Selasa, 11 Februari 2025

riwayat hidup nabi muhammad 5


 mu ialah masuk Islam atau membayar jizyah". * 

Mereka berkata: "Kami tak mau masuk Islam dan tak mau 

membayar jizyah, sebab mati yaitu  lebih baik daripada membayar 

jizyah." Amir menjawab bahwa dalam keadaan demikian ia cuci tangan, 

dan sambil berkata demikian ia meninggalkan benteng itu. Ia terlihat 

oleh Muhammad bin Masiama, panglima pasukan Muslim, yang bertanya 

siapa dia. sesudah  diketahui asal-usuinya, dikatakan kepadanya bahwa ia 

boleh pergi dengan aman dan Muhammad bin Masiama sendiri berdoa 

keras: 

"Ya Allah , berilah hamba selalu kekuatan untuk menutupi 

kesalahan-kesalahan orang-orang yang sopan." 

Apa yang dimaksud olehnya ialah bahwa orang Yahudi ini telah 

menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan kaumnya. Maka telah 

menjadi kewajiban kaum Muslimin memaafkan orang-orang semacam 

itu. Dengan mengizinkan berlalu ia telah berbuat suatu kebaikan dan 

mendoa agar Allah  senantiasa memberinya suatu kesempatan 

mengerjakan amal baik serupa itu berulang-ulang. saat  Rasulullah 

s.a.w. mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Muhammad bin 

Masiama, yaitu melepaskan seorang pemimpin Yahudi itu, beliau tak 

memarahinya. Bahkan sebaliknya, beliau membenarkan tindakannya itu.  

Kesediaan berdamai dan menerima keputusan Rasulullah s.a.w. 

telah diungkapkan hanya oleh orang-orang Yahudi secara perseorangan. 

Sebagai kaum, mereka tetap bersikepala batu dan tetap menolak 

keputusan Rasulullah s.a.w., dan daripada menerima keputusan 

Rasulullah s.a.w., mereka malah meminta keputusan Sa'd bin Mu'adz 

(Bukhari, Tabari & Khamis). Rasulullah s.a.w. meluluskan tuntutan 

mereka dan memanggil Sa'd bin Mu'adz, yang sedang berbaring sebab  

luka-luka, untuk datang dan memberi keputusan atas pelanggaran 

                                                     

* Jizyah = Upeti (red.) 

perjanjian. Segera sesudah  keputusan Rasulullah s.a.w. diumumkan, 

orang-orang dari suku Aus, yang telah lama bersekutu dengan Banu 

Quraiza, berlari menemui Sa'd dan mendesak supaya Sa'd menjatuhkan 

keputusan yang ringan terhadap Banu Quraiza. Suku Khazraj, kata 

mereka, senantiasa berusaha menyelamatkan orang-orang Yahudi yang 

bersekutu dengan mereka. Terpulang kepada Sa'd untuk menyelamatkan 

kaum Yahudi yang bersekutu dengan sukunya. Sa'd pergi dengan 

menunggang kudanya kepada Banu Quraiza. Orang-orang dari sukunya 

berlari-lari di kanan-kirinya sambil mendesak untuk tidak menjatuhkan 

hukuman berat kepada Banu Quraiza. Sa'd hanya mengatakan, sebagai 

jawabannya, bahwa orang yang diserahi tugas mengadili itu memikul 

beban amanat. Ia harus menjaga amanat itu dengan jujur dan setia. "Oleh 

sebab  itu, aku akan menjatuhkan keputusan dengan mempertimbangkan 

segala sesuatu dan tanpa takut atau berat sebelah," katanya. saat  Sa'd 

sampai ke benteng Yahudi itu, dlihatnya Banu Quraiza berderet-deret di 

hadapan benteng, menunggu kedatangannya. Di sisi lain berkumpul 

kaum Muslimin. saat  Sa'd telah mendekat kepada mereka, ia bertanya, 

"Maukah kamu sekalian menerima keputusanku?" Mereka menjawab 

"Ya, mau." 

Keputusan Sa'd Sejalan Dengan Bible 

Sambil menoleh kepada Banu Quraiza ia mengajukan 

pertanyaan yang sama, dan mereka pun setuju. Maka dengan rasa malu 

ia menunjuk ke tempat Rasulullah s.a.w. duduk dan bertanya kalau 

orang-orang di sebelah situ pun bersedia tunduk kepada keputusannya. 

Mendengar pertanyaan itu Rasulullah s.a.w. menjawab, "Setuju" (Tabari 

dan Hisyam). Kemudian Sa'd menjatuhkan keputusannya sesuai dengan 

perintah Bible sebagai berikut: 

Apabila engkau mendekati suatu kota untuk berperang melawannya, 

naka haruslah engkau menawarkan perdamaian kepadanya. Apabila kota 

menerima tawaran perdamaian itu dan dibukanya pintu gerbang bagimu, 

maka haruslah semua orang yang ada  di situ melakukan pekerjaan 

rodi bagimu dan menjadi hamba kepadamu. namun apabila kota itu tidak 

mau berdamai dengan engkau, melainkan mengadakan pertempuran 

melawan engkau, maka haruslah engkau mengepungnya; dan sesudah  

Allah , Allahmu, menyerahkannya ke dalam tanganmu, maka haruslah 

engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata 

pedang. Hanya perempuan, anak-anak, hewan dan segala yang ada di 

kota itu, yakni seluruh jarahan itu, boleh kau rampas bagi dirimu sendiri 

dan jarahan dari musuhmu ini, yang diberikan kepadamu oleh Allah , 

Allahmu, boleh kaupergunakan. Demikianlah harus kau lakukan terhadap 

segala kota yang sangat jauh letaknya dari tempatmu, yang tidak 

termasuk kota-kota bangsa-bangsa di sini. namun dari kota-kota bangsa-

bangsa itu, yang diberikan Allah , Allahmu, kepadamu menjadi milik 

pusakamu, janganlah kau biarkan hidup apapun yang bernafas, 

melainkan kau tumpas sama sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang 

Kanaan, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, seperti yang 

diperintahkan kepadamu oleh Allah , Allahmu, supaya mereka jangan 

mengajar kamu berbuat sesuai dengan segala kekejian, yang dilakukan 

mereka bagi allah mereka, sehingga kamu berbuat dosa kepada Allah , 

Allahmu. (Ulangan 20:10-18). 

Menurut ajaran Bible, jika kaum Yahudi menang dan Rasulullah 

s.a.w. kalah, maka semua orang Muslim - Iaki-laki, perempuan dan anak-

anak - akan dihukum mati. Kami mengetahui dari sejarah bahwa 

memang itulah kemauan kaum Yahudi. Sekurang-kurangnya kaum 

Yahudi akan membunuh semua pria, menjadikan wanita dan anak-anak 

sebagai budak dan merampas segala milik kaum Muslimin, semua 

perlakuan itu ditetapkan dalam Ulangan terhadap tiap-tiap bangsa musuh 

yang hidup di bagian dunia yang jauh. Sa'd bersahabat dengan Banu 

Quraiza. Sukunya bersekutu dengan suku mereka. saat  diketahuinya 

bahwa kaum Yahudi menolak keputusan Rasulullah s.a.w. dan 

sebab nya menolak hukuman lebih ringan yang telah ditetapkan terhadap 

pelanggaran serupa itu dalam agama Islam, ia mengambil keputusan 

menjatuhkan hukuman kepada kaum Yahudi yang telah ditetapkan oleh 

Nabi Musa a.s. Tanggung jawab terhadap keputusan itu tidak terletak di 

bahu Rasulullah s.a.w. atau kaum Muslimin, melainkan pada Nabi Musa 

a.s. dengan ajarannya dan pada kaum Yahudi sendiri yang telah 

memperlakukan kaum Muslimin begitu kejam. Kepada mereka 

ditawarkan keputusan yang mengandung unsur kasih. namun daripada 

mau menerimanya, mereka bersikeras meminta keputusan Sa'd. Sa'd 

menetapkan menghukum kaum Yahudi sesuai dengan hukum syariat 

Nabi Musa a.s.. Namun demikian, kaum Kristen sampai hari ini terus 

mencela Rasulullah s.a.w. dan mengatakan bahwa beliau sangat kejam 

terhadap kaum Yahudi tersebut. Andai kata benar beliau kejam terhadap 

kaum Yahudi itu, mengapa beliau tidak berlaku kejam terhadap kaum-

kaum lain atau pada peristiwa-peristiwa lainnya? Banyak sekali 

kejadian-kejadian, saat musuh Rasulullah s.a.w. menyerahkan nasibnya 

kepada kemurahan hati beliau, dan tak pernah permohonan 

pengampunan mereka meleset. Pada peristiwa ini musuh bersikeras 

supaya orang lain selain Rasulullah s.a.w. menjatuhkan keputusannya. 

Orang pilihan mereka sendiri yang bertindak sebagai wasit antara 

mereka dan kaum Muslimin, bertanya kepada Rasulullah s.a.w. dan 

kaum Yahudi di muka umum, apakah mereka semua mau menerima 

keputusannya. Baru sesudah semua pihak menyetujuinya, ia mulai 

mengumumkan keputusannya. Dan apakah keputusannya? Tak lain dan 

tak bukan kecuali mengikuti hukum syariat Nabi Musa a.s. terhadap 

pelanggaran kaum Yahudi. Mengapa mereka pada waktu itu tidak 

menerimanya? Bukankah mereka menyebut diri mereka termasuk di 

antara para pengikut Nabi Musa a.s.? Jika ada sesuatu kekejaman 

dilakukan, maka hal itu dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap 

orang-orang Yahudi sendiri. Kaum Yahudi menolak menerima 

keputusan Rasulullah s.a.w., dan alih-alihnya, telah mendatangkan 

tuntutan hukum agama mereka sendiri terhadap pelanggaran mereka. 

Jika suatu kekejaman telah dijalankan, maka kekejaman itu telah 

dilakukan oleh Nabi Musa a.s. yang telah menetapkan hukuman itu 

terhadap musuh yang ditundukkan dan mencantumkan hukuman itu 

dalam kitabnya atas Perintah Allah . Penulis-penulis Kristen selayaknya 

tidak menghamburkan kemarahan kepada Rasulullah s.a.w.. Mereka 

harus mengutuk Nabi Musa a.s. yang telah menetapkan hukuman kejam 

itu atau mengutuk Allah  Nabi Musa a.s. yang memerintahkan beliau 

berbuat demikian. 

Perang Parit telah usai. Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa 

sejak hari itu ke depan, kaum Musyrikin tidak akan menyerang lagi kaum 

Muslimin; malahan sebaliknya, kaum Muslimin mulai hari itu akan 

menyerang kaum Musyrikin. Kartu telah terbalik. Kaum Muslimin mulai 

menjadi penyerang terhadap suku-suku dan golongan-golongan yang 

sebegitu jauh dengan tak beralasan menyerang dan mengganggu mereka. 

Apa yang dikatakan Rasulullah s.a.w. itu bukan gertak sambal. Dalam 

Perang Khandak, persekutuan Arab sedikit pun tidak menderita kerugian 

besar. Mereka hanya kehilangan beberapa orang. Dalam masa kurang 

dari satu tahun mereka dapat datang kembali dan menyerang Medinah 

 111 

dengan persiapan yang lebih baik lagi. Alih-alih suatu pasukan yang 

terdiri atas dua puluh ribu prajurit, mereka dapat menyusun serangan 

baru dengan pasukan yang terdiri atas empat puluh, atau bahkan lima 

puluh ribu prajurit. Suatu angkatan perang sebesar seratus atau seratus 

lima puluh prajurit bukan di luar jangkauan kemampuan mereka. namun , 

sekarang dalam masa dua puluh satu tahun, musuh Islam telah banting-

tulang berusaha melenyapkan Islam dan kaum Muslimin. Kegagalan 

rencana-rencana mereka secara terus-menerus telah menggoyahkan 

kepercayaan kepada diri mereka sendiri. Mereka mulai khawatir dan 

was-was, kalau-kalau apa yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. itu 

benar, dan bahwa berhala-berhala dan dewa-dewa mereka itu palsu, dan 

bahwa Sang Maha Pencipta yaitu  Allah  Yang Maha Ghaib, yang 

diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. itu. Kekhawatiran bahwa Rasulullah 

s.a.w. itu benar dan mereka salah mulai merasuk dan meresap ke dalam 

diri mereka. Kendati demikian, tanda-tanda kekhawatiran itu tak nampak 

dari luar. Pada lahirnya, kaum Musyrikin nampaknya tetap seperti biasa. 

Mereka pergi kepada berhala-berhala mereka dan mendoa kepada 

berhala-berhala seperti sediakala. namun , semangatnya telah remuk 

redam. Pada lahirnya mereka menjalani kehidupan musyrik dan kafir; di 

dalam batin mereka tampak menggemakan semboyan Islam - Laailaha  

illallah, tidak ada Allah  kecuali Allah. 

Seusai Perang Khandak Rasulullah s.a.w., seperti telah kami 

katakan, mengumumkan bahwa dari saat itu ke depan orang-orang kafir 

tidak akan menyerang kaum Muslimin lagi; namun sebaliknya, kaum 

Muslimin akan menyerang kaum kufar. Kesabaran kaum Muslimin telah 

sampai pada batasnya. Muslim telah berubah (Bukhari, Kitab al-

Maghazi). 

 

Adakah Rasulullah Berusaha Meneruskan Perang? 

Dalam pertempuran yang sampai saat itu telah berlangsung, 

kaum Muslimin harus tinggal di Medinah atau pergi keluar agak jauh 

sedikit untuk menghadapi agresi kaum kufar. Kaum Muslimin tidak 

mengawali pertempuran-pertempuran itu, dan tidak nampak punya 

 112 

keinginan meneruskannya. Permusuhan biasanya hanya dapat berakhir 

dengan dua jalan - suatu persetujuan damai atau satu pihak tunduk 

terhadap pihak yang lain. Dalam pertempuran-pertempuran antara kaum 

Muslimin dan kaum kufar, sejauh itu tidak nampak akan ada damai atau 

satu pihak bersedia menyerah. Memang benar, ada masa-masa istirahat 

bertempur, akan namun tak seorang pun dapat mengatakan bahwa perang 

antara kaum Muslimin dan kaum kufar itu telah berakhir. Menurut 

undang-undang yang sudah berlaku, kaum Muslimin dapat menyerang 

suku-suku musuh dan memaksa mereka menyerah. namun kaum 

Muslimin tak berbuat demikian. Jika musuh menghentikan perkelahian, 

kaum Muslimin juga berhenti. Mereka berhenti, sebab  mereka 

menyangka ada kemungkinan untuk perundingan damai. namun saat  

telah terbukti tidak ada perundingan damai dikehendaki oleh kaum kufar 

begitu pula tidak ada kecenderungan dari pihak mereka untuk menyerah, 

maka Rasulullah s.a.w. memandang bahwa saatnya telah tiba untuk 

mengakhiri peperangan, baik dengan jalan damai atau dengan salah satu 

pihak menyerah kalah terhadap pihak lain. Perang harus dihentikan 

seandainya akan diadakan perdamaian. Oleh sebab  itu seusai Perang 

Khandak, Rasulullah s.a.w. agaknya telah mengambil keputusan untuk 

menetapkan salah satu di antara dua: damai atau menyerah. Bahwa kaum 

Muslimin akan menyerah kepada kaum kufar tak pernah terpikirkan. 

Kemenangan Islam terhadap penganiayanya telah dijanjikan oleh Allah . 

Pernyataan-pernyataan mengenai janji kemenangan itu telah 

dikemukakan oleh Rasulullah s.a.w. saat beliau masih tinggal di 

Mekkah. Dapatkah kaum Muslimin menuntut damai? Langkah menuju 

perdamaian dapat diawali oleh pihak yang kuat atau pihak yang lemah. 

Jika pihak lemah meminta damai, ia harus menyerahkan, untuk 

sementara atau untuk selama-lamanya, sebagian daerahnya atau sebagian 

penghasilannya; atau, terpaksa menerima syarat-syarat lainnya yang 

diajukan oleh musuh. Jika pihak yang kuat menawarkan perdamaian, hal 

itu dapat diartikan bahwa pihak yang kuat tidak menghendaki 

kehancuran total pada pihak yang lemah, namun bersedia membiarkannya 

merdeka secara penuh atau sebagian sebagai imbalan atas syarat-syarat 

tertentu. Dalam pertempuran-pertempuran yang sebegitu jauh telah 

terjadi di antara kaum Muslimin dan kaum kufar, yang disebut 

belakangan menderita kekalahan demi kekalahan. Walaupun demikian 

kekuatan mereka belum patah. Mereka hanya gagal dalam usaha 

membinasakan kaum Muslimin. Kegagalan menghancurkan yang lain 

belum berarti kekalahan.  

Artinya hanya, agresi mereka belum berhasil; serangan-serangan 

yang telah gagal dapat diulang. Maka kaum Mekkah belum terkalahkan; 

hanya serangan mereka terhadap kaum Muslimin telah gagal. Dalam 

istilah militer, kaum Muslimin jelas merupakan pihak yang lemah. 

Memang benar, pertahanan mereka masih tetap utuh, namun mereka 

merupakan minoritas yang buruk keadaannya dan merupakan minoritas 

yang, walaupun mampu bertahan terhadap agresi mayoritas, tidak 

sanggup menjadi pihak penyerang. Oleh sebab  itu, kaum Muslimin 

belum menegakkan kemerdekaan. Jika mereka meminta damai, maka hal 

itu berarti bahwa pertahanan mereka telah patah dan bahwa mereka 

sekarang bersedia menerima syarat dan tuntutan kaum kufar. Suatu 

tawaran damai dari pihak mereka sangat berbahaya bagi Islam. Hal itu 

berarti bunuh diri. Hal itu akan mendatangkan kehidupan baru kepada 

musuh yang telah patah semangat akibat kekalahan yang berturut-turut. 

Suatu rasa kalah akan terdesak oleh harapan dan ambisi baru. Kaum 

kufar pasti beranggapan bahwa meskipun kaum Muslimin telah 

menyelamatkan Medinah, mereka pada akhirnya masih tetap pesimis 

tentang kemenangannya atas kaum kufar. Maka suatu usul perdamaian 

tak mungkin diajukan oleh kaum Muslimin. Usul semacam itu dapat 

diajukan oleh pihak kaum Mekkah atau oleh pihak ketiga. Dalam 

sengketa yang telah timbul, Medinah menjadi dihadapkan kepada 

seluruh Arabia. Jadi, hanya kaum kufar yang dapat mengajak damai 

kepada kaum Muslimin dan untuk itu tak nampak tanda-tandanya. 

Dengan demikian perang antara kaum Muslimin dan kaum Arab boleh 

jadi akan berlarut-larut. Kaum Muslimin tidak dapat mengusulkan 

perdamaian dan kaum Arab tidak mau juga. Oleh sebab  itu, perang 

saudara di Arabia nampaknya tak akan ada habis-habisnya, sekurang-

kurangnya tidak sampai abad yang berikutnya. 

Hanya ada satu jalan bagi kaum Muslimin jika mereka hendak 

mengakhiri perselisihan. Mereka tidak bersedia menyerahkan kata hati 

mereka kepada bangsa Arab, yaitu, melepaskan hak mereka untuk 

menyatakan, mengamalkan, dan mentablighkan apa yang mereka sukai; 

dan tidak ada langkah menuju perdamaian dari pihak kaum kufar. Oleh 

sebab  itu, mereka itulah sekarang yang berkewajiban memaksa kaum 

Arab menyerah atau menerima perdamaian. Rasulullah s.a.w. mengambil 

keputusan untuk berbuat hal seperti itu. 

Adakah peperangan yang dicari Rasulullah s.a.w.? Bukan, bukan 

peperangan melainkan perdamaianlah yang diusahakan untuk 

diwujudkan oleh beliau. Jika beliau pada saat itu tinggal diam, Arabia 

akan tetap dicengkeram oleh perang saudara. Maka langkah yang beliau 

ambil yaitu  satu-satunya jalan untuk perdamaian. Dalam sejarah 

ada  beberapa peperangan yang berlangsung lama. Beberapa di 

antaranya berjalan sampai seratus tahun, lainnya berlangsung tiga puluh 

tahun lebih. Perang-perang yang memakan waktu lama itu akibat dari 

tidak adanya tindakan yang menentukan dari masing-masing pihak. 

Tindakan yang memastikan itu seperti yang telah kami katakan di atas 

hanya berupa satu dari dua bentuk -  menyerah mutlak atau perdamaian 

atas dasar perundingan. 

Dapatkah Rasulullah s.a.w. tinggal diam dan pasif? Dapatkah 

beliau dan pasukan Musliminnya yang kecil itu mengundurkan diri ke 

belakang tembok kota Medinah dan membiarkan segala sesuatu terjadi 

dengan sendirinya? Itu tak mungkin! Kaum kufar telah memulai agresi. 

Membiarkan segala sesuatu berjalan sendiri tidak merupakan akhir 

peperangan, bahkan sebaliknya; ialah, perang yang berkesinambungan. 

Hal itu akan berarti bahwa kaum kufar dapat menyerang Medinah kapan 

mereka suka. Mereka dapat menghentikannya jika mereka menghendaki 

dan menyerang lagi kapan mereka mau. Suatu masa jeda dalam 

peperangan tidak berarti berakhirnya suatu perang. Itu hanya berarti 

muslihat belaka.  

Ajaran Yudaisme Dan Kristen Mengenai Perang 

namun masalah yang sekarang timbul ialah, apakah dapat 

dibenarkan berperang untuk agama? Oleh sebab itu marilah kita tinjau 

masalah ini. Ajaran agama mengenai masalah peperangan mengambil 

berbagai-bagai corak. Ajaran Perjanjian Lama telah kami bentangkan di 

atas. Nabi Musa a.s. diperintahkan memasuki negeri Kanaan dengan 

kekuatan senjata untuk mengalahkan penduduknya dan menempatkan 

kaumnya sendiri di situ (Ulangan 20: 10-18). Walaupun ada ajaran ini 

dalam kitab suci Nabi Musa a.s. dan meskipun pelajaran itu dikuatkan 

oleh contoh nyata dari Nabi Yusak, Daud a.s. dan lain-lain, kaum Yahudi 

dan kaum Kristen tetap menghormati nabi-nabi mereka dan memandang 

kitab-kitab mereka sebagai kitab dari Allah . Pada akhir masa syariat 

Nabi Musa a.s., kita jumpai Isa Al-Masih a.s. yang mengajarkan:  

namun Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang 

berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi 

kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu (Matius 5:39).  

Kaum Kristen sering mengemukakan ajaran Isa a.s. ini dan 

menjadikannya bukti bahwa Isa a.s. menentang peperangan. namun , 

dalam Perjanjian Baru kita dapati ayat-ayat yang mengandung ajaran 

yang sama sekali berlawanan. Umpamanya, ada ayat yang berbunyi:  

Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa 

damai diatas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan 

pedang (Matius 10:34). 

Dan ayat lain mengatakan: 

Katanya kepada mereka: "namun sekarang ini, siapa yang memiliki  

pundi-pundi, hendaklah ia membawanya, demikian juga yang 

memiliki  bekal; dan siapa yang tidak memiliki nya hendaklah ia 

menjual jubahnya dan membeli pedang" (Lukas 22:36). 

Dari ketiga ayat itu, dua ayat terakhir bertolak belakang dengan 

yang pertama. Jika Nabi Isa a.s. datang untuk peperangan, mengapa 

beliau mengajarkan tentang memberikan pipi lainnya? Tampaknya kita 

harus mengakui adanya pertentangan-pertentangan dalam Perjanjian 

Baru, atau kita harus menerangkan salah satu dari ajaran yang 

bertentangan itu dengan cara yang tepat. Kami tidak akan 

mempersoalkannya di sini, apakah menyerahkan pipi yang sebelah lagi 

itu selalu dapat dipraktekkan? Kami hanya ingin menegaskan bahwa 

sepanjang sejarahnya tak pernah kaum Kristen ragu-ragu untuk 

mengadakan peperangan. saat  kaum Kristen pertama kali menguasai 

Roma, mereka terjun dalam peperangan sebagai pihak bertahan maupun 

pihak penyerang. Mereka merupakan kekuasaan-kekuasaan yang 

berpengaruh di dunia dewasa ini, dan mereka terus-menerus ikut dalam 

perang, baik secara mempertahankan diri atau pun secara agresi. Hanya 

pihak yang menang sekarang dikeramatkan oleh dunia Kristen, yang 

selebihnya, kemenangan mereka dikatakan sebagai kemenangan 

peradaban Kristen. Kebudayaan Kristen menjadi berarti apa saja yang 

berpengaruh dan sukses. Jika dua kekuatan Kristen berperang, masing-

masing mengakui dirinya sebagai pemelihara dan pelindung cita-cita 

Kristen. Kekuatan yang menang dikeramatkan sebagai kekuatan Kristen 

yang benar. namun , memang benar bahwa sejak zaman Nabi Isa sampai 

zaman kita sekarang, Kristen telah terlibat - dan gejala-gejala 

menunjukkan akan terus terlibat - dalam peperangan. Oleh sebab  itu, 

menurut keputusan umat Kristen pada prakteknya ialah, peperangan itu 

ajaran Perjanjian Baru yang sebenarnya, dan bahwa memberikan pipi 

yang sebelah lagi merupakan ajaran penyesuaian diri dengan situasi dan 

kondisi sebab  terpaksa oleh ketidakberdayaan umat Kristen di masa 

permulaan, atau bahwa ajaran itu hanya dimaksudkan untuk perorangan-

perorangan, tidak untuk negara-negara dan bangsa-bangsa.  

Kedua, bahkan umpamanya, kita menerima bahwa Nabi Isa 

mengajarkan damai, dan bukan perang, maka hal itu tidak berarti bahwa 

mereka yang tidak beramal sesuai dengan ajaran itu tidak suci dan tidak 

dimuliakan. Sebab, agama Kristen senantiasa memuliakan tokoh-tokoh 

perang seperti Nabi Musa a.s., Yusak a.s., dan Daud a.s.. Malah bukan 

itu saja, Gereja sendiri mengkeramatkan pendekar-pendekar bangsa yang 

menderita dalam peperangan. Mereka dinyatakan orang-orang suci oleh 

Paus. 

Al-Qur’an Tentang Perang Dan Damai 

Ajaran Islam lain dari ajaran kedua agama itu. Ajarannya ada di 

antara kedua ajaran itu. Islam tidak mengajarkan agresi seperti halnya 

ajaran Nabi Musa a.s.. Pula, Islam tidak seperti agama Kristen dewasa 

ini (yang mungkin telah rusak) mengajarkan hal-hal yang bertentangan 

satu sama lain. Islam tidak mengajarkan menyerahkan pipi sebelah lagi 

dan di samping itu menyuruh menjual pakaian kita untuk membeli 

pedang. Ajaran Islam sesuai dengan fitrat manusia dan memelihara 

perdamaian dengan satu-satunya cara yang mungkin dilakukan. Islam 

melarang agresi, namun mengajarkan kepada kita untuk berperang. 

Seandainya berperang tidak ditempuh maka akan membahayakan 

keamanan dan menggalakkan peperangan. Jika mengabaikan peperangan 

berarti lenyapnya kebebasan beragama dan usaha mencari kebenaran, 

maka telah menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk berperang. Itulah 

ajaran yang di atas landasan ajaran itu akhirnya perdamaian dapat dibina, 

dan inilah ajaran yang di atasnya Rasulullah s.a.w. meletakkan dasar 

siasat dan amal beliau. Rasulullah s.a.w. menderita terus-menerus di 

Mekkah, namun tidak melawan agresi yang beliau sendiri menjadi 

sasaran, padahal beliau tidak bersalah. saat  beliau berhijrah ke 

Medinah, musuh bertekad membinasakan Islam; maka beliau terpaksa 

menghadapi musuh dalam membela kebenaran dan kebebasan beragama. 

Di bawah ini kami kutip ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung 

masalah perang. 

(1) Di dalam 22:40-42 kita jumpai: 

“Telah diizinkan bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan 

mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong 

mereka. Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa 

hak, hanya sebab  mereka berkata, "Allah  kami ialah Allah”. Dan 

sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh 

sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja 

Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang 

banyak disebut nama Allah di dalammya. Dan pasti Allah akan 

menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, 

Maha Perkasa. Orang-orang yang, jika Kami teguhkan mereka di bumi, 

mereka mendirikan shalat dan membayar zakat dan menyuruh berbuat 

kebaikan dan melarang dari keburukan. Dan kepada Allah kembali segala 

urusan”. 

Ayat-ayat itu bermaksud mengatakan bahwa izin berperang telah 

diberikan kepada pihak yang menjadi korban agresi. Allah  kuasa 

menolong para korban - mereka yang telah diusir dari rumah-rumah 

mereka sebab  kepercayaan yang dianut mereka. Izin itu bijaksana, 

sebab, jika Allah  tidak mencegah si kejam dengan memberi pertolongan 

kepada orang-orang yang bertakwa, maka tak akan ada kebebasan 

menganut agama dan ibadah di dunia. Allah  harus menolong mereka 

yang menegakkan kemerdekaan dan ibadah. Oleh sebab  itu terang 

diizinkan jika suatu kaum telah lama menderita dari agresi yang buas - 

jika si agresor tak punya alasan untuk agresi dan berusaha merintangi 

agama yang dianut oleh si korban. Kewajiban si korban ialah, jika dan 

bilamana ia meraih kekuasaan, menegakkan kebebasan beragama dan 

melindungi semua agama dan semua tempat keagamaan. Kekuasaannya 

harus dipergunakan bukan untuk kebesarannya sendiri, melainkan untuk 

mengurus si miskin, kemajuan negara, dan meningkatkan keamanan 

khalayak umum. Ajaran itu sempurna, jelas dan tegas. Ajaran itu 

mengumumkan kenyataan bahwa kaum Muslimin di masa permulaan itu 

telah mengadakan peperangan, sebab  mereka terpaksa. Peperangan 

agresi dilarang oleh Islam. Kepada kaum Muslimin dijanjikan kekuasaan 

politik, namun diperingatkan bahwa kekuasaan itu tidak boleh 

dipergunakan untuk kebesaran dan keagungan sendiri, namun untuk 

memperbaiki nasib si miskin dan memelihara keamanan dan kemajuan.  

(2) Dalam 2:191-194 kita jumpai: 

“Dan perangilah di jalan Allah, orang-orang yang memerangimu, 

namun jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak 

mencintai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di 

mana pun mereka kamu dapati, dan usirlah mereka dari tempat mereka 

telah mengusirmu, dan fitnah itu lebih buruk dari pada pembunuhan. 

Dan, janganlah kamu memerangi mereka di dekat Masjidilharam 

sebelum mereka memerangimu di sana. namun , jika mereka 

memerangimu, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-

orang kafir. namun jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah 

Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan perangilah mereka sehingga 

tak ada fitnah lagi, dan agama itu hanya untuk Allah. namun , jika mereka 

berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang 

aniaya”. 

Perang harus sebab  Allah, bukan demi kepentingan sendiri atau 

akibat keberangan atau demi kebesaran sendiri, dan bahkan harus bebas 

dari pelanggaran-pelanggaran, sebab pelanggaran-pelanggaran itu tidak 

diridhai Allah . Perang hanya pada pihak-pihak yang saling bermusuhan. 

Serangan atas perseorangan terlarang. Agresi terhadap agama harus 

 119 

dihadapi dengan perlawanan aktif, sebab agresi semacam itu lebih buruk 

dari pertumpahan darah. Kaum Muslimin dilarang berperang dekat 

Masjidil Haram, kecuali jika serangan itu dimulai oleh musuh. Perang 

dekat Masjidil Haram mengganggu hak umum untuk naik Haji. namun 

jika musuh menyerang, kaum Muslimin bebas membalas, hal itu 

merupakan pembalasan yang tepat terhadap agresi. namun jika musuh 

berhenti, maka kaum Muslimin juga harus berhenti dan memaafkan serta 

melupakan hal-hal yang lampau. Perang terpaksa diteruskan selama ada 

serangan dan aniaya sebab  agama serta selama kebebasan beragama 

belum terjamin. Agama itu untuk Allah . Penggunaan kekerasaan atau 

tekanan dalam urusan agama yaitu  salah. Jika orang-orang kafir 

berhenti dan menjamin kebebasan beragama, kaum Muslimin harus 

berhenti memerangi kaum kufar. Senjata harus ditujukan kepada mereka 

yang melanggar. Jika pelanggaran-pelanggaran berhenti, perang pun 

harus dihentikan pula. 

Jadi, kita dapat mengatakan bahwa secara kategoris ayat-ayat itu 

mengajarkan peraturan-peraturan berikut: 

1. Perang boleh ditempuh hanya semata-mata untuk Allah  dan bukan 

untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kebesaran sendiri atau untuk 

kemajuan kepentingan-kepentingan lain apa pun. 

2. Kita berperang hanya melawan siapa yang menyerang kita lebih 

dahulu. 

3. Kita memerangi hanya kepada pihak yang memerangi kita. Kita 

tidak boleh berperang dengan mereka yang tidak terlibat dalam 

peperangan. 

4. Bahkan sesudah musuh telah memulai lebih dahulu menyerang, tetap 

menjadi kewajiban kita untuk berperang dalam batas-batas norma. 

Memperluas peperangan, baik secara teritorial atau mengenai 

pemakaian senjata, yaitu  tidak benar. 

5. Kita boleh memerangi hanya angkatan perang yang digerakkan oleh 

musuh untuk berperang di pihak mereka. Kita tidak boleh 

memerangi orang-orang yang lainnya di pihak musuh. 

6. Dalam peperangan, kekebalan harus diberikan kepada segala upacara 

dan ibadah keagamaan. Jika musuh membiarkan aman tempat-

 120 

tempat upacara keagamaan diadakan, maka kaum Muslimin juga 

harus berhenti berperang di tempat-tempat seperti itu. 

7. Jika musuh memakai tempat peribadatan sebagai pangkalan untuk 

melakukan serangan, maka kaum Muslimin diperkenankan 

membalas serangan itu. Jika kaum Muslimin berbuat demikian, tidak 

akan dipersalahkan. Tidak diizinkan berperang bahkan di dekat 

tempat-tempat keagamaan. Serangan terhadap tempat-tempat agama 

dan membinasakannya atau memberi kemudaratan dalam bentuk apa 

pun terhadapnya sama sekali dilarang. Suatu tempat keagamaan yang 

dipergunakan sebagai pangkalan operasi-operasi boleh mendapat 

balasan. Pertanggung-jawaban terhadap kerusakan yang ditimpakan 

kepada tempat itu kemudian dilimpahkan kepada musuh, tidak 

kepada kaum Muslimin. 

8. Jika musuh mengetahui bahaya dan kekeliruan penyalahgunaan 

tempat keagamaan sebagai pangkalnya lalu memindahkan medan 

pertempuran, maka kaum Muslimin harus mengadakan penyesuaian 

terhadap perubahan itu. Kenyataan bahwa musuh memulai serangan 

dari suatu tempat keagamaan, ini tidak boleh dipakai sebagai alasan 

untuk menyerang tempat itu. Sebagai penghormatan, kaum Muslimin 

harus mengalihkan medan pertempuran segera sesudah musuh 

berbuat serupa. 

9. Peperangan dilangsungkan hanya selama gangguan terhadap agama 

dan kemerdekaan beragama masih berjalan. Jika agama telah bebas, 

dan gangguan kepada agama tidak diperkenankan lagi serta musuh 

menyatakan dan mulai bertindak sesuai dengan itu, maka tidak boleh 

ada peperangan lagi, walaupun musuh yang memulai peperangan.  

(3) Dalam 8:39-41 kita dapatkan: 

“Katakanlah kepada orang-orang yang ingkar, "Jika mereka berhenti 

dari apa-apa yang telah lampau, mereka akan diampuni; dan jika mereka 

kembali kepada perbuatan salah, maka sesungguhnya telah berlaku 

sunnah Allah terhadap orang-orang terdahulu. Dan, perangilah mereka 

itu, sehingga tak ada lagi fitnah dan supaya agama menjadi seutuhnya 

bagi Allah. namun , jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah 

Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan. Dan, jika mereka berpaling 

maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah yaitu  Pelindung kamu, 

sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong!" 

 121 

Berarti bahwa peperangan telah dipaksakan terhadap kaum 

Muslimin. namun , jika musuh berhenti maka menjadi kewajiban kaum 

Muslimin juga untuk berhenti dan memaafkan apa yang sudah. namun , 

jika musuh tak mau berhenti dan menyerang kaum Muslimin terus-

menerus, maka hendaknya mereka ingat akan nasib musuh-musuh para 

nabi sebelumnya. Kaum Muslimin harus berperang selama penindasan 

bersifat agamawi terus berlaku, dan selama agama itu bukan untuk 

Allah  dan gangguan dalam urusan agama belum lenyap. Jika agresor 

berhenti beraksi, maka kaum Muslimin juga harus berhenti. Mereka tidak 

boleh meneruskan peperangan, sebab  musuh menganut agama yang 

palsu. Nilai kepercayaan-kepercayaan dan perbuatan-perbuatan diketahui 

oleh Allah  dan Dia akan memberi ganjaran kepada mereka, menurut 

kehendak-Nya. Kaum Muslimin tidak berhak mencampuri urusan agama 

kaum lain, walau agama itu nampak kepada mereka palsu. Jika sesudah 

ajakan untuk berdamai musuh tetap meneruskan peperangan, maka kaum 

Muslimin hendaknya yakin akan kemenangan walaupun jumlah mereka 

kecil. Sebab, Allah  akan membantu mereka dan siapakah lebih baik 

dalam memberikan bantuan kecuali Allah ? 

Ayat-ayat ini diwahyukan bertalian dengan Perang Badar. 

Perang ini merupakan perang pertama antara kaum Muslimin dengan 

kaum kufar. Dalam peperangan itu kaum Muslimin menjadi sasaran 

agresi yang tidak beralasan. Musuh telah berniat mengganggu keamanan 

Medinah dan daerah sekitarnya. Walaupun demikian, kemenangan ada di 

pihak kaum Muslimin dan para gembong utama musuh telah terbunuh. 

Pembalasan terhadap agresi tak beralasan itu nampaknya wajar, adil, dan 

perlu. Namun demikian kaum Muslim diharuskan menghentikan perang 

segera sesudah  musuh menghentikannya. Apa yang dituntut dari musuh 

untuk menyetujuinya tak lain hanya kebebasan beragama dan beribadah. 

(4) Dalam 8:62-63 kita dapatkan: 

“Dan, jika mereka condong kepada perdamaian, maka condong 

pulalah engkau kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. 

Sesungguhnya, Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Dan, 

jika mereka berkeinginan menipu engkau, maka sesungguhnya Allah 

cukup bagi engkau; Dia-lah yang telah menguatkan engkau dengan 

pertolongan-Nya dan dengan orang-orang mukmin”.  

Berarti bahwa, jika selama pertempuran berlangsung kaum kufar 

juga cenderung kepada perdamaian, kaum Muslimin harus segera 

menerima dan mengadakan perdamaian. Kaum Muslimin harus berbuat 

demikian juga, walaupun harus menghadapi risiko kena tipu. Mereka 

hendaknya bertawakal kepada Allah . Penipuan tak akan berhasil 

terhadap kaum Muslimin yang benar-benar mengandalkan pertolongan 

dari Allah . Kemenangan-kemenangan mereka bukanlah berkat mereka 

sendiri, namun yaitu  berkat Allah . Dalam saat-saat paling suram dan 

sukar, Allah  beserta Rasulullah s.a.w. dan para Sahabatnya. Demikian 

pula Dia akan tetap beserta mereka saat  berlaku penipuan. Tawaran 

damai harus diterima. Ajakan itu tidak boleh ditolak atas alasan bahwa 

hal itu mungkin hanya tipu-muslihat musuh yang mencari kesempatan 

untuk mengadakan serangan baru. 

Tekanan yang diletakkan pada perdamaian dalam ayat-ayat itu 

bukan tanpa makna. Hal itu merupakan pengantar menuju perdamaian 

yang ditandatangani Rasulullah s.a.w. di Hudaibiya. Rasulullah s.a.w. 

mendapat peringatan bahwa akan datang suatu saat musuh akan 

mengusulkan damai. Tawaran demikian tidak boleh ditolak atas 

pertimbangan bahwa musuh yaitu  pihak agresor dan telah melakukan 

pelanggaran-pelanggaran, atau bahwa ia tak dapat dipercaya. Jalan lurus 

yang ditanamkan oleh Islam menuntut dari orang Muslim untuk 

menerima tawaran damai. Keshalehan dan siasat menjadikan penerimaan 

tawaran itu suatu perkara yang diharapkan. 

(5) Dalam 4:95 kita jumpai: 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi berjihad di jalan 

Allah, maka selidikilah sebaik-baiknya dan janganlah kamu mengatakan 

kepada orang yang memberi salam kepadamu, "Engkau bukan mukmin." 

Berarti bahwa, jika kaum Muslimin berangkat untuk berperang, 

mereka harus yakin bahwa kepada musuh telah diterangkan bahwa 

peperangan yang dilancarkannya itu tidak beralasan dan musuh tetap 

menghendakinya juga. Walaupun demikian, jika usul damai diterima dari 

perseorangan atau dari sebuah grup, kaum Muslimin hendaknya tidak 

menolaknya dengan alasan bahwa hal itu tidak didasarkan atas kejujuran. 

Jika kaum Muslimin menolak tawaran damai, maka mereka tidak 

berperang untuk Allah  melainkan demi kemegahan diri sendiri dan demi 

keuntungan duniawi. Sebagaimana halnya agama itu datang dari Allah , 

demikian pula halnya kemegahan dan keuntungan duniawi pun datang 

dari Dia. Pembunuhan jangan menjadi tujuan. Yang hendak kita bunuh, 

mungkin esok lusa akan mendapat petunjuk. Dapatkah kaum Muslimin 

menjadi Muslimin jika mereka tidak diselamatkan? Kaum Muslimin 

harus menjauhkan diri dari pembunuhan, sebab jiwa-jiwa yang terlepas 

dari hukuman adakalanya berubah menjadi jiwa-jiwa yang mendapat 

petunjuk. Allah  mengetahui benar apa yang diperbuat orang-orang, dan 

untuk tujuan apa serta dengan niat apa mereka berbuat. 

Ayat itu mengajarkan bahwa sekalipun peperangan telah 

dimulai, tetap menjadi kewajiban orang-orang Muslim untuk meyakinkan 

diri bahwa musuh benar-benar cenderung kepada agresi. Seringkali 

terjadi bahwa bukan agresi yang dimaksudkan, namun musuh mulai 

mengadakan persiapan perang sebab  perasaan gelisah dan takut. 

Kecuali, jika kaum Muslimin mendapat keyakinan bahwa serangan 

agresi telah direncanakan oleh musuh, mereka tidak boleh berperang. 

Jika kemudian ternyata, atau, jika musuh menyatakan bahwa persiapan-

persiapannya semata-mata untuk bela diri, kaum Muslimin wajib 

menerima pernyataan itu dan menjauhkan diri dari perang. Mereka tidak 

boleh membuktikan bahwa persiapan-persiapan musuh menunjukkan 

tidak lain kecuali agresi: mungkin tujuannya agresi namun niatnya telah 

berubah. Bukankah niat dan motif itu senantiasa berubah? Tidakkah 

orang-orang yang tadinya musuh-musuh Islam menjadi sahabat-sahabat? 

 (6) Tentang sakralnya perjanjian-perjanjian, Al-Qur’an dengan 

jelas mengatakan: 

“Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan 

perjanjian, kemudian mereka tidak melanggar janji dengan kamu sedikit 

pun dan tidak pula membantu seseorang melawan kamu. Maka, 

penuhilah kepada mereka perjanjian mereka sampai batas waktunya. 

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”. (9:4). 

Orang-orang musyrik yang masuk ke dalam ikatan perjanjian 

dengan kaum Muslimin dan berpegang pada perjanjian itu lalu tidak 

membantu musuh melawan kaum Muslimin, harus mendapatkan 

perlakuan yang setimpal dari kaum Muslimin. Ketakwaan menuntut agar 

kaum Muslimin menyempurnakan peran mereka dalam perjanjian itu 

menurut makna yang tersirat di dalamnya. 

(7) Mengenai musuh yang berperang dengan kaum Muslimin 

yang ingin menyelidiki ajaran Islam, Al-Qur’an memerintahkan: 

“Dan, jika salah seorang di antara orang-orang musyrik meminta 

perlindungan kepada engkau, berilah dia perlindungan sehingga dia dapat 

mendengar firman Allah; kemudian sampaikanlah dia ke tempatnya yang 

aman. Hal itu sebab  mereka kaum yang tidak mengetahui” (9:6). 

Berarti bahwa, jika ada dari antara mereka yang berperang 

dengan kaum Muslimin meminta perlindungan kepada kaum Muslimin 

untuk mempelajari Islam dan merenungkan ajarannya, mereka harus 

diberi perlindungan oleh kaum Muslimin selama waktu yang diperlukan 

untuk maksud itu. 

(8) Tentang tawanan perang Al-Qur’an mengajarkan: 

“Tidak layak bagi seorang Nabi bahwa ia memiliki  tawanan 

sebelum ia menumpahkan darah di waktu perang di bumi. Kamu 

menginginkan harta dunia, padahal Allah menghendaki akhirat bagimu; 

dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana (8:68). 

Berarti bahwa tidak layak bagi seorang nabi membuat musuhnya 

jadi tawanan-tawanan, kecuali sebagai akibat perang yang membawa 

banyak pertumpahan darah. Cara kebiasaan menawan (menyandera) 

suku-suku musuh tanpa perang dan pertumpahan darah yang berlaku 

sampai - dan bahkan sesudah - Islam lahir, diharamkan dalam ayat ini. 

Yang boleh dijadikan tawanan-tawanan ialah prajurit-prajurit dan sesudah  

pertempuran usai. 

(9) Peraturan membebaskan tawanan-tawanan juga ditetapkan. 

Kita jumpai demikian: 

“Dan apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang ingkar, maka 

pukullah leher-leher mereka; hingga apabila kamu telah mengalahkan 

mereka, maka perkuatlah belenggu mereka, kemudian sesudah itu 

melepaskan mereka sebagai suatu kebaikan atau dengan tebusan hingga 

perang meletakkan senjatanya. Demikianlah berlaku segala peraturan 

menurut keadaan. Dan andaikata Allah menghendaki, tentu Dia 

mengambil balasan dari mereka, namun supaya Dia menguji sebagian dari 

kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang terbunuh di 

jalan Allah, Dia sekali-kali tidak menyia-nyiakan amal-amal mereka” 

(47:5). 

Amal terbaik, menurut Islam, ialah membebaskan tawanan-

tawanan tanpa meminta uang tebusan. sebab  hal itu tidak selamanya 

mungkin, maka pembebasan dengan uang tebusan pun dibolehkan. 

(10) Ada ikhtiar untuk tawanan-tawanan perang yang tak mampu 

membayar bagi mereka sendiri dan yang tidak memiliki  seorang pun 

dapat atau mau membayar tebusan kemerdekaan mereka. Seringkali, 

sanak-saudara mampu membayar, namun tidak mau, sebab  mereka lebih 

menyukai kalau keluarga mereka itu tetap menjadi tawanan - mungkin 

dengan tujuan menyalahgunakan harta-bendanya pada waktu mereka itu 

tidak ada.  

Ikhtiar itu tercantum dalam Al-Qur’an (24:34): 

“…Dan orang-orang yang menghendaki surat pembebasan budak, 

dari apa yang dimiliki oleh tangan kananmu, maka tuliskanlah bagi 

mereka, jika kamu mengetahui suatu kebaikan dalam diri mereka; dan 

berikanlah kepada mereka dari harta Allah, yang telah Dia berikan 

kepadamu…”.  

Artinya, mereka yang tak layak dibebaskan tanpa uang tebusan 

namun tak punya seorang pun yang dapat memperolehnya dengan 

menandatangani suatu ikrar bahwa jika diperkenankan bekerja dan 

mendapat penghasilan, mereka akan membayar uang tebusan mereka. 

namun , mereka hanya diperkenankan berbuat demikian jika kesanggupan 

mereka bekerja dan berpenghasilan itu cukup meyakinkan. Jika 

kesanggupan mereka telah terbukti, mereka harus mendapat bantuan 

keuangan dari kaum Muslimin dalam upaya mereka bekerja untuk 

mendapatkan penghasilan. Orang-orang Muslim yang mampu dan mau 

berbuat amal itu hendaklah membayar; atau patungan dapat 

diselenggarakan untuk membuat orang-orang malang itu berdiri di atas 

kaki mereka sendiri. 

Ayat-ayat Al-Quran yang kami kutip di atas mengandung ajaran-

ajaran Islam mengenai masalah perang dan damai. Ayat-ayat itu 

mengatakan kepada kita dalam keadaan bagaimana, menurut Islam, ada 

hak untuk berperang dan batas-batas apa yang harus diperhatikan oleh 

kaum Muslimin jika mereka berperang.  

Peraturan-Peraturan Rasulullah Tentang 

Peperangan 

namun , ajaran Islam tidak hanya terbatas pada hukum-hukum 

yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ajaran Islam mencakup juga 

peraturan-peraturan dan teladan yang diperagakan oleh Rasulullah s.a.w., 

atau apa yang diajarkan oleh beliau dalam keadaan-keadaan yang pasti 

merupakan bagian yang penting dalam ajaran Islam. Di sini kami 

tambahkan beberapa hadits mengenai masalah perang dan damai. 

1. Kaum Muslimin sama sekali dilarang mencacati mayat (Muslim). 

2. Kaum Muslimin dilarang tipu-menipu (Muslim). 

3. Anak-anak tidak boleh dibunuh, begitu pula wanita (Muslim). 

4. Pendeta-pendeta dan pejabat-pejabat tugas keagamaan serta pemimpin-

pemimpin keagamaan tidak boleh dicampurtangani (Tahawi). 

5. Orang-orang tua dan lemah serta wanita-wanita dan anak-anak tidak boleh 

dibunuh. Kemungkinan damai senantiasa harus diperhatikan (Abu Daud). 

6. Jika kaum Muslimin masuk di daerah musuh, mereka tidak boleh berbuat 

sewenang-wenang terhadap khalayak penduduk. Mereka tidak boleh 

mengizinkan perlakuan tidak baik terhadap rakyat jelata (Muslim). 

7. Bala tentara Muslim tidak diperkenankan berkemah di suatu tempat yang 

bisa menyebabkan timbulnya rasa gelisah pada khalayak umum. Apabila 

bala tentara itu bergerak, hendaknya berhati-hati agar jangan membendung 

jalan, begitu pula jangan menyebabkan adanya keresahan pada pemakai-

pemakai jalan lainnya. 

8. Mencacati muka orang tidak diperkenankan (Bukhari dan Muslim). 

9. Kerusakan dan kerugian yang ditimpakan kepada musuh harus ditekan 

sampai sekecil-kecilnya (Abu Daud). 


10. Jika tawanan-tawanan perang ada dalam penjagaan, keluarga-keluarga 

dekat harus ditempatkan bersama-sama (Abu Daud). 

11. Tawanan-tawanan hendaknya hidup nyaman, kaum Muslimin harus lebih 

memperhatikan kenyamanan tawanan-tawanan mereka dari pada 

kenyamanan mereka sendiri (Tirmidhi). 

12. Duta-duta atau delegasi-delegasi dari negeri-negeri lain harus dihormati. 

Kesalahan-kesalahan atau kekurangan tata krama mereka harus ditenggang 

(Abu Daud, Kitab AI-Jihad). 

13. Jika orang-orang Muslim berdosa memperlakukan dengan cara buruk 

seorang tawanan perang, penebusannya ialah harus membebaskan tawanan 

itu tanpa memungut uang tebusan. 

14. Jika seorang Muslim menjamin hidup seorang tawanan perang, maka 

tawanan itu harus diberi makan dan pakaian yang sama seperti orang 

Muslim itu sendiri (Bukhari). 

 

Rasulullah s.a.w. begitu mementingkan peraturan-peraturan itu 

untuk ditaati oleh angkatan perang yang sedang bertempur sehingga 

beliau menyatakan bahwa barangsiapa yang tidak mengindahkan 

peraturan itu, ia bukan berperang untuk Allah , melainkan untuk 

kepentingan sendiri (Abu Daud). 

Abu Bakar r.a., Khalifah Pertama Islam, menambah peraturan- 

peraturan Rasulullah s.a.w. tersebut dengan beberapa peraturan dari 

pihak beliau sendiri. Salah satu dari peraturan-peraturan yang 

ditambahkan itu juga merupakan bagian dari ajaran Islam: 

(i) Bangunan-bangunan umum dan pohon-pohon buah (dan 

tanaman-tanaman pangan) tidak boleh dibinasakan (Mu'atta). 

 

Dari hadits-hadits Rasulullah s.a.w. dan perintah-perintah 

Khalifah Pertama Islam itu jelas bahwa Islam telah menetapkan langkah-

langkah yang bertujuan untuk mencegah atau menghentikan peperangan 

atau mengurangi dampak buruk perang. Seperti telah kami katakan 

sebelum ini, prinsip-prinsip yang diajarkan Islam bukan saja merupakan 

peraturan-peraturan yang suci; prinsip-prinsip itu telah dilukiskan dalam 

sunnah Rasulullah s.a.w. sendiri dan Khalifah-Khalifah Islam dari zaman 

permulaan. Seperti diketahui oleh seluruh dunia, Rasulullah s.a.w. bukan 

hanya mengajarkan prinsip-prinsip ini; beliau sendiri mengamalkan 

prinsip-prinsip ini dan menganjurkan supaya mentaati prinsip-prinsip ini. 

Memperhatikan zaman kita sendiri, kita terpaksa mengatakan bahwa 

tidak ada ajaran lain agaknya yang sanggup memecahkan persoalan 

perang dan damai. Ajaran Nabi Musa a.s. jauh dari konsepsi kita 

mengenai keadilan dan kejujuran. Pula, tidak mungkin dewasa ini kita 

dapat bertindak atas dasar ajaran itu. Ajaran Nabi Isa AI-Masih a.s. tidak 

dapat dipraktekkan dan selamanya tidak akan pernah dapat dipraktekkan. 

Tidak pernah ada dalam sejarah umat Kristen mereka berusaha 

mempraktekkan ajaran itu. Hanya ajaran Islam yang dapat dipraktekkan, 

suatu ajaran yang telah dan selalu diajarkan serta diamalkan oleh tokoh-

tokohnya, dan dengan mengamalkannya dapat mewujudkan serta 

memelihara perdamaian di dunia. 

Di zaman kita ini, Gandhi rupa-rupanya mengajarkan bahwa 

sekalipun bila kita dipaksa berperang, kita tidak boleh berperang. Kita 

tidak boleh berkelahi. namun ajaran ini belum pernah dipraktekkan di 

masa mana pun dalam sejarah dunia; belum pernah diuji atau dicoba. 

Oleh sebab  itu, tidak mungkin dapat kita katakan bahwa bagaimana 

nilainya pelajaran ini dalam urusan peperangan dan perdamaian* . 

Gandhi telah berusia cukup panjang menyaksikan  Kongres  India  

mencapai kemerdekaan politik. Walaupun demikian Pemerintah Kongres 

belum juga membubarkan angkatan perangnya maupun angkatan-

angkatan bersenjata lainnya dari India. Pemerintah hanya merencanakan 

urusan Indianisasi-nya. Direncanakannya juga untuk mengangkat 

kembali opsir-opsir India yang membentuk diri menjadi Angkatan 

                                                     

* Kitab ini ditulis saat  India baru memperoleh kemerdekaan. Memang pada 

waktu itu belum timbul suatu situasi untuk menguji ajaran Gandhi. namun 

sesudah itu dunia telah berkali-kali menyaksikan bahwa India tidak pernah 

segan-segan memulai peperangan agresi bila ada  kesempatan untuk berbuat 

(Red). 

Bersenjata Nasional India (dan yang dipecat oleh para pembesar Inggris) 

di masa penjarahan Jepang ke Burma dan India pada tahap-tahap terakhir 

Perang Dunia yang lalu. Gandhi sendiri, dalam beberapa peristiwa, telah 

memperdengarkan suaranya membela kejahatan-kejahatan dan 

kekerasan, dan meminta dengan keras untuk membebaskan mereka yang 

melakukan kejahatan-kejahatan demikian. Hal itu sedikitnya 

memperlihatkan bahwa pelajaran Gandhi tidak dapat dipraktekkan dan, 

bahwa Gandhi serta semua pengikutnya juga mengetahui hal itu. Tidak 

ada contoh amal telah dikemukakan untuk membuktikan kepada dunia, 

bagaimana politik non-violence (anti kekerasan) dapat diterapkan jika 

perkelahian bersenjata timbul antara bangsa dengan bangsa, dan negara 

dengan negara, atau bagaimana politik non-violence dapat mencegah 

atau menghentikan perang. Mengajarkan suatu cara menghentikan 

peperangan, namun tak pernah mampu mengemukakan gambaran 

mengenai pengamalan cara itu, menunjukkan bahwa cara itu tak dapat 

dipraktekkan. Oleh sebab  itu, agaknya pengalaman dan kebijaksanaan 

manusia mengacu hanya kepada satu cara pencegahan atau penghentian 

perang; dan cara itu telah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah s.a.w. 

Serangan-Serangan Sporadis (Terpencar-Pencar) 

Dari Kaum Kufar 

Persekutuan Arab kembali dari pertempuran Khandak - kalah 

dan putus asa, namun jauh dari menyadari bahwa kekuatan mereka untuk 

mengganggu kaum Muslimin telah berakhir. Walaupun kalah, mereka 

mengetahui bahwa mereka masih merupakan mayoritas yang berkuasa. 

Mereka dengan mudah dapat berlaku semena-mena terhadap orang-

orang Muslim secara perseorangan, memukul dan bahkan membunuh 

mereka. 

Dengan serangan-serangan terhadap perorangan-perorangan itu, 

mereka mengharapkan dapat melenyapkan rasa kalah itu. Maka tidak 

lama sesudah perang itu mereka mulai menyerang orang-orang Muslim 

di daerah sekitar Medinah. Beberapa orang dari suku Fazarah 

berkendaraan unta menyerang kaum Muslimin dekat Medinah. Mereka 

membawa lari unta-unta yang ada  di daerah itu, menawan seorang 

wanita dan meloloskan diri dengan membawa rampasan mereka. Wanita 

itu dapat melarikan diri dengan selamat, namun rombongan Fazarah itu 

berhasil mencuri sejumlah hewan. Sebulan kemudian, serombongan dari 

suku Ghatafa dari Utara menyerang kaum Muslimin dalam usaha 

merampas unta-unta mereka. Rasulullah s.a.w. mengutus Muhammad 

bin Masiama dengan sepuluh Sahabat berkuda untuk upaya 

penyelidikan, dan untuk menjaga ternak-ternak kaum Muslimin. namun , 

musuh telah menghadang rombongan kaum Muslimin itu, menyerang 

mereka secara kejam dan meninggalkan mereka tergeletak dalam 

keadaan tak bernyawa. namun Muhammad bin Masiama hanya jatuh 

pingsan. sesudah  siuman kembali, dikerahkan segala kekuatannya dan 

pulang ke Medinah untuk memberi laporan. Beberapa hari kemudian, 

suatu perutusan Rasulullah s.a.w. dalam perjalanan ke ibu kota Romawi 

telah diserang dan dirampok oleh orang-orang dari suku Judham. 

Sebulan kemudian Banu Fazarah menyerang kafilah Muslim yang 

melarikan diri dengan mangsanya. Mungkin serangan-serangan itu 

dilancarkan bukan oleh rasa permusuhan agamawi. Banu Fazarah itu 

suku penyamun yang hidup dari rampokan dan pembantaian. Kaum 

Yahudi Khaibar, faktor utama dalam Perang Khandak, juga bertekad 

penuh untuk mengadakan pembalasan atas kekalahan berat yang diderita 

mereka dalam perang itu. Mereka pergi dari pemukiman ke pemukiman 

suku-suku dan menjumpai para pembesar negeri di perbatasan Romawi 

untuk menghasut mereka. Maka pemimpin-pemimpin Arab, yang tidak 

mampu mengadakan serangan secara terang-terangan terhadap Medinah, 

main kongkalikong dengan kaum Yahudi untuk menjadikan kehidupan 

kaum Muslimin tidak mungkin dapat dipertahankan. Walaupun demikian 

keadaannya, Rasulullah s.a.w. masih belum mengambil keputusan untuk 

mengadakan peperangan yang memastikan. Beliau masih menyangka 

bahwa para pemimpin Arab mungkin akan menawarkan perdamaian dan 

perang saudara dapat berakhir. 

Rasulullah Berangkat Ke Mekkah Dengan Seribu 

Lima Ratus Sahabat 

Di dalam masa itu Rasulullah s.a.w. melihat sebuah kasyaf yang 

dalam Al-Qur’an disinggung demikian: 

“Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan kepada Rasul-Nya 

rukya dengan benar, kamu pasti akan masuk Masjidil Haram jika Allah 

menghendaki dengan aman, dengan mencukur habis rambut kepalamu 

atau memotong pendek tanpa merasa takut. namun Dia mengetahui apa 

yang kamu tidak ketahui, Dia sebenarnya telah menetapkan bagimu 

selain itu satu kemenangan yang dekat” (48:28). 

Berarti bahwa Allah  telah menetapkan untuk mengizinkan 

kaum Muslimin memasuki daerah sekitar Ka'bah dengan aman, dengan 

kepala dicukur dan rambut dipangkas serta tanpa rasa takut. namun kaum 

Muslimin tidak tahu pasti, bagaimana Allah  akan memungkinkan hal itu 

terjadi. Lagi pula, sebelum kaum Muslimin menjalankan ibadah Haji 

dengan aman, mereka meraih kemenangan lain, suatu pendahuluan bagi 

kemenangan yang dijanjikan dalam kasyaf.  

Dalam kasyaf tersebut Allah  memberikan kabar ghaib mengenai 

kemenangan kaum Muslimin, pada akhirnya gerakan masuk ke Mekkah 

dengan aman dan damai, dan perebutan Mekkah tanpa penggunaan 

senjata. namun Rasulullah s.a.w. memahami bahwa kaum Muslimin telah 

diperintahkan oleh Allah  untuk segera mencoba menjalankan thawaf di 

Ka'bah. Kekeliruan Rasulullah s.a.w. dalam menafsirkan kasyaf akan 

menjadi peristiwa kemenangan "yang dekat" seperti dijanjikan dalam 

kasyaf itu. Maka dalam kekeliruan, Rasulullah s.a.w. merencanakan 

perjalanan ke Ka'bah. Beliau mengumumkan kasyaf tersebut, dengan 

penafsirannya, kepada kaum Muslimin lalu meminta supaya mereka 

mengadakan persiapan. 

"Kamu akan berangkat," sabda beliau, "hanya untuk 

menjalankan thawaf di Ka'bah. Oleh sebab  itu tidak boleh melakukan 

unjuk rasa terhadap musuh." 

Akhir Februari 628, seribu lima ratus orang* peziarah dipimpin 

oleh Rasulullah s.a.w., berangkat ke Mekkah; suatu pengawal berkuda 

                                                     

* Dalam ziarah yang direncanakan setahun sesudah Perang Khandak ini hanya 

seribu lima ratus orang menyertai Rasulullah s.a.w.. Jumlah prajurit-prajurit 

terdiri atas dua puluh orang berjalan di muka, dengan jarak agak jauh, 

untuk memberi kabar kepada kaum Muslimin jika musuh memperliatkan 

tanda-tanda akan menyerang 

Kaum Mekkah segera menerima laporan mengenai kafilah itu. 

Tradisi telah menetapkan bahwa thawaf di Ka'bah sebagai hak universal. 

Tradisi itu tidak dapat mengucilkan kaum Muslimin. Mereka telah 

mengumumkan dengan kata-kata yang tegas bahwa tujuan perjalanan 

mereka hanya untuk thawaf di Ka'bah, bukan untuk tujuan lain.  

Rasulullah s.a.w.  telah melarang segala macam unjuk rasa. Tidak boleh 

ada perbantahan-perbantahan, mengadakan tuntutan- tuntutan, dan 

pernyataan-pernyataan. Walaupun demikian, kaum Mekkah mulai 

mengadakan persiapan-persiapan seperti akan ada bentrokan senjata. 

Mereka mengadakan pertahanan di semua jurusan, menyerukan 

permintaan bantuan kepada suku-suku di sekitar dan agaknya bertekad 

untuk bertempur. saat  Rasulullah s.a.w. sampai ke dekat Mekkah, 

beliau mendapat laporan bahwa kaum Quraisy siap untuk berkelahi. 

Mereka mengenakan baju kulit harimau, membawa istri dan anak-anak 

mereka, dan telah bersumpah dengan khidmat. Tak lama kemudian, 

sepasukan orang-orang Mekkah berderap di muka angkatan perang 

menghadapi kaum Muslimin. Kaum Muslimin sekarang tak dapat 

bergerak maju kecuali dengan pedang terhunus. namun , Rasulullah s.a.w. 

telah betekad untuk tidak berbuat semacam itu. Beliau memakai seorang 

penunjuk jalan untuk membawa kafilah-kafilah Muslim itu ke jalan lain 

melalui padang pasir. Di bawah pimpinan penunjuk jalan itu Rasulullah 

s.a.w. dan para Sahabat tiba di Hudaibiya, suatu tempat yang sangat 

dekat Mekkah. Unta Rasulullah s.a.w. berhenti dan mogok, tidak mau 

maju lagi.  

                                                                                                                      

Muslim dalam Perang Khandak mungkin kurang, namun tentu tak lebih dari 

jumlah itu. Maka para ahli sejarah yang menetapkan jumlah prajurit-prajurit 

Muslim dalam Perang Khandak ada tiga ribu itu salah. Jumlah itu layaknya 

ditetapkan seribu dua ratus orang. 


"Binatang ini agaknya lelah, ya Rasulullah. Lebih baik anda 

menaiki tunggangan lain," kata seorang Sahabat. 

"Tidak, tidak," sabda Rasulullah s.a.w. "binatang ini tidak lelah. 

Agaknya malah Allah  menghendaki supaya kita berhenti di sini dan 

tidak meneruskan perjalanan. Maka aku usulkan untuk berkemah di sini 

dan menanyakan kepada kaum Mekkah, apakah mereka mau 

mengizinkan kita menunaikan ibadah Haji. Aku bersedia menerima tiap 

syarat yang ingin mereka tetapkan" (Halbiyya, Jilid 2, hlm. 13). 

Balatentara Mekkah pada saat itu tidak ada di Mekkah, sebab  

telah berangkat keluar agak jauh untuk menghadapi kaum Muslim di 

jalan utama ke Medinah. Jika Rasulullah s.a.w menghendaki, beliau 

dapat membawa pasukan beliau sejumlah seribu lima ratus prajurit itu ke 

Mekkah dan menduduki kota itu tanpa perlawanan. namun , beliau berniat 

untuk berusaha hanya melakukan thawaf di Ka'bah dan itu pun jika kaum 

Mekkah mengizinkannya. Beliau hanya akan melawan dan bertempur 

dengan kaum Mekkah jika kaum Mekkah memutuskan untuk menyerang 

lebih dahulu. Itulah sebabnya mengapa beliau meninggalkan jalan utama 

dan berkemah di Hudaibiya. Segera kabar itu sampai kepada panglima 

Mekkah yang memerintahkan kepada anak buahnya untuk 

mengundurkan diri dan mengambil kedudukan dekat Mekkah. Kemudian 

kaum Mekkah mengutus seorang pemimpin, Budail namanya, untuk 

berunding dengan Rasulullah s.a.w.. Rasulullah s.a.w. menerangkan 

kepada Budail bahwa beliau dan kaum Muslimin hanya ingin melakukan 

thawaf di Ka'bah; namun , jika kaum Mekkah menghendaki perang kaum 

Muslimin pun sudah siap. Maka Urwa, menantu Abu Sufyan, pemimpin 

Mekkah, menjumpai Rasulullah s.a w.. Ia bersikap sangat kurang ajar. Ia 

menyebut kaum Muslimin gelandangan-gelandangan dan sampah-

sampah masyarakat, dan mengatakan bahwa kaum Mekkah tidak akan 

mengizinkan kaum Muslimin memasuki Mekkah. Makin banyak kaum 

Mekkah datang untuk mengadakan pembicaraan dan kata terakhir 

mereka ialah bahwa sedikitnya pada tahun itu mereka tidak akan 

mengizinkan kaum Muslimin melakukan thawaf sekalipun. Kaum 

Mekkah akan terhina jika mereka mengizinkan thawaf pada tahun itu. 

Tahun berikutnya boleh mereka melaksanakannya.  

Beberapa suku yang bersekutu dengan kaum Mekkah 

menganjurkan dengan sangat kepada para pemimpin Mekkah supaya 

mengizinkan kaum Muslimin berthawaf. Pada pokoknya, yang mereka 

hendaki hanya hak berthawaf. Mengapa hal ini pun akan mereka 

rintangi? namun , kaum Mekkah tetap bersikepala batu. sebab  itu para 

pemimpin suku itu berkata bahwa kaum Mekkah tidak menghendaki 

perdamaian dan mengancam akan memisahkan diri dari mereka. sebab  

takutnya, kaum Mekkah dibujuk mengadakan persetujuan dengan kaum 

Muslimin. Segera sesudah  Rasulullah s.a.w. mendapat kabar mengenai hal 

itu, beliau mengutus Utsman (yang kemudian menjadi Khalifah ketiga) 

kepada kaum Mekkah. Utsman memiliki  banyak sanak-saudara di 

Mekkah. Mereka datang dan mengerumuninya serta menawarkan 

kepadanya untuk berthawaf. Rasulullah s.a.w. melakukannya sampai 

tahun berikutnya. 

"namun ," kata Utsman, "aku tidak mau berthawaf kecuali beserta 

majikanku." Pembicaraan Utsman dengan para pemimpin Mekkah jadi 

berlarut-larut. Desas-desus disebarkan bahwa Utsman telah mati 

terbunuh. Berita itu sampai kepada Rasulullah s.a.w.. sebab  itu 

Rasulullah s.a.w. mengumpulkan para Sahabat dan bersabda, "Jiwa 

seorang utusan dipandang suci oleh segala bangsa. Aku telah mendengar 

bahwa kaum Mekkah telah membunuh Utsman. Jika hal itu benar, kita 

harus masuk ke Mekkah, apa pun akibatnya." 

Niat Rasulullah s.a.w. yang sedianya masuk ke Mekkah dengan 

damai harus diubah sebab  keadaan berubah. Rasulullah s.a.w. 

meneruskan, "Mereka yang berjanji dengan khidmat bahwa jika harus 

terus maju, mereka tidak akan kembali kecuali sebagai pemenang; 

baiklah tampil ke muka dan bersumpah di tanganku." Sesaat saat  

Rasulullah selesai bersabda, para Sahabat yang seribu lima ratus itu 

bangkit semua dan lompat-melompati kawan, berebut menyambut tangan 

Rasulullah s.a.w. dan mengangkat sumpah. Sumpah itu memiliki  

kepentingan istimewa dalam sejarah Islam di zaman awal. 

Sumpah itu disebut "Sumpah Pohon". saat  sumpah diambil, 

Rasulullah s.a.w. sedang duduk di bawah sebuah pohon. Tiap-tiap orang 

yang mengangkat sumpah pada waktu itu tetap merasa bangga sampai 

akhir hidupnya. Dari jumlah seribu lima ratus yang hadir pada peristiwa 

itu, tak seorang pun yang tertinggal. Mereka semua berjanji bahwa jika 

utusan Muslimin itu dibunuh, mereka tidak akan pulang. Baik mereka 

akan menduduki Mekkah sebelum senja, atau semuanya akan mati dalam 

pertempuran. Angkat sumpah belum lagi selesai, maka Utsman kembali. 

Ia melaporkan bahwa kaum Mekkah tidak men