Rabu, 29 Januari 2025

hukum islam 8

 



setujuan 

Bank negara kita .

Pasal 22

Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk 

Simpanan atau Investasi berdasar  Prinsip Syariah tanpa izin terlebih 

dahulu dari Bank negara kita , kecuali diatur dalam undang-undang lain.

Bagian Kedua

Kelayakan Penyaluran Dana 

Pasal 23

(1) Bank Syariah dan/atau UUS harus memiliki  keyakinan atas kemauan 

dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi 

seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau 

UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.

(2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 

Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama 

terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari 

calon Nasabah Penerima Fasilitas.

Bagian Ketiga

Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS 

Pasal 24

(1) Bank Umum Syariah dilarang :

a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip 

Syariah;

b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar 

modal;

c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan

d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen 

pemasaran produk asuransi syariah.

370

(2) UUS dilarang :

a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip 

Syariah;

b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar 

modal;

c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan

d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen 

pemasaran produk asuransi syariah.

Pasal 25

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang :

a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas 

pembayaran;

c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang 

asing dengan izin Bank negara kita ;

d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen 

pemasaran produk asuransi syariah;

e. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk 

untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat 

Syariah; dan

f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 21.

Pasal 26

(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan 

Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip 

Syariah.

(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh 

Majelis Ulama negara kita .

(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam 

Peraturan Bank negara kita .

(4) Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank negara kita  sebagaimana 

dimaksud pada ayat (3), Bank negara kita  membentuk komite perbankan 

syariah.

371

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, 

dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .

BAB V

PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS, 

DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI,

DAN TENAGA KERJA ASING

Bagian Kesatu

Pemegang Saham Pengendali 

Pasal 27

(1) Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji 

kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank negara kita .

(2) Pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan 

kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling 

banyak 10% (sepuluh persen).

(3) Dalam hal pemegang saham pengendali tidak menurunkan kepemilikan 

sahamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka :

a. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan 

dalam Rapat Umum Pemegang Saham;

b. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan 

sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya Rapat Umum 

Pemegang Saham;

c. deviden yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham 

pengendali paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya 

dibayarkan setelah pemegang saham pengendali itu  

mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada ayat

(1); dan

d. nama pemegang saham pengendali yang bersangkutan diumumkan 

kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang memiliki  

peredaran luas.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur 

dengan Peraturan Bank negara kita .

372

Bagian Kedua

Dewan Komisaris dan Direksi 

Pasal 28

Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, 

serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah 

diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundangundangan.

Pasal 29

(1) Dalam jajaran direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 28 wajib ada  1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk 

memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan 

Bank negara kita  dan peraturan perundang-undangan lainnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan 

Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank negara kita  dan 

peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .

Pasal 30

(1) Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji kemampuan 

dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank negara kita .

(2) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap komisaris dan direksi yang 

melanggar integritas dan tidak memenuhi kompetensi dilakukan oleh 

Bank negara kita .

(3) Komisaris dan direksi yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan 

wajib melepaskan jabatannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan 

Peraturan Bank negara kita .

Pasal 31

(1) Dalam menjalankan kegiatan Bank Syariah, direksi dapat mengangkat 

pejabat eksekutif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat eksekutif 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank 

negara kita .

373

Bagian Ketiga 

Dewan Pengawas Syariah

Pasal 32

(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank 

Umum Konvensional yang memiliki UUS.

(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis 

Ulama negara kita .

(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

bertugas Memberi  nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi 

kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas 

Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan 

Bank negara kita .

Bagian Keempat 

Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Pasal 33

(1) Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat memakai  

tenaga kerja asing.

(2) Tata cara penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- 

undangan.

BAB VI

TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN,

DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH

Bagian Kesatu

Tata Kelola Perbankan Syariah

Pasal 34

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang 

mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, 

profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.

374

(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai 

pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .

Bagian Kedua 

Prinsip Kehati-hatian

Pasal 35

(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib 

menerapkan prinsip kehati-hatian.

(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank negara kita  

laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi 

tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasar  prinsip 

akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, 

dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank negara kita .

(3) Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada 

ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.

(4) Bank negara kita  dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban 

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat 

Syariah.

(5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi 

kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank 

negara kita .

Pasal 36

Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, 

Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan 

Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan 

dananya.

Pasal 37

(1) Bank negara kita  menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum 

penyaluran dana berdasar  Prinsip Syariah, pemberian jaminan, 

penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain 

yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada

375

Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima 

Fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok 

yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.

(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh 

melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai 

dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank negara kita .

(3) Bank negara kita  menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum 

penyaluran dana berdasar  Prinsip Syariah, pemberian jaminan, 

penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang 

dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada:

a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih 

dari modal disetor Bank Syariah;

b. anggota dewan komisaris;

c. anggota direksi;

d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, 

dan huruf c;

e. pejabat bank lainnya; dan

f. perusahaan yang di dalamnya ada  kepentingan dari pihak 

sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.

(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh 

melebihi 20% (dua puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai 

dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank negara kita .

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh 

Bank negara kita .

Bagian Ketiga

Kewajiban Pengelolaan Risiko

Pasal 38

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip 

mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 

Peraturan Bank negara kita .

376

Pasal 39

Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai 

kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi 

Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.

Pasal 40

(1) Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, 

Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, 

baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasar  penyerahan secara 

sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasar  pemberian kuasa untuk 

menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli 

itu  wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 

(satu) tahun.

(2) Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian 

Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban 

Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.

(3) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat 

(1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan 

UUS, selisih kelebihan jumlah itu  harus dikembalikan kepada 

Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang 

langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan 

Bank negara kita .

BAB VII

RAHASIA BANK

Bagian Kesatu 

Cakupan Rahasia Bank

Pasal 41

Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai 

Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan 

Investasinya^

377

Bagian Kedua 

Pengecualian Rahasia Bank

Pasal 42

(1) Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank 

negara kita  atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan 

perintah tertulis kepada Bank agar Memberi  keterangan dan 

memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan 

Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat 

pajak.

(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus 

menyebutkan nama pejabat pajak, nama nasabah wajib pajak, dan kasus 

yang dikehendaki keterangannya.

Pasal 43

(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank 

negara kita  dapat Memberi  izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau 

penyidik lain yang diberi wewenang berdasar  undang-undang untuk 

memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan atau Investasi 

tersangka atau terdakwa pada Bank.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas 

permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik negara kita , 

Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, atau pimpinan instansi yang 

diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.

(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan 

nama dan jabatan penyidik, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau 

terdakwa, alasan diperlukannya keterangan, dan hubungan perkara 

pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.

Pasal 44

Bank wajib Memberi  keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 

dan Pasal 43.

Pasal 45

Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksi Bank yang 

bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan

378

keuangan Nasabah yang bersangkutan dan Memberi  keterangan lain yang 

relevan dengan perkara itu .

Pasal 46

(1) Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi Bank dapat 

memberitahukan keadaan keuangan Nasabahnya kepada Bank lain.

(2) Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank negara kita .

Pasal 47

Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau 

Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis, Bank wajib Memberi  

keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor 

pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah 

Penyimpan atau Nasabah Investor itu .

Pasal 48

Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal 

dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor 

yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan 

Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor itu .

Pasal 49

Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46, 

berhak untuk mengetahui isi keterangan itu  dan meminta pembetulan 

jika ada  kesalahan dalam keterangan yang diberikan.

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 50

Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Bank 

negara kita .

379

Pasal 51

(1) Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan yang 

meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas 

aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang 

menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan 

terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek 

lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS.

(2) Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh 

Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 

dengan Peraturan Bank negara kita .

Pasal 52

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala keterangan dan 

penjelasan mengenai usahanya kepada Bank negara kita  menurut tata 

cara yang ditetapkan dengan Peraturan Bank negara kita .

(2) Bank Syariah dan UUS, atas permintaan Bank negara kita , wajib 

Memberi  kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas- 

berkas yang ada padanya, serta wajib Memberi  bantuan yang 

diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala 

keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank 

Syariah dan UUS yang bersangkutan.

(3) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) dan ayat (2), Bank negara kita  berwenang :

a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang 

terkait dengan Bank;

b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari 

setiap pihak yang menurut penilaian Bank negara kita  memiliki 

pengaruh terhadap Bank; dan

c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, 

baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.

(4) Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS 

yang diperoleh berdasar  ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 

(1), ayat (2), dan ayat (3) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.

Pasal 53

(1) Bank negara kita  dapat menugasi kantor akuntan puhlik atau pihak 

lainnya untuk dan atas nama Bank negara kita , melaksanakan 

pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).

380

(2) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .

Pasal 54

(1) Dalam hal Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan 

kelangsungan usahanya, Bank negara kita  berwenang melakukan 

tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan antara lain :

a. membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, 

komisaris, direksi, dan pemegang saham;

b. meminta pemegang saham menambah modal;

c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris 

dan/atau direksi Bank Syariah;

d. meminta Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran dana yang 

macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan 

modalnya;

e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan 

dengan Bank Syariah lain;

f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia 

mengambil alih seluruh kewajibannya;

g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau 

sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain; dan/atau

h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta 

dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain.

(2) bila  tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum cukup 

untuk mengatasi kesulitan yang dialami Bank Syariah, Bank negara kita  

menyatakan Bank Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan 

penanganannya ke Lembaga Penjamin Simpanan untuk diselamatkan 

atau tidak diselamatkan.

(3) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan Bank Syariah 

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diselamatkan, Bank 

negara kita  atas permintaan Lembaga Penjamin Simpanan mencabut izin 

usaha Bank Syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan oleh 

Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan ketentuan peraturan 

perundangundangan.

(4) Atas permintaan Bank Syariah, Bank negara kita  dapat mencabut izin 

usaha Bank Syariah setelah Bank Syariah dimaksud menyelesaikan 

seluruh kewajibannya.

381

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan 

izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur 

dengan Peraturan Bank negara kita .

BAB IX

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 55

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan 

dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa 

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa 

dilakukan sesuai dengan isi Akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh 

bertentangan dengan Prinsip Syariah.

BAB X

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 56

Bank negara kita  menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau 

UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, 

dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang 

memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip 

Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi 

kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 57

(1) Bank negara kita  mengenakan sanksi administratif kepada Bank Syariah 

atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas 

Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum 

Konvensional yang memiliki UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 

44.

(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran 

kerahasiaan bank.

382

Pasal 58

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini 

yaitu :

a. denda uang;

b. teguran tertulis;

c. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;

d. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;

e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang 

tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan;

f. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum 

Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan 

mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang 

Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan 

Bank negara kita ;

g. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham 

Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS 

dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau

h. pencabutan izin usaha.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank 

negara kita .

BAB XI

KETENTUAN PIDANA 

Pasal 59

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau 

kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi 

berdasar  Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank negara kita  

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana 

dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 

(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 

Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak 

Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 

oleh badan hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud

383

dilakukan terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan 

perbuatan itu dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam 

perbuatan itu.

Pasal 60

(1) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis 

atau izin dari Bank negara kita  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 

dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS, atau pihak terafiliasi untuk 

Memberi  keterangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 

2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana deinda paling 

sedikit Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak 

Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum 

Konvensional yang memiliki UUS, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang 

dengan sengaja Memberi  keterangan yang wajib dirahasiakan 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara 

paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan 

pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) 

dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 61

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank 

Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak 

Memberi  keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling 

singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda 

paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak 

Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 62

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau

Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:

a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau

b. tidak Memberi  keterangan atau tidak melaksanakan perintah 

yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan

384

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak 

Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau

Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang la la i:

a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau

b. tidak Memberi  keterangan atau tidak melaksanakan perintah 

yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 

dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) tahun 

dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit 

Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak 

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 63

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau

Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja :

a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam 

pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan 

usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank 

Syariah atau UUS;

b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak 

dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, 

dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi 

atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau

c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau 

menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau 

dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau 

laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, 

atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, 

menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan itu  

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan 

paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 

RplO.OOO.O0O.OOO,OO (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak 

Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau

Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja :

385

a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk 

menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, 

uang, atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau 

untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka :

1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain 

dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas 

penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;

2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat 

wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti 

kewajiban lainnya;

3. Memberi  persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan 

penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dananya 

pada Bank Syariah atau UUS; dan/atau

b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk 

memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan 

dalam Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling 

singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan 

pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar 

rupiah) dan paling, banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar 

rupiah).

Pasal 64

Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah 

yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum 

Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang- 

Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun 

dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit 

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak

Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 65

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, 

direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang 

memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang 

mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah- 

langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau 

UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana

386

penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun 

dan pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar 

rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

Pasal 66

(1) Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum 

Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja :

a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang 

ini dan perbuatan itu  telah mengakibatkan kerugian bagi 

Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan keadaan keuangan 

Bank Syariah atau UUS tidak sehat;

b. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang 

dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang 

ditugasi oleh dewan komisaris;

c. Memberi  penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan 

melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank 

Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga 

membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; 

dan/atau

d. tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk 

memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan 

Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana 

ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau ketentuan yang 

berlaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) 

tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling 

sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak 

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum 

Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan 

penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana 

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 

(delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 

(dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat 

miliar rupiah).

387

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 67

(1) Bank Syariah atau UUS yang telah memiliki izin usaha pada saat 

Undang-Undang ini mulai berlaku dinyatakan telah memperoleh izin 

usaha berdasar  Undang-Undang ini.

(2) Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib 

menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini paling 

lama 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.

Pasal 68

(1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai 

asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari 

total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak 

berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional 

dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS itu  menjadi Bank 

Umum Syariah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan sanksi bagi Bank 

Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP 

Pasal 69

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai 

Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 

tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik negara kita  Tahun 1992 

Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita  Nomor 3472) 

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 

(Lembaran Negara Republik negara kita  Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan 

Lembaran Negara Republik negara kita  Nomor 3790) beserta peraturan 

pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan 

dengan Undang-Undang ini.

388

Pasal 70

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- 

Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 

negara kita .

Disahkan di Jakarta 

pada tanggal 16 Juli 2008

PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 16 Juli 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 

REPUBLIK negara kita , 

ttd

ANDIMATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  TAHUN 2008 NOMOR 94

Salinan sesuai dengan aslinya 

SEKRETARIAT NEGARA RI 

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan 

Bidang Perekonomian dan Industri,

ttd.

Setio Sapto Nugroho

389

390

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK  negara kita   

NOMOR 21 TAHUN 2008  

TENTANG

PERBANKAN SYARIAH

L UMUM

Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 

Negara Republik negara kita  Tahun 1945, tujuan pembangunan nasional 

yaitu  terciptanya warga  adil dan makmur, berdasar  

demokrasi ekonomi, dengan mengembangkan sistem ekonomi yang 

bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan 

tujuan itu , pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan 

pada perekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, 

mandiri, handal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah 

perekonomian internasional.

Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif 

dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan 

kontribusi semua elemen warga  untuk menggali berbagai potensi 

yang ada di warga  guna mendukung proses akselerasi ekonomi 

dalam upaya merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu 

bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi warga  dalam 

perekonomian nasional itu  yaitu  pengembangan sistem ekonomi 

berdasar  nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip- 

prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah 

berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, 

dan keuniversalan ( r a h m a t a n  l i l  ‘a l a m i r i ) .  Nilai-nilai itu 

391

diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip 

Syariah yang disebut Perbankan Syariah.

Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang 

berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam 

yaitu  larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan memakai  

sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank 

Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena 

semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi 

risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang 

antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan 

mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan 

tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh 

pengelola modal.

Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional 

memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat Memberi  

kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. 

Salah satu sarana pendukung vital yaitu  adanya pengaturan yang 

memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan itu  di 

antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. 

Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan 

dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga itu . Pengaturan 

mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 

1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- 

Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang 

mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, 

di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang 

cukup pesat.

Guna menjamin kepastian hukum bagi s t a k e h o l d e r s  dan sekaligus 

Memberi  keyakinan kepada warga  dalam memakai  

produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan 

Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, 

kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah 

maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. 

Sementara itu, untuk Memberi  keyakinan pada warga  yang 

masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama 

ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip 

Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur 

riba, m a i s i r ,  g h a r a r ,  h a r a m ,  dan z a l i m .

392

Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, 

dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah 

{ s y a r i a h  c o m p l i a n c e ) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama 

negara kita  (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas 

Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah 

dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan 

MUI ke dalam Peraturan Bank negara kita , di dalam internal Bank 

negara kita  dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya 

terdiri atas perwakilan dari Bank negara kita , Departemen Agama, dan 

unsur warga  yang komposisinya berimbang.

Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada 

perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan 

Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan 

penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, 

lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan 

Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak.

Untuk menerapkan substansi undang-undang perbankan syariah ini, 

maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih berada 

dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan, 

bila  telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkan 

untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan 

memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan 

Bank negara kita .

Sehubungan dengan hal itu , pengaturan tersendiri bagi Perbankan 

Syariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjamin 

terpenuhinya prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank bagi Bank 

Syariah, dan yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasi 

dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap Bank 

Syariah dalam undang-undang tersendiri.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, 

yaitu  kegiatan usaha yang tidak mengandung unsure :

393

a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) 

antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang 

tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan ( f a d h l ), 

atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersya­

ratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana 

yang diterima melebihi pokok pinjaman karena beijalannya 

waktu { n a s i  ’a h ) \

b. m a i s i r ,  yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu 

keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;

c. g h a r a r ,  yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak 

dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat 

diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain 

dalam syariah;

d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; 

atau

e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi 

pihak lainnya.

Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” yaitu  kegiatan 

ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, 

pemerataan, dan kemanfaatan.

Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” yaitu  pedoman 

pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan 

yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan 

perundang-undangan.

Pasal 3

Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan 

nasional, Perbankan Syariah tetap berpegang pada Prinsip Syariah 

secara menyeluruh { k a f f a h )  dan konsisten (i s t i q a m a h ).

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dana sosial lainnya”, antara lain 

yaitu  penerimaan Bank yang berasal dari pengenaan sanksi 

terhadap Nasabah ( t a ’z i r ) .

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank negara kita  

sekurang-kurangnya memuat tentang:

a. susunan organisasi dan kepengurusan;

b. modal kerja;

c. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan

d. kelayakan usaha.

Ayat (4)

Yang diwajibkan mencantumkan kata “syariah” hanya Bank 

Syariah yang mendapatkan izin setelah berlakunya Undang- 

Undang ini.

Penulisan kata “syariah” ditempatkan setelah kata “bank” 

atau setelah nama bank.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

395

Pasal 6

Ayat(l)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kantor di bawah Kantor Cabang” 

yaitu  kantor cabang pembantu atau kantor kas yang 

kegiatan usahanya membantu kantor induknya.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Hal-hal yang dapat diatur dalam Peraturan Bank negara kita 

antara la in :

a. pemberhentian anggota direksi dan komisaris yang tidak 

lulus uji kemampuan dan kepatutan;

b. pengalihan kepemilikan saham pengendali bank yang 

harus mendapatkan persetujuan Bank negara kita ;

c. pengalihan izin usaha dari nama lama ke nama baru, 

perubahan modal dasar, dan perubahan status menjadi 

Bank terbuka harus mendapatkan persetujuan Bank 

negara kita ;

d. perubahan modal disetor Bank yang meliputi 

penambahan, pengurangan, dan komposisi harus 

mendapatkan persetujuan Bank negara kita ;

e. pelarangan penjaminan saham yang dimiliki oleh 

pemegang saham pengendali.

396

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Dalam hal salah satu pihak yang akan mendirikan Bank 

Umum Syariah yaitu  badan hukum asing, yang 

bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh 

rekomendasi dari otoritas perbankan negara asal. 

Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat 

keterangan bahwa badan hukum asing yang 

bersangkutan memiliki  reputasi yang baik dan tidak 

pernah melakukan perbuatan tercela di bidang 

perbankan.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

397

Pasal 15

Perubahan kepemilikan Bank Syariah yang tidak mengakibatkan 

perubahan pemegang saham pengendali cukup dilaporkan secara 

tertulis kepada Bank negara kita .

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Bank negara kita  

mencakup antara la in :

a. minimum kecukupan modal;

b. persiapan sumber daya manusia;

c. susunan organisasi dan kepengurusan; dan

d. kelayakan usaha.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Akad w a d i ’a h ”  yaitu  Akad 

penitipan barang atau uang antara pihak yang 

memiliki  barang atau uang dan pihak yang diberi 

kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, 

keamanan, serta keutuhan barang atau uang.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “Akad m u d h a r a b a h ” dalam 

menghimpun dana yaitu  Akad kerja sama antara pihak 

pertama (m a l i k , s h a h i b u l  m a l ,  atau Nasabah) sebagai 

pemilik dana dan pihak kedua { ‘a m i l ,  m u d h a r i b ,  atau 

Bank Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana 

dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan 

kesepakatan yang dituangkan dalam Akad.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “Akad m u d h a r a b a h ”  dalam 

Pembiayaan yaitu  Akad keija sama suatu usaha antara 

pihak pertama (m a l i k , s h a h i b u l  m a l ,  atau Bank Syariah) 

yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua 

( ‘a m i l ,  m u d h a r i b ,  atau Nasabah) yang bertindak selaku 

pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha 

sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam 

Akad, sedang  kerugian ditanggung sepenuhnya oleh 

Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan 

kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi 

peijanjian.

Yang dimaksud dengan “Akad m u s y a r a k a h ' ’ yaitu  

Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk 

suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak 

Memberi  porsi dana dengan ketentuan bahwa 

keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, 

sedang  kerugian ditanggung sesuai dengan porsi 

dana masing-masing.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “Akad m u r a b a h a h ” yaitu  

Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan 

harga belinya kepada pembeli dan pembeli 

membayarnya dengan harga yang lebih sebagai 

keuntungan yang disepakati.

Yang dimaksud dengan “Akad s a l a m ”  yaitu  Akad 

Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan 

pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu 

dengan syarat tertentu yang disepakati.

Yang dimaksud dengan “Akad i s t i s h n a n '’ yaitu  Akad 

Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan 

pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan 

persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan 

atau pembeli (' m u s t a s h n i*) dan penjual atau pembuat 

( s h a n i  ’j.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “Akad q a r d h ” yaitu  Akad 

pinjaman dana kepada Nasabah dengaa ketentuan

399

bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang 

diterimanya pada waktu yang telah disepakati.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “Akad i j a r a h ” yaitu  Akad 

penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna 

atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasar  

transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan 

kepemilikan barang itu sendiri.

Yang dimaksud dengan “Akad i j a r a h  m u n t a h i y a  

b i t t a m l i k ” yaitu  Akad penyediaan dana dalam rangka 

memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang 

atau jasa berdasar  transaksi sewa dengan opsi 

pemindahan kepemilikan barang.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “Akad h a w a l a h ”  yaitu  Akad 

pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada pihak 

lain yang wajib menanggung atau membayar.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Yang dimaksud dengan “transaksi nyata” yaitu  

transaksi yang dilandasi dengan aset yang berwujud. 

Yang dimaksud dengan “Akad k a f a l a h ” yaitu  Akad 

pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada 

pihak lain, di mana pemberi jaminan ( k a j i l )  bertanggung 

jawab atas pembayaran kembali utang yang menjadi hak 

penerima jaminan ( m a k f u l ) .

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf 1

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Cukup jelas.

Huruf o

Yang dimaksud dengan “Akad w a k a l a h ” yaitu  Akad 

pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk 

melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.

Huruf p

Cukup jelas.

Huruf q

Yang dimaksud dengan “kegiatan lain” yaitu , antara 

lain, melakukan fungsi sosial dalam bentuk menerima 

dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, serta dana 

kebajikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” yaitu  

penanaman dana Bank Umum Syariah dalam bentuk 

saham pada perusahaan yang bergerak dalam bidang 

keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam 

bentuk surat berharga yang dapat dikonversi menjadi 

saham ( c o n v e r t i b l e  b o n d s ) atau jenis transaksi tertentu 

berdasar  Prinsip Syariah yang berakibat Bank 

Umum Syariah memiliki atau akan memiliki saham 

pada perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan 

syariah.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara” 

yaitu  penyertaan modal Bank Umum Syariah, antara 

lain, berupa pembelian saham dan/atau konversi

401

pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan Nasabah 

untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau 

piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana 

dimaksud dalam ketentuan Bank negara kita .

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Kemauan berkaitan dengan iktikad baik dari Nasabah 

Penerima Fasilitas untuk membayar kembali penggunaan 

dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan/atau UUS. 

Kemampuan berkaitan dengan keadaan dan/atau aset 

Nasabah Penerima Fasilitas sehingga mampu untuk

membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh 

Bank Syariah dan/atau UUS.

Ayat (2)

Penilaian watak calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama 

didasarkan kepada hubungan yang telah teijalin antara Bank 

Syariah dan/atau UUS dan Nasabah atau calon Nasabah yang 

bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain 

yang dapat dipercaya sehingga Bank Syariah dan/atau UUS 

dapat menyimpulkan bahwa calon Nasabah Penerima 

Fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak 

menyulitkan Bank Syariah dan/atau UUS di kemudian hari. 

Penilaian kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas 

terutama Bank harus meneliti tentang keahlian Nasabah 

Penerima Fasilitas dalam bidang usahanya dan/atau 

kemampuan manajemen calon Nasabah sehingga Bank 

Syariah dan/atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan 

dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.

Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon Nasabah 

Penerima Fasilitas, terutama Bank Syariah dan/atau UUS 

harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara 

keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun 

perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat 

diketahui kemampuan permodalan calon Nasabah Penerima 

Fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha 

calon Nasabah yang bersangkutan.

Dalam melakukan penilaian terhadap Agunan, Bank Syariah 

dan/atau UUS harus menilai barang, proyek atau hak tagih 

yang dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan yang 

bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi 

risiko yang ditambahkan sebagai Agunan tambahan, apakah 

sudah cukup memadai sehingga bila  Nasabah Penerima 

Fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, Agunan 

itu  dapat dipakai  untuk menanggung pembayaran 

kembali Pembiayaan dari Bank Syariah dan/atau UUS yang 

bersangkutan.

Penilaian terhadap proyek usaha calon Nasabah Penerima 

Fasilitas, Bank Syariah terutama harus melakukan analisis 

mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar 

negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan

403

datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari 

hasil proyek atau usaha calon Nasabah yang akan dibiayai 

dengan fasilitas Pembiayaan.

Pasal 24

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Bank Umum Syariah dapat memasarkan produk 

asuransi melalui keija sama dengan perusahaan asuransi 

yang melakukan kegiatan usaha berdasar  Prinsip 

Syariah. Semua tindakan Bank Umum Syariah yang 

berkaitan dengan transaksi asuransi yang dipasarkan 

melalui kerja sama dimaksud menjadi tanggung jawab 

perusahaan asuransi syariah.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

UUS dapat memasarkan produk asuransi melalui keija 

sama dengan perusahaan asuransi yang melakukan 

kegiatan usaha berdasrkan Prinsip Syariah. Semua 

tindakan UUS yang berkaitan dengan transaksi asuransi 

yang dipasarkan melalui keija sama dimaksud menjadi 

tanggung jawab perusahaan asuransi syariah.

404

Pasal 25

Huruf a

Usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah antara lain 

usaha yang dianggap riba, m a i s i r ,  g h a r a r ,  haram, dan zalim.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat memasarkan produk 

asuransi melalui keqa sama dengan perusahaan asuransi 

syariah. Semua tindakan Bank yang berkaitan dengan 

transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerja sama 

dimaksud menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi 

syariah.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Komite perbankan syariah beranggotakan unsur-unsur dari 

Bank negara kita , Departemen Agama, dan unsur warga  

dengan komposisi yang berimbang, memiliki keahlian di 

bidang syariah dan berjumlah, paling banyak 11 (sebelas) 

orang.

Ayat (5)

Cukup jelas.

405

Pasal 27

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali” 

yaitu  badan hukum, orang perseorangan, dan/atau 

kelompok usaha yang :

a. memiliki saham Bank Syariah sebesar 25% (dua puluh 

lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang 

dikeluarkan dan memperoleh hak suara; atau

b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% 

(dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang 

dikeluarkan dan memiliki  hak suara, tetapi yang 

bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan 

pengendalian perusahaan atau bank, baik secara 

langsung maupun tidak langsung.

Pengendalian merupakan suatu tindakan yang bertujuan 

untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan 

perusahaan, termasuk bank, dengan cara apa pun, baik secara 

langsung maupun tidak langsung.

Pengendalian terhadap Bank Syariah dapat dilakukan dengan 

cara-cara, antara lain, sebagai berikut:

a. memiliki secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% 

(dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;

b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau 

memengaruhi kebijakan Bank Syariah;

c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki 

saham yang bila  dipakai  akan menyebabkan 

pihak itu  memiliki dan/atau mengendalikan secara 

sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima 

persen) atau lebih saham Bank;

d. melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk 

mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank 

{ a c t i n g  i n  c o n c e r t ) dengan atau tanpa perjanjian tertulis 

dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama 

memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima 

persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik langsung 

maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian 

tertulis;

e. melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk 

mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank

406

( a c t i n g  i n  c o n c e r t )  dengan atau tanpa peijanjian tertulis 

dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama 

memiliki  hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki 

saham, yang bila  hak itu  dilaksanakan 

menyebabkan pihak-pihak itu  memiliki dan/atau 

mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih 

saham Bank Syariah;

f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang 

secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan 

secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau 

lebih saham Bank;

g. memiliki  kewenangan untuk menyetujui dan/atau 

memberhentikan pengurus Bank Syariah;

h. secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan 

manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah;

i. melakukan pengendalian terhadap perusahaan induk 

atau perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank 

Syariah; dan/atau

j. melakukan pengendalian terhadap pihak yang 

melakukan pengendalian sebagaimana dimaksud pada 

huruf a sampai dengan huruf i.

Uji kemampuan dan kepatutan sepenuhnya merupakan 

kewenangan Bank negara kita  untuk menilai kompetensi, 

integritas, dan kemampuan keuangan pemegang saham 

pengendali dan/atau pengurus bank. Mengingat tujuan uji 

kemampuan dan kepatutan yaitu  untuk memperoleh 

pemegang saham pengendali dan pengurus bank yang dapat 

menjaga kepercayaan warga  terhadap perbankan, 

penilaian dalam rangka uji kemampuan dan kepatutan oleh 

Bank negara kita  tidak perlu dipertanggungjawabkan.

Ayat (2)

Kewajiban menurunkan kepemilikan saham bagi Pemilik 

Bank yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan yaitu  

dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dinyatakan tidak 

lulus uji kemampuan dan kepatutan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

407

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 28

Yang termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan 

yaitu  Peraturan Bank negara kita .

Pokok-pokok pengaturan tugas direksi Bank Syariah dalam 

anggaran dasar antara lain :

a. tugas dan tanggung jawab;

b. pelaporan; dan

c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 29

A yat(l)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pokok-pokok pengaturan tugas direktur yaitu  :

a. tugas dan tanggung jawab;

b. pelaporan; dan

c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 30

Ayat (1)

Uji kemampuan dan kepatutan bertujuan untuk menjamin 

kompetensi, kredibilitas, integritas, dan pelaksanaan tata 

kelola yang sehat ( g o o d  c o r p o r a t e  g o v e r n a n c e ) dari pemilik, 

pengurus bank, dan pengawas syariah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

408

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif’ yaitu  pejabat 

yang bertanggung jawab langsung kepada direksi dan/atau 

memiliki  pengaruh terhadap kebijakan dan operasional 

Bank Syariah seperti kepala divisi, pemimpin Kantor 

Cabang, atau kepala satuan kerja audit internal.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang diatur dalam Peraturan Bank negara kita  sekurang- 

kurangnya meliputi:

a. ruang lingkup, tugas, dan fungsi dewan pengawas 

syariah;

b. jumlah anggota dewan pengawas syariah;

c. masa kerja;

d. komposisi keahlian;

e. maksimal jabatan rangkap; dan

f. pelaporan dewan pengawas syariah.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

409

Pasal 35

Ayat (1)

Dalam rangka menjamin terlaksananya pengambilan 

keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan 

prinsip kehati-hatian, Bank memiliki dan menerapkan, antara 

lain, sistem pengawasan intern.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “prinsip akuntansi syariah yang 

berlaku umum” yaitu  standar akuntansi syariah yang 

ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.

Ayat (3)

Kantor akuntan publik yang dimaksud yaitu  kantor akuntan 

publik yang memiliki akuntan dengan keahlian bidang 

akuntansi syariah.

Ayat (4)

Dalam Memberi  pengecualian, Bank negara kita  memper­

hatikan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang 

bersangkutan.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Ayat (1)

Penyaluran dana berdasar  Prinsip Syariah oleh Bank 

Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau 

kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh 

terhadap kesehatan Bank Syariah dan UUS. Mengingat 

bahwa penyaluran dana dimaksud bersumber dari dana 

warga  yang disimpan pada Bank Syariah dan UUS, 

risiko yang dihadapi Bank Syariah dan UUS dapat 

berpengaruh pula kepada keamanan dana warga  

itu .

Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan mening­

katkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko

410

dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian 

pembiayaan berdasar  Prinsip Syariah, pemberian jaminan 

ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat 

pada Nasabah debitur atau kelompok Nasabah debitur 

tertentu.

Ayat (2)

Pengertian “modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan 

yang ditetapkan oleh Bank negara kita ” sesuai dengan 

pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan 

bank.

Batas maksimum yang dimaksud diperuntukkan bagi 

masing-masing Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok 

Nasabah Penerima Fasilitas termasuk perusahaan-perusahaan 

dalam kelompok yang sama.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “keluarga” yaitu  hubungan 

sampai dengan derajat kedua, baik menurut garis 

keturunan lurus maupun ke samping termasuk mertua, 

menantu, dan ipar.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pengertian “modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan 

yang ditetapkan oleh Bank negara kita ” sesuai dengan 

pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan 

bank.

411

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 38

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” yaitu  

serangkaian prosedur dan metodologi yang dipakai  oleh 

perbankan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, 

dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha 

bank.

Prinsip mengenal Nasabah { k n o w  y o u r  c u s t o m e r  p r i n c i p l e )  

merupakan prinsip yang harus diterapkan oleh perbankan 

yang sekurang-kurangnya mencakup kegiatan penerimaan 

dan identifikasi Nasabah serta pemantauan kegiatan transaksi 

Nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. 

Perlindungan Nasabah dilakukan antara lain dengan cara 

adanya mekanisme pengaduan Nasabah, meningkatkan 

transparansi produk, dan edukasi terhadap Nasabah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 39

Penjelasan yang diberikan kepada Nasabah mengenai 

kemungkinan timbulnya risiko kerugian Nasabah dimaksudkan 

untuk menjamin transparansi produk dan jasa Bank.

bila  informasi itu  telah disediakan, Bank dianggap telah 

melaksanakan ketentuan ini.

Pasal 40

A yat(l)

Pembelian Agunan oleh Bank melalui pelelangan 

dimaksudkan untuk membantu Bank agar dapat 

mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Penerima 

Fasilitasnya. Dalam hal bank sebagai pembeli Agunan 

Nasabah Penerima Fasilitasnya, status Bank yaitu  sama 

dengan pembeli bukan Bank lainnya.

Bank dimungkinkan membeli Agunan di luar pelelangan 

dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian 

kewajiban Nasabah Penerima Fasilitasnya.

Batas waktu 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan 

pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini 

merupakan jangka waktu yang wajar untuk menjual aset 

Bank.

Agunan yang dapat dibeli oleh Bank yaitu  Agunan yang 

pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka 

waktu tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan 

Peraturan Bank negara kita  memuat antara lain :

a. Agunan yang dapat dibeli oleh Bank Syariah dan UUS 

yaitu  Agunan yang pembiayaannya telah dikategori­

kan macet selama jangka waktu tertentu;

b. Jangka waktu pencairan Agunan yang telah dibeli.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “memperlihatkan bukti tertulis”, 

termasuk menyampaikan keterangan atau fotokopi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi 

wewenang untuk melakukan penyidikan” yaitu  pimpinan

413

departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen 

setingkat menteri.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Pembinaan yang dilakukan Bank negara kita , antara lain, mengenai 

aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji 

kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta 

aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank 

Syariah dan UUS.

Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (o f f - s i t e  

s u p e r v i s i o n ) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung 

(o n - s i t e  s u p e r v i s i o n )  dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank 

yang bersangkutan.

Pasal 51

Ayat (1)

Bank Syariah dan UUS perlu menjaga tingkat kesehatannya 

dalam rangka memelihara kepercayaan warga .

414

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu  segala 

jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun 

elektronis, yang terkait dengan objek pengawasan Bank 

negara kita .

Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait 

dengan Bank” yaitu  setiap bagian ruangan dari kantor 

bank dan tempat lain di luar bank yang terkait dengan 

objek pengawasan Bank negara kita .

Huruf b

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu  segala 

jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronis 

yang terkait dengan objek pengawasan Bank negara kita . 

Yang dimaksud dengan “setiap pihak” yaitu  orang 

atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap 

pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik 

langsung maupun tidak langsung, antara lain, u l t i m a t e  

s h a r e h o l d e r  atau pihak tertentu yang namanya tidak 

tercantum sebagai pegawai, pengurus atau pemegang 

saham bank tetapi dapat memengaruhi kegiatan 

operasional bank atau keputusan manajemen bank.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan maupun 

rekening Pembiayaan” yaitu  rekening-rekening, baik 

yang ada pada Bank yang diawasi/diperiksa maupun 

pada Bank lain, yang terkait dengan objek 

pengawasan/pemeriksaan Bank negara kita .

415

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” yaitu  pihak yang 

menurut penilaian Bank negara kita  memiliki kompetensi 

untuk melaksanakan pemeriksaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 54

A yat(l)

Keadaan suatu Bank dikatakan mengalami kesulitan yang 

membahayakan kelangsungan usahanya bila  berdasar  

penilaian Bank negara kita , kondisi usaha Bank semakin 

memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya 

permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta 

pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasar  prinsip 

kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.

Huruf a

Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan” 

antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus 

( t a n t i e m ) ,  pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau 

kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

416

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “pihak lain” yaitu  pihak di 

luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan 

usaha lain, maupun individu yang memenuhi 

persyaratan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 55

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan 

sesuai dengan isi Akad” yaitu  upaya sebagai berikut:

a. musyawarah;

b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyamas) 

atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 56

Pada dasarnya sanksi administratif dikenakan terhadap anggota 

komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan 

kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administratif

417

dikenakan secara kolektif bila  kesalahan itu  dilakukan 

secara kolektif.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Ayat (1)

UUS yang telah memiliki izin usaha dalam ketentuan ini 

yaitu  UUS yang sudah ada berdasar  izin pembukaan 

Kantor Cabang Syariah pada Bank Umum Konvensional.

418

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  NOMOR 4867

419


PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN 

Hukum Kewarisan

Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan 

hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan 

menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan 

berapa bagiannya masing-masing.

Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, 

disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat 

manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan 

ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Ulahi. Aturan 

hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan 

kebutuhan warga  dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu 

system hukum kewarisan yang sempurna.

Sejarah Hukum Kewarisan Islam

Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan 

zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat 

dipaparkan sebagai berikut:

1. Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan 

tatacara pembagian warisan dalam warga  yang didasarkan 

atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya 

diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang 

sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna 

mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan 

serta merampas harta peperangan.

2. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena 

dipandang tidak mampu memangui senjata guna mempertahankan 

kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas 

harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ 

atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris 

secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam 

dengan turunnya Surat An Nisa’, Ayat 19 yang melarang

421

menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat 

itu  Allah SWT. Berfirman :

“H a i  o r a n g - o r a n g  y a n g  b e r i m a n ,  t i d a k  h a l a l  b a g i  k a m u

m e m p u s a k a i  w a n i t a  d e n g a n  j a l a n  p a k s a

3. Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan 

dasar untuk saling mewarisi. bila  salah seorang dari mereka 

yang telah mengadakan peijanjian bersaudara itu meninggal dunia 

maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 

1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah 

sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi 

berdasar  janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.

4. Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga 

dijadikan dasar untuk saling mewarisi. bila  anak angkat itu 

telah dewasa maka ia memiliki  hak untuk sepenuhnya mewarisi 

harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan 

pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.

5. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke 

Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara 

Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan 

hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin 

dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.

6. Dari paparan itu  di atas dapat disimpulkan bahwa dasar 

untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah yaitu  :

a. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan

b. Adanya pengangkatan anak

c. Adanya janji setia untuk bersaudara

Ketiga jenis ahli waris itu  disyaratkan harus laki-laki dan 

sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak 

dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam 

di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin 

dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan 

dasar untuk saling mewarisi.

7. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya 

pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah 

inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang 

ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan 

yang harus ditaati oleh setiap muslim.

422

8. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat 

mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) 

untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka 

memiliki  hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun 

banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam 

Syari’at Islam. Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-Nya 

dalam Surat An Nisa’ ayat 7, yang artinya sebagai berikut:

’ ’B a g i  o r a n g  l a k i - l a k i  a d a  h a k  ( b a g i a n )  d a r i  h a r t a  

p e n i n g g a l a n  i b u ,  b a p a k ,  d a n  k e r a b a t n y a ;  d a n  b a g i  o r a n g  

p e r e m p u a n  j u g a  a d a  h a k  ( b a g i a n )  d a r i  h a r t a  p e n i n g g a l a n  

i b u ,  b a p a k ,  d a n  k e r a b a t n y a ,  b a i k  s e d i k i t  a t a u  b a n y a k  

m e n u r u t  b a g i a n  y a n g  t e l a h  d i t e t a p k a n  ” .

Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa’ itu pula Allah SWT. 

Berfirman yang artinya:

’’A l l a h  m e n s y a r i ’a t k a n  b a g i m u  t e n t a n g  ( p e m b a g i a n  p u s a k a  

u n t u k )  a n a k - a n a k m u ,  y a i t u  b a h w a  b a g i a n  s e o r a n g  a n a k  l a k i -  

l a k i  s a m a  d e n g a n  b a g i a n  d u a  o r a n g  a n a k  p e r e m p u a n  ” .

9. Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara 

(janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al 

Ahzab, yang artinya:

”..... d a n  o r a n g - o r a n g  y a n g  m e m p u n y a i  h u b u n g a n  d a r a h

s e b a g i a n n y a  a d a l a h  l e b i h  b e r h a k  d a r i p a d a  s e b a g i a n  y a n g  

l a i n  d i  d a l a m  k i t a b  A l l a h  d a r i p a d a  o r a n g - o r a n g  m u k m i n  d a n  

o r a n g - o r a n g  M u h a j i r i n ,  k e c u a l i  k a l a u  k a m u  m a u  b e r b u a t  

b a i k  k e p a d a  s a u d a r a - s a u d a r a m u .....”

10. Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan 

dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :

”..... d a n  T u h a n  t i d a k  m e n j a d i k a n  a n a k - a n a k  a n g k a t m u n

s e b a g a i  a n a k  k a n d u n g m u  s e n d i r i .  Y a n g  d e m i k i a n  i t u  

h a n y a l a h  p e r k a t a a n m u  d i  m u l u t m u  s a j a .  S e d a n g  A l l a h  

m e n g a t a k a n  y a n g  s e b e n a r n y a  d a n  m e n u n j u k k a n  j a l a n  ( y a n g  

b e n a r ) .  P a n g g i l l a h  m e r e k a  d e n g a n  m e m a k a i  n a m a - n a m a  

a y a h n y a  ( y a n g  s e b e n a r n y a )  s e b a b  y a n g  d e m i k i a n  i t u  l e b i h  

a d i l  d i  s i s i  A l l a h .  J i k a  k a m u  t i d a k  m e n g e t a h u i  a y a h n y a  m a k a  

( p a n g g i l l a h  m e r e k a  s e p e r t i  m e m a n g g i l )  s a u d a r a - s a u d a r a m u  

s e a g a m a  d a n  m a u l a - m a u l a m u  ( y a k n i  o r a n g - o r a n g  y a n g  

b e r a d a  d i  b a w a h  p e m e l i h a r a a n m u )  "

423

Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula 

bahwa:

”M u h a m m a d  i t u  s e k a l i - k a l i  b u k a n l a h  b a p a k  d a r i  s e o r a n g  

l a k i - l a k i  d i  a n t a r a  k a m u  t e t a p i  d i a  a d a l a h  R a s u l  A l l a h  d a n  

p e n u t u p  p a r a  n a b i .

11. Sedang mengenai kewarisan berdasar  persaudaraan karena 

hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan 

Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :

Artinya:

’’T i d a k  a d a  k e w a j i b a n  b e r h i j r a h  l a g i  s e t e l a h  p e n a k l u k a n  k o t a  

M a k k a h  ”  (HR. Bukhori dan Muslim)

Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang 

dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara 

Muhajirin dengan Anshor.

12. Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak 

tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di 

Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan 

dengan ayat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). 

Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara 

berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang 

kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan 

warga  yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga 

yang ersifat bilateral.

13. Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun 

oleh syari’ah Islam yaitu  sistem kekeluargaan yang bersifat 

bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat warga  

Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga 

mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum 

Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik 

kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol itu  telah 

mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada 

masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan 

diajarkan kepada ummat Islam di negara kita . Ketidakseimbangan 

telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang 

di negara kita  yaitu  kukum keluarga yang bersifat bilateral, 

sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal

424

sehingga hukum kewarisan patrilineal itu  kurang mendapat 

sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas 

untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji 

ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.

14. Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW. 

Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia 

menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi 

pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.

15. Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing 

merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum, 

yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan 

ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya. 

Oleh karenanya kedua hukum itu  harus memiliki  sifat, 

asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan 

enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, bila  

terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi 

ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya 

dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem 

hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama 

dengan Hukum Perkawinan.

16. Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun ada  berbagai 

Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini 

terjadi karena faktor sejarah, tata kehidupan warga , 

pemikiran, ketaatan terhadap. syari’ah, dan sebagainya yang 

berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum 

kewarisan Islam di negara kita , dan juga menimbulkan disparitas 

nya putusan Pengadilan Agama.

17. Disamping itu, corak kehidupan warga  Arab yang bersifat 

patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman 

terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang 

kita pelajari selama ini yaitu  hukum kewarisan yang lebih 

bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman warga  

Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil 

karena corak kehidupan warga  kita yaitu  bilateral, 

sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal.

18. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah 

Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas 

membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan, 

termasuk disini yaitu  Peradilan Agama.

19. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang 

Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk 

memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris 

dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang 

jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan 

warga  Islam negara kita  yang bilateral semakin terasa 

mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi 

Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden 

Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.

20. Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum kewarisan 

Islam di negara kita , KH. Ali Darokah mengatakan bahwa :

’ ’W a l h a s i l ,  h u k u m  f a r a i d  y a n g  a d a  p e r l u  d i b i n a  l a g i ,  t e r u t a m a  

u n t u k  I n d o n e s i a ,  d e n g a n  h u k u m  f a r a i d  k o n k r i t  y a n g  d a p a t  

m e n c a k u p  s o a l - s o a l  p e n t i n g  y a n g  b e r k a i t  d e n g a n  f a r a i d ,  d a n  

m e n c a k u p  p e t u n j u k  a y a t - a y a t  A l  Q u r  ’a n  d a n  A l  H a d i t s  y a n g  t e l a h  

d i p o t o n g  o l e h  s e b a g i a n  u l a m a  f i q i h .  B i l a  p e m b i n a a n  i t u  b e r h a s i l ,  

I n s y a  A l l a h  p e r s e n g k e t a a n  k i t a  d a p a t  t e r s e l e s a i k a n .  ”

Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu 

fiqih dengan rasa keadilan warga  islam maka perlu diadakan kaji ulang 

terhadap hukum kewarisan Islam yang ada dan mengembalikannya kepada 

sumber aslinya, yaitu Al Qur’an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah 

gagasan tentang reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya 

dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini.

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

Dalam peradilan atau dalam hukum negara kita  juga ada  hukum 

waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun 

1989 tentang Peradilan Agama memang sering terjadi kerancuan. Bagi umat 

muslim mau membagi warisannya secara apa. Jika ia mau membagi 

menurut hukum Islam bagaimana, jika ia mau membagi secara hukum adat 

atau perdata bagaimana. Artinya, sebelum keluarnya UU Pengadilan Agama 

masing-masing orang memiliki  pilihan atau opsi dengan cara apa ia akan 

membagi warisannya. Misalnya yang beragama islam bisa saja tidak 

mengambil secara waris Islam tapi bisa ke waris perdata. Jadi sebelum 

keluarnya UU Pengadilan Agama, mantan wapres (Adam Malik) juga 

pemah menyelesaikan kasus waris itu ke pengadilan negeri.

Kemudian apa yang menjadi perbedaan antara masing-masing itu? yang 

jelas dalam waris Islam bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan. 

sedang  dalam hukum waris perdata bagian perempuan seimbang atau 

sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi 

Hukum Islam (KHI) juga ditegaskan bahwa bila  kata sepakat atau 

musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi secara sama 

rata.

Setelah adanya UU Pengadilan Agama hak opsi itu ditegaskan bahwa 

bagi mereka yang beragama Islam patuh dan tunduk pada hukum Islam, 

pembagian warisnya harus secara Islam dan jika timbul sengketa harus 

diselesaikan di Pengadilan Agama. Perbedaan lainnya yaitu  bahwa dalam 

waris Islam ada unsur ta'abudi atau ibadah, karena dilaksanakan 

berdasar  hukum agama atau taat kepada hukum-hukum yang diturunkan 

oleh Al-qur'an dan hadis.

Dalam hukum waris Islam dikenal juga adanya mahjub (tertutupnya 

ahli waris). Bukan terhalang, tapi tertutup. Misalnya seorang cucu tidak bisa 

mendapat warisan jika ada anak. Kemudian kakek juga tidak dapat warisan 

kalau bapaknya masih ada.

Jadi dalam hukum waris Islam dikenal ashabul furud, yaitu mereka 

yang berhak menerima bagian waris secara mutlak atau tidak akan tertutup 

oleh siapapun juga. Ashabul furud ini pertama kali yaitu  suami atau istri 

yang ditinggal mati oleh istri atau suaminya. Suami atau istri ini mutlak 

mendapat harta warisan pewaris (pihak yang meninggal) dan tidak bisa 

terhalang oleh siapapun juga. Namun bila  si pewaris memiliki anak,

maka anak-anaknya (baik yang perempuan dan laki-laki) juga mendapat 

warisan itu.

Kalau yang meninggal yaitu  istri dan tidak memiliki anak, maka si 

suami mendapat separuh dari harta warisan, sedang  jika punya anak si 

suami mendapat V4. Kalau yang meninggal yaitu  suami dan tidak memiliki 

anak, maka si istri mendapat V4 dari harta warisan pewaris, sedang  jika 

punya anak maka si istri mendapat V8. Kalau orang tua pewaris masih hidup, 

maka bapak dan ibu pewaris juga mendapat harta warisan dan tidak bisa 

tertutup oleh siapapun juga. Jadi ada ashabul furud yang ke atas (yaitu orang 

tua), menyamping (yaitu suami atau istri) dan ke bawah (yaitu anak). 

Saudara kandung (kakak atau adik) pewaris bisa saja mendapat warisan jika 

pewaris tidak memiliki anak.

Dalam hukum syar'i Islam ini juga diatur masalah rumah tangga mulai 

dari seseorang belum lahir sampai meninggal. Begitu pula masalah harta- 

harta itu sendiri. Contohnya setelah dia menikah dan kemudian bercerai itu 

kan ada ketentuan mengenai harta bersama yang dipilah dengan harta 

bawaan. Begitu juga ketika seseorang meninggal, maka disitu dikenal juga 

harta peninggalan dan harta warisan. Dalam bab 1 Pasal 171 poin d KHI 

disebutkan harta peninggalan yaitu  harta yang ditinggalkan oleh pewaris, 

baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. 

Hak-hak ini misalnya hak cipta atau hak kekayaan intelektual.

Kemudian di KHI juga dijelaskan mengenai harta warisan, yaitu harta 

bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah dipakai  untuk 

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan 

jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Pemberian untuk 

kerabat ini yang mungkin akan kita bahas lagi lebih lanjut yaitu masalah 

wasiat.

Jadi harta peninggalan yaitu  harta yang ditinggalkan oleh pewaris, 

sedang  harta warisan mumi yaitu  harta bawaan ditambah harta bersama 

dari suami atau istrinya setelah dipilah dan dikurangi biaya pengurusan 

waktu dia sakit (jika memang sakit), meninggal, mengubur, membayar 

hutang (jika punya hutang) dan wasiat, bila  punya wasiat dipilah juga 

wasiatnya. Harta warisan mumi inilah yang nantinya akan dibagi-bagi 

kepada ahli waris. Bisa juga terjadi dimana harta warisan mumi justru 

kurang, sehingga ahli waris yang hams menanggung semua biaya-biaya 

yang tadi. Dalam surat An Nisa ayat 11 dikatakan bahwa Allah berwasiat 

kepada kamu untuk membagi warisan sesuai dengan syariat setelah dihitung 

wasiatnya (dipilah wasiatnya) dan diselesaikan hutang-piutangnya. Jadi 

kalau ada hutang piutang nanti kita lihat hartanya berapa, hutangnya berapa.

Kalau memang defisit atau minus itulah yang harus ditanggung bersama 

sesuai kesepakatan musyawarah.

bila  harta peninggalan itu memang ada ahli warisnya maka ahli 

warisnya itu tetap dibagi, karena harta peninggalan itu yaitu  harta secara 

umum. sedang  harta warisan mumi yaitu  harta yang sudah dibersihkan 

dari segala umsan yang tadi.

sedang  untuk wasiat dalam hukum waris perdata barat dikenal 

dengan testamen. Wasiat itu hams dibagi setelah pemberi wasiat meninggal. 

Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa diberikan kepada siapa saja. 

Wasiat berbeda dengan hibah, karena kalau hibah boleh dilaksanakan selama 

si pemberi masih hidup, sedang  wasiat baru boleh dilaksanakan setelah 

pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan atau 

tertulis dan dilakukan terhadap harta yang dimiliki secara sempurna, artinya 

bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewasiatkan sebidang 

tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh 

lebih dari V3 harta warisan. Wasiat akan diperhitungkan sebagai bagian dari 

warisan kalau dia lebih dari V3 .  Anak laki-laki langsung mendapat bagian 

asshobah atau sisa harta. Wasiat juga hams disaksikan oleh dua orang saksi 

dan hams secara otentik dicatatkan di kantor notaris. Dalam Al-qur'an 

disebutkan bahwa "bila  seseorang menjelang ajal atau sedang dalam 

bepergian jauh hendaknya dia membuat wasiat kepada keluarganya." Oleh 

karena kita wajib berwasiat kepada keluarga kita bila  kita mau pergi 

jauh.

Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana 

sebelumnya dia Memberi  hibah ke anaknya yang pertama. Tetapi dua 

orang anaknya yang lain tidak diberi hibah. Maka selama hibah itu diberikan 

kepada ahli waris itu akan diperhitungkan sebagai bagian warisan. Namun 

kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat 

bagaimana hibah itu dilaksanakan, sah atau tidak? otentik atau tidak? karena 

hibah juga ada yang di bawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka 

pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita 

juga perlu melihat unsur keadilannya juga, Kalau semua harta diberikan 

kepada anak angkat atau menantu kesayangan dimana mereka itu 

sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui 

oleh ahli waris yang lainnya.

Hibah itu  setidaknya memerlukan bukti otentik berupa akta yang 

memperkuat bahwasanya itu yaitu  hibah yang telah menjadi hak milik 

seseorang ya. Tapi sekarang ini banyak terjadi, dimana hibah hanya 

dilakukan secara lisan, sehingga beberapa tahun sesudah pemberi hibah

meninggal timbul permasalahan. Menghadapi hal yang seperti ini faktor 

yang diutamakan yaitu  pengakuan dari yang menerima hibah dan bukti 

bukti lainnya, seperti surat, catatan, bukti awal dan kesaksian dua orang 

saksi. yaitu  tugas pengadilan untuk membuktikan apakah hibah itu sah 

atau tidak.

Waris dapat menyebabkan konflik bila  ada  anak diluar nikah. 

Untuk itu, maka anak hasil perkawinan memiliki kedudukan lebih kuat, 

karena untuk membuktikan adanya hubungan darah harus dengan bukti yang 

sah/otentik bahwa kedua orang tua mereka menikah secara sah dan 

dicatatkan pada petugas pencatat perkawinan. Selanjutnya, anak luar kawin 

tidak mendapat warisan dari ayahnya, hanya mendapat warisan dari si ibu.

Untuk suatu keadaan dimana seorang istri yang sedang hamil dan 

kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan 

tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini 

bisa terhitung sebagai ahli waris? Pada dasaranya ahli waris yaitu  orang 

yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu 

pengembangan, bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris 

meninggal? bila  si anak lahir bertepatan dengan meninggalnya suami itu 

perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun bila  kembali 

kepada kaidah hukum atau norma, ahli waris yaitu  orang yang ada pada 

waktu si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya 

meninggal atau ketika ayahnya meninggal si anak masih dalam kandungan 

maka ia tidak menjadi ahli waris.

Hal ini berbeda dengan hukum perdata. Menurut pasal 2 KUHPerdata, 

dinyatakan bahwa anak yang sedang dalam berada dalam kandungan 

merupakan subyek hukum. Sehingga dengan demikian, bayi dalam 

kandungan pun memiliki hak mewaris. Dalam fikih juga ada pendapat 

demikian. Jadi tadi sudah saya katakan secara sepintas bahwa anak itu 

dihitung sebagai anak laki-laki. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan 

bahwa itu tidak bisa, karena si anak itu  tidak ada/wujudnya belum ada 

waktu si pewaris meninggal. Sehingga dengan demikian, bila  si anak 

itu  lahir, maka dia tetap akan mendapat warisan, namun hanya dari 

ibunya.

ada  juga suatu kasus dimana dalam sebuah keluarga ada  

delapan orang bersaudara. Sebelum ayah mereka meninggal kedelapan anak 

sudah menandatangani surat hibah sebuah rumah untuk kakak yang tertua. 

Tetapi kakak yang tertua yaitu  anak diluar nikah dan sekarang ia ingin 

menjual rumah hibah itu . Dalam kasus ini timbul pertanyaan apakah 

kedelapan anak itu  masih punya hak untuk mendapat bagian ?

Dalam kasus ini jika memang timbul sengketa maka pengadilan akan 

melihat bagaimana proses hibah itu berlangsung, sah atau tidak? Disetujui 

atau tidak oleh ahli waris. Bisa aja yang satu setuju tetapi ketujuh yang lain 

tidak. Atau yang bertujuh setuju tetapi yang satu tidak. Kalau demikian 

halnya artinya hibah itu artinya bermasalah, karena tidak disetujui oleh 

semua ahli waris. Seperti tadi sudah saya jelaskan bahwa wasiat tidak boleh 

dari V3 harta waris. Kemudian kalau pihak yang menerima hibah yaitu  

anak diluar nikah berarti dia bukan sebagai ahli waris dan dengan demikian 

tidak masuk dalam hitungan ahli waris.

Namun bila  sang anak luar nikah itu sudah diakui oleh ayah maka 

hibah itu tidak akan menjadi masalah. Kalau kasus seperti ini teijadi maka 

pengadilan akan melihat dan akan menghitung kembali siapa ahli warisnya. 

Ahli waris itu yang delapan bersaudara itu diluar kakak yang diluar nikah 

itu. Si kakak yang diluar nikah itu tentu akan kita hitung wasiatnya 

berdasar  persetujuan semuanya dan tidak boleh dari V3. Artinya di bawah 

V3 boleh.

Jika harta hibahnya itu mau dijual oleh kakak yang diluar nikah tadi, 

maka para adik tentunya harus tetap mendapat bagian dari penjualan hibah 

itu  karena hibah itu  merupakan harta warisan. Bagaimana kalau 

sudah terlanjur dijual ? tentunya ini akan menjadi sengketa masalah harta. 

Kalau sengketa masalah harta teijadi dan sudah melibatkan pihak ketiga 

(yaitu pembeli) maka kasus itu dikembalikan kepada pengadilan negeri dulu 

untuk diselesaikan. Persoalannya kita bagi dulu sesuai bagian laki-laki dan 

perempuan dan yang satu itu dihitung sebagai wasiat. Artinya yang si kakak 

luar nikah itu dihitung sebagai wasiat, dan bukan ahli waris dengan dengan 

syarat tidak boleh lebih dari V3 harta, tetapi dibawah V3 juga boleh. Nanti 

pengadilan akan melihat apakah dia dipersamakan. Kalau dia dipersamakan 

dengan perempuan ya dihitung bagian perempuan, begitu juga sebaliknya.

bila  hibahnya tidak ditandatangani oleh pemberi hibah akan 

menimbulkan permasalahan lagi, apakah hibahnya dianggap sah atau tidak. 

Yang jelas kalau secara hukum tidak sah, karena si pemberi hibah tidak 

memberi tanda tangan, dan ini bisa digugat oleh mereka yang bersaudara itu. 

Kecuali ada pengakuan seluruhnya mengakui bahwa sudah teijadi hibah, 

terlepas ada atau tidaknya tanda tangan itu. Tanda tangan itu kan otentik ya 

(tertulis). Kalau lisan kan apa yang perlu ditanda tangan. Kalau hibah secara 

lisan ya tidak apa-apa tidak ada tanda tangan. sedang  dalam hukum 

perdata barat, anak diluar nikah jelas diakui atau bisa diakui.

ada  lagi satu kasus dimana seorang istri yang menikah di bawah 

tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Sebelumnya

suaminya itu telah memiliki  seorang istri, namun tidak memiliki  anak, 

sehingga istri pertamanya itu mengangkat seorang anak tetangga sebagai 

anaknya. Sebelum suami meninggal, ia pernah berpesan agar jika dirinya 

meninggal, maka sang istri dapat meminta hak warisnya kepada ibunya. 

Setelah suami itu  meninggal si istri meminta hak warisnya kepada ibu 

mertuanya. Namun si ibu mertua ini tidak mau Memberi  sekarang, 

melainkan nanti jika si anak sudah besar. Padahal anak-anak dan si istri yang 

di bawah tangan ini memerlukan biaya pendidikan sejak kecil.

Kasus ini cukup rumit, karena menikah dibawah tangan, maka 

pembuktiannya menjadi kurang kuat. Untuk itu, maka sang istri untuk itu si 

istri yang menikah di bawah tangan ini harus meminta itsbat nikah dulu ke 

pengadilan agama, agar perkawinannya dengan suaminya itu (pewaris) 

tercatat. Hal ini untuk mencegah alibi mertuanya yang mengatakan bahwa 

perkawinan mereka tidak sah atau tidak kuat karena hanya dibawah tangan. 

Setelah memperoleh itsbat nikah baru kemudian dia dapat menggugat 

mertuanya ke pengadilan agama agar harta warisan suaminya segera dibagi. 

Walaupun pada dasarnya harta warisan itu tidak harus segera dibagi tetapi 

juga tidak harus ditunda pembagiannya. Pada pokoknya kalau memang ada 

itsbat nikah atau buku nikah maka itu akan kita perhitungkan sebagai ahli 

waris. Namun demikian pengadilan akan tetap melihat asas-asas keadilan.

Dalam persoalan anak yang masih kecil yang mendapat harta warisan, 

dalam Al-qur'an dikatakan bahwa hendaklah dijaga harta anak yatim dan 

jangan sampai harta anak yatim itu termakan oleh orang yang menjadi 

pelindungnya. Makanya seorang ibu yang punya anak, kemudian ada bagian 

harta warisan unutk anaknya itu harus dijaga agar jangan sampai terjual 

apalagi berpindah tangan, kecuali untuk kepentingan anak itu sendiri, 

misalnya untuk sekolahnya, kesehatannya.

bila  seseorang bercerai dia tidak mendapat harta warisan karena 

harta warisan itu hanya dalam ikatan perkawinan. Tapi untuk anak-anak dari 

orang tua yang bercerai mereka tetap mendapat warisan.

Di pengadilan agama ada  pertolongan pembagian harta 

peninggalan (P3HP) yang membantu pengurusan harta warisan muslim yang 

tidak ada sengketa. Artinya ahli waris sudah sepakat membagi harta warisan 

secara tertulis, ada surat-suratnya dan ahli waris mengajukan permohonan 

pembagian harta warisan di pengadilan agama melalui jalur P3HP.

Kemudian jika timbul sengketa dalam hal pembagian warisan, maka 

hal itu diselesaikan melalui gugatan di pengadilan agama (bagi yang 

beragama Islam) dan pengadilan negeri (bagi yang non muslim).

Kemudian bila  misalnya dari objek harta warisan dijual oleh ahli 

waris, tapi tidak semua ahli waris mengetahui bahwa harta warisan itu dijual 

bagaimana? Kalau itu merupakan bagian dari harta warisan harus 

dikompensasi. Berapa bagian yang sudah dijual dan berapa bagian 

kompensasinya. Ahli waris yang tidak mengetahui ini juga dapat menuntut 

secara pidana (tindak pidana penipuan) ahli waris yang lainnya sehingga 

timbul sengketa hak. Menurut Pasal 49 dan 50 UU Peradilan Agama 

sengketa hak itu harus diselesaikan di pengadilan negeri dulu. Pengadilan 

Agama hanya sebatas menentukan siapa ahli waris, berapa bagian ahli waris 

dan eksekusi harta waris. Kalau sudah menyangkut sengketa harta maka 

Pengadilan Agama akan meminta bantuan dari pengadilan negeri dulu untuk 

memutus sengketa itu .

bila  si pewaris melakukan poligami, bila  dia tidak punya anak 

maka bagian istri yaitu  V4. Tapi kalau suami istri itu punya anak maka 

bagiannya V8. Jumlah V8 ini bukan untuk masing-masing istri (pertama, 

kedua, dst) V8. Kalau seperti ini berarti jumlahnya sudah 4/8. Jadi sisanya 

hanya tinggal 4/8 atau separuhnya. Yang betul jumlah V8 itu dibagi 4 (kalau 

istrinya 4). Untuk bagian anak-anaknya dihitung dari 4 orang istri itu berapa 

semua anaknya. Kalau anaknya 10 laki perempuan, berarti 7/8 dibagi 10 buat 

anak-anaknya. Dengan perhitungan anak laki-laki 2 bagian dibandingkan  anak 

perempuan.



HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DAN 

PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DI negara kita 

A. HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DI negara kita 

Membicarakan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di 

negara kita , tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat Islam. Umat 

Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok warga  yang mendapat 

legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di negara kita . Oleh 

karena itu, umat Islam tidak dapat diceraipisahkan dengan hukum Islam 

yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di negara kita  bila 

dilihat dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI 

(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita ), yaitu para 

pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam 

dalam negara negara kita  merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para 

pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada 

tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara 

berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam 

bagi pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, 

tujuh kata itu  dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian 

diganti dengan kata "Yang Maha Esa".

Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti 'yang dikutip 

oleh muridnya (H. Mohammad Daud AH) mengandung norma dan garis 

hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara 

Republik negara kita  berdasar  atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu 

hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut:

1. Dalam negara Republik negara kita  tidak boleh terjadi atau berlaku 

sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam bagi umat 

Islam, kaidah agama Nasrani, atau agama Hindu-Bali bagi orang-orang 

Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha 

bagi orang Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik 

negara kita  ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang 

bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan 

bangsa negara kita .

2. Negara Republik negara kita  wajib menjalankan syariat Islam bagi orang 

Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi 

orang Hindu-Bali. Sekadar menjalankan syariat itu  memerlukan 

perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua yaitu 

negara Republik negara kita  wajib menjalankan dalam pengertian 

menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut 

oleh bangsa negara kita  dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum 

agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara 

negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan 

syariat yang dipeluk oleh bangsa negara kita  untuk kepentingan pemeluk 

agama bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya, 

yang disebut syariat Islam, tidak hanya memuat hukum salat, zakat, 

puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum dunia baik 

keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara 

untuk menjalankannya secara sempurna. Misalnya, hukum harta 

kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyeleng­

garaan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum 

pidana (Islam) seperti zina, pencurian, dan pembunuhan. Hal ini 

memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan 

Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara 

dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari 

agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga negara 

Republik negara kita .

3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk 

menjalankannya. Oleh karena itu, dapat dijalankan sendiri oleh setiap 

pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi 

terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut 

agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari Suatu 

agama yang diakui di negara Republik negara kita  yang dapat dijalankan 

sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya 

hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada 

umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan 

pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan 

agamanya masing-masing 

Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang 

tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu 

perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: (a) Dr. Muhammad Hatta (almarhum) 

ketika menjelaskan arti perkataan "kepercayaan" yang termuat dalam ayat 

(2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan 

kepercayaan dalam pasal itu  yaitu  kepercayaan agama. Kuncinya 

yaitu  perkataan itu yang ada  di ujung ayat (2) Pasal 29 dimaksud, Kata 

"itu" menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan 

itu . Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan


ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab Agama 


Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai dengan keterangan H. Agus 

Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan 

Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada seorang pun di antara kami yang 

ragu-ragu bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu yaitu  aqidah, 

kepercayaan agama . . . ; (b) ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1) 

Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 Tahun 1959 

dahulu, pemerintah Republik negara kita  menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 

UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan; 

(c) pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum 

dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam 

mewujudkan keadilan dalam Negara Republik negara kita . Menurut Pasal 4 

Undang-Undang No. 4 Tahun 1970 peradilan di negara kita  harus dilakukan 

demi keadilan berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa (sekarang Pasal 4 

ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004) 

berdasar  uraian dan penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa 

hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara 

Republik negara kita  yaitu  Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian 

dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 

Agama, Undang-Undang Republik negara kita  Nomor 38 Tahun 1999 tentang 

Pengelolaan Zakat dan beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan 

hukum Islam. Demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang 

menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di 

negara kita . Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma hukum yang 

tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, keberlakuan dan 

kekuatan hukum Islam secara ketatanegaraan di negara Republik negara kita  

yaitu  Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.

B. HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

bila  membicarakan hukum Islam dalam pembinaan hukum 

nasional, perlu diungkapkan produk pemikiran hukum Islam dalam sejarah 

perilaku umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam di negara kita , seiring 

pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (1) syariah, (2) fikih, (3) fatwa 

ulama/hakim, (4) keputusan pengadilan, dan (5) perundang-undangan. Hal 

itu akan diuraikan sebagai berikut..

1. Syariah

Syariah atau yang biasa disebut I s l a m i c  L a w  dalam bahasa Inggris 

seperti yang telah diuraikan yaitu  hukum Islam yang tidak mengalami 

perubahan sepanjang zaman dan mengikat pada setiap umat Islam. Namun, 

ikatan dimaksud, didasari oleh aqidah dan akhlak Islam. Oleh karena itu, 

syariah yaitu  jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap muslim. Syariah 

memuat ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan 

maupun berupa suruhan, la meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan 

manusia, baik yang berhubungan dengan manusia kepada Tuhan-Nya, 

manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan 

kehidupannya. Namun, perlu diungkapkan bahwa hukum Islam dalam 

pengertian ini seperti yang telah diuraikan bahwa ada yang dapat 

dilaksanakan secara perorangan, per kelompok, dan ada yang memerlukan 

bantuan alat negara dalam penerapannya.

2. Fikih (Fiqh)

Fikih seperti yang telah diuraikan yaitu  hukum Islam yang 

berdasar  pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat, 

nash Alquran dan/  atau hadis Nabi Muhammad. Hukum Islam dimaksud, 

sudah diamalkan oleh umat Islam negara kita  sejak orang negara kita  memeluk 

agama Islam. Namun, tingkat pengamalan hukum dimaksud didasari oleh 

keimanan setiap orang Islam sehingga ditemukan pengamalan hukum itu 

bervariasi pada setiap suku dan tempat.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu  puncak pemikiran f i q h  di 

negara kita . Hal dimaksud, didasari oleh keterlibatan para ulama, 

cendekiawan tokoh warga  (tokoh agama dan tokoh adat) dalam 

menentukan hukum Islam dalam hal perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, 

dan wakaf. KHI dimaksud, secara formal disahkan oleh Presiden tanggal 10 

Juni 1991 melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Instruksi 

dimaksud ditindaklanjuti tanggal 22 Juli 1991 oleh Menteri Agama RI 

melalui Keputusannya Nomor 154 Tahun 1991, kemudian disebarluaskan 

melalui Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam 

Nomor 3694/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991. Oleh karena itu, patut 

dianggap sebagai i j m a '  ulama/ijtihad kolektif warga  negara kita  atau f i q h  

ala negara kita  (istilah Hazairin). KHI sebagai i j m a '  ulama negara kita  diakui 

keberadaannya dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam 

negara kita  dalam menjawab setiap persoalan hukum yang muncul baik

penyelesaian kasus sengketa melalui musyawarah di dalam warga  

maupun melalui lembaga di Peradilan Agama.

3. Fatwa

Hukum Islam yang berbentuk fatwa yaitu  hukum Islam yang 

dijadikan jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan 

yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama negara kita  

mengenai larangan Natal Bersama antara orang Kristen dengan orang Islam. 

Fatwa dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak memiliki  daya ikat secara 

yuridis formal terhadap peminta fatwa. Namun, fatwa mengenai larangan 

Natal bersama dimaksud secara yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh 

umat Islam di negara kita . Oleh karena itu, fatwa pada umumnya cenderung 

bersifat dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat 

Islam.

4. Keputusan Pengadilan Agama

Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama yaitu  

keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya 

permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih 

dan/atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud, bersifat mengikat 

kepada pihak-pihak yang beperkara. Selain itu, keputusan pengadilan agama 

dapat bernilai sebagai yurisprudensi ( j u r i s p r u d e n c e ) ,  yang dalam kasus 

tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.

5. Perundang-undangan negara kita 

Hukum Islam dalani bentuk perundang-undangan di negara kita  yaitu  

yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya 

lebih luas. Oleh karena itu, sebagai peraturan organik, terkadang tidak elastis 

mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan. Sebagai contoh Undang- 

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang itu 

memuat hukum Islam dan mengikat kepada setiap warga negara Republik 

negara kita  (Zainuddin Ali, 2001:136-138).

439

440

GAMBARAN UMUM TENTANG 

PERADILAN AGAMA DAN KOMPILASI 

HUKUM ISLAM

A. SKETSA PERADILAN AGAMA

Proses terbentuknya Peradilan Agama di negara kita  diketahui melalui 

teori yang dikemukakan oleh Al-Malbari dalam bukunya yang berjudul 

F a t h u l  M u  ' in  seperti yang dikutip oleh Zaini Ahmad Noeh, yaitu melalui 

tiga bentuk. P e r t a m a ,  bentuk t a h k i m ,  berlaku pada zaman permulaan Islam 

yakni pada saat terbentuknya warga  Islam, sehingga orang-orang yang 

bersengketa atas kesepakatan bersama mendatangi ahli agama untuk 

meminta jasanya dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. K e d u a ,  

bentuk t a u l i y a h  dari a h l u l  h a l l i  w a l - a q d i ,  berlaku ketika agama Islam 

berkembang di nusantara ini yang ditandai dengan munculnya komunitas 

Islam di berbagai wilayah. Di antara mereka ada elite yang tampil atau 

ditampilkan sebagai pemegang wibawa dan kekuasaan, baik bersifat 

rohaniah maupun politis dalam pengertian sederhana. Kelompok elite inilah 

yang pada masa itu berwenang menunjuk figur tertentu untuk 

menyelenggarakan urusan Peradilan Agama. K e t i g a ,  bentuk t a u l i y a h  dari 

imam sebagai kepala negara, berlaku ketika kerajaan Islam berdiri di 

nusantara ini; lebih jelas lagi dengan keberadaan instansi yang mengurus 

kepentingan beragama kaum muslimin. Oleh karena itu, secara administratif, 

baik keberadaan Peradilan Agama maupun produk hukumnya menjadi lebih 

valid dan memiliki  legitimatif (pembenaran). Sejak itu lembaga Peradilan 

Agama telah mengambil bentuk formal dan konkret (Zaini Ahmad Noeh, 

1980:17).

Ahmad Noeh mengemukakan ketiga wajah dimaksud, pertama wajah 

Tahkim, yaitu Lembaga Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana 

berupa tahkim telah lama ada dalam warga  negara kita , yakni sejak 

agama Islam datang di nusantara ini. Tahkim'inilah yang menjadi embrio 

lahirnya Peradilan Agama, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar 

penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) dalam 

melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan 

rangkaian kesatuan dengan komponen ajaran agama Islam lainnya.

Peradilan Agama yang sudah ada sebelum datang kekuasaan kolonial di 

negara kita  itulah yang dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura 

tahun 1882, di sebagian besar keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur

441

1937 dan di luar kedua wilayah itu tahun 1957 dengan peraturan perundang- 

undangan pembentukannya (Zaini Ahmad Noeh, 1980: 17).

Pengadilan Agama sebagaimana keadaannya dari tahun ke tahun 

dibentuk dalam suasana yang berbeda. Pengadilan Agama di Jawa, Madura, 

dan di sebagian bekas keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan 

tumbuh dalam suasana kolonial, sedang Pengadilan Agama di luar daerah itu 

lahir dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan. Perbedaan suasana 

pembentukan, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menyebabkan 

perbedaan nama dan perbedaan kewenangannya. Perbedaan penyebutan 

nama telah diseragamkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara lebih 

tegas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 1970 

dengan sebutan Pengadilan Agama untuk seluruh wilayah negara kita . 

sedang  perbedaan kewenangan Pengadilan Agama disamakan oleh 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

' Perbedaan kewenangan Pengadilan Agama yang berlaku di Jawa dan 

Madura dari Peradilan Agama di luar wilayah itu yaitu  terletak tugas pokok 

di bidang hukum perkawinan; sedang  Peradilan Agama di luar wilayah 

memiliki  tugas pokok di bidang hukum perkawinan dan hukum 

kewarisan. Perbedaan wewenang Peradilan Agama menurut Hazairin tidak 

memiliki  dasar hukum, karena tidak ada perbedaan esensial dalam jiwa 

keislaman antara orang Jawa dengan orang luar Jawa. Itulah satu-satunya 

yang dapat diungkapkan sebagai penyebab perbedaan itu: Sekitar tahun 

1930-an pihak Belanda selaras dengan teori resepsinya, melihat keadaan di 

Jawa itu yakni hukum faraid belum dapat diterima oleh orang desa, apalagi 

hukum adat di Jawa ini khas di bidang kewarisan "lebih adil" katanya jika 

dibandingkan dengan hukum faraid yang mengutamakan pihak laki-laki 

lebih dibandingkan  pihak perempuan (Hazairin, 1985: 32).

Selain itu, Hazairin berpendapat bahwa kesalahan yang diperbuat oleh 

pembuat PP No. 45 Tahun 1957 pada Peradilan Agama di luar Jawa dan 

Madura haruslah segera diperbaiki karena tidak ada dasarnya untuk 

meletakkan syarat bagi Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura bahwa 

hukum Islam mestilah telah menjadi hukum (adat) yang berlaku. Nyatalah 

bahwa pada tahun 1957 pembuat PP No. 45 Tahun 1957 masih dipengaruhi 

oleh politik Belanda yang bernama teori r e c e p t i e  (Hazairin, 1985: 32). 

Namun, kesalahan pada tahun 1930-an dan kesalahan pada PP No. 45 Tahun 

1957 yang membedakan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura 

dari Peradilan di luar kedua wilayah itu bam dapat diperbaiki melalui Pasal 

49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

442

Selain kekuasaan Peradilan Agama yang berbeda, pengadilan agama itu 

dalam susunannya tidak ada  juru sita, sehingga tidak mampu 

menjalankan keputusannya. Namun, upaya untuk mengendalikan Pengadilan 

Agama itu, tetap berlanjut dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (2) bahwa setiap 

keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau 

Pengadilan Negeri (H. Mohammad Daud Ali, 1991:253).

B. PERADILAN AGAMA DI negara kita 

Peradilan agama yaitu  proses pemberian keadilan berdasar  hukum 

Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan 

Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di negara kita . 

Selain itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan 

kehakiman dalam negara Republik negara kita . Lembaga peradilan dimaksud, 

memiliki  kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang 

berbeda.

Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang 

sederhana berupa t a h k i m ,  yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang- 

orang yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli agama Islam. Hal 

ini, ada di zaman penjajahan Belanda, bahkan sebelum adanya penjajahan di 

negara kita .

Sejak rancangan Undang-Undang Peradilan Agama disahkan tanggal 

29 Desember 1989 oleh Presiden Republik negara kita  menjadi Undang- 

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diundangkan pada 

tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam 

Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.

Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa 

penting yang bukan hanya pembangunan perangkat hukum nasional, 

melainkan juga bagi umat Islam negara kita . Sebabnya yaitu  Peradilan 

Agama menjadi lebih mantap kedudukannya sebagai salah satu badan 

pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di negara kita ; menegakkan 

hukum Islam bagi pencari keadilan, utamanya bagi mereka yang beragama 

Islam berkenaan dengan perkara keperdataan di bidang perkawinan, 

kewarisan, wasiat, hibah, dan sedekah. Dengan undang-undang ini, pemeluk 

agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk negara kita  diberi 

kesempatan untuk menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran 

agaraanya sesuai dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan 

diundangkan itu terdiri atas 7 bab, 108 pasal dengan sistematika dan garis-

443

garis besar isinya, yaitu (1) Bab I tentang ketentuan umum. Hal ini mengatur 

di antaranya: Peradilan Agama yaitu  peradilan bagi orang-orang yang 

beragama Islam, terdiri atas (a) Pengadilan Agama sebagai pengadilan 

tingkat pertama, dan (b) Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan 

tingkat banding. Kedua-duanya merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman 

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata 

dimaksud, Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota 

kabupaten, sedang  Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota 

provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah Agung, di bawah 

pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung di bidang Lingkungan Peradilan 

Agama. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya seperti halnya 

dengan badan peradilan lain, dilakukan oleh Departemen Teknis, yaitu 

Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama; (2) Bab II sampai 

dengan Bab III mengatur susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, di 

antaranya disebutkan bahwa bagian pertama atau bagian umum menyebut 

susunan Pengadilan Agama yang terdiri atas pimpinan, yaitu seorang ketua 

dan seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. 

Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas pimpinan, yaitu seorang 

ketua dan seorang wakil ketua, hakim tinggi; (3) Bab IV mengatur hukum 

acara Peradilan Agama; (4) Bab V mengatur tentang ketentuan-ketentuan 

lain; (5) Bab VI mengatur tentang ketentuan peralihan; (6) Bab VII tentang 

penutup (sekarang ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang 

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 

Agama).

C. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN PERANNYA

Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai (Aceh, dekat 

Lhokseumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi 

perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al- 

Malik Al-Zahir pada diskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih. 

Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, 

Al-Malik Al-Zahir, yang menjadi Sultan Pasai ketika itu, yaitu  juga 

seorang fuqaha yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di Kerajaan 

Pasai pada waktu itu yaitu  hukum Islam mazhab Syafi'i. Menurut Hamka, 

dari Pasailah disebarkan paham Syafi'i ke kerajaan Islam lainnya di 

negara kita . Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500) para 

ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata 

putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam 

warga  ,

Dalam proses Islamisasi kepulauan negara kita  yang dilakukan oleh para 

saudagar melalui perdagangan dan perkawinan hukum Islam memiliki  

peran yang amat besar. Misalnya, ketika seorang saudagar hendak menikah 

dengan seorang pribumi, maka wanita itu diislamkan lebih dahulu dan 

pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. 

Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan 

antaranggotanya dengan kaidah hukum Islam atau kaidah lama yang 

disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang suami istri 

meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan 

Islam. Jika ada sengketa di antara mereka, sengketa itu diselesaikan oleh 

h a k a m  melalui t a h k i m  kepada m u h a k k a m  yang merupakan asal usul 

Peradilan Agama atau bentuk Peradilan Agama pada permulaan 

perkembangan agama Islam di nusantara ini. Pembentukan keluarga yang 

kemudian berkembang menjadi warga  Islam yang baru memerlukan 

pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun untuk orang yang telah 

dewasa. Secara tradisional, biasanya pelajaran agama yang diajarkan pada 

waktu itu yaitu  (1) ilmu kalam, (2) ilmu fikih, dan (3) ilmu tasawwuf 

(mistik). Dengan sistem pendidikan dan perkawinan yang demikian, 

menyebarlah ajaran agama Islam ke seluruh kepulauan negara kita  secara 

damai,

Setelah agama Islam berakar dalam warga , peran saudagar dalam 

menyebarkan ajaran Islam digantikan oleh para ulama sebagai guru dan 

pengawal hukum Islam. Misalnya, Nuruddin Ar-Raniri (yang hidup di abad 

ke-17) menulis buku hukum Islam dengan judul S i r a t a l  M u s t a k i m  (Jalan 

Lurus) pada tahun 1628. Menurut Hamka seperti yang dikutip oleh H. 

Mohammad Daud Ali, kitab S i r a t a l  M u s t a k i m  ini merupakan kitab hukum 

Islam yang pertama disebarkan ke seluruh negara kita  oleh Syaikh Arsyad 

Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin, kitab hukum S i r a t a l  M u s t a k i m  

itu diperluas dan diperpanjang uraiannya di dalam S a b i l a l  M u h t a d i n  dan 

dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di 

daerah kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah kesultanan Palembang, 

Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan Mataram ada  

kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam 

menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka. Ini 

dapat dibuktikan dari karya pujangga yang hidup pada masa itu. Misalnya, 

K u t a r a g a m a ,  S a j i n a t u l  H u k u m ,  dan lain-lain 

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Belanda 

mengukuhkan kekuasaannya, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri 

sendiri telah ada dalam warga , tumbuh dan berkembang di samping

kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini. 

Menurut Ahmad Djamil Latif, ada  bukti-bukti yang menunjukkan 

bahwa hukum Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan 

nusantara dan memiliki  pengaruh yang bersifat normatif dalam 

kebudayaan negara kita . Pengaruh itu tampak dalam hukum keluarga dan 

hukum pidana ,

Ketika VOC dating di nusantara ini, ia tidak saja mengakui keberlakuan 

hukum Islam, bahkan berusaha untuk membukukan hukum Islam ke dalam 

berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumiputera di 

wilayah yang mereka kuasai. Tahun 1750 diterbitkan kitab sebagai 

kumpulan hukum pertama yang diberi nama kitab H u k u m  M o g h a r r a e r  yang 

memuat hukum orang Jawa untuk keperl