Rabu, 29 Januari 2025

hukum islam 9

 



uan L a n d r a a d  di Semarang. Kitab 

hukum ini memuat hukum pidana dan hukum perdata Islam. Pada tahun 

1760, diterbitkan pula suatu himpunan peraturan hukum Islam mengenai 

kewarisan dan perkawinan, kitab ini diberi nama C o m p e n d i u m  F r e i j e r .  Di 

samping dua kitab ini masih ada kitab yang dibuat di zaman VOC, seperti 

kitab P a p a k e m  C i r e b o n  pada tahun 1768 dan kitab C o m p e n d i u m  v a n  

C l o o t w i j c k  untuk daerah Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan. Setelah 

kekuasaan VOC berakhir, negara kita  dikuasai oleh kolonialis Belanda dan 

kemudian oleh Inggris. Sampai tahun 1816 posisi hukum Islam masih 

mantap. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris menyatakan bahwa 

hukum yang berlaku di kalangan rakyat yaitu  hukum Islam yang bersumber 

dari Alquran, sehingga pelaksanaan hukum kewarisan dan hukum 

perkawinan berjalan sebagaimana mestinya. Salomon Keyzer berpendapat 

bahwa hukum Islamlah yang berlaku di kalangan orang-orang Jawa. 

Pendapat ini dikuatkan oleh L.W.C. Van den Berg yang mengatakan bahwa 

hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk 

agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.

Pendapat Van den Berg di atas mendapat tantangan dari Christian 

Snouck Hurgronje. Christian Snouck Hurgronje berpendapat bahwa yang 

berlaku bagi orang Islam negara kita  bukanlah hukum Islam, melainkan 

hukum adat. Di dalam hukum adat itu memang telah ada  pengaruh 

hukum Islam, tetapi pengamh itu baru memiliki  kekuatan hukum kalau 

telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Pendapat ini dikembangkan 

secara sistematis dan ilmiah oleh Cornells van Vollenhoven dan Betrand ter 

Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid dan 

pengikutnya.

Pendapat yang dikemukakan Christian Snouck Hurgronje di atas 

mendapat tantangan dari pemikir hukum Islam di negara kita . Menurut

mereka, teori yang dikemukakan oleh Hurgronje itu memiliki  maksud- 

maksud politik untuk mematahkan perlawanan bangsa negara kita  yang 

dijiwai oleh hukum Islam terhadap kekuasaan pemerintah kolonial. Dengan 

teori itu, kata mereka, Belanda hendak mematikan pertumbuhan hukum 

Islam dalam warga  yang dilaksanakan sejalan dengan pengejaran dan 

pembunuhan terhadap pemuka dan ulama-ulama besar Islam seperti yang di 

Aceh ketika itu ,

Selain itu, pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah yang 

menyebabkan, pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah 

komisi untuk meninjau kembali wewenang P r i e s t e r r a a d  atau R a a d  Agama 

di Jawa dan Madura. Sebelum itu, yakni pada tahun 1882 secara resmi 

menurut hukum ketatanegaraan Hindia Belanda Pengadilan Agama berwe­

nang mengadili perkara kewarisan orang-orang Islam menurut ketentuan 

hukum Islam. Komisi yang diketuai oleh Betrand ter Haar Bzn ini memberi 

rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau 

kembali wewenang Pengadilan Agama, Dengan alasan bahwa hukum 

kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka dengan 

Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dicabutlah wewenang R a a d  Agama atau 

Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan.

Kalau Pengadilan Agama Islam di Jawa dicabut kewenangannya untuk 

menyelesaikan perkara kewarisan sejak tahun 1937, berarti Pengadilan 

Agama tidak berfungsi lagi untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Namun, 

kenyataannya Pengadilan Agama tetap menyelesaikan perkara kewarisan 

dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Oleh karena itu, kebanyakan 

Pengadilan Agama selalu menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu 

hanya untuk melayani konsultasi masalah kewarisan. Di beberapa daerah, 

Pengadilan Agama menerima lebih banyak perkara kewarisan bila 

dibandingkan dengan perkara kewarisan yang diterima oleh Pengadilan 

Negeri . Hasil Penelitian Daniel S. Lev 

itu lebih lanjut dibuktikan oleh penelitian Ny. Habibah Daud, di daerah 

Khusus Ibukota Jakarta Raya.

Menurut hasil penelitian itu, pada tahun 1976, dari 1.081 orang yang 

mengajukan masalah kewarisan pada Pengadilan di Jakarta, 1.034 orang 

(95,65%) mengajukan masalahnya pada Pengadilan Agama, 47 orang 

(4,35%) pada Pengadilan Negeri. Mereka yang mengajukan 

permasalahannya ke Pengadilan Agama itu menganggap bahwa apa yang 

diputuskan di sana yaitu  Islamiah, sesuai dengan kesadaran hukum yang 

diyakininya. Oleh karena itu, keadilan yang Islamiah mendasari pilihan 

hukum serta lembaganya 

Setelah kemerdekaan negara kita , pemimpin Islam dengan berbagai cara 

berupaya untuk mengembalikan hukum Islam pada kejayaannya semula. 

Begitulah, menjelang kemerdekaan negara kita  Badan Penyelidik Usaha 

Persiapan Kemerdekaan negara kita  dibentuk pada tahun 1945, dan bersidang 

untuk merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara 

negara kita  merdeka di kemudian hari. Pemimpin Islam yang menjadi anggota 

badan itu  terus berusaha mendudukkan hukum Islam dalam Negara 

negara kita  itu kelak. Setelah melalui berbagai tukar pikiran dalam 

musyawarah, para pemimpin negara kita , baik yang beragama Islam maupun 

yang non-Islam berusaha merancang dan merumuskan Undang-Undang 

Dasar Republik negara kita , yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 

mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam Piagam Jakarta (22 Juni 

1945). Di dalam Piagam Jakarta itu, dinyatakan antara lain bahwa negara 

"berdasar  kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat 

Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Tujuh kata terakhir ini dihilangkan dari 

Pembukaan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita  

tanggal 18 Agustus 1945 dengan imbalan tambahan kata "Yang Maha Esa", 

sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan "Yang Maha Esa" 

ini dijadikan garis hukum dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) 

mengandung arti bahwa negara berdiri atas keinsafan bangsa dan warga  

untuk mematuhi norma kesusilaan. Oleh karena itu, tidak ada peluang bagi 

hukum yang bertentangan dengan norma Ilahi di dalam Negara Republik 

negara kita ,

Selain perkembangan hukum Islam melalui perundang-undangan di 

atas, dapat juga dilihat pada perkembangan ijtihad, i j m a '  para ulama 

mengenai sistem kewarisan bilateral menurut Quran dan Hadis, kedudukan 

ahli waris pengganti (mawali) dalam kewarisan Islam dan lahirnya kaidah 

hukum perkawinan Islam, hukum kewarisan Islam, dan hukum kewakafan 

Islam. Sebagai contoh perkembangan ijtihad, di antaranya, Hazairin 

mengemukakan bahwa perkataan mawali yang ada  dalam Alquran 

Surah An-Nisaa' (4) ayat 33 mengandung pengertian ahli waris pengganti. 

Menurut beliau, perkataan ahli waris pengganti itu tidak ada sangkut pautnya 

dengan ganti-mengganti ahli waris. Ia hanya menunjukkan siapa yang 

menjadi ahli waris kalau penghubungnya telah meninggal dunia lebih dahulu 

dari pewaris. Istilah itu ada  dalam hukum adat warga  muslim 

negara kita . Hazairin mengangkatnya untuk mengisi kekosongan hukum yang 

ada  dalam sistem hukum kewarisan Islam yang dianggap telah mapan 

sejak masuknya Islam di negara kita  sampai tahun 1960-an. Kekosongan itu 

yaitu  mengenai kedudukan cucu, melalui anak perempuan, dalam hukum 

kewarisan Islam 

Mengenai kedudukan cucu dalam hukum kewarisan Islam, yang 

ketentuannya tidak ada  di dalam Quran dan Hadis, sehingga pemikiran 

para ahli hukum Islamiah yang memecahkannya atau yang biasa disebut 

ijtihad. Pemecahan pertama dilakukan oleh Zaid bin Tsabit yang pada 

pokoknya menyatakan bahwa cucu melalui anak laki-laki menjadi ahli waris 

dan menghijab seperti anak laki-laki bila  tidak ada anak laki-laki lain 

bagi pewaris yang masih hidup. Ijtihad Zaid bin Tsabit ini memecahkan 

masalah cucu sebagai ahli waris, tetapi pemecahan itu hanya mengenai cucu 

melalui anak laki-laki saja, tidak mengenai cucu melalui anak perempuan. 

Ijtihad ini logis dalam sistem kekerabatan patrilineal di tempat Zaid 

mengeluarkan pendapatnya pada zaman itu 

Hukum kewarisan Islam mengenai kedudukan cucu sebagai ahli waris 

pengganti atau mawali seperti disebutkan di atas, ketentuannya didapatkan 

melalui ijtihad atau hasil pemikiran yang mendalam dari para ahli hukum 

Islam, sehingga mungkin saja ada  perbedaan pada suatu tempat dengan 

tempat lainnya. Sebab, hasil pemikiran itu dipengaruhi oleh budaya hukum 

( l e g a l  c u l t u r e )  yang berlaku di suatu tempat atau negara. Hal ini sejalan 

pendapat Roscoe Pound yang mengatakan bahwa, hukum itu berbeda di 

suatu tempat dengan tempat lainnya karena adanya perbedaan budaya 

hukum (Roscoe Pound, 1986: 143). Sebagai contoh mengenai kedudukan 

ahli waris pengganti (mawali) di negara kita  berbeda dari kedudukan ahli 

waris pengganti di negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti di 

Mesir, Suriah, Maroko, Tunisia, dan Pakistan.

D. KOMPILASI HUKUM ISLAM

Proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak terlepas dari 

pertumbuhan, perkembangan hukum Islam dan lembaga Peradilan Agama 

sebelum dan sesudah warga  negara kita  memproklamasikan kemerde­

kaannya pada tanggal 17 Xgustus 1945. Oleh karena itu, membicarakan 

Hukum Islam di negara kita  tidak dapat dipisahkan dari eksistensi: (1) 

perkembangan Hukum Islam dan perannya, (2) Kompilasi Hukum Islam, (3) 

pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama. Selain itu akan diuraikan 

latar belakang KHI, gagasan dasar KHI, dan realisasi KHI.

1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam

Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah 

Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan

dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang 

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang 

itu  menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan 

pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedang  

pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun 

undang-undang itu  ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di 

lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah 

penandatanganan Surat Keputusan Bersama (8KB) Ketua Mahkamah Agung 

dengan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No. 1, 2, 3, 

dan 4 tahun 1983. Keempat SKB dimaksud, yaitu  jalan pintas sambil 

menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan 

Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang- 

Undang No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada 

saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang 

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).

Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas pembinaan teknis 

yustisial Peradilan Agama merasakan adanya beberapa kelemahan. Sebagai 

contoh, hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama 

cenderung simpang siur, simpang siur dimaksud, sebagai akibat dari 

perbedaan pendapat para ulama pada suatu persoalan. Untuk mengatasi 

perbedaan itu, perlu menetapkan satu buku hukum yang menghimpun semua 

hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat 

dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga 

terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.

2. Gagasan Dasar Kompilasi Hukum Islam

Busthanul Arifin (pencetus Kompilasi Hukum Islam) mengemukakan 

pendapat berikut,

(1) Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di negara kita  harus ada antara 

lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh para aparat 

penegak hukum maupun oleh warga .

(2) Persepsi yang tidak seragam tentang syariah akan dan sudah 

menyebabkan hal-hal.

(3) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut Hukum 

Islam itu ( m a a  a n z a k i l l a h u ) .

(4) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syariat itu 

( t a n f i d z i y a h ) .

(5) Akibat kepanjangannya yaitu  tidak mampu memakai  jalan dan 

alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan 

perundang-undangan lainnya.

(6) Di dalam sejarah Islam pernah dua kali di tiga negara, hukum Islam 

diberlakukan sebagai perundang-undangan negara, yaitu sebagai 

berikut.

a. Di India pada masa pemerintahan Raja An Rijeb yang membuat 

dan memberlakukan perundang-undangan Islam yang terkenal 

dengan FatwaAlamfiri.

b. Di Kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah 

A l - A h k a m  A l - A d l i y a h .  Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasi 

di Sudan. berdasar  hal di atas, sejalan dengan apa yang telah 

dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1958, yaitu hanya 

memakai  13 buah kitab kuning. Kitab kuning dimaksud, 

sudah dipergunakan selama ini di Peradilan. Oleh karena itu, 

upaya ke arah kesatuan dan kepastian hukum sejalan dengan apa 

yang dilakukan di negara-negara itu . Dari situlah kemudian 

muncul gagasan untuk membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai 

buku hukum bagi Pengadilan Agama.

3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran 

hukum warga  yaitu  Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 

(1) yang berbunyi: "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- 

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga ". Selain itu, 

Fikih Islam mengungkapkan kaidah: "Hukum Islam dapat berubah karena 

perubahan waktu, tempat, dan keadaan". Keadaan warga  itu selalu 

berkembang karena memakai  metode yang sangat memperhatikan rasa 

keadilan warga . Di antara metode itu ialah m a s l a h a t  m u r s a l a h ,  i s t i h s a n ,  

i s t i s h s h a b ,  dan u r f .

4. Landasan Fungsional

Kompilasi Hukum Islam yaitu  fikih negara kita  karena ia disusun 

dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam negara kita . 

Fikih negara kita  dimaksud yaitu  fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin 

dan T.M, Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya memiliki  tipe fikih lokal 

semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih-Hindy, fikih lain-lain yang sangat 

memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum warga  setempat, yang

bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih 

dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada Unifikasi mazhab 

dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di negara kita  ini 

merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah 

pembangunan hukum nasional di negara kita .

5. Realisasi Kompilasi Hukum Islam

Pembentukan Kompilasi Hukum Islam merupakan penjabaran dari 

Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 

49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, 

untuk mewujudkan kesadaran warga  mengenai pelaksanaan hukum 

Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. 

Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui 

Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan 

Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 

Maret 1985. Di dalam SKB dimaksud, ditentukan para pejabat Mahkamah 

Agung dan Departemen Agama yang ditunjuk dan jabatan masing-masing 

dalam proyek, jangka waktu, tata kerja, dan biaya yang dipakai  dalam 

proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam.

Pelaksanaan proyek dimaksud, memiliki  dua pertimbangan. 

P e r t a m a ,  sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung RI terhadap 

jalannya peradilan di semua lingkungan Peradilan di negara kita , khususnya di 

lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam 

yang selama ini telah menjadi hukum positif di Pengadilan Agama. K e d u a ,  

untuk mencapai maksud itu  demi meningkatkan kelancaran 

pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek 

pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu 

membentuk tim proyek yang susunannya terdiri atas pejabat Mahkamah 

Agung dan Departemen Agama Republik negara kita .

Tujuan perumusan Kompilasi Hukum Islam di negara kita  yaitu  

menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi Hakim Pengadilan 

Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa 

negara kita  yang beragama Islam. Oleh karena itu, tidak terjadi lagi simpang 

siur keputusan Pengadilan Agama.

bila  tidak ada KHI atau para hakim di Pengadilan Agama dalam 

menyelesaikan perkara, maka ia berpedoman kepada referensi kitab fikih 

yang dibuat oleh para fuqaha terdahulu berdasar  situasi dan kondisinya di 

mana fuqaha itu berada, hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama

sering putusannya berbeda sebagai akibat rujukan yang berbeda. Oleh karena 

itu, Busthanul Arifin mempersoalkan, hukum Islam yang mana yang 

dijadikan rujukan jika dalam satu masalah tertentu ada  banyak pendapat. 

Menurut dia, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni 

harus ada kepastian hukum 

Kompilasi Hukum Islam yaitu  fikih negara kita  karena ia disusun 

dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam negara kita . 

Fikih negara kita  dimaksud yaitu  fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin 

dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya memiliki  tipe fikih lokal 

semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat 

memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum warga  setempat, yang 

bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih 

dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab 

dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di negara kita  ini 

merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah 

pembangunan hukum nasional di negara kita .


PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, JENIS, DAN

TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA ISLAM

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata f l g h  j i n a y a h .  

F i q h  j i n a y a h  yaitu  segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau 

perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang m u k a l l a f  (orang yang 

dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum 

yang terperinci dari Alquran dan hadis (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan 

kriminal yaitu  tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum 

serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan.

Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung 

kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Syariat 

dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia 

untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menem­

patkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri 

maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang 

berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus 

ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

Alquran merupakan penjelasan Allah tentang syariat, sehingga disebut 

A l - B a y a n  (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar memiliki  

empat cara dan salah satunya yaitu  Allah Memberi  penjelasan dalam 

bentuk n a s h  (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya: orang yang 

membunuh tanpa hak hukumannya harus dibunuh oleh keluarga korban atas 

adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali 

bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang 

berstatusjanda atau duda dan/atau sudah menikah hukumannya yaitu  

rajam.* Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar, 

pencurian, perampokan, penuduhan berzina dan orang murtad. Hal-hal 

seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Alquran.

Hukum rajam yaitu  hukuman bagi pezina janda dan/atau duda serta orang yang 

memiliki  istri dan/atau suami. Rajam, yaitu pezina digalikan lubang yang kemudian 

dimasukkan di lubang sampai lehernya (ditanam hidup-hidup) lalu dilempari batu sampai 

meninggal. Sanksi hukuman itu dilakukan karena melanggar hak Tuhan sehingga hukuman 

Tuhan yang dijadikan acuan.


B. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA ISLAM

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan 

(termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh seseorang, berzina, minuman 

khamar membunuh atau melukai seseorang, pencurian, merusak harta 

seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan yang semacamnya 

yang berkaitan dengan kepidanaan.

C. JENIS HUKUMAN

Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum 

pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukuman yang pasti 

mengenai berat ringannya hukuman termasuk q i s h a s h  dan d i y a t  yang 

tercantum di dalam Alquran dan hadis yang biasa disebut h u d u d ,  (b) 

ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang biasa 

disebut hukuman to ' z i r .  Hukum publik (Islam) yaitu  j i n a y a h  yang memuat 

aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam 

j a r i m a h  h u d u d  maupun dalam j a r i m a h  t a ' z i r .  J a r i m a h  yaitu  perbuatan 

tindak pidana. J a r i m a h  h u d u d  yaitu  perbuatan pidana yang memiliki  

bentuk dan batas hukumannya di dalam Alquran dan sunnah Nabi 

Muhammad saw. Lain halnya j a r i m a h  t a ' z i r .  J a r i m a h  t a ' z i r  yaitu  perbuatan 

pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa 

(hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.

D. TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM

Tujuan hukum pidana Islam yaitu  memelihara jiwa, akal, harta 

warga  secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum 

pidana Islam amat penting dalam kehidupan berwarga . Sebab, empat 

dari tujuan syariat dapat dicapai dengan menaati ketentuan hukum pidana 

Islam, dan dua di antaranya bertautan dengan ketentuan hukum perdata 

Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata 

dipelihara oleh ketentuan hukum pidana Islam.

Selain itu, perlu diungkapkan bahwa tujuan hukum pada umumnya 

seperti yang telah diungkapkan yaitu  menegakkan keadilan sehingga 

terwujud ketertiban dan ketenteraman warga , Oleh karena itu, putusan 

hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh warga . 

warga  yang patuh terhadap hukum berarti mencintai keadilan. Hal ini 

berdasar  dalil hukum yang bersumber dari Alquran Surah An-Nisaa' (4) 

ayat 65 :

Mate d ete  T u h a n m u ,  m e r e k a  ( p a d a  h a k i k a t n y a )  t i d a k  b e r i m a n  h i n g g a  

m e r e k a  m e n j a d i k a n  k a m u  h a k i m  d a l a m  p e r k a r a  y a n g  m e r e k a  

p e r s e l i s i h k a n ,  k e m u d i a n  m e r e k a  t i d a k  m e r a s a  k e b e r a t a n  d a l a m  h a t i  

m e r e k a  t e r h a d a p  p u t u s a n  y a n g  k a m u  b e r i k a n ,  d a n  m e r e k a  m e n e r i m ' a  

d e n g a n  s e p e n u h n y a .

Dalil hukum dari ayat Alquran di atas dapal diketahui dan dipahami 

bahwa Allah menjelaskan, walaupun ada orang-orang yang mengaku 

beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah beriman selama mereka tidak mau 

mematuhi putusan hakim yang adil, seperti putusan Nabi Muhammad saw. 

sebagai Rasul yang pernah menetapkan penyelesaian perselisihan di antara 

umatnya. Sebagai contoh, suatu peristiwa yang diceritakan oleh Bukhari 

Muslim, yaitu Zubair bin Awwam mengadukan seorang laki-laki kaum 

Anshar kepada Nabi Muhammad saw. dalam suatu perselisihan tentang air 

untuk kebun kurma. Nabi Muhammad saw. memberi putusan seraya berkata 

kepada Zubair: A i r i l a h  k e b u n m u  i t u  l e b i h  d a h u l u  k e m u d i a n  a i r k a n l a h  

k e p a d a  k e b u n  t e t a n g g a m u .  Maka laki-laki itu berkata: "Apakah karena dia 

anak bibimu hai Rasulullah". Maka berubahlah muka Nabi Muhammad saw. 

karena ia mendengar tuduhan dimaksud. Namun, Nabi Muhammad saw. 

berkata lagi (untuk menguatkan putusannya): H a i  Z u b a i r  a i r i l a h  k e b u n m u  

i t u  s e h i n g g a  a i r  i t u  m e r a t a i n y a ,  k e m u d i a n  a l i r k a n l a h  k e p a d a  k e b u n  

t e t a n g g a m u .  

Hikmah peristiwa dimaksud yaitu  bahwasanya hukum harus dipatuhi 

dan setiap putusan harus mengandung rasa keadilan agar dengan ikhlas 

dipatuhi oleh anggota warga . Kasus mengairi kebun korma yang 

langsung ditangani oleh Nabi Muhammad saw. itu, mengandung rasa 

keadilan. Sebab, kedua belah pihak memperoleh aliran air yang 

memungkinkan tumbuhnya pohon kurma yang menjadi sumber kehidupan 

mereka berdua. Dari kasus ini juga jelas bahwa Nabi Muhammad saw. 

mencela perbuatan monopoli dalam sesuatu usaha.

Selain hal itu , dapat juga dipahami bahwa pemanfaatan hak milik 

berupa tanah sebagai salah satu sumber kehidupan manusia yang paling 

vital, maka hendaklah memakai  asas keseimbangan. Contoh, setiap 

orang berhak memakai  hak miliknya menurut kehendaknya, tetapi ia 

pun berkewajiban dalam memakai  haknya dimaksud, tidak mengganggu hak orang lain. Misalnya, bebas memakai  tanahnya sesuai dengan 

kehendaknya, tetapi ia berkewajiban pula menjamin pemenuhan kepentingan 

umum seperti menjamin lancarnya pengairan yang berdekatan dengan 

tanahnya yang mengairi sawah petani. Oleh karena itu, ia tidak boleh 

mengelola tanah itu  yang mengakibatkan dapat menghambat 

tersalurnya air ke persawahan para petani. Sebaliknya, seseorang tidak dapat 

dengan memakai  dalih untuk kepentingan umum, sehingga tidak 

memberi ganti kerugian yang wajar terhadap tanah seseorang yang diambil 

untuk kepentingan umum (H. Baharuddin Lopa, 1996: 127).

Namun, bila tujuan hukum Islam itu dilihat dari ketetapan hukum yang 

dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad saw., baik yang termuat di dalam 

Alquran maupun yang ada  di dalam Al-Hadis, yaitu untuk kebahagiaan 

hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala 

yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna 

kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam yaitu  

kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, individu, dan 

warga . Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy- 

Syathibi dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang dikutip 

oleh H. Hamka Haq, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan 

harta .


DISKURSUS TENTANG 

PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

A. FAKTOR-FAKTOR PENGHALANG PEMBARUAN HUKUM 

ISLAM

Salah satu anugerah Allah S WT yang tidak ternilai harganya bagi manusia 

yaitu  kecerdasan. Dengan kecerdasan akalnya, manusia dapat mengem­

bangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membangun peradaban demi 

kesejahteraan umat manusia. Kecerdasan memungkinkan manusia lebih 

maju dalam bersikap, berbuat, dan berkarya secara dinamis dan konstruktif. 

Sayangnya anugerah kecerdasan ini seringkah tidak atau belum 

dimanfaatkan secara maksimal oleh manusia. Banyak ditemukan watak 

manusia, khususnya umat Islam yang bermalas-malasan atau tidak 

memakai  kecerdasannya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi umat Islam bersikap malas 

dalam berpikir dan mulai memasuki periode teks dan s y a r h  (deskripsi atas 

teks) dalam bidang fikih Islam, yaitu sebagai berikut.

1. Ketertinggalan peradaban umat Islam dibandingkan dengan dunia Barat 

yang mengakibatkan tertinggalnya fikih dan terhentinya ijtihad.

2. Dari faktor di atas, muncullah pembakuan fikih mazhab. Para ulama 

masing-masing mazhab menuliskan hasil ijtihad yang bersifat pokok 

atau elementer di dalam sejumlah persoalan yang kemudian mereka 

fatwakan. Mereka meyakini bahwa apa yang dibukukannya telah cukup 

memenuhi kebutuhan umat Islam. Mereka merasa puas dengan kitab- 

kitab besar para mujtahid yang ada.

3. Fanatisme mazhab. Masing-masing ulama hanya bersikukuh pada 

mazhab tertentu; hanya mementingkan pengajaran mazhabnya dan 

pelestarian prinsip dan penyusunan cabang-cabangnya; hanya mengajak 

umat berpaham secara monologis atau kepada mazhab yang dipilihnya; 

dan meyakini bahwa mazhabnyalah yang benar. Hal inilah yang 

dikategorikan sebagai klaim kebenaran ( t r u t h  c l a i m ) .

4. Semakin meningkatnya penolakan terhadap ijtihad. Kitab para ulama 

mazhab mengandung banyak kritikan terhadap mazhab lain. Misalnya, 

yang dikatakan Al-Jashash Al-Hanafi di dalam kitabnya, A l - A h k a m  

A l q u r a n ,  yang mengandung kritikan terhadap mazhab lain.

5. Adanya pertikaian antarmazhab karena para hakim pada masa-masa 

tertentu telah menetapkan berbagai keputusan hukum berdasar 

mazhab tertentu yang dia peluk. Mereka menolak jika harus keluar dari 

berbagai ketetapan yang telah ditentukan oleh para ulama mereka. 

Fanatisme mazhab yaitu  salah satu faktor pembakuan yang dilakukan 

oleh para ulama fikih dan pengagung fikih mereka.

6. Berkembangnya sikap iri hati di antara para ulama yang menyebabkan 

mereka menolak ijtihad karena takut lawan-lawannya menjadi kuat dan 

melontarkan sesuatu yang baru. Hal ini membuat mereka bersikukuh 

terhadap pendapat para ulama terdahulu ( a l - m u t a q a d d i m i r i ) .

Sumber kekeliruan yang mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup 

terletak pada ketidakmampuan mereka untuk membedakan antara ijtihad 

yang bisa mengantarkan pelakunya pada pembentukan mazhab fikih dan 

ijtihad terbuka. Hal ini menyebabkan pelakunya mendapatkan dirinya 

bersepakat dengan salah satu mazhab lain tanpa disengaja dan tanpa terikat 

dengan langkah-langkah mazhab itu.

Argumentasi kelompok yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah 

tertutup, antara lain sebagai berikut.

P e r t a m a ,  hukum Islam dalam bidang ibadah, muamalah, munakahat, 

jinayat, dan sebagainya dianggap sudah lengkap dan dibukukan secara rinci 

dan rapi. Oleh karena itu, ijtihad dalam hal ini tidak diperlukan lagi.

K e d u a ,  mayoritas kaum Sunni hanya mengakui mazhab empat. Karena 

itu, penganut Ahlu as-Sunnah hendaknya memilih salah satu dari mazhab 

empat dan tidak boleh pindah mazhab.

K e t i g a ,  membuka pintu ijtihad, selain sesuatu yang percuma dan 

membuang-buang waktu, hasilnya akan berkisar pada hukum yang terdiri 

atas kumpulan pendapat dua mazhab atau lebih yang dikenal dengan istilah 

t a l f i q  yang kebolehannya masih diperselisihkan oleh kalangan ulama u s h u l ;  

hukum yang telah dikeluarkan oleh salah satu mazhab empat, berarti ijtihad 

itu hanyalah t a h s i l  a l - h a s i l ,  hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab di 

luar mazhab empat tidak dianggap sah oleh mayoritas ulama Ahlu as- 

Sunnah; hukum yang tidak seorang pun membenarkannya yang pada 

hakikatnya sama dengan menentang ijmak.

K e e m p a t ,  kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad 

keempat Hijriyah sampai saat ini, tidak seorang ulama pun berani 

menonjolkan dirinya atau ditonjolkan oleh pengikutnya sebagai seorang 

m u j t a h i d  m u t l a q  m u s t a q i l .  Hal ini menunjukkan bahwa syarat-syarat 

berijtihad itu memang sangat sulit, sehingga dapat dikatakan tidak mungkin 

lagi untuk saat sekarang.

Keempat alasan di atas yang menggiring umat Islam semakin malas 

untuk berpikir dan pasrah dengan mengikuti berbagai mazhab yang telah ada 

karena mereka menilai, bahwa ijtihad bukanlah aktivitas yang mudah 

dilakukannya. Dengan demikian, sejak awal abad keempat sampai akhir 

abad ke-12 Hijriyah, umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang 

pemikiran (khususnya bidang hukum Islam). Mereka tidak berani 

menunjukkan kreativitasnya karena takut melakukan kesalahan atau tidak 

cukup mampu secara keilmuan.

B. URGENSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM

Seorang filsuf sekaligus negarawan Francis, Andre Malraux, meramalkan 

bahwa abad ke 21 yaitu  abad agama. Manusia tidak akan s u r v i v e  di abad 

itu, bila  nilai-nilai agama tidak diaktualisasikan kembali. Ada beberapa 

fakta penting yang akan mempengaruhi dan membentuk manusia masa 

depan, yang berkembang dalam proses sejarah kehidupan atau pergulatan 

hidup manusia di dunia.

Pada abad permulaan ke-20, agama seperti telah dikesampingkan akibat 

berkibarnya humanisme, rasionalisme, ilmu pengetahuan, dan berbagai 

ideology sekuler. Namun demikian, agama tetap berkembang dengan cepat 

di masa lalu bahkan menjadi sumber motivasi dalam proses kesejarahan 

manusia.

Di sebagian besar wilayah dunia, tampak intensitas keberagamaan 

semakin tinggi. Gejala ini, merupakan reaksi dari orientasi materialisme 

yang eksklusif dari sebagian besar ideologi sekuler yang bersaing di abad 

ke-20. Gejala ini merupakan reaksi baik gagasan maupun hasil dari 

d e v e l o p m e n t a l i s m .

warga  dunia sekarang ini ditimpa oleh kekurangan pangan dan 

ketidakstabilan ekonomi, kerusakan lingkungan, berbagai bentuk bencana 

alam39, kontinuitas konflik, dan ancaman bahaya nuklir. Berbagai kenyataan

39 Memilukan! Trenggalek yang aman dan tenteram tiba-tiba diterjang banjir bandang yang 

luar biasa dahsyatnya. Ratusan rumah rusak, ribuan hektar sawah hancur, puluhan manusia 

tewas, dan ratusan lainnya luka parah. Berbarengan dengan itu, sejumlah daerah di 

Kalimantan dan Sumatra juga diterjang banjir. Di Sumatra Barat, misalnya, longsor 

menimbun jalan utama Solok-Padang dan menewaskan sedikitnya empat orang. Di Riau, 

anehnya, banjir muncul bersamaan dengan asap kebakaran hutan. Ya, banjir dan api 

muncul bersamaan. Peristiwa yang tampak kontras itu terjadi di negara kita . Tragisnya, 

kedua peristiwa itu berkaitan dengan perusakan hutan. Setiap musim hujan, banjir dan 

longsor terus terjadi di hampir seluruh wilayah negara kita . Pekan pertama Januari 2006, 

banjir bandang menerjang Jember, Jawa Timur, menewaskan 50 orang lebih. Lalu longsor

ini menunjukkan bahwa manusia kini sedang sakit dan dilanda malaise 

spiritual. Sementara itu, industri dan teknologi maju tidak membawa 

kepuasan bagi manusia. Oleh karena itu, tanggung jawab agamalah untuk 

mengartikulasi kerinduan manusia terhadap makna hidup yang lebih tinggi; 

dan menunjukkan alternatif untuk mendapatkan kepuasan yang 

sesungguhnya.

Pemisahan antara agama dan negara merupakan salah satu prinsip dari 

demokrasi politik yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia, 

khususnya negara-negara yang terdiri atas multi-etnis, yang membutuhkan 

saling pengertian dan menghormati antarwarga negaranya yang memiliki  

perbedaan ras maupun agama. Namun begitu, sampai sekarang masih 

ada  negara-negara yang mendasarkan diri pada agama terutama dalam 

Islam, di mana tekad untuk membentuk negara yang berdasar  agama 

masih begitu kuat.

Sebagian dari kebangkitan atau intensitas keberagamaan dalam bidang 

politik yaitu  munculnya persepsi bahwa pemisahan antara agama dan 

negara telah menyebabkan kehancuran nilai-nilai agama dalam mekanisme 

pemerintahan bahkan menimbulkan perceraian antara etika dan politik.

Di antara pertanyaan yang ditujukan pada penulis ketika membuka 

seminar mengenai hal di atas terutama dalam kedudukannya sebagai 

pemimpin dari agama yang berbeda-beda, yakni mampukah agama 

mengembangkan perannya dalam kancah politik tanpa menyodorkan 

dogmatisme dan pembobrokan struktur warga , sehingga agama bisa 

menyelesaikan konflik yang ada? Mungkinkah agama bekerja sama dalam 

berusaha membentuk warga  yang lebih bermoral, meskipun tetap 

memiliki  pandangan yang berbeda dalam keimanan dan tujuan hidupnya?

Dalam mencari jawaban pertanyaan ini, penulis pikir sangat penting 

untuk pertama-tama mengenai, bahwa agama merupakan segalanya bagi 

manusia. Agama yaitu  suatu jalan menuju keselamatan manusia, pedoman 

dan penilaian atas perbuatan manusia, dan petunjuk wahyu yang membawa 

manusia kepada suatu kebenaran transenden. Agama juga bisa didefinisikan

menimpa Banjarnegara, Jawa Tengah, menewaskan 200 orang lebih. Seterusnya banjir dan 

longsor menimpa Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan pulau-pulau lain. Kini, tiga 

bulan setelah tragedi Jember dan Banjarnegara, tragedi yang sama menimpa Trenggalek. 

Sepertinya kita sudah merasa terbiasa dengan bencana itu . Padahal, mestinya kita 

berpikir: Mengapa banjir dan longsor terus saja terjadi? Apakah pemerintah gagal 

mengatasi pencegahan banjir dan longsor yang telah menelan biaya miliaran rupiah tiap 

tahun? 

suatu bentuk kosmologi yang membawa pikiran dan pesan-pesan untuk 

mencapai keselamatan manusia.

Keberagamaan manusia pada saat yang bersamaan selalu disertai 

dengan identitas budayanya masing-masing yang berbeda-beda. Di 

warga , agama merupakan suatu e s t a b l i s h m e n t  yang kuat dan terikat erat 

dalam sistem sosial politik, dan ekonomi warga . Agama merupakan 

a g e n t  o f  c h a n g e  dan mobilisasi, sekaligus juga menjadi kekuatan 

immobilisasi dari komunitas manusia. Agama baik dipandang dari aspek 

individual maupun sosial yaitu  sumber moral maupun etika; sebuah 

pedoman untuk menuju kebaikan. Dari dimensi ini, sangat penting untuk 

mengidentifikasi semua peran agama dalam kehidupan, sehingga 

Memberi  kemungkinan untuk bekerja sama yang saling menguntungkan.

Komunikasi di antara agama sangat penting untuk mencapai bentuk 

kerja sama. Kesetiaan masing-masing penganut agama diperdalam dengan 

refleksinya, ada  banyak cara; menyangkut cara pandang dan ekspresi 

terhadap kebenaran; dan itu merupakan awal toleransi dan kerendahan hati. 

Banyak masalah yang memiliki  persamaan nilai dalam agama-agama, 

yang mana bisa dikatakan bahwa agama merupakan m a j o r  e l e m e n t  dalam 

budaya. Komunikasi dalam kerangka toleransi yang saling menguntungkan 

akan memperkaya spiritual, seperti tersirat dalam Alquran, yang menyatakan 

bahwa perbedaan akan memacu manusia untuk berlomba dalam kebaikan.

Agama dalam aspek duniawinya merupakan e s t a b l i s h m e n t ,  sumber 

nilai dan kekuatan mobilisasi yang sering menimbulkan konflik dalam 

sejarah umat manusia. Oleh karena itu, kerja sama antara manusia masa 

datang bahkan kerja sama para penganut satu agama pun perlu, karena 

terbukti dalam satu agama yang sama sering muncul konflik 

antarpengikutnya. Sebagai contoh, konflik antara gereja-gereja yang telah 

mapan dengan teologi pembebasan; antara Sunni dan Syi'ah; antara kaum 

mistikus dan pekerja sosial. Sebagai pengaku sumber kebenaran mutlak, 

agama harus memiliki  peranan dominan yang mana pada suatu ketika 

perlu berada di luar proses sejarah. Persepsi dan pengertian kita bisa berubah 

karena waktu, namun kebenaran mutlak tetap abadi. Tuhan tidak pernah 

berubah, meskipun nama-nama Tuhan berbeda. Namun meski kebenaran itu 

abadi, tetapi agama itu tetap historis; menjelma dalam pergolakan hidup 

manusia. Fakta menunjukkan, bahwa agama ternyata tidak mudah bekerja 

sama dengan sejarah. Bahkan seringkah, agama berusaha membengkokkan 

jalannya sejarah, menurut kehendak persepsinya. Agama sering mencuatkan 

amarah dan terkadang meledakkan senjata untuk menggilas kekuatan sekuler 

dan menguasai jiwa manusia. Begitulah hubungan antarperanan agama, baik

secara historis maupun ahistoris; antara transendensi dan keduniaan yang 

terjadi dalam kehidupan manusia, yang sesungguhnya sangat menarik untuk 

dikaji.

Tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari pentingnya fungsi 

hukum dalam pembangunan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat 

menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentafig 

pembangunan ini ada  suatu kelesuan ( m e l a i s e )  atau kekurangpercayaan 

akan hukum dan gunanya dalam warga .

Sebaliknya, dan ini mungkin kedengarannya paradoksal sekali, di 

puncak m a l a i s e  dan ketiadaan kepercayaan mengenai guna bahkan adanya 

hukum di warga  kita ini, terdengar jeritan-jeritan yang menandakan 

masih percayanya orang di negara kita  terhadap keampuhan hukum. Tidak 

jemu-jemunya orang mengumandangkan t h e  r u l e  o f  l a w  dengan harapan 

yang sering mengharukan bahwa dengan kembalinya ratu keadilan ke atas 

tahtanya, dengan sendirinya segala sesuatu akan beres kembali dan tercapai 

m a s y a r a k a t  y a n g  t a t a  t e n t r e m  k e r t a  r a h a r j a .

Keadaan yang coba dilukiskan di atas, yaitu orang di satu pihak, acuh 

tidak acuh atau hilang kepercayaan terhadap hukum, tetapi di lain pihak 

memiliki kepercayaan yang naif terhadap kekuatan yang seakan-akan magis 

religius dari hukum, mencirikan cara berpikir kita umumnya tentang hukum.

Kedua anggapan tentang hukum itu, sama-sama kurang tepat; yang satu 

karena terlalu memandang rendah terhadap arti dari fungsi hukum dalam 

warga  (lebih menghargai arti dibandingkan  kekuasaan), sedang  

anggapan yang kedua tidak pula banyak menolong karena terlalu banyak 

mengharapkan sesuatu dibandingkan nya.

Kesemuanya ini memaksa kita untuk memahami fungsi hukum dalam 

warga  ini dengan lebih wajar dengan mencoba meneliti arti dan fungsi 

hukum itu secara akal (rasional). Rudolf Von Jhering dalam D e r  Z w e c h  I m  

R e c h t  menyebutkan bahwa hukum yaitu  keseluruhan peraturan yang 

memaksa ( c o m p u l s o r y  r u l e s )  yang berlaku dalam suatu negara. Menurut

E.Utrecht, hukum itu yaitu  himpunan peraturan (perintah dan larangan) 

yang mengurus tata tertib suatu warga  dan karena itu harus ditaati oleh 

warga  itu.

Zaman keemasan hukum Islam, sebagaimana telah disebutkan, 

berlangsung sekitar 250 tahun. Setelah itu, yakni sejak pertengahan abad 

keempat Hijrah, hukum Islam mengalami periode taklid. Pada masa itu 

gerakan ijtihad terhenti, kebebasan berpikir para ulama sudah tidak ada lagi. 

Para ulama tidak lagi mengambil hukum Islam dari sumbernya, yaitu 

Alquran dan hadis, tetapi mereka lebih senang bertaklid dan mengikuti fikih

Imam pendahulu. Kemampuan akal mereka, dibatasi dengan mempelajari 

mazhab Imam itu , mereka mengha-ramkan dirinya keluar dari batasan 

itu. Mereka berusaha memahami lafal-lafal dan ibarat Imam mereka, bukan 

berusaha memahami nash syariat dan prinsipnya yang umum. Mereka telah 

melupakan ijtihad malah dengan mengatakan pintu ijtihad telah tertutup.

Penyebab utama timbulnya periode taklid ini yaitu  karena timbulnya 

fanatisme kelompok. Setiap kelompok dari Imam mujtahid membentuk 

suatu aliran fikih yang memiliki  cara-cara i s t i n b a t h  hukum tersendiri, dan 

para murid atau anggota dari setiap kelompok berusaha mempertahankan 

mazhabnya dengan segala cara sehingga mengalihkan perhatian mereka dari 

sumber hukum yang utama, Alquran dan hadis. Sebab lainnya pada masa itu 

kekuasaan Islam terbagi ke dalam beberapa kerajaan yang saling bertikai 

sehingga para pemimpin dan warga  sibuk dengan peperangan, yang 

salah satunya mengakibatkan terhentinya gerakan ijtihad.

Berhentinya gerakan ijtihad itu menimbulkan kejumudan dan kebekuan 

hukum Islam, sehingga umat Islam selalu mencurigai hal-hal baru dan 

mengharamkannya tanpa meneliti terlebih dahulu kegunaan dan 

kerugiannya. Mereka menyebutnya sebagai b i d ' a h  dan mengharamkannya 

karena tidak diatur dalam Islam dan dalam wahyu Tuhan. Mereka 

mengharamkan peneijemahan Alquran ke dalam bahasa lain dan melarang 

mempelajari pengetahuan umum. Di kalangan umat Islam juga berkembang 

pendapat bahwa umat Islam tidak berhak hidup bahagia di dunia, mereka 

tidak perlu kaya, dan tidak perlu berkuasa; umat Islam hanya akan mendapat 

kebahagiaan dan kesenangan di akhirat nanti.

Sikap taklid mulai didobrak oleh Ibn Taimiyah (1263-1328). Ia secara 

tegas berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pemah 

tertutup. Seruannya untuk menggairahkan kembali ijtihad berhasil 

Memberi  pengaruh yang besar di dunia Islam pada masa-masa 

berikutnya. Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad 

yang terjadi di Kerajaan Usmani, India, dan Saudi Arabia banyak 

dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyah.

Di kerajaan Usmani, sikap taklid itu mulai didobrak sejak akhir abad 

ke-13 Hijrah atau abad ke-19 Masehi. Pemerintah Usmani pada waktu itu 

menugaskan sekelompok ulama terkemuka untuk menyusun suatu hukum 

dalam bidang muamalat yang tidak terikat pada salah satu mazhab.

Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad itu, di 

India dan Saudi Arabia malah sudah dimulai pada abad ke-18 Masehi. Di 

India, gerakan itu dipelopori oleh Syah Waliullah (1703-1762), sedang  di 

Saudi Arabia, gerakan itu dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab

(1703-1787). Gerakan terakhir ini kemudian dikenal dengan gerakan 

W a h a b i a h .

Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad yang 

dimulai sejak abad ke-18 Masehi inilah yang disebut gerakan pembaruan 

hukum Islam, sehingga masa itu sampai sekarang disebut periode pembaruan 

hukum Islam. Pembaruan hukum Islam merupakan bagian dari pembaruan 

yang terjadi dalam Islam. Jadi, pembaruan dalam Islam lebih luas meliputi 

pembaruan dalam bidang pendidikan, politik, kebudayaan, hukum, dan lain- 

lain. Gerakan pembaruan dalam arti yang luas ini, di Kerajaan Usmani pun, 

menurut Harun Nasution, sudah dimulai sejak abad ke-14 Masehi. Akan 

tetapi, pembaruan yang terjadi di Kerajaan Usmani pada waktu itu baru 

dalam bidang kebudayaan dan kemiliteran, belum sempat menjamah bidang 

hukum Islam serta masalah keagamaan pada umumnya karena pembaruan di 

Kerajaan Usmani waktu itu tidak dipelopori oleh para ulama, sebagaimana 

yang terjadi di India dan Saudi Arabia. Ide-ide pembaruan termasuk 

pembaruan hukum Islam semakin mempengaruhi dunia Islam termasuk 

negara kita  setelah munculnya tokoh-tokoh pembaru ternama seperti 

Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan lain-lain.

Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk 

mengembangkan hukum Islam disebut gerakan pembaruan hukum Islam, 

sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu 

menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh 

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Menetapkan ketentuan 

hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru itu 

mengandung dua unsur. P e r t a m a ,  menetapkan hukum terhadap masalah bam 

yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah bayi tabung. K e d u a ,  

menetapkan atau mencari ketentuan hukum bam bagi suatu masalah yang 

sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan 

kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan tidak sesuai 

dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang yaitu  ketentuan 

hukum lama yang mempakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak 

mampu lagi merealisasi kebutuhan dan kemaslahatan warga  masa kini. 

Untuk itu, perlu ditetapkan ketentuan hukum bam yang lebih mampu 

merealisasi kemaslahatan umat yang mempakan tujuan syariat dengan 

mempertimbangkan perkembangan bam yang ditimbulkan oleh kemajuan 

ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Contohnya ketentuan hukum Islam 

mengenai pemimpin wanita. Ijtihad ulama sekarang telah membolehkan 

wanita menjadi pemimpin atau kepala negara, padahal ijtihad lama 

menetapkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau kepala negara.


Jadi, pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan 

ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan 

baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi 

modem, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada 

ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan 

ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan 

kemaslahatan manusia masa sekarang. Ketentuan hukum di sini yaitu  

ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para 

ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat.

Pembaruan itu dapat terjadi dalam tiga bentuk atau tiga kondisi, yaitu 

sebagai berikut.

1. bila  hasil ijtihad lama itu yaitu  salah satu dan sekian kejadian 

yang dikandung oleh suatu teks Alquran dan hadis. Dalam keadaan 

demikian, pembaruan dilakukan dengan mengangkat pula kejadian 

yang lain yang terkandung dalam ayat atau hadis itu . Contoh, 

jumhur ulama telah menetapkan tujuh macam kekayaan yang wajib 

zakat, yaitu emas dan perak, tanam-tanaman, buah-buahan, barang 

dagangan; binatang ternak, barang tambang, dan barang peninggalan 

orang dahulu yang ditemukan waktu digali.

S e b a g i a n  d a r i  h a s i l  u s a h a m u  y a n g  b a i k - b a i k  d a n  s e b a g i a n  d a r i  a p a  

y a n g  K a m i  k e l u a r k a n  d a r i  b u m i  u n t u k  k a m u .

Pendapat yang menetapkan penghasilan yang datang dari jasa 

dikenakan zakat, sebagaimana telah dijelaskan, juga tetap berkisar 

dalam ruang lingkup arti teks Alquran di atas.

2. bila  hasil ijtihad lama didasarkan atas ' u r f  setempat, dan bila ' u r f  i t u  

sudah berubah maka untuk ijtihad lama itu pun dapat diubah dengan 

menetapkan hasil ijtihad baru yang didasarkan kepada ' u r f  setempat 

yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara 

wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkan wanita tidak boleh 

menjadi kepala negara, sesuai dengan ' u r f  warga  Islam masa itu 

yang tidak bisa menerima wanita sebagai kepala negara. Dengan 

berkembangnya paham emansipasi wanita, ' u r f  warga  Islam 

sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai 

kepala negara. Hasil ijtihad ulama pun sudah berubah dan sudah 

menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.

3. bila  hasil ijtihad lama ditetapkan dengan q i y a s  maka pembaruan 

dapat dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau 

ketentuan hukum yang ditetapkan dengan q i y a s  dengan memakai  

i s t i l s a n .  Sebagaimana diketahui, penetapan hukum dengan i s t i l s a n  

merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan 

oleh q i y a s  dan metode i s t i n b a t h  hukum yang lain. Contohnya hasil 

ijtihad tentang larangan masuk masjid bagi orang haid yang di- q i y a s -  

kan kepada orang j u n u b  (orang yang mandi besar) karena sama-sama 

hadas besar. Ada ulama yang merasa q i y a s  di atas kurang tepat karena 

ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub, walaupun 

keduanya sama-sama hadas besar.

Karena pembaruan hukum Islam mengandung arti, bahwa gerakan 

ijtihad menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan 

dan perkembangan baru maka pembaruan itu dilakukan dengan cara kembali 

kepada ajaran asli Alquran dan hadis dan tidak mesti, terikat dengan 

ketentuan hukum Islam hasil ijtihad lama yang merupakan hukum Islam 

kategori fikih. Hukum Islam kategori fikih yaitu  hasil pemahaman dan 

rumusan para ulama yang bisa jadi ada yang dipengaruhi oleh keadaan pada 

masa itu, seperti yang dilandaskan atas ' u r f  setempat dan karenanya 

ketentuan itu belum tentu mampu menjawab permasalahan dan 

perkembangan baru, artinya belum tentu mampu merealisasi kemaslahatan 

umat masa kini yang keadaannya berbeda dengan keadaan masa itu. Adapun 

ajaran asli Alquran dan hadis selalu mampu menjawab permasalahan 

warga  sepanjang zaman dan semua tempat. Oleh karena itu, dalam 

menetapkan hukum terhadap suatu masalah, para mujtahid harus langsung 

kembali kepada ajaran asli Alquran dan hadis dengan cara berijtihad 

memahami dan menafsirkan ajaran asli itu  serta memperhatikan dasar- 

dasar atau prinsipnya yang umum. Dengan demikian, ketentuan hukum 

Islam yang dihasilkan oleh ijtihad itu betul-betul mampu menjawab 

permasalahan warga , dalam arti mampu merealisasi kemaslahatan umat 

manusia yang merupakan tujuan syariat Islam.

Melihat kondisi umat Islam yang semakin terpuruk dan ketertinggalan 

yang sangat jauh dari peradaban Barat maka diawal abad ke-13 Hijriyah ada 

sebuah prakarsa pemikiran yang ingin membukakan cakrawala kepada umat 

Islam bahwa pintu ijtihad sesungguhnya masih terbuka lebar. Sebagian 

ulama yang dipelopori oleh Imam Asy-Syaukani menyatakan bahwa ijtihad 

masih sangat terbuka. Ada beberapa alasan kenapa ijtihad masih terbuka,  yaitu

a. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang dinamis 

menjadi kaku dan beku, sehingga Islam suatu saat akan ditinggalkan 

oleh cepatnya perubahan zaman. Sebab banyak kasus baru yang 

hukumnya belum dijelaskan oleh Alquran dan As-Sunnah, dan juga 

belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu.

b. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama 

Islam untuk menciptakari pemikiran yang baik dalam memanfaatkan 

dan menggali sumber (dalil) hukum Islam.

c. Membuka pintu ijtihad berarti membuat setiap pemasalahan bam yang 

dihadapi oleh umat dapat diketahui hukumnya, sehingga hukum Islam 

akan selalu berkembang dan sanggup menjawab tantangan zaman. 

Lebih-lebih wilayah ijtihad yang dimaksud hanya memasuki pada 

wilayah-wilayah teks yang d z a n n i y a t u  a d - d a l a l a h .

Terbukanya pintu ijtihad tentu saja memiliki konsep dan persyaratan 

yang utuh agar ijtihad tidak disalahgunakan oleh pihak yang ingin memsak 

orisinalitas ajaran Islam. Kemusykilan pengertian dan cakupan ijtihad, 

metode ijtihad, serta kualifikasi mujtahid yaitu  hal-hal yang perlu 

dipertimbangkan sebelum kita berbicara tentang pentingnya ijtihad. Sudah 

sangat jelas, bahwa ijtihad bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan oleh 

setiap orang. Membuka pintu ijtihad bukan berarti Memberi  hak kepada 

setiap orang untuk berijtihad.

Belakangan ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak melakukan 

ijtihad tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Asas egalitarianisme Islam 

sering dijadikan dalih untuk menolak adanya kaum elit yang memiliki  

otoritas benjtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak 

mau, melainkan persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang 

tidak mampu untuk berijtihad sangat mengundang bahaya. Untuk itulah, 

sebelum seseorang melakukan ijtihad harus sudah memenuhi persyaratan 

yang ketat, namun tentu saja untuk ukuran saat ini tidak seketat dan seideal 

yang dimiliki oleh para mujtahid mutlak.

C. TUJUAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM

Kemajuan yang pesat terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan 

teknologi modem menimbulkan pembahan besar dalam segala bidang 

kehidupan manusia. Pada masa awal Islam peperangan masih dengan 

memakai  pedang, sekarang sudah sampai kepada penggunaan senjata 

canggih bempa senjata kimia dan bom nuklir. Begitu pula dengan alat

transportasi masih memakai  binatang tunggangan seperti unta, kuda, 

dan lain-lain, sekarang sudah sampai pada penggunaan pesawat yang 

memiliki  kecepatan jelajah yang luar biasa. Jelasnya dalam kemajuan 

ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak muncul hal-hal baru dalam 

kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan dalam masya-rakat. 

Perubahan struktur sosial dan munculnya masalah baru seperti transfusi 

darah, inseminasi (pembuahan) buatan, bayi tabung, dan lain-lain perlu 

diatur dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan Islam.

Islam sebagai agama wahyu yang terakhir berlaku dan dibutuhkan 

sepanjang zaman memiliki  pedoman dan prinsip dasar sebagai petunjuk 

bagi umat manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia 

dan di akhirat. Sebagai agama yang dibawa untuk menjadi rahmat bagi 

sekalian alam, Islam tentu harus dapat menjawab semua permasalahan umat 

manusia yang telah dan akan timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan 

teknologi. Kalau Islam tidak mampu menjawab permasalahan umat manusia 

tentu akan ditinggalkan. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh siapa pun yang 

meyakini kebenaran ajaran Islam.

Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi dan menjawab tantangan 

zaman, hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman terhadap Islam 

perlu terus-menerus diperbarui dengan Memberi  penafsiran bam terhadap 

n a s h s y a r a k  dengan cara menggali kemungkinan lain atau alternatif dalam 

syariat yang diyakini mengandung alternatif yang bisa diangkat dalam 

menjawab masalah baru. Jadi, pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar 

hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan syariat semaksimal mungkin, 

yaitu merealisasi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

Timbul pertanyaan, apakah boleh hukum Islam terus-menerus 

diperbarui dan dikembangkan? Bukankah ajaran Islam mutlak kebenarannya 

dan tidak berubah? Untuk menjawab pertanyaan ira perlu dipelajari terlebih 

dahulu hakikat Islam secara filosofis dan historis. Sebagaimana diketahui 

Islam mengandung ajaran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. 

melalui wahyu. Wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad 

melalui Jibril pada hakikatnya yaitu  ayat-ayat Alquran dalam teks Arabnya. 

Oleh karena itu, kalam Allah dalam Islam harus diartikan secara harfiah, 

firman, sabda, atau kata-kata Tuhan.

Hakikat ini memiliki  implikasi bahwa jika kata-kata Arab dalam ayat 

yang disampaikan kepada Nabi Muhammad diganti dengan sinonimnya, atau 

diubah susunan katanya, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain maka ayat 

yang dihasilkan demikian bukanlah lagi wahyu yang bersifat absolut, 

melainkan merupakan penafsiran, hasil buatan manusia, yang bersifat relatif

kebenarannya. Dengan kata lain, penafsiran dan terjemahan itu tidak 

mengikat bagi manusia, yang mengikatnya yaitu  ayat-ayat dalam teks Arab 

itu. Demikianlah sifat dasar dari Alquran sebagai sumber pertama ajaran 

Islam.

Adapun hadis sebagai sumber kedua, bukanlah wahyu dalam arti di 

atas. Hadis pada umumnya mengandung ucapan dan perbuatan Nabi 

Muhammad saw. yang disebut sunnah Nabi serta terpelihara dari kesalahan. 

Kalau ada ucapan atau perbuatan Nabi yang salah, beliau mendapat teguran 

dari Tuhan. Kalau tidak mendapat teguran, ucapan dan perbuatan Nabi itu 

benar. Dengan demikian, Nabi terpelihara dari kesalahan (maksum). Ada 

pula hadis yang mengandung bukan ucapan atau perbuatan Nabi, melainkan 

arti yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati beliau. Kemudian, Nabilah 

yang mengungkapkan arti kata itu dalam kata-kata beliau sendiri, yang 

disebut hadis q u d s i .  Hadis sebagai sumber kedua memberi penjelasan 

terhadap ayat-ayat Alquran.

Ayat Alquran berjumlah lebih dari 6000, namun hanya sebagian dari 

jumlah itu yang merupakan ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang 

keimanan, ajaran tentang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, dan 

ajaran tentang hubungan horizontal manusia dengan manusia. Menurut 

perkiraan ulama, jumlah ayat itu hanya kira-kira 500 : 130 mengenai 

keimanan, 140 mengenai ibadah, dan 230 mengenai muamalah atau hidup 

berwarga . Di samping itu, ada pula ayat-ayat yang mengandung 

ungkapan tentang fenomena alam yang erat hubungannya dengan filsafat 

dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar dari ayat-ayat itu mengandung 

riwayat tentang nabi sebelum Nabi Muhammad, riwayat umat terdahulu, 

teladan serta ibarat yang dapat diambil dari pengalaman umat masa lampau, 

hidayah serta kesesatan, dan kebaikan serta kejahatan.

Dalam.ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang iman, ibadah, dan 

hidup berwarga  pada umumnya datang dalam bentuk ajaran dasar dan 

prinsip tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai cara pelaksanaannya. 

Demikian juga dengan ayat-ayat tentang fenomena alam.

Ayat-ayat yang mengandung ajaran dasar dan prinsip-prinsip inilah 

yang menjadi pegangan utama umat Islam semenjak Nabi Muhammad 

wafat, dalam menghadapi berbagai masalah dalam bidang keimanan atau 

teologi, bidang ibadah, bidang hidup kewarga an, filsafat, dan 

sebagainya.

Timbullah dalam sejarah terhadap penjelasan dan penafsiran tentang 

ajaran dasar serta prinsip-prinsip itu. Pemberian penjelasan dan penafsiran 

dimulai oleh sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, Umar Ibn Al-Khattab,

Usman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Talib, yang secara kronologis 

menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai kepala umat Islam yang 

tidak lama setelah hijrah ke Madinah, mengambil bentuk negara. Dalam 

memberi penjelasan dan penafsiran mereka dibantu oleh sahabat lain yang 

senantiasa mereka ajak bermusyawarah.

Dengan demikian, di samping sunnah Nabi, timbullah sunnah sahabat. 

Sunnah sebenarnya berarti tradisi, tetapi sunnah atau tradisi Nabi terpelihara 

dari kesalahan, sedang  sunnah atau tradisi sahabat tidak. Akan tetapi, 

sungguh pun tidak terpelihara dari kesalahan sunnah, tradisi atau sunnah 

sahabat berpengaruh besar kepada umat Islam sesudah zaman mereka dan 

sampai sekarang pengaruh itu masih tetap ada.

Setelah zaman sahabat, datanglah zaman para ulama besar. Pada zaman 

sahabat dunia Islam baru mencakup daerah sekitar semenanjung Arabia, 

seperti Palestina, Syria, Irak, Persia, dan Mesir. Adapun zaman sesudah 

mereka, daerah-daerah Afrika Utara, Spanyol, Transoxiana, India, dan 

daerah lain yang jauh letaknya dari Arabia telah menjadi Islam. Kalau 

masalah yang dihadapi sahabat dengan meluasnya daerah Islam ke luar 

semenanjung Arabia, daerah yang mencakup berbagai bangsa, bahasa, 

kebudayaan, dan adat istiadat, jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi 

Nabi di zaman Islam masih terbatas pada semenanjung Arabia yang satu 

bahasa, kebudayaan, dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, masalah yang 

dihadapi para ulama dengan Islam jauh lebih besar dari yang dihadapi para 

sahabat.

Ulama pun tidak berpusat di satu tempat, tetapi masing-masing daerah 

memiliki  ulamanya sendiri-send   iri yang menghadapi masalah yang 

berbeda pula. Dalam menghadapi masalah yang berbeda, pegangan mereka 

tetap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi. Oleh karena itu, timbullah 

penjelasan dan penafsiran berbeda dalam menghadapi masalah berbeda itu.

Dalam perkembangan sejarah, penjelasan dan penafsiran berbeda itu 

mengambil bentuk mazhab dan aliran-aliran. Mazhab dan aliran itu 

terkadang tidak hanya menunjukkan perbedaan pendapat, tetapi juga 

pendapat yang saling bertentangan.

Demikianlah dalam soal keimanan, yang menjadi ajaran paling pokok 

dalam Islam, ada  lima aliran teologi atau ilmu kalam. Masalah yang 

pertama timbul dalam bidang ini yaitu  kedudukan pembuat dosa besar, 

seperti membunuh orang tanpa alasan yang sah, berzina, menjalankan riba, 

dan durhaka kepada orang tua. Dipersoalkan apakah pembuat dosa besar 

masih mukmin, masih orang Islam atau tidak? Golongan keras yang dalam 

sejarah teologi dikenal dengan K h a w a r i j ,  mengatakan bahwa pembuat dosa

besar bukan mukmin lagi melainkan sudah menjadi kafir dan ke luar dari 

Islam. Golongan lembut M u r j i ' a h  berpendapat, bahwa pembuat dosa besar 

tetap mukmin, orang Islam dan bukan kafir. Golongan rasional, M u k t a z i l a h ,  

berpendapat lain pembuat dosa besar tidak mukmin, tidak kafir, dan 

hanyalah muslim. Bagi M u k t a z i l a h ,  orang mukmin yaitu  orang yang 

mengucapkan dua syahadat dan menjalankan ajaran Islam, sedang  orang 

muslim yaitu  orang yang hanya mengucapkan dua syahadat, namun tidak 

melaksanakan ajaran Islam.

Perbedaan penafsiran ini timbul karena dalam Alquran tidak ada ayat- 

ayat yang secara terperinci dan definitif menyebut siapa yang mukmin dan 

siapa yang kafir. Ayat hanya menyebut iman mencakup kepercayaan kepada 

Tuhan, malaikat, rasul, kitab, dan hari perhitungan di akhirat. Ketika terjadi 

peperangan dan pembunuhan antara sesama muslim di zaman Usman, Ali, 

dan Muawiyah, timbullah pertanyaan tentang pembuat dosa besar. Dalam 

menjawab pertanyaan itu timbullah penafsiran yang berbeda-beda.

Setelah ulama Islam mulai dari abad ke-8 Masehi mempelajari filsafat 

Yunani dalam usaha menentang serangan bersifat filosofis yang datang dari 

luar Islam, filsafat mempengaruhi pemikiran keagamaan dalam Islam. 

Sebagai akibatnya, timbullah dalam Islam teologi rasional dan teologi 

tradisional. Teologi rasional banyak memakai penafsiran metaforis, 

sedang  teologi tradisional banyak terikat pada penafsiran harfiah.

"Tangan Tuhan" dan "kursi Tuhan" yang ada  dalam Alquran 

diartikan teologi rasional "kekuasaan Tuhan", sedang  teologi tradisional 

tetap berpegang pada arti harfiah, yaitu "tangan" dan "kursi", walaupun tidak 

sama dengan tangan dan kursi manusia. Demikian pula dalam soal kemauan 

dan perbuatan manusia, teologi rasional menganut paham adanya kebebasan 

manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan, sedang  teologi 

tradisional menganut paham fatalisme. Perbedaan penafsiran ini timbul 

karena ayat-ayat mengenai tangan dan perbuatan manusia itu  tidak 

mengandung penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan 

kata-kata itu.

Dalam hubungan ini, bahwa dalam perkembangan penjelasan dan 

penafsiran selanjutnya, para ulama Islam membagi ayat-ayat Alquran dalam 

dua kelompok: ayat-ayat yang artinya pasti sebagaimana diberikan teks dan 

tidak dapat ditakwilkan lagi ( q a t h ' i  a l - d a l a l a h )  dan ayat-ayat yang artinya 

masih dapat ditakwilkan ( z h a n n i  a l - d a l a l a h ) .  Yang banyak ada  dalam 

Alquran yaitu  ayat-ayat yang z h a n n i  a l - d a l a l a h ,  ayat-ayat yang artinya 

dapat ditakwilkan, yaitu ayat-ayat yang tidak mesti diambil arti tersuratnya, 

tetapi dapat diambil arti tersiratnya. "Kursi" dan "tangan" Tuhan itu 

termasuk dalam kelompok ayat z h a n n i  a l - d a l a l a h .  Demikian juga j a n n a t  

(surga) dan n a r  (neraka). J a n n a t  dalam arti tersurat menggambarkan istana 

yang penuh dengan kesenangan jasmani, sedang  n a r  secara harfiah 

menggambarkan api yang menyala-nyala. Kaum syariat mengambil arti 

harfiah ini, namun kaum sufi dan filosofi mengambil arti tersirat, yaitu 

kesenangan dan kesengsaraan ruhani yang secara tersirat terletak di belakang 

gambaran jasmani tentang surga dan neraka yang diberikan Alquran.

Kalau dalam bidang keimanan, yang merupakan masalah paling pokok 

dalam Islam, ada  aliran-aliran yang berbeda pendapat, maka tidak 

mengherankan kalau dalam bidang ibadah dan bidang muamalat atau hidup 

kewarga an manusia, ada  pula mazhab-mazhab. Imam mazhab 

yang banyak memakai rasio yaitu  Abu Hanifah dan yang banyak memakai 

sunnah atau hadis yaitu  Ahmad Ibn Hanbal. Dalam hal bidang ilmu kalam 

atau teologi Islam, dalam bidang hukum fikih yang berhubungan dengan 

ibadah dan hidup kewarga an manusia ada  pula mazhab yang 

rasional dan tradisional.

Sebagai contoh dalam soal ibadah dapat diambil penentuan permulaan 

hari puasa, hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. R u ' y a t  oleh golongan 

rasional diartikan melihat dengan otak, yaitu perhitungan atau hisab, 

sedang  golongan tradisional mengartikan r u ' y a t  "melihat" dengan mata 

kepala.

Dalam hidup kewarga an, ayat Alquran sebagaimana telah disebut 

di atas, berjumlah kira-kira 230 ayat. Perincian yang diberikan oleh Abdul 

Wahab Khallaf, seorang Guru Besar dalam bidang hukum Islam yaitu  

sebagai berikut: hidup kekeluargaan 70 ayat, jual beli 70 ayat, soal pidana 30 

ayat, hubungan muslim dengan nonmuslim 25 ayat, peradilan 13 ayat, 

hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat, serta soal kenegaraan 10 ayat.

Sesuai dengan sifat dasar ayat-ayat Alquran di atas, yaitu hanya 

mengandung ajaran dasar dan prinsip-prinsip, banyak berbentuk z h a n n i  a l -  

d a l a l a h  danfianya sedikit berbentuk q a t h ' i  a l - d a l a l a h  maka ayat-ayat 

mengenai hidup kewarga an ini juga memerlukan penjelasan dan 

penafsiran yang banyak dari para ulama hukum Islam. Sebagaimana dalam 

bidang lain di sini juga banyak dijumpai perbedaan pendapat dan penafsiran.

Sebagai contoh dapat diambil perkawinan pria Islam dengan wanita 

ahli kitab, yaitu wanita Yahudi dan Kristen. Dalam mazhab Syafi'i ada 

pendapat bahwa wanita Kristen tidak boleh dikawini seorang pria muslim 

karena ia menganut keyakinan trinitas. Menumt mazhab lain, seorang pria 

Islam boleh kawin dengan wanita Kristen karena dia yaitu  ahli kitab dan

bukan m usyrikah  atau politeis. Ayat Alquran dengan jelas mengatakan 

bahwa orang Islam boleh mengambil wanita ahli kitab menjadi istri.

Alquran surah Al-Maa'idah (5) ayat 5 berbunyi :

D an  d iha la lkan  m engaw in i w an ita -w an ita  y a n g  m en jaga  kehorm a tan  

d i an ta ra  w an ita -w an ita  y a n g  berim an  dan  w an ita -w an ita  y a n g  

m en jaga  kehorm a tan  d i an ta ra  o rang -o rang  y a n g  d ib er i a l-K itab  

sebe lum  kamu, b ila  kam u  te lah  m em baya r  m as kaw in  m ereka  dengan  

m aksu d  m en ikah inya .

Dikarenakan ayat di atas tidak menjelaskan lebih lanjut ahli kitab mana 

yang dimaksud, timbullah perbedaan penafsiran tentang ahli kitab itu .

Semenjak masuknya bank Barat ke dalam Islam pada abad ke-19 

timbullah perbedaan pendapat mengenai haram atau tidaknya bunga bank. 

Yang tegas diharamkan dalam Alquran yaitu  riba (lihat Alquran Surah Al- 

Baqarah (2) ayat 275-278 dan Surah Ali' Imran (3) ayat 1 30). Ayat ini juga 

tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan riba. Yang 

menjadi pertanyaan apakah bunga bank masuk dalam kategori riba. Ada 

yang menganggapnya masuk kategori riba dan mengharamkan bunga bank. 

Di lain pihak menganggapnya bukan riba atau berpendapat bahwa bunga 

bank tidak haram.

Kesimpulan dari uraian di atas bahwa sepanjang masa timbul 

penjelasan dan penafsiran mengenai ajaran dasar dan prinsip-prinsip yang 

terkandung dalam Alquran. Penjelasan dan penafsiran para ulama, yang 

disebut ijtihad, makin lama makin banyak jumlahnya. Ijtihad ulama yang 

jauh lebih banyak dibandingkan  ayat-ayat Alquran itu sendiri, juga merupakan 

ajaran-ajaran Islam. Namun, karena ajaran yang berasal dari ijtihad ini 

yaitu  hasil pemikiran manusia, maka ajaran itu bersifat relatif dan tidak 

absolut.