am mushaf Ibn Mas‘ud,
yang secara keseluruhannya bersesuaian antara satu dengan lainnya.
Riwayat pertama dikemukakan Ibn al-Nadim berdasar otoritas
ibn Syadzan,38 dan riwayat kedua diungkapkan al-Suyuthi mengutip
pernyataan ibn Asytah yang kembali kepada Jarir ibn Abd al-
Hamid.39 Kedua riwayat ini dapat disajikan sebagai berikut:
Susunan Surat Ibn Mas‘ud Menurut Fihrist dan Itqãn
Susunan Surat Menurut Fihrist Susunan Surat Menurut Itqãn
No. Nama surat* No. Surat* Nama Surat* No. Surat*
1 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2
2 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4
3 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3
4 al-A‘rãf 7 al-A‘rãf 7
5 al-An‘ãm 6 al-An‘ãm 6
6 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5
7 Yûnus 10 Yûnus 10
8 al-Tawbah 9 al-Tawbah 9
9 al-Nahl 16 al-Nahl 16
10 Hûd 11 Hûd 11
11 Yûsuf 12 Yûsuf 12
12 al-Isrã’ 17 al-Kahfi 18
13 al-Anbiyã’ 21 al-Isrã’ 17
14 al-Mu’minûn 23 al-Anbiyã’ 21
15 al-Syu‘arã’ 26 Thã Hã 20
16 al-Shãffãt 37 al-Mu’minûn 23
17 al-Ahzãb 33 al-Syu‘arã’ 26
18 al-Qashash 28 al-Shãffãt 37
19 al-Nûr 24 al-Ahzãb 33
20 al-Anfãl 8 al-Hajj 22
21 Maryam 19 al-Qashash 28
22 al-‘Ankabût 29 al-Naml 27
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 199
23 al-Rûm 30 al-Nûr 24
24 Yã Sîn 36 al-Anfãl 8
25 al-Furqãn 25 Maryam 19
26 al-Hajj 22 al-‘Ankabût 29
27 al-Ra‘d 13 al-Rûm 30
28 Saba’ 34 Yã Sîn 36
29 Fãthir 35 al-Furqãn 25
30 Ibrãhîm 14 al-Hijr 15
31 Shãd 38 al-Ra‘d 13
32 Muhammad 47 Saba’ 34
33 Luqmãn 31 Fãthir 35
34 al-Zumar 39 Ibrãhîm 14
35 al-Mu’min 40 Shãd 38
36 al-Zukhruf 43 Muhammad 47
37 Fushshilat 41 Luqmãn 31
38 al-Ahqãf 46 al-Zumar 39
39 al-Jãtsiyah 45 al-Mu’min 40
40 al-Dukhãn 44 al-Zukhruf 43
41 al-Fath 48 Fushshilat 41
42 al-Hadîd 57 al-Syûrã 42
43 al-Hasyr 59 al-Ahqãf 46
44 al-Sajdah 32 al-Jãtsiyah 45
45 Qãf 50 al-Dukhãn 44
46 al-Thalãq 65 al-Fath 48
47 al-Hujurãt 49 al-Hasyr 59
48 al-Mulk 67 al-Sajdah 32
49 al-Tagãbun 64 al-Thalãq 65
50 al-Munãfiqûn 63 al-Qalam 68
51 al-Jumu‘ah 62 al-Hujurãt 49
52 al-Shaff 61 al-Mulk 67
53 al-Jinn 72 al-Tagãbun 64
54 Nûh 71 al-Munãfiqûn 63
55 al-Mujãdilah 58 al-Jumu‘ah 62
56 al-Mumtahanah 60 al-Shaff 61
57 al-Tahrîm 66 al-Jinn 72
58 al-Rahmãn 55 Nûh 71
59 al-Najm 53 al-Mujãdilah 58
60 al-Dzaãriyãt 51 al-Mumtahanah 60
61 al-Thûr 52 al-Tahrîm 66
62 al-Qamar 54 al-Rahmãn 55
63 al-Hãqqah 69 al-Najm 53
64 al-Wãqi‘ah 56 al-Thûr 52
65 al-Qalam 68 al-Dzãriyãt 51
66 al-Nãzi‘ãt 79 al-Qamar 54
67 al-Ma‘ãrij 70 al-Wãqi‘ah 56
68 al-Mudatstsir 74 al-Nãzi‘ãt 79
69 al-Muzammil 73 al-Ma‘ãrij 70
70 al-Muthaffifîn 83 al-Mudatstsir 74
71 ‘Abasa 80 al-Muzammil 73
72 al-Insãn 76 al-Muthaffifîn 83
73 al-Qiyãmah 75 ‘Abasa 80
74 al-Mursalãt 77 al-Insãn 76
75 al-Naba’ 78 al-Mursalãt 77
76 al-Takwîr 81 al-Qiyãmah 75
77 al-Infithãr 82 al-Naba’ 78
78 al-Gãsyiyah 88 al-Takwîr 81
79 al-A‘lã 87 al-Infithãr 82
80 al-Layl 92 al-Gãsyiyah 88
200 / TAUFIK ADNAN AMAL
81 al-Fajr 89 al-A‘lã 87
82 al-Burûj 85 al-Layl 92
83 al-Insyiqãq 84 al-Fajr 89
84 al-‘Alaq 96 al-Burûj 85
85 al-Balad 90 al-Insyiqãq 84
86 al-Dluhã 93 al-‘Alaq 96
87 Alam Nasyrah 94 al-Balad 90
88 al-Thãriq 86 al-Dluhã 93
89 al-‘Ãdiyãt 100 al-Thãriq 86
90 al-Mã‘ûn 107 al-‘Ãdiyãt 100
91 al-Qãri‘ah 101 al-Mã‘ûn 107
92 al-Bayyinah 98 al-Qãri‘ah 101
93 al-Syams 91 al-Bayyinah 98
94 al-Tîn 95 al-Syams 91
95 al-Humazah 104 al-Tîn 95
96 al-Fîl 105 al-Humazah 104
97 Quraisy 106 al-Fîl 105
98 al-Takãtsur 102 Quraisy 106
99 al-Qadr 97 al-Takãtsur 102
100 al-‘Ashr 103 al-Qadr 97
101 al-Nashr 110 al-Zalzalah 99
102 al-Kawtsar 108 al-‘Ashr 103
103 al-Kãfirûn 109 al-Nashr 110
104 al-Lahab 111 al-Kawtsar 108
105 al-Ikhlãsh 112 al-Kãfirûn 109
106 al-Lahab 111
107 al-Ikhlãsh 112
108 Alam Nasyrah 94
Keterangan: * Nama dan nomor surat mengikuti edisi al-Quran negara kita .
Setelah menuturkan riwayat susunan surat di atas, penulis
Fihrist menambahkan bahwa jumlah keseluruhan surat yang ada
dalam mushaf Ibn Mas‘ud adalah 110 surat.40 namun , seperti terlihat,
jumlah surat yang disebutkan dalam riwayat yang ditabulasikan
di atas hanya mencapai 105 surat. Ini berarti 6 surat – jika surat 1;
113 dan 114 tidak dihitung – tidak tercantum dalam daftar ini ,
yaitu surat 15; 18; 20; 27; 42; dan 99, yang mungkin terlewatkan
secara tidak sengaja dalam periwayatannya atau sekadar kesalahan
penulisan. namun , surat-surat yang hilang ini semuanya ada dalam
daftar surat versi Itqãn. Demikian pula, versi Itqãn hanya memiliki
108 surat dalam daftarnya. Di samping surat 1; 113 dan 114, yang
hilang dalam daftar ini sebanyak 3 surat – surat 50; 57 dan 69
– mungkin dengan sebab yang sama. Namun, ketiga surat ini
ada dalam daftar Fihrist. Jadi kedua daftar di atas berhubungan
cukup dekat antara satu dengan lainnya, yang memampukan kita
mengisi surat-surat hilang dalam masing-masing daftar ini .
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 201
Susunan surat dalam mushaf Ibn Mas‘ud, dengan demikian,
memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan dengan susunan
surat mushaf utsmani. namun , sebagaimana mushaf utsmani, prinsip
yang dipegang dalam menyusun tata urutan surat adalah dari surat-
surat panjang ke surat-surat pendek. Riwayat tentang daftar susunan
surat Ibn Mas‘ud ini – demikian pula dengan daftar susunan surat
mushaf sahabat Nabi lainnya – patut dicurigai sebagai rekayasa
belakangan dari orang-orang yang telah akrab dengan susunan
surat mushaf utsmani. Nama-nama surat yang muncul dalam
daftar-daftar ini hampir semuanya sama dengan nama-nama
surat yang biasa dirujuk dalam mushaf utsmani yang muncul
belakangan. Jeffery menduga bahwa penyusun daftar-daftar surat
ini mengenal dengan akrab susunan surat utsmani, namun
ia menyadari bahwa surat-surat itu disusun secara berbeda dalam
mushaf-mushaf lainnya. sebab itu, disusunlah suatu daftar
susunan surat untuk mengekspresikan perbedaannya dari mushaf
utsmani.
Dari segi ortografi, bisa ditemukan beberapa kecil perbedaan
antara mushaf Ibn Mas‘ud dan teks standar al-Quran edisi Mesir.42
Kata kullamã ( )) dalam keseluruhan al-Quran – misalnya 2:20,87;
3:37; 4:56; 11:38; dan lain-lain – dipisahkan penulisannya (,)
dalam teks Ibn Mas’ud. Demikian pula, penyalinan kata syay’ (bc )
dalam kasus marfû‘ dan majrûr dilakukan secara terpisah (3c).
Ungkapan hîna’idzin (d-) dalam 56:84, juga disalin terpisah
(K.4-). Hal senada terjadi pada huruf-huruf potong di permulaan
beberapa surat, misalnya 25:1 (e) disalin terpisah (f<=).
Sebaliknya, beberapa kata yang dipisahkan penulisannya dalam
teks utsmani, disatukan penulisannya dalam teks Ibn Mas‘ud.
Contohnya adalah ungkapan, min ba‘di him min (4,F.MW84,) dalam
2:253, yang menyatukan penulisan dua kata terakhir (4 F); dan
ungkapan man dzã (4,) dalam 57:11, disatukan menjadi mandzã
(,). Kasus-kasus semacam ini hanya merupakan varian ortografis
dan tidak memiliki pengaruh apapun terhadap substansi makna
secara keseluruhan.
Perbedaan yang lebih mendasar antara mushaf Ibn Mas‘ud
dan mushaf standar utsmani bisa dilihat pada perbedaan vokalisasi
konsonan yang sama, pemberian titik diakritis terhadap kerangka
konsonantal yang sama, kerangka konsonantal yang berbeda,
penyisipan atau pengurangan kata/sekelompok kata, penempatan
kata pada posisi yang terbalik. Eksistensi ayat-ayat tambahan
ataupun ayat-ayat alternatif, dan beberapa bacaan Syi‘ah juga dapat
memperpanjang daftar perbedaan ini. Beberapa ilustrasi berikut
akan menampakkan perbedaan-perbedaan ini .
Perbedaan vokalisasi antara bacaan Ibn Mas‘ud dan teks
utsmani terlihat cukup banyak. Seperti halnya Ubay, bacaan Ibn
Mas‘ud untuk 2:18 adalah shumman bukman ‘umyan. Kata
tasã’alûna dalam 4:1, di dalam teks Ibn Mas’ud berbunyi tas’alûna.
Masih dalam surat yang sama (4:6), kata rusydan dibaca rasydan.
Sementara kata su’ila dalam 2:108, dibaca sa’ala, sehingga
menjadikan Musa sebagai penanya.
Sisipan atau penghilangan partikel gramatik juga turut
mempengaruhi vokalisasi. Ungkapan tathawwa‘a khayran dalam
2:184, di tengahnya disisipkan partikel bi (8) dalam mushaf Ibn
Mas‘ud, sehingga vokalisasi ungkapan itu berubah menjadi
tathawwa‘a bikhayrin; di depan kata al-fãhisyata (4:15), juga
disisipkan partikel yang sama, sehingga bacaannya menjadi bi-l-
fãhisyati. Partikel lainnya, min (4,), disisipkan di depan kata ba’sa
dalam 4:84, sehingga terbaca min ba’si; dalam 17:1, kata laylan
berubah bacaannya setelah disisipkan partikel ini menjadi
min al-layli. Kasus senada ditemukan dalam 83:28, di mana kata
‘aynan berubah menjadi min ‘aynin. Sementara penghilangan
partikel gramatik yang mempengaruhi vokalisasi bisa dilustrasikan
dengan penghilangan anna dalam ungkapan wa anna-llãha (3:171),
sehingga bacaannya menjadi wa-llãhu; atau penghilangan ‘an (4L )
dalam 8:1, sehingga bacaan dalam teks utsmani yas’alûnaka ‘an al-
anfãli menjadi yas’alûnaka al-anfãla; dan penghilangan min (4,)
dalam ungkapan min qabli (57:10), yang merubah bacaan menjadi
qabla. namun , kasus-kasus perbedaan vokalisasi semacam ini hanya
merupakan varian gramatikal.
Pemberian titik diakritis (i‘jam) berbeda terhadap kerangka
konsonantal yang sama dapat ditelusuri dalam mushaf Ibn Mas‘ud.
Kerangka konsonantal *8 dalam 7:57, diberi satu titik di bawah
huruf pertama dan dibaca busyran (*8) dalam teks utsmani, namun
dalam teks Ibn Mas‘ud titik diakritis ditempatkan di atasnya
sehingga terbaca nusyran (*7). Jadi, perbedaannya hanya terletak
pada pemberian satu titik di atas atau di bawah kerangka huruf
pertama. Tidak berbeda dari Ubay, Ibn Mas‘ud juga membaca
kerangka konsonantal 11:116 -R R8 – yang dalam teks utsmani dibaca
baqiyyatin (-R R8) – sebagai taqiyyatin (-R R8). Di sini, perbedaannya
adalah penempatan satu titik di bawah kerangka huruf pertama
atau dua titik di atasnya. Dalam 21:96, kerangka konsonantal gMO
– dalam teks utsmani: hadabin (M) – dibaca Ibn Mas‘ud sebagai
jadatsin (gMO). Dengan demikian, letak perbedaan adalah
pemberian satu titik di bawah kerangka huruf terakhir atau
pemberian satu titik di bawah kerangka huruf pertama dan tiga
titik di atas kerangka huruf terakhir.
Perbedaan penempatan titik diakritis menyangkut prefiks
(sãbiqah) kata kerja bisa diilustrasikan dengan 3:48. Kerangka huruf
pertama kata ( )W diberi dua titik di bawahnya dalam mushaf
utsmani, sehingga terbaca yu‘allimuhu (( )W) – prefiks orang ketiga
tunggal; sementara dalam mushaf Ibn Mas‘ud, kerangka huruf
ini diberi satu titik di atasnya dan dibaca nu‘allimuhu (( )W7)
– prefiks orang pertama jamak. Masih dalam surat yang sama (3:49),
kerangka huruf kedua dari teks konsonantal - diberi dua titik
di bawahnya dalam mushaf utsmani dan dibaca fayakûnu (-) –
prefiks orang ketiga jamak; sementara teks Ibn Mas‘ud memberikan
dua titik di atas kerangka huruf senada dan menghasilkan bacaan
fatakûnu () – prefiks orang kedua jamak. Kasus terakhir, tanpa
partikel fa, juga ditemukan dalam 10:78. Perbedaan penempatan
titik-titik diakritis untuk prefiks ini tidak mempengaruhi makna
secara substansial.Bahkan, perbedaan pemberian titik-titik
diakritis yang menghasilkan kata-kata berbeda – seperti busyran
menjadi nusyran dan seterusnya – juga tidak mempengaruhi makna
pada umumnya.
Perbedaan kerangka grafis kata-kata tertentu di dalam mushaf
Ibn Mas‘ud terlihat cukup masif jika dibandingkan dengan teks
utsmani. Kata ’ihdinã (“tunjukilah kami”) dalam teks utsmani (1:6),
dibaca ’arsyidnã yang memiliki makna senada; kata al-islãmu dalam
3:19, dibaca al-hanîfiyyatu, yang juga memiliki kandungan makna
senada; kata aydiyahumã (“tangan keduanya”) dalam 5:38, dibaca
aymãnahumã (“tangan kanan keduanya”); kata zukhrufin dalam
17:93, dibaca dzahabin, yang lebih tegas bermakna “emas”;
ungkapan fakhasyînã (“maka kami cemas”) dalam 18:80, dibaca
fakhãfa rabbuka (“maka Tuhanmu khawatir”); dan lain-lain. Varian-
varian bacaan semacam ini terlihat hanya mengungkapkan sinonim
dari gagasan-gagasan yang sama, dan dengan demikian tidak
mendistorsi makna secara keseluruhan. Namun, beberapa varian
kata atau ungkapan lainnya, yang memiliki kerangka konsonantal
berlainan, ternyata tidak hanya telah menimbulkan pergeseran
makna, namun juga telah mendistorsi teks di mana ia ditempatkan.
Contohnya, kata baydlã’a (“putih”) dalam teks utsmani (37:46),
dibaca oleh Ibn Mas‘ud shafrã’a (“kuning”); kata ilyãsa dan ilyãsîn
dalam 37: 123,130, dibaca secara berturut-turut sebagai idrîsa dan
idrãsîn, keduanya menunjuk kepada nama dua nabi yang berbeda.
Penambahan atau penyisipan kata juga terlihat dalam teks Ibn
Mas‘ud. Apakah sisipan ini merupakan koreksi teks atau sekedar
penjelasan tambahan, sulit ditetapkan. Setelah ungkapan
limanittaqã dalam 2:203, teks Ibn Mas‘ud menambahkan kata
allãha. Masih dalam surat yang sama (2:213), setelah ungkapan
ummatan wãhidatan, ada tambahan kata fa-khtalafû. Senada
dengan ini, setelah kata al-jamalu dalam 7:40, ditambahkan kata
al-ashfaru; dan setelah ungkapan min qabli hãdzã dalam 11:49,
disisipkan kata al-qur’ãni. Masih banyak contoh jenis ini yang
terserak dalam mushaf Ibn Mas‘ud.
Terkadang, sisipan dalam teks Ibn Mas‘ud terdiri dari
sekelompok kata. Sisipan jenis ini dapat diilustrasikan secara singkat
dengan mengutip teks utsmani dan menempatkan sisipan Ibn
Mas‘ud di dalam tanda kurung. Seringkali, sisipan itu muncul di
tengah-tengah suatu ayat, seperti dalam 2:198: min rabbikum (+ fî
mawãsim al-hajji), “dari Tuhan kamu ( + di musim-musim haji);”
atau dalam 5:89: fashiyãmu tsalãtsati ayyãmin (+ mutatãbi‘ãtin),
“maka berpuasalah selama tiga hari ( + berturut-turut);” atau dalam
11:71, wa-mra’atuhu qãimatun (+ wa huwa qã‘idun), “Dan isterinya
berdiri ( + sementara dia [ Ibrahim ] duduk).” Dalam kasus lain,
sisipan dimasukkan di beberapa tempat dalam satu ayat, seperti
dalam 3:50: wa ji’tukum bi-ãyatin (bi-ãyãtin45 ) min rabbikum
fattaqû-llãha (+ limã ji’tukum bihi min al-ãyãti) wa ’athî‘ûni (+
fîmã ’ad‘ûkum ilayhi), “dan aku datang kepada kalian dengan
pertanda (pertanda-pertanda) dari Tuhanmu, sebab itu bertakwalah
kepada Allah ( + yang sebab dengan pertanda-pertanda-Nya aku
datang kepada kalian) dan taatlah kepadaku ( + dalam hal yang
aku serukan kalian kepadanya);” atau dalam 33:6: wa azwãjuhu
ummahãtuhum (+ wa hua ’abun lahum), “dan isteri-isterinya adalah
ibu-ibu mereka ( + dan dia [Muhammad] adalah bapak mereka).”
Sisipan atau tambahan kelompok kata dalam mushaf Ibn
Mas‘ud terkadang ditempatkan di penghujung ayat. Contohnya
adalah di akhir 34:44, setelah kata nadzîrin, disisipkan ungkapan
“wa qãla-lladzîna kadzdzabû in hãdzã illã hadîtsun muftaran.”
Pada bagian akhir 53:58, setelah kata kãsyifatun, ditambahkan
kalimat “wa hiya ‘alã al-zhãlimîna nãrun hãmiyatun.” Demikian
pula, di penghujung 87:16, setelah kata al-dunyã, ada sisipan
“‘alã al-ãkhirati,” dan lain-lain.
Bentuk tambahan teks lainnya dalam mushaf Ibn Mas‘ud
adalah sisipan ayat. Dalam surat 37, sesudah ayat 169, disisipkan
sebuah ayat wa innã ’ilayhi larãgibûn
, “Dan sungguh
kami ingin kembali kepadanya.” Demikian pula, dalam surat 39,
di antara ayat 23 dan 24, ada tambahan satu ayat:
Artinya:
Dan orang-orang yang membatu hatinya untuk mengingat
Tuhan, maka sesungguhnya Allah akan menyesatkan orang
yang Dia kehendaki.
Sementara dalam surat 53, setelah ayat 60, ditambahkan ayat
berikut ini:
Artinya:
Dan apabila datang kepada kalian rasul dari Kami, kalian
menertawakannya dan tidak percaya.
Dalam beberapa kesempatan, yang muncul dalam teks Ibn
Mas‘ud adalah ayat-ayat alternatif. Dalam 13:30, bacaan
alternatifnya terdiri dari satu ayat:
Artinya:
Dan tidaklah Aku utus para rasul dan aku turunkan kitab-
kitab, kecuali dalam bahasa kaumnya, agar para rasul itu
membacakannya dan menjelaskannya kepada mereka
keutamaan dari Allah.
Demikian pula dalam 4:10, ayat alternatif dalam mushaf Ibn
Mas‘ud berbunyi:
Artinya:
Dan barang siapa memakan harta anak yatim secara zalim,
maka sebenarnya ia telah menelan api ke dalam perutnya dan
ia akan masuk ke dalam api neraka.
Dalam 52:47, ayat alternatifnya adalah:
Artinya:
Sesungguhnya bagi orang-orang kafir ada azab selain dari itu,
yang sangat dekat, namun mereka tidak mengetahuinya.47
Dalam kasus-kasus tertentu, bacaan alternatif Ibn Mas‘ud terdiri
dari dua ayat, misalnya dalam 52:43:
Artinya:
Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah, maka
datangkanlah tuhan mereka jika mereka orang-orang yang
benar.
Maha suci Tuhanmu, Tuhan langit dan bumi, dari apa yang
mereka sifatkan.
Dua ayat alternatif, terkadang muncul secara berurutan dalam
mushaf Ibn Mas‘ud menggantikan dua ayat – yang juga berurutan
– dalam teks utsmani. Jadi dalam 19:2,3, dua ayat alternatif yang
muncul secara berurutan adalah:
Artinya:
Sebutkanlah rahmat Tuhanmu al-Rahman (yang pengasih).
saat Zakariya mengungkapkan kepada-Nya doa.
Demikian pula, dalam 20:60,61, dua ayat alternatif di sini
adalah:
Artinya:
Maka kembalilah Fir’aun dan mengumpulkan (kekuatan)
sihirnya, kemudian ia datang
Musa berkata kepada mereka: “Celakalah kalian. Jangan
katakan dusta kepada Allah”.
Sementara dalam 84:7,8, dua ayat alternatif yang muncul dalam
teks Ibn Mas‘ud adalah:
Artinya:
Maka barang siapa yang kitabnya datang dari sebelah kanan,
Allah akan menghisabnya dengan perhitungan yang mudah.48
Beberapa ayat sisipan atau ayat alternatif lazim dirujuk sebagai
bacaan atau ayat Syi‘ah. Sebagian di antaranya telah dikemukakan
di atas saat membahas mushaf Ali dan Ubay, yang juga memiliki
bacaan senada dengan Ibn Mas‘ud dalam kasus-kasus yang telah
dibahas. Ilustrasi lainnya bisa disimak dalam 97:4. Ayat alternatif
berbau Syi‘ah di bagian ini adalah: tanazzalu al-malã’ikatu wa al-
rûh fîhã min ‘indi rabbihim ‘alã muhammadin wa ãli
muhammadin bi-kulli ’amrin, “Pada malam itu turun para malaikat
dan Jibril dari sisi Tuhannya kepada Muhammad dan keluarganya
dengan segala urusan.” Contoh lain adalah 60:3: lan tugniya ‘ankum
arhãmukum wa lã ’awlãdukum mina-llãhi syay’an bal wilãyatukum
li-’ahli bayti nabiyyikum, “ Kaum kerabat dan anak-anakmu sama
sekali tidak membuatmu kaya di sisi Allah kecuali kamu
menjadikan ahli bait nabimu sebagai walimu,” dan lain-lain.49
Bacaan-bacaan Syi‘ah semacam ini, sebagaimana telah disebutkan,
dipandang sebagai rekayasa belakangan untuk memuliakan ahl al-
bayt. sebab itu, bacaan-bacaan ini ditolak keabsahannya
sebagai varian bacaan al-Quran dan diragukan eksistensinya dalam
mushaf orisinal Ibn Mas‘ud atau mushaf sahabat Nabi lainnya.
Di atas telah dibahas penghilangan partikel gramatikal yang
pada gilirannya mempangaruhi vokalisasi teks. Selain penghilangan
semacam itu, di dalam mushaf Ibn Mas‘ud ada bentuk-bentuk
lainnya berupa penghilangan kata atau kelompok kata dan bahkan
ayat. Penghilangan atau pengurangan kata bisa diilustrasikan, antara
lain, dengan 5:118, di mana kata innahum dihilangkan dari
ungkapan fa-innahum ‘ibãduka, sehingga yang tersisa adalah fa-
‘ibãduka; atau pengurangan kata dzãlika dalam ungkapan dzãlika
khayrun (7:26); atau penghilangan kata ‘asyri dalam ungkapan bi-
‘asyri suwarin (11: 13); atau penghilangan kata yad‘ûna dalam
ungkapan wa-lladzîna yad‘ûna (13:14); dan penghilangan kata qul
dan allãh dalam 112:1,2. namun , penghilangan atau pengurangan
semacam ini secara umum tidak banyak mempengaruhi makna teks.
Demikian pula, pengurangan atau penghilangan kelompok
kata – yang juga muncul dalam teks Ibn Mas‘ud – dalam
kebanyakan kasus terlihat tidak begitu mempengaruhi makna teks
secara umum. Jenis pengurangan semacam ini bisa diilutrasikan
dengan penghilangan ungkapan wa lã yaltafit minkum ’ahadun
dalam 11:81, yang tidak mempengaruhi makna keseluruhan
konteks ayat, bahkan terlihat lebih ringkas; atau penghilangan
ungkapan wallã mustakbiran kãna lam yasma‘hã dalam 31:7, yang
tidak mempengaruhi makna keseluruhan ayat; dan penghilangan
ungkapan min sû’i al-‘adzãb dalam 39:47, yang juga tidak
mempengaruhi makna umum konteks ayat. Bahkan, saat satu
ayat dihilangkan seluruhnya, seperti dalam 94:6 – merupakan
satu-satunya kasus dalam teks Ibn Mas‘ud – “inna ma‘a al-‘usri
yusran,” maka maknanya juga tidak terdistorsi, sebab ayat ini
merupakan pengulangan dari ayat sebelumnya (94:5), dan posisinya
di sini barangkali hanya untuk memberi penekanan atau penegasan.
Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari
Abu Musa al-Asy‘ari, berasal dari Yaman, tergolong ke dalam
kelompok orang yang masuk Islam pada masa awal. Dikabarkan
bahwa ia juga turut berhijrah ke Abisinia dan baru kembali pada
masa penaklukan Khaibar. Setelah itu, ia diberi posisi sebagai
gubernur suatu distrik oleh Nabi. Pada 17H, Khalifah Umar
mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah. Pada masa
pemerintahan Utsman ia dicopot dari jabatan ini dan akhirnya
diangkat kembali dalam jabatan yang sama di kota Kufah. saat
Utsman terbunuh, penduduk kota Kufah menentang Ali ibn Abi
Thalib, yang memaksa Abu Musa melarikan diri dari kota itu. Ia
juga terlihat terlibat dalam Perang Shiffin pada 37H antara Ali
dan Mu‘awiyah, sebagai arbitrator untuk Khalifah Ali, namun gagal
memainkan perannya. Di sinilah akhir aktivitas Abu Musa dalam
percaturan politik. Dikabarkan ia kembali ke Makkah, lalu ke
Kufah dan meninggal di sana pada 42 atau 52H.
Abu Musa sejak awalnya telah tertarik kepada pembacaan al-
Quran. Dikabarkan bahwa suara bacaan al-Qurannya sangat
terkenal di masa Nabi. Mushaf al-Qurannya barangkali mulai
dikumpulkan pada masa Nabi, lalu diselesaikannya setelah itu.
saat menjabat sebagai gubernur Bashrah, mushafnya – biasa
disebut dan dirujuk dengan nama Lubãb al-Qulûb – mulai diterima
dan akhirnya dijadikan sebagai teks otoritatif penduduk kota
ini . Beberapa pernyataan menarik dikemukakan dalam karya
Ibn Abi Dawud, Kitãb al-Mashãhif, yang memperkuat dugaan
tentang independensi mushaf Abu Musa.
Pernyataan pertama, Yazid ibn Mu‘awiyah mengisahkan bahwa
pada suatu saat di masa al-Walid ibn Uqbah ia berada di mesjid
dan bergabung dalam suatu halaqah, yang juga dihadiri Hudzayfah
ibn al-Yaman (w. 36H); kemudian terdengar seruan bahwa orang-
orang yang mengikuti bacaan Abu Musa agar berkumpul di gerbang
Kindah, dan yang membaca menurut bacaan Ibn Mas‘ud agar
datang ke dekat rumah Abd Allah. saat mendengar kedua
kelompok itu berbeda dalam pembacaan surat 2:196,50 Khudzayfah
naik pitam dan bersumpah bahwa seseorang harus membuat
Khalifah Utsman mengambil tindakan terhadap hal ini .51
Yang kedua – merupakan varian pernyataan pertama – adalah
pernyataan Abu al-Sya‘tsa’ tentang bagaimana Khudzayfah
memprotes kedua bacaan di atas dan bermaksud mendatangi
Khalifah Utsman untuk memintanya menyatukan bacaan-bacaan
yang berbeda itu, namun ia dimarahi oleh Abd Allah hingga
terdiam.52 Pernyataan lainnya adalah yang diberitakan dari Abd
al-A‘la ibn al-Hakam al-Kilabi bahwa saat dia masuk ke rumah
Abu Musa, datang seorang utusan ke Bashrah membawa salinan
mushaf standar utsmani yang harus mereka ikuti. Abu Musa
kemudian berkata bahwa bagian apapun dalam mushafnya yang
bersifat tambahan bagi mushaf utsmani agar jangan dihilangkan,
namun apabila ada sesuatu dalam mushaf utsmani yang tidak
ada di dalam mushafnya agar ditambahkan.
Dalam perjalanan selanjutnya, mushaf Abu Musa terlihat
tenggelam dan memudar pengaruhnya dengan diterimanya mushaf
utsmani sebagai mushaf otoritatif. Hal ini bisa dilihat pada
kenyataan bahwa hanya beberapa kecil varian bacaannya yang
sampai ke tangan kita. Berbeda dari mushaf Ubay dan Ibn Mas‘ud,
tidak ada riwayat yang menuturkan tentang susunan surat di dalam
mushafnya, selain riwayat bahwa dua surat ekstra yang ada dalam
mushaf Ubay – yakni sûrat al-khal‘ dan sûrat al-hafd – ada
dalam mushafnya.54 Demikian pula, diriwayatkan bahwa ayat
sisipan dalam mushaf Ubay – yakni di antara ayat 24 dan 25 dalam
surat 10, seperti telah disinggung di atas55 – biasa dibaca Abu
Musa dalam suatu surat yang panjangnya menyerupai surat 9, namun
yang diingatnya tinggal ayat itu,56 dan juga suatu surat lainnya
yang semisal musabbihãt,57 namun yang bisa ia ingat dari surat
ini hanyalah ayat yang mirip dengan 61:2.58 “Ayat-ayat” ini
diriwayatkan di dalam hadits-hadits sebagai bagian al-Quran yang
terhapus; dan hadits-hadits tentang penghapusan ini tidak dapat
dipercaya sama sekali. Tampaknya kedua ayat yang dipermasalahkan
di sini tidak ada di dalam kodeks Abu Musa; sebab kalau
tercantum di dalamnya, maka tentu tidak mudah baginya
melupakan surat-surat yang di dalamnya ada kedua ayat
ini
Penelusuran yang dilakukan Jeffery terhadap varian bacaan
Abu Musa hanya mengungkapkan suatu jumlah yang relatif kecil
dibandingkan dengan nama besarnya. Ia hanya menemukan empat
varian Abu Musa yang berbeda dari lectio vulgata. Yang pertama
adalah dalam 2:124, di mana kata ibrãhîma – demikian bacaan
resmi utsmani – telah dibaca ibrahãma oleh Abu Musa, dan bacaan
ini dipertahankan dalam keseluruhan bagian al-Quran. Yang kedua
adalah ungkapan lã ya‘qilûna dalam 5:103, dibaca lã yafqahûna,
yang tentunya merupakan sinonim. Yang ketiga adalah kata
shawãffa dalam 22:36, dibaca shawãfiya, yang tidak mempengaruhi
makna umum. Dan terakhir adalah ungkapan man qablahu dalam
69:9, dibaca man tilqã’ahu, yang juga merupakan sinonim.60 Jadi
varian-varian ini memperlihatkan tidak ada perbedaan substansial
antara mushaf Abu Musa dan Kodeks Utsmani.
Mushaf Ibn Abbas
Dalam peta perkembangan tafsir al-Quran di kalangan kaum
Muslimin, Ibn Abbas – nama sebenarnya Abu al-Abbas Abd Allah
ibn Abbas, keponakan Nabi – menduduki posisi sangat terkemuka.
Hal ini terlihat dari figurisasi dirinya sebagai tarjumãn al-qur’ãn
(“penafsir al-Quran terbaik”), al-bahr (“lautan,” yakni berilmu
sedalam lautan), dan habr al-ummah (“intelektual umat”).
Kelahirannya diperkirakan pada masa saat banu Hasyim
diblokade di al-Syi‘b, beberapa tahun sebelum Nabi hijrah ke
Madinah.
Nama Ibn Abbas mulai menonjol setelah Khalifah Utsman
mempercayakannya memimpin ibadah haji pada 35H, suatu tahun
yang menentukan dalam perjalanan politik Utsman. Lantaran hal
itulah ia tidak ada di Madinah saat Utsman dibunuh. Pada masa
kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, ia ditunjuk sebagai gubernur
Bashrah. saat Ali terpaksa menerima arbitrase di Shiffin, ia
berkeinginan menjadikan Ibn Abbas sebagai wakilnya, namun
ditentang para pengikutnya yang cenderung mewakilkannya kepada
Abu Musa al-Asy‘ari. Walaupun demikian, Ibn Abbas menyertai
Abu Musa dalam proses arbitrase itu, di mana Ali dimakzulkan
oleh Mu‘awiyah yang akhirnya membangun dinasti Umaiyah.
Setelah wafatnya Mu‘awiyah, Ibn Abbas menyatakan kesetiaannya
kepada Yazid (w. 683) – anak Mu‘awiyah, yang melanjutkan
kepemimpinan politik banu Umaiyah – berdasar pertimbangan
bahwa mayoritas umat Islam berada di sisi Khalifah. Ia dikabarkan
wafat di Tha‘if pada 68H – menurut sumber lain pada 69 atau 70H.61
Ibn Abbas memperoleh kemasyhuran bukan lantaran
aktivitasnya di panggung politik, namun sebab pengetahuan
agamanya yang luas, terutama dalam al-Quran. Dari kebesaran
semacam ini, seseorang bisa menduga bahwa kodeksnya akan sama
terkenal dengan mushaf sahabat-sahabat Nabi lainnya, seperti Ibn
Mas‘ud atau Ubay. namun kenyataan sejarah menunjukkan hal
berbeda: mushaf Ibn Abbas terlihat tidak pernah menjadi panutan
warga kota tertentu, sekalipun beberapa mushaf sekunder –
seperti mushaf Ikrimah, Atha’, dan Sa‘id Ibn Jubair – dipandang
meneruskan tradisi teksnya. Ketenarannya dalam tafsir terjadi pada
tahap belakangan dalam karirnya, saat ia berusaha memanfaatkan
syair-syair pra-Islam untuk menjelaskan makna al-Quran dalam
tradisi teks utsmani. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kodeks
al-Qurannya dikumpulkan pada masa mudanya.
Nama Ibn Abbas sering muncul dalam daftar orang yang
mengumpulkan al-Quran pada masa Nabi.62 namun , kenyataan
bahwa usianya masih sangat muda pada waktu itu jelas menegasikan
kemungkinan aktivitas pengumpulannya. Paling jauh, hal ini hanya
mencerminkan bahwa ia dikenal sebagai salah satu pengumpul al-
Quran pada masa pra-Utsman. Hadits juga memberitakan bahwa
ia merupakan murid Ali ibn Abi Thalib dalam masalah-masalah
al-Quran.63 namun , laporan ini – sebagaimana laporan berbau Syi‘ah
lainnya yang tendensius – sangat diragukan kebenarannya.
Jeffery menduga bahwa teks mushaf Ibn Abbas mencerminkan
salah satu bentuk tradisi teks Madinah. Dari hubungan dekatnya
yang resmi dengan Utsman pada masa persiapan kodifikasi al-
Quran, dapat dipastikan bahwa mushaf Ibn Abbas juga telah
diserahkan untuk dimusnahkan bersama mushaf-mushaf lainnya.64
Itulah sebabnya, seperti terlihat dalam pentas historis, mushaf Ibn
Abbas tidak memainkan peran yang signifikan dalam sejarah awal
teks al-Quran.
Salah satu karakteristik mushaf Ibn Abbas adalah eksisnya
dua surat ekstra – sûrat al-khal‘ dan sûrat al-hafd – di dalamnya,65
sebagaimana yang ada dalam mushaf Ubay dan Abu Musa. Dengan
demikian, jumlah keseluruhan surat yang ada di dalam mushaf
Ibn Abbas adalah sebanyak 116 surat. Sekalipun demikian, kedua
surat ekstra ini tidak muncul dalam daftar susunan surat mushafnya
yang berbeda dari aransemen surat mushaf utsmani. Az-Zanjani,
yang mengutip mukadimah tafsir al-Syahrastani, mengemukakan
susunan surat dalam mushaf Ibn Abbas sebagai berikut:66
Susunan Surat Mushaf Ibn Abbas menurut al-Syahrastani
No. surat No. Surat
Ibn Abbas Nama Surat Utsmani
1. Iqra’ 96
2. Nûn 68
3. Wa-l-dluhã 93
4. al-Muzzammil 73
5. al-Muddatstsir 74
6. al-Fãtihah 1
7. Tabbat yadã 111
8. Kuwwirat 81
9. al-A‘lã 87
10. Wa-l-layl 92
11. Wa-l-fajr 89
12. Alam Nasyrah 94
13. al-Rahmãn 55
14. Wa-l-‘Ashr 103
15. al-Kawtsar 108
16. al-Takãtsur 102
17. al-Dîn 107
18. al-Fîl 105
19. al-Kãfirûn 109
20. al-Ikhlãsh 112
21. al-Najm 53
22. al-A‘mã 80
23. al-Qadr 97
24. Wa-l-Syams 91
25. al-Burûj 85
26. al-Tîn 95
27. Quraisy 106
28. al-Qãri’ah 101
29. al-Qiyãmah 75
30. al-Humazah 104
31. Wa-l-mursalãt 77
32. Qãf 50
33. al-Balad 90
34. al-Thãriq 86
35. al-Qamar 54
36. Shãd 38
37. al-A‘rãf 7
38. al-Jinn 72
39. Yã sîn 36
40. al-Furqãn 25
41. al-Malã’ikah 35
42. Maryam 19
43. Thã hã 20
44. al-Syua‘rã’ 26
45. al-Naml 27
46. al-Qashash 28
47. Banî Isrã’îl 17
48. Yûnus 10
49. Hûd 11
50. Yûsuf 12
51. al-Hijr 15
52. al-An‘ãm 6
53. al-Shaffãt 37
54. Luqmãn 31
55. Saba’ 34
56. al-Zumar 39
57. al-Mu’min 40
58. Hã mîm al-Sajdah 41
59. Hã mîm ‘ain sin qãf 42
60. al-Zukhrûf 43
61. al-Dukhãn 44
62. al-Jãtsiyah 45
63. al-Ahqãf 46
64. al-Dzãriyãt 51
65. al-Gãsyiyah 88
66. al-Kahfi 18
67. al-Nahl 16
68. Nûh 71
69. Ibrãhîm 14
70. al-Anbiyã’ 21
71. al-Mu’minûn 23
72. al-Ra‘d 13
73. al-Thûr 52
74. al-Mulk 67
75. al-Hãqqah 69
76. al-Ma‘ãrij 70
77. al-Nisã’ 78
78. Wa-l-nãzi‘ãt 79
79. al-Infithãr 82
80. al-Insyiqãq 84
81. al-Rûm 30
82. al-‘Ankabût 29
83. al-Muthaffifîn 83
84. al-Baqarah 2
85. al-Anfãl 8
86. Ãli ‘Imrãn 3
87. al-Hasyr 59
88. al-Ahzãb 33
89. al-Nûr 24
90. al-Mumtahanah 60
91. al-Fath 48
92. al-Nisã’ 4
93. Idzã Zulzilat (al-Zalzalah) 99
94. al-Hajj 22
95. al-Hadîd 57
96. Muhammad (saw.) 47
97. al-Insãn 76
98. al-Thalaq 65
99. Lam Yakun 98
100. al-Jumu‘ah 62
101. Alîf lãm mîm al-Sajdah 32
102. al-Munãfiqûn 63
103. al-Mujãdilah 58
104. al-Hujurãt 49
105. al-Tahrîm 66
106. al-Tagãbûn 64
107. al-Shaff 61
108. al-Mã’idah 5
109. al-Tawbah 9
110. al-Nashr 110
111. al-Wãqi‘ah 56
112. Wa-l-‘Ãdiyat 100
113. al-Falaq 113
114. al-Nãs 114
Keterangan: * Nama dan nomor surat mengikuti edisi al-Quran negara kita .
Sekuensi surat dalam mushaf Ibn Abbas di atas memperlihat-
kan usaha penyusunan surat-surat mushaf utsmani dalam suatu
tatanan kronologis. Lebih jauh, susunan surat itu juga menunjuk-
kan bahwa aransemen kodeks Ibn Abbas diorganisasi setelah
penerimaan mushaf standar utsmani, sebab dua surat ekstra yang
telah disebutkan di atas tidak tercantum di dalamnya. Jeffery
menduga bahwa aransemen surat-surat dalam mushaf Ibn Abbas
merupakan rekayasa belakangan dari seseorang yang mengetahui
bahwa Ibn Abbas memiliki suatu kodeks yang susunan suratnya
berbeda dari sekuensi surat dalam mushaf utsmani.67 namun , seperti
ditunjukkan dalam bab 3, susunan kronologis surat-surat dalam
mushaf inilah, disamping riwayat-riwayat lain yang juga bersumber
dari Ibn Abbas, yang menjadi basis utama dalam usaha pemberian
penanggalan surat-surat al-Quran versi kronologi Mesir.
Bacaan-bacaan Ibn Abbas,68 dalam beberapa kasus, mendukung
varian-varian bacaan dalam tradisi teks utsmani, seperti bacaan
Hamzah (w.772), al-Kisa’i (w. 804), Ibn Katsir (w. 738), Nafi‘ (w.
785), Abu Amr (w. 770), dan Ibn Amir (w. 736), yang agak berbeda
dari bacaan Ashim (w. 745/6). Dalam kasus lainnya, bacaan-bacaan
Ibn Abbas selaras dengan bacaan Ibn Mas‘ud – merupakan kasus
paling sering – ataupun Ubay dan beberapa sahabat Nabi lainnya.
Sementara dalam kasus-kasus tertentu, bacaan Ibn Abbas
memperlihat keberadaannya sebagai bacaan independen.
Berbagai kasus perbedaan vokalisasi teks antara mushaf Ibn
Abbas dengan mushaf standar utsmani edisi Mesir dapat
dikemukakan lewat beberapa ilustrasi berikut. Kerangka grafis 4 )V
di akhir 2:124, yang dalam mushaf utsmani terbaca al-zhãlimîn
( 4- )]
), dibaca oleh Ibn Abbas sebagai al-zhãlimûn ( )]
).
Demikian pula, kerangka konsonantal R-
M dalam 11:32, yang
divokalisasi dalam mushaf utsmani sebagai jidãlanã, dibaca sebagai
jadalanã oleh Ibn Abbas. Sementara kerangka grafik M+L\ dalam
89:29, yang dalam mushaf utsmani dibaca fî ‘ibãdî (G+L\), dalam
mushaf Ibn Abbas dibaca fî ‘abdî (M+L\) – jadi perbedaan hanya
dalam bentuk jamak dan tunggal. Ilustrasi terakhir adalah 106:4,
pada kerangka konsonantal UV@
.
. Dalam mushaf utsmani, bagian
ayat ini dibaca hammãlat al-hathab (UV@
.
), sedangkan dalam
mushaf Ibn Abbas dibaca sebagai hãmilat al-hathab (UV@
.),).
Agak mirip dengannya adalah pembacaan beberapa kata dalam
bentuk jamak oleh Ibn Abbas atau sebaliknya. Untuk kasus
pembacaan kata dalam bentuk jamak, yang dalam mushaf utsmani
berbentuk tunggal, bisa diilustrasikan dengan dua kata dalam 30:41,
yakni al-barri wa-l-bahri (tunggal), yang dibaca Ibn Abbas dalam
bentuk jamak al-burûri wa-l-buhûri. Kata matsalu (n,) dalam 47:15,
dibaca sebagai amtsãlu (Jn,). Sedangkan ungkapan al-masyriq wa-
l-magrib (_
$;*
) dalam 73:9, dibaca sebagai al-masyãriq wa-
l-magãrib (_
$;*
). Kasus sebaliknya, saat teks utsmani
mengungkapkan suatu kata dalam bentuk jamak, namun dibaca
dalam bentuk tunggal oleh Ibn Abbas, bisa diilustrasikan dengan
ungkapan ãyãtun bayyinãtun dalam 3:97(C-8C / 5-85), yang
dibaca Ibn Abbas sebagai ãyatun bayyinatun (-8). Demikian pula
bentuk jamak kabã’ira (I+) dalam 4:31, dibaca sebagai kabîr (-+).
Perbedaan-perbedaan semacam ini, secara umum, tidak
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 217
mempengaruhi makna teks secara substansial.
Perbedaan pemberian titik diakritis untuk kerangka
konsonantal yang sama juga terlihat dalam mushaf Ibn Mas‘ud,
sekalipun dalam jumlah yang relatif kecil. Suatu ilustrasi yang
bisa dikemukakan di sini adalah kerangka konsonantal 6:57, yang
dalam mushaf utsmani dibaca yaqushshu al-haqq (X@
P ), dibaca
dalam mushaf Ibn Abbas – dengan sisipan partikel bi di tengah-
tengahnya dan pemberian satu titik di atas huruf ketiga kata
pertama – sebagai yaqdlî bi-l-haqqi (X@
8%Q ). Sementara kerangka
grafis M (21:96), yang dalam mushaf utsmani dibaca hadabin (
M), oleh Ibn Abbas dibaca sebagai jadatsin (gMO) – sama dengan
bacaan Ibn Mas‘ud. Demikian pula, kerangka konsonantal M+L
dalam 43:19, yang dalam mushaf utsmani dibaca ‘ibãd (M+L / G+L),
dibaca sebagai ‘inda (ML). Jadi, perbedaannya di sini hanya terletak
pada pemberian satu titik di atas atau di bawah huruf kedua. Secara
kontekstual, perbedaan semacam ini belum mengakibatkan
perubahan yang substansial terhadap makna keseluruhan ayat.
Dalam beberapa kasus ditemukan perbedaan kerangka grafis.
Kata shirãth (=A) dalam mushaf utsmani (misalnya 1:6), dalam
keseluruhan mushaf Ibn Abbas disalin dengan sirãth (=).
Perbedaan kerangka konsonantal di sini barangkali mengekspresi-
kan perbedaan dialek, seperti juga ditemukan dalam bagian al-
Quran lainnya (31:20), wa asbaga (o+$), yang dibaca Ibn Abbas
sebagai wa ashbaga (o+A$); atau ungkapan pembuka dalam 70:1,
sa’ala sã’ilun (IJi), yang dibaca Ibn Abbas sebagai sãla saylun
( -J).69
Ilustrasi selanjutnya tentang perbedaan kerangka grafis bisa
dilihat dalam ungkapan wa atimmû al-hajja wa-l-‘umrah li-llãh
('
$) – seperti yang ada di dalam mushaf utsmani
(2:196) – tertulis dalam mushaf Ibn Abbas sebagai wa aqîmû al-
hajja wa-l-‘umrah li-l-bayt (C-+)
-
$). Demikian pula,
ungkapan panjang dalam mushaf utsmani, yakni wa kãna
warã’ahum (F6$) malik ya’khudzu kulla safînatin gashban (18:79),
dibaca Ibn Abbas wa kãna amãmahum (N,,) malik ya’khudzu
kulla safînatin shãlihatin (@
A) gashban. Di sini pun tidak terjadi
pergeseran makna keseluruhan ayat yang cukup berarti.
Beberapa ilustrasi di atas secara jelas memperlihatkan adanya
penambahan-penambahan kata atau ungkapan dalam teks Ibn
Abbas. Bentuk penambahan ini bisa dicontohkan lebih jauh dengan
2:198, di mana setelah ungkapan min rabbikum, Ibn Abbas
membaca sisipan ungkapan fî mawãsim al-hajj – seperti halnya
Ibn Mas‘ud. Sementara dalam 4:79, di antara kata nafsika dan
kata wa arsalnã-ka disisipkan ungkapan wa anã katabtahã ‘alayka,
sehingga bacaan Ibn Abbas di sini adalah nafsika wa anã katabtahã
‘alayka wa arsalnãka. Demikian pula, setelah kata ayyãm dalam
5:89, Ibn Abbas menambahkan kata mutatãbi‘ãt. Setelah kata
‘alimta dalam 17:102, ditambahkan ungkapan yã fir‘awna.
Berikutnya, di antara kata fanãdãhã dan min tahtihã dalam 19:24,
Ibn Abbas menyisipkan kata malakun, sehingga bacaannya di sini
adalah fanãdãhã malakun min tahtihã. Bentuk-bentuk sisipan
semacam ini tidak banyak mempengaruhi makna keseluruhan ayat,
sebab ia merupakan penjelasan (gloss). Apakah penjelasan
semacam ini adalah bagian orisinal teks wahyu atau sekedar
tambahan belakangan, tidak dapat ditetapkan secara pasti. Yang
jelas, sebagaimana telah dikemukakan saat membahas sisipan
sejenis dalam mushaf Ubay dan Ibn Mas‘ud di atas, ortodoksi
Islam memandangnya bukan teks yang diwahyukan namun sekedar
tafsiran.
Bentuk teks yang berseberangan dengan kasus di atas adalah
pengurangan atau peringkasan teks dalam mushaf Ibn Abbas.
Ungkapan bi-mitsli mã dalam 2:137, diringkas menjadi bimã dalam
teks Ibn Abbas. Sementara ungkapan fîhã fatakûnu dalam 5:110,
dihilangkan kata fîhã di dalamnya, sehingga bacaannya tinggal
fatakûnu. Demikian pula ungkapan yã hasrata ‘alã al-‘ibãdi dalam
36:30, menjadi yã hasrata al-‘ibãdi – jadi partikel ‘alã dihilangkan.
Bentuk peringkasan teks semacam ini, secara umum tidak banyak
mempengaruhi makna teks dan tidak juga mendistorsinya. namun ,
satu kasus yang menarik adalah penghilangan salah satu huruf
muqaththa‘ah dalam 62:1, di mana huruf-huruf potong ‘ain sîn
qãf (XL) kehilangan huruf ‘ain, sehingga teks dan bacaan Ibn
Abbas di sini adalah sîn qãf. Dalam kasus ini, tidak bisa ditetapkan
apakah penghilangan itu telah mendistorsi makna huruf-huruf
potong ini – sebab hingga dewasa ini belum ada pemaknaan
yang memuaskan tentang huruf-huruf misterius itu70 – atau hanya
sekadar mendistorsi teks.
Di samping berbagai perbedaan di atas, ada pembolak-
balikan atau pemindahan tempat kata-kata di dalam mushaf Ibn
Abbas. Jadi, ungkapan laysa ‘alaykum junãhun dalam bagian awal
2:198, dibaca terbalik oleh Ibn Abbas sebagai laysa junãhun
‘alaykum. Demikian pula, ungkapan nashru-llãhi wa-l-fathu dalam
110:1, dibaca Ibn Abbas sebagai fathu-llãhi wa al-nashru. Pembolak-
balikan semacam ini jelas tidak mempengaruhi makna umum ayat-
ayat ini .
Uraian yang dikemukakan sejauh ini memperlihatkan bahwa
mushaf Ibn Abbas secara substansial hanya memiliki perbedaan
yang relatif sedikit dari mushaf standar utsmani, jika mushaf Ubay
dan Ibn Mas‘ud dijadikan sebagai bandingannya. Dalam mushaf
Ibn Abbas – sepanjang menyangkut informasi yang dikumpulkan
dan diungkapkan Jeffery tentangnya – tidak ditemukan perbedaan
ortografis yang menunjukkan kekhususan dan independensinya.
Bahkan kasus ayat-ayat sisipan, atau ayat-ayat alternatif, maupun
“ayat-ayat Syi‘ah,” tidak ditemukan eksistensinya di dalam mushaf
Ibn Abbas. Keberadaan beberapa kecil perbedaan dalam mushaf
Ibn Abbas, barangkali telah membuat mushafnya jarang dirujuk.
Hal ini, lebih jauh, merupakan suatu argumen bagi otentisitas
kodeks ini ; sebab , apabila mushaf Ibn Abbas dipandang
sebagai rekayasa belakangan, maka akan ditemukan penyebarannya
secara liar dalam berbagai kitab tafsir yang diduga mengikuti aliran
populernya.
Otentisitas Mushaf-mushaf Pra-Utsmani
Di kalangan sarjana Muslim masalah kesejatian bacaan dalam
mushaf-mushaf pra-utsmani didekati dan dinilai dari segi tingkat
kepercayaan transmisinya (isnãd). Cacat tidaknya isnad
menentukan apakah suatu bacaan sebagai qurani atau tidak. Secara
garis besar, bacaan-bacaan al-Quran diklasifikasikan ke dalam dua
kategori berdasar isnadnya: Pertama adalah bacaan yang
ditransmisikan dalam cara yang meyakinkan dan selaras dengan
kaidah kebahasaan dan tidak menyalahi tradisi teks utsmani. Yang
masuk ke dalam kategori ini adalah bacaan mutawãtir dan masyhûr,
seperti kiraah tujuh dan kiraah sepuluh, yang seluruhnya
merupakan varian dalam tradisi teks utsmani. Bacaan mutawãtir
dan masyhûr merupakan bacaan sejati al-Quran dan dibaca di
luar atau di dalam shalat. Kedua adalah bacaan yang ditransmisikan
secara tidak memadai, atau menyalahi tradisi teks utsmani, atau
bertentangan dengan kaidah kebahasaan. Termasuk ke dalam
kategori ini adalah kiraah ãhad,71 syãdzdz,72 mawdlû‘,73 dan lainnya
yang tidak memenuhi kriteria.74 Kiraah-kiraah ini bukan
bacaan sejati al-Quran.
Bacaan dalam mushaf-mushaf pra-utsmani tidak mencapai
derajat mutawãtir dan mayshûr, dan sebab itu – dalam gagasan
ortodoksi Islam – bukan merupakan bacaan al-Quran yang otentik.
Bacaan semacam ini, menurut mayoritas ortodoksi Islam, kecuali
Mazhab Hanafiyah, juga tidak diperkenankan penggunaannya
dalam shalat. Bahkan beberapa otoritas di kalangan ortodoksi Is-
lam mempermasalahkan perannya dalam penyimpulan hukum.
Pandangan umum dalam mazhab Syafi‘iyah, misalnya, tidak
membolehkan derivasi ketentuan hukum darinya.75 Sementara
sebagian ulama lain membolehkannya berdasar analogi peran
hadits yang terisolasi dalam kasus senada. Jalan pemikiran ini
disetujui ulama Syafi‘iyah lainnya, Ibn al-Subki (w. 771H), dalam
Jam‘ al-Jawãmi‘. Ia mengungkapkan sebagai bukti tentang
keabsahan mendasarkan suatu ketentuan hukum pada suatu varian
kiraah adalah praktik pemotongan tangan kanan pencuri yang
dipijakkan pada bacaan Ibn Mas‘ud, sebagaimana dikemukakan
juga oleh Abu Hanifah (w. 767). Lebih jauh, Subki mengemukakan
bacaan Ibn Mas‘ud untuk membuktikan bahwa puasa dalam kasus
pelanggaran sumpah mesti dilakukan secara berturut-turut.76
Penulis Itqãn juga menyitir pernyataan Abu Ubayd al-Qasim ibn
Sallam (w. 838) dalam Fadlã’il al-Qur’ãn: “al-maqshud min al-qirã’at
al-syãdzdzah tafsîr al-qirã’at al-masyhûrah...” (fungsi kiraah syãdzdz
adalah penjelasan terhadap kiraah masyhûr).77
Kesimpulan yang kurang lebih senada tentang bacaan dalam
mushaf pra-utsmani sebagai bukan bagian otentik al-Quran juga
dikemukakan Ignaz Goldziher.78 Ia mendekati mushaf-mushaf
ini dari sudut pandang perbedaannya dengan teks otentik al-
Quran. Dengan mengedepankan motif-motif pengelakan
kemungkinan adanya kendala dalam pemahaman kandungan al-
Quran, provisi yang berhubungan dengan penjelasannya, klarifikasi
linguistik terhadap teks-teksnya yang kabur, penghindaran ekspresi-
ekspresi yang tidak lazim atau keliru dan kejanggalan-kejanggalan
stilistik di dalamya, dan kecenderungan untuk memperhalus dan
menyederhanakan pengungkapannya, seperti terlihat dalam bacaan-
bacaan pra-utsmani, Goldziher sampai kepada kesimpulan bahwa
varian-varian atau kodeks-kodeks pra-utsmani hanya sekedar varian
dari tradisi teks utsmani. sebab itu, menurutnya, mushaf-mushaf
ini bukan merupakan tradisi teks independen atau primer. Ia
juga mengungkapkan bahwa keberadaan beberapa besar varian yang
ada dalam mushaf-mushaf pra-utsmani lebih disebabkan oleh
karakteristik tulisan Arab saat itu, di mana kerangka grafis –
atau kerangka konsonantal – yang sama telah diberi i‘jãm dan
syakl yang berbeda.
Gagasan Goldziher disepakati hingga taraf tertentu oleh A.
Fischer. Ia bahkan melangkah lebih jauh kepada kesimpulan bahwa
yang dipandang sebagai varian-varian pra-utsmani itu sebagian
besarnya adalah rekayasa belakangan yang dilakukan para filolog
dalam rangka mengoreksi teks utsmani.79 namun , penolakan
terhadap eksistensi bacaan-bacaan pra-utsmani ini agak menyulitkan
jika laporan tentang pengumpulan di masa Utsman – terutama
latar belakang yang menggerakkannya dan pemusnahan mushaf-
mushaf non-utsmani – diterima sebagai kenyataan sejarah, sebab
keberadaan variae lectiones mendapat penekanan darinya sebagai
fakta sejarah.
Sementara G. Bergstraesser – perevisi jilid ketiga karya monu-
mental Noeldeke, Geschichte des Qorans – menekankan realitas
beberapa mushaf pra-utsmani. Namun, ia menduga bahwa bacaan-
bacaan dari mushaf-muhaf ini yang menyimpang dari teks
utsmani telah menghilang dengan sangat cepatnya.80 Kesimpulan
yang sama diajukan A. Jeffery:
Dalam beberapa kasus mesti diakui bahwa ada suatu
kecurigaan terhadap bacaan-bacaan (pra-utsmani) sebagai
rekayasa para pakar tata bahasa dan teolog belakangan yang
dinisbatkan kepada otoritas-otoritas awal (yakni para sahabat
Nabi pemilik Mushaf – pent.). Kecurigaan ini barangkali sangat
kuat dalam kasus bacaan-bacaan khas Syi‘ah yang dinisbatkan
kepada Ibn Mas‘ud, dan dalam bacaan yang dinisbatkan kepada
isteri-isteri Nabi. Demikian pula, kecurigaan ini timbul dalam
beberapa bacaan yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas, yang –
sebagai “uebermensch des tafsîr” (manusia super dalam tafsir
al-Quran) – cenderung dikutip untuk mendapatkan otoritasnya
bagi setiap dan seluruh masalah yang berhubungan dengan
kajian-kajian al-Quran. Namun, secara keseluruhan, dapat
dipastikan bahwa mayoritas bacaan (pra-utsmani) yang dikutip
dari qãri’ manapun benar-benar kembali kepada otoritas awal.81
J. Burton dan J. Wansbrough melakukan penelitian sambil lalu
terhadap variae lectiones dan sampai kepada kesimpulan bahwa
keseluruhan riwayat tentang kodeks para sahabat, kodeks metro-
politan (mashãhif al-amshãr), dan varian-varian individual,
merupakan rekayasa para fukaha dan filolog yang belakangan.82
namun , keduanya mengajukan alasan yang sangat berbeda untuk
kesimpulan ini . Burton mengemukakan bahwa riwayat-riwayat
itu direkayasa sebagai latar bagi kisah pengumpulan al-Quran di
masa Utsman. Sementara kisah Utsman itu sendiri juga direkayasa
untuk menyembunyikan fakta bahwa Nabi sendirilah yang telah
mengedit dan mengumpulkan al-Quran ke dalam bentuk finalnya.83
Wansbrough, di sisi lain, menegaskan bahwa riwayat-riwayat
tentang kisah pengumpulan al-Quran dan laporan-laporan tentang
kodeks para sahabat direkayasa dan diangkat ke permukaan untuk
memberikan otoritas kepada suatu teks Ilahi yang bahkan belum
dikompilasi hingga abad 3H/9. Ia mengklaim bahwa teks al-Quran
pada awalnya begitu “cair” sehingga berbagai laporan yang
mencerminkan varian tradisi-tradisi independen di berbagai pusat
metropolitan Islam – misalnya Kufah, Bashrah, Madinah, dll. –
bisa ditelusuri jejaknya dalam mushaf al-Quran yang sekarang.
namun , gagasan kedua penulis ini tidak begitu diterima di kalangan
sarjana Barat sendiri.
Sehubungan dengan aransemen surat-surat dalam mushaf-
mushaf pra-utsmani yang sangat beragam, telah dikemukakan
skeptisisme para sarjana Barat yang memiliki otoritas dalam kajian
al-Quran. Pada umumnya mereka memandang susunan-susunan
surat ini sebagai rekayasa belakangan yang sangat tergantung
kepada aransemen surat mushaf utsmani. Bahkan, pada penghujung
abad ke-20, A.T. Welch masih mengungkapkan gagasan senada
dalam salah satu tulisannya.85 Asumsi semacam ini diterima secara
luas di kalangan sarjana Barat, sebab varian-varian aransemen
yang berbeda itu tidak dapat ditelusuri jejaknya dalam satu
manuskrip pun.
namun , penemuan manuskrip al-Quran pra-utsmani di San‘a,
Yaman, telah meruntuhkan asumsi ini .86 Aransemen surat al-
Quran di dalam manuskrip itu, yang sangat menyimpang dari
susunan resmi mushaf utsmani, membenarkan hipotesis bahwa
tidak ada keseragaman susunan surat dalam mashãhif pra-
utsmani. Tampaknya, berbagai aransemen surat telah diadopsi
dalam berbagai mushaf awal yang tidak hanya berbeda dari sekuensi
resmi surat dalam mushaf utsmani, namun juga berbeda dari susunan
surat yang ada di dalam mushaf Ubay, Ibn Mas‘ud, Ali, ataupun
Ibn Abbas. Jadi, sekalipun laporan-laporan tentang daftar susunan
surat dalam mashãhif sahabat Nabi secara historis terbukti sebagai
rekayasa belakangan, dapat dipastikan bahwa aransemen aktual
surat di dalam mushaf-mushaf ini berbeda antara satu dengan
lainnya.
Pengumpulan Kedua Zayd Ibn Tsabit
Tidak berbeda dari kisah pengumpulan pertama Zayd, ada beberapa riwayat tentang pengumpulan kedua al-Quran yang
dilakukan Zayd pada masa Khalifah Ketiga, Utsman ibn Affan.
Secara garis besar, riwayat-riwayat ini dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori: riwayat versi mayoritas dan riwayat versi minoritas.
Riwayat versi mayoritas merupakan yang paling tersebar dan
diterima secara luas di kalangan umat Islam. Riwayat ini muncul
dalam berbagai literatur, mulai dari hadits, tafsir al-Quran, sampai
karya-karya kesejarahan. Dari sisi eksternal, tingkat keabsahan riwayat
paling berpengaruh ini tidak sebaik riwayat paling berpengaruh
dalam kisah pengumpulan pertama Zayd di masa Abu Bakr, sebab
mata rantai periwayatan berakhir dengan Anas ibn Malik (w. 711/
2) – yakni tidak kembali secara langsung kepada saksi mata peristiwa
ini . Sementara versi minoritas tidak mendapat pengakuan secara
luas, sekalipun dari segi mata rantai periwayatan menempati
kedudukan yang sama dengan versi mayoritas.
Riwayat versi mayoritas diberitakan Ibn Syihab al-Zuhri dari
Anas ibn Malik, yang mengakatan kepadanya:
Hudzayfah ibn al-Yaman menghadap Utsman. Ia tengah
memimpin penduduk Siria dan Irak dalam suatu ekspedisi
militer ke Armenia dan Azerbaijan. Hudzayfah merasa cemas
oleh pertengkaran mereka (penduduk Siria dan Irak) tentang
bacaan al-Quran. Maka berkatalah Khudzayfah kepada Utsman:
“Wahai Amir al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum
mereka bertikai tentang Kitab (Allah), sebagaimana yang telah
terjadi pada umat Yahudi dan Nasrani pada masa lalu.”
Kemudian Utsman mengirim utusan kepada Hafshah dengan
pesan: “Kirimkanlah kepada Kami shuhuf yang ada di tanganmu,
sehingga bisa diperbanyak dan disalin ke dalam mushaf-mushaf,
dan setelah itu akan dikembalikan kepadamu.” Hafshah
mengirim shuhuf-nya kepada Utsman, yang kemudian
memanggil Zayd ibn Tsabit, Abd Allah ibn al-Zubayr, Sa‘id ibn
al-‘Ash, dan Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam, dan
memerintahkan mereka untuk menyalinnya menjadi beberapa
mushaf. Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy (dalam tim)
itu: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zayd mengenai al-
Quran, maka tulislah dalam dialek Quraisy, sebab al-Quran itu
diturunkan dalam bahasa mereka.” Mereka mengikuti perintah
ini , dan setelah berhasil menyalin shuhuf itu menjadi
beberapa mushaf, Utsman me-ngembalikannya kepada Hafshah.
Mushaf-mushaf salinan yang ada kemudian dikirim Utsman ke
setiap propinsi dengan perintah agar seluruh rekaman tertulis
al-Quran yang ada – baik dalam bentuk fragmen atau kodeks –
dibakar habis.
Al-Zuhri menambahkan, Kharijah ibn Zayd mengatakan
kepadanya bahwa ia mendengar Zayd ibn Tsabit berkata:
“Terlupakan oleh saya sebuah ayat dari surat al-Ahzab saat
kami menyalin al-Quran, dan saya sering mendengar Rasulullah
membacakannya. Kami lalu mencarinya dan menemukannya
pada Khuzaymah ibn Tsabit al-Anshari, (yaitu surat 33:23).
Kemudian kami memasukkannya ke dalam tempat yang tepat
di dalam surat itu.”1
Sebagaimana diberitakan dalam riwayat versi mayoritas di atas,
pengumpulan al-Quran di masa Utsman dilakukan oleh suatu
komisi yang terdiri dari empat orang. Yang pertama dan merupakan
ketua komisi pengumpulan adalah Zayd ibn Tsabit, seorang Anshar
yang sewaktu mudanya aktif sebagai sekretaris Nabi dan mencatat
wahyu-wahyu al-Quran. Di samping itu, seperti telah dikemukakan,
ia juga “dikabarkan” terlibat dalam pengumpulan al-Quran yang
dilakukan pada masa pemerintahan dan atas perintah khalifah
pertama, Abu Bakr. Riwayat di atas menyebutkan bahwa shuhuf
yang dikumpulkan pertama kali oleh Zayd di masa Abu Bakr –
yang kemudian berpindah ke tangan Umar ibn Khaththab, dan
akhirnya berada dalam pemilikan Hafshah – kini dijadikan basis
kodifikasi Utsman. Zayd, yang pada masa khalifah ketiga
menduduki jabatan penting,2 merupakan pendukung setia Utsman.
Bahkan, setelah terbunuhnya khalifah ketiga itu, ia berpihak kepada
Umaiyah dan menolak bersumpah setia (bay‘ah) kepada Ali. Zayd
meninggal dunia pada 45H.
Anggota komisi lainnya adalah Abd Allah ibn al-Zubayr (w.
692), yang juga berasal dari keluarga terpandang Makkah. Lewat
ibunya Asma, ia adalah cucu Abu Bakr dan keponakan Aisyah,
bahkan anak tiri Khalifah Umar. Ia tidak hanya terlibat dalam
berbagai pertempuran sebagai serdadu, namun juga terkenal sebagai
seorang yang sangat religius. Sementara Sa‘id ibn al-‘Ash (w. 678/
9) lahir beberapa saat setelah hijrah dari keluarga Ummayah. Setelah
pemecatan Walid ibn Uqbah pada 29H, dikabarkan ia
menggantikan posisinya sebagai gubernur Kufah hingga menjelang
akhir tahun 34H. Anggota komisi terakhir adalah Abd al-Rahman
ibn al-Harits (w. 633), berasal dari keluarga Mahzum yang
terkemuka di Makkah. Ia tampaknya tidak memiliki prestasi atau
kedudukan politik yang perlu dicatat.
Kecakapan Zayd untuk memimpin tugas yang diperintahkan
Utsman memang selaras dengan kesibukan terdahulunya. Ia terlihat
sebagai orang yang cocok berada di posisinya, dan merupakan
satu-sat