28 dan 29 Oktober 1986
b. Turki tanggal 1 dan 2 November 1986
c. Mesir tanggal 3 dan 4 November 1986
29
Studi perbandingan dilaksanakan oleh H. Masrani Basran SH, Hakim
Agung Mahkamah Agung RI dan H. Muchtar Zarkasyi, SH Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI. Informasi
bahan masukan yang diperoleh :
a. Sistem Peradilan
b. Masuknya Shariah Law dan dalam arus Tata Hukum Nasional
c. Sumber-sumber hukum dan materiil yang menjadi pegangan/ terapan
hukum di bidang Ahwalussyakhsiyah yang menyangkut kepentingan
Muslim. (Direktorat Pembinaan, 1992: 152-154).
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam, selain digarap melalui 4 jalur
itu di atas juga mendapat dukungan dan masukan dan beberapa
organisasi Islam. Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, misalnya pada tanggal
8-9 April 1986 bertempat di Kampus Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta telah menyelenggarakan "Seminar Kompilasi Hukum Islam"
yang juga dihadiri oleh Menteri Agama dan Ketua MUI KH. Hasan Basri.
Dalam Seminar ini di bahas berbagai persoalan hukum seperti perkawinan,
wanita hamil karena zina, masalah lian, syiqaq, rujuk, taklik, talak,
pembagian warisan, harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan dan
penjualan harta wakaf (Panji warga No. 502 Th. XXVII/1986). Dilihat
dan materi yang dibahas ternyata banyak sekali yang muncul dalam
kompilasi Hukum Islam. Selain itu Syuriah NU Jawa Timur juga sempat
mengadakan 3 kali bahstul masail di tiga pondok pesantren yaitu Tambak
Beras, Lumajang dan Sidoarjo. (Direktorat Pembinaan, 1992: 155). Dan
masih banyak lagi yang Memberi perhatian dan sumbangan dalam proses
penyelesaian kompilasi itu .
Setelah pengumpulan data yang diselesaikan sesuai dengan jadwal yang
ditentukan, dilanjutkan dengan pengolahan data dan penyusunan draft
kompilasi Hukum Islam oleh tim yang telah ditentukan, dan draft inilah yang
kemudian diajukan dalam satu Lokakarya Nasional yang diadakan khusus
untuk penyempurnaannya. Peranan Lokakarya ini sangat penting sekali
sebagaimana tampak dengan disebutkannya dalam Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tentang penyebarluasan kompilasi ini dengan kata-kata
"menyebarluaskan" kompilasi Hukum Islam ini sebagaimana telah diterima
baik oleh para alim ulama negara kita dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal
2 sampai 5 Februari 1988.
Dalam penegasan ini perlu digarisbawahi kata-kata "telah diterima baik
oleh para alim ulama negara kita " karena ini yaitu merupakan kata kunci dan
30
sekaligus merefleksikan kedudukan kompilasi sebagai salah satu hasil
kesepakatan para alim ulama negara kita . Jauh sebelumnya Busthanul Arifin
sudah merencanakan bahwa dalam lokakarya itu diusahakan tercapainya
ijma (konsensus) diantara ahli-ahli hukum Islam dan ahli hukum umum.
(Arifin, 1985: 30). Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Yahya
Harahap dalam tulisannya. (Harahap, 1988: 95).
Menurut Amir Syarifuddin, lokakarya ini memperlihatkan puncak
perkembangan pemikiran fikih di negara kita . Pada kesempatan itu hadir
tokoh ulama fikih dan organisasi-organisasi Islam, ulama fikih dari
Perguruan Tinggi, dan warga umum dan diperkirakan dari semua
lapisan ulama fikih ikut dalam pembahasan, sehingga patut dinilai sebagai
ijma ulama negara kita . (Syarifuddin, 1990: 138-139).
Istilah "Ijma Ulama negara kita " dalam penegasan itu di atas
rasanya memang agak berkelebihan, lebih-lebih setelah dikemudian hari kita
melihat bagaimana isi dari kompilasi Hukum Islam yang bersangkutan, akan
tetapi rasanya memang tidak ada istilah yang lebih tepat dalam bahasa
agama untuk menyebut kompilasi ini selain sebagai ijma nasional dalam
bidang-bidang tertentu hukum Islam di negara kita .
Pelaksanaan Lokakarya diikuti oleh 124 orang peserta dari seluruh
negara kita , yang terdiri dari para Ketua Umum Majelis Ulama Propinsi, para
Ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh negara kita , beberapa orang Rektor
IAIN, beberapa orang Dekan Fakultas Syariah IAIN, sejumlah wakil
organisasi Islam, sejumlah ulama dan sejumlah Cendekiawan Muslim, baik
di daerah maupun di pusat, tidak ketinggalan pula wakil organisasi wanita.
(Sinar Darussalam No. 166/167, 1988: 11).
Lokakarya yang berlangsung selama 5 hari (2-6 Februari 1988)
bertempat di Hotel Kartika Chandra Jakarta, dibuka oleh Ketua Mahkamah
Agung H. Ali Said SH. Juga memberi kata sambutan Menteri Agama RI H.
Munawir Sadzali MA. Setelah pembukaan pimpinan proyek Prof. Busthanul
Arifin SH Memberi beberapa penjelasan berkenaan dengan materi
lokakarya, dan selanjutnya para peserta lokakarya dibagi ke dalam 3 komisi
masing-masing:
a. Komisi I Bidang Hukum Perkawinan di ketuai oleh H. Yahya Harahap
DH, sekretaris Drs. H. Marfuddin Kosasih SH. Nara sumber KH. Halim
Muchammad SH dengan anggota sebanyak 42 orang;
b. Komisi II Bidang Hukum Perwakafan diketahui oleh H.A. Wasit
Aulawi MA dengan sekretaris H. Zainal Abidin Abu Bakar SH, nara
sumber KH. A. Azhar Basyir MA dengan beranggota sebanyak 42
orang.
31
c. Komisi III Bidang Hukum Perwakafan diketuai oleh H. Masrani Basran
SH sekretaris DR. H. A Gani Abdullah SH, nara sumber Prof. Dr.
Rahmat Jatnika, beranggotakan 29 orang. (Direktorat Pembinaan, 1992:
158-159).
Perumusan materi dilakukan di Komisi dan masing-masing komisi dan
untuk itu dibentuk Tim perumusannya, yaitu :
1. Tim Perumus Komisi A tentang Hukum Perkawinan :
a. H.M. Yahya Harahap, SH.
b. Drs. Marfuddin Kosasih, SH.
c. KH. Halim Muhammmad, SH.
d. H. Muchtar Zarkasyi, SH.
e. KH. Ali Yafie f. KH. Najih Ahyad.
2. Tim Perumus Komisi B tentang Hukum Kewarisan :
a. H. A. Wasit Aulawi, MA.
b. H. Zainal Abidin Abubakar, SH.
c. KH. Azhar Basyir, MA.
d. Prof. KH. Md. Kholid, SH.
e. Drs. Ersyad, SH.
3. Tim Perumus Komisi C tentang Hukum Wakaf:
a. H. Masrani Basran, SH.
b. DR. H.A. Gani Abdullah, SH.
c. Prof. DR. H. Rahmat Djatnika
d. Prof. KH. Ibrahim Husein, LML
e. KH Aziz Masyhuri
(Direktorat Pembinaan, 1992: 159-161)
Lokakarya yang membahas materi kompilasi Hukum Islam secara
mendasar tentang masalah-masalah di bidang Hukum Perkawinan,
Kewarisan perwakafan yang merupakan masalah-masalah fikih yang selama
ini banyak diperdebatkan dewasa ini. Memang materi yang dijadikan bahan
dalam lokakarya ini banyak berbeda dari materi fikih yang selama ini
dipahami dan dijalankan, tetapi mereka tetap memegang dalil yang kuat.
Dalam tulisannya Amir Syarifuddin, misalnya Memberi contoh
mengenai hal tersebul. Karena Hak anak laki-laki dan anak perempuan
dalam kewarisan merupakan sesuatu yang sudah standar dan berdasar
dalil qath'i tetap sebagaimana yang berlaku dalam kitab-kitab fikih yang ada,
32
pembahasan dalam lokakarya berjalan dengan lancar dan tidak menghadapi
permasalahan yang berarti. Akan tetapi menurut Amir Syarifiiddin, materi
lainnya karena dirasa tidak berbenturan dengan dalil yang sharih dan qath’i
dapat diterima oleh ahli fikih negara kita ini meskipun mereka berbeda dalam
fikih. (Syarifuddin, 1990: 139).
Lokakarya ini memang memiliki peranan penting dalam rangka
penetapan Kompilasi Hukum Islam. Dengan adanya Lokakarya ini, maka
seperti apa yang dikatakan oleh Yahya Harahap bahwa finalnya rumusan
kompilasi bukan ditentukan secara mutlak ditangan panitia. Akan tetapi untk
memperoleh rumusan finalnya, dimintakan lagi persetujuan pendapat dari
para ulama atau katakannya, akan dimintakan lagi "ijma" dari para ulama
terkemuka melalui seminar yang bersifat nasional. (Harahap, 1990: 95).
Pada tanggal 29 Desembar 1989 pemerintah mengundangkan
berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 (LN 1989 No. 49) tentang
Peradilan Agama setelah untuk sekian lama undang-undang ini menempuh
proses yang cukup alot karena banyaknya reaksi yang bermunculan untuk
menghalangi lahirnya undang-undang ini. Sifat sensitifnya memang tinggi
akan tetapi urgensinya ternyata jauh lebih mendesak, sehingga Undang-
undang ini berhasil disetujui oleh semua fraksi di DPR dan disahkan
menjadi undang-undang. Berlakunya Undang-undang ini memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap proses penyelesaian penyusunan
kompilasi hukum Islam. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yaitu mengatur
tentang hukum formal yang akan dipakai dilingkungan peradilan agama.
Hukum formal secara teori yaitu untuk "mengabdi" kepada hukum
material. Akan tetapi sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian
terdahulu sampai saat itu hukum material mana yang dipergunakan bagi
Peradilan Agama masih belum jelas dan untuk keperluan itulah kompilasi
hukum Islam ini disusun. Dengan demikian, maka dengan berlakunya
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menjadi dorongan yang lebih kuat untuk
memacu lahirnya hukum materiilnya yaitu kompilasi hukum Islam.
Dorongan kepada pemerintah untuk segera mengesahkan Kompilasi
Hukum Islam itu muncul dari berbagai pihak. Hanya saja pada waktu itu
masih ada perbedaan pandangan tentang produk hukum yang akan
mewadahi kompilasi itu . Idealnya ia harus dituangkan dalam satu
Undang-undang. Akan tetapi dikhawatirkan kalau kita harus merancang
kembali satu Undang-undang prosesnya akan berlarut-larut dan memakan
waktu yang lama. Ada pula keinginan untuk menuangkannya dalam bentuk
Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden.
33
Rahmat Djatnika, misalnya mengemukakan bahwa dalam urusan ini
kita tidak melalui DPR tetapi memakai sistem potong kompas karena kalau
melalui DPR akan sulit, apalagi masalah waris. Oleh karenanya Mahkamah
Agung memakai jalan pintas bersama-sama dengan Departemen Agama
mengadakan kompilasi, dan biayanya atas restu Presiden. Ini cara potong
kompas, yang zaman dulu tidak mungkin dilakukan, (Djatnika, 1990: 235).
Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta mengharapkan kepada
pemerintah untuk segera mengesahkan kompilasi Hukum Islam sehubungan
dengan diundangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Dan beberapa hari sebelum Presiden menunaikan ibadah
haji, tepatnya tanggal 10 Juni 1991, beliau menandatangani Instruksi
Presiden Republik negara kita No. 1 Tahun 1990. (Sunny, 1991a : 43 dan
1991b :7). Sejak saat itu secara formal berlakulah kompilasi Hukum Islam di
seluruh negara kita sebagai hukum materiil yang dipergunakan di lingkungan
Peradilan Agama.
Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama
telah mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan
Instruksi Presiden Republik negara kita No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991. Selanjutnya kompilasi ini disebarluaskan kepada semua Ketua
Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat
Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli
1991 No. 3694/EV/HK.003/A2/91. Dengan adanya berbagai landasan
hukum dimaksud kompilasi hukum Islam ini telah memiliki tempat yang
kokoh dalam sistem hukum negara kita .
Menurut A. Djazuli, upaya mengkompilasi hukum Islam ini yaitu
merupakan salah satu usaha yang sangat positif dalam pembinaan hukum
Islam sebagai salah satu sumber pembentukan Hukum Nasional. Disebutkan
pula bahwa kompilasi Hukum Islam ini yaitu merupakan sebuah kegiatan
yang ditangani bersama oleh "ulama" (Departemen Agama) dan "umara"
(Mahkamah Agung). Kemudian dikatakan bahwa dengan kompilasi Hukum
Islam ini, para Hakim Agama memiliki pegangan tentang Hukum yang
harus diterapkan di dalam warga . Dengan perkataan lain,
pengetahuannya tentang hak dan kewajiban menurut Hukum Islam akan
lebih mantap. (Djazuli, 1991: 235-236).
34
LAN D ASAN DAN KEDUDUKAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi
Hukum Islam di negara kita yaitu Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991. Menurut Ismail Suny, oleh karena sudah jelas bahwa
dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk
Islam telah ditetapkan oleh Undang-undang yang berlaku yaitu hukum
Islam, maka Kompilasi Hukum Islam itu yang memuat hukum materiilnya
dapat ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi Presiden. Pendapat
itu antara lain didasarkannya pada disertasi dari A. Hamid S. Attamimi.
Dan selanjutnya ia mengatakan bahwa Instruksi Presiden itu dasar
hukumnya yaitu pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan Pemerintahan Negara.
Apakah dinamakan Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden, kedudukan
hukumnya yaitu sama. (Suny, 1991: 44). Karena itu pembicaraan mengenai
kedudukan kompilasi tidak mungkin dilepaskan dari Instruksi Presiden di
maksud.
Instruksi Presiden ini ditujukan kepada Menteri Agama. Ini yaitu
merupakan Instruksi kepada Menteri Agama. Ini yaitu merupakan Instruksi
dari Presiden RI kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi
Hukum Islam yang sudah disepakati itu . Diktum Keputusan ini hanya
menyatakan :
PERTAMA : Menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri
dari:
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan;
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan;
c. Buku III tentang hukum Perwakafan.
sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama
negara kita dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2-5
Februari 1988 untuk dipakai oleh Instansi Pemerintah
dan oleh warga yang memerlukannya.
KEDUA : Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan
dengan penuh tanggung jawab.
35
sedang konsideran Instruksi itu menyatakan :
a. bahwa ulama negara kita dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada
tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988 telah menerima baik
rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang
Hukum Perwakafan;
b. bahwa Kompilasi Hukum Islam itu dalam huruf a oleh Instansi
pemerintah dan oleh warga yang memerlukannya dapat dipakai
sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang
itu ;
c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam itu dalam huruf a
perlu disebarluaskan.
Sesuai dengan maksud penetapannya Instruksi Presiden itu
hanyalah mengatur tentang soal "penyebarluasan" kompilasi Hukum Islam
yang telah diterima oleh para ulama dalam satu lokakarya nasional, oleh
karenanya yaitu wajar bilamana dalam instruksi itu tidak kita jumpai
adanya penegasan berkenaan dengan kedudukan dan fungsi dari Kompilasi
yang bersangkutan. Dalam instruksi ini tidak ada penegasan bahwa
kompilasi itu merupakan lampiran dari Instruksi Presiden dimaksud
sebagaimana lazimnya kita jumpai dalam Instruksi yang serupa sehingga ia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari inpres yang bersangkutan.
Dengan demikian juga tidak ada penunjukan teks resmi dari kompilasi
Hukum Islam yang harus disebarluaskan.
Hanya saja dalam konsideran secara tersirat hal ini ada disebutkan
bahwa Kompilasi ini dapat dipakai sebagai pedoman dalam penyelesaian
masalah-masalah dibidang itu (maksudnya tentu bidang-bidang yang
diatur oleh kompilasi yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan dan
hukum perwakafan), oleh Instansi pemerintah dan warga yang
memerlukannya. berdasar penegasan itu maka kedudukan
kompilasi ini hanyalah sebagai "pedoman". Di sini tidak ditemukan
penjelasan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pedoman. Akan tetapi,
dari susunan kata/kalimat "dapat dipakai sebagi pedoman" akan dapat
menumbuhkan kesan bahwa dalam masalah ini kompilasi tidak mengikat
artinya para pihak dan instansi dapat memakainya dan dapat pula tidak
memakainya. Hal ini, tentu saja tidak sesuai dengan apa yang kita
kemukakan dalam latar belakang dari penetapan kompilasi ini. Karena itu,
pengertian sebagai pedoman harus bermakna sebagai tuntutan atau petunjuk
yang harus dipakai balik oleh Pengadilan Agama maupun warga warga
36
dalam menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawinan,
kewarisan dan perwakafan.
Kemudian lebih lanjut yang menjadi dasar dan landasan dari Kompilasi
ini yaitu Keputusan Menteri Agama Republik negara kita tanggal 22 Juli
1991 No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksana Instruksi Presiden Republik
negara kita No. 1 Tahun 1991. Konsideran Keputusan ini menyebutkan :
a. Bahwa Instruksi Presiden Republik negara kita No. 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan Kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk dipakai oleh
Instansi Pemerintah dan oleh warga yang memerlukannya;
b. bahwa penyebarluasan kompilasi Hukum Islam itu perlu
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung
jawab;
c. bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama
Republik negara kita tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Republik
negara kita Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
Dalam Diktum Keputusan Menteri itu disebutkan sebagai berikut:
Pertama :
Kedua
Ketiga
Keempat :
Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah
lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum
Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama
Instruksi Presiden Republik negara kita Nomor 1 tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 untuk dipakai oleh Instansi
Pemerintah dan warga yang memerlukannya dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang itu .
Seluruh lingkungan Instansi itu dalam diktum pertama,
dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum
Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin
menerapkan kompilasi Hukum Islam itu di samping
peraturan perundang-undangan lainnya.
Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan
Direktur Bimbingan warga Islam dan Urusan Haji
mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama
Republik negara kita ini dalam bidang tugasnya masing-
masing.
Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan.
37
Satu hal yang perlu perhatian dari Keputusan Menteri Agama ini ialah
pada diktum bagian kedua yang berkaitan dengan kedudukan kompilasi yang
intinya agar supaya seluruh lingkungan Instansi (dalam kasus ini terutama
sekali dimaksud tentunya yaitu Instansi Peradilan Agama) agar "sedapat
mungkin menerapkan kompilasi Hukum Islam itu di samping peraturan
perundang-undangan lainnya". Kata-kata "sedapat mungkin" dalam
Keputusan Menteri Agama ini kiranya memiliki kaitan cukup erat dengan
kata-kata "dapat dipakai " dalam Instruksi presiden No. 1 Tahun 1991
sebagaimana dikemukakan di atas harus diartikan bukan dalam artian
kompilasi hanya dipakai kalau keadaan memungkinkan akan tetapi sebagai
suatu anjuran untuk lebih memakai kompilasi ini dalam penyelesaian
sengketa-sengketa perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang terjadi di
kalangan umat Islam.
Selain itu, dalam Keputusan Menteri Agama ini juga disebut bahwa
penggunaannya yaitu "di samping" peraturan perundang-undangan. Hal ini,
menunjukkan adanya kesederajatan Kompilasi ini dengan ketentuan-
ketentuan perundang-undangan mengenai perkawinan dan perwakafan yang
sekarang berlaku dan dengan ketentuan perundangan kewarisan yang
nantinya akan ditetapkan berlaku bagi umat Islam. Perundang-undangan
Perkawinan sebagaimana termaktub dalam undang-undang No. 1 Tahun
1974 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya serta peraturan mengenai
perwakafan (khusus mengenai tanah) sebagaimana diatur dalam peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan peraturan pelaksanaannya akan tetap
dipakai sebagai ketentuan hukum positif berkenaan dengan masalah
itu . Ketentuan yang demikian harus dipandang sebagai ketentuan yang
bersifat umum dan lebih banyak bersifat administratif prosedural sedang
kompilasi hukum Islam yaitu merupakan ketentuan khusus yang lebih
berfungsi sebagai ketentuan hukum substansial.
Pengaturan lebih lanjut yaitu termuat dalam Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.
3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi
Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh negara kita tentang
penyebarluasan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991. Namun sayangnya di sini juga tidak disebutkan/dilampirkan teks resmi
dari kompilasi yang merupakan satu kesatuan dari Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 dimaksud.
Untuk selanjutnya memang masih diperlukan petunjuk teknis
berkenaan dengan bagaimana seharusnya Kompilasi Hukum Islam ini
seharusnya dilaksanakan oleh jajaran aparatur Peradilan Agama sehingga
38
mereka tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Melalui petunjuk
pelaksanaan ini diharapkan akan dapat diberikan kejelasan mengenai
bagaimana kedudukan dan fungsi Kompilasi Hukum Islam dalam praktik
penyelesaian perkara.
Bilamana kita berasumsi sesuai dengan Instruksi Presiden dan
Keputusan Menteri Agama kompilasi ini memiliki kedudukan sebagai
"pedoman" dalam artian sebagai sesuatu petunjuk bagi para hakim Peradilan
Agama dalam memutus dan menyelesaikan perkara, maka kedudukannya
yaitu tergantung sepenuhnya dari para Hakim dimaksud untuk
menuangkannya dalam keputusan-keputusan mereka masing-masing
sehingga kompilasi ini akan terwujud dan memiliki makna serta landasan
yang kokoh dalam yurisprudensi Peradilan Agama. Dengan cara demikian,
maka Peradilan Agama tidak hanya sekarang berkewajiban menerapkan
ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan dalam Kompilasi, akan tetapi
justru memiliki peranan yang lebih besar lagi untuk memperkembangkan
dan sekaligus melengkapinya melalui yurisprudensi yang dibuatnya.
Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai masalah ini kiranya
juga patut diperhatikan bagaimana pemikiran dan keinginan para pakar
hukum kita tentang bagaimana seharusnya Kompilasi Hukum Islam ini
didudukkan dalam sistem Hukum Islam. M. Yahya Harahap, misalnya dalam
tulisannya menyebutkan tujuan dari kompilasi hukum Islam yang sedang
disusun pada waktu itu yaitu :
a. Untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di negara kita secara
konkret;
b. guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan
peradilan Agama;
c. dan sifat kompilasi, berwawasan nasional (bersifat supra sub kultural,
aliran atau madzhab) yang akan diperlakukan bagi seluruh warga
Islam negara kita , bila timbul sengketa di depan sidang Peradilan
Agama (kalau di luar proses peradilan, tentu bebas menentukan pilihan
dari sumber kita fikih yang ada)
d. serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang
lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas warga Islam (Harahap,
1988: 91).
Menurut Masrani Basran, politik hukum Nasional sebagaimana
ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yaitu kodifikasi
Hukum, dan di mana mungkin unifikasi hukum. Oleh karena kebutuhan
yang amat mendesak, maka Mahkamah Agung berpendapat perlunya
39
ditetapkan sasaran antara yaitu kompilasi hukum Islam. Dikatakannya juga
bahwa dengan adanya kompilasi hukum itu para Hakim Agama akan
memiliki pegangan tentang hukum yang harus diterapkan dan warga
akan lebih mantap dalam pengetahuannya tentang hak dan kewajiban
menurut hukum-hukum Islam. Selain itu dikemukakannya pula tujuan lain
dari kompilasi hukum Islam yaitu agar warga Islam yang awam dalam
hukum dan berbahasa Arab (bahasa kitab-kitab kuning) dapat pula
mengetahui hak dan kewajiban menurut hukum Islam. Terutama hukum-
hukum Islam yang dalam negara kita telah merupakan hukum positif, yaitu
hukum-hukum Islam yang telah menjadi kewenangan Peradilan Agama.
(Basran, 1986: 10).
berdasar apa yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan ada tiga
fungsi dari kompilasi Hukum Islam di negara kita yaitu :
a. Sebagai suatu langkah awal/sasaran antara untuk mewujudkan
kodifikasi dan juga unifikasi hukum Nasional yang berlaku untuk
warga warga . Hal ini penting mengingat mayoritas penduduk
negara kita yaitu beragama Islam, dimana ketentuan-ketentuan hukum
yang sudah dirumuskan dalam kompilasi ini akan diangkat sebagai
bahan materi hukum nasional yang akan diberlakukan nanti.
b. Sebagai pegangan dari para Hakim Pengadilan Agama dalam
memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan-
nya.
c. Sebagai pegangan bagi warga warga mengenai hukum Islam yang
berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil
dari berbagai kitab kuning yang semula tidak dapat mereka baca secara
langsung.
Mengenai fungsinya yang pertama, secara singkat KH. Hasan Basry
menyebutnya sebagai kompilasi untuk menuju kodifikasi. Dikatakannya pula
bahwa kompilasi hukum Islam yang kini tengah dicanangkan kalau nanti
berhasil dikodifikasikan dan dijadikan Undang-undang/peraturan oleh
pemerintah kita jelas merupakan sumbangan umat Islam yang sangat besar
bagi pembangunan hukum nasional yang selama ini kita dambakan (Basry,
1986: 61). Berbeda dengan pendapat itu Busthanul Arifin mengatakan
bahwa kita lakukan yaitu kompilasi yaitu mengumpulkan pendapat-
pendapat dalam masalah fiqh yang selama ini dianut oleh umat Islam
negara kita . Jadi bukan kodifikasi, sebab istilah ini mengandung arti
menciptakan hukum baru atau mengubah yang telah ada (Arifin, 1985: 28).
40
Pada bagian lain Busihanul Arifin mengemukakan bahwa kompilasi
yang disusun ini tidak akan meniru gaya kodifikasi hukum Islam yang
dilaksanakan Pemerintah Sudan di bawah Numaeri, yang kenyataannya
merupakan "peran tunggal pemerintah" tanpa memperhatikan berbagai
madzhab dan ulama yang menjadi panutan warga . Karena itu Numaeri
mendapat tantangan, juga dari kalangan umat Islam sendiri (Arifin, 1985:
29). Hal yang demikian juga dikemukakan oleh Hasan Basry dimana beliau
menyatakan bahwa kodifikasi juga terjadi pada negara-negara Islam Timur
Tengah seperti Saudi Arabia, Syria, Iran, Mesir, Sudan dan lain-lain.
Biasanya mereka mengkodifikasikan fiqh dan madzhab yang secara resmi
diikuti oleh pemerintah negara-negara itu (Basry, 1986: 61)
Adanya keinginan untuk tidak menformalkan satu pendirian hukum
sebagaimana dikemukakan di atas mendapat perhatian pula dari M. Yahya
Harahap. Dalam hubungan ini ia menunjuk dan menyetujui pendapat Panitia
seminar kompilasi hukum Islam Majelis Tarjih Muhammadiyah bahwa
kompilasi ini yaitu dalam rangka pengembangan hukum Islam dengan
tidak mengabaikan elastisitas hukum Islam serta tidak memaksakan kepada
suatu dasar pendirian tertentu.
Menurut pendapatnya apa yang ditawarkan Majelis Tarjih itu
yaitu tepat. Pada satu sisi, Muhammadiyah menginginkan kompilasi
hukum Islam negara kita yang sesuai ukurannya dengan ukuran busana umat
Islam negara kita . Barang kali Muhammadiyah sadar, hukum yaitu busana
warga yang ukuran dan jahitannya harus sesuai dengan kebutuhan
warga pemakainya. Tampaknya Muhammadiyah berpendapat, hukum
Islam memiliki sifat kenyal (elastis), agar ukurannya dapat dise-laraskan
bagi umat pemakainya, Di lain pihak, Muhammadiyah tidak setuju
perumusan kompilasi diarahkan pada pemaksaan atau pengimposan
madzhab fikih tertentu (Harahap, 1988: 94).
Dalam penilaiannya, keinginan Muhammadiyah yaitu kemurnian
perumusan yang bersumberkan Quran dan Sunnah yang pengkajian
penafsirannya dapat berorientasi kepada kitab-kitab fikih standar tanpa
mengabaikan tujuan "pembaharuan pembangunan" hukum Islam "secara
elastis". Begitu juga menurut pendapatnya apa yang menjadi pendirian
Pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Agung dan Departemen Agama, tidak
ada maksud memaksakan suatu sistem hukum fikih tertentu. Tidak ada
maksud memaksakan suatu sistem hukum fikih tertentu. Tidak pula
menerima segala sesuatu secara doktriner rumusan fikih yang telah ada,
karena kemungkinan apa yang didoktrinkan itu lelah bercampur dengan
unsur budaya asing yang kurang tepat bagi kita. Namun bukan pula
41
pengertian elastisitas pembaharuan hukum Islam itu berupa "kompromistis"
secara total ke arah "mempribumikan" hukum Islam dengan sistem nilai-
nilai adat dan budaya yang secara diametral bertentangan dengan ajaran
Islam. Sengaja dibuka beberapa jalur secara terbuka, agar hasil rumusan
akhir berkenaan dihati kita semua. Keluwesan pandang, keterbukaan hati,
mendominasi upaya perumusan kompilasi (Harahap, 1988: 94-95).
Apa yang dikemukakan di atas, memiliki kaitan yang cukup erat
dengan kedudukan dari kompilasi dan sifat mengikatnya kompilasi bagi para
pihak baik pihak yang bersengketa maupun para hakim. Baik para hakim
maupun pihak-pihak yang berperkara dengan berlakunya kompilasi hukum
Islam ini terikat dan berkewajiban sepenuhnya melaksanakan isinya. Hanya
saja perlu dipersoalkan apakah para pihak dengan berlakunya kompilasi ini
masih diperkenankan untuk mengambil pendapat hukum lain dari sumber
lain yang isinya berbeda dari apa yang sudah digariskan dalam kompilasi.
Sekalipun pada dasarnya pemerintah tidak akan memaksakan satu pendapat
hukum tertentu, namun berdasar konsensus yang disepakati bersama
maka para pihak maupun hakim terikat sepenuhnya pada apa yang
disebutkan dalam kompilasi tanpa menutup kemungkinan bagi para hakim
Peradilan Agama untuk melakukan penemuan hukum.
42
ISI KOMPILASI HUKUM ISLAM
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian terdahulu bahwa
Kompilasi Hukum Islam terdiri atas 3 buku masing-masing Buku I tentang
Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan buku III tentang Perwakafan.
Pembagian dalam tiga buku ini hanya sekedar pengelompokan bidang
hukum yang dibahas yaitu bidang hukum perkawinan (munakahat), bidang
hukum kewarisan (Faraid) dan bidang hukum perwakafan. Dalam kerangka
sistematikanya masing-masing buku terbagi dalam berapa bab dan kemudian
untuk bab-bab tertentu terbagi pula atas beberapa bagian yang selanjutnya
dirinci dalam pasal-pasal.
Secara keseluruhan kompilasi Hukum Islam terdiri atas 229 pasal
dengan distribusi yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Porsi yang
terbesar yaitu pada buku Hukum Perkawinan, kemudian Hukum kewarisan
dan yang paling sedikit yaitu Hukum Perwakafan. Perbedaan ini timbul
bukan karena ruang lingkup materi yang berbeda, akan tetapi hanya karena
intensif dan terurai atau tidaknya pengaturannya masing-masing yang
tergantung pada tingkat penggarapannya. Hukum perkawinan karena kita
sudah menggarapnya sampai pada hal-hal yang detail dan hal yang
sedemikian dapat dilakukan mencontoh pengaturan yang ada dalam
perundang-undangan tentang perkawinan. Sebaliknya karena Hukum
kewarisan tidak pernah digarap demikian maka ia hanya muncul secara garis
besarnya dan dalam jumlah yang cukup terbatas.
Selain itu pengaturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam ini
khusunya untuk bidang Hukum Perkawinan tidak lagi hanya terbatas pada
hukum substantif saja yang memang seharusnya menjadi porsi dari
kompilasi akan tetapi sudah cukup banyak Memberi pengaturan tentang
masalah prosedural atau yang berkenaan dengan tatacara pelaksanaan yang
seharusnya termasuk dalam porsi perundang-undangan perkawinan.
Mengenai apa yang disebutkan terakhir secara faktual telah kita temukan di
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya
sebagaimana kemudian dilengkapi dengan berbagai Undang-undang terakhir
dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
juga memuat beberapa pasal berkenaan dengan Hukum Acara mengenai
perceraian. Akibat dimasukkannya semua aspek hukum itu maka
terjadi "pembengkakan" dalam bidang hukum perkawinan sedang dalam
hukum lainnya terasa sangat sedikit.
43
Ditinjau dari segi sistematika sebuah peraturan perundang-undangan
Kompilasi Hukum Islam tidak menggambarkan sebuah sistematika yang
"baik". Kompilasi Hukum Islam ini misalnya tidak mencantumkan adanya
ketentuan umum yang berlaku untuk semua bidang hukum yang diaturnya.
Ketentuan umum memang ada pada masing-masing buku yang isinya hanya
lebih banyak berupa keterangan mengenai beberapa istilah walaupun itu
tidak lengkap.
Sebenarnya dalam Kompilasi ada ketentuan yang dapat disebut sebagai
ketentuan umum. Sebagai misal Pasal 229 yang justru dalam kompilasi
dimasukkan sebagai ketentuan penutup. Pada hal kalau dilihat dari sisinya
apa yang diatur di sana layaknya dijadikan sebagai ketentuan umum. Pasal
229 itu berbunyi:
"Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai
hukum yang hidup dalam warga sehingga putusannya sesuai
dengan rasa keadilan".
Masih belum jelas mengapa ketentuan yang demikian dimasukkan ke dalam
kompilasi dan dijadikan sebagai ketentuan penutup. Pasal ini pada
hakikatnya yaitu sama dengan ketentuan Pasal 27 Undang-undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman yang
nota bene juga memang berlaku dan mengikat bagi semua Hakim termasuk
para Hakim Pengadilan Agama.
Kiranya masih belum jelas apa sebenarnya urgensinya dilakukan
pengulangan penyebutan ini dalam kompilasi, sedang dalam Undang-
undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan yang secara khusus juga
mengatur tentang tugas dan kewajiban para Hakim Pengadilan Agama
ketentuan semacam ini tidak disebut ulang di dalamnya. Penyebutan ini
sebenarnya mengandung banyak konsekuensi yang perlu mendapat perhatian
khusus dan berkaitan erat sekali dengan kedudukan Kompilasi Hukum Islam
itu sendiri, mengingat masih belum jelas apa sebenarnya yang dimaksudkan
dengan "nilai-nilai hukum yang hidup" yang "wajib" diperhatikan oleh
Hakim dalam mengambil keputusan sehingga keputusannya sesuai dengan
rasa keadilan itu?
Adapun mengenai isi dari kompilasi Hukum Islam dapat dikemukakan
secara singkat sebagai berikut:
44
6.1 HUKUM PERKAWINAN
Sistematika kompilasi mengenai Hukum Perkawinan ini yaitu sebagai
berikut:
I Ketentuan Umum (Pasal 1)
II Dasar-dasar Perkawinan (Pasal 2-10)
HI Peminangan (Pasal 11-13)
IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)
V Mahar (Pasal 30-38)
VI Larangan Kawin (Pasal 39-44)
VII Peijanjian Perkawinan (Pasal 45-52)
VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)
IX Beristri lebih dari satu orang (Pasal 55-59)
X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)
XI Batalnya perkawinan (Pasal 70-76)
XII Hak dan kewajiban suami istri (Pasal 77-84)
XIII Harta kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97)
XIV Pemeliharaan anak (Pasal 98-106)
XV Perwalian (107-112)
XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)
XVII Akibatnya putusnya perkawinan (Pasal 149-162)
XVIII Rujuk (Pasal 163-169)
XIX Masa Berkabung (Pasal 170)
Bilamana kita perhatikan kerangka sistematika itu ternyata ada
beberapa materi yang dapat digabung satu dengan yang lainnya dan ada pula
pengaturan yang seharusnya tidak perlu dimasukkan dalam satu bab
tersendiri.
Ditinjau dari materi muatan kompilasi Hukum Islam ini, khususnya
mengenai hukum perkawinan dapat dilihat banyaknya terjadi duplikasi
dengan apa yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan/atau
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mengingat kompilasi hukum Islam
ini juga mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural. Namun, kita
juga tidak menutup mata banyak juga hal-hal baru yang kita temukan dalam
kompilasi ini.
45
Dalam Pasal 1 dicantumkan berbagai pengertian, yaitu berupa
keterangan dari berbagai istilah yang dipakai dalam buku I Kompilasi,
akan tetapi sayangnya tidak semua atau masih banyak istilah teknis yang
dipakai akan tetapi tidak kita jumpai dalam materi kompilasi.
Sehubungan dengan istilah ini memang dirasakan masih ada penggunaan
istilah-istilah yang kurang jelas atau tumpang tindih. Mengingat fungsinya
sebagai pedoman dalam hukum Islam di negara kita , seharusnya kompilasi ini
juga harus berfungsi sebagai sarana pembakuan istilah hukum Islam di
negara kita .
Istilah perkawinan sebagai istilah negara kita untuk pernikahan melalui
Kompilasi ini sudah dibakukan dalam Hukum Islam negara kita . Akan tetapi
penggunaan istilah wali nikah (pasal 19 dan seterusnya), saksi nikah (Pasal
24 dan seterusnya), akad nikah (Pasal 27) masih dipergunakan, sedang
untuk hal-hal lain seperti larangan kawin (Pasal 39 dan seterusnya),
perjanjian perkawinan (Pasal 45 dan seterusnya), pencegahan perkawinan
(Pasal 60 dan seterusnya), batalnya perkawinan (pasal 70 dan seterusnya)
dan putusnya perkawinan (Pasal 113 dan seterusnya) dipergunakan istilah
perkawinan. Walaupun kita semua tentunya sudah paham betul bahwa dalam
hubungan ini tidak ada perbedaan antara "nikah" dan "kawin", akan tetapi
dengan penggunaan istilah yang berbeda dalam satu produk hukum yang
bertujuan ingin membakukan peristilahan rasanya kurang tepat.
Mengenai pengertian perkawinan - yang dalam hal ini dipakai dalam
konteks dasar-dasar perkawinan - dirumuskan sedikit berbeda dengan apa
yang disepakati dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2
Kompilasi disebutkan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam yaitu
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaaqan gholiidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian
Pasal 3 menyebutkan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. sedang dalam pasal
1 Undang-undang No. 1 1974 merumuskan perkawinan yaitu ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menyebut perkawinan sebagai sebuah "akad" tanpa menjelaskan
maknanya, apalagi dalam artian "aqad yang kuat" atau "miitsaaqan
gholiidhan" sebenarnya memerlukan penjelasan apakah sama, lebih luas atau
lebih sempit dari "ikatan lahir batin". Penyebutan antara "seorang pria
dengan seorang wanita" pada masa kini mengandung makna yang cukup
penting sehubungan dengan banyaknya orang yang melakukan operasi ganti
46
kelamin sehingga mereka melangsungkan perkawinan dengan statusnya
yang baru. Begitu juga penyebutan sebagai "suami istri." sedang dalam
kaitan dengan tujuan penyebutan "kekal" dalam pasal 1 Undang-undang No.
1 Tahun 1974 memiliki arti tersendiri bila dihadapkan dengan perkawinan
untuk sementara waktu (seperti misalnya nikah mut'ah) sehingga dapat
menimbulkan pertanyaan misalnya apakah dengan tidak dicantumkannya
kata itu Kompilasi Hukum Islam dapat menerima adanya nikah mut'ah.
Apakah yang disebut dalam Pasal 4 bahwa perkawinan yaitu sah,
bila dilakukan menurut hukum Islam, yaitu suatu penegasan yang
cukup tepat dan aspiratif. Hanya penegasan dalam sambungan kalimat
"sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan", rasanya tidak terlalu perlu. Hal ini, mengingat akan
keberadaan dari kompilasi Hukum Islam ini apakah juga akan menjadi syarat
acuan dalam menentukan keabsahan suatu perkawinan menurut hukum
Islam, yaitu Hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan kompilasi ini.
Dalam pasal 5 Kompilasi disebutkan agar terjaminnya ketertiban
perkawinan bagi warga Islam "harus" dicatat. Pencatatan dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22
Tahun 1946 Jo. UU No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 ayat 1 mengulangi
pengertian pencatatan dimaksud dalam artian setiap perkawinan "harus"
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan
Nikah. Bilamana kita membaca lebih lanjut isi kompilasi kata "harus" di sini
yaitu dalam makna "wajib" menurut pengertian hukum Islam. Oleh karena
perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
"tidak memiliki kekuatan Hukum". sedang pasal 7 ayat (1)
menyebutkan perkawinan "hanya" dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan
perkawinan yaitu merupakan kewajiban bagi mereka yang akan
melangsungkan perkawinan.
Namun demikian, dalam pasal 7 ayat 2 dan seterusnya dimungkinkan
bagi mereka membuklikan perkawinannya dengan Akta Nikah dapat
mengajukan "itsbat nikah" nya ke Pengadilan Agama. Kiranya perlu dibuat
istilah bahasa negara kita untuk itsbat nikah ini dan bagaimana pengertiannya.
Akan tetapi, dengan penegasan ini tampak kepada kita bahwa pencatatan di
sini tidak ada hubungannya dengan keabsahan perkawinan, hanya saja
perkawinan itu "tidak memiliki kekuatan hukum" yang tentunya
harus dibaca dalam hubungan dengan persoalan keperdataan bukan dalam
kaitannya dengan Hukum Islam.
47
Salah satu persoalan yang sama sekali tidak diatur dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 akan tetapi cukup banyak dibicarakan dalam
kitab-kilab fiqh dan juga dalam Hukum Adat, yaitu tentang peminangan
yang diatur dalam satu Bab khusus dalam kompilasi. Namun pasal 13
Kompilasi menyebutkan bahwa pinangan "belum menimbulkan akibat
hukum" dan para pihak bebas memutuskan "hubungan peminangan".
Pengertian hubungan peminangan memang tidak dijelaskan di sini akan
tetapi yaitu mencakup apa yang dalam praktik disebut "pertunangan".
Kalau demikian persoalannya juga mengandung akibat hukum baik dalam
hukum Islam maupun dalam Hukum Adat. Ketentuan ini rasanya juga
kurang serasi dengan pasal 12 ayat (3) yang melarang meminang seorang
wanita yang sedang dipinang pria lain. Larangan demikian yang juga dikenal
dalam kitab-kitab fiqih tentunya tidak bisa dilanggar begitu saja.
Dalam Bab IV diatur tentang rukun dan syarat perkawinan sekalipun
tidak tegas pembedaannya satu dengan lain. Pasal 14 menyebutkan apa yang
biasa dalam kitab fiqh disebut dengan rukun nikah. Dikatakan bahwa untuk
melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon suami;
b. Calon istri;
c. Wali Nikah;
d. Dua orang saksi, dan
e. Ijab dan kabul.
Dengan demikian, kita sudah melakukan pembakuan pengertian yang lazim
dikenal dalam madzhab Syafii, dan demikian pendapat yang dikenal dalam
hukum Islam seorang perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri (tanpa
wali) tidak dibenarkan dalam hukum Islam negara kita .
Ketentuan mengenai colon mempelai hampir sama dengan apa yang
diatur dalam Undang-undang Perkawinan, yaitu :
a. batas usia kawin, yaitu 19 tahun untuk calon suami dan 16 tahun untuk
calon istri, hanya saja dalam kompilasi tidak disebutkan kemungkinan
dispensasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 (2) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974.
b. masalah perizinan bagi mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun.
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 UU No.l Tahun 1974.
c. persetujuan calon mempelai, yaitu sejalan dengan ketentuan pasal 6
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, namun dalam kompilasi diatur secara
lebih lengkap dan lebih teknis. Dengan demikian, apa yang banyak
48
diperbincangkan dalam kitab fiqh mengenai kewenangan wali mujbir
untuk mengawinkan seorang perempuan tanpa persetujuan yang
bersangkutan tidak dikenal lagi dalam hukum Islam negara kita .
Mengenai masalah wali dan saksi diatur secara khusus sesuai dengan
ketentuan hukum Islam. Mengenai akad nikah yang pengertiannya
disebutkan dalam pasal 1 huruf c ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh
wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan
oleh dua orang saksi, diatur secara khusus dalam pasal 27, 28 dan 29.
Sayangnya di sini lidak diperkenalkan terminologi yuridis Hukum Islam
bahasa negara kita untuk "ijab" dan "kabul" itu . Dan berdasar pasal-
pasal itu belum diberikan pengaturan kemungkinan dilakukannya ijab
kabul pada tempat yang berbeda sebagaimana kasus yang cukup
menghebohkan nikah via telepon. Namun, di sini yang lebih ditekankan
bahwa mempelai dapat menyatakannya melalui orang yang dikuasakan
secara khusus.
Hal lain yang juga tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu
tentang mahar yang dalam kompilasi diatur dalam satu Bab khusus (pasal
30-38). Dengan dipergunakan istilah baku maka istilah "mas kawin" yang
banyak dikenal dalam praktik tidak lagi mengandung makna yuridis. Pasal
30 menyebutkan calon mempelai pria "wajib" membayar mahar kepada
calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh
kedua belah pihak. Tetapi dalam Pasal 34 disebutkan kewajiban
menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Dalam
ketentuan ini juga diatur tentang pembayaran mahar bagi suami yang
mentalak istrinya "qabla al dukhul" (yang perlu dicarikan istilah yuridis
bahasa negara kita nya).
Ketentuan berikutnya yaitu tentang larangan kawin. Dalam Pasal 39
Kompilasi dicantumkan adanya ketentuan tentang larangan kawin baik yang
dipicu karena pertalian nasab, pertalian kerabat semenda dan pertalian
sesusuan, namun bahasa yang dipergunakan cukup sulit untuk dipahami
dimana menurut sementara pihak perumusannya terpengaruh oleh bahasa
kitab fiqh. Sebenarnya perumusan yang disebut dalam pasal 8 UU No. 1
Tahun 1974 jauh lebih praktis dan jelas, sehingga pasal ini memerlukan
penjelasan lebih jauh.
Prinsip larangan itu dan yang juga diatur dalam ketentuan
berikutnya yaitu sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang memang tidak
banyak perbedaan pendapat tentang hal itu . Satu hal yang kita anggap
"baru" di sini yaitu ketentuan pasal 40 yang menentukan dilarang
49
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang
tidak beragama Islam. Ketentuan ini dapat kita anggap sebagai ketentuan
yang mengingat dalam berbagai kitab fiqih umumnya disebutkan seorang
laki-laki muslim dilarang kawin dengan wanita musyrik sedang dengan
wanita kitabiyah yaitu mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani masih
dibolehkan, walaupun memang ada pendapat dikalangan ulama termasuk
Majelis Ulama negara kita yang tidak membolehkannya. Sehingga dengan
demikian dalam sistem hukum negara kita tidak dikenal kemungkinan adanya
perkawinan antaragama antara seorang muslim dengan penganut agama lain.
Mengenai larangan wanila muslimah kawin dengan laki-laki nonmuslim
secara tegas disebutkan dalam pasal 44 yang menegaskan seorang wanila
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
Persoalan lain yang diatur cukup banyuk dalam kompilasi hukum Islam
ini yaitu tentang perjanjian perkawinan (pasal 45-52) yang berarti jauh
lebih banyak bilamana dibandingkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun
1974 yang hanya mengaturnya dalam satu pasal yaitu pasal 29. Dalam pasal
45 Kompilasi disebutkan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak, dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Ketentuan ini bertolak belakang dengan apa yang ditentukan dalam
Penjelasan Pasal 29 bahwa yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal
ini tidak termasuk taklik talak. Mengenai taklik talak dalam kompilasi hanya
diatur dalam satu pasal yaitu pasal 46.
Pengaturan terbanyak dari perjanjian perkawinan yaitu berkenaan
dengan kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian itu dibuat
tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Di sini hanya disebutkan
bahwa perjanjian dimaksud disebutkan hanya di "sahkan" oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan. Akan tetapi, dalam Pasal 50 disebutkan bahwa
perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan
bersama suami istri dan wajib "mendaftarkan" nya di Kantor Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Pendaftaran ini
kelihatannya memiliki arti penting berkenaan dengan kekuatan mengikat
perjanjian itu walaupun di sini tidak jelas pendaftaran dalam pengertian
apa yang dimaksudkan oleh karena sejak perjanjian dibuat tidak ada
kewajiban mendaftarkan akan tetapi pencabutannya wajib didaftarkan.
50
Kawin Hamil yaitu judul Bab VIII yang hanya terjadi atas 2 pasal.
Akan tetapi, yang khusus mengatur tentang "kawin hamil" hanya pasal 53
sedang Pasal 54 sama sekali tidak ada hubungannya dengan kawin hamil
karena mengatur tentang kawin bagi seorang yang sedang ihram. Dalam
pasal 53 disebutkan seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil itu
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Adanya
ketentuan ini juga dapat dipandang sebagai "Ketentuan baru" dalam hukum
perkawinan di negara kita dalam menetapkan kepastian persoalan yang
selama ini banyak diperdebatkan. Akan tetapi, masih belum jelas
pengaturannya bagaimana kalau mengawini itu bukan laki-laki yang
menyebabkan kehamilan sebagaimana banyak terjadi dalam praktik di
negara kita.
Pengaturan tentang beristri lebih dari satu orang juga mendapat
pengaturan khusus dalam kompilasi hukum Islam akan tetapi isinya lebih
banyak menyangkut aspek hukum procedural sebagaimana yang sudah diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Begitu pula pengaturan
tentang pencegahan perkawinan (Pasal 60-69) dan batalnya perkawinan
(pasal 70-76) mengandung banyak kemiripan dengan pengaturan mengenai
pencegahan perkawinan dan pembatalan perkawinan yang masing-masing
diatur dalam Pasal 13-21 dan pasal 22-28 Undang-undang No. 1 Tahun
1974.
Persoalan mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur secara khusus
dalam satu Bab (XII) dari Pasal 77-84 yang isinya lebih luas dari apa yang
diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 (Bab VI) Pasal 30-34. Begitu pula
berkenaan Harta kekayaan dalam Perkawinan (Bab XIII) yang judulnya
sedikit berbeda dengan Bab VII UU No. 1 Tahun 1974 tentang harta benda
dalam perkawinan. Menurut Pasal 85 adanya harta bersama dalam per
kawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing
suami atau istri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
Dalam Bab XIII tidak ada disebut mengenai terjadinya harta bersama,
sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974. Akan tetapi,
dalam pasal 1 huruf f disebutkan harta kekayaan dalam perkawinan atau
syirkah yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami
istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut
harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Ujung
51
kalimat memiliki makna penting karena tidak hanya menyangkut hukum
perkawinan akan tetapi juga hukum benda tentang pendaftaran yang masih
memerlukan perhatian lebih jauh. Pasal-pasal berikutnya dari kompilasi
Memberi pengaturan cukup rinci mengenai masalah harta bersama ini.
Hal-hal lain yang diatur dalam kompilasi yaitu tentang pemeliharaan
anak yang diatur dalam Bab XIV pasal 98-106. Bab yang demikian tidak ada
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 karena persoalannya diatur dalam
hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Sebaliknya dalam UU No. 1
Tahun 1974 ada Bab khusus tentang Kedudukan Anak (Bab IX, Pasal 42-44)
yang justru tidak ada dalam kompilasi Hukum Islam, akan tetapi isinya
sudah termasuk dalam Bab tentang pemeliharaan anak ini. Ada beberapa
perbedaan antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan kompilasi berkenaan dengan
persoalan in i :
a. Mengenai batas umur dewasa yang mewajibkan orang tua untuk
melakukan pemeliharaan. Pasal 98 ayat 1 Kompilasi menentukan batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa yaitu 21 tahun,
sepanjang anak itu tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan. Hal ini, berbeda dengan pasal 47
UU No. 1 Tahun 1974 menentukan anak yang belum dewasa mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya.
b. Mengenai pengertian anak yang sah selain dari apa yang ditentukan
dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 yang hampir sama isinya dengan
pasal 99 sub a Kompilasi, bahwa anak sah itu yaitu anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Kompilasi
menambahkan dengan hal yang kedua yaitu hasil pembuahan suami
istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri itu .
c. Sesuai dengan judulnya kompilasi hanya mengenai pemeliharaan anak
maka yang diatur hanya kewajiban orang tua untuk memelihara anak,
tidak mengatur tentang kewajiban anak untuk memelihara orang tua
sebagaimana yang diatur dalam pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974.
Selanjutnya diatur tentang pengingkaran keabsahan anak oleh suami,
masalah penyusuan, dan kewajiban serta tanggung jawab orang tua terhadap
harta anaknya.
Masalah lain yang juga diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu
tentang perwalian yang isinya mengandung banyak persamaan kecuali
mengenai batas usia sebagaimana yang berlaku dalam pemeliharaan anak.
52
Persoalan mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya mendapat
pengaturan yang cukup banyak dalam kompilasi. Bilamana dalam UU No. 1
Tahun 1974 persoalan ini cukup diatur dalam satu Bab (Bab VIII) tentang
putusnya perkawinan serta akibat-akibatnya, (pasal 38-41), maka dalam
kompilasi hal ini diatur dalam dua bab yaitu Bab XVI tentang putusnya
perkawinan (pasal 113-148) dan Bab XVII tentang Akibat putusnya
perkawinan (pasal 149-162), kemudian masih ada lagi satu Bab (Bab XVIII)
tentang Rujuk (Pasal 163-169) dimana untuk hal yang disebutkan terakhir
tidak mendapat pengaturan sama sekali dalam UU No. 1 Tahun 1974. Selain
itu masih ada lagi ketentuan lain mengenai hal yang sama perlu disebutkan
yaitu ketentuan yang termuat dalam pasal 65-91 Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 113 Kompilasi isinya sama dengan pasal 38 UU No. 1 Tahun
1974 yang menentukan perkawinan dapat putus karena
a. Kematian;
b. perceraian; dan
c. atas putusan pengadilan.
Kemudian pasal 114 menentukan putusnya perkawinan yang dipicu
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasar gugatan
perceraian.
Pasal 115 kompilasi isinya sama dengan pasal 39 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 dan pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 dimana disebutkan
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama itu berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Sedang mengenai alasan perceraian dalam pasal 116 kompilasi
selain dari alasan yang disebutkan dalam penjelasan pasal 39 UU No. 1
Tahun 1974 atau pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 ditambahkan pula ada dua
alasan lain yaitu pertama suami melanggar taklik talak dan yang kedua
peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Secara rinci dalam kompilasi diatur tentang macam-macam talak,
kemudian tentang li'an dan tatacara perceraian. Pasal 123 kompilasi isinya
sama dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975 perceraian itu terjadi terhitung
pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Ketentuan
ini dapat kita perbandingan dengan pasal 81 UU No. 7 Tahun 1989 yang
menentukan suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat
hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap. Selanjutnya, beberapa pasal yang berkenaan dengan cerai gugat
53
memiliki banyak persamaan dengan apa yang diatur dalam pasal 73-86
UU No. 7 Tahun 1989.
Mengenai akibat putusnya perkawinan diatur tentang berbagai
kewajiban dari suami dan waktu tunggu. Mengenai waktu tunggu yang
diatur dalam pasal 153 Kompilasi isinya hampir sama dengan pasal 39 PP.
No. 9 Tahun 1975. Di sini juga diatur tentang mut'ah yaitu pemberian bekas
suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.
Akibat khuluk dan akibat Li'an.
Pengaturan tentang rujuk yaitu merupakan satu hal tersendiri yang
sekaligus juga merupakan tambahan ketentuan bagi hukum acara Pengadilan
Agama mengenai masalah itu . Dan kompilasi ini ditutup dengan satu
Bab khusus tentang masa berkabung (jangan disamakan dengan waktu
tunggu atau iddah). Dalam pasal 170 yang merupakan ketentuan penutup
untuk buku pertama disebutkan :
(1) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan
sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung
menurut keputusan.
Ketentuan ini merupakan satu ketentuan baru yang sebenarnya tidak perlu
diatur dalam satu Bab khusus mengingat urgensinya yang tidak terlalu
mendesak. Naraun, sebagaimana beberapa ketentuan lain dalam kompilasi
ketentuan ini yaitu ketentuan hukum yang tidak memiliki sanksi dan
karenanya walaupun dirumuskan dengan kata-kata "wajib melaksanakan"
hanya bersifat anjuran saja.
6.2 HUKUM KEWARISAN
Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan yaitu lebih sempit
bilamana dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang telah
diuraikan di muka. Kerangka sistematikanya yaitu sebagai berikut:
Bab i Ketentuan Umum (pasal 171)
Bab II Ahli waris (pasal 172-175)
Bab III Besarnya bahagian (pasal 176-191)
Bab IV Aul dan Rad (pasal 192-193)
Bab V Wasiat (pasal 194-209)
Bab VI Hibah
54
Sebagaimana halnya dengan Hukum perkawinan maka apa yang diatur
dalam ketentuan umum yaitu pengertian-pengertian dan ternyata juga di
sini tidak menguraikan secara keseluruhan pengertian yang disebutkan
dalam Buku ke-II ini. Ketentuan ini berlaku sejalan dengan hukum yang
berlaku bagi pewaris yaitu beragama Islam dan karenanya masalah harta
warisannya harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum
Islam. Hal ini, yaitu merupakan suatu hal yang sangat prinsip sekali akan
tetapi dalam kompilasi ini disebut secara sepintas dalam rumusan mengenai
pewaris dan ahli waris.
Persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan
bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga
tidak kita temukan dalam kompilasi buku kedua ini. Sebagaimana halnya
pewaris yaitu beragama Islam maka ahli warispun harus beragama Islam,
Untuk itu pasal 172 menegaskan tentang indikator untuk menyatakan bahwa
seseorang itu yaitu Islam.
Mengenai siapa yang dapat menjadi ahli waris juga tidak disebutkan
dalam kompilasi ini. Seharusnya perlu ada penegasan bahwa setiap orang
yang memenuhi ketentuan dapat menjadi ahli waris dan pewaris yang
meninggal dunia apakah ia laki-laki atau wanita. Hak yang demikian sudah
ada semenjak ia masih dalam kandungan ibunya dengan ketentuan kalau ia
lahir hidup akan mendapatkan hak sedang kalau ia lahir mati bagiannya
diserahkan pada ahli waris lainnya.
Dalam pasal 173 diatur tentang terhalangnya seseorang untuk menjadi
ahli waris yang pada dasarnya hanya berupa melakukan kejahatan terhadap
pewaris. Tetapi, Sebagaimana dikemukakan di atas ketentuan ini tidak
mencantumkan bahwa murtadnya seseorang menjadi penghalang utama
untuk menjadi ahli waris. Hal yang demikian seharusnya ditambahkan dalam
pasal 173 ini.
Mengenai siapa ahli waris pasal 174 menyebutkannya secara singkat
yaitu ahli waris karena hubungan darah dan ahli waris menurut hubungan
perkawinan. Kemudian disebutkan keutamaan dari masing-masing ahli waris
bilamana semua ahli waris ada. Sayangnya di sini tidak disebutkan
bagaimana pewarisan dari seorang pewaris yang meninggal dunia tanpa
meninggalkan ahli waris sama sekali. Hal ini, memang ada diatur dalam
pasal 191 tetapi mengenai pembagian warisnya. Begitu juga mengenai
keutamaan yang sifatnya lebih kasuistik dimana satu ahli waris dapat
mendinding (hijab) ahli waris lainnya seharusnya juga dimuat secara lebih
rinci di sini.
55
Penegasan tentang anak luar kawin dan anak angkat seharusnya juga
termasuk dalam bagian ini. Mengenai anak yang lahir di luar perkawinan
disebutkan dalam pasal 186 bahwa ia memiliki hubungan saling mewaris
dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya. sedang mengenai anak angkat
perlu ada penegasan bahwa sesuai dengan ketentuan hukum Islam anak
angkat tidak mewarisi orang tua angkatnya. Akan tetapi, anak angkat berhak
mendapatkan bagian harta orang tua angkatnya melalui prosedur lain.
Di sini juga tidak ada ketentuan mengenai saat dilakukannya
pembagian warisan, mengingat banyaknya kecenderungan di tempat kita
mereka yang tidak melakanakan pembagian waris bahkan ada yang dikenal
harta pusaka sebagai harta warisan yang tidak dibagi tetapi hanya dinikmati
bersama seluruh ahli waris. Dalam pasal 175 tentang kewajiban ahli waris
memang ada diatur sebagai salah satu kewajiban membagi harta warisan di
antara para ahli waris tetapi kapan pelaksanaan pembagian itu dilakukan
tidak disebutkan di sini. sedang hal 188 mengatur tuntutan untuk
membagi waris bilamana ada pihak yang tidak mau membaginya, tetapi
tidak ditentukan kapan harus dibaginya.
Dalam persoalan mengenai besarnya bagian warisan dapat dicatat ada
beberapa hal pen