Al-Quran–sebagaimana didefinisikan para ulama uṣūl–adalah firman
Allah sebagai mukjizat yang diurunkan
kepada Nabi Muhammad saw. melalui
malaikat Jibril, dituliskan dalam mushaf
dimulai dari surat al-Fātiḥah dan diakhiri dengan surat al-Nās.1 Dengan
tegas dinyatakan dalam al-Quran bahwa
fungsinya yang utama adalah sebagai
petunjuk bagi manusia dan memberi
keterangan-keterangan serta sebagai
pembeda antara hak dan batil (QS. alBaqarah [2]: 185).
Tidak diragukan lagi al-Quran
tidak hanya mengandung keterangan
tentang hukum, sosial dan moral,
melainkan juga berisi banyak ayat yang
berkaitan dengan hakekat ilmu pengetahuan, dan bagaimana mem-perolehnya
serta bagaimana meman-faatkan ilmu
pengetahuan tersebut untuk kemaslahatan manusia di dunia ini. Al-Quran
menegaskan bahwa ilmu Allah itu tak
terbatas (infinif dan ab-solut) yang
digambarkan dalam al-Qur-an sebagai
berikut:
Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimatkalimat Tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tam-bahan sebanyak
itu (pula).” (QS. Al-Kahfi [18]: 109).
Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut
(lagi) sesudah (kering)nya, niscaya
tidak akan habis-habisnya (ditulis-
kan) kalimat Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Luqman [31]: 27).
Yang dimaksud dengan kalimat
Allah dalam ayat tersebut adalah ilmuNya dan hikmahnya. Betapa luas dan
tak terhingga kandungan ilmu pengetahuan dalam kalam Allah al-Quran. AlQuran tidak hanya sebagai sumber ilmu
teologi, fikih dan muamalah. Akan tetapi
al-Quran adalah sebagai kitab kumpulan ilmu pengetahuan dan al-Quran telah
lama menjadi pedoman pada universitas al-Azhar Mesir dan universitasuniversitas Islam di seluruh dunia memegang peranan penting sebagai dasar
seluruh kurikulum dan pengajaran.2
Demikian al-Quran agar menjadi obyek
pemikiran bagi manusia ayat demi ayat
untuk menggali ilmu pengetahuan dan
hikmahnya. Sebagaimana firman Allah
swt: Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatNya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran. (QS. Ṣād [38]: 29). Dengan
demikian, al-Quran sangat mendorong
manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam semesta agar mengetahui
rahasia dan hikmah serta tujuan diciptakan alam semesta ini (QS. al-A‘rāf
[7]: 185).
Tulisan ini lebih lanjut akan
mengkaji konsep ilmu dalam al-Quran,
ditinjau dari sudut pandang filsafat.
Kerangka yang dipakai untuk
menganalisis tema ini adalah kerangka
pemikiran filsafat. Dalam paradigma
filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi
dalam tiga dimensi; pertama, dimensi
epistemologis, yakni kajian filsafat dari
aspek bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut
teori ilmu pengetahuan, yaitu metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar; kedua, dimensi
ontologis, yakni cabang filsafat yang
membahas tentang objek kajian ilmu
pengetahuan, atau hakikat segala yang
menjadi kajian ilmu; dan ketiga, dimensi
aksiologis, yakni cabang filsafat yang
membahas tentang tujuan dan nilai guna
serta nilai manfaat ilmu pengetahuan.
Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan
teori nilai.
3 Dan bagaimana peranannya dalam membangun sains Islam di
perguruan tinggi Islam khususnya dan
di dunia Islam pada ummnya.
B. Epistemologi Al-Quran
Dalam uraian ini, epistemologi alQuran dibagi ke dalam tiga pokok
pembahasan yang penting. Pertama
dimentasi epistimologi ilmu pengetahuan menurut al-Quran yakni suatu
kajian filsafat dari aspek bagaimana
metode memperoleh ilmu pengetahuan.
Dalam kajian filsafat disebut teori ilmu
pengetahuan yaitu metodologi untuk
memperoleh ilmu pengetahuan menurut al-Quran. Kedua dimensi ontologi
yakni bidang filsafat yang membahas
obyek ilmu pengetahu-an atau hakekat
segala hal yang menjadi obyek kajian
ilmu pengetahuan. Ketiga dimensi tujuan dan nilai guna serta mamafaat dari
pada ilmu pengetahuan.
4
Al-Quran telah menyampaikan
pesan-pesan tentang ilmu pengetahuan
dengan menggunakan term-term yang
bervariasi yaitu dengan kata العلم (ilmu
pengetahuan) berjumlah 844 kata dengan macam bentuk kata secara
يعلم - علما –العالم معلوم semantik misalnya
dan kata deviriasi العالمين العلماء علم-
lainnya seperti “الحكمة” (kebenaran )
dan المعرفة (ilmu pengetahuan). Untuk
lebih jelasnya term-term tersebut akan
diuraikan berikut ini :
Pertama kata Al-‘Ilm ( العلم)
Al-Quran menyampaikan kata
ilmu yang memiliki beberapa makna
yang berbeda karena perbedaan konteks ayat namun makna subtansinya
sama. Ilmu berarti mengetahui sesuatu,
ada dua makna yaitu mengetahui zat
sesuatu dan mengetahui sifat sesuatu.
Dalam bahasa Arab kata ‘alima disandarkan kepada satu obyek (maf’ūl)
dan yang kedua kepada dua obyek
(maf’ūlain). Ilmu ada dua macam yaitu
pertama pengetahuan teoritis (naẓari),
yaitu pengetahuan tentang sesuatu
misalnya pengetahuai tentang adanya
alam. Kedua pengetahuan praksis, yaitu
pengetahuan itu tidak sempurna kecuali
setelah mengaplikasikannya, misalnya
pengetahuan tentang ibadah.5
Di samping makna tersebut kata
ilmu dari sisi lain ada dua macam ilmu
yaitu ilmu samā’i (wahyu) atau naqli,
yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari Allah seperti wahyu dan ilham. Kata ilmu berasal dari
kata i’lam yang berarti pemberitahuan
dan ilmu aqli (penalaran ) yaitu ilmu
pengetahuan yang diperoleh melalui
proses pembelajaran secara berulangulang sehingga tertanam dalam akal dan
jiwa. Kata ilmu ini beasal dari kata
ta’allum yang berarti pembelajaran.6
Dengan demikian ilmu pengetahuan
menurut al-Quran ada dua macam yaitu
ilmu pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Allah melalui wahyu
dan ilham dan ilmu pengetahuan yang
diperoleh melalui proses pembelajaran.
Meskipun demikian kedua-duanya berasal dari Yang Maha Mengetahui, Allah
swt. Karena ilmu merupakan sifat Allah
yang utama yang memilki ta’alluq atas
sesuutu yang maujud sedangkan ilmu
pengetahuan juga obyeknya segala
sesautu yang maujud.
Berikut ini di antara ayat-ayat
tentang ilmu pengetahuan dalam alQuran:
Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu
dan orang orang selain mereka yang
kamu tidak mengeta-huinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang
kamu nafkah-kan pada jalan Allah
niscaya akan dibalasi dengan cukup
ke-padamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfāl
[8]: 60).
(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan Para Rasul lalu Allah
bertanya (kepada mereka): "Apa
jawaban kaummu terhadap (seruan)mu?". Para Rasul menjawab
Tidak ada pengetahuan Kami (tentang itu); sesungguhnya Engkaulah
yang mengetahui per-kara yang
ghaib" (QS. al-Mā’idah [5]: 109).
Sesungguhnya Allah telah memberi
karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus
diantara seorang Rasul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al kitab
dan al-Ḥikmah. dan Sesungguhnya
sebelum (ke-datangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran
[3]: 164).
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan; Dia
telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah,
yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, dan meng-ajarkan
suatu yang belum di-ketahuinya (QS.
al-‘Alaq [96]: 1-5).
Kedua kata Ḥikmah (الحكمة)
Al-Quran dalam beberapa ayatnya
menggunakan kata ḥikmah, yang
“حكم ـ يحكم ـ حكما” berasal dari kata jadian
artinya “kokoh, mengikat”, dan arti
mufradatnya adalah memperoleh suatu
kebenaran dengan ilmu dan akal. Al-
Ḥikmah dari sisi Allah sebagai Al- Ḥākim
artinya Allah mengetahuai segala
sesuatu dan menciptakannya dengan
sangat kokoh, sedangkan dari sisi
manusia ḥikmah artinya “manusia
mengetahui segala yang maujud dan
dapat melakukannya kebajikan.”
7 Demikian makna ini sebagaimana Allah telah
memberikan ḥikmah kepada Luqman
dalam firman-Nya:
Dan sesungguhya telah Kami berikan
ḥikmah kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah; dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguh-nya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur,
maka sesungguh-nya Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji". (QS. Luqman [31]:
12).
Sebagai kata jadian dari ḥikmah
adalah al-ḥukmu dan al-ḥakīm, makna
al-ḥukmu lebih umum daripada ḥukmun
karena setiap ḥikmah ada hukum dan
tidak setiap hukum ada ḥikmah. Karena
hukum adalah memutuskan sesuatu atas
sesuatu yang lain. Namun kadang kata
ḥukmun berarti hikmah. Sebagaimana
firman Allah:
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka
sesorang Rasul dari ka-langan
mereka, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitāb
(al-Quran) dan al-Ḥikmah (al-Sunnah)
serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah
[2]: 129).
Dalam ayat tersebut kata ḥikmah
berarti sunnah. Dengan demikian, Nabi
Muhammad saw menerima al-Kitāb
yakni al-Quran dan al-Ḥikmah yakni
sunnah Nabi. Keduanya merupakan
pengetahuan yang langsung dari Allah,
demikian juga para rasul sebelumnya.
Di tempat yang lainnya, al-Ḥikmah
adakalanya disebut karena menerangi
jalan dihadapan orang-orang beriman,
dan adakalanya disebut al-furqān
karena ḥikmah dapat membedakan antara hak dan batil antara baik dan buruk
dan antara benar dan salah. Ini dapat
disimak dari ayat berikut:
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada
Allah dan berimanlah kepada RasulNya, niscaya Allah memberikan
rahmat-Nya kepada-mu dua bagian,
dan menjadikan untukmu cahaya
yang dengan cahaya itu kamu dapat
berjalan dan Dia mengampuni kamu.
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. al-Ḥadīd [57]:
Ketiga kata al-Ma’rifah ( المعرفة )
عرف يعرف عرفا معرفة Berasal dari
berarti mengeahui atau mengenal
,ma’rifah atau irfan berarti mengetahui
sesuatu dengan berfikir atau tadabbur
terhadap dampaknya misalnya berfikir
tentang ke mahakuasaan Allah melalui
ciptaan-Nya. Al-Ma’rifah lebih khusus
daripada ilmu kebalikannya adalah ingkar sedang ilmu (tahu) kebalikannya
jahlu (bodoh). Dikatakan “ia ma’rifat
kepada Allah” tidak dikatakan “ia
mengetahui Allah”. Manusia ma’rifat
kepada Allah dengan men-tadabbur
ciptaan-Nya atau firman-Nya akan
tetapi tidak mengetahui zat-Nya. 8
Menurut para filosof (filsuf)
ma’rifat adalah hasil dari interaksi hubungan antara zat yang dima’rifati
dengan dengan obyeknya, berbeda dengan ilmu sekiranya ma’rifat terjadi
pada satu waktu adanya hubungan
yang kuat antara keduanya. Ilmu
pengetahuan dengan ma’rifat adalah
ilmu pengetahuan tanpa perantara
antara zat dan obyeknya seperti ilham
atau ‘irfān (pengetahuan yang langsung
dari Allah).9
Al-Quran tidak menyebutkan
secara eksplisit kata ma’rifat tetapi
menyebutkan kata kerjanya (fi‘il)
sebagaimana dalam ayat berikut:
Dan setelah datang kepada mere-ka
al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa
memohon (keda-tangan Nabi) untuk
men-dapat kemenangan atas orangorang ka-fir, maka setelah datang
kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orangorang yang ingkar itu. (QS. al-Baqarah
[2]: 89).
Dan saudara-saudara Yusuf da-tang
(ke Mesir) lalu mereka masuk ke
(tempat)nya. Maka Yusuf me-ngenal
mereka, sedang mereka tidak kenal
(lagi) kepadanya (QS. Yūsuf [12]:
58).10
Hai anakku, dirikanlah salat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman
[31]: 17).
Dari uraian tersebut di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan dalam perspektif disebutkan
dalam tiga term yaitu: ‘ilm, ḥikmah, dan ma’rifah. Ketiga macam term tersebut
menurut konteksnya menunjukkan tiga
macam model ilmu pengetahuan;
pertama, ḥikmah adalah ilmu pengetahuan yang langsung Allah anugerahkan kepada hamba pilihan-Nya seperti
para nabi dan rasul serta orang-orang
saleh yang mendapat ilham dari Allah.
Kedua, ma’rifah adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui tadabbur
dan tafakkur terhadap aya-ayat ciptaan
Allah dan firman-Nya. Ketiga, ‘ilm
adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran
atau ilmu pengetahuan kasb (hasil
usaha). Ketiga macam ilmu pengetahuan
tersebut pada hakekatnya adalah suatu
kesatuan karena berasal dari Allah.
Inilah yang merupakan faktor ontologi
ilmu pengetahuan menurut al-Quran.
Selanjutnya akan di uraikan faktor
metodologi memperoleh ilmu pengetahuan.
C. Metode Memperoleh Ilmu Penge-
tahuan
Setiap manusia yang dilahirkan ke
dunia ini, Allah telah memberikan
potensi dalam diri manusia untuk dapat
memperoleh ilmu pengetahuan. Walaupun secara sunnatullah ketika lahir
manusia tidak mengetahui apa-apa,
namun kemudian Allah memberinya
indera pendengaran, penglihatan dan
akal. Dengan anugerah Allah ini
manusia berpotensi memiliki dan
mengembang-kan ilmu pengetahuan
apabila ia dapat mengaktualisasikan
anugerah Allah tersebut. Ini dijelaskan
oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya di
bawah ini:
dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. al-Naḥl [16]: 78).
Dari sini pentingnya peran
pendidikan dan pengajaran bagi setiap
anak yang dilahirkan untuk mengembangkan potensi asal yang dimilikinya. Allah telah memberikan akal
kepada manusia sebagaimana memberikan untuk membedakan antara yang
baik dan yang buruk. Karenanya,
pendidikan berperan untuk mengarahkan manusia ke jalan yang baik dan
benar dan mengembangkan ilmu pengetahuannya.11
Al-Quran al-Karim telah memberikan petunjuk untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dengan metode ilmiah
dan praktis, bukan berdasarkan teori
perdebatan dan berdasarkan asumsi
yang bertentangan dengan akal sehat.
Metode praksis memperoleh ilmu
pengetahuan berdasarkan kepada dua
metode. Pertama, metode simā’i, yakni
kita mengambil manfaat hasil penelitian
orang lain baik mereka para peneliti
dahulu atau mereka semasa dengan
kita yang kemudian memanfaatkan
hasil penelitian mereka. Metode ini
tersyirat dalam firman Allah:
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringat-an
bagi orang-orang yang mempu-nyai
akal atau yang me-nggunakan
pendengarannya, se-dang Dia
menyaksikan-nya. (QS. Qāf [50]: 37).
Dengan landasan ini hendaknya
setiap generasi mengajarkan kepada
generasi berikutnya ilmu pengetahuan
yang mereka peroleh dari generasi
sebelumnya atau hendaknya orang-
orang berilmu mengajarkan kepada
yang tidak berilmu, dengan demikian
terdapat kemajuan ilmu pengetahuan
ke jalan peningkatan dan kesempurnaan. Karena itu, tidak ada jaminan
kemajuan ilmu pengetahuan jika tidak
menekankan beberapa hal sebagai
berikut:12
Pertama, hendaknya orang
berilmu tidak menutupi ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya. Karena
ilmu pengetahuan ini bukan miliknya
sendiri karena ilmu pengetahuan itu
adalah petunjuk dan anugerah Allah.
Hadis Nabi menegaskan bahwa orang
berilmu apabila ditanya tentang ilmunya
kemudian ia menutupi maka ia diancam
siksaan belenggu dalam neraka pada
hari kiamat, dan Allahpun sesungguhnya
sudah mengintakan hal ini.
Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah
Kami turunkan berupa kete-ranganketerangan (yang jelas) dan petunjuk,
setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam al-Kitāb,
mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati (pula) oleh semua (mahluk)
yang dapat melaknati, kecuali mereka
yang telah taubat dan mengadakan
perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka terhadap mereka
Itulah aku menerima taubatnya dan
Akulah yang Maha menerima taubat
lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah
[2]: 160).
Kedua, ilmu pengetahuan adalah
amanah maka hendaknya menyampaikan ilmu pengetahuan dengan jelas
tidak terkontaminasi dan tidak meng-
ubah dan tidak mengurangi, sebagaimana firman Allah:
Dan janganlah kamu campur adukkan
yang hak dengan yang batil dan
janganlah kamu sembu-nyikan yang
hak itu, sedang kamu mengetahui.
(QS. al-Baqarah [2]: 42).
Ketiga, ilmu pengetahuan adalah
milik kemanusiaan secara kolektif. Allah
tidak mengutus beberapa rasul kecuali
mereka mengajarkan dan membimbing
umat baik dengan wahyu yang diterimanya maupun dengan keteladanan
yang baik, mereka tidak menuntut upah
karena menentukan syarat upah dalam
pengajaran adalah bertentangan dengan prinsip Islam sebagaimana firman
Allah:
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang men-dapat
petunjuk. (QS. Yā Sīn [36]: 21).
Keempat, tidak menyia-nyiakan
waktu untuk berdebat baik dari pihak
pengajar maupun para peserta didik,
sebagaimana firman Allah:
Dan jika mereka membantah kamu,
maka katakanlah: "Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan". (QS. al-Ḥajj [22]: 68).
Kelima, menerima suatu kebenaran yang didasarkan pada argumen yang
kuat. Al-Quran mencela orang-orang
yang menolak kebenaran tanpa alasan,
sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya Setiap kali aku
menyeru mereka (kepada iman) agar
Engkau mengampuni mereka, mereka
me-masukkan anak jari mereka ke
dalam telinganya dan menutupkan
bajunya (kemukanya) dan mereka
tetap (mengingkari) dan menyoombongkan diri dengan sangat. (QS.
Nūḥ [71]: 7).
Keenam, menerima sesuatu yang
bermanfaat dan meninggalkan pembahasan yang berkepanjangan tanpa dasar
yang kuat.
Dan orang-orang yang menjauh-kan
diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna. (QS. al-Mu’minūn
[23]: 3).
Ketujuh, menyeleksi ilmu pengetahuan yang membawa kemaslahatan
bagi peradaban manusia.
Dan orang-orang yang menjauhi
Ṭaghūt (yaitu) tidak menyembah-nya
dan kembali kepada Allah, bagi
mereka berita gembira; sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengi-kuti
apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai
akal. (QS. al-Zumar [39]: 17-18).
Kedelapan, teliti dan cermat dalam
menerima ilmu pengetahuan yang
sampai kepada kita, dan keharusan
bertanya kepada orang-orang berilmu
apabila tidak mengetahuinya.
Kami tiada mengutus rasul-rasul
sebelum kamu (Muhammad),
melainkan beberapa orang laki-laki
yang Kami beri wahyu kepada
mereka, maka tanyakanlah olehmu
kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tidak mengetahui. (QS. alAnbiyā [21]: 7).
Kedua, metode tajribī. Melakukan
penelitian dan eksperimen yang didasarkan kepada pemikiran yang logis. al-Quran telah memberikan petunjuk
bagaimana melakukan pemikiran
dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1) Hendaknya kita membebaskan
pikiran dari asumsi-asumsi dan
tradisi yang membelunggu pikiran
kita dari para nenek moyang dan
lingkungan di mana kita hidup sejak
masa kanak-kanak. Dengan demikian
kita dapat berpikir dengan bebas. Dan
hendaknya meragukan sesuatu informasi yang datang sebelum melakukan klarifikasi sampai kita meyakini
kebenarannya.
2) Hendaknya kita menggunakan indera
dan akal sekaligus dalam melakukan
penelitian baik bersifat empirik
maupun non-empirik. Karena keduanya saling melengkapi. Keduanya
tidak dapat dipisahkan atau berbeda
dengan para filosuf aliran empirisme dan rasioalisme yang membedakan antara indera dan akal. Ini
merujuk firman Allah:
Sesungguhnya Kami jadikan untuk
(isi neraka Jahannam) kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak diperguna-kannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang
lalai. (QS. al-A‘rāf [7]: 179).
3) Allah mengingatkan kepada
manusia bahwa dalam diri manusia
terdapat anugerah Allah yang rahasia
selain indera dan akal anugerah ini
disebut al-Ḥikmah, yaitu sebagaimana diungkapkan oleh ahli sufi dengan ‘hati nurani’ dan oleh para
filosuf disebut al-hadas (indera
keenam), yakni kemampuan mengetahui sesuatu yang tidak terjangkau
oleh indera dan akal secara bersamasama apa dibalik yang diketahui dan
apa dibalik kenyataan yang dapat
diindera. Allah telah memberikan
anugerah ini kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki.13 Allah
berfirman:
Allah menganugerahkan al-Ḥikmah
(kepahaman yang dalam tentang alQurandan al-Sunnah) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya; dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak; dan hanya
orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah). (QS. al-Baqarah [2]:
269).
Sesungguhnya telah Kami beri-kan
hikmah kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah, dan
barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji". (QS.
Luqman [31]: 12).
Demikianlah metode memperoleh ilmu pengetahuan dan tahapannya yang dideskripsikan al-Quran
dalam ayat–ayatnya dengan jelas beberapa abad sebelum para filosof menemukannya. Al-Quran menegaskan bahwa metode memperoleh ilmu penge-
tahuan dengan mengaktualisasikan anugerah Allah kepada manusia berupa
indera dan akal. Di samping yang itu
ada anugerah Allah yang amat istimewa yaitu anugrah hikmah atau
cahaya ilahi atau ‘irfān yang Allah
berikan kepada hamba-Nya yang
dikehendaki.
D. Membangun sains islam
Ilmu pengetahuan Islam (Islamic
science) hendaknya dibangun di atas
fondasi pemikiran theolologis atas
dasar kesatuan ilmu pengetahuan bahwa ilmu pengetahuan berkembang di
atas dasar dua ayat, yaitu ayat alMatluwah (al-Quran) dan ayat al-Majluwah (alam semesta). Kedua ayat itu
adalah kalam Allah yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan merupakan sumber ilmu pengeahuan yang
tak terbatas. Apabila tidak demikian
maka tidak akan terjadi paradigma
kesatuan ilmu pengetahuan dalam Islam dan selamanya akan terjadi dikhotomi ilmu pengetahuan antara ilmu pengetahuan agama yang ber-dasarkan alQuran dan al-Sunnah dan ilmu pengetahuan umum yang berdasarkan pada
hasil kerja empirik intelektual para
ilmuwan setelah melakukan obsevasi,
penelitian, eksperimen terhadap fenomena alam semesta. Padahal keduanya
baik ilmu pengetahuan agama atau ilmu
pengetahuan empirik bersumber dari
kalām Allah, yaitu ayat al-Matluwah
dan ayat al-Majluwah.
Al-Quran menekankan pentingnya
ilmu pengetahuan bagi siapa pun. Ia
merupakan bagian dari milik manusia
secara kolektf. Dibedakannya Adam
dengan para malaikat dan diperintahkannya mereka bersujud kepadanya
tidak lain karena Adam mempuyai kelebihan dan kemampuan belajar dan
memperoleh ilmu pengetahuan yang
diajarkan kepadanya. Maka dengan ilmu
pengetahuan Adam lebih tinggi dan
lebih mulia daripada para malaikat dan
jadi khalifah di muka bumi ini. Hal ini
mengandung makna bahwa Allah
memberikan apresiasi dan derajat yang
tinggi terhadap para ilmuwan.
Al-Quran memberikan sebutan
atau gelar “اوتواااعلم” (berilmu pengetahuan), ء العلما (para ilmuwan ), بصارا
االوليا (orang memiliki mata hati atau
nurani), اللباب اولي (berakal) dan lain
lain. Ini menegaskan kedudukan dan
penghargaan Allah bagi mereka yang
memiliki ilmu pengetahuan dan mengabdikan ilmunya untuk agama, nusa dan
bangsanya. Di antra ayat-ayat al-Quran
tentang kedudukan para ilmuwan sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman apabila
dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam maj-lis", maka
lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
maka berdiri-lah, niscaya Allah akan
meninggi-kan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha
menge-tahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. al-Mujādilah [58]: 11).
Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada
yang bermacam-macam warnanya
(dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah diantara hambahamba-Nya, hanyalah ula-ma.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Pengampun. (QS. Fāṭir [35]:
28).
Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (alQuran) kepada kamu, di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muḥ-
kamāt, itulah pokok-pokok isi alQuran dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyābihāt. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang
mutasyābihāt daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wil-nya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya)
melain-kan orang-orang yang berakal.
(QS. Ali Imran [3]: 7).
Ayat yang muḥkamāt ialah ayatayat yang terang dan tegas maksudnya,
dapat dipahami dengan mudah. Termasuk dalam pengertian ayat-ayat
mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang
mengandung beberapa pengertian dan
tidak dapat ditentukan arti mana yang
dimaksud kecuali sesudah diselidiki
secara mendalam; atau ayat-ayat yang
pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya
ayat-ayat yang mengenai hari kiamat,
surga, neraka dan lain-lain.
Sesungguhnya telah ada tanda bagi
kamu pada dua golongan yang telah
bertemu (bertempur). Sego-longan
berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang
dengan mata kepala melihat (seakanakan) orang-orang muslimin dua kali
jumlah mereka. Allah menguatkan
dengan bantuan-Nya siapa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai
mata hati. (QS. Ali Imran [3]: 137).
Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada
yang demikian itu, terda-pat tandatanda kekuasaan Allah bagi orangorang yang berakal. (QS. Ṭā Hā [20]:
54).
Itulah beberapa ayat al-Quran
yang menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang berilmu atau para
ilmuwan dan kenyataannya al-Quran
itu merupakan kitab ilmu pengetahuan
juga.
Apabila kita memperhatikan ayatayat al-Quran yang berkaitan dengan
ilmu pengetahuan dan ditambahkan dengan keterangan-keterangan dari hadis
Nabi, maka kita merasakan bahwa seolah-olah tujuan hidup kita yang utama
adalah menambah ilmu penge-tahuan.14
Dengan demikian, membangun sains
Islam hendaknya berlandaskan kepada
al-Quran sebagai pa-radigma kesatuan
ilmu pengetahuan. Sebab, al-Quran
sebagai firman Allah (kalām Allāh) sebagai sifat utama Allah, sebagai sumber segala ilmu pengetahuan manusia
dan ayat al-Majluwah, yakni alam
semesta yang merupakan ciptaan Allah
dan sumber ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan sebagai
sarana mengenal Allah dan ketakwaan
kepada-Nya. Dengan kata lain, semakin
bertambah ilmu pengetahuan maka
akan semakin beriman dan bertakwa
kepada Allah
Materi ilmu pengetahuan yang diperintahkan al-Quran untuk dicari dan
pelajari mencakup seluruh alam dan
seluruh kehidupan. Hal itu pertama kali
untuk mengenal dan beriman kepada
Allah (tauhid), kemudian yang kedua
untuk mengetahui dan menggali harta
kekayaan alam semesta dan menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Tidak ada sesuatu apa pun yang ada
di dunia ini yang tidak diperintahkan
oleh al-Quran untuk dipelajari dan
dipikirkan baik segi material maupun
spiritual.
Dengan mempelajari dan memahami al-Quran secara mendalam kita
akan mengetahui betapa al-Quran menekankan pentingnya mempelajari agama
(dīn), sejarah, dan peninggalan umat
terdahulu, ilmu falak, geografi, psikologi, ilmu kedokteran, ilmu per-tanian,
ilmu biologi, ilmu matematika, ilmu
sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu bahasa
arab dan sastraya, dan lain-lain. Yang
dapat menjamin kehidupan dan kesejahteraan ummat manusia serta meninggikan derajatnya.
Al-Quran sering memerintahkan
kepada kita agar memperhatikan dan
mengamati fenomena yang terjadi di
alam semesta ini, awan mengakibatkan
turun hujan, hujan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan atau
tanaman memberi makan kepada binatang dan manusia, dan manusia memanfaatkan berbagai macam ciptaan Allah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu, ia harus dan wajib
mengetahui hubungan semua itu kepada Allah Yang Maha Menciptakan dan
memelihara alam semesta ini.
Al-Quran juga memerintahkan kepada supaya melakukan ekspedisi, menyelidiki dan memperhatikan serta
memikirkan segala ciptaan Allah. AlQuran tidak meletakan batas dan apalagi
penghalang bagi ilmu pengetahuan.
Meskipun al-Quran bukan kitab ilmu
pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial melainkan kitab petunjuk
(guide book), namun al-Quran memerintahkan kepada kita untuk mempelajari segala macam ilmu pengetahuan.
Adapun ayat-ayat yang memberikan isyarat terhadap berbagai macam
ilmu pengetahuan: (1) ilmu agama (QS.
al-Taubah [9]: 122), (2) ilmu psikologi
(QS. Fuṣṣilat [41]: 53), (3) ilmu sejarah
dan arkeologi (QS. Muḥammad [47]: 10),
(4) biologi, pertanian, dan embriologi
(QS. al-Ḥajj [22]: 5), (5) ilmu botani dan
kelautan (QS. Fāṭir [35]: 12), (6) ilmu
astronomi (QS. Yā Sīn [36]: 37-40), (7)
ilmu matematika dan eksakta (QS. alJinn [72]: 28), (8) ilmu fisika dan kimia
(QS. al-Ḥadīd [57]: 25), (9) ilmu geografi
(QS. al-Żāriyat [51]: 20-21), (10) ilmu
geologi QS. Fāṭir [35]: 27), dan (11)
kosmologi dan antropologi (QS. al-Naḥl
[16]: 3-17). Masih banyak ayat yang
memberikan isyarat terhadap ilmu
pengetahuan. Ini menunjukkan dan
sekaligus mendorong kita untuk
menggali isyarat ilmu pengetahuan
dalam al-Quran tersebut untuk
melakukan penelitian demi kemanusiaan dan peradaban, dan tentunya
semakin dekat kepada Allah, Sang
Pemilik Ilmu Pengetahuan.
E. Kesimpulan
Epistimologi al-Quran sebagai
sumber ilmu pngetahuan yang
berlandasan bahwa Allah telah menurunkan dua ayat yaitu ayat Matluwah
(al-Quran) dan ayat al-Majluwah (alam
semesta) dengan segala fenomenanya.
Keduanya merupakan sumber informasi dan sarana observasi dan eksperimen ilmu pengetahuan. Keduanya
adalah kalām Allah yang tidak terbatas.
Karena itu, epistemologi al-Quran dari
aspek ontologi, metodo-logi dan aksiologi menunjukkan kesatuan ilmu pengetahuan. Dengan demikian tidak ada lagi
dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum.
Kesatuan ilmu pengetahuan yang
berlandaskan kepada ayat tersebut
pada akhirya akan menciptakan ilmu
pengetahuan yang berlandaskan
keesaan Allah (tauhid). Oleh karena
itu, ilmu pengetahuan hendaknya dijadikan sarana mengenal Allah dan meningkatkan keimanaan dan ketakwaan
ke-pada-Nya. Apabila sudah demikian,
maka ilmu pengetahuan akan mewujudkan kemudahan, kebaikan dan kesejahteraan umat manusia di muka ini.
Kesatuan ilmu pengetahuan dalam
Islam tidak akan dapat dibangun kecuali
dengan landasan pada ayat al- Matluwah
dan ayat al-Majluwah sehingga apa pun
disiplin ilmu hendaknya dilandasi oleh
epistemologi al-Quran dalam aspek
ontologi, metodologi dan aksiologinya.
Jika tidak demikan akan melahirkan
ilmu pengetahuan sekuler bahkan
sampai atheis, ilmu pengeta-huan yang
tidak bertuhan yang akan membawa
kerusakan dan kebinasaan umat
manusia di muka bumi ini.