Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 2


 kutmu harus 

tunduk dan taat kepadaku.” 

Begitu Badzan membaca surat dari Syirawaih, ia langsung membuang 

surat ini  dan ia mengumumkan bahwa ia masuk Islam. sebab nya, 

maka seluruh bangsa Persia yang berada di Yaman masuk Islam 

bersamanya. 

  

Demikianlah kisah perjumpaan Abdullah bin Hudzafah dengan Kisra 

raja Persia. Lalu bagaimana kisah perjumpaannya dengan Kaisar yang 

Agung raja Romawi? 

Perjumpaan Abdullah dengan Kaisar terjadi pada masa khilafah Umar 

bin Khattab ra. Dan Umar punya kisah tersendiri dengan Abdullah yang 

termasuk kisah paling menakjubkan. 

Pada tahun 19 Hijriyah, Umar mengirimkan pasukan untuk berperang 

dengan Romawi yang didalamnya terdapat Abdullah bin Hudzafah Al 

Sahmy….  Kaisar raja Romawi sudah mendengar tentang kisah pasukan 

kaum muslimin dan sifat mereka yang memiliki iman yang kuat, akidah 

yang kokoh dan rela mengorbankan jiwa di jalan Allah dan Rasul-Nya. 

Kaisar memerintahkan kepada pasukannya –jika mereka dapat 

menangkap seorang tawanan dari pasukan kaum muslimin- hendaknya 

tidak diapa-apakan akan tetapi dibawa menghadapnya hidup-hidup… 

Kehendak Allah menetapkan bahwa Abdullah bin Hudzafah Al Sahmy 

menjadi tawanan bangsa Romawi. Maka para pasukan Romawi membawa 

Abdullah menghadap Kaisar. Para pasukan tadi berkata kepadanya: “Ini 

yaitu  seorang sahabat Muhammad yang masuk Islam lebih dahulu, dan ia 

berhasil kami tangkap; dan kini kami membawanya menghadapmu.” 

  

Raja Romawi memadang ke arah Abdullah bin Hudzafah dengan 

seksama,lalu ia berkata kepadanya: “Aku akan menawarkan sesuatu 

kepadamu.” Abdullah bertanya: “Apa itu?” Kaisar menjawab: “Aku 

menawarkan kepadamu untuk masuk ke dalam agama Nashrani. Jika kau 

mau, aku akan membiarkanmu hidup dan membuatmu hidup muia.” Maka 

Abdullah menjawab dengan sengit dan tegas: “Tidak akan bagiku. 

Kematian 1000 kali lebih aku sukai dibandingkan  memenuhi ajakanmu.” 

Kaisar lalu berkata: “Menurutku engkau yaitu  seorang yang mulia… 

Jika kau mau menerima tawaranku maka aku akan menjadikanmu sebagai 

pembantuku dan aku akan berbagi kekuasaan denganmu.” 

Abdullah yang sedang dalam kondisi terikat itu tersenyum seraya 

berkata: “Demi Allah, andai saja kau beri aku seluruh apa yang kau miliki 

dan semua yang dimiliki bangsa Arab agar aku keluar dari agama 

Muhammad sekejap saja, maka aku tidak akan pernah melakukannya.” 

Kaisar berkata: “Kalau begitu, aku akan membunuhmu.” Abdullah 

menjawab: “Lakukan saja apa yang kau inginkan.”  

lalu  Kaisar memerintahkan agar Abdullah disalib. lalu  ia 

memerintahkan para juru tombaknya untuk melontarkan tombak ke arah 

tangan Abdullah, sebab  ia berani menolak untuk masuk agama Nasrani. 

Kaisar pun memerintahkan kepada juru tombaknya untuk melemparkan 

tombak ke arah kaki Abdullah sebab  ia berani menolak untuk 

meninggalkan agamanya.  

 sesudah  itu, Kaisar meminta para juru tombaknya berhenti dan 

menyuruh mereka untuk menurunkan Abdullah dari tiang salib. lalu  

Kaisar meminta sebuah tungku besar yang berisikan minyak. Ia lalu 

menyalakan api sehingga mendidih. Lalu ia memanggil pembantunya 

untuk membawa dua orang tawanan dari kaum muslimin lainnya. Lalu 

Kaisar memerintahkan agar salah seorang dari tawanan tadi dimasukkan 

ke dalam tungku tadi. Maka serta merta dagingnya langsung terburai… 

dan tulangnya menjadi kelihatan. 

Lalu Kaisar menoleh ke arah Abdullah bin Hudzafah dan mengajaknya 

untuk masuk ke dalam agama Nashrani. Namun Abdullah menolaknya 

dengan lebih keras lagi. 

Tatkala kesabaran Kaisar sudah habis, ia menyuruh pembantunya 

untuk memasukkan Abdullah ke dalam tungku bersama kedua sahabatnya 

tadi. Tatkala para pengawal membawa Abdullah, maka kedua matanya 

mengeluarkan air mata. Maka para pengawal tadi memberitahukan Kaisar 

bahwa Abdullah telah menangis… 

Kaisar menduga bahwa Abdullah sudah merasa takut dan ia berkata: 

“Bawa kembali dia menghadapku!” 

Tatkala Abdullah sudah berada di hadapan Kaisar. Kaisar menawarkan 

agama Nasrani kembali kepadanya dan ia pun masih menolak. 

Maka Kaisar menjadi berang sebab nya seraya berkata: “Celaka kamu, 

lalu apa yang membuatmu menangis tadi?”  Abdullah menjawab: “Yang 

membuat aku menangis yaitu  saat aku berkata dalam diri sendiri: 

‘Sebentar lagi kau akan dimasukkan ke dalam tungku dan ruhmu akan 

pergi. Dan aku berharap aku memiliki ruh yang banyak sejumlah rambut 

yang berada di badanku, sehingga semuanya dimasukkan ke dalam tungku 

dan mati di jalan Allah.” 

Maka Kaisar yang lalim bertanya: “Maukah kau mencium kepalaku 

sehingga aku akan membebaskanmu?” Abdullah balik bertanya: “Apakah 

engkau juga akan membebaskan semua tawanan kaum muslimin?” Kaisar 

menjawab: “Semuanya akan aku bebaskan.” Abdullah lalu berkata dalam 

dirinya: “Dia yaitu  salah satu musuh Allah. Aku harus mencium 

kepalanya sehingga ia akan membebaskanku dan semua tawanan 

muslimin. Menurutku ini bukanlah hal yang dapat membawa mudharat.” 

lalu  Abdullah mendekat ke arah Kaisar dan iapun mencium 

kepala Kaisar.  Lalu Kaisar memerintahkan untuk membawa semua 

tawanan muslimin menghadapnya dan lalu  mereka semua 

dibebaskan. 

  

Abdullah bin Hudzafah datang menghadap Umar bin Khattab ra. Ia 

mengisahkan ceritanya; Umar langsung gembira dibuatnya. Tatkala Umar 

melihat semua tawanan yang bersamanya ia berujar: “Menjadi kewajiban 

bagi setiap muslim untuk mencium kepala Abdullah bin Hudzafah… dan 

aku sendiri yang akan memulainya.” Lalu Umar berdiri dan mencium 

kepala Abdullah. 



Umair Bin Wahab 

“Umair Bin Wahab Telah Menjadi Orang yang Paling Aku Kasihi Di 

Antara Para Anakku.” (Umar Bin Khattab) 

 

Umair bin Wahab Al Jumahy kembali dari perang Badr dalam kondisi 

selamat, akan tetapi ia pulang tanpa membawa anaknya yang bernama 

Wahab sebab  ditawan oleh kaum muslimin. 

Umair amat khawatir bila kaum muslimin akan menyiksa anaknya 

sebab  dosa yang telah dibuat oleh ayahnya. Dan ia juga amat khawatir 

bila kaum muslimin akan menganiaya anaknya dengan bengis sebagai 

balas dari tindakan ayahnya saat menyakiti Rasulullah Saw dan para 

sahabatnya. 

  

Di suatu pagi, Umair hendak pergi ke Masjidil Haram untuk bertawaf 

di Ka’bah dan mencari keberkahan para berhala yang ada di sana. Ia 

bertemu dengan Shafwan bin Umayyah7 yang sedang duduk di samping 

Hijir Ismail. Umair lalu menghampirinya dan berkata: “Selamat pagi, wahai 

pemuka bangsa Quraisy!” Shafwan membalas: “Selamat pagi, Abu Wahab. 

Duduklah agar kita dapat berbicara sejenak! Sebab waktu dapat berhenti 

sebab  pembicaraan.” Umair pun duduk dihadapan Shafwan bin Umayyah. 

Kedua pria ini  akhirnya mengingat peristiwa Badr dan kekalahan 

mereka yang telak. Mereka juga menghitung kaum mereka yang menjadi 

tawanan di tangan Muhammad dan para sahabatnya. Dan mereka menjadi 

bergidik saat mengingat para pembesar Quraisy yang mati terbunuh oleh 

pedang kaum muslimin, dan mereka terkenang akan Al Qalib8… Lalu 

Shafwan langsung berseru: “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih 

nikmat  sesudah  mereka.” Umair menyahut: “Demi Allah, Engkau benar.” 

Lama berselang Umair berkata lagi: “Demi Tuhan pemilik Ka’bah, kalau 

aku tidak ingat hutangku yang tidak sanggup aku bayar. Kalau saja aku 

tidak khawatir dengan keluarga yang aku khawatirkan kehidupan mereka 

bila aku tidak ada. Pasti aku sudah mendatangi Muhammad dan 

membunuhnya sehingga aku dapat menyelesaikannya dan menolak segala 

kejahatannya…” lalu  ia meneruskan lagi ucapannya dengan suara 

                                                     

7

 Shafwan bin Umayyah bin Khalaf Al Jumahy Al Qurasy. Panggilannya yaitu  Abu Wahab yang 

masuk Islam  sesudah  penaklukan kota Mekkah. Dia yaitu  seorang yang terhormat dan dermawan dari 

kalangan bangsawan Quraisy. Dia juga termasuk golongan muallaf (orang yang masuk Islam sebab  

hatinya telah ditundukan). Ia turut dalam perang Yarmuk dan meninggal di Mekkah pada tahun 41 H. 

8

 Al Qalib yaitu  sebuah sumur dimana terkubur di dalamnya kaum Musyrikin saat perang Badr. 

  

pelan: “Dan keberadaan anakku yang bernama Wahab yang menjadi 

tawanan mereka, itu yang membuat kepergianku ke Yatsrib menjadi hal 

yang tidak dapat dielakan.” 

  

Shafwan bin Umayyah memegang ucapan Umair bin Wahab. Sebelum 

kesempatan berlalu, Shafwan memandang Umair seraya berkata: “Ya 

Umair, aku akan menanggung semua hutangmu berapapun jumlahnya… 

Sedang keluargamu, aku akan menjadikan mereka seperti keluargaku 

selagi aku dan mereka masih hidup. Aku memiliki uang yang cukup 

banyak untuk merawat mereka semua.” Umair lalu menjawab: “Kalau 

begitu, jagalah pembicaraan ini dan jangan sampai ada seorangpun yang 

tahu!” Shafwan langsung membalasnya: “Aku jamin.” 

  

Umair bangkit dari Masjid dan api kedengkian menyala dengan hebat 

dalam hatinya kepada Muhammad Saw. Ia lalu mempersiapkan bekal 

untuk mewujudkan tekadnya. Ia tidak khawatir kegelisahan orang lain 

akan perjalanan yang ia lakukan; hal itu sebab  para keluarga tawanan 

Quraisy lainnya ragu untuk pergi ke Yatsrib demi mencari keluarganya 

yang ditawan di sana. 

  

Umair meminta keluarganya untuk mengasah pedangnya lalu 

melumurkannya dengan racun. Dan ia juga meminta agar kendaraannya 

dipersiapkan dan dibawa kehadapannya; dan iapun lalu 

menungganginya… Ia mulai menuju Madinah dengan selendang 

kebencian dan kejahatan. Akhirnya Umair tiba di Madinah dan ia berjalan 

menuju Masjid untuk mencari Rasulullah Saw. Saat ia sudah hampir 

mendekat ke pintu masjid, ia memberhentikan tunggangannya lalu turun. 

  

Saat itu Umar bin Khattab ra sedang duduk bersama para sahabat yang 

lain dekat pintu masjid. Mereka sedang mengenang perang Badr dan 

tawanan Quraisy serta jumlah yang terbunuh dari pihak mereka. Mereka 

juga mengenang para pahlawan muslimin dari suku muhajirin dan anshar. 

Mereka juga mengingat anugerah kemenangan yang Allah berikan kepada 

mereka, dan apa yang Allah perlihatkan kepada mereka tentang kekalahan 

yang diterima oleh musuh. 

Saat kepala Umar menoleh ia melihat Umair bin Wahab yang baru 

turun dari kendaraannya. Terlihat Umair sedang berjalan ke arah masjid 

dengan pedang terhunus.  Maka Umar langsung bangkit dengan khawatir 

seraya berkata: “Inilah si anjing musuh Allah Umair bin Wahab… Demi 

Allah, pastilah ia datang hendak membuat keburukan. Dialah yang pernah 

menghasut kaum musyrikin di Mekkah untuk memusuhi kami. Dan dia 

juga yang selalu menjadi mata-mata sebelum terjadinya perang Badr.” Lalu 

Umar berpesan kepada para sahabatnya: “Pergilah kepada Rasulullah dan 

tetaplah kalian bersamanya! Waspyaitu  saat setan pembuat makar ini 

akan berlaku khianat kepada Beliau!” 

lalu  Umar datang menghadap Nabi Saw seraya berkata: “Ya 

Rasulullah, ada musuh Allah bernama Umair bin Wahab datang dengan 

membawa pedang terhunus. Aku menduga bahwa ia ingin membuat 

kerusakan.” Lalu Rasul Saw bersabda: “Bawalah ia menghadapku.”  

Kemuian Umar mendatangi Umair bin Wahab. Umar lalu mengambil 

kerah baju Umair dengan keras, lalu melipat leher Umair sampai mencium 

tempat pedang yang berada di pinggulnya. Lalu Umar membawanya 

menghadap Rasul Saw. 

Saat Rasulullah Saw mendapatinya dalam kondisi sedemikian, maka 

Beliau bersabda kepada Umar: “Lepaskan dia, ya Umar!” Lalu Umar pun 

melepaskannya, lalu berkata kepada Umair: Menjauhlah dari Rasul!” Lalu 

Umair pun menjauh dari Rasul. Lalu Rasul Saw mendekat ke arah Umair 

bin Wahab seraya bersabda: “Duduklah, ya Umair!” Lalu Umairpun duduk 

dan berkata: “Selamat pagi!” Lalu Rasulullah Saw menjawab: “Allah telah 

memulyakan kami dengan ucapan penghormatan yang lebih baik dari yang 

kau ucapan, wahai Umair! Allah telah memuliakan kami dengan salam dan 

itu yaitu  ucapan ahli surga.” Lalu Umair menjawab: “Demi Allah, apa 

yang kau ucapkan tidak jauh berbeda dengan ucapan kami. Dan jarakmu 

dengan kami hanya sedikit saja.” Lalu Rasul Saw bertanya kepadanya: “Apa 

yang membawamu ke sini, wahai Umair?” Umair menjawab: “Aku ke sini 

untuk memohon kebebasan bagi tawanan yang kalian tawan. Bersikaplah 

baik kepadaku dalam hal ini.” Rasul Saw bertanya lagi: “Lalu apa 

maksudnya pedang yang kau bawa di lehermu ini?” Umair menjawab: “Ini 

yaitu  pedang yang jelek… apakah ia bermanfaat buat kami saat 

terjadinya perang Badr?!!” Rasul Saw bertanya lagi: “Berkatalah yang jujur, 

apa yang kau inginkan hingga datang ke sini, wahai Umair?” Umair 

menjawab: “Aku hanya datang untuk maksud yang telah aku sebutkan.” 

Rasul Saw bersabda: “Bukan, namun kau pernah duduk bersama Shafwan 

bin Umayyah dekat Hijir Ismail, dan kalian berdua mengenang orang-

orang Quraisy yang terkubur di Al Qalib lalu kau berkata: ‘kalau bukan 

sebab  hutang dan keluargaku aku akan datang kepada Muhammad lalu 

membunuhnya… lalu Shafwan bin Umayyah bersedia untuk membayar 

hutangmu dan menjaga keluargamu agar engkau dapat membunuhku… 

dan Allah yaitu  penghalang dirimu untuk melakukannya.” 

Umair merasa terkejut sesaat, lalu ia mengatakan: aku bersakdi bahwa 

engkau yaitu  utusan Allah. lalu  ia mengatakan: “Dahulu kami 

selalu mendustakan apa yang engkau bawa dari berita langit. Dan kami 

juga mendustakan wahyu yang turun kepadamu. Akan tetapi kisah 

pembicaraanku dengan Shafwan bin Umayyah tidak ada yang 

mengetahuinya selain aku dan dia. 

Demi Allah, kini aku yakin bahwa yang telah memberitahukanmu 

yaitu  Allah. Segala puji bagi Allah yang telah mengantarkan aku kesini 

untuk menunjukkan aku kepada Islam.”  

Lalu ia bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa 

Muhammad yaitu  utusan Allah. Dan akhirnya, ia pun masuk Islam. 

Rasul Saw lalu bersabda: “Ajarkan saudara kalian ini tentang 

agamanya. Ajarkan kepadanya Al Qur’an dan bebaskan tawanannya.” 

  

Kaum muslimin amat bergembira dengan keislaman Umair bin Wahab; 

bahkan Umar bin Khattab ra sempat berkata: “Tidak ada babi yang lebih 

aku cintai selain Umair bin Wahab saat ia datang menghadap Rasulullah 

Saw. Mulai hari ini ia adalh orang yang paling aku cintai dibandingkan  anak-

anakku sendiri.” 

  

Saat Umair sedang mensucikan dirinya dengan ajaran Islam, mengisi 

hatinya dengan cahaya Al Qur’an, dan mengisi hari-hari terindah dalam 

sisa umurnya yang membuat ia terlupa akan Mekkah dan orang-orang 

yang tinggal di dalamnya. Pada saat yang sama Shafwan bin Umayyah 

sedang berangan-angan, dan ia melewati perkumpulan orang-orang 

Quraisy sambil berkata: “Bergembiralah dengan berita besar yang akan 

kalian dengan sebentar lagi. Sebuah berita yang akan membuat kalian 

melupakan peristiwa Badr!” 

 sesudah  penantian cukup lama yang dijalani Shafwan bin Umayyah, 

maka sedikit demi sedikit ia merasa kekhawatiran merasuki dirinya. 

Sehingga hatinya menjadi lebih panas ketimbang batu bara. Dan ia mulai 

kasak-kusuk bertanya kepada para pengelana tentang kabar Umair bin 

Wahab, namun tidak satu pun jawaban mereka yang dapat 

memuaskannya. Namun datang seorang pengelana yang mengatakan 

bahwa Umair telah masuk Islam. Begitu mendengar berita itu, seraya 

tersambar petir Shafwan dibuatnya… sebab  ia menduga bahwa Umair bin 

Wahab tidak akan masuk Islam meski semua manusia di bumi ini masuk 

Islam. 

  

Sedang Umair bin Wahab sendiri hampir saja menguasai agama yang 

baru dianutnya dan menghapal beberapa ayat Al Qur’an yang mudah 

baginya sehingga ia datang menghadap Nabi Saw seraya berkata: “Ya 

Rasulullah dahulu aku yaitu  seorang yang selalu berusaha untuk 

memadamkan cahaya Allah. Dahulunya aku yaitu  orang yang selalu 

menyiksa para pemeluk Islam. Aku berharap engkau mengizinkan aku 

untuk datang ke Mekkah untuk berdakwah kepada kaum Quraisy agar 

kembali ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka menerima dakwahku, 

maka itu amat baik buat mereka. Jika mereka menolak dan berpaling 

dariku, maka aku akan menyiksa mereka sebagaimana aku dulunya 

menyiksa para sahabat Rasul Saw.” 

Rasul Saw memberinya izin dan ia pun berangkat ke Mekkah. 

Sesampainya di sana ia datang ke rumah Shafwan bin Umayyah sambil 

berkata: “Ya Shafwan, engkau yaitu  salah seorang pemuka kota Mekkah, 

seorang intelektual dari suku Quraisy. Apakah menurutmu apa yang kalian 

lakukan dengan beribadah kepada batu dan melakukan penyembelihan 

untuknya dapat diterima oleh akal untuk dijadikan agama?!” 

Sedangkan aku kini telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan 

bahwa Muhammad yaitu  utusan Allah. 

  

Lalu Umair mulai berdakwah di Mekkah sehingga banyak orang yang 

masuk Islam sebab  dakwahnya. Semoga Allah Swt melipatgandakan 

pahala Umair bin Wahab dan memberikan cahaya pada kuburnya. 


Al Bara’ Bin Malik Al Anshary 

“Janganlah Kalian Tunjuk Al Bara’ Menjadi Amir dalam Pasukan 

Muslimin, sebab  Dikhawatirkan Ia Dapat Mencelakakan 

Tentaranya sebab  Ingin Terus Maju” (Umar Bin Khattab) 

 

Rambutnya berantakan. Badannya kurus. Tulangnya kecil. Gesit dan 

sulit dilihat. 

Akan tetapi meski demikian ia berhasil membunuh 100 orang musyrik 

dalam sekali perang, selain orang-orang yang berhasil dibunuhnya dalam 

perang-perang yang diikutinya bersama para pejuang. 

Dia yaitu  orang yang gagah berani dan pantang mundur, demikian 

tulis Umar dalam sebuah surat yang ia tujukan untuk para pembantunya: 

“Janganlah ia ditunjuk sebagai pimpinan pasukan muslimin sebab  

khawatir mereka semua terbunuh sebab  maju terus.” 

Dialah Al Bara’ bin Malik Al Anshary, saudara Anas bin Malik 

pembantu Rasulullah Saw. 

Jika aku paparkan semua kisah kepahlawanan Al Bara’ bin Malik pasti 

akan membutuhkan banyak ruang dan halaman; sebab nya aku hanya 

akan menceritakan satu kisah saja dari kepahlawanannya yang dapat 

memberikan gambaran kepadamu tentang kisah kepahlawanannya yang 

lain. 

  

Kisah ini dimulai saat Rasulullah Saw wafat dan kembali ke pangkuan 

Tuhannya, saat beberapa kabilah Arab keluar dari agama Allah secara 

berbondong, seperti saat mereka masuk ke agama ini  secara 

berbondong. Sehingga yang tersisa hanyalah para penduduk Mekkah, 

Madinah,Thaif dan beberapa kelompok di sana-sini yang Allah tetapkan 

hatinya untuk terus beriman. 

  

Abu Bakar As Shiddiq tetap tegar menghadapi fitnah yang merebak ini. 

Ia tegar bagai gunung kokoh yang tak bergeming. Ia menyiapkan 11 

pasukan yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Beliau juga 

menyiapkan 11 panji yang masing-masing dibawa oleh panglima pasukan 

tadi. Ia mengutus ke sebelas pasukan tadi ke seluruh penjuru Arab untuk 

mengembalikan mereka yang murtad kepada jalan petunjuk dan 

kebenaran, dan untuk menggiring orang-orang yang sesat menuju jalan 

yang lurus lewat sabetan pedang. 

Kaum murtad yang paling kuat dan banyak pasukannya yaitu  Bani 

Hanifah yang menjadi para pendukung Musailamah Al Kadzab. Saat itu 

Musailamah didukung oleh kaum dan sekutunya yang berjumlah 40 ribu 

orang pejuang. Kebanyakan dari mereka mendukungnya sebab  fanatisme 

dan bukannya sebab  beriman kepadanya. Sebagian dari mereka 

mengatakan: “Aku bersaksi bahwa Musailamah yaitu  pembohong dan 

Muhammad yaitu  benar. Tetapi pembohong yang berasal dari suku 

Rabi’ah9 lebih kami sukai dibandingkan  orang yang benar berasal dari suku 

Mudhar10.” 

Musailamah berhasil mengalahkan dan memukul mundur pasukan 

pertama kaum muslimin yang dikirimkan kepadanya di bawah komando 

‘Ikrimah bin Abi Jahal.11 

Lalu Abu Bakar mengirimkan pasukan muslimin kedua kepada 

Musailamah di bawah komando Khalid bin Walid dimana pasukan ini  

dipenuhi dengan para tokoh Anshar dan Muhajirin. Salah satu dari mereka 

yaitu  Al Bara’ bin Malik Al Anshary, dan banyak lagi para patriot 

pemberani dari kaum muslimin. 

  

Kedua pasukan bertemu di daerah Al Yamamah di Najd. Hanya 

sebentar saja maka pasukan Musailamah dan pendukungnya terlihat 

unggul. Bumi yang dipijak oleh pasukan muslimin terasa berguncang saat 

itu. Kaum muslimin mulai bergerak mundur dan terjepit. Sehingga para 

pendukung Musailamah dapat menyusup ke tenda induk Khalid bin Walid. 

Mereka mencabut tali dan tiang tenda ini , bahkan mereka hampir saja 

membunuh istri Khalid kalau saja tidak ada seorang dari pasukan muslimin 

yang melindunginya. 

Ketika itu kaum muslimin merasakan bahaya yang begitu besar. Mereka 

menyadari bahwa bila mereka sampai kalah oleh Musailamah maka Islam 

tidak akan berdiri tegak lagi dan Allah Swt tidak akan pernah disembah lagi 

di jazirah Arab. 

Khalid langsung bangkit menuju pasukannya. Ia memulai mengatur 

kembali pasukannya. Ia mendahulukan kaum Muhajirin di pasukan depan 

dan Anshar di belakang. Dan ia menempatkan orang-orang badu’i di 

barisan ini . 

Khalid juga mengumpulkan anak-anak yang berasal dari satu bapak 

dengan satu panji agar ia dapat mengetahui musibah yang menimpa setiap 

                                                     

regu dalam peperangan ini, dan juga agar ia tahu dari sisi mana kaum 

muslimin di serang. 

Maka terjadilah perang di antara dua kubu yang begitu hebatnya. 

Kaum muslimin belum pernah menjalani peperangan yang begitu dahsyat 

seperti ini sebelumnya. Kaum Musailamah telah berdiri dengan 

congkaknya di medan perang seolah mereka bagai gunung yang tak 

bergeming dan mereka seolah tidak peduli akan banyaknya korban yang 

mereka terima… 

Dan kaum muslimin saat itu didukung oleh para pahlawan yang bila 

dikumpulkan dalam tulisan maka akan menjadi sebuah kisah 

kepahlawanan yang amat menarik. 

Terdapat di sana Tsabit bin Qais pembawa panji Al Anshar yang telah 

menyiapkan peralatan kematian, kain kafan dan menggali sendiri kuburan 

untuk dirinya. Ia masuk ke dalam lobang yang digalinya ini  sehingga 

mencapai separuh dari betisnya. Ia berdiri tegap dalam posisinya itu. Ia 

berjuang mempertahankan panji kaumnya sehingga ia binasa dan menjadi 

syahid. 

Adalagi Zaid bin Khattab saudara Umar bin Khattab ra yang menyeru 

pasukan muslimin: “Wahai semua manusia, gigitlah kuat-kuat geraham 

kalian, seranglah musuh kalian dan terus maju pantang mundur… Wahai 

semua manusia, Demi Allah aku tidak akan berkata apapun lagi  sesudah  ini 

sehingga Musailamah dapat dikalahkan atau hingga aku berjumpa Allah 

dan aku akan bersaksi dihadapannya… lalu  ia mulai menyerang 

musuh dan terus berperang sehingga tewas. 

Ada juga Salim budak Abu Hudzaifah yang membawa panji kaum 

Muhajirin. Kaumnya khawatir akan kelemahan fisik dan rasa takut yang 

dimilikinya, sehingga kaumnya berkata kepada Salim: “Kami khawatir kita 

akan diserang dari arahmu.” Salim menjawab: “Jika kalian diserang musuh 

dari arahku, maka seburuk-buruknya penjaga Al Qur’an yaitu  aku.” 

lalu  Salim menyerang para musuh Allah dengan begitu beraninya, 

sehingga ia tewas. 

Akan tetapi semua pahlawan tadi masih kalah dibandingkan kisah 

kepahlawanan Al Bara’ bin Malik ra. 

Hal itu sebab  saat Khalid melihat perang berkecamuk dengan begitu 

dahsyatnya, ia menoleh ke arah Al Bara’ bin Malik sambil berkata: 

“Seranglah mereka, wahai pemuda Anshar!” 

Maka Al Bara’ pun melihat ke arah kaumnya dan berkata: “Wahai 

kaum Anshar, janganlah salah seorangpun di antara kalian berpikir untuk 

kembali ke Madinah; tidak ada lagi Madinah bagi kalian  sesudah  hari ini… 

yang ada hanyalah Allah saja… dan surga…” 

Kemuian Al Bara; dan kaumnya membawa panji mereka untuk 

menyerang kaum musyrikin. Dan ia terus menyerang membuka barisan 

lawan. Ia menebaskan pedangnya di leher para musuh Allah sehingga 

Musailamah dan pendukungnya terjepit. Mereka mundur ke sebuah taman 

yang terkenal dalam sejarah dengan sebutan Hadiqatul Maut (Taman 

Kematian) sebab  banyaknya korban yang mati di hari itu. 

  

Hadiqatul Maut ini yaitu  sebuah bidang yang luas dan memiliki 

tembok yang tinggi. Musailamah dan ribuan tentaranya menutup gerbang-

gerbang taman ini . Mereka semua berlindung dengan tembok-tembok 

tinggi yang ada di dalamnya. Dan mereka menembakkan anak panah 

mereka dari dalam taman ini  sehingga anak panah ini  bagaikan 

hujan yang turun dengan deras bagi kaum muslimin.  

Saat itu majulah sang pejuang Islam yang gagah berani bernama Al 

Bara’ bin Malik sambil berseru: “Wahai kaumku, taruhlah aku di alat 

pelempar. Dan arahkanlah ke arah para pemanah itu. Lemparkanlah aku 

ke dalam taman dekat gerbangnya. sebab nya, bila aku tidak mati syahid, 

maka aku akan membukakan gerbang taman untuk kalian. 

  

Dalam sekejap Al Bara’ bin Malik telah duduk di atas alat pelempar. Dia 

yaitu  seorang yang berbadan kurus. Maka para pejuang yang lain 

mengangkat dan melemparkannya ke dalam Hadiqatul Maut di antara 

ribuan pasukan Musailamah. Maka turunlah Al Bara’ di pihak musuh 

seperti kilat menyambar. Ia terus menyerang mereka di depan gerbang 

taman dan ia berhasil membunuh 10 orang dari mereka dan berhasil 

membuka gerbang. Dan ia mengalami lebih dari 80 luka panah dan 

sabetan pedang sebab nya. 

Maka kaum muslimin langsung merangsek ke arah Hadiqatul Maut 

dari seluruh penjuru pagar dan gerbangnya. Mereka menyabetkan pedang 

ke arah leher para kelompok murtadin, sehingga tidak kurang dari 20 ribu 

dari pihak mereka menjadi korban termasuk Musailamah Al Kadzab. 

  

Al Bara’ bin Malik dibawa dengan kendaraannya untuk mendapatkan 

perawatan. Khalid bin Walid merawatnya selama sebulan penuh untuk 

menyembuhkan semua luka yang ada pada tubuh Al Bara hingga akhirnya 

ia pun pulih kembali. Dengan keberanian Al Bara, pasukan muslimin 

meraih kemenangan telak. 

  

Al Bara telah mengobarkan semangatnya untuk mendapatkan 

kesyahidan dalam peristiwa Hadiqatul Maut. Ia terus mengikuti perang 

demi perang sebab  ingin mewujudkan cita-citanya yang tertinggi itu dan 

sebab  rindu kepada Nabi Saw, sehingga pada hari penaklukan kota 

Tustar12 di negeri Persia. Persia saat itu dibentengi dengan salah satu 

benteng yang terletak di dataran tinggi. Kaum Muslimin telah berhasil 

mengepung mereka dengan begitu ketatnya. Saat pengepungan ini  

berlangsung cukup lama dan pihak Persia sudah merasa semakin terjepit 

maka mereka membuat rantai besi yang mereka ulurkan dari pagar 

benteng ini . Di ujung rantai digantungkan penjepit yang terbuat dari 

baja yang disulut api sehingga lebih panas dari batu bara; Penjepit itu 

berputar mengenai tubuh kaum muslimin dan mencomot tubuh mereka. 

Pasukan Persia mengangkat tubuh kaum muslimin yang terkena jepitan 

tadi ke atas baik dalam keadaan mati ataupun sekarat. 

Para pasukan Persia yang bertugas menggunakan alat ini  

mengarahkannya kepada Anas bin Malik –saudara Al Bara bin Malik-. 

Begitu melihatnya, AL Bara langsung melompat ke arah tembok benteng 

dan meraih rantai yang telah mengambil tubuh saudaranya. Al Bara 

berjuang keras untuk menggoncang penjepit tadi untuk mengeluarkan 

Anas dari dalamnya. Tangan Al Bara menjadi terbakar dan melepuh, ia 

tidak menghentikan usahanya sehingga saudaranya terbebas, dan iapun 

jatuh  sesudah  hanya tulang yang tersisa dari tangannya tanpa daging 

sedikitpun. 

Dalam peperangan ini, Al Bara bin Malik Al Anshary berdo’a kepada 

Allah agar ia diberikan mati syahid. Dan Allah mengabulkan 

permohonannya. Dan Al Bara akhirnya mati sebagai seorang syahid yang 

amat rindu dengan perjumpaan dengan Allah Swt. 

Semoga Allah Swt menyinari wajah Al Bara bin Malik di surga, dan 

membuat dirinya tenang dengan hidup bersama Nabinya Muhammad Saw. 

Semoga Allah meridhainya dan ia ridha kepada Tuhannya. 


                                                     

12

 Tustar yaitu  kota terbesar di Kazakhstan saat ini. 

Tsumamah bin Utsal 

“Melakukan Embargo Ekonomi Terhadap Kaum Quraisy” 

 

Pada tahun 6 H Rasulullah Saw bertekad untuk memperluas daerah 

dakwahnya. Beliau Saw menuliskan 8 surat yang ditujukan kepada para 

raja dan penguasa Arab dan Non-Arab. Rasul Saw juga mengutus beberapa 

orang yang membawa surat-surat ini  untuk mengajak para raja dan 

penguasa tadi untuk memeluk Islam. 

Salah seorang dari penguasa yang mendapatkan surat dari Rasul Saw 

yaitu  Tsumamah bin Utsal Al Hanafi. Hal itu tidak mengherankan, sebab  

Tsumamah yaitu  salah seorang penguasa Arab pada zaman jahiliah… dan 

ia termasuk salah seorang pembesar Bani Hanifah yang terpandang. Ia juga 

salah seorang raja dari Yamamah yang setiap perintahnya harus ditaati. 

  

Tsumamah menerima surat Rasul Saw dengan sikap meremehkan dan 

menolak. Ia mengambilnya dengan congkak dan ia tidak mau 

mendengarkan dakwah kebenaran dan kebaikan yang sampai kepadanya. 

Lalu setan menyuruhnya untuk membunuh Rasulullah Saw dan 

menamatkan riwayat dakwah Beliau. Maka Tsumamah mulai mencari 

kesempatan terbaik untuk membunuh Rasulullah Saw saat Rasul lengah. 

Hampir saja makar ini berhasil kalau saja salah seorang paman Tsumamah 

memberitahukan kepada Rasul niat Tsumamah untuk membunuh Beliau. 

Maka Allah Swt menyelamatkan Nabi-Nya dari kejahatan Tsumamah. 

Namun, meski Tsumamah telah mengurungkan niat untuk membunuh 

Rasul Saw, akan tetapi ia masih bertekad untuk membunuh para sahabat 

Rasul Saw. Ia menunggu kesempatan untuk melakukan hal ini . 

Akhirnya, ia berhasil menangkap beberapa orang sahabat Rasul Saw dan 

membunuh mereka dengan begitu kejamnya. Maka Nabi Saw langsung 

memberitahukan kepada para sahabatnya bahwa Beliau Saw telah 

menghalalkan darah Tsumamah untuk dibunuh. 

  

Tidak lama berselang sejak kejadian itu, Tsumamah pun berniat untuk 

melakukan umrah. Ia berangkat dari kampungnya yang bernama 

Yamamah menuju Mekkah. Dalam perjalanan ia berkhayal melakukan 

thawaf berkeliling Ka’bah dan melakukan penyembelihan untuk para 

berhala yang ada di sana. 

 

  

Saat Tsumamah berada di tengah perjalanan dekat dengan Madinah 

maka ia mendapatkan musibah yang belum pernah dibayangkan olehnya. 

Ada serombongan pasukan Rasulullah Saw yang bertugas untuk 

mengintai dan mengawasi sekeliling pemukiman sebab  khawatir ada 

pihak musuh yang hendak menyusup dan melakukan kejahatan di 

Madinah. 

Maka pasukan tadi langsung menawan Tsumamah –dan pasukan ini 

tidak mengenal Tsumamah- lalu membawanya ke Madinah. Rombongan 

pasukan ini mengikat Tsumamah bersama dengan beberapa tawanan yang 

diikat di masjid. Mereka mengikat para tawanan tadi sambil menunggu 

hingga Rasul Saw sendiri yang memberi keputusan tentang para tawanan 

ini. 

Rasulullah Saw keluar rumah untuk pergi ke mesjid, begitu Beliau 

hendak masuk ke dalamnya, Beliau melihat Tsumamah sedang diikat oleh 

pasukan. Maka Rasul Saw langsung bertanya kepada para sahabatnya: 

“Apakah kalian tahu siapa yang kalian tawan ini?” Para sahabat menjawab: 

“Tidak, ya Rasulullah.” Rasul bersabda: “Ini yaitu  Tsumamah bin Utsal Al 

Hanafi. Bersikaplah yang baik terhadapnya.” 

Lalu Rasulullah Saw kembali ke rumahnya lagi dan bersabda kepada 

keluarganya: “Kumpulkan makanan yang ada pada kalian dan kirimkan 

kepada Tsumamah bin Utsal!” lalu  Rasul Saw memerintahkan 

keluarganya untuk memeras susu unta miliknya setiap pagi dan petang dan 

membawa susu ini  kepada Tsumamah. Semua itu dilakukan sebelum 

Tsumamah berjumpa atau berbicara kepada Rasul Saw. 

  

lalu  Nabi Saw mendatangi Tsumamah dengan niat mengajak 

Tsumamah masuk ke dalam Islam. Beliau bertanya: “Bagaimana 

keadaanmu, wahai Tsumamah?” Tsumamah menjawab: “Saya baik-baik 

saja, ya Muhammad! Jika kau hendak membunuhku, maka sepantasnyalah 

kau membunuhku sebab  aku telah banyak membunuh sahabatmu. Jika 

kau mau memaafkan, aku akan amat berterima-kasih. Jika kau 

menginginkan harta, sebut saja sesukamu pasti akan diberikan.” 

Lalu Rasulullah Saw membiarkan Tsumamah seperti itu selama dua 

hari. Ia diberi makan dan minum dan selalu diberi susu unta. Dua hari 

lalu  Rasul Saw mendatanginya lagi dengan bertanya: “Bagaimana 

keadaanmu, wahai Tsumamah?” Tsumamah menjawab: “Aku masih tetap 

dengan apa yang telah aku katakan sebelumnya. Jika kau mau memaafkan, 

aku akan amat berterima kasih. Jika kau hendak membunuhku, maka 

sepantasnyalah kau membunuhku sebab  aku telah banyak membunuh 

sahabatmu. Jika kau menginginkan harta, minta saja sesukamu, pasti aku 

akan memberikannya.” 

Lalu Rasul Saw meninggalkannya lagi, dan pada hari keesokannya 

Rasul mendatanginya lagi dengan bertanya: “Bagaimana keadaanmu, 

wahai Tsumamah?” Ia menjawab: “Seperti yang pernah aku katakan 

kepadamu. Jika kau mau memaafkan, aku akan amat berterima kasih. Jika 

kau hendak membunuhku, maka sepantasnyalah kau membunuhku sebab  

aku telah banyak membunuh sahabatmu. Jika kau menginginkan harta, 

minta saja sesukamu, pasti aku akan memberikannya.” 

Rasul Saw langsung menoleh ke arah para sahabatnya sambil bersabda: 

“Bebaskan Tsumamah!” Maka para sahabat melepas ikatan yang melilit 

tubuh Tsumamah dan membebaskannya. 

  

Tsumamah pergi meninggalkan mesjid Rasulullah Saw dan ia terus 

melanjutkan perjalanannya sehingga ia tiba di sebuah pohon kurma di 

ujung kota Madinah dekat dengan Baqi13- dekat pohon ini  terdapat 

mata air sehingga ia bisa memberi minum hewan tunggangannya. Ia 

langsung mandi dengan bersih di mata air ini , lalu ia melanjutkan 

perjalanannya menuju Mesjidil Haram. 

Belum juga ia sampai ke Mekkah ia berjumpa dengan sekelompok 

orang kaum muslimin yang berkata: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah 

dan aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu  hamba dan utusan-Nya.” 

Lalu Tsumamah kembali lagi menghadap Rasulullah Saw seraya 

berkata: “Ya Muhammad, Demi Allah tidak ada wajah yang paling aku 

benci selain wajahmu. Kini, wajahmu menjadi wajah yang paling aku sukai 

di muka bumi ini. Demi Allah, tidak ada agama di muka bumi ini yang 

paling aku benci selain agamamu. Kini, ia telah menjadi agama yang paling 

aku cintai. Demi Allah, tidak ada negeri yang paling aku benci selain 

negerimu. Kini, ia menjadi negeri yang paling aku sayangi.” Lalu ia 

menambahkan: “Aku telah banyak membunuh para sahabatmu, lalu apa 

yang akan kau lakukan padaku?” Rasul Saw bersabda: “Engkau tidak akan 

dicelakakan… sebab  Islam telah menghapuskan kesalahan yang pernah 

dilakukan oleh seseorang.” Rasul Saw memberitahukan Tsumamah akan 

kebaikan yang telah Allah tetapkan pada dirinya sebab  ia telah mau 

memeluk Islam. 

Raut muka Tsumamah langsung sumringah dibuatnya, dan ia langsung 

berujar: “Demi Allah, aku akan membunuh kaum musyrikin berlipat-lipat 

dari jumlah para sahabatmu yang telah aku bunuh. Aku akan menyerahkan 

diriku, pedangku dan semua pengikutku untuk membela agamamu.” 

Ia lalu berkata: “Ya Rasulullah, Aku tertarik dengan kudamu sebab  

aku berniat melakukan umrah. Apa yang mesti aku lakukan?” Rasul Saw 

bersabda: “Pergilah untuk melakukan umrah, akan tetapi harus sesuai 

                                                   

 Baqi’: Sebuah dataran di ujung kota Madinah yang dipenuhi dengan pohon. Lalu dijadikan 

tempat pemakaman dimana banyak dikuburkan disana para sahabat Rasul Saw. 

dengan syariat Allah dan Rasul-Nya.” Rasul Saw lalu mengajarkan 

kepadanya manasik yang mesti dilakukan. 

  

Tsumamah pergi untuk melakukan niatnya hingga ia sampai di 

Mekkah. Ia berdiri dengan meneriakkan talbiyah dengan suara kencang: 

“Labbaika-llahumma labaik. Labaika la syarika laka labbaik. Innal hamda 

wan nikmata laka wal mulk, la syarika lak. (Aku penuhi panggilan-Mu, Ya 

Allah. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu 

bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya, pujian, nikmat dan 

kekuasaan yaitu  milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu).” Tsumamah menjadi 

muslim pertama yang masuk ke Mekkah dengan meneriakkan talbiyah. 

  

Suku Quraisy mendengar suara talbiyah yang diteriakkan oleh 

Tsumamah. Mereka menjadi berang dibuatnya. Mereka segera 

menghunuskan pedang dari sarungnya, dan berlari ke arah sumber suara 

untuk membunuh orang yang berani menyusup Mekkah dengan membaca 

kalimat ini . 

Begitu kaum Quraisy datang menghampiri Tsumamah. Ia malah 

memperkeras suaranya meneriakkan talbiyah. Ia menatap ke arah suku 

Quraisy dengan gagahnya. Salah seorang pemuda suku Quraisy berniat 

untuk memanah Tsumamah. Lalu suku Quraisy yang lain mencegahnya 

seraya berkata: “Celaka kamu, apakah kamu tidak kenal dengan orang ini? 

Dia yaitu  Tsumamah bin Utsal raja Yamamah. Demi Allah, jika kalian 

membunuhnya, maka kaumnya tidak akan mengirimkan makanan lagi 

kepada kita dan kita bisa mati kelaparan.” lalu  suku Quraisy 

mendatangi Tsumamah  sesudah  mereka memasukkan kembali pedang ke 

dalam sarungnya. Suku Quraisy bertanya: “Ada apa denganmu, wahai 

Tsumamah? Apakah engkau telah hilang kesadaran dan meninggalkan 

agamamu dan agama bapak moyangmu?!!” Tsumamah menjawab: “Aku 

tidak hilang kesadaran akan tetapi aku kini mengikuti agama terbaik… aku 

telah mengikuti agama Muhammad.” Ia menambahkan: “Aku bersumpah 

demi Tuhan Pemilik rumah ini (pent: Ka’bah),  sesudah  aku kembali lagi ke 

Yamamah, kalian tidak akan pernah menerima kiriman gandum atau 

komoditas apapun dari sana sehingga kalian semua mengikuti agama 

Muhammad…” 

  

Tsumamah bin Utsal menjalankan umrah sebagaimana yang diajarkan 

Rasul Saw dihadapan para suku Quraisy… Ia menyembelih hewan 

sembelihan di sana sebagai pendekatan diri kepada Allah bukan kepada 

para berhala. Ia pun kembali ke negerinya dan memerintahkan kepada 

penduduk Yamamah untuk menghentikan pengiriman produk kepada suku 

Quraisy; Ia menjelaskan dengan tegas perintahnya ini dan kaumnya pun 

menuruti akan titahnya. Mereka tidak mengirimkan komoditas mereka 

kepada penduduk Mekkah. 

  

Embargo yang diterapkan Tsumamah semakin terasa dampaknya oleh 

suku Quraisy. Harga semakin tinggi, manusia kelaparan dan mereka 

menjadi panik dibuatnya. Mereka menjadi khawatir akan keselamatan diri 

dan anak-anak mereka dari bahaya kelaparan. 

Dalam keadaan sedemikian genting bangsa Quraisy mengirimkan surat 

kepada Rasulullah Saw yang isinya: “Salah satu perjanjian di antara kita 

yaitu  bahwa engkau akan tetap berusaha menjaga silaturahim… Kini, 

engkau sudah memutuskan hubungan silaturahim ini; sebab  engkau telah 

membunuh kaum bapak kami dengan pedang dan membunuh anak-anak 

kami dengan rasa lapar. 

Tsumamah bin Utsal telah mengembargo produk mereka kepada kami 

sehingga membuat kami dalam bahaya. Jika kau tak berkeberatan untuk 

mengirimkan surat kepadanya agar ia tetap mengirimkan apa yang kami 

butuhkan, maka lakukanlah!” 

Lalu Rasulullah Saw mengirimkan surat kepada Tsumamah agar ia 

mengirimkan kembali komoditinya kepada kaum Quraisy, dan Tsumamah 

langsung melakukannya. 

  

Selagi ia hidup, Tsumamah bin Utsal senantiasa memelihara agamanya 

dan menjaga janjinya kepada Rasul Saw. Begitu Rasul Saw wafat, banyak 

dari kalangan bangsa Arab yang keluar dari agama Allah secara bersama-

sama atau sendirian. Saat itu Musailamah Al Kadzzab melakukan dakwah 

di kalangan Bani Hanifah mengajak mereka untuk beriman kepadanya. 

Tsumamah yang tahu akan hal itu mendatangi Musailamah dan berkata 

kepada kaumnya: “Wahai Bani Hanifah, hati-hatilah kalian dengan urusan 

kegelapan yang tiada cahaya di dalamnya ini… Ketauilah, Demi Allah ini 

merupakan bencana bagi orang di antara kalian yang mau mengikutinya. 

Ia juga merupakan bencana bagi orang yang mentaatinya.” Ia juga 

menyerukan: “Wahai, Bani Hanifah. Tidak pernah ada dua Nabi dalam 

masa yang sama. Sungguh Muhammad yaitu  Rasulullah dan tidak ada 

Nabi sesudahnya, dan juga tidak ada Nabi yang diutus bersamaan 

dengannya.” Tsumamah lalu membacakan kepada mereka:  

üΝm ∩⊇∪   ã≅ƒ Í”∴s? É=≈ tG Å3ø9$# z⎯ÏΒ «!$# Í“ƒÍ“ yè ø9$# ÉΟŠ Î= yè ø9$# ∩⊄∪   ÌÏù% yñ É=/Ρ¤‹9$# È≅ Î/$ s% uρ 

É> öθ−G9$# ωƒ ωx© É>$ s)Ïèø9$# “ ÏŒ ÉΑöθ ©Ü9$# ( Iω tµ≈s9Î) ω Î) uθ èδ ( ϵ ø‹s9Î) çÅÁ yϑ ø9$# ∩⊂∪     

“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (al-Qur'an) dari Allah Yang Maha 

Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang mengampuni dosa dan 

menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai 

karunia. Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya 

kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” (QS. Ghafir [40]: 1-3) 

Ia lalu berujar: “Bagaimana kalian dapat membandingkan kalam Allah 

dengan ucapan Musailamah: “Wahai kodok yang bersih, alangkah 

bersihnya dirimu. Tidak ada minuman yang dipantangkan bagimu, dan 

tidak ada air yang kau buat keruh.” 

Lalu Tsumamah bergabung dengan mereka yang tersisa dari kaumnya 

yang masih memeluk Islam, dan menyerang kaum murtad sebagai jihad di 

jalan Allah dan menegakkan kalimat-Nya di muka bumi.  

Semoga Allah membalas kebaikan Tsumamah yang telah 

didekasikannya kepada Islam dan kaum muslimin… Semoga Allah 

memulyakannya dengan surga yang telah dijanjikan bagi orang-orang 

yang bertaqwa. 


Abu Ayub Al Anshary           

(Khalid bin Zaid Al Najary) 

“Dimakamkan di Bawah Benteng Kostantinopel” 

 

Ini yaitu  seorang sosok sahabat besar yang terkenal denga nama 

Khalid bin Zaid bin Kalib dari Bani An Najar. Panggilannya yaitu  Abu 

Ayub, dan ia berasal dari suku Anshar. 

Siapakah dari kaum muslimin yang tidak mengenal Abu Ayub Al 

Anshary? 

Allah telah mengharumkan namanya dari timur hingga ke barat negeri. 

Allah telah meninggikan derajatnya saat Ia memilih rumah Abu Ayub 

bukan rumah kaum muslimin lainnya saat sebagai tempat singgah 

Rasulullah Saw saat Beliau tiba di Madinah sebagai seorang muhajir. Dan 

hal ini cukup membuat bangga diri Abu Ayub. 

Saat Rasulullah Saw singgah di rumah Abu Ayub ada sebuah kisah yang 

amat manis dan indah untuk dikenang. 

Hal itu dimulai begitu Rasulullah Saw tiba di Madinah, Beliau disambut 

oleh hati terbuka para penduduknya dengan sambutan yang begitu mulia. 

Mata mereka memancarkan kerinduan seorang kekasih kepada Nabi Saw. 

Mereka mau membukakan pintu hati mereka bagi Beliau Saw. Mereka juga 

membuka pintu mereka agar Nabi Saw mau singgah sebagai tempat 

singgah yang paling mulia. Akan tetapi Rasulullah Saw sempat singgah di 

Quba14 sebuah dataran yang terdapat di Madinah 4 hari lamanya. Selama 

itu Rasulullah sempat membangun sebuah mesjid yang lalu  menjadi 

mesjid pertama yang dibangun berdasarkan tqawa. 

lalu  Beliau pergi meninggalkan Quba dengan mengendarai 

untanya menuju Madinah, di tengah perjalanan para pemuka Yatsrib 

menghalangi jalan Rasul Saw. Masing-masing dari mereka menginginkan 

agar Rasulullah Saw berkenan singgah di rumah salah satu dari mereka… 

Masing-masing mereka menarik unta Rasul sambil berkata: “Menginaplah 

di rumah kami ya Rasulullah dalam penjagaan dan pengawasan yang 

begitu kuat.” Rasul bersabda kepada mereka: “Biarkan unta ini berjalan, 

sebab  ia sudah diperintahkan.”  

Unta Rasul Saw lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke tempat 

tujuan yang diikuti oleh pandangan mata dan harapan hati para penduduk 

                                                     

 Quba yaitu  sebuah desa dekat Madinah berjarak 2 mil darinya. 

 

Madinah… Jika unta ini  telah melewati sebuah rumah maka 

penghuni rumah tadi menjadi sedih dan putus asa dibuatnya, pada saat 

yang sama sinar pengharapan masih terus terpancar pada jiwa para 

tetangganya yang belum dilewati oleh unta Rasulullah Saw. 

Unta ini  masih saja melakukan tugasnya dan para manusia 

mengikuti jejaknya sebab  mereka betapa ingin mengetahui siapa yang 

akan mendapatkan keberuntungan ini; sehingga unta ini  tiba di 

sebuah pekarangan kosong di depan rumah Abu Ayub Al Anshary, dan 

unta tadi langsung duduk di sana… 

Akan tetapi meski unta sudah duduk namun Rasulullah belum juga 

turun dari punuknya… 

Unta ini  juga terus duduk di sana. Ia tidak lompat, berdiri lalu 

pergi, dan Rasulullah Saw melepaskan tali kekang dari untanya. Unta 

Beliau masih saja tetap di sana tanpa mengangkat kakinya lagi dan ia masih 

tetap di tempat berhentinya yang semula. 

Pada saat itu, terbuncah kegembiraan hati Abu Ayub Al Anshary dan ia 

langsung menghambur menghampiri Rasulullah Saw untuk menyambut 

Beliau. Ia membawakan barang-barang milik Rasulullah seolah ia sedang 

membawa harta karun yang terkandung di seluruh dunia ini, dan ia pun 

masuk ke dalam rumahnya. 

  

Rumah Abu Ayyub terdiri dari dua tingkat. Abu Ayub mengosongkan 

tingkat atas dari rumahnya agar Rasulullah Saw bisa tinggal di sana. 

Akan tetapi Rasulullah Saw lebih memilih untuk tinggal di bawah saja. 

Dan Abu Ayub pun melakukan permintaan Rasul Saw dan menempatkan 

Beliau sesukanya. 

Begitu malam mulai datang dan Rasul Saw sudah berada di 

peraduannya. Abu Ayub dan istrinya hendak naik ke tingkat atas. Begitu 

mereka baru saja mau menutup pintu, Abu Ayub menoleh ke arah istrinya 

sambil berkata: “Celaka kamu, apa yang telah kita perbuat? Apakah pantas 

Rasulullah Saw berada di bawah dan kita tinggal di atasnya?! Apakah kita 

akan melangkah di atas tubuh Rasulullah Saw?! Apakah kita akan berjalan 

di antara seorang Nabi dan wahyu?! Kita bisa celaka kalau begitu.” 

Akhirnya suami-istri ini  menjadi bingung dan mereka berdua 

tidak tahu mau berbuat apa. 

Keduanya merasa tidak tenang kecuali pada saat mereka mau ke bagian 

atas rumah di mana tidak tepat berada di atas tubuh Rasulullah Saw. 

Mereka berdua dengan hati-hati tidak melangkah kecuali pada sudut 

pinggir yang jauh dari tengah. 

Begitu menjelang pagi, Abu Ayub berkata kepada Nabi Saw: “Demi 

Allah, tadi malam kami tidak bisa tertidur. Baik aku atau Ummu Ayub.” 

Rasulullah Saw bertanya: “Mengapa demikian, wahai Abu Ayub?!” Ia 

menjawab: “Aku teringat bahwa aku berada di tengah rumah dimana 

Engkau berada di bawahnya, dan aku sadar bahwa jika aku bergerak pasti 

akan membuat debu beterbangan dan menimpamu sehingga dapat 

mengganggumu. Dan aku teringat bahwa aku akan menghalangi dirimu 

dan wahyu.” 

Rasulullah Saw lalu bersabda kepadanya: “Tenanglah, wahai Abu Ayub. 

Aku lebih senang tinggal di bawah, sebab  banyak orang yang 

mengunjungiku.” 

  

Abu Ayub berkata: “Aku melaksanakan perintah Rasulullah Saw hingga 

pada suatu malam yang dingin tempat air kami pecah dan airnya tumpah 

dari atas. Maka aku dan Ummu Ayub bergegas menghampiri air ini . 

Kami tidak memiliki apa-apa selain selembar kain yang kami jadikan lap. 

Kami mencoba mengeringkan air ini  dengan lap ini  sebab  

khawatir dapat mengenai Rasulullah Saw.” 

Begitu masuk pagi, aku datang kepada Nabi Asw dan aku berkata 

kepadanya: “Demi ibu dan bapakku, aku merasa segan berada di atasmu 

dan kau berada di bawahku. Dan aku ceritakan kepada Beliau tentang 

tempat air yang pecah tadi. Beliau langsung memenuhi permintaanku dan 

naik ke bagian atas rumah. Dan aku beserta Ummu Ayub pun pindah ke 

bawah. 

Nabi Saw tinggal di rumah Abu Ayub selama kira-kira 7 bulan 

lamanya. Sehingga selesai pembangunan masjid Rasul di sebuah tanah 

kosong yang pernah dipakai sebagai tempat pemberhentian oleh untanya. 

Lalu Nabi Saw pindah ke kamar yang dibangun untuk dirinya dan para 

istrinya yang berada di sekitar Masjid. Dan Nabi Saw menjadi tetangga Abu 

Ayub. Alangkah mulianya kehidupan bertetangga ini. 

  

Abu Ayub mencintai Rasulullah Saw dengan seluruh hati dan 

sanubarinya. Dan Rasul Saw juga mencintai Abu Ayub dengan begitu 

cintanya sehingga tak berjarak lagi. Dan Beliau menganggap bahwa rumah 

Abu Ayub sudah seperti rumah Beliau. 

  

Ibnu Abbas ra berkata: “Pada suatu siang hari yang panas Abu Bakar 

datang ke mesjid dan Umar melihatnya seraya bertanya: ‘Wahai Abu Bakar, 

apa yang membuatmu datang ke mesjid pada saat seperti ini?’ Abu Bakar 

menjawab: ‘Yang membuatku datang ke mesjid tiada lain sebab  aku 

merasa amat lapar sekali.’ Umar pun bertukas: ‘Demi Allah, saya pun 

keluar dari rumah sebab  saya juga merasa amat lapar.’ Saat keduanya 

sedang merasa amat lapar, lalu datanglah Rasulullah Saw ke arah mereka 

sambil bertanya: ‘Apa yang membuat kalian berdua keluar pada saat seperti 

ini?’ Keduanya menjawab: ‘Demi Allah, kami keluar dari rumah sebab  di 

rumah kami tidak terdapat apa-apa untuk di makan dan kami merasa amat 

lapar.’ Rasul membalas: ‘Demi Allah, Aku pun keluar sebab  hal yang 

sama… kalau begitu, ikutilah aku.” 

Akhirnya, mereka bertiga datang ke rumah Abu Ayub Al Anshary ra. 

Abu Ayub setiap hari menyisakan makanan untuk Rasulullah Saw. Jika 

Rasulullah terlambat datang atau tidak datang pada waktu makan, maka 

makanan ini  ia berikan kepada keluarganya. 

Begitu mereka sampai di depan pintu rumah Abu Ayub, maka keluarlah 

Ummu Ayub sambil berkata: “Selamat datang kepada Nabi Allah dan orang 

yang bersamanya.” Lalu Nabi Saw bertanya kepadanya: “Kemana Abu 

Ayub?” Abu Ayub mendengar suara Nabi Saw –saat itu sedang bekerja di 

bawah pohon kurma dekat rumahnya- dan ia pun langsung datang 

menghadap segera sambil berkata: “Selamat datang kepada Rasulullah dan 

orang yang bersamanya.” lalu  ia menyambung: “Wahai Nabi Allah, 

ini bukanlah waktu yang biasanya Engkau datang.” Rasul Saw lalu 

menjawab: “Engkau benar.” Lalu Abu Ayub berlari ke arah pohon 

kurmanya dan ia memotong satu tandan yang berisikan kurma yang 

matang dan belum masak.  

Rasul Saw lalu bersabda: “Aku tak menginginkan dirimu untuk 

memotongnya akan tetapi cukup kau petikan saja buahnya untuk kami?” 

Abu Ayub menjawab: “Ya Rasulullah, aku amat ingin Engkau memakan 

kurma yang masak maupun tidak dari pohon ini, dan aku akan 

menyembelih hewan untukmu juga.” Rasul menjawab: ‘Jika kau ingin 

menyembelih hewan, sembelihlah namun jangan yang banyak susunya!” 

Maka Abu Ayub langsung mengambil seekor anak kambing lalu 

menyembelihnya. Lalu ia berkata kepada istrinya: ‘Aduklah adonan dan 

buatkan kami roti sebab engkau amat tahu cara membuat roti.’ Ia lalu 

mengambil separuh dari anak kambing tadi dan memasaknya. Setengahnya 

lagi ia panggang. Begitu makan telah masak dan telah dihidangkan 

dihadapan Rasulullah Saw dan kedua sahabatnya, maka Rasulullah Saw 

langsung mengambil sepotong daging dari anak kambing tadi dan Beliau 

meletakkannya dalam roti. Beliau pun bersabda: “Ya Abu Ayub, Bawalah 

segera potongan daging ini kepada Fathimah, sebab  ia belum memakan 

apapun seperti ini sejak pagi tadi.”  

Begitu mereka semua telah menikmati makanan dan merasa kenyang, 

Nabi Saw bersabda: “Roti, daging, kurma mentah dan kurma masak!!!” Lalu