aitu pencerahan
intelektual iluminatif tentang internal life dimana agama mendominasi
perkembangan kesadaran kosmik serta moralitas juga berperan untuk peningkatan
kesadaran kosmik dan pada puncaknya kesadaran kosmik yaitu pantaisme. Istilah
lainnya yang dimunculkan oleh Ouspensky, kesadaran kosmis berarti kesadaran
metafisis atau tertium organum.206
Paradigma kesadaran kosmik bagi Nasr yaitu kesadaran terhadap kosmik
sebagai upaya konseptual tentang Tuhan yang tak berhingga (absolute) dan tak
terbatas (infinite), hal ini sesuai prinsip Teophany. 207 Nasr mengungkapkan bahwa
kosmos yaitu buku yang berisi wahyu primordial yang paling bermakna dan
manusia yaitu keberadaan yang esensial, elemen-elemen konstitutif yang
direfleksikan pada cermin kosmik, yang memiliki neksus batin.208 Sementara Chittick
menjelaskan bahwa alam yaitu The Signs of God, tak ubahnya al-Qur’an juga
sebagai ayat Tuhan yang berarti kesadaran terhadap kosmik sebagai pengetahuan
tentang segala sesuatu berasal dari prinsip yang pertama dipelihara oleh prinsip yang
pertama dan kembali pada prinsip yang pertama.209 Annimarie Schimmel dalam
bukunya Deciphering The Signs of God mengungkapkan bahwa kesadaran kita
terhadap Tuhan dengan melalui tanda-tanda alam, simbolisme-simbolisme sakral dan
makna-makna setiap peristiwa.210 Inti dari seluruh terminologi tentang kosmos yaitu
ayat Tuhan. sebab nya, kosmos meskipun pada dirinya yaitu profan namun ketika
kosmos yaitu ayat tentangnya, maka kosmos yaitu sakral.
Kosmos berfungsi sebagai pengetahuan suci dan sebagai simbol yang
mencerminkan sifat-sifat dan nama-nama Ilahi dan menjadi akar bagi realitas dan
fenomena dunia, maka kosmik didefinisikan sebagai teofani, yang secara literaly to
show God doesn’t mean incarnation of God in Thing namun sebagai refleksi
keberadaan Realitas Tunggal.211 Alam sebagai simbol atau tanda yang hadir secara
simbolik menguraikan berbagai tingkat eksistensi. Kosmologi parennis secara
esensial berkenaan dengan metafisika mengimplikasikan bahwa transparansi
metafisik bentuk-bentuk dan objek-objek alamiah sebagai suatu dimensi dan aspek
penting melihat Ilahi dimana saja212. Berdasarkan prinsip ههجو لاا كلاه ءيش لك : seeing
God everywhere213 Inti dari kesadaran terhadap kosmik yaitu kesadaran tertinggi
(Highest Consciousness/Kesadaran Tauhid) terhadap yang maha Tunggal dan
melihat keragaman fenomena sebagai Dia. Poin dari The unity of consciousness
yaitu kesadaran puncak atau kesadaran spiritual, melihat alam sebagai Dia. Mata
ma’rifat sebagai sinar kesucian melahirkan kosmos dan fenomena alam sebagai
Tuhan.
Pengetahuan kosmos yang dicapai melalui kesadaran kita, bahwa Tuhan yaitu
Awal dan Akhir Alfa-Omega. Wujud yaitu kata untuk menunjuk Dzat Sang Mutlak,
yang tidak hanya bermakna “Ada” namun menemukan, persepsi, kesadaran,
keinsyafan, pengetahuan, dan kegembiraan.214 Kesadaran merupakan sifat esensial
Wujud al-Haqq dalam arti bahwa Wujud dan Kesadaran yaitu sama dengan Realitas
Tertinggi. yaitu wujud-bersama-kesadaran (Being-Cum-Consciousness) yang
menyebabkan alam semesta muncul215 dalam istilah Hindu Brahman yaitu sat-chit-
ananda “wujud-pengetahuan-kebahagiaan”.216
Kesadaran secara esensial tidak terbatas, ia merupakan subjek yang mengetahui
batas-batas, tapal batas, dan definisi-definisi. Modalitas-modalitas cara mengada
manusia secara ketat berhubungan dengan kesadaran murni dan keinsyafan murni.
Kedirian manusia yang hakiki menyadari sepenuhnya kedirian mereka sendiri,
intelegensi dan kesadaran mereka yang secara fitrah dan tak terbatas.217 Sumber diri
yaitu Sang-Ada-Pertama (al-Haqq/the First Real) tidak dapat dicapai oleh instrumen-
instrumen diri dan bahkan oleh dirinya sendiri. Sebagaimana para Sufi berkata,
“Tiada yang mengetahui Tuhan kecuali Tuhan”. Setiap pengetahuan hakiki tentang
Tuhan hanyalah Tuhan Sang Mahahadir dalam diri manusia melalui Intelek Pertama,
sebagai pancaran Cahaya Tuhan yang paling kuat.218
Dalam Islam, manusia, kosmos, dan kitab suci yaitu pusat dari agama secara
luas. al-Qur’an yang tertulis dan tersusun (ayat tadwini) sebagai mana ayat kosmos
(ayat takwini). Ayat-ayatnya juga berarti tanda-tanda atau simbol-simbol yang al-
Qur’an itu sendiri mendasarkan pada ayat di (QS. Fussilat [41]:53).219 Hal ini
diinterpretasikan sebagai dua basis tanda, yakni ayat prophetic dan natural.
Kesadaran (consciousness) merupakan elemen esensial dalam perjalanan spiritual.
Ketika kesadaran dimaknai sebagai pengetahuan metafisika maka Kesadaran tentang
Sang Absolut dan juga kesadaran tentang manifestasi-Nya. Apapun yang tampil
dipermukaan realitas berakar dari Sang Realitas dan memancar dari Sang Infinite.220
Struktur simbolis alam (baik yang imajinal ataupun yang indrawi) hanya
terjangkau oleh kesadaran sejumlah orang – mayoritas – kesadaran manusia hanya
meringkuk, pada tingkat wujud yang paling rendah, yakni alam indrawi dan alam
benda-benda sebab bagi mereka – hanya alam indrawi lah yang bisa diraba dan
digenggam. Sehingga buat mereka – inilah satu-satunya alam eksistensial. sebab
mereka tidak pernah menakwil dibalik yang tampak. sebab mereka sedang tertidur,
maka kesadaran ini bagi Izutsu disebut Kesadaran suram (opaque consciousness).221
Bagi Izutsu, untuk memahami alam sebagai sebuah simbol yang bersumber dari
Sang Mutlak hanya mata manusia yang memiliki kapasitas spiritual keseluruhan alam
fenoma terlihat citra-citra yang lebih tinggi, sampai ke landasan puncak wujud itulah
yang diatributkan Ibn ‘Arabi pada penyingkapan kashf atau intuisi mistis.222 Dengan
memiliki kesadaran spiritual yang melampaui kemanusiaannya maka manusia bisa
melihat alam sebagai theophany dan manusia butuh peta untuk mempelajari dan
meneliti alam dalam perspektif tradisional. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Nasr;
“In fact man cannot contemplate the cosmoc as theophany until he has journeyed
thrugh and beyond it. That is why the traditional cosmologies are also concerned with
providing man with a map which would orient him within the cosmos and finally
enable him to escape beyond the cosmos through that miraculous act of deliverance
with which so many wyths have been concerned” 223
Pada kenyataannya manusia tidak dapat merenungkan kosmos sebagai theophany
sehingga dia menempuh melalui dan melampauinya. Itulah mengapa kosmologi-
kosmologi tradisional berkenan memberikan manusia dengan peta yang akan
mengorientasikannya di dalam kosmos dan akhirnya memungkinkan meninggalkan
kosmos, melalui aksi pembebasan misterius, dimana banyak mitos dihubungkan.
Kemudian Nasr melanjutkan sebagai berikut;
“From this point of view the cosmos appears as a labyrinth throught which man must
journey in a perilous adventure where literally all that he is and all that he has is at
stake, a journey for which all traditions require both the map of traditional knowledge
and the spiritual guide who has himself journeyed before through this labyrinth. It is
only by actually experiencing the perilous journey through the cosmic labyrinth that
man is able to gain a vision of that cathedral of celestial beauty which is the Divine
Presence in its metacosmic splendour” 224
Dari titik pandang ini, kosmos nampak seperti sebuah labirin dimana manusia harus
menempuh perjalanan yang penuh bahaya, yang secara literal dalam petualangan ini
sedang dipertaruhkan, sebuah perjalanan yang mebutuhkan sebuah peta yang berupa
pengetahuan tradisional dan seorang pembimbing spiritual yang sudah pernah
melewati perjalanan labirin ini.225 Hanya dengan melewati dan memiliki pengalaman
aktual di dalam petualangan labirin kosmis manusia dimungkinkan memperoleh visi
keindahan cathedral celestial yang merupakan kehadiran Ilahi dalam keajaiban
metakosmosnya.
Selanjutnya Nasr menjelaskan:
“Having journeyed through and beyond the cosmoc, man, who is then “twice born”
and a “dead man walking” in the sense of being spiritually resurrected here and now,
is able finally to contemplate the cosmoc and its forms as theophany. He is able to
see the forms of nature in divinis and to experience the Ultimate Reality not as
transcendent and beyong but as here and now. It ts here that the cosmoc unveils its
inner beauty ceasing to be only externalized fact or phenomenon but becoming
immediate symbol, the reflection of the noumenon, the reflection which is not
separated but essentially none other than reality reflected.” 226
Setelah melalui perjalanan kosmos manusia mengalami kelahiran kedua dan
perjalanan manusia yang telah mati yang berarti dia sudah dibangkitkan secara
spiritual, akhirnya memungkinkan merenungkan kosmos dan bentuk-bentuknya
sebagai theophany. Manusia akan melihat keberagaman kosmos in divinis an
mengalami Realitas Puncak, bukan sebagai transenden dan kebakaan namun sebuah
realitas yang hadir disini dan sekarang.227 Disini alam akan menyingkapkan
keindahan batinnya dan bukan sebagai fenomena saja namun memiliki keinginan
untuk menjadi sebuah simbol tanpa perantara: menjadi sebuah cerminan fenomena
yakni cerminan yang tidak terpisah yang secara esensial yaitu identik dengan
realitas yang dicerminkan.
3. Lokus Kesadaran Kosmik
Akal manusia yaitu sebuah substansi spiritual yang sumber atau prinsipnya
yaitu akal Ilahi atau logos. Yang juga merupakan prinsip dari alam makro kosmik
dan sumber bagi kitab suci al-Qur’an.228 Dari sudut pandang pengetahuan atau
kesadaran (shuhud) akal merujuk pada fakultas pengetahuan manusia yang tertinggi
yang disamakan dengan mata hati (‘ain al-qalb). Oleh sebab itu, akal merupakan
kekuatan dan fungsi sebagai kunci untuk memahami atau mengkaji makrokosmos.229
Akal atau intelek sajalah yang dapat melihat, memahami, memverifikasi dan
merealisasikan al-Haqq.230 Intelek saja yang memberi kehidupan, kesadaran dan
pemahaman bukan hanya kepada jiwa manusia namun kepada semua tingkatan jiwa.
Jiwa manusia yaitu subjek yang mengetahui dan sadar yang memiliki kemampuan
untuk menjadikan seluruh alam semesta dan segala yang ada di dalamnya sebagai
objeknya.231 Akal manusia, alam makro kosmik dan wahyu al-Qur’an membentuk
tiga elemen atau aspek fundamental dalam gagasan komprehensif tentang kebenaran
bahwa dengan fitrahnya Tuhan mencipta dan memberikan pengetahuan.232 Wujud
227Secara esensial yaitu perspektif Zen yang tak berarti bahwa manusia dapat
pengalaman Ilahi dalam sesuatu dengan bentuk-bentuk naturalisme yang bagi Barat,
mengadaptasi Zen hamper menafsirkannya menjadi semacam sifat sentimental mistikisme ke
dalam dunia Zen. Orang tertentu, dalam satu pengertian, berkeinginan untuk mengalami
pengalaman surgawi tanpa pernah yakin di dalam Tuhan atau ibadah, yang memungkinkan
kualitas keberadaan bagi keadaan surgawi, untuk apa kontemplasi bentuk natural in divinis
menerima suatu pengalaman surgawi? Dala, berbagai hal, taka da sesuatu pun sebagai sifat
mistikisme dari titik pandang tradisional; secara praktis manusia tidak dapat mengalami
Tuhan sebagai imanen sebelum mengalami-Nya secara transenden, sebagaimanapun konsep
tersebut diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa tradisional yang berbeda. Orang juga dapat
mengatakan bahwa manusia juga dapat merealisasikan identitas nirwana dengan samsara,
yang menyediakannya kesiapan perjalanan di belakang samsara dan mencapai nirwana.
sentral dari alam yang diciptakan Tuhan yaitu manusia dengan karunia karakter
supranatural yang berupa akal dan kemampuan kognitif serta dengan karunia menjadi
miniatur alam semesta (mikrokosmik).233
David Chalmers, seorang filsuf Australia mengklaim bahwa kesadaran bukanlah
aspek keturunan atau kebetulan yang bekerja secara acak melainkan bagian
fundamental dari realitas yang ada secara permanen. sebab baginya kesadaran tidak
pernah dapat dijelaskan secara fisik, kimia atau biologis seperti halnya istilah-istilah
yang terdefinisikan selama ini. Ilmuan-ilmuan besar seperti Newton, Kepler dan
Galileo mencoba menemukan hukum-hukum fisik yang mengatur alam semesta
dalam upaya mengungkap rencana induk kosmos Tuhan. Kesadaran yaitu
kebutuhan permanen manusia untuk membaca pikiran Tuhan sebagai upaya filosofis
yang mendorong semua upaya ilmiah. Upaya neuroscience untuk memecahkan
masalah kesadaran berpotensi mencapai jalan buntu yang akhirnya terjadi pergeseran
paradigmaa bahwa pusat kesadaran manusia bukan pada pikiran namun kepada
kesadaran spiritual.234
Ketika pemahaman kita terhadap kosmos yaitu tanda – dan berujung pada
Highest Consciousness – maka hierarki kesadaran kita berawal dari kesadaran
sebagai fisik yang memiliki jiwa – juga memiliki spirit/ruh – atau dengan kata lain
alam riil sebagai fisik, alam riil sebagai jiwa dan alam riil sebagai spirit – diantara
ketiganya bukan sesuatu yang terpisah – namun lebih pada (a part of awareness).235
Secara eksistensial makna visi kesadaran kosmik berarti seluruh kehidupan kita
yaitu madrasah Tuhan baik yang ada pada diri kita sebagai mikrokosmos ataupun
yang ada pada alam sebagai makrokosmos. Seluruh nama-nama Tuhan baik yang
jalal atupun yang jamal termanifestasi dan menampilkan diri sebagai horizon
pengetahuan.236
Pengetahuan atau kesadaran ada dalam tiga tingkat; Mental rational knowledge),
Intelektual (heart knowledge) dan iman (Knowledge of faith).237 Fase kesadaran
intelektual (qalbiyah) merupakan sebuah kesadaran eksistensial dimana hakikat-
hakikat transenden akan berkesinambungan di dalam hati dan intelek, dan dalam fase
ini subjek menyatu dengan objek dan sebaliknya.238Heart knowledge merupakan
pancaran cahaya yang tak terputus dari sumbernya. sebab Allah menjadikan hati
(qalb/heart) hamba-Nya sebagai sebuah rumah, sebab Ia menjadikannya tempat
pengetahuan-Nya - pengetahuan ma’ifat (irfānī), bukan pengetahuan teoretis
(nazarī)239.
Pada mikro kosmik ada qalbu dan pikiran. Di luar mikro ada makro, dalam
makro ada qalbu – the macro cosmic heart – yang identik dengan sang logos, sang
logos yaitu para Nabi. Qalbu dalam diri mikro yaitu “sang logos” yang ada di
alam. Sebagaimana qalbu yaitu pusat keberadaan manusia sehingga logos yaitu
pusat keberadaan alam.240 Tidak ada apapun yang terpendam di dalam makrokosmos
yang tidak berasal dari metacosmos dan kemudian ditemukan berada dalam
mikrokosmos. Hal ini mengindikasikan bahwa lokus pengetahuan Tuhan yaitu
mikrokosmos yakni manusia.241 Seperti halnya QS. Al-Baqarah [2]: 31 ءامسلاا مدا ملعو "
" اهلك yang berarti bahwa manusia yaitu lokus pengaliran pengetahuan Tuhan yang
membawa pada kesadaran.
Manusia dapat digambarkan memiliki sifat yang dimiliki oleh makrokosmos dan
memiliki hierarki eksistensial sebab manusia diciptakan dari nafas Tuhan yang
dihembuskan kedalam tanah dunia, seperti halnya QS: 15:28. Yang berarti “manusia
yaitu perpaduan antara cahaya eksistensi dan kesadaran dengan kegelapan dalam
debu yang paling rendah.” Ayat ini mengandung arti bahwa Tuhan menempatkan
seluruh sifat-Nya di dalam kosmos, namun sifat-sifat itu dalam kosmos terserak dan
terpisah-pisah, sementara dalam diri manusia tersatukan dan terpusat.242 Dalam
kosmos nama-nama Tuhan secara relatif terbedakan namun dalam diri manusia tak
terbedakan. Nama-nama Tuhan memiliki peran penting dalam kaitannya dengan
pengetahuan tentang kosmos. Lewat nama-nama Tuhan mengajarkan seluruhnya
kepada manusia namun ada batas pemahaman, batas pengetahuan, batas kesadaran
pada diri manusi.243 Untuk menggambarkan bahwa manusia tidak bisa merekam
hikmah dan nama-nama atau seluruh kalimat Tuhan merujuk pada ayat: “seandainya
pohon-pohon di muka bumi dijadikan pena dan lautan (sebagai tinta) ditambah tujuh
laut hingga kering niscaya tidak akan mampu menuliskan kalimat-kalimat Allah”
(QS. Luqman [31]: 27).
Jika kesadaran kita bahwa seluruh dunia berasal dari Ilahi – persis seperti laba-
laba membentang jejaring-jejaringnya dari tubuhnya sendiri, lalu menariknya
kembali, demikian juga semesta tumbuh dari dari yang kekal (upannishad). Allah
yaitu penari kosmik dan setiap geraknya yaitu ciptaan – segala mengalir dari
sungai Ilahiyah yang tiada henti – sehingga kosmos mengalir dalam pembaharuan
yang terus-menerus sebab Brahman yaitu Realitas seutuhnya yang tak terbeda-
bedakan.244
Menurut Frithjof Schuon transendensi, imanensi dan teofani yaitu penghubung
yang digunakan manusia untuk mendekati Realitas Ilahi dan ini berarti bahwa:
menemukan Tuhan pada dasar jiwa terdalam. 245 Pertama yaitu Tuhan transenden
yang bertahta di surga. Yang kedua yaitu manusia – Tuhan (simbol – sakramen)
yang terakhir yaitu Diri Imanen.
Manusia secara primordial memiliki akar pada tatanan Ilahi dan secara ipso facto
cenderung ke arah asalnya yakni Ilahi. Manusia yaitu mahluk hidup yang memiliki
inner faculty (pengetahuan) yang bisa menangkap makna universal, memiliki
kekuatan dan kapasitas dalam mengartikulasikan simbol – pola – makna. Manusia
merupaakan ruh, jiwa, hati dan intelek. Yang termanifestasi dan menunjukkan pada
Realitas Yang Satu, sebab itu manusia memiliki kapastitas untuk memahami
keberadaan dari tingkat eksistensi spiritual hingga fisik.246
Sang Realitas meniscayakan pancaran radiate yang memanifestasi dalam derajat
vertikal dan keragaman horizontal. Seperti halnya yang dijelaskan;
“There is not only this hierarchy”
“There is also in the Universe the diversifying manifestation of the positive
possibilities included in the Divine Potentiality.”247
Berarti bahwa Sang Realitas dalam konteks kosmologis akan tampil dalam
berbagai dimensi dan mode. Dan kita bisa menemukan refleksi kualitas dan sifat
Maha Realitas dalam setiap derajat hierarki Universal. Kesadaran kita terhadap apa
yang appear sebagai form yang tampil sebagai kosmos meniscayakan kesadaran kita
pada batin meskipun tidak semua yang batin mendzahir. Sebagai Yang Tak Terbatas,
Dia yaitu sumber segala sesuatu yang mengalir tanpa akhir dan bukan sekedar asal
usul kronologis namun juga sebagai fondasi ontologis.248
Ajaran tradisional atau kita sebut metafisik ataupun esoterik bukan kumpulan
atau definisi dan diskursus teoritis semata namun sebagai panduan perjalanan spiritual
manusia menuju taman indah yakni Tuhan. Tradisi ini mengajarkan manusia dari
mana kita harus memulai perjalanan dan kemana tujuan kita kembali.249 Dengan
berdasarkan prinsip Inna lillah wa Inna Ilaihi Raji’un, yang berarti dari azalinya
perjalanan manusia minallah, billah, fillah dan ilallah.
DINAMIKA SPIRITUAL DAN PEMIKIRAN METAFISIKA
IBN ‘ARABI
Bab ini diawali dengan uraian tentang riwayat hidup Ibn ‘Arabi. Kemudian
riwayat spiritual, karya-karya intelektualnya, selanjutnya mengurai tiga konsep
metafisikanya, yaitu al-Haqq, tanzih tasbih, dan al a’yan al-tsabitah.
A. Dinamika Spiritual Ibn ‘Arabi
Pembahasan tentang dinamika spiritual Ibn ‘Arabi bukan sekedar menambah
informasi tentang aspek biografi secara historis namun lebih pada catatan perjalanan
spiritual yang bisa memberi kesadaran dan sumber inspirasi kehidupan spiritual.
1. Riwayat Hidup Ibn ‘Arabi
Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Arabi al-Ta’i al-Hatimi dilahirkan
pada 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol
bagian Tenggara dan wafat pada 22 Rabiatulakhir 638 H, bertepatan dengan
November 1240 M di Damaskus, Suriah.1 Ibn ‘Arabi yaitu seorang keturunan suku
Arab kuno Tayy.2 Ia lebih dikenal dengan nama Ibn al-‘Arabi (dengan al-) atau Ibn
‘Arabi (tanpa al-) untuk membedakannya dengan Ibn ‘Arabi yang lain. Dua gelarnya
yang paling masyhur ialah Muhyi al-Din (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar
(Syaikh Terbesar)3, selain itu ia juga dijuluki Doktor Maximus, Ibn Aflatun (Putera
Plato) atau Sang Platonis4, Khatim al-Auliya’ al-Muhammadiyyah (Penutup para wali
Muhammad), Qutb al-Arifin (Poros Ahli ma’rifat), Imam Munahiy al-Din (Pemimpin
Agama Kaum Muallaf), Rahbah al-Alam (Pembimbing Dunia).5
Ayahnya bernama Ali ibn Muhammad yang dikenal sebagai seorang faqih dan
pejabat di Murcia,. Saat Murcia ditaklukkan oleh Dinasti Al-Muwahhidun pada tahun
567 H/1172 H, Ali membawa keluarganya pergi ke Seville.6 Saat itu Seville yaitu
kota yang menjadi pusat Sufisme.7 Ia menetap disana selama 30 tahun untuk
mempelajari Al-Qur’an beserta tafsirnya, hadits, fikih, teologi dan filsafat skolastik
dibawah bimbingan guru-guru terkenal. Di usianya ke delapan tahun Ibn ‘Arabi
memulai pendidikan formalnya sebagai sosok yang cerdas.8Kegigihannya dalam
belajar mengantarkan Ibn ‘Arabi sukses dalam perjalanan karirnya yang tercatat
menjadi seorang sekretaris Gubernur Seville. Dan saat itu ia juga menikahi seorang
wanita muda dan solehah bernama Maryam yang berasal dari keluarga
berpengaruh.9Sebagai pemuda dengan kecerdasan tinggi dan penglihatan spiritual
yang tajam, Ibn ‘Arabi yang masih berusia dua puluh tahun mulai melakukan
kunjungan ke berbagai kota di Andalusia. Ia menemui para wali-wali laki-laki dan
perempuan dan saat bermukim di Cordoba, ia bertemu dengan Ibnu Rusyd juga tokoh
penafsir Aristoteles.10
Saat Ibn ‘Arabi berusia tiga puluh tahun (590 H/1193 M), pertama kalinya ia
melakukan perjalanan keluar dari Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tujuh tahun
setelahnya (597 H/1200M), ia mendapatkan ilham spiritual untuk pergi ke arah timur
untuk melakukan ibadah haji di Makkah. Selain itu, situasi religio-politis pula yang
menyebabkan ia harus pergi meninggalkan kota kelahirannya. Sebab ia yaitu tipe
sufi yang tidak disenangi para theologia Barat, kerajaan-kerajaan Spanyol dan Afrika
Utara. Para sufi diancam akan disiksa sebab kecurigaan penguasa al-Muwahhidun
terhadap mereka yang ditakutkan menggerakkan tarekat-tarekat juga menggerakkan
perlawanan pada rezim yang berkuasa.11 Seandainya Ibn ‘Arabi tidak pergi dari
Spanyol, mungkin akan dibunuh seperti Ibn Qissi (kepala sekte Muridin), Ibn ‘Arif
dan Ibnu Barrajan yang dipenjara bertahun-tahun kemudian diracun oleh Gubernur
Afrika Utara “Ali bin Yusuf”.12
Pada tahun 598 H/1202 M, Ibn ‘Arabi bersama pembantunya Abdullah al-
Habashi berada di Mesir. Dalam jangka waktu tertentu ia menetap disana namun
mengalami konflik berkala dengan para ahli fikih sehingga ia diancam dengan
ancaman pembunuhan lalu mengharuskan ia mengungsi ke Makkah.13 Setelah
pengembaraannya mengunjungi sepanjang pesisir Afrika Utara, menembus Mesir
dan Yerussalem hingga bagian Utara Turki sebelum akhirnya ia menetap di
Damaskus dan wafat disana14 pada tanggal 10 November 1240 M (22 Rabi’ al-Tsani
638 H).15 Kemudian, ia dimakamkan di pekuburan pribadi Kadi Muhyiddin Ibn az-
Zaki yang terletak di kaki Gunung Qasiyun.16
2. Riwayat Spiritual Ibn ‘Arabi
Nama Ibn ‘Arabi identik dengan gagasan wahdat al-wujud. Konsep ini sebagai
dasar dari ajaran metafisika Ibn ‘Arabi. Namun tidak hanya itu, seluruh ajarannya
merupakan ajaran esoterisme17 sebagai sebuah prinsip (The principle) dan juga jalan
(The Way) untuk mengenal Sang Realitas.18 Saat masih muda, meskipun tanpa belajar
ia memperoleh ilmu pengetahuan melalui jalur spiritual (ladunni).19
Seperti remaja lain, Ibn ‘Arabi juga punya waktu untuk bermain selayaknya
remaja biasanya. Suatu hari saat ia sedang bermain di Seville, terdengar suara
memanggilnya, “Hai Muhammad, bukan untuk ini kamu diciptakan.” Seketika Ibn
‘Arabi menjadi gelisah dengan pengalaman tersebut. Dalam kegelisahannya ia
menyendiri di pekuburan selama beberapa hari, disitulah ia mengalami tiga
mushahadah yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan spiritualnya di masa
depan. Ibn ‘Arabi bertemu dengan Nabi Musa, Nabi Isa20 dan Nabi Muhammad –
yang memberikan instruksi spiritual untuknya.21 Sejak saat itulah Ibn ‘Arabi
mendapat banyak pengalaman spiritual sepanjang hidupnya berupa mukashafah dan
mushahadah. Perjalanan hidup Ibn ‘Arabi merupakan perjalanan panjang yang
identik dengan mistik dan spiritual. Perjumpaan Ibn ‘Arabi dengan guru-guru sufinya
yaitu pertemuan yang terpusat pada spiritualitas.22
Selain dengan cara khalwah, dalam menempuh perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi
melakukan dua hal; menjauhkan diri dari perempuan dan memilih hidup miskin.
Baginya ini yaitu sebuah wujud pengabdian murni (al-ubudiyyah al-mahdhah) yang
mengharuskan seorang wali meninggalkan harta kekayaan dan semua hak agar ia
selalu mengingat rububiyah-Nya.23
Pertemuan Ibn ‘Arabi dengan Ibn Rusyd (w.595 H/ 1198 M) di Kordoba
dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi seperti di bawah ini:
ي تلخد دقلو حتف ام هغلبو عسم الم يئاقل في بغري ناكو دشر نب ديلولا بيأ اهيضاق ىلع ةبطرقب امو
ناكف تيولخ في يّلع هب الله عمتيج تىح هنم ادصق ةجاح في هيلإ يدلاو نيثعبف ,عسم امم بجّعتلا رهظي
.هئاقدصأ نم ناك هّنإف بي
اق هيلع تلخد امدنعف ,بيراش رّط لاو يهجو لقب ام بّيص ناأو نيقناعف اماظعإو ةبمح لّيإ هناكم نم م
هل تلق ,معن :لي لاقو ابم ترعشتسإ نيإ ثم ,هنع يمهفل بي هحرف دازف ,معن : هل تلقف كلذ نم هحرفأ
وه له يّلهلإا ضيفلاو فشكلا في رملأا تمدجو فيك :لاقو هدنع اميف كّشو هنول يّّغتو ضبقن اف ,لا
و لا ,معن :هل تلق ؟رظنلا انل هاطعأ ام ,اهداسجأ نم قانعلأاو اهدّاوم نم حاورلأا يّطت لاو معن ينب
ترشأ ام فرعو لق ويح دعقو لكفلأا هدخأو هنول رّفصاف اذه اهركذ تيلا ةلأسلما هذه ينع وهو هيلإ هب
مولكلا يوادم نيعأ ماملإا بطقلا
؟فلايخ وأ قفاوي وه له انيلع هدنع ام ضرعيل انب عامتجلإا بيأ نم كلذ دعب بلطو نم ناك هنإف
ىأر نامز في ناك يذلا لىاعت الله ركشف ,يلقعلا رظنلاو ركفلا ببارأ جرخو لاهاج هتولخ لخد نم هيف
لثم اهلل انيأر امو اهانتبثأ ةلاح هذه :لاقو ةءارق لاو ةعلاطم لاو ثبح لاو سرد يّغ نم جورلخا اذه
لا ابهبارأ نم دحاو هيف نامز في ناأ يذلا لله دملحاف ,بابارا نيصّخ يذلا للهدملحاو ,ابهوبأ قلاغم ينتحاف
هتيؤرب .24
“Suatu hari di Cordoba, aku pernah mengunjungi seorang qadi bernama Abu al-
Walid Ibn Rusyd. Dia sangat ingin bertemu dengan aku setelah dia mendengar
tentang apa yang Allah bukakan untukku. Ayahku yaitu seorang sahabatnya,
mengajakku menemuinya, agar aku bisa bertemu dengannya. Saat itu aku masih
remaja (sabi), tak sehelai kumis atau jenggot yang tumbuh di wajahku. Saat aku
memasuki rumahnya beliau beranjak dari tempat duduknya dan menyambutku
dengan rasa cinta dan takdzim. Ia memelukku dan berkata kepadaku, ‘Iya’ lalu aku
menjawab ‘iya’. Bertambahlah kegembiraan di wajahnya sebab aku memahami
isyaratnya. namun kemudian aku menyadari apa yang membuatnya gembira lalu ku
katakan ‘tidak’. Tiba-tiba rasa senangnya berubah. Ia mulai ragu dan kemudian
melontarkan pertanyaan kepadaku ‘Bagaimana engkau memperoleh kashf dan ilham,
apakah sama seperti yang kami peroleh melalui pengamatan nalar intelektual? Aku
menjawab ‘iya dan tidak’. Tidak ada ruh-ruh berterbangan dari materi-materinya dan
leher-leher terpisah meninggalkan jasad-jasadnya’. Seketika itu Ibn Rusyd menjadi
pucat dan tubuhnya gemetar dan dia berbisik “Laa hawla wa laa quwwata illa billah.”
sebab dia memahami apa yang ku isyaratkan kepadanya.
Setelah pertemuan itu, ia meminta kepada ayahku untuk bertemu lagi dengan
diriku agar bisa membahas apa yang sudah ia ketahui, apakah pendapatnya sama atau
tidak dengan pendapatku. Ibn Rusyd yaitu seorang pemikir dan intelektual. Dia
bersyukur kepada Tuhan sebab bertemu orang yang memasuki khalwahnya dalam
keadaan bodoh, dan keluar tanpa melalui proses belajar, menelaah dan membaca. Dia
mengatakan “ini yaitu sesuatu yang aku sendiri telah membuktikan
kemungkinannya tanpa pertemuan dengan orang yang telah mengalaminya.
Alhamdulillah, aku hidup pada masa adanya ahli pengalaman ini, seorang yang bisa
membuka kunci pintu-pintuNya. Alhamdulillah yang telah menganugerahkan aku
pertemuan dengan salah seorang dari mereka dengan mataku sendiri.”
Peristiwa tersebut membuktian kecemerlangan Ibn ‘Arabi yang luar biasa dalam
wawasan intelektual dan spiritual. Izutsu menyebutkan bahwa pembicaraan antara
Ibn Rusyd dan Ibn ‘Arabi menjelaskan antara pemikiran akal dan jalan ma’rifat.
Dalam peristiwa tukar pikiran tersebut memberikan fakta bahwa Ibn ‘Arabi mampu
menjelaskan antara pemikiran filosofis dan pengalaman spiritual dan menjadi bukti
korelasi antara filsafat dan metafisik. Ibn ‘Arabi yaitu seorang plotinus, sehingga ia
bisa – atau lebih tepat telah memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya kedalam
suatu pandangan dunia metafisis sebagaimana hubungannya dengan struktur
metafisikanya dalam wahdat al-wujud.25
Dengan kehadiran Ibn Arabi, ajaran-ajaran sufisme terformulasi secara eksplisit
sebagai penjelas dan terklarifikasi agar mudah difahami. Nasar mengistilahkan,
dengan mengeksplisitkan ajaran metafisik menjadi petunjuk bagi masyarakat yang
tidak terakses keranah intuisi dan batin.26
Bacaan Syaikh al-Akbar sangat luas – yang sering disebut tidak hanya
mu’tazilah. Asy’ariyah, dan eksoteriris, namun juga tokoh-tokoh sufi lainnya seperti
al-Ghazali, Ibn Masarrah, dan Ibn Qasyi. Hal ini menguatkan fakta bahwa Ibn ‘Arabi
sangat familiar dan fasih mengartikulasikan pemikiran, para pendahulunya.27
Tasawuf sebelum Ibn ‘Arabi bercorak amaliyah yang diperuntukkan sebagai
bimbingan terhadap murid-muridnya. Para sufi mengungkapan beragam pengalaman
spiritual yang dialami dan diekspresikan dalam ahwal atau maqam spritiualnya.
Kehadiran Ibn ‘Arabi dengan ajaran metafisik, kosmologi dan psikologi menjadikan
hal yang monumental dalam tradisi tasawuf. Ibn ‘Arabi menghadirkan tasawuf dalam
ranah teoritis. Ajaran tasawuf sebelumnya secara implisit terpendam dalam kalimat-
kalimat para guru menjadi terformulasi secara eksplisit dan menjadi expositor par
excellence tasawuf Islami.28
Beliau mempunyai one-pointed attitude of passion for the Truth, dan pernah
menulis, “semua yang telah ditinggalkan kepadaa kita oleh tradisi, hanyalah kata-
kata. Warisan intelektual ini seterusnya diserahkan kepada kita untuk mencari
maknanya. Ibn ‘Arabi memiliki dua guru perempuan yaitu Yasmin dari Marchena29
dan Fatimah dari Cordova.30 Seperti yang diceritakan Ibn ‘Arabiberikut ini:
و اهتمدخ بيطرقلا نىثلما نبإ تنب ةمطاف اله لاقي ةيليبشبإ تافراعلا تابلمحا نم ةأرما يسفنب ناأ تمدخ
في ديزت يهو يننس يهو اههجو لىإ رظنأ نأ يحتسأ تنكو ,ةنس ينعستو سخم ىلع اهياإ تيمدخ تقو
جو اهتمعن نسحو اهيدخ ةرحم نم نسلا اذه فين نم ةنس ةرشع عبرأ تنب اهبستح الها ,اهاتفاطلو اهتمع
اذإ نلاف لثم تيأر ام :لوقتو لياثمأ نم اهمديخ نم لك يلع ني رثؤت تناكو ,الله عم لاح اله ناكو
لخد هنم يدنع كتري لا هلكب جرخ يدنع نم جرخ اذإو ,ائيش نيع اجراخ هنم كتري لا هلكب لخد يّلع
ائيش.31
“Aku pernah menjadi pelayan seorang perempuan yang arif, Beliau bernama
Fatimah Binti Ibn Mustanna al-Qurthubi, beliau (Fatimah)32 tinggal di Seville. Pada
saat aku bertemu dengannya, usianya sekitar Sembilan puluh limaan tahun.
Penampilannya meski sudah lanjut usia, beliau masih sangat cantik dan anggun
seperti gadis yang masih berusia empat belas tahun. Dia menyampaikan bahwa
banyak yang datang menemui aku, aku sangat mengagumi Ibn ‘Arabi daripada
mereka semua. Pada saat ditanya kenapa, Dia menjawab “kalian semuanya datang
dengan sebagian diri kalian, membiarkan sebagian lainnya sibuk dengan urusan lain,
sementara Ibn ‘Arabi yaitu satu penenang bagiku, sebab dia datang dengan
keseluruhan dirinya. Ketika dia masuk, dia masuk dengan keseluruhan dirinya, ketika
dia keluar dari sisiku, dia keluar dengan keseluruhan dirinya, tidak membiarkan
apapun dari dirinya berada di tempat lain.”
Formulasi ajaran metafisik Ibn ‘Arabi dapat menjamin preservasi autentitas
tradisi tasawuf yang sering berada dalam bahaya penyimpangan lewat pikiran yang
tidak benar, juga sebab mereka sudah kehilangan akses pada intuisi intelektual.
Melalui metafisik Ibn ‘Arabi, tasawuf telah mendominasi kehidupan spiritual dan
intelektual Islam sampai sekarang. Artinya esoterisme dijadikan pijakan sebagai poin
penting yang fundamental dan esensial dalam Islam.33
Doktrin esoterisme menjadi akar segala sesuatu. Intinya ajaran metafisik Ibn
‘Arabimenjadi pijakan, ketika al-Wujud dalah Tunggal dan Real, yang lain menjadi
relative sebagai manifestasi. Seperti yang diistilahkan Schwon sebagai the spiritual
paradox.34
3. Karya-Karya Intelektual Ibn ‘Arabi
Menurut berbagai penelitian, Ibn ‘Arabi memiliki karya sekitar 350 buku yang
sudah ia tulis35 namun tidak ada kepastian berapa jumlah karya-karyanya yang belum
diketahui. C. Brockelmann36 mencatat tidak kurang dari 239 karya Ibn ‘Arabi.
Ibn ‘Arabi tidak menulis seperti penulis biasa, seperti yang dinukil oleh
Muhammad Baqir di bawah ini:
“Apa yang telah aku tulis, tidak pernah tertulis dengan satu tujuan sebagaimana
penulis-penulis lain. Cahaya-cahaya dari Inspirasi Ilahi sering memancar kepadaku
dan hampir menyelubungiku, hingga aku hanya bisa mengekspresikannya dari
fikiranku dan mencatat di kertas apa yang telah ditampakkan untukku. Jika tulisanku
terlihat berupa sebuah komposisi, itu terjadi tanpa ku sengaja. Sebagian karyaku,
telah aku tulis sebab perintah dari Tuhan, yang telah disampaikan kepadaku dalam
mimpi dan melalui kashaf. Qalbuku berpaut di pintu Hadarat Ilahi, menunggu dengan
penuh kesadaran apa yang akan datang ketika pintu terbuka. Qalbuku faqir dan
membutuhkan, kosong dari segala ilmu. Ketika sesuatu mulai tampak kepada qalbu
dari balik tirai, qalbu segera menaatinya dan mencatatnya dalam batasan yang sudah
ditentukan”37.
Kitab Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam yaitu dua karya Ibn ‘Arabi
yang paling masyhur. Futuhat al-Makkiyah disusun di Makkah pada 598 M/1202 dan
selesai di Damaskus pada 629/1231.38 Futuhat al-Makkiyah merupakan karya
monumental yang memuat 560 bab dan tersusun secara bervolume yang
membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral, juga tercatat di
dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat al-Makkiyah
merupakan sebuah eksplorasi ensiklopedia yang mendalam tentang topik berupa
berbagai macam – kenabian, maqam-maqam (level-level pencapaian ruhani), nama-
nama Tuhan, praktik-praktik sufi, gambaran ontologi yang beragam, refleksi atas
interpretasi dan epistemologi. Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa apa yang ia tulis yaitu
berasal dari Tuhan yang disampaikan malaikat melalui ilham.39 Memperkuat
pandangan bahwa apa yang ditulis Ibn ‘Arabi bersumber dari penyingkapan (kashaf)
seperti yang dituangkan Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah seperti pasase berikut
ini:
لأا ةلج اذه ,نيايك عور في نياحور ثفنوأ نيبار يّلهإ ءلامإ نع لاإ افرح هنم تبتك ام اللهوف عم ,رم
سل اننوك دنع تعطقنا دق فيلكتلا ةوّبنو عيرشتلا ةلاسر نإف ,ينفلكم ءايبنألاو ينعرشم لسرب ان
نلاو ملّسو هيلع الله ىلص هدعب لوسر لاف ,ملّسو هيلع الله ىلص دممح لله لوسر ,فلكيلاو عّرشي بي
يلع هئايبنأو هلسر ةنسلأ ىلع هعرش اميف الله نع مهفو ةمكحو ملع وه انمإو هطخ امو ,الله ملاس مه
انمإو .ةرخآو ايند مئاد وه لب يهتني لا ليزنتلاف قلحا تاملكو لماعلا فورح نم دوجولا حول في هبتكو
لا ,ةوبن يعدأ لياثمأو نّيأ مهوتم مهوتي لائل كلاذ انلق ةجردم ىلع كولسو ثايّم لاإ يقبام اللهو
40 .ةصاخ ملّسو هيلع الله ىلص الله لوسر دممح
“Demi Allah! Aku tidak menulis satu huruf pun dari kitab ini kecuali setelah
adanya dikte Ilahi dan pelontaran Rabbani atau hembusan Ruhani ke dalam qalbu
wujudku. Ini terjadi dalam semua perkara, meskipun kami bukanlah seorang rasul
atau nabi yang membawa shariat dan bukanlah para nabi yang membawa taklif.
Sesungguhnya risalah tashri’i dan nubuwwah taklif telah berakhir pada diri Rasul,
Muhammad SAW. Tidak ada rasul setelah beliau, dan tidak ada nabi yang membawa
shariat dan memberi taklif. Kitab ini yaitu ilmu, hikmah dan pemahaman yang
berasal dari Allah mengenai apa yang Ia shari’atkan melalui lisan para rasul dan nabi-
Nya. Dan segala hal yang dituliskan dan ditetapkan dalam lauh wujud dari huruf-
huruf alam dan kalimat-kalimat haq. Tanzil tidak pernah berhenti bahkan ia abadi di
dunia dan akherat. Kami mengatakan demikian supaya orang tidak salah sangka
bahwa saya dan orang-orang seperti saya mengklaim kenabian. Tidak “demi Allah,
tidak ada yang tersisa kecuali warisan dan suluk di atas landasan nabi Muhammad
SAW secara khusus”.
Originitas karya Ibn ‘Arabi bisa kita lihat seperti penjelasan yang dikutip oleh
Henry Corbin berikut ini:
“Know that the composition of the chapters of the futuhat was not the outcome of a
free choice on my part or of deliberate reflection. Indeed God, through the Angel of
inspiration.41
“Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil dari pilihanku
sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah mendikte kepadaku
semua yang telah aku tulis lewat malaikat inspirasi.”
Fusus al-Hikam yaitu salah satu karya Ibn ‘Arabi. Karya ini ditulis oleh Ibn
‘Arabi pada masa kematangan intelektual dan spiritualnya, tepatnya pada 627/1230
atau 10 tahun sebelum beliau wafat.42
Menurut pengakuannya kitab ini diterima dari Nabi saw., seperti yang
disampaikan Ibn ‘Arabi:
نيإف :دعب امأ نورشع و عبس ةنس مرمح نم رخلآا رشعلا في اهتييرأ ةرشّبم في .م.ص الله لوسر تيأر
جرخاو هذخ "مكلحا صوصف باتك " اذه :لي لاقف ,باتك .م.ص هديبو ,قشمد ةسورحبم ةئامتسو
43.نارمأ امك انم رملأا ليوأو هلوسرلو لله ةعاطلاو عمسلا :تلقف :هب نوعفتني سانلا لىإ هب
“Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah SAW, dalam satu mubasyirah
(penglihatan batin ), di akhir bulan Muharram 627 di kota Damaskus. Beliau
memagng sebuah kitab dan berkata kepadaku, ini yaitu kitab Fusus al-Hikam dan
sampaikan pada manusia agar bisa diambil manfaat darinya. Aku menjawab aku
dengar dan patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri seperti halnya yang telah
diamarkan kepada kami.”
Penjelasan di atas membuktikan bahwa Fusus al-Hikam bukanlah pemikiran Ibn
‘Arabi, namun secara esensial yaitu kalimah Tuhan yang disampaikan kepada Ibn
‘Arabi yang kemudian menjadi tulisan dalam bentuk kitab. Seperti penjelasan Ibn
‘Arabi di bawah ini:
و دصقلا تدرجو ةيّنلا تصلخأو ,ةينملأا تقّقحف لى هدّح امك باتكلاذه زاربإ لىإ ةملها الله لوسر
ناصقن لاو ةدياز يّغ نم .م.ص44
“Maka akupun mengaktualisasikan pesan tadi, dan mengikhlaskan niat, serta
memfokuskan keinginan aspirasi untuk menyatakan kitab tersebut sebagaimana yang
telah ditentukan oleh Rasulullah SAW tanpa penambahan dan pengurangan.”
Tentang nama kitab ini, Qaysari menafsirkan ketika Ibn ‘Arabi memberi tahu,
“ini yaitu kitab Fusus al-Hikam,” ada kemungkinan beliau ingin memberitahu
bahwa nama kitab tersebut di sisi Allah sebagaimana yang disebutkan, maka itu Nabi
menamakan kitab itu sesuai dengan namanya di sisi Allah. Dan sudah tentu antara
“nama” (al-ism) dan “yang dinamakan” (al-musaamma) ada munasibah atau relasi.
Namanya menandakan bahwa “yang dinamakan” yaitu “quintessence” hikmah-
hikmah dan rahasia-rahasia yang telah diturunkan kepada arwah para anbiya’ yang
disebut dalam kitab tersebut.45
Kitab Fusus al-Hikam terdiri dari duapuluh tujuh bab, setiap judulnya
menggunakan nama seorang Nabi. Pemakaian nama Nabi sebagai judul setiap bab
sebagai bentuk kebijaksanaan (hikmah) yang dijelaskan dalam setiap bab. Setiap Nabi
disimbolkan dengan fass.46 Al-Fass juga berarti tempat terletaknya batu cincin atau
cap-cincin (seal). sebab qalbu insan kamil yaitu tempat tertulisnya hikmah
Ilahiyyah, maka itu qalbu diumpamakan sebagai al-Fass. Dari itu kata “Fusus al-
Hikam” berarti tempat terletaknya batu cincin yang bernilai atau dengan kata lain, ia
yaitu qalbu-qalbu insan kamil yang terletak dan terkandung di dalamnya dan rahasia
Ilahiyyah. Insan kamil di sini direpresentasikan dengan para anbiya’ di mana qalbu
mereka yaitu tempat termanifestasinya hikmah Ilahiyyah.47
Kitab Shajarah al-Kawn yaitu kitab yang menjelaskan doktrinnya tentang
pribadi Muhammad SAW yang secara keseluruhan disimbolkan dengan pohon yang
muncul dari sebutir benih kun. Metode yang digunakan Ibn ‘Arabi dalam menulis
karyanya secara umum bersifat simbolik dan sulit dicerna dan dipahami, sebab pada
zamannya terjadi fanatisme para ulama fiqih dan kalam sehingga ruang gerak
pemikiran Ibn ‘Arabi terbatas, bahkan sering dianggap keluar dari Islam. 48
Corpus besar yang diwariskan Ibn ‘Arabi selain dari tiga kitab tersebut, Ibn
‘Arabi telah menulis banyak risalah-risalah tentang kosmologi seperti Insha al-
Dawair (Penciptaan Ruang-ruang Samawi), ‘Uqlat al-Mustawfiz (Mantra Hamba
yang Taat) dan al-Tadbirat al-Ilahiyyah (Pengarahan-pengarahan Tuhan); mtentang
metode praktis untuk diikuti para murid yang akan menempuh jalan spiritual, yaitu
al-Risalat al-Khalwah (Risalah tentang Pengasingan Spiritual) dan al-Wasaya
(Penasihat-penasihat); berkaitan berbagai aspek al-Qur’an yang meliputi simbolisme
dan huruf, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, tentang shariat dan hadist dan yang
terkait dengan masalah keagamaan dan spiritual. Tulisan yang terkait dengan puisi-
puisi indah seperti Tarjuman al-Ashwaq (Tafsir Kerinduan) dan juga Diwan.
B. Pemikiran Metafisika Ibn ‘Arabi
Metafisika atau tasawuf berbicara tentang tiga hal yakni tentang wujud dan
manifestasi wujud serta bagaimana Sang Wujud memanifestasi. Ketiganya penulis
uraikan sebagai berikut:
1. Konsep Wujud Al-Haqq
Sebelum mengurai teori metafisika Ibn ‘Arabi tentang wujud penting untuk
menjelaskan kata wujud yang diterjemahkan dalam bahasa inggris “Being”. Afifi,
menekankan dua pengertian yang berbeda untuk memahami istilah wujud; yang
pertama, wujud sebagai suatu konsep atau ide (wujud bil ma’na al-masdari), yang
kedua bermakna mempunyai wujud, yakni ada atau yang eksis atau yang hidup
(subsists) (wujud bi ma’na maujud).50
Kata wujud mempunyai makna objektif dan subjektif. Bermakna objektif berarti
ditemukan sebagai makna masdar dari wajada yang dalam bahasa inggris
diterjemahkan dengan “Being” atau “Existence”. Sedangkan dalam pengertian
subjektif, pengertian wujud sebagai isim maf’ul dari wajada yang berarti menemukan.
Dalam pengertian ini kata wujud diterjemahkan dengan finding.51
Qaysari dalam Sharh Fusus al-Hikam menjelaskan bahwa istilah wujud yaitu
sebagai al-Haqq :
قلحا وه هناو دوجولا نيهذلاو يجرالخا دوجولا يّغ "وهوه" ثيح نم دوجولا52
Ia bukan al-khariji (keberadaan konkret luar-mental) maupun al-dhihni
(keberadaan mental) sebab kedua-duanya yaitu tajalli-Nya. Ia bukan kulli
(universal) maupun juz’i (partikular) dan juga bukan ‘am (umum) maupun khas
(spesifik).53 Wujud dalam arti sebenarnya yaitu Realitas yang Absolut yakni
“unconditional” dan “unlimited”.54 Disini dapat dipahami bahwa tidak ada yang
dapat mengungkapkan sebuah definisi tentang Yang Real (al-Haqq).55
Ibn ‘Arabi menggunakan kata wujud untuk menyebut “Wujud Tuhan”, tiada
wujud selain wujud-Nya yang artinya apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud.
Dapat disimpulkan secara logis bahwa kata wujud tidak dapat diberikan kepada
segala sesuatu selain Tuhan (mâ siwâ Allâh), alam dan segala sesuatu di dalamnya.
Namun dalam pengertian majaz (metaforis) Ibn ‘Arabi juga memakai wujud untuk
menunjukkan segala sesuatu selain Tuhan. sebab wujud Tuhan yang ada pada selain
Tuhan (alam) pada hakikatnya yaitu wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya
(bayangan Tuhan).56
Schuon Menjelasan bahwa Being yaitu Absolute maka sudah pasti Dia yaitu
infinite (tak terbatas) dan sesuatu yang infinite sudah tentu akan memancar (radiate)
keseluruh penjuru. Ini yaitu manifestasi sebenarnya yang berakar pada aspek
Infinity Haqiqat al-Wujud.57 Sebab dari aspek Infinity yang begitu luasnya sehingga
Ia meliputi segala sesuatu yang ada termasuk mahiyat dan juga non-eksistensi sebab
tidak ada satupun yang teraktualisasi baik di mental maupun di konkret tanpa-Nya.
Dengan manifestasi al-Wujud segala sesuatu menjadi nyata, sebab al-Wujud
menampakkan diri-Nya dengan senyata-nyatanya sehingga Ia disebut al-Zahir.
Namun, pada hakikatnya Ia yaitu yang paling tersembunyi dan paling rahasia sebab
tiada satu pun yang dapat meliputi-Nya sehingga Ia disebut al-Batin. Qaysari
menyatakan:
في ىلّجتي يذّلا وه ذا ,اهنيع وه لب ,اهموّقم وهف ,ينعلا و ملعلا في اهقئاقحو اهروصب رهظي و, هبتارم
)ةتباثلا نايعلأا( و )ةيهالما( ب ىمّسي .58
“Maka Dia yaitu muqawwim segala sesuatu, justru Dia yaitu esensi segala
sesuatu, sebab Dialah yang men-tajalli disetiap maratib dan Dialah yang
memanifestasi dalam semua form serta haqiqat: baik dalam derajat ilmu maupun
dalam derajat konkret. Dan (dengan manifestasi itu) Dia dinamakan sebagai al-
mahiyat dan al-A’yan al-Thabitah.”
Dia melampaui segala kualifikasi dan relasi yang dapat dikonsepsikan oleh
manusia. Oleh sebab itu, Dia selama-lamanya yaitu misteri dari segala misteri yang
tak dapat diketahui sebab ketakterbatasan-Nya.59 Dalam pengertian ini, Dia disebut
sebagai ankar an-nakirat yaitu “yang paling tidak tentu dari semua yang tidak tentu”
sebab Dia tak memiliki satu pun kualitas dan tidak menyandang relasi dengan selain
diri-Nya sendiri. Dengan demikian, Dia yaitu paling tidak diketahui dari semua
yang tidak diketahui.60 Al-Qasyani menerangkan dasar pemikiran Ibn ‘Arabi ke
dalam tiga konsep dasar; (1) Wujud qua Wujud (wujud mutlak), Ia tidak terikat
dengan syarat-syarat tak tentu atau tertentu sebab Ia sendiri terlalu kudus untuk
diberi sifat atau nama apapun. Ia tidak memiliki kualitas, batasan; tidak ada sedikit
pun bayang-bayang kemajemukan di dalamnya. Ia yaitu Wujud yang niscaya ada
dan tiada selain Dia jika dilihat dari esensinya. Dan Ia yaitu Wujud mutlak yang
tidak memiliki sumber kecuali diri-Nya sendiri. (2) arketip-arketip, (3) mawjud-
mawjud atau benda-benda konkret di alam indrawi.61
Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an (QS. An-Nur [24]: 35) bahwa “Tuhan
yaitu cahaya”, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud yaitu cahaya dan ‘adam
yaitu kegelapan.62 sebab Tuhan dan alam sering digambarkannya dengan cahaya
dan kegelapan; wujud milik Tuhan dan ‘adam (ketiadaan) yaitu milik alam.63 Tuhan
yaitu cahaya dan bukan sesuatupun selain cahaya, sementara sesuatu yang selain-
Nya memperoleh pancaran dan dan pantulan cahaya substansi-Nya. Tanpa cahaya,
tidak akan ada merah, hijau ataupun biru. Bayang-bayang dapat terwujud sebab
cahaya, dan cahaya tidak mungkin dapat melingkupi matahari. Hanya matahari yang
dapat mengetahui matahari. Tiada seorang pun yang dapat mengetahui Tuhan kecuali
Tuhan.64
Dari gambaran di atas, dapat dijelaskan bagaimana kejamakan berasal dari Yang
Satu. Yakni wujud yaitu Keesaan. Tiada bagi-Nya ketiadaan, sebagaimana telah kita
ketahui bahwa wujud yaitu cahaya sehingga ia memancarkan serta memberi (wujud)
pada diri-Nya sendiri. Maka dalam konteks ini kita mengenal tiga hal: cahaya,
pancaran dan kegelapan atau wujud, eksistensi dan non-eksistensi.65
Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa tidak ada wujud kecuali al-Haqq (wujud hakiki),
ia juga menggunakan kata al-Haqq66 yang secara harfiah berarti kebenaran dan
sekaligus Realitas untuk mengacu pada Sang Mutlak. Meskipun secara non-filosofis
Sang Mutlak disebuut Tuhan.67
Dalam konteks hubungan ontologis pengertian al-Haqq yaitu Allah, Sang
Pencipta, Yang Esa, wujud, dan wajib al-wujud, sedangkan al-khalq yaitu alam,
makhluk, yang banyak, al-mawjûdât dan al-mumkinât. Satu-satunya wujud yaitu
Allah; tidak ada wujud selain wujud Allah.68
Hanya ada satu Realitas dalam eksistensi, yang mana Realitas ini mempunyai
dua sudut pandang yang berbeda; apabila al-Haqq dipandang sebagai Esensi dari
semua Fenomena maka al-Haqq bermakna “Yang Nyata = Riil. Kedua, disebut
sebagai al-khalq apabila dipandang sebagai fenomena yang memanifestasikan Esensi
itu.69 Maka dari itu, alam yaitu al-Haqq dan bukan al-Haqq. Seperti yang
diungkapkan Ibn ‘Arabi bahwa “Dia bukanlah Dia�