalah yang dikandung dalam al-Qur’an 

Dalam catatan Abdul Hayy al-Farmawi, selaku 

pencetus dari metode tafsir ini adalah Muhammad 

Abduh, kemudian ide pokoknya diberikan oleh Mahmud 

Syaltut, yang kemudian dikenalkan secara konkret oleh 

Sayyid Ahmad Kamal al-Kumy,19 yang ditulis dalam 

karangannya yang berjudul al-Tafsir al-Maudhû’î Pada 

tahun 1977, Abdul Hayy al- Farmawi yang posisinya 

sedang menjabat sebagai guru besar pada fakultas 

Ushuluddin al Azhar20. 

Selain al-Farmawi, dalam referensi lain disebutkan 

bahwa pelopor dari metode tafsir maudhû’î adalah 

Muhammad Baqir al-Shadr. Dia merupakan tokoh 

intelektual Syi’ah dalam kehidupan Islam Kontemporer 

yang juga memberikan tawaran metodologis dalam dunia 

 

penafsiran al- Qur’an21. 

Keduanya sama-sama menawarkan langkah 

metodologis penafsiran dalam rangka untuk mengajak 

kaum muslim kembali pada pemahaman al-Qur’an secara 

kaffah dan tidak parsial. Namun, perbedaan mendasar 

dari kerangka yang di usung oleh Muhammad Baqir al-

Shadr adalah penekanannya pada pembacaan realitas 

yang terjadi dalam masyarakat sebagai respon terhadap 

keadaan sosial. Karena al-Qur’an bukanlah teks statis 

atau obyek semu yang tidak bisa bergerak. 

Mufassir maudhû’î  harus memiliki gagasan-

gagasan yang ada pada masanya agar dia bisa 

membandingkan hasil pengalaman manusia dengan al-

Qur’an, kemudian mempersilahkan al-Qur’an 

mengungkapkan pendapatnya, sehingga mufassir bisa 

menurunkan pendapat tersebut dari semua ayat-ayat 

relevan yang dikumpulkan bersama-sama, bukan dari 

satu ayat tunggal atau dua-tiga ayat. Gagasan utama 

metode tafsir maudhû’î Muhammad Baqir al-Shadr 

adalah penyatuan antara pengalaman manusia atau 

realitas sosial dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang 

kemudian disebut dengan metode tafsir tauhidi.22 

Terlepas dari semua itu, penulis akan tetap 

 

memfokuskan kepada konsep yang telah di usung oleh 

al- Farmawi yang telah memiliki karya dengan judul al-

Bidayah fī Tafsir al- Maudhû’î Dirāsah Manhājiyah 

Maudu‘iyah, dalam karangannya ini beliau menyebutkan 

langkah-langkah yang harus ditempuh dalam 

menerapkan tafsir maudhû’î 23. 

Kemudian di Indonesia sendiri metode maudhû’î 

dikembangkan oleh M. Quraish Shihab. Buah dari tafsir 

model ini menurut M. Quraish Shihab di antaranya 

adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad, al- 

Insan fī al-Qur’an, al-Mar’ah fī al-Qur’an, dan karya 

Abul A’la Al- Maududi, al-Riba fī al-Qur’an24. 

Sebagai tambahan, terdapat tafsir Ahkam al-

Qur`an karya al-Jassas (w. 370 H), tafsir al-Jāmi’ Li 

Ahkam al-Qur’an karya Abu Abdullah Muhammad bin 

Ahmad al-Anshary al-Qurtuby (w. 671 H). Kedua contoh 

ini adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang 

diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an25. 

Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir 

tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. 

Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis 

 

dan sistematis berkembang di masa kontemporer. 

Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal 

abad ke 20, baik tematik berdasarkan surah al-Qur’an 

maupun tematik berdasar subyek/ topik. 

C. Bentuk-bentuk Kajian Tafsir Maudhû’î 

Secara umum menurut al-Farmawi, metode tafsir 

maudhû’î  memiliki dua macam bentuk. Keduanya 

memiliki tujuan yang sama, yakni menyingkap hukum-

hukum, keterkaitan, dan ketertkaitan di dalam al- Qur’an; 

menepis anggapan adanya pengulangan di dalam al-

Qur‟an sebagaimana yang dilontarkan para orientalis, dan 

menangkap petunjuk al- Qur’an mengenai kemaslahatan 

makhluk, berupa undang-undang syariat yang adil yang 

mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat.26 Tafsir 

maudhû’î mempunyai dua bentuk kajian yaitu tafsir 

maudhû’î per-surah dan tafsir maudhû’î per-tema.  

Bentuk pertama, tafsir maudhû’î  per-surah yaitu 

Tafsir maudhû’î  yang membahas satu surah secara utuh 

dan menyeluruh dan menjelaskan maksudnya yang 

bersifat umum dan khusus serta menjelaskan korelasi 

antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga 

surah tersebut tampak dalam bentuknya yang betul-betul 

 

Berkenaan dengan metode ini, al-Syathibi sebagai 

diikuti oleh al- Farmawi, mengatakan bahwa satu surat 

al-Qur‟an mengandung banyak masalah, yang pada 

dasarnya masalah-masalah itu satu, karena hakikatnya 

menunjuk pada satu maksud. Menurut M. Quraish 

Shihab, biasanya kandungan pesan satu surat 

diisyaratkan oleh nama surat tersebut, selama nama 

tersebut bersumber dari informasi Rasulullah saw.28 

Contoh kitab tafsir bentuk ini adalah al-Tafsir al-

Wadhīh, karya Muhammad Mahmud Hijazi dan Nahwa 

Tafsir maudhû’î li Suwar al- Qur’an al-Karīm karya 

Muhammad al-Ghazali, Sirāh al-Waqi’ah wa Manhājuha 

fi al-‘Aqa’id karya Muhammad Gharib dan karya tafsir 

yang lainnya29. 

Adapun bentuk kedua, tafsir maudhû’î per-tema  

Menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surah yang 

sama-sama membicarakan satu masalah tertentu 

kemudian ayat-ayat disusun sedemikian rupa dan 

diletakkan di bawah suatu tema bahasan yang dan 

 

selanjutnya ditafsirkan secara maudhû’î.30 Bentuk kajian 

maudhû’î per-tema seperti ini lah yang biasanya 

terbayang dipikiran kita ketika disebutkan tafsir 

maudhû’î dan Al-Farmawi menjadikan bentuk kajian 

tafsir tematik per-tema ini sebagai konsentrasi 

pembahasannya dalam menjelaskan tafsir maudhû’î. 

Banyak kitab-kitab tafsir maudhû’î yang 

menggunakan bentuk seperti ini, baik pada era klasik 

maupun kontemporer sekarang ini. Mulai dari yang 

membahas i’jaz al-Qur’an, nasikh-mansukh, ahkam al-

Qur’an dan lainnya. Contohnya adalah al-Mar’ah fī al-

Qur’an dan al-insan fī al- Qur’an al-Karīm karya Abbas 

Mahmud al-Aqqad, Dustur al-Akhlaq fī al- Qur’an karya 

Muhammad Abdullah Darraz dan kitab-kitabnya31. 

Fahd al-Rumi menambahkan satu macam lagi, 

yakni tafsir yang membahas satu kalimat saja dengan 

mengumpulkan semua ayat-ayat yang menggunakan 

kalimat atau derivasi dan akar kalimat tersebut, 

kemudian menafsirkannya satu persatu dan 

mengemukakan dalil dan penggunaanya dalam al-

Qur’an. Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode 

 

ini adalah  Kalimah al-Haqq Fī al-Qur’an al-Karīm karya 

Muhammad bin ‘Abd al- Rahman Al-Rawi, Al-

Mushthalahat al-Arba’ah Fī al-Qur’an (al-Ilah, al- Rabb, 

al-‘Ibadah, al-Dīn) karya Abi al-A’la al-Maududi32. 

D. Langkah-Langkah Kerja Metode Tafsir Maudhû’î 

Sistematika penyajian tafsir secara tematik atau 

maudhû’î adalah sebuah bentuk rangkaian penulisan karya 

tafsir yang struktur pemaparannya mengacu pada tema 

tertentu atau pada ayat, surat atau juz tertentu yang 

ditentukan oleh penafsir sendiri. 

Dalam sistematika temetik ini, mufassir biasanya 

mengumpulkan seluruh kata kunci yang ada dalam al-

Qur’an yang dipandang terkait dengan tema kajian yang 

dipilihnya. Sistematika penyajian tematik ini (meskipun 

bersifat teknis) memiliki cakupan kajian yang lebih 

spesifik, mengerucut dan mempunyai pengaruh dalam 

proses penafsiran yang bersifat metodologis. Bila 

dibandingkan dengan model penyajian runtut, sistematika 

tematik ini memiliki kelebihan tersendiri. Salah satunya 

adalah membentuk arah penafsiran menjadi lebih fokus 

dan memungkinkan adanya tafsir antar ayat al-Qur’an 

 

Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah 

yang harus ditempuh oleh mufassir. Seperti yang 

dikemukakan oleh al-Farmawi sebagai berikut34: 

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik). 

Hal ini dilakukan sesudah  menentukan batasan-

batasan dan mengetahui jangkauan yang akan dibahas 

dalam ayat-ayat al-Qur’an. Menurut M. Quraish Shihab, 

walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan 

yang diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau 

tidak, untuk menghindari kesan keterkaitan yang 

dihasilkan oleh metode tahlīlī akibat pembahasan-

pembahasannya terlalu bersifat sangat teoritis, maka 

akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas itu 

diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh 

masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka. 

Dari sini bisa disimpulkan bahwa, mufasir maudhû’î 

diharapkan agar lebih dahulu mempelajari problem-

problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran 

 

yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban al-Qur’an 

menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit, dan 

sebagainya35. Dengan demikian corak dan metode 

penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap 

problem masyarakat tertentu di lokasi tertentu dan tidak 

harus memberi jawaban terhadap mereka yang hidup 

sesudah generasinya, atau yang tinggal diluar 

wilayahnya36. 

2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu 

masalah tertentu. 

3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa 

turunnya, disertai pengetahuan tentang asbāb an-

nuzūl.  

Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui 

perkembangan petunjuk al-Qur’an menyangkut persoalan 

yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada 

nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. Bagi mereka yang 

bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian, maka 

runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis 

suatu peristiwa37.  

Terkait asbāb an-nuzūl, hal tersebut tidak bisa di 

 

abaikan begitu saja dalam proses penafsiran38. Ia 

memiliki peranan yang sangat besar dalam memahami 

ayat-ayat al-Qur’an. Asbāb an-nuzūl harus jadi 

pertimbangan tersendiri untuk memahami ayat-ayat al-

Qur’an39. 

4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam 

suratnya masing-masing. 

5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang 

sempurna (out line). 

6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang 

relevan dengan pokok bahasan. 

7. Mempelajari ayat-ayat yang ditafsirkan secara 

 

38Menurut Baqir Al-Shadr, asbabbun nuzul bukanlah peristiwa yang 

menjadi penyebab utama diturunkannya ayat, karena hal ini 

berarti menggantungkan kehendak Allah dengan perbuatan-

perbuatan manusia padahal Allah Maha berkehendak. Asbabun 

nuzul merupakan peristiwa yang mengiringi turunnya sebuah 

ayat. Lilik Ummi Kaltsum, Mendialogkan Realitas Dengan 

keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat 

tersebut yang mempunyai pengertian yang sama, 

atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan 

yang  khas (khusus, mutlak dan muqayyad (terikat) ), 

atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga 

semuanya bertemu dalam satu muara tanpa 

perbedaan ataupun pemaksaan dalam penafsiran40. 

E. Kelebihan Metode Tafsir Maudhû’î 

Jika diamati dengan seksama, metode tafsir 

maudhû’î ini sesuai dengan selera, pemikiran dan 

kebutuhan masyarakat sekarang di zaman modern. 

Telaah-telah qur‟ani memang harus terus dilakukan sesuai 

dengan kebutuhan zaman modern saat ini, agar manusia 

juga tenang dalam menghadapi berbagai tantangan dan 

perkembangan IPTEK41. Disamping kekurangan dari tiap 

sesuatu pasti memiliki kelebihan, begitu dalam metode 

tafsir maudhû’î ini. Peneliti membagi menjadi dua 

 

kelebihan dalam metode tafsir ini, yaitu kelebihan teoritis 

dan praktis42. 

1. Kelebihan teoritis43 

a. Menjawab tantangan zaman. 

Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh 

dan berkembang sesuai dengan perkembangan 

kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan, 

permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, 

serta mempunyai dampak yang luas. Hal itu 

dimungkinkan karena apa yang terjadi pada suatu tempat 

pada saat yang bersamaan dapat disaksikan oleh 

orang lain ditempat lain pula. Bahkan peristiwa yang 

terjadi di ruang angkasa pun dapat di pantau dari bumi. 

Kondisi semisal inilah yang membuat permasalahan 

segera merebak ke seluruh masyarakat dalam waktu 

yang singkat.  

Melihat permasalahan di atas, maka jika dilihat 

dari sudut tafsir al-Qur’an, tidak bisa diselesaikan 

dengan selain metode tematik. Hal ini dikarenakan 

kajian metode tematik ditujukan untuk menyelesaikan 

permasalahan. Dengan pola dalam metode ini diharapkan 

 

mampu menjawab tantangan-tantangan zaman. 

b. Praktis dan sistematis 

Tafsir dengan metode ini disusun secara 

praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan 

yang timbul. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan 

kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas 

yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya 

waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, 

padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an mereka 

harus membacanya. Dengan adanya tafsir tematik, 

mereka akan mendapatkan petunjuk al-Qur’an secara 

praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat 

waktu, efektif, dan efisien. 

c. Dinamis 

Metode tematik membuat metode tafsir al-

Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman 

sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca 

dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa 

mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi 

ini pada semua lapisan strata sosial. Dengan demikian, 

terasa sekali bahwa al-Qur’an selalu aktual (Updated) tak 

pernah ketinggalan zaman (Outdate). Dengan 

tumbuhnya kondisi serupa itu, maka umat akan tertarik 

mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an karena mereka 

merasa betul-betul dapat membimbing mereka ke jalan 

yang benar. 

24    

d. Memberikan Pemahaman yang Utuh 

Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan di 

bahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat 

diserap secara utuh. Pemahaman serupa itu sulit 

menemukannya di dalam ketiga metode tafsir lain 

(Tahlili, Ijmali, Muqaran). Maka dari itu, metode 

tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu 

permasalahan secara lebih baik dan tuntas. 

2. Kelebihan Praktis 

Selain kelebihan teoritis, metode tafsir maudhû’î ini 

juga memeiliki kelebihan praktis sebagai berikut: 

a. Metode ini menghimpun semua ayat yang memiliki 

kesamaan tema. Ayat yang satu menafsirkan ayat 

yang lainnya. Karena itu, metode ini juga dalam 

beberapa hal sama dengan tafsir bi al- ma’tsûr. 

b. Peneliti dapat melihat keterkaitan anatarayat yang 

memiliki kesamaan tema. Oleh karena itu, metode ini 

dapat menangkap makna, petunjuk, keindahan, dan 

kefasihan al-Qur’an. 

c. Peneliti dapat menangkap ide al-Qur‟an yang 

sempurna dari ayat- ayat yang memiliki kesamaan 

tema. 

d. Metode ini dapat menyelesaikan kesan kontradiksi 

antarayat al- Qur’an yang selama ini dilontarkan oleh 

pihak-pihak tertentu yang memiliki maksud jelek, 

 25 

dan dapat menghilangkan kesan permusuhan antara 

agama dan ilmu pengetahuan. 

e. Metode ini sesuai dengan tuntutan zaman modern 

yang mengharuskan kita merumuskan hukum-hukum 

universal yang bersumber dari al-Qur’an bagi seluruh 

negara Islam. 

f. Dengan metode ini semua juru dakwah, baik yang 

profesional maupun amatiran, dapat menangkap 

seluruh tema-tema al-Qur’an. Metode ini juga 

memungkinkan mereka untuk sampai kepada hukum-

hukum Allah dengan cara yang jelas dan mendalam, 

serta memastikan kita untuk menyingkap rahasia dan 

kemuskilan al- Qur’an sehingga hati dan akal kita 

merasa puas terhadap aturan- aturan yang telah 

ditetapkan-Nya kepada kita. 

g. Metode ini dapat membantu para pelajar secara 

umum untuk sampai kepada petunjuk al-Qur’an tanpa 

harus merasa lelah dan bertele-tele menyimak uraian 

kitab-kitab tafsir yang beragam itu. 

h. Kondisi saat ini sebagaimana dikatakan as-Sayyid al-

Kumi, membutuhkan sebuah metode tafsir yang lebih 

cepat menemukan pesan-pesan al-Qur‟an, khususnya 

pada zaman sekarang ketika atmosfir agama banyak 

dikotori oleh debu-debu penyimpangan, dan langit 

kemanusiaan telah ditutupi awan kesesatan dan 

26    

kemusyrikan44. 

F. Kekurangan Metode Tafsir Maudhû’î 

Tidak dapat dipungkiri bahwa sesuatu selain 

memiliki kelebihan akan juga memeiliki kekurangan, 

begitupun dengan metode tafsir maudhû’î memiliki 

beberapa kekurangan, beberapa kekurangan tersebut 

dijelasjkan  sebagai berikut: 

1. Memenggal ayat al-Qur’an 

Memenggal yang dimaksud disini adalah mengambil 

satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih 

yang mengandung banyak permasalahan berbeda. 

Misalnya petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya 

bentuk kedua ibadah ini di ungkapkan bersamaan dalam 

satu ayat. Apabila membahas tentang kajian zakat, 

misalnya, maka mau tak mau ayat tentang shalat harus 

ditinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar 

tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis. 

2. Membatasi pemahaman ayat 

Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka 

pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada 

permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir 

terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat 

itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena, seperti 

 

dinyatakan Darraz bahwa ayat al-Qur’an itu bagaikan 

permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. 

Jadi, dengan ditetapkannya judul pembahasan, berarti 

yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut. 

Dengan demikian dapat menimbulkan kesan kurang luas 

pemahamannya. Kondisi yang digambarkan itu memang 

merupakan kosekuensi logis dari metode tematik45. 

G.  Urgensi Metode Tafsir Maudhû’î 

Sejak kemunculannya, melalui penyesuaian aturan-

aturan dan syariat-syariatnya dengan keadaan masyarakat 

pada waktu itu, Islam telah mengetahui cara agar dapat 

diterima ditengah-tengah masyarakat. Yang demikian itu 

karena sisi sosial dalam Islam tidak disebutkan Rasulullah 

saw sebagai suatu teori umum dan dasar hukum dalam 

bermasyarakat dan segala sesuatu yang berkaitan 

dengannya. sesudah  itu barulah muncul syariat yang 

kemudian dijadikan sebagai sebuah tatanan oleh 

masyarakat luas. 

Umat Islam dahulu selalu berusaha untuk 

menerapkan secara langsung undang-undang Islam, 

dengan alasan semua yang termaktub dalam al-Qur‟an 

adalah syariat yang tidak bisa ditawar lagi tanpa harus 

melihat kondisi sosial (tekstual)46. Mungkin hal yang 

 

semacam inilah yang akan tidak menjadikan Islam lebih 

progresif dan berkembang untuk menjawab tantangan-

tantangan zaman. Metode tafsir maudhû’î lah yang nanti 

akan memberi solusi yang solutif bagi kehidupan 

masyarakat. 

Secara fungsionalnya, memang metode tafsir 

maudhû’î ini diperuntukkan untuk menjawab 

permasalahan-permasalahan kehidupan di muka bumi ini. 

Dari sini memberikan implikasi bahwa metode ini 

memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat 

agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar sesuai 

dengan maksud  diturunkannya al-Qur’an47. 

Berangkat dari pemikiran yang demikianlah, maka 

kedudukan metode ini menjadi kuat dalam khazanah 

intelektual Islam. Oleh karenanya, metode ini perlu 

dipunyai oleh para ulama, khususnya para mufassir agar 

mereka dapat memberikan kontribusi menuntun 

kehidupan di muka bumi ini kejalan yang benar demi 

meraih kebahagiaan dunia dan di akhirat. 

 

Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal meengatakan bahwa 

pemahaman yang fleksibel terhadap Islam dan sumber-

sumbernya adalah hal yang niscaya demi mengembangkan 

pandangan yang sesuai dengan kondisi modern. 

Terjadi pemahaman yang terkotak-kotak dalam 

memahami ayat- ayat al-Qur’an, sebagai akibat dari tidak 

dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini 

sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif 

atau penyimpangan yang jauh dalam memahami al-

Qur’an48. Padahal al-Qur’an berdialog dengan seluruh 

manusia di setiap masyarakat, sejak turunnya hingga akhir 

zaman. Maka, jika kitab suci ini menganjurkan kita 

untuk memikirkan maksud-maksud ayat-ayatnya, dan 

mengecam mengabaikannya, dengan memperhatikan ilmu 

pengetahuan dan teknologi, kondisi sosial, latar belakang 

pendidikan dan lain-lain49. 

Tafsir maudhû’î hadir ditengah-tengah kebutuhan 

masyarakat saat ini, pada hakikatnya timbul akibat 

adanya keinginan untuk memaparkan Islam dan 

pemahaman-pemahaman al-Qur‟an secara teoritis, 

mencakup dasar-dasar agama yang menjadi sumber bagi 

seluruh rincian perkara- perkara syariat. Yang dengan 

demikian memungkinkan kita untuk mengetahui teori-

teori umum, melalui syariat dan undang-undang Islam. 

Hal itu karena antara teori dan penerapannya dalam Islam 

memiliki keterikatan yang sangat kuat50. 

 

H. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh penafsir 

Maudhû’î 

Ada beberapa hal yang seharusnya diperhatikan oleh 

seorang penafsir yang memakai metode maudhu’i ini, 

antara lain: 

1. Penafsir harus menyadari betul bahwa dengan 

menggunakan metode ini tidak berarti ia menafsirkan 

seluruh al-Quran. 

2. Penafsir harus ingat bahwa ia hanya ingin membahas 

satu masalah pokok bahasan sehingga tidak akan 

menyimpang dari masalah yang telah ditetapkan. 

3.  Penafsir harus memperhatikan tahapan-tahaan al-

Quran dalam menurunkan hukumnya. 

4. Dalam menafsirkan suatu pokok masalah seorang 

penafsir harus secara konsisten menerapkan semua 

prinsip operasional metode maudhû’î51 

sesudah  memahami berbagai hal mengenai metode 

tafsir maudhû’î, maka di bab selanjutnya akan membahas 

beberapa tema yang mengaplikasikan langkah kerja 

metode tafsir maudhû’î guna menelusuri geneologi yahudi 

dalam Al-Qur’an. 

 

BAB II 

TINJAUAN UMUM MENGENAI TERM ASBÂTH, 

BANÎ ISRÂ’ÎL DAN YAHUDI 

 

Pada Bagian kedua ini, pembaca akan diberikan 

informasi mengenai tinjauan/ wawasan umum tenang 

term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi. Pembahasan 

dimulai dari definisi Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi, 

pengungkapan term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi 

dalam al-Qur’an, perbedaan antara term Asbâth, Banî 

Isrâ’îl dan Yahudi dan terakhir term yang berkaitan 

dengan Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi yang diebutkan 

dalam al-Qur’an. 

A. Definisi Term Asbâth 

Kata Asbâth berasal dari akar kata sa, ba dan tha, 

yang secara literal berarti banyak atau lebat, dan arti 

sibthun yaitu anak cucu bagaikan  pepohonan yang lebat 

lagi banyak dahannya52. Sedangkan makna Asbâth 

menurut terminology yaitu dua belas orang dari anak 

keturunan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yang masing-

masing dari dua belas putra tersebut melahirkan suatu 

kaum yang menjadi dua belas suku Bani Isrâîl53. Dari 

 

keempat orang istrinya Ya’qub memiliki 12 putra, yakni 

dari Lea atau Layya enam orang putra, yaitu; Ruben, 

Simeon, Lewy, Yahuda, Isakhar dan Zebulaon. Dari 

Rachel lahir dua orang putra, yaitu; Yusuf, dan Benyamin. 

Dari Bilha dua orang anak, yaitu; Dann dan Naftali. 

Kemudian dari Zilfa dua orang putra ,yaitu ; Gad dan  

Asyer54. 

Putra-putra Ya’qub inilah yang merupakan cikal 

bakal lahirnya istilah Bani Israil. Kemudian ketika 

mereka berkembang menjadi kaum yang banyak maka 

mereka disebut sebagai al-Asbâth, yang berarti anak 

cucu55. Sibith dalam bangsa Yahudi adalah seperti suku 

bagi bangsa Arab dan mereka yang berada dalam satu 

sibith berasal dari satu bapak. Masing-masing anak 

Ya’qub kemudian menjadi bapak bagi sibith Bani Israil. 

Maka seluruh Bani Israil berasal dari putra-putra Ya’qub 

yang berjumlah dua belas orang56. 

Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan 

mengenai makna al-Asbâth sebagai berikut:  

 

1. Bisyr bin Mu’adz menceritakan kepada kami, 

katanya: Yazid menceritakan kepada kami, katanya 

Sa’id menceritakan kepada kami, dari Qatadah, 

katanya al-Asbâth adalah Yusuf dan saudaranya, 

keturunan Ya’qub, yang berjumlah dua belas orang, 

dan setiap orang diantara mereka melahirkan sebuah 

kaum, mereka inilah yang disebut al-Asbâth57. 

2. Al-Mutsanna menceritakan kepada kami, katanya: 

Ishaq menceritakan kepada kami, katanya: Ibnu Abi 

Ja’far menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari 

Rabi’ katanya: al-Asbâth adalah Yusuf dan 

saudaranya, anak-anak Ya’qub yang berjumlah 

duabelas orang, setiap orang melahirkan sebuah 

kaum, mereka inilah yang disebut al-Asbâth58. 

B. Definisi Term Banî Isâ’îl 

Uraian mengenai term Banî Isrâ’il di samping 

Asbâth dan Yahudi, diperlukan untuk memperoleh 

gambaran yang jelas tentang pandangan Alquran terhadap 

kelompok-kelompok tersebut, karena banyak kalangan 

yang belum bisa membedakan antara ketiga istilah 

 

tersebut atau memilik perspektif yang menyamakan Bani 

Isra’il dan Yahudi. 

Kata Banû (Banî) berasal dari akar kata ba’, nûn 

dan wâw, yang secara literal mengandung pengertian 

sesuatu yang lahir dari yang lain59. Dalam Alquran, kata 

yang berasal dari akar kata tersebut ditemukan sebanyak 

161 kali60. Kata Banî itu sendiri disebutkan sebanyak 49 

kali, 41 kali diantaranya dikaitkan dengan Isrâ’îl61. 

Selebihnya 6 kali dikaitkan dengan keturunan Adam62. 

Sedang dua kali diantaranya dalam Q.S. al-Nur (24): 31 

berbicara tentang putra saudara laki-laki dan perempuan. 

Dari ayat-ayat tersebut, ternyata bahwa term Banî, 

semuanya mengisyaratkan adanya hubungan darah. 

Sedang kata Isrâ’îl , ditemukan sebanyak 43 kali 

dalam Alquran 63. Dua kali menunjuk kepada Nabi 

Ya’qub64, selebihnya dikaitkan dengan keturunannya. 

Kata Isrâ’îl itu berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri dua 

kata isrâ’ yang berarti hamba atau kekasih65, dan El yang 

berarti Tuhan66,  Sehingga Isrâ’îl berarti hamba Allah 

atau kekasih Allah. 

Para ulama sepakat bahwa term Isrâ’il dalam 

Alquran menunjuk kepada Nabi Ya’qub a.s67.  Menurut 

Muhammad Rasyid Ridla, di samping term Isrâ’îl 

menunjuk kepada Nabi Ya’qub a.s., ia juga dapat 

menunjuk kepada bangsa Isrâ’îl68. Penyebutan Nabi 

Ya’qub a.s. dengan Isrâ’îl dalam arti hamba atau kekasih 

Allah, menunjukan betapa dekatnya hubungan beliau 

dengan Allah sekaligus menunjukan bahwa Nabi Ya’qub 

adalah seorang nabi yang ikhlas berjuang di jalan Allah. 

 

Di samping itu, kata hamba menunjukan panggilan 

terhormat dari kecintaan Allah kepada hamba-Nya69. 

Menurut al-Thabâthaba’î, Nabi Ya’qub disebut 

Isrâ’îl karena beliau seorang pejuang yang sangat teguh 

dan kokoh di jalan Allah untuk mencapai keridhaan-

Nya70. Gelar itu secara sendiri diberikan Allah kepadanya 

sesudah  beliau kembali dari Faddan-Aram71. Dari 

keterangan tersebut, dapat dinyatakan bahwa Banî Isrâ’îl 

lebih banyak mengacu kepada etnis dalam arti keturunan 

Nabi Ya’qub a.s72.  

Kata   Banî Isrâ’îl diungkap dalam Alquran 

sebanyak 43 kali73, yang secara umum menunjukkan 

bahwa Banî Isrâ’îl merupakan bangsa yang dikasihi 

Tuhan. Tetapi di sisi lain menunjukkan, bangsa Isrâ’îl 

 

merupakan bangsa paling nakal, sukar diatur, bersikap 

ekslusif dan suka berbuat kerusakan. 

Sebagai bangsa yang dikasihi Tuhan, antara lain 

dapat dilihat dari seruan yang disampaikan oleh para Nabi 

dan Rasul yang diutus kepada mereka silih berganti, 

misalnya seruan mesra Nabi ‘Îsâ a.s. agar mereka 

mengikuti ajaran yang dibawanya sebagai pelanjut dari 

ajaran Nabi Mûsâ a.s.74 Seruan dan ajakan tersebut 

diterima baik oleh sebagian di antara mereka, tetapi 

sebagian lainnya memusuhi dan menolak Nabi ‘Îsâ a.s. 

dan ajarannya.75 Panggilan serupa juga datang dari Allah, 

disampaikan melalui para Rasul yang diutus kepada 

mereka agar tetap berjalan di atas jalan yang benar, 

seperti diungkapkan 76: 

 َيََّٰييإَو مُكيدهَعيب يفُوأ ييدهَعيب ْاوُفَوأَو مُكيَلَع ُتمَعَنأ يتَِّلٱ َ يتَِمع

ين ْاوُرُكذٱ َلييءََٰرسيإ ينَِبََٰي  ينوُبَهرَٱف٤٠   

“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku 

anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-

Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya 

kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk)” (QS. al-

Baqarah [2] : 40) 

Menurut al-Qasimî, ayat tersebut mengindikasikan 

bahwa Allah menggugah Banî Isrâ’îl agar mengingat 

 

nikmat Allah dengan menyebut nenek moyang mereka 

yaitu Ya’qub a.s. Disini, seolah-olah Allah berfirman 

kepada mereka, wahai keturunan hamba yang saleh lagi 

taat kepada Allah, jadilah kalian seperti nenek moyang 

kalian yaitu Isrâ’îl77. 

Nikmat yang diberikan Allah kepada Banî Isrâ’îl 

yang berupa kesenangan hidup duniawi; dikaruniakan 

kepada mereka al-manna wa al-salwa.78 Hal demikian 

dapat diliaht melalui informasi Alquran:79 

 َّنَ

لمٱ ُمُكيَلَع اَنلَّز َنَو ََنيمَلأٱ يروُّطلٱ َبيناَج مُكََٰندَع ََٰوَو مُكي وُدَع ني م مُكََٰنيَنجَأ دَق َلي

يءََٰرسيإ ينَِبََٰي    َٰىَولَّسلٱَو

٨٠   

“Hai Bani Israil, sesungguhnya Kami telah 

menyelamatkan kamu sekalian dari musuhmu, dan Kami 

telah mengadakan perjanjian dengan kamu sekalian 

(untuk munajat) di sebelah kanan gunung itu dan Kami 

telah menurunkan kepada kamu sekalian manna dan 

salwa” (QS. Thâhâ [20]: 80) 

Di samping nikmat yang berlimpah ruah yang 

dianugerahkan Allah kepada Banî Isrâ’îl, Allah juga 

 

menyelamatkan mereka dari marabahaya yang 

mengancam jiwa maupun harta benda mereka80. Mereka 

juga diberikan tempat tinggal untuk kehidupan yang 

nyaman di muka bumi81.  Merekapun diberikan kebebasan 

oleh Allah untuk memakan makanan yang baik dan halal, 

kecuali beberapa jenis makanan tertentu yang telah 

diharamkan Allah kepada nenek moyang mereka Isrâ’îl82. 

Agar mereka tetap berjalan di atas petunjuk 

kebenaran, Allah juga mengutus beberapa orang Rasul 

kepada mereka silih berganti. Hal tersebut antara lain 

dimaksudkan agar mereka tetap berpegang teguh pada 

janji yang telah mereka ikrarkan dengan Tuhan yang 

disebut al-mîtsâq83. Para Rasul itu juga datang untuk 

membebaskan Banî Isrâ’îl dari penindasan yang dilakukan 

bangsa lain, seperti Fir’aun84. Para Nabi dan Rasul yang 

diutus kepada Banî Isrâ’îl, juga dilengkapi dengan kitab 

suci sebagai pedoman hidup85. Para Rasul pun dilengkapi 

dengan mu’jizat sebagai bukti kerasulan mereka agar 

 

Banî Isrâ’îl yakin akan kebenaran misi yang mereka 

bawa.86 

Berbagai bentuk peraturan dan hukum dibawa para 

nabi dan rasul  untuk mengatur tatanan kehidupan 

manusia agar tercipta stabilitas dan perdamaian di antara 

mereka, seperti hukum mengenai pembunuhan87. Akan 

tetapi, ajaran yang dibawa para nabi dan rasul silih 

berganti itu tidak ada yang langgeng, karena Banî Isrâ’îl 

termasuk umat yang sangat sulit diatur, sangat mudah 

melanggar janji dan melupakan nikmat Tuhan. 

Pengungkapan term Banî Isrâ’îl juga dikaitkan 

dengan sikap dan perilaku mereka yang melakukan 

pengerusakan di muka bumi88. Merekapun mendapat 

laknat Tuhan sebagai akibat pelanggaran dan keingkaran 

kepada Tuhan melalui para nabi dan rasul yang diutus 

kepada mereka89. 

C. Definisi Term Yahudi 

Secara terminologis kata al-Yahûdu  berasal dari 

kata Hâda yahûdu hauwdan, yang berarti kembali90, 

 

kemudian kata tersebut berkembang menjadi al-Tahwid , 

yang berarti berjalan merangkak ataupun merayap. 

Adapun makna al-Hawdu itu sendiri umumnya di artikan 

dengan taubat91. 

 Dari sisi lain istilah Yahudi menunjuk sebutan 

kepada Bani Israil92 yang berasal dari keturunan anak 

cucu Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim. Ya’qub mempunyai 

dua belas orang anak, dan keturunan mereka disebut 

dengan istilah al-Asbâth. Mengenai penamaan Banî Isrâ’îl 

dengan Yahudi, menurut Abd Al-Qadir Syaibat Al-

Hamd93, dalam bukunya Al-Adyan wa al-Firaq wa al-

Madzâhib al-Muâshirat didasarkan atas empat 

kemungkinan : 

a. Dari kata al-Hawdu, yang berarti kembali taubat. Hal 

ini berdasarkan atas firman Allah swt:  

 

 َكَيليإ َنَّدُه َّنَّيإ يةَر يخلأٱ يفَِو ةَنَسَح اَينُّدلٱ يهيذ ََٰه يفِ اََنل بُتكٱَو… 

“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia dan 

akhirat Sesungguhnya kami kembali bertaubat 

kepada engkau...” (Q.S. Al-A’raf, [7]:156). 

 

 

 Ayat ini secara kontekstual mengandung arti bahwa 

orang-orang Yahudi itu kembali bertaubat dan 

tunduk kepada Allah swt. sesudah  mereka menyembah 

anak lembu94. 

b. Dari kata al-Tahwid , yang berarti berbicara dengan 

pelan, suara sengau dari rongga hidung95. Kebiasaan 

ini sengaja dilakukan oleh pendeta Yahudi ketika 

membaca Taurat untuk orang awam guna membentuk 

persepsi bahwa yang mereka bacakan berasal dari 

Allah swt., padahal bukan. Hal ini dapat difahami 

dari surat Ali-I’mrân, 3:78:  

 ُوَلي اقييرَفَل مُهن يم َّنيإَوۥ  َوُه َنوُلوُق َيَو يبََٰتيكلٱ َنيم َوُه اَمَو يبََٰتيكلٱ َنيم ُهوُبَسحَتيل يبََٰتيكلٱيب مُه َت َن يسَلأ َن

  َنوُمَلَعي مُهَو َبيذَكلٱ يَّللَّٱ ىَلَع َنوُلوُق َيَو يَّللَّٱ يدنيع نيم َوُه اَمَو يَّللَّٱ يدنيع نيم 

“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang 

memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya 

kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari 

Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka 

mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi 

Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka 

berkata dusta terhadap Allah sedang mereka 

mengetahui.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 78) 

 

c. Dari nama Yahudza, saudara Yusuf as. salah seorang 

anak nabi Ya’qub as.  Kemudian huruf dzal 

mengalami perubahan  menjadi dal sehingga menjadi 

Yahuda96. 

d. Dari kata Al-Muwâhadat, yang berarti janji. Latar 

belakang pengambilan kata ini didasarkan atas firman 

Allah swt. dalam surat Al-A’raf, 7:142: 

 

 يهي بَر ُت ََٰقي يم َّمَت َف رشَعيب اَهََٰنَمتمأَو ةَلَيل َينيثََٰل َث َٰىَسوُم َنَّدَع ََٰوَوٓۦ  وُم َلَاقَو ةَلَيل َينيَعبَرأ َنوُر ََٰه يهي يخَ يلأ َٰىَس

 َنييد يسف

ُ

لمٱ َلييبَس عيبَّت َت َلََو حيلصَأَو ييموَق يفِ ينِفُلخٱ 

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan 

Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan 

Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh 

(malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah 

ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan 

berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: 

"Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan 

perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan 

orang-orang yang membuat kerusakan” (Q.S. al-A’raf 

[7]: 142) 

e. Disebut Yahudi karena mereka menyimpang dari 

aturan-aturn yang ditetapkan Allah, baik aturan yang 

dibawa Nabi Musa as. maupun aturan yang dibawa 

 

Nabi Muhammad saw97. Nama ini bersifat pejoratif, 

sebab ia menunjukan, bahwa mereka tidak hanya 

menolak ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. 

yang seharusnya mereka ikuti sesuai dengan tuntunan 

kitab suci mereka, tetapi juga memberikan isyarat 

bahwa mereka juga telah menyimpang dari petunjuk 

kitab sucinya98. 

Selain dari kemungkinan di atas, ada pula yang 

mengatakan bahwa Yahudi adalah mereka yang 

mengklaim dirinya sebagai pengikut Musa as. Setiap teori 

di atas mengandung kebenaran sesuai dengan argument 

dan pendekatan yang digunakan. Al-Qur’an membedakan 

antara keturunan Bani Israil dan penganut keyakinan dan 

pelaku perbuatan yang disebut Yahudi. 

Walaupun sebutan untuk mereka ini beragam, 

namun bagaimanapun, sebutan Yahudi itu dengan 

sendirinya telah membedakan mereka dari orang-orang 

Nasrani sebagai pengikut al-Masih yang juga dari Bani 

Israil, sementara mayoritas orang-orang Israil 

mengingkari Isa as. dan tetap mengikuti Musa as99.  

Dari beberapa teori yang telah dipaparkan mengenai 

definisi Yahudi, penulis lebih cenderung pada teori yang 

 

mengatakan bahwa Yahudi berasal dari nama Yahudza, 

saudara Yusuf as. salah seorang anak nabi Ya’qub as, 

seperti yang akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya 

dalam sejarah Yahudi. 

D. Pengungkapan Term Asbâth dan Yahudi dalam Al-

Qur’an 

1. Ungkapan term Asbâth 

Term yang secara langsung menggunakan kata 

Asbâth ditemukan sebanyak lima kali disebutkan dalam 

Alquran 100, yang tersebar dalam empat surat. Dari 

keempat surat tersebut, hanya satu surat yang termasuk 

dalam kategori surat Makiyyah yaitu surat al-A’raf. 

Selebihnya termasuk dalam kategori surat Madaniyah101, 

 

100 Muhammad Fuad Abdal-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh 

Alquran al-Karim, (Beirut: Dâr al-Fikr 1987) h. 340 

101 Terdapat tiga versi mengenai istilah Makîyah dan Madanîyah, 1) 

ayat-ayat Makîyah ialah ayat-ayat yang ditunjukan kepada 

penduduk Makkah, sedang ayat-ayat Madanîyah ditunjukan 

kepada penduduk Madinah; 2) ayat-ayat Makîyah ialah ayat-

ayat yang diturunkan di Makkah, sedang ayat-ayat Madanîyah 

ialah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah; 3) ayat-ayat 

Makîyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulallah 

hijrah ke Madinah, sementara ayat-ayat Madanîyah ialah ayat-

ayat yang turun pasca hijrah. Lihat Jalâl al-Din al-Suyûthî, al-

Itqân fi ‘Ulum Alquran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H/ 1979 M), 

juz I, h. 9; Badruddin Muhammad Iibn ‘abdullah al-Zarkasyî, 

al-Burhan fî ‘Ulum Alquran (Kairo: Dâr al-Hadits, 2006), 132; 

Muhammad Ibnu Luthfi al-Sibâghi, Lamhat Fi ‘Ulum Alquran, 

(Beirut: al-Maktab al- Islâmi, 1990), 146.  Pendapat yang 

disebutkan ketiga ini memahami Makîyah dan Madanîyah 

46    

yaitu surat al-Baqarah, surat Ali ‘Imran dan surat an-

Nisa’. Dengan informasi tersebut dapat dinyatakan, 

bahwa pembicaraan Alquran tentang Asbâth pada 

umumnya diungkapkan pada periode Madinah, dan 

sedikit sekali pada periode Makkah. Hal ini mungkin 

disebabkan karena kontak umat Islam dengan Yahudi, 

baru intensif pada periode Madinah. 

Pembicaraan Alquran tentang Asbâth pada periode 

Makkah, hanya ditemukan satu kali yaitu pada Q.S. al-

A’raf (7): 160.102 Sedangkan pembicaraan Alquran 

tentang Asbâth pada periode Madinah103, ditemukan 

 

dalam arti periode, tanpa mempersoalkan khithâb dan tempat 

turunnya ayat. 

102 Lihat selengkapmya: 

 ُهُموَق ُهَٰىَقسَتسٱ يذيإ َٰىَسوُم ََٰلَيإ اَنيَحَوأَو اَمَأ ًاطاَبسَأ ََةرشَع َتَِنثٱ ُمُهََٰنعَّطَقَوٓۥٓ   اَت َنثٱ ُهنيم تَسَجَبنَٱف َرَجَلحٱ َكاَصَعي ب بيرضٱ ينَأ

 َع اَنَلزَنأَو َم ََٰمَغلٱ ُميهَيلَع اَنلََّلظَو ُمَبََرشَّم سَنَّأ ُّلُك َميلَع دَق انيَع ََةرشَع  اَم يتََٰبي َيط نيم ْاوُلُك َٰىَولَّسلٱَو َّنَ

لمٱ ُميهَيل

  َنوُميلظَي مُهَسُفَنأ ْاُوناَك نيكََٰلَو َنَّوُمََلظ اَمَو مُكََٰنَقزَر١٦٠   

“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-

masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa 

ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu 

dengan tongkatmu!". Maka memancarlah dari padanya 

duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui 

tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di 

atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan 

salwa. (Kami berfirman): "Makanlah yang baik-baik dari apa 

yang telah Kami rezekikan kepadamu". Mereka tidak 

menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya 

dirinya sendiri”. (Q.S. al-A’raf [7]: 160) 

103 Masing-masing ayat Mekah dan Madinah dapat dibagi ke dalam 

tiga periode, yaitu awal, pertengahan, dan akhir. Lihat, Abu 

 47 

empat kali yaitu : Q.S. al-Baqarah (2): 136104 ; 140105, 

Q.S. Ali ‘Imrân (3): 84106 dan Q.S. al-Nisa’ (4): 163107. 

 

Ammar Yasir Qadhi an Introduction to The Science of the 

Quran (Brimingham: Al-Hidayah Publising and Distribution, 

1999), 99. Beberapa perbandingan tentang ayat-ayat yang 

turun diperiode-periode tersebut, dapat dilihat di antaranya 

dalam bukunya Taufiq Adnan Amal, yang membandingkan 

susunan kronologis versi sarjana Islam dan Barat. Dimulai dari 

Ibnu Abbas, al-Kafi, Ikrimah, al-Hasan, Abi Thalhah, Qatadah, 

Weil, Noeldeke-Schwally, Blachere, dan Sir William Muir. 

Lihat Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alquran 

(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), 101-127 

104 Lihat selengkapnya: 

 يهََٰربيإ ََٰلَيإ َليزُنأ اَمَو اَنَيليإ َليزُنأ اَمَو يَّللَّٱيب اَّنَماَء ْاُولُوق َق ََٰحسيإَو َلييعََٰسيإَو َم  اَمَو َٰىَسييعَو َٰىَسوُم َ يتُِوأ اَمَو 

يطاَبسَلأٱَو َبوُقَعيَو 

 َُهل ُنَنََو مُهني م دَحَأ َينَب ُقي رَف ُن َلَ م

يي بََّر نيم َنوُّييبَّنلٱ َ يتُِوأۥ  َنوُم

يلسُم١٣٦   

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah 

dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan 

kepada Ibrahim, Isma´il, Ishaq, Ya´qub dan anak cucunya, dan 

apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang 

diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak 

membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami 

hanya tunduk patuh kepada-Nya". (Q.S. al-Baqarah [2]: 136) 

105 Lihat selengkapnya: 

 يهََٰربيإ َّنيإ َنُولوُق َت َمأ َلظَأ نَمَوُهَّللٱ يَمأ ُملَعأ مُتَنأَء لُق َٰىَر ََٰصَن َوأ اًدوُه ْاُوناَك َطاَبسَلأٱَو َبوُقَعيَو َق ََٰحسيإَو َلييعََٰسيإَو َم  نَّيمَ ُم

 ََٰهَش َمَتَك ُهَدنيع ًةَدۥ   َنوُلَمعَت اَّمَع ٍليفََٰغيب ُ َّللَّٱ اَمَو يَّللَّٱ َنيم١٤٠ 

“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan 

bahwa Ibrahim, Isma´il, Ishaq, Ya´qub dan anak cucunya, 

adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?" Katakanlah: 

"Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah 

yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan 

syahadah dari Allah yang ada padanya?" Dan Allah sekali-kali 

48    

2. Ungkapan Term Yahudi 

Istilah al-Yahûdu (Yahudi) dalam berbagai varian 

katanya di ungkap dalam Alquran sebanyak 22 kali, yaitu 

sepuluh kali dengan menggunakan istilah Hâdû108, tiga 

kali dengan istilah Hûd,ٓٓserta delapan kali dengan istilah 

 

tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah 

[2]: 140) 

106 Lihat selengkapnya: 

  َمييهََٰربيإ  َٰىَلَع  َليزُنأ  اَمَو  اَنَيلَع  َليزُنأ  اَمَو  يَّللَّٱيب اَّنَمَاء  لُق  َٰىَسييعَو َٰىَسوُم  َ يتُِوأ  اَمَو  

يطاَبسَلأٱَو  َبوُقَعيَو  َق ََٰحسيإَو  َلييعََٰسيإَو

 َُهل ُنَنََو مُهني م دَحَأ َينَب ُقي رَف ُن َلَ م

يي بََّر نيم َنوُّييبَّنلٱَوٓۥ  َنوُميلسُم٨٤   

“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang 

diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, 

Ismail, Ishaq, Ya´qub, dan anak-anaknya, dan apa yang 

diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. 

Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka 

dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri". (Q.S. Ali 

‘Imran [3]: 84) 

107 Lihat selengkapnya: 

 ي ييبَّنلٱَو  حُون  ََٰلَيإ  اَنيَحَوأ  اَمَك َكَيليإ  اَنيَحَوأ  َّنَّيإ يهيدَعب  نيم  َن ۦٓ    يطاَبسَلأٱَو  َبوُقَعيَو  َق ََٰحسيإَو  َلييعََٰسيإَو  َمييهََٰربيإ  ََٰلَيإ  اَنيَحَوأَو

 ُواَد اَنَيتَاءَو َن ََٰميَلُسَو َنوُر ََٰهَو َسُنُويَو َبوَُّيأَو َٰىَسييعَوۥ ارُوَبز َد١٦٣   

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu 

sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan 

nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan 

wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma´il, Ishak, Ya´qub dan anak 

cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami 

berikan Zabur kepada Daud. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 163). 

108 Muhammad Fuad Abdal-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras h.739 

 49 

Al-yahûdu )دوهيلا ( dan satu kali dengan kata Yahûdiyyanٓٓ

(ايدوهي).109 

Term alladzîna hâdû, berarti orang-orang yang 

masuk agama Yahudi.110 Kata hâdû adalah fi’l madly 

(kata kerja bentuk lampau) yang berakar dari kata ha, 

waw, dal yang secara literal mengandung pengertian 

kembali secara perlahan-lahan, bersura lembut dan 

berjalan dengan merangkak-rangkak.111 Kata tersebut 

lazim digunakan untuk pengertian tobat.112 Hal ini 

berkaitan den