Rabu, 29 Januari 2025

hukum islam 2

 





28 dan 29 Oktober 1986

b. Turki tanggal 1 dan 2 November 1986

c. Mesir tanggal 3 dan 4 November 1986

29

Studi perbandingan dilaksanakan oleh H. Masrani Basran SH, Hakim 

Agung Mahkamah Agung RI dan H. Muchtar Zarkasyi, SH Direktur 

Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI. Informasi 

bahan masukan yang diperoleh :

a. Sistem Peradilan

b. Masuknya Shariah Law dan dalam arus Tata Hukum Nasional

c. Sumber-sumber hukum dan materiil yang menjadi pegangan/ terapan 

hukum di bidang Ahwalussyakhsiyah yang menyangkut kepentingan 

Muslim. (Direktorat Pembinaan, 1992: 152-154).

Penyusunan Kompilasi Hukum Islam, selain digarap melalui 4 jalur 

itu  di atas juga mendapat dukungan dan masukan dan beberapa 

organisasi Islam. Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, misalnya pada tanggal 

8-9 April 1986 bertempat di Kampus Universitas Muhammadiyah 

Yogyakarta telah menyelenggarakan "Seminar Kompilasi Hukum Islam" 

yang juga dihadiri oleh Menteri Agama dan Ketua MUI KH. Hasan Basri. 

Dalam Seminar ini di bahas berbagai persoalan hukum seperti perkawinan, 

wanita hamil karena zina, masalah lian, syiqaq, rujuk, taklik, talak, 

pembagian warisan, harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan dan 

penjualan harta wakaf (Panji warga  No. 502 Th. XXVII/1986). Dilihat 

dan materi yang dibahas ternyata banyak sekali yang muncul dalam 

kompilasi Hukum Islam. Selain itu Syuriah NU Jawa Timur juga sempat 

mengadakan 3 kali bahstul masail di tiga pondok pesantren yaitu Tambak 

Beras, Lumajang dan Sidoarjo. (Direktorat Pembinaan, 1992: 155). Dan 

masih banyak lagi yang Memberi  perhatian dan sumbangan dalam proses 

penyelesaian kompilasi itu .

Setelah pengumpulan data yang diselesaikan sesuai dengan jadwal yang 

ditentukan, dilanjutkan dengan pengolahan data dan penyusunan draft 

kompilasi Hukum Islam oleh tim yang telah ditentukan, dan draft inilah yang 

kemudian diajukan dalam satu Lokakarya Nasional yang diadakan khusus 

untuk penyempurnaannya. Peranan Lokakarya ini sangat penting sekali 

sebagaimana tampak dengan disebutkannya dalam Instruksi Presiden No. 1 

Tahun 1991 tentang penyebarluasan kompilasi ini dengan kata-kata 

"menyebarluaskan" kompilasi Hukum Islam ini sebagaimana telah diterima 

baik oleh para alim ulama negara kita  dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 

2 sampai 5 Februari 1988.

Dalam penegasan ini perlu digarisbawahi kata-kata "telah diterima baik 

oleh para alim ulama negara kita " karena ini yaitu  merupakan kata kunci dan

30

sekaligus merefleksikan kedudukan kompilasi sebagai salah satu hasil 

kesepakatan para alim ulama negara kita . Jauh sebelumnya Busthanul Arifin 

sudah merencanakan bahwa dalam lokakarya itu diusahakan tercapainya 

ijma (konsensus) diantara ahli-ahli hukum Islam dan ahli hukum umum. 

(Arifin, 1985: 30). Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Yahya 

Harahap dalam tulisannya. (Harahap, 1988: 95).

Menurut Amir Syarifuddin, lokakarya ini memperlihatkan puncak 

perkembangan pemikiran fikih di negara kita . Pada kesempatan itu hadir 

tokoh ulama fikih dan organisasi-organisasi Islam, ulama fikih dari 

Perguruan Tinggi, dan warga  umum dan diperkirakan dari semua 

lapisan ulama fikih ikut dalam pembahasan, sehingga patut dinilai sebagai 

ijma ulama negara kita . (Syarifuddin, 1990: 138-139).

Istilah "Ijma Ulama negara kita " dalam penegasan itu  di atas 

rasanya memang agak berkelebihan, lebih-lebih setelah dikemudian hari kita 

melihat bagaimana isi dari kompilasi Hukum Islam yang bersangkutan, akan 

tetapi rasanya memang tidak ada istilah yang lebih tepat dalam bahasa 

agama untuk menyebut kompilasi ini selain sebagai ijma nasional dalam 

bidang-bidang tertentu hukum Islam di negara kita .

Pelaksanaan Lokakarya diikuti oleh 124 orang peserta dari seluruh 

negara kita , yang terdiri dari para Ketua Umum Majelis Ulama Propinsi, para 

Ketua Pengadilan Tinggi Agama seluruh negara kita , beberapa orang Rektor 

IAIN, beberapa orang Dekan Fakultas Syariah IAIN, sejumlah wakil 

organisasi Islam, sejumlah ulama dan sejumlah Cendekiawan Muslim, baik 

di daerah maupun di pusat, tidak ketinggalan pula wakil organisasi wanita. 

(Sinar Darussalam No. 166/167, 1988: 11).

Lokakarya yang berlangsung selama 5 hari (2-6 Februari 1988) 

bertempat di Hotel Kartika Chandra Jakarta, dibuka oleh Ketua Mahkamah 

Agung H. Ali Said SH. Juga memberi kata sambutan Menteri Agama RI H. 

Munawir Sadzali MA. Setelah pembukaan pimpinan proyek Prof. Busthanul 

Arifin SH Memberi  beberapa penjelasan berkenaan dengan materi 

lokakarya, dan selanjutnya para peserta lokakarya dibagi ke dalam 3 komisi 

masing-masing:

a. Komisi I Bidang Hukum Perkawinan di ketuai oleh H. Yahya Harahap 

DH, sekretaris Drs. H. Marfuddin Kosasih SH. Nara sumber KH. Halim 

Muchammad SH dengan anggota sebanyak 42 orang;

b. Komisi II Bidang Hukum Perwakafan diketahui oleh H.A. Wasit 

Aulawi MA dengan sekretaris H. Zainal Abidin Abu Bakar SH, nara 

sumber KH. A. Azhar Basyir MA dengan beranggota sebanyak 42 

orang.

31

c. Komisi III Bidang Hukum Perwakafan diketuai oleh H. Masrani Basran 

SH sekretaris DR. H. A Gani Abdullah SH, nara sumber Prof. Dr. 

Rahmat Jatnika, beranggotakan 29 orang. (Direktorat Pembinaan, 1992: 

158-159).

Perumusan materi dilakukan di Komisi dan masing-masing komisi dan 

untuk itu dibentuk Tim perumusannya, yaitu :

1. Tim Perumus Komisi A tentang Hukum Perkawinan :

a. H.M. Yahya Harahap, SH.

b. Drs. Marfuddin Kosasih, SH.

c. KH. Halim Muhammmad, SH.

d. H. Muchtar Zarkasyi, SH.

e. KH. Ali Yafie f. KH. Najih Ahyad.

2. Tim Perumus Komisi B tentang Hukum Kewarisan :

a. H. A. Wasit Aulawi, MA.

b. H. Zainal Abidin Abubakar, SH.

c. KH. Azhar Basyir, MA.

d. Prof. KH. Md. Kholid, SH.

e. Drs. Ersyad, SH.

3. Tim Perumus Komisi C tentang Hukum Wakaf:

a. H. Masrani Basran, SH.

b. DR. H.A. Gani Abdullah, SH.

c. Prof. DR. H. Rahmat Djatnika

d. Prof. KH. Ibrahim Husein, LML

e. KH Aziz Masyhuri

(Direktorat Pembinaan, 1992: 159-161)

Lokakarya yang membahas materi kompilasi Hukum Islam secara 

mendasar tentang masalah-masalah di bidang Hukum Perkawinan, 

Kewarisan perwakafan yang merupakan masalah-masalah fikih yang selama 

ini banyak diperdebatkan dewasa ini. Memang materi yang dijadikan bahan 

dalam lokakarya ini banyak berbeda dari materi fikih yang selama ini 

dipahami dan dijalankan, tetapi mereka tetap memegang dalil yang kuat.

Dalam tulisannya Amir Syarifuddin, misalnya Memberi  contoh 

mengenai hal tersebul. Karena Hak anak laki-laki dan anak perempuan 

dalam kewarisan merupakan sesuatu yang sudah standar dan berdasar  

dalil qath'i tetap sebagaimana yang berlaku dalam kitab-kitab fikih yang ada,

32

pembahasan dalam lokakarya berjalan dengan lancar dan tidak menghadapi 

permasalahan yang berarti. Akan tetapi menurut Amir Syarifiiddin, materi 

lainnya karena dirasa tidak berbenturan dengan dalil yang sharih dan qath’i 

dapat diterima oleh ahli fikih negara kita  ini meskipun mereka berbeda dalam 

fikih. (Syarifuddin, 1990: 139).

Lokakarya ini memang memiliki  peranan penting dalam rangka 

penetapan Kompilasi Hukum Islam. Dengan adanya Lokakarya ini, maka 

seperti apa yang dikatakan oleh Yahya Harahap bahwa finalnya rumusan 

kompilasi bukan ditentukan secara mutlak ditangan panitia. Akan tetapi untk 

memperoleh rumusan finalnya, dimintakan lagi persetujuan pendapat dari 

para ulama atau katakannya, akan dimintakan lagi "ijma" dari para ulama 

terkemuka melalui seminar yang bersifat nasional. (Harahap, 1990: 95).

Pada tanggal 29 Desembar 1989 pemerintah mengundangkan 

berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 (LN 1989 No. 49) tentang 

Peradilan Agama setelah untuk sekian lama undang-undang ini menempuh 

proses yang cukup alot karena banyaknya reaksi yang bermunculan untuk 

menghalangi lahirnya undang-undang ini. Sifat sensitifnya memang tinggi 

akan tetapi urgensinya ternyata jauh lebih mendesak, sehingga Undang- 

undang ini berhasil disetujui oleh semua fraksi di DPR dan disahkan 

menjadi undang-undang. Berlakunya Undang-undang ini memiliki  

pengaruh yang sangat besar terhadap proses penyelesaian penyusunan 

kompilasi hukum Islam. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yaitu  mengatur 

tentang hukum formal yang akan dipakai dilingkungan peradilan agama. 

Hukum formal secara teori yaitu  untuk "mengabdi" kepada hukum 

material. Akan tetapi sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian 

terdahulu sampai saat itu hukum material mana yang dipergunakan bagi 

Peradilan Agama masih belum jelas dan untuk keperluan itulah kompilasi 

hukum Islam ini disusun. Dengan demikian, maka dengan berlakunya 

Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menjadi dorongan yang lebih kuat untuk 

memacu lahirnya hukum materiilnya yaitu kompilasi hukum Islam.

Dorongan kepada pemerintah untuk segera mengesahkan Kompilasi 

Hukum Islam itu muncul dari berbagai pihak. Hanya saja pada waktu itu 

masih ada  perbedaan pandangan tentang produk hukum yang akan 

mewadahi kompilasi itu . Idealnya ia harus dituangkan dalam satu 

Undang-undang. Akan tetapi dikhawatirkan kalau kita harus merancang 

kembali satu Undang-undang prosesnya akan berlarut-larut dan memakan 

waktu yang lama. Ada pula keinginan untuk menuangkannya dalam bentuk 

Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden.

33

Rahmat Djatnika, misalnya mengemukakan bahwa dalam urusan ini 

kita tidak melalui DPR tetapi memakai sistem potong kompas karena kalau 

melalui DPR akan sulit, apalagi masalah waris. Oleh karenanya Mahkamah 

Agung memakai  jalan pintas bersama-sama dengan Departemen Agama 

mengadakan kompilasi, dan biayanya atas restu Presiden. Ini cara potong 

kompas, yang zaman dulu tidak mungkin dilakukan, (Djatnika, 1990: 235).

Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta mengharapkan kepada 

pemerintah untuk segera mengesahkan kompilasi Hukum Islam sehubungan 

dengan diundangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang 

Peradilan Agama. Dan beberapa hari sebelum Presiden menunaikan ibadah 

haji, tepatnya tanggal 10 Juni 1991, beliau menandatangani Instruksi 

Presiden Republik negara kita  No. 1 Tahun 1990. (Sunny, 1991a : 43 dan 

1991b :7). Sejak saat itu secara formal berlakulah kompilasi Hukum Islam di 

seluruh negara kita  sebagai hukum materiil yang dipergunakan di lingkungan 

Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama 

telah mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan 

Instruksi Presiden Republik negara kita  No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 

1991. Selanjutnya kompilasi ini disebarluaskan kepada semua Ketua 

Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat 

Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 

1991 No. 3694/EV/HK.003/A2/91. Dengan adanya berbagai landasan 

hukum dimaksud kompilasi hukum Islam ini telah memiliki  tempat yang 

kokoh dalam sistem hukum negara kita .

Menurut A. Djazuli, upaya mengkompilasi hukum Islam ini yaitu  

merupakan salah satu usaha yang sangat positif dalam pembinaan hukum 

Islam sebagai salah satu sumber pembentukan Hukum Nasional. Disebutkan 

pula bahwa kompilasi Hukum Islam ini yaitu  merupakan sebuah kegiatan 

yang ditangani bersama oleh "ulama" (Departemen Agama) dan "umara" 

(Mahkamah Agung). Kemudian dikatakan bahwa dengan kompilasi Hukum 

Islam ini, para Hakim Agama memiliki  pegangan tentang Hukum yang 

harus diterapkan di dalam warga . Dengan perkataan lain, 

pengetahuannya tentang hak dan kewajiban menurut Hukum Islam akan 

lebih mantap. (Djazuli, 1991: 235-236).

34

LAN D ASAN DAN KEDUDUKAN 

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi 

Hukum Islam di negara kita  yaitu  Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 

tanggal 10 Juni 1991. Menurut Ismail Suny, oleh karena sudah jelas bahwa 

dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk 

Islam telah ditetapkan oleh Undang-undang yang berlaku yaitu  hukum 

Islam, maka Kompilasi Hukum Islam itu yang memuat hukum materiilnya 

dapat ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi Presiden. Pendapat 

itu  antara lain didasarkannya pada disertasi dari A. Hamid S. Attamimi. 

Dan selanjutnya ia mengatakan bahwa Instruksi Presiden itu  dasar 

hukumnya yaitu  pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu 

kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan Pemerintahan Negara. 

Apakah dinamakan Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden, kedudukan 

hukumnya yaitu  sama. (Suny, 1991: 44). Karena itu pembicaraan mengenai 

kedudukan kompilasi tidak mungkin dilepaskan dari Instruksi Presiden di 

maksud.

Instruksi Presiden ini ditujukan kepada Menteri Agama. Ini yaitu  

merupakan Instruksi kepada Menteri Agama. Ini yaitu  merupakan Instruksi 

dari Presiden RI kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi 

Hukum Islam yang sudah disepakati itu . Diktum Keputusan ini hanya 

menyatakan :

PERTAMA : Menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri 

dari:

a. Buku I tentang Hukum Perkawinan;

b. Buku II tentang Hukum Kewarisan;

c. Buku III tentang hukum Perwakafan.

sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama 

negara kita  dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2-5 

Februari 1988 untuk dipakai  oleh Instansi Pemerintah 

dan oleh warga  yang memerlukannya.

KEDUA : Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan 

dengan penuh tanggung jawab.

35

sedang  konsideran Instruksi itu  menyatakan :

a. bahwa ulama negara kita  dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada 

tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988 telah menerima baik 

rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum 

Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang 

Hukum Perwakafan;

b. bahwa Kompilasi Hukum Islam itu  dalam huruf a oleh Instansi 

pemerintah dan oleh warga  yang memerlukannya dapat dipakai  

sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang 

itu ;

c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam itu  dalam huruf a 

perlu disebarluaskan.

Sesuai dengan maksud penetapannya Instruksi Presiden itu  

hanyalah mengatur tentang soal "penyebarluasan" kompilasi Hukum Islam 

yang telah diterima oleh para ulama dalam satu lokakarya nasional, oleh 

karenanya yaitu  wajar bilamana dalam instruksi itu  tidak kita jumpai 

adanya penegasan berkenaan dengan kedudukan dan fungsi dari Kompilasi 

yang bersangkutan. Dalam instruksi ini tidak ada penegasan bahwa 

kompilasi itu merupakan lampiran dari Instruksi Presiden dimaksud 

sebagaimana lazimnya kita jumpai dalam Instruksi yang serupa sehingga ia 

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari inpres yang bersangkutan. 

Dengan demikian juga tidak ada penunjukan teks resmi dari kompilasi 

Hukum Islam yang harus disebarluaskan.

Hanya saja dalam konsideran secara tersirat hal ini ada disebutkan 

bahwa Kompilasi ini dapat dipakai  sebagai pedoman dalam penyelesaian 

masalah-masalah dibidang itu  (maksudnya tentu bidang-bidang yang 

diatur oleh kompilasi yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan dan 

hukum perwakafan), oleh Instansi pemerintah dan warga  yang 

memerlukannya. berdasar  penegasan itu  maka kedudukan 

kompilasi ini hanyalah sebagai "pedoman". Di sini tidak ditemukan 

penjelasan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pedoman. Akan tetapi, 

dari susunan kata/kalimat "dapat dipakai  sebagi pedoman" akan dapat 

menumbuhkan kesan bahwa dalam masalah ini kompilasi tidak mengikat 

artinya para pihak dan instansi dapat memakainya dan dapat pula tidak 

memakainya. Hal ini, tentu saja tidak sesuai dengan apa yang kita 

kemukakan dalam latar belakang dari penetapan kompilasi ini. Karena itu, 

pengertian sebagai pedoman harus bermakna sebagai tuntutan atau petunjuk 

yang harus dipakai balik oleh Pengadilan Agama maupun warga warga 

36

dalam menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawinan, 

kewarisan dan perwakafan.

Kemudian lebih lanjut yang menjadi dasar dan landasan dari Kompilasi 

ini yaitu  Keputusan Menteri Agama Republik negara kita  tanggal 22 Juli 

1991 No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksana Instruksi Presiden Republik 

negara kita  No. 1 Tahun 1991. Konsideran Keputusan ini menyebutkan :

a. Bahwa Instruksi Presiden Republik negara kita  No. 1 Tahun 1991 

tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan Kepada Menteri Agama untuk 

menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk dipakai  oleh 

Instansi Pemerintah dan oleh warga  yang memerlukannya;

b. bahwa penyebarluasan kompilasi Hukum Islam itu  perlu 

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung 

jawab;

c. bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama 

Republik negara kita  tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Republik 

negara kita  Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.

Dalam Diktum Keputusan Menteri itu  disebutkan sebagai berikut:

Pertama :

Kedua

Ketiga

Keempat :

Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah 

lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum 

Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan 

Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama 

Instruksi Presiden Republik negara kita  Nomor 1 tahun 1991 

tanggal 10 Juni 1991 untuk dipakai  oleh Instansi 

Pemerintah dan warga  yang memerlukannya dalam 

menyelesaikan masalah-masalah di bidang itu .

Seluruh lingkungan Instansi itu  dalam diktum pertama, 

dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum 

Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin 

menerapkan kompilasi Hukum Islam itu  di samping 

peraturan perundang-undangan lainnya.

Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan 

Direktur Bimbingan warga  Islam dan Urusan Haji 

mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama 

Republik negara kita  ini dalam bidang tugasnya masing- 

masing.

Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

37

Satu hal yang perlu perhatian dari Keputusan Menteri Agama ini ialah 

pada diktum bagian kedua yang berkaitan dengan kedudukan kompilasi yang 

intinya agar supaya seluruh lingkungan Instansi (dalam kasus ini terutama 

sekali dimaksud tentunya yaitu  Instansi Peradilan Agama) agar "sedapat 

mungkin menerapkan kompilasi Hukum Islam itu  di samping peraturan 

perundang-undangan lainnya". Kata-kata "sedapat mungkin" dalam 

Keputusan Menteri Agama ini kiranya memiliki  kaitan cukup erat dengan 

kata-kata "dapat dipakai " dalam Instruksi presiden No. 1 Tahun 1991 

sebagaimana dikemukakan di atas harus diartikan bukan dalam artian 

kompilasi hanya dipakai kalau keadaan memungkinkan akan tetapi sebagai 

suatu anjuran untuk lebih memakai  kompilasi ini dalam penyelesaian 

sengketa-sengketa perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang terjadi di 

kalangan umat Islam.

Selain itu, dalam Keputusan Menteri Agama ini juga disebut bahwa 

penggunaannya yaitu  "di samping" peraturan perundang-undangan. Hal ini, 

menunjukkan adanya kesederajatan Kompilasi ini dengan ketentuan- 

ketentuan perundang-undangan mengenai perkawinan dan perwakafan yang 

sekarang berlaku dan dengan ketentuan perundangan kewarisan yang 

nantinya akan ditetapkan berlaku bagi umat Islam. Perundang-undangan 

Perkawinan sebagaimana termaktub dalam undang-undang No. 1 Tahun 

1974 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya serta peraturan mengenai 

perwakafan (khusus mengenai tanah) sebagaimana diatur dalam peraturan 

Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan peraturan pelaksanaannya akan tetap 

dipakai  sebagai ketentuan hukum positif berkenaan dengan masalah 

itu . Ketentuan yang demikian harus dipandang sebagai ketentuan yang 

bersifat umum dan lebih banyak bersifat administratif prosedural sedang  

kompilasi hukum Islam yaitu  merupakan ketentuan khusus yang lebih 

berfungsi sebagai ketentuan hukum substansial.

Pengaturan lebih lanjut yaitu  termuat dalam Surat Edaran Direktur 

Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal 

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 

3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi 

Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh negara kita  tentang 

penyebarluasan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 

1991. Namun sayangnya di sini juga tidak disebutkan/dilampirkan teks resmi 

dari kompilasi yang merupakan satu kesatuan dari Instruksi Presiden No. 1 

Tahun 1991 dimaksud.

Untuk selanjutnya memang masih diperlukan petunjuk teknis 

berkenaan dengan bagaimana seharusnya Kompilasi Hukum Islam ini 

seharusnya dilaksanakan oleh jajaran aparatur Peradilan Agama sehingga

38

mereka tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Melalui petunjuk 

pelaksanaan ini diharapkan akan dapat diberikan kejelasan mengenai 

bagaimana kedudukan dan fungsi Kompilasi Hukum Islam dalam praktik 

penyelesaian perkara.

Bilamana kita berasumsi sesuai dengan Instruksi Presiden dan 

Keputusan Menteri Agama kompilasi ini memiliki  kedudukan sebagai 

"pedoman" dalam artian sebagai sesuatu petunjuk bagi para hakim Peradilan 

Agama dalam memutus dan menyelesaikan perkara, maka kedudukannya 

yaitu  tergantung sepenuhnya dari para Hakim dimaksud untuk 

menuangkannya dalam keputusan-keputusan mereka masing-masing 

sehingga kompilasi ini akan terwujud dan memiliki  makna serta landasan 

yang kokoh dalam yurisprudensi Peradilan Agama. Dengan cara demikian, 

maka Peradilan Agama tidak hanya sekarang berkewajiban menerapkan 

ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan dalam Kompilasi, akan tetapi 

justru memiliki  peranan yang lebih besar lagi untuk memperkembangkan 

dan sekaligus melengkapinya melalui yurisprudensi yang dibuatnya.

Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai masalah ini kiranya 

juga patut diperhatikan bagaimana pemikiran dan keinginan para pakar 

hukum kita tentang bagaimana seharusnya Kompilasi Hukum Islam ini 

didudukkan dalam sistem Hukum Islam. M. Yahya Harahap, misalnya dalam 

tulisannya menyebutkan tujuan dari kompilasi hukum Islam yang sedang 

disusun pada waktu itu yaitu  :

a. Untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di negara kita  secara 

konkret;

b. guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan 

peradilan Agama;

c. dan sifat kompilasi, berwawasan nasional (bersifat supra sub kultural, 

aliran atau madzhab) yang akan diperlakukan bagi seluruh warga  

Islam negara kita , bila  timbul sengketa di depan sidang Peradilan 

Agama (kalau di luar proses peradilan, tentu bebas menentukan pilihan 

dari sumber kita fikih yang ada)

d. serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang 

lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas warga  Islam (Harahap, 

1988: 91).

Menurut Masrani Basran, politik hukum Nasional sebagaimana 

ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yaitu  kodifikasi 

Hukum, dan di mana mungkin unifikasi hukum. Oleh karena kebutuhan 

yang amat mendesak, maka Mahkamah Agung berpendapat perlunya

39

ditetapkan sasaran antara yaitu kompilasi hukum Islam. Dikatakannya juga 

bahwa dengan adanya kompilasi hukum itu  para Hakim Agama akan 

memiliki  pegangan tentang hukum yang harus diterapkan dan warga  

akan lebih mantap dalam pengetahuannya tentang hak dan kewajiban 

menurut hukum-hukum Islam. Selain itu dikemukakannya pula tujuan lain 

dari kompilasi hukum Islam yaitu  agar warga  Islam yang awam dalam 

hukum dan berbahasa Arab (bahasa kitab-kitab kuning) dapat pula 

mengetahui hak dan kewajiban menurut hukum Islam. Terutama hukum- 

hukum Islam yang dalam negara kita telah merupakan hukum positif, yaitu 

hukum-hukum Islam yang telah menjadi kewenangan Peradilan Agama. 

(Basran, 1986: 10).

berdasar  apa yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan ada tiga 

fungsi dari kompilasi Hukum Islam di negara kita  yaitu :

a. Sebagai suatu langkah awal/sasaran antara untuk mewujudkan 

kodifikasi dan juga unifikasi hukum Nasional yang berlaku untuk 

warga warga . Hal ini penting mengingat mayoritas penduduk 

negara kita  yaitu  beragama Islam, dimana ketentuan-ketentuan hukum 

yang sudah dirumuskan dalam kompilasi ini akan diangkat sebagai 

bahan materi hukum nasional yang akan diberlakukan nanti.

b. Sebagai pegangan dari para Hakim Pengadilan Agama dalam 

memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan- 

nya.

c. Sebagai pegangan bagi warga warga  mengenai hukum Islam yang 

berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil 

dari berbagai kitab kuning yang semula tidak dapat mereka baca secara 

langsung.

Mengenai fungsinya yang pertama, secara singkat KH. Hasan Basry 

menyebutnya sebagai kompilasi untuk menuju kodifikasi. Dikatakannya pula 

bahwa kompilasi hukum Islam yang kini tengah dicanangkan kalau nanti 

berhasil dikodifikasikan dan dijadikan Undang-undang/peraturan oleh 

pemerintah kita jelas merupakan sumbangan umat Islam yang sangat besar 

bagi pembangunan hukum nasional yang selama ini kita dambakan (Basry, 

1986: 61). Berbeda dengan pendapat itu  Busthanul Arifin mengatakan 

bahwa kita lakukan yaitu  kompilasi yaitu mengumpulkan pendapat- 

pendapat dalam masalah fiqh yang selama ini dianut oleh umat Islam 

negara kita . Jadi bukan kodifikasi, sebab istilah ini mengandung arti 

menciptakan hukum baru atau mengubah yang telah ada (Arifin, 1985: 28).

40

Pada bagian lain Busihanul Arifin mengemukakan bahwa kompilasi 

yang disusun ini tidak akan meniru gaya kodifikasi hukum Islam yang 

dilaksanakan Pemerintah Sudan di bawah Numaeri, yang kenyataannya 

merupakan "peran tunggal pemerintah" tanpa memperhatikan berbagai 

madzhab dan ulama yang menjadi panutan warga . Karena itu Numaeri 

mendapat tantangan, juga dari kalangan umat Islam sendiri (Arifin, 1985: 

29). Hal yang demikian juga dikemukakan oleh Hasan Basry dimana beliau 

menyatakan bahwa kodifikasi juga terjadi pada negara-negara Islam Timur 

Tengah seperti Saudi Arabia, Syria, Iran, Mesir, Sudan dan lain-lain. 

Biasanya mereka mengkodifikasikan fiqh dan madzhab yang secara resmi 

diikuti oleh pemerintah negara-negara itu  (Basry, 1986: 61)

Adanya keinginan untuk tidak menformalkan satu pendirian hukum 

sebagaimana dikemukakan di atas mendapat perhatian pula dari M. Yahya 

Harahap. Dalam hubungan ini ia menunjuk dan menyetujui pendapat Panitia 

seminar kompilasi hukum Islam Majelis Tarjih Muhammadiyah bahwa 

kompilasi ini yaitu  dalam rangka pengembangan hukum Islam dengan 

tidak mengabaikan elastisitas hukum Islam serta tidak memaksakan kepada 

suatu dasar pendirian tertentu.

Menurut pendapatnya apa yang ditawarkan Majelis Tarjih itu  

yaitu  tepat. Pada satu sisi, Muhammadiyah menginginkan kompilasi 

hukum Islam negara kita  yang sesuai ukurannya dengan ukuran busana umat 

Islam negara kita . Barang kali Muhammadiyah sadar, hukum yaitu  busana 

warga  yang ukuran dan jahitannya harus sesuai dengan kebutuhan 

warga  pemakainya. Tampaknya Muhammadiyah berpendapat, hukum 

Islam memiliki sifat kenyal (elastis), agar ukurannya dapat dise-laraskan 

bagi umat pemakainya, Di lain pihak, Muhammadiyah tidak setuju 

perumusan kompilasi diarahkan pada pemaksaan atau pengimposan 

madzhab fikih tertentu (Harahap, 1988: 94).

Dalam penilaiannya, keinginan Muhammadiyah yaitu  kemurnian 

perumusan yang bersumberkan Quran dan Sunnah yang pengkajian 

penafsirannya dapat berorientasi kepada kitab-kitab fikih standar tanpa 

mengabaikan tujuan "pembaharuan pembangunan" hukum Islam "secara 

elastis". Begitu juga menurut pendapatnya apa yang menjadi pendirian 

Pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Agung dan Departemen Agama, tidak 

ada maksud memaksakan suatu sistem hukum fikih tertentu. Tidak ada 

maksud memaksakan suatu sistem hukum fikih tertentu. Tidak pula 

menerima segala sesuatu secara doktriner rumusan fikih yang telah ada, 

karena kemungkinan apa yang didoktrinkan itu lelah bercampur dengan 

unsur budaya asing yang kurang tepat bagi kita. Namun bukan pula

41

pengertian elastisitas pembaharuan hukum Islam itu berupa "kompromistis" 

secara total ke arah "mempribumikan" hukum Islam dengan sistem nilai- 

nilai adat dan budaya yang secara diametral bertentangan dengan ajaran 

Islam. Sengaja dibuka beberapa jalur secara terbuka, agar hasil rumusan 

akhir berkenaan dihati kita semua. Keluwesan pandang, keterbukaan hati, 

mendominasi upaya perumusan kompilasi (Harahap, 1988: 94-95).

Apa yang dikemukakan di atas, memiliki  kaitan yang cukup erat 

dengan kedudukan dari kompilasi dan sifat mengikatnya kompilasi bagi para 

pihak baik pihak yang bersengketa maupun para hakim. Baik para hakim 

maupun pihak-pihak yang berperkara dengan berlakunya kompilasi hukum 

Islam ini terikat dan berkewajiban sepenuhnya melaksanakan isinya. Hanya 

saja perlu dipersoalkan apakah para pihak dengan berlakunya kompilasi ini 

masih diperkenankan untuk mengambil pendapat hukum lain dari sumber 

lain yang isinya berbeda dari apa yang sudah digariskan dalam kompilasi. 

Sekalipun pada dasarnya pemerintah tidak akan memaksakan satu pendapat 

hukum tertentu, namun berdasar  konsensus yang disepakati bersama 

maka para pihak maupun hakim terikat sepenuhnya pada apa yang 

disebutkan dalam kompilasi tanpa menutup kemungkinan bagi para hakim 

Peradilan Agama untuk melakukan penemuan hukum.

42

ISI KOMPILASI HUKUM ISLAM

Sebagaimana telah disinggung dalam uraian terdahulu bahwa 

Kompilasi Hukum Islam terdiri atas 3 buku masing-masing Buku I tentang 

Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan buku III tentang Perwakafan. 

Pembagian dalam tiga buku ini hanya sekedar pengelompokan bidang 

hukum yang dibahas yaitu bidang hukum perkawinan (munakahat), bidang 

hukum kewarisan (Faraid) dan bidang hukum perwakafan. Dalam kerangka 

sistematikanya masing-masing buku terbagi dalam berapa bab dan kemudian 

untuk bab-bab tertentu terbagi pula atas beberapa bagian yang selanjutnya 

dirinci dalam pasal-pasal.

Secara keseluruhan kompilasi Hukum Islam terdiri atas 229 pasal 

dengan distribusi yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Porsi yang 

terbesar yaitu  pada buku Hukum Perkawinan, kemudian Hukum kewarisan 

dan yang paling sedikit yaitu  Hukum Perwakafan. Perbedaan ini timbul 

bukan karena ruang lingkup materi yang berbeda, akan tetapi hanya karena 

intensif dan terurai atau tidaknya pengaturannya masing-masing yang 

tergantung pada tingkat penggarapannya. Hukum perkawinan karena kita 

sudah menggarapnya sampai pada hal-hal yang detail dan hal yang 

sedemikian dapat dilakukan mencontoh pengaturan yang ada dalam 

perundang-undangan tentang perkawinan. Sebaliknya karena Hukum 

kewarisan tidak pernah digarap demikian maka ia hanya muncul secara garis 

besarnya dan dalam jumlah yang cukup terbatas.

Selain itu pengaturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam ini 

khusunya untuk bidang Hukum Perkawinan tidak lagi hanya terbatas pada 

hukum substantif saja yang memang seharusnya menjadi porsi dari 

kompilasi akan tetapi sudah cukup banyak Memberi  pengaturan tentang 

masalah prosedural atau yang berkenaan dengan tatacara pelaksanaan yang 

seharusnya termasuk dalam porsi perundang-undangan perkawinan. 

Mengenai apa yang disebutkan terakhir secara faktual telah kita temukan di 

dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya 

sebagaimana kemudian dilengkapi dengan berbagai Undang-undang terakhir 

dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang 

juga memuat beberapa pasal berkenaan dengan Hukum Acara mengenai 

perceraian. Akibat dimasukkannya semua aspek hukum itu  maka 

terjadi "pembengkakan" dalam bidang hukum perkawinan sedang dalam 

hukum lainnya terasa sangat sedikit.

43

Ditinjau dari segi sistematika sebuah peraturan perundang-undangan 

Kompilasi Hukum Islam tidak menggambarkan sebuah sistematika yang 

"baik". Kompilasi Hukum Islam ini misalnya tidak mencantumkan adanya 

ketentuan umum yang berlaku untuk semua bidang hukum yang diaturnya. 

Ketentuan umum memang ada pada masing-masing buku yang isinya hanya 

lebih banyak berupa keterangan mengenai beberapa istilah walaupun itu 

tidak lengkap.

Sebenarnya dalam Kompilasi ada ketentuan yang dapat disebut sebagai 

ketentuan umum. Sebagai misal Pasal 229 yang justru dalam kompilasi 

dimasukkan sebagai ketentuan penutup. Pada hal kalau dilihat dari sisinya 

apa yang diatur di sana layaknya dijadikan sebagai ketentuan umum. Pasal 

229 itu  berbunyi:

"Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan 

kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai 

hukum yang hidup dalam warga  sehingga putusannya sesuai 

dengan rasa keadilan".

Masih belum jelas mengapa ketentuan yang demikian dimasukkan ke dalam 

kompilasi dan dijadikan sebagai ketentuan penutup. Pasal ini pada 

hakikatnya yaitu  sama dengan ketentuan Pasal 27 Undang-undang No. 14 

Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman yang 

nota bene juga memang berlaku dan mengikat bagi semua Hakim termasuk 

para Hakim Pengadilan Agama.

Kiranya masih belum jelas apa sebenarnya urgensinya dilakukan 

pengulangan penyebutan ini dalam kompilasi, sedang  dalam Undang- 

undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan yang secara khusus juga 

mengatur tentang tugas dan kewajiban para Hakim Pengadilan Agama 

ketentuan semacam ini tidak disebut ulang di dalamnya. Penyebutan ini 

sebenarnya mengandung banyak konsekuensi yang perlu mendapat perhatian 

khusus dan berkaitan erat sekali dengan kedudukan Kompilasi Hukum Islam 

itu sendiri, mengingat masih belum jelas apa sebenarnya yang dimaksudkan 

dengan "nilai-nilai hukum yang hidup" yang "wajib" diperhatikan oleh 

Hakim dalam mengambil keputusan sehingga keputusannya sesuai dengan 

rasa keadilan itu?

Adapun mengenai isi dari kompilasi Hukum Islam dapat dikemukakan 

secara singkat sebagai berikut:

44

6.1 HUKUM PERKAWINAN

Sistematika kompilasi mengenai Hukum Perkawinan ini yaitu  sebagai 

berikut:

I Ketentuan Umum (Pasal 1)

II Dasar-dasar Perkawinan (Pasal 2-10)

HI Peminangan (Pasal 11-13)

IV Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)

V  Mahar (Pasal 30-38)

VI Larangan Kawin (Pasal 39-44)

VII Peijanjian Perkawinan (Pasal 45-52)

VIII Kawin Hamil (Pasal 53-54)

IX Beristri lebih dari satu orang (Pasal 55-59)

X Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)

XI Batalnya perkawinan (Pasal 70-76)

XII Hak dan kewajiban suami istri (Pasal 77-84)

XIII Harta kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97)

XIV Pemeliharaan anak (Pasal 98-106)

XV Perwalian (107-112)

XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)

XVII Akibatnya putusnya perkawinan (Pasal 149-162)

XVIII Rujuk (Pasal 163-169)

XIX Masa Berkabung (Pasal 170)

Bilamana kita perhatikan kerangka sistematika itu  ternyata ada 

beberapa materi yang dapat digabung satu dengan yang lainnya dan ada pula 

pengaturan yang seharusnya tidak perlu dimasukkan dalam satu bab 

tersendiri.

Ditinjau dari materi muatan kompilasi Hukum Islam ini, khususnya 

mengenai hukum perkawinan dapat dilihat banyaknya terjadi duplikasi 

dengan apa yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan/atau 

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mengingat kompilasi hukum Islam 

ini juga mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural. Namun, kita 

juga tidak menutup mata banyak juga hal-hal baru yang kita temukan dalam 

kompilasi ini.

45

Dalam Pasal 1 dicantumkan berbagai pengertian, yaitu berupa 

keterangan dari berbagai istilah yang dipakai  dalam buku I Kompilasi, 

akan tetapi sayangnya tidak semua atau masih banyak istilah teknis yang 

dipakai  akan tetapi tidak kita jumpai dalam materi kompilasi. 

Sehubungan dengan istilah ini memang dirasakan masih ada penggunaan 

istilah-istilah yang kurang jelas atau tumpang tindih. Mengingat fungsinya 

sebagai pedoman dalam hukum Islam di negara kita , seharusnya kompilasi ini 

juga harus berfungsi sebagai sarana pembakuan istilah hukum Islam di 

negara kita .

Istilah perkawinan sebagai istilah negara kita  untuk pernikahan melalui 

Kompilasi ini sudah dibakukan dalam Hukum Islam negara kita . Akan tetapi 

penggunaan istilah wali nikah (pasal 19 dan seterusnya), saksi nikah (Pasal 

24 dan seterusnya), akad nikah (Pasal 27) masih dipergunakan, sedang  

untuk hal-hal lain seperti larangan kawin (Pasal 39 dan seterusnya), 

perjanjian perkawinan (Pasal 45 dan seterusnya), pencegahan perkawinan 

(Pasal 60 dan seterusnya), batalnya perkawinan (pasal 70 dan seterusnya) 

dan putusnya perkawinan (Pasal 113 dan seterusnya) dipergunakan istilah 

perkawinan. Walaupun kita semua tentunya sudah paham betul bahwa dalam 

hubungan ini tidak ada perbedaan antara "nikah" dan "kawin", akan tetapi 

dengan penggunaan istilah yang berbeda dalam satu produk hukum yang 

bertujuan ingin membakukan peristilahan rasanya kurang tepat.

Mengenai pengertian perkawinan - yang dalam hal ini dipakai  dalam 

konteks dasar-dasar perkawinan - dirumuskan sedikit berbeda dengan apa 

yang disepakati dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 

Kompilasi disebutkan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam yaitu  

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaaqan gholiidhan untuk 

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian 

Pasal 3 menyebutkan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan 

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. sedang  dalam pasal 

1 Undang-undang No. 1 1974 merumuskan perkawinan yaitu  ikatan lahir 

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan 

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal 

berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menyebut perkawinan sebagai sebuah "akad" tanpa menjelaskan 

maknanya, apalagi dalam artian "aqad yang kuat" atau "miitsaaqan 

gholiidhan" sebenarnya memerlukan penjelasan apakah sama, lebih luas atau 

lebih sempit dari "ikatan lahir batin". Penyebutan antara "seorang pria 

dengan seorang wanita" pada masa kini mengandung makna yang cukup 

penting sehubungan dengan banyaknya orang yang melakukan operasi ganti

46

kelamin sehingga mereka melangsungkan perkawinan dengan statusnya 

yang baru. Begitu juga penyebutan sebagai "suami istri." sedang  dalam 

kaitan dengan tujuan penyebutan "kekal" dalam pasal 1 Undang-undang No. 

1 Tahun 1974 memiliki  arti tersendiri bila dihadapkan dengan perkawinan 

untuk sementara waktu (seperti misalnya nikah mut'ah) sehingga dapat 

menimbulkan pertanyaan misalnya apakah dengan tidak dicantumkannya 

kata itu  Kompilasi Hukum Islam dapat menerima adanya nikah mut'ah.

Apakah yang disebut dalam Pasal 4 bahwa perkawinan yaitu  sah, 

bila  dilakukan menurut hukum Islam, yaitu  suatu penegasan yang 

cukup tepat dan aspiratif. Hanya penegasan dalam sambungan kalimat 

"sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan", rasanya tidak terlalu perlu. Hal ini, mengingat akan 

keberadaan dari kompilasi Hukum Islam ini apakah juga akan menjadi syarat 

acuan dalam menentukan keabsahan suatu perkawinan menurut hukum 

Islam, yaitu Hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan kompilasi ini.

Dalam pasal 5 Kompilasi disebutkan agar terjaminnya ketertiban 

perkawinan bagi warga  Islam "harus" dicatat. Pencatatan dilakukan 

oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 

Tahun 1946 Jo. UU No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 ayat 1 mengulangi 

pengertian pencatatan dimaksud dalam artian setiap perkawinan "harus" 

dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan 

Nikah. Bilamana kita membaca lebih lanjut isi kompilasi kata "harus" di sini 

yaitu  dalam makna "wajib" menurut pengertian hukum Islam. Oleh karena 

perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah 

"tidak memiliki  kekuatan Hukum". sedang  pasal 7 ayat (1) 

menyebutkan perkawinan "hanya" dapat dibuktikan dengan Akta Nikah 

yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan 

perkawinan yaitu  merupakan kewajiban bagi mereka yang akan 

melangsungkan perkawinan.

Namun demikian, dalam pasal 7 ayat 2 dan seterusnya dimungkinkan 

bagi mereka membuklikan perkawinannya dengan Akta Nikah dapat 

mengajukan "itsbat nikah" nya ke Pengadilan Agama. Kiranya perlu dibuat 

istilah bahasa negara kita  untuk itsbat nikah ini dan bagaimana pengertiannya. 

Akan tetapi, dengan penegasan ini tampak kepada kita bahwa pencatatan di 

sini tidak ada hubungannya dengan keabsahan perkawinan, hanya saja 

perkawinan itu  "tidak memiliki  kekuatan hukum" yang tentunya 

harus dibaca dalam hubungan dengan persoalan keperdataan bukan dalam 

kaitannya dengan Hukum Islam.

47

Salah satu persoalan yang sama sekali tidak diatur dalam Undang- 

undang No. 1 Tahun 1974 akan tetapi cukup banyak dibicarakan dalam 

kitab-kilab fiqh dan juga dalam Hukum Adat, yaitu tentang peminangan 

yang diatur dalam satu Bab khusus dalam kompilasi. Namun pasal 13 

Kompilasi menyebutkan bahwa pinangan "belum menimbulkan akibat 

hukum" dan para pihak bebas memutuskan "hubungan peminangan". 

Pengertian hubungan peminangan memang tidak dijelaskan di sini akan 

tetapi yaitu  mencakup apa yang dalam praktik disebut "pertunangan". 

Kalau demikian persoalannya juga mengandung akibat hukum baik dalam 

hukum Islam maupun dalam Hukum Adat. Ketentuan ini rasanya juga 

kurang serasi dengan pasal 12 ayat (3) yang melarang meminang seorang 

wanita yang sedang dipinang pria lain. Larangan demikian yang juga dikenal 

dalam kitab-kitab fiqih tentunya tidak bisa dilanggar begitu saja.

Dalam Bab IV diatur tentang rukun dan syarat perkawinan sekalipun 

tidak tegas pembedaannya satu dengan lain. Pasal 14 menyebutkan apa yang 

biasa dalam kitab fiqh disebut dengan rukun nikah. Dikatakan bahwa untuk 

melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon suami;

b. Calon istri;

c. Wali Nikah;

d. Dua orang saksi, dan

e. Ijab dan kabul.

Dengan demikian, kita sudah melakukan pembakuan pengertian yang lazim 

dikenal dalam madzhab Syafii, dan demikian pendapat yang dikenal dalam 

hukum Islam seorang perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri (tanpa 

wali) tidak dibenarkan dalam hukum Islam negara kita .

Ketentuan mengenai colon mempelai hampir sama dengan apa yang 

diatur dalam Undang-undang Perkawinan, yaitu :

a. batas usia kawin, yaitu 19 tahun untuk calon suami dan 16 tahun untuk 

calon istri, hanya saja dalam kompilasi tidak disebutkan kemungkinan 

dispensasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 (2) Undang-undang 

No. 1 Tahun 1974.

b. masalah perizinan bagi mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun. 

Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 UU No.l Tahun 1974.

c. persetujuan calon mempelai, yaitu  sejalan dengan ketentuan pasal 6 

ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, namun dalam kompilasi diatur secara 

lebih lengkap dan lebih teknis. Dengan demikian, apa yang banyak

48

diperbincangkan dalam kitab fiqh mengenai kewenangan wali mujbir 

untuk mengawinkan seorang perempuan tanpa persetujuan yang 

bersangkutan tidak dikenal lagi dalam hukum Islam negara kita .

Mengenai masalah wali dan saksi diatur secara khusus sesuai dengan 

ketentuan hukum Islam. Mengenai akad nikah yang pengertiannya 

disebutkan dalam pasal 1 huruf c ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh 

wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan 

oleh dua orang saksi, diatur secara khusus dalam pasal 27, 28 dan 29. 

Sayangnya di sini lidak diperkenalkan terminologi yuridis Hukum Islam 

bahasa negara kita  untuk "ijab" dan "kabul" itu . Dan berdasar  pasal- 

pasal itu  belum diberikan pengaturan kemungkinan dilakukannya ijab 

kabul pada tempat yang berbeda sebagaimana kasus yang cukup 

menghebohkan nikah via telepon. Namun, di sini yang lebih ditekankan 

bahwa mempelai dapat menyatakannya melalui orang yang dikuasakan 

secara khusus.

Hal lain yang juga tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu  

tentang mahar yang dalam kompilasi diatur dalam satu Bab khusus (pasal 

30-38). Dengan dipergunakan istilah baku maka istilah "mas kawin" yang 

banyak dikenal dalam praktik tidak lagi mengandung makna yuridis. Pasal 

30 menyebutkan calon mempelai pria "wajib" membayar mahar kepada 

calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh 

kedua belah pihak. Tetapi dalam Pasal 34 disebutkan kewajiban 

menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Dalam 

ketentuan ini juga diatur tentang pembayaran mahar bagi suami yang 

mentalak istrinya "qabla al dukhul" (yang perlu dicarikan istilah yuridis 

bahasa negara kita nya).

Ketentuan berikutnya yaitu  tentang larangan kawin. Dalam Pasal 39 

Kompilasi dicantumkan adanya ketentuan tentang larangan kawin baik yang 

dipicu  karena pertalian nasab, pertalian kerabat semenda dan pertalian 

sesusuan, namun bahasa yang dipergunakan cukup sulit untuk dipahami 

dimana menurut sementara pihak perumusannya terpengaruh oleh bahasa 

kitab fiqh. Sebenarnya perumusan yang disebut dalam pasal 8 UU No. 1 

Tahun 1974 jauh lebih praktis dan jelas, sehingga pasal ini memerlukan 

penjelasan lebih jauh.

Prinsip larangan itu  dan yang juga diatur dalam ketentuan 

berikutnya yaitu  sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang memang tidak 

banyak perbedaan pendapat tentang hal itu . Satu hal yang kita anggap 

"baru" di sini yaitu  ketentuan pasal 40 yang menentukan dilarang

49

melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang 

tidak beragama Islam. Ketentuan ini dapat kita anggap sebagai ketentuan 

yang mengingat dalam berbagai kitab fiqih umumnya disebutkan seorang 

laki-laki muslim dilarang kawin dengan wanita musyrik sedang  dengan 

wanita kitabiyah yaitu mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani masih 

dibolehkan, walaupun memang ada pendapat dikalangan ulama termasuk 

Majelis Ulama negara kita  yang tidak membolehkannya. Sehingga dengan 

demikian dalam sistem hukum negara kita  tidak dikenal kemungkinan adanya 

perkawinan antaragama antara seorang muslim dengan penganut agama lain. 

Mengenai larangan wanila muslimah kawin dengan laki-laki nonmuslim 

secara tegas disebutkan dalam pasal 44 yang menegaskan seorang wanila 

Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak 

beragama Islam.

Persoalan lain yang diatur cukup banyuk dalam kompilasi hukum Islam 

ini yaitu  tentang perjanjian perkawinan (pasal 45-52) yang berarti jauh 

lebih banyak bilamana dibandingkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 

1974 yang hanya mengaturnya dalam satu pasal yaitu pasal 29. Dalam pasal 

45 Kompilasi disebutkan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan 

perjanjian perkawinan dalam bentuk :

1. Taklik talak, dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ketentuan ini bertolak belakang dengan apa yang ditentukan dalam 

Penjelasan Pasal 29 bahwa yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal 

ini tidak termasuk taklik talak. Mengenai taklik talak dalam kompilasi hanya 

diatur dalam satu pasal yaitu pasal 46.

Pengaturan terbanyak dari perjanjian perkawinan yaitu  berkenaan 

dengan kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian itu  dibuat 

tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Di sini hanya disebutkan 

bahwa perjanjian dimaksud disebutkan hanya di "sahkan" oleh Pegawai 

Pencatat Perkawinan. Akan tetapi, dalam Pasal 50 disebutkan bahwa 

perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan 

bersama suami istri dan wajib "mendaftarkan" nya di Kantor Pegawai 

Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Pendaftaran ini 

kelihatannya memiliki  arti penting berkenaan dengan kekuatan mengikat 

perjanjian itu  walaupun di sini tidak jelas pendaftaran dalam pengertian 

apa yang dimaksudkan oleh karena sejak perjanjian dibuat tidak ada 

kewajiban mendaftarkan akan tetapi pencabutannya wajib didaftarkan.

50

Kawin Hamil yaitu  judul Bab VIII yang hanya terjadi atas 2 pasal. 

Akan tetapi, yang khusus mengatur tentang "kawin hamil" hanya pasal 53 

sedang  Pasal 54 sama sekali tidak ada hubungannya dengan kawin hamil 

karena mengatur tentang kawin bagi seorang yang sedang ihram. Dalam 

pasal 53 disebutkan seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan 

dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil itu  

dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 

Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak 

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Adanya 

ketentuan ini juga dapat dipandang sebagai "Ketentuan baru" dalam hukum 

perkawinan di negara kita dalam menetapkan kepastian persoalan yang 

selama ini banyak diperdebatkan. Akan tetapi, masih belum jelas 

pengaturannya bagaimana kalau mengawini itu bukan laki-laki yang 

menyebabkan kehamilan sebagaimana banyak terjadi dalam praktik di 

negara kita.

Pengaturan tentang beristri lebih dari satu orang juga mendapat 

pengaturan khusus dalam kompilasi hukum Islam akan tetapi isinya lebih 

banyak menyangkut aspek hukum procedural sebagaimana yang sudah diatur 

dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Begitu pula pengaturan 

tentang pencegahan perkawinan (Pasal 60-69) dan batalnya perkawinan 

(pasal 70-76) mengandung banyak kemiripan dengan pengaturan mengenai 

pencegahan perkawinan dan pembatalan perkawinan yang masing-masing 

diatur dalam Pasal 13-21 dan pasal 22-28 Undang-undang No. 1 Tahun 

1974.

Persoalan mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur secara khusus 

dalam satu Bab (XII) dari Pasal 77-84 yang isinya lebih luas dari apa yang 

diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 (Bab VI) Pasal 30-34. Begitu pula 

berkenaan Harta kekayaan dalam Perkawinan (Bab XIII) yang judulnya 

sedikit berbeda dengan Bab VII UU No. 1 Tahun 1974 tentang harta benda 

dalam perkawinan. Menurut Pasal 85 adanya harta bersama dalam per­

kawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing 

suami atau istri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada 

percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.

Dalam Bab XIII tidak ada disebut mengenai terjadinya harta bersama, 

sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974. Akan tetapi, 

dalam pasal 1 huruf f  disebutkan harta kekayaan dalam perkawinan atau 

syirkah yaitu  harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami 

istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut 

harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Ujung

51

kalimat memiliki  makna penting karena tidak hanya menyangkut hukum 

perkawinan akan tetapi juga hukum benda tentang pendaftaran yang masih 

memerlukan perhatian lebih jauh. Pasal-pasal berikutnya dari kompilasi 

Memberi  pengaturan cukup rinci mengenai masalah harta bersama ini.

Hal-hal lain yang diatur dalam kompilasi yaitu  tentang pemeliharaan 

anak yang diatur dalam Bab XIV pasal 98-106. Bab yang demikian tidak ada 

dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 karena persoalannya diatur dalam 

hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Sebaliknya dalam UU No. 1 

Tahun 1974 ada Bab khusus tentang Kedudukan Anak (Bab IX, Pasal 42-44) 

yang justru tidak ada dalam kompilasi Hukum Islam, akan tetapi isinya 

sudah termasuk dalam Bab tentang pemeliharaan anak ini. Ada beberapa 

perbedaan antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan kompilasi berkenaan dengan 

persoalan in i :

a. Mengenai batas umur dewasa yang mewajibkan orang tua untuk 

melakukan pemeliharaan. Pasal 98 ayat 1 Kompilasi menentukan batas 

usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa yaitu  21 tahun, 

sepanjang anak itu  tidak bercacat fisik maupun mental atau belum 

pernah melangsungkan perkawinan. Hal ini, berbeda dengan pasal 47 

UU No. 1 Tahun 1974 menentukan anak yang belum dewasa mencapai 

umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan 

perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak 

dicabut dari kekuasaannya.

b. Mengenai pengertian anak yang sah selain dari apa yang ditentukan 

dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 yang hampir sama isinya dengan 

pasal 99 sub a Kompilasi, bahwa anak sah itu yaitu  anak yang 

dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Kompilasi 

menambahkan dengan hal yang kedua yaitu hasil pembuahan suami 

istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri itu .

c. Sesuai dengan judulnya kompilasi hanya mengenai pemeliharaan anak 

maka yang diatur hanya kewajiban orang tua untuk memelihara anak, 

tidak mengatur tentang kewajiban anak untuk memelihara orang tua 

sebagaimana yang diatur dalam pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974.

Selanjutnya diatur tentang pengingkaran keabsahan anak oleh suami, 

masalah penyusuan, dan kewajiban serta tanggung jawab orang tua terhadap 

harta anaknya.

Masalah lain yang juga diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yaitu  

tentang perwalian yang isinya mengandung banyak persamaan kecuali 

mengenai batas usia sebagaimana yang berlaku dalam pemeliharaan anak.

52

Persoalan mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya mendapat 

pengaturan yang cukup banyak dalam kompilasi. Bilamana dalam UU No. 1 

Tahun 1974 persoalan ini cukup diatur dalam satu Bab (Bab VIII) tentang 

putusnya perkawinan serta akibat-akibatnya, (pasal 38-41), maka dalam 

kompilasi hal ini diatur dalam dua bab yaitu Bab XVI tentang putusnya 

perkawinan (pasal 113-148) dan Bab XVII tentang Akibat putusnya 

perkawinan (pasal 149-162), kemudian masih ada lagi satu Bab (Bab XVIII) 

tentang Rujuk (Pasal 163-169) dimana untuk hal yang disebutkan terakhir 

tidak mendapat pengaturan sama sekali dalam UU No. 1 Tahun 1974. Selain 

itu masih ada lagi ketentuan lain mengenai hal yang sama perlu disebutkan 

yaitu ketentuan yang termuat dalam pasal 65-91 Undang-undang No. 7 

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pasal 113 Kompilasi isinya sama dengan pasal 38 UU No. 1 Tahun 

1974 yang menentukan perkawinan dapat putus karena

a. Kematian;

b. perceraian; dan

c. atas putusan pengadilan.

Kemudian pasal 114 menentukan putusnya perkawinan yang dipicu  

karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasar  gugatan 

perceraian.

Pasal 115 kompilasi isinya sama dengan pasal 39 ayat (1) UU No. 1 

Tahun 1974 dan pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 dimana disebutkan 

perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah 

Pengadilan Agama itu  berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua 

belah pihak. Sedang mengenai alasan perceraian dalam pasal 116 kompilasi 

selain dari alasan yang disebutkan dalam penjelasan pasal 39 UU No. 1 

Tahun 1974 atau pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 ditambahkan pula ada dua 

alasan lain yaitu pertama suami melanggar taklik talak dan yang kedua 

peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan 

dalam rumah tangga.

Secara rinci dalam kompilasi diatur tentang macam-macam talak, 

kemudian tentang li'an dan tatacara perceraian. Pasal 123 kompilasi isinya 

sama dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975 perceraian itu terjadi terhitung 

pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Ketentuan 

ini dapat kita perbandingan dengan pasal 81 UU No. 7 Tahun 1989 yang 

menentukan suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat 

hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum 

tetap. Selanjutnya, beberapa pasal yang berkenaan dengan cerai gugat

53

memiliki  banyak persamaan dengan apa yang diatur dalam pasal 73-86 

UU No. 7 Tahun 1989.

Mengenai akibat putusnya perkawinan diatur tentang berbagai 

kewajiban dari suami dan waktu tunggu. Mengenai waktu tunggu yang 

diatur dalam pasal 153 Kompilasi isinya hampir sama dengan pasal 39 PP. 

No. 9 Tahun 1975. Di sini juga diatur tentang mut'ah yaitu pemberian bekas 

suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. 

Akibat khuluk dan akibat Li'an.

Pengaturan tentang rujuk yaitu  merupakan satu hal tersendiri yang 

sekaligus juga merupakan tambahan ketentuan bagi hukum acara Pengadilan 

Agama mengenai masalah itu . Dan kompilasi ini ditutup dengan satu 

Bab khusus tentang masa berkabung (jangan disamakan dengan waktu 

tunggu atau iddah). Dalam pasal 170 yang merupakan ketentuan penutup 

untuk buku pertama disebutkan :

(1) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa 

berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan 

sekaligus menjaga timbulnya fitnah.

(2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung 

menurut keputusan.

Ketentuan ini merupakan satu ketentuan baru yang sebenarnya tidak perlu 

diatur dalam satu Bab khusus mengingat urgensinya yang tidak terlalu 

mendesak. Naraun, sebagaimana beberapa ketentuan lain dalam kompilasi 

ketentuan ini yaitu  ketentuan hukum yang tidak memiliki  sanksi dan 

karenanya walaupun dirumuskan dengan kata-kata "wajib melaksanakan" 

hanya bersifat anjuran saja.

6.2 HUKUM KEWARISAN

Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan yaitu  lebih sempit 

bilamana dibandingkan dengan hukum perkawinan sebagaimana yang telah 

diuraikan di muka. Kerangka sistematikanya yaitu  sebagai berikut:

Bab i Ketentuan Umum (pasal 171)

Bab II Ahli waris (pasal 172-175)

Bab III Besarnya bahagian (pasal 176-191)

Bab IV Aul dan Rad (pasal 192-193)

Bab V Wasiat (pasal 194-209)

Bab VI Hibah

54

Sebagaimana halnya dengan Hukum perkawinan maka apa yang diatur 

dalam ketentuan umum yaitu  pengertian-pengertian dan ternyata juga di 

sini tidak menguraikan secara keseluruhan pengertian yang disebutkan 

dalam Buku ke-II ini. Ketentuan ini berlaku sejalan dengan hukum yang 

berlaku bagi pewaris yaitu beragama Islam dan karenanya masalah harta 

warisannya harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum 

Islam. Hal ini, yaitu  merupakan suatu hal yang sangat prinsip sekali akan 

tetapi dalam kompilasi ini disebut secara sepintas dalam rumusan mengenai 

pewaris dan ahli waris.

Persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan 

bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga 

tidak kita temukan dalam kompilasi buku kedua ini. Sebagaimana halnya 

pewaris yaitu  beragama Islam maka ahli warispun harus beragama Islam, 

Untuk itu pasal 172 menegaskan tentang indikator untuk menyatakan bahwa 

seseorang itu yaitu  Islam.

Mengenai siapa yang dapat menjadi ahli waris juga tidak disebutkan 

dalam kompilasi ini. Seharusnya perlu ada penegasan bahwa setiap orang 

yang memenuhi ketentuan dapat menjadi ahli waris dan pewaris yang 

meninggal dunia apakah ia laki-laki atau wanita. Hak yang demikian sudah 

ada semenjak ia masih dalam kandungan ibunya dengan ketentuan kalau ia 

lahir hidup akan mendapatkan hak sedang  kalau ia lahir mati bagiannya 

diserahkan pada ahli waris lainnya.

Dalam pasal 173 diatur tentang terhalangnya seseorang untuk menjadi 

ahli waris yang pada dasarnya hanya berupa melakukan kejahatan terhadap 

pewaris. Tetapi, Sebagaimana dikemukakan di atas ketentuan ini tidak 

mencantumkan bahwa murtadnya seseorang menjadi penghalang utama 

untuk menjadi ahli waris. Hal yang demikian seharusnya ditambahkan dalam 

pasal 173 ini.

Mengenai siapa ahli waris pasal 174 menyebutkannya secara singkat 

yaitu ahli waris karena hubungan darah dan ahli waris menurut hubungan 

perkawinan. Kemudian disebutkan keutamaan dari masing-masing ahli waris 

bilamana semua ahli waris ada. Sayangnya di sini tidak disebutkan 

bagaimana pewarisan dari seorang pewaris yang meninggal dunia tanpa 

meninggalkan ahli waris sama sekali. Hal ini, memang ada diatur dalam 

pasal 191 tetapi mengenai pembagian warisnya. Begitu juga mengenai 

keutamaan yang sifatnya lebih kasuistik dimana satu ahli waris dapat 

mendinding (hijab) ahli waris lainnya seharusnya juga dimuat secara lebih 

rinci di sini.

55

Penegasan tentang anak luar kawin dan anak angkat seharusnya juga 

termasuk dalam bagian ini. Mengenai anak yang lahir di luar perkawinan 

disebutkan dalam pasal 186 bahwa ia memiliki  hubungan saling mewaris 

dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya. sedang  mengenai anak angkat 

perlu ada penegasan bahwa sesuai dengan ketentuan hukum Islam anak 

angkat tidak mewarisi orang tua angkatnya. Akan tetapi, anak angkat berhak 

mendapatkan bagian harta orang tua angkatnya melalui prosedur lain.

Di sini juga tidak ada ketentuan mengenai saat dilakukannya 

pembagian warisan, mengingat banyaknya kecenderungan di tempat kita 

mereka yang tidak melakanakan pembagian waris bahkan ada yang dikenal 

harta pusaka sebagai harta warisan yang tidak dibagi tetapi hanya dinikmati 

bersama seluruh ahli waris. Dalam pasal 175 tentang kewajiban ahli waris 

memang ada diatur sebagai salah satu kewajiban membagi harta warisan di 

antara para ahli waris tetapi kapan pelaksanaan pembagian itu dilakukan 

tidak disebutkan di sini. sedang  hal 188 mengatur tuntutan untuk 

membagi waris bilamana ada pihak yang tidak mau membaginya, tetapi 

tidak ditentukan kapan harus dibaginya.

Dalam persoalan mengenai besarnya bagian warisan dapat dicatat ada 

beberapa hal pen