Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 1

  



Anas bin Malik Al Anshary 

“Allahumma Urzuqhu Maalan wa Waladan wa Baarik Lahu (Ya 

Allah berikanlah ia harta dan keturunan dan berkahilah dirinya).” 

(Doa Rasul Saw baginya) 

 

Anas bin Malik masih dalam usia belia saat ibunya yang bernama Al 

Ghumaisha’1 mengajarkan kepadanya syahadatain (dua kalimat syahadat). 

Al Ghumaisha’ mengisi hati Anas untuk mencintai Sang Nabi pembawa 

ajaran Islam yang bernama Muhammad bin Abdillah alaihi afdhalus shalati 

wa azkas salam. 

Anas pun langsung tertarik untuk mendengarkan. Tidak 

mengherankan,  terkadang telinga dapat membuat seseorang menjadi jatuh 

cinta sebelum pandangan mata menyaksikan... Betapa anak yang masih 

dalam usia belia ini berharap untuk pergi menjumpai Nabinya yang berada 

di Mekkah, atau Rasul Saw berkenan untuk mengunjungi mereka di Yatsrib 

agar ia puas melihatnya dan bergembira sebab  telah berjumpa dengannya. 

  

Tidak lama berselang hingga di kota Yatsrib  yang beruntung ini 

tersebar kabar bahwa Nabi Saw dan sahabatnya yang bernama As Shiddiq 

(Abu Bakar) sedang dalam perjalanan menuju Yatsrib... Maka setiap rumah 

menjadi ceria sebab nya. Setiap relung hati manusia pun menjadi gembira 

dibuatnya... 

Semua mata dan hati manusia menjadi tertarik untuk menanti 

perjalanan yang disusuri oleh Nabi Saw dan sahabatnya menuju kota 

Yatsrib. 

  

Para remaja setiap pagi berteriak: “Muhammad telah datang!” Anas 

bersama bocah-bocah kecil lainnya berlari menuju ke sumber suara; akan 

tetapi ia tidak mendapati apa-apa dan akhirnya ia kembali dengan hati 

yang sedih. 

  

                                                     

1

 Ada yang berpendapat nama beliau yaitu  Al Rumaisha. Namun nama Al Ghumaisha yaitu  

pendapat yang lebih kuat sebab  merupakan sifat dari Ibu Anas. Lihat profil dirinya dalam kitab 

Shuwar min Hayati As Shahabiyaat karya penulis. 

  

 

   

Di suatu pagi yang cerah dan segar, beberapa orang pria di kota Yatsrib 

berteriak seraya mengatakan bahwa Muhammad dan seorang sahabatnya 

hampir tiba di Madinah. 

Serentak beberapa orang pria dewasa bergerak menuju jalan yang 

disusuri oleh Nabi Saw... 

Mereka semua bergegas secara berbondong-bondong berlari 

menghampiri Nabi Saw dan di antara mereka juga banyak anak dalam usia 

belia yang dengan wajah berseri dan hati bahagia pergi menyongsong 

kedatangan sang Nabi Saw. 

Di barisan para anak usia belia ini  terdapat seorang anak yang 

bernama Anas bin Malik Al Anshary. 

  

Tibalah Rasul Saw beserta sahabatnya As Shiddiq. Mereka berdua tiba 

dengan sambutan meriah yang diberikan penduduk Madinah yang penuh 

sesak terdiri dari para pria dewasa dan anak-anak. 

Sedang para ibu dan gadis berada di atap rumah, memandang dari 

kejauhan datangnya sang Rasul Saw. Mereka bertanya-tanya: “Yang mana 

Rasul.... Yang mana Rasul?”  

Hari itu menjadi sejarah... Anas masih terus mengenangnya hingga 

pada usianya yang lebih dari 100 tahun. 

  

Baru saja Rasulullah Saw hendak tinggal dan menetap di Madinah; 

datanglah Al Ghumaisha’ binti Milhan ibunya Anas menghadap Beliau. Al 

Ghumaisha’ membawa anaknya yang masih kecil yang diajak untuk 

menghadap Rasulullah. Saat itu Anas berambut poni dengan uraian rambut 

kecil yang bergerak ke kanan dan ke kiri menutupi keningnya... 

Lalu Al Ghumaisha’ memberi salam kepada Nabi Saw seraya berkata: 

“Ya Rasulullah... Tidak ada seorang pria dan wanita pun dari suku Anshar 

yang menghadapmu kecuali mereka memberikan hadiah kepadamu. Aku 

tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan hadiah selain anak ini saja... 

Ambillah ia dan jadikanlah ia pembantu sesuka hatimu!” 

Nabi Saw gembira mendengarnya dan Beliaupun menerima Anas 

dengan wajah yang sumringah. Beliau membelai kepala Anas dengan 

tangan Beliau yang mulia. Beliau juga membelai rambut poni Anas dengan 

jari Beliau yang lembut. Akhirnya Rasul Saw menerima Anas menjadi 

anggota keluarganya. 

Anas atau Unais –sebagaimana penduduk Madinah memanggilnya 

dengan panggilan manja- saat itu berusia 10 tahun saat ia mulai bahagia 

dapat membantu Nabi Saw. Ia terus tinggal dalam asuhan Nabi Saw hingga 

Beliau dipanggil oleh Allah Swt. 

Anas mendampingi Nabi Saw selama 10 tahun, dimana ia mendapatkan 

petunjuk langsung dari Nabi Saw untuk mensucikan dirinya. Ia juga 

menerima seluruh hadits Rasulullah sehingga memenuhi ruang dadanya. 

Anas juga mengetahui kondisi, cerita, rahasia dan kebiasaan terpuji Beliau 

yang jarang diketahui oleh orang lain. 

  

Anas dalam pergaulannya dengan Nabi Saw mendapatkan apa yang 

tidak didapat oleh seorang anak dari ayahnya. Ia juga menemukan dari 

keagungan sifat Rasul yang membuat seluruh dunia merasa iri kepadanya.  

Mari kita persilahkan Anas untuk bercerita tentang beberapa kisah 

menarik dari pergaulannya dengan Rasul Saw yang ia dapatkan dalam 

asuhan Beliau. Ia amat mengetahui hal ini, dan untuk menceritakannya ia 

amat berkompeten... 

Anas bin Malik berkata: “Rasulullah Saw yaitu  manusia yang paling 

baik akhlaknya, Beliau yaitu  manusia yang paling lapang dada dan Beliau 

yaitu  manusia yang paling penyayang...  

Beliau pernah menyuruhku untuk membeli sesuatu dan akupun keluar 

untuk membelinya. Di tengah jalan Aku berniat untuk bermain bersama 

para anak-anak di pasar dan aku tidak melakukan apa yang diperintahkan 

oleh Rasul kepadaku. Saat aku sudah bertemu dengan anak-anak tadi aku 

merasakan ada seorang pria yang berdiri di belakangku, dan ia menarik 

bajuku... Aku menoleh ke belakang, ternyata ia yaitu  Rasulullah Saw. 

Beliau tersenyum seraya berujar: “Wahai Unais, apakah kau sudah 

melakukan apa yang aku suruh?” Aku menjadi grogi dan berkata: “Baik... 

aku akan melakukannya sekarang, Ya Rasulullah....” 

Demi Allah, aku sudah membantu Beliau 10 tahun lamanya, namun 

atas apa yang aku lakukan sepanjang itu Beliau tidak pernah berkata: 

“Mengapa kau lakukan ini?” Dan Beliau tidak pernah berkata atas apa 

yang tidak aku kerjakan: “Mengapa kau tidak mengerjakannya?” 

  

Rasulullah Saw jika memanggil Anas maka Beliau memanggilnya 

dengan panggilan manja dan kasih sayang; terkadang Beliau 

memanggilnya dengan Unais. Kadang kala Beliau memanggilnya dengan 

‘Anakku’.  

Sering kali Rasulullah memberikan nasehat dan wejangan yang 

memenuhi relung hati dan sanubari Anas. Salah satunya yaitu  nasehat 

Beliau kepada Anas: 

 

“Anakku, bila kau mampu berada di pagi dan sore hari tanpa ada 

dengki di hatimu pada siapapun, maka lakukanlah...! Anakku, yang 

demikian yaitu  termasuk sunnahku, barang siapa yang 

menghidupkan sunnahku maka ia telah mencintaiku... barang siapa 

yang mencintaiku maka ia akan berada di surga 

bersamaku...Anakku, jika kau masuk ke dalam rumah ucapkanlah 

salam sebab  itu akan membawa keberkahan bagimu dan juga bagi 

penghuni rumahmu.” 

  

 sesudah  Rasulullah Saw wafat Anas bin Malik masih hidup lebih dari 80 

tahun lamanya; Sepanjang itu ia mengisi ruang hatinya dengan ilmu dari 

Rasulullah Saw, dan ia mencoba mengasah otaknya dengan fikih yang 

diajarkan oleh Nabi Saw. Dalam masa yang sepanjang itu, Anas telah 

banyak menghidupkan hati para sahabat dan tabi’in2 dengan petunjuk dan 

ajaran Nabi Saw.  Ia juga sering memberitahukan kepada orang lain sabda 

dan kebiasaan Rasulullah Saw. 

Dalam usia panjang yang dimilikinya ini, Anas menjadi referensi bagi 

kaum muslimin saat itu. Mereka akan mengadukan permasalahan 

kepadanya setiap kali mereka merasakan kesulitan. Setiap kali merasa 

bingung memutuskan suatu persoalan hukum mereka datang kepada Anas 

dan percaya atas apa yang ia putuskan. 

Salah satunya yaitu  sebagian orang yang memperdebatkan masalah 

agama tentang kebenaran adanya telaga Nabi Saw di hari kiamat. Mereka 

bertanya kepada Anas tentang hal ini . Anas berujar: “Aku tidak 

pernah menduga bahwa aku akan hidup untuk melihat orang-orang 

sepertimu yang memperdebatkan masalah telaga Rasul. Telah banyak 

wanita-wanita tua sebelumku, dimana setiap kali ia melakukan shalat pasti 

ia berdoa kepada Allah agar diberikan air minum dari telaga Nabi Saw.” 

  

Anas masih terus hidup dengan kenangan indah bersama Rasulullah 

Saw sepanjang umurnya. Ia amat bahagia di hari saat ia berjumpa dengan 

Beliau. Begitu terguncang saat berpisah. Ia sering kali mengulangi 

pembicaraan tentang hal ini ... Anas begitu keras untuk berusaha 

mencontoh Rasulullah Saw dalam perbuatan dan ucapannya. Ia menyukai 

apa yang disukai Nabi Saw, dan membenci apa yang Beliau benci. Hal yang 

paling sering ia ingat saat bersama Nabi Saw yaitu  2 hari: Hari pada kali 

                                                     

2

 Tabi’in: Mereka yaitu  generasi pertama  sesudah  masa para sahabat Nabi Saw. Para Ulama hadits 

membagi mereka menjadi beberapa tingkatan (tabaqat). Para tabi’in generasi awal yaitu  mereka yang 

sempat berjumpa dengan kesepuluh nama sahabat yang dijamin masuk surga, dan generasi tabi’in 

terakhir yaitu  mereka yang sempat berjumpa dengan para sahabat Nabi Saw yang berusia muda atau 

para sahabat yang wafat pada akhir-akhir masa… Lihat kitab Shuwar min Hayatit Tabi’in.   

pertama ia berjumpa dengan Nabi Saw, dan hari dimana Beliau wafat pada 

terakhir kali. 

Jika ia mengenang hari pertama ia berjumpa Rasul, ia menjadi gembira 

dan semangat seolah ia menghirup aroma yang semerbak. Namun bila 

terbersit dalam benaknya hari yang kedua, ia menjadi sedih dan menangis. 

Malah ia mampu membuat manusia yang berada di sekelilingnya saat itu 

menjadi menangis. 

Sering kali ia berkata: “Aku melihat Nabi Saw saat Beliau datang kepada 

kami, dan akupun melihatnya saat Beliau wafat. Sampai kini aku belum 

menemukan hari lain seperti kedua hari ini . Pada hari Beliau datang 

ke Madinah, Beliau mampu menerangi semuanya... dan pada hari ia 

hampir melangkah menuju sisi Tuhannya, maka seolah semuanya menjadi 

gelap. Kali terakhir aku melihat Beliau yaitu  hari Senin di saat tirai kamar 

Beliau di buka. Aku melihat wajah Beliau seolah lembaran kertas. Saat itu 

semua orang berdiri di belakang Abu Bakar seraya memandang ke arah 

Beliau. Hampir saja mereka tak kuasa menahan diri. Lalu Abu Bakar 

memberi isyarat kepada mereka untuk tenang. Lalu wafatlah Rasulullah 

Saw di penghujung hari itu. Kami belum pernah melihat pemandangan 

yang lebih menakjubkan hati kami melebihi wajah Beliau saat kami 

mengubur jasad Beliau dengan tanah.” 

  

Rasulullah Saw sering kali mendo’akan Anas bin Malik.. Salah satu doa 

Beliau untuknya yaitu : “Allahumma Urzuqhu Maalan wa Waladan, wa 

Baarik Lahu (Ya Allah, berikanlah ia harta dan keturunan, dan berkahilah 

hidupnya).” 

Allah mengabulkan doa Nabi-Nya, dan Anas menjadi orang dari suku 

Anshar yang paling banyak hartanya. Ia memiliki keturunan yang amat 

banyak, sehingga bila ia melihat anak serta cucunya maka jumlahnya 

melebihi 100 orang. 

Allah Swt memberikan keberkahan pada umurnya sehingga ia hidup 1 

abad lamanya ditambah 3 tahun lagi.  

Anas ra senantiasa berharap syafaat Nabi Saw untuk dirinya pada hari 

kiamat. Sering kali ia berucap: “Aku berharap dapat berjumpa dengan 

Rasulullah Saw pada hari kiamat sehingga aku dapat berkata kepada 

Beliau: “Ya Rasulullah, inilah pembantu kecilmu, Unais.” 

  

Ketika Anas mulai jatuh sakit menjelang kematiannya, ia berujar 

kepada keluarganya: “Talqinkan aku kalimat La ilaha illahu, 

Muhammadun Rasulullah.” Ia terus mengucapkan kalimat tadi hingga ia 

mati.  

Ia berwasiat kepada keluarganya tentang sebuah tongkat kecil milik 

Rasulullah Saw agar tongkat ini  dikuburkan bersamanya. Maka 

tongkat itupun diletakkan di sisi tubuh dan bajunya. 

  

Selamat kepada Anas bin Malik atas anugerah kebaikan yang telah 

Allah berikan kepadanya. Ia pernah hidup dalam bimbingan Rasulullah 

Saw 10 tahun lamanya. Ia juga termasuk perawi hadits Rasul terbanyak 

pada urutan ketiga  sesudah  Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar. Semoga 

Allah Swt membalas kebaikan dirinya dan ibunya yang bernama Al 

Ghumaisha atas jasa baik yang mereka lakukan terhadap Islam dan kaum 

muslimin. 


Said Bin ‘Amir Al Jumahi 

“Said bin ‘Amir yaitu  Seorang yang Sanggup Membeli Akhirat 

dengan Dunia. Ia yaitu  Orang yang Mendahulukan Allah Dan 

Rasul-Nya dibandingkan  Siapapun.” (Ahli Sejarah) 

 

Seorang pemuda bernama Said bin ‘Amir Al Jumahi yaitu  salah satu 

dari ribuan orang muallaf yang datang dari daerah Tan’im daerah luar 

Mekkah demi memenuhi undangan para pemuka Quraisy untuk 

menyaksikan pembunuhan Khubaib bin ‘Ady salah seorang sahabat 

Muhammad  sesudah  mereka berhasil menangkap Khubaib dengan cara 

menipunya. 

Jiwa muda dan kekuatan yang dimilikinya membuat Said mampu 

menerobos kumpulan manusia saat itu, sehingga ia dapat berdiri sejajar 

dengan para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyanbin Harb, Shafwan bin 

Umayyah dan lainnya yang menyaksikan pemandangan saat itu. 

Kesempatan itu membuat Said dapat melihat para tawanan suku 

Quraisy yang sedang terikat. Tangan para wanita, anak-anak dan pemuda 

mendorong tubuh Said masuk ke arena pembunuhan, di tempat para suku 

Quraisy melakukan balas dendam kepada Muhammad lewat diri Khubaib, 

dan sebagai balas dari para anggota suku Quraisy yang mati dalam perang 

Badar. 

  

Saat kerumunan yang sesak itu sampai ke tempat pembunuhan dengan 

membawa tawanan. Berdirilah pemuda yang bernama Said bin ‘Amir Al 

Jumahy dengan tegaknya dihadapan Khubaib. Ia menyaksikan Khubaib 

berjalan ke arah kayu yang telah dipancangkan. Said mendengar suara 

Khubaib yang tenang diantara jeritan dan teriakan para wanita dan anak-

anak. Khubaib berkata: “Dapatkah kalian mengizinkan aku untuk 

melakukan shalat dua rakaat terlebih dahulu...?” Said lalu memperhatikan 

Khubaib saat ia menghadap kiblat dan melakukan shalat dua rakaat. Betapa 

bagus dan sempurna dua rakaat shalat yang dikerjakannya... 

Said juga memperhatikan saat Khubaib menghadap para pemuka 

Quraisy seraya berkata: “Demi Allah, kalau kalian tidak menduga bahwa 

aku akan memperpanjang shalat sebab  merasa takut mati, pasti aku akan 

memperbanyak bilangan shalat tadi.” 

Said menyaksikan kaumnya dengan kedua mata kepalanya saat mereka 

memotong bagian tubuh Khubaib yang masih hidup. Mereka memotong 

setiap bagian tubuh Khubaib sambil berkata kepadanya: “Apakah kau ingin 

Muhammad menggantikan posisimu ini dan engkau akan selamat 

sebab nya?” 

Ia menjawab –padahal darah mengalir di sekujur tubuhnya-: “Demi 

Allah, aku lebih suka menjadi pengaman dan meninggalkan istri dan 

anakku, dibandingkan  Muhammad di tusuk dengan duri.” 

Maka semua manusia yang hadir saat itu mengacungkan tangan 

mereka ke langit, seraya berteriak sengit: “Bunuh dia... bunuh dia!” 

Lalu Said bin ‘Amir menyaksikan dengan mata kepalanya senidir bahwa 

Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang kayu seraya 

berdo’a:  

“Allahumma ahshihim adadan waqtulhum badadan wa la tughadir 

minhum ahadan (Ya Allah, hitunglah satu demi satu mereka semua. 

Bunuhlah mereka secara kejam. Janganlah kau sisakan satu 

orangpun dari mereka.” 

Khubaibpun meniupkan nafasnya yang terakhir. Pada tubuhnya banyak 

sekali bekas luka pedang dan tombak yang tidak bisa dihitung manusia. 

  

Suku Quraisy pun telah kembali ke Mekkah, dan mereka semua sudah 

lupa akan bangkai tubuh dan proses pembunuhan Khubaib. 

Akan tetapi dalam diri seorang pemuda yang hampir baligh bernama 

Said bin ‘Amir Al Jumahy tidak pernah hilang bayangan Khubaib sesaatpun. 

Said sering kali melihat Khubaib di kala tidur. Saat terjagapun, Said 

sering melihatnya dengan ilusi. Tergambar di benak Said saat Khubaib 

melakukan shalat dua rakaat yang begitu tenang dan nikmat didepan kayu 

yang terpancang. Said mendengar getaran suara Khubaib di telinganya saat 

Khubaib berdo’a untuk kehancuran suku Quraisy. Said menjadi khawatir 

terkena petir dibuatnya, atau takut terkena hujan batu yang jatuh dari 

langit sebab nya. 

Lalu Khubaib seperti telah mengajarkan Said apa yang belum diketahui 

sebelumnya.... 

Khubaib mengajarkannya bahwa hidup yang sesungguhnya yaitu  

akidah dan jihad di jalan akidah hingga mati. 

Khubaib mengajarkannya bahwa iman yang mantap akan 

menimbulkan banyak keajaiban dan mukjizat. 

Khubaib juga mengajarkannya hal lain, yaitu bahwa pria yang dicintai 

oleh para sahabatnya dengan cinta seperti ini tiada lain yaitu  seorang 

Nabi yang didukung oleh langit. 

Pada saat itu pula, Allah Swt melapangkan dada Said bin Amir untuk 

memeluk Islam. Maka ia berjalan menghampiri kerumunan manusia dan 

mengumumkan keterlepasan dirinya dari perbuatan dosa yang telah 

dilakukan suku Quraisy, dan ia berikrar akan meninggalkan segala berhala 

yang pernah disembanya dan ia mengumumkan bahwa ia telah masuk 

Islam. 

  

Said turut ikut berhijrah ke Madinah, dan ia senantiasa mendampingi 

Rasulullah Saw. Ia pun turut dalam perang Khaibar dan perang-perang lain 

 sesudah  itu. 

 sesudah  Nabi Saw kembali keharibaan Tuhannya, Said menjadi pedang 

terhunus bagi Khalifah pengganti Rasul yaitu Abu Bakar dan Umar, dan ia 

menjadi satu-satunya contoh bagi orang yang beriman yang berniat 

membeli kehidupan akhirat dengan dunianya. Ia rela mendahulukan Allah 

dan pahala yang akan diberikan dibandingkan  semua keinginan nafsu syahwat 

badan. 

  

Kedua khalifah Rasulullah Saw mengetahui dengan baik kebenaran dan 

ketaqwaan yang dimiliki oleh Said. Mereka berdua sering mendengarkan 

dengan serius setiap nasehat dan ucapan Said. 

Said mendatangi Umar saat Umar baru menjadi khalifah. Said berkata 

kepadanya: “Ya Umar, Aku berwasiat kepadamu agar engkau takut kepada 

Allah dalam urusan manusia. dan janganlah engkau takut kepada manusia 

dalam urusan Allah. Ucapanmu jangan pernah menyalahi perbuatanmu, 

sebab ucapan yang terbaik yaitu  yang dibenarkan oleh perbuatan.... 

Ya Umar, perhatikanlah dengan baik orang yang telah Allah 

percayakan kepadamu urusannya dari kaum muslimin baik mereka yang 

jauh ataupun yang dekat. Cintailah mereka sebagaimana engkau 

menyayangi dirimu dan keluargamu. Buatlah mereka membenci apa yang 

engkau dan keluargamu benci. Goncanglah kumpulan manusia untuk 

menuju kebaikan, dan janganlah engkau khawatir terhadap kecaman 

orang selagi di jalan Allah.” 

Umar pun bertanya: “ Siapa yang mampu melakukan itu, wahai Said?” 

Said menjawab: “Yang mampu melakukan itu yaitu  orang sepertimu yang 

telah diberikan Allah kepercayaan untuk mengurusi permasalahan ummat 

Muhammad. Tidak ada lagi jarak antara orang seperti dengan Allah. 

Sejurus lalu  Umar mengajak Said untuk menjadi salah seorang 

pembantunya seraya berkata: “Ya Said, Kami mengangkatmu menjadi wali 

(gubernur) daerah Himsh.” Said menjawab: “Ya Umar, Demi Allah 

janganlah engkau menimpakan fitnah (ujian) padaku.” Umar pun menjadi 

berang seraya berkata: “Celaka kalian... kalian meletakkan kepemimpinan 

ini di leherku, lalu  kalian mau lepas tangan dariku!! Demi Allah, aku 

tidak akan membiarkanmu.” lalu  Umar mengangkat Said menjadi 

wali di daerah Himsh seraya bertanya: “Bolehkah kami menentukan gaji 

buatmu?” Said menjawab: “Apa yang akan aku lakukan dengan gaji 

ini  wahai Amirul Mukminin?! Sebab gaji dari baitul maal melebihi 

kebutuhanku.” Dan akhirnya Said pun berangkat ke Himsh. 

  

Sedikit sekali uang yang dibawa oleh Said bin ‘Amir hingga tiba saat 

datangnya beberapa orang dari penduduk Himsh yang dipercaya oleh 

Amirul Mukminin. Amirul Mukminin berkata kepada mereka: “Tuliskan 

nama-nama orang miskin kalian sehingga dapat aku cukupkan 

kebutuhannya!” Mereka pun melaporkan data yang mereka miliki di 

dalamnya terdapat nama fulan, fulan dan Said bin ‘Amir. Umar bertanya 

kepada mereka: “Siapakah Said bin ‘Amir ini?” Mereka menjawab: “Dia 

yaitu  pemimpin kami.” Umar bertanya: “Pemimpin kalian termasuk 

orang fakir?” Mereka menjawab: “Benar, Demi Allah lama waktu berjalan 

namun di rumahnya tidak ada tungku api menyala.” Maka meledaklah 

tangis Umar hingga air matanya membasahi janggut. lalu  Beliau 

mengumpulkan uang sebanyak 1000 dinar dan ditaruhnya dalam sebuah 

ikatan seraya berkata: “Sampaikanlah salamku padanya dan katakan 

padanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan uang ini untukmu agar 

semua kebutuhanmu tercukupi.” 

  

Datanglah utusan tadi kepada Said dengan barang bawaannya. Said 

melihat bungkusan itu dan ternyata di dalamnya terdapat banyak uang 

dinar. Ia menolaknya seraya berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun- 

seolah ia terkena musibah- lalu datanglah istrinya tergopoh-gopoh sambil 

bertanya: “Ada apa Said, apakah Amirul Mukminin telah wafat?” Said 

menjawab: “Bahkan lebih dahsyat dari itu.” Istrinya bertanya lagi: “Apa 

yang lebih dahsyat dari itu?” Ia menjawab: “Dunia sudah merasuki diriku 

untuk merusak akhiratku. Dan kini fitnah sudah menyebar di rumahku.” 

Istrinya berkata: “Kalau begitu, campakan saja hal itu –padahal istrinya 

tidak tahu tentang uang dinar tadi-.” Said bertanya: “Maukah kamu 

menolongku untuk melakukannya?” Istrinya menjawab: “Ya.” Maka Said 

mengambil uang dinar tadi dan ia membaginya dalam beberapa bungkusan 

lalu  ia bagikan kepada kaum muslimin yang fakir. 

  

Tidak lama berselang, datanglah Umar ra ke beberapa daerah di Syam 

untuk memeriksa kondisi penduduknya. Saat ia tiba di Himsh –dan daerah 

ini disebut Al Kuwaifah sebagai panggilan kecil bagi kota Kufah, dan untuk 

mempersamakan daerah Himsh dengan Kufah sebab  banyaknya 

penduduk yang mengeluhkan kinerja para pegawai dan wali di wilayah 

mereka sebagaimana yang sering terjadi di Kufah- Saat Umar tiba di sana, 

beberapa penduduk menghampiri Umar untuk memberikan sambutan 

terhadapnya. Umar lalu bertanya kepada mereka: “Bagaimana pendapat 

kalian tentang Amir (pemimpin) di sini?” Mereka mengadukan keluhan 

kepada Umar dan mereka menyebutkan 4 kekurangan Amir mereka, setiap 

1 masalah lebih besar dari lainnya. Umar berkisah: Maka akupun 

mengumpulkan Amir mereka yaitu Said bin Amir dengan orang-orang tadi. 

Dan aku berdo’a kepada Allah agar dugaanku tidak dibuat salah; sebab  

aku menaruh kepercayaan besar kepada Said. 

Saat mereka dan pemimpinnya sudah tiba menghadapku, aku bertanya: 

“Apa yang kalian keluhkan dari amir kalian?” Mereka menjawab: “Ia tidak 

keluar bekerja sehingga hari sudah amat siang.” Aku bertanya: “Apa 

komentarmu dalam hal ini, ya Said?” Ia terdiam sejenak lalu berkata: 

“Demi Allah tadinya aku tidak mau mengatakan hal ini. Namun sebab  ini 

harus disampaikan maka akupun akan menceritakannya. Aku tidak punya 

pembantu di rumah. Setiap kali aku bangun di pagi hari, maka aku harus 

menumbuk gandum buat keluargaku. lalu  aku harus mengaduknya 

dengan perlahan sehingga ia menjadi ragi. Lalu aku buatkan roti untuk 

keluargaku. lalu  aku berwudhu dan keluar untuk mengurusi 

permasalahan manusia.” 

Umar bertanya: “Lalu apa lagi yang kalian keluhkan terhadapnya?” 

Mereka menjawab: “Ia tidak mau melayani seorangpun pada waktu 

malam.” Umar bertanya: “Apa komentarmu dalam hal ini, wahai Said?” Ia 

menjawab: “Demi Allah, Sungguh aku juga sungkan untuk menceritakan 

hal ini… Aku telah membagi waktu siangku untuk berkhidmat dalam 

urusan mereka, dan waktu malamku untuk Allah Swt.” 

Umar bertanya lagi: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka 

menjawab: “Ada satu hari dalam sebulan dimana ia tidak keluar untuk 

mengurusi kami.” Umar bertanya: “Apa maksudnya ini, wahai Said?” Ia 

menjawab: “Aku tidak memiliki pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan 

aku tidak memiliki baju kecuali yang sedang aku pakai ini. Aku 

mencucinya sebulan sekali dan aku menunggunya hingga ia kering. Dan 

pada penghujung hari, baru aku dapat keluar menemui mereka.” 

Umar bertanya lagi: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka 

menjawab: “Sering kali ia hilang kesadaran, sehingga ia tidak mengenali 

orang yang berada di sekelilingnya.” Umar bertanya: “Apa maksudnya hal 

ini, ya Said?!” Ia menjawab: “Aku menyaksikan pembunuhan Khubaib bin 

‘Ady pada saat itu aku musyrik, dan aku melihat para penduduk Quraisy 

memotong jasadnya dan mereka bertanya kepada Khubaib: ‘Apakah kau 

ingin Muhammad menggantikanmu di sini?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah, 

aku tidak suka merasa aman dengan istri dan anakku, padahal Muhammad 

sedang dicucuk dengan duri….’ Dan aku selalu teringat akan hari itu dan 

mengapa aku tidak menolongnya sehingga aku menduga bahwa Allah tidak 

mengampuniku… maka akupun hilang kesadaran sebab nya. 

Saat itu Umar langsung berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah 

membuat dugaanku kepadanya tidak rusak.” lalu  Umar 

mengirimkan 1000 dinar untuknya agar dapat memenuhi segala 

kebutuhannya. Begitu istri Said melihat uang ini , maka ia berkata: 

“Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami lewat khidmat yang 

kau berikan. Belilah segala kebutuhan hidup kita. Dan carilah seseorang 

yang mau diupah sebagai pembantu!”  Said berkata kepada istrinya: 

“Apakah kau punya sesuatu yang lebih baik dari itu?” Istrinya bertanya: 

“Apakah itu?” Said berujar: “Kita kembalikan lagi kepada orang yang 

membawanya, dan hal itu lebih kita butuhkan?” Istrinya bertanya lagi: 

“Apakah itu?” Ia menjawab: “Kita pinjamkan uang ini  kepada Allah 

sebagai qardhan hasanan (pinjaman yang baik).” Istrinya menanggapi: 

“Benar. Dan engkau akan dibalas dengan kebaikan sebab nya.” 

 sesudah  ia meninggalkan majlis maka ia membagikan uang dinar 

ini  dalam beberapa bungkus dan ia berkata kepada salah seorang 

anggota keluarganya: “Bawalah ini kepada janda fulan, yatim fulan, si 

miskin fulan dan si fakir fulan. 

  

Semoga Allah meridhoi Said bin ‘Amir Al Jumahy. Beliau yaitu  salah 

seorang sosok yang mampu mendahulukan kepentingan orang lain, meski 

ia berada dalam kondisi yang mendesak. 


 

Al Thufail Bin ‘Amr Al Dausy 

“Allahumma Ij’alhu Ayatan Tu’inuhu Ala Ma Yanwi Minal Khair (Ya 

Allah Berikanlah Untuknya Satu Tanda Kekuasaan yang Dapat 

Membantunya Mengerjakan Kebaikan yang Telah Ia Niatkan.” (Salah 

Satu Do’a Rasul Saw Untuknya) 

 

Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy yaitu  pemimpin kabilah ‘Daus’ pada 

masa jahiliah. Dia yaitu  salah satu sosok pemuka Arab yang berpengaruh, 

dan salah seorang tokoh yang terhormat… 

Tungku tidak pernah diturunkan dari perapian baginya, dan tidak ada 

pintu yang tertutup baginya…  

Ia gemar memberi makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi 

orang yang ketakutan dan melindungi orang yang memohon perlindungan. 

Ditambah lagi dia yaitu  sosok yang beradab, cerdas dan pintar. Ia 

yaitu  seorang penyair yang memiliki perasaan yang peka dan lembut. Dia 

amat mengerti dengan manis dan pahitnya pembicaraan… sehingga 

kalimat yang diucapkannya mengandung bobot magis bagi yang 

mendengarnya. 

  

Al Thufail meninggalkan rumah tinggalnya di Tihamah3 menuju 

Mekkah. Kala itu pergumulan masih terus berlangsung anyara Rasulullah 

Saw dengan para kafir Quraisy. Masing-masing pihak membutuhkan 

pendukung dan sahabat… 

Rasul Saw berdo’a kepada Tuhannya dan yang menjadi senjata Beliau 

yaitu  keimanan dan kebenaran. Sedang kafir Quraisy menentang dakwah 

Rasul dengan segala jenis senjata, dan mereka berusaha menghalangi 

manusia dari Beliau dengan cara apapun. 

Al Thufail mendapati dirinya telah berada dalam peperangan itu tanpa 

persiapan apapun dan ia turut serta di dalamnya tanpa sengaja… 

Ia tidak datang ke Mekkah dengan tujuan ini, dan tidak ada dalam 

benaknya urusan Muhammad dan Quraisy. 

                                                     

3

 Daerah pinggir laut di Jazirah Arab yang sejajar dengan Laut MErah 

  

Dari sini maka dimulailah sebuah hikayat yang tak pernah terlupa bagi 

Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy; Mari kita simak kisah ini, sebab  ia yaitu  

sebuah kisah yang aneh. 

  

Al Thufail mengisahkan: “Aku tiba di Mekkah. Begitu para pemimpin 

Quraisy melihatku, mereka mendatangiku dan mereka menyambutku 

dengan begitu mulia. Dan mereka memposisikan diriku dengan begitu 

terhormat. 

Lalu para pemimpin dan pembesar mereka berkata kepadaku: “Ya 

Thufail. Engkau telah datang ke negeri kami. Ada seorang disini yang 

mengaku bahwa ia yaitu  seorang Nabi yang telah merusak urusan dan 

mencerai-berai persatuan serta jama’ah kami. Kamikhawatir ia dapat 

mengganggumu dan mengganggu kepemimpinanmu pada kaummu 

sebagaimana yang telah terjadi pada diri kami. Maka janganlah engkau 

berbicara dengannya, dan janganlah kau dengar apapun dari 

pembicaraannya; sebab ia memiliki ucapan seperti seorang penyihir: yang 

dapat memisahkan seorang anak dari ayahnya, dan seorang saudara dari 

saudaranya, dan seorang istri dari suaminya.” 

Al Thufail berkata: “Demi Allah, mereka terus saja menceritakan 

kepadaku tentang keanehan kisah Muhammad. Mereka membuat diriku 

dan kaumku menjadi takut dengan keajaiban perilaku Muhammad. 

Sehingga akupun bertekad untuk tidak mendekat kepadanya, dan untuk 

tidak berbicara atau mendengar apapun darinya. 

Saat aku datang ke Masjid untuk berthawaf di Ka’bah, dan mengambil 

berkah dengan para berhala yang ada di sana sebagaimana kami 

melakukan haji kepadanya untuk mengagungkan berhala-berhala tadi, 

akupun menutup telingaku dengan kapas sebab  khawatir telingaku 

mendengar sesuatu dari perkataan Muhammad. 

Akan tetapi bagitu aku masuk ke dalam Masjid aku mendapati ia 

sedang berdiri melakukan shalat dekat Ka’bah bukan seperti shalat yang 

biasa kami lakukan. Ia melakukan ibadah bukan seperti ibadah yang biasa 

kami kerjakan. Aku senang melihat pemandangan ini. Aku menjadi 

tercengang dengan ibadah yang dilakukannya. Aku mulai mendekat 

kepadanya. Sedikit demi sedikit tanpa disengaja sehingga aku begitu dekat 

dengannya… 

Kehendak Allah berbicara lain sehingga ada beberapa ucapannya yang 

hinggap di telingaku. Aku mendengar pembicaraan yang baik. Dan aku 

berkata dalam diri sendiri: “Celaka kamu wahai Thufail… engkau yaitu  

seorang yang cerdas dan seorang penyair. Dan engkau dapat membedakan 

antara yang baik dan yang buruk. Lalu apa yang menghalangimu untuk 

mendengar apa yang diucapkan orang ini… Jika yang dibawa olehnya 

yaitu  kebaikan maka akan aku terima, jika itu yaitu  keburukan maka 

akan aku tinggalkan.” 

  

Al Thufail masih mengisahkan: “lalu  aku masih terdiam sehingga 

Rasulullah Saw kembali ke rumahnya. Aku mengikuti Beliau dan begitu ia 

masuk ke dalam rumahnya, akupun turut masuk. Aku berkata: “Ya 

Muhammad, kaummu telah menceritakanmu kepadaku bahwa kamu 

begini dan begitu. Demi Allah, mereka terus-menerus membuatku khawatir 

dari mu sehingga aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku 

tidak mendengarkan ucapanmu. lalu  kehendak Allah berkata lain, 

sehingga aku mendengar sebagian dari ucapanmu, dan aku mengaggap hal 

itu yaitu  baik… maka ceritakanlah urusanmu padaku…! 

Beliau menceritakan urusannya kepadaku. Beliu juga membacakan 

untukku surat Al Ikhlas dan Al Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah 

mendengar sebuah ucapan yang lebih baik dibandingkan  ucapan Beliau. Dan 

aku tidak pernah melihat urusan yang lebih lurus dibandingkan  urusannya. 

Pada saat itu, aku bentangkan tanganku kepadanya, dan aku bersaksi 

bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu  utusan 

Allah. Dan akupun masuk Islam. 

  

Al Thufail berkata: “Aku tinggal beberapa lama di Mekkah untuk 

mempelajari Islam dan aku selama itu aku menghapal beberapa ayat Al 

Qur’an yang mudah bagiku. Begitu aku berniat kembali ke kampungku aku 

berkata: “Ya Rasulullah, Aku yaitu  seseorang yang dipatuhi di keluargaku. 

Saat ini aku mau kembali kepada mereka dan menjadi penyeru mereka 

kepada Islam. Berdo’alah kepada Allah agar ia memberikan aku sebuah 

tanda kekuasaan-Nya yang dapat menjadi penolongku dalam berdakwah 

kepada mereka. Maka Rasul langsung berdo’a: “Allahumma ij’al lahu 

ayatan (Ya Allah jadikanlah untuknya sebuah tanda kekuasaan).” 

Aku pun mendatangi kaumku, sehingga jika aku tiba di sebuah tempat 

yang tinggi di sekitar rumah mereka maka turunlah sebuah cahaya di 

antara kedua mataku seolah sebuah lampu. Aku pun berdo’a: “Ya Allah, 

jadikanlah ia bukan pada wajahku, sebab aku khawatir mereka menduga 

bahwa ini yaitu  hukuman yang ditimpakan ke wajahku sebab  aku 

meninggalkan agama mereka… maka cahaya tadi bergeser dan turun ke 

pegangan cambukku. Maka para manusia yang ada saat itu mencoba untuk 

melihat cahaya tadi yang berada di cambukku seolah lampu yang 

tergantung. Dan aku datang menghampiri mereka dari lembah. Begitu aku 

turun ayah menghampiriku –Beliau saat itu sudah amat renta- Aku 

berkata: “Kita sudah tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan 

engkau bukan milikku.” Ia bertanya: “Mengapa begitu, wahai anakku?” 

Aku menjawab: “Aku telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad 

Saw” Ia berkata: “Duhai anakku, agamaku yaitu  agamamu.” Maka 

akupun berkata: “Kalau begitu, mandilah dan bersihkanlah pakaianmu. 

Lalu kemarilah agar aku mengajarkan apa yang pernah aku pelajari.” Lalu 

Beliau mandi dan membersihkan pakaiannya, lalu  Beliau datang 

menghampiriku sehingga aku paparkan Islam kepadanya dan iapun 

memeluk Islam. lalu  istriku datang dan aku berkata kepadanya: 

““Kita sudah tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan engkau 

bukan milikku.”  Ia bertanyaL “Mengapa demikian? Demi ibu dan 

bapakku.” Aku menjawab: “Islam telah memisahkan antara kita. Aku telah 

masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad Saw.” Ia berkata: “Kalau 

begitu, agamaku yaitu  agamamu.” Aku berkata: “Bersucilah dengan air 

Dzu Syara4!” Ia bertanya: “Demi ibu dan bapakku, apakah engkau tidak 

khawatir terkena musibah dari Dzu Syara?!” Aku menjawab: “Celaka kamu 

dan Dzu Syara… aku katakan kepadamu: pergilah dan mandilah di sana di 

tempat yang jauh dari pandangan manusia. Aku jamin pasti batu yang tuli 

itu tidak dapat melakukan apapun kepadamu.” 

Iapun berangkat dan mandi. lalu  ia datang lagi dan aku 

paparkan Islam kepadanya sehingga iapun mau memeluknya. lalu  

aku berdakwah kepada penduduk Daus namun mereka tidak menjawab 

dengan segera ajakan ini kecuali Abu Hurairah dan Beliau yaitu  manusia 

yang paling dulu masuk Islam dari mereka.” 

  

Al Thufail berkata:“Aku mendatangi Rasulullah Saw di Mekkah dan aku 

mengajak Abu Hurairah saat itu… Nabi Saw bertanya kepadaku: “Apa yang 

ada di belakangmu wahai Thufail?” Aku menjawab: “Hati yang tertutup, 

dan kekafiran yang dahsyat. Di daerah Daus kefasikan dan kemaksiatan 

telah merajalela.” Lalu Rasulullah Saw berdiri, berwudhu lalu shalat dan ia 

mengangkatkan tangannya ke langit. Abu Hurairah berkata saat itu: 

“Ketika aku melihat Beliau melakukan hal itu aku khawatir Beliau 

mendo’akan kaumku sehingga mereka dapat binasa… 

Maka akupun berkata: “Ya kaumku….” Akan tetapi Rasulullah Saw 

berdoa: “Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus… Ya Allah berilah 

petunjuk bagi kaum Daus… Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus.” 

Lalu Beliau menoleh ke arag Thufail seraya bersabda: “Kembalilah ke 

kaummu dan berlaku haluslah kepada mereka dan ajaklah mereka 

memeluk Islam!” 

  

Al Thufail berkata: Aku masih saja terus berdakwah di daerah daus 

hingga Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah. Meletuslah perang 

Badr,Uhud, dan Khandaq. Aku datang menghadap Nabi dengan membawa 

80 kepala keluarga dari daerah Daus yang telah masuk Islam dan 

menjalankan keislamannya dengan baik. Rasulullah Saw menjadi gembira 

sebab nya, dan Beliau membagikan kepada kami jatah ghanimah (harta 

                                                     

4

 Dzu Syara yaitu  berhala bagi penduduk Days yang disekelilingnya terdapat air yang mengalir 

dari gunung. 

rampasan perang) Khaibar5. Lalu kami berkata: “Ya Rasulullah, jadikanlah 

kami pasukan tempur sisi kanan dalam setiap peperangan yang kau 

lakukan. Dan jadikanlah semboyan kami: “Mabrur” 

Al Thufail masih berkisah: “Aku terus mendampingi Rasulullah Saw 

hingga Beliau menaklukkan Mekkah. Akupun berkata: “Ya Rasulullah, 

Kirimlah aku ke Dzul Kafain sebuah berhala milik ‘Amr bin Hamamah 

sehingga aku dapat membakarnya… Rasulpun mengizinkan Thufail untuk 

melakukan itu; dan ia berangkat menuju berhala itu dengan sebuah 

pasukan yang terdiri dari para kaumnya. 

Begitu ia sampai di sana dengan tekad bulat untuk membakar berhala 

itu. Rupanya banyak wanita, pria dan anak-anak yang menunggu 

datangnya musibah bagi diri Thufail. Mereka juga menunggu datangnya 

petir jika Thufail berani mendekat kepada Dzul Kafain. Akan tetapi Thufail 

terus mendekat ke arah berhala itu dengan disaksikan oleh para 

penyembah berhala… ia menyalakan api amarah di hatinya… seraya 

membacakan mantra: 

Wahai Dzul Kafain aku bukanlah termasuk para penyembahmu 

Kami lahir lebih dahulu dibandingkan  dirimu 

Aku akan mengisi api dalam hatimu 

Seiring api melahap berhala ini , maka terlahap juga kemusyrikan 

yang ada di kabilah Daus. Seluruh kaumnya masuk ke dalam Islam dan 

mereka melaksanakan keislamannya dengan baik. 

  

Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy  sesudah  itu terus mendampingi Rasul Saw 

hingga Beliau kembali ke sisi Tuhannya. 

Begitu kekhalifahan diserahkan kepada Abu Bakar As Shiddiq, Al 

Thufail meletakkan diri, pedang dan anaknya untuk taat kepada khalifah 

Rasulullah Saw. 

Tatkala pecah peperangan terhadap kaum murtad, Al Thufail berangkat 

dalam barisan terdepan kaum muslimin untuk memerangi Musailamah Al 

Kadzab. Dan ia ditemani oleh anaknya yang bernama ‘Amr. 

Saat dalam perjalanan menuju Al Yamamah, Thufail bermimpi dan ia 

berkata kepada para sahabatnya: “Aku mendapatkan sebuah mimpi, 

ta’birkanlah oleh kalian mimpi ini  untukku!” Para sahabatnya 

bertanya: “Apa mimpimu itu?” Ia menjawab: “Aku bermimpi bahwa 

kepalaku dicukur, dan ada seekor burung keluar dari mulutku, dan ada 

seorang wanita yang memasukkan aku ke dalam perutnya. Dan anakku 

‘Amr mengejarku dengan cepat namun ada penghalang diantara kami.” 

Para sahabatnya berkata: “Mungkin akan membawa kebaikan.” Thufail 

                                                     

5

 Khaibar: yaitu  sebuah oase di negeri hijaz yang dihuni oleh bangsa Yahudi 

berkata: “Demi Allah aku telah mencoba mentakwilkannya: adapun 

kepalaku yang tercukur itu berarti bahwa ia akan terpotong. Sedangkan 

burung yang keluar dari mulutku maka itu yaitu  ruhku… Adapun wanita 

yang memasukkan aku ke dalam perutnya yaitu  bumi dimana aku 

dikuburkan… Aku berharap dapat terbunuh sebagai syahid…. Sedangkan 

anakku yang mengejar diriku itu berarti bahwa ia juga mencari kesyahidan 

seperti yang akan aku dapatkan –jika Allah mengizinkan- akan tetapi ia 

akan mendapatkannya pada kesempatan selanjutnya. 

  

Dalam peperangan Al Yamamah seorang sahabat agung yang bernama 

Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy tertimpa ujian yang begitu besar, sehingga ia 

jatuh tersungkur sebagai seorang syahid di medan perang. 

Sedangkan anaknya yang bernama ‘Amr masih terus berperang 

sehingga sekujur tubuhnya penuh dengan luka dan telapak tangan 

kanannya putus. Ia pun kembali ke Madinah dari Al Yamamah tanpa ayah 

dan telapak tangannya. 

  

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ‘Amr bin Thufail datang 

menghadap. Saat itu Umar sedang mendapat makanan, dan banyak orang 

yang berada di sekelilingnya. Umar mengajak semua orang tadi untuk 

menikmati makanannya. ‘Amr menolak undangan makan itu. Umar lalu 

berkata kepadanya: “Apa yang terjadi denganmu… apakah engkau tidak 

mau makan sebab  merasa malu sebab  tanganmu.” Ia menjawab: “Benar, 

ya Amirul Mukminin.” Umar berkata: “Demi Allah, aku tidak akan 

mencicipi makanan ini hingga ia tersentuh oleh tanganmu yang buntung 

itu… Demi Allah tidak ada seorangpun di kaum ini yang sebagian anggota 

tubuhnya berada di surga selain kamu, (maksudnya yaitu  tangan ‘Amr). 

  

Impian untuk mendapatkan syahadah (mati syahid) terus membayangi 

‘Amr sejak ia berpisah dengan ayahnya. Begitu perang Yarmuk meletus, 

‘Amr segera menyambutnya dengan orang-orang lain yang bersemangat. Ia 

terus saja berperang sehingga ia mendapatkan syahadah seperti yang 

didapatkan ayahnya. 

  

Semoga Allah merahmati Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy; dia yaitu  

seorang syahid ayah dari seorang syahid. 


Abdullah Bin Hudzafah Al Sahmy 

“Menjadi Kewajiban Bagi Setiap Muslim untuk Mencium Kepala 

Abdullah Bin Hudzafah, Saya yang Akan Memulainya Terlebih 

Dahulu” (Umar Bin Khattab) 

 

Tokoh kisah ini yaitu  seorang pria dari kalangan sahabat yang 

bernama Abdullah bin Hudzafah Al Sahmy.Sejarah dapat saja berlalu atas 

tokoh kita ini sebagaimana sejarah terus berlalu terhadap jutaan bangsa 

Arab sebelum Abdullah tanpa memberikan perhatian khusus kepada 

mereka. 

Akan tetapi Islam yang agung memberikan kesempatan kepada 

Abdullah bin Hudzafah Al Sahmy untuk bertemu dengan pemimpin dunia 

saat itu yaitu Kisra Raja Persia dan Kaisar yang agung raja Romawi… 

Bersama dua pemimpin besar ini, Abdullah mencatat kisah yang senantiasa 

diingat orang dan terus dikisahkan oleh lisan sejarah sepanjang masa. 

  

Adapun kisah Abdullah dengan Kisra raja Persia itu terjadi pada tahun 

ke enam hijriyah saat Nabi Saw berniat untuk mengirimkan beberapa 

rombongan sahabatnya dengan membawa surat kepada para raja 

berkebangsaan non-arab untuk mengajak mereka masuk ke dalam Islam. 

Rasulullah Saw sudah memprediksikan bahaya dari tugas ini…. Para 

utusan Rasul tadi akan berangkat menuju negeri-negeri yang jauh yang 

belum pernah mengadakan kerjasama dan kesepakatan dengan Islam 

sebelumnya. Para utusan tadi tidak mengerti bahasa-bahasa negeri yang 

akan didatanginya dan mereka juga tidak sedikitpun mengerti watak para 

raja tadi… Para utusan tadi juga akan mengajak para raja untuk 

meninggalkan agama mereka, melepaskan kebesaran dan kekuasaan serta 

masuk ke dalam sebauh agama suatu kaum….. Ini merupakan sebuah 

ekspedisi berbahaya. Sebab yang berangkat ke sana dapat menghilang  

sedang yang kembali dari ekspedisi ini hanya tinggal anaknya saja.Oleh 

sebab nya Rasulullah Saw mengumpulkan para sahabatnya . Beliau berdiri 

dihadapan mereka dalam sebuah khutbah:  sesudah  memuji Allah, 

mengucapkan syahadat Beliau bersabda: 

“Amma ba’du. Aku ingin mengutus beberapa orang dari kalian untuk 

datang kepada beberapa orang raja non-Arab. Janganlah kalian 

membantah aku sebagaimana Bani Israil membantah Isa putra Maryam.” 

Para sahabat Rasulullah Saw menyambut dengan berseru: “Ya 

Rasulullah, kami akan mendukung apapun yang kau inginkan. Kirimlah 

kami kemana saja engkau inginkan.” 

  

Rasulullah Saw mengutus 6 orang sahabatnya untuk membawa surat 

dari Beliau kepada beberapa orang raja Arab dan non-Arab. Salah seorang 

dari ke enam utusan tadi yaitu : Abdullah bin Hudzafah Al Sahmy yang 

diutus untuk membawa surat Nabi Saw kepada Kisra raja Persia 

  

Abdullah serta-merta mempersiapkan bekalnya. Ia mengucapkan kata 

perpisahan kepada istri dan anaknya. Ia lalu berangkat menuju tempat 

tujuannya yang melalui berbagai lereng dan bukit dataran tinggi maupun 

rendah. Ia lakukan perjalanan ini  sendirian tanpa ada teman yang 

mengiringi selain Allah Swt. Saat ia sampai di perkampungan wilayah 

Persia, ia memohon izin untuk dapat masuk kepada rajanya. Dan para 

permbantu raja memperingatkan bahaya dari surat yang dibawa Abdullah 

kepada raja. 

Mendengar itu raja Kisra memerintahkan para pembantunya untuk 

menghias istana, lalu ia megundang para pembesar bangsa Persia untuk 

dapat hadir dalam kesempatan ini. lalu  Kisra mengizinkan Abdullah 

bin Hudzafah untuk datang. 

Lalu datanglah Abdullah bin Hudzafah menghadap pemimpin Persia 

dengan menggunakan selendang tipis yang menutupi tubuhnya, ia juga 

mengenakan baju panjang berbahan kasar yang ditutupi dengan selendang 

khusus bangsa Arab. 

Akan tetapi ia memiliki leher yang tegak. Postur tubuh yang tegap. Dari 

tulang rusuknya terlihat keagungan Islam. Dalam hatinya menyala 

kebesaran iman. 

Begitu Kisra melihat Abdullah datang menghadap, ia langsung memberi 

isyarat kepada salah seorang pembantunya untuk mengambil surat dari 

tangan Abdullah, maka Abdullah langsung berkata: “Jangan, Rasulullah 

Saw menyuruhku untuk menyerahkan surat ini langsung ke tanganmu, 

dan aku tidak ingin melanggar perintah Rasulullah.” 

Kisra langsung memerintahkan kepada semua pembantunya: “Biarkan 

ia mendekat kepadaku.” Maka Abudllah langsung mendekat ke arah Kisra 

sehingga ia dapat langsung menyerahkan surat ini  ke tangan Kisra. 

Lalu Kisra memanggil seorang juru tulis berkebangsaan Arab dari 

negeri Al Hirah6 dan ia memerintahkan untuk membuka surat ini  

                                                     

6

 Sebuah daerah di Iraq antara Najaf dan Kufah 

dihadapannya. Dan Kisra meminta juru tulis tadi untuk membacakannya: 

“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasulullah kepada Kisra yang 

Agung raja Persia. Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk…” 

Begitu Kisra mendengar isi surat sebagaimana yang telah dibacakan 

kepadanya, maka tersulutlah api amarah dalam dadanya. Wajahnya 

menjadi merah. Keringatnya mengucur deras dari leher sebab  dalam surat 

ini  Rasulullah Saw memulai dengan menyebut dirinya sendiri… Lalu 

ia langsung menyambar surat ini  dan merobeknya tanpa ia tahu apa 

yang ada dalam isi surat itu. Ia pun langsung berseru: “Apakah ia berani 

menuliskan hal ini kepadaku, padahal dia yaitu  budakku?!!” Lalu ia 

memerintahkan para pengawalnya untuk mengeluarkan Abdullah bin 

Hudzafah dari hadapannya. Dan akhirnya Abdullah dibawa keluar. 

  

Abdullah bin Hudzafah keluar meninggalkan ruang sidang Kisra. Ia 

sendiri tidak tahu ketentuan Allah yang bagaimana yang akan terjadi pada 

dirinya…. Apakah ia akan dibunuh atau dibiarkan hidup dengan bebas? 

Akan tetapi ia masih sempat berujar: “Demi Allah, aku tidak peduli 

akan nasibku  sesudah  aku menyampaikan surat Rasulullah Saw… Iapun 

langsung menaiki kendaraannya dan akhirnya berangkat. 

Begitu amarah Kisra mereda, ia memerintahkan untuk membawa 

masuk kembali Abdullah; namun ia tidak ditemukan… para pembantu raja 

lalu mencarinya, namun sayang Abdullah telah pergi tanpa jejak. 

Merekapun terus mengejar sepanjang jalan hingga ke jazirah Arab, dan 

mereka menyadari bahwa Abdullah telah pergi jauh. 

Begitu Abdullah datang menghadap Nabi Saw ia menceritakan apa 

yang terjadi dengan Kisra dan surat Nabi Saw yang dirobeknya. Rasul Saw 

tidak menanggapi dengan ucapan apa-apa selain: “Allah akan merobek-

robek kerajaannya.” 

  

Kisra lalu  mengirim surat kepada Badzan wakilnya yang berada 

di Yaman. Dalam suratnya Kisra berpesan: “Kirimlah kepada orang yang 

ada di Hijaz ini (Muhammad) dua orang kuat yang kau miliki. Dan 

suruhlah mereka berdua membawanya menghadapku…” Maka Badzan 

mengutus dua orang terbaiknya kepada Rasulullah Saw, dan lewat kedua 

orang tadi Badzan menitipkan surat kepada Rasul yang didalamnya 

terdapat perintah kepada Rasul untuk berangkat bersama kedua orang 

utusannya untuk menghadap Kisra sesegera mungkin… 

Badzan juga meminta kedua utusannya untuk mencari informasi 

tentang diri dan kisah Rasulullah, dan meminta keduanya melaporkan 

setiap informasi tentang diri Beliau. 

  

Kedua orang utusan tadi berangkat dengan kecepatan tinggi sehingga 

keduanya tiba di daerah Thaif. Mereka berdua bertemu dengan para 

pedagang dari suku Quraisy. Begitu melihat mereka, keduanya langsung 

menanyakan tentang diri Muhammad Saw. Para pedagang Quraisy 

menjawab: “Mereka kini ada di Yatsrib.” lalu  para pedagang tadi 

melanjutkan perjalanan ke Mekkah dengan gembira, dan mereka 

membawa kabar gembira kepada suku Quraisy sambil berkata: 

“Bergembiralah! Kisra sekarang akan menghantam Muhammad dan kalian 

tidak usah lagi khawatir akan kejahatannya.” 

Sedang kedua utusan tadi langsung menuju Madinah. Tatkala sampai 

disana mereka berdua bertemu dengan Nabi Saw. Mereka lalu 

menyerahkan surat Badzan kepada Beliau sambil berkata: “Raja diraja Kisra 

menuliskan surat kepada raja kami Badzan untuk mengutus seseorang yang 

dapat membawamu menghadapnya… Kami kini sudah datang untuk 

menjemputmu. Jika kau ingin, kami dapat berbicara kepada Kisra sehingga 

ia tidak mencelakakanmu dan membiarkanmu selamat. Jika kau menolak, 

kau sudah mengerti kekuatan, kebengisan dan kemampuannya untuk 

membunuhmu dan semua kaummu.” 

Lalu Rasulullah Saw tersenyum sambil bersabda kepada mereka berdua: 

“Kembalilah lagi ke tunggangan kalian hari ini, dan datanglah esok!.” 

Begitu mereka berdua datang menghadap lagi kepada Nabi di hari 

esoknya, mereka berdua berkata: “Apakah kau sudah mempersiapkan diri 

untuk berangkat bersama kami menghadap Kisra?” 

Nabi Saw menjawab mereka dengan bersabda: “Kalian tidak akan 

bertemu dengan Kisra lagi  sesudah  ini…. Allah telah membunuhnya; dengan 

mengangkat putranya yang bernama Syirawaih di malam ini…. Dan bulan 

ini….” 

Mereka berdua lalu menatap tajam wajah Nabi Saw, dan nampak 

keterkejutan di wajah mereka berdua. Keduanya bertanya: “Apakah engkau 

mengerti apa yang kau katakan? Apakah kami perlu menulis surat tentang 

hal ini kepada Badzan?” 

Rasul Saw menjawab: “Silahkan dan katakan kepadanya bahwa 

agamaku akan dapat menguasai apa yang telah dikuasai oleh Kisra dan jika 

ia mau masuk ke dalam Islam, aku akan membiarkan apa yang telah ia 

miliki dan menjadikannya sebagai raja bagi kaumnya.” 

  

Akhirnya kedua utusan tadi pergi meninggalkan Rasulullah Saw dan 

mereka pergi menghadap Badzan. Keduanya menceritakan kisahnya. 

Badzan lalu berkata: “Jika apa yang dikatakan Muhammad yaitu  benar 

maka dia yaitu  seorang Nabi, namun jika tidak maka kami akan 

mengambil keputusan atasnya…” 

Tidak lama berselang maka tibalah kepada Badzan surat dari Syirawaih 

yang didalamnya tertulis: “Amma ba’du… Aku telah membunuh Kisra. Aku 

membunuhnya sebab  ingin membalas dendam bangsaku. sebab  ia telah 

memerintahkan untuk membunuh para pembesar bangsa, menjadikan 

wanita-wanitanya sebagai budak dan merampas harta rakyat. Jika surat ini 

telah sampai di tanganmu maka engkau dan seluruh pengi