Selasa, 03 Desember 2024

kosmologi islam 5



Terjadinya perkembangan dan perubahan yang terus menerus atau kontinu, manusia 

mengalami peningkatan SDM yang sifatnya fluktuatif pada masa-masa tertentu adakalanya 

pada masa-masa tertentu perkembangan sebuah keilmuan menjadi dominasi ilmu itu sendiri 

misalnya kedokteran dan pertanian yang lain menurun/down. Begitu juga sebaliknya baik itu 

sains, teologi, filsafat dan ilmu-ilmu yang lain. Begitu juga di tingkat teori, eskperimen 

sampai tingkat aplikasinya, tergantung pada disiplin keilmuan. Dalam dekade-dekade akhir 

ini memperlihatkan semua disiplin ilmu sampai dengan cabang-cabang keilmuan ataupun 

terapan menunjukkan geliat atau ghirah yang hampir sama dengan menunjukkan kuantitas, 

kwalitas pada diri masing –masing keilmuan. 

Kosmologi yaitu  cabang atau anak dari ilmu astronomi yang dalam perkembangan 

dunia yang semakin modern menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah disiplin ilmu yang 

bonafit, menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang mendalami ilmu ini karena termasuk ilmu-

yang lumayan sulit dijangkau dengan kemampuan intelek yang standar dan kemampuan 

keuangan yang standar juga. Kosmologi yang lahir dari ilmu astronomi menjadi perhatian 

tersendiri oleh para ahli (pemikir Muslim) bagaimana memandang ilmu ini dari kacamata 

filsafat,teologi atau disiplin ilmu yang lain kaitannya dalam hal ini bagaimana membangun 

teori dan bagaimana korelasinya, khususnya dengan Dunia Islam. 

Sejarah perkembangan manusia dalam upaya memahami segala sesuatu telah 

mengalami perkembangan. Dari tata cara berpikir yang tanpa konsep; yaitu perumusannya. 

“ini sama dengan ini; ini yang bukan ini; yang bukan ini; segala sesuatu itu ini atau bukan ini, 

menjadi tata cara berpikir dualitas secara konseptual (opsisi biner) yaitu yang dirumuskan 

sebagai A=A; A non-A; segala sesuatu A atau non-A. Demikian itulah cara berpikir 

Aristotelian.” Pada tahap berikutnya, Francis Bacon menyadarkan manusia bahwa dalam 

kehidupan ini tidak cukup hanya dikatakan A=A atau mempelam itu mempelam. Yang 

diperlukan yaitu  menanam biji mempelam; agar pada saatnya nanti dapat dipetik buah 

mempelam. Disitulah letak perlunya pengalaman melalui perbuatan empiris atau empiris,

buatan. Bacon mengorientasikan pengetahuan pada realitas dengan maksud untuk menguasai 

alam.1  

Tingkatan berikutnya yaitu   tata cara berpikir integralistis, yaitu melihat sesuatu 

secara tak terpisah-pisahkan dari keseluruhannya. Misalnya, bukan mengatakan “daun itu 

hijau”, melainkan “daun itu memantulkan warna hijau, sebagai salah satu warna cahaya” cara 

berpikir integral inilah yang akhirnya mempengaruhi gerak sejarah keilmuan abad ke 21, 

sehingga bermunculan konsep-konsep tentang integrasi ilmu, bukan atomisasi ilmu—Reiser, 

misalnya, menyebutnya dengan istilah “sinoptik” (integralistik) dan “fragmentaris” 

(atomistik).2 

Berdasarkan teori di atas penulis mencoba mengurai kosmologi dan Islam menurut para 

ahli dimana titik temu dari kedua ini, yakni antara konsep tauhid sebagai dasar kesatuan 

epistemologi keilmuan dan agama; dari paradigma positivistik-sekuleristik ke arab 

teoantroposentrik, dengan corak corak keilmuan dan etika moral keagamaan yang 

integralistik. Dalam konsep ini agama tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang, bukan 

berarti seperti yang selama ini terjadi, sehingga muncul sikap kehatia-hatian yang berlebih 

karena adanya ketakutan berupa beban sosial dalam membahas sebuah keilmuan, 

sederhananya takut dikatakan menegasikan Tuhan. 

    

1. KOSMOLOGI DALAM KEBUDAYAAN MUSLIM DEWASA INI 

Kosmologi merupakan sebuah cabang sains yang menarik dan barang kali 

merupakan satu-satunya cabang ilmu yang memungkinkan para pemikirnya bebas 

mengutarakan pandangan-pandangannya, termasuk membangun prinsip-prinsip religius 

dan filosofis seperti halnya dalam bidang ilmu fisika dan astonomi. Kebebasan dalam 

mengutarakan pandangan ini  mungkin disebabkan oleh fakta bahwa dalam kurun 

waktu yang lama hingga beberapa dekade yang lalu, kosmologi hanya memiliki sedikit 

sekali data yang pasti sehingga ia pun menjadi cabang sains yang paling spekulatif.3 

Kebebasan ini  juga terjadi karena beberapa kitab suci telah memuat perspektif 

dan gambaran religious tentang kosmos penciptaannya,isinya, tujuannya, dan 

seringkaliuga tentang kemusnahannya. Data –data kosmologi meningkat pesat secara 

eksponensial pada tahun-tahun terakhir ini hingga pada pembahasan mengenai usia alam 

semesta yang meningkat dari perkiraan yang kemudian sering disampaikan kepada para 

mahasiswasatu decade lalu  yang kini diajarkan secara luas berdasarkan hasil penelitian 

WMAP (Wilkinson Mikrowave Anisotropy) pada 2003,. Namun, tetap saja sebagian 

besar buku kosmologi karya para penulis Arab yang terbit baru-baru ini mengganggap 

kosmologi bukan sebagai cabang astronomi, melainkan, khususnya secara praktik, 

sebagai sebuah cabang penafsiran Al-Qur’an.4 

Pendekatan yang sering digunakan para penulis ini  yaitu  sebagai berikut: 

memilih sebuah ayat Al-Qur’an yang membahas ‘isi alam semesta ’ seperti  


Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah 

berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala 

sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Q.S. 

65 [12] 

Setelah itu, mereka biasanya mulai menyampaikan pandangan-pandangannya 

tentang alam semesta yang sering merupakan perpaduan antara pengetahuan tentang 

‘fakta-fakta’ dari sains modern, pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an dari persfektif 

bahasa maupun penafsiran, dan pandangan ‘ideologis’ mereka sendiri (misalnya, seorang 

penulis bisa lebih condong pada teori alam semesta statis dibandingkan ekspansinya), 

kecenderungan pendekatan kosmologi qur’ani memiliki berbagai kekurangan yang setara 

dengan pendekatan I’jaz, keduanya jauh berbeda. Dengan pendekatan I’jaz ingin 

membuktikan adanya konten ‘saintifik’ Al-Qur’an yang di anggap mendahului temuan-

temuan sains modern.5  

Bahkan dewasa ini para penulis meyakinkan bahwa kita tidak harus selalu memulai 

dari Al-Qur’an, tetapi juga perlu membangun pengatahuan yang utuh tentang alam 

semesta dari penafsiran beberapa ayat Al-Qur’an, baik sedikit ataupun banyak, baik 

umum ataupun spesifik. 

2. Prinsip-prinsip Umum Kosmologi Islam 

Ada kontroversi yang sangat kuat tentang kapan (kira-kira) akan muncul konsepsi 

Islam yang utuh mengenai alam semesta dan apa yang memicu rumusan konsepsi 

ini . Beberapa cendikiawan berpendapat bahwa kosmologi Qur’ani telah dirumuskan 

sejak dahulu kala dan barang kali merupakan sains yang muncul paling awal dalam 

Islam. Sementara itu, beberapa cendikiawan lain bersikeras bahwa para filsuf Islam 

(falasifah)lah yang – setelah menyerap warisan ilmu Yunani kuno- berupaya 

merumuskan sebuah konsepsi kosmos yang solid ( atas landasan rasional dan 

astronomis) dan bisa kompatibel dengan Islam.6 

Sayyed Hossein dan Muzaffar Iqbal berpendapat bahwa ilmu kosmologi pertama 

kali muncul dalam deskripsi wahyu Islam tentang kosmos. Iqbal menganggap 

‘Kosmografi Radian’ (al-hay’ah al-saniyah) sebagai ilmu yang muncul sejak masa nabi 

                                                             


dan para sahabatnya. Ilmu ini  berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an dan dikontruksi 

melalui penafsiran ayat-ayat ini . Ia berusaha keras menunjukkan bahwa pendekatan 

yang ia gunakan dalamilmu kosmologi tidak hanya berasal dari sumber-sumber Islam 

awal yang murni, tetapi juga tetap menjadi ‘”teori penting dan penyeimbang ilmu 

kosmologi Aritotelian yang belakangan masuk ke dalam ranah pemikiran Islam melalui 

gerakan penerjemahan ”. 

Dari sinilah ia berpandangan bahwa ilmu kosmologi yang diruuskan para filsuf 

bersifat eksternal dan Aristotelian, tetapi tidak islami, Iqbal menguatkan pandangannya 

terhadap Kosmografi Radian dengan menunjuk beberapa ayat Al-Qur’an yang 

mengandung ‘data kosmologis’ dan beberapa hadist yang berhubungan dengan peristiwa 

penciptaan (seperti, uap air dan lain-lain). Al-Qur’an benar-benar memuat banyak 

informasi tentang benda-benda kosmik, bahkan kosmografi, Al-Qur’an bahkan 

mengandung informasi tentang tujuh langit dan tujuh bumi, menunjukkan Kursi (kursy) 

dan Takhta (‘arsy) Ilahi, gunung kosmik (qaf) belum lagi planet-planet dan bintang-

bintang.

Nidhal Guessoum menjelaskan dalam rangkuman, prinsip-prinsip kosmologis inti 

yang dapat disimpulkan dari Al-Qur’an: 

a. Alam semesta diciptakan Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak dan eksklusif atas 

penciptaan. Tindakan penciptaan oleh-Nya yaitu  salah satu karunia dan rahmat. 

b. Alam semesta diciptakankarena sebuah tujuan. 

c. Keberlansungan alam semesta dijaga oleh Tuhan. 

d. Kosmos dicirikan dengan sifat-sifat keutuhan, ketertiban, dan harmoni antara semua 

elemen dan peristiwa di dalamnya. Iqbal menyebut ini sebagai teori Keseimbangan, 

yang ia rujuk dari pendapat Jabir bin Hayyan (ahli kimia Muslim pada abad ke-9). 

e. Waktu dan kronologi kosmos dalam Al-Qur’an bersifat kualitatif, semisal ‘hari-hari’ 

(ayyam), yang tidak dijelaskan durasinya secara khusus. 

8Salah satu kejutan bagi pembaca yang pertama kali mendalamiAl-Qur’an yaitu  

banyaknya ayat yang memuat informasi seputar alam dan fenomena fisik. Para 

tafsirbahkan bergembira karena dibandingkan dengan 250 ayat yang berisi perintah 

agama, terdapat lebih dari 750 ayat (sekitar seperdelapan Kitab) yang mendorong 

                                                             


pembaca merenungkan alam(ciptaan Tuhan) dan memanfaatkan pikiran sebaik mungkin 

untuk memahaminya. Beberapa penulis seperti Iqbal berpendapat bahwa penekanan yang 

demikian kuat inilah yang menjadi alasan utama di balik pengembangan sains dlam 

Islam. 

3. Sains (Hakikat dan asal usulnya) 

Keyakinan bahwa alam yang teratur yaitu  belum universal. Suku-suku bangsa 

primitive, konon, hidup dalam suatu alam yang tidak teratur sama sekali, dan kita masih 

mendapati jamaah yang melakukan sembayang istisqa’ walaupun mereka mungkin, ragu-

ragu berdoa’ agar matahari tetap beredar sebagaimana biasanya, hal itudisebabkan oleh 

fakta bahwa astronomi merupakan satu cabang sains yang berkembang mendahului 

meteorology (J.W.N sullivan). Kepada sains yang berpedoman prinsip-prinsip moral 

universal bergantung pada kesinambungan eksistensi manusia modern.9 

Masa lampau tanpa sains manusia tidak berdaya di hadapan angin dan badai, manusia 

di porak porandakan oleh wabah dan penyakit dan diteror oleh takhayul-takhayul 

irrasional. Instrument tiada tar yang dipunya sains yaitu  pikiran manusia, lalu 

menciptakan sains, dan sains membebaskan manusia dari takhayul. Tetapi dewasa ini di 

jumpai kekecewaan terhadap sains dalam skala yang lebih luas,. Banyak janji yang di 

sodorkan untuk mewejudkan suatu dunia yang lebih baik tetapi tetap tinggal janji.  

Alasannya: sains mungkin telah mentranformasi dunia menjadi dunia desa, tapi dengan 

begitu mau tidak mau musti mengejar penduduk desa dunia berbicara dan memahami 

satudengan yang lain. 

Untuk dapat mengajukan pertanyaan ‘apakah sains itu?’ perlu di pahami konsep-

konsep yang menempati inti pemikiran ilmiah modern yaitu: 

1) Fakta.sains berangkat dari asumsi adanya fakta-fakta di alam ini, yaitu  jelas bahwa 

saintis menerima kesan-kesan inderawi berupa petunjuk-petunjuk pada sejenis alat, 

sebagai fakta-fakta sebagai data. Fakta-fakta atau hipotesis yang berkenaan 

dengannya di anggap valid jika paengamat yang lain dan independen berpesepakat 

tentangnya, atau jika observasi yang dilakukan berulang-ulang pada waktu dan 

tempat yang berlainan menelurkan hasil-hasil yang identik, dengan cara ini, 

subyektivisme peneliti tereliminasi.  

                                                            

2) Hukum. Hubungan yang terdapat di antara fakta-fakta yang sekelompok dinamakan 

suatu hokum atau prinsip. Hokum atau prinsip yaitu  sekedar sistematisasi sesuatu 

yang di amati. Dua contoh hokum atau prinsip yaitu : 

a. Udara dalam kuantitas tertentu akan menghasilkan tekanan terhadap wadahnya 

berbanding lurus dengan tempraturnya” (Hukum Boyle). 

b. Di dalam proses seksual, karakteristik-karakteristik bawaan pasti diperantarai 

oleh unit-unit yang ditansmisi dari induk ke keturunan, dan terkombinasikan 

dalam semua cara yang mungkin.:(Hukum Mendel) 

Untuk dapat merumuskan hokum, kita sangat memerlukan fakta-fakta tetapi fakta-

fakta an sich yaitu   steril, sebelum ada pikiran yang mampu menyeleksinya-pikiran yang 

dapat melihat sesuatu yang ada dibalik fakta. Inilah yang membedakan sorang yang 

saintis yang baik dari seorang saintis yang cukupan.10 

3) Hipotesa. Hpotesa yaitu  dugaan sementara yang memberikan pemahaman awal 

tentang apa yang sedang di teliti dan yang akan di uji dengan observasi atau 

eksperimentasi dua contoh hipotesa: 

a. Kemungkinan serangan kanker paru-paru terhadap seseorang berbanding lurus 

dengan jumlah rokok yang di hisap setiap hari( hipotesa negative-positif). 

b. Tingkat curah hujan di suatu tempat semakin tinggi apabila semakin banyak 

orang sembayang istisqa’ 

Untuk menguji salah satu dari kedua hipotesa ini  di atas, musti di kumpulkan 

data yang memadai, supaya analisa yang akurat (dan validitas internal dan eksternal hasil 

penelitian) di mungkinkan. Jika tidak, penelitian akan berakhir dengan kesimpulan-

kesimpulan yang menegangkan, semisal bertambahnya usia seorang manusia berkorelasi 

dengan banyaknya jumlah rokok yang di hisap, atau semakin rendahnya curah hujan 

dengan semakin banyaknya jumlah orang yang sembahyang istisqa’  

4) Teori. Teori yaitu  skema konseptual besar yang menempatkan berpikir dan 

memberikan gambaran lengkap dalam domain validasinya. Tetapi, selain itu, teori 

juga musti memenuhi criteria tertentu yang ketat: 

a. Teori musti konsisten dengan seluruh data eksperimental dan observasional 

                                                             

b. Teori musti mengatakan sesuatu yang baru; artinya teori mustimemprediksi 

fakta-fakta yang tidak diketahui sebelumnya tetapi yang dapat di uji. 

Supaya teori bukan sekedar suatu hipotesis yang tersisipi subyektivisme, teori tidak 

dirumuskan untuk menjelaskan seperangkat observasi yang berlingkup sempit. Tanda 

resmi suatu teori sejati yaitu  bahwa teori ini  berlaku pada sekumpulan besar 

fenomena,.misalnya teori gravitasi Newton berlaku secara umu, baik untuk seekor semut 

yang berada diatas sebuah bola kriket, maupun untuk sebuah selonsonh sewaktu melintas 

menuju sasarannya. Berlaku pula untuk bulan yang mengari bumi, dan mataharidalam 

hubungannya dengan bintang-bintang yang lain. Kuncinya yaitu  universalitas; artinya 

dalam hal ini tidah usah bersusah payahmeminta bantuan teori lain untuk menjelaskan 

setiap peristiwa yang berkenaan dengan suatu fakta baru.11 

5) Induksi dan Deduksi. Memperhatikan keteraturan data yang diperoleh 

memungkinkan kita mengumpulkan pengetahuan secara induktif dan membuat teori-

teori sederhana. Misalnya, sesudah melihat matahari terbit di timur dan terbenam di 

barat setiap hari, kita dapat menarik kesimpulan secara induktif bahwa matahari 

akan berperilaku demikian esok harinya . sebaliknya, dengan deduksi kita mulai 

berfikir secara logis dengan aturan-aturan yang umum dan lalu menarik kesimpulan 

–kesimpulan yang khusus, dengan menerapkan argument-argumen yang logis. 

Akhirnya, sesudah mendefinisikan konsep-konsep yang benar-benar diperlukan bisa 

mendefinisikan apa yang di kenal dengan Metode Ilmiah,. Kegiatan ilmu pengetahuan 

lanjutan yang sesungguhnya tidak timbul melalui prosedur yang seimbang secara logika; 

unsure-unsur kesempatan dan daya cipta kadang-kadang bertentangan dengan pendekatan 

linier sederhana. Hal-hal ‘sederhana’ dari menetapkan persoalan, operasi ‘sederhana’ 

penyusunan hipotesis dan perencanaan eksperien – ini yaitu  lebih dari suatu seni 

ketimbang sains.  

Tetapi apapun bisa saja menghambat sampai ke teori khusus, wasit terakhir dari 

kebenaran yaitu  pertimbangan eksperimen  dan observasi  dan kegunaan akhir dari teori 

terletak dalam seberapa lama fakta dapat menjelaskan dan seberapa cepat sesuatu 

disampaikan kepada kita. Sains yaitu  ibarat bangunan yang terus menerus di pakai tetapi 

diperbaiki terus menerus pula dalam ukuran dan pertambahan untuk memperluasnya. 

                                                           

Sains terus bertumbuh dari observasi primitive tentang alam sampai struktur kompleks 

yang sangat besar yaitu hari ini. Sekurang kurangnya ada tiga kegunaan teori sains; 

sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.

4.  Sains Islam 

Sains Islam, yakni sains yang dikembangkan oleh kaum muslim sejak abad Islam 

kedua, `sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. 

Tanpa itu bukan hanya tidak aka nada sains Abad Pertengahan, Renainsans dan kemudian 

menyusul Barat, melainkan juga salah satu studi paling penting tentang alam dalam 

kaitannya sebagai semesta religious yang hanya mampu dicapai oleh sains Islam,. Selama 

kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad Islam kedua hingga kesembilan, peradaban 

Islam mungkin merupakan peradaban paling produktif dibandingkan paradaban manapun 

di wilayah sains, dan sains Islam berada di garda terdepan berbagai kegiatan keilmuan 

mulai dari kedokteran sampai astronomi.

Pentingnya sains Islam dalam peradaban Islam dan juga peranannya dalam 

pembentukan sains di Barat yaitu  keluasan subyeknyayang memerlukan perlakuan 

berbeda-beda. Di sini pertama-tama perlu dipahami bahwa sains Islam bukan sekedar 

lanjutan dari sains Yunani serta leluhur sains Barat, melainkan tidak lebih dari 

penghubung antara sains kepurbakalaan, Yunani dan Aleksandria dengan sains Barat 

yang mendomonasi peta keilmuan selama beberapa abad. Walaupun mereka 

mempengaruhi sains Barat, namun sains Islam secara mandiri menelaah watak fenomena, 

dan kausalitas, serta hubunganantar berbagai bentuk obyek. 

Seluruh subyek ditelaah oleh sains Islam dibawah ajaran Al-Qur’an dan Hadist dan 

menjadi sebentuk sains yang dikembangkan bukan sekedar sebagai tahap awal 

perkembangan sains Barat walaupun berperan penting dalam dalam beberapa bidang 

sains eksak dan kuantitatif seperti matematika dan astronomi. Sudut pandang Islam yang 

independen dan berbeda dari kerangka filsafat sains Barat, harus selalu di ingat agar 

                                                            

mampu mengapresiasi secara utuh pentingnya sains Islam untuk Islam sebagai agama dan 

untuk peradaban Islam.

ASTRONOMI. Bukan hanya karena dorongan untuk mencari imu pengetahuan dalam 

Islam, tetapi juga karena peran khusus yang diberikan astronomi dalam upacara 

keagamaan Islam seperti menemukan arah Kiblat dan waktu shalat, sejak awal kaum 

Muslim sangat tertarik dalam mengobservasi ruang angkasa dan menelaah astronomi. Di 

dsini perlu diketahui bahwa astronomi Islam menyatukan tradisi Babilonia, Yunani, 

Persia, dan India berbarengan dengan Arab kuno dan menciptakan sintesis baru sehingga 

memapankan astronomi dengan dasar yang lebih luas dibandingkan sebelumnya. 

Astronomi Islam tertarik pada observasi sekaligus juga observatorium, dalam 

merancang instrument dan dalam astronomi matematika,. Sejauh menyangkut astronomi 

banyak astronom Muslim melakukan observasi baru, bukan sekedar menjiplak table-tabel 

yang berasal dari observasi Yunani dan Babilonia, dan table-tabel Muslim ini disebut zij. 

Berbagai zij ini semakin digali dan digali lagi hingga antara abad Islam keempat sampai 

ketujuh disusunlah berbagai zij utama seperti zij Hakimiyyah yang di observasi di Kairo 

pada abad ke empat oleh Ibn Yunus, zij  Ill-Khaniah yang diobservasi oleh Nashir Al-Din 

Al-Thusi dan mitranya di Maraghah pada abad Islam Ketujuh, serta zij Ulugh Beg yang di 

observasi di Samarkand oleh Ulugh Beg dan sejumlah astronom lain pada abad 

kesembilan. Karya-karya ini menjadi dukumen paling penting dalam observasi astronomi 

pada seluruh periode yang disebut oleh Barat sebagai Abad Pertengahan.

Kaum muslim juga menunjukkan minat yabg luas dalam pengembangan alat-alat 

observasi . Yang paling terkenal yaitu  astrolabe ,. Walaupun namanya berbau Yunani’ 

alat-alat ini dikembangkan oleh Islam dan kenyataannya tidak ada astrolabe yunani yang 

tersisa. Astrolab Islam mulai dibuat pada awal sejarah Islam dan selama ribuan tahun 

terakhir seni astrolabe sering memadukan seni yang indah sekali dengan kecermatan 

saintifik sehingga menghasilkan instrument yang sangat indah dan sangat berguna yang 

begitu penting bagi para navigator dan astronom sebelum zaman modern.

Perkembangan astronomi ini kemudian tidak didukung oleh Negara-negara Islam itu 

sendiri kecuali oleh beberapa astronom saja. Para astronom Islam berikutnya merasa puas 

                                                           

hanya dengan mengulang perhitungan generasi sebelum mereka dan menganggap 

astronomi semata-mata sebagai praktik observasi terhadap ruang angkasa. Perhitungan 

matematika yang mereka kembangkan pun berangsur-angsur menjadi using dan 

kemudian mandek setelah abad Islam kesembilan dan kesepuluh. Penting untuk dicatat  

bahwa beberapa ilmuan Muslim di Maraghah dan kemudian di beberapa observatorium 

lain telah berencana bekerja sama dengan sekelompok ahli matematika untuk bersama-

sama menghitung sejumlah sasaran dan memeriksa kesalahan penghitungan mereka 

sebelumnya.

5. Pengaruh Sains Islam 

Sains Islam mempunyai pengaruh besar baik di Barat maupun di India dan Cina, dua 

peradaban besar di timur dunia Islam yang senantiasa kontak dengan Islam secara 

ekstensif. Tanpa sains Islam, perkembangansains di tiga peradaban ini  bisa jadi akan 

berbeda. Hal ini terutama bisa terjadi di Barat yang secara alamiah menjadi pusat 

perhatian karena perkembangan sains modern terjadi di barat dan akibatnya terhadap 

seluruh muka bumi. Antara abad Kristen kesebelas dan ketiga belas banyak karya-karya 

sains Islam yang besar diterjemahkan ke dalam bahasa latin terutama di Spanyol dan juga 

di sisilia dan sesekali di Italy. 

Beberapa ilmuan Muslim seperti Ibn Sina dan Al-Razi menjadi nama yang sangat 

disegani di Barat. Kedokteran Islam menjadi pondasi bagi dunia kedokteran Eropa hingga 

memunculkan tokoh ikonoklastik seperti Paracelsus, yang menentang praktek kedokteran 

tradisional dan mendirikan ilmu kedokteran baru, menghancurkan Al-Qanun fi’il Thibb 

Ibn Sina di Basel sebagai kedokteran tradisional. Kita dapat melihat pola yang sama 

dalam bidang matematika karya-karya utama Al-Khawarizmi dan yang lainnya di ajarkan 

di beberapa universitas Barat selama berabad-abad.19 

Tabel-tabel astronomi yang di rakit di Barat seperti Alfonso Yang Bijaksana di 

Spanyol di buat berdasarkan zijes Muslim. Karangan-karangan tentang Aljabar yang 

ditulis kemudian pada abad pertengahan dan Masa Renaisans sebagian besar berdasar 

pada karya Khayyam. Karya-karya alkimia dan kimia dalam bahasa latin banyak 

mengutip perbendaharaan kata Arab secara persis karena tidak ada perbendaharaan kata 

                                                             


Latin yang sesuai dengan bidang ini. Juga penting untuk disebutkan disini bahwa hamper 

seluruh risalah sains Islam yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berasal dari bahasa 

Arab. 

Banyak karangan dalam bahsa Persia, yaitu bahasa Islam kedua dalam bidang sains 

dan bahasa yang kemudin banyak digunakan untuk menulis karya –karya sains Islam 

berikutnya seperti halnya juga Turki dan India, tidak dikenal oleh dunia modern. 

Konsekuensinya banyak perkembangan sejarah sains Islam berikutnya juga tidak dikenal. 

Para sarjana Muslimlah yang harus menyajikan tradisi sains Islam menurut sudut pandang 

Islam itu sendiri dan bukannya menurut sudut pandang saintisme, rasionalisme dan 

positivism yang telah mendominasi sejarah sains di Barat sejak pemapanan disiplin pada 

awal Abad kedua puluh di Eropa dan Amerika. 

6. Makna Sains Islam Bagi Kaum Muslim 

Makna tradisi ilmiah Islam yang luas bagi kaum Muslim dan khususnya bagi generasi 

muda Muslim bukan hanya karena hal itu member mereka rasa bangga terhadap 

peradaban yang mereka miliki dengan prestisenya yang masih ada sampai sekarang. Hal 

itu lebih jauh merupakan pembuktian bahwa Islam mampu menghasilkan berbagai bidang 

sainssecara ekstensif tanpa terasing dari dunia Islam itu sendiri, dan tidak menciptakan 

sains yang penerapannya akan merusak alam dan harmoni yang harus ada antara manusia 

dengan alam sekitarnya. Sains Islam bukan hanya penting menurut sudut pandang sains 

yang dipahami oleh Barat pada saat initetapi sains Islamjuga memiliki makna spiritual 

dan intelektual.20 

Pencapaian besar ilmuwan-ilmuwan Muslim yaitu  bahwa mereka mempunyai 

standar pemikiran kritis yang sangat ketat dan integritas, tetapi pada saat yang sama juga 

tidak kehilangan keyakinan atau menjadi terasing dari pandangan Islam terhadap alam 

semesta yang menjadi sumber seluruh sains Islam. Sains Islamberlanjut sampai abad 

Islam kesepuluh, kesebelas, dan kedua belas khususnya dalam bidang kedokteran dan 

farmakologi. Jika kita hendak membicarakan keruntuhan sains Islam, hal itu terjadi hanya 

dua atau tiga abad belakangan ini saja, kita seharusnya mempertimbangkan seluruh dunia 

Islam.  

                                                            

Dan seharusnya kita tidak merasa malu dengan kenyataan itu karena tidak ada 

peradaban dalam sejarah sains yang selalu berminat pada ilmu-ilmu alam sepanjang 

perjalanan sejarahnya. Ada periode ketka minat itu begitu tingginya dan kemudian 

menurun dalam setiap peradaban, dan tidak ada alsan mengapa kita harus menyejajarkan 

penurunan semangat dalam sains Islam otomatis juga sebagai dekadensi peradaban 

ini . Ini yaitu  pandangan orang-orang Barat yang modern yang selalu 

menyejajarkan peradaban dengan sains seperti yang dipahami dalam makna modern,. 

Padahal, masalah itu yaitu  sudut pandang yang menyimpang yang kini mulai banyak 

diragukan oleh orang-orang  di Barat sendiri.

Dekadensi yang terjadi dalam dunia Islam berlansung pada periode sejarah Islam 

Berikutnya, lebih lambat daripada yang dinyatakan selama ini, fakta ini akan sangat 

substansial jika sejarah sains dan peradaban Islam yang integral ditulis suatu hari nanti, 

sayangnya sampai hari ini sejarah yang terperinci seperti itu belum ada dan terlebih lagi 

banyak karya kesarjanaan yang telah dihasilkan dalam bidang ini telah diambil alih oleh 

sarjana-sarjana Barat yang secara alamiah sangat tertarikpada aspek-aspek sains Islam, 

yang telah menanamkanpengaruhnya di Barat. Ini menjadi tugas para cendikiawan dan 

ilmuan-ilmuan Muslimuntuk melihat kembali seluruh tradisi keilmuan ini menurut sudut 

pandang Islam dan dinamika batin sejarah Islam itu sendiri.. 

7. Penciptaan Alam Semesta dalam Al-Qur’an 

Anggapan umum baik dulu maupun sekarang, bahwa Al-Qur’an berisi macam-macam 

sains, tekhnologi lain-lain, kemudian mereka menambahkan ke dalam tafsir Al-Qur’an 

berbagai cabang ilmu pengetahuan ang banyak disebut orang zaman dahulu maupun 

sekarang seperti ilmu fisika, falak, kimia, semantik, kedokteran lain-lain. Anggapan 

ini  tidak berdasar sama sekali, Al-Qur’an sendiri yang mendustakannya, karena Al-

Qur’an tidak ada maksud mengutarakan sesuatu seperti yang di angggap.  

Semua ayat Al-Qur’an hanya merupakan bahan pemikiran untuk membuktikan 

keagungan ALLAH SWT. Dan prinsip hukum untuk mengatur perilaku dan perbuatan 

manusia. Kalau di dalam Al-Qur’an terdapat sesuatu yang sejalan dengan teori sains atau 

sesuai dengan kenyataan ilmiah, itu semata-mata hanya bermaksud sebagai pembuktian 

tentang kekuasaan ALLAH SWT. Bukan untuk menetapkan kebenaran suatu sains.  

                                                             


Al-Qur’an tidak mengetengahkan masalah-masalah penelitian ilmu pengetahuan, 

tidak ada kata-kata maupun kalimat-kalimat yang menguatkannya dan Rasul SAW. Tidak 

pernah menjelaskan masalah itu, karena Al-Quran tidak mempersoalkan sains. Jadi 

persoalannya ialah teori sains atau kenyataan ilmiah memang berguna untuk memahami 

ayat-ayat  yang sejalan dengan itu. Syarat penggunaan teori Ilmiah sebagai pembantu 

memahami Al-Qur’an ialah teori itu harus merupakan kesimpulan terakhir (yang sudah 

eksak) dan tidak menghadapai kemungkinan adanya koreksi atau tidak terbantah 

kebenarannya.

Dewasa ini umat Islam dan para ulamanya, terutama para penafsir Al-Qur’an, 

menerima begitu saja pandangan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an enyebut penciptaan 

alam semesta sebagai tindakan ex-nihilo (oleh ALLAH) –atau penciptaan dari ketiadaan. 

Itu artinya, mereka menggunakan temuan ilmiah terbaru untuk merekontruksi kisah 

penciptaan dari ayat-ayat Al-Qur’an seputar topic ini, tidak seperti dalam kitab kejadian 

(al-Kitab) yang memuat semua ayat tentang penciptaan disatu bagian khusus. Kisah 

penciptaan dalam Al-Qur’an dapat diringkas dalam ayat-ayat berikut (perhatikan bahwa 

di dalam Al-Qur’an , letak ayat-ayat berikut tersebar di banyak tempat).  

 Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam 

enam masa, lalu dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. dia menutupkan malam kepada siang 

yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-

bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan 

memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(Q.S 7[54]) 

[548]  bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan 

kebesaran Allah dsan kesucian-Nya. 

                                                            

 Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua 

masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu yaitu  Rabb 

semesta alam". 

Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya 

dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. 

(Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. 

Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu 

dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku 

dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". 

Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. dia mewahyukan pada tiap-tiap 

langit urusannya. dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang 

dan kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha 

Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Q.S 41 [9-12]) 


Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak 

(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala 

sesuatu.(Q.S 2 [29]) 

 


Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu 

keduanya dahulu yaitu  suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan 

dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga 

beriman?(Q.S. 21[30]) 

Fakta yang disebutkan Al-Qur’an bahwa alam semesta diciptakan dalam enam ‘hari’ 

tampak menyiratkan awal mula terjadinya alam semesta. Namun, sebagaimana yang 

ditunjukkan para cendikiawan Muslim besar abad pertengahan (Ibn Rusyd, Ibn Sina, dan 

beberapa yang lain), dibawah pengaruh besar pemikiran Yunani, sesorang yang memiliki 

pandangan kosmologi Islami pastilah berlandaskan asumsi bahwa peristiwa penciptaan alam 

terjadi pada waktu yang sangat lampau.  

Dengan melakukan pembacaan singkat terhadap beberapa ayat ‘kosmologi’ diatas, 

tidak sulit memahami bahwa persoalan intinya yaitu  bagaimana menafsirkan ayat-ayat 

ini . Salah satu sebab mengapa menafsirkan ayat-ayat ini  sangat sulit yaitu  karena 

kurun  waktu  yang sangat lama, para cendikiawan muslim telah memperdebatkan apakah Al-

Qur’an menyatakan bahwa bumi diciptakan sebelum atau setelah terciptanya lapisan-lapisan 

langit. Ada dua ayat yang tampaknya bertentangan dengan hal ini, yakni Q.S. Al-Baqarah 

(2);29 (sebagaimana dikutip diatas) 


 Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah Telah membinanya, Dia 

meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, Dan dia menjadikan malamnya gelap 

gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-

Nya.(Q.S. 2 [27-30]) 


Al-Qur’an juga memuat informasi mengenai subtofik kosmologi lain yaitu eskatologi. 

Menyelidiki dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an tentang akhir zaman merupakan hal yang 

cukup menarik meskipun upaya ini akan menggiring kepada pandangan bahwa ayat-ayat 

ini  sangatlah metafisik. Beberapa ayat yang sering dibahas dalam konteks ini 

diantaranya yaitu  sebagai berikut. 

(yaitu) pada hari kami gulung langit sebagai menggulung lembaran - lembaran kertas. 

sebagaimana kami Telah memulai panciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya. 

Itulah suatu janji yang pasti kami tepati; Sesungguhnya kamilah yang akan 

melaksanakannya. (Q.S. 21 [104]) 


Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu 

yaitu  suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).(Q.S.22[1]) 

Pertama, ada banyak keberatan ilmiah terhadap wacana tentang kemunculan gempa 

‘global’ yang bisa menghancurkan bumi dan manusia dalam waktu yang sangat singkat. 

Bukankah kita membutuhkan penyebab astronomis yang bersifat katastropik, seperti komet 

besar atau benda-benda angkasa lain yang lebih besar untuk menerjang bumi? Bukankah 

manusia saat ini juga telah memiliki pengetahuan dan peralatan untuk mendeteksi benda-

benda seperti itu sehingga dapat memprediksi peristiwa yang akan terjadi bertahun-tahun 

yang akan datang  dan memungkinkan sekelompok kecil manusia untuk melarikan diri (dan 

mengungsi sementara waktu atau secara permanen setelah membangun koloni yang mapan di 

bulan atau planet lain)? Mengenaia argument ini, Al-Qura’an tampaknya akan 

mengesampingkan scenario bencana astronomi (misalnya, dalam Q.S. Al-A’raf [7]) 


Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: 

"Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu yaitu  pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun 

yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru 

haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu 

melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar 

mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu yaitu  di 

sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".( Q.S. Al-A’raf 7[187]) 

Kedua. Dapatkah dibayangkan hari kiamat yang akan menghancurkanbumi dan 

manusia kemudian meninggalkan alam semesta sisanya (selain bumi) dalam keadaan utuh? 

Apakah aka nada hari kiamat khusus untuk spesies-spesies berbeda yang ada di alam semesta 

(dengan asumsi bahwa kita ternyata tidak sendirian)? Sebagaimana yang disebutkan 

sebelumnya, para cendikiawan Islam dan penafsir Al-Qur’an sering terpengaruh oleh 

pengetahuan pada zaman mereka, sehingga saat ini kita menemukan referensi mengenai Big 

Crunch (alam semesta akan runtuh untuk kembali seperti keadaannya semula yang bersifat 

singular dengan asumsi bahwa kepadatan massa energy lebih besar dibanding berdasarkan 

bilangan tertentu yang dihitung berdasarkan teori kosmologi) 

 Dalam kaitannya dengan ayat Al-Qur’an Al-Anbiya’ (21):104 sebagaimana yang 

telah disebutkan diatas. Perhatikan bahwa penafsiran ini juga akan dikritik dengan argument 

tandingan ngenai Hari Kiamat yang tidak akan terjadi sebelum puluhan miliar tahun 

mendatang (saat  Al-Qur’an menjanjikan Hari Penghakiman yang dating secara tiba-tiba) 

beberapa contoh ini menunjukkan alas an mengapa seseorang tidak bisa menyimpulkan 

sebuah pandangan kosmologi secara jelas dari Al-Qur’an (saja) dan mengapa sebagian besar 

cendikiawan (pada abad pertengahan) menggunakan perspektif Yunani (dalam perkembangan 

terakhir) dalam teori-teori sains. 

8. Kosmologi  Kaum Tradisionalis 


Seyyed Hossoein Nasr dan para pengikutnya bersikeras bahwa kosmologi tidak boleh 

dianggap sebagai suatu disiplin ilmu murni yang berkaitan dengan aspek-aspek fisik alam 

semesta semata. Nasr menegaskan bahwa sebagian besar jika bukan semua peradaban 

terdahulu memandang disiplin sains murni sebagai bidang terpadu yang mengkaji benda-

benda dan realitas fisik maupun non fisik yang hidup berdampingan dalam sebuah 

struktur holistik. Ia menegaskan “kosmologi-kosmologi kuno merupakan sains-sains yang 

tujuan utamanya yaitu  menunjukkan kesatuan dari semua yang ada, kesatuan ini 

sangatlah penting dalam Islam karena gagasan keesaan Tuhan (tauhid) memengaruhi 

gagasan yang lain, melekat pada setiap peradaban Islam dan menjadi prinsip paling 

fundamental yang mendasari segala fenomena

Nasr yang membahas kosmologi Islam kelasik (abad pertengahan) mengambil sebuah 

kesimpulan menarik bahkan mengejutkan bahwa terlepas dari perbedaan-perbedaan dal 

hal persfektif dan penekanan, konsepsi alam semesta yang dikemukakan oleh sebagian 

besar penulis muslim “ lebih tampak sebagai penafsiran atas teks-teks kosmik” sebab Al-

Qur’an memang berulang-ulang memandang alam semesta sebagai sebuah buku yang 

mengandung  bukan hanya ayat-ayat sebagaimana dijumpai di dalam Al-Qur’an itu 

sendiri, tetapi juga sebagai counterpart makrokosmiknya 

Kosmos, sebagaimana yang ditegaskan Nasr, bukanlah (dalam konsepsi Islam) entitas 

yang mengandung segala sesuatu (seperti yang didefinisikan ilmu fisika modern), 

melainkan lebih merupakan bagian kecil dalam kumpulan kosmik yang jauh lebih besar, 

dan mencangkup kosmos. Dengan demikian, studi tentang kosmos atau alam semesta 

bukanlah tujuan akhir yang sebenarnya, yakni “memperoleh pengetahuan mengenai Sang 

Penciptayang kebijaksanaannya ini  dapat mengarahkan si penafsir kepada 

tercapainya pengetahuan mengenai diri Sang Pencipta itu sendiri.

William Chittik, yang sepenuhnya menganut filsafat (Islam) perennial Nasr, 

menyajikan beberapa karakteristik utama dari kosmologi tradisionalis sebagai berikut:

(1) “Kosmos merupakan hierarki besar yang menghadirkan berbagai level realitas secara 

bersamaan tanpa memperhatikan urutan/suksesi yang bersifat temporal”; 

                                                            

(2) “Kosmos hirarkis ini dibagi menjadi dua bagian dasar, pertama, yang terlihat 

()visible), sedangkan kedua, yang tak terlihat (invisible) alam tak terlihat lebih dekat 

dengan Tuhan dan lebih nyata dibandingkan yang terlihat”; 

(3) “Manusia yaitu  makhluk yang unik dalam kosmos. Karena itu, segala sesuatu di 

alam semesta eksternal dianggap ditemukan secara esensial dan pada realitasnya 

dalam kedirian primordial yang dikenal sebagai fitrah”  

9. Doktrin-doktrin Kosmologi Islam Abad Pertengahan 

saat  bangsa Muslim untuk pertama kalinya bersentuhan dengan peradaban-

peradaban lain dan menyerap warisan budayanya, kehidupan intelektual dan pemikiran 

mereka menjadi matang dan bermunculanlah para pemikir dengan doktrin-doktrin dan 

konsepsi-konsepsi yang mencerminkan tradisi filsafat kuno. Kemudian muncullah 

falsafah (filsafat Islam), kalam(teologi Islam), tasawuf (mistisme, sufisme), dan doktrin 

esoteris faidh (emanasi),yang memiliki kecenderungan dan pengaruh sangat luas, belum 

lagi kawasan-kawasan geografis dan epos-epos sejarah. Teori –teori utama kosmologi 

Islam dapat dibagi ke dalam teori yang bertendensi filosofis dan teologis: para filsuf 

Helenistik, kelompok Ikhwan al-Safa, cendikiawan independen./ilmuan, dan para sufi.

Banyak pemikir Muslim, utamanya para filsuf, menganggap diri mereka bebas 

embaca Al-Qur’an tanpa melibatkan apriori kosmologis atau konsepsi religius yang telah 

mapan. Biasanya, mereka sangat bergantung pada ide-ide dari tradisi kuno lain, 

khususnya filsafat Yunani. Berikut ini pandangan-pandangan kosmologis inti para 

falasifah diantaranya: 

a. Al-Kindi (800-73) sangat berpegang teguh pada doktrin penciptaan exnihilo meskipun 

sebagian besar filsuf Muslim belakangan menolak konsep-konsep ini . Yang 

dilakukan Al-Kindi saat  itu sebenarnya yaitu  menggunakan ‘bukti-bukti’ 

kosmologis lama untuk menunjukkan keberadaan Tuhan yang dimulai dengan 

argumen Prime Mover (Penggerak Utama), sehingga dalam pandangannya, harus ada 

sebuah penggerak yang tidak bergarak, tidak berubah, tidak dapat dihancurkan, dan 

sempurna. Hal ini mendorongnya kepada seluruh kesimpulan bahwa kekuasaan dan 

hak perogratif Tuhanlah yang membangun alam semesta dari ketiadaan. 

                                                            

b. Namun, Al-Farabi (870-950) tetap setia pada Aristetoles.  Dia tidak percaya bahwa 

Tuhan “tiba-tiba”saja memutuskan untuk menciptakan dunia, sebab hal itu akan 

melibatkan Tuhan yang kekal dan statis dalam arus perubahan- sesuatu yang tidak 

pantas bagi-Nya. Al-Farabi juga sangat terpengaruh oleh para pemikir Yunani dan 

mengadopsi ‘rantai wujud’(chain of being) ala Yunan, yang menempatkan Yang Satu 

dalam sepuluh emanasi atau ‘kecerdasdan’bertingkat yang masing-masing di 

antaranya memunculkan satu  diantara lingkaran-lingkaran Ptolomeus: langit-langit 

luar, lingkaran bintang-bintang, bola-bola saturnus, Jupiter, Mars, Matahari, Venus, 

Merkerius, dan Bulan. 

c. Sementara itu, Ibnu Sina (Avicenna, 981-1037) dianggap sebagai salah satu pemikir 

Muslim terbesar dan paling beradab. Semasa mudanya, ia menguasai semua ilmu 

yang berkembang pada masanya – dari ilmu kedokteran hingga astronomi dan filsafat. 

Ia juga giat mengkaji karya-karya kuno, mulai dari metafisika Aristetoles hingga 

menamatkan karya-karya Al-Farabi yang ia coba selaraskan lebih menyelruh dengan 

Islam. Penerimaan totalnya terhadap Wahyu sebagai pengetahuan level tertinggi – 

yang bertentangan dengan pemujaan para filsufterhadap akal—membuat sedikit demi 

sedikit cenderung kepada tasawuf tanpa mengabaikan akal intelektual. Ia juga 

berusaha memunculkan bukti-bukti rasional mengenai keberadaan Tuhan yang 

merupakan bukti lain ihwal  kuatnya pengaruh pemikiran Aristetoles terhadapnya. 

Ibnu sina membagi proses penciptaan menjadi dua operasi yang bersesuaian: 

kesadaran diri dan penemuan diri akan ilahi. Lebih lanjut, ia merumuskan perbedaan 

empat jenis penciptaan berikut ini:  

1). Ihdats: Penciptaan makhluk-makhluk alam, baik yang sementara atau yang 

kekal 

2). Ibda’: Penciptaan—tanpa perantara—makhluk-makhluk yang kekal dan tidak 

punah(decay) 

3). Khalq: Penciptaan melalui agen-agen 

4). Takwin (penyusunan): Penciptaan melalui agen-agen duniawi yang punah dan 

sementara 

Selain itu, ia juga memetakan makhluk-makhluk ke dalam empat kategori berikut:  

1). Malaikat, yaitu makhluk yang digerakkan ALLAH dan diciptakan untuk 

menggerakkan makhluk-makhluk lain. 

2). Jiwa-jiwa kosmik yang bertindak sebagai perantara dalam aksi-aksi perubahan 

3). Benda-benda langit 

4). Benda-benda bumi 

 Konsep Ibn Sina tentang kosmos mirip dengan konsep Yunani, kecuali dalam 

pandangan tentang sembilan lingkaran , bukan delapan seperti yang biasa dikenal (satu untuk 

bumi dan tujuh untuk planet-planet). Pandangan ini berasal dari skemanya yang menunjukkan 

dibutuhkannya satu tambahan lingkaran untuk memisahkan wilayuah ilahiah dari ruang fisik 

kosmos; lingkaran kesembilan ini  dianggap benar-benar kosong. Lebih lanjut, Ibn Sina 

membayangkan bahwa setiap lingkaran pastilah dikendalikan oleh sebuah kekuasaan akal 

yang memerintahkan jiwa-jiwa, akal-akal dan malaikat-malaikat untuk tunduk di bawah 

komando kekuatan akal yang utama. Bagi Ibn Sina, penggabungan total antara dunia fisik 

dan dunia metafisik tidak hanya masuk akal, tetapi juga menyeluruh. 

d. Selanjutnya, meskipun terpengaruh Aristetoles, Ibn Rusyd tetap setia pada spirit –

bukan secara tekstual – ajaran Islami/Qur’ani. Ia menganut doktrin keabadian kosmos, 

tetapi menegaskan bahwa alam sedang dan terus berada dalam perubahan atau evolusi 

konstan selama Tuhan masih meneruskan proses penciptaannya. Dalam 

pandangannya, Sang Pencipta yaitu  Yang Terdahulu /Zat yang Abadi; Tuhan 

mengajarkan perubahan kepada makhluk-makhluknya melalui berbagai media yang 

berbeda (akal, malaikat, dan jiwa), sebagaimana dikembangkan oleh Ibn Sina dan 

Ikhwan Al-Syafa. Namun, Ibn Rusyd menolak doktrin emanasi dengan konsekuensi-

konsekuensinya, termasuk teori penciptaan top-down yang digagas Ibn Sina meskipun 

konsep itu sendiri akan kembali kepada pandangan Plato. Di sisi lain, ia begitu 

menganut tepri Aristetoles tentang sebab final (final causas) yang menyatakan bahwa 

alasan dibalik setiap fenomena/pristiwa pasti ditemukan dalam tujuan akhir yang 

ingin dicapai setiap makhluk; ini menyiratkan sebuah evolusi ke atas dibandingkan 

proses top down di alam semesta.  

Ibn Rusyd memperkenalkan sebuah tilikan baru yang menarik terhadap 

konsep lama mengenai kesatuan kosmos. Ia mengembangkan dari sudut perubahan 

atau ketiadaan dan menyimpulkan bahwa karena isi dan bentuk tidak dapat dipisahkan 

dan keduanya kekal, maka kosmos pastilaah statis meskipun ia berkembang. (Di 

kemudian hari, para kosmolog modern akan mempertimbangkan teori tunak (steady 

state) alam semesta ini dengan berbagai cirinya, seperti yang pernah dikemukakan 

Hoyle dan tokoh-tokoh lain pada pertengahan abad kedua puluh). 

e. Ikhwan Al-Syafa. yaitu  sebuah komunitas esoteris yang muncul di Basyrah Irak 

pada abad ke-10 dan secara luas dianggap sebagai cabang dari mazhab Ismailiah. Para 

anggotanya mengabdikan diri untuk mempelajari sains, terutama yang berhubungan 

dengan topik seputar alam, kosmik, dan aksi politik. Rasai (surat-surat atau risalah-

risalah) kelompok ini menjadi sebuah ensiklopedi filsafat dan sains pada masanya, 

sedangkan popularitas yang mereka miliki memvbuat pemikiran kelomp[ok pemikiran 

iini menyebar jauh. Kelompok Ikhwan ini merepresentasikan sebuah aliran pemikiran 

yang kompleks dan sering digolongkan sebagai kaum rasionalis, kaum peripatik, dan 

kadang juga sebagai kaum “pra-sufi” . 

Dalam kosmologinya, kelompok ini lebih memilih doktrin emanasi Platonis 

dibandingkan doktrin penciptaan exnihilo dalam Al-Qur’an. Kaum Ikhwan percaya 

pada konsepsi organik tentang kosmos, yang didasarkan pada persfektif sufi, yang 

menganggap seluruh eksistensi merupakan kesatuan tunggal. Di samping itu, 

kelompok ini juga menganut sistem numerologi alam semesta—mulai dari angka 1 

yang dianggap mewakili ‘eksistensi’ (wujud) hingga angka 0 yang mewakili tak 

terrhingga atau esensi ilahi. Selain itu kelompok ini menyusun sebuah skema formal 

yang menggambarkan kosmos dari 1 sampai 9, sementara angka10 melambangkan 

kosmos yang kembali kepada esensi, yakni angka 10. 

  Skema ini  dapat diringkas sebagai berikut: 

1). Sang Pencipta yaitu zat yang satu, sederhana, abadi, dan konstan 

2). Akal/kecerdasan, yang terdiri dari dua jenis: kecerdasan yang sudah ada 

sebelumnya dan kecerdasan yang diperoleh/diupayakan 

3). Ruh yang terdiri tiga jenis; nabati, hewan, dan akal 

4). Materi yang terdiri dari empat jenis: buatan, fisik, kosmik, dan primordial 

5). Alam semesta yang dibagi menjadi lima kategori: empat unsur alam (tanah. Air, 

udara, api) dan satu langit/etyer 

6). Tubuh atau objek yang memiliki kemungkinan enam arah: atas, bawah, depan, 

belakang, kanan, dan kiri. 

7). Tujuh lingkaran, yang terdiri dari tujuh planet 

8). Delapan elemen: empat elemen yang dikaitkan dengan empat karakteristik fisik 

(panas, dingin, lembab, dan kering) 

9). Tubuh duniawi/jasmani: mineral, nabati, dan hewani yang masing-masing 

memiliki tiga jenis. 

Dalam setiap tingkatan dalamk skema kosmik ini berisi sejumlah elemen yang 

skalanya samadengan tempatnya, yang semakin menegaskan pentingnya numorologi 

dalam kosmologi kelompok Ikhwan. Secara paralel, anggota kelompok ini 

menggambarkan proses penciptaan sebagai berikut: 

1). Penciptaan akal, karena akal bersifat sederhana dan sempurna serta harus 

memainkan peran sebagai ‘hijab’ antara esensi ilahi dan dunia yang diciptakan  

2). Penciptaan Ruh kosmik, yakni agen kosmik yang menciptakan makhluk-makhluk 

di alam semesta dengan kehendak ALLAH 

 3). Penciptaan materi primordial, yang darinya semua ciptaan akan dibentuk 

 Kelompok Ikhwan bersikeras bahwa seluruh proses pencptaan ini berlansung 

dalam waktu sesaat  meskipun proses ini  terbagi kedalam langkah-langkah 

berurutan diatas. Apalagi, proses penciptaan demikian merupakan sebuah proses 

‘emanasi’ Ilahi. Kelompok ini juga menolak sifat keabadian kosmos karena mereka 

mempercayai gagasan Augustinian bahwa waktu dan ruang diciptakan bersamaan 

dengan penciptaan alam dan materi  

f. Al-Biruni (973-1051) yaitu  tokoh terpenting dari mazhab ilmiah (metodis) Muslim. 

Sebagai salah satu ilmuan yang paling kompeten pada abad pertengahan, ia menelaah 

alam semesta sebagai seorang Muslim taat yang memandang dunia sebagai ciptaan 

ALLAH dan menganggap studi terhadap alam semesta sebagai kewajiban agama. AL-

Biruni yaitu  ilmuan yang begitu menjunjung tinggi Al-Qur’an, sehingga ia benar-

benar menganut doktrin penciptaan ex nihilo. Namun, ia berkesimpulan bahwa kita 

tidak mungkin mengetahui tanggal dan waktu penciptaan secara pasti, karena ALLAH 

tidak menyebutkan apapunmengenai hal ini didalam kitab-Nya dan memutuskan 

untuk membatasi pengetahuan mengenai hal ini  hanya untuk diri-Nya saja. 

Selain itu, perkiraan tanggal penciptaan menurut berbagai peradaban kuno sangatlah 

beragam, dan menurut Al-Biruni sebagian di antara perkiraan ini  benar-benar 

tidak realistis. Karena itulah, ia menekankan bahwa konsep waktu dalam pandangan 

manusia pastilah sangat berbeda dengan konsep waktu menurut sang pencipta:  


 Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiyaitu  dirugikan 

seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami 

mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. (Q.S. Al-

Anbiya’21[47]). 

Al-Biruni juga mengakui bahwa berbagai pengamatan dan penyelidikan yang 

ia lakukan terhadap alam semesta mendorongnya kepada kesimpulan bahwa hukum-

hukum alam pastilah tetap dan tidak berubah seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, 

ia menerima kepercayaan kuno mengenai siklus alam semesta dalam sejarah, 

termasuk pandangan mengenai adanya kemusnahan secara bertahap, baik pada materi 

maupun karakteristik moral makhluk hidup. 

 Kosmologi/ilmu falak Al-Biruni mirip dengan pandangan para pemikir Yunani 

(khususnya Aristetoles dan Ptolomeus, yang menyatakan bahwa kosmolos layaknya 

bola kerang yang berpusat di bumi). Dalam hal ini, ia tidak terpengaruh oleh konsepsi 

kosmologi India meskipun ia pernah tinggal di sana dalam waktu yang lam dan 

menjadi seoprang ahli dalam bidang sejarah dan budaya India. Al-Biruni yaitu  

seorang pemikir independen yang sangat mendukung pendekatan ilmiah dan hasil 

penyelidikannya sebagaimana dukungannya terhadap Al-Qur’an.  

g. Tasawuf: Ibn ‘Arabi’ (1165-1240). Berabad-abad setelah zaman keemasan Islam 

(abad ke-10 hingga 12), minat mempelajari ilmu alam perlahan-lahan menurun. 

Kehidupan intelektual dan spritual Islam berganti didominasi oleh doktrin-doktrin 

tasawuf Ibn Arabi dan doktrin gnostik isyraqi (iluminasi) suhrawardi (1155-1191). 

Doktrin sufi yang tergambar dalam prinsip utama “tidak ada realitas di luar realitas 

Mutlak”, yang bermakna “tidak ada yang lain selain ALLAH” tidak pernah diucapkan 

secara eksplisit sebelum abad ke-12 dan ke-13 saat  Ibn Arabi, Al-Qunawi, Al-Jili, 

dan para guru lain dari mazhab ini  merumuskannya.  

Ibn Arabi lahir di Andalusia dan wafat di Damaskus pada 1240 setelah melakukan 

perjalanan ke berbagai Dunia Islam –dapat dikatakan sebagai tokoh yang secara 

diametral bertentangan dengan tokoh peripatetik Muslim lain (semisal Ibn Rusyd). 


Doktrinnya berlandaskan prinsip bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui 

pengalaman spritual yaitu  bentuk pembelajaran tertinggi. Bahkan, menurutnya, 

hasil-hasil objektif yang hanya bisa diperoleh melalui penalaran bisa jadi sebuah 

‘penghalang’ (sebuah konsep yang menunjukkan kekayaan simbolisme dalam 

tasawuf) yang bisa membuat seseorang tidak melihat segala sesuatu dengan 

sebenarnya. 

Prinsip utama doktrin Ibn Arabi yang seharusnya perlu ditekankan namun tidak 

banyak di anut oleh kalangan Muslim yaitu  mengenai eksistensi (wujud) yang 

merupakan suatu hal yang tunggal dan identik dengan realitas (esensi mahiyah). 

Entitas yang diciptakan tidaklah eksis dalam dirinya sendiri, sebab ia memeroleh 

eksistensinya berkat hubungannya dengan Yang ada. Ada atau tidak adanya suatu 

suatu entitas tidaklah berbeda di dalam ‘pikiran’ Tuhan. Dengan kata lain, entitas 

hanyalah gambaran atau – menurut analogi terkenal yang sering digunakan dalam 

konteks ini—hanyalah pantulan cermin parsial (objek-objek virtual) dari sebuah 

eksistensi yang lebih mendasar.  

Oleh karena itu, alam semesta kemudian digambarkan sebagai ‘teofani’ (tajalli) 

dengan asumsi bahwa ALLAH ‘melihat’ Diri-Nya dalam ciptaan-Nya. Jika 

keberadaan (Tuhan) benar-benar tidak dapat diakses oleh pemahaman manusia, maka 

hal yang sama juga harus berlaku pada 99 sifat ALLAH (kemahatahuan, 

kemahakuasaan, dan lain-lain), karena nama-nama ini  mencerminkan bagaimana 

Tuhan menggambarkan diri-Nya sendiri. Pengetahuan tentang Realitas (ilmu yang 

‘sebenarnya’) kemudian meliputi pemahaman terhadap model-model pengungkapan 

diri (tajalli) Tuhan yang tak terbatas jumlahnya ini. Dalam risalah visionernya, Al-

Futuhat Al-Makkiyah (“Penyingkapan Makkah”) Ibn Arabi menjelaskan bahwa 

pengetahuan tentang kosmos hanya dapat dicapai dengan melakukan perjalanan mistis 

melalui kosmos itu sendiri. 

Doktrin ini mempersoalkan wacana seputar creatio ex-nihilio dan menganggap bahwa 

konsep ini  tidak menunjukkan keabadian alam semesta. Karena segala sesuatu 

tergantung pada kehendak ALLAH, maka bagaiman serta kapan sebuah entitas atau 

bahkan seluruh kosmos ada atau hilang juga akan tetap tidak diketahui. Siapapun bisa 

melihat begaimana peristiwa penciptaan dan evolusi kosmik berlansung terus 

menerus, karena ALLAH tidak pernah mengungkapkan dirinya kepada diri-Nya 

Darussalam: Jurnal Pemikiran Hukum Tata Negara  dan

mengenai hal ini . saat  sebuah entitas/keadaan tercipta, ia tidak lagi menjadi 

‘keinginan’ ilahi dan akan sesaat  musnah; hanya saat  sebuah keadaan diinginkan, 

barulah ia muncul. 

 

Berbagai model dan teori kosmologi mengenai sejarah akan alam semesta dan 

segala isinya selalu menyulut perdebatan-perdebatan filisofis yang besar dan sering 

kali tidak bisa lepas dari referensi keyakinan dan ajaran agama. Selama era keemasan 

peradaban Islam, Al-Qur’an menjadi sumber primordial dan referensi untuk berbagai 

informasi dan doktrin mengenai kosmik akan tetapi, para pemikir Muslim menyadari 

bahwa Al-Qur’an terlalu ambigu dan ambivalen untuk membangun teori kosmologi 

yang rigid. saat  filsafat Helenistik sangat memengaruhi pemikr Muslim dan telah 

diserap sedini mungkin (abad 9).alih-alih mengulang teori-teori kuno, bangunan 

‘kosmologi Islam’ justru merupakan lukisan yang kaya perspektif karena 

menggabungkan pandangan-pandangan budaya lain dengan prinsip-prinsip Islam. 

Pada abad ke-20, muncul gerakan pembaruan saat  kosmologi mulai melekat 

luas dengan semua agama (dengan berbagai cara), khususnya dengan Dunia Islam. 

Dalam budaya menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber referensi terpenting, hasil-

hasil temuan ilmiah hampir selalu dibandingkan dengan teks-teks sakral, sehingga 

mulai muncul kosmologi yang cenderng masih amatir, karena secara bebas 

menggabungkan sains dan teks keagamaan dalam lanskap kebudayaan. Beberapa 

pemikir dan ilmuan semakin meyakini bahwa pendekatan ilmiah murni terhadap 

kosmos tidaklah memuaskan. Karena sains modern tidak membuka ruang terhadap 

transendensi atau pemaknaan, kecuali ili teistik. 

Tantangannya yaitu  bagaimana membangun sebuah teologi yang dapat 

‘mengawinkan konsepsi-konsepsi agama ALLAH dengan sebuah teologi alamiah 

(natural theologi) yang memposisikan Tuhan dan asalmula ketertiban kosmos sebagai 

dasar dibangunnya alam semesta. Yang pasti kita tidak bisa menerima teologi-teologi 

yang secara jelas berbenturan atau bertentangan dengan etode-metode rasional dan 

hasil-hasil ilmiah. Kita tidak bisa mempertaruhkan akal kita sendiri. Dan juga 

‘kosmologi Islami’tidak bisa membatasi diri pada penafsiran ilmiah-semu terhadap 

teks-teks suci. Kosmologi ini  harus menyediakan ruang bagi kretivitas dan 

kebebasan berfikir dalam kebudayaan Islam. 

Kebudayaan Islam mampu sebagaimana pernah terjadi ribuan tahun lalu dan 

semestinya masih mampu menyerap pengetahuan manusia, sains, dan kemajuan 

sehingga dapat menghasilkan sebuah sintesis menarik yang bernilai. Sebuah 

kosmologi modern Islam/teistik yang sepenuhnya kompatibel dengan sains sangat 

mungkin dibangun selama para aktor intelektual tetap terbuka, kreatif, dan tidak kaku, 

baik dalam pengetahuan religius maupun saintifiknya.