Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 7


 lipun. Dari sudut pandang

historis, laporan ini jelas merupakan rekayasa belakangan, sebab 

Sa‘id adalah seorang anak kecil berumur 11 tahun saat  Umar

mulai berkuasa. Jadi, usaha  untuk memperoleh justifikasi Sa‘id

untuk suatu kumpulan al-Quran semacam itu tentunya tidak logis.

Versi minoritas lainnya berusaha  mendamaikan kesimpang-

siuran antara versi mayoritas pengumpulan Zayd dan versi

minoritas tentang pengumpulan pertama al-Quran yang dilakukan

Khalifah Umar.  Dalam laporan ini diungkapkan bahwa Zayd –

atas perintah Abu Bakr –  menuliskan wahyu-wahyu al-Quran di

atas potongan-potongan lembaran kulit dan pelepah-pelepah

kurma. Setelah wafatnya Abu Bakr – jadi pada masa kekhalifahan

Umar – ia menyalin teks wahyu itu ke dalam lembaran-lembaran

yang disatukan (fî shahîfah wãhidah).  Dengan bentuk pelaporan

semacam ini, kedua versi tentang pengumpulan pertama al-Quran

itu tentunya tidak lagi bertabrakan.

Dalam versi mayoritas di atas, alasan penunjukkan Zayd sebagai

pelaksana teknis pengumpulan al-Quran terlihat sangat transparan,

dan ada  kesepakatan tentangnya dalam keseluruhan riwayat.

Usia muda, inteligensia tinggi, dan pekerjaan di masa Nabi sebagai

penulis wahyu, merupakan kriteria yang dipegang Abu Bakr dalam

penunjukkan Zayd sebagai pengumpul al-Quran. Dengan

demikian, riwayat ini  memberikan garansi terhadap isnãd teks

wahyu yang dihasilkannya: riwayat itu marfû‘, diterima langsung

dari Nabi sendiri. Sayangnya, dalam riwayat ini tidak disebutkan

prasyarat lainnya yang cukup penting, yakni kemampuan Zayd

dalam menghafal al-Quran. namun , kriteria ini dapat dipastikan

eksistensinya dari karakteristik utama aksara Arab saat  itu yang

lebih berfungsi sebagai alat untuk memudahkan hafalan. Sementara

tentang kriteria pertama – yakni usia muda – mungkin bisa

dipahami dari sisi politik. Abu Bakr barangkali memandang bahwa

dari anak muda semacam Zayd bisa diharapkan ketaatan atau

kepatuhan terhadap perintah khalifah, ketimbang dari para pejabat

senior yang keras kepala.

Laporan-laporan tentang cara kerja Zayd mengungkapkan

bahwa ia telah berusaha  keras menelusuri jejak-jejak orisinal wahyu

dengan berpijak secara ketat pada kriteria penerimaan periwayatan

wahyu, baik secara tertulis atau oral. Bagian akhir laporan yang

mengungkapkan penanganannya terhadap dua ayat terakhir surat

9 –  tepatnya 9:129-130 – memang memberi kesan bahwa terkadang

ia juga bersikap arbitrer dalam proses pengumpulan. Riwayat lain

berusaha  membela sikap arbitrer Zayd ini dengan mengemukakan

alasan bahwa Nabi memandang kesaksian Abu Khuzaimah ibn

Tsabit (w.657) setara dengan dua saksi.67  namun , pembelaan ini

terkesan mengada-ada sebab  melecehkan Umar, yang dalam riwayat

ini  dikatakan tidak diterima “ayat rajam”-nya sebab  tidak

memiliki saksi selain dirinya. Yang agak logis adalah penjelasan

bahwa Zayd menyadari ada bagian al-Quran yang telah dihafalnya

tidak berhasil ditelusuri jejaknya di kalangan kaum Muslimin,

kecuali pada Abu Khuzaimah. sebab  itu, kesaksian terhadap

bagian akhir surat 9 sebagai bagian dari al-Quran dikemukakan

oleh dua orang: Abu Khuzaimah dan Zayd sendiri.

Dengan demikian, konsern terhadap isnãd al-Quran dan

kemutawatirannya (tawãtur) terlihat sangat gamblang dalam

laporan-laporan pengumpulan Zayd di atas. Tidak satu pun bagian

al-Quran yang merupakan khabar wãhid – riwayat  terisolasi yang

hanya didukung mata rantai periwayatan tunggal. Tidak satu pun

yang bakal diterima sebagai bagian al-Quran atau dimasukkan ke

dalam kitab suci ini , kecuali wahyu-wahyu yang didengar

langsung dari Nabi sendiri dan memenuhi kriteria kesaksian yang

ditetapkan – yakni dua saksi.

Berbagai versi riwayat pengumpulan pertama al-Quran yang

telah dikemukakan memperlihatkan keberadaan pandangan-

pandangan yang beragam di kalangan umat Islam. Pandangan

pertama – disebut di atas sebagai versi mayoritas – mengungkapkan

bahwa pengumpulan pertama al-Quran dituntaskan pada masa

kekhalifahan Abu Bakr. Sementara pandangan kedua – versi

minoritas yang membias – tidak menyepakati sudut pandang

pertama dan menetapkan pengumpulan al-Quran pada masa

kekhalifahan Umar. Dalam versi minoritas juga ada  bias

berupa usaha  untuk mendamaikan kedua versi pengumpulan itu,

bahkan dengan versi pengumpulan pada masa Khalifah Ketiga,

dan pemunculan dua nama lainnya – Ali dan Salim – sebagai

pengumpul pertama al-Quran. namun , pemunculan kedua nama

ini hanya menekankan karakter personal usaha  pengumpulan al-

Quran yang dilakukan keduanya, tidak dalam kaitannya dengan

kumpulan resmi yang diotorisasi khalifah, sebagaimana

diungkapkan dalam versi mayoritas.

Namun, versi mayoritas yang menuturkan kisah pengumpulan

pertama al-Quran di atas dapat dikritik berdasar  beberapa 

pijakan. Pertama, versi ini  memandang bahwa sampai masa

wafatnya Muhammad tidak ada  salinan otoritatif wahyu-wahyu

al-Quran dan tidak ada  usaha  untuk menyusunnya. namun ,

seperti diperlihatkan di atas,  hal ini agak tidak logis, sebab 

beberapa  laporan menyebutkan adanya kegiatan pengumpulan al-

Quran di kalangan tertentu sahabat Nabi yang dilakukan secara

serius dan penuh kesadaran semasa hidup Nabi dan segera setelah

wafatnya. Di samping itu, ditemukan banyak ketidaksesuaian antara

versi mayoritas dan berbagai laporan lainnya dalam versi senada

tentang masalah ini.

Jadi, tidak ada kesepakatan tentang Intellektuelle Urheber

(penggagas intelektual) pengumpulan al-Quran. Pada umumnya

dikatakan bahwa Umarlah yang menggagaskannya, sebagaimana

terungkap dalam hadits Zayd di atas. namun , terkadang, juga

dikisahkan bahwa Abu Bakr yang memerintahkan pengumpulan

al-Quran atas inisiatifnya sendiri.68  Di sisi lain, sebagaimana telah

dikemukakan, ada  laporan-laporan versi minoritas yang

mengungkapkan Umar sebagai pengumpul pertama al-Quran dan

secara total mengeluarkan Abu Bakr. Dalam versi minoritas yang

membias ini juga ditemukan laporan-laporan yang berusaha 

mengharmoniskan kedua sudut pandang ini .

Dalam laporan tentang pengumpulan pertama ini, ada 

dua motif yang selalu dikemukakan dalam latar belakang

diambilnya langkah ini . Yang pertama adalah bahwa Nabi

belum mengumpulkan al-Quran ke dalam suatu mushaf tunggal

hingga wafatnya. Motif kedua, yang berhubungan erat dengan motif

pertama, adalah wafatnya beberapa  besar penghafal (qurrã’, secara

harfiah bermakna para pembaca atau pelafal) al-Quran pada

pertempuran Yamamah, yang menimbulkan kecemasan Umar ibn

Khaththab bahwa banyak bagian al-Quran yang nantinya akan

hilang.

Sehubungan dengan motif pertama, memang dapat dipastikan

bahwa Nabi sama sekali tidak meninggalkan kodeks al-Quran dalam

bentuk lengkap yang dapat dijadikan pegangan bagi kaum

Muslimin. Kalau tidak demikian, tentunya tidak akan timbul usaha 

untuk mengumpulkan al-Quran setelah wafatnya Nabi. namun ,

sebagaimana telah dikemukakan, ada  usaha  yang serius dan

sadar dari kalangan sahabat Nabi untuk memelihara wahyu-wahyu

dalam bentuk tertulis, seraya tetap berpatokan pada petunjuk-

petunjuknya tentang komposisi kandungan kitab suci ini .

Jadi, wafatnya beberapa  penghafal al-Quran – sebagaimana

diungkapkan dalam motif kedua – barangkali bukan merupakan

alasan utama untuk mencemaskan hilangnya bagian-bagian al-

Quran.

Lebih jauh, rincian motif kedua telah dikritik beberapa 

pengamat Barat. Dalam laporan-laporan yang sampai kepada kita,

disebutkan bahwa penghafal al-Quran yang gugur dikala itu

beberapa  70 orang, bahkan dalam riwayat lain disebutkan sebanyak

500 orang.69  namun , saat  nama-nama para penghafal al-Quran

ditelusuri dalam daftar orang-orang yang tewas – seluruhnya

berjumlah sekitar 1200 orang – ternyata hanya ditemukan beberapa 

kecil nama yang mungkin menghafal banyak bagian al-Quran.

L.Caetani bahkan menunjukkan bahwa yang tewas saat  itu

hampir seluruhnya pengikut baru Islam. Sementara Schwally

menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar nama-

nama penghafal al-Quran yang gugur, ia hanya menemukan dua

orang yang bisa dikatakan memiliki  pengetahuan al-Quran yang

meyakinkan: Abd Allah ibn Hafsh ibn Ganim dan Salim ibn Ma‘qil,

klien Abu Hudzaifah – dalam riwayat lainnya juga dikenal sebagai

salah seorang pemilik mushaf al-Quran yang dikumpulkan segera

setelah wafatnya Nabi.70  Dengan demikian, pengaitan motif

pengumpulan al-Quran di masa Abu Bakr dengan gugurnya

beberapa  besar penghafal al-Quran dalam pertempuran Yamamah

sangat sulit dipertahankan.

Sekalipun alasan penolakan pengaitan pertempuran Yamamah

tidak bisa diterima, namun  laporan versi mayoritas Zayd lebih

memperlihatkan bahwa pengumpulan al-Quran yang dilakukannya

itu hampir secara eksklusif bergantung pada dokumen-dokumen

atau sumber-sumber tertulis. Eksistensi dokumen-dokumen

semacam ini, sebagaimana telah diperlihatkan di atas, memang

tidak dapat diragukan. sebab  itu, kesimpulan bahwa tewasnya

penghafal al-Quran – apalagi yang telah memiliki rekaman tertulis

wahyu seperti Salim – tidak mungkin menimbulkan kecemasan

atau menjadi penyebab utama hilangnya bagian-bagian al-Quran,

terlihat cukup beralasan.

Masa pengumpulan al-Quran yang dilakukan oleh Zayd juga

terlihat sangat singkat. Sebagaimana diketahui, Abu Bakr hanya

memerintah kekhalifahan Islam saat  itu selama kurang lebih

dua tahun – mulai Rabi‘ al-Awwal 11H/632 sampai Jumada al-

Tsani 13H/634. Sementara Zayd memulai tugasnya, menurut

riwayat di atas, setelah peperangan Yamamah (bulan ketiga tahun

ke-12H). Hal ini berarti bahwa waktu yang tersisa bagi Zayd untuk

melaksanakan pekerjaannya, yang “seberat memindahkan gunung”

– demikian komentar Zayd dalam riwayat di atas – hingga wafatnya

Abu Bakr, hanya sekitar 15 bulan.71  Jadi,  jangka waktu ini terlihat

terlalu pas-pasan untuk mengumpulkan teks-teks al-Quran yang

tercerai-berai dan relatif sulit ditelusuri.

Sebagaimana disebutkan dalam versi mayoritas, karakter

mushaf yang dikumpulkan Zayd pada esensinya merupakan mushaf

resmi, sebab  dilakukan atas perintah dan otoritas Khalifah Abu

Bakr. Karakter semacam ini masih terlihat menonjol saat 

kepemilikan mushaf ini  jatuh ke tangan Umar, Khalifah

Kedua, setelah wafatnya Abu Bakr. Suatu kumpulan “resmi” al-

Quran semacam itu tentunya bisa diduga memiliki otoritas dan

pengaruh luas, sebagaimana dinisbatkan kepadanya. namun , bukti

semacam ini tidak ditemukan dalam kenyataan sejarah. Kumpulan-

kumpulan atau mushaf-mushaf al-Quran lainnya – seperti mushaf

Ibn Mas‘ud, Ubay ibn Ka‘b atau Abu Musa al-Asy‘ari – justeru

terlihat lebih otoritatif dan memiliki pengaruh luas di berbagai

wilayah kekhalifahan Islam saat  itu, ketimbang mushaf yang

dikumpulkan Zayd. Masih dalam alur yang sama, pertikaian yang

disebabkan perbedaan bacaan dalam mushaf-mushaf otoritatif dan

berpengaruh pada masa Utsman barangkali tidak akan timbul jika

pada waktu itu telah ada suatu mushaf resmi di tangan khalifah

yang bisa dijadikan rujukan.

Dengan demikian, karakter resmi mushaf al-Quran yang

dikumpulkan Zayd pada masa pemerintahan Abu Bakr terlihat

sangat meragukan. Bahkan perjalanan historis selanjutnya mushaf

ini , dari tangan Umar kemudian berpindah ke Hafshah

sebagai warisan, lebih menunjukkan karakter personalnya. Suatu

mushaf resmi yang pengumpulannya diotorisasi khalifah tentunya

tidak logis jika jatuh ke pemilikan pribadi Hafshah, sekalipun ia

merupakan puteri Khalifah Umar dan janda Nabi.

Kenyataan bahwa Hafshah memiliki sebuah mushaf al-Quran

barangkali bisa dijustifikasi oleh laporan-laporan tentang

pengumpulan al-Quran pada masa Khalifah Ketiga, Utsman ibn

Affan, sebab  disebutkan bahwa komisi yang dibentuk Utsman

untuk mengumpulkan al-Quran telah mendasarkan kodifikasi

kanoniknya pada naskah Hafshah. namun , sebagaimana ditunjukkan

di atas, mushaf yang berada di tangan Hafshah lebih memiliki

karakter personal, bukan kumpulan resmi. Penyebutan mushaf

Hafshah sebagai basis kodifikasi Utsman dalam riwayat itu juga

terlihat sangat meragukan. Dari laporan beberapa  riwayat diketahui

bahwa mushaf ini  berulang kali diminta oleh Marwan ibn al-

Hakam (w. 685), saat  menjabat sebagai Gubernur Madinah, untuk

dimusnahkan. usaha  ini baru berhasil dilakukan setelah wafatnya

Hafshah. Alasan pemusnahannya adalah kekuatiran Marwan bahwa

bacaan-bacaan tidak lazim di dalamnya akan menyebabkan

perselisihan di dalam warga  Muslim.72  Dari laporan semacam

ini dapat dipastikan bahwa naskah Hafshah jelas tidak memadai

sebagai basis utama untuk kodifikasi Utsman. namun , tentu saja,

hal ini tidak menafikan kemungkinan penggunaannya – bukan

sebagai sumber utama – bersama naskah-naskah lainnya dalam

usaha  pengumpulan ini .

Pengaitan dalam laporan-laporan pengumpulan Utsman

kepada naskah Hafshah, pada faktanya, merupakan usaha  untuk

menghubungkan mushaf utsmani dengan riwayat pengumpulan

sebelumnya. Tampaknya usaha  ini merupakan rekayasa belakangan,

sebab  – sebagaimana ditunjukkan di atas – eksistensi kumpulan

resmi semacam itu adalah sangat meragukan, demikian pula

eksistensi Umar sebagai penggagas intelektualnya. Barangkali

kenyataan-kenyataan ini bisa muncul ke permukaan setelah kaum

Muslimin secara terpaksa mesti menerima kenyataan pahit bahwa

seorang penguasa yang dipandang nepotis dan tidak cakap seperti

Utsman – meski pandangan ini masih bisa diperdebatkan – pada

faktanya merupakan Bapak Pengumpul al-Quran yang sejati.

sebab  itu, agar ada  suatu keadilan yang merata, para

pendahulu Utsman yang menonjol telah dipandang memiliki

saham penting dalam persiapan pengumpulan ini . sebab 

tidak ada  satu jalan pun yang bisa menuntun kembali dari

Umar ke Abu Bakr, kecuali jika seorang khalifah dipandang sebagai

penggagas intelektualnya, maka Umar kemudian menjadi

pilihannya. Salah satu riwayat dalam versi minoritas yang membias

di atas secara jelas mengacu ke arah ini, dan dalam riwayat versi

mayoritas yang telah dikemukakan, ditemukan gambaran Umar

sebagai kekuatan penggerak yang memungkinkan terjadinya

pengumpulan pertama. Pandangan tentang Abu Bakr sebagai

otoritas yang memerintahkan pengumpulan pertama barangkali

juga dipijakkan pada kehidupan terdahulunya di masa Nabi. Kalau

Umar dipandang sebagai yang paling intelek di kalangan khalifah-

khalifah awal, maka Abu Bakr memiliki kelebihan lain yang tidak

dimiliki Umar: Ia merupakan salah seorang yang pertama kali

menyatakan keimanannya kepada Islam dan teman akrab Nabi

yang selalu menemaninya bahkan di kala berhijrah. Jadi, adalah

mengherankan jika kedua khalifah pertama itu tidak siap

melakukan pengumpulan al-Quran; dan akhirnya keinginan khayali

yang didasarkan pada kesalehan ini secara gradual mengkristal ke

dalam berbagai riwayat tentang pengumpulan al-Quran: “benang

merah” yang menjalin ketiga tokoh itu pun dipintal dengan

meminimalkan peran penting tokoh terakhir.

Pandangan yang sama tentang rekayasa belakangan kisah-

kisah pengumpulan al-Quran hingga masa Umar ibn Khaththab

juga dikemukakan salah seorang pemikir Syi‘ah kontemporer, al-

Sayyid Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu‘i (w. 1992).73  Setelah

meneliti berbagai riwayat paling signifikan tentang pengumpulan

al-Quran – yang menurutnya bertabrakan antara satu dengan

lainnya, dan sebab  itu tidak mungkin dipercayai kebenarannya –

al-Khu‘i menegaskan: “…penisbatan pengumpulan al-Quran kepada

para khalifah (yakni tiga khalifah pertama – pen.) merupakan suatu

pandangan yang bersifat imajinatif, bertentangan dengan Kitab

Allah, Sunnah Nabi, dan akal sehat.”74  Ia meyakini bahwa al-Quran

dikumpulkan dan direkam secara tertulis pada masa Nabi.

Sementara yang dilakukan Khalifah Utsman, saat 

mengumpulkan al-Quran pada masa kekhalifahannya, adalah

menyatukan kaum Muslimin pada pembacaan satu mushaf

otoritatif. Dengan kata lain, lewat usaha nya dalam pengumpulan

al-Quran, Utsman telah melakukan penyatuan atau standardisasi

teks al-Quran.

namun , gagasan seperti yang dikemukakan al-Khu‘i ini, seperti

telah disinggung, tidak dapat dipertahankan kebenarannya. Temuan

manuskrip al-Quran pra-utsmani di San‘a, Yaman, merupakan bukti

konklusif yang menentang gagasan semacam itu.75  Lebih jauh,

sebagaimana telah dikemukakan, eksistensi mushaf yang berasal

dari Nabi itu hanya merupakan khayalan kosong beberapa  sarjana,

sebab  kalau mushaf semacam itu benar-benar eksis, maka

kebutuhan akan kodifikasi al-Quran setelah Nabi tidak akan

menjadi concern utama para sahabat Nabi.

Bentuk dan Kandungan Mushaf-mushaf

Pra-Utsmani

Di atas telah ditolak kemungkinan eksisnya kumpulan resmi

al-Quran baik pada masa Abu Bakr ataupun Umar. namun ,

penolakan ini tidak menafikan kemungkinan eksisnya beberapa 

kumpulan al-Quran berkarakter personal yang diusaha kan secara

sadar oleh para sahabat Nabi semasa hidupnya hingga beberapa

saat setelah wafatnya. Gambaran umum yang diperoleh tentang

keadaan salinan-salinan al-Quran setelah wafatnya Nabi memang

sangat menyedihkan, sebab  tidak hanya tercerai-berai dan tidak

teratur, namun  salinan-salinan itu juga ditulis di atas bahan-bahan

yang berbeda dan sangat sederhana.

Ada beberapa  informasi yang cukup ekstensif tentang bahan-

bahan yang digunakan untuk menyalin al-Quran. Informasi ini

terutama didasarkan pada laporan-laporan mengenai surat-surat

yang dikirim Nabi ke berbagai penguasa dunia saat  itu dan

laporan mengenai pengumpulan al-Quran yang dilakukan Zayd.

Dalam laporan terakhir ini disebutkan beberapa  bahan yang saat 

itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan

Allah kepada Muhammad,  yaitu:

(i) riqã‘ atau lembaran lontar atau perkamen, sebagaimana

dijelaskan al-Suyuthi,

(ii) likhãf atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari

kepingan batu kapur yang terbelah secara horisontal

lantaran panas;

(iii) ‘asib atau pelepah kurma, terbuat dari bagian ujung

dahan pohon kurma yang tipis – salah satu surat Nabi

kepada Udzra ditulis di atas bahan ini;

(iv) aktãf atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang

belikat unta;

(v) adllã‘ atau tulang rusuk, biasanya juga dari tulang rusuk

unta;

(vi) adîm atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang

asli – bukan perkamen – dan merupakan bahan utama

yang digunakan untuk menulis saat  itu.

Namun penekanan yang diberikan pada penggunaan bahan-

bahan tulis-menulis yang sederhana dalam laporan-laporan

pengumpulan al-Quran itu barangkali terlalu dilebih-lebihkan.

Penekanan semacam ini mungkin dilakukan dalam rangka

menonjolkan kecekatan para pengumpul kitab suci ini  dan

kesederhanaan yang menyelimuti kehidupan pada masa awal Is-

lam, yang sangat kontras dengan kemewahan hidup yang

menggelimangi para penguasa dinasti Umaiyah. namun , adalah sangat

masuk akal bila dalam pengumpulan al-Quran secara tertulis ini

telah digunakan bahan-bahan yang lebih baik, sebab  hal ini 

menyangkut penyalinan naskah dari “langit” yang sangat

dikuduskan dan diagungkan kaum Muslimin.

Nama yang diberikan kepada salinan atau kumpulan tertulis

wahyu, baik dalam bentuk lengkap atau sebagiannya, adalah shuhuf

atau shahîfah, yang bermakna “lembaran-lembaran.” Kata ini,

sebagaimana telah disinggung, merupakan kata bentukan baru dalam

bahasa Arab yang berasal dari kata bahasa Habsyi (ethiopik) atau

bahasa Arab selatan, shahafa (“menulis”), dan telah digunakan pada

masa pra-Islam. Sementara kata bentukan mashhaf, atau lebih sering

diucapkan mushhaf, memiliki makna “kitab” atau “kodeks,” yang

selaras dengan makna dalam bahasa aslinya, Habsyi.80  Kata shuhuf

sendiri, dalam pengertian di atas, menunjukkan kepada lembaran-

lembaran dengan bahan dan format yang sama. Barangkali bahan

yang dimaksudkan di sini, sebagaimana diduga Schwally, terbuat

dari kulit.81  Apakah bahan ini menunjuk kepada perkamen atau

bukan, tidak dapat dipastikan. namun , penyebutan salinan atau

kumpulan al-Quran sebagai shuhuf atau “lembaran-lembaran”

menunjukkan bahwa kumpulan wahyu itu belum tertata secara pasti,

khususnya dalam susunan surat-suratnya. Hal ini dijustifikasi

beberapa  riwayat dan fenomena kitab-kitab mashãhif yang awal,

bahkan dibuktikan oleh temuan-temuan manuskrip al-Quran yang

awal.

Dalam Itqãn, misalnya, disebutkan bahwa al-Quran pada masa

Nabi tidak terkumpul (majmû‘ ) dan tidak memiliki susunan surat

yang pasti (wa lã murattab al-suwar);83  sementara kumpulan al-

Quran belakangan yang disebut dengan mushhaf – dengan makna

yang telah disebutkan di atas – misalnya mushaf utsmani, susunan

suratnya telah tertata secara pasti. Permasalahan apakah shuhuf

atau mushaf al-Quran itu dijilid atau tidak, merupakan

permasalahan yang sulit ditelusuri jawabannya dalam berbagai

informasi yang sampai ke tangan kita. Bahkan untuk kasus mushaf

utsmani, yang dipandang sebagai model, juga tidak tersedia

informasi apapun yang dapat memastikan bahwa kumpulan al-

Quran tulisan tangan itu dijilid.

Permasalahan selanjutnya tentang keutuhan dan kandungan

kumpulan-kumpulan al-Quran yang awal ini, tentang bentuknya,

pengelompokan surat-suratnya, penggunaan formula basmalah

sebagai marka pemisah (fawãshil ) antara satu surat dengan surat

lainnya, pemunculan huruf-huruf misterius (fawãtih al-suwar) di

beberapa  surat, dan lainnya, akan didekati setelah dilakukan kajian

terhadap beberapa  naskah pra-utsmani lainnya dan  mushaf

utsmani sendiri.


Beberapa Mushaf Pra-utsmani

Mushaf Primer dan Sekunder

Dalam bab lalu telah dikemukakan eksistensi beberapa kodifikasi tertulis al-Quran yang pengumpulannya diusaha kan

secara sadar oleh beberapa  sahabat Nabi. Kumpulan-kumpulan

tertulis ini telah mempengaruhi kumpulan-kumpulan al-Quran yang

diusaha kan generasi berikutnya, sebelum Utsman ibn Affan

melakukan penyeragaman teks al-Quran pada masa kekhalifahannya.

saat  Utsman melakukan unifikasi teks, capaian-capaian para

sahabat Nabi dan generasi berikutnya ini tetap eksis melalui

transmisi lisan ataupun tertulis dari generasi ke generasi dan 

direkam dalam sumber-sumber awal sebagai varian di luar tradisi

teks utsmani, atau sebagai mushaf-mushaf pra-utsmani.

Dalam karya-karya yang ditulis para mufassir dan filolog yang

awal, sering dijumpai pengungkapan atau perujukan kepada varian-

varian pra-utsmani. Terkadang, rujukan hanya dikemukakan dalam

bentuk ungkapan “mushaf sahabat” atau “beberapa  mushaf lama”

atau “dalam beberapa mushaf lama” (fî ba‘dl al-Mashãhif) atau

“dalam bacaan yang awal.” Selain itu, rujukan dibuat kepada mushaf

yang eksis di kota-kota tertentu, seperti “mushaf kota Bashrah” atau

“mushaf kota Hims” atau “mushaf ahl al-Aliyah.” Perujukan kepada

mushaf yang berada dalam pemilikan orang-orang tertentu juga

sering ditemukan, seperti “mushaf milik al-Hajjaj” atau “mushaf

milik kakek dari Malik ibn Anas,” atau “mushaf yang digunakan

oleh Abu Hanifah.” Namun, yang paling sering ditemukan adalah

perujukan kepada mushaf-mushaf pra-utsmani yang populer, seperti

mushaf Ibn Mas‘ud, Ubay ibn Ka‘b, dan lainnya.

Pada abad ke-4H/10 beberapa sarjana Muslim melakukan

kajian khusus tentang fenomena Mashãhif ini. Kajian paling

terkenal adalah yang dilakukan Ibn al-Anbari (w. 940), mendahului

karya Ibn Mujahid (w. 935) tentang kiraah tujuh. Sayangnya, Kitãb

al-Mashãhif yang disusun al-Anbari itu lenyap ditelan masa, dan

hanya ditemukan bekasnya dalam kutipan-kutipan yang dibuat

sarjana Muslim belakangan, seperti dalam karya al-Suyuthi.2  Satu-

satunya karya dari masa ini yang sampai ke tangan kita adalah

yang disusun Ibn Abi Dawud (w. 316H), Kitãb al-Mashãhif.

Sayangnya, kitab ini merupakan yang paling sempit cakupannya

dibandingkan kitab-kitab lainnya dari masa ini . Terutama

berdasar  kitab ini, dan berbagai kitab lainnya, Arthur Jeffery –

penyunting kitab itu bersumberkan beberapa  manuskrip –

mengklasifikasikan mushaf-mushaf lama ke dalam dua kategori

utama: mushaf primer dan mushaf sekunder.3

Sekalipun Jeffery tidak mengemukakan sesuatu pun tentang

kategorisasinya, bisa dilacak bahwa yang dimaksudkannya dengan

mushaf primer –  15 kodeks – adalah mushaf-mushaf independen

yang dikumpulkan secara individual oleh beberapa  sahabat Nabi.

Sementara mushaf sekunder –  13 kodeks – adalah mushaf generasi

selanjutnya yang sangat bergantung atau didasarkan pada mushaf

primer dan  mencerminkan tradisi bacaan kota-kota  besar Islam.

Dalam kasus-kasus tertentu, mushaf-mushaf di atas belum tentu

secara aktual bermakna suatu kumpulan al-Quran tertulis. namun ,

dalam kasus-kasus lainnya, ada  bukti yang cukup dari berbagai

sumber tentang eksistensi mushaf-mushaf tertentu dalam bentuk

kumpulan tertulis al-Quran. Bahkan, secara internal, bacaan-bacaan

yang dirujuk dalam beberapa  kitab mashãhif memperlihatkan

bahwa rujukan ini  terambil dari kumpulan tertulis al-Quran.

Skema mushaf-mushaf yang awal ini – baik mashãhif primer

maupun sekunder –  dapat dikemukakan sebagai berikut:

A. Mushaf-mushaf Primer

1. Mushaf Salim ibn Ma‘qil.

2. Mushaf Umar ibn Khaththab.

3. Mushaf Ubay ibn Ka‘b.

4. Mushaf Ibn Mas‘ud.

5. Mushaf Ali ibn Abi Thalib.4

184  /  TAUFIK ADNAN AMAL

6. Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari.

7. Mushaf Hafshah bint Umar.

8. Mushaf Zayd ibn Tsabit.

9. Mushaf Aisyah bint Abu Bakr.

10. Mushaf Ummu Salamah (w.59 H).

11. Mushaf Abd Allah ibn Amr (w. 65 H).

12. Mushaf Ibn Abbas.

13. Mushaf Ibn al-Zubayr.

14. Mushaf Ubayd ibn ‘Umair  (w. 74 H).

15. Mushaf Anas ibn Malik (w. 91 H).

B. Mushaf-mushaf Sekunder

1. Mushaf Alqama ibn Qais (w. 62 H.).

2. Mushaf al-Rabi‘ ibn Khutsaim (w. 64 H).

3. Mushaf al-Harits ibn Suwaid (w. 70 H).

4. Mushaf al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H).

5. Mushaf Hiththan  (w. 73 H).

6. Mushaf Thalhah ibn Musharrif (w. 112 H)

7. Mushaf al-A‘masy (w. 148 H).

8. Mushaf Sa‘id ibn Jubayr (w. 94 H).

9. Mushaf Mujahid (w. 101 H).

10. Mushaf  Ikrimah (w. 105 H).

11. Mushaf  Atha’ ibn Abi Rabah (w. 115 H).

12. Mushaf Shalih ibn Kaisan (w. 144 H).

13. Mushaf Ja‘far al-Shadiq.

Yang relevan dibahas di sini adalah mushaf-mushaf yang

dikategorikan Jeffery dalam skema di atas sebagai mushaf primer.

Mushaf-mushaf ini, sebagaimana telah diungkapkan, menunjukkan

usaha  yang sadar di kalangan sahabat Nabi untuk mengumpulkan

al-Quran pada masa Nabi dan sepeninggalnya, sebelum eksisnya

mushaf utsmani. Sementara mushaf sekunder lebih memper-

lihatkan pengaruh mushaf-mushaf primer dan merupakan

cerminan dari tradisi bacaan al-Quran di kota-kota metropolitan

Islam. Di samping itu, sebagian mushaf kategori ini muncul di

kalangan generasi kedua Islam, setelah adanya usaha  pengumpulan

al-Quran yang dilakukan di masa Khalifah Ketiga.

Sehubungan dengan mushaf-mushaf primer, mayoritas nama

yang dipandang memiliki mushaf dalam skema di atas sejalan

dengan laporan-laporan mengenai orang-orang yang me-

ngumpulkan al-Quran di masa Nabi atau setelah wafatnya, seperti

telah disinggung dalam bab lalu.  Sekalipun demikian, hanya

beberapa  kecil dari mushaf-mushaf para sahabat ini yang berhasil

menanamkan pengaruh luas di dalam warga  Islam. Dalam

tenggang waktu sekitar 20-an tahun, mulai dari wafatnya Nabi

sampai pengumpulan al-Quran di masa Utsman, hanya sekitar

empat mushaf sahabat yang berhasil memapankan pengaruhnya

di kalangan warga . Asal-muasal pengaruh ini tentunya

terpulang kepada individu-individu yang dengan namanya mushaf-

mushaf itu dikenal. Keempat sahabat Nabi yang dimaksud di sini

adalah: (i) Ubay ibn Ka‘b, yang kumpulan al-Qurannya

berpengaruh di sebagian besar daerah Siria; (ii) Abd Allah Ibn

Mas‘ud, yang mushafnya mendominasi daerah Kufah; (iii) Abu

Musa al-Asy‘ari, yang mushafnya memperoleh pengakuan

warga  Bashrah; dan (iv) Miqdad ibn Aswad (w. 33H), yang

mushafnya diikuti penduduk kota Hims, namun  tidak tercantum

dalam skema di atas. Di samping itu, mushaf Ibn Abbas, walaupun

tidak menjadi otoritas pada masanya, juga perlu mendapat

perhatian mengingat signifikansinya yang nyata dalam

perkembangan kajian al-Quran belakangan, seperti ditunjukkan

dalam bab 3.

Manuskrip mushaf kelima sahabat Nabi itu sayangnya tidak

sampai ke tangan kita, sehingga permasalah tentang bentuk lahiriah

dan kandungan tekstualnya hanya bisa dijawab melalui sumber-

sumber sekunder atau tidak langsung. Bahkan, Mushaf Miqdad

ibn Aswad tidak dapat ditelusuri jejaknya sama sekali dalam

berbagai sumber yang awal, dan barangkali  itulah sebabnya

mengapa Jeffery tidak memasukkannya ke dalam skema di atas.

Miqdad berasal dari Yaman dan melarikan diri ke Makkah setelah

mengalami suatu sengketa berdarah di daerah asalnya. Setibanya

di Makkah ia mendapat perlindungan dari Aswad ibn Abd Yagut.

Ia termasuk salah seorang dari generasi sahabat yang pertama kali

mengimani risalah Nabi, dan ikut dan  dalam hampir seluruh

peperangan kaum Muslimin yang awal. Pengetahuannya tentang

al-Quran, demikian pula asal-usul pengaruh mushafnya di kalangan

penduduk Hims, tidak dapat ditelusuri. Miqdad meninggal pada

33H, dan Khalifah Utsman melakukan shalat jenazah untuknya.

Sementara empat mushaf sahabat lainnya dapat ditelusuri jejaknya,

walaupun dalam kasus Abu Musa al-Asy‘ari hanya sedikit diperoleh

keterangan tentang kumpulan al-Qurannya.

Mushaf Ubay ibn Ka‘b

Ubay ibn Ka‘b adalah seorang Anshar dari banu Najjar, yang

masuk Islam pada masa cukup awal dan turut dan  dalam beberapa 

pertempuran besar di masa Nabi, seperti dalam Perang Badr dan

Uhud. Pengetahuan tulis-menulis yang dikuasainya dengan baik,

bahkan sebelum masuk Islam, membuat Nabi menunjuknya sebagai

salah seorang sekretarisnya begitu tiba di Madinah. Kegiatan Ubay

sebagai sekretaris Nabi tidak hanya terbatas pada urusan

korespondensi, namun  juga mencatat wahyu-wahyu yang diterima

Nabi. Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri dalam

mengumpulkan wahyu dan merupakan salah satu di antara empat

sahabat yang disarankan Nabi agar umat Islam mempelajari al-

Quran darinya.5  Dalam beberapa hal, otoritasnya tentang masalah-

masalah al-Quran bahkan lebih besar dari Ibn Mas‘ud. Selain itu,

ia juga dikenal sebagai Sayyid al-Qurrã’ (“pemimpin para pelafal/

penghafal al-Quran”). Tahun kematiannya tidak dapat ditetapkan

dengan pasti. Sumber-sumber yang ada menyebutkan mulai dari

19, 20, 22, atau 30 dan bahkan 32H. namun , seperti diungkapkan

Schwally, penetapan tahun 30 atau 32H sebagai tahun wafat Ubay

patut dicurigai, sebab  penggeseran ke belakang ini membuat

partisipasinya dalam pengumpulan al-Quran di masa Khalifah

Utsman menjadi memungkinkan atau logis.6

Tidak dapat diketahui secara pasti kapan ia mengumpulkan

materi-materi wahyu ke dalam mushafnya. Barangkali, saat 

ditunjuk Nabi untuk menyalin wahyu, kegiatan pengumpulan al-

Quran telah dimulainya. namun , kapan ia selesai menyusun bahan-

bahan wahyu yang membentuk kodeksnya tidak dapat dipastikan.

Yang pasti adalah bahwa sebelum kemunculan mushaf  standar

utsmani, mushaf Ubay telah populer di Siria. Suatu kisah

dituturkan Ibn Abi Dawud yang mengungkapkan bahwa beberapa

orang Siria menulis suatu mushaf al-Quran dan datang ke Madinah

untuk memeriksakannya kepada Ubay dan Zayd. Sekalipun

ada  bacaan tidak lazim yang diperoleh dari Ubay, baik Zayd

maupun Khalifah Umar saat  itu tidak membantah

kebenarannya.

beberapa  riwayat menuturkan keterlibatannya dalam komite

pengumpul al-Quran yang dibentuk Khalifah Utsman. namun ,

seperti dikemukakan di atas, tampaknya Ubay saat  itu telah wafat

sehingga tidak mungkin berpartisipasi dalam menyiapkan mushaf

standar utsmani. Demikian pula, beberapa  riwayat menuturkan

keterlibatannya dalam proses pengumpulan al-Quran pada masa

Khalifah Abu Bakr.8  namun , sebagaimana ditunjukkan dalam bab

lalu, kisah pengumpulan resmi di masa itu sangat meragukan.

Dengan demikian, keterlibatan Ubay di dalamnya juga amat

meragukan. Barangkali, pernyataan Nabi yang menokohkannya

sebagai salah seorang di antara empat sahabat yang memiliki

otoritas dalam al-Quran – yang memang merupakan kenyataan

historis – telah membuat namanya selalu digandengkan dengan

usaha -usaha  resmi dalam pengumpulan al-Quran.

Mushaf Ubay dikabarkan turut dimusnahkan saat  dilakukan

standardisasi teks al-Quran pada masa Utsman. Ibn Abi Dawud

menuturkan suatu riwayat bahwa beberapa orang datang dari Irak

menemui putra Ubay, Muhammad, untuk mencari keterangan

dalam mushaf ayahnya. Namun, Muhammad mengungkapkan

bahwa mushaf ini  telah disita Utsman.9    Sekalipun demikian,

dari berbagai riwayat yang sampai kepada kita, dapat ditelusuri

aransemen surat-surat di dalam mushafnya, bacaan-bacaannya yang

berbeda dari varian bacaan dalam tradisi teks utsmani, dan lain-

lain.

Dalam kaitannya dengan susunan surat, ada  perbedaan

yang relatif kecil antara mushaf Ubay dengan mushaf utsmani,

sebagaimana bisa disimak dalam dua laporan tentang susunan

suratnya. Laporan pertama dikemukakan dalam Fihrist, dan

laporan kedua diungkapkan dalam Itqãn.10  Berpijak pada kedua

laporan ini , susunan surat-surat dalam mushaf  Ubay dapat

dikemukakan sebagai berikut:


Susunan Surat Mushaf Ubay Menurut Fihrist dan Itqãn

                    Susunan Surat Menurut Fihrist                  Susunan Surat Menurut Itqãn

    No.              Nama surat*               No. Surat*              Nama Surat*            No. Surat*

1 al-Fãtihah 1 al-Fãtihah 1

2 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2

3 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4

4 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3

5 al-An‘ãm 6 al-An‘ãm 6

6 al-A‘rãf 7 al-A‘rãf 7

7 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5

8 Yûnus 10 Yûnus 10

9 al-Anfãl 8 al-Anfãl 8

10 al-Tawbah 9 al-Tawbah 9

11 Hûd 11 Hûd 11

12 Maryam 19 Maryam 19

13 al-Syu‘arã’ 26 al-Syu‘arã’ 26

14 al-Hajj 22 al-Hajj 22

15 Yûsuf 12 Yûsuf 12

16 al-Kahfi 18 al-Kahfi 18

17 al-Nahl 16 al-Nahl 16

18 al-Ahzãb 33 al-Ahzãb 33

19 al-Isrã’ 17 al-Isrã’ 17

20 al-Zumar 39 al-Zumar 39

21 al-Jãtsiyah 45 Fushshilat atau al-Zukhruf11       41 atau 43?

22 Thã Hã 20 Thã Hã 20

23 al-Anbiyã’ 21 al-Anbiyã’ 21

24 al-Nûr 24 al-Nûr 24

25 al-Mu’minûn 23 al-Mu’minûn 23

26 al-Mu’min 40 Saba’ 34

27 al-Ra‘d 13 al-‘Ankabût 29

28 al-Qashash 28 al-Mu’min 40

29 al-Naml 27 al-Ra‘d 13

30 al-Shãffãt 37 al-Qashash 28

31 Shãd 38 al-Naml 27

32 Yã Sîn 36 al-Shãffãt 37

33 al-Hijr 15 Shãd 38

34 al-Syûrã 42 Yã Sîn 36

35 al-Rûm 30 al-Hijr 15

36 al-Zukhruf 43 al-Syûrã 42

37 Fushshilat 41 al-Rûm 30

38 Ibrãhim 14 al-Hadîd 57

39 Fãthir 35 al-Fath 48

40 al-Fath 48 Muhammad 47

41 Muhammad 47 al-Mujãdilah 58

42 al-Hadîd 57 al-Mulk 67

43 al-Thûr 52 al-Shaff 61

44 al-Furqãn 25 al-Ahqãf 46

45 al-Sajdah 32 Qãf 50

46 Nûh 71 al-Rahmãn 55

47 al-Ahqãf 46 al-Wãqi‘ah 56

48 Qãf 50 al-Jinn 72

49 al-Rahmãn 55 al-Najm 53

50 al-Wãqi‘ah 56 al-Ma‘ãrij 70

51 al-Jinn 72 al-Muzzammil 73

52 al-Najm 53 al-Muddatstsir 74

53 al-Qalam 68 al-Qamar 54

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  189

54 al-Hãqqah 69 Fushshilat atau al-Zukhruf12         41atau 43 ?

55 al-Hasyr 59 al-Dukhãn 44

56 al-Mumtahanah 60 Luqmãn 31

57 al-Mursalãt 77 al-Jãtsiyah 45

58 al-Naba’ 78 al-Thûr 52

59 al-Insãn 76 al-Dzãriyãt 51

60 al-Qiyãmah 75 al-Hãqqah 69

61 al-Takwîr 81 al-Hasyr 59

62 al-Nãzi‘ãt 79 al-Mumtahanah 60

63 ‘Abasa 80 al-Mursalãt 77

64 al-Muthaffifîn 83 al-Naba’ 78

65 al-Insyiqãq 84 al-Qiyãmah 75

66 al-Tîn 95 al-Takwîr 81

67 al-‘Alaq 96 al-Thalãq 65

68 al-Hujurãt 49 al-Nãzi‘ãt13 79

69 al-Munãfiqûn 63 ‘Abasa 80

70 al-Jumu‘ah 62 al-Muthaffifîn 83

71 al-Tahrîm 66 al-Insyiqãq 84

72 al-Fajr 89 al-Tîn 95

73 al-Mulk 67 al-‘Alaq 96

74 al-Layl 92 al-Hujurãt 49

75 al-Infithãr 82 al-Munãfiqûn 63

76 al-Syams 91 al-Jumu‘ah 62

77 al-Burûj 85 al-Tahrîm 66

78 al-Thãriq 86 al-Fajr 89

79 al-A‘lã 87 al-Balad 90

80 al-Gãsyiyah 88 al-Layl 92

81 al-Muddatstsir14 74  ? al-Infithãr 82

82 al-Bayyinah 98 al-Syams 91

83 al-Shaff 61 al-Thãriq 86

84 al-Dluhã 93 al-A‘lã 87

85 Alam Nasyrah 94 al-Gãsyiyah 88

86 al-Qãri‘ah 101 al-Shaff 61

87 al-Takãtsur 102 al-Tagãbun 64

88 al-Khal‘  (3 ayat)15                      surat ekstra al-Bayyinah 98

89 al-Hafd  (6 ayat)15                      surat ekstra al-Dluhã 93

90 al-Humazah 104 Alam Nasyrah 94

91 al-Zalzalah 99 al-Qãri‘ah 101

92 al-Fîl 105 al-Takãtsur 102

93 al-Mã‘ûn16 107  ? al-‘Ashr 103

94 al-Kawtsar 108 al-Khal‘  (3 ayat)15                  surat ekstra

95 al-Qadr 97 al-Hafd  (6 ayat)15                   surat ekstra

96 al-Kãfirûn 109 al-Humazah 104

97 al-Nashr 110 al-Zalzalah 99

98 al-Lahab 111 al-‘Ãdiyãt 100

99 Quraisy 106 al-Fîl 105

100 al-Ikhlãsh 112 Quraisy 106

101 al-Falaq 113 al-Mã‘ûn 107

102 al-Nãs 114 al-Kawtsar 108

103 al-Qadr 97

104 al-Kãfirûn 109

105 al-Nashr 110

106 al-Ikhlãsh 112

107 al-Falaq 113

108 al-Nãs 114

Keterangan: * Nama dan nomor surat mengikuti edisi al-Quran negara kita .


Fihrist mengakhiri daftar surat di atas dengan menginformasi-

kan jumlah surat dalam Mushaf Ubay sebanyak 116 surat.17  namun ,

seperti terlihat di atas, ada  14 surat  yang tidak terekam dalam

daftar ini . Sementara al-Suyuthi menuturkan dua riwayat

tentang jumlah surat di dalam mushaf Ubay, yakni 115 surat, di

mana surat 105 dan 106 atau surat 93 dan 94 disatukan.18  Sekalipun

dalam daftar yang dikemukakan Itqãn surat-surat itu disebut satu

demi satu, penyebutan ini tentunya tidak berseberangan dengan

riwayat-riwayat ini , sebab  – khususnya dalam daftar Itqãn –

surat 94 berada setelah surat 93, dan surat 106 setelah surat 105.

namun , sebagaimana dengan Fihrist, daftar surat yang dikemukakan

dalam Itqãn juga terlihat tidak lengkap. Ada 8 surat – yakni surat

74; 25; 32; 35; 68; 76; 85; dan 111 – yang tidak ditemukan di dalamnya.

Susunan surat dalam mushaf Ubay – sekalipun dengan

beberapa  perbedaan yang relatif cukup besar jika dibandingan

dengan mushaf utsmani – secara garis besarnya memperlihatkan

prinsip yang umumnya dipegang dalam penyusunan tata urutan

surat dalam mushaf-mushaf al-Quran yang awal, termasuk mushaf

utsmani, yakni: mulai dari surat-surat panjang ke arah surat-surat

yang lebih pendek. Hal ini bisa dilihat pada bagian permulaan

dan bagian penghujung daftar surat, baik yang dikemukakan dalam

Fihrist maupun dalam Itqãn. namun , menurut Jeffery, kedua daftar

surat itu tidak dapat dipercaya dan mesti dipandang sebagai rekayasa

belakangan yang didasarkan pada mushaf aslinya.19

Mushaf Ubay tampaknya tidak pernah menjadi sumber salah

satu mushaf sekunder, sekalipun mushafnya telah disalin dan

diwarisi secara turun-temurun, misalnya, oleh keluarga Muhammad

ibn Abd al-Malik al-Anshari. Di kediaman orang inilah penulis

Fihrist menyaksikan salinan mushaf itu.20  Suatu salinan mushaf

Ubay juga dikabarkan masih eksis pada masa Ibn Syadzan (w.

874), yakni pada pertengahan abad ke-3H.21  Bahkan ada 

riwayat lainnya yang menuturkan bahwa Ibn Abbas

menghadiahkan seseorang sebuah mushaf yang ditulis menurut

qirã’ah Ubay.22   Jadi, sekalipun tidak menjadi sumber mushaf

sekunder, namun  mushaf Ubay tampaknya telah disalin dari generasi

ke generasi, hingga akhirnya musnah saat  mushaf standar

utsmani berhasil menggeser mushaf-mushaf lainnya dalam

penggunaan warga  Muslim.

Dalam salinan mushaf Ubay ada beberapa  perbedaan ortografis

dengan teks al-Quran edisi Mesir. Beberapa riwayat memaparkan

bahwa dalam teks Ubay imãla (vokal ã panjang) di dalam suatu

kata – yang dalam teks utsmani ditampilkan dengan huruf alif ( )

– ditulis dengan yã (-). Contohnya, kata li-l-rijãli (JO)

) disalin

dengan -O)

 , jã’a (6O) disalin dengan -O dan jã’at-hum (N6O)

disalin dengan N-O. Perbedaan ortografis menyangkut imãla ini

pada hakikatnya mencerminkan tahapan yang lebih awal dari

perkembangan penyempurnaan aksara Arab, dan pengungkapan

dalam bentuk tertulis berbagai ragam dialek yang ada di dalam

bahasa Arab.

Selain perbedaan dalam susunan surat dan beberapa  kecil

masalah ortografis, ada  banyak bacaan yang berbeda dalam

mushaf Ubay dari bacaan resmi mushaf utsmani, baik dari segi

vokalisasi, kerangka konsonantal, penambahan atau pengurangan

kata atau ayat, susunan ayat itu sendiri, dan lainnya. Jeffery, yang

berusaha  mengumpulkan dan mengedit variae lectiones (ragam

bacaan) yang berkembang di dalam tradisi bacaan al-Quran,

membutuhkan sekitar 64 halaman untuk menyajikan bacaan-

bacaan dalam mushaf Ubay yang berbeda dari lectio vulgata (bacaan

resmi) yang digunakan untuk textus receptus utsmani.Beberapa

ilustrasi yang dikemukakan berikut ini25  – secara khusus

membandingkan bacaan Ubay dengan salah satu bacaan kanonik

yang digunakan secara luas untuk menyalin mushaf utsmani dewasa

ini, yakni bacaan Ashim riwayat Hafsh – akan memperlihat

perbedaan-perbedaan ini .

Perbedaan teks Ubay dengan bacaan resmi utsmani dalam

vokalisasi bentuk konsonan yang sama terlihat cukup masif. namun ,

perbedaan vokalisasi ini lebih banyak mengacu kepada variasi-

variasi gramatikal, seperti bacaan Ubay untuk 2:18,171: shumman

bukman ‘umyan, untuk 12:18: fa-shabran jamîlan, untuk 21:92:

ummatun wãhidatun, dan lain-lain. beberapa  partikel (harf)

gramatikal berkerangka konsonantal sama bisa juga menimbulkan

perbedaan dalam vokalisasinya dan pada gilirannya mempengaruhi

vokalisasi teks. Contohnya, kerangka partikel  bisa divokaliasi

sebagai inna, anna atau an. Jadi 4:171, an yakûna, dalam lectio

vulgata misalnya, telah dibaca oleh Ubay in yakûnu. Perbedaan

vokalisasi terkadang juga bisa mengakibatkan perbedaan arti

Bagian al-Quran 13: 43, wa man ‘indahu ‘ilmu-l-kitãbi, yang

bermakna: “dan orang yang ada padanya (atau memiliki) ilmu al-

kitab,”  terbaca dalam mushaf Ubay: wa min ‘indihi ‘ilmu-l-kitãbi,

“dan yang darinya (datang) ilmu al-kitab.”

Perbedaan dalam pemberian i‘jãm – yakni titik-titik diakritis

pembeda lambang-lambang konsonan – terhadap kerangka

konsonantal yang sama terlihat cukup masif dalam kedua mushaf

di atas. Kerangka konsonantal F*7 dalam 2:259 dibaca dalam

mushaf resmi nunsyizuhã (F*7), sedangkan Ubay membacanya

nunsyiruhã (F*7). Demikian pula, kerangka konsonantal 11:116,

-  , dibaca baqiyyatin (- 8) dalam teks utsmani, sedangkan dalam

mushaf Ubay dibaca taqiyyatin (- ). Dalam kebanyakan kasus,

muncul perbedaan bacaan yang diakibatkan oleh perbedaan

pemberian tanda diakritis. Kerangka konsonantal L.M dalam

13:14, diberi dua titik di bawah huruf pertamanya dalam bacaan

resmi, sehingga terbaca yad‘ûna (L.M), sementara kerangka huruf

yang sama diberi dua titik di atasnya dalam bacaan Ubay, sehingga

terbaca tad‘ûna (LM) – perbedaan prefiks (sãbiqah) orang ketiga

plural dan prefiks orang kedua plural. Dalam 16:84 ada 

kerangka konsonantal ^W+7 , yang dibaca dalam bacaan resmi

nab‘atsu (^W+7), sementara dalam mushaf Ubay yab‘atsu (^W+) –

perbedaan prefiks orang pertama jamak dan prefiks orang ketiga

tunggal. Namun, perbedaan dalam titik diakritis untuk kata ganti

orang ini tidak menimbulkan penyimpangan makna yang

substansial. Senada dengan ini adalah penggantian kata ganti or-

ang (dlamir, personal pronoun) dengan nama diri (ism ‘alam),

misalnya 7:55: innahu dalam mushaf utsmani menjadi inna-llãha

dalam teks Ubay; atau 22:78: huwa dalam teks utsmani menjadi

allãhu dalam teks Ubay; atau sebaliknya, misalnya 40: 16: ‘alã-

llãhi dalam teks utsmani menjadi ‘alayhi dalam mushaf Ubay;

dan lain-lain. Kasus-kasus semacam ini sama sekali tidak

mempengaruhi makna teks secara keseluruhan.

Sering ditemukan perbedaan dalam kerangka konsonantal

antara mushaf utsmani dan mushaf Ubay. Surat 1:7, dalam teks

resmi wa lã al-dlãlîn, disalin dalam mushaf Ubay dengan gayra(i)

al-dlãlîn. Ungkapan min zukhrufin dalam 17:93, demikian bacaan

resmi utsmani, dibaca Ubay min dzahabin. Kata fakhasyînã dalam

18:80 untuk bacaan utsmani, dibaca fa-khãfa rabbuka dalam mushaf

Ubay. Bacaan utsmani wa al-zhãlimîna dalam 76:31, dibaca wa li-

l-kãfirîna. namun , perbedaan kerangka konsonantal semacam ini,

sekalipun cukup masif, tidak banyak mempengaruhi makna, sebab 

hanya terlihat sebagai sinonim-sinonim. Yang agak mempengaruhi

makna secara substansial adalah beberapa varian kata yang muncul

dalam kedua mushaf ini , seperti  dalam 34:14, yang dalam

teks utsmani terbaca al-jinnu, namun  dalam teks Ubay tertulis al-

insu. Kedua kata dalam kedua teks ini , tentu saja memiliki

makna yang sangat berbeda.

Di samping perbedaan-perbedaan yang telah diilustrasikan,

eksis perbedaan-perbedaan lain berupa penambahan atau

pengurangan kata, sekelompok kata, dan ayat, jika teks utsmani

dijadikan sebagai pijakan untuk perbandingannya dengan teks

Ubay. Untuk penambahan atau sisipan kata dalam mushaf Ubay

bisa dikemukakan beberapa ilustrasi. Surat 1:5, dalam teks Ubay

diawali dengan sisipan allãhumma; dalam 2:184,196, setelah

ungkapan ayyãmin ukhara (ayat 184), dan ayyãmin (ayat 196),

ada  tambahan kata mutatãbi‘ãtin. Setelah ungkapan wa-inna

katsîran dalam 6:119, muncul sisipan min al-nãsi dalam teks Ubay.

Demikian pula, di tengah-tengah ungkapan wa-lahu-l-hamdu fî al-

’ãkhirati dalam 34:1, ada  sisipan kata al-dunyã dalam mushaf

Ubay, sehingga bacaan Ubay di sini adalah wa-lahu-l-hamdu fî al-

dunyã wa al-’ãkhirati.

Penambahan atau penyisipan sekelompok kata di dalam teks

Ubay juga ditemukan di banyak tempat. Dalam 2:143, setelah

ungkapan ‘alã al-nãsi, disisipkan kata-kata yawma-l-qiyãmati dalam

teks Ubay. Masih dalam surat yang sama, persisnya dalam ayat

238, setelah ungkapan wa-l-shalãti al-wusthã, muncul tambahan

wa-l-shalãti-l-‘ashri. Demikian pula, dalam surat 3:144, setelah

ungkapan illa rasûlun, kata-kata shallã-llãhu ‘alayhi disisipkan.

namun , tambahan atau sisipan ini – baik satu atau sekelompok

kata – lebih banyak bersifat penjelasan (gloss). Apakah penjelasan

ini merupakan bagian orisinal penambahan teks atau sekadar

tambahan belakangan yang tidak mempengaruhi makna, tidak

dapat ditetapkan. Di kalangan ortodoksi, sisipan-sisipan semacam

itu memang tidak dipandang sebagai teks yang diwahyukan.27

Untuk pengurangan kata atau sekelompok kata dalam mushaf

Ubay, beberapa ilustrasi berikut bisa menjelaskannya. Dalam 2:41,

kata atau partikel lã (&) tidak ada  dalam ungkapan wa lã

tasytarû. Partikel ‘an (4L) dihilangkan dalam ungkapan ‘ani-l-’anfãli

(8:1), sehingga – dengan sedikit perubahan vokalisasi lantaran

penghilangan partikel ini  – Ubay membaca bagian awal ayat

ini: yas’alûnaka-l-’anfãla. Kata-kata mimmã taraka dalam 4:33 tidak

ada  dalam teks Ubay. Bahkan, selain perubahan pada

ungkapan awal 24:55 – yang dalam teks Ubay adalah alladzîna

ãmanû bi-’annahum yaritsûna-l-’ardla wa layumakkinanna…dan

seterusnya hingga akhir ayat – juga ada  penghilangan ungkapan

yang cukup panjang, yakni: minkum wa ‘amilû al-shãlihãti

liyastakh-lifannahum fî al-’ardli kamã-stakhlafa alladzî min

qablihim. Sebagaimana terlihat, pengurangan kata atau partikel,

hingga taraf tertentu – misalnya kasus 8:1 dan 4:33 – memang

tidak secara substansial merubah makna. namun  dalam berbagai

kasus lain, di mana kata kunci (key word, kalimah ra’îsiyah) hilang

atau pengurangannya cukup substantif, maka makna teks jelas telah

terdistorsi.

Di beberapa  tempat dalam mushaf Ubay, kata-kata teks utsmani

ditempatkan dalam posisi terbalik. Dalam 16: 112, kata-kata pada

ungkapan libãsa-l-jû‘i wa-l-khawfi telah ditempatkan secara terbalik

dalam mushaf Ubay: libãsa-l-khawfi wa-l-jû‘i. Ungkapan lillãhi-l-

haqqi dalam 18:44 menjadi al-haqq lillãhi. Demikian pula kata-

kata dalam ungkapan idzã jã’a nashru-llãhi (110:1), bertukar posisi

menjadi idzã jã’aka mina-llãhi al-nashru. Pembolak-balikan

semacam ini memang tidak mempengaruhi makna. namun  masalah

yang muncul di sini bisa dikatakan senada dengan perbedaan di

antara kedua mushaf ini  dalam kaitannya dengan tambahan

penjelasan (gloss), seperti telah dikemukakan di atas.

beberapa  ayat tambahan juga muncul dalam teks Ubay. Dalam

surat 10, persisnya di antara ayat 24 dan 25, disisipkan suatu ayat

yang orisinalitasnya sangat meragukan sebagai bagian al-Quran.28

Di samping itu, terjadi pembolak-balikan tata urutan  ayat yang

lazim ada  di dalam mushaf utsmani  – seperti dalam kasus

20: 31,32 yang menjadi 32,31 atau 99:7,8 yang menjadi 8,7 dalam

susunan ayat mushaf Ubay.

Ayat-ayat alternatif untuk teks utsmani bisa ditemukan dalam

mushaf Ubay. Jadi, dalam 13:30, misalnya, ada  ayat berikut

dalam teks Ubay:

Artinya:

Dan tidaklah Aku utus para rasul dan aku turunkan kitab-

kitab, kecuali dalam bahasa kaumnya, agar para rasul itu

membacakannya dan menjelaskannya kepada mereka

keutamaan dari Allah.

Senada dengan ini, bacaan dalam mushaf Ubay untuk 20:60-

61 adalah:

Artinya:

Maka kembalilah Fir’aun dan mengumpulkan (kekuatan)

sihirnya, kemudian ia datang. Musa berkata kepada mereka:

“Celakalah kalian. Jangan katakan kedustaan kepada Allah.”

Ayat alternatif pertama (13:30) dan ayat-ayat alternatif terakhir

di atas (20:6-61), dalam bentuk ringkasnya –  atau secara umum –

memang masih sejalan dengan teks utsmani. Sekalipun demikian,

banyak bagian ayat dalam teks utsmani – terutama kandungan

bagian akhir ayat – yang hilang dalam teks Ubay, dan hal ini

tentunya telah mendistorsi makna keseluruhan ayat.

Berbagai riwayat lainnya mengungkapkan eksistensi beberapa 

“bacaan Syi‘ah” dalam mushaf Ubay. Jadi, dalam 56:10, misalnya,

dikhabarkan Ubay – sebagaimana Ibn Mas‘ud dan Ibn Khutsaim,

seorang qãri’ Syi‘ah – membaca ayat ini: wa al-sãbiqûna bi-l-’îmãni

bi al-nabiyyi (‘alayhi al-salãm) fahum Aliyyu wa dzurriyyatuhu

alladzîna-shtafãhumu-llãhu min ashhãbihi wa ja‘alahum al-

mawãliya ‘alã gayrihim ’ûlã’ika humu-l-fã’izûn alladzîna yaritsûna-

l-firdawsa hum fîhã khãlidûn: “Dan orang-orang yang paling dahulu

beriman kepada Nabi (AS) adalah Ali dan anak keturunannya.

Mereka dipilih Allah dari kalangan para sahabat, dan Allah

menjadikan mereka patron atas lainnya. Merekalah orang-orang

yang beroleh kemenangan, yang mewarisi firdaus. Mereka kekal di

dalamnya.” Demikian pula, teks Ubay untuk 75:17-19 adalah: inna

‘aliyyanã jama‘ahu wa qara’a bihi * fa idzã qara’nãhu fattabi‘

qirã’atahu min al-qirã’ati * tsumma inna ‘aliyyanã bibayãnihi:

“sesungguhnya  Ali Kamilah yang mengumpulkannya dan

membacanya. Maka jika Kami telah membacanya, ikutilah

bacaannya dari bacaan itu. Kemudian Ali Kamilah yang

menjelaskannya.” Bacaan-bacaan Syi‘ah ini, sebagaimana

diungkapkan dalam bab terdahulu, eksistensinya sangat layak

dicurigai sebagai rekayasa belakangan untuk menonjolkan

keutamaan ahl al-bayt. Sementara eksistensinya sebagai bagian

orisinal mushaf Ubay ataupun Ibn Mas‘ud juga amat meragukan.

Perbedaan paling mendasar antara mushaf Ubay dan mushaf

utsmani adalah eksisnya dua surat ekstra dalam mushaf pertama

yang tidak ada  di dalam mushaf kedua. Implikasinya dalam

penghitungan jumlah dan susunan surat telah dikemukakan di

atas. Kedua surat ekstra dalam mushaf Ubay ini – yakni  sûrat al-

khal‘ (3 ayat) dan sûrat al-hafd (6 ayat) – sebagaimana akan

ditunjukkan nanti, secara fraseologis tidak dapat dihitung sebagai

bagian al-Quran.29  Penggunaan kosa kota non-quranik di dalamnya,

di samping eksisnya beberapa  riwayat yang merujuknya sebagai

sekadar doa qunut, adalah bukti utama yang menunjukkan bahwa

kedua surat ini  bagian al-Quran.

Mushaf Ibn Mas‘ud

Abd Allah ibn Mas‘ud adalah salah seorang sahabat Nabi yang

mula-mula masuk Islam. Sebagaimana halnya kebanyakan pengikut

awal Nabi, ia berasal dari strata bawah warga  Makkah. Setelah

masuk Islam, ia mengikuti Nabi dan menjadi pembantu pribadinya.

saat  Nabi memerintahkan pengikutnya untuk hijrah ke Abisinia,

ia pergi bersama pengikut awal Islam lainnya ke sana.30  Setelah

hijrah ke Madinah, ia dikabarkan tinggal di belakang Masjid

Nabawi dan berpartisipasi dalam beberapa  peperangan, seperti

dalam Perang Badr – di mana ia memenggal kepala Abu Jahl, Perang

Uhud dan Perang Yarmuk. Pada masa pemerintahan Umar, Ibn

Mas‘ud dikirim ke Kufah sebagai qãdlî dan kepala perbendaharaan

negara (bayt al-mãl). Tampaknya pekerjaan sebagai abdi negara ini

tidak begitu sukses dijalaninya. Pada masa pemerintahan Utsman,

ia dipecat dari jabatannya di Kufah dan kembali ke Madinah dan 

meninggal di kota ini pada 32H atau 33 H dalam usia lebih dari

60 tahun. Menurut versi lain, ia meninggal di Kufah dan tidak

dipecat dari jabatannya oleh Utsman.31

Ibn Mas‘ud merupakan salah satu otoritas terbesar dalam al-

Quran. Hubungannya yang intim dengan Nabi telah

memungkinkannya mempelajari sekitar 70 surat secara langsung

dari mulut Nabi. Riwayat mengungkapkan bahwa ia merupakan

salah seorang yang pertama-tama mengajarkan bacaan al-Quran.

Ia dilaporkan sebagai orang pertama yang membaca bagian-bagian

al-Quran dengan suara lantang dan terbuka di Makkah, sekalipun

mendapat tantangan yang keras dari orang-orang Quraisy yang

melemparinya dengan batu.32  Lebih jauh, sebagaimana telah

disinggung, hadits juga mengungkapkan bahwa ia merupakan salah

seorang dari empat sahabat yang direkomendasikan Nabi sebagai

tempat bertanya tentang al-Quran.33  Otoritas dan popularitasnya

dalam al-Quran memuncak saat  bertugas di Kufah, di mana

mushafnya memiliki pengaruh yang luas.

Tidak ada informasi yang jelas kapan Ibn Mas‘ud mengawali

pengumpulan mushafnya. Kelihatannya, ia mulai mengumpulkan

wahyu-wahyu pada masa Nabi dan melanjutkannya sepeninggal

Nabi. Setelah ditempatkan di Kufah, ia berhasil memapankan

pengaruh mushafnya di kalangan penduduk kota ini . saat 

Utsman mengirim salinan resmi teks al-Quran standar ke Kufah

dengan perintah untuk memusnahkan teks-teks lainnya, dikabarkan

bahwa Ibn Mas‘ud menolak menyerahkan mushafnya, jengkel

sebab  sebuah teks yang disusun seorang pemula seperti Zayd ibn

Tsabit lebih diutamakan dari mushafnya. Padahal, ia telah menjadi

Muslim tatkala Zayd masih tenggelam dalam alam kekafiran.34

Di Kufah sendiri, beberapa  Muslim menerima keberadaan

mushaf baru yang dikeluarkan Utsman. namun , sebagian besar

penduduk kota ini tetap memegang mushaf Ibn Mas‘ud, yang saat 

itu telah dipandang sebagai mushaf orang-orang Kufah. Kuatnya

pengaruh mushaf Ibn Mas‘ud bisa dilihat dari beberapa  mushaf

sekunder – misalnya mushaf Alqamah ibn Qais, Mushaf al-Rabi‘

ibn Khutsaim, mushaf al-Aswad, mushaf al-A‘masy, dan lainnya –

yang mendasarkan teksnya pada mushaf Ibn Mas’ud.35  Dari

Keberhasilannya di Kufah inilah mushaf Ibn Mas‘ud kemudian

mendapat tempat di kalangan pengikut Syi‘ah.

Salah satu karakteristik mushaf Ibn Mas‘ud adalah ketiadaan 3

surat pendek – yakni surat 1, 113 dan 114 – di dalam teksnya. Riwayat

lain mengungkapkan bahwa hanya 2 surat – yakni surat 113 dan 114

– yang tidak ada  dalam mushafnya.36  Penyusun Fihrist

mengungkapkan bahwa ia telah melihat sebuah manuskrip mushaf

Ibn Mas‘ud yang berusia sekitar 200 tahun yang mencantumkan

pembuka kitab (surat 1). namun , ia menambahkan bahwa dari

beberapa  manuskrip mushaf Ibn Mas‘ud yang telah dilihatnya,

tidak ada satupun yang bersesuaian antara satu dengan lainnya.37

Karakteristik lainnya dari mushaf Ibn Mas‘ud terletak pada

susunan surat di dalamnya yang berbeda dari mushaf utsmani.

Ada dua riwayat tentang susunan surat dal