lipun. Dari sudut pandang
historis, laporan ini jelas merupakan rekayasa belakangan, sebab
Sa‘id adalah seorang anak kecil berumur 11 tahun saat Umar
mulai berkuasa. Jadi, usaha untuk memperoleh justifikasi Sa‘id
untuk suatu kumpulan al-Quran semacam itu tentunya tidak logis.
Versi minoritas lainnya berusaha mendamaikan kesimpang-
siuran antara versi mayoritas pengumpulan Zayd dan versi
minoritas tentang pengumpulan pertama al-Quran yang dilakukan
Khalifah Umar. Dalam laporan ini diungkapkan bahwa Zayd –
atas perintah Abu Bakr – menuliskan wahyu-wahyu al-Quran di
atas potongan-potongan lembaran kulit dan pelepah-pelepah
kurma. Setelah wafatnya Abu Bakr – jadi pada masa kekhalifahan
Umar – ia menyalin teks wahyu itu ke dalam lembaran-lembaran
yang disatukan (fî shahîfah wãhidah). Dengan bentuk pelaporan
semacam ini, kedua versi tentang pengumpulan pertama al-Quran
itu tentunya tidak lagi bertabrakan.
Dalam versi mayoritas di atas, alasan penunjukkan Zayd sebagai
pelaksana teknis pengumpulan al-Quran terlihat sangat transparan,
dan ada kesepakatan tentangnya dalam keseluruhan riwayat.
Usia muda, inteligensia tinggi, dan pekerjaan di masa Nabi sebagai
penulis wahyu, merupakan kriteria yang dipegang Abu Bakr dalam
penunjukkan Zayd sebagai pengumpul al-Quran. Dengan
demikian, riwayat ini memberikan garansi terhadap isnãd teks
wahyu yang dihasilkannya: riwayat itu marfû‘, diterima langsung
dari Nabi sendiri. Sayangnya, dalam riwayat ini tidak disebutkan
prasyarat lainnya yang cukup penting, yakni kemampuan Zayd
dalam menghafal al-Quran. namun , kriteria ini dapat dipastikan
eksistensinya dari karakteristik utama aksara Arab saat itu yang
lebih berfungsi sebagai alat untuk memudahkan hafalan. Sementara
tentang kriteria pertama – yakni usia muda – mungkin bisa
dipahami dari sisi politik. Abu Bakr barangkali memandang bahwa
dari anak muda semacam Zayd bisa diharapkan ketaatan atau
kepatuhan terhadap perintah khalifah, ketimbang dari para pejabat
senior yang keras kepala.
Laporan-laporan tentang cara kerja Zayd mengungkapkan
bahwa ia telah berusaha keras menelusuri jejak-jejak orisinal wahyu
dengan berpijak secara ketat pada kriteria penerimaan periwayatan
wahyu, baik secara tertulis atau oral. Bagian akhir laporan yang
mengungkapkan penanganannya terhadap dua ayat terakhir surat
9 – tepatnya 9:129-130 – memang memberi kesan bahwa terkadang
ia juga bersikap arbitrer dalam proses pengumpulan. Riwayat lain
berusaha membela sikap arbitrer Zayd ini dengan mengemukakan
alasan bahwa Nabi memandang kesaksian Abu Khuzaimah ibn
Tsabit (w.657) setara dengan dua saksi.67 namun , pembelaan ini
terkesan mengada-ada sebab melecehkan Umar, yang dalam riwayat
ini dikatakan tidak diterima “ayat rajam”-nya sebab tidak
memiliki saksi selain dirinya. Yang agak logis adalah penjelasan
bahwa Zayd menyadari ada bagian al-Quran yang telah dihafalnya
tidak berhasil ditelusuri jejaknya di kalangan kaum Muslimin,
kecuali pada Abu Khuzaimah. sebab itu, kesaksian terhadap
bagian akhir surat 9 sebagai bagian dari al-Quran dikemukakan
oleh dua orang: Abu Khuzaimah dan Zayd sendiri.
Dengan demikian, konsern terhadap isnãd al-Quran dan
kemutawatirannya (tawãtur) terlihat sangat gamblang dalam
laporan-laporan pengumpulan Zayd di atas. Tidak satu pun bagian
al-Quran yang merupakan khabar wãhid – riwayat terisolasi yang
hanya didukung mata rantai periwayatan tunggal. Tidak satu pun
yang bakal diterima sebagai bagian al-Quran atau dimasukkan ke
dalam kitab suci ini , kecuali wahyu-wahyu yang didengar
langsung dari Nabi sendiri dan memenuhi kriteria kesaksian yang
ditetapkan – yakni dua saksi.
Berbagai versi riwayat pengumpulan pertama al-Quran yang
telah dikemukakan memperlihatkan keberadaan pandangan-
pandangan yang beragam di kalangan umat Islam. Pandangan
pertama – disebut di atas sebagai versi mayoritas – mengungkapkan
bahwa pengumpulan pertama al-Quran dituntaskan pada masa
kekhalifahan Abu Bakr. Sementara pandangan kedua – versi
minoritas yang membias – tidak menyepakati sudut pandang
pertama dan menetapkan pengumpulan al-Quran pada masa
kekhalifahan Umar. Dalam versi minoritas juga ada bias
berupa usaha untuk mendamaikan kedua versi pengumpulan itu,
bahkan dengan versi pengumpulan pada masa Khalifah Ketiga,
dan pemunculan dua nama lainnya – Ali dan Salim – sebagai
pengumpul pertama al-Quran. namun , pemunculan kedua nama
ini hanya menekankan karakter personal usaha pengumpulan al-
Quran yang dilakukan keduanya, tidak dalam kaitannya dengan
kumpulan resmi yang diotorisasi khalifah, sebagaimana
diungkapkan dalam versi mayoritas.
Namun, versi mayoritas yang menuturkan kisah pengumpulan
pertama al-Quran di atas dapat dikritik berdasar beberapa
pijakan. Pertama, versi ini memandang bahwa sampai masa
wafatnya Muhammad tidak ada salinan otoritatif wahyu-wahyu
al-Quran dan tidak ada usaha untuk menyusunnya. namun ,
seperti diperlihatkan di atas, hal ini agak tidak logis, sebab
beberapa laporan menyebutkan adanya kegiatan pengumpulan al-
Quran di kalangan tertentu sahabat Nabi yang dilakukan secara
serius dan penuh kesadaran semasa hidup Nabi dan segera setelah
wafatnya. Di samping itu, ditemukan banyak ketidaksesuaian antara
versi mayoritas dan berbagai laporan lainnya dalam versi senada
tentang masalah ini.
Jadi, tidak ada kesepakatan tentang Intellektuelle Urheber
(penggagas intelektual) pengumpulan al-Quran. Pada umumnya
dikatakan bahwa Umarlah yang menggagaskannya, sebagaimana
terungkap dalam hadits Zayd di atas. namun , terkadang, juga
dikisahkan bahwa Abu Bakr yang memerintahkan pengumpulan
al-Quran atas inisiatifnya sendiri.68 Di sisi lain, sebagaimana telah
dikemukakan, ada laporan-laporan versi minoritas yang
mengungkapkan Umar sebagai pengumpul pertama al-Quran dan
secara total mengeluarkan Abu Bakr. Dalam versi minoritas yang
membias ini juga ditemukan laporan-laporan yang berusaha
mengharmoniskan kedua sudut pandang ini .
Dalam laporan tentang pengumpulan pertama ini, ada
dua motif yang selalu dikemukakan dalam latar belakang
diambilnya langkah ini . Yang pertama adalah bahwa Nabi
belum mengumpulkan al-Quran ke dalam suatu mushaf tunggal
hingga wafatnya. Motif kedua, yang berhubungan erat dengan motif
pertama, adalah wafatnya beberapa besar penghafal (qurrã’, secara
harfiah bermakna para pembaca atau pelafal) al-Quran pada
pertempuran Yamamah, yang menimbulkan kecemasan Umar ibn
Khaththab bahwa banyak bagian al-Quran yang nantinya akan
hilang.
Sehubungan dengan motif pertama, memang dapat dipastikan
bahwa Nabi sama sekali tidak meninggalkan kodeks al-Quran dalam
bentuk lengkap yang dapat dijadikan pegangan bagi kaum
Muslimin. Kalau tidak demikian, tentunya tidak akan timbul usaha
untuk mengumpulkan al-Quran setelah wafatnya Nabi. namun ,
sebagaimana telah dikemukakan, ada usaha yang serius dan
sadar dari kalangan sahabat Nabi untuk memelihara wahyu-wahyu
dalam bentuk tertulis, seraya tetap berpatokan pada petunjuk-
petunjuknya tentang komposisi kandungan kitab suci ini .
Jadi, wafatnya beberapa penghafal al-Quran – sebagaimana
diungkapkan dalam motif kedua – barangkali bukan merupakan
alasan utama untuk mencemaskan hilangnya bagian-bagian al-
Quran.
Lebih jauh, rincian motif kedua telah dikritik beberapa
pengamat Barat. Dalam laporan-laporan yang sampai kepada kita,
disebutkan bahwa penghafal al-Quran yang gugur dikala itu
beberapa 70 orang, bahkan dalam riwayat lain disebutkan sebanyak
500 orang.69 namun , saat nama-nama para penghafal al-Quran
ditelusuri dalam daftar orang-orang yang tewas – seluruhnya
berjumlah sekitar 1200 orang – ternyata hanya ditemukan beberapa
kecil nama yang mungkin menghafal banyak bagian al-Quran.
L.Caetani bahkan menunjukkan bahwa yang tewas saat itu
hampir seluruhnya pengikut baru Islam. Sementara Schwally
menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar nama-
nama penghafal al-Quran yang gugur, ia hanya menemukan dua
orang yang bisa dikatakan memiliki pengetahuan al-Quran yang
meyakinkan: Abd Allah ibn Hafsh ibn Ganim dan Salim ibn Ma‘qil,
klien Abu Hudzaifah – dalam riwayat lainnya juga dikenal sebagai
salah seorang pemilik mushaf al-Quran yang dikumpulkan segera
setelah wafatnya Nabi.70 Dengan demikian, pengaitan motif
pengumpulan al-Quran di masa Abu Bakr dengan gugurnya
beberapa besar penghafal al-Quran dalam pertempuran Yamamah
sangat sulit dipertahankan.
Sekalipun alasan penolakan pengaitan pertempuran Yamamah
tidak bisa diterima, namun laporan versi mayoritas Zayd lebih
memperlihatkan bahwa pengumpulan al-Quran yang dilakukannya
itu hampir secara eksklusif bergantung pada dokumen-dokumen
atau sumber-sumber tertulis. Eksistensi dokumen-dokumen
semacam ini, sebagaimana telah diperlihatkan di atas, memang
tidak dapat diragukan. sebab itu, kesimpulan bahwa tewasnya
penghafal al-Quran – apalagi yang telah memiliki rekaman tertulis
wahyu seperti Salim – tidak mungkin menimbulkan kecemasan
atau menjadi penyebab utama hilangnya bagian-bagian al-Quran,
terlihat cukup beralasan.
Masa pengumpulan al-Quran yang dilakukan oleh Zayd juga
terlihat sangat singkat. Sebagaimana diketahui, Abu Bakr hanya
memerintah kekhalifahan Islam saat itu selama kurang lebih
dua tahun – mulai Rabi‘ al-Awwal 11H/632 sampai Jumada al-
Tsani 13H/634. Sementara Zayd memulai tugasnya, menurut
riwayat di atas, setelah peperangan Yamamah (bulan ketiga tahun
ke-12H). Hal ini berarti bahwa waktu yang tersisa bagi Zayd untuk
melaksanakan pekerjaannya, yang “seberat memindahkan gunung”
– demikian komentar Zayd dalam riwayat di atas – hingga wafatnya
Abu Bakr, hanya sekitar 15 bulan.71 Jadi, jangka waktu ini terlihat
terlalu pas-pasan untuk mengumpulkan teks-teks al-Quran yang
tercerai-berai dan relatif sulit ditelusuri.
Sebagaimana disebutkan dalam versi mayoritas, karakter
mushaf yang dikumpulkan Zayd pada esensinya merupakan mushaf
resmi, sebab dilakukan atas perintah dan otoritas Khalifah Abu
Bakr. Karakter semacam ini masih terlihat menonjol saat
kepemilikan mushaf ini jatuh ke tangan Umar, Khalifah
Kedua, setelah wafatnya Abu Bakr. Suatu kumpulan “resmi” al-
Quran semacam itu tentunya bisa diduga memiliki otoritas dan
pengaruh luas, sebagaimana dinisbatkan kepadanya. namun , bukti
semacam ini tidak ditemukan dalam kenyataan sejarah. Kumpulan-
kumpulan atau mushaf-mushaf al-Quran lainnya – seperti mushaf
Ibn Mas‘ud, Ubay ibn Ka‘b atau Abu Musa al-Asy‘ari – justeru
terlihat lebih otoritatif dan memiliki pengaruh luas di berbagai
wilayah kekhalifahan Islam saat itu, ketimbang mushaf yang
dikumpulkan Zayd. Masih dalam alur yang sama, pertikaian yang
disebabkan perbedaan bacaan dalam mushaf-mushaf otoritatif dan
berpengaruh pada masa Utsman barangkali tidak akan timbul jika
pada waktu itu telah ada suatu mushaf resmi di tangan khalifah
yang bisa dijadikan rujukan.
Dengan demikian, karakter resmi mushaf al-Quran yang
dikumpulkan Zayd pada masa pemerintahan Abu Bakr terlihat
sangat meragukan. Bahkan perjalanan historis selanjutnya mushaf
ini , dari tangan Umar kemudian berpindah ke Hafshah
sebagai warisan, lebih menunjukkan karakter personalnya. Suatu
mushaf resmi yang pengumpulannya diotorisasi khalifah tentunya
tidak logis jika jatuh ke pemilikan pribadi Hafshah, sekalipun ia
merupakan puteri Khalifah Umar dan janda Nabi.
Kenyataan bahwa Hafshah memiliki sebuah mushaf al-Quran
barangkali bisa dijustifikasi oleh laporan-laporan tentang
pengumpulan al-Quran pada masa Khalifah Ketiga, Utsman ibn
Affan, sebab disebutkan bahwa komisi yang dibentuk Utsman
untuk mengumpulkan al-Quran telah mendasarkan kodifikasi
kanoniknya pada naskah Hafshah. namun , sebagaimana ditunjukkan
di atas, mushaf yang berada di tangan Hafshah lebih memiliki
karakter personal, bukan kumpulan resmi. Penyebutan mushaf
Hafshah sebagai basis kodifikasi Utsman dalam riwayat itu juga
terlihat sangat meragukan. Dari laporan beberapa riwayat diketahui
bahwa mushaf ini berulang kali diminta oleh Marwan ibn al-
Hakam (w. 685), saat menjabat sebagai Gubernur Madinah, untuk
dimusnahkan. usaha ini baru berhasil dilakukan setelah wafatnya
Hafshah. Alasan pemusnahannya adalah kekuatiran Marwan bahwa
bacaan-bacaan tidak lazim di dalamnya akan menyebabkan
perselisihan di dalam warga Muslim.72 Dari laporan semacam
ini dapat dipastikan bahwa naskah Hafshah jelas tidak memadai
sebagai basis utama untuk kodifikasi Utsman. namun , tentu saja,
hal ini tidak menafikan kemungkinan penggunaannya – bukan
sebagai sumber utama – bersama naskah-naskah lainnya dalam
usaha pengumpulan ini .
Pengaitan dalam laporan-laporan pengumpulan Utsman
kepada naskah Hafshah, pada faktanya, merupakan usaha untuk
menghubungkan mushaf utsmani dengan riwayat pengumpulan
sebelumnya. Tampaknya usaha ini merupakan rekayasa belakangan,
sebab – sebagaimana ditunjukkan di atas – eksistensi kumpulan
resmi semacam itu adalah sangat meragukan, demikian pula
eksistensi Umar sebagai penggagas intelektualnya. Barangkali
kenyataan-kenyataan ini bisa muncul ke permukaan setelah kaum
Muslimin secara terpaksa mesti menerima kenyataan pahit bahwa
seorang penguasa yang dipandang nepotis dan tidak cakap seperti
Utsman – meski pandangan ini masih bisa diperdebatkan – pada
faktanya merupakan Bapak Pengumpul al-Quran yang sejati.
sebab itu, agar ada suatu keadilan yang merata, para
pendahulu Utsman yang menonjol telah dipandang memiliki
saham penting dalam persiapan pengumpulan ini . sebab
tidak ada satu jalan pun yang bisa menuntun kembali dari
Umar ke Abu Bakr, kecuali jika seorang khalifah dipandang sebagai
penggagas intelektualnya, maka Umar kemudian menjadi
pilihannya. Salah satu riwayat dalam versi minoritas yang membias
di atas secara jelas mengacu ke arah ini, dan dalam riwayat versi
mayoritas yang telah dikemukakan, ditemukan gambaran Umar
sebagai kekuatan penggerak yang memungkinkan terjadinya
pengumpulan pertama. Pandangan tentang Abu Bakr sebagai
otoritas yang memerintahkan pengumpulan pertama barangkali
juga dipijakkan pada kehidupan terdahulunya di masa Nabi. Kalau
Umar dipandang sebagai yang paling intelek di kalangan khalifah-
khalifah awal, maka Abu Bakr memiliki kelebihan lain yang tidak
dimiliki Umar: Ia merupakan salah seorang yang pertama kali
menyatakan keimanannya kepada Islam dan teman akrab Nabi
yang selalu menemaninya bahkan di kala berhijrah. Jadi, adalah
mengherankan jika kedua khalifah pertama itu tidak siap
melakukan pengumpulan al-Quran; dan akhirnya keinginan khayali
yang didasarkan pada kesalehan ini secara gradual mengkristal ke
dalam berbagai riwayat tentang pengumpulan al-Quran: “benang
merah” yang menjalin ketiga tokoh itu pun dipintal dengan
meminimalkan peran penting tokoh terakhir.
Pandangan yang sama tentang rekayasa belakangan kisah-
kisah pengumpulan al-Quran hingga masa Umar ibn Khaththab
juga dikemukakan salah seorang pemikir Syi‘ah kontemporer, al-
Sayyid Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu‘i (w. 1992).73 Setelah
meneliti berbagai riwayat paling signifikan tentang pengumpulan
al-Quran – yang menurutnya bertabrakan antara satu dengan
lainnya, dan sebab itu tidak mungkin dipercayai kebenarannya –
al-Khu‘i menegaskan: “…penisbatan pengumpulan al-Quran kepada
para khalifah (yakni tiga khalifah pertama – pen.) merupakan suatu
pandangan yang bersifat imajinatif, bertentangan dengan Kitab
Allah, Sunnah Nabi, dan akal sehat.”74 Ia meyakini bahwa al-Quran
dikumpulkan dan direkam secara tertulis pada masa Nabi.
Sementara yang dilakukan Khalifah Utsman, saat
mengumpulkan al-Quran pada masa kekhalifahannya, adalah
menyatukan kaum Muslimin pada pembacaan satu mushaf
otoritatif. Dengan kata lain, lewat usaha nya dalam pengumpulan
al-Quran, Utsman telah melakukan penyatuan atau standardisasi
teks al-Quran.
namun , gagasan seperti yang dikemukakan al-Khu‘i ini, seperti
telah disinggung, tidak dapat dipertahankan kebenarannya. Temuan
manuskrip al-Quran pra-utsmani di San‘a, Yaman, merupakan bukti
konklusif yang menentang gagasan semacam itu.75 Lebih jauh,
sebagaimana telah dikemukakan, eksistensi mushaf yang berasal
dari Nabi itu hanya merupakan khayalan kosong beberapa sarjana,
sebab kalau mushaf semacam itu benar-benar eksis, maka
kebutuhan akan kodifikasi al-Quran setelah Nabi tidak akan
menjadi concern utama para sahabat Nabi.
Bentuk dan Kandungan Mushaf-mushaf
Pra-Utsmani
Di atas telah ditolak kemungkinan eksisnya kumpulan resmi
al-Quran baik pada masa Abu Bakr ataupun Umar. namun ,
penolakan ini tidak menafikan kemungkinan eksisnya beberapa
kumpulan al-Quran berkarakter personal yang diusaha kan secara
sadar oleh para sahabat Nabi semasa hidupnya hingga beberapa
saat setelah wafatnya. Gambaran umum yang diperoleh tentang
keadaan salinan-salinan al-Quran setelah wafatnya Nabi memang
sangat menyedihkan, sebab tidak hanya tercerai-berai dan tidak
teratur, namun salinan-salinan itu juga ditulis di atas bahan-bahan
yang berbeda dan sangat sederhana.
Ada beberapa informasi yang cukup ekstensif tentang bahan-
bahan yang digunakan untuk menyalin al-Quran. Informasi ini
terutama didasarkan pada laporan-laporan mengenai surat-surat
yang dikirim Nabi ke berbagai penguasa dunia saat itu dan
laporan mengenai pengumpulan al-Quran yang dilakukan Zayd.
Dalam laporan terakhir ini disebutkan beberapa bahan yang saat
itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan
Allah kepada Muhammad, yaitu:
(i) riqã‘ atau lembaran lontar atau perkamen, sebagaimana
dijelaskan al-Suyuthi,
(ii) likhãf atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari
kepingan batu kapur yang terbelah secara horisontal
lantaran panas;
(iii) ‘asib atau pelepah kurma, terbuat dari bagian ujung
dahan pohon kurma yang tipis – salah satu surat Nabi
kepada Udzra ditulis di atas bahan ini;
(iv) aktãf atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang
belikat unta;
(v) adllã‘ atau tulang rusuk, biasanya juga dari tulang rusuk
unta;
(vi) adîm atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang
asli – bukan perkamen – dan merupakan bahan utama
yang digunakan untuk menulis saat itu.
Namun penekanan yang diberikan pada penggunaan bahan-
bahan tulis-menulis yang sederhana dalam laporan-laporan
pengumpulan al-Quran itu barangkali terlalu dilebih-lebihkan.
Penekanan semacam ini mungkin dilakukan dalam rangka
menonjolkan kecekatan para pengumpul kitab suci ini dan
kesederhanaan yang menyelimuti kehidupan pada masa awal Is-
lam, yang sangat kontras dengan kemewahan hidup yang
menggelimangi para penguasa dinasti Umaiyah. namun , adalah sangat
masuk akal bila dalam pengumpulan al-Quran secara tertulis ini
telah digunakan bahan-bahan yang lebih baik, sebab hal ini
menyangkut penyalinan naskah dari “langit” yang sangat
dikuduskan dan diagungkan kaum Muslimin.
Nama yang diberikan kepada salinan atau kumpulan tertulis
wahyu, baik dalam bentuk lengkap atau sebagiannya, adalah shuhuf
atau shahîfah, yang bermakna “lembaran-lembaran.” Kata ini,
sebagaimana telah disinggung, merupakan kata bentukan baru dalam
bahasa Arab yang berasal dari kata bahasa Habsyi (ethiopik) atau
bahasa Arab selatan, shahafa (“menulis”), dan telah digunakan pada
masa pra-Islam. Sementara kata bentukan mashhaf, atau lebih sering
diucapkan mushhaf, memiliki makna “kitab” atau “kodeks,” yang
selaras dengan makna dalam bahasa aslinya, Habsyi.80 Kata shuhuf
sendiri, dalam pengertian di atas, menunjukkan kepada lembaran-
lembaran dengan bahan dan format yang sama. Barangkali bahan
yang dimaksudkan di sini, sebagaimana diduga Schwally, terbuat
dari kulit.81 Apakah bahan ini menunjuk kepada perkamen atau
bukan, tidak dapat dipastikan. namun , penyebutan salinan atau
kumpulan al-Quran sebagai shuhuf atau “lembaran-lembaran”
menunjukkan bahwa kumpulan wahyu itu belum tertata secara pasti,
khususnya dalam susunan surat-suratnya. Hal ini dijustifikasi
beberapa riwayat dan fenomena kitab-kitab mashãhif yang awal,
bahkan dibuktikan oleh temuan-temuan manuskrip al-Quran yang
awal.
Dalam Itqãn, misalnya, disebutkan bahwa al-Quran pada masa
Nabi tidak terkumpul (majmû‘ ) dan tidak memiliki susunan surat
yang pasti (wa lã murattab al-suwar);83 sementara kumpulan al-
Quran belakangan yang disebut dengan mushhaf – dengan makna
yang telah disebutkan di atas – misalnya mushaf utsmani, susunan
suratnya telah tertata secara pasti. Permasalahan apakah shuhuf
atau mushaf al-Quran itu dijilid atau tidak, merupakan
permasalahan yang sulit ditelusuri jawabannya dalam berbagai
informasi yang sampai ke tangan kita. Bahkan untuk kasus mushaf
utsmani, yang dipandang sebagai model, juga tidak tersedia
informasi apapun yang dapat memastikan bahwa kumpulan al-
Quran tulisan tangan itu dijilid.
Permasalahan selanjutnya tentang keutuhan dan kandungan
kumpulan-kumpulan al-Quran yang awal ini, tentang bentuknya,
pengelompokan surat-suratnya, penggunaan formula basmalah
sebagai marka pemisah (fawãshil ) antara satu surat dengan surat
lainnya, pemunculan huruf-huruf misterius (fawãtih al-suwar) di
beberapa surat, dan lainnya, akan didekati setelah dilakukan kajian
terhadap beberapa naskah pra-utsmani lainnya dan mushaf
utsmani sendiri.
Beberapa Mushaf Pra-utsmani
Mushaf Primer dan Sekunder
Dalam bab lalu telah dikemukakan eksistensi beberapa kodifikasi tertulis al-Quran yang pengumpulannya diusaha kan
secara sadar oleh beberapa sahabat Nabi. Kumpulan-kumpulan
tertulis ini telah mempengaruhi kumpulan-kumpulan al-Quran yang
diusaha kan generasi berikutnya, sebelum Utsman ibn Affan
melakukan penyeragaman teks al-Quran pada masa kekhalifahannya.
saat Utsman melakukan unifikasi teks, capaian-capaian para
sahabat Nabi dan generasi berikutnya ini tetap eksis melalui
transmisi lisan ataupun tertulis dari generasi ke generasi dan
direkam dalam sumber-sumber awal sebagai varian di luar tradisi
teks utsmani, atau sebagai mushaf-mushaf pra-utsmani.
Dalam karya-karya yang ditulis para mufassir dan filolog yang
awal, sering dijumpai pengungkapan atau perujukan kepada varian-
varian pra-utsmani. Terkadang, rujukan hanya dikemukakan dalam
bentuk ungkapan “mushaf sahabat” atau “beberapa mushaf lama”
atau “dalam beberapa mushaf lama” (fî ba‘dl al-Mashãhif) atau
“dalam bacaan yang awal.” Selain itu, rujukan dibuat kepada mushaf
yang eksis di kota-kota tertentu, seperti “mushaf kota Bashrah” atau
“mushaf kota Hims” atau “mushaf ahl al-Aliyah.” Perujukan kepada
mushaf yang berada dalam pemilikan orang-orang tertentu juga
sering ditemukan, seperti “mushaf milik al-Hajjaj” atau “mushaf
milik kakek dari Malik ibn Anas,” atau “mushaf yang digunakan
oleh Abu Hanifah.” Namun, yang paling sering ditemukan adalah
perujukan kepada mushaf-mushaf pra-utsmani yang populer, seperti
mushaf Ibn Mas‘ud, Ubay ibn Ka‘b, dan lainnya.
Pada abad ke-4H/10 beberapa sarjana Muslim melakukan
kajian khusus tentang fenomena Mashãhif ini. Kajian paling
terkenal adalah yang dilakukan Ibn al-Anbari (w. 940), mendahului
karya Ibn Mujahid (w. 935) tentang kiraah tujuh. Sayangnya, Kitãb
al-Mashãhif yang disusun al-Anbari itu lenyap ditelan masa, dan
hanya ditemukan bekasnya dalam kutipan-kutipan yang dibuat
sarjana Muslim belakangan, seperti dalam karya al-Suyuthi.2 Satu-
satunya karya dari masa ini yang sampai ke tangan kita adalah
yang disusun Ibn Abi Dawud (w. 316H), Kitãb al-Mashãhif.
Sayangnya, kitab ini merupakan yang paling sempit cakupannya
dibandingkan kitab-kitab lainnya dari masa ini . Terutama
berdasar kitab ini, dan berbagai kitab lainnya, Arthur Jeffery –
penyunting kitab itu bersumberkan beberapa manuskrip –
mengklasifikasikan mushaf-mushaf lama ke dalam dua kategori
utama: mushaf primer dan mushaf sekunder.3
Sekalipun Jeffery tidak mengemukakan sesuatu pun tentang
kategorisasinya, bisa dilacak bahwa yang dimaksudkannya dengan
mushaf primer – 15 kodeks – adalah mushaf-mushaf independen
yang dikumpulkan secara individual oleh beberapa sahabat Nabi.
Sementara mushaf sekunder – 13 kodeks – adalah mushaf generasi
selanjutnya yang sangat bergantung atau didasarkan pada mushaf
primer dan mencerminkan tradisi bacaan kota-kota besar Islam.
Dalam kasus-kasus tertentu, mushaf-mushaf di atas belum tentu
secara aktual bermakna suatu kumpulan al-Quran tertulis. namun ,
dalam kasus-kasus lainnya, ada bukti yang cukup dari berbagai
sumber tentang eksistensi mushaf-mushaf tertentu dalam bentuk
kumpulan tertulis al-Quran. Bahkan, secara internal, bacaan-bacaan
yang dirujuk dalam beberapa kitab mashãhif memperlihatkan
bahwa rujukan ini terambil dari kumpulan tertulis al-Quran.
Skema mushaf-mushaf yang awal ini – baik mashãhif primer
maupun sekunder – dapat dikemukakan sebagai berikut:
A. Mushaf-mushaf Primer
1. Mushaf Salim ibn Ma‘qil.
2. Mushaf Umar ibn Khaththab.
3. Mushaf Ubay ibn Ka‘b.
4. Mushaf Ibn Mas‘ud.
5. Mushaf Ali ibn Abi Thalib.4
184 / TAUFIK ADNAN AMAL
6. Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari.
7. Mushaf Hafshah bint Umar.
8. Mushaf Zayd ibn Tsabit.
9. Mushaf Aisyah bint Abu Bakr.
10. Mushaf Ummu Salamah (w.59 H).
11. Mushaf Abd Allah ibn Amr (w. 65 H).
12. Mushaf Ibn Abbas.
13. Mushaf Ibn al-Zubayr.
14. Mushaf Ubayd ibn ‘Umair (w. 74 H).
15. Mushaf Anas ibn Malik (w. 91 H).
B. Mushaf-mushaf Sekunder
1. Mushaf Alqama ibn Qais (w. 62 H.).
2. Mushaf al-Rabi‘ ibn Khutsaim (w. 64 H).
3. Mushaf al-Harits ibn Suwaid (w. 70 H).
4. Mushaf al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H).
5. Mushaf Hiththan (w. 73 H).
6. Mushaf Thalhah ibn Musharrif (w. 112 H)
7. Mushaf al-A‘masy (w. 148 H).
8. Mushaf Sa‘id ibn Jubayr (w. 94 H).
9. Mushaf Mujahid (w. 101 H).
10. Mushaf Ikrimah (w. 105 H).
11. Mushaf Atha’ ibn Abi Rabah (w. 115 H).
12. Mushaf Shalih ibn Kaisan (w. 144 H).
13. Mushaf Ja‘far al-Shadiq.
Yang relevan dibahas di sini adalah mushaf-mushaf yang
dikategorikan Jeffery dalam skema di atas sebagai mushaf primer.
Mushaf-mushaf ini, sebagaimana telah diungkapkan, menunjukkan
usaha yang sadar di kalangan sahabat Nabi untuk mengumpulkan
al-Quran pada masa Nabi dan sepeninggalnya, sebelum eksisnya
mushaf utsmani. Sementara mushaf sekunder lebih memper-
lihatkan pengaruh mushaf-mushaf primer dan merupakan
cerminan dari tradisi bacaan al-Quran di kota-kota metropolitan
Islam. Di samping itu, sebagian mushaf kategori ini muncul di
kalangan generasi kedua Islam, setelah adanya usaha pengumpulan
al-Quran yang dilakukan di masa Khalifah Ketiga.
Sehubungan dengan mushaf-mushaf primer, mayoritas nama
yang dipandang memiliki mushaf dalam skema di atas sejalan
dengan laporan-laporan mengenai orang-orang yang me-
ngumpulkan al-Quran di masa Nabi atau setelah wafatnya, seperti
telah disinggung dalam bab lalu. Sekalipun demikian, hanya
beberapa kecil dari mushaf-mushaf para sahabat ini yang berhasil
menanamkan pengaruh luas di dalam warga Islam. Dalam
tenggang waktu sekitar 20-an tahun, mulai dari wafatnya Nabi
sampai pengumpulan al-Quran di masa Utsman, hanya sekitar
empat mushaf sahabat yang berhasil memapankan pengaruhnya
di kalangan warga . Asal-muasal pengaruh ini tentunya
terpulang kepada individu-individu yang dengan namanya mushaf-
mushaf itu dikenal. Keempat sahabat Nabi yang dimaksud di sini
adalah: (i) Ubay ibn Ka‘b, yang kumpulan al-Qurannya
berpengaruh di sebagian besar daerah Siria; (ii) Abd Allah Ibn
Mas‘ud, yang mushafnya mendominasi daerah Kufah; (iii) Abu
Musa al-Asy‘ari, yang mushafnya memperoleh pengakuan
warga Bashrah; dan (iv) Miqdad ibn Aswad (w. 33H), yang
mushafnya diikuti penduduk kota Hims, namun tidak tercantum
dalam skema di atas. Di samping itu, mushaf Ibn Abbas, walaupun
tidak menjadi otoritas pada masanya, juga perlu mendapat
perhatian mengingat signifikansinya yang nyata dalam
perkembangan kajian al-Quran belakangan, seperti ditunjukkan
dalam bab 3.
Manuskrip mushaf kelima sahabat Nabi itu sayangnya tidak
sampai ke tangan kita, sehingga permasalah tentang bentuk lahiriah
dan kandungan tekstualnya hanya bisa dijawab melalui sumber-
sumber sekunder atau tidak langsung. Bahkan, Mushaf Miqdad
ibn Aswad tidak dapat ditelusuri jejaknya sama sekali dalam
berbagai sumber yang awal, dan barangkali itulah sebabnya
mengapa Jeffery tidak memasukkannya ke dalam skema di atas.
Miqdad berasal dari Yaman dan melarikan diri ke Makkah setelah
mengalami suatu sengketa berdarah di daerah asalnya. Setibanya
di Makkah ia mendapat perlindungan dari Aswad ibn Abd Yagut.
Ia termasuk salah seorang dari generasi sahabat yang pertama kali
mengimani risalah Nabi, dan ikut dan dalam hampir seluruh
peperangan kaum Muslimin yang awal. Pengetahuannya tentang
al-Quran, demikian pula asal-usul pengaruh mushafnya di kalangan
penduduk Hims, tidak dapat ditelusuri. Miqdad meninggal pada
33H, dan Khalifah Utsman melakukan shalat jenazah untuknya.
Sementara empat mushaf sahabat lainnya dapat ditelusuri jejaknya,
walaupun dalam kasus Abu Musa al-Asy‘ari hanya sedikit diperoleh
keterangan tentang kumpulan al-Qurannya.
Mushaf Ubay ibn Ka‘b
Ubay ibn Ka‘b adalah seorang Anshar dari banu Najjar, yang
masuk Islam pada masa cukup awal dan turut dan dalam beberapa
pertempuran besar di masa Nabi, seperti dalam Perang Badr dan
Uhud. Pengetahuan tulis-menulis yang dikuasainya dengan baik,
bahkan sebelum masuk Islam, membuat Nabi menunjuknya sebagai
salah seorang sekretarisnya begitu tiba di Madinah. Kegiatan Ubay
sebagai sekretaris Nabi tidak hanya terbatas pada urusan
korespondensi, namun juga mencatat wahyu-wahyu yang diterima
Nabi. Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri dalam
mengumpulkan wahyu dan merupakan salah satu di antara empat
sahabat yang disarankan Nabi agar umat Islam mempelajari al-
Quran darinya.5 Dalam beberapa hal, otoritasnya tentang masalah-
masalah al-Quran bahkan lebih besar dari Ibn Mas‘ud. Selain itu,
ia juga dikenal sebagai Sayyid al-Qurrã’ (“pemimpin para pelafal/
penghafal al-Quran”). Tahun kematiannya tidak dapat ditetapkan
dengan pasti. Sumber-sumber yang ada menyebutkan mulai dari
19, 20, 22, atau 30 dan bahkan 32H. namun , seperti diungkapkan
Schwally, penetapan tahun 30 atau 32H sebagai tahun wafat Ubay
patut dicurigai, sebab penggeseran ke belakang ini membuat
partisipasinya dalam pengumpulan al-Quran di masa Khalifah
Utsman menjadi memungkinkan atau logis.6
Tidak dapat diketahui secara pasti kapan ia mengumpulkan
materi-materi wahyu ke dalam mushafnya. Barangkali, saat
ditunjuk Nabi untuk menyalin wahyu, kegiatan pengumpulan al-
Quran telah dimulainya. namun , kapan ia selesai menyusun bahan-
bahan wahyu yang membentuk kodeksnya tidak dapat dipastikan.
Yang pasti adalah bahwa sebelum kemunculan mushaf standar
utsmani, mushaf Ubay telah populer di Siria. Suatu kisah
dituturkan Ibn Abi Dawud yang mengungkapkan bahwa beberapa
orang Siria menulis suatu mushaf al-Quran dan datang ke Madinah
untuk memeriksakannya kepada Ubay dan Zayd. Sekalipun
ada bacaan tidak lazim yang diperoleh dari Ubay, baik Zayd
maupun Khalifah Umar saat itu tidak membantah
kebenarannya.
beberapa riwayat menuturkan keterlibatannya dalam komite
pengumpul al-Quran yang dibentuk Khalifah Utsman. namun ,
seperti dikemukakan di atas, tampaknya Ubay saat itu telah wafat
sehingga tidak mungkin berpartisipasi dalam menyiapkan mushaf
standar utsmani. Demikian pula, beberapa riwayat menuturkan
keterlibatannya dalam proses pengumpulan al-Quran pada masa
Khalifah Abu Bakr.8 namun , sebagaimana ditunjukkan dalam bab
lalu, kisah pengumpulan resmi di masa itu sangat meragukan.
Dengan demikian, keterlibatan Ubay di dalamnya juga amat
meragukan. Barangkali, pernyataan Nabi yang menokohkannya
sebagai salah seorang di antara empat sahabat yang memiliki
otoritas dalam al-Quran – yang memang merupakan kenyataan
historis – telah membuat namanya selalu digandengkan dengan
usaha -usaha resmi dalam pengumpulan al-Quran.
Mushaf Ubay dikabarkan turut dimusnahkan saat dilakukan
standardisasi teks al-Quran pada masa Utsman. Ibn Abi Dawud
menuturkan suatu riwayat bahwa beberapa orang datang dari Irak
menemui putra Ubay, Muhammad, untuk mencari keterangan
dalam mushaf ayahnya. Namun, Muhammad mengungkapkan
bahwa mushaf ini telah disita Utsman.9 Sekalipun demikian,
dari berbagai riwayat yang sampai kepada kita, dapat ditelusuri
aransemen surat-surat di dalam mushafnya, bacaan-bacaannya yang
berbeda dari varian bacaan dalam tradisi teks utsmani, dan lain-
lain.
Dalam kaitannya dengan susunan surat, ada perbedaan
yang relatif kecil antara mushaf Ubay dengan mushaf utsmani,
sebagaimana bisa disimak dalam dua laporan tentang susunan
suratnya. Laporan pertama dikemukakan dalam Fihrist, dan
laporan kedua diungkapkan dalam Itqãn.10 Berpijak pada kedua
laporan ini , susunan surat-surat dalam mushaf Ubay dapat
dikemukakan sebagai berikut:
Susunan Surat Mushaf Ubay Menurut Fihrist dan Itqãn
Susunan Surat Menurut Fihrist Susunan Surat Menurut Itqãn
No. Nama surat* No. Surat* Nama Surat* No. Surat*
1 al-Fãtihah 1 al-Fãtihah 1
2 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2
3 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4
4 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3
5 al-An‘ãm 6 al-An‘ãm 6
6 al-A‘rãf 7 al-A‘rãf 7
7 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5
8 Yûnus 10 Yûnus 10
9 al-Anfãl 8 al-Anfãl 8
10 al-Tawbah 9 al-Tawbah 9
11 Hûd 11 Hûd 11
12 Maryam 19 Maryam 19
13 al-Syu‘arã’ 26 al-Syu‘arã’ 26
14 al-Hajj 22 al-Hajj 22
15 Yûsuf 12 Yûsuf 12
16 al-Kahfi 18 al-Kahfi 18
17 al-Nahl 16 al-Nahl 16
18 al-Ahzãb 33 al-Ahzãb 33
19 al-Isrã’ 17 al-Isrã’ 17
20 al-Zumar 39 al-Zumar 39
21 al-Jãtsiyah 45 Fushshilat atau al-Zukhruf11 41 atau 43?
22 Thã Hã 20 Thã Hã 20
23 al-Anbiyã’ 21 al-Anbiyã’ 21
24 al-Nûr 24 al-Nûr 24
25 al-Mu’minûn 23 al-Mu’minûn 23
26 al-Mu’min 40 Saba’ 34
27 al-Ra‘d 13 al-‘Ankabût 29
28 al-Qashash 28 al-Mu’min 40
29 al-Naml 27 al-Ra‘d 13
30 al-Shãffãt 37 al-Qashash 28
31 Shãd 38 al-Naml 27
32 Yã Sîn 36 al-Shãffãt 37
33 al-Hijr 15 Shãd 38
34 al-Syûrã 42 Yã Sîn 36
35 al-Rûm 30 al-Hijr 15
36 al-Zukhruf 43 al-Syûrã 42
37 Fushshilat 41 al-Rûm 30
38 Ibrãhim 14 al-Hadîd 57
39 Fãthir 35 al-Fath 48
40 al-Fath 48 Muhammad 47
41 Muhammad 47 al-Mujãdilah 58
42 al-Hadîd 57 al-Mulk 67
43 al-Thûr 52 al-Shaff 61
44 al-Furqãn 25 al-Ahqãf 46
45 al-Sajdah 32 Qãf 50
46 Nûh 71 al-Rahmãn 55
47 al-Ahqãf 46 al-Wãqi‘ah 56
48 Qãf 50 al-Jinn 72
49 al-Rahmãn 55 al-Najm 53
50 al-Wãqi‘ah 56 al-Ma‘ãrij 70
51 al-Jinn 72 al-Muzzammil 73
52 al-Najm 53 al-Muddatstsir 74
53 al-Qalam 68 al-Qamar 54
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 189
54 al-Hãqqah 69 Fushshilat atau al-Zukhruf12 41atau 43 ?
55 al-Hasyr 59 al-Dukhãn 44
56 al-Mumtahanah 60 Luqmãn 31
57 al-Mursalãt 77 al-Jãtsiyah 45
58 al-Naba’ 78 al-Thûr 52
59 al-Insãn 76 al-Dzãriyãt 51
60 al-Qiyãmah 75 al-Hãqqah 69
61 al-Takwîr 81 al-Hasyr 59
62 al-Nãzi‘ãt 79 al-Mumtahanah 60
63 ‘Abasa 80 al-Mursalãt 77
64 al-Muthaffifîn 83 al-Naba’ 78
65 al-Insyiqãq 84 al-Qiyãmah 75
66 al-Tîn 95 al-Takwîr 81
67 al-‘Alaq 96 al-Thalãq 65
68 al-Hujurãt 49 al-Nãzi‘ãt13 79
69 al-Munãfiqûn 63 ‘Abasa 80
70 al-Jumu‘ah 62 al-Muthaffifîn 83
71 al-Tahrîm 66 al-Insyiqãq 84
72 al-Fajr 89 al-Tîn 95
73 al-Mulk 67 al-‘Alaq 96
74 al-Layl 92 al-Hujurãt 49
75 al-Infithãr 82 al-Munãfiqûn 63
76 al-Syams 91 al-Jumu‘ah 62
77 al-Burûj 85 al-Tahrîm 66
78 al-Thãriq 86 al-Fajr 89
79 al-A‘lã 87 al-Balad 90
80 al-Gãsyiyah 88 al-Layl 92
81 al-Muddatstsir14 74 ? al-Infithãr 82
82 al-Bayyinah 98 al-Syams 91
83 al-Shaff 61 al-Thãriq 86
84 al-Dluhã 93 al-A‘lã 87
85 Alam Nasyrah 94 al-Gãsyiyah 88
86 al-Qãri‘ah 101 al-Shaff 61
87 al-Takãtsur 102 al-Tagãbun 64
88 al-Khal‘ (3 ayat)15 surat ekstra al-Bayyinah 98
89 al-Hafd (6 ayat)15 surat ekstra al-Dluhã 93
90 al-Humazah 104 Alam Nasyrah 94
91 al-Zalzalah 99 al-Qãri‘ah 101
92 al-Fîl 105 al-Takãtsur 102
93 al-Mã‘ûn16 107 ? al-‘Ashr 103
94 al-Kawtsar 108 al-Khal‘ (3 ayat)15 surat ekstra
95 al-Qadr 97 al-Hafd (6 ayat)15 surat ekstra
96 al-Kãfirûn 109 al-Humazah 104
97 al-Nashr 110 al-Zalzalah 99
98 al-Lahab 111 al-‘Ãdiyãt 100
99 Quraisy 106 al-Fîl 105
100 al-Ikhlãsh 112 Quraisy 106
101 al-Falaq 113 al-Mã‘ûn 107
102 al-Nãs 114 al-Kawtsar 108
103 al-Qadr 97
104 al-Kãfirûn 109
105 al-Nashr 110
106 al-Ikhlãsh 112
107 al-Falaq 113
108 al-Nãs 114
Keterangan: * Nama dan nomor surat mengikuti edisi al-Quran negara kita .
Fihrist mengakhiri daftar surat di atas dengan menginformasi-
kan jumlah surat dalam Mushaf Ubay sebanyak 116 surat.17 namun ,
seperti terlihat di atas, ada 14 surat yang tidak terekam dalam
daftar ini . Sementara al-Suyuthi menuturkan dua riwayat
tentang jumlah surat di dalam mushaf Ubay, yakni 115 surat, di
mana surat 105 dan 106 atau surat 93 dan 94 disatukan.18 Sekalipun
dalam daftar yang dikemukakan Itqãn surat-surat itu disebut satu
demi satu, penyebutan ini tentunya tidak berseberangan dengan
riwayat-riwayat ini , sebab – khususnya dalam daftar Itqãn –
surat 94 berada setelah surat 93, dan surat 106 setelah surat 105.
namun , sebagaimana dengan Fihrist, daftar surat yang dikemukakan
dalam Itqãn juga terlihat tidak lengkap. Ada 8 surat – yakni surat
74; 25; 32; 35; 68; 76; 85; dan 111 – yang tidak ditemukan di dalamnya.
Susunan surat dalam mushaf Ubay – sekalipun dengan
beberapa perbedaan yang relatif cukup besar jika dibandingan
dengan mushaf utsmani – secara garis besarnya memperlihatkan
prinsip yang umumnya dipegang dalam penyusunan tata urutan
surat dalam mushaf-mushaf al-Quran yang awal, termasuk mushaf
utsmani, yakni: mulai dari surat-surat panjang ke arah surat-surat
yang lebih pendek. Hal ini bisa dilihat pada bagian permulaan
dan bagian penghujung daftar surat, baik yang dikemukakan dalam
Fihrist maupun dalam Itqãn. namun , menurut Jeffery, kedua daftar
surat itu tidak dapat dipercaya dan mesti dipandang sebagai rekayasa
belakangan yang didasarkan pada mushaf aslinya.19
Mushaf Ubay tampaknya tidak pernah menjadi sumber salah
satu mushaf sekunder, sekalipun mushafnya telah disalin dan
diwarisi secara turun-temurun, misalnya, oleh keluarga Muhammad
ibn Abd al-Malik al-Anshari. Di kediaman orang inilah penulis
Fihrist menyaksikan salinan mushaf itu.20 Suatu salinan mushaf
Ubay juga dikabarkan masih eksis pada masa Ibn Syadzan (w.
874), yakni pada pertengahan abad ke-3H.21 Bahkan ada
riwayat lainnya yang menuturkan bahwa Ibn Abbas
menghadiahkan seseorang sebuah mushaf yang ditulis menurut
qirã’ah Ubay.22 Jadi, sekalipun tidak menjadi sumber mushaf
sekunder, namun mushaf Ubay tampaknya telah disalin dari generasi
ke generasi, hingga akhirnya musnah saat mushaf standar
utsmani berhasil menggeser mushaf-mushaf lainnya dalam
penggunaan warga Muslim.
Dalam salinan mushaf Ubay ada beberapa perbedaan ortografis
dengan teks al-Quran edisi Mesir. Beberapa riwayat memaparkan
bahwa dalam teks Ubay imãla (vokal ã panjang) di dalam suatu
kata – yang dalam teks utsmani ditampilkan dengan huruf alif ()
– ditulis dengan yã (-). Contohnya, kata li-l-rijãli (JO)
) disalin
dengan -O)
, jã’a (6O) disalin dengan -O dan jã’at-hum (N6O)
disalin dengan N-O. Perbedaan ortografis menyangkut imãla ini
pada hakikatnya mencerminkan tahapan yang lebih awal dari
perkembangan penyempurnaan aksara Arab, dan pengungkapan
dalam bentuk tertulis berbagai ragam dialek yang ada di dalam
bahasa Arab.
Selain perbedaan dalam susunan surat dan beberapa kecil
masalah ortografis, ada banyak bacaan yang berbeda dalam
mushaf Ubay dari bacaan resmi mushaf utsmani, baik dari segi
vokalisasi, kerangka konsonantal, penambahan atau pengurangan
kata atau ayat, susunan ayat itu sendiri, dan lainnya. Jeffery, yang
berusaha mengumpulkan dan mengedit variae lectiones (ragam
bacaan) yang berkembang di dalam tradisi bacaan al-Quran,
membutuhkan sekitar 64 halaman untuk menyajikan bacaan-
bacaan dalam mushaf Ubay yang berbeda dari lectio vulgata (bacaan
resmi) yang digunakan untuk textus receptus utsmani.Beberapa
ilustrasi yang dikemukakan berikut ini25 – secara khusus
membandingkan bacaan Ubay dengan salah satu bacaan kanonik
yang digunakan secara luas untuk menyalin mushaf utsmani dewasa
ini, yakni bacaan Ashim riwayat Hafsh – akan memperlihat
perbedaan-perbedaan ini .
Perbedaan teks Ubay dengan bacaan resmi utsmani dalam
vokalisasi bentuk konsonan yang sama terlihat cukup masif. namun ,
perbedaan vokalisasi ini lebih banyak mengacu kepada variasi-
variasi gramatikal, seperti bacaan Ubay untuk 2:18,171: shumman
bukman ‘umyan, untuk 12:18: fa-shabran jamîlan, untuk 21:92:
ummatun wãhidatun, dan lain-lain. beberapa partikel (harf)
gramatikal berkerangka konsonantal sama bisa juga menimbulkan
perbedaan dalam vokalisasinya dan pada gilirannya mempengaruhi
vokalisasi teks. Contohnya, kerangka partikel bisa divokaliasi
sebagai inna, anna atau an. Jadi 4:171, an yakûna, dalam lectio
vulgata misalnya, telah dibaca oleh Ubay in yakûnu. Perbedaan
vokalisasi terkadang juga bisa mengakibatkan perbedaan arti
Bagian al-Quran 13: 43, wa man ‘indahu ‘ilmu-l-kitãbi, yang
bermakna: “dan orang yang ada padanya (atau memiliki) ilmu al-
kitab,” terbaca dalam mushaf Ubay: wa min ‘indihi ‘ilmu-l-kitãbi,
“dan yang darinya (datang) ilmu al-kitab.”
Perbedaan dalam pemberian i‘jãm – yakni titik-titik diakritis
pembeda lambang-lambang konsonan – terhadap kerangka
konsonantal yang sama terlihat cukup masif dalam kedua mushaf
di atas. Kerangka konsonantal F*7 dalam 2:259 dibaca dalam
mushaf resmi nunsyizuhã (F*7), sedangkan Ubay membacanya
nunsyiruhã (F*7). Demikian pula, kerangka konsonantal 11:116,
- , dibaca baqiyyatin (- 8) dalam teks utsmani, sedangkan dalam
mushaf Ubay dibaca taqiyyatin (- ). Dalam kebanyakan kasus,
muncul perbedaan bacaan yang diakibatkan oleh perbedaan
pemberian tanda diakritis. Kerangka konsonantal L.M dalam
13:14, diberi dua titik di bawah huruf pertamanya dalam bacaan
resmi, sehingga terbaca yad‘ûna (L.M), sementara kerangka huruf
yang sama diberi dua titik di atasnya dalam bacaan Ubay, sehingga
terbaca tad‘ûna (LM) – perbedaan prefiks (sãbiqah) orang ketiga
plural dan prefiks orang kedua plural. Dalam 16:84 ada
kerangka konsonantal ^W+7 , yang dibaca dalam bacaan resmi
nab‘atsu (^W+7), sementara dalam mushaf Ubay yab‘atsu (^W+) –
perbedaan prefiks orang pertama jamak dan prefiks orang ketiga
tunggal. Namun, perbedaan dalam titik diakritis untuk kata ganti
orang ini tidak menimbulkan penyimpangan makna yang
substansial. Senada dengan ini adalah penggantian kata ganti or-
ang (dlamir, personal pronoun) dengan nama diri (ism ‘alam),
misalnya 7:55: innahu dalam mushaf utsmani menjadi inna-llãha
dalam teks Ubay; atau 22:78: huwa dalam teks utsmani menjadi
allãhu dalam teks Ubay; atau sebaliknya, misalnya 40: 16: ‘alã-
llãhi dalam teks utsmani menjadi ‘alayhi dalam mushaf Ubay;
dan lain-lain. Kasus-kasus semacam ini sama sekali tidak
mempengaruhi makna teks secara keseluruhan.
Sering ditemukan perbedaan dalam kerangka konsonantal
antara mushaf utsmani dan mushaf Ubay. Surat 1:7, dalam teks
resmi wa lã al-dlãlîn, disalin dalam mushaf Ubay dengan gayra(i)
al-dlãlîn. Ungkapan min zukhrufin dalam 17:93, demikian bacaan
resmi utsmani, dibaca Ubay min dzahabin. Kata fakhasyînã dalam
18:80 untuk bacaan utsmani, dibaca fa-khãfa rabbuka dalam mushaf
Ubay. Bacaan utsmani wa al-zhãlimîna dalam 76:31, dibaca wa li-
l-kãfirîna. namun , perbedaan kerangka konsonantal semacam ini,
sekalipun cukup masif, tidak banyak mempengaruhi makna, sebab
hanya terlihat sebagai sinonim-sinonim. Yang agak mempengaruhi
makna secara substansial adalah beberapa varian kata yang muncul
dalam kedua mushaf ini , seperti dalam 34:14, yang dalam
teks utsmani terbaca al-jinnu, namun dalam teks Ubay tertulis al-
insu. Kedua kata dalam kedua teks ini , tentu saja memiliki
makna yang sangat berbeda.
Di samping perbedaan-perbedaan yang telah diilustrasikan,
eksis perbedaan-perbedaan lain berupa penambahan atau
pengurangan kata, sekelompok kata, dan ayat, jika teks utsmani
dijadikan sebagai pijakan untuk perbandingannya dengan teks
Ubay. Untuk penambahan atau sisipan kata dalam mushaf Ubay
bisa dikemukakan beberapa ilustrasi. Surat 1:5, dalam teks Ubay
diawali dengan sisipan allãhumma; dalam 2:184,196, setelah
ungkapan ayyãmin ukhara (ayat 184), dan ayyãmin (ayat 196),
ada tambahan kata mutatãbi‘ãtin. Setelah ungkapan wa-inna
katsîran dalam 6:119, muncul sisipan min al-nãsi dalam teks Ubay.
Demikian pula, di tengah-tengah ungkapan wa-lahu-l-hamdu fî al-
’ãkhirati dalam 34:1, ada sisipan kata al-dunyã dalam mushaf
Ubay, sehingga bacaan Ubay di sini adalah wa-lahu-l-hamdu fî al-
dunyã wa al-’ãkhirati.
Penambahan atau penyisipan sekelompok kata di dalam teks
Ubay juga ditemukan di banyak tempat. Dalam 2:143, setelah
ungkapan ‘alã al-nãsi, disisipkan kata-kata yawma-l-qiyãmati dalam
teks Ubay. Masih dalam surat yang sama, persisnya dalam ayat
238, setelah ungkapan wa-l-shalãti al-wusthã, muncul tambahan
wa-l-shalãti-l-‘ashri. Demikian pula, dalam surat 3:144, setelah
ungkapan illa rasûlun, kata-kata shallã-llãhu ‘alayhi disisipkan.
namun , tambahan atau sisipan ini – baik satu atau sekelompok
kata – lebih banyak bersifat penjelasan (gloss). Apakah penjelasan
ini merupakan bagian orisinal penambahan teks atau sekadar
tambahan belakangan yang tidak mempengaruhi makna, tidak
dapat ditetapkan. Di kalangan ortodoksi, sisipan-sisipan semacam
itu memang tidak dipandang sebagai teks yang diwahyukan.27
Untuk pengurangan kata atau sekelompok kata dalam mushaf
Ubay, beberapa ilustrasi berikut bisa menjelaskannya. Dalam 2:41,
kata atau partikel lã (&) tidak ada dalam ungkapan wa lã
tasytarû. Partikel ‘an (4L) dihilangkan dalam ungkapan ‘ani-l-’anfãli
(8:1), sehingga – dengan sedikit perubahan vokalisasi lantaran
penghilangan partikel ini – Ubay membaca bagian awal ayat
ini: yas’alûnaka-l-’anfãla. Kata-kata mimmã taraka dalam 4:33 tidak
ada dalam teks Ubay. Bahkan, selain perubahan pada
ungkapan awal 24:55 – yang dalam teks Ubay adalah alladzîna
ãmanû bi-’annahum yaritsûna-l-’ardla wa layumakkinanna…dan
seterusnya hingga akhir ayat – juga ada penghilangan ungkapan
yang cukup panjang, yakni: minkum wa ‘amilû al-shãlihãti
liyastakh-lifannahum fî al-’ardli kamã-stakhlafa alladzî min
qablihim. Sebagaimana terlihat, pengurangan kata atau partikel,
hingga taraf tertentu – misalnya kasus 8:1 dan 4:33 – memang
tidak secara substansial merubah makna. namun dalam berbagai
kasus lain, di mana kata kunci (key word, kalimah ra’îsiyah) hilang
atau pengurangannya cukup substantif, maka makna teks jelas telah
terdistorsi.
Di beberapa tempat dalam mushaf Ubay, kata-kata teks utsmani
ditempatkan dalam posisi terbalik. Dalam 16: 112, kata-kata pada
ungkapan libãsa-l-jû‘i wa-l-khawfi telah ditempatkan secara terbalik
dalam mushaf Ubay: libãsa-l-khawfi wa-l-jû‘i. Ungkapan lillãhi-l-
haqqi dalam 18:44 menjadi al-haqq lillãhi. Demikian pula kata-
kata dalam ungkapan idzã jã’a nashru-llãhi (110:1), bertukar posisi
menjadi idzã jã’aka mina-llãhi al-nashru. Pembolak-balikan
semacam ini memang tidak mempengaruhi makna. namun masalah
yang muncul di sini bisa dikatakan senada dengan perbedaan di
antara kedua mushaf ini dalam kaitannya dengan tambahan
penjelasan (gloss), seperti telah dikemukakan di atas.
beberapa ayat tambahan juga muncul dalam teks Ubay. Dalam
surat 10, persisnya di antara ayat 24 dan 25, disisipkan suatu ayat
yang orisinalitasnya sangat meragukan sebagai bagian al-Quran.28
Di samping itu, terjadi pembolak-balikan tata urutan ayat yang
lazim ada di dalam mushaf utsmani – seperti dalam kasus
20: 31,32 yang menjadi 32,31 atau 99:7,8 yang menjadi 8,7 dalam
susunan ayat mushaf Ubay.
Ayat-ayat alternatif untuk teks utsmani bisa ditemukan dalam
mushaf Ubay. Jadi, dalam 13:30, misalnya, ada ayat berikut
dalam teks Ubay:
Artinya:
Dan tidaklah Aku utus para rasul dan aku turunkan kitab-
kitab, kecuali dalam bahasa kaumnya, agar para rasul itu
membacakannya dan menjelaskannya kepada mereka
keutamaan dari Allah.
Senada dengan ini, bacaan dalam mushaf Ubay untuk 20:60-
61 adalah:
Artinya:
Maka kembalilah Fir’aun dan mengumpulkan (kekuatan)
sihirnya, kemudian ia datang. Musa berkata kepada mereka:
“Celakalah kalian. Jangan katakan kedustaan kepada Allah.”
Ayat alternatif pertama (13:30) dan ayat-ayat alternatif terakhir
di atas (20:6-61), dalam bentuk ringkasnya – atau secara umum –
memang masih sejalan dengan teks utsmani. Sekalipun demikian,
banyak bagian ayat dalam teks utsmani – terutama kandungan
bagian akhir ayat – yang hilang dalam teks Ubay, dan hal ini
tentunya telah mendistorsi makna keseluruhan ayat.
Berbagai riwayat lainnya mengungkapkan eksistensi beberapa
“bacaan Syi‘ah” dalam mushaf Ubay. Jadi, dalam 56:10, misalnya,
dikhabarkan Ubay – sebagaimana Ibn Mas‘ud dan Ibn Khutsaim,
seorang qãri’ Syi‘ah – membaca ayat ini: wa al-sãbiqûna bi-l-’îmãni
bi al-nabiyyi (‘alayhi al-salãm) fahum Aliyyu wa dzurriyyatuhu
alladzîna-shtafãhumu-llãhu min ashhãbihi wa ja‘alahum al-
mawãliya ‘alã gayrihim ’ûlã’ika humu-l-fã’izûn alladzîna yaritsûna-
l-firdawsa hum fîhã khãlidûn: “Dan orang-orang yang paling dahulu
beriman kepada Nabi (AS) adalah Ali dan anak keturunannya.
Mereka dipilih Allah dari kalangan para sahabat, dan Allah
menjadikan mereka patron atas lainnya. Merekalah orang-orang
yang beroleh kemenangan, yang mewarisi firdaus. Mereka kekal di
dalamnya.” Demikian pula, teks Ubay untuk 75:17-19 adalah: inna
‘aliyyanã jama‘ahu wa qara’a bihi * fa idzã qara’nãhu fattabi‘
qirã’atahu min al-qirã’ati * tsumma inna ‘aliyyanã bibayãnihi:
“sesungguhnya Ali Kamilah yang mengumpulkannya dan
membacanya. Maka jika Kami telah membacanya, ikutilah
bacaannya dari bacaan itu. Kemudian Ali Kamilah yang
menjelaskannya.” Bacaan-bacaan Syi‘ah ini, sebagaimana
diungkapkan dalam bab terdahulu, eksistensinya sangat layak
dicurigai sebagai rekayasa belakangan untuk menonjolkan
keutamaan ahl al-bayt. Sementara eksistensinya sebagai bagian
orisinal mushaf Ubay ataupun Ibn Mas‘ud juga amat meragukan.
Perbedaan paling mendasar antara mushaf Ubay dan mushaf
utsmani adalah eksisnya dua surat ekstra dalam mushaf pertama
yang tidak ada di dalam mushaf kedua. Implikasinya dalam
penghitungan jumlah dan susunan surat telah dikemukakan di
atas. Kedua surat ekstra dalam mushaf Ubay ini – yakni sûrat al-
khal‘ (3 ayat) dan sûrat al-hafd (6 ayat) – sebagaimana akan
ditunjukkan nanti, secara fraseologis tidak dapat dihitung sebagai
bagian al-Quran.29 Penggunaan kosa kota non-quranik di dalamnya,
di samping eksisnya beberapa riwayat yang merujuknya sebagai
sekadar doa qunut, adalah bukti utama yang menunjukkan bahwa
kedua surat ini bagian al-Quran.
Mushaf Ibn Mas‘ud
Abd Allah ibn Mas‘ud adalah salah seorang sahabat Nabi yang
mula-mula masuk Islam. Sebagaimana halnya kebanyakan pengikut
awal Nabi, ia berasal dari strata bawah warga Makkah. Setelah
masuk Islam, ia mengikuti Nabi dan menjadi pembantu pribadinya.
saat Nabi memerintahkan pengikutnya untuk hijrah ke Abisinia,
ia pergi bersama pengikut awal Islam lainnya ke sana.30 Setelah
hijrah ke Madinah, ia dikabarkan tinggal di belakang Masjid
Nabawi dan berpartisipasi dalam beberapa peperangan, seperti
dalam Perang Badr – di mana ia memenggal kepala Abu Jahl, Perang
Uhud dan Perang Yarmuk. Pada masa pemerintahan Umar, Ibn
Mas‘ud dikirim ke Kufah sebagai qãdlî dan kepala perbendaharaan
negara (bayt al-mãl). Tampaknya pekerjaan sebagai abdi negara ini
tidak begitu sukses dijalaninya. Pada masa pemerintahan Utsman,
ia dipecat dari jabatannya di Kufah dan kembali ke Madinah dan
meninggal di kota ini pada 32H atau 33 H dalam usia lebih dari
60 tahun. Menurut versi lain, ia meninggal di Kufah dan tidak
dipecat dari jabatannya oleh Utsman.31
Ibn Mas‘ud merupakan salah satu otoritas terbesar dalam al-
Quran. Hubungannya yang intim dengan Nabi telah
memungkinkannya mempelajari sekitar 70 surat secara langsung
dari mulut Nabi. Riwayat mengungkapkan bahwa ia merupakan
salah seorang yang pertama-tama mengajarkan bacaan al-Quran.
Ia dilaporkan sebagai orang pertama yang membaca bagian-bagian
al-Quran dengan suara lantang dan terbuka di Makkah, sekalipun
mendapat tantangan yang keras dari orang-orang Quraisy yang
melemparinya dengan batu.32 Lebih jauh, sebagaimana telah
disinggung, hadits juga mengungkapkan bahwa ia merupakan salah
seorang dari empat sahabat yang direkomendasikan Nabi sebagai
tempat bertanya tentang al-Quran.33 Otoritas dan popularitasnya
dalam al-Quran memuncak saat bertugas di Kufah, di mana
mushafnya memiliki pengaruh yang luas.
Tidak ada informasi yang jelas kapan Ibn Mas‘ud mengawali
pengumpulan mushafnya. Kelihatannya, ia mulai mengumpulkan
wahyu-wahyu pada masa Nabi dan melanjutkannya sepeninggal
Nabi. Setelah ditempatkan di Kufah, ia berhasil memapankan
pengaruh mushafnya di kalangan penduduk kota ini . saat
Utsman mengirim salinan resmi teks al-Quran standar ke Kufah
dengan perintah untuk memusnahkan teks-teks lainnya, dikabarkan
bahwa Ibn Mas‘ud menolak menyerahkan mushafnya, jengkel
sebab sebuah teks yang disusun seorang pemula seperti Zayd ibn
Tsabit lebih diutamakan dari mushafnya. Padahal, ia telah menjadi
Muslim tatkala Zayd masih tenggelam dalam alam kekafiran.34
Di Kufah sendiri, beberapa Muslim menerima keberadaan
mushaf baru yang dikeluarkan Utsman. namun , sebagian besar
penduduk kota ini tetap memegang mushaf Ibn Mas‘ud, yang saat
itu telah dipandang sebagai mushaf orang-orang Kufah. Kuatnya
pengaruh mushaf Ibn Mas‘ud bisa dilihat dari beberapa mushaf
sekunder – misalnya mushaf Alqamah ibn Qais, Mushaf al-Rabi‘
ibn Khutsaim, mushaf al-Aswad, mushaf al-A‘masy, dan lainnya –
yang mendasarkan teksnya pada mushaf Ibn Mas’ud.35 Dari
Keberhasilannya di Kufah inilah mushaf Ibn Mas‘ud kemudian
mendapat tempat di kalangan pengikut Syi‘ah.
Salah satu karakteristik mushaf Ibn Mas‘ud adalah ketiadaan 3
surat pendek – yakni surat 1, 113 dan 114 – di dalam teksnya. Riwayat
lain mengungkapkan bahwa hanya 2 surat – yakni surat 113 dan 114
– yang tidak ada dalam mushafnya.36 Penyusun Fihrist
mengungkapkan bahwa ia telah melihat sebuah manuskrip mushaf
Ibn Mas‘ud yang berusia sekitar 200 tahun yang mencantumkan
pembuka kitab (surat 1). namun , ia menambahkan bahwa dari
beberapa manuskrip mushaf Ibn Mas‘ud yang telah dilihatnya,
tidak ada satupun yang bersesuaian antara satu dengan lainnya.37
Karakteristik lainnya dari mushaf Ibn Mas‘ud terletak pada
susunan surat di dalamnya yang berbeda dari mushaf utsmani.
Ada dua riwayat tentang susunan surat dal