alam menafsirkan ayat-ayat Asbâth dalam Al-Qur’an terdapat
Dbeberapa perdebatan dari para cendekiawan Muslim atau paraulama mengenai definisi Asbâth itu sendiri yang mana perbedaan
pendapat mengenai definisi Asbâth ini akan menimbulkan perdebatan
akademik mengenai kedudukan Asbâth, apakah Asbâth termasuk Nabi
atau tidak dan kapankah istilah Asbâth ini pertama kali dimunculkan
dalam Al-Qur’an dan sebagainya. Selain itu terdapat beberapa masalah
mengenai Asbâth yang akan dikaji dalam buku ini termasuk bagaiamana
perbedaan term Asbâth dan Bani Isra’il.
Secara garis besar buku ini membahas analisis terhadap presentasi Al-
Qur’an tentang term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi. Seperti telah
disebutkan Al-Qur’an telah berbicara banyak tentang Asbâth, Banî Isrâ’îl
dan Yahudi, dan sepertinya umat inilah yang telah banyak menyita
perhatian yang lebih serius dan intensif dalam kitab suci Islam/ Al-Qur’an
dibanding umat-umat lain, selain umat Islam sendiri; bahkan ketika Al-
Qur’an berbicara tentang Ahli Kitab, pada umumnya yang dimaksud
adalah umat Yahudi. Al-Qur’an kelihatannya bukan hanya merespons
sikap kaum Yahudi pada zaman Nabi Muhammad saw, tetapi juga
memberikan sejarah mereka yang panjang, pandangan keagamaan
mereka, dan berbagai tingkah laku mereka sepanjang sejarah, baik positif
maupun negatif. Karena itu sebuah penelaahan yang sangat cermat
diperlukan untuk menjelaskan kembali bagaimana term Asbâth, Banî
Isrâ’îl dan Yahudi dan bagaimana Al-Qur’an mempersepsikan mereka
sebagai sebuah bangsa dan juga sebagai sebuah komunitas agama.
Sampai pada poin ini dapat dikatakan bahwa Yahudi mendapat tempat
yang “spesial” dalam kitab suci. Kenyataan sejarah juga menunjukan
mereka inilah satu-satunya kelompok keagamaan yang paling intens
berinteraksi dengan Nabi Muhammad asw. sebagai pembawa Al-Qur’an.
Dengan kata lain mereka adalah kelompok yang ikut berperan dalam
membentuk milieu masyarakat penerima Al-Qur’an.
pada
awal abad ke-7 M. Wahyu Al-Qur’an diturunkan melalui
malaikat Jibril dan diterima oleh seorang rasul yang bernama
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib (571-632 M).
Al-Qur’an mencapai tingkat kesempurnaannya sesudah
melalui proses-proses berkesinambungan dari zaman ke
zaman sejak awal diturunkannya wahyu-wahyu Allah swt
kepada para Nabi dan Rasul hingga masa turunnya Al-
Qur’an pada masa Nabi Muhammad.
Selama kurun waktu 22 tahun lebih wahyu diturunkan
di Mekah dan Madinah, di tengah masyarakat Arab Jahiliyah.
Keberadaan Al-Qur’an telah ditetapkan sebagai kitab suci
yang terpelihara di sepanjang masa dan berfungsi sebagai
petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Keterlibatan
Tuhan secara langsung dan manusia dalam memelihara
keorisinilan Al-Qur’an menjadi akan selalu eksis di sepanjang
masa, baik secara lafazh maupun makna, yang karena itu pula
Al-Qur’an menjadi mukjizat. Pemeliharaan Al-Qur’an sesuai
dengan firman Allah, bahwa Allah swt memiliki peran
langsung dalam menjaga eksistensi Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman hidup bagi
umat manusia dalam menata kehidupannya, agar mereka
memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan
iv Menelusuri Genealogi Yahudi dalam Al-Qur’an
akhirat kelak. Konsep-konsep yang ditawarkan Al-Qur’an
selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia,
karena Al-Qur’an turun untuk berdialog dengan setiap umat
yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan masalah
terhadap problema tersebut, kapan dan di manapun mereka
berada.
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan beberapa
nama seperti Al-Qur’an (bacaan), al-Kitâb (kitab atau buku),
al-Furqân (pembeda antara yang baik dari yang buruk), al-
Dzikr (peringatan), Hudan (petunjuk bagi manusia pada
umumnya dan orang-orang yang bertakwa pada khususnya),
al-Rahmah (rahmat), al-Syifa (obat penawar), khususnya bagi
hati yang resah dan gelisah, dan al-Maw’izhah (nasehat atau
wejangan). Nama-nama tersebut memberikan indikasi bahwa
Al-Qur’an adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan
berwawasan luas.
Sebagai pedoman hidup bagi umat manusia,
pembicaraan Al-Qur’an terhadap suatu masalah sangat unik,
tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-buku
ilmu pengetahuan yang dikarang manusia. Di samping itu,
Al-Qur’an juga sangat jarang menyajikan suatu masalah
secara terperinci dan detail. Pembicaraan Al-Qur’an terhadap
suatu masalah pada umumnya bersifat global, parsial dan
seringkali menampilkan suatu masalah dalam prinsip
pokoknya saja
Keadaan demikian, sama sekali tidak berarti
mengurangi nilai Al-Qur’an. Sebaliknya justru di sanalah
letak keunikan sekaligus keistimewaannya. Dengan keadaan
v
seperti itu, Al-Qur’an malah menjadi obyek kajian yang tidak
pernah kering oleh para cendekiawan, baik muslum maupun
nonmuslim, sehingga ia tetap aktual sejak diturunkannya
empat belas abad yang lalu.
Dalam upaya memahami kandungan Al-Qur’an, para
ulama tafsir pada umumnya menafsirkan ayat demi ayat
sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, muncul gagasan untuk
mengungkap petunjuk Al-Qur’an terhadap suatu masalah
tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian
ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik yang
sama untuk kemudian dikaitkan antara satu ayat dengan ayat
lainnya, sehingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan
menyeluruh tentang masalah tersebut menurut petunjuk Al-
Qur’an. Menafsirkan al-Qur’an dengan langkah seperti ini
disebut dengan metode maudhû’î (tematik).
Salah satu masalah yang banyak diungkap dalam Al-
Qur’an ialah tentang sejarah dan kisah kaum-kaum terdahulu
yang mana tujuan pengungkapan kisah-kisah tersebut sebagai
pelajaran atau ‘ibrah bagi umat Islam yang mengimani Al-
Qur’an. Adapun diantara beberapa kisah yang diungkap atau
dideskripsikan dalam Al-Qur’an yakni kisah para Nabi dan
Rasul terdahulu beserta para umatnya. Diantara beberapa
kisah tersebut yang banyak di ungkap dalam Al-Qur’an ialah
kisah Nabi Ya’qub beserta anak cucu keturunannya yang di
dalam Al-Qur’an ia disebut Asbâth. Adapun makna Asbâth
yaitu anak keturunan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam dari keempat
orang istrinya Ya’qub memiliki 12 putra, yakni dari Lea atau
vi Menelusuri Genealogi Yahudi dalam Al-Qur’an
Layya enam orang putra, yaitu; Ruben, Simeon, Lewy,
Yahuda, Isakhar dan Zebulaon. Dari Rachel lahir dua orang
putra, yaitu ; Yusuf, dan Benyamin. Dari Bilha dua orang
anak, yaitu ; Dann dan Naftali. Kemudian dari Zilfa dua
orang putra, yaitu ; Gad dan Asyer. Putra-putra Nabi
Ya’qub inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya istilah
Banî Isrâ’îl. Mereka dan keturunannya yang banyak disebut
sebagai Al-Asbâth, yang berarti anak cucu. Sibith dalam
bangsa Yahudi adalah seperti suku bagi bangsa Arab dan
mereka yang berada dalam satu sibith berasal dari satu bapak.
Masing-masing anak Ya’qub kemudian menjadi bapak bagi
Sibith Banî Isrâ’îl. Maka seluruh Banî Isrâ’îl berasal dari putra-
putra Ya’qub yang berjumlah 12 orang.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Asbâth dalam Al-
Qur’an terdapat beberapa perdebatan dari para cendekiawan
Muslim atau para ulama mengenai definisi Asbâth itu sendiri
yang mana perbedaan pendapat mengenai definisi Asbâth
ini akan menimbulkan perdebatan akademik mengenai
kedudukan Asbâth, apakah Asbâth termasuk Nabi atau tidak
dan kapankah istilah Asbâth ini pertama kali dimunculkan
dalam Al-Qur’an dan sebagainya. Selain itu terdapat
beberapa masalah mengenai Asbâth yang akan dikaji dalam
buku ini termasuk bagaiamana perbedaan term Asbâth dan
Bani Isra’il.
Kemudian dalam buku ini juga akan membahas
tentang kaum Yahudi yang mana kaum Ahli Kitab terutama
kalangan Yahudi, adalah komunitas yang termasuk menonjol
keterlibatannya dalam perkembangan pembentukan
vii
keyakinan Islam. Kelompok ini seringkali berhadapan
dengan Nabi saw. baik dalam suasana keakraban maupun
permusuhan. Komunikasi dan interaksi mereka dengan Nabi
dan kaum muslimin telah menyebabkan banyak ayat Al-
Qur’an turun memberi respons, dan hubungan ini dalam
beberapa hal berakhir dengan konflik. Memang harus diakui
bahwa pada dasarnya yang menjadi sasaran awal Al-Qur’an
adalah situasi kota Mekkah. namun kemudian, tidak
terhindarkan, masyarakat Yahudi dan Nasrani ikut terlibat,
sebab dalam pandangan Al-Qur’an manusia sesungguhnya
umat yang satu. Untuk mengajak manusia melaksanakan
kebaikan dan meninggalkan tindakan-tindakan jahat dan
tidak bermoral, pertama sekali yang harus dilakukan adalah
meyakinkan mereka akan adanya konsekuensi-konsekuensi
dari semua perbuatannya, kebaikan akan dibalas dengan
pahala yang besar, sedangkan kejahatan akan mendatangkan
malapetaka yang merugikan. Karena itu Al-Qur’an selalu
menekankan pentingnya beriman kepada Allah swt dan
beriman kepada Hari Akhir dan beramal saleh. Berangkat
dari keyakinan inilah, persoalan-persoalan teologi mulai
muncul, dan para penentang Nabi di Mekah seringkali
menjadikan orang Yahudi sebagai konsultan mereka untuk
mendapatkan argumentasi melawan Nabi saw, akibatnya, Al-
Qur’an kemudian bukan hanya mengkritik konsep-konsep
teologi orang Yahudi yang di anggap menyimpang, tetapi
juga “membongkar” perilaku mereka sepanjang sejarah.
Nabi Muhammad saw. pada awalnya menaruh
harapan besar pada orang-orang Yahudi sebagai pendukung
viii Menelusuri Genealogi Yahudi dalam Al-Qur’an
bagi agama yang sedang beliau dakwahkan, sebab beliau
menganggap mereka memiliki basis keyakinan yang
bersumber pada ajaran yang sejalan dengan agama yang
beliau bawa. Interaksi Nabi Muhammad saw. dengan kaum
muslim di satu pihak, dengan pihak Yahudi di pihak lain
kemudian menjadi intens, dan wahyu pun turun memberikan
berbagai tanggapan, mengkritik dan pada akhirnya bahkan
mengecam tindakan-tindakan mereka yang ternyata tidak
seperti yang diharapkan, yakni justru menjadi penentang
utama bagi risalah yang dibawa Nabi saw. Perkembangan
sikap Al-Qur’an terhadap Yahudi ini menarik, karena ia
bergerak seiring dengan perkembangan kondisi politik dan
pembentukan masyarakat muslim masa awal.
Alasan mengapa buku ini membahas Asbâth, Bani
Isra’il dan Yahudi dalam Al-Qur’an adalah karena persoalan
tentang Asbâth, Bani Isra’il dan Yahudi telah menjadi topik
penting bukan hanya karena jarang diangkat secara serius
dalam diskursus keislaman, namun juga untuk urgensi
pengetahuan yang mendalam akan korelasi antara ketiga
term tersebut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa dari kedua belas putra nabi Ya’qub lah yang menjadi
cikal bakal Banî Isrâ’îl, yang kemudian sesudah keturunan
Isra’il atau Nabi Ya’qub berkembang banyak maka kaum
yang banyak ini disebut sebagai Asbâth yang terbagi dalam
dua belas suku Banî Isrâ’îl, sedangkan Yahudi berasal dari
salah satu keturunan dari dua belas suku Asbâth ini, maka
bisa ditarik kesimpulan bahwa Yahudi memiliki relasi dengan
Asbâth. Dari hipotesa ini, maka dalam buku ini mengkaji
ix
penelusuran sejarah term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi dan
bagaimana relasi antara ketiganya sesuai petunjuk ayat-ayat
dalam Al-Qur’an yang memakai ketigaa term tersebut.
Secara garis besar buku ini membahas analisis
terhadap presentasi Al-Qur’an tentang term Asbâth, Banî
Isrâ’îl dan Yahudi. Seperti telah disebutkan Al-Qur’an telah
berbicara banyak tentang Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi, dan
sepertinya umat inilah yang telah banyak menyita perhatian
yang lebih serius dan intensif dalam kitab suci Islam/ Al-
Qur’an dibanding umat-umat lain, selain umat Islam sendiri;
bahkan ketika Al-Qur’an berbicara tentang Ahli Kitab, pada
umumnya yang dimaksud adalah umat Yahudi. Al-Qur’an
kelihatannya bukan hanya merespons sikap kaum Yahudi
pada zaman Nabi Muhammad saw, tetapi juga memberikan
sejarah mereka yang panjang, pandangan keagamaan mereka,
dan berbagai tingkah laku mereka sepanjang sejarah, baik
positif maupun negatif. Karena itu sebuah penelaahan yang
sangat cermat diperlukan untuk menjelaskan kembali
bagaimana term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi dan
bagaimana Al-Qur’an mempersepsikan mereka sebagai
sebuah bangsa dan juga sebagai sebuah komunitas agama.
Sampai pada poin ini dapat dikatakan bahwa Yahudi
mendapat tempat yang “spesial” dalam kitab suci. Kenyataan
sejarah juga menunjukan mereka inilah satu-satunya
kelompok keagamaan yang paling intens berinteraksi dengan
Nabi Muhammad asw. sebagai pembawa Al-Qur’an. Dengan
kata lain mereka adalah kelompok yang ikut berperan dalam
membentuk milieu masyarakat penerima Al-Qur’an.
x Menelusuri Genealogi Yahudi dalam Al-Qur’an
Di samping dari apa yang telah dipaparkan di atas
ada beberapa faktor lain yang melatar belakangi penulis
untuk meneliti masalah term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi
ini, karena banyak pemahaman simpang siur yang banyak
dikonsumsi kalangan umum mengenai asal muasal Yahudi
dan beragam perdebatan seputar darimanakah Yahudi itu
berasal, apakah ia termasuk agama atau suku, kalau ia
merupakan agama, kapankah awal kemunculannya dan lain
sebagainya.
Dari persoalan di atas maka penelitian dalam buku
ini akan berusaha menjawab dan memberikan titik terang
persoalan tersebut dengan menelusuri sejarah yakni
menemukan korelasi antara Asbâth , Banî Isrâ’îl dan Yahudi
dalam pandangan Al-Qur’an sesuai informasi-informasi yang
diberitakan Allah dalam Al-Qur’an mengenai hal tersebut
dengan menggunakan metode tafsir maudhû’î (tematik).
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
METODE TAFSIR MAUDHÛ’Î
Bagian Pertama ini, pembaca akan dikenalkan
dasar-dasar pengetahuan tentang metode tafsir maudhû’î,
mulai dari definisi metode tafsir maudhû’î, sejarah
metode tafsir maudhû’î, bentuk-bentuk kajian metode
tafsir maudhû’î, langkah-langkah kerja metode tafsir
maudhû’î, kelebihan-kekurangan metode tafsir maudhû’î,
urgensi metode tafsir maudhû’î dan hal-hal yang harus
diperhatikan Penafsir maudhû’î.
Yang menarik dari bab pertama ini adalah diketahui
bahwa metode maudhû’î, ini adalah metode yang
sebenarnya sudah ada sejak dulu kala dengan bentuknya
yang masih sederhana yang belum dimaksudkan sebagai
metode yang memiliki karakter metodelogis yang berdiri
sendiri.
A. Definisi Tafsir Maudhû’î
Sejalan dengan perkembangan zaman, umat Islam
dihadapkan dengan berbagai persoalan yang semakin
kompleks. Pada saat bersamaan, mendapatkan jawaban
secara “instan” dari persoalan semakin digemari,
2
mendapat jawaban yang mudah.1 Al-Qur’an sebagai kitab
suci sepanjang masa diyakin memuat pemecahan masalah
dan persoalan tersebut. Hal ini kemudian membuat para
ahli tafsir untuk menyajikan jawaban persoalan yang terus
bermunculan. Menampilkan penafsiran yang praktis
dirasa sangat perlu. Penafsiran “yang praktis” yang
dimaksud disini adalah penafsiran yang secara khusus
membahas tema atau pokok permasalahan tertentu.
Dalam kaidah ilmu tafsir, disebut dengan penafsiran
metode maudhû’î (tematis).
Tafsir maudhû’î merupakan sebuah metode tafsir
yang dicetuskan oleh para ulama untuk memahami
makna-makna dalam ayat-ayat al- Qur’an. Untuk
mendapatkan pengetahuan yang komprehensif dan
mendalam tentang metode tafsir maudhû’î, maka akan
dipaparkan terlebih dahulu pengertian tafsir secara
umum.
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”,
berasal dari kata al-Fasr yang berarti menjelaskan,
menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna
yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba-
yadhribu” dan nashara yanshuru”. Dikatakan, “fasara
(asy- syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran” dan “fasarahu”
artinya abanahu (menjelaskannya). Kata al-tafsir dan al-
3
fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang
tertutup2.
Kata tafsir di ambil dari ungkapan orang Arab:
fassartu al-faras ( سرفلا ترسف), yang berarti saya
melepaskan kuda. Hal ini dianalogikan kepada seorang
penafsir yang melepaskan seluruh kemampuan berfikirnya
untuk bisa mengurai makna ayat al-Qur’an yang
tersembunyi di balik teks dan sulit dipahami3. Jika dilihat
dari semua pengertian di atas, maka tafsir secara bahasa
memiliki arti menyingkap sebuah makna ayat al-Qur’an.
Sedangkan tafsir secara terminologi atau istilah
para ulama dalam mendefinisikan berbeda pendapat
dalam sisi redaksinya, namun jika dilihat dari segi makna
dan tujuannya memiliki pengertian yang sama. Pengertian
tafsir memiliki dua sudut pandang, ada yang memaknai
tafsir sebagai disiplin ilmu ada yang memaknai tafsir
sebagai kegiatan atau aktifitas. Namun, menurut peneliti
lebih sepakat kepada pendapat pertama, yakni tafsir
sebagai sebuah ilmu4. Berikut beberapa pengertian tafsir
21Manna Khalil al Qatthan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir
AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 455.
3Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren)
Purna Siswa 2011 MHM Lirboyo Kota Kediri, Al-Qur’an
Kitab Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Kediri:
Lirboyo Press, 2013), h. 188.
4Tafsir memiliki aturan-aturan tersendiri didalamnya seperti kaidah-
kaidah penafsiran, metode penafsiran, syarat-syarat mufassir,
langkah-langkah menafsirkan, dan masih banyak lagi tentang
4
secara terminologinya:
1. Menurut Az Zarkasy yang dikutip oleh al-Suyuthi,
tafsir berarti ilmu untuk memahami kitab Allah Swt.
Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,
menjelaskan maknanya serta mengeluarkan hukum-
hukum dan hikmahnya5.
2. Menurut Abu Hayyan yang diikuti al-Alusi, tafsir
adalah disiplin ilmu yang mengkaji tentang cara
pengucapan hukumnya, baik yang partikular (juz’i)
maupun yang global (kulli), serta makna-makna yang
terkandung di dalamnya.
3. Tafsir merupakan ilmu yang mengkaji tentang aspek-
aspek yang meliputi al-Qur‟an yang dikonsentrasikan
terhadap maksud-maksud Allah Swt. yang tertuang di
dalam al-Qur‟an dengan kadar kemampuan manusia.
Secara umum kalau kita melihat pemaparan di atas,
bahwa tafsir merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk
mengkaji al-Qur’an secara komprehensif. Tafsir juga
merupakan kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami
dan menjelaskan kandungan al-Qur‟an dengan ilmu-ilmu
pengetahuan yang digunakan6.
Kata maudhû’î dinisbatkan kepada kata al-maudhû’,
yang berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau
pembahasan. Dalam bahasa Arab kata maudhû’î berasal
dari bahasa Arab (عوضوم) yang merupakan isim maf‟ul
dari fi‟il madzi (عضو) yang berarti meletakkan,
menjadikan, menghina, mendustakan dan membuat-buat7.
Secara semantik, tafsir maudhû’î berarti menafsirkan al-
Qur’an menurut tema atau topik tertentu. Dalam
bahasa indonesia biasa disebut dengan tafsir tematik8.
Tafsir menurut pendapat mayoritas ulama adalah
“Menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki
tujuan dan tema yang sama9.”
Semua ayat yang berkaitan tentang suatu tema
tersebut dikaji dan dihimpun yang berkaitan.
Pengkajiannya secara mendalam dan tuntas dari berbagai
aspek yang terkait dengannya seperti asbāb an-nuzūl,
kosakata dan lain sebagainya. Semua dijelaskan secara
rinci dan tuntas serta didkng oleh dalil-dalil atau fakta-
fakta yang dapat dipertanggng jawabkan secara ilmiah,
baik argumen itu berasal dari al-Qur‟an, hadits, maupun
pemikiran rasional10.
Al-Qur’an memang sesungguhnya menghimpun
tema-tema yang perlu digali dengan menggunkan metode
maudhû’î. Jika menafsirkan al- Qur‟an dengan metode
yang seperti ini kita akan bisa menetapkan syariat yang
cocok untuk setiap waktu dan tempat.11 Dari sana kita
bisa menetapkan undang-undang kehidupan yang siap
berhadapan dengan perubahan dinamika kehidupan,
undang-undang wadh’iyyah dan unsur eksternal yang kita
hadapi dalam keberagaman sehari-hari12.
Selama perjalanan hadirnya al-Qur’an, telah
diyakini bahwa akan selalu berdialog dengan setiap
generasi dan kondisi. Al-Qur’an harus mampu menjawab
segala tantangan kehidupan yang sangat beragam agar
nilai-nilai yang terkandung dapat terealisasi secara ideal.
Salah satu jalan yang di ambil adalah menafsirkan al-
Qur’an dengan metode maudhû’î (tematik)13.
Sesuai dengan namanya tematik, maka yang
menjadi ciri utama dari metode ini ialah menonjolkan
tema, judul, atau topik pembahasan, jadi ada yang
menyebut sebagai metode topikal. Mufassir akan
mencari tema-tema yang ada ditengah masyarakat yang
ada di dalam al-Qur‟an ataupun dari yang lainnya.
Tema-tema yang dipilih akan dikaji secara tuntas dari
berbagai aspek sesuai dengan petunjuk dalam ayat-ayat
yang akan ditafsirkan. Masalah-masalah yang ada harus
dikaji secara tuntas dan menyeluruh agar mendapatkan
sebuah solusi dari permasalahan tersebut14.
Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
yang dimaksud,maka metode tafsir ini lahir dan
mengikuti aturan-aturan perkembangan keilmuan yang
sering terjadi dalam metode-metode tafsir. Maka dari itu
metode ini memiliki beberapa tahapan atau periode yang
pada awalnya metode ini menginduk pada metode tafsir
klasik yang berperan sebagai pengasuhnya, kemudian
sesudah mandiri, metode ini memisahkan diri dan
memiliki sifat penafsiran (khas) terhadap tema-tema al-
Qur’an yang terlepas dari kerangka umum metode tafsir
B. Sejarah Tafsir Maudhû’î
Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an yang
seringkali dikenal dengan tafsir bil-ma’tsûr pada dasarnya
telah memperlihatkan keselarasan ayat-ayat al-Qur’an.
Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an ini pada dasarnya
menjadi cikal bakal atau bibit dari tafsir maudhû’î. Dalam
perkembangan berikutnya benih atau bibit tafsir maudhû’î
sangat banyak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir, hanya
saja masih dalam bentuknya yang sederhana, belum
mengambil bentuk yang lebih tegas dan bisa dikatakan
sebagai metode yang berdiri sendiri. Kadang-kadang
masih dalam bentuk yang sangat ringkas seperti yang
terdapat dalam tafsir karya Al-Fakhr al-Razi karya al-
Qurtuby dan karya Ibu al-‘Arabi. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa metode maudhû’î i ini adalah metode
yang sebenarnya sudah ada sejak dulu kala dengan
bentuknya yang masih sederhana yang belum
dimaksudkan sebagai metode yang memiliki karakter
metodelogis yang berdiri sendiri.
Bukti nyata keberadaan tafsir maudhû’î a telah ada
sejak zaman dulu, bisa juga disebut sejak zaman
Rasulullah, hal ini bisa kita lihat dari sejarah tentang
penafsiran Rasulullah terhadap kata ( ظالم ) yang
dihubungkan dengan kata syirik karena adanya
kesamaan makna.
Ali Khalil dalam komentarnya tentang riwayat ini
menegaskan bahwa dengan penafsiran ini Rasulullah
telah memberikan pelajaran kepada para sahabat bahwa
tindakan menghimpun sejumlah ayat dapat memperjelas
pokok masalah dan akan melenyapkan keraguan menurut
beliau, hal tersebut menunjukkan bahwa tafsir maudhû’î
telah dikenal sejak zaman Rasulullah, akan tetapi belum
memiliki karakter metodologis yang mampu berdiri
sendiri.
Contoh penafsiran yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah ketika itu ialah menjelaskan tentang arti
Zhulum dalam QS. al-An’am (6: 82).
َنْوَُدتْه ُّم ْمُهَو ُنَْمْلْا ُمَُهل َكِٕى
ٰۤ
ٰلُوا ٍمْلُظِب ْمَُهناَمِْيا ا ْْٓوُِسبْلَي ْمَلَو اُْونَمٰا َنْيِذََّلا
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
(syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Nabi saw. Menjelaskan bahwa zhulum yang
dimaksud adalah syirik sambil membaca firman Allah
dalam QS. Luqman (31:13)17.
ٌمْيِظَع ٌمْلَُظل َكْر ِ شلا َّنِاۗ ِ هللّٰاِب ْكِرُْشت َلْ َّيَُنبٰي ٗهُظَِعي َُوهَو ٖهِنْبِلْ ُنٰمُْقل َلاَق ْذِاَو
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar".
Perkembangan tafsir pada masa klasik agak kurang
peduli terhadap penafsiran al-Qur’an dengan cara tematik,
ada dua faktor ketidakpedulian ini: Pertama, metode
tematik ini mengarah kepada kajian spesialis yang
bertujuan mengkaji satu tema bahasan. Kedua Para
penafsir klasik tidak melakukan cara kajian yang seperti
ini karena pada masa lalu spesialisasi belum menjadi
tujuan kajian. Para penafsir klasik belum merasakan perlu
dan pentingnya untuk melakukan topik-topik tertentu
yang terdapat di dalam al-Quran. Hal ini disebabkan
karena para panafsir masa lalu hafal al-Qur’an dan ilmu
keislaman mereka sangat dalam serta mencakup semua
aspek, oleh sebab itu mereka berpotensi untuk
menghubungakan satu ayat dengan ayat yang lain yang ia
jelaskan melalui spesialisasi ilmunya.18
Pada perkembangan selanjutnya muncul perhatian
dan minat untuk melakukan pembahasan baru berdasar
corak tafsir maudhui, karena disebabkan oleh beberapa
faktor: Pertama, Al-Qu’ran sebagai kitab suci umat Islam
mengandung bermacam-macam ilmu yang bernilai tinggi
sehingga banyak tokoh ilmuan dan para penelit berupaya
mencapai khazanah al-Quran tersebut. Kedua, Banyaknya
minat terhadap kajian al-Qur’an dari orang-orang non-
Arab baik muslim ataupun non-muslim mempelajari
masalah-masalah yang dikandung dalam al-Qur’an
Dalam catatan Abdul Hayy al-Farmawi, selaku
pencetus dari metode tafsir ini adalah Muhammad
Abduh, kemudian ide pokoknya diberikan oleh Mahmud
Syaltut, yang kemudian dikenalkan secara konkret oleh
Sayyid Ahmad Kamal al-Kumy,19 yang ditulis dalam
karangannya yang berjudul al-Tafsir al-Maudhû’î Pada
tahun 1977, Abdul Hayy al- Farmawi yang posisinya
sedang menjabat sebagai guru besar pada fakultas
Ushuluddin al Azhar20.
Selain al-Farmawi, dalam referensi lain disebutkan
bahwa pelopor dari metode tafsir maudhû’î adalah
Muhammad Baqir al-Shadr. Dia merupakan tokoh
intelektual Syi’ah dalam kehidupan Islam Kontemporer
yang juga memberikan tawaran metodologis dalam dunia
penafsiran al- Qur’an21.
Keduanya sama-sama menawarkan langkah
metodologis penafsiran dalam rangka untuk mengajak
kaum muslim kembali pada pemahaman al-Qur’an secara
kaffah dan tidak parsial. Namun, perbedaan mendasar
dari kerangka yang di usung oleh Muhammad Baqir al-
Shadr adalah penekanannya pada pembacaan realitas
yang terjadi dalam masyarakat sebagai respon terhadap
keadaan sosial. Karena al-Qur’an bukanlah teks statis
atau obyek semu yang tidak bisa bergerak.
Mufassir maudhû’î harus memiliki gagasan-
gagasan yang ada pada masanya agar dia bisa
membandingkan hasil pengalaman manusia dengan al-
Qur’an, kemudian mempersilahkan al-Qur’an
mengungkapkan pendapatnya, sehingga mufassir bisa
menurunkan pendapat tersebut dari semua ayat-ayat
relevan yang dikumpulkan bersama-sama, bukan dari
satu ayat tunggal atau dua-tiga ayat. Gagasan utama
metode tafsir maudhû’î Muhammad Baqir al-Shadr
adalah penyatuan antara pengalaman manusia atau
realitas sosial dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang
kemudian disebut dengan metode tafsir tauhidi.22
Terlepas dari semua itu, penulis akan tetap
memfokuskan kepada konsep yang telah di usung oleh
al- Farmawi yang telah memiliki karya dengan judul al-
Bidayah fī Tafsir al- Maudhû’î Dirāsah Manhājiyah
Maudu‘iyah, dalam karangannya ini beliau menyebutkan
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
menerapkan tafsir maudhû’î 23.
Kemudian di Indonesia sendiri metode maudhû’î
dikembangkan oleh M. Quraish Shihab. Buah dari tafsir
model ini menurut M. Quraish Shihab di antaranya
adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad, al-
Insan fī al-Qur’an, al-Mar’ah fī al-Qur’an, dan karya
Abul A’la Al- Maududi, al-Riba fī al-Qur’an24.
Sebagai tambahan, terdapat tafsir Ahkam al-
Qur`an karya al-Jassas (w. 370 H), tafsir al-Jāmi’ Li
Ahkam al-Qur’an karya Abu Abdullah Muhammad bin
Ahmad al-Anshary al-Qurtuby (w. 671 H). Kedua contoh
ini adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang
diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an25.
Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir
tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir.
Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis
dan sistematis berkembang di masa kontemporer.
Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal
abad ke 20, baik tematik berdasarkan surah al-Qur’an
maupun tematik berdasar subyek/ topik.
C. Bentuk-bentuk Kajian Tafsir Maudhû’î
Secara umum menurut al-Farmawi, metode tafsir
maudhû’î memiliki dua macam bentuk. Keduanya
memiliki tujuan yang sama, yakni menyingkap hukum-
hukum, keterkaitan, dan ketertkaitan di dalam al- Qur’an;
menepis anggapan adanya pengulangan di dalam al-
Qur‟an sebagaimana yang dilontarkan para orientalis, dan
menangkap petunjuk al- Qur’an mengenai kemaslahatan
makhluk, berupa undang-undang syariat yang adil yang
mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat.26 Tafsir
maudhû’î mempunyai dua bentuk kajian yaitu tafsir
maudhû’î per-surah dan tafsir maudhû’î per-tema.
Bentuk pertama, tafsir maudhû’î per-surah yaitu
Tafsir maudhû’î yang membahas satu surah secara utuh
dan menyeluruh dan menjelaskan maksudnya yang
bersifat umum dan khusus serta menjelaskan korelasi
antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga
surah tersebut tampak dalam bentuknya yang betul-betul
Berkenaan dengan metode ini, al-Syathibi sebagai
diikuti oleh al- Farmawi, mengatakan bahwa satu surat
al-Qur‟an mengandung banyak masalah, yang pada
dasarnya masalah-masalah itu satu, karena hakikatnya
menunjuk pada satu maksud. Menurut M. Quraish
Shihab, biasanya kandungan pesan satu surat
diisyaratkan oleh nama surat tersebut, selama nama
tersebut bersumber dari informasi Rasulullah saw.28
Contoh kitab tafsir bentuk ini adalah al-Tafsir al-
Wadhīh, karya Muhammad Mahmud Hijazi dan Nahwa
Tafsir maudhû’î li Suwar al- Qur’an al-Karīm karya
Muhammad al-Ghazali, Sirāh al-Waqi’ah wa Manhājuha
fi al-‘Aqa’id karya Muhammad Gharib dan karya tafsir
yang lainnya29.
Adapun bentuk kedua, tafsir maudhû’î per-tema
Menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surah yang
sama-sama membicarakan satu masalah tertentu
kemudian ayat-ayat disusun sedemikian rupa dan
diletakkan di bawah suatu tema bahasan yang dan
selanjutnya ditafsirkan secara maudhû’î.30 Bentuk kajian
maudhû’î per-tema seperti ini lah yang biasanya
terbayang dipikiran kita ketika disebutkan tafsir
maudhû’î dan Al-Farmawi menjadikan bentuk kajian
tafsir tematik per-tema ini sebagai konsentrasi
pembahasannya dalam menjelaskan tafsir maudhû’î.
Banyak kitab-kitab tafsir maudhû’î yang
menggunakan bentuk seperti ini, baik pada era klasik
maupun kontemporer sekarang ini. Mulai dari yang
membahas i’jaz al-Qur’an, nasikh-mansukh, ahkam al-
Qur’an dan lainnya. Contohnya adalah al-Mar’ah fī al-
Qur’an dan al-insan fī al- Qur’an al-Karīm karya Abbas
Mahmud al-Aqqad, Dustur al-Akhlaq fī al- Qur’an karya
Muhammad Abdullah Darraz dan kitab-kitabnya31.
Fahd al-Rumi menambahkan satu macam lagi,
yakni tafsir yang membahas satu kalimat saja dengan
mengumpulkan semua ayat-ayat yang menggunakan
kalimat atau derivasi dan akar kalimat tersebut,
kemudian menafsirkannya satu persatu dan
mengemukakan dalil dan penggunaanya dalam al-
Qur’an. Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode
ini adalah Kalimah al-Haqq Fī al-Qur’an al-Karīm karya
Muhammad bin ‘Abd al- Rahman Al-Rawi, Al-
Mushthalahat al-Arba’ah Fī al-Qur’an (al-Ilah, al- Rabb,
al-‘Ibadah, al-Dīn) karya Abi al-A’la al-Maududi32.
D. Langkah-Langkah Kerja Metode Tafsir Maudhû’î
Sistematika penyajian tafsir secara tematik atau
maudhû’î adalah sebuah bentuk rangkaian penulisan karya
tafsir yang struktur pemaparannya mengacu pada tema
tertentu atau pada ayat, surat atau juz tertentu yang
ditentukan oleh penafsir sendiri.
Dalam sistematika temetik ini, mufassir biasanya
mengumpulkan seluruh kata kunci yang ada dalam al-
Qur’an yang dipandang terkait dengan tema kajian yang
dipilihnya. Sistematika penyajian tematik ini (meskipun
bersifat teknis) memiliki cakupan kajian yang lebih
spesifik, mengerucut dan mempunyai pengaruh dalam
proses penafsiran yang bersifat metodologis. Bila
dibandingkan dengan model penyajian runtut, sistematika
tematik ini memiliki kelebihan tersendiri. Salah satunya
adalah membentuk arah penafsiran menjadi lebih fokus
dan memungkinkan adanya tafsir antar ayat al-Qur’an
Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah
yang harus ditempuh oleh mufassir. Seperti yang
dikemukakan oleh al-Farmawi sebagai berikut34:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
Hal ini dilakukan sesudah menentukan batasan-
batasan dan mengetahui jangkauan yang akan dibahas
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Menurut M. Quraish Shihab,
walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan
yang diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau
tidak, untuk menghindari kesan keterkaitan yang
dihasilkan oleh metode tahlīlī akibat pembahasan-
pembahasannya terlalu bersifat sangat teoritis, maka
akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas itu
diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh
masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa, mufasir maudhû’î
diharapkan agar lebih dahulu mempelajari problem-
problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran
yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban al-Qur’an
menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit, dan
sebagainya35. Dengan demikian corak dan metode
penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap
problem masyarakat tertentu di lokasi tertentu dan tidak
harus memberi jawaban terhadap mereka yang hidup
sesudah generasinya, atau yang tinggal diluar
wilayahnya36.
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu
masalah tertentu.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa
turunnya, disertai pengetahuan tentang asbāb an-
nuzūl.
Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui
perkembangan petunjuk al-Qur’an menyangkut persoalan
yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada
nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. Bagi mereka yang
bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian, maka
runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis
suatu peristiwa37.
Terkait asbāb an-nuzūl, hal tersebut tidak bisa di
abaikan begitu saja dalam proses penafsiran38. Ia
memiliki peranan yang sangat besar dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an. Asbāb an-nuzūl harus jadi
pertimbangan tersendiri untuk memahami ayat-ayat al-
Qur’an39.
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam
suratnya masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang
sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang
relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat yang ditafsirkan secara
38Menurut Baqir Al-Shadr, asbabbun nuzul bukanlah peristiwa yang
menjadi penyebab utama diturunkannya ayat, karena hal ini
berarti menggantungkan kehendak Allah dengan perbuatan-
perbuatan manusia padahal Allah Maha berkehendak. Asbabun
nuzul merupakan peristiwa yang mengiringi turunnya sebuah
ayat. Lilik Ummi Kaltsum, Mendialogkan Realitas Dengan
keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat
tersebut yang mempunyai pengertian yang sama,
atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan
yang khas (khusus, mutlak dan muqayyad (terikat) ),
atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga
semuanya bertemu dalam satu muara tanpa
perbedaan ataupun pemaksaan dalam penafsiran40.
E. Kelebihan Metode Tafsir Maudhû’î
Jika diamati dengan seksama, metode tafsir
maudhû’î ini sesuai dengan selera, pemikiran dan
kebutuhan masyarakat sekarang di zaman modern.
Telaah-telah qur‟ani memang harus terus dilakukan sesuai
dengan kebutuhan zaman modern saat ini, agar manusia
juga tenang dalam menghadapi berbagai tantangan dan
perkembangan IPTEK41. Disamping kekurangan dari tiap
sesuatu pasti memiliki kelebihan, begitu dalam metode
tafsir maudhû’î ini. Peneliti membagi menjadi dua
kelebihan dalam metode tafsir ini, yaitu kelebihan teoritis
dan praktis42.
1. Kelebihan teoritis43
a. Menjawab tantangan zaman.
Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh
dan berkembang sesuai dengan perkembangan
kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan,
permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit,
serta mempunyai dampak yang luas. Hal itu
dimungkinkan karena apa yang terjadi pada suatu tempat
pada saat yang bersamaan dapat disaksikan oleh
orang lain ditempat lain pula. Bahkan peristiwa yang
terjadi di ruang angkasa pun dapat di pantau dari bumi.
Kondisi semisal inilah yang membuat permasalahan
segera merebak ke seluruh masyarakat dalam waktu
yang singkat.
Melihat permasalahan di atas, maka jika dilihat
dari sudut tafsir al-Qur’an, tidak bisa diselesaikan
dengan selain metode tematik. Hal ini dikarenakan
kajian metode tematik ditujukan untuk menyelesaikan
permasalahan. Dengan pola dalam metode ini diharapkan
mampu menjawab tantangan-tantangan zaman.
b. Praktis dan sistematis
Tafsir dengan metode ini disusun secara
praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan
yang timbul. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan
kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas
yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya
waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar,
padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an mereka
harus membacanya. Dengan adanya tafsir tematik,
mereka akan mendapatkan petunjuk al-Qur’an secara
praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat
waktu, efektif, dan efisien.
c. Dinamis
Metode tematik membuat metode tafsir al-
Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman
sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca
dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa
mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi
ini pada semua lapisan strata sosial. Dengan demikian,
terasa sekali bahwa al-Qur’an selalu aktual (Updated) tak
pernah ketinggalan zaman (Outdate). Dengan
tumbuhnya kondisi serupa itu, maka umat akan tertarik
mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an karena mereka
merasa betul-betul dapat membimbing mereka ke jalan
yang benar.
24
d. Memberikan Pemahaman yang Utuh
Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan di
bahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat
diserap secara utuh. Pemahaman serupa itu sulit
menemukannya di dalam ketiga metode tafsir lain
(Tahlili, Ijmali, Muqaran). Maka dari itu, metode
tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu
permasalahan secara lebih baik dan tuntas.
2. Kelebihan Praktis
Selain kelebihan teoritis, metode tafsir maudhû’î ini
juga memeiliki kelebihan praktis sebagai berikut:
a. Metode ini menghimpun semua ayat yang memiliki
kesamaan tema. Ayat yang satu menafsirkan ayat
yang lainnya. Karena itu, metode ini juga dalam
beberapa hal sama dengan tafsir bi al- ma’tsûr.
b. Peneliti dapat melihat keterkaitan anatarayat yang
memiliki kesamaan tema. Oleh karena itu, metode ini
dapat menangkap makna, petunjuk, keindahan, dan
kefasihan al-Qur’an.
c. Peneliti dapat menangkap ide al-Qur‟an yang
sempurna dari ayat- ayat yang memiliki kesamaan
tema.
d. Metode ini dapat menyelesaikan kesan kontradiksi
antarayat al- Qur’an yang selama ini dilontarkan oleh
pihak-pihak tertentu yang memiliki maksud jelek,
25
dan dapat menghilangkan kesan permusuhan antara
agama dan ilmu pengetahuan.
e. Metode ini sesuai dengan tuntutan zaman modern
yang mengharuskan kita merumuskan hukum-hukum
universal yang bersumber dari al-Qur’an bagi seluruh
negara Islam.
f. Dengan metode ini semua juru dakwah, baik yang
profesional maupun amatiran, dapat menangkap
seluruh tema-tema al-Qur’an. Metode ini juga
memungkinkan mereka untuk sampai kepada hukum-
hukum Allah dengan cara yang jelas dan mendalam,
serta memastikan kita untuk menyingkap rahasia dan
kemuskilan al- Qur’an sehingga hati dan akal kita
merasa puas terhadap aturan- aturan yang telah
ditetapkan-Nya kepada kita.
g. Metode ini dapat membantu para pelajar secara
umum untuk sampai kepada petunjuk al-Qur’an tanpa
harus merasa lelah dan bertele-tele menyimak uraian
kitab-kitab tafsir yang beragam itu.
h. Kondisi saat ini sebagaimana dikatakan as-Sayyid al-
Kumi, membutuhkan sebuah metode tafsir yang lebih
cepat menemukan pesan-pesan al-Qur‟an, khususnya
pada zaman sekarang ketika atmosfir agama banyak
dikotori oleh debu-debu penyimpangan, dan langit
kemanusiaan telah ditutupi awan kesesatan dan
26
kemusyrikan44.
F. Kekurangan Metode Tafsir Maudhû’î
Tidak dapat dipungkiri bahwa sesuatu selain
memiliki kelebihan akan juga memeiliki kekurangan,
begitupun dengan metode tafsir maudhû’î memiliki
beberapa kekurangan, beberapa kekurangan tersebut
dijelasjkan sebagai berikut:
1. Memenggal ayat al-Qur’an
Memenggal yang dimaksud disini adalah mengambil
satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih
yang mengandung banyak permasalahan berbeda.
Misalnya petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya
bentuk kedua ibadah ini di ungkapkan bersamaan dalam
satu ayat. Apabila membahas tentang kajian zakat,
misalnya, maka mau tak mau ayat tentang shalat harus
ditinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar
tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
2. Membatasi pemahaman ayat
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka
pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada
permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir
terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat
itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena, seperti
dinyatakan Darraz bahwa ayat al-Qur’an itu bagaikan
permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya.
Jadi, dengan ditetapkannya judul pembahasan, berarti
yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.
Dengan demikian dapat menimbulkan kesan kurang luas
pemahamannya. Kondisi yang digambarkan itu memang
merupakan kosekuensi logis dari metode tematik45.
G. Urgensi Metode Tafsir Maudhû’î
Sejak kemunculannya, melalui penyesuaian aturan-
aturan dan syariat-syariatnya dengan keadaan masyarakat
pada waktu itu, Islam telah mengetahui cara agar dapat
diterima ditengah-tengah masyarakat. Yang demikian itu
karena sisi sosial dalam Islam tidak disebutkan Rasulullah
saw sebagai suatu teori umum dan dasar hukum dalam
bermasyarakat dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya. sesudah itu barulah muncul syariat yang
kemudian dijadikan sebagai sebuah tatanan oleh
masyarakat luas.
Umat Islam dahulu selalu berusaha untuk
menerapkan secara langsung undang-undang Islam,
dengan alasan semua yang termaktub dalam al-Qur‟an
adalah syariat yang tidak bisa ditawar lagi tanpa harus
melihat kondisi sosial (tekstual)46. Mungkin hal yang
semacam inilah yang akan tidak menjadikan Islam lebih
progresif dan berkembang untuk menjawab tantangan-
tantangan zaman. Metode tafsir maudhû’î lah yang nanti
akan memberi solusi yang solutif bagi kehidupan
masyarakat.
Secara fungsionalnya, memang metode tafsir
maudhû’î ini diperuntukkan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan kehidupan di muka bumi ini.
Dari sini memberikan implikasi bahwa metode ini
memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat
agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar sesuai
dengan maksud diturunkannya al-Qur’an47.
Berangkat dari pemikiran yang demikianlah, maka
kedudukan metode ini menjadi kuat dalam khazanah
intelektual Islam. Oleh karenanya, metode ini perlu
dipunyai oleh para ulama, khususnya para mufassir agar
mereka dapat memberikan kontribusi menuntun
kehidupan di muka bumi ini kejalan yang benar demi
meraih kebahagiaan dunia dan di akhirat.
Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal meengatakan bahwa
pemahaman yang fleksibel terhadap Islam dan sumber-
sumbernya adalah hal yang niscaya demi mengembangkan
pandangan yang sesuai dengan kondisi modern.
Terjadi pemahaman yang terkotak-kotak dalam
memahami ayat- ayat al-Qur’an, sebagai akibat dari tidak
dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini
sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif
atau penyimpangan yang jauh dalam memahami al-
Qur’an48. Padahal al-Qur’an berdialog dengan seluruh
manusia di setiap masyarakat, sejak turunnya hingga akhir
zaman. Maka, jika kitab suci ini menganjurkan kita
untuk memikirkan maksud-maksud ayat-ayatnya, dan
mengecam mengabaikannya, dengan memperhatikan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kondisi sosial, latar belakang
pendidikan dan lain-lain49.
Tafsir maudhû’î hadir ditengah-tengah kebutuhan
masyarakat saat ini, pada hakikatnya timbul akibat
adanya keinginan untuk memaparkan Islam dan
pemahaman-pemahaman al-Qur‟an secara teoritis,
mencakup dasar-dasar agama yang menjadi sumber bagi
seluruh rincian perkara- perkara syariat. Yang dengan
demikian memungkinkan kita untuk mengetahui teori-
teori umum, melalui syariat dan undang-undang Islam.
Hal itu karena antara teori dan penerapannya dalam Islam
memiliki keterikatan yang sangat kuat50.
H. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh penafsir
Maudhû’î
Ada beberapa hal yang seharusnya diperhatikan oleh
seorang penafsir yang memakai metode maudhu’i ini,
antara lain:
1. Penafsir harus menyadari betul bahwa dengan
menggunakan metode ini tidak berarti ia menafsirkan
seluruh al-Quran.
2. Penafsir harus ingat bahwa ia hanya ingin membahas
satu masalah pokok bahasan sehingga tidak akan
menyimpang dari masalah yang telah ditetapkan.
3. Penafsir harus memperhatikan tahapan-tahaan al-
Quran dalam menurunkan hukumnya.
4. Dalam menafsirkan suatu pokok masalah seorang
penafsir harus secara konsisten menerapkan semua
prinsip operasional metode maudhû’î51
sesudah memahami berbagai hal mengenai metode
tafsir maudhû’î, maka di bab selanjutnya akan membahas
beberapa tema yang mengaplikasikan langkah kerja
metode tafsir maudhû’î guna menelusuri geneologi yahudi
dalam Al-Qur’an.
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI TERM ASBÂTH,
BANÎ ISRÂ’ÎL DAN YAHUDI
Pada Bagian kedua ini, pembaca akan diberikan
informasi mengenai tinjauan/ wawasan umum tenang
term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi. Pembahasan
dimulai dari definisi Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi,
pengungkapan term Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi
dalam al-Qur’an, perbedaan antara term Asbâth, Banî
Isrâ’îl dan Yahudi dan terakhir term yang berkaitan
dengan Asbâth, Banî Isrâ’îl dan Yahudi yang diebutkan
dalam al-Qur’an.
A. Definisi Term Asbâth
Kata Asbâth berasal dari akar kata sa, ba dan tha,
yang secara literal berarti banyak atau lebat, dan arti
sibthun yaitu anak cucu bagaikan pepohonan yang lebat
lagi banyak dahannya52. Sedangkan makna Asbâth
menurut terminology yaitu dua belas orang dari anak
keturunan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yang masing-
masing dari dua belas putra tersebut melahirkan suatu
kaum yang menjadi dua belas suku Bani Isrâîl53. Dari
keempat orang istrinya Ya’qub memiliki 12 putra, yakni
dari Lea atau Layya enam orang putra, yaitu; Ruben,
Simeon, Lewy, Yahuda, Isakhar dan Zebulaon. Dari
Rachel lahir dua orang putra, yaitu; Yusuf, dan Benyamin.
Dari Bilha dua orang anak, yaitu; Dann dan Naftali.
Kemudian dari Zilfa dua orang putra ,yaitu ; Gad dan
Asyer54.
Putra-putra Ya’qub inilah yang merupakan cikal
bakal lahirnya istilah Bani Israil. Kemudian ketika
mereka berkembang menjadi kaum yang banyak maka
mereka disebut sebagai al-Asbâth, yang berarti anak
cucu55. Sibith dalam bangsa Yahudi adalah seperti suku
bagi bangsa Arab dan mereka yang berada dalam satu
sibith berasal dari satu bapak. Masing-masing anak
Ya’qub kemudian menjadi bapak bagi sibith Bani Israil.
Maka seluruh Bani Israil berasal dari putra-putra Ya’qub
yang berjumlah dua belas orang56.
Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan
mengenai makna al-Asbâth sebagai berikut:
1. Bisyr bin Mu’adz menceritakan kepada kami,
katanya: Yazid menceritakan kepada kami, katanya
Sa’id menceritakan kepada kami, dari Qatadah,
katanya al-Asbâth adalah Yusuf dan saudaranya,
keturunan Ya’qub, yang berjumlah dua belas orang,
dan setiap orang diantara mereka melahirkan sebuah
kaum, mereka inilah yang disebut al-Asbâth57.
2. Al-Mutsanna menceritakan kepada kami, katanya:
Ishaq menceritakan kepada kami, katanya: Ibnu Abi
Ja’far menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari
Rabi’ katanya: al-Asbâth adalah Yusuf dan
saudaranya, anak-anak Ya’qub yang berjumlah
duabelas orang, setiap orang melahirkan sebuah
kaum, mereka inilah yang disebut al-Asbâth58.
B. Definisi Term Banî Isâ’îl
Uraian mengenai term Banî Isrâ’il di samping
Asbâth dan Yahudi, diperlukan untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang pandangan Alquran terhadap
kelompok-kelompok tersebut, karena banyak kalangan
yang belum bisa membedakan antara ketiga istilah
tersebut atau memilik perspektif yang menyamakan Bani
Isra’il dan Yahudi.
Kata Banû (Banî) berasal dari akar kata ba’, nûn
dan wâw, yang secara literal mengandung pengertian
sesuatu yang lahir dari yang lain59. Dalam Alquran, kata
yang berasal dari akar kata tersebut ditemukan sebanyak
161 kali60. Kata Banî itu sendiri disebutkan sebanyak 49
kali, 41 kali diantaranya dikaitkan dengan Isrâ’îl61.
Selebihnya 6 kali dikaitkan dengan keturunan Adam62.
Sedang dua kali diantaranya dalam Q.S. al-Nur (24): 31
berbicara tentang putra saudara laki-laki dan perempuan.
Dari ayat-ayat tersebut, ternyata bahwa term Banî,
semuanya mengisyaratkan adanya hubungan darah.
Sedang kata Isrâ’îl , ditemukan sebanyak 43 kali
dalam Alquran 63. Dua kali menunjuk kepada Nabi
Ya’qub64, selebihnya dikaitkan dengan keturunannya.
Kata Isrâ’îl itu berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri dua
kata isrâ’ yang berarti hamba atau kekasih65, dan El yang
berarti Tuhan66, Sehingga Isrâ’îl berarti hamba Allah
atau kekasih Allah.
Para ulama sepakat bahwa term Isrâ’il dalam
Alquran menunjuk kepada Nabi Ya’qub a.s67. Menurut
Muhammad Rasyid Ridla, di samping term Isrâ’îl
menunjuk kepada Nabi Ya’qub a.s., ia juga dapat
menunjuk kepada bangsa Isrâ’îl68. Penyebutan Nabi
Ya’qub a.s. dengan Isrâ’îl dalam arti hamba atau kekasih
Allah, menunjukan betapa dekatnya hubungan beliau
dengan Allah sekaligus menunjukan bahwa Nabi Ya’qub
adalah seorang nabi yang ikhlas berjuang di jalan Allah.
Di samping itu, kata hamba menunjukan panggilan
terhormat dari kecintaan Allah kepada hamba-Nya69.
Menurut al-Thabâthaba’î, Nabi Ya’qub disebut
Isrâ’îl karena beliau seorang pejuang yang sangat teguh
dan kokoh di jalan Allah untuk mencapai keridhaan-
Nya70. Gelar itu secara sendiri diberikan Allah kepadanya
sesudah beliau kembali dari Faddan-Aram71. Dari
keterangan tersebut, dapat dinyatakan bahwa Banî Isrâ’îl
lebih banyak mengacu kepada etnis dalam arti keturunan
Nabi Ya’qub a.s72.
Kata Banî Isrâ’îl diungkap dalam Alquran
sebanyak 43 kali73, yang secara umum menunjukkan
bahwa Banî Isrâ’îl merupakan bangsa yang dikasihi
Tuhan. Tetapi di sisi lain menunjukkan, bangsa Isrâ’îl
merupakan bangsa paling nakal, sukar diatur, bersikap
ekslusif dan suka berbuat kerusakan.
Sebagai bangsa yang dikasihi Tuhan, antara lain
dapat dilihat dari seruan yang disampaikan oleh para Nabi
dan Rasul yang diutus kepada mereka silih berganti,
misalnya seruan mesra Nabi ‘Îsâ a.s. agar mereka
mengikuti ajaran yang dibawanya sebagai pelanjut dari
ajaran Nabi Mûsâ a.s.74 Seruan dan ajakan tersebut
diterima baik oleh sebagian di antara mereka, tetapi
sebagian lainnya memusuhi dan menolak Nabi ‘Îsâ a.s.
dan ajarannya.75 Panggilan serupa juga datang dari Allah,
disampaikan melalui para Rasul yang diutus kepada
mereka agar tetap berjalan di atas jalan yang benar,
seperti diungkapkan 76:
َيََّٰييإَو مُكيدهَعيب يفُوأ ييدهَعيب ْاوُفَوأَو مُكيَلَع ُتمَعَنأ يتَِّلٱ َ يتَِمع
ين ْاوُرُكذٱ َلييءََٰرسيإ ينَِبََٰي ينوُبَهرَٱف٤٠
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku
anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-
Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya
kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk)” (QS. al-
Baqarah [2] : 40)
Menurut al-Qasimî, ayat tersebut mengindikasikan
bahwa Allah menggugah Banî Isrâ’îl agar mengingat
nikmat Allah dengan menyebut nenek moyang mereka
yaitu Ya’qub a.s. Disini, seolah-olah Allah berfirman
kepada mereka, wahai keturunan hamba yang saleh lagi
taat kepada Allah, jadilah kalian seperti nenek moyang
kalian yaitu Isrâ’îl77.
Nikmat yang diberikan Allah kepada Banî Isrâ’îl
yang berupa kesenangan hidup duniawi; dikaruniakan
kepada mereka al-manna wa al-salwa.78 Hal demikian
dapat diliaht melalui informasi Alquran:79
َّنَ
لمٱ ُمُكيَلَع اَنلَّز َنَو ََنيمَلأٱ يروُّطلٱ َبيناَج مُكََٰندَع ََٰوَو مُكي وُدَع ني م مُكََٰنيَنجَأ دَق َلي
يءََٰرسيإ ينَِبََٰي َٰىَولَّسلٱَو
٨٠
“Hai Bani Israil, sesungguhnya Kami telah
menyelamatkan kamu sekalian dari musuhmu, dan Kami
telah mengadakan perjanjian dengan kamu sekalian
(untuk munajat) di sebelah kanan gunung itu dan Kami
telah menurunkan kepada kamu sekalian manna dan
salwa” (QS. Thâhâ [20]: 80)
Di samping nikmat yang berlimpah ruah yang
dianugerahkan Allah kepada Banî Isrâ’îl, Allah juga
menyelamatkan mereka dari marabahaya yang
mengancam jiwa maupun harta benda mereka80. Mereka
juga diberikan tempat tinggal untuk kehidupan yang
nyaman di muka bumi81. Merekapun diberikan kebebasan
oleh Allah untuk memakan makanan yang baik dan halal,
kecuali beberapa jenis makanan tertentu yang telah
diharamkan Allah kepada nenek moyang mereka Isrâ’îl82.
Agar mereka tetap berjalan di atas petunjuk
kebenaran, Allah juga mengutus beberapa orang Rasul
kepada mereka silih berganti. Hal tersebut antara lain
dimaksudkan agar mereka tetap berpegang teguh pada
janji yang telah mereka ikrarkan dengan Tuhan yang
disebut al-mîtsâq83. Para Rasul itu juga datang untuk
membebaskan Banî Isrâ’îl dari penindasan yang dilakukan
bangsa lain, seperti Fir’aun84. Para Nabi dan Rasul yang
diutus kepada Banî Isrâ’îl, juga dilengkapi dengan kitab
suci sebagai pedoman hidup85. Para Rasul pun dilengkapi
dengan mu’jizat sebagai bukti kerasulan mereka agar
Banî Isrâ’îl yakin akan kebenaran misi yang mereka
bawa.86
Berbagai bentuk peraturan dan hukum dibawa para
nabi dan rasul untuk mengatur tatanan kehidupan
manusia agar tercipta stabilitas dan perdamaian di antara
mereka, seperti hukum mengenai pembunuhan87. Akan
tetapi, ajaran yang dibawa para nabi dan rasul silih
berganti itu tidak ada yang langgeng, karena Banî Isrâ’îl
termasuk umat yang sangat sulit diatur, sangat mudah
melanggar janji dan melupakan nikmat Tuhan.
Pengungkapan term Banî Isrâ’îl juga dikaitkan
dengan sikap dan perilaku mereka yang melakukan
pengerusakan di muka bumi88. Merekapun mendapat
laknat Tuhan sebagai akibat pelanggaran dan keingkaran
kepada Tuhan melalui para nabi dan rasul yang diutus
kepada mereka89.
C. Definisi Term Yahudi
Secara terminologis kata al-Yahûdu berasal dari
kata Hâda yahûdu hauwdan, yang berarti kembali90,
kemudian kata tersebut berkembang menjadi al-Tahwid ,
yang berarti berjalan merangkak ataupun merayap.
Adapun makna al-Hawdu itu sendiri umumnya di artikan
dengan taubat91.
Dari sisi lain istilah Yahudi menunjuk sebutan
kepada Bani Israil92 yang berasal dari keturunan anak
cucu Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim. Ya’qub mempunyai
dua belas orang anak, dan keturunan mereka disebut
dengan istilah al-Asbâth. Mengenai penamaan Banî Isrâ’îl
dengan Yahudi, menurut Abd Al-Qadir Syaibat Al-
Hamd93, dalam bukunya Al-Adyan wa al-Firaq wa al-
Madzâhib al-Muâshirat didasarkan atas empat
kemungkinan :
a. Dari kata al-Hawdu, yang berarti kembali taubat. Hal
ini berdasarkan atas firman Allah swt:
َكَيليإ َنَّدُه َّنَّيإ يةَر يخلأٱ يفَِو ةَنَسَح اَينُّدلٱ يهيذ ََٰه يفِ اََنل بُتكٱَو…
“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia dan
akhirat Sesungguhnya kami kembali bertaubat
kepada engkau...” (Q.S. Al-A’raf, [7]:156).
Ayat ini secara kontekstual mengandung arti bahwa
orang-orang Yahudi itu kembali bertaubat dan
tunduk kepada Allah swt. sesudah mereka menyembah
anak lembu94.
b. Dari kata al-Tahwid , yang berarti berbicara dengan
pelan, suara sengau dari rongga hidung95. Kebiasaan
ini sengaja dilakukan oleh pendeta Yahudi ketika
membaca Taurat untuk orang awam guna membentuk
persepsi bahwa yang mereka bacakan berasal dari
Allah swt., padahal bukan. Hal ini dapat difahami
dari surat Ali-I’mrân, 3:78:
ُوَلي اقييرَفَل مُهن يم َّنيإَوۥ َوُه َنوُلوُق َيَو يبََٰتيكلٱ َنيم َوُه اَمَو يبََٰتيكلٱ َنيم ُهوُبَسحَتيل يبََٰتيكلٱيب مُه َت َن يسَلأ َن
َنوُمَلَعي مُهَو َبيذَكلٱ يَّللَّٱ ىَلَع َنوُلوُق َيَو يَّللَّٱ يدنيع نيم َوُه اَمَو يَّللَّٱ يدنيع نيم
“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang
memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya
kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari
Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka
mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi
Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka
berkata dusta terhadap Allah sedang mereka
mengetahui.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 78)
c. Dari nama Yahudza, saudara Yusuf as. salah seorang
anak nabi Ya’qub as. Kemudian huruf dzal
mengalami perubahan menjadi dal sehingga menjadi
Yahuda96.
d. Dari kata Al-Muwâhadat, yang berarti janji. Latar
belakang pengambilan kata ini didasarkan atas firman
Allah swt. dalam surat Al-A’raf, 7:142:
يهي بَر ُت ََٰقي يم َّمَت َف رشَعيب اَهََٰنَمتمأَو ةَلَيل َينيثََٰل َث َٰىَسوُم َنَّدَع ََٰوَوٓۦ وُم َلَاقَو ةَلَيل َينيَعبَرأ َنوُر ََٰه يهي يخَ يلأ َٰىَس
َنييد يسف
ُ
لمٱ َلييبَس عيبَّت َت َلََو حيلصَأَو ييموَق يفِ ينِفُلخٱ
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan
Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan
Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh
(malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah
ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan
berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun:
"Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan
perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan
orang-orang yang membuat kerusakan” (Q.S. al-A’raf
[7]: 142)
e. Disebut Yahudi karena mereka menyimpang dari
aturan-aturn yang ditetapkan Allah, baik aturan yang
dibawa Nabi Musa as. maupun aturan yang dibawa
Nabi Muhammad saw97. Nama ini bersifat pejoratif,
sebab ia menunjukan, bahwa mereka tidak hanya
menolak ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw.
yang seharusnya mereka ikuti sesuai dengan tuntunan
kitab suci mereka, tetapi juga memberikan isyarat
bahwa mereka juga telah menyimpang dari petunjuk
kitab sucinya98.
Selain dari kemungkinan di atas, ada pula yang
mengatakan bahwa Yahudi adalah mereka yang
mengklaim dirinya sebagai pengikut Musa as. Setiap teori
di atas mengandung kebenaran sesuai dengan argument
dan pendekatan yang digunakan. Al-Qur’an membedakan
antara keturunan Bani Israil dan penganut keyakinan dan
pelaku perbuatan yang disebut Yahudi.
Walaupun sebutan untuk mereka ini beragam,
namun bagaimanapun, sebutan Yahudi itu dengan
sendirinya telah membedakan mereka dari orang-orang
Nasrani sebagai pengikut al-Masih yang juga dari Bani
Israil, sementara mayoritas orang-orang Israil
mengingkari Isa as. dan tetap mengikuti Musa as99.
Dari beberapa teori yang telah dipaparkan mengenai
definisi Yahudi, penulis lebih cenderung pada teori yang
mengatakan bahwa Yahudi berasal dari nama Yahudza,
saudara Yusuf as. salah seorang anak nabi Ya’qub as,
seperti yang akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya
dalam sejarah Yahudi.
D. Pengungkapan Term Asbâth dan Yahudi dalam Al-
Qur’an
1. Ungkapan term Asbâth
Term yang secara langsung menggunakan kata
Asbâth ditemukan sebanyak lima kali disebutkan dalam
Alquran 100, yang tersebar dalam empat surat. Dari
keempat surat tersebut, hanya satu surat yang termasuk
dalam kategori surat Makiyyah yaitu surat al-A’raf.
Selebihnya termasuk dalam kategori surat Madaniyah101,
100 Muhammad Fuad Abdal-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh
Alquran al-Karim, (Beirut: Dâr al-Fikr 1987) h. 340
101 Terdapat tiga versi mengenai istilah Makîyah dan Madanîyah, 1)
ayat-ayat Makîyah ialah ayat-ayat yang ditunjukan kepada
penduduk Makkah, sedang ayat-ayat Madanîyah ditunjukan
kepada penduduk Madinah; 2) ayat-ayat Makîyah ialah ayat-
ayat yang diturunkan di Makkah, sedang ayat-ayat Madanîyah
ialah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah; 3) ayat-ayat
Makîyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulallah
hijrah ke Madinah, sementara ayat-ayat Madanîyah ialah ayat-
ayat yang turun pasca hijrah. Lihat Jalâl al-Din al-Suyûthî, al-
Itqân fi ‘Ulum Alquran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H/ 1979 M),
juz I, h. 9; Badruddin Muhammad Iibn ‘abdullah al-Zarkasyî,
al-Burhan fî ‘Ulum Alquran (Kairo: Dâr al-Hadits, 2006), 132;
Muhammad Ibnu Luthfi al-Sibâghi, Lamhat Fi ‘Ulum Alquran,
(Beirut: al-Maktab al- Islâmi, 1990), 146. Pendapat yang
disebutkan ketiga ini memahami Makîyah dan Madanîyah
46
yaitu surat al-Baqarah, surat Ali ‘Imran dan surat an-
Nisa’. Dengan informasi tersebut dapat dinyatakan,
bahwa pembicaraan Alquran tentang Asbâth pada
umumnya diungkapkan pada periode Madinah, dan
sedikit sekali pada periode Makkah. Hal ini mungkin
disebabkan karena kontak umat Islam dengan Yahudi,
baru intensif pada periode Madinah.
Pembicaraan Alquran tentang Asbâth pada periode
Makkah, hanya ditemukan satu kali yaitu pada Q.S. al-
A’raf (7): 160.102 Sedangkan pembicaraan Alquran
tentang Asbâth pada periode Madinah103, ditemukan
dalam arti periode, tanpa mempersoalkan khithâb dan tempat
turunnya ayat.
102 Lihat selengkapmya:
ُهُموَق ُهَٰىَقسَتسٱ يذيإ َٰىَسوُم ََٰلَيإ اَنيَحَوأَو اَمَأ ًاطاَبسَأ ََةرشَع َتَِنثٱ ُمُهََٰنعَّطَقَوٓۥٓ اَت َنثٱ ُهنيم تَسَجَبنَٱف َرَجَلحٱ َكاَصَعي ب بيرضٱ ينَأ
َع اَنَلزَنأَو َم ََٰمَغلٱ ُميهَيلَع اَنلََّلظَو ُمَبََرشَّم سَنَّأ ُّلُك َميلَع دَق انيَع ََةرشَع اَم يتََٰبي َيط نيم ْاوُلُك َٰىَولَّسلٱَو َّنَ
لمٱ ُميهَيل
َنوُميلظَي مُهَسُفَنأ ْاُوناَك نيكََٰلَو َنَّوُمََلظ اَمَو مُكََٰنَقزَر١٦٠
“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-
masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa
ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu itu
dengan tongkatmu!". Maka memancarlah dari padanya
duabelas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui
tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di
atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan
salwa. (Kami berfirman): "Makanlah yang baik-baik dari apa
yang telah Kami rezekikan kepadamu". Mereka tidak
menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya
dirinya sendiri”. (Q.S. al-A’raf [7]: 160)
103 Masing-masing ayat Mekah dan Madinah dapat dibagi ke dalam
tiga periode, yaitu awal, pertengahan, dan akhir. Lihat, Abu
47
empat kali yaitu : Q.S. al-Baqarah (2): 136104 ; 140105,
Q.S. Ali ‘Imrân (3): 84106 dan Q.S. al-Nisa’ (4): 163107.
Ammar Yasir Qadhi an Introduction to The Science of the
Quran (Brimingham: Al-Hidayah Publising and Distribution,
1999), 99. Beberapa perbandingan tentang ayat-ayat yang
turun diperiode-periode tersebut, dapat dilihat di antaranya
dalam bukunya Taufiq Adnan Amal, yang membandingkan
susunan kronologis versi sarjana Islam dan Barat. Dimulai dari
Ibnu Abbas, al-Kafi, Ikrimah, al-Hasan, Abi Thalhah, Qatadah,
Weil, Noeldeke-Schwally, Blachere, dan Sir William Muir.
Lihat Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alquran
(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), 101-127
104 Lihat selengkapnya:
يهََٰربيإ ََٰلَيإ َليزُنأ اَمَو اَنَيليإ َليزُنأ اَمَو يَّللَّٱيب اَّنَماَء ْاُولُوق َق ََٰحسيإَو َلييعََٰسيإَو َم اَمَو َٰىَسييعَو َٰىَسوُم َ يتُِوأ اَمَو
يطاَبسَلأٱَو َبوُقَعيَو
َُهل ُنَنََو مُهني م دَحَأ َينَب ُقي رَف ُن َلَ م
يي بََّر نيم َنوُّييبَّنلٱ َ يتُِوأۥ َنوُم
يلسُم١٣٦
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Isma´il, Ishaq, Ya´qub dan anak cucunya, dan
apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami
hanya tunduk patuh kepada-Nya". (Q.S. al-Baqarah [2]: 136)
105 Lihat selengkapnya:
يهََٰربيإ َّنيإ َنُولوُق َت َمأ َلظَأ نَمَوُهَّللٱ يَمأ ُملَعأ مُتَنأَء لُق َٰىَر ََٰصَن َوأ اًدوُه ْاُوناَك َطاَبسَلأٱَو َبوُقَعيَو َق ََٰحسيإَو َلييعََٰسيإَو َم نَّيمَ ُم
ََٰهَش َمَتَك ُهَدنيع ًةَدۥ َنوُلَمعَت اَّمَع ٍليفََٰغيب ُ َّللَّٱ اَمَو يَّللَّٱ َنيم١٤٠
“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan
bahwa Ibrahim, Isma´il, Ishaq, Ya´qub dan anak cucunya,
adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?" Katakanlah:
"Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah
yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan
syahadah dari Allah yang ada padanya?" Dan Allah sekali-kali
48
2. Ungkapan Term Yahudi
Istilah al-Yahûdu (Yahudi) dalam berbagai varian
katanya di ungkap dalam Alquran sebanyak 22 kali, yaitu
sepuluh kali dengan menggunakan istilah Hâdû108, tiga
kali dengan istilah Hûd,ٓٓserta delapan kali dengan istilah
tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah
[2]: 140)
106 Lihat selengkapnya:
َمييهََٰربيإ َٰىَلَع َليزُنأ اَمَو اَنَيلَع َليزُنأ اَمَو يَّللَّٱيب اَّنَمَاء لُق َٰىَسييعَو َٰىَسوُم َ يتُِوأ اَمَو
يطاَبسَلأٱَو َبوُقَعيَو َق ََٰحسيإَو َلييعََٰسيإَو
َُهل ُنَنََو مُهني م دَحَأ َينَب ُقي رَف ُن َلَ م
يي بََّر نيم َنوُّييبَّنلٱَوٓۥ َنوُميلسُم٨٤
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya´qub, dan anak-anaknya, dan apa yang
diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka
dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri". (Q.S. Ali
‘Imran [3]: 84)
107 Lihat selengkapnya:
ي ييبَّنلٱَو حُون ََٰلَيإ اَنيَحَوأ اَمَك َكَيليإ اَنيَحَوأ َّنَّيإ يهيدَعب نيم َن ۦٓ يطاَبسَلأٱَو َبوُقَعيَو َق ََٰحسيإَو َلييعََٰسيإَو َمييهََٰربيإ ََٰلَيإ اَنيَحَوأَو
ُواَد اَنَيتَاءَو َن ََٰميَلُسَو َنوُر ََٰهَو َسُنُويَو َبوَُّيأَو َٰىَسييعَوۥ ارُوَبز َد١٦٣
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan
nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan
wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma´il, Ishak, Ya´qub dan anak
cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami
berikan Zabur kepada Daud. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 163).
108 Muhammad Fuad Abdal-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras h.739
49
Al-yahûdu )دوهيلا ( dan satu kali dengan kata Yahûdiyyanٓٓ
(ايدوهي).109
Term alladzîna hâdû, berarti orang-orang yang
masuk agama Yahudi.110 Kata hâdû adalah fi’l madly
(kata kerja bentuk lampau) yang berakar dari kata ha,
waw, dal yang secara literal mengandung pengertian
kembali secara perlahan-lahan, bersura lembut dan
berjalan dengan merangkak-rangkak.111 Kata tersebut
lazim digunakan untuk pengertian tobat.112 Hal ini
berkaitan den







