TUDUHAN TERHADAP KONTRADIKSI DALAM ALKITAB
Umat Islam sering membicarakan kontradiksi yang ada dalam Alkitab.
Jumlah kontradiksi ini bervariasi, tergantung dengan siapa Anda bicara.
Menurut Kairanvi Izhal Ul-Haq ada 119 kontradiksi dalam Alkitab, sedangkan
Shabbir Ally mendapatkan 101 buah pertentangan. Masalah pertentangan ini
timbul sebab menurut mereka isi sebuah kitab suci yang merupakan pesan dari
Tuhan Yang Maha Tahu seharusnya konsisten dan samasekali tidak memiliki
pertentangan di dalamnya.
Umat Islam mengutip dari Al Qur‟an (4:82), “Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Qur‟an? Kalau kiranya Al Qur‟an bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
DEFINISI MENGENAI WAHYU
Dalam menjawab tuduhan terhadap kontradiksi ini sangatlah penting bagi kita
untuk mengenal dan memahami dengan jelas pemikiran yang mendasarinya.
Menurut mereka, prinsip-prinsip yang dapat dinilai oleh manusia, dan
mendapatinya sebagai tidak non-kontradiktif adalah merupakan ukuran mutlak
terhadap firman Tuhan yang sejati. Pernyataan ini bukanlah anjuran bagi orang
Kristen untuk menyetujuinya. Orang Kristiani memang menyatakan bahwa
Alkitab tidak pernah mempertentangkan dirinya sendiri. Namun orang-orang
Kristen tentu tidak setuju jika dikatakan bahwa prinsip-prinsip yang tidak saling
bertentangan menurut otak manusia pastilah merupakan firman Tuhan. Tetapi
inilah yang diyakini oleh umat Islam sebagai sebuah wahyu, dan dengan kriteria
inilah mereka jadikan titik tolak untuk berdebat tentang pewahyuan.
Merupakan kekeliruan bagi kita untuk menilai Alkitab dengan standar yang
dipinjam dari Al Qur‟an. Menurut mereka Al Qur‟an diturunkan (Nazil atau Tanzil)
dari surga tanpa diolah oleh tangan manusia. Mereka yakin, bahwa kitab suci
mereka merupakan wahyu langsung kiriman dari Tuhan. Dan dengan kriteria
seperti itu pula mereka memaksakan untuk mengukur Alkitab. Padahal hal
semacam ini tidak berlaku dalam Alkitab (yang telah terwahyu jauh sebelum Al
Qur‟an, menurut kriteria wahyu Alkitab).
Alkitab bukanlah sebuah buku yang disusun oleh hanya satu orang seperti yang
mereka yakini terhadap Al Qur‟an, melainkan susunan dari 66 buah kitab, yang
ditulis oleh lebih dari 40 orang penulis, dan dalam tenggang waktu 1500 tahun!
Artinya, seluruh ini Alkitab ditulis oleh tangan manusia. Buktinya dapat dilihat
dari penggunaan bahasa yang berbeda-beda, jenis tulisan yang beraneka
macam, perbedaan tingkat intelektual dan kepribadian, serta kata-kata “sehari-
hari” untuk menggambarkan hal-hal ilmiah, yang digunakan oleh penulis agar
dapat dipahami oleh orang-orang pada masa tulisan itu dibuat. Tetapi itu semua
tidak berarti, bahwa Alkitab tidak dapat dipercaya, sebab setiap penulis Alkitab
memperoleh wahyu melalui pengilhaman ilahi.
DEFINISI MENGENAI PENGILHAMAN
Dalam 2 Timotius 3:16, dikatakan bahwa seluruh isi Kitab Suci itu diilhamkan
(diinspirasikan). Kata yang digunakan untuk inspirasi ini adalah theopneustos,
artinya “tiupan nafas Tuhan”, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Tuhan
sendiri. Dalam 2 Petrus 1:21, kita baca bahwa para penulis “didorong serta” oleh
Tuhan. Oleh sebab itu, Tuhan memakai setiap penulis, termasuk
kepribadiannya untuk menyelesaikan karya ilahi yang otoritatif, dan Tuhan tidak
pernah salah dalam mengilhami.
Alkitab banyak berbicara tegas mengenai inspirasi. Dalam Lukas 24:27,44;
Yohanes 5:39; dan Ibrani 10:7, Yesus menegaskan bahwa apa yang tertulis
mengenai Dia dalam Perjanjian Lama akan terjadi. Sedangkan Roma 3:2 dan
Ibrani 5:12 menjelaskan Perjanjian Lama sebagai Firman Tuhan. Dalam 1
Korintus 2:13 tertulis “Dan apa yang kami bicarakan, bukanlah berdasarkan
perkataan yang diajarkan oleh hikmat manusia, tetapi berdasarkan apa yang
diajarkan oleh Roh Kudus ketika membandingkan hal-hal yang rohani dengan
hal-hal yang rohani.” Ini selaras dengan 2 Timotius 3:16 yang telah disebutkan
di atas. Dalam 1 Tesalonika 2:13, Paulus mengatakan: “… sebab ketika
menerima firman pemberitaan Elohim dari kami, kamu tidak menyambut
perkataan manusia, tetapi hal itu benar-benar seperti menyambut firman
Elohim…”
Petrus berbicara tentang inspirasi yang diilhamkan kepada Paulus dalam 2
Petrus 3:15-16, “…sebagaimana pula Paulus, saudara kita yang terkasih, telah
menuliskannya kepadamu sesuai dengan hikmat yang telah diberikan
kepadanya. Dan seperti dalam semua surat yang berbicara kepada mereka
mengenai hal-hal ini, yang di dalamnya ada beberapa hal yang sulit
dipahami, sama seperti kitab-kitab yang lainnya juga…” Sebelumnya dalam 2
Petrus 1:21, Petrus menulis, “ sebab nubuat tidak pernah dihasilkan oleh
keinginan seseorang, sebaliknya orang-orang kudus Elohim telah mengucapkan
sebab dihasilkan oleh Roh Kudus.” Dan Akhirnya, dalam Wahyu 22:18,19,
Yohanes sang penulis mengatakan “…Jika seseorang menambahkan sesuatu
kepadanya, Elohim akan menambahkan atasnya bencana-bencana yang telah
tertulis di dalam kitab ini. Dan jika seseorang membuang sesuatu dari
perkataan-perkataan kitab nubuat ini, Elohim akan menghapus bagiannya dari
Kitab Kehidupan…”
Charles Wesley menjelaskan arti inspirasi ini dengan tepat, yang menurutnya,
“Alkitab bisa saja diciptakan oleh satu diantara 3 (tiga) sumber, yaitu oleh orang
baik ataupun malaikat, atau oleh orang jahat ataupun setan, atau oleh Tuhan.
Tetapi ternyata isi ini bukan ditulis oleh orang-orang baik, sebab mereka
ini tidak akan berkata bohong dengan berkata, “Inilah yang dikatakan oleh
Tuhan”. Juga ternyata bukan diciptakan oleh orang-orang jahat sebab mereka
tidak akan menulis tentang melakukan seluruh perbuatan baik, dan mengutuk
semua dosa sementara mereka sendiri masuk neraka. Jadi Alkitab pasti ditulis
berdasarkan inspirasi (ilham) yang datang dari Tuhan”
Dengan cara apakah Tuhan memberi ilham kepada para penulis? Apakah
dengan menggerakkan hati para penulis untuk meraih keunggulan seperti yang
kita lihat dalam karya Shakespeare, Milton, Homer, Dickens, dan penulis-penulis
besar lainnya? Atau apakah Ia menginspirasikan firman-Nya yang tercampur
dengan mitos, kesalahan, legenda, yaitu merupakan sebuah kitab yang di
dalamnya ada firman Tuhan yang bercampur dengan keterbatasan dan
kekeliruan? Atau apakah kitab suci sebagai firman Tuhan memang tidak memiliki
kekeliruan sama sekali? Dengan demikian, umat Islam akan bertanya,
bagaimana inspirasi ini dapat diturunkan? Apakah Tuhan mendiktekannya secara
mekanis, sama seperti anggapan mereka terhadap Al Qur‟an, atau apakah
Tuhan memakai pikiran dan pengalaman sang penulis sendiri?
Jawabannya mudah saja, yaitu bahwa Tuhan selalu mengendalikan tulisan
mereka, sebab Alkitab merupakan “Firman Tuhan melalui kata-kata manusia”
Artinya adalah Tuhan memakai kebudayaan serta aturan-
aturan dari lingkungan si penulis, lingkungan dimana Tuhan mengendalikan
mereka melalui kedaulatanNya. Dengan demikian sejarah diperlakukan Tuhan
sebagai sejarah, puisi sebagai puisi, perumpamaan dan kata-kata kiasan sebagai
perumpamaan dan kata-kata kiasan, generalisasi dan pendekatan sebagai
generalisasi dan pendekatan, dan lain-lain sebagai apa adanya. Perbedaan
konvensi dan penghayatan sastra yang ada pada masa Alkitab dan masa kini,
juga harus diperhatikan. Misalnya pengisahan yang kurang kronologis dan
kutipan yang tidak terlalu tepat, pada saat itu merupakan tradisi yang dapat
diterima dan tidak dianggap melanggar prinsip baku. Dan jika hal serta maksud
ini dapat dipahami, maka tidak akan muncul dugaan-dugaan dan tuntutan
yang keliru terhadap Alkitab.
Kitab Suci tidak mengandung kesalahan, - tidak dalam artian bahwa semuanya
harus tepat secara absolut menurut ukuran modern – tetapi dalam arti bahwa isi
dan pesan-pesan-nya mencapai kebenaran maksud dan tujuan seperti yang
diartikan oleh penulis. Kebenaran Kitab Suci tidak dapat dihilangkan oleh
bentuk-bentuk lahiriah dalam susunan tata bahasa ataupun lafal yang dianggap
salah. Bahkan kebenarannya tidak bisa dihilangkan oleh penjelasan yang
mencoba menyudutkan sifat dan pernyataannya (seperti misalnya kebohongan
setan), ataupun menghadapkan kontradiksi-semu antara kalimat yang satu
dengan kalimat yang lain. Tidaklah benar menghadapkan “gejala-gejala
kesalahan Alkitab” untuk dipertentangkan dengan ajaran Kitab Suci sendiri.
Gejala-gejala Alkitab yang tampak-tampaknya tidak konsisten memang jangan
tidak dihiraukan. Penyelesaian yang telah dilakukan (seperti yang kami lakukan
dalam buku ini), justru semakin memperkuat iman kita. Dan kalaupun masih
ada beberapa isu yang belum ada penjelasan yang meyakinkan kita tetap akan
menghormati Tuhan dan meyakini janjiNya dalam firmanNya yang selalu benar
dan sempurna. Kita yakin bahwa suatu hari nanti gejala-gejala yang belum
serasi ini akan dapat dilihat sebagai suatu gambaran yang dibenarkan dalam
iman. Ini bukanlah harapan tak berdasar. Misalnya, seabad yang lalu, kurang
lebih ada 100 anggota tubuh yang fungsinya belum diketahui oleh para dokter.
Lalu orang-orang berkata, “Hal ini membuktikan bahwa teori evolusi benar,
sebab ada beberapa bagian tubuh yang tidak diperlukan lagi.” Tetapi melalui
penelitian yang terus dilakukan, kini kita hanya memiliki satu organ tubuh yang
kelebihan. Dan suatu saat nanti, mungkin kita akan mengetahui fungsi organ
tubuh ini . Prinsip ini juga berlaku terhadap Alkitab. Ada banyak
“pertentangan” yang telah berhasil dijelaskan melalui berbagai penelitian dan
pemahaman. Kurang lebih seabad atau bahkan 25 tahun yang lalu, Shabbir akan
dengan mudah menemukan ada 1001 kontradiksi dalam Alkitab. Tetapi
penemuan data-data baru selalu diperoleh, dan dengan itu kita dapat menjawab
misteeri sejarah. Oleh sebab itu selalu ada alasan untuk meyakini bahwa semua
pertentangan itu akan terjawab pada waktuNya.
Sebaliknya pemahaman orang Kristen tentang wahyu pasti tidak akan dapat
diterima oleh umat Islam, sebab hal itu akan menimbulkan perselisihan dengan
mereka. Seperti misalnya Alkitab bertentangan dengan konsep Nazil atau Tanzil
(diturunkan) yang diyakini terjadi pada Al Qur‟an. Namun mereka hanya melihat
kepada Perjanjian Baru yang telah mereka persalahkan. Mereka tidak menuduh
kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Zabur, padahal keduanya ini toh
dianggap oleh umat Islam sebagai wahyu yang sama diilhamkan. Umat Islam
percaya bahwa Musa menulis kitab Taurat dan Daud menulis kitab Zabur, tetapi
anehnya mereka mempersalahkan apakah wahyu ini diterima dengan cara nazil
(diturunkan) atau tidak. Padahal tidak! Jika demikian, mengapa mereka
menuntut hal ini harus berlaku terhadap Perjanjian Baru, padahal kitab ini
juga tidak meng-klaim demikian bagi dirinya.
Alasan dasarnya agaknya terletak kepada keyakinan umat Islam bahwa Al
Qur‟an adalah satu-satunya wahyu yang tidak pernah dijamah oleh campur
tangan manusia, dan sebab itu Al Qur‟an dianggap sebagai firman Tuhan yang
paling benar dan murni, dengan demikian ia menggantikan bahkan
membatalkan wahyu-wahyu lain yang telah ada sebelumnya, sebab
keterbatasan dari para penulisnya. Ironisnya, pendapat yang menyatakan bahwa
Al Qur‟an merupakan wahyu yang diturunkan, hanya berasal dari satu orang
saja, yang katanya telah menerima wahyu ini , yaitu Muhammad sendiri.
Tidak ada saksi lain yang mendukung pewahyuan Muhammad, baik sebelum
maupun di saat kesaksian Muhammad itu. Bahkan tidak ada satu kuasa mujizat
yang mendukung klaim Muhammad ini. Tidak pula dokumen lain selain Al Qur‟an
yang dapat mendukung pernyataannya. (lihat Sejarah Kelahiran Al Qur‟an vs
Alkitab).
Bahkan jika kita abaikan sejarah awal Al Qur‟an di atas, masalah lain akan tetap
ada, yaitu ketika tradisi umat Islam menyebutkan bahwa ada banyak naskah
yang berbeda yang dibuat pada saat resensi Al Qur‟an disusun pada
pertengahan abad VII. Mereka mengatakan bahwa semua naskah-naskah yang
menimbulkan perselisihan, dibuang. Dengan demikian kita tidak tahu apakah Al
Qur‟an yang kita miliki saat ini masih sama dengan Al Qur‟an yang pertama kali
disampaikan, kecuali dipercaya saja. Yang perlu diketahui oleh umat Islam
adalah bahwa orang Kristen meyakini bahwa firman Tuhan, yaitu Alkitab yang
ada saat ini memang ditulis oleh manusia, namun penulis-penulis ini selalu
berada dalam pimpinan langsung dari Roh Kudus (2 Petrus 1:20-21).
Berbeda dengan Al Qur‟an yang disampaikan tanpa unsur-unsur manusia, Tuhan
Alkitab justru memilih mewahyukan firmanNya melalui manusia-manusia (nabi-
nabi dan rasul-rasul), sehingga firmanNya bukan hanya dapat disampaikan
kepada orang lain secara tepat dan menyeluruh, tetapi juga dapat
dikomunikasikan menurut pemahaman dan daya serapnya. Hal ini tidak dapat
dilakukan oleh Al Qur‟an jikalau ia tidak memiliki unsur-unsur kemanusiaan
seperti yang diyakini umumnya.
Masih ada masalah-masalah lain ketika orang-orang Muslim mengatakan
bahwa Alkitab memiliki banyak kontradiksi. Bila benar begitu, lalu apa yang
akan mereka lakukan terhadap otoritas yang Al Qur‟an berikan kepada Alkitab?
QURAN memberi OTORITAS KEPADA ALKITAB
Al Qur‟an sendiri merupakan wewenang tertinggi bagi umat Islam. Dan Quran
memberi wewenang (otoritas) kepada Alkitab dengan mengakui
keabsahannya, paling tidak sampai abad ketujuh hingga ke sembilan.
Perhatikan Surat Al Quran berikut ini:
Surat Al Baqarah 2:136 menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara kitab
suci yang telah diberikan sebelumnya dengan Al Qur‟an, “…dan apa yang telah
diturunkan kepada kami…dan Yesus…Kami tidak membedakan seorangpun di
antara mereka”. Surat Al Imran 3:2-3 melanjutkan, “Allah…Dia menurunkan
Taurat (Musa) dan Injil (Yesus) untuk menjadi petunjuk bagi manusia.” Surat An
Nisa 4:136 lebih jauh lagi menyatakan kepada para Muslim, “…Beriman…kepada
kitab yang telah Ia kirimkan sebelumnya.”
Dalam Surat Al Maidah 5:47,49,50,52 kita temukan ayat yang ditujukan kepada
orang Kristen untuk meyakini kitab Sucinya, “Kami iringkan…Yesus putra
Mariam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami telah
memberi kepadanya Kitab Injil…Hendaklah orang-orang pengikut Injil
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang fasik…”
Dan, dalam Surat Al Maidah 5:68 kita temui ayat yang hampir serupa, “Hai ahli
kitab tidaklah kamu dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan
ajaran-ajaran Taurat, Injil dan apa-apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu [baca: Tuhan Alkitab]…”
Penguatan amat telak terhadap wewenang (otoritas) Perjanjian Lama dan Baru,
dapat kita lihat dalam Surat 10:94 yang menyatakan bahwa jika timbul keragu-
raguan terhadap Quran, maka umat Islam disarankan untuk membaca kitab-
kitab sebelumnya, “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan
tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-
orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang
kebenaran kepadamu dari Tuhanmu.”
Penekanan terhadap ayat ini dilakukan dalam Surat 21:7, “Kami tiada mengutus
rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki
yang kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-
orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
Dan yang terakhir, dalam Surat Al Ankabut 29:49, umat Islam diminta untuk
tidak mempermasalahkan wewenang (otoritas) kitab suci umat Kristen, dengan
menyatakan. “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab,
melainkan…katakanlah: “Kami telah beriman kepada yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu.”
Jadi surat-surat Al Qur‟an dengan jelas mendukung keabsahan dan otoritas
Taurat dan Injil sebagai wahyu Tuhan. Ini justru menunjuk kepada apa yang
diyakini oleh orang Kristen.
Kenyataannya, tidak ada sedikitpun peringatan dalam Al Qur‟an bahwa kitab-
kitab sebelumnya telah terpalsukan, atau ada pertentangan di dalamnya
[yang ada adalah usaha sebagian orang Yahudi untuk menyelewengkannya].
Jika memang Al Qur‟an adalah kitab yang berisikan wahyu lengkap dan final,
jika ia memang adalah kitab yang menjadi penutup bagi kitab-kitab lainnya
seperti yang diklaim oleh umat Islam, tentunya penulis Al Qur‟an akan memberi
peringatan serius kepada pembacanya bahwa kitab-kitab sebelumnya telah
terpalsukan. Tetapi, tidak pernah ditemukan satu ayat petunjukpun dalam Al
Qur‟an yang menuduh bahwa di dalam Alkitab ada pertentangan, atau
bahwa Alkitab telah terpalsu, atau bahwa itu harus diharamkan, dibakar,
diperangi/dijihad.
Beberapa orang Islam mempertahankan pernyataan dalam surat 2:140 yang
menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen telah menyelewengkan
kitab suci mereka. Ayat ini berbunyi (menunjuk kepada orang Yahudi),
“…siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian
yang ada padanya dari Allah?.” Padahal ayat ini sama sekali tidak menyatakan
bahwa orang Yahudi dan Kristen telah memalsukan kitab sucinya. Disini hanya
dikecam bahwa orang-orang Yahudi tertentu telah menyembunyikan “kesaksian
yang mereka dapatkan dari Tuhan”. Dengan kata lain, kesaksian ilahi itu tetap
ada (untuk itulah surat-surat dalam AL Qur‟an menasehati umat Islam untuk
tetap menghargai kitab-kitab suci sebelumnya), walaupun sebagian
penganutnya memilih untuk tidak mengungkapkan kesaksian itu. Alhasil, ayat
ini justru semakin memperkuat kredibilitas kitab-kitab sebelumnya, yaitu bahwa
kesaksian dari Tuhan sungguh-sungguh ada di antara masyarakat Yahudi.
TUHAN TIDAK PERNAH MENGUBAH FIRMANNYA
Baik Kitab Suci orang Kristen maupun Al Qur‟an, keduanya memegang prinsip
bahwa Tuhan tidak pernah merubah firmanNya. Ia tidak pernah merubah
wahyuNya (walaupun sulit diserasikan bahwa dalam Al Qur‟an ada pula
hukum pembatalan yang disebut nasakh). Surat Yunus 10:64 mengatakan,
“…Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat Allah.” Dan ini diulang kembali
dalam Surat Al An‟an 6:34, “Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-
kalimat Allah,” yang juga ditemukan dalam Surat Qaaf 50:28,29.
Alkitab juga memiliki sejumlah referensi yang menyatakan bahwa firman Tuhan
tidak pernah berubah, seperti misalnya dalam Ulangan 4:1-2; Yesaya 8:20;
Matius 5:17-18, 24:35; dan Wahyu 22:18-20. 1
Jika penegasan ini ditemukan baik dalam Al Qur‟an maupun Alkitab,
tampaknya sangat aneh jika kemudian dikatakan oleh umat Islam di dalam
Alkitab ada kepalsuan dan banyak pertentangan.
Lalu apa yang harus kita lakukan dengan “kontradiksi” yang diklaim umat Islam
ada dalam Alkitab?
ANALISA TERHADAP KONTRADIKSI
Kebanyakan kontradiksi yang dipermasalahkan oleh umat Islam sebenarnya
bukanlah kesalahan samasekali, melainkan hanya kesalahan dalam memahami
konteks ayat atau tidak lebih daripada kesalahan pembuat salinan ulang.
Menjelaskan jenis kesalahan yang pertama adalah lebih mudah, sedangkan
untuk kesalahan yang kedua perlu lebih banyak perhatian. Seperti yang kita
ketahui, Perjanjian Lama ditulis pada abad ke 17 s/d 5 SM di atas kulit-kulit dan
Papyrus yang mudah rusak, sehingga perlu terus menerus disalin ulang.
Kebanyakan isi Perjanjian Lama disalin ulang oleh tangan manusia selama lebih
dari 3.000 tahun, dan Perjanjian Baru disalin ulang selama 1.400 tahun, oleh
masyarakat yang terserak ke pelbagai komunitas di tempat-tempat dan benua
yang berbeda-beda, tetapi isinya tidak mengalami perubahan mendasar.
Dewasa ini, banyak catatan-catatan yang usianya lebih tua ditemukan sehingga
dapat mendukung pembuktian tulisan kitab-kitab yang telah ada. Kitab
Perjanjian Baru sendiri memiliki 5.300 naskah dan fragmen (bagian-bagian
naskah) dalam bahasa Yunani, 10.000 naskah Latin Vulgate dan 9.300 naskah
tua dalam terjemahan bahasa lainnya. Dengan kata lain, Perjanjian Baru
memiliki lebih dari 24.000 salinan naskah untuk digunakan! Jelas bahwa luasnya
per-naskah-an ini memungkinkan kita membuat gambaran terhadap setiap ayat
variant (tidak baku) yang selalu akan ada. Dimana muncul variant tertentu,
maka teks-teks ini kemudian diidentifikasikan dan disisihkan untuk
dijadikan catatan kaki pada ayat yang bersangkutan. Tetapi hal ini tidak
membuat Alkitab kita menjadi cacat (ketika kita membandingkan dengan tulisan
aslinya).
Orang Kristen dengan senang hati mengakui, bahwa ada “ketidaksempurnaan”
dalam penyalinan ulang terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi
hal seperti itu memang di luar kemampuan manusia manapun untuk dihindari,
sebab menyalin ulang halaman demi halaman dengan tangan akan
menghasilkan kesalahan manusiawi, baik untuk buku suci maupun sekuler.
Apalagi kalau naskahnya sendiri sudah buram ditelan usia dan cara
penyimpanan yang tidak sempurna. Namun kita tahu bahwa naskah aslinya
(yang disebut autograph, yaitu yang diinspirasikan langsung oleh Tuhan kepada
para penulis Alkitab) tidak akan memiliki kesalahan sedikitpun juga. Tetapi
berhubung dokumen-dokumen yang asli telah ditulis pada masa yang amat
lampau, maka dokumen ini tidak dapat lagi ditampilkan.
Para analis naskah kuno mencatat bahwa setiap orang yang menyalin ulang
(jurutulis atau penyalin ulang) cenderung membuat dua jenis kesalahan dalam
penulisannya. Yang pertama berhubungan dengan ejaan nama-nama (apalagi
nama-nama aneh dan asing), dan yang kedua berkenaan dengan bilangan-
bilangan. Kenyataan bahwa kedua jenis “kesalahan” ini saja yang utamanya
muncul dalam salinan Alkitab semakin membuktikan bahwa kesalahan-
kesalahan dalam Alkitab hanya dilakukan oleh para penulis ulang belaka. Jika
memang benar bahwa pesan-pesan Alkitab asli-lah yang saling bertentangan,
maka tentulah buktinya dapat ditemukan dalam isi Alkitab itu sendiri
Yang perlu disadari oleh kita semua adalah bahwa tidak ada satupun perbedaan
dalam serentetan salinan ulang Alkitab yang sampai ke tangan kita, menggeser
atau mengubah doktrin Alkitab itu sendiri. Justru Roh Kudus telah sedikitnya
turut melakukan “campur tangan” dan menjaga agar penyalinan ulang teks
Alkitab jangan sampai menggeser ajaran-ajaran doktrinal itu sendiri. (Catatan:
Bila ada yang menjahili Alkitab, maka tentulah sasaran penjahilannya bukan
pada tetek bengek angka dan huruf yang samasekali tidak ada bobot
signifikansinya terhadap ajaran doktrinal itu sendiri!)
Tuhan menjanjikan kebenaran FirmanNya lewat pewahyuan/pengilhaman.
Namun Tuhan tidak pernah berjanji tidak ada keteledoran dalam penulisan ulang
Alkitab. Maka dapat dipastikan bahwa naskah asli Alkitab (autograph)
merupakan ilham dari Tuhan sendiri yang tidak ada cacatnya. sebab itu kita
perlu menjadikan kritik-kritik yang ada sebagai alat untuk menemukan
keteledoran yang mungkin saja ada dalam salinan ulang Alkitab. Secara
keilmuan, teks Alkitab dalam bahasa Ibrani dan Yunani terbukti amat terpelihara
dalam Alkitab, sehingga bersama dengan Westminter Confession, kita mampu
menegaskan bahwa dibawah penjagaan Tuhan, maka keabsahan dan otoritas
Kitab Suci tidak sedikitpun dirusakkan oleh adanya salinan ulang yang “kurang
sempurna” dalam bentuknya, bukan dalam isi dan pesan-pesan doktrinalnya.
ADAKAH TERJEMAHAN YANG SEMPURNA?
Para penulis autograph menulis dalam bahasa yang dikuasinya. Kelak tulisan
dan salinannya diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia. Bukankah disini
kita semua harus mengakui, bahwa tidak ada satupun terjemahan yang mutlak
sempurna, artinya semua terjemahan selalu cenderung menyimpang dari
kepersisan makna teks aslinya? Sekalipun begitu sebuah terjemahan Kitab Suci
(yang intrinsik nyeleweng dalam dirinya) tidak menjadikan Kitab itu nyeleweng,
palsu dan tidak sah, atau menjadi tidak benar! Dengan adanya sejumlah
terjemahan yang dinilai sangat baik, tidak ada keraguan bahwa firman Tuhan
yang diterjemahkan dan disampaikan dalam lingkupnya yang benar. Tetapi
sebenarnya, berdasarkan pandangan Kitab Suci dan pekerjaan Roh Kudus yang
terus bersaksi tentang kebenaran Firman, maka kerusakan terjemahan Kitab
Suci yang paling parah adalah jikalau terjemahan ini (olah-cernah dan
penghayatan atas teks ini ) justru tidak mampu membuat para
pembacanya memperoleh “bijaksana menuju keselamatan melalui iman yang
ada di dalam Kristus YESUS. “(2 Timotius 3:15)
KESEMPURNAAN BAHTERA NUH (internet added)
Kesempurnaan dan kebenaran Alkitab sebagai firman yang menyelamatkan
umat manusia ini tepat diibaratkan dengan bahtera nabi Nuh yang dirancang
secara khusus oleh Tuhan sendiri. Maka apa yang dirancang Tuhan itu tentu
benar dan sempurna, tanpa kekurangan atau kesalahan. Namun pembuatan
bahtera itu dilakukan oleh manusia Nuh yang tidak sempurna untuk sebuah misi
penyelamatan yang sempurna! Mungkinkah itu? Nuh tidak tahu ilmu kelautan,
juga awam di bidang perkapalan raksasa. Bahkan pada masa itu, tidak mungkin
ada perkakas pertukangan yang memadai untuk proyek raksasa ini! secara ilmu
dan teknologi modern, pastilah mudah ditemukan kekurangan, kekasaran,
kesalahan, dan keanehan-keanehan produk yang dihasilkan Nuh. Bahkan anda
bisa mencurigai tingkat kekedapan air yang dimiliki bahtera itu! Pasti mustahil
mencapai kesempurnaan! Namun, siapakah di antara kita yang bisa menyangkal
bahwa ternyata kapal Nuh itu benar-benar sempurna dan benar untuk
melaksanakan misi penyelamatan yang diinginkan Tuhan?!
Secara analogi, Tuhan-pun mampu membuat Alkitab cukup sempurna melalui
dan di dalam keterbatasan manusia. Firman Tuhan yang tidak terbatas, yang
harus “diturunkan” ke dalam dunia yang terbatas, tentu mengadopsi unsur-
unsur keterbatasan yang bisa dianggap sebagai “lemah, salah, penuh
kekurangan, dan tidak sempurna”. Namun sungguh ia justru tidak pernah
kehilangan kewibawaan dan kemampuannya untuk tampil sebagai Alkitab yang
benar dan sempurna.
Dengan demikian, mari kita melihat sejumlah contoh yang ditampilkan oleh
Shabbir Ally dalam pamfletnya, demi untuk memastikan apakah otoritas Kitab
Suci dapat berdiri tegak menghadapi tes yang ditampilkannya? Pada saat kami
berempat menjawab sejumlah pertanyaan di bawah ini, dapat kami buktikan
bahwa Shabbir telah membuat sejumlah kesalahan di dalam pendalilannya. Jika
saja ia melihat pada konteksnya, permasalahan ini dapat dengan mudah
dikoreksi, hal ini membuat kami berpikir bahwa umat Islam umumnya senang
mencari dan menemukan pertentangan di dalam Alkitab – yang sebenarnya
dapat dengan mudah dijelaskan jika dibaca sesuai dengan konteksnya.
Sebaliknya, ketika kami melihat Al Qur‟an, kami justru menemukan situasi yang
saling berlawanan, dan Al Qur‟an memiliki konteks yang amat miskin untuk
bahan perujukan. Hanya sedikit bacaan narasi (yang mengisahkan), melainkan
sisipan kalimat di atas sisipan lainnya yang dapat kami baca, itupun tidak saling
memiliki hubungan sama sekali. Kisah yang diambil dalam satu surat dan
diulang dalam surat lainnya ternyata berbeda dan bahkan saling bertentangan
(misalnya cerita yang berbeda mengenai Abraham dan patung-patung
sesembahan dalam Surat 21:51-59 dan 6:74-83, 19:41-49). Itulah alasannya,
bahwa umat Islam terbiasa tidak mau melihat bagian lain dari Kitab Suci mereka
untuk memahami konteksnya (dan keseluruhannya memang miskin konteks dan
kronologi). Tidak heran mereka juga menolak melakukan hal yang sama
terhadap Alkitab.
Pada halaman kedua dari bukunya yang berjudul “101 Kontradiksi yang
ada dalam Alkitab”, Shabbir Ally menyatakan: “Diijinkan memperbanyak
buku ini untuk menyebarluaskan kebenaran”.
Kami, para penulis buku ini, berbesar hati memenuhi permintaan Bapak Ally.
Walaupun kami tidak secara langsung menyalin ulang semua kata-katanya
tetapi kami telah menampilkan ulang tuduhan kontradiksi dalam buku ini ,
dan menjawab semuanya. Oleh sebab itu, melalui sanggahan ini, kami
menjawab apa yang diminta oleh Shabbir, yaitu mari menyebar-luaskan
kebenaran! Mari, saksikan dasar ketegaran dan kebenaran Alkitab, untuk
dihadapkan dengan pernyataan Shabbir Ally.
Disana-sini, Anda akan mendapati bahwa beberapa pertanyaan memiliki lebih
dari satu jawaban. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa ada banyak cara
untuk menjelaskan masalah yang ada dalam Alkitab.
1. Siapakah yang menghasut Daud untuk melakukan penghitungan
jumlah rakyatnya, Tuhan (2 Samuel 24:1), atau Setan (1 Tawarikh
21:1)
(Kategori: salah memahami cara kerja Tuhan dalam sejarah manusia)
Disini kelihatannya ada perbedaan diantara kedua ayat di atas, kecuali kalau
kedua-duanya sama-sama benar. Kejadian ini terjadi pada akhir masa
kekuasaan Daud, dimana Daud sedang mengenang masa-masa kejayaannya
dulu yang telah membawa kerajaan-kerajaan Kanaan, Siria, dan Funisia ke
dalam daerah kekuasaan Israel. Daud kagum dan bangga diri atas prestasi-
prestasinya, sehingga ia lebih mengandalkan kekuatan senjata dan
prajuritnya daripada mengandalkan belas kasih Tuhan.
Oleh sebab itu, Tuhan memutuskan bahwa inilah saatnya Daud harus
dibawa untuk bersujud di hadapan Tuhan dan kembali menggantungkan
harapannya pada belas kasih Tuhan. Maka Ia membiarkan Daud menghitung
rakyatnya untuk melihat seberapa banyak hal ini akan membantu
Daud, sebab sensus ini sebenarnya dilakukan untuk menonjolkan
ego-bangsa (walaupun Yoab telah menentang pelaksanaan sensus dalam 1
Tawarikh 21:3). Segera sesudah jumlah rakyatnya diketahui, Tuhan
kemudian menghukum mereka dengan bencana penyakit sampar yang
memusnahkan sejumlah besar rakyat Israel (sekitar 70.000 jiwa menurut 2
Samuel 24:15), dan bersama dengan itu statistik penduduknya hancur
berantakan.
Lalu bagaimana dengan setan? Apa hubungan setan dengan kejadian ini
(seperti yang tercantum dalam 1 Tawarikh 21:1), jikalau Tuhan telah
menggerakkan Daud untuk melakukan hal-hal bodoh yang ada di otaknya.
Dengan segala maksud jahatnya, Iblis tahu bahwa sensus ini tidak
menyenangkan hati Tuhan (1 Tawarikh 21:7-8), dan sebab itu ia juga
menghasut Daud untuk melakukannya.
Tidak ada yang aneh dalam hal ini, sebab dalam sejumlah peristiwa dalam
Alkitab dapat dilihat bahwa Tuhan dan setan dapat sama-sama terlibat
dalam menguji dan men-tes jiwa-jiwa tertentu, seperti yang tampak dalam
contoh-contoh berikut:
a. Dalam Kitab Ayub, pasal 1 dan 2, kita baca bahwa Tuhan menantang
setan dengan mengijinkan setan untuk menguji Ayub. Alasan Tuhan
menguji Ayub adalah untuk memurnikan iman sekaligus memperkuat
karakter Ayub melalui kesukaran. Sebaliknya setan hanya memiliki
maksud yang sejahat-jahatnya untuk mencelakakan Ayub dengan
harapan agar Ayub akan menyangkal Tuhan melalui segala ujian yang
ditimpakan kepadanya.
b. Hal yang sama, Tuhan dan setan juga sama-sama terlibat dalam
penderitaan dari orang-orang Kristen yang teraniaya, yaitu menurut 1
Petrus 4:19 dan 5:8. Melalui hal ini Tuhan bermaksud untuk memperkuat
iman serta memampukan setiap orang menanggung bagian-bagian
penderitaan Kristus dalam hidup ini, sedemikian agar suatu saat kelak
mereka akan bersukacita bersamaNya dalam kemuliaan surgawi kelak (1
Petrus 4:13-14). Sebaliknya setan bermaksud untuk “melahap” mereka
(1 Petrus 5:8), atau menenggelamkan mereka ke dalam kegetiran
mengasihi diri sendiri, kepahitan serta kehilangan iman percaya mereka
kepada Tuhan.
c. Contoh lainnya adalah, Tuhan Elohim mengijinkan setan untuk mencobai
Yesus dalam tiga pencobaan selama pelayananNya di bumi. Tuhan Elohim
bermaksud melalui pencobaan ini agar Yesus mengalahkan sepenuhnya
pencobaan yang pernah menjatuhkan Adam (manusia pertama).
Sebaliknya setan berupaya untuk menggagalkan misi Yesus
menyelamatkan manusia.
d. Selain itu, dalam kasus penyangkalan Petrus terhadap Yesus di hadapan
Mahkamah Agung, Yesus menyebutkan bahwa ada dua pihak yang
terlibat dan memiliki maksud yang sama sekali berbeda dalam diri Petrus
(lihat Lukas 22:31-32) “Simon, Simon, lihatlah, Satan telah menuntut
untuk menampi engkau seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa
untukmu supaya imanmu tidak gugur. Dan engkau, bilamana sudah insaf
kembali, kuatkanlah saudara-saudaramu.”
e. Yang terakhir adalah pada saat penyaliban Kristus. Disitu kembali terlihat
bahwa Tuhan Elohim dan setan sama-sama terlibat dalam proses
penyaliban ini. setan memperlihatkan maksudnya ketika dia menguasai
hati Yudas dengan kelobaan akan harta dan kebencian (Yohanes 13:27),
yang mana menyebabkan mengkhianati Yesus. Di sisi lain, alasan Tuhan
dibalik penyaliban Yesus adalah untuk mengorbankan tubuh Yesus
sebagai tebusan bagi banyak orang, sehingga manusia berdosa dapat
memiliki kembali hubungan dengan Tuhan, seperti yang terjadi ketika
mereka masih di taman Eden.
Kelima contoh di atas menunjukkan bahwa Tuhan dan setan dapat sama-
sama terlibat dalam suatu peristiwa walaupun dengan motivasi yang
berbeda. Motif setan dapat dilihat dari semua contoh di atas, - termasuk
ketika Daud melakukan penghitungan jumlah penduduk – adalah jahat
semata, sedangkan maksud Tuhan sama sekali berbeda. Tuhan bermaksud
untuk memberi kebaikan yang terakhir pada kemenangan dalam setiap
kejadian, sekaligus juga meningkatkan kualitas orang yang diuji. Kita
melihat bahwa dalam setiap peristiwa keberhasilan setan hanya bersifat
sementara dan sangat terbatas; sedangkan Tuhan melalui ujian-ujian yang
diijinkan untuk diberikan kepada umat manusia pada akhirnya menghasilkan
maksud yang sesuai dengan rencana-Nya.
(Archer 1982:186-188)
2. 2 Samuel 24:9 menyebutkan jumlah penduduk Israel pada masa itu
adalah 800.000, sedangkan dalam 1 Tawarikh 21:5 disebutkan
1.100.000 jiwa.
(Kategori: salah memahami konteks sejarah, atau salah memahami maksud
penulis)
Ada sejumlah cara untuk memahami bukan saja pertanyaan ini tetapi juga
pertanyaan lainnya, sebab keduanya sama-sama menunjuk kepada perikop
yang sama dan pada sensus penduduk yang sama.
Perbedaan mungkin saja terjadi pada kedua penghitungan di atas sebab
sifat sensus yang tidak dilakukan secara lengkap dan resmi (hal ini akan
dibahas kemudian), atau sebab kitab Samuel hanya menuliskan perkiraan
jumlah penduduk yang dibulatkan untuk kaum Yehuda.
Jawaban yang lebih mendasar adalah sebagai berikut: Kedua sensus
ini tidak menghitung sasaran yang sama. Angka sensus yang ditulis
dalam 1 Tawarikh 21:5 adalah jumlah semua pria yang dapat diikut-sertakan
untuk berperang, sedangkan angka sensus dalam 2 Samuel 24:9 mencakup
jumlah orang-orang pria yang siap berperang. Soalnya laporan Yoab dalam 2
Samuel 24 dalam terjemahan aslinya menggunakan kata “is hayil” yang
artinya adalah „orang-orang perkasa‟ atau tentara yang siap perang, dan itu
menunjuk kepada 800.000 tentara veteran. Sedangkan tambahan 300.000
orang menunjuk kepada laki-laki yang dapat dicadangkan untuk terjun
dalam kancah peperangan.
Dengan demikian, jumlah kedua kelompok disini adalah 1.100.000 orang
seperti yang disebut dalam 1 Tawarikh 21, yang memang tidak
menyebutkan kata „is hayil‟.
3. 2 Samuel 24:9 menyebutkan ada 500.000 orang Yehuda yang dapat
berperang, jumlah ini 30.000 lebih banyak dibandingkan dalam
1 Tawarikh 21:5
(Kategori: salah memahami isi cerita)
Perhatikan dalam 1 Tawarikh 21:6, yang dengan jelas menyatakan bahwa
Yoab belum menghitung jumlah orang-orang suku Benyamin dan suku Lewi,
sebab Daud merasa bersalah dengan menghitung jumlah seluruh
penduduk. Jadi pada dasarnya, perbedaan jumlah-jumlah di atas dihasilkan
oleh suku-suku tertentu yang sudah termasuk dihitung atau belum. Ada lagi
referensi tambahan dalam 1 Tawarikh 27:23-24, dimana disebutkan bahwa
Daud tidak memasukkan orang-orang yang berusia 20 tahun ke bawah. Dan
sebab Yoab belum selesai menghitung jumlah penduduk, maka jumlah
ini tidak dicatat dalam kisah sejarah Raja Daud.
Prosedur pelaksanaan sensus penduduk dimulai dengan menghitung suku-
suku yang melintasi sungai Yordan (2 Samuel 24:5) kemudian bergeser
kepada suku di utara yaitu suku Dan, kemudian penghitungan diteruskan ke
arah selatan menuju Yerusalem (ayat 7). Maka suku Benyamin (anak Yakub
yang bungsu) selalu dihitung paling akhir, sehingga suku Benyamin tidak
diperhitungkan dalam jumlah total penduduk Israel ataupun suku Yehuda.
Baru dalam 2 samuel 24, disebutkan bahwa penduduk Yehuda ditambah
dengan kumpulan suku Benyamin yang diketahui berjumlah 30.000 orang,
total adalah 500.000 orang.
Perhatikan bahwa pemisahan Kerajaan Utara dan Selatan terjadi sesudah
kematian Raja Salomo pada tahun 930 SM. Tetapi kebanyakan orang-orang
suku Benyamin saat itu setia kepada dinasti Daud dan masih tergolong ke
dalam kerajaan Yehuda bersama dengan suku Simeon di Selatan. Oleh
sebab itu, sangat masuk akal untuk memperhitungkan suku Benyamin dan
Simeon ke dalam hitungan orang-orang Yehuda yang berjumlah 500.000
orang, sekalipun Yoab tidak memperhitungkannya dalam laporannya yang
pertama kepada Daud (1 tawarikh 21:5). Dengan demikian jumlah
keseluruhan orang yang dapat berperang yang tergabung dalam angkatan
bersenjata di bawah pimpinan Daud adalah 1.600.000 orang (1.100.000
orang dari Kerajaan Israel dan 470.000 orang dari suku Yehuda – Simeon
dan 30.000 orang dari suku Benyamin).
4. Kitab 2 Samuel 24:13 (terjemahan bahasa Inggris) menyebutkan
bahwa akan ada tujuh tahun masa kelaparan, sedangkan dalam 1
Tawarikh 21:12 menyebutkan hanya tiga tahun lamanya.
(Kategori: salah memahami maksud tulisan dan penulis)
Ada dua sudut pandang yang dapat dipakai untuk menjelaskan hal ini.
Pemahaman pertama, yaitu bahwa penulis kitab 1 Tawarikh lebih
menekankan pada periode tiga tahun dengan masa kelaparan terjadi paling
hebat, sedangkan penulis kitab 2 Samuel memasukkan dua tahun sebelum
dan sesudah masa kelaparan ini , yaitu masa dimana kelaparan belum
terasa sangat hebat dan kemudian berangsur-angsur membaik.
Pemahaman kedua, dapat dilihat dari mencermati setiap kata yang
digunakan. Coba bandingkan kedua kalimat di atas, maka tampak jelas
bahwa kata-kata yang digunakan di dalam 1 Tawarikh 21 dan 2 Samuel 24
sama sekali berbeda. Kitab 2 Samuel 24:13 memakai kalimat yang berupa
pertanyaan, “Akan datangkah menimpa engkau tujuh tahun kelaparan di
negerimu?” Sedangkan dalam 1 Tawarikh 21:12 lebih menggunakan kata-
kata imperative (yang bersifat keharusan) untuk memilih salah satu dari 3
pilihan, yaitu “Haruslah engkau memilih: tiga tahun kelaparan, atau…” Dari
sini dapat disimpulkan bahwa kitab 2 Samuel mencatat pendekatan/teguran
yang dilakukan pertama kali oleh nabi Gad kepada Daud, dimana pilihan
yang disampaikan adalah tujuh tahun, sedangkan dalam Tawarikh
memberi pendekatan/teguran kedua dan yang terakhir dari nabi Gad
kepada Daud, dimana Tuhan (sesudah Daud menanggapi teguran yang
pertama dengan berdoa dan memohon sungguh-sungguh) mengurangi masa
hukuman dari tujuh tahun menjadi tiga tahun. Daud kemudian memilih
alternatif ke-3 dari hukuman Tuhan, yaitu penyakit sampar selama tiga hari,
yang menyebabkan 70.000 orang Israel mati.
5. Apakah Ahazia berusia 22 tahun (2 Raja-raja 8:26) atau 42 tahun (2
Tawarikh 22:2) ketika ia memerintah atas Yerusalem?
(Kategori:kesalahan penulis ulang)
sebab pasal-pasal Alkitab yang kita baca saat ini berasal dari tulisan ribuan
tahun lalu, kita tidak dapat berharap naskah aslinya tersedia bagi kita saat
ini, sebab naskah ini sudah rusak lewat waktu yang panjang. Kini kita
tergantung kepada naskah-naskah salinan ulang, yang ditulis secara
berulang kali sejak ratusan tahun lalu. Mereka yang menulis ulang itu
cenderung memiliki dua kesalahan dalam menulis. Kesalahan yang pertama
adalah dalam hal penyebutan nama dan kesalahan kedua berkaitan dengan
jumlah/bilangan.
Dua contoh yang berbeda bilangan di atas terkait dengan masa 22 tahun
dalam 2 Raja-raja 8:26, sedangkan 2 Tawarikh 22:2 menyebutkan ia telah
berusia 42 tahun. Untunglah ada cukup tambahan informasi dalam Alkitab
yang menunjukkan bahwa yang benar adalah berusia 22 tahun. Sebelumnya
dalam 2 Raja-raja 8:17 penulis menyebutkan bahwa Ayah dari Ahazia, yaitu
Yoram bin Ahab berusia 32 tahun ketika ia menjadi raja, dan ia mati delapan
tahun kemudian, pada saat berusia 40 tahun. Oleh sebab itu Ahazia tidak
mungkin berusia 42 tahun pada saat ayahnya meninggal di usia 40 tahun!
Kesalahan tulisan seperti ini diketahui oleh banyak pihak sejak dulu, namun
keaslian salinannya tetap dijaga dan tidak diubah. Tidak ada orang Yahudi
maupun Kristen yang terpengaruhi kepercayaannya. Dalam beberapa
peristiwa, justru bagian tertentu dari kitab suci dapat digunakan untuk
mengoreksi sesuatu yang salah (misalnya 2 Raja-raja 8:26 itulah). Justru
perlu disimpulkan bahwa para penyalin ulang Alkitab yang bertanggung
jawab telah berbuat kejujuran yang paling terpercaya. Mereka, walau
mengetahui kesalahan teks itu, tetap menulis apa adanya menurut keaslian
yang mereka peroleh tanpa berani melakukan perubahan apapun yang
diduga bermasalah, yang untungnya hanya ada segelintir saja.
(Penjelasan terhadap pertanyaan berikut akan lebih menjelaskan bagaimana
seorang penyalin naskah dapat keliru dalam salinannya yang berkenaan
dengan bilangan)
(Archer 1982:206 dan Light of Life II 1992:201)
6. Apakah Yoyakhin berumur 18 tahun (2 Raja-raja 24:8) atau 8 tahun
(2 Tawarikh 36:9) ketika ia menjadi raja di Yerusalem?
(Kategori: kesalahan penulis ulang)
Untuk kasus di atas, sekali lagi ada informasi yang cukup untuk
mengatakan bahwa usia 8 tahun adalah salah dan yang benar adalah
berusia 18 tahun. Usia 8 tahun adalah terlalu muda untuk memerintah.
Tetapi ada beberapa komentator yang mengatakan bahwa dapat saja hal
ini benar. Mereka berpendapat bahwa Yoyakhin, ketika berusia
delapan tahun diangkat menjadi pendamping ayahnya, dimana ia dididik
untuk memimpin sebuah kerajaan. Yoyakhin kemudian secara resmi
diangkat menjadi raja pada usia delapan belas tahun, sesudah ayahnya
meninggal dunia.
Versi 8 versus 18 tahun ini merupakan contoh lain yang menunjukkan
kesalahan di dalam menulis angka. Mungkin akan membantu jika dijelaskan
disini bahwa ada tiga cara untuk menuliskan angka dalam bahasa Ibrani.
Yang pertama yaitu rangkaian tanda baca yang digunakan oleh orang Yahudi
pada abad kelima SM, Elephantine Papyri (akan dijelaskan dibawah), yang
kedua adalah sistem yang memakai huruf-huruf alphabet sebagai bilangan.
Dan yang terakhir adalah, sistem yang menggunakan angka-angka yang
ditulis dalam sekumpulan soperim. Untungnya, kami memiliki sejumlah
besar dokumen di atas papyrus yang berisi ketiga jenis tulisan angka-angka
ini di atas.
Perbedaan-perbedaan bilangan pada umumnya menyangkut angka-angka
puluhan, bukan satuan. Telah dijelaskan bahwa tulisan angka yang berupa
tanda baca telah digunakan oleh orang Yahudi pada abad kelima SM,
Elephantine Papyri, yaitu sejak masa Ezra dan Nehemia. Tanda baca ini
berupa garis melintang dengan lekukan kecil ke bawah di ujung kanannya
yang menunjukkan angka sepuluh (dan dua buah garis yang diletakkan atas
bawah akan menunjukkan angka 20). Sedangkan garis tegak lurus
digunakan untuk angka-angka satuan. Oleh sebab itu angka 8 akan ditulis
dengan /III IIII, sedangkan angka 18 akan ditulis /III IIII dengan tambahan
di atasnya satu garis melintang yang berlekukan di ujung kanannya. Dengan
demikian angka 22 akan ditulis /I dengan dua buah garis melintang yang
berlekukan di atasnya, dan 42 akan ditulis /I dengan dua pasang garis
melintang dengan lekukannya. (kami mohon maaf jika tulisan di komputer
kami tidak mirip dengan tulisan Dr. Archer)
Jika demikian bisa saja terjadi sebab tulisan kitab yang pertama-tama telah
buram dan kotor, ada satu atau lebih tanda baca yang telah hilang atau
tidak terlihat oleh penulis. Dan biasanya penyalin ulang justru cenderung
salah dalam melihat jumlah garis melintang yang buram (yaitu angka-
puluhan) dalam kitab aslinya.
Mengenai hal ini, Alkitab New International Version (NIV) telah mengoreksi
isinya. Namun mereka tetap menyebutkan pada bagian catatan kaki, bahwa
kesalahan ini ada termuat dalam naskah asli teks Ibrani. Sedangkan naskah
salinan asli Septuaginta dan Syria dan juga satu naskah Ibrani lainnya
memuat angka-angka yang benar. Koreksi angka ini hanya berani dilakukan
sesudah kesalahannya dibukakan (bukan malah dirahasiakan). Semua
“kekeliruan asli” tidak dibakar atau dihilangkan dari catatan, hal mana
mengamankan keaslian dan otoritas dari kitab suci yang kita miliki.
Setiap orang yang berpikir waras akan tahu bahwa tidak ada gunanya
angka/bilangan ini diubah dengan sengaja! Itu hanya terjadi sebab
kejujuran 100%: Menghadapi keburaman naskah!
Kesalahan tulisan para penyalin ulang seperti ini juga ada pada tulisan-
tulisan dari kaum pagan. Seperti contoh yang ada dalam ukiran batu
Behistun yang diperintahkan untuk ditulis oleh Darius I, dimana menurut
koloni inskripsi Babylonia nomor 38, pasukan Frada yang dibantai adalah
55.243 pasukan dan 6.572 tawanan. Sedangkan salinan ulang buku ini yang
kemudian ditemukan di Babylonia, mencatat ada 6.973 orang tawanan.
Tetapi dalam terjemahan bahasa Aram, tulisan yang diketemukan di Patung
Gajah (=Elephantine) di Mesir disebutkan bahwa jumlah tawanan adalah
6.972 orang.
Kejadian serupa, ada pada kolom inskripsi nomor 31 dalam buku yang
sama, penulis Babylonia menulis 2.045 sebagai jumlah pasukan Frawatish
yang tewas, dengan 1.558 orang tawanan. Sedangkan salinan dalam bahasa
Aram menulis lebih dari 1.575 orang yang menjadi tawanan.
7. Apakah Raja Yoyakhin memerintah Yerusalem selama tiga bulan (2
Raja-raja 24:8) ataukah tiga bulan sepuluh hari? (2 Tawarikh 36:9)
(Kategori: salah memahami isi cerita atau maksud penulis)
Sekali lagi, kita temui pertanyaan seperti no 2 dan 4, dimana penulis
Tawarikh menuliskan lamanya masa pemerintahan Yoyakhin secara lebih
spesifik, sedangkan penulis kitab Raja-raja hanya menyebutkan secara garis
besar dan membulatkan jumlah bulannya saja, dengan anggapan bahwa
tambahan sepuluh hari tidak cukup perlu untuk disebutkan secara khusus.
8. Apakah kepala perwira yang mengiringi Daud berperang telah
membunuh 800 orang (2 Samuel 23:8) atau hanya 300 orang? (1
Tawarikh 11:11)
(Kategori: salah memahami konteks sejarah atau maksud penulis)
Sangat mungkin bahwa, kedua penulis telah menceritakan dua kejadian
yang berbeda walau dengan tokoh yang sama. Atau dapat juga, penulis
yang satu hanya menyebutkan sebagian dari jumlah yang ada sedangkan
penulis yang lain menyebutkan jumlah secara keseluruhan.
9. Apakah Daud membawa Tabut Perjanjian ke Yerusalem sesudah
mengalahkan orang Filistin (2 Samuel 5 dan 6) atau sebelumnya? (1
Tawarikh 13 dan 14)
(Kategori: tidak membaca teks secara keseluruhan)
Pertanyaan di atas tidak akan menjadi masalah,
seandainya Shabbir Ally membaca lebih lanjut sampai ke 1
Tawarikh 15, yang menyebutkan bahwa Daud
memindahkan Tabut Perjanjian sesudah mengalahan tentara Filistin.
Alasannya adalah sebab orang Israel memindahkan Tabut Perjanjian ini dua
kali. Yang pertama, mereka memindahkannya dari Baal tempat orang Israel
mengalahkan orang Filistin, seperti yang kita baca dalam 2 Samuel 5 dan 6
dan 1 Tawarikh 15. Ketika Nabi Samuel menceritakan kemenangan Daud
atas Filistin, ia menceritakan dua kali kepindahan Tabut Perjanjian. Namun
dalam 1 Tawarikh disebutkan urutannya sebagai berikut: pertama-tama
Tabut Perjanjian dipindahkan dari Baal; kemudian Daud mengalahkan orang
Filistin, dan akhirnya Tabut Perjanjian dipindahkan lagi dari rumah Obed-
Edom ke Yerusalem.
Oleh sebab itu kedua teks di atas sama sekali tidak ada pertentangan
apapun. Disini, di satu sisi Nabi Samuel lebih memilih menceritakan seluruh
kisah sebagai suatu kesatuan (daripada menceritakannya sebagai susulan)
dan di sisi lain kitab Tawarikh mengisahkan sejarahnya dengan cara yang
berbeda. Kendati demikian, kedua cerita di atas berlangsung pada kurun
waktu yang sama.
Kejadian serupa dapat lebih buruk dikenakan kepada Al Qur‟an. Dalam Surat
2 kita temukan kisah mengenai kejatuhan Adam, kemudian kemurahan
Tuhan yang dinyatakan kepada bangsa Israel, diikuti dengan tenggelamnya
tentara Firaun, kisah tentang Musa dan patung lembu yang terbuat dari
emas, keluhan bangsa Israel mengenai makanan dan minuman, dan
kemudian dikisahkan kembali mengenai patung lembu emas. Menyusul ini,
kita membaca kisah mengenai Musa dan Yesus, kemudian kita membaca
tentang Musa dan patung lembu emas, dan kemudian kisah mengenai
Salomo dan Abraham. Jika kita mau berbicara mengenai kronologis urutan
waktu, maka apakah hubungannya Musa dengan Yesus atau Salomo dengan
Abraham disitu? Jika disusun menurut kurun waktu, seharusnya surat
ini memulai tulisannya dengan kisah mengenai kejatuhan Adam,
kemudian tentang Kain dan Habil, Abraham, Lot, Ishak, Yakub dan Esau,
Yusuf, Anak-anak Israel dan Musa. Melihat kronologi yang sedemikian
semrawutnya dalam surat Al Qur‟an ini, apakah Shabbir Ally bisa
menjelaskan terlebih dahulu sebelum ia banyak mengkritik sesuatu yang ia
anggap ada kesalahan di dalam Alkitab?
10. Apakah Nuh membawa sepasang-sepasang dari semua jenis
mahluk hidup (Kejadian 6:19-20) ataukah 7 pasang binatang yang
“tidak haram”? (Kejadian 7:2; lihat juga Kejadian 7:8-9)
(Kategori: salah mengutip ayat)
Inilah contoh pertanyaan yang aneh. Jelas sekali bahwa Shabbir Ally telah
salah mengutip ayat dalam Kitab Kejadian pasal 6, yang tidak
menyebutkan bilangan apapun untuk jenis binatang yang “tidak haram”.
Sedangkan pasal 7 secara khusus memisahkan antara binatang yang
haram dan “tidak haram”. Kejadian 7:2 menyebutkan bahwa Nuh harus
membawa 7 pasang binatang yang “tidak haram” dan satu pasang untuk
binatang “haram” yang mana saja. Mengapa dalam pertanyaan Shabbir
tidak menyebutkan bagian akhir dari ayat di atas yang menunjukkan satu
pasang binatang? Jelas bahwa tidak ada pertentangan diantara kedua ayat
di