Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 6


 �� atau

analisis wacana. Selain itu, bahan-bahan tradisional juga akan

memberi kontribusi dalam hal ini.

Penentuan unit-unit wahyu di atas memang hanya didasarkan

pada anggapan bahwa beberapa  besar surat yang ada di dalam al-

Quran mengandung bahan-bahan dari berbagai periode pewahyuan.

Posisinya hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam pengertian

minimal –  yakni pengumpulan unit-unit individual wahyu ke dalam

surat – dan tidak seradikal asumsi perevisiannya yang lebih jauh

melihat bahwa dalam proses pengumpulan ini  wahyu-wahyu

al-Quran secara konstan telah mengalami revisi dalam pengertian

sebenarnya – yakni perluasan, penggantian unit-unit wahyu lama

dengan bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupa

penyesuaian rima atau sekedar sisipan, dan lainnya. Asumsi radikal

Bell ini, selain memiliki kelemahan yang telah disinggung di atas,

barangkali tidak logis. Jika al-Quran secara terus-menerus mengalami

revisi seperti dimaksud Bell, maka orang-orang yang berusaha 

menghafal al-Quran pada masa Nabi tentunya akan mengalami

kesulitan serius dengan adanya  berbagai perubahan yang konstan

dalam kandungan kitab suci ini , dan hal ini agak sulit

dibayangkan.

saat  unit-unit wahyu telah ditetapkan, maka langkah

selanjutnya adalah memberi penanggalan terhadapnya. Suatu kajian

terhadap perkembangan misi kenabian Muhammad dalam pentas

sejarah, untuk menemukan pijakan bagi penanggalan al-Quran,

mesti dilakukan terlebih dahulu. Kesepakatan yang eksis dalam

berbagai sistem penanggalan tentang butir-butir khas dalam wahyu-

wahyu yang awal akan sangat membantu dalam menetapkan unit-

unit wahyu yang bisa dikelompokkan dan diberi penanggalan dari

masa ini . Demikian pula, berbagai rujukan historis yang ada

di dalam al-Quran – misalnya 30:2-5 yang merujuk pada kekalahan

Bizantium atas Persia, 3:121-129 tentang Perang Badr, 9:25-27 tentang

Perang Hunain, dan lain-lain – bisa dijadikan pegangan dalam

penanggalan unit-unit wahyu ini . Senada dengan ini adalah

gagasan atau ungkapan tertentu yang hanya muncul pada periode

tertentu, juga bisa diberi penanggalan yang agak pasti. Bagian-

bagian al-Quran yang merekomendasikan peperangan atau

berbicara tentang pengikut-pengikut Nabi yang terlibat

pertempuran, ungkapan-ungkapan muhãjirûn, anshãr, alladzîna

fî qulûbihim maradl, munâfiqûn, dan lainnya, secara jelas berasal

dari masa setelah hijrah. Di samping itu, bahan-bahan tradisional

juga akan memberikan banyak petunjuk di dalam penanggalan

unit-unit wahyu tertentu.

Tentu saja, penyusunan rangkaian kronologis unit-unit wahyu

al-Quran semacam itu membutuhkan usaha -usaha  kesarjanaan

yang serius dan memakan waktu lama. Bahkan, usaha  penyusunan

sistem penanggalan ini – sebagaimana diyakini Fazlur Rahman53

dan Rudi Paret54  – barangkali akan merupakan suatu keniskalaan.

namun  asumsi-asumsi dasar yang telah diutarakan di atas paling

tidak akan sangat membantu mengarahkan kita dalam penetapan

rangkaian kronologis “kasar” unit-unit wahyu dalam kajian-kajian

tafsir tematis-kronologis, yang dewasa ini mendominasi peta

perkembangan tafsir al-Quran.


Bagian ini mendiskusikan pengumpulan al-Quran,

baik dalam bentuk hafalan dan terutama sekali

dalam bentuk tulisan, yang terdiri dari empat bab.

Dalam bab keempat akan dilacak berbagai usaha 

awal dalam pengumpulan al-Quran pada masa

kehidupan Nabi dan beberapa saat setelah wafatnya.

Kandungan kumpulan al-Quran yang awal ini juga

akan didiskusikan di dalam bab ini . Beberapa

kumpulan al-Quran yang berpengaruh setelah

wafatnya Nabi hingga beberapa saat setelah

promulgasi Mushaf Resmi Utsmani akan

dikemukakan dalam bab kelima, berikut paparan

tentang berbagai perbedaan yang eksis didalamnya

dengan tradisi teks dan bacaan utsmani. Kodifikasi

mushaf utsmani dibahas dalam bab selanjutnya –

bab keenam – didan i paparan tentang penyebaran,

varian-varian, dan berbagai karakteristik utamanya.

Bagian kedua ini diakhiri dengan suatu bab tentang

otentisitas dan integritas mushaf utsmani. Berbagai

gagasan yang dikemukakan sejauh ini tentangnya,

baik dari kalangan Muslim ataupun non-Muslim,

akan dieksplorasi secara kritis.


Pengumpulan Pertama

al-Quran

Penyebaran Tulis-menulis di Arabia

Teori yang berkembang luas di kalangan sarjana Muslim bahwabangsa Arab adalah bangsa yang mayoritasnya buta aksara dan

bodoh, sebagaimana lazimnya ditunjukkan dengan ungkapan

jahiliyah, terlihat tidak mendapat dukungan dari temuan-temuan

arkeologis dan bahkan tidak disokong oleh al-Quran sendiri. Bukti-

bukti arkeologis menunjukkan bahwa suatu bentuk tulisan telah

dikenal di Arabia selama berabad-abad sebelum kedatangan Nabi

Muhammad.1  ada  beberapa  prasasti dalam bahasa Arab selatan

yang bertanggal jauh sebelum era Kristen. Sementara prasasti-prasasti

yang ditemukan di daerah barat laut Arabia dalam abjad Nabatean,

Lihyanik dan Tsamudik, berasal dari abad-abad sebelum kelahiran

Nabi. Contoh paling awal untuk bahasa Arab klasik dan naskah-

naskah berbahasa Arab adalah tiga sketsa kasar yang tertera pada

tembok suatu kuil di Siria, yang berasal dari abad ke-3. Prasasti

yang lebih awal dari kehadiran Nabi memang belum ditemukan di

sekitar Makkah. Namun, seperti ditunjukkan dalam bab 1, Makkah

adalah suatu kota niaga yang sangat tergantung pada perniagaan

untuk keberadaannya yang asasi. Dalam hubungan dagang yang

teratur dengan daerah-daerah di mana tulis-menulis telah menjadi

tradisi, para pedagang Makkah tentunya telah mempelajari tradisi

ini  untuk kepentingan niaga dan kemudian menyebarkannya

saat  kembali ke kampung halaman.

Dikabarkan oleh al-Baladzuri (w. 892) bahwa pada masa Nabi

hanya ada  17 orang lelaki – ditambah segelintir wanita – yang


bisa menulis.3  namun , pernyataan ini sangat tidak masuk akal.

Seperti ditunjukkan di bawah, Nabi sendiri kabarnya memiliki

beberapa  sekretaris yang ditugaskan menulis wahyu. Lebih jauh,

kenyataan bahwa orang-orang Makkah, sebagaimana halnya or-

ang Mesir yang sangat menyukai tulis-menulis, telah memanfaatkan

berbagai jenis bahan untuk menulis – tentunya merupakan hal

yang wajar di kota niaga seperti Makkah – dengan jelas

menunjukkan bahwa pengetahuan tulis-menulis dan bahan-bahan

untuk menulis telah tersebar dan dikenal cukup luas di kota

ini .

Al-Quran sendiri memberi indikasi ke arah ini. Dari wahyu

pertama yang diterima Muhammad (96:1-5), mungkin bisa

ditafsirkan bahwa tulis-menulis di Makkah masih merupakan

sesuatu yang asing atau baru dan bersifat supranatural. namun ,

beberapa  besar bukti tidak langsung dari al-Quran justeru

memperlihatkan keakraban orang-orang Makkah maupun Madinah

dengan tulis-menulis maupun peralatannya. Tamsilan-tamsilan al-

Quran, misalnya, terendam dalam suatu atmosfir niaga, dan

menyiratkan penyimpanan catatan-catatan tertulis. Jadi, hari

pengadilan akhirat dikatakan sebagai hari penghisaban, saat  kitab-

kitab dibuka, dan saat  setiap orang akan ditunjukkan catatan-

catatannya, atau akan diberikan catatannya untuk dibaca; malaikat-

malaikat menulis perbuatan manusia, dan segalanya akan dicatat

dalam suatu kitab.4  Tamsilan-tamsilan al-Quran ini – yang

mengekspresikan butir-butir doktrinal Islam paling mendasar

dalam terma-terma perniagaan-teologis dan melibatkan aktivitas

tulis-menulis dan  penggunaan bahan-bahan untuk menulis –

bukanlah sekadar kiasan-kiasan ilustratif. Tamsilan-tamsilan

semacam itu pasti tidak akan digunakan al-Quran bila belum

dipahami atau dikenal warga  Makkah. Jika butir ini disepakati,

dapat disimpulkan bahwa tulis-menulis bukan merupakan hal baru,

namun  justeru telah cukup dikenal di kalangan penduduk kota

Makkah.

Sementara di Madinah, ketentuan al-Quran dalam 2:282-283,

yang menyatakan bahwa transaksi utang-piutang yang dilakukan

kaum Muslimin mesti dicatat dan disaksikan dua orang, secara

jelas menunjukkan bahwa di kota ini orang-orang yang bisa menulis

tidak sulit ditemukan. Kalau tidak demikian, maka al-Quran

tentunya tidak akan memerintahkan penulisan transaksi ini 

sebab  akan sulit dijalankan lantaran langkanya orang-orang yang

bisa menulis. Di dalam hadits bahkan dilaporkan bahwa orang-

orang Makkah yang tertawan dalam Perang Badr diperkenankan

menebus kebebasan diri mereka dengan mengajarkan tulis-menulis

kepada kaum Muslimin di Madinah.5  Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa tulis-menulis juga bukan merupakan hal yang

asing di Madinah.

Bahan tulis-menulis juga disebutkan dalam al-Quran. Kata raqq

(;) dalam 52:3 mungkin mengacu kepada sejenis kertas kulit atau

perkamen yang terbuat dari kulit binatang. Kata qirthãs (<=

 )

yang muncul dalam 6:7,91, barangkali bermakna lontar, sebab 

kata ini terambil dari bahasa Yunani chartês yang bermakna

selembar atau sehelai lontar. Rujukan kedua kata qirthãs (6:91),

yang muncul dalam bentuk plural qarãthîs (>-= 

) bisa

menyiratkan makna bahwa orang-orang Yahudi menggunakan

lontar untuk menulis bagian-bagian terpisah Tawrat. Sementara

rujukan lainnya (6:7), mungkin mengacu kepada sebuah kitab yang

terbuat dari lontar. Barangkali kitab jenis inilah yang dimaksudkan

saat  al-Quran berbicara tentang suatu kitab yang diturunkan

kepada Muhammad (6:92).

Demikian pula, kata shuhuf (?@A) muncul beberapa kali di

dalam al-Quran dalam kaitannya dengan wahyu pada umumnya

(20:133; 80:13; 98:2), atau dengan wahyu yang disampaikan kepada

Ibrahim dan Musa (53:36; 87:18-19). Bentuk tunggal kata ini,

shahîfah (B-@A), kemungkinan bermakna selembar bahan untuk

menulis –  tanpa menetapkan jenis bahannya – dan shuhuf lazimnya

diartikan sebagai lembaran-lembaran terpisah yang tidak terjilid.

Sementara tinta dan pena sebagai alat tulis, juga dirujuk dalam al-

Quran (96:4; 31:27; 18:109).

Kesemua rujukan tentang bahan-bahan untuk tulis-menulis

ini, sebagaimana dengan pengenalan tentang tulis-menulis yang

dikemukakan di atas, tidak mungkin muncul dalam ungkapan al-

Quran jika tidak dipahami warga  yang menjadi sasaran

wahyunya. Adalah mustahil bila al-Quran berbicara dengan

menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak dimengerti

warga  Arab saat  itu, sebab  hal ini akan membuat pesan-

pesan ketuhanan yang didakwahkannya  tidak mencapai sasaran

yang dikehendaki.

Pengetahuan tulis-menulis dan bahan-bahannya, yang bisa

dikatakan telah tersebar cukup luas di kalangan penduduk kota

Makkah dan Madinah, sama sekali tidak menegasikan kuatnya

tradisi hafalan di kalangan bangsa Arab. Perkembangan bentuk

tulisan Arab saat  itu, yang mengarah kepada bentuk kursif, jelas

tidak memadai untuk penggunaan inskripsional. Lebih jauh, aksara

yang digunakan – tanpa syakl dan i‘jãm – lebih memperlihatkan

eksistensi tulisan saat  itu sebagai alat untuk mempermudah

hafalan. Tanpa tingkat keakraban yang semestinya terhadap suatu

teks, seseorang tentunya akan mengalami kesulitan dalam

membacanya.

Tulisan Arab, menurut  teori terpopuler di kalangan sarjana

Barat, dipandang berasal dari tulisan kursif Nabthi (Nabatean),

yang ditransformasikan ke dalam karakter tulisan Arab pada abad

ke-4 atau ke-5.6  Proses transformasi ini kemungkinannya

berlangsung di Madyan atau di Kerajaan Gassanid (Gassaniyah).

Di bawah pengaruh perniagaan, tulisan baru itu menyebar ke Arab

utara dan selatan. Pada permulaan abad ke-6, ia telah mencapai

daerah Siria utara dan mungkin mencapai keberhasilan penyebaran

yang sama ke daerah-daerah yang menggunakan bahasa Arab utara,

khususnya ke Makkah ataupun Madinah.

Di kalangan sejarawan Arab, pandangan yang paling populer

adalah bahwa tulisan Arab itu berasal dari Hirah – sebuah kota di

dekat Babilonia – dan Anbar – sebuah kota di Eufrat, sebelah

barat laut kota Bagdad yang sekarang. Dikisahkan bahwa tulisan

Arab sampai ke Makkah melalui Harb ibn Umaiyah ibn Abd al-

Syams yang mempelajarinya dari orang-orang tertentu yang

ditemuinya dalam perjalanan-perjalanannya. Salah satu di antaranya

adalah Bisyr ibn Abd al-Malik, yang datang ke Makkah bersama

Harb ibn Umaiyah. Bisyr kemudian mengawini puteri Harb ibn

Umaiyah, Shahbah. Bisyr tinggal selama beberapa waktu di Makkah

sembari mengajari beberapa  orang Makkah tulis-menulis.7

Dalam Fihrist, Ibn al-Nadim mengemukakan suatu riwayat

dari Ibn Abbas yang menyebutkan bahwa orang pertama yang

menulis dalam aksara Arab berasal dari suku Bawlan yang

mendiami Anbar.8  Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa saat 

orang-orang Hirah ditanya dari mana mereka memperoleh

pengetahuan tulis-menulis aksara Arab, mereka menjawab: “Dari

penduduk al-Anbar.”9  Penulis Fihrist lebih jauh mengungkapkan

bahwa orang-orang yang pertama kali menulis dalam aksara Arab

adalah: Abu Jad, Hawwaz, Huththi, Kalamun, Sa‘fad, dan Qurusa’at

– nama raja-raja Madyan pada masa Nabi Syu‘aib.10  Otoritas lainnya

yang dikutip di dalam Fihrist mengemukakan nama-nama yang

sama, namun  secara lebih akurat, yakni: Abjad, Hawar, Hatha,

Kalamman, Sha‘, Fadl, Qarasat  –   Jika huruf alif  ( ) di tengah nama-

nama itu dihilangkan, demikian juga dengan titik-titik diakritisnya,

maka huruf-huruf yang tinggal mencerminkan keseluruhan

konsonan (harf shãmit) yang ada dalam alfabet orisinal Arab.

ada  dua jenis tulisan Arab – lazimnya disebut khat Hijazi

– yang berkembang saat  itu. Pertama adalah khat Kufi,

dinamakan mengikuti kota Kufah, tempat berkembang dan

disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan aksara ini . Bentuk

tulisan ini paling mirip dengan tulisan orang-orang Hirah (Hiri)

yang bersumber dari tulisan  Suryani (Siriak). Khat Kufi  digunakan

saat  itu antara lain untuk menyalin al-Quran. Bentuk tulisan

kedua adalah khat Naskhi, yang bersumber dari bentuk tulisan

Nabthi (Nabatean). Khat ini biasanya digunakan dalam surat-

menyurat. Namun, teori tentang asal-usul kedua ragam tulis ini

tidak begitu diterima sejarawan Arab, yang melihat bahwa tulisan

Musnad – bersumber dari tulisan Arami (Aramaik) yang masuk ke

Hijaz melalui Yaman – merupakan bagian dari rangkaian tulisan

Arab.

namun , sebagaimana telah dikemukakan, dalam aksara Arab

yang berkembang saat  itu, lambang beberapa  konsonan tidak

dapat dibedakan antara satu dengan lainnya, sehingga pada

perkembangan selanjutnya diciptakanlah titik-titik diakritis yang

mengikuti model tulisan Suryani. Pengenalan titik-titik diakritis

baik untuk vokal (syakl) –  belakangan diganti dengan tanda lain

untuk membedakannya dari titik-titik diakritis yang digunakan

untuk membedakan huruf-huruf mati bersimbol sama – ataupun

untuk konsonan (i‘jãm), menurut teori yang berkembang luas di

kalangan sarjana Islam, pertama kali dilakukan pada masa

kekhalifahan banu Umaiyah, dan tokoh-tokoh  yang terlibat di

dalamnya biasanya dipulangkan kepada beberapa  nama ahli bahasa

seperti Abu al-Aswad al-Du‘ali (w. 688) bedan  murid-muridnya.

Namun, berdasar  tinggalan-tinggalan historis – berupa

perkamen, uang logam dan inskripsi – bisa dipastikan bahwa titik-

titik diakritis untuk konsonan-konsonan tertentu telah digunakan

pada abad pertama Islam,13  sekalipun tidak seekstensif

penggunaannya pada masa belakangan. Dari  temuan beberapa 

manuskrip al-Quran beraksara Kufi yang awal,  dapat  dipastikan

bahwa tanda-tanda konsonan ini belum diaplikasikan dalam

penyalinan mushaf. Selanjutnya, dapat juga dikemukakan bahwa

dari contoh tulisan Arab dalam inskripsi abad ke-6 bisa

disimpulkan bahwa bentuk tulisan yang berkembang saat  itu

mengarah kepada bentuk yang lebih kursif dan menyerupai –

bahkan dalam perkembangan selanjut secara praktis identik dengan

– tulisan Kufi yang belakangan.

Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan

tingkat keakraban warga  Arab pada umumnya – termasuk

Makkah dan Madinah – dalam kaitannya dengan tradisi tulis-

menulis dan penggunaan bahan-bahan untuk menulis. Dengan

mengingat butir-butir tentang keakraban warga  Makkah dan

Madinah tentang hal ini, ditambah dengan kuatnya tradisi hafalan

di kalangan bangsa Arab saat  itu, seperti telah diungkapkan di

atas, selanjutnya akan ditelusuri bagaimana cara yang dilakukan

kaum Muslimin untuk  memelihara al-Quran pada periode Islam

yang awal.

Pemeliharaan al-Quran pada Masa Nabi

Unit-unit wahyu yang diterima Muhammad pada faktanya

dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama: (i)

menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau menghafalkannya;

dan (ii) merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan

untuk menulis. Jadi, saat  para sarjana Muslim berbicara tentang

jam‘u-l-qur’ãn pada masa Nabi, maka yang dimaksudkan dengan

ungkapan ini pada dasarnya adalah pengumpulan wahyu-wahyu

yang diterima Nabi melalui kedua cara ini , baik sebagian

ataupun seluruhnya.

Pada mulanya, bagian-bagian al-Quran yang diwahyukan

kepada Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi dan para

sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan warga  Arab

telah memungkinkan terpeliharanya al-Quran dalam cara semacam

itu. Jadi, setelah menerima suatu wahyu, Nabi – sebagaimana

diperintahkan al-Quran (5:67; 7:2; 15:94; dll.) – lalu

menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang kemudian

menghafalkannya. beberapa  hadits menjelaskan berbagai usaha 

Nabi dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah

diterimanya. Salah satu di antaranya adalah yang diriwayatkan

oleh Utsman ibn Affan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang

terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari al-Quran

dan kemudian mengajarkannya.”

Hadits memberi informasi sangat beragam tentang jumlah

maupun nama-nama sahabat penghafal al-Quran. Yang paling

sering disebut adalah: Ubay ibn Ka‘ab (w. 642), Mu‘adz ibn Jabal

(w. 639), Zayd ibn Tsabit, dan Abu Zayd al-Anshari (w. 15H).15

Sementara dalam berbagai laporan lainnya, muncul nama-nama

selain keempat sahabat ini . Dalam Fihrist, disebutkan 7 nama

pengumpul al-Quran, tiga di antaranya sama dengan tiga nama

pertama dalam riwayat sebelumnya, dan empat lainnya adalah:

Ali ibn Abi Thalib, Sa‘d ibn Ubayd (w.637), Abu al-Darda (w.652),

dan Ubayd ibn Mu‘awiyah.16  Nama-nama lain yang sering muncul

dalam riwayat adalah: Utsman ibn Affan, Tamim al-Dari (w. 660),

Abd Allah ibn Mas‘ud (w. 625), Salim ibn Ma‘qil (w. 633), Ubadah

ibn Shamit, Abu Ayyub (w. 672), dan Mujammi‘ ibn Jariyah.17

Sementara al-Suyuthi, dalam al-Itqãn, menyebutkan lebih dari 20

nama sahabat yang terkenal sebagai penghafal Quran.18

Pada titik ini, timbul permasalahan apakah tiap-tiap

pengumpul al-Quran itu menyimpan dalam ingatannya

keseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Muhammad atau hanya

sebagian besar darinya. Jika dilihat dari peran tulisan saat  itu,

dapat dikemukakan bahwa penghafal al-Quran merupakan tujuan

utama yang terpenting – bahkan sepanjang sejarah Islam; sementara

perekamannya dalam bentuk tertulis selalu dipandang sebagai alat

untuk mencapai tujuan ini .19  Jadi, dapat dipastikan bahwa

tidak ada satu pun unit wahyu yang tidak tersimpan dalam dada

atau ingatan para pengumpul al-Quran saat  itu.

Cara kedua yang dilakukan dalam pemeliharaan al-Quran di

masa Nabi adalah perekaman dalam bentuk tertulis unit-unit wahyu

yang diterima Nabi. Laporan paling awal tentang penyalinan al-

Quran secara tertulis bisa ditemukan dalam kisah masuk Islam

Umar ibn Khaththab, empat tahun menjelang hijrahnya Nabi ke

Madinah.20  Dikabarkan bahwa saat  Nabi tengah berada di rumah

al-Arqam ibn Abi al-Arqam (w. 673/5), Umar telah bertekad bulat

untuk membunuhnya. namun  niat ini terpaksa ditunda, sebab  ia

mendengar berita tentang masuk Islamnya adik kandung, adik

ipar dan keponakannya. Ia kemudian pergi ke rumah adik

perempuannya dan menemukan orang-yang dicarinya bersama

beberapa Muslim lain tengah membaca surat 20 dari sebuah

shahîfah. Terjadi pertengkaran sengit dan Umar menyerang kedua

adiknya hingga terluka, namun  mereka tetap bersikukuh dengan

agama barunya. Melihat adik perempuannya terluka bercucuran

darah, Umar tersentuh hatinya kemudian meminta lembaran

(shahîfah) itu. Dikatakan bahwa setelah membaca lembaran wahyu

ini , Umar mengungkapkan keimanannya kepada risalah yang

dibawa Nabi.

Jika kisah di atas dapat dipercaya, maka ia menunjukkan bahwa

sejak semula ada  usaha  yang dilakukan secara serius dan sadar

di kalangan pengikut Nabi untuk merekam secara tertulis pesan-

pesan ketuhanan yang diwahyukan kepadanya. Kesimpulan

semacam ini mendapat justifikasi dari al-Quran sendiri. Nama-

nama yang digunakan untuk merujuk pesan Ilahi yang dibawa

Muhammad, seperti al-qur’ãn, al-kitãb atau wahy, secara tersamar

mengungkapkan suatu gambaran latar belakang tertulis. sebab 

itu, seperti diungkapkan Schwally, adalah tidak logis jika

Muhammad sejak masa paling awal tidak menaruh perhatian pada

perekaman secara tertulis wahyu-wahyu yang diterimanya. Lebih

jauh, Schwally bahkan merujuk salah satu bagian al-Quran (29:48)

dari periode Makkiyah yang, menurutnya, telah menyiratkan

perekaman wahyu-wahyu yang diterima Nabi secara tertulis.21

Bagian al-Quran ini berbunyi: “Dan Kamu tidak pernah membaca

sebelumnya (yakni sebelum pewahyuan al-Quran) suatu kitab pun

dan kamu tidak pernah menulisnya dengan tangan kananmu;

andaikata demikian, maka akan ragulah orang yang

mengingkarimu.”

Beberapa bagian al-Quran lainnya juga memberi petunjuk ke

arah senada. Dalam 25:4-5, yang berasal dari periode Makkiyah,

disebutkan bahwa para oposan Nabi mengejek pesan Ilahi yang

dibawanya sebagai “dongeng-dongeng purbakala yang diminta

untuk dituliskan baginya. Dongeng-dongeng itu dibacakan

kepadanya setiap pagi dan petang.” Bagian al-Quran ini

memperlihatkan bahwa para penentang Nabi memandangnya telah

bekerja dengan sejenis bahan tertulis. Demikian pula, pernyataan

dalam 18:109 – “jika lautan dijadikan tinta untuk menuliskan kata-

kata Tuhanku, maka lautan itu akan habis sebelum habisnya kata-

kata Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu”

–  dan dalam 31:27 – “jika pohon-pohon di bumi menjadi pena

dan laut menjadi tinta, ditambah lagi tujuh laut setelah itu, maka

kata-kata Allah tidak akan habis (dituliskan)” –  dengan jelas

menyiratkan makna bahwa tinta dan pena digunakan saat  itu

untuk menuliskan wahyu.

Setelah hijrah ke Madinah, dikabarkan bahwa Nabi

mempekerjakan beberapa  sekretaris untuk menuliskan wahyu

(kuttãb al-wahy). Di antara para sahabat yang biasa menuliskan

wahyu adalah empat khalifah pertama, Mu‘awiyah (w. 680), Ubay

ibn Ka‘ab, Zayd ibn Tsabit, Abd Allah ibn Mas‘ud, Abu Musa al-

Asy‘ari (w. 664), dan lain-lain. Syaikh Abu Abd Allah az-Zanjani,

salah satu sarjana Syi‘ah terkemuka abad ke-20, bahkan menyebut

34 nama sahabat Nabi yang ditugaskan mencatat wahyu.22

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi menitahkan para

sekretarisnya menempatkan bagian al-Quran yang baru diwahyukan

pada posisi tertentu dalam rangkaian wahyu terdahulu atau surat

tertentu:

Diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa

apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil

sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda

“Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini

atau begitu.”

Al-Suyuthi juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zayd:

“Kami biasa menyusun al-Quran  dari  catatan-catatan  kecil  dengan

disaksikan  Rasulullah.”24  Banyak riwayat jenis ini yang bisa

ditemukan dalam koleksi hadits-hadits. Riwayat-riwayat semacam

itu pada dasarnya menunjukkan bahwa penggabungan unit-unit

wahyu atau penempatannya ke dalam surat-surat al-Quran

dilakukan atas petunjuk Nabi atau bersifat tawqîfî (%B-

,

“dogmatis”). Fenomena kumpulan atau mushaf al-Quran para

sahabat Nabi – beberapa di antaranya akan dibahas di sini dan

dalam bab mendatang – secara sepenuhnya menjustifikasi

kesimpulan ini.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa unit-unit wahyu

yang diterima Nabi telah ditulis dalam cara yang disebutkan di

atas. Bahkan, dalam kasus wahyu-wahyu Madaniyah yang memuat

ketentuan-ketentuan hukum, pasti merupakan suatu kebutuhan

yang mendesak untuk segera merekamnya secara tertulis. namun ,

masalah yang timbul di sini tentang sejauh mana rekaman-rekaman

tertulis al-Quran itu memiliki bentuk seperti al-Quran yang kita

kenal dewasa ini, memang merupakan hal yang pelik untuk

ditetapkan. Di satu pihak, meski memiliki bagian-bagian tertulis

al-Quran yang digarap para sekretarisnya, sebagaimana disebutkan

beberapa  riwayat, Nabi tidak pernah mempromulgasikan suatu

kumpulan tertulis al-Quran yang resmi dan lengkap. Hal ini bisa

diilustrasikan dengan sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada

Zayd: “Nabi wafat dan al-Quran belum dikumpulkan ke dalam

suatu mushaf tunggal.”

Jika Nabi telah mengusaha kan pengumpulan dan promulgasi

al-Quran, maka kebutuhan mendesak yang muncul sepeninggalnya

untuk mengumpulkan al-Quran tentunya  tidak  akan  mencuat

ke  permukaan.   Di  sisi lain,   jika  para  sahabat  telah menghafal

dan menuliskan wahyu dalam kadar yang beragam, maka bisa

diperkirakan berbagai perbedaan substansial dalam naskah-naskah

mereka ketimbang yang bisa ditemukan dalam fenomena mashãhif

awal. sebab  itu, merupakan suatu hal yang pasti bahwa Nabi

sendirilah yang merangkai berbagai bagian atau ayat al-Quran yang

diwahyukan kepadanya dan menetapkan susunannya secara pasti

dalam surat-surat yang ada – dalam terminologi lama biasanya

dikenal dengan istilah tawqîfî. Susunan ini diketahui dan diikuti

para sahabatnya. Itulah sebabnya, saat  dibuka kumpulan al-

Quran para sahabat, yang terutama ditemukan di dalamnya adalah

perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan dalam susunan surat,

bukan susunan ayat.

Pengumpulan di Masa Nabi dan Setelah Wafatnya

Dalam beberapa  riwayat yang sampai kepada kita, seperti telah

diungkapkan di atas, disebutkan bahwa beberapa  sahabat telah

mengumpulkan secara tertulis wahyu-wahyu Ilahi dalam bentuk

shuhuf pada masa Nabi. Sekalipun istilah “pengumpulan” di sini,

sebagaimana telah disebutkan, biasanya ditafsirkan sebagai

penghafalan, ada beberapa  riwayat yang secara spesifik

menyebutkan pengumpulan itu dilakukan secara tertulis atau

merujuk pada penggunaan bahan-bahan untuk menulis dalam

aktivitas ini .

Dengan mengutip sumber-sumber tradisional, Ahmad von

Denver mengemukakan beberapa  nama sahabat yang memiliki

catatan wahyu, seperti Ibn Mas‘ud,  Ubay ibn Ka‘b,  Ali ibn Abi

Thalib,  Ibn Abbas,   Abu Musa al-Asy‘ari,  Hafshah (w. 665), Zayd

ibn Tsabit, Aisyah dan lain-lain. Bahkan, ia memperkirakan 23

naskah al-Quran yang telah ditulis saat  Nabi masih hidup.26

Sekalipun pandangan tentang eksistensi sekitar 23 naskah al-Quran

ini cukup meragukan, sebab  tak satu pun darinya yang sampai ke

tangan kita, paling tidak dapat dikemukakan bahwa sebagian

sahabat Nabi memang merekam secara tertulis wahyu-wahyu

berdasar  petunjuk Nabi. Namun, penyempurnaan sebagian

besar naskah ini  barangkali baru dilakukan setelah wafatnya

Nabi.

Dalam beberapa  riwayat dikemukakan nama Ali ibn Abi Thalib

sebagai pengumpul pertama al-Quran pada masa Nabi berdasar 

perintah Nabi sendiri. Ali, Khalifah Keempat dari al-khulafã’ al-

rãsyidûn, adalah anak Abu Thalib, pemimpin banu Hasyim – klan

Nabi Muhammad – yang secara gigih melindungi Nabi saat  di

Makkah. Ia menerima risalah Nabi dalam usia relatif muda, dan

termasuk ke dalam hitungan orang-orang pertama yang masuk

Islam. Dikatakan bahwa Ali merupakan orang pertama yang masuk

Islam setelah Khadijah, istri pertama Nabi. Riwayat lain

menyebutkan bahwa ia merupakan orang kedua yang masuk Is-

lam setelah Abu Bakr, Khalifah Pertama setelah Nabi. Kedekatannya

dengan Nabi bisa juga dilihat dari kenyataan bahwa ia

mempersunting Fathimah (w. 633), salah seorang anak perempuan

Nabi.

Sebagaimana disitir az-Zanjani, diriwayatkan bahwa suatu

saat  Nabi pernah berujar kepada Ali: “Hai Ali, al-Quran ada di

belakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf,  sutera  dan

kertas (lembaran kain atau lainnya). Ambil dan kumpulkanlah,

jangan sia-siakan seperti orang Yahudi menyia-nyiakan Taurat.”

Disebutkan oleh az-Zanjani bahwa Ali menuju ke tempat itu dan

membungkus bahan-bahan ini  dengan kain berwarna kuning,

kemudian disegel.

Riwayat lainnya yang beredar secara luas di kalangan Syi‘ah

menegaskan Ali sebagai orang pertama yang mengumpulkan al-

Quran setelah wafatnya Nabi, dan sumber-sumber Sunni juga

mengungkapkan bahwa ia memang memiliki sebuah kumpulan

al-Quran. Bentuk riwayat yang diterima secara luas mengenai

pengumpulan Ali ini adalah bahwa segera setelah wafatnya Nabi,

saat  para sahabat tengah sibuk memilih pelanjutnya, Ali

mengurung diri di rumahnya dan bersumpah tidak akan keluar

rumah sebelum mengumpulkan bahan-bahan al-Quran ke dalam

sebuah mushaf. Hal ini menimbulkan desas-desus sebab  ia tidak

ke luar untuk bersumpah setia (bay‘ah) kepada khalifah yang baru

terpilih, Abu Bakr. Ali kemudian menjelaskan tentang sumpah

yang membuatnya tidak turut dan  dalam bay‘ah. saat 

pengumpulan wahyu selesai digarapnya, ia mengepaknya di atas

punggung unta dan membawa ke depan para sahabat Nabi sembari

berkata: “Inilah al-Quran yang telah saya kumpulkan.”

Variasi kisah di atas sangat banyak.Beberapa di antaranya

mengabarkan bahwa Ali mengumpulkan naskah al-Qurannya

selama enam bulan setelah wafatnya Nabi. Riwayat lainnya

mengungkapkan bahwa, segera setelah Nabi wafat, ia mengurung

diri selama tiga hari dan menulis al-Quran secara kronologis dari

hafalannya. Di kalangan Syi‘ah bahkan beredar laporan bahwa

dalam kodeksnya, Ali mendahulukan bagian-bagian al-Quran yang

mansûkh dari yang nãsikh, dan  menyertakan takwil dan tafsir

yang rinci.32  Dalam Itqãn, al-Suyuthi mengungkapkan 6 surat

pertama dalam kumpulan Ali yang tersusun secara kronologis –

surat 96; 74; 68; 73; 111; 81.33  namun , kisah-kisah pengumpulan

Ali selalu ditafsirkan kalangan ortodoks sebagai usaha 

pengumpulan dalam bentuk hafalan (hifzhuhu fî shadrihi).

Penafsiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan riwayat-riwayat

di atas, yang menekankan bentuk pengumpulan tertulis.

Satu lagi riwayat menarik adalah Nabi, menjelang ajalnya,

memanggil Ali dan memberitahukan tempat penyimpanan rahasia

bahan-bahan al-Quran di belakang tempat tidurnya, kemudian

berwasiat kepada Ali untuk mengambil dan mengeditnya.

Disebutkan dalam Fihrist, bahwa manuskrip al-Quran yang

dikumpulkan Ali kemudian berada dalam pemilikan  kaum Ja‘far

– mungkin merujuk kepada anak keturunan Ja‘far ibn Abi Thalib

(w. 629) atau mungkin juga kepada Ja‘far al-Shadiq (w. antara 765-

771), Imam Syi‘ah ke-6. Penulis Fihrist, Ibn al-Nadim, bahkan

mengaku telah melihat dengan mata kepalanya sendiri fragmen

al-Quran yang ditulis Ali itu di rumah Abu Ya‘la Hamzah al-

Hasani.34  namun  kesaksian ini, sebagaimana dengan kisah-kisah

rekayasa Syi‘ah lainnya, secara historis amat meragukan.

Berbagai riwayat tentang pengumpulan yang dilakukan Ali di

atas pada hakikatnya bukanlah riwayat yang dapat dipercaya.

Sumber-sumber riwayat ini  – yakni tafsir al-Quran yang ditulis

kaum Syi‘ah dan karya-karya sejarawan Sunni yang berada di bawah

pengaruh Syi‘ah – secara historis patut dicurigai, sebab  hal-hal

yang biasanya dituturkan kaum Syi‘ah tentang orang-orang suci

kalangan atas sektenya, sejak semula telah dipandang sebagai

rekayasa yang bersifat tendensius. Dari segi kandungannya, laporan-

laporan tentang pengumpulan Ali ini bertentangan secara diame-

tral dengan seluruh kenyataan yang pasti dalam sejarah.35  Riwayat-

riwayat pengumpulan al-Quran oleh Zayd ibn Tsabit maupun

riwayat tentang mushaf-mushaf pra-utsmani lainnya tidak

mengungkapkan sesuatupun tentang kumpulan semacam itu yang

berada dalam pemilikan Ali. Hal ini, paling jauh, hanya

membuktikan bahwa kumpulan al-Qurannya itu lebih bersifat

pribadi dan barangkali digarap selama masa kekhalifahannya atau

pada masa sebelumnya. Selanjutnya, adalah pasti bahwa orang-

orang Syi‘ah tidak pernah memiliki atau mewarisi kumpulan al-

Quran semacam itu.

Sekalipun berbagai riwayat tentang naskah al-Quran yang

dikumpulkan Ali menyebutkan bahwa surat-surat di dalamnya

disusun secara kronologis,36  dan sekalipun ada  riwayat yang

melaporkan bahwa ia pernah mengajarkan surat al-khal‘ dan surat

al-hafd sebagai bagian al-Quran yang diterimanya dari Rasulullah,

al-Ya‘qubi mengungkapkan suatu aransemen surat-surat dalam

mushaf Ali yang sangat berbeda darinya – yakni tidak kronologis

dan tidak memasukkan surat al-khal‘ dan surat al-hafd ke dalamnya.

Aransemen surat-surat ini, hingga taraf tertentu, juga agak berbeda

dari susunan surat dalam mushaf utsmani. Dalam aransemen

ini  surat-surat al-Quran  dikelompokkan  ke  dalam tujuh

bagian  (ajzã’, tunggal: juz’). Tiap bagian diawali dengan salah satu

dari ketujuh surat panjang (surat 2 sampai surat 8) dan disebut

dengan nama surat itu. Ketujuh bagian mushaf Ali itu adalah

sebagai berikut:38

Susunan Surat-surat al-Quran dalam Mushaf Ali

Bagian Pertama - Juz’ al-Baqarah - 16 Surat

        No.          Nama Surat                 No.Surat*       No.             Nama Surat              No.Surat*

1 al-Baqarah 2 9 al-Sajdah 32

2 Yûsuf 12 10 al-Nãzi‘ãt 79

3 al-‘Ankabût 29 11 al-Takwîr 81

4 al-Rûm 30 12 al-Infithãr 82

5 Luqmãn 31 13 al-Insyiqãq 84

6 Fushshilat 41 14 al-A‘lã 87

7 al-Dzãriyãt 51 15 al-Bayyinah 98

8 al-Insãn 76 16 ? ?

Bagian Kedua - Juz’ Ãli ‘Imrãn - 15 Surat

1 Ãli ‘Imrãn 3 9 al-Ma‘ãrij 70

2 Hûd 11 10 ‘Abasa 80

3 Yûsuf 12 11 al-Syams 91

4 al-Hijr 15 12 al-Qadr 97

5 al-Ahzãb 33 13 al-Zalzalah 99

6 al-Dukhãn 44 14 al-Humazah 104

7 al-Rahmãn 55 15 al-Fîl 105

8 al-Hãqqah 69 (16?) Quraisy (?) 106 (?)

Bagian Ketiga - Juz’ al-Nisã’ - 17 Surat

1 al-Nisã’ 4 10 al-Lahab 111

2 al-Nahl 16 11 al-Ikhlãsh 112

3 al-Mu’minûn 23 12 al-‘Ashr 103

4 Yã Sîn 36 13 al-Qãri‘ah 101

5 al-Syûrã 42 14 al-Burûj 85

6 al-Wãqi‘ah 56 15 al-Tîn 95

7 al-Mulk 67 16 al-Naml 27

8 al-Muddatstsir 74 17 ? ?

9 al-Mã‘ûn 107

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  159

Bagian Keempat - Juz’ al-Mã’idah - 15 Surat

1 al-Mã’idah 5 9 al-Mumtahanah 60

2 Yûnus 10 10 al-Thãriq 86

3 Maryam 19 11 al-Balad 90

4 al-Syu‘arã’ 26 12 Alam Nasyrah 94

5 al-Zukhruf 43 13 al-‘Ãdiyãt 100

6 al-Hujurãt 49 14 al-Kawtsar 108

7 Qãf 50 15 al-Kãfirûn 109

8 al-Qamar 54

Bagian Kelima - Juz’ al-An‘ãm - 16 Surat

1 al-An‘ãm 6 9 al-Jumu‘ah 62

2 al-Isrã’ 17 10 al-Munãfiqûn 63

3 al-Anbiyã’ 21 11 al-Qalam 68

4 al-Furqãn 25 12 Nûh 71

5 al-Qashash 28 13 al-Jinn 72

6 al-Mu’min 40 14 al-Mursalãt 77

7 al-Mujãdilah 58 15 al-Dluhã 93

8 al-Hasyr 59 16 al-Takãtsur 102

Bagian Keenam - Juz’ al-A‘rãf - 16 Surat

1 al-A‘rãf 7 9 al-Hadîd 57

2 Ibrãhîm 14 10 al-Muzzammil 73

3 al-Kahfi 18 11 al-Qiyãmah 75

4 al-Nûr 24 12 al-Nabã’ 78

5 Shãd 38 13 al-Gãsyiyah 88

6 al-Zumar 39 14 al-Fajr 89

7 al-Jãtsiyah 45 15 al-Layl 92

8 Muhammad 47 16 al-Nashr 110

Bagian Ketujuh - Juz’ al-Anfãl - 16 Surat

1 al-Anfãl 8 9 al-Najm 53

2 al-Tawbah 9 10 al-Shaff 61

3 Thã Hã 20 11 al-Tagãbun 64

4 Fãthir 35 12 al-Thalãq 65

5 al-Shãffãt 37 13 al-Muthaffifîn 83

6 al-Ahqãf 46 14 al-Falaq 113

7 al-Fath 48 15 al-Nãs 114

8 al-Thûr 52 16 ? ?

Keterangan: * No. Surat, yang bercetak tebal, disesuaikan dengan edisi al-Quran negara kita .

Seperti terlihat, skema di atas secara aktual hanya memuat

109 surat. Lima surat lainnya (surat 1; 13; 34; 66; dan 96) tidak

ada  di dalamnya. Kelima surat ini barangkali terlewatkan secara

tidak sengaja dalam transmisi lisan atau penulisannya. Demikian

pula, skema di atas terlihat tidak begitu akurat dalam menyebutkan

jumlah surat. Bagian pertama, yang dikatakan memiliki 16 surat,

ternyata hanya berisi 15 surat; bagian kedua, yang disebutkan

memiliki 15 surat, ternyata mempunyai 16 surat; bagian ketiga,

yang dinyatakan memuat 17 surat, ternyata hanya memiliki 16

surat; dan bagian ketujuh, yang diungkapkan mempunyai 16 surat,

ternyata hanya berisi 15 surat. Non-akurasi penyebutan jumlah

surat dalam riwayat ini barangkali disebab kan sebab yang sama,

yakni kekeliruan dalam transmisi lisan atau penulisannya.

Namun prinsip penyusunan tata-urutan surat dalam mushaf

Ali di atas terlihat sangat transparan. Prinsip ini  mengacu

kepada suatu kombinasi antara tata-urutan mushaf dengan bagian-

bagian pengelompokannya (juz’ ). Bila rincian bagian-bagian

ini  diuraikan dalam teks menurut sekuensi riwayat, maka

masing-masing dari ketujuh bagian itu menyatukan beberapa 

tertentu surat-surat terpilih – antara 16 sampai 17 surat. Pilihan

surat-surat ini tampaknya tidak bersifat arbitrer, sebab  setiap

bagian secara teratur dimulai dengan nomor surat yang lebih kecil

(surat 2 sampai surat 8) menurut susunan surat-surat dalam mushaf

resmi (utsmani). Kemudian surat-surat selanjutnya, dalam bagian-

bagian ini , disusun secara progresif ke arah nomor-nomor

surat yang lebih besar.

Dengan demikian, terlihat suatu ketergantungan tata urutan

surat yang sangat kuat kepada sekuensi surat di dalam mushaf

utsmani. Tata urutan surat ini secara jelas juga berseberangan

dengan riwayat yang menyatakan bahwa penyusunan surat dalam

kumpulan al-Quran Ali dilakukan secara kronologis. Sementara

pengelompokkan dalam bagian-bagian (ajzã’ ) lebih memberi kesan

bahwa aransemen mushaf Ali dilakukan jauh di kemudian hari.

Pengelompokan al-Quran ke dalam bagian-bagian (ajzã’ ),

sebagaimana diketahui secara pasti, merupakan fenomena yang

baru muncul pada masa bani Ummayah.

saat  Utsman melakukan pengumpulan mushaf resmi al-

Quran, Ali terlihat menyokongnya dengan mengatakan bahwa

seandainya ia berada di posisi Utsman, ia akan melakukan hal

senada. berdasar  hal ini, dapat diduga bahwa ia juga turut

menyerahkan naskahnya untuk dimusnahkan saat  Utsman

memerintahkan hal itu. sebab , jika mushaf ini bisa selamat dari

kemusnahannya,  kaum Syi‘ah pasti akan menjadikannya sebagai

mushaf standar dan otoritatif mereka, alih-alih dari memperlakukan

bacaan (qirã’ah) atau mushaf Ibn Mas‘ud  dan Ubay ibn Ka‘b

sebagai favorit.39  Yang ada di tangan kaum Syi‘ah selama ini adalah

salinan-salinan teks mushaf utsmani, sekalipun dikatakan bahwa

salinan-salinan ini  ditulis sendiri oleh Ali atau salah satu anak

keturunannya.

Dari beberapa  riwayat yang ada  di dalam perbendaharaan

kitab-kitab mashãhif dan tafsir-tafsir tradisional, dapat ditemukan

jejak-jejak varian bacaan Ali yang relatif tidak banyak berbeda dari

bacaan resmi mushaf standar utsmani edisi Mesir. Varian bacaan

Ali ini telah dihimpun Arthur Jeffery, bersama varian-varian bacaan

lainnya dalam mushaf-mushaf pra-utsmani.40  Menurut Jeffery,

bacaan Ali yang berbeda itu mungkin kembali kepada varian-varian

bacaan yang masih diingatnya dari naskah al-Quran yang

dikumpulkannya, atau bisa juga sekedar penafsirannya terhadap

teks utsmani.

Dari segi perbedaan vokalisasi untuk kerangka konsonantal

yang sama, Ali misalnya membaca kata gayri (-H), yang muncul

dalam 1:7, sebagai gayra (-H); ungkapan lijibrîla (+2

) dalam 2:97,

dibaca lijabrã’il (I +2

 , terkadang ditulis JK +2

); kata nûr (7)

dalam 24:35, dibaca sebagai kata kerja nawwara; kata ‘ãdan ( GL)

dalam 53:50, dibaca ‘ãdin (GL); ungkapan yahdi qalbahu ((+)

MN)

dalam 64:11, dibaca yuhdã qalbuhu ((+)

MN); dan  lainnya.

Perbedaan pemberian titik-titik diakritis untuk kerangka grafis

yang sama juga ditemukan dalam mushaf Ali, dan bisa

diilustrasikan dengan kerangka konsonantal B- (2:182), yang dalam

teks utsmani disalin dengan janafan (BO), namun dalam teks Ali

disalin dengan hayfan   (B- ); kerangka konsonan P  (6:57), dalam

teks utsmani disalin dengan yaqushshu (P ), dalam naskah Ali

ditulis dengan yaqdliya (%Q ); kerangka grafis RG (49:10), dalam

teks utsmani ditulis ’akhawaykum (S ), dalam kodeks Ali tersalin

ikhwãnikum (7 SK).

Perbedaan kerangka konsonantal yang mengekspresikan

sinonim-sinonim (murãdif) juga bisa ditelusuri dalam mushaf Ali.

Contohnya, kata al-shadafayni (4-MT

) dalam 18:96, menjadi al-

jabalayni (4-)+2

); kata hashabu (UT) dalam 21:98, menjadi

hathabu (UV); kata fa-s‘aû  ( W ) dalam 62:9, menjadi fa-mdlû

( Q,); dan lainnya. Terkadang susunan kata berada dalam posisi

162  /  TAUFIK ADNAN AMAL

terbalik di dalam mushaf Ali, seperti ungkapan al-mawti bi-l-haqqi

(X@

85 

) dalam 50:19, dibalik menjadi al-haqqi bi-l-mawti, yang

tidak mempengaruhi makna secara umum.

Di beberapa  tempat, ada  sisipan kata atau sekelompok

kata dalam teks mushaf Ali, yang fungsinya terlihat sebagai

keterangan tambahan (gloss). Contohnya, setelah ungkapan ihdinã

(7MF ) dalam 1:6, disisipkan kata tsabbitnã (+Y);  di tengah kata wa

al-mu’minûn (,Z 

$) dalam 2:285, ditambahkan kata ãmana

(4,), sehingga bacaannya menjadi wa ãmana al-mu’minûn (,Z 

4,$);

di tengah-tengah ungkapan ’anã ’ãtîka (:- 67 ) dalam 27:40, di-

tambahkan sekelompok kata, sehingga bacaannya bagian ini

menjadi anã anzhuru fî kitãbi rabbî fa-’ãtîka (:-[%8\]7 7 );

dan lainnya. namun  yang menarik dari beberapa  besar versi bacaan

Ali adalah eksisnya riwayat yang mengungkapkan bahwa ia

membaca 26:215-216 dengan “bacaan Syi‘ah”:42  wa hum ahlu

baytika min al-mu’minîn fa-in ‘ashawka wa rahthaka min hum al-

mukhlashîn fa-qul …, sebagaimana dibaca juga oleh Ibn Mas‘ud.

Kumpulan al-Quran lainnya yang diduga digarap segera setelah

wafatnya Nabi adalah mushaf Salim ibn Ma‘qil (w. 633). Seperti

diinformasikan dalam beberapa  riwayat, Salim merupakan salah

seorang dari beberapa  sahabat yang mendapat rekomendasi Nabi

untuk mengajarkan al-Quran kepada kaum Muslimin.43

Pemunculan namanya dalam jajaran sahabat yang menghimpun

al-Quran pada masa Nabi dan dalam daftar qurrã’ yang awal

barangkali lantaran rekomendasi ini . Sebagaimana Ali, Salim

– segera setelah wafatnya Nabi – bersumpah tidak akan

meninggalkan rumahnya sebelum selesai mengumpulkan al-Quran

secara tertulis, dan sebab  itu – dalam riwayat – dipandang sebagai

orang pertama yang secara aktual mengumpulkan material-mate-

rial wahyu ke dalam suatu kodeks.44

Dikabarkan juga bahwa penamaan kumpulan tertulis al-Quran

sebagai mushhaf bersumber darinya. Kata ini dipelajarinya dari

bahasa Habsyi (ethiopik) yang memiliki makna serupa – yakni

“kitab” atau “kodeks.” Al-Suyuthi juga mengemukakan riwayat

lain yang mengungkapkan keterlibatan Salim dalam pengumpulan

al-Quran atas perintah Khalifah Abu Bakr. namun , sebab  Salim

termasuk di antara beberapa  Muslim yang terbunuh dalam

pertempuran Yamamah pada 12H, maka riwayat terakhir ini jelas

bertentangan dengan riwayat-riwayat pengumpulan Zayd yang

dilakukan setelah pertempuran Yamamah. Tidak berlebihan jika

al-Suyuthi dengan tepat menyebut riwayat ini  sebagai garîb

(“aneh” atau “asing”).

Sekalipun riwayat tentang pengumpulan Salim yang dilakukan

segera setelah wafatnya Nabi dipandang lemah oleh beberapa 

otoritas Muslim, namun pelik untuk membayangkan bagaimana

riwayat semacam itu bisa eksis, jika pada masa awal Islam Salim

dikenal secara populer sebagai pemilik sebuah mushaf. Lebih jauh,

dalam kitab-kitab Thabaqãt ia dicatat sebagai salah seorang yang

telah mentransmisikan suatu riwãyah fî hurûf al-qur’ãn.46  Namun,

barangkali sebab  masa hidupnya yang lebih singkat dibandingkan

pengumpul-pengumpul al-Quran lain, hampir-hampir tidak dapat

ditemukan jejak varian bacaannya. Dari berbagai riwayat yang ada,

hanya ada  dua butir varian bacaannya yang sampai ke masa

kita: (i) diriwayatkan bahwa ia membaca kata nunsihã (N7) dalam

2:106 sebagai nunsikahã (N7); dan (ii) kata shurifat (CA) dalam

7:47 dibacanya sebagai  qulibat (C+)

).

Uraian di atas mengungkapkan sejarah pemeliharaan al-Quran

hingga beberapa saat setelah wafatnya Nabi pada 11H/632.

Sekalipun beberapa  sarjana Muslim meragukan adanya kumpulan

al-Quran dalam bentuk mushaf pada saat itu, paling tidak mereka

memandang bahwa seluruh bagian al-Quran telah dipelihara saat 

itu dalam bentuk fragmen-fragmen tertulis – di atas bahan-bahan

yang ada, sebagaimana telah diuraikan di atas – dan terutama sekali

dalam bentuk hafalan. Rasulullah, menurut sudut pandang ini,

juga telah membuat semacam aransemen ayat dalam tiap-tiap surat

yang diketahui dan diikuti secara luas oleh pengikutnya.

Berseberangan dengan opini yang dikembangkan kalangan

ortodoksi Islam, beberapa sarjana Barat justeru mengemukakan

teori sebaliknya bahwa al-Quran telah dikumpulkan pada masa

Nabi. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab lalu, Bell –

berpijak pada doktrin nãsikh-mansûkh dan  beberapa  “bukti” in-

ternal tentang revisi di dalam al-Quran dan penggunaan dokumen

tertulis – mengemukakan bahwa Nabi sendirilah yang

“mengumpulkan” dan mengedit teks final al-Quran.47  Sementara

sarjana Barat lainnya, John Burton, yang mengadopsi teori Ignaz

Goldziher dan Joseph Schacht tentang hadits, menilai seluruh

164  /  TAUFIK ADNAN AMAL

riwayat tentang pengumpulan al-Quran mulai dari masa Nabi,

yang dilakukan para sahabatnya, hingga ke masa Utsman – dengan

berbagai varian bacaannya – merupakan rekayasa para ahli fikih

belakangan untuk mendukung teori nãsikh-mansûkh mereka

dengan menyembunyikan kenyataan bahwa teks final al-Quran

tidak dihasilkan oleh Utsman melainkan oleh Nabi sendiri.48

Dalam kesimpulan akhirnya Burton mengemukakan:

Jika teori tentang mushaf utsmani runtuh, lantaran

pengumpulan semacam itu tidak pernah dilakukan, hal ini

berarti hanya ada satu teks al-Quran yang eksis selama ini ….

Apa yang kita miliki  kini di tangan kita adalah mushhaf

Muhammad.49

namun , menurut A.T. Welch, teori Burton terlalu berlebih-

lebihan dan tidak ditopang dengan alasan-alasan yang meyakinkan

untuk hipotesisnya sendiri.50  Lebih jauh, temuan-temuan

manuskrip al-Quran yang awal – terutama manuskrip pra-utsmani

di San‘a, Yaman – telah meruntuhkan gagasan tentang

pengumpulan al-Quran yang dilakukan sendiri oleh Nabi. Dalam

manuskrip San‘ani ini, tidak hanya eksis perbedaan dalam bacaan

dengan mushaf utsmani, baik menyangkut vokalisasi ataupun teks

konsonantalnya, namun  juga dalam penghitungan surat,

aransemennya, dan beberapa  kekhususan ortografis.51  Lebih jauh,

eksistensi mushaf yang berasal dari Nabi itu jelas sangat meragukan,

sebab  kalau mushaf semacam itu benar-benar eksis, maka

kebutuhan untuk mengumpulkan al-Quran setelah meninggalnya

Nabi tidak mungkin muncul ke permukaan. Kesimpulan ini, tentu

saja, tidak menegasikan eksistensi mushaf-mushaf yang diusaha kan

pengumpulannya secara personal oleh beberapa  sahabat saat 

proses pewahyuan al-Quran tengah berlangsung, dan kemudian

disempurnakan beberapa saat setelah wafatnya Nabi.

Pengumpulan Pertama Zayd ibn Tsabit

Teori paling populer di kalangan ortodoksi Islam tentang

pengumpulan pertama al-Quran secara tertulis adalah bahwa usaha 

semacam ini secara resmi baru dilakukan pada masa kekhalifahan

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  165

Abu Bakr. Sebelumnya, al-Quran belum terhimpun di dalam satu

mushaf, sekalipun ada  fragmen-fragmen wahyu ilahi yang

berada dalam pemilikan beberapa  sahabat.52  Riwayat-riwayat

tentang pengumpulan al-Quran sebelum masa Abu Bakr selalu

ditafsirkan sebagai “pengumpulan ke dalam dada manusia” atau

penghafalannya untuk membela dan menjamin keabsahan teori

ini.

Tentang pengumpulan al-Quran pada masa pemerintahan

Abu Bakr, ada beberapa  riwayat yang saling bertolak belakang.

Riwayat-riwayat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori

utama: versi mayoritas dan versi minoritas yang membias. Riwayat-

riwayat versi mayoritas, sekalipun tersebar luas, hanya mengalami

sedikit perubahan yang tidak substansial dalam kandungannya.

Salah satunya adalah yang diriwayatkan Bukhari (w. 870) berikut

ini:

Dari Zayd ibn Tsabit, ia berkata: “Abu Bakr memberitahukan

kepadaku tentang orang yang gugur dalam pertempuran

Yamamah, sementara Umar berada di sisinya. Abu Bakr berkata:

Umar telah datang kepadaku menceriterakan bahwa

peperangan Yamamah telah mengakibatkan gugurnya banyak

penghafal (qurrã’ ) al-Quran, dan aku (Umar) khawatir akan

berguguran pula para penghafal lainnya dalam peperangan-

peperangan lain sehingga mungkin banyak bagian al-Quran

akan hilang. Umar minta agar aku memerintahkan untuk

mengumpulkan al-Quran. Lalu aku katakan kepada Umar:

Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah

dilakukan Rasulullah? Umar berkata: Demi Allah ini

merupakan hal yang baik. Umar senantiasa mendesak  aku

untuk melakukan hal ini  sampai akhirnya Allah

melapangkan hatiku dan aku pahami maksud Umar.

Selanjutnya Zayd berkata: Kemudian Abu Bakr berkata

kepadaku: Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cekatan

dan aku tidak meragukan kemampuanmu;  kamu dulu adalah

penulis wahyu untuk Rasulullah, kini telusurilah jejak al-Quran

dan kumpulkanlah (ke dalam suatu mushaf). Zayd berkata:

Demi Allah, seandainya aku disuruh memindahkan gunung,

maka pekerjaan ini tidak lebih berat dari perintah

mengumpulkan al-Quran. Lalu aku berkata: Kenapa Anda

berdua (Abu Bakr dan Umar) melakukan sesuatu yang tidak

pernah dilakukan Rasulllah? Maka Abu Bakr menjawab: Demi

Allah itu pekerjaan yang baik. Setelah berulangkali Abu Bakr

mendesakku, akirnya Allah melapangkan hatiku sebagaimana

dilapangkannya hati Abu Bakr dan Umar. Aku lalu mencari

al-Quran yang tertulis di atas pelepah-pelepah kurma, batu-

batu tulis,53  dan yang tersimpan (dalam bentuk hafalan) di

dada-dada manusia, kemudian aku kumpulkan. Akhirnya aku

temukan bagian akhir surat al-Tawbah pada Abu Khuzaimah

al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain (yaitu: laqad

jã’akum rasûl min anfusikum … dan seterusnya hingga akhir

surat).” Dan shuhuf (yang telah dikumpulkan itu) berada di

tangan Abu Bakr sampai wafatnya, lalu dipegang Umar semasa

hidupnya, kemudian disimpan oleh Hafshah bint Umar.54

Berbeda dengan versi mayoritas,  versi minoritas yang membias

tidak memiliki kesatuan pandang tentang pribadi-pribadi yang

bergulat dan terkait secara langsung atau tidak langsung dengan

pengumpulan pertama al-Quran. Di atas telah ditunjukkan bahwa

ada  beberapa  riwayat terpencil yang mengemukakan Ali ibn

Abi Thalib dan Salim ibn Ma‘qil sebagai pengumpul pertama al-

Quran, di samping laporan-laporan tentang eksistensi beberapa 

mushaf al-Quran yang dikumpulkan sahabat Nabi lainnya.

Demikian pula, dalam versi mayoritas Umar dikenal sebagai

penggagas intelektual pengumpulan pertama al-Quran, sedangkan

Abu bakr merupakan orang yang memerintahkan pengumpulan –

dalam kapasitasnya sebagai penguasa – dan menunjuk pelaksana

teknis, dan  menerima hasil pekerjaan berupa mushaf al-Quran.

Sementara dalam versi minoritas ada  riwayat al-Zuhri (w. 742)

yang mengungkapkan bahwa, saat  banyak kaum Muslimin yang

terbunuh dalam pertempuran Yamamah, Abu Bakrlah yang justeru

mencemaskan akan musnahnya beberapa  besar qurrã’.55

Riwayat versi minoritas lainnya bahkan memangkas peran

Khalifah Pertama dan meletakkan keseluruhan usaha  pengumpulan

al-Quran di atas pundak Khalifah kedua. Dalam riwayat ini

dikisahkan bahwa suatu saat  Umar bertanya tentang suatu bagian

al-Quran dan dikatakan bahwa bagian ini  berada pada

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  167

seseorang yang tewas dalam pertempuran Yamamah. Ia meng-

ekspresikan rasa kehilangan dengan mengucapkan innã li-llãhi wa

innã ilayhi rãji‘ûn, lalu memerintahkan untuk mengumpulkan al-

Quran, sehingga “Umar adalah orang pertama yang mengumpul-

kan al-Quran ke dalam mushaf.”56  Di sini, secara implisit

disebutkan bahwa baik proses awal maupun proses akhir pengum-

pulan al-Quran berlangsung pada masa pemerintahan Umar.

Riwayat lain mengungkapkan bahwa pekerjaan pengumpulan

itu tidak terselesaikan dengan terbunuhnya  Khalifah Umar:

Umar ibn Khaththab memutuskan mengumpulkan al-Quran.

Ia berdiri di tengah manusia dan berkata: “Barang siapa yang

menerima bagian al-Quran apapun langsung dari Rasulullah,

bawalah kepada kami.” Mereka telah menulis yang mereka

dengar (dari Rasulullah) di atas lembaran-lembaran, luh-luh,

dan pelepah-pelepah kurma. Umar tidak menerima sesuatupun

dari seseorang hingga dua orang menyaksikan (kebenarannya).

namun  ia terbunuh saat  tengah melakukan pengumpulannya.

Utsman ibn Affan bangkit (melanjutkannya) dan berkata:

“Barang siapa yang memiliki sesuatu dari Kitab Allah, bawalah

kepada kami….”

Riwayat di atas, selain mengungkapkan penggagas pengumpul-

an al-Quran dan tidak selesainya proses ini  dilakukan oleh

Umar, juga mengemukakan kriteria penerimaan riwayat al-Quran

–  kesaksian dua saksi – yang senada dengan versi mayoritas. Dalam

riwayat-riwayat tentang “ayat rajam,”58  juga dapat dilihat peran

yang dimainkan Umar dalam pengumpulan al-Quran. Sebagaimana

dilaporkan beberapa  riwayat, Umar cemas bahwa kaum Muslimin

akan melupakan “ayat rajam” bila tidak ada  dalam Kitab

Allah.  Namun, menurut riwayat lain, Umar mengaku bahwa ayat

ini  tidak diterima darinya, sebab  ia tidak ingin didakwa telah

membuat suatu tambahan terhadap wahyu.

Dalam Itqãn, dikutip riwayat yang mengemukakan bahwa

pencantuman “ayat rajam” ke dalam  mushaf ditolak sebab  tidak

dipenuhinya persyaratan kesaksian oleh Umar – yakni hanya ia

sendiri yang memandang ayat ini  sebagai bagian wahyu.

namun , riwayat ini terlihat berseberangan dengan riwayat lain yang


mengungkapkan bahwa Ubay ibn Ka‘b juga mengetahui eksistensi

“ayat rajam” sebagai bagian dari wahyu, dan menyalin ke dalam

kodeksnya.62  Sebagaimana akan ditunjukkan dalam bab 7, ayat

ini barangkali tidak dapat dihitung sebagai bagian kitab suci kaum

Muslimin, sebab  mengandung beberapa terma asing yang tidak

pernah digunakan dalam perbendaharaan kata al-Quran.

Sehubungan dengan Ubay, suatu riwayat minoritas

mengungkapkan keterlibatannya dalam pengumpulan Abu Bakr.

Dalam riwayat ini disebutkan bahwa saat  al-Quran dikumpulkan

ke dalam mushaf pada masa Khalifah Abu Bakr, beberapa orang

menyalin didikte oleh Ubay. saat  mencapai 9:127, beberapa di

antaranya memandang bahwa itu merupakan bagian al-Quran yang

terakhir kali diwahyukan. namun , Ubay menunjukkan bahwa Nabi

telah mengajarkannya dua ayat lagi (9:128-129), yang merupakan

bagian terakhir dari wahyu.63  Versi lain dari riwayat ini

mengungkapkan bahwa al-Quran itu dikumpulkan dari mushaf

Ubay (annahum jama‘û al-qur’ãn min mushhaf Ubay…).

Sebagaimana terlihat, riwayat-riwayat tentang peran Ubay ini –

seperti versi-versi minoritas lainnya – telah menegasikan riwayat

mayoritas tentang pengumpulan yang dilakukan Zayd.

ada  juga riwayat lainnya yang cukup fantastik. Dalam

laporan yang disitir oleh Ya‘qubi diungkapkan bahwa Abu Bakr

menolak mengumpulkan al-Quran, lantaran Nabi tidak pernah

melakukannya. sebab  itu, Umar melakukan sendiri pekerjaan

ini  dan menulis wahyu di atas lembaran-lembaran. Kemudian

ia menugaskan 25 orang Quraisy dan 50 orang Anshar untuk

menyalin sahifah ini  dan mengajukannya kepada Sa‘id ibn

al-‘Ash (w. 675).65  Sebagaimana terlihat, laporan ini telah

memporakporandakan riwayat-riwayat tentang pengumpulan

pertama al-Quran yang dilakukan Zayd atas perintah Abu Bakr

dan kumpulan al-Qurannya. namun , jumlah orang yang terlibat

dalam proses penyalinan ini  – yang demikian banyak – tidak

pernah ditemui dalam berbagai versi pengumpulan al-Quran

lainnya, bahkan pada masa Utsman seka