Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 4


 aitu  pencerahan 

intelektual iluminatif tentang internal life dimana agama mendominasi 

perkembangan kesadaran kosmik serta moralitas juga berperan untuk peningkatan 

kesadaran kosmik dan pada puncaknya kesadaran kosmik yaitu  pantaisme. Istilah 

lainnya yang dimunculkan oleh Ouspensky, kesadaran kosmis berarti kesadaran 

metafisis atau tertium organum.206 

Paradigma kesadaran kosmik bagi Nasr yaitu  kesadaran terhadap kosmik 

sebagai upaya konseptual tentang Tuhan yang tak berhingga (absolute) dan tak 

terbatas (infinite), hal ini sesuai prinsip Teophany. 207 Nasr mengungkapkan bahwa 

kosmos yaitu  buku yang berisi wahyu primordial yang paling bermakna dan 

manusia yaitu  keberadaan yang esensial, elemen-elemen konstitutif  yang 

direfleksikan pada cermin kosmik, yang memiliki neksus batin.208 Sementara Chittick 

menjelaskan bahwa alam yaitu  The Signs of God, tak ubahnya al-Qur’an juga 

sebagai ayat Tuhan yang berarti kesadaran terhadap kosmik sebagai pengetahuan 

tentang segala sesuatu berasal dari prinsip yang pertama dipelihara oleh prinsip yang 

pertama dan kembali pada prinsip yang pertama.209 Annimarie Schimmel dalam 

bukunya Deciphering The Signs of God mengungkapkan bahwa kesadaran kita 

terhadap Tuhan dengan melalui tanda-tanda alam, simbolisme-simbolisme sakral dan 

makna-makna setiap peristiwa.210 Inti dari seluruh terminologi tentang kosmos yaitu  

ayat Tuhan. sebab nya, kosmos meskipun pada dirinya yaitu  profan namun  ketika 

kosmos yaitu  ayat tentangnya, maka kosmos yaitu  sakral. 

Kosmos berfungsi sebagai pengetahuan suci dan sebagai simbol yang 

mencerminkan sifat-sifat dan nama-nama Ilahi dan menjadi akar bagi realitas dan 

fenomena dunia, maka kosmik didefinisikan sebagai teofani, yang secara literaly to 

show God doesn’t mean incarnation of God in Thing namun  sebagai refleksi 

keberadaan Realitas Tunggal.211 Alam sebagai simbol atau tanda yang hadir secara 

simbolik menguraikan berbagai tingkat eksistensi. Kosmologi parennis secara 

esensial berkenaan dengan metafisika mengimplikasikan bahwa transparansi 

metafisik bentuk-bentuk dan objek-objek alamiah sebagai suatu dimensi dan aspek 

penting melihat Ilahi dimana saja212. Berdasarkan prinsip ههجو لاا كلاه ءيش لك : seeing 

God everywhere213  Inti dari kesadaran terhadap kosmik yaitu  kesadaran tertinggi 

(Highest Consciousness/Kesadaran Tauhid) terhadap yang maha Tunggal dan 

melihat keragaman fenomena sebagai Dia. Poin dari The unity of consciousness 

yaitu  kesadaran puncak atau kesadaran spiritual,  melihat alam sebagai Dia. Mata 

ma’rifat sebagai sinar kesucian melahirkan kosmos dan fenomena alam sebagai 

Tuhan.  

Pengetahuan kosmos yang dicapai melalui kesadaran kita, bahwa Tuhan yaitu  

Awal dan Akhir Alfa-Omega. Wujud yaitu  kata untuk menunjuk Dzat Sang Mutlak, 

yang tidak hanya bermakna “Ada” namun  menemukan, persepsi, kesadaran, 

keinsyafan, pengetahuan, dan kegembiraan.214 Kesadaran merupakan sifat esensial 

Wujud al-Haqq dalam arti bahwa Wujud dan Kesadaran yaitu  sama dengan Realitas 

Tertinggi. yaitu  wujud-bersama-kesadaran (Being-Cum-Consciousness) yang 

menyebabkan alam semesta muncul215 dalam istilah Hindu Brahman yaitu  sat-chit-

ananda “wujud-pengetahuan-kebahagiaan”.216  

Kesadaran secara esensial tidak terbatas, ia merupakan subjek yang mengetahui 

batas-batas, tapal batas, dan definisi-definisi. Modalitas-modalitas cara mengada 

manusia secara ketat berhubungan dengan kesadaran murni dan keinsyafan murni. 

Kedirian manusia yang hakiki menyadari sepenuhnya kedirian mereka sendiri, 

intelegensi dan kesadaran mereka yang secara fitrah dan tak terbatas.217 Sumber diri 

yaitu Sang-Ada-Pertama (al-Haqq/the First Real) tidak dapat dicapai oleh instrumen-

instrumen diri dan bahkan oleh dirinya sendiri. Sebagaimana para Sufi berkata, 

“Tiada yang mengetahui Tuhan kecuali Tuhan”. Setiap pengetahuan hakiki tentang 

 


Tuhan hanyalah Tuhan Sang Mahahadir dalam diri manusia melalui Intelek Pertama, 

sebagai pancaran Cahaya Tuhan yang paling kuat.218 

Dalam Islam, manusia, kosmos, dan kitab suci yaitu  pusat dari agama secara 

luas. al-Qur’an yang tertulis dan tersusun (ayat tadwini) sebagai mana ayat kosmos 

(ayat takwini). Ayat-ayatnya juga berarti tanda-tanda atau simbol-simbol yang al-

Qur’an itu sendiri mendasarkan pada ayat di (QS. Fussilat [41]:53).219 Hal ini 

diinterpretasikan sebagai dua basis tanda, yakni ayat prophetic dan natural. 

Kesadaran (consciousness) merupakan elemen esensial dalam perjalanan spiritual. 

Ketika kesadaran dimaknai sebagai pengetahuan metafisika maka Kesadaran tentang 

Sang Absolut dan juga kesadaran tentang manifestasi-Nya. Apapun yang tampil 

dipermukaan realitas berakar dari Sang Realitas dan memancar dari Sang Infinite.220  

Struktur simbolis alam (baik yang imajinal ataupun yang indrawi) hanya 

terjangkau oleh kesadaran sejumlah orang – mayoritas – kesadaran manusia hanya 

meringkuk, pada tingkat wujud yang paling rendah, yakni alam indrawi dan alam 

benda-benda sebab  bagi mereka – hanya alam indrawi lah yang bisa diraba dan 

digenggam. Sehingga buat mereka – inilah satu-satunya alam eksistensial. sebab  

mereka tidak pernah menakwil dibalik yang tampak. sebab  mereka sedang tertidur, 

maka kesadaran ini bagi Izutsu disebut Kesadaran suram (opaque consciousness).221 

Bagi Izutsu, untuk memahami alam sebagai sebuah simbol yang bersumber dari 

Sang Mutlak hanya mata manusia yang memiliki kapasitas spiritual keseluruhan alam 

fenoma terlihat citra-citra yang lebih tinggi, sampai ke landasan puncak wujud itulah 

yang diatributkan Ibn ‘Arabi pada penyingkapan kashf atau intuisi mistis.222 Dengan 

memiliki kesadaran spiritual yang melampaui kemanusiaannya maka manusia bisa 

melihat alam sebagai theophany dan manusia butuh peta untuk mempelajari dan 

meneliti alam dalam perspektif tradisional. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Nasr; 

“In fact man cannot contemplate the cosmoc as theophany until he has journeyed 

thrugh and beyond it. That is why the traditional cosmologies are also concerned with 

providing man with a map which would orient him within the cosmos and finally 

enable him to escape beyond the cosmos through that miraculous act of deliverance 

with which so many wyths have been concerned” 223 

Pada kenyataannya manusia tidak dapat merenungkan kosmos sebagai theophany 

sehingga dia menempuh melalui dan melampauinya. Itulah mengapa kosmologi-

kosmologi tradisional berkenan memberikan manusia dengan peta yang akan 

mengorientasikannya di dalam kosmos dan akhirnya memungkinkan meninggalkan 

kosmos, melalui aksi pembebasan misterius, dimana banyak mitos dihubungkan.  

Kemudian Nasr melanjutkan sebagai berikut; 

“From this point of view the cosmos appears as a labyrinth throught which man must 

journey in a perilous adventure where literally all that he is and all that he has is at 

stake, a journey for which all traditions require both the map of traditional knowledge 

and the spiritual guide who has himself journeyed before through this labyrinth. It is 

only by actually experiencing the perilous journey through the cosmic labyrinth that 

man is able to gain a vision of that cathedral of celestial beauty which is the Divine 

Presence in its metacosmic splendour” 224 

Dari titik pandang ini, kosmos nampak seperti sebuah labirin dimana manusia harus 

menempuh perjalanan yang penuh bahaya, yang secara literal dalam petualangan ini 

sedang dipertaruhkan, sebuah perjalanan yang mebutuhkan sebuah peta yang berupa 

pengetahuan tradisional dan seorang pembimbing spiritual yang sudah pernah 

melewati perjalanan labirin ini.225 Hanya dengan melewati dan memiliki pengalaman 

aktual di dalam petualangan labirin kosmis manusia dimungkinkan memperoleh visi 

keindahan cathedral celestial yang merupakan kehadiran Ilahi dalam keajaiban 

metakosmosnya. 

Selanjutnya Nasr menjelaskan:  

“Having journeyed through and beyond the cosmoc, man, who is then “twice born” 

and a “dead man walking” in the sense of being spiritually resurrected here and now, 

is able finally to contemplate the cosmoc and its forms as theophany. He is able to 

see the forms of nature in divinis and to experience the Ultimate Reality not as 

transcendent and beyong but as here and now. It ts here that the cosmoc unveils its 

inner beauty ceasing to be only externalized fact or phenomenon but becoming 

immediate symbol, the reflection of the noumenon, the reflection which is not 

separated but essentially none other than reality reflected.” 226 

Setelah melalui perjalanan kosmos manusia mengalami kelahiran kedua dan 

perjalanan manusia yang telah mati yang berarti dia sudah dibangkitkan secara 

spiritual, akhirnya memungkinkan merenungkan kosmos dan bentuk-bentuknya 

 


sebagai theophany. Manusia akan melihat keberagaman kosmos in divinis an 

mengalami Realitas Puncak, bukan sebagai transenden dan kebakaan namun  sebuah 

realitas yang hadir disini dan sekarang.227 Disini alam akan menyingkapkan 

keindahan batinnya dan bukan sebagai fenomena saja namun  memiliki keinginan 

untuk menjadi sebuah simbol tanpa perantara: menjadi sebuah cerminan fenomena 

yakni cerminan yang tidak terpisah yang secara esensial yaitu  identik dengan 

realitas yang dicerminkan.  

 

3. Lokus Kesadaran Kosmik 

Akal manusia yaitu  sebuah substansi spiritual yang sumber atau prinsipnya 

yaitu  akal Ilahi atau logos. Yang juga merupakan prinsip dari alam makro kosmik 

dan sumber bagi kitab suci al-Qur’an.228 Dari sudut pandang pengetahuan atau 

kesadaran (shuhud) akal merujuk pada fakultas pengetahuan manusia yang tertinggi 

yang disamakan dengan mata hati (‘ain al-qalb). Oleh sebab  itu, akal merupakan 

kekuatan dan fungsi sebagai kunci untuk memahami atau mengkaji makrokosmos.229 

Akal atau intelek sajalah yang dapat melihat, memahami, memverifikasi dan 

merealisasikan al-Haqq.230 Intelek saja yang memberi kehidupan, kesadaran dan 

pemahaman bukan hanya kepada jiwa manusia namun  kepada semua tingkatan jiwa. 

Jiwa manusia yaitu  subjek yang mengetahui dan sadar yang memiliki kemampuan 

untuk menjadikan seluruh alam semesta dan segala yang ada di dalamnya sebagai 

objeknya.231 Akal manusia, alam makro kosmik dan wahyu al-Qur’an membentuk 

tiga elemen atau aspek fundamental dalam gagasan komprehensif tentang kebenaran 

bahwa dengan fitrahnya Tuhan mencipta dan memberikan pengetahuan.232 Wujud 

 

227Secara esensial yaitu  perspektif Zen yang tak berarti bahwa manusia dapat 

pengalaman Ilahi dalam sesuatu dengan bentuk-bentuk naturalisme yang bagi Barat, 

mengadaptasi Zen hamper menafsirkannya menjadi semacam sifat sentimental mistikisme ke 

dalam dunia Zen. Orang tertentu, dalam satu pengertian, berkeinginan untuk mengalami 

pengalaman surgawi tanpa pernah yakin di dalam Tuhan atau ibadah, yang memungkinkan 

kualitas keberadaan bagi keadaan surgawi, untuk apa kontemplasi bentuk natural in divinis 

menerima suatu pengalaman surgawi? Dala, berbagai hal, taka da sesuatu pun sebagai sifat 

mistikisme dari titik pandang tradisional; secara praktis manusia tidak dapat mengalami 

Tuhan sebagai imanen sebelum mengalami-Nya secara transenden, sebagaimanapun konsep 

tersebut diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa tradisional yang berbeda. Orang juga dapat 

mengatakan bahwa manusia juga dapat merealisasikan identitas nirwana dengan samsara, 

yang menyediakannya kesiapan perjalanan di belakang samsara dan mencapai nirwana. 

sentral dari alam yang diciptakan Tuhan yaitu  manusia dengan karunia karakter 

supranatural yang berupa akal dan kemampuan kognitif serta dengan karunia menjadi 

miniatur alam semesta (mikrokosmik).233 

David Chalmers, seorang filsuf Australia mengklaim bahwa kesadaran bukanlah 

aspek keturunan atau kebetulan yang bekerja secara acak melainkan bagian 

fundamental dari realitas yang ada secara permanen. sebab  baginya kesadaran tidak 

pernah dapat dijelaskan secara fisik, kimia atau biologis seperti halnya istilah-istilah 

yang terdefinisikan selama ini. Ilmuan-ilmuan besar seperti Newton, Kepler dan 

Galileo mencoba menemukan hukum-hukum fisik yang mengatur alam semesta 

dalam upaya mengungkap rencana induk kosmos Tuhan. Kesadaran yaitu  

kebutuhan permanen manusia untuk membaca pikiran Tuhan sebagai upaya filosofis 

yang mendorong semua upaya ilmiah. Upaya neuroscience untuk memecahkan 

masalah kesadaran berpotensi mencapai jalan buntu yang akhirnya terjadi pergeseran 

paradigmaa bahwa pusat kesadaran manusia bukan pada pikiran namun  kepada 

kesadaran spiritual.234 

Ketika pemahaman kita terhadap kosmos yaitu  tanda – dan berujung pada 

Highest Consciousness – maka hierarki kesadaran kita berawal dari kesadaran 

sebagai fisik yang memiliki jiwa – juga memiliki spirit/ruh – atau dengan kata lain 

alam riil sebagai fisik, alam riil sebagai jiwa dan alam riil sebagai spirit – diantara 

ketiganya bukan sesuatu yang terpisah – namun  lebih pada (a part of awareness).235  

Secara eksistensial makna visi kesadaran kosmik berarti seluruh kehidupan kita 

yaitu  madrasah Tuhan baik yang ada pada diri kita sebagai mikrokosmos ataupun 

yang ada pada alam sebagai makrokosmos. Seluruh nama-nama Tuhan baik yang 

jalal atupun yang jamal termanifestasi dan menampilkan diri sebagai horizon 

pengetahuan.236  

Pengetahuan atau kesadaran ada dalam tiga tingkat; Mental rational knowledge), 

Intelektual (heart knowledge) dan iman (Knowledge of faith).237 Fase kesadaran 

 


intelektual (qalbiyah) merupakan sebuah kesadaran eksistensial dimana hakikat-

hakikat transenden akan berkesinambungan di dalam hati dan intelek, dan dalam fase 

ini subjek menyatu dengan objek dan sebaliknya.238Heart knowledge merupakan 

pancaran cahaya yang tak terputus dari sumbernya. sebab  Allah menjadikan hati 

(qalb/heart) hamba-Nya sebagai sebuah rumah, sebab  Ia menjadikannya tempat 

pengetahuan-Nya - pengetahuan ma’ifat (irfānī), bukan pengetahuan teoretis 

(nazarī)239.  

Pada mikro kosmik ada qalbu dan pikiran. Di luar mikro ada makro, dalam 

makro ada qalbu – the macro cosmic heart – yang identik dengan sang logos, sang 

logos yaitu  para Nabi. Qalbu dalam diri mikro yaitu  “sang logos” yang ada di 

alam. Sebagaimana qalbu yaitu  pusat keberadaan manusia sehingga logos yaitu  

pusat keberadaan alam.240 Tidak ada apapun yang terpendam di dalam makrokosmos 

yang tidak berasal dari metacosmos dan kemudian ditemukan berada dalam 

mikrokosmos. Hal ini mengindikasikan bahwa lokus pengetahuan Tuhan yaitu  

mikrokosmos yakni manusia.241 Seperti halnya QS. Al-Baqarah [2]: 31 ءامسلاا مدا ملعو "

" اهلك yang berarti bahwa manusia yaitu  lokus pengaliran pengetahuan Tuhan yang 

membawa pada kesadaran. 

Manusia dapat digambarkan memiliki sifat yang dimiliki oleh makrokosmos dan 

memiliki hierarki eksistensial sebab  manusia diciptakan dari nafas Tuhan yang 

dihembuskan kedalam tanah dunia, seperti halnya QS: 15:28. Yang berarti “manusia 

yaitu  perpaduan antara cahaya eksistensi dan kesadaran dengan kegelapan dalam 

debu yang paling rendah.” Ayat ini mengandung arti bahwa Tuhan menempatkan 

seluruh sifat-Nya di dalam kosmos, namun sifat-sifat itu dalam kosmos terserak dan 

terpisah-pisah, sementara dalam diri manusia tersatukan dan terpusat.242 Dalam 

kosmos nama-nama Tuhan secara relatif terbedakan namun dalam diri manusia tak 

terbedakan. Nama-nama Tuhan memiliki peran penting dalam kaitannya dengan 

pengetahuan tentang kosmos. Lewat nama-nama Tuhan mengajarkan seluruhnya 

kepada manusia namun  ada batas pemahaman, batas pengetahuan, batas kesadaran 

 

pada diri manusi.243 Untuk menggambarkan bahwa manusia tidak bisa merekam 

hikmah dan nama-nama atau seluruh kalimat Tuhan merujuk pada ayat: “seandainya 

pohon-pohon di muka bumi dijadikan pena dan lautan (sebagai tinta)  ditambah tujuh 

laut hingga kering niscaya tidak akan mampu menuliskan kalimat-kalimat Allah” 

(QS. Luqman [31]: 27). 

Jika kesadaran kita bahwa seluruh dunia berasal dari Ilahi – persis seperti laba-

laba membentang jejaring-jejaringnya dari tubuhnya sendiri, lalu menariknya 

kembali, demikian juga semesta tumbuh dari dari yang kekal (upannishad). Allah 

yaitu  penari kosmik dan setiap geraknya yaitu  ciptaan – segala mengalir dari 

sungai Ilahiyah yang tiada henti – sehingga kosmos mengalir dalam pembaharuan 

yang terus-menerus sebab  Brahman yaitu  Realitas seutuhnya yang tak terbeda-

bedakan.244 

Menurut Frithjof Schuon transendensi, imanensi dan teofani yaitu  penghubung 

yang digunakan manusia untuk mendekati Realitas Ilahi dan ini berarti bahwa: 

menemukan Tuhan pada dasar jiwa terdalam. 245  Pertama yaitu  Tuhan transenden 

yang bertahta di surga. Yang kedua yaitu  manusia – Tuhan (simbol – sakramen) 

yang terakhir yaitu  Diri Imanen. 

Manusia secara primordial memiliki akar pada tatanan Ilahi dan secara ipso facto 

cenderung ke arah asalnya yakni Ilahi. Manusia yaitu  mahluk hidup yang memiliki 

inner faculty (pengetahuan) yang bisa menangkap makna universal, memiliki 

kekuatan dan kapasitas dalam mengartikulasikan simbol – pola – makna. Manusia 

merupaakan ruh, jiwa, hati dan intelek. Yang termanifestasi dan menunjukkan pada 

Realitas Yang Satu, sebab  itu manusia memiliki kapastitas untuk memahami 

keberadaan dari tingkat eksistensi spiritual hingga fisik.246 

Sang Realitas meniscayakan pancaran radiate yang memanifestasi dalam derajat 

vertikal dan keragaman horizontal. Seperti halnya yang dijelaskan; 

“There is not only this hierarchy” 

“There is also in the Universe the diversifying manifestation of the positive 

possibilities included in the Divine Potentiality.”247 

 

Berarti bahwa Sang Realitas dalam konteks kosmologis akan tampil dalam 

berbagai dimensi dan mode. Dan kita bisa menemukan refleksi kualitas dan sifat 

 


 

Maha Realitas dalam setiap derajat hierarki Universal. Kesadaran kita terhadap apa 

yang appear sebagai form yang tampil sebagai kosmos meniscayakan kesadaran kita 

pada batin meskipun tidak semua yang batin mendzahir. Sebagai Yang Tak Terbatas, 

Dia yaitu  sumber segala sesuatu yang mengalir tanpa akhir dan bukan sekedar asal 

usul kronologis namun  juga sebagai fondasi ontologis.248 

Ajaran tradisional atau kita sebut metafisik ataupun esoterik bukan kumpulan 

atau definisi dan diskursus teoritis semata namun  sebagai panduan perjalanan spiritual 

manusia menuju taman indah yakni Tuhan. Tradisi ini mengajarkan manusia dari 

mana kita harus memulai perjalanan dan kemana tujuan kita kembali.249 Dengan 

berdasarkan prinsip Inna lillah wa Inna Ilaihi Raji’un, yang berarti dari azalinya 

perjalanan manusia minallah, billah, fillah dan ilallah. 

 

 


DINAMIKA SPIRITUAL DAN PEMIKIRAN METAFISIKA 

IBN ‘ARABI 

 

Bab ini diawali dengan uraian tentang riwayat hidup Ibn ‘Arabi. Kemudian 

riwayat spiritual, karya-karya intelektualnya, selanjutnya mengurai tiga konsep 

metafisikanya, yaitu al-Haqq, tanzih tasbih, dan al a’yan al-tsabitah. 

  

A. Dinamika Spiritual Ibn ‘Arabi 

Pembahasan tentang dinamika spiritual Ibn ‘Arabi bukan sekedar menambah 

informasi tentang aspek biografi secara historis namun  lebih pada catatan perjalanan 

spiritual yang bisa memberi kesadaran dan sumber inspirasi kehidupan spiritual.  

 

1. Riwayat Hidup Ibn ‘Arabi 

Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Arabi al-Ta’i al-Hatimi dilahirkan 

pada 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol 

bagian Tenggara dan wafat pada 22 Rabiatulakhir 638 H, bertepatan dengan 

November 1240 M di Damaskus, Suriah.1 Ibn ‘Arabi yaitu  seorang keturunan suku 

Arab kuno Tayy.2 Ia lebih dikenal dengan nama Ibn al-‘Arabi (dengan al-) atau Ibn 

‘Arabi (tanpa al-) untuk membedakannya dengan Ibn ‘Arabi yang lain. Dua gelarnya 

yang paling masyhur ialah Muhyi al-Din (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar 

(Syaikh Terbesar)3, selain itu ia juga dijuluki Doktor Maximus, Ibn Aflatun (Putera 

Plato) atau Sang Platonis4, Khatim al-Auliya’ al-Muhammadiyyah (Penutup para wali 

Muhammad), Qutb al-Arifin (Poros Ahli ma’rifat), Imam Munahiy al-Din (Pemimpin 

Agama Kaum Muallaf), Rahbah al-Alam (Pembimbing Dunia).5 

Ayahnya bernama Ali ibn Muhammad yang dikenal sebagai seorang faqih dan 

pejabat di Murcia,. Saat Murcia ditaklukkan oleh Dinasti Al-Muwahhidun pada tahun 

567 H/1172 H, Ali membawa keluarganya pergi ke Seville.6 Saat itu Seville yaitu  

 


kota yang menjadi pusat Sufisme.7 Ia menetap disana selama 30 tahun untuk 

mempelajari Al-Qur’an beserta tafsirnya, hadits, fikih, teologi dan filsafat skolastik 

dibawah bimbingan guru-guru terkenal. Di usianya ke delapan tahun Ibn ‘Arabi 

memulai pendidikan formalnya sebagai sosok yang cerdas.8Kegigihannya dalam 

belajar mengantarkan Ibn ‘Arabi sukses dalam perjalanan karirnya yang tercatat 

menjadi seorang sekretaris Gubernur Seville. Dan saat itu ia juga menikahi seorang 

wanita muda dan solehah bernama Maryam yang berasal dari keluarga 

berpengaruh.9Sebagai pemuda dengan kecerdasan tinggi dan penglihatan spiritual 

yang tajam, Ibn ‘Arabi yang masih berusia dua puluh tahun mulai melakukan 

kunjungan ke berbagai kota di Andalusia. Ia menemui para wali-wali laki-laki dan 

perempuan dan saat bermukim di Cordoba, ia bertemu dengan Ibnu Rusyd juga tokoh 

penafsir Aristoteles.10 

Saat Ibn ‘Arabi berusia tiga puluh tahun (590 H/1193 M), pertama kalinya ia 

melakukan perjalanan keluar dari Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tujuh tahun 

setelahnya (597 H/1200M), ia mendapatkan ilham spiritual untuk pergi ke arah timur 

untuk melakukan ibadah haji di Makkah. Selain itu, situasi religio-politis pula yang 

menyebabkan ia harus pergi meninggalkan kota kelahirannya. Sebab ia yaitu  tipe 

sufi yang tidak disenangi para theologia Barat, kerajaan-kerajaan Spanyol dan Afrika 

Utara. Para sufi diancam akan disiksa sebab kecurigaan penguasa al-Muwahhidun 

terhadap mereka yang ditakutkan menggerakkan tarekat-tarekat juga menggerakkan 

perlawanan pada rezim yang berkuasa.11 Seandainya Ibn ‘Arabi tidak pergi dari 

 


Spanyol, mungkin akan dibunuh seperti Ibn Qissi (kepala sekte Muridin), Ibn ‘Arif 

dan Ibnu Barrajan yang dipenjara bertahun-tahun kemudian diracun oleh Gubernur 

Afrika Utara “Ali bin Yusuf”.12  

Pada tahun 598 H/1202 M, Ibn ‘Arabi bersama pembantunya Abdullah al-

Habashi berada di Mesir. Dalam jangka waktu tertentu ia menetap disana namun 

mengalami konflik berkala dengan para ahli fikih sehingga ia diancam dengan 

ancaman pembunuhan lalu mengharuskan ia mengungsi ke Makkah.13 Setelah 

pengembaraannya mengunjungi sepanjang pesisir Afrika Utara, menembus Mesir 

dan Yerussalem hingga bagian Utara Turki sebelum akhirnya ia menetap di 

Damaskus dan wafat disana14 pada tanggal 10 November 1240 M (22 Rabi’ al-Tsani 

638 H).15 Kemudian, ia dimakamkan di pekuburan pribadi Kadi Muhyiddin Ibn az-

Zaki yang terletak di kaki Gunung Qasiyun.16  

 

2. Riwayat Spiritual Ibn ‘Arabi 

Nama Ibn ‘Arabi identik dengan gagasan wahdat al-wujud. Konsep ini sebagai 

dasar dari ajaran metafisika Ibn ‘Arabi. Namun tidak hanya itu, seluruh ajarannya 

merupakan ajaran esoterisme17 sebagai sebuah prinsip (The principle) dan juga jalan 

(The Way) untuk mengenal Sang Realitas.18 Saat masih muda, meskipun tanpa belajar 

ia memperoleh ilmu pengetahuan melalui jalur spiritual (ladunni).19  

Seperti remaja lain, Ibn ‘Arabi juga punya waktu untuk bermain selayaknya 

remaja biasanya. Suatu hari saat ia sedang bermain di Seville, terdengar suara 

memanggilnya, “Hai Muhammad, bukan untuk ini kamu diciptakan.” Seketika Ibn 

‘Arabi menjadi gelisah dengan pengalaman tersebut. Dalam kegelisahannya ia 

menyendiri di pekuburan selama beberapa hari, disitulah ia mengalami tiga 

mushahadah yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan spiritualnya di masa 

depan. Ibn ‘Arabi bertemu dengan Nabi Musa, Nabi Isa20 dan Nabi Muhammad – 

 


yang memberikan instruksi spiritual untuknya.21 Sejak saat itulah Ibn ‘Arabi 

mendapat banyak pengalaman spiritual sepanjang hidupnya berupa mukashafah dan 

mushahadah. Perjalanan hidup Ibn ‘Arabi merupakan perjalanan panjang yang 

identik dengan mistik dan spiritual. Perjumpaan Ibn ‘Arabi dengan guru-guru sufinya 

yaitu  pertemuan yang terpusat pada spiritualitas.22  

Selain dengan cara khalwah, dalam menempuh perjalanan spiritual Ibn ‘Arabi 

melakukan dua hal; menjauhkan diri dari perempuan dan memilih hidup miskin. 

Baginya ini yaitu  sebuah wujud pengabdian murni (al-ubudiyyah al-mahdhah) yang 

mengharuskan seorang wali meninggalkan harta kekayaan dan semua hak agar ia 

selalu mengingat rububiyah-Nya.23 

Pertemuan Ibn ‘Arabi dengan Ibn Rusyd (w.595 H/ 1198 M) di Kordoba 

dijelaskan oleh Ibn ‘Arabi seperti di bawah ini: 

ي تلخد دقلو حتف ام هغلبو عسم الم يئاقل في بغري ناكو دشر نب ديلولا بيأ اهيضاق ىلع ةبطرقب امو

 ناكف تيولخ في يّلع هب الله عمتيج تىح هنم ادصق ةجاح في هيلإ يدلاو نيثعبف ,عسم امم بجّعتلا رهظي

 .هئاقدصأ نم ناك هّنإف بي 

 اق هيلع تلخد امدنعف ,بيراش رّط لاو يهجو لقب ام بّيص ناأو نيقناعف اماظعإو ةبمح لّيإ هناكم نم م

هل تلق ,معن :لي لاقو ابم ترعشتسإ نيإ ثم ,هنع يمهفل بي هحرف دازف ,معن : هل تلقف كلذ نم هحرفأ

 وه له يّلهلإا ضيفلاو فشكلا في رملأا تمدجو فيك :لاقو هدنع اميف كّشو هنول يّّغتو ضبقن اف ,لا

 و لا ,معن :هل تلق ؟رظنلا انل هاطعأ ام ,اهداسجأ نم قانعلأاو اهدّاوم نم حاورلأا يّطت لاو معن ينب

 ترشأ ام فرعو لق ويح دعقو لكفلأا هدخأو هنول رّفصاف اذه اهركذ تيلا ةلأسلما هذه ينع وهو هيلإ هب

 مولكلا يوادم نيعأ ماملإا بطقلا 

 ؟فلايخ وأ قفاوي وه له انيلع هدنع ام ضرعيل انب عامتجلإا بيأ نم كلذ دعب بلطو نم ناك هنإف

ىأر نامز في ناك يذلا لىاعت الله ركشف ,يلقعلا رظنلاو ركفلا ببارأ  جرخو لاهاج هتولخ لخد نم هيف

 


 

لثم  اهلل انيأر امو اهانتبثأ ةلاح هذه :لاقو ةءارق لاو ةعلاطم لاو ثبح لاو سرد يّغ نم جورلخا اذه

لا ابهبارأ نم دحاو هيف نامز في ناأ يذلا لله دملحاف ,بابارا نيصّخ يذلا للهدملحاو ,ابهوبأ قلاغم ينتحاف

هتيؤرب .24 

“Suatu hari di Cordoba, aku pernah mengunjungi seorang qadi bernama Abu al-

Walid Ibn Rusyd. Dia sangat ingin bertemu dengan aku setelah dia mendengar 

tentang apa yang Allah bukakan untukku. Ayahku yaitu  seorang sahabatnya, 

mengajakku menemuinya, agar aku bisa bertemu dengannya. Saat itu aku masih 

remaja (sabi), tak sehelai kumis atau jenggot yang tumbuh di wajahku.  Saat aku 

memasuki rumahnya beliau beranjak dari tempat duduknya dan menyambutku 

dengan rasa cinta dan takdzim. Ia memelukku dan berkata kepadaku, ‘Iya’ lalu aku 

menjawab ‘iya’. Bertambahlah kegembiraan di wajahnya sebab  aku memahami 

isyaratnya. namun  kemudian aku menyadari apa yang membuatnya gembira lalu ku 

katakan ‘tidak’. Tiba-tiba rasa senangnya berubah. Ia mulai ragu dan kemudian 

melontarkan pertanyaan kepadaku ‘Bagaimana engkau memperoleh kashf dan ilham, 

apakah sama seperti yang kami peroleh melalui pengamatan nalar intelektual? Aku 

menjawab ‘iya dan tidak’. Tidak ada ruh-ruh berterbangan dari materi-materinya dan 

leher-leher terpisah meninggalkan jasad-jasadnya’. Seketika itu Ibn Rusyd menjadi 

pucat dan tubuhnya gemetar dan dia berbisik “Laa hawla wa laa quwwata illa billah.” 

sebab  dia memahami apa yang ku isyaratkan kepadanya. 

Setelah  pertemuan itu, ia meminta kepada ayahku untuk bertemu lagi dengan 

diriku agar bisa membahas apa yang sudah ia ketahui, apakah pendapatnya sama atau 

tidak dengan pendapatku. Ibn Rusyd yaitu  seorang pemikir dan intelektual. Dia 

bersyukur kepada Tuhan sebab  bertemu orang yang memasuki khalwahnya dalam 

keadaan bodoh, dan keluar tanpa melalui proses belajar, menelaah dan membaca. Dia 

mengatakan “ini yaitu  sesuatu yang aku sendiri telah membuktikan 

kemungkinannya tanpa pertemuan dengan orang yang telah mengalaminya. 

Alhamdulillah, aku hidup pada masa adanya ahli pengalaman ini, seorang yang bisa 

membuka kunci pintu-pintuNya. Alhamdulillah yang telah menganugerahkan aku 

pertemuan dengan salah seorang dari mereka dengan mataku sendiri.” 

 

Peristiwa tersebut membuktian kecemerlangan Ibn ‘Arabi yang luar biasa dalam 

wawasan intelektual dan spiritual. Izutsu menyebutkan bahwa pembicaraan antara 

Ibn Rusyd dan Ibn ‘Arabi menjelaskan antara pemikiran akal dan jalan ma’rifat. 

Dalam peristiwa tukar pikiran tersebut memberikan fakta bahwa Ibn ‘Arabi mampu 

 

menjelaskan antara pemikiran filosofis dan pengalaman spiritual dan menjadi bukti 

korelasi antara filsafat dan metafisik. Ibn ‘Arabi yaitu  seorang plotinus, sehingga ia 

bisa – atau lebih tepat telah memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya kedalam 

suatu pandangan dunia metafisis sebagaimana hubungannya dengan struktur 

metafisikanya dalam wahdat al-wujud.25 

Dengan kehadiran Ibn Arabi, ajaran-ajaran sufisme terformulasi secara eksplisit 

sebagai penjelas dan terklarifikasi agar mudah difahami. Nasar mengistilahkan, 

dengan mengeksplisitkan ajaran metafisik menjadi petunjuk bagi masyarakat yang 

tidak terakses keranah intuisi dan batin.26 

Bacaan Syaikh al-Akbar sangat luas – yang sering disebut tidak hanya 

mu’tazilah. Asy’ariyah, dan eksoteriris, namun  juga tokoh-tokoh sufi lainnya seperti 

al-Ghazali, Ibn Masarrah, dan Ibn Qasyi. Hal ini menguatkan fakta bahwa Ibn ‘Arabi 

sangat familiar dan fasih mengartikulasikan pemikiran, para pendahulunya.27  

Tasawuf sebelum Ibn ‘Arabi bercorak amaliyah yang diperuntukkan sebagai 

bimbingan terhadap murid-muridnya. Para sufi mengungkapan beragam pengalaman 

spiritual yang dialami dan diekspresikan dalam ahwal atau maqam spritiualnya. 

Kehadiran Ibn ‘Arabi dengan ajaran metafisik, kosmologi dan psikologi menjadikan 

hal yang monumental dalam tradisi tasawuf. Ibn ‘Arabi menghadirkan tasawuf dalam 

ranah teoritis. Ajaran tasawuf sebelumnya secara implisit terpendam dalam kalimat-

kalimat para guru menjadi terformulasi secara eksplisit dan menjadi expositor par 

excellence tasawuf Islami.28 

Beliau mempunyai one-pointed attitude of passion for the Truth, dan pernah 

menulis, “semua yang telah ditinggalkan kepadaa kita oleh tradisi, hanyalah kata-

kata. Warisan intelektual ini seterusnya diserahkan kepada kita untuk mencari 

maknanya. Ibn ‘Arabi memiliki dua guru perempuan yaitu Yasmin dari Marchena29 

dan Fatimah dari Cordova.30 Seperti yang diceritakan Ibn ‘Arabiberikut ini: 

 و اهتمدخ بيطرقلا نىثلما نبإ تنب ةمطاف اله لاقي ةيليبشبإ تافراعلا تابلمحا نم ةأرما يسفنب ناأ تمدخ

في ديزت يهو يننس  يهو اههجو لىإ رظنأ نأ يحتسأ تنكو ,ةنس ينعستو سخم ىلع اهياإ تيمدخ تقو

 جو اهتمعن نسحو اهيدخ ةرحم نم نسلا اذه فين نم ةنس ةرشع عبرأ تنب اهبستح الها ,اهاتفاطلو اهتمع

 اذإ نلاف لثم تيأر ام :لوقتو لياثمأ نم اهمديخ نم لك يلع ني رثؤت تناكو ,الله عم لاح اله ناكو

 


 

لخد  هنم يدنع كتري لا هلكب جرخ يدنع نم جرخ اذإو ,ائيش نيع اجراخ هنم كتري لا هلكب لخد يّلع

ائيش.31  

“Aku pernah menjadi pelayan seorang perempuan yang arif, Beliau bernama 

Fatimah Binti Ibn Mustanna al-Qurthubi, beliau (Fatimah)32 tinggal di Seville. Pada 

saat aku bertemu dengannya, usianya sekitar Sembilan puluh limaan tahun. 

Penampilannya meski sudah lanjut usia, beliau masih sangat cantik dan anggun 

seperti gadis yang masih berusia empat belas tahun. Dia menyampaikan bahwa 

banyak yang datang menemui aku, aku sangat mengagumi Ibn ‘Arabi daripada 

mereka semua. Pada saat ditanya kenapa, Dia menjawab “kalian semuanya datang 

dengan sebagian diri kalian, membiarkan sebagian lainnya sibuk dengan urusan lain, 

sementara Ibn ‘Arabi yaitu  satu penenang bagiku, sebab  dia datang dengan 

keseluruhan dirinya. Ketika dia masuk, dia masuk dengan keseluruhan dirinya, ketika 

dia keluar dari sisiku, dia keluar dengan keseluruhan dirinya, tidak membiarkan 

apapun dari dirinya berada di tempat lain.” 

 

Formulasi ajaran metafisik Ibn ‘Arabi dapat menjamin preservasi autentitas 

tradisi tasawuf yang sering berada dalam bahaya penyimpangan lewat pikiran yang 

tidak benar, juga sebab  mereka sudah kehilangan akses pada intuisi intelektual. 

Melalui metafisik Ibn ‘Arabi, tasawuf telah mendominasi kehidupan spiritual dan 

intelektual Islam sampai sekarang. Artinya esoterisme dijadikan pijakan sebagai poin 

penting yang fundamental dan esensial dalam Islam.33 

Doktrin esoterisme menjadi akar segala sesuatu. Intinya ajaran metafisik Ibn 

‘Arabimenjadi pijakan, ketika al-Wujud dalah Tunggal dan Real, yang lain menjadi 

relative sebagai manifestasi. Seperti yang diistilahkan Schwon sebagai the spiritual 

paradox.34 

  

3. Karya-Karya Intelektual Ibn ‘Arabi 

Menurut berbagai penelitian, Ibn ‘Arabi memiliki karya sekitar 350 buku yang 

sudah ia tulis35 namun  tidak ada kepastian berapa jumlah karya-karyanya yang belum 

diketahui. C. Brockelmann36 mencatat tidak kurang dari 239 karya Ibn ‘Arabi. 

 

Ibn ‘Arabi tidak menulis seperti penulis biasa, seperti yang dinukil oleh 

Muhammad Baqir di bawah ini: 

“Apa yang telah aku tulis, tidak pernah tertulis dengan satu tujuan sebagaimana 

penulis-penulis lain. Cahaya-cahaya dari Inspirasi Ilahi sering memancar kepadaku 

dan hampir menyelubungiku, hingga aku hanya bisa mengekspresikannya dari 

fikiranku dan mencatat di kertas apa yang telah ditampakkan untukku. Jika tulisanku 

terlihat berupa sebuah komposisi, itu terjadi tanpa ku sengaja. Sebagian karyaku, 

telah aku tulis sebab  perintah dari Tuhan, yang telah disampaikan kepadaku dalam 

mimpi dan melalui kashaf. Qalbuku berpaut di pintu Hadarat Ilahi, menunggu dengan 

penuh kesadaran apa yang akan datang ketika pintu terbuka. Qalbuku faqir dan 

membutuhkan, kosong dari segala ilmu. Ketika sesuatu mulai tampak kepada qalbu 

dari balik tirai, qalbu segera menaatinya dan mencatatnya dalam batasan yang sudah 

ditentukan”37. 

 

Kitab Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam yaitu  dua karya Ibn ‘Arabi 

yang paling masyhur. Futuhat al-Makkiyah disusun di Makkah pada 598 M/1202 dan 

selesai di Damaskus pada 629/1231.38 Futuhat al-Makkiyah merupakan karya 

monumental yang memuat 560 bab dan tersusun secara bervolume yang 

membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral, juga tercatat di 

dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Futuhat al-Makkiyah 

merupakan sebuah eksplorasi ensiklopedia yang mendalam tentang topik berupa 

berbagai macam – kenabian, maqam-maqam (level-level pencapaian ruhani), nama-

nama Tuhan, praktik-praktik sufi, gambaran ontologi yang beragam, refleksi atas 

interpretasi dan epistemologi. Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa apa yang ia tulis yaitu  

berasal dari Tuhan yang disampaikan malaikat melalui ilham.39 Memperkuat 

pandangan bahwa apa yang ditulis Ibn ‘Arabi bersumber dari penyingkapan (kashaf) 

seperti yang dituangkan Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah seperti pasase berikut 

ini:  

لأا ةلج اذه ,نيايك عور في نياحور ثفنوأ نيبار يّلهإ ءلامإ نع لاإ افرح هنم تبتك ام اللهوف عم ,رم

سل اننوك دنع تعطقنا دق فيلكتلا ةوّبنو عيرشتلا ةلاسر نإف ,ينفلكم ءايبنألاو ينعرشم لسرب ان

نلاو ملّسو هيلع الله ىلص هدعب لوسر لاف ,ملّسو هيلع الله ىلص دممح لله لوسر ,فلكيلاو عّرشي بي

يلع هئايبنأو هلسر ةنسلأ ىلع هعرش اميف الله نع مهفو ةمكحو ملع وه انمإو هطخ امو ,الله ملاس مه

 انمإو .ةرخآو ايند مئاد وه لب يهتني لا ليزنتلاف قلحا تاملكو لماعلا فورح نم دوجولا حول في هبتكو


 

لا ,ةوبن يعدأ لياثمأو نّيأ مهوتم مهوتي لائل كلاذ انلق  ةجردم ىلع كولسو ثايّم لاإ يقبام اللهو

40 .ةصاخ ملّسو هيلع الله ىلص الله لوسر دممح 

“Demi Allah! Aku tidak menulis satu huruf pun dari kitab ini kecuali setelah 

adanya dikte Ilahi dan pelontaran Rabbani atau hembusan Ruhani ke dalam qalbu 

wujudku. Ini terjadi dalam semua perkara, meskipun kami bukanlah seorang rasul 

atau nabi yang membawa shariat dan bukanlah para nabi yang membawa taklif. 

Sesungguhnya risalah tashri’i dan nubuwwah taklif telah berakhir pada diri Rasul, 

Muhammad SAW. Tidak ada rasul setelah beliau, dan tidak ada nabi yang membawa 

shariat dan memberi taklif. Kitab ini yaitu  ilmu, hikmah dan pemahaman yang 

berasal dari Allah mengenai apa yang Ia shari’atkan melalui lisan para rasul dan nabi-

Nya. Dan segala hal yang dituliskan dan ditetapkan dalam lauh wujud dari huruf-

huruf alam dan kalimat-kalimat haq. Tanzil tidak pernah berhenti bahkan ia abadi di 

dunia dan akherat. Kami mengatakan demikian supaya orang tidak salah sangka 

bahwa saya dan orang-orang seperti saya mengklaim kenabian. Tidak “demi Allah, 

tidak ada yang tersisa kecuali warisan dan suluk di atas landasan nabi Muhammad 

SAW secara khusus”.  

Originitas karya Ibn ‘Arabi bisa kita lihat seperti penjelasan yang dikutip oleh 

Henry Corbin berikut ini: 

“Know that the composition of the chapters of the futuhat was not the outcome of a 

free choice on my part or of deliberate reflection. Indeed God, through the Angel of 

inspiration.41 

“Ketahuilah bahwa susunan bab-bab di dalam Futuhat bukanlah hasil dari pilihanku 

sendiri maupun dari pikiranku. Sebenarnya, Tuhanlah yang telah mendikte kepadaku 

semua yang telah aku tulis lewat malaikat inspirasi.”  

Fusus al-Hikam yaitu  salah satu karya Ibn ‘Arabi. Karya ini ditulis oleh Ibn 

‘Arabi pada masa kematangan intelektual dan spiritualnya, tepatnya pada 627/1230 

atau 10 tahun sebelum beliau wafat.42 

Menurut pengakuannya kitab ini diterima dari Nabi saw., seperti yang 

disampaikan Ibn ‘Arabi: 

 

 

 

نيإف :دعب امأ نورشع و عبس ةنس مرمح نم رخلآا رشعلا في اهتييرأ ةرشّبم في .م.ص الله لوسر تيأر 

 جرخاو هذخ "مكلحا صوصف باتك " اذه :لي لاقف ,باتك .م.ص هديبو ,قشمد ةسورحبم ةئامتسو

43.نارمأ امك انم رملأا ليوأو هلوسرلو لله ةعاطلاو عمسلا  :تلقف :هب نوعفتني سانلا لىإ هب 

“Amma ba’du, aku telah melihat Rasulullah SAW, dalam satu mubasyirah 

(penglihatan batin ), di akhir bulan Muharram 627 di kota Damaskus. Beliau 

memagng sebuah kitab dan berkata kepadaku, ini yaitu  kitab Fusus al-Hikam dan 

sampaikan pada manusia agar bisa diambil manfaat darinya. Aku menjawab aku 

dengar dan patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri seperti halnya yang telah 

diamarkan kepada kami.” 

Penjelasan di atas membuktikan bahwa Fusus al-Hikam bukanlah pemikiran Ibn 

‘Arabi, namun  secara esensial yaitu  kalimah Tuhan yang disampaikan kepada Ibn 

‘Arabi yang kemudian menjadi tulisan dalam bentuk kitab. Seperti penjelasan Ibn 

‘Arabi di bawah ini: 

 و دصقلا تدرجو ةيّنلا تصلخأو ,ةينملأا تقّقحف لى هدّح امك باتكلاذه زاربإ لىإ ةملها الله لوسر

 ناصقن لاو ةدياز يّغ نم .م.ص44 

“Maka akupun mengaktualisasikan pesan tadi, dan mengikhlaskan niat, serta 

memfokuskan keinginan aspirasi untuk menyatakan kitab tersebut sebagaimana yang 

telah ditentukan oleh Rasulullah SAW tanpa penambahan dan pengurangan.” 

Tentang nama kitab ini, Qaysari menafsirkan ketika Ibn ‘Arabi memberi tahu, 

“ini yaitu  kitab Fusus al-Hikam,” ada kemungkinan beliau ingin memberitahu 

bahwa nama kitab tersebut di sisi Allah sebagaimana yang disebutkan, maka itu Nabi 

menamakan kitab itu sesuai dengan namanya di sisi Allah. Dan sudah tentu antara 

“nama” (al-ism) dan “yang dinamakan” (al-musaamma) ada munasibah atau relasi. 

Namanya menandakan bahwa “yang dinamakan” yaitu  “quintessence” hikmah-

hikmah dan rahasia-rahasia yang telah diturunkan kepada arwah para anbiya’ yang 

disebut dalam kitab tersebut.45  

Kitab Fusus al-Hikam terdiri dari duapuluh tujuh bab, setiap judulnya 

menggunakan nama seorang Nabi. Pemakaian nama Nabi sebagai judul setiap bab 

sebagai bentuk kebijaksanaan (hikmah) yang dijelaskan dalam setiap bab. Setiap Nabi 

disimbolkan dengan fass.46 Al-Fass juga berarti tempat terletaknya batu cincin atau 

cap-cincin (seal). sebab  qalbu insan kamil yaitu  tempat tertulisnya hikmah 

Ilahiyyah, maka itu qalbu diumpamakan sebagai al-Fass. Dari itu kata “Fusus al-

Hikam” berarti tempat terletaknya batu cincin yang bernilai atau dengan kata lain, ia 

 

 

yaitu  qalbu-qalbu insan kamil yang terletak dan terkandung di dalamnya dan rahasia 

Ilahiyyah. Insan kamil di sini direpresentasikan dengan para anbiya’ di mana qalbu 

mereka yaitu  tempat termanifestasinya hikmah Ilahiyyah.47 

Kitab Shajarah al-Kawn yaitu  kitab yang menjelaskan doktrinnya tentang 

pribadi Muhammad SAW yang secara keseluruhan disimbolkan dengan pohon yang 

muncul dari sebutir benih kun. Metode yang digunakan Ibn ‘Arabi dalam menulis 

karyanya secara umum bersifat simbolik dan sulit dicerna dan dipahami, sebab  pada 

zamannya terjadi fanatisme para ulama fiqih dan kalam sehingga ruang gerak 

pemikiran Ibn ‘Arabi terbatas, bahkan sering dianggap keluar dari Islam. 48 

Corpus besar yang diwariskan Ibn ‘Arabi selain dari tiga kitab tersebut, Ibn 

‘Arabi telah menulis banyak risalah-risalah tentang kosmologi seperti Insha al-

Dawair (Penciptaan Ruang-ruang Samawi), ‘Uqlat al-Mustawfiz (Mantra Hamba 

yang Taat) dan al-Tadbirat al-Ilahiyyah (Pengarahan-pengarahan Tuhan); mtentang 

metode praktis untuk diikuti para murid yang akan menempuh jalan spiritual, yaitu   

al-Risalat al-Khalwah (Risalah tentang Pengasingan Spiritual) dan al-Wasaya 

(Penasihat-penasihat); berkaitan berbagai aspek al-Qur’an yang meliputi simbolisme 

dan huruf, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, tentang shariat dan hadist dan yang 

terkait dengan masalah keagamaan dan spiritual. Tulisan yang terkait dengan puisi-

puisi indah seperti Tarjuman al-Ashwaq (Tafsir Kerinduan) dan juga Diwan.  

 

B. Pemikiran Metafisika Ibn ‘Arabi 

Metafisika atau tasawuf berbicara tentang tiga hal yakni tentang wujud dan 

manifestasi wujud serta bagaimana Sang Wujud memanifestasi. Ketiganya penulis 

uraikan sebagai berikut: 

 

1. Konsep Wujud Al-Haqq 

Sebelum mengurai teori metafisika Ibn ‘Arabi tentang wujud penting untuk 

menjelaskan kata wujud yang diterjemahkan dalam bahasa inggris “Being”. Afifi, 

menekankan dua pengertian yang berbeda untuk memahami istilah wujud; yang 

pertama, wujud sebagai suatu konsep atau ide (wujud bil ma’na al-masdari), yang 

kedua bermakna mempunyai wujud, yakni ada atau yang eksis atau yang hidup 

(subsists) (wujud bi ma’na maujud).50 

Kata wujud mempunyai makna objektif dan subjektif. Bermakna objektif berarti 

ditemukan sebagai makna masdar dari wajada yang dalam bahasa inggris 

diterjemahkan dengan “Being” atau “Existence”. Sedangkan dalam pengertian 

subjektif, pengertian wujud sebagai isim maf’ul dari wajada yang berarti menemukan. 

Dalam pengertian ini kata wujud diterjemahkan dengan finding.51 

Qaysari dalam Sharh  Fusus al-Hikam menjelaskan bahwa istilah wujud yaitu  

sebagai al-Haqq : 

قلحا وه هناو دوجولا نيهذلاو يجرالخا دوجولا يّغ "وهوه" ثيح نم دوجولا52 

 Ia bukan al-khariji (keberadaan konkret luar-mental) maupun al-dhihni 

(keberadaan mental) sebab  kedua-duanya yaitu  tajalli-Nya. Ia bukan kulli 

(universal) maupun juz’i (partikular) dan juga bukan ‘am (umum) maupun khas 

(spesifik).53 Wujud dalam arti sebenarnya yaitu  Realitas yang Absolut yakni 

“unconditional” dan “unlimited”.54   Disini dapat dipahami bahwa tidak ada yang 

dapat mengungkapkan sebuah definisi tentang Yang Real (al-Haqq).55 

Ibn ‘Arabi menggunakan kata wujud untuk menyebut “Wujud Tuhan”, tiada 

wujud selain wujud-Nya yang artinya apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud. 

Dapat disimpulkan secara logis bahwa kata wujud tidak dapat diberikan kepada 

segala sesuatu selain Tuhan (mâ siwâ Allâh), alam dan segala sesuatu di dalamnya. 

Namun dalam pengertian majaz (metaforis) Ibn ‘Arabi juga memakai wujud untuk 

menunjukkan segala sesuatu selain Tuhan. sebab  wujud Tuhan yang ada pada selain 

Tuhan (alam) pada hakikatnya yaitu  wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya 

(bayangan Tuhan).56  

Schuon Menjelasan bahwa Being yaitu  Absolute maka sudah pasti Dia yaitu  

infinite (tak terbatas) dan sesuatu yang infinite sudah tentu akan memancar (radiate) 

keseluruh penjuru. Ini yaitu  manifestasi sebenarnya yang berakar pada aspek 

Infinity Haqiqat al-Wujud.57 Sebab dari aspek Infinity yang begitu luasnya sehingga 

Ia meliputi segala sesuatu yang ada termasuk mahiyat dan juga non-eksistensi sebab  

tidak ada satupun yang teraktualisasi baik di mental maupun di konkret tanpa-Nya. 

Dengan manifestasi al-Wujud segala sesuatu menjadi nyata, sebab  al-Wujud 

menampakkan diri-Nya dengan senyata-nyatanya sehingga Ia disebut al-Zahir. 

 


Namun, pada hakikatnya Ia yaitu  yang paling tersembunyi dan paling rahasia sebab  

tiada satu pun yang dapat meliputi-Nya sehingga Ia disebut al-Batin. Qaysari 

menyatakan: 

 في ىلّجتي يذّلا وه ذا ,اهنيع وه لب ,اهموّقم وهف ,ينعلا و ملعلا في اهقئاقحو اهروصب رهظي و, هبتارم

 )ةتباثلا نايعلأا( و )ةيهالما( ب ىمّسي .58 

“Maka Dia yaitu  muqawwim segala sesuatu, justru Dia yaitu  esensi segala 

sesuatu, sebab  Dialah yang men-tajalli disetiap maratib dan Dialah yang 

memanifestasi dalam semua form serta haqiqat: baik dalam derajat ilmu maupun 

dalam derajat konkret. Dan (dengan manifestasi itu) Dia dinamakan sebagai al-

mahiyat dan al-A’yan al-Thabitah.” 

Dia melampaui segala kualifikasi dan relasi yang dapat dikonsepsikan oleh 

manusia. Oleh sebab itu, Dia selama-lamanya yaitu  misteri dari segala misteri yang 

tak dapat diketahui sebab ketakterbatasan-Nya.59 Dalam pengertian ini, Dia disebut 

sebagai ankar an-nakirat yaitu “yang paling tidak tentu dari semua yang tidak tentu” 

sebab  Dia tak memiliki satu pun kualitas dan tidak menyandang relasi dengan selain 

diri-Nya sendiri. Dengan demikian, Dia yaitu  paling tidak diketahui dari semua 

yang tidak diketahui.60 Al-Qasyani menerangkan dasar pemikiran Ibn ‘Arabi ke 

dalam tiga konsep dasar; (1) Wujud qua Wujud (wujud mutlak), Ia tidak terikat 

dengan syarat-syarat tak tentu atau tertentu sebab  Ia sendiri terlalu kudus untuk 

diberi sifat atau nama apapun. Ia tidak memiliki kualitas, batasan; tidak ada sedikit 

pun bayang-bayang kemajemukan di dalamnya. Ia yaitu  Wujud yang niscaya ada 

dan tiada selain Dia jika dilihat dari esensinya. Dan Ia yaitu  Wujud mutlak yang 

tidak memiliki sumber kecuali diri-Nya sendiri. (2) arketip-arketip, (3) mawjud-

mawjud atau benda-benda konkret di alam indrawi.61 

Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an (QS. An-Nur [24]: 35) bahwa “Tuhan 

yaitu  cahaya”, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud yaitu  cahaya dan ‘adam 

yaitu  kegelapan.62 sebab  Tuhan dan alam sering digambarkannya dengan cahaya 

dan kegelapan; wujud milik Tuhan dan ‘adam (ketiadaan) yaitu  milik alam.63 Tuhan 

yaitu  cahaya dan bukan sesuatupun selain cahaya, sementara sesuatu yang selain-

Nya memperoleh pancaran dan dan pantulan cahaya substansi-Nya. Tanpa cahaya, 

tidak akan ada merah, hijau ataupun biru. Bayang-bayang dapat terwujud sebab  

cahaya, dan cahaya tidak mungkin dapat melingkupi matahari. Hanya matahari yang 

dapat mengetahui matahari. Tiada seorang pun yang dapat mengetahui Tuhan kecuali 

Tuhan.64 

Dari gambaran di atas, dapat dijelaskan bagaimana kejamakan berasal dari Yang 

Satu. Yakni wujud yaitu  Keesaan. Tiada bagi-Nya ketiadaan, sebagaimana telah kita 

ketahui bahwa wujud yaitu  cahaya sehingga ia memancarkan serta memberi (wujud) 

pada diri-Nya sendiri. Maka dalam konteks ini kita mengenal tiga hal: cahaya, 

pancaran dan kegelapan atau wujud, eksistensi dan non-eksistensi.65 

Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa tidak ada wujud kecuali al-Haqq (wujud hakiki), 

ia juga menggunakan kata al-Haqq66 yang secara harfiah berarti kebenaran dan 

sekaligus Realitas untuk mengacu pada Sang Mutlak. Meskipun secara non-filosofis 

Sang Mutlak disebuut Tuhan.67 

Dalam konteks hubungan ontologis pengertian al-Haqq yaitu  Allah, Sang 

Pencipta, Yang Esa, wujud, dan wajib al-wujud, sedangkan al-khalq yaitu  alam, 

makhluk, yang banyak, al-mawjûdât dan al-mumkinât. Satu-satunya wujud yaitu  

Allah; tidak ada wujud selain wujud Allah.68  

Hanya ada satu Realitas dalam eksistensi, yang mana Realitas ini mempunyai 

dua sudut pandang yang berbeda; apabila al-Haqq dipandang sebagai Esensi dari 

semua Fenomena maka al-Haqq bermakna “Yang Nyata = Riil. Kedua, disebut 

sebagai al-khalq apabila dipandang sebagai fenomena yang memanifestasikan Esensi 

itu.69 Maka dari itu, alam yaitu  al-Haqq dan bukan al-Haqq. Seperti yang 

diungkapkan Ibn ‘Arabi bahwa “Dia bukanlah Dia�