setujuan
Bank negara kita .
Pasal 22
Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk
Simpanan atau Investasi berdasar Prinsip Syariah tanpa izin terlebih
dahulu dari Bank negara kita , kecuali diatur dalam undang-undang lain.
Bagian Kedua
Kelayakan Penyaluran Dana
Pasal 23
(1) Bank Syariah dan/atau UUS harus memiliki keyakinan atas kemauan
dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi
seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau
UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
(2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama
terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari
calon Nasabah Penerima Fasilitas.
Bagian Ketiga
Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS
Pasal 24
(1) Bank Umum Syariah dilarang :
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar
modal;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen
pemasaran produk asuransi syariah.
370
(2) UUS dilarang :
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar
modal;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen
pemasaran produk asuransi syariah.
Pasal 25
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang :
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran;
c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang
asing dengan izin Bank negara kita ;
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen
pemasaran produk asuransi syariah;
e. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk
untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah; dan
f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.
Pasal 26
(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan
Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip
Syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh
Majelis Ulama negara kita .
(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam
Peraturan Bank negara kita .
(4) Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank negara kita sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank negara kita membentuk komite perbankan
syariah.
371
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan,
dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .
BAB V
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS,
DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI,
DAN TENAGA KERJA ASING
Bagian Kesatu
Pemegang Saham Pengendali
Pasal 27
(1) Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank negara kita .
(2) Pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan
kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling
banyak 10% (sepuluh persen).
(3) Dalam hal pemegang saham pengendali tidak menurunkan kepemilikan
sahamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka :
a. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan
dalam Rapat Umum Pemegang Saham;
b. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan
sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya Rapat Umum
Pemegang Saham;
c. deviden yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham
pengendali paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya
dibayarkan setelah pemegang saham pengendali itu
mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1); dan
d. nama pemegang saham pengendali yang bersangkutan diumumkan
kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang memiliki
peredaran luas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur
dengan Peraturan Bank negara kita .
372
Bagian Kedua
Dewan Komisaris dan Direksi
Pasal 28
Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab,
serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah
diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Pasal 29
(1) Dalam jajaran direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 wajib ada 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk
memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan
Bank negara kita dan peraturan perundang-undangan lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan
Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank negara kita dan
peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .
Pasal 30
(1) Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji kemampuan
dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank negara kita .
(2) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap komisaris dan direksi yang
melanggar integritas dan tidak memenuhi kompetensi dilakukan oleh
Bank negara kita .
(3) Komisaris dan direksi yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan
wajib melepaskan jabatannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Bank negara kita .
Pasal 31
(1) Dalam menjalankan kegiatan Bank Syariah, direksi dapat mengangkat
pejabat eksekutif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat eksekutif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank
negara kita .
373
Bagian Ketiga
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 32
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis
Ulama negara kita .
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas Memberi nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi
kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Bank negara kita .
Bagian Keempat
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 33
(1) Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat memakai
tenaga kerja asing.
(2) Tata cara penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB VI
TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN,
DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH
Bagian Kesatu
Tata Kelola Perbankan Syariah
Pasal 34
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang
mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.
374
(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai
pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .
Bagian Kedua
Prinsip Kehati-hatian
Pasal 35
(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank negara kita
laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi
tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasar prinsip
akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya,
dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank negara kita .
(3) Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.
(4) Bank negara kita dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
(5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi
kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank
negara kita .
Pasal 36
Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya,
Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan
Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan
dananya.
Pasal 37
(1) Bank negara kita menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
penyaluran dana berdasar Prinsip Syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain
yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada
375
Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima
Fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok
yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank negara kita .
(3) Bank negara kita menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
penyaluran dana berdasar Prinsip Syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang
dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih
dari modal disetor Bank Syariah;
b. anggota dewan komisaris;
c. anggota direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan yang di dalamnya ada kepentingan dari pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh
melebihi 20% (dua puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank negara kita .
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank negara kita .
Bagian Ketiga
Kewajiban Pengelolaan Risiko
Pasal 38
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip
mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bank negara kita .
376
Pasal 39
Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai
kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi
Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.
Pasal 40
(1) Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya,
Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan,
baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasar penyerahan secara
sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasar pemberian kuasa untuk
menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli
itu wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1
(satu) tahun.
(2) Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian
Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban
Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(3) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan
UUS, selisih kelebihan jumlah itu harus dikembalikan kepada
Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang
langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Bank negara kita .
BAB VII
RAHASIA BANK
Bagian Kesatu
Cakupan Rahasia Bank
Pasal 41
Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan
Investasinya^
377
Bagian Kedua
Pengecualian Rahasia Bank
Pasal 42
(1) Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank
negara kita atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
perintah tertulis kepada Bank agar Memberi keterangan dan
memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan
Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat
pajak.
(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyebutkan nama pejabat pajak, nama nasabah wajib pajak, dan kasus
yang dikehendaki keterangannya.
Pasal 43
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank
negara kita dapat Memberi izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau
penyidik lain yang diberi wewenang berdasar undang-undang untuk
memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan atau Investasi
tersangka atau terdakwa pada Bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas
permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik negara kita ,
Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, atau pimpinan instansi yang
diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan
nama dan jabatan penyidik, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau
terdakwa, alasan diperlukannya keterangan, dan hubungan perkara
pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Pasal 44
Bank wajib Memberi keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
dan Pasal 43.
Pasal 45
Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksi Bank yang
bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan
378
keuangan Nasabah yang bersangkutan dan Memberi keterangan lain yang
relevan dengan perkara itu .
Pasal 46
(1) Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi Bank dapat
memberitahukan keadaan keuangan Nasabahnya kepada Bank lain.
(2) Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank negara kita .
Pasal 47
Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau
Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis, Bank wajib Memberi
keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor
pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Investor itu .
Pasal 48
Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal
dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor
yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan
Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor itu .
Pasal 49
Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46,
berhak untuk mengetahui isi keterangan itu dan meminta pembetulan
jika ada kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 50
Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Bank
negara kita .
379
Pasal 51
(1) Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan yang
meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas
aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang
menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan
terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek
lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS.
(2) Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh
Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bank negara kita .
Pasal 52
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala keterangan dan
penjelasan mengenai usahanya kepada Bank negara kita menurut tata
cara yang ditetapkan dengan Peraturan Bank negara kita .
(2) Bank Syariah dan UUS, atas permintaan Bank negara kita , wajib
Memberi kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-
berkas yang ada padanya, serta wajib Memberi bantuan yang
diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala
keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank
Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(3) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Bank negara kita berwenang :
a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang
terkait dengan Bank;
b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari
setiap pihak yang menurut penilaian Bank negara kita memiliki
pengaruh terhadap Bank; dan
c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu,
baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.
(4) Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS
yang diperoleh berdasar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Pasal 53
(1) Bank negara kita dapat menugasi kantor akuntan puhlik atau pihak
lainnya untuk dan atas nama Bank negara kita , melaksanakan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
380
(2) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .
Pasal 54
(1) Dalam hal Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, Bank negara kita berwenang melakukan
tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan antara lain :
a. membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham,
komisaris, direksi, dan pemegang saham;
b. meminta pemegang saham menambah modal;
c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris
dan/atau direksi Bank Syariah;
d. meminta Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran dana yang
macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan
modalnya;
e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan
dengan Bank Syariah lain;
f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia
mengambil alih seluruh kewajibannya;
g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau
sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain; dan/atau
h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta
dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain.
(2) bila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum cukup
untuk mengatasi kesulitan yang dialami Bank Syariah, Bank negara kita
menyatakan Bank Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan
penanganannya ke Lembaga Penjamin Simpanan untuk diselamatkan
atau tidak diselamatkan.
(3) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan Bank Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diselamatkan, Bank
negara kita atas permintaan Lembaga Penjamin Simpanan mencabut izin
usaha Bank Syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(4) Atas permintaan Bank Syariah, Bank negara kita dapat mencabut izin
usaha Bank Syariah setelah Bank Syariah dimaksud menyelesaikan
seluruh kewajibannya.
381
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan
izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Bank negara kita .
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 55
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan Prinsip Syariah.
BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 56
Bank negara kita menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau
UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi,
dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip
Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 57
(1) Bank negara kita mengenakan sanksi administratif kepada Bank Syariah
atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas
Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal
44.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran
kerahasiaan bank.
382
Pasal 58
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini
yaitu :
a. denda uang;
b. teguran tertulis;
c. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;
d. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang
tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan;
f. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan
Bank negara kita ;
g. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham
Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS
dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau
h. pencabutan izin usaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank
negara kita .
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 59
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau
kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi
berdasar Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank negara kita
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh badan hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud
383
dilakukan terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan
perbuatan itu dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan itu.
Pasal 60
(1) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis
atau izin dari Bank negara kita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS, atau pihak terafiliasi untuk
Memberi keterangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana deinda paling
sedikit Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang
dengan sengaja Memberi keterangan yang wajib dirahasiakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 61
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak
Memberi keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 62
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. tidak Memberi keterangan atau tidak melaksanakan perintah
yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
384
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang la la i:
a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. tidak Memberi keterangan atau tidak melaksanakan perintah
yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 63
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja :
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam
pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan
usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank
Syariah atau UUS;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak
dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,
dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi
atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau
menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau
dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau
laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS,
atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan,
menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan itu
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
RplO.OOO.O0O.OOO,OO (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja :
385
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk
menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan,
uang, atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau
untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka :
1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain
dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas
penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;
2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat
wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti
kewajiban lainnya;
3. Memberi persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan
penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dananya
pada Bank Syariah atau UUS; dan/atau
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan
dalam Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling, banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
Pasal 64
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang-
Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 65
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris,
direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang
mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau
UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana
386
penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 66
(1) Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja :
a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang
ini dan perbuatan itu telah mengakibatkan kerugian bagi
Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan keadaan keuangan
Bank Syariah atau UUS tidak sehat;
b. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang
dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang
ditugasi oleh dewan komisaris;
c. Memberi penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan
melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank
Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga
membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS;
dan/atau
d. tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan
Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau ketentuan yang
berlaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan
penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
387
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 67
(1) Bank Syariah atau UUS yang telah memiliki izin usaha pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku dinyatakan telah memperoleh izin
usaha berdasar Undang-Undang ini.
(2) Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini paling
lama 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 68
(1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai
asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari
total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional
dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS itu menjadi Bank
Umum Syariah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan sanksi bagi Bank
Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank negara kita .
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 69
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai
Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 3790) beserta peraturan
pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini.
388
Pasal 70
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2008
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK negara kita ,
ttd
ANDIMATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita TAHUN 2008 NOMOR 94
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
ttd.
Setio Sapto Nugroho
389
390
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 21 TAHUN 2008
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
L UMUM
Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik negara kita Tahun 1945, tujuan pembangunan nasional
yaitu terciptanya warga adil dan makmur, berdasar
demokrasi ekonomi, dengan mengembangkan sistem ekonomi yang
bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan
tujuan itu , pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan
pada perekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata,
mandiri, handal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah
perekonomian internasional.
Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif
dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan
kontribusi semua elemen warga untuk menggali berbagai potensi
yang ada di warga guna mendukung proses akselerasi ekonomi
dalam upaya merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu
bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi warga dalam
perekonomian nasional itu yaitu pengembangan sistem ekonomi
berdasar nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-
prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah
berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan,
dan keuniversalan ( r a h m a t a n l i l ‘a l a m i r i ) . Nilai-nilai itu
391
diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip
Syariah yang disebut Perbankan Syariah.
Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang
berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam
yaitu larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan memakai
sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank
Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena
semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi
risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang
antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan
mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan
tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh
pengelola modal.
Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional
memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat Memberi
kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional.
Salah satu sarana pendukung vital yaitu adanya pengaturan yang
memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan itu di
antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah.
Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan
dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga itu . Pengaturan
mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang
mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana,
di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang
cukup pesat.
Guna menjamin kepastian hukum bagi s t a k e h o l d e r s dan sekaligus
Memberi keyakinan kepada warga dalam memakai
produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan
Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah,
kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah
maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional.
Sementara itu, untuk Memberi keyakinan pada warga yang
masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama
ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur
riba, m a i s i r , g h a r a r , h a r a m , dan z a l i m .
392
Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah,
dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah
{ s y a r i a h c o m p l i a n c e ) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama
negara kita (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah
dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan
MUI ke dalam Peraturan Bank negara kita , di dalam internal Bank
negara kita dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya
terdiri atas perwakilan dari Bank negara kita , Departemen Agama, dan
unsur warga yang komposisinya berimbang.
Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada
perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan
Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan
penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan,
lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak.
Untuk menerapkan substansi undang-undang perbankan syariah ini,
maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih berada
dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan,
bila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkan
untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan
memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan
Bank negara kita .
Sehubungan dengan hal itu , pengaturan tersendiri bagi Perbankan
Syariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjamin
terpenuhinya prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank bagi Bank
Syariah, dan yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasi
dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap Bank
Syariah dalam undang-undang tersendiri.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain,
yaitu kegiatan usaha yang tidak mengandung unsure :
393
a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil)
antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang
tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan ( f a d h l ),
atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersya
ratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana
yang diterima melebihi pokok pinjaman karena beijalannya
waktu { n a s i ’a h ) \
b. m a i s i r , yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu
keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c. g h a r a r , yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak
dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat
diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain
dalam syariah;
d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
atau
e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi
pihak lainnya.
Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” yaitu kegiatan
ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan,
pemerataan, dan kemanfaatan.
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” yaitu pedoman
pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan
yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 3
Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional, Perbankan Syariah tetap berpegang pada Prinsip Syariah
secara menyeluruh { k a f f a h ) dan konsisten (i s t i q a m a h ).
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dana sosial lainnya”, antara lain
yaitu penerimaan Bank yang berasal dari pengenaan sanksi
terhadap Nasabah ( t a ’z i r ) .
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank negara kita
sekurang-kurangnya memuat tentang:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. modal kerja;
c. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
d. kelayakan usaha.
Ayat (4)
Yang diwajibkan mencantumkan kata “syariah” hanya Bank
Syariah yang mendapatkan izin setelah berlakunya Undang-
Undang ini.
Penulisan kata “syariah” ditempatkan setelah kata “bank”
atau setelah nama bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
395
Pasal 6
Ayat(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kantor di bawah Kantor Cabang”
yaitu kantor cabang pembantu atau kantor kas yang
kegiatan usahanya membantu kantor induknya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Hal-hal yang dapat diatur dalam Peraturan Bank negara kita
antara la in :
a. pemberhentian anggota direksi dan komisaris yang tidak
lulus uji kemampuan dan kepatutan;
b. pengalihan kepemilikan saham pengendali bank yang
harus mendapatkan persetujuan Bank negara kita ;
c. pengalihan izin usaha dari nama lama ke nama baru,
perubahan modal dasar, dan perubahan status menjadi
Bank terbuka harus mendapatkan persetujuan Bank
negara kita ;
d. perubahan modal disetor Bank yang meliputi
penambahan, pengurangan, dan komposisi harus
mendapatkan persetujuan Bank negara kita ;
e. pelarangan penjaminan saham yang dimiliki oleh
pemegang saham pengendali.
396
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal salah satu pihak yang akan mendirikan Bank
Umum Syariah yaitu badan hukum asing, yang
bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh
rekomendasi dari otoritas perbankan negara asal.
Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat
keterangan bahwa badan hukum asing yang
bersangkutan memiliki reputasi yang baik dan tidak
pernah melakukan perbuatan tercela di bidang
perbankan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
397
Pasal 15
Perubahan kepemilikan Bank Syariah yang tidak mengakibatkan
perubahan pemegang saham pengendali cukup dilaporkan secara
tertulis kepada Bank negara kita .
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Bank negara kita
mencakup antara la in :
a. minimum kecukupan modal;
b. persiapan sumber daya manusia;
c. susunan organisasi dan kepengurusan; dan
d. kelayakan usaha.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Akad w a d i ’a h ” yaitu Akad
penitipan barang atau uang antara pihak yang
memiliki barang atau uang dan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang atau uang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Akad m u d h a r a b a h ” dalam
menghimpun dana yaitu Akad kerja sama antara pihak
pertama (m a l i k , s h a h i b u l m a l , atau Nasabah) sebagai
pemilik dana dan pihak kedua { ‘a m i l , m u d h a r i b , atau
Bank Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana
dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam Akad.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Akad m u d h a r a b a h ” dalam
Pembiayaan yaitu Akad keija sama suatu usaha antara
pihak pertama (m a l i k , s h a h i b u l m a l , atau Bank Syariah)
yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua
( ‘a m i l , m u d h a r i b , atau Nasabah) yang bertindak selaku
pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam
Akad, sedang kerugian ditanggung sepenuhnya oleh
Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi
peijanjian.
Yang dimaksud dengan “Akad m u s y a r a k a h ' ’ yaitu
Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak
Memberi porsi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan,
sedang kerugian ditanggung sesuai dengan porsi
dana masing-masing.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Akad m u r a b a h a h ” yaitu
Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “Akad s a l a m ” yaitu Akad
Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu
dengan syarat tertentu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “Akad i s t i s h n a n '’ yaitu Akad
Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
atau pembeli (' m u s t a s h n i*) dan penjual atau pembuat
( s h a n i ’j.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Akad q a r d h ” yaitu Akad
pinjaman dana kepada Nasabah dengaa ketentuan
399
bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang
diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Akad i j a r a h ” yaitu Akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna
atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasar
transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri.
Yang dimaksud dengan “Akad i j a r a h m u n t a h i y a
b i t t a m l i k ” yaitu Akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang
atau jasa berdasar transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “Akad h a w a l a h ” yaitu Akad
pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada pihak
lain yang wajib menanggung atau membayar.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “transaksi nyata” yaitu
transaksi yang dilandasi dengan aset yang berwujud.
Yang dimaksud dengan “Akad k a f a l a h ” yaitu Akad
pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada
pihak lain, di mana pemberi jaminan ( k a j i l ) bertanggung
jawab atas pembayaran kembali utang yang menjadi hak
penerima jaminan ( m a k f u l ) .
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf 1
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Yang dimaksud dengan “Akad w a k a l a h ” yaitu Akad
pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk
melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Yang dimaksud dengan “kegiatan lain” yaitu , antara
lain, melakukan fungsi sosial dalam bentuk menerima
dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, serta dana
kebajikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” yaitu
penanaman dana Bank Umum Syariah dalam bentuk
saham pada perusahaan yang bergerak dalam bidang
keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam
bentuk surat berharga yang dapat dikonversi menjadi
saham ( c o n v e r t i b l e b o n d s ) atau jenis transaksi tertentu
berdasar Prinsip Syariah yang berakibat Bank
Umum Syariah memiliki atau akan memiliki saham
pada perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan
syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara”
yaitu penyertaan modal Bank Umum Syariah, antara
lain, berupa pembelian saham dan/atau konversi
401
pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan Nasabah
untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau
piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank negara kita .
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Kemauan berkaitan dengan iktikad baik dari Nasabah
Penerima Fasilitas untuk membayar kembali penggunaan
dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan/atau UUS.
Kemampuan berkaitan dengan keadaan dan/atau aset
Nasabah Penerima Fasilitas sehingga mampu untuk
membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh
Bank Syariah dan/atau UUS.
Ayat (2)
Penilaian watak calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama
didasarkan kepada hubungan yang telah teijalin antara Bank
Syariah dan/atau UUS dan Nasabah atau calon Nasabah yang
bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain
yang dapat dipercaya sehingga Bank Syariah dan/atau UUS
dapat menyimpulkan bahwa calon Nasabah Penerima
Fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak
menyulitkan Bank Syariah dan/atau UUS di kemudian hari.
Penilaian kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas
terutama Bank harus meneliti tentang keahlian Nasabah
Penerima Fasilitas dalam bidang usahanya dan/atau
kemampuan manajemen calon Nasabah sehingga Bank
Syariah dan/atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan
dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.
Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon Nasabah
Penerima Fasilitas, terutama Bank Syariah dan/atau UUS
harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara
keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun
perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat
diketahui kemampuan permodalan calon Nasabah Penerima
Fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha
calon Nasabah yang bersangkutan.
Dalam melakukan penilaian terhadap Agunan, Bank Syariah
dan/atau UUS harus menilai barang, proyek atau hak tagih
yang dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan yang
bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi
risiko yang ditambahkan sebagai Agunan tambahan, apakah
sudah cukup memadai sehingga bila Nasabah Penerima
Fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, Agunan
itu dapat dipakai untuk menanggung pembayaran
kembali Pembiayaan dari Bank Syariah dan/atau UUS yang
bersangkutan.
Penilaian terhadap proyek usaha calon Nasabah Penerima
Fasilitas, Bank Syariah terutama harus melakukan analisis
mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar
negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan
403
datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari
hasil proyek atau usaha calon Nasabah yang akan dibiayai
dengan fasilitas Pembiayaan.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bank Umum Syariah dapat memasarkan produk
asuransi melalui keija sama dengan perusahaan asuransi
yang melakukan kegiatan usaha berdasar Prinsip
Syariah. Semua tindakan Bank Umum Syariah yang
berkaitan dengan transaksi asuransi yang dipasarkan
melalui kerja sama dimaksud menjadi tanggung jawab
perusahaan asuransi syariah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
UUS dapat memasarkan produk asuransi melalui keija
sama dengan perusahaan asuransi yang melakukan
kegiatan usaha berdasrkan Prinsip Syariah. Semua
tindakan UUS yang berkaitan dengan transaksi asuransi
yang dipasarkan melalui keija sama dimaksud menjadi
tanggung jawab perusahaan asuransi syariah.
404
Pasal 25
Huruf a
Usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah antara lain
usaha yang dianggap riba, m a i s i r , g h a r a r , haram, dan zalim.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat memasarkan produk
asuransi melalui keqa sama dengan perusahaan asuransi
syariah. Semua tindakan Bank yang berkaitan dengan
transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerja sama
dimaksud menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi
syariah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Komite perbankan syariah beranggotakan unsur-unsur dari
Bank negara kita , Departemen Agama, dan unsur warga
dengan komposisi yang berimbang, memiliki keahlian di
bidang syariah dan berjumlah, paling banyak 11 (sebelas)
orang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
405
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali”
yaitu badan hukum, orang perseorangan, dan/atau
kelompok usaha yang :
a. memiliki saham Bank Syariah sebesar 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan memperoleh hak suara; atau
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan memiliki hak suara, tetapi yang
bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan
pengendalian perusahaan atau bank, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pengendalian merupakan suatu tindakan yang bertujuan
untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan
perusahaan, termasuk bank, dengan cara apa pun, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pengendalian terhadap Bank Syariah dapat dilakukan dengan
cara-cara, antara lain, sebagai berikut:
a. memiliki secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau
memengaruhi kebijakan Bank Syariah;
c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki
saham yang bila dipakai akan menyebabkan
pihak itu memiliki dan/atau mengendalikan secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih saham Bank;
d. melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk
mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank
{ a c t i n g i n c o n c e r t ) dengan atau tanpa perjanjian tertulis
dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama
memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik langsung
maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian
tertulis;
e. melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk
mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank
406
( a c t i n g i n c o n c e r t ) dengan atau tanpa peijanjian tertulis
dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama
memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki
saham, yang bila hak itu dilaksanakan
menyebabkan pihak-pihak itu memiliki dan/atau
mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
saham Bank Syariah;
f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang
secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan
secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih saham Bank;
g. memiliki kewenangan untuk menyetujui dan/atau
memberhentikan pengurus Bank Syariah;
h. secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan
manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah;
i. melakukan pengendalian terhadap perusahaan induk
atau perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank
Syariah; dan/atau
j. melakukan pengendalian terhadap pihak yang
melakukan pengendalian sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai dengan huruf i.
Uji kemampuan dan kepatutan sepenuhnya merupakan
kewenangan Bank negara kita untuk menilai kompetensi,
integritas, dan kemampuan keuangan pemegang saham
pengendali dan/atau pengurus bank. Mengingat tujuan uji
kemampuan dan kepatutan yaitu untuk memperoleh
pemegang saham pengendali dan pengurus bank yang dapat
menjaga kepercayaan warga terhadap perbankan,
penilaian dalam rangka uji kemampuan dan kepatutan oleh
Bank negara kita tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Ayat (2)
Kewajiban menurunkan kepemilikan saham bagi Pemilik
Bank yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan yaitu
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dinyatakan tidak
lulus uji kemampuan dan kepatutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
407
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Yang termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan
yaitu Peraturan Bank negara kita .
Pokok-pokok pengaturan tugas direksi Bank Syariah dalam
anggaran dasar antara lain :
a. tugas dan tanggung jawab;
b. pelaporan; dan
c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
Pasal 29
A yat(l)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pokok-pokok pengaturan tugas direktur yaitu :
a. tugas dan tanggung jawab;
b. pelaporan; dan
c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
Pasal 30
Ayat (1)
Uji kemampuan dan kepatutan bertujuan untuk menjamin
kompetensi, kredibilitas, integritas, dan pelaksanaan tata
kelola yang sehat ( g o o d c o r p o r a t e g o v e r n a n c e ) dari pemilik,
pengurus bank, dan pengawas syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
408
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif’ yaitu pejabat
yang bertanggung jawab langsung kepada direksi dan/atau
memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional
Bank Syariah seperti kepala divisi, pemimpin Kantor
Cabang, atau kepala satuan kerja audit internal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang diatur dalam Peraturan Bank negara kita sekurang-
kurangnya meliputi:
a. ruang lingkup, tugas, dan fungsi dewan pengawas
syariah;
b. jumlah anggota dewan pengawas syariah;
c. masa kerja;
d. komposisi keahlian;
e. maksimal jabatan rangkap; dan
f. pelaporan dewan pengawas syariah.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
409
Pasal 35
Ayat (1)
Dalam rangka menjamin terlaksananya pengambilan
keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan
prinsip kehati-hatian, Bank memiliki dan menerapkan, antara
lain, sistem pengawasan intern.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip akuntansi syariah yang
berlaku umum” yaitu standar akuntansi syariah yang
ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.
Ayat (3)
Kantor akuntan publik yang dimaksud yaitu kantor akuntan
publik yang memiliki akuntan dengan keahlian bidang
akuntansi syariah.
Ayat (4)
Dalam Memberi pengecualian, Bank negara kita memper
hatikan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang
bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Penyaluran dana berdasar Prinsip Syariah oleh Bank
Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau
kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh
terhadap kesehatan Bank Syariah dan UUS. Mengingat
bahwa penyaluran dana dimaksud bersumber dari dana
warga yang disimpan pada Bank Syariah dan UUS,
risiko yang dihadapi Bank Syariah dan UUS dapat
berpengaruh pula kepada keamanan dana warga
itu .
Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan mening
katkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko
410
dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian
pembiayaan berdasar Prinsip Syariah, pemberian jaminan
ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat
pada Nasabah debitur atau kelompok Nasabah debitur
tertentu.
Ayat (2)
Pengertian “modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank negara kita ” sesuai dengan
pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan
bank.
Batas maksimum yang dimaksud diperuntukkan bagi
masing-masing Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok
Nasabah Penerima Fasilitas termasuk perusahaan-perusahaan
dalam kelompok yang sama.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “keluarga” yaitu hubungan
sampai dengan derajat kedua, baik menurut garis
keturunan lurus maupun ke samping termasuk mertua,
menantu, dan ipar.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengertian “modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank negara kita ” sesuai dengan
pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan
bank.
411
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” yaitu
serangkaian prosedur dan metodologi yang dipakai oleh
perbankan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau,
dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha
bank.
Prinsip mengenal Nasabah { k n o w y o u r c u s t o m e r p r i n c i p l e )
merupakan prinsip yang harus diterapkan oleh perbankan
yang sekurang-kurangnya mencakup kegiatan penerimaan
dan identifikasi Nasabah serta pemantauan kegiatan transaksi
Nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
Perlindungan Nasabah dilakukan antara lain dengan cara
adanya mekanisme pengaduan Nasabah, meningkatkan
transparansi produk, dan edukasi terhadap Nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Penjelasan yang diberikan kepada Nasabah mengenai
kemungkinan timbulnya risiko kerugian Nasabah dimaksudkan
untuk menjamin transparansi produk dan jasa Bank.
bila informasi itu telah disediakan, Bank dianggap telah
melaksanakan ketentuan ini.
Pasal 40
A yat(l)
Pembelian Agunan oleh Bank melalui pelelangan
dimaksudkan untuk membantu Bank agar dapat
mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Penerima
Fasilitasnya. Dalam hal bank sebagai pembeli Agunan
Nasabah Penerima Fasilitasnya, status Bank yaitu sama
dengan pembeli bukan Bank lainnya.
Bank dimungkinkan membeli Agunan di luar pelelangan
dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian
kewajiban Nasabah Penerima Fasilitasnya.
Batas waktu 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan
pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini
merupakan jangka waktu yang wajar untuk menjual aset
Bank.
Agunan yang dapat dibeli oleh Bank yaitu Agunan yang
pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka
waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bank negara kita memuat antara lain :
a. Agunan yang dapat dibeli oleh Bank Syariah dan UUS
yaitu Agunan yang pembiayaannya telah dikategori
kan macet selama jangka waktu tertentu;
b. Jangka waktu pencairan Agunan yang telah dibeli.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memperlihatkan bukti tertulis”,
termasuk menyampaikan keterangan atau fotokopi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan” yaitu pimpinan
413
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen
setingkat menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Pembinaan yang dilakukan Bank negara kita , antara lain, mengenai
aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji
kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta
aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank
Syariah dan UUS.
Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (o f f - s i t e
s u p e r v i s i o n ) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung
(o n - s i t e s u p e r v i s i o n ) dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank
yang bersangkutan.
Pasal 51
Ayat (1)
Bank Syariah dan UUS perlu menjaga tingkat kesehatannya
dalam rangka memelihara kepercayaan warga .
414
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu segala
jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun
elektronis, yang terkait dengan objek pengawasan Bank
negara kita .
Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait
dengan Bank” yaitu setiap bagian ruangan dari kantor
bank dan tempat lain di luar bank yang terkait dengan
objek pengawasan Bank negara kita .
Huruf b
Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu segala
jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronis
yang terkait dengan objek pengawasan Bank negara kita .
Yang dimaksud dengan “setiap pihak” yaitu orang
atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap
pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik
langsung maupun tidak langsung, antara lain, u l t i m a t e
s h a r e h o l d e r atau pihak tertentu yang namanya tidak
tercantum sebagai pegawai, pengurus atau pemegang
saham bank tetapi dapat memengaruhi kegiatan
operasional bank atau keputusan manajemen bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan maupun
rekening Pembiayaan” yaitu rekening-rekening, baik
yang ada pada Bank yang diawasi/diperiksa maupun
pada Bank lain, yang terkait dengan objek
pengawasan/pemeriksaan Bank negara kita .
415
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” yaitu pihak yang
menurut penilaian Bank negara kita memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
A yat(l)
Keadaan suatu Bank dikatakan mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya bila berdasar
penilaian Bank negara kita , kondisi usaha Bank semakin
memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya
permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta
pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasar prinsip
kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan”
antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus
( t a n t i e m ) , pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau
kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
416
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pihak lain” yaitu pihak di
luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan
usaha lain, maupun individu yang memenuhi
persyaratan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad” yaitu upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyamas)
atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 56
Pada dasarnya sanksi administratif dikenakan terhadap anggota
komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan
kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administratif
417
dikenakan secara kolektif bila kesalahan itu dilakukan
secara kolektif.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
UUS yang telah memiliki izin usaha dalam ketentuan ini
yaitu UUS yang sudah ada berdasar izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah pada Bank Umum Konvensional.
418
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita NOMOR 4867
419
PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Hukum Kewarisan
Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan
menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan
berapa bagiannya masing-masing.
Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan,
disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat
manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan
ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Ulahi. Aturan
hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan
kebutuhan warga dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu
system hukum kewarisan yang sempurna.
Sejarah Hukum Kewarisan Islam
Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan
zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat
dipaparkan sebagai berikut:
1. Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan
tatacara pembagian warisan dalam warga yang didasarkan
atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya
diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang
sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna
mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan
serta merampas harta peperangan.
2. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena
dipandang tidak mampu memangui senjata guna mempertahankan
kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas
harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/
atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris
secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam
dengan turunnya Surat An Nisa’, Ayat 19 yang melarang
421
menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat
itu Allah SWT. Berfirman :
“H a i o r a n g - o r a n g y a n g b e r i m a n , t i d a k h a l a l b a g i k a m u
m e m p u s a k a i w a n i t a d e n g a n j a l a n p a k s a
3. Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan
dasar untuk saling mewarisi. bila salah seorang dari mereka
yang telah mengadakan peijanjian bersaudara itu meninggal dunia
maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar
1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah
sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi
berdasar janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
4. Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga
dijadikan dasar untuk saling mewarisi. bila anak angkat itu
telah dewasa maka ia memiliki hak untuk sepenuhnya mewarisi
harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan
pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.
5. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke
Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara
Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan
hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin
dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.
6. Dari paparan itu di atas dapat disimpulkan bahwa dasar
untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah yaitu :
a. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
b. Adanya pengangkatan anak
c. Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis ahli waris itu disyaratkan harus laki-laki dan
sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak
dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam
di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin
dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan
dasar untuk saling mewarisi.
7. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya
pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah
inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang
ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan
yang harus ditaati oleh setiap muslim.
422
8. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat
mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian)
untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka
memiliki hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun
banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam
Syari’at Islam. Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-Nya
dalam Surat An Nisa’ ayat 7, yang artinya sebagai berikut:
’ ’B a g i o r a n g l a k i - l a k i a d a h a k ( b a g i a n ) d a r i h a r t a
p e n i n g g a l a n i b u , b a p a k , d a n k e r a b a t n y a ; d a n b a g i o r a n g
p e r e m p u a n j u g a a d a h a k ( b a g i a n ) d a r i h a r t a p e n i n g g a l a n
i b u , b a p a k , d a n k e r a b a t n y a , b a i k s e d i k i t a t a u b a n y a k
m e n u r u t b a g i a n y a n g t e l a h d i t e t a p k a n ” .
Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa’ itu pula Allah SWT.
Berfirman yang artinya:
’’A l l a h m e n s y a r i ’a t k a n b a g i m u t e n t a n g ( p e m b a g i a n p u s a k a
u n t u k ) a n a k - a n a k m u , y a i t u b a h w a b a g i a n s e o r a n g a n a k l a k i -
l a k i s a m a d e n g a n b a g i a n d u a o r a n g a n a k p e r e m p u a n ” .
9. Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara
(janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al
Ahzab, yang artinya:
”..... d a n o r a n g - o r a n g y a n g m e m p u n y a i h u b u n g a n d a r a h
s e b a g i a n n y a a d a l a h l e b i h b e r h a k d a r i p a d a s e b a g i a n y a n g
l a i n d i d a l a m k i t a b A l l a h d a r i p a d a o r a n g - o r a n g m u k m i n d a n
o r a n g - o r a n g M u h a j i r i n , k e c u a l i k a l a u k a m u m a u b e r b u a t
b a i k k e p a d a s a u d a r a - s a u d a r a m u .....”
10. Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan
dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :
”..... d a n T u h a n t i d a k m e n j a d i k a n a n a k - a n a k a n g k a t m u n
s e b a g a i a n a k k a n d u n g m u s e n d i r i . Y a n g d e m i k i a n i t u
h a n y a l a h p e r k a t a a n m u d i m u l u t m u s a j a . S e d a n g A l l a h
m e n g a t a k a n y a n g s e b e n a r n y a d a n m e n u n j u k k a n j a l a n ( y a n g
b e n a r ) . P a n g g i l l a h m e r e k a d e n g a n m e m a k a i n a m a - n a m a
a y a h n y a ( y a n g s e b e n a r n y a ) s e b a b y a n g d e m i k i a n i t u l e b i h
a d i l d i s i s i A l l a h . J i k a k a m u t i d a k m e n g e t a h u i a y a h n y a m a k a
( p a n g g i l l a h m e r e k a s e p e r t i m e m a n g g i l ) s a u d a r a - s a u d a r a m u
s e a g a m a d a n m a u l a - m a u l a m u ( y a k n i o r a n g - o r a n g y a n g
b e r a d a d i b a w a h p e m e l i h a r a a n m u ) "
423
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula
bahwa:
”M u h a m m a d i t u s e k a l i - k a l i b u k a n l a h b a p a k d a r i s e o r a n g
l a k i - l a k i d i a n t a r a k a m u t e t a p i d i a a d a l a h R a s u l A l l a h d a n
p e n u t u p p a r a n a b i .
11. Sedang mengenai kewarisan berdasar persaudaraan karena
hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan
Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
Artinya:
’’T i d a k a d a k e w a j i b a n b e r h i j r a h l a g i s e t e l a h p e n a k l u k a n k o t a
M a k k a h ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang
dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara
Muhajirin dengan Anshor.
12. Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak
tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di
Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan
dengan ayat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan).
Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara
berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang
kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan
warga yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga
yang ersifat bilateral.
13. Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun
oleh syari’ah Islam yaitu sistem kekeluargaan yang bersifat
bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat warga
Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga
mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum
Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik
kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol itu telah
mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada
masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan
diajarkan kepada ummat Islam di negara kita . Ketidakseimbangan
telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang
di negara kita yaitu kukum keluarga yang bersifat bilateral,
sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal
424
sehingga hukum kewarisan patrilineal itu kurang mendapat
sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas
untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji
ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.
14. Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW.
Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia
menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi
pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.
15. Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing
merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum,
yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan
ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya.
Oleh karenanya kedua hukum itu harus memiliki sifat,
asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan
enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, bila
terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi
ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya
dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem
hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama
dengan Hukum Perkawinan.
16. Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun ada berbagai
Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini
terjadi karena faktor sejarah, tata kehidupan warga ,
pemikiran, ketaatan terhadap. syari’ah, dan sebagainya yang
berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum
kewarisan Islam di negara kita , dan juga menimbulkan disparitas
nya putusan Pengadilan Agama.
17. Disamping itu, corak kehidupan warga Arab yang bersifat
patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman
terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang
kita pelajari selama ini yaitu hukum kewarisan yang lebih
bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman warga
Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil
karena corak kehidupan warga kita yaitu bilateral,
sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal.
18. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah
Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas
membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan,
termasuk disini yaitu Peradilan Agama.
19. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang
Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk
memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris
dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang
jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan
warga Islam negara kita yang bilateral semakin terasa
mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden
Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
20. Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum kewarisan
Islam di negara kita , KH. Ali Darokah mengatakan bahwa :
’ ’W a l h a s i l , h u k u m f a r a i d y a n g a d a p e r l u d i b i n a l a g i , t e r u t a m a
u n t u k I n d o n e s i a , d e n g a n h u k u m f a r a i d k o n k r i t y a n g d a p a t
m e n c a k u p s o a l - s o a l p e n t i n g y a n g b e r k a i t d e n g a n f a r a i d , d a n
m e n c a k u p p e t u n j u k a y a t - a y a t A l Q u r ’a n d a n A l H a d i t s y a n g t e l a h
d i p o t o n g o l e h s e b a g i a n u l a m a f i q i h . B i l a p e m b i n a a n i t u b e r h a s i l ,
I n s y a A l l a h p e r s e n g k e t a a n k i t a d a p a t t e r s e l e s a i k a n . ”
Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu
fiqih dengan rasa keadilan warga islam maka perlu diadakan kaji ulang
terhadap hukum kewarisan Islam yang ada dan mengembalikannya kepada
sumber aslinya, yaitu Al Qur’an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah
gagasan tentang reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya
dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini.
HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA
Dalam peradilan atau dalam hukum negara kita juga ada hukum
waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama memang sering terjadi kerancuan. Bagi umat
muslim mau membagi warisannya secara apa. Jika ia mau membagi
menurut hukum Islam bagaimana, jika ia mau membagi secara hukum adat
atau perdata bagaimana. Artinya, sebelum keluarnya UU Pengadilan Agama
masing-masing orang memiliki pilihan atau opsi dengan cara apa ia akan
membagi warisannya. Misalnya yang beragama islam bisa saja tidak
mengambil secara waris Islam tapi bisa ke waris perdata. Jadi sebelum
keluarnya UU Pengadilan Agama, mantan wapres (Adam Malik) juga
pemah menyelesaikan kasus waris itu ke pengadilan negeri.
Kemudian apa yang menjadi perbedaan antara masing-masing itu? yang
jelas dalam waris Islam bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan.
sedang dalam hukum waris perdata bagian perempuan seimbang atau
sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) juga ditegaskan bahwa bila kata sepakat atau
musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi secara sama
rata.
Setelah adanya UU Pengadilan Agama hak opsi itu ditegaskan bahwa
bagi mereka yang beragama Islam patuh dan tunduk pada hukum Islam,
pembagian warisnya harus secara Islam dan jika timbul sengketa harus
diselesaikan di Pengadilan Agama. Perbedaan lainnya yaitu bahwa dalam
waris Islam ada unsur ta'abudi atau ibadah, karena dilaksanakan
berdasar hukum agama atau taat kepada hukum-hukum yang diturunkan
oleh Al-qur'an dan hadis.
Dalam hukum waris Islam dikenal juga adanya mahjub (tertutupnya
ahli waris). Bukan terhalang, tapi tertutup. Misalnya seorang cucu tidak bisa
mendapat warisan jika ada anak. Kemudian kakek juga tidak dapat warisan
kalau bapaknya masih ada.
Jadi dalam hukum waris Islam dikenal ashabul furud, yaitu mereka
yang berhak menerima bagian waris secara mutlak atau tidak akan tertutup
oleh siapapun juga. Ashabul furud ini pertama kali yaitu suami atau istri
yang ditinggal mati oleh istri atau suaminya. Suami atau istri ini mutlak
mendapat harta warisan pewaris (pihak yang meninggal) dan tidak bisa
terhalang oleh siapapun juga. Namun bila si pewaris memiliki anak,
maka anak-anaknya (baik yang perempuan dan laki-laki) juga mendapat
warisan itu.
Kalau yang meninggal yaitu istri dan tidak memiliki anak, maka si
suami mendapat separuh dari harta warisan, sedang jika punya anak si
suami mendapat V4. Kalau yang meninggal yaitu suami dan tidak memiliki
anak, maka si istri mendapat V4 dari harta warisan pewaris, sedang jika
punya anak maka si istri mendapat V8. Kalau orang tua pewaris masih hidup,
maka bapak dan ibu pewaris juga mendapat harta warisan dan tidak bisa
tertutup oleh siapapun juga. Jadi ada ashabul furud yang ke atas (yaitu orang
tua), menyamping (yaitu suami atau istri) dan ke bawah (yaitu anak).
Saudara kandung (kakak atau adik) pewaris bisa saja mendapat warisan jika
pewaris tidak memiliki anak.
Dalam hukum syar'i Islam ini juga diatur masalah rumah tangga mulai
dari seseorang belum lahir sampai meninggal. Begitu pula masalah harta-
harta itu sendiri. Contohnya setelah dia menikah dan kemudian bercerai itu
kan ada ketentuan mengenai harta bersama yang dipilah dengan harta
bawaan. Begitu juga ketika seseorang meninggal, maka disitu dikenal juga
harta peninggalan dan harta warisan. Dalam bab 1 Pasal 171 poin d KHI
disebutkan harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris,
baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Hak-hak ini misalnya hak cipta atau hak kekayaan intelektual.
Kemudian di KHI juga dijelaskan mengenai harta warisan, yaitu harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah dipakai untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Pemberian untuk
kerabat ini yang mungkin akan kita bahas lagi lebih lanjut yaitu masalah
wasiat.
Jadi harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris,
sedang harta warisan mumi yaitu harta bawaan ditambah harta bersama
dari suami atau istrinya setelah dipilah dan dikurangi biaya pengurusan
waktu dia sakit (jika memang sakit), meninggal, mengubur, membayar
hutang (jika punya hutang) dan wasiat, bila punya wasiat dipilah juga
wasiatnya. Harta warisan mumi inilah yang nantinya akan dibagi-bagi
kepada ahli waris. Bisa juga terjadi dimana harta warisan mumi justru
kurang, sehingga ahli waris yang hams menanggung semua biaya-biaya
yang tadi. Dalam surat An Nisa ayat 11 dikatakan bahwa Allah berwasiat
kepada kamu untuk membagi warisan sesuai dengan syariat setelah dihitung
wasiatnya (dipilah wasiatnya) dan diselesaikan hutang-piutangnya. Jadi
kalau ada hutang piutang nanti kita lihat hartanya berapa, hutangnya berapa.
Kalau memang defisit atau minus itulah yang harus ditanggung bersama
sesuai kesepakatan musyawarah.
bila harta peninggalan itu memang ada ahli warisnya maka ahli
warisnya itu tetap dibagi, karena harta peninggalan itu yaitu harta secara
umum. sedang harta warisan mumi yaitu harta yang sudah dibersihkan
dari segala umsan yang tadi.
sedang untuk wasiat dalam hukum waris perdata barat dikenal
dengan testamen. Wasiat itu hams dibagi setelah pemberi wasiat meninggal.
Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa diberikan kepada siapa saja.
Wasiat berbeda dengan hibah, karena kalau hibah boleh dilaksanakan selama
si pemberi masih hidup, sedang wasiat baru boleh dilaksanakan setelah
pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan atau
tertulis dan dilakukan terhadap harta yang dimiliki secara sempurna, artinya
bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewasiatkan sebidang
tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh
lebih dari V3 harta warisan. Wasiat akan diperhitungkan sebagai bagian dari
warisan kalau dia lebih dari V3 . Anak laki-laki langsung mendapat bagian
asshobah atau sisa harta. Wasiat juga hams disaksikan oleh dua orang saksi
dan hams secara otentik dicatatkan di kantor notaris. Dalam Al-qur'an
disebutkan bahwa "bila seseorang menjelang ajal atau sedang dalam
bepergian jauh hendaknya dia membuat wasiat kepada keluarganya." Oleh
karena kita wajib berwasiat kepada keluarga kita bila kita mau pergi
jauh.
Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana
sebelumnya dia Memberi hibah ke anaknya yang pertama. Tetapi dua
orang anaknya yang lain tidak diberi hibah. Maka selama hibah itu diberikan
kepada ahli waris itu akan diperhitungkan sebagai bagian warisan. Namun
kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat
bagaimana hibah itu dilaksanakan, sah atau tidak? otentik atau tidak? karena
hibah juga ada yang di bawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka
pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita
juga perlu melihat unsur keadilannya juga, Kalau semua harta diberikan
kepada anak angkat atau menantu kesayangan dimana mereka itu
sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui
oleh ahli waris yang lainnya.
Hibah itu setidaknya memerlukan bukti otentik berupa akta yang
memperkuat bahwasanya itu yaitu hibah yang telah menjadi hak milik
seseorang ya. Tapi sekarang ini banyak terjadi, dimana hibah hanya
dilakukan secara lisan, sehingga beberapa tahun sesudah pemberi hibah
meninggal timbul permasalahan. Menghadapi hal yang seperti ini faktor
yang diutamakan yaitu pengakuan dari yang menerima hibah dan bukti
bukti lainnya, seperti surat, catatan, bukti awal dan kesaksian dua orang
saksi. yaitu tugas pengadilan untuk membuktikan apakah hibah itu sah
atau tidak.
Waris dapat menyebabkan konflik bila ada anak diluar nikah.
Untuk itu, maka anak hasil perkawinan memiliki kedudukan lebih kuat,
karena untuk membuktikan adanya hubungan darah harus dengan bukti yang
sah/otentik bahwa kedua orang tua mereka menikah secara sah dan
dicatatkan pada petugas pencatat perkawinan. Selanjutnya, anak luar kawin
tidak mendapat warisan dari ayahnya, hanya mendapat warisan dari si ibu.
Untuk suatu keadaan dimana seorang istri yang sedang hamil dan
kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan
tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini
bisa terhitung sebagai ahli waris? Pada dasaranya ahli waris yaitu orang
yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu
pengembangan, bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris
meninggal? bila si anak lahir bertepatan dengan meninggalnya suami itu
perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun bila kembali
kepada kaidah hukum atau norma, ahli waris yaitu orang yang ada pada
waktu si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya
meninggal atau ketika ayahnya meninggal si anak masih dalam kandungan
maka ia tidak menjadi ahli waris.
Hal ini berbeda dengan hukum perdata. Menurut pasal 2 KUHPerdata,
dinyatakan bahwa anak yang sedang dalam berada dalam kandungan
merupakan subyek hukum. Sehingga dengan demikian, bayi dalam
kandungan pun memiliki hak mewaris. Dalam fikih juga ada pendapat
demikian. Jadi tadi sudah saya katakan secara sepintas bahwa anak itu
dihitung sebagai anak laki-laki. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa itu tidak bisa, karena si anak itu tidak ada/wujudnya belum ada
waktu si pewaris meninggal. Sehingga dengan demikian, bila si anak
itu lahir, maka dia tetap akan mendapat warisan, namun hanya dari
ibunya.
ada juga suatu kasus dimana dalam sebuah keluarga ada
delapan orang bersaudara. Sebelum ayah mereka meninggal kedelapan anak
sudah menandatangani surat hibah sebuah rumah untuk kakak yang tertua.
Tetapi kakak yang tertua yaitu anak diluar nikah dan sekarang ia ingin
menjual rumah hibah itu . Dalam kasus ini timbul pertanyaan apakah
kedelapan anak itu masih punya hak untuk mendapat bagian ?
Dalam kasus ini jika memang timbul sengketa maka pengadilan akan
melihat bagaimana proses hibah itu berlangsung, sah atau tidak? Disetujui
atau tidak oleh ahli waris. Bisa aja yang satu setuju tetapi ketujuh yang lain
tidak. Atau yang bertujuh setuju tetapi yang satu tidak. Kalau demikian
halnya artinya hibah itu artinya bermasalah, karena tidak disetujui oleh
semua ahli waris. Seperti tadi sudah saya jelaskan bahwa wasiat tidak boleh
dari V3 harta waris. Kemudian kalau pihak yang menerima hibah yaitu
anak diluar nikah berarti dia bukan sebagai ahli waris dan dengan demikian
tidak masuk dalam hitungan ahli waris.
Namun bila sang anak luar nikah itu sudah diakui oleh ayah maka
hibah itu tidak akan menjadi masalah. Kalau kasus seperti ini teijadi maka
pengadilan akan melihat dan akan menghitung kembali siapa ahli warisnya.
Ahli waris itu yang delapan bersaudara itu diluar kakak yang diluar nikah
itu. Si kakak yang diluar nikah itu tentu akan kita hitung wasiatnya
berdasar persetujuan semuanya dan tidak boleh dari V3. Artinya di bawah
V3 boleh.
Jika harta hibahnya itu mau dijual oleh kakak yang diluar nikah tadi,
maka para adik tentunya harus tetap mendapat bagian dari penjualan hibah
itu karena hibah itu merupakan harta warisan. Bagaimana kalau
sudah terlanjur dijual ? tentunya ini akan menjadi sengketa masalah harta.
Kalau sengketa masalah harta teijadi dan sudah melibatkan pihak ketiga
(yaitu pembeli) maka kasus itu dikembalikan kepada pengadilan negeri dulu
untuk diselesaikan. Persoalannya kita bagi dulu sesuai bagian laki-laki dan
perempuan dan yang satu itu dihitung sebagai wasiat. Artinya yang si kakak
luar nikah itu dihitung sebagai wasiat, dan bukan ahli waris dengan dengan
syarat tidak boleh lebih dari V3 harta, tetapi dibawah V3 juga boleh. Nanti
pengadilan akan melihat apakah dia dipersamakan. Kalau dia dipersamakan
dengan perempuan ya dihitung bagian perempuan, begitu juga sebaliknya.
bila hibahnya tidak ditandatangani oleh pemberi hibah akan
menimbulkan permasalahan lagi, apakah hibahnya dianggap sah atau tidak.
Yang jelas kalau secara hukum tidak sah, karena si pemberi hibah tidak
memberi tanda tangan, dan ini bisa digugat oleh mereka yang bersaudara itu.
Kecuali ada pengakuan seluruhnya mengakui bahwa sudah teijadi hibah,
terlepas ada atau tidaknya tanda tangan itu. Tanda tangan itu kan otentik ya
(tertulis). Kalau lisan kan apa yang perlu ditanda tangan. Kalau hibah secara
lisan ya tidak apa-apa tidak ada tanda tangan. sedang dalam hukum
perdata barat, anak diluar nikah jelas diakui atau bisa diakui.
ada lagi satu kasus dimana seorang istri yang menikah di bawah
tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Sebelumnya
suaminya itu telah memiliki seorang istri, namun tidak memiliki anak,
sehingga istri pertamanya itu mengangkat seorang anak tetangga sebagai
anaknya. Sebelum suami meninggal, ia pernah berpesan agar jika dirinya
meninggal, maka sang istri dapat meminta hak warisnya kepada ibunya.
Setelah suami itu meninggal si istri meminta hak warisnya kepada ibu
mertuanya. Namun si ibu mertua ini tidak mau Memberi sekarang,
melainkan nanti jika si anak sudah besar. Padahal anak-anak dan si istri yang
di bawah tangan ini memerlukan biaya pendidikan sejak kecil.
Kasus ini cukup rumit, karena menikah dibawah tangan, maka
pembuktiannya menjadi kurang kuat. Untuk itu, maka sang istri untuk itu si
istri yang menikah di bawah tangan ini harus meminta itsbat nikah dulu ke
pengadilan agama, agar perkawinannya dengan suaminya itu (pewaris)
tercatat. Hal ini untuk mencegah alibi mertuanya yang mengatakan bahwa
perkawinan mereka tidak sah atau tidak kuat karena hanya dibawah tangan.
Setelah memperoleh itsbat nikah baru kemudian dia dapat menggugat
mertuanya ke pengadilan agama agar harta warisan suaminya segera dibagi.
Walaupun pada dasarnya harta warisan itu tidak harus segera dibagi tetapi
juga tidak harus ditunda pembagiannya. Pada pokoknya kalau memang ada
itsbat nikah atau buku nikah maka itu akan kita perhitungkan sebagai ahli
waris. Namun demikian pengadilan akan tetap melihat asas-asas keadilan.
Dalam persoalan anak yang masih kecil yang mendapat harta warisan,
dalam Al-qur'an dikatakan bahwa hendaklah dijaga harta anak yatim dan
jangan sampai harta anak yatim itu termakan oleh orang yang menjadi
pelindungnya. Makanya seorang ibu yang punya anak, kemudian ada bagian
harta warisan unutk anaknya itu harus dijaga agar jangan sampai terjual
apalagi berpindah tangan, kecuali untuk kepentingan anak itu sendiri,
misalnya untuk sekolahnya, kesehatannya.
bila seseorang bercerai dia tidak mendapat harta warisan karena
harta warisan itu hanya dalam ikatan perkawinan. Tapi untuk anak-anak dari
orang tua yang bercerai mereka tetap mendapat warisan.
Di pengadilan agama ada pertolongan pembagian harta
peninggalan (P3HP) yang membantu pengurusan harta warisan muslim yang
tidak ada sengketa. Artinya ahli waris sudah sepakat membagi harta warisan
secara tertulis, ada surat-suratnya dan ahli waris mengajukan permohonan
pembagian harta warisan di pengadilan agama melalui jalur P3HP.
Kemudian jika timbul sengketa dalam hal pembagian warisan, maka
hal itu diselesaikan melalui gugatan di pengadilan agama (bagi yang
beragama Islam) dan pengadilan negeri (bagi yang non muslim).
Kemudian bila misalnya dari objek harta warisan dijual oleh ahli
waris, tapi tidak semua ahli waris mengetahui bahwa harta warisan itu dijual
bagaimana? Kalau itu merupakan bagian dari harta warisan harus
dikompensasi. Berapa bagian yang sudah dijual dan berapa bagian
kompensasinya. Ahli waris yang tidak mengetahui ini juga dapat menuntut
secara pidana (tindak pidana penipuan) ahli waris yang lainnya sehingga
timbul sengketa hak. Menurut Pasal 49 dan 50 UU Peradilan Agama
sengketa hak itu harus diselesaikan di pengadilan negeri dulu. Pengadilan
Agama hanya sebatas menentukan siapa ahli waris, berapa bagian ahli waris
dan eksekusi harta waris. Kalau sudah menyangkut sengketa harta maka
Pengadilan Agama akan meminta bantuan dari pengadilan negeri dulu untuk
memutus sengketa itu .
bila si pewaris melakukan poligami, bila dia tidak punya anak
maka bagian istri yaitu V4. Tapi kalau suami istri itu punya anak maka
bagiannya V8. Jumlah V8 ini bukan untuk masing-masing istri (pertama,
kedua, dst) V8. Kalau seperti ini berarti jumlahnya sudah 4/8. Jadi sisanya
hanya tinggal 4/8 atau separuhnya. Yang betul jumlah V8 itu dibagi 4 (kalau
istrinya 4). Untuk bagian anak-anaknya dihitung dari 4 orang istri itu berapa
semua anaknya. Kalau anaknya 10 laki perempuan, berarti 7/8 dibagi 10 buat
anak-anaknya. Dengan perhitungan anak laki-laki 2 bagian dibandingkan anak
perempuan.
HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DAN
PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DI negara kita
A. HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DI negara kita
Membicarakan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di
negara kita , tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat Islam. Umat
Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok warga yang mendapat
legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di negara kita . Oleh
karena itu, umat Islam tidak dapat diceraipisahkan dengan hukum Islam
yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di negara kita bila
dilihat dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita ), yaitu para
pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam
dalam negara negara kita merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para
pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara
berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen,
tujuh kata itu dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian
diganti dengan kata "Yang Maha Esa".
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti 'yang dikutip
oleh muridnya (H. Mohammad Daud AH) mengandung norma dan garis
hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara
Republik negara kita berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu
hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut:
1. Dalam negara Republik negara kita tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam bagi umat
Islam, kaidah agama Nasrani, atau agama Hindu-Bali bagi orang-orang
Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha
bagi orang Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik
negara kita ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang
bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan
bangsa negara kita .
2. Negara Republik negara kita wajib menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi
orang Hindu-Bali. Sekadar menjalankan syariat itu memerlukan
perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua yaitu
negara Republik negara kita wajib menjalankan dalam pengertian
menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut
oleh bangsa negara kita dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum
agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara
negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan
syariat yang dipeluk oleh bangsa negara kita untuk kepentingan pemeluk
agama bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya,
yang disebut syariat Islam, tidak hanya memuat hukum salat, zakat,
puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum dunia baik
keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara
untuk menjalankannya secara sempurna. Misalnya, hukum harta
kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyeleng
garaan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum
pidana (Islam) seperti zina, pencurian, dan pembunuhan. Hal ini
memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan
Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara
dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari
agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga negara
Republik negara kita .
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk
menjalankannya. Oleh karena itu, dapat dijalankan sendiri oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi
terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut
agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari Suatu
agama yang diakui di negara Republik negara kita yang dapat dijalankan
sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya
hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada
umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan
pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan
agamanya masing-masing
Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu
perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: (a) Dr. Muhammad Hatta (almarhum)
ketika menjelaskan arti perkataan "kepercayaan" yang termuat dalam ayat
(2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan
kepercayaan dalam pasal itu yaitu kepercayaan agama. Kuncinya
yaitu perkataan itu yang ada di ujung ayat (2) Pasal 29 dimaksud, Kata
"itu" menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan
itu . Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan
ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab Agama
Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai dengan keterangan H. Agus
Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan
Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada seorang pun di antara kami yang
ragu-ragu bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu yaitu aqidah,
kepercayaan agama . . . ; (b) ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1)
Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 Tahun 1959
dahulu, pemerintah Republik negara kita menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29
UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan;
(c) pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum
dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam
mewujudkan keadilan dalam Negara Republik negara kita . Menurut Pasal 4
Undang-Undang No. 4 Tahun 1970 peradilan di negara kita harus dilakukan
demi keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa (sekarang Pasal 4
ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004)
berdasar uraian dan penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa
hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara
Republik negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian
dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Undang-Undang Republik negara kita Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat dan beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan
hukum Islam. Demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang
menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di
negara kita . Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma hukum yang
tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, keberlakuan dan
kekuatan hukum Islam secara ketatanegaraan di negara Republik negara kita
yaitu Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.
B. HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
bila membicarakan hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional, perlu diungkapkan produk pemikiran hukum Islam dalam sejarah
perilaku umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam di negara kita , seiring
pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (1) syariah, (2) fikih, (3) fatwa
ulama/hakim, (4) keputusan pengadilan, dan (5) perundang-undangan. Hal
itu akan diuraikan sebagai berikut..
1. Syariah
Syariah atau yang biasa disebut I s l a m i c L a w dalam bahasa Inggris
seperti yang telah diuraikan yaitu hukum Islam yang tidak mengalami
perubahan sepanjang zaman dan mengikat pada setiap umat Islam. Namun,
ikatan dimaksud, didasari oleh aqidah dan akhlak Islam. Oleh karena itu,
syariah yaitu jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap muslim. Syariah
memuat ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan
maupun berupa suruhan, la meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia, baik yang berhubungan dengan manusia kepada Tuhan-Nya,
manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan
kehidupannya. Namun, perlu diungkapkan bahwa hukum Islam dalam
pengertian ini seperti yang telah diuraikan bahwa ada yang dapat
dilaksanakan secara perorangan, per kelompok, dan ada yang memerlukan
bantuan alat negara dalam penerapannya.
2. Fikih (Fiqh)
Fikih seperti yang telah diuraikan yaitu hukum Islam yang
berdasar pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat,
nash Alquran dan/ atau hadis Nabi Muhammad. Hukum Islam dimaksud,
sudah diamalkan oleh umat Islam negara kita sejak orang negara kita memeluk
agama Islam. Namun, tingkat pengamalan hukum dimaksud didasari oleh
keimanan setiap orang Islam sehingga ditemukan pengamalan hukum itu
bervariasi pada setiap suku dan tempat.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu puncak pemikiran f i q h di
negara kita . Hal dimaksud, didasari oleh keterlibatan para ulama,
cendekiawan tokoh warga (tokoh agama dan tokoh adat) dalam
menentukan hukum Islam dalam hal perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
dan wakaf. KHI dimaksud, secara formal disahkan oleh Presiden tanggal 10
Juni 1991 melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Instruksi
dimaksud ditindaklanjuti tanggal 22 Juli 1991 oleh Menteri Agama RI
melalui Keputusannya Nomor 154 Tahun 1991, kemudian disebarluaskan
melalui Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Nomor 3694/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991. Oleh karena itu, patut
dianggap sebagai i j m a ' ulama/ijtihad kolektif warga negara kita atau f i q h
ala negara kita (istilah Hazairin). KHI sebagai i j m a ' ulama negara kita diakui
keberadaannya dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam
negara kita dalam menjawab setiap persoalan hukum yang muncul baik
penyelesaian kasus sengketa melalui musyawarah di dalam warga
maupun melalui lembaga di Peradilan Agama.
3. Fatwa
Hukum Islam yang berbentuk fatwa yaitu hukum Islam yang
dijadikan jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan
yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama negara kita
mengenai larangan Natal Bersama antara orang Kristen dengan orang Islam.
Fatwa dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak memiliki daya ikat secara
yuridis formal terhadap peminta fatwa. Namun, fatwa mengenai larangan
Natal bersama dimaksud secara yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh
umat Islam di negara kita . Oleh karena itu, fatwa pada umumnya cenderung
bersifat dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat
Islam.
4. Keputusan Pengadilan Agama
Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama yaitu
keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya
permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih
dan/atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud, bersifat mengikat
kepada pihak-pihak yang beperkara. Selain itu, keputusan pengadilan agama
dapat bernilai sebagai yurisprudensi ( j u r i s p r u d e n c e ) , yang dalam kasus
tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.
5. Perundang-undangan negara kita
Hukum Islam dalani bentuk perundang-undangan di negara kita yaitu
yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya
lebih luas. Oleh karena itu, sebagai peraturan organik, terkadang tidak elastis
mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan. Sebagai contoh Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang itu
memuat hukum Islam dan mengikat kepada setiap warga negara Republik
negara kita (Zainuddin Ali, 2001:136-138).
439
440
GAMBARAN UMUM TENTANG
PERADILAN AGAMA DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
A. SKETSA PERADILAN AGAMA
Proses terbentuknya Peradilan Agama di negara kita diketahui melalui
teori yang dikemukakan oleh Al-Malbari dalam bukunya yang berjudul
F a t h u l M u ' in seperti yang dikutip oleh Zaini Ahmad Noeh, yaitu melalui
tiga bentuk. P e r t a m a , bentuk t a h k i m , berlaku pada zaman permulaan Islam
yakni pada saat terbentuknya warga Islam, sehingga orang-orang yang
bersengketa atas kesepakatan bersama mendatangi ahli agama untuk
meminta jasanya dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. K e d u a ,
bentuk t a u l i y a h dari a h l u l h a l l i w a l - a q d i , berlaku ketika agama Islam
berkembang di nusantara ini yang ditandai dengan munculnya komunitas
Islam di berbagai wilayah. Di antara mereka ada elite yang tampil atau
ditampilkan sebagai pemegang wibawa dan kekuasaan, baik bersifat
rohaniah maupun politis dalam pengertian sederhana. Kelompok elite inilah
yang pada masa itu berwenang menunjuk figur tertentu untuk
menyelenggarakan urusan Peradilan Agama. K e t i g a , bentuk t a u l i y a h dari
imam sebagai kepala negara, berlaku ketika kerajaan Islam berdiri di
nusantara ini; lebih jelas lagi dengan keberadaan instansi yang mengurus
kepentingan beragama kaum muslimin. Oleh karena itu, secara administratif,
baik keberadaan Peradilan Agama maupun produk hukumnya menjadi lebih
valid dan memiliki legitimatif (pembenaran). Sejak itu lembaga Peradilan
Agama telah mengambil bentuk formal dan konkret (Zaini Ahmad Noeh,
1980:17).
Ahmad Noeh mengemukakan ketiga wajah dimaksud, pertama wajah
Tahkim, yaitu Lembaga Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana
berupa tahkim telah lama ada dalam warga negara kita , yakni sejak
agama Islam datang di nusantara ini. Tahkim'inilah yang menjadi embrio
lahirnya Peradilan Agama, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar
penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) dalam
melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan
rangkaian kesatuan dengan komponen ajaran agama Islam lainnya.
Peradilan Agama yang sudah ada sebelum datang kekuasaan kolonial di
negara kita itulah yang dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura
tahun 1882, di sebagian besar keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur
441
1937 dan di luar kedua wilayah itu tahun 1957 dengan peraturan perundang-
undangan pembentukannya (Zaini Ahmad Noeh, 1980: 17).
Pengadilan Agama sebagaimana keadaannya dari tahun ke tahun
dibentuk dalam suasana yang berbeda. Pengadilan Agama di Jawa, Madura,
dan di sebagian bekas keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan
tumbuh dalam suasana kolonial, sedang Pengadilan Agama di luar daerah itu
lahir dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan. Perbedaan suasana
pembentukan, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menyebabkan
perbedaan nama dan perbedaan kewenangannya. Perbedaan penyebutan
nama telah diseragamkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara lebih
tegas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 1970
dengan sebutan Pengadilan Agama untuk seluruh wilayah negara kita .
sedang perbedaan kewenangan Pengadilan Agama disamakan oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
' Perbedaan kewenangan Pengadilan Agama yang berlaku di Jawa dan
Madura dari Peradilan Agama di luar wilayah itu yaitu terletak tugas pokok
di bidang hukum perkawinan; sedang Peradilan Agama di luar wilayah
memiliki tugas pokok di bidang hukum perkawinan dan hukum
kewarisan. Perbedaan wewenang Peradilan Agama menurut Hazairin tidak
memiliki dasar hukum, karena tidak ada perbedaan esensial dalam jiwa
keislaman antara orang Jawa dengan orang luar Jawa. Itulah satu-satunya
yang dapat diungkapkan sebagai penyebab perbedaan itu: Sekitar tahun
1930-an pihak Belanda selaras dengan teori resepsinya, melihat keadaan di
Jawa itu yakni hukum faraid belum dapat diterima oleh orang desa, apalagi
hukum adat di Jawa ini khas di bidang kewarisan "lebih adil" katanya jika
dibandingkan dengan hukum faraid yang mengutamakan pihak laki-laki
lebih dibandingkan pihak perempuan (Hazairin, 1985: 32).
Selain itu, Hazairin berpendapat bahwa kesalahan yang diperbuat oleh
pembuat PP No. 45 Tahun 1957 pada Peradilan Agama di luar Jawa dan
Madura haruslah segera diperbaiki karena tidak ada dasarnya untuk
meletakkan syarat bagi Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura bahwa
hukum Islam mestilah telah menjadi hukum (adat) yang berlaku. Nyatalah
bahwa pada tahun 1957 pembuat PP No. 45 Tahun 1957 masih dipengaruhi
oleh politik Belanda yang bernama teori r e c e p t i e (Hazairin, 1985: 32).
Namun, kesalahan pada tahun 1930-an dan kesalahan pada PP No. 45 Tahun
1957 yang membedakan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
dari Peradilan di luar kedua wilayah itu bam dapat diperbaiki melalui Pasal
49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
442
Selain kekuasaan Peradilan Agama yang berbeda, pengadilan agama itu
dalam susunannya tidak ada juru sita, sehingga tidak mampu
menjalankan keputusannya. Namun, upaya untuk mengendalikan Pengadilan
Agama itu, tetap berlanjut dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (2) bahwa setiap
keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau
Pengadilan Negeri (H. Mohammad Daud Ali, 1991:253).
B. PERADILAN AGAMA DI negara kita
Peradilan agama yaitu proses pemberian keadilan berdasar hukum
Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan
Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di negara kita .
Selain itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman dalam negara Republik negara kita . Lembaga peradilan dimaksud,
memiliki kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang
berbeda.
Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang
sederhana berupa t a h k i m , yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-
orang yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli agama Islam. Hal
ini, ada di zaman penjajahan Belanda, bahkan sebelum adanya penjajahan di
negara kita .
Sejak rancangan Undang-Undang Peradilan Agama disahkan tanggal
29 Desember 1989 oleh Presiden Republik negara kita menjadi Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diundangkan pada
tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam
Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa
penting yang bukan hanya pembangunan perangkat hukum nasional,
melainkan juga bagi umat Islam negara kita . Sebabnya yaitu Peradilan
Agama menjadi lebih mantap kedudukannya sebagai salah satu badan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di negara kita ; menegakkan
hukum Islam bagi pencari keadilan, utamanya bagi mereka yang beragama
Islam berkenaan dengan perkara keperdataan di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, dan sedekah. Dengan undang-undang ini, pemeluk
agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk negara kita diberi
kesempatan untuk menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran
agaraanya sesuai dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan
diundangkan itu terdiri atas 7 bab, 108 pasal dengan sistematika dan garis-
443
garis besar isinya, yaitu (1) Bab I tentang ketentuan umum. Hal ini mengatur
di antaranya: Peradilan Agama yaitu peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam, terdiri atas (a) Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama, dan (b) Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan
tingkat banding. Kedua-duanya merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
dimaksud, Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota
kabupaten, sedang Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota
provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah Agung, di bawah
pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung di bidang Lingkungan Peradilan
Agama. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya seperti halnya
dengan badan peradilan lain, dilakukan oleh Departemen Teknis, yaitu
Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama; (2) Bab II sampai
dengan Bab III mengatur susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, di
antaranya disebutkan bahwa bagian pertama atau bagian umum menyebut
susunan Pengadilan Agama yang terdiri atas pimpinan, yaitu seorang ketua
dan seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita.
Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas pimpinan, yaitu seorang
ketua dan seorang wakil ketua, hakim tinggi; (3) Bab IV mengatur hukum
acara Peradilan Agama; (4) Bab V mengatur tentang ketentuan-ketentuan
lain; (5) Bab VI mengatur tentang ketentuan peralihan; (6) Bab VII tentang
penutup (sekarang ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama).
C. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN PERANNYA
Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai (Aceh, dekat
Lhokseumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi
perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al-
Malik Al-Zahir pada diskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih.
Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja,
Al-Malik Al-Zahir, yang menjadi Sultan Pasai ketika itu, yaitu juga
seorang fuqaha yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di Kerajaan
Pasai pada waktu itu yaitu hukum Islam mazhab Syafi'i. Menurut Hamka,
dari Pasailah disebarkan paham Syafi'i ke kerajaan Islam lainnya di
negara kita . Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500) para
ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata
putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam
warga ,
Dalam proses Islamisasi kepulauan negara kita yang dilakukan oleh para
saudagar melalui perdagangan dan perkawinan hukum Islam memiliki
peran yang amat besar. Misalnya, ketika seorang saudagar hendak menikah
dengan seorang pribumi, maka wanita itu diislamkan lebih dahulu dan
pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam.
Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan
antaranggotanya dengan kaidah hukum Islam atau kaidah lama yang
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang suami istri
meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan
Islam. Jika ada sengketa di antara mereka, sengketa itu diselesaikan oleh
h a k a m melalui t a h k i m kepada m u h a k k a m yang merupakan asal usul
Peradilan Agama atau bentuk Peradilan Agama pada permulaan
perkembangan agama Islam di nusantara ini. Pembentukan keluarga yang
kemudian berkembang menjadi warga Islam yang baru memerlukan
pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun untuk orang yang telah
dewasa. Secara tradisional, biasanya pelajaran agama yang diajarkan pada
waktu itu yaitu (1) ilmu kalam, (2) ilmu fikih, dan (3) ilmu tasawwuf
(mistik). Dengan sistem pendidikan dan perkawinan yang demikian,
menyebarlah ajaran agama Islam ke seluruh kepulauan negara kita secara
damai,
Setelah agama Islam berakar dalam warga , peran saudagar dalam
menyebarkan ajaran Islam digantikan oleh para ulama sebagai guru dan
pengawal hukum Islam. Misalnya, Nuruddin Ar-Raniri (yang hidup di abad
ke-17) menulis buku hukum Islam dengan judul S i r a t a l M u s t a k i m (Jalan
Lurus) pada tahun 1628. Menurut Hamka seperti yang dikutip oleh H.
Mohammad Daud Ali, kitab S i r a t a l M u s t a k i m ini merupakan kitab hukum
Islam yang pertama disebarkan ke seluruh negara kita oleh Syaikh Arsyad
Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin, kitab hukum S i r a t a l M u s t a k i m
itu diperluas dan diperpanjang uraiannya di dalam S a b i l a l M u h t a d i n dan
dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di
daerah kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah kesultanan Palembang,
Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan Mataram ada
kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam
menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka. Ini
dapat dibuktikan dari karya pujangga yang hidup pada masa itu. Misalnya,
K u t a r a g a m a , S a j i n a t u l H u k u m , dan lain-lain
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Belanda
mengukuhkan kekuasaannya, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri
sendiri telah ada dalam warga , tumbuh dan berkembang di samping
kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini.
Menurut Ahmad Djamil Latif, ada bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa hukum Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan
nusantara dan memiliki pengaruh yang bersifat normatif dalam
kebudayaan negara kita . Pengaruh itu tampak dalam hukum keluarga dan
hukum pidana ,
Ketika VOC dating di nusantara ini, ia tidak saja mengakui keberlakuan
hukum Islam, bahkan berusaha untuk membukukan hukum Islam ke dalam
berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumiputera di
wilayah yang mereka kuasai. Tahun 1750 diterbitkan kitab sebagai
kumpulan hukum pertama yang diberi nama kitab H u k u m M o g h a r r a e r yang
memuat hukum orang Jawa untuk keperl