Minggu, 29 Desember 2024

alkitab polemik 1

 



TUDUHAN TERHADAP KONTRADIKSI DALAM ALKITAB 

 

Umat Islam sering membicarakan kontradiksi yang ada  dalam Alkitab. 

Jumlah kontradiksi ini  bervariasi, tergantung dengan siapa Anda bicara. 

Menurut Kairanvi Izhal Ul-Haq ada 119 kontradiksi dalam Alkitab, sedangkan 

Shabbir Ally mendapatkan 101 buah pertentangan. Masalah pertentangan ini 

timbul  sebab  menurut mereka isi sebuah kitab suci yang merupakan pesan dari 

Tuhan Yang Maha Tahu seharusnya konsisten dan samasekali tidak memiliki 

pertentangan di dalamnya. 

Umat Islam mengutip dari Al Qur‟an (4:82), “Maka apakah mereka tidak 

memperhatikan Al Qur‟an? Kalau kiranya Al Qur‟an bukan dari sisi Allah, 

tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” 

 

DEFINISI MENGENAI WAHYU 

Dalam menjawab tuduhan terhadap kontradiksi ini sangatlah penting bagi kita 

untuk mengenal dan memahami dengan jelas pemikiran yang mendasarinya. 

Menurut mereka, prinsip-prinsip yang dapat dinilai oleh manusia, dan 

mendapatinya sebagai tidak non-kontradiktif adalah merupakan ukuran mutlak 

terhadap firman Tuhan yang sejati. Pernyataan ini bukanlah anjuran bagi orang 

Kristen untuk menyetujuinya. Orang Kristiani memang menyatakan bahwa 

Alkitab tidak pernah mempertentangkan dirinya sendiri. Namun orang-orang 

Kristen tentu tidak setuju jika dikatakan bahwa prinsip-prinsip yang tidak saling 

bertentangan menurut otak manusia pastilah merupakan firman Tuhan. Tetapi 

inilah yang diyakini oleh umat Islam sebagai sebuah wahyu, dan dengan kriteria 

inilah mereka jadikan titik tolak untuk berdebat tentang pewahyuan. 

Merupakan kekeliruan bagi kita untuk menilai Alkitab dengan standar yang 

dipinjam dari Al Qur‟an. Menurut mereka Al Qur‟an diturunkan (Nazil atau Tanzil) 

dari surga tanpa diolah oleh tangan manusia. Mereka yakin, bahwa kitab suci 

mereka merupakan wahyu langsung kiriman dari Tuhan. Dan dengan kriteria 

seperti itu pula mereka memaksakan untuk mengukur Alkitab. Padahal hal 

semacam ini tidak berlaku dalam Alkitab (yang telah terwahyu jauh sebelum Al 

Qur‟an, menurut kriteria wahyu Alkitab). 

Alkitab bukanlah sebuah buku yang disusun oleh hanya satu orang seperti yang 

mereka yakini terhadap Al Qur‟an, melainkan susunan dari 66 buah kitab, yang 

ditulis oleh lebih dari 40 orang penulis, dan dalam tenggang waktu 1500 tahun! 

Artinya, seluruh ini Alkitab ditulis oleh tangan manusia. Buktinya dapat dilihat 

dari penggunaan bahasa yang berbeda-beda, jenis tulisan yang beraneka 

macam, perbedaan tingkat intelektual dan kepribadian, serta kata-kata “sehari-

hari” untuk menggambarkan hal-hal ilmiah, yang digunakan oleh penulis agar 

dapat dipahami oleh orang-orang pada masa tulisan itu dibuat. Tetapi itu semua 

tidak berarti, bahwa Alkitab tidak dapat dipercaya,  sebab  setiap penulis Alkitab 

memperoleh wahyu melalui pengilhaman ilahi. 

 

DEFINISI MENGENAI PENGILHAMAN 

Dalam 2 Timotius 3:16, dikatakan bahwa seluruh isi Kitab Suci itu diilhamkan 

(diinspirasikan). Kata yang digunakan untuk inspirasi ini adalah theopneustos, 

artinya “tiupan nafas Tuhan”, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Tuhan 

sendiri. Dalam 2 Petrus 1:21, kita baca bahwa para penulis “didorong serta” oleh 

Tuhan. Oleh  sebab  itu, Tuhan memakai setiap penulis, termasuk 

kepribadiannya untuk menyelesaikan karya ilahi yang otoritatif, dan Tuhan tidak 

pernah salah dalam mengilhami. 

Alkitab banyak berbicara tegas mengenai inspirasi. Dalam Lukas 24:27,44; 

Yohanes 5:39; dan Ibrani 10:7, Yesus menegaskan bahwa apa yang tertulis 

mengenai Dia dalam Perjanjian Lama akan terjadi. Sedangkan Roma 3:2 dan 

Ibrani 5:12 menjelaskan Perjanjian Lama sebagai Firman Tuhan. Dalam 1 

Korintus 2:13 tertulis “Dan apa yang kami bicarakan, bukanlah berdasarkan 

perkataan yang diajarkan oleh hikmat manusia, tetapi berdasarkan apa yang 

diajarkan oleh Roh Kudus ketika membandingkan hal-hal yang rohani dengan 

hal-hal yang rohani.” Ini selaras dengan 2 Timotius 3:16 yang telah disebutkan 

di atas. Dalam 1 Tesalonika 2:13, Paulus mengatakan: “… sebab  ketika 

menerima firman pemberitaan Elohim dari kami, kamu tidak menyambut 

perkataan manusia, tetapi hal itu benar-benar seperti menyambut firman 

Elohim…” 

Petrus berbicara tentang inspirasi yang diilhamkan kepada Paulus dalam 2 

Petrus 3:15-16, “…sebagaimana pula Paulus, saudara kita yang terkasih, telah 

menuliskannya kepadamu sesuai dengan hikmat yang telah diberikan 

kepadanya. Dan seperti dalam semua surat yang berbicara kepada mereka 

mengenai hal-hal ini, yang di dalamnya ada  beberapa hal yang sulit 

dipahami, sama seperti kitab-kitab yang lainnya juga…” Sebelumnya dalam 2 

Petrus 1:21, Petrus menulis, “ sebab  nubuat tidak pernah dihasilkan oleh 

keinginan seseorang, sebaliknya orang-orang kudus Elohim telah mengucapkan 

 sebab  dihasilkan oleh Roh Kudus.” Dan Akhirnya, dalam Wahyu 22:18,19, 

Yohanes sang penulis mengatakan “…Jika seseorang menambahkan sesuatu 

kepadanya, Elohim akan menambahkan atasnya bencana-bencana yang telah 

tertulis di dalam kitab ini. Dan jika seseorang membuang sesuatu dari 

perkataan-perkataan kitab nubuat ini, Elohim akan menghapus bagiannya dari 

Kitab Kehidupan…” 

Charles Wesley menjelaskan arti inspirasi ini dengan tepat, yang menurutnya, 

“Alkitab bisa saja diciptakan oleh satu diantara 3 (tiga) sumber, yaitu oleh orang 

baik ataupun malaikat, atau oleh orang jahat ataupun setan, atau oleh Tuhan. 

Tetapi ternyata isi ini  bukan ditulis oleh orang-orang baik,  sebab  mereka 

ini tidak akan berkata bohong dengan berkata, “Inilah yang dikatakan oleh 

Tuhan”. Juga ternyata bukan diciptakan oleh orang-orang jahat  sebab  mereka 

tidak akan menulis tentang melakukan seluruh perbuatan baik, dan mengutuk 

semua dosa sementara mereka sendiri masuk neraka. Jadi Alkitab pasti ditulis 

berdasarkan inspirasi (ilham) yang datang dari Tuhan” 

Dengan cara apakah Tuhan memberi  ilham kepada para penulis? Apakah 

dengan menggerakkan hati para penulis untuk meraih keunggulan seperti yang 

kita lihat dalam karya Shakespeare, Milton, Homer, Dickens, dan penulis-penulis 

besar lainnya? Atau apakah Ia menginspirasikan firman-Nya yang tercampur 

dengan mitos, kesalahan, legenda, yaitu merupakan sebuah kitab yang di 

dalamnya ada  firman Tuhan yang bercampur dengan keterbatasan dan 

kekeliruan? Atau apakah kitab suci sebagai firman Tuhan memang tidak memiliki 

kekeliruan sama sekali? Dengan demikian, umat Islam akan bertanya, 

bagaimana inspirasi ini dapat diturunkan? Apakah Tuhan mendiktekannya secara 

mekanis, sama seperti anggapan mereka terhadap Al Qur‟an, atau apakah 

Tuhan memakai pikiran dan pengalaman sang penulis sendiri? 

Jawabannya mudah saja, yaitu bahwa Tuhan selalu mengendalikan tulisan 

mereka,  sebab  Alkitab merupakan “Firman Tuhan melalui kata-kata manusia” 

 Artinya adalah Tuhan memakai kebudayaan serta aturan-

aturan dari lingkungan si penulis, lingkungan dimana Tuhan mengendalikan 

mereka melalui kedaulatanNya. Dengan demikian sejarah diperlakukan Tuhan 

sebagai sejarah, puisi sebagai puisi, perumpamaan dan kata-kata kiasan sebagai 

perumpamaan dan kata-kata kiasan, generalisasi dan pendekatan sebagai 

generalisasi dan pendekatan, dan lain-lain sebagai apa adanya. Perbedaan 

konvensi dan penghayatan sastra yang ada pada masa Alkitab dan masa kini, 

juga harus diperhatikan. Misalnya pengisahan yang kurang kronologis dan 


 

kutipan yang tidak terlalu tepat, pada saat itu merupakan tradisi yang dapat 

diterima dan tidak dianggap melanggar prinsip baku. Dan jika hal serta maksud 

ini  dapat dipahami, maka tidak akan muncul dugaan-dugaan dan tuntutan 

yang keliru terhadap Alkitab. 

Kitab Suci tidak mengandung kesalahan, - tidak dalam artian bahwa semuanya 

harus tepat secara absolut menurut ukuran modern – tetapi dalam arti bahwa isi 

dan pesan-pesan-nya mencapai kebenaran maksud dan tujuan seperti yang 

diartikan oleh penulis. Kebenaran Kitab Suci tidak dapat dihilangkan oleh 

bentuk-bentuk lahiriah dalam susunan tata bahasa ataupun lafal yang dianggap 

salah. Bahkan kebenarannya tidak bisa dihilangkan oleh penjelasan yang 

mencoba menyudutkan sifat dan pernyataannya (seperti misalnya kebohongan 

setan), ataupun menghadapkan kontradiksi-semu antara kalimat yang satu 

dengan kalimat yang lain. Tidaklah benar menghadapkan “gejala-gejala 

kesalahan Alkitab” untuk dipertentangkan dengan ajaran Kitab Suci sendiri. 

Gejala-gejala Alkitab yang tampak-tampaknya tidak konsisten memang jangan 

tidak dihiraukan. Penyelesaian yang telah dilakukan (seperti yang kami lakukan 

dalam buku ini), justru semakin memperkuat iman kita. Dan kalaupun masih 

ada beberapa isu yang belum ada penjelasan yang meyakinkan kita tetap akan 

menghormati Tuhan dan meyakini janjiNya dalam firmanNya yang selalu benar 

dan sempurna. Kita yakin bahwa suatu hari nanti gejala-gejala yang belum 

serasi ini akan dapat dilihat sebagai suatu gambaran yang dibenarkan dalam 

iman. Ini bukanlah harapan tak berdasar. Misalnya, seabad yang lalu, kurang 

lebih ada 100 anggota tubuh yang fungsinya belum diketahui oleh para dokter. 

Lalu orang-orang berkata, “Hal ini membuktikan bahwa teori evolusi benar, 

 sebab  ada beberapa bagian tubuh yang tidak diperlukan lagi.” Tetapi melalui 

penelitian yang terus dilakukan, kini kita hanya memiliki satu organ tubuh yang 

kelebihan. Dan suatu saat nanti, mungkin kita akan mengetahui fungsi organ 

tubuh ini . Prinsip ini juga berlaku terhadap Alkitab. Ada banyak 

“pertentangan” yang telah berhasil dijelaskan melalui berbagai penelitian dan 

pemahaman. Kurang lebih seabad atau bahkan 25 tahun yang lalu, Shabbir akan 

dengan mudah menemukan ada 1001 kontradiksi dalam Alkitab. Tetapi 

penemuan data-data baru selalu diperoleh, dan dengan itu kita dapat menjawab 

misteeri sejarah. Oleh  sebab  itu selalu ada alasan untuk meyakini bahwa semua 

pertentangan itu akan terjawab pada waktuNya. 

Sebaliknya pemahaman orang Kristen tentang wahyu pasti tidak akan dapat 

diterima oleh umat Islam,  sebab  hal itu akan menimbulkan perselisihan dengan 

mereka. Seperti misalnya Alkitab bertentangan dengan konsep Nazil atau Tanzil 

(diturunkan) yang diyakini terjadi pada Al Qur‟an. Namun mereka hanya melihat 

kepada Perjanjian Baru yang telah mereka persalahkan. Mereka tidak menuduh 

kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Zabur, padahal keduanya ini toh 

dianggap oleh umat Islam sebagai wahyu yang sama diilhamkan. Umat Islam 

percaya bahwa Musa menulis kitab Taurat dan Daud menulis kitab Zabur, tetapi 

anehnya mereka mempersalahkan apakah wahyu ini diterima dengan cara nazil 

(diturunkan) atau tidak. Padahal tidak! Jika demikian, mengapa mereka 

menuntut hal ini  harus berlaku terhadap Perjanjian Baru, padahal kitab ini 

juga tidak meng-klaim demikian bagi dirinya. 

Alasan dasarnya agaknya terletak kepada keyakinan umat Islam bahwa Al 

Qur‟an adalah satu-satunya wahyu yang tidak pernah dijamah oleh campur 

tangan manusia, dan  sebab  itu Al Qur‟an dianggap sebagai firman Tuhan yang 

paling benar dan murni, dengan demikian ia menggantikan bahkan 

membatalkan wahyu-wahyu lain yang telah ada sebelumnya,  sebab  

keterbatasan dari para penulisnya. Ironisnya, pendapat yang menyatakan bahwa 

Al Qur‟an merupakan wahyu yang diturunkan, hanya berasal dari satu orang 

saja, yang katanya telah menerima wahyu ini , yaitu Muhammad sendiri. 

Tidak ada saksi lain yang mendukung pewahyuan Muhammad, baik sebelum 

maupun di saat kesaksian Muhammad itu. Bahkan tidak ada satu kuasa mujizat 

yang mendukung klaim Muhammad ini. Tidak pula dokumen lain selain Al Qur‟an 

yang dapat mendukung pernyataannya. (lihat Sejarah Kelahiran Al Qur‟an vs 

Alkitab). 

Bahkan jika kita abaikan sejarah awal Al Qur‟an di atas, masalah lain akan tetap 

ada, yaitu ketika tradisi umat Islam menyebutkan bahwa ada banyak naskah 

yang berbeda yang dibuat pada saat resensi Al Qur‟an disusun pada 

pertengahan abad VII. Mereka mengatakan bahwa semua naskah-naskah yang 

menimbulkan perselisihan, dibuang. Dengan demikian kita tidak tahu apakah Al 

Qur‟an yang kita miliki saat ini masih sama dengan Al Qur‟an yang pertama kali 

disampaikan, kecuali dipercaya saja. Yang perlu diketahui oleh umat Islam 

adalah bahwa orang Kristen meyakini bahwa firman Tuhan, yaitu Alkitab yang 

ada saat ini memang ditulis oleh manusia, namun penulis-penulis ini  selalu 

berada dalam pimpinan langsung dari Roh Kudus (2 Petrus 1:20-21). 

Berbeda dengan Al Qur‟an yang disampaikan tanpa unsur-unsur manusia, Tuhan 

Alkitab justru memilih mewahyukan firmanNya melalui manusia-manusia (nabi-

nabi dan rasul-rasul), sehingga firmanNya bukan hanya dapat disampaikan 

kepada orang lain secara tepat dan menyeluruh, tetapi juga dapat 

dikomunikasikan menurut pemahaman dan daya serapnya. Hal ini tidak dapat 

dilakukan oleh Al Qur‟an jikalau ia tidak memiliki unsur-unsur kemanusiaan 

seperti yang diyakini umumnya. 

Masih ada  masalah-masalah lain ketika orang-orang Muslim mengatakan 

bahwa Alkitab memiliki banyak kontradiksi. Bila benar begitu, lalu apa yang 

akan mereka lakukan terhadap otoritas yang Al Qur‟an berikan kepada Alkitab? 

 

QURAN memberi  OTORITAS KEPADA ALKITAB 


Al Qur‟an sendiri merupakan wewenang tertinggi bagi umat Islam. Dan Quran 

memberi  wewenang (otoritas) kepada Alkitab dengan mengakui 

keabsahannya, paling tidak sampai abad ketujuh hingga ke sembilan. 

Perhatikan Surat Al Quran berikut ini: 

Surat Al Baqarah 2:136 menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara kitab 

suci yang telah diberikan sebelumnya dengan Al Qur‟an, “…dan apa yang telah 

diturunkan kepada kami…dan Yesus…Kami tidak membedakan seorangpun di 

antara mereka”. Surat Al Imran 3:2-3 melanjutkan, “Allah…Dia menurunkan 

Taurat (Musa) dan Injil (Yesus) untuk menjadi petunjuk bagi manusia.” Surat An 

Nisa 4:136 lebih jauh lagi menyatakan kepada para Muslim, “…Beriman…kepada 

kitab yang telah Ia kirimkan sebelumnya.” 

Dalam Surat Al Maidah 5:47,49,50,52 kita temukan ayat yang ditujukan kepada 

orang Kristen untuk meyakini kitab Sucinya, “Kami iringkan…Yesus putra 

Mariam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami telah 

memberi  kepadanya Kitab Injil…Hendaklah orang-orang pengikut Injil 

memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. 

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, 

maka mereka itu adalah orang-orang fasik…” 

Dan, dalam Surat Al Maidah 5:68 kita temui ayat yang hampir serupa, “Hai ahli 

kitab tidaklah kamu dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan 

ajaran-ajaran Taurat, Injil dan apa-apa yang diturunkan kepadamu dari 

Tuhanmu [baca: Tuhan Alkitab]…” 

Penguatan amat telak terhadap wewenang (otoritas) Perjanjian Lama dan Baru, 

dapat kita lihat dalam Surat 10:94 yang menyatakan bahwa jika timbul keragu-

raguan terhadap Quran, maka umat Islam disarankan untuk membaca kitab-

kitab sebelumnya, “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan 

tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-

orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang 

kebenaran kepadamu dari Tuhanmu.” 

Penekanan terhadap ayat ini dilakukan dalam Surat 21:7, “Kami tiada mengutus 

rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki 

yang kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-

orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” 

Dan yang terakhir, dalam Surat Al Ankabut 29:49, umat Islam diminta untuk 

tidak mempermasalahkan wewenang (otoritas) kitab suci umat Kristen, dengan 

menyatakan. “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, 

melainkan…katakanlah: “Kami telah beriman kepada yang diturunkan kepada 

kami dan yang diturunkan kepadamu.” 


Jadi surat-surat Al Qur‟an dengan jelas mendukung keabsahan dan otoritas 

Taurat dan Injil sebagai wahyu Tuhan. Ini justru menunjuk kepada apa yang 

diyakini oleh orang Kristen. 

Kenyataannya, tidak ada sedikitpun peringatan dalam Al Qur‟an bahwa kitab-

kitab sebelumnya telah terpalsukan, atau ada  pertentangan di dalamnya 

[yang ada adalah usaha sebagian orang Yahudi untuk menyelewengkannya]. 

Jika memang Al Qur‟an adalah kitab yang berisikan wahyu lengkap dan final, 

jika ia memang adalah kitab yang menjadi penutup bagi kitab-kitab lainnya 

seperti yang diklaim oleh umat Islam, tentunya penulis Al Qur‟an akan memberi 

peringatan serius kepada pembacanya bahwa kitab-kitab sebelumnya telah 

terpalsukan. Tetapi, tidak pernah ditemukan satu ayat petunjukpun dalam Al 

Qur‟an yang menuduh bahwa di dalam Alkitab ada  pertentangan, atau 

bahwa Alkitab telah terpalsu, atau bahwa itu harus diharamkan, dibakar, 

diperangi/dijihad. 

Beberapa orang Islam mempertahankan pernyataan dalam surat 2:140 yang 

menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen telah menyelewengkan 

kitab suci mereka. Ayat ini berbunyi (menunjuk kepada orang Yahudi), 

“…siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian 

yang ada padanya dari Allah?.” Padahal ayat ini sama sekali tidak menyatakan 

bahwa orang Yahudi dan Kristen telah memalsukan kitab sucinya. Disini hanya 

dikecam bahwa orang-orang Yahudi tertentu telah menyembunyikan “kesaksian 

yang mereka dapatkan dari Tuhan”. Dengan kata lain, kesaksian ilahi itu tetap 

ada (untuk itulah surat-surat dalam AL Qur‟an menasehati umat Islam untuk 

tetap menghargai kitab-kitab suci sebelumnya), walaupun sebagian 

penganutnya memilih untuk tidak mengungkapkan kesaksian itu. Alhasil, ayat 

ini justru semakin memperkuat kredibilitas kitab-kitab sebelumnya, yaitu bahwa 

kesaksian dari Tuhan sungguh-sungguh ada  di antara masyarakat Yahudi. 

 

TUHAN TIDAK PERNAH MENGUBAH FIRMANNYA 

Baik Kitab Suci orang Kristen maupun Al Qur‟an, keduanya memegang prinsip 

bahwa Tuhan tidak pernah merubah firmanNya. Ia tidak pernah merubah 

wahyuNya (walaupun sulit diserasikan bahwa dalam Al Qur‟an ada  pula 

hukum pembatalan yang disebut nasakh). Surat Yunus 10:64 mengatakan, 

“…Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat Allah.” Dan ini diulang kembali 

dalam Surat Al An‟an 6:34, “Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-

kalimat Allah,” yang juga ditemukan dalam Surat Qaaf 50:28,29. 

Alkitab juga memiliki sejumlah referensi yang menyatakan bahwa firman Tuhan 

tidak pernah berubah, seperti misalnya dalam Ulangan 4:1-2; Yesaya 8:20; 

Matius 5:17-18, 24:35; dan Wahyu 22:18-20. 1

Jika penegasan ini  ditemukan baik dalam Al Qur‟an maupun Alkitab, 

tampaknya sangat aneh jika kemudian dikatakan oleh umat Islam di dalam 

Alkitab ada  kepalsuan dan banyak pertentangan. 

Lalu apa yang harus kita lakukan dengan “kontradiksi” yang diklaim umat Islam 

ada  dalam Alkitab? 

 

ANALISA TERHADAP KONTRADIKSI 

Kebanyakan kontradiksi yang dipermasalahkan oleh umat Islam sebenarnya 

bukanlah kesalahan samasekali, melainkan hanya kesalahan dalam memahami 

konteks ayat atau tidak lebih daripada kesalahan pembuat salinan ulang. 

Menjelaskan jenis kesalahan yang pertama adalah lebih mudah, sedangkan 

untuk kesalahan yang kedua perlu lebih banyak perhatian. Seperti yang kita 

ketahui, Perjanjian Lama ditulis pada abad ke 17 s/d 5 SM di atas kulit-kulit dan 

Papyrus yang mudah rusak, sehingga perlu terus menerus disalin ulang. 

Kebanyakan isi Perjanjian Lama disalin ulang oleh tangan manusia selama lebih 

dari 3.000 tahun, dan Perjanjian Baru disalin ulang selama 1.400 tahun, oleh 

masyarakat yang terserak ke pelbagai komunitas di tempat-tempat dan benua 

yang berbeda-beda, tetapi isinya tidak mengalami perubahan mendasar. 

Dewasa ini, banyak catatan-catatan yang usianya lebih tua ditemukan sehingga 

dapat mendukung pembuktian tulisan kitab-kitab yang telah ada. Kitab 

Perjanjian Baru sendiri memiliki 5.300 naskah dan fragmen (bagian-bagian 

naskah) dalam bahasa Yunani, 10.000 naskah Latin Vulgate dan 9.300 naskah 

tua dalam terjemahan bahasa lainnya. Dengan kata lain, Perjanjian Baru 

memiliki lebih dari 24.000 salinan naskah untuk digunakan! Jelas bahwa luasnya 

per-naskah-an ini memungkinkan kita membuat gambaran terhadap setiap ayat 

variant (tidak baku) yang selalu akan ada. Dimana muncul variant tertentu, 

maka teks-teks ini  kemudian diidentifikasikan dan disisihkan untuk 

dijadikan catatan kaki pada ayat yang bersangkutan. Tetapi hal ini  tidak 

membuat Alkitab kita menjadi cacat (ketika kita membandingkan dengan tulisan 

aslinya). 

Orang Kristen dengan senang hati mengakui, bahwa ada “ketidaksempurnaan” 

dalam penyalinan ulang terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi 

hal seperti itu memang di luar kemampuan manusia manapun untuk dihindari, 

 sebab  menyalin ulang halaman demi halaman dengan tangan akan 

menghasilkan kesalahan manusiawi, baik untuk buku suci maupun sekuler. 

Apalagi kalau naskahnya sendiri sudah buram ditelan usia dan cara 

penyimpanan yang tidak sempurna. Namun kita tahu bahwa naskah aslinya 

(yang disebut autograph, yaitu yang diinspirasikan langsung oleh Tuhan kepada 

para penulis Alkitab) tidak akan memiliki kesalahan sedikitpun juga. Tetapi 

berhubung dokumen-dokumen yang asli telah ditulis pada masa yang amat 

lampau, maka dokumen ini  tidak dapat lagi ditampilkan. 

Para analis naskah kuno mencatat bahwa setiap orang yang menyalin ulang 

(jurutulis atau penyalin ulang) cenderung membuat dua jenis kesalahan dalam 

penulisannya. Yang pertama berhubungan dengan ejaan nama-nama (apalagi 

nama-nama aneh dan asing), dan yang kedua berkenaan dengan bilangan-

bilangan. Kenyataan bahwa kedua jenis “kesalahan” ini saja yang utamanya 

muncul dalam salinan Alkitab semakin membuktikan bahwa kesalahan-

kesalahan dalam Alkitab hanya dilakukan oleh para penulis ulang belaka. Jika 

memang benar bahwa pesan-pesan Alkitab asli-lah yang saling bertentangan, 

maka tentulah buktinya dapat ditemukan dalam isi Alkitab itu sendiri 

Yang perlu disadari oleh kita semua adalah bahwa tidak ada satupun perbedaan 

dalam serentetan salinan ulang Alkitab yang sampai ke tangan kita, menggeser 

atau mengubah doktrin Alkitab itu sendiri. Justru Roh Kudus telah sedikitnya 

turut melakukan “campur tangan” dan menjaga agar penyalinan ulang teks 

Alkitab jangan sampai menggeser ajaran-ajaran doktrinal itu sendiri. (Catatan: 

Bila ada yang menjahili Alkitab, maka tentulah sasaran penjahilannya bukan 

pada tetek bengek angka dan huruf yang samasekali tidak ada bobot 

signifikansinya terhadap ajaran doktrinal itu sendiri!) 

Tuhan menjanjikan kebenaran FirmanNya lewat pewahyuan/pengilhaman. 

Namun Tuhan tidak pernah berjanji tidak ada keteledoran dalam penulisan ulang 

Alkitab. Maka dapat dipastikan bahwa naskah asli Alkitab (autograph) 

merupakan ilham dari Tuhan sendiri yang tidak ada cacatnya.  sebab  itu kita 

perlu menjadikan kritik-kritik yang ada sebagai alat untuk menemukan 

keteledoran yang mungkin saja ada  dalam salinan ulang Alkitab. Secara 

keilmuan, teks Alkitab dalam bahasa Ibrani dan Yunani terbukti amat terpelihara 

dalam Alkitab, sehingga bersama dengan Westminter Confession, kita mampu 

menegaskan bahwa dibawah penjagaan Tuhan, maka keabsahan dan otoritas 

Kitab Suci tidak sedikitpun dirusakkan oleh adanya salinan ulang yang “kurang 

sempurna” dalam bentuknya, bukan dalam isi dan pesan-pesan doktrinalnya. 

 

ADAKAH TERJEMAHAN YANG SEMPURNA? 

Para penulis autograph menulis dalam bahasa yang dikuasinya. Kelak tulisan 

dan salinannya diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia. Bukankah disini 

kita semua harus mengakui, bahwa tidak ada satupun terjemahan yang mutlak 

sempurna, artinya semua terjemahan selalu cenderung menyimpang dari 

kepersisan makna teks aslinya? Sekalipun begitu sebuah terjemahan Kitab Suci 

(yang intrinsik nyeleweng dalam dirinya) tidak menjadikan Kitab itu nyeleweng, 

palsu dan tidak sah, atau menjadi tidak benar! Dengan adanya sejumlah 


terjemahan yang dinilai sangat baik, tidak ada keraguan bahwa firman Tuhan 

yang diterjemahkan dan disampaikan dalam lingkupnya yang benar. Tetapi 

sebenarnya, berdasarkan pandangan Kitab Suci dan pekerjaan Roh Kudus yang 

terus bersaksi tentang kebenaran Firman, maka kerusakan terjemahan Kitab 

Suci yang paling parah adalah jikalau terjemahan ini  (olah-cernah dan 

penghayatan atas teks ini ) justru tidak mampu membuat para 

pembacanya memperoleh “bijaksana menuju keselamatan melalui iman yang 

ada di dalam Kristus YESUS. “(2 Timotius 3:15) 

 

KESEMPURNAAN BAHTERA NUH (internet added) 

Kesempurnaan dan kebenaran Alkitab sebagai firman yang menyelamatkan 

umat manusia ini tepat diibaratkan dengan bahtera nabi Nuh yang dirancang 

secara khusus oleh Tuhan sendiri. Maka apa yang dirancang Tuhan itu tentu 

benar dan sempurna, tanpa kekurangan atau kesalahan. Namun pembuatan 

bahtera itu dilakukan oleh manusia Nuh yang tidak sempurna untuk sebuah misi 

penyelamatan yang sempurna! Mungkinkah itu? Nuh tidak tahu ilmu kelautan, 

juga awam di bidang perkapalan raksasa. Bahkan pada masa itu, tidak mungkin 

ada perkakas pertukangan yang memadai untuk proyek raksasa ini! secara ilmu 

dan teknologi modern, pastilah mudah ditemukan kekurangan, kekasaran, 

kesalahan, dan keanehan-keanehan produk yang dihasilkan Nuh. Bahkan anda 

bisa mencurigai tingkat kekedapan air yang dimiliki bahtera itu! Pasti mustahil 

mencapai kesempurnaan! Namun, siapakah di antara kita yang bisa menyangkal 

bahwa ternyata kapal Nuh itu benar-benar sempurna dan benar untuk 

melaksanakan misi penyelamatan yang diinginkan Tuhan?! 

Secara analogi, Tuhan-pun mampu membuat Alkitab cukup sempurna melalui 

dan di dalam keterbatasan manusia. Firman Tuhan yang tidak terbatas, yang 

harus “diturunkan” ke dalam dunia yang terbatas, tentu mengadopsi unsur-

unsur keterbatasan yang bisa dianggap sebagai “lemah, salah, penuh 

kekurangan, dan tidak sempurna”. Namun sungguh ia justru tidak pernah 

kehilangan kewibawaan dan kemampuannya untuk tampil sebagai Alkitab yang 

benar dan sempurna. 

Dengan demikian, mari kita melihat sejumlah contoh yang ditampilkan oleh 

Shabbir Ally dalam pamfletnya, demi untuk memastikan apakah otoritas Kitab 

Suci dapat berdiri tegak menghadapi tes yang ditampilkannya? Pada saat kami 

berempat menjawab sejumlah pertanyaan di bawah ini, dapat kami buktikan 

bahwa Shabbir telah membuat sejumlah kesalahan di dalam pendalilannya. Jika 

saja ia melihat pada konteksnya, permasalahan ini  dapat dengan mudah 

dikoreksi, hal ini membuat kami berpikir bahwa umat Islam umumnya senang 

mencari dan menemukan pertentangan di dalam Alkitab – yang sebenarnya 

dapat dengan mudah dijelaskan jika dibaca sesuai dengan konteksnya. 

Sebaliknya, ketika kami melihat Al Qur‟an, kami justru menemukan situasi yang 


saling berlawanan, dan Al Qur‟an memiliki konteks yang amat miskin untuk 

bahan perujukan. Hanya sedikit bacaan narasi (yang mengisahkan), melainkan 

sisipan kalimat di atas sisipan lainnya yang dapat kami baca, itupun tidak saling 

memiliki hubungan sama sekali. Kisah yang diambil dalam satu surat dan 

diulang dalam surat lainnya ternyata berbeda dan bahkan saling bertentangan 

(misalnya cerita yang berbeda mengenai Abraham dan patung-patung 

sesembahan dalam Surat 21:51-59 dan 6:74-83, 19:41-49). Itulah alasannya, 

bahwa umat Islam terbiasa tidak mau melihat bagian lain dari Kitab Suci mereka 

untuk memahami konteksnya (dan keseluruhannya memang miskin konteks dan 

kronologi). Tidak heran mereka juga menolak melakukan hal yang sama 

terhadap Alkitab. 

Pada halaman kedua dari bukunya yang berjudul “101 Kontradiksi yang 

ada   dalam Alkitab”, Shabbir Ally menyatakan: “Diijinkan memperbanyak 

buku ini untuk menyebarluaskan kebenaran”. 

Kami, para penulis buku ini, berbesar hati memenuhi permintaan Bapak Ally. 

Walaupun kami tidak secara langsung menyalin ulang semua kata-katanya 

tetapi kami telah menampilkan ulang tuduhan kontradiksi dalam buku ini , 

dan menjawab semuanya. Oleh  sebab  itu, melalui sanggahan ini, kami 

menjawab apa yang diminta oleh Shabbir, yaitu mari menyebar-luaskan 

kebenaran! Mari, saksikan dasar ketegaran dan kebenaran Alkitab, untuk 

dihadapkan dengan pernyataan Shabbir Ally. 

Disana-sini, Anda akan mendapati bahwa beberapa pertanyaan memiliki lebih 

dari satu jawaban. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa ada banyak cara 

untuk menjelaskan masalah yang ada  dalam Alkitab. 

 

1. Siapakah yang menghasut Daud untuk melakukan penghitungan 

jumlah rakyatnya, Tuhan (2 Samuel 24:1), atau Setan (1 Tawarikh 

21:1) 

(Kategori: salah memahami cara kerja Tuhan dalam sejarah manusia) 

Disini kelihatannya ada perbedaan diantara kedua ayat di atas, kecuali kalau 

kedua-duanya sama-sama benar. Kejadian ini terjadi pada akhir masa 

kekuasaan Daud, dimana Daud sedang mengenang masa-masa kejayaannya 

dulu yang telah membawa kerajaan-kerajaan Kanaan, Siria, dan Funisia ke 

dalam daerah kekuasaan Israel. Daud kagum dan bangga diri atas prestasi-

prestasinya, sehingga ia lebih mengandalkan kekuatan senjata dan 

prajuritnya daripada mengandalkan belas kasih Tuhan. 

Oleh  sebab  itu, Tuhan memutuskan bahwa inilah saatnya Daud harus 

dibawa untuk bersujud di hadapan Tuhan dan kembali menggantungkan 

harapannya pada belas kasih Tuhan. Maka Ia membiarkan Daud menghitung 

rakyatnya untuk melihat seberapa banyak hal ini  akan membantu 

Daud,  sebab  sensus ini  sebenarnya dilakukan untuk menonjolkan 

ego-bangsa (walaupun Yoab telah menentang pelaksanaan sensus dalam 1 

Tawarikh 21:3). Segera sesudah  jumlah rakyatnya diketahui, Tuhan 

kemudian menghukum mereka dengan bencana penyakit sampar yang 

memusnahkan sejumlah besar rakyat Israel (sekitar 70.000 jiwa menurut 2 

Samuel 24:15), dan bersama dengan itu statistik penduduknya hancur 

berantakan. 

Lalu bagaimana dengan setan? Apa hubungan setan dengan kejadian ini 

(seperti yang tercantum dalam 1 Tawarikh 21:1), jikalau Tuhan telah 

menggerakkan Daud untuk melakukan hal-hal bodoh yang ada di otaknya. 

Dengan segala maksud jahatnya, Iblis tahu bahwa sensus ini tidak 

menyenangkan hati Tuhan (1 Tawarikh 21:7-8), dan  sebab  itu ia juga 

menghasut Daud untuk melakukannya. 

Tidak ada yang aneh dalam hal ini,  sebab  dalam sejumlah peristiwa dalam 

Alkitab dapat dilihat bahwa Tuhan dan setan dapat sama-sama terlibat 

dalam menguji dan men-tes jiwa-jiwa tertentu, seperti yang tampak dalam 

contoh-contoh berikut: 

a. Dalam Kitab Ayub, pasal 1 dan 2, kita baca bahwa Tuhan menantang 

setan dengan mengijinkan setan untuk menguji Ayub. Alasan Tuhan 

menguji Ayub adalah untuk memurnikan iman sekaligus memperkuat 

karakter Ayub melalui kesukaran. Sebaliknya setan hanya memiliki 

maksud yang sejahat-jahatnya untuk mencelakakan Ayub dengan 

harapan agar Ayub akan menyangkal Tuhan melalui segala ujian yang 

ditimpakan kepadanya. 

b. Hal yang sama, Tuhan dan setan juga sama-sama terlibat dalam 

penderitaan dari orang-orang Kristen yang teraniaya, yaitu menurut 1 

Petrus 4:19 dan 5:8. Melalui hal ini Tuhan bermaksud untuk memperkuat 

iman serta memampukan setiap orang menanggung bagian-bagian 

penderitaan Kristus dalam hidup ini, sedemikian agar suatu saat kelak 

mereka akan bersukacita bersamaNya dalam kemuliaan surgawi kelak (1 

Petrus 4:13-14). Sebaliknya setan bermaksud untuk “melahap” mereka 

(1 Petrus 5:8), atau menenggelamkan mereka ke dalam kegetiran 

mengasihi diri sendiri, kepahitan serta kehilangan iman percaya mereka 

kepada Tuhan. 

c. Contoh lainnya adalah, Tuhan Elohim mengijinkan setan untuk mencobai 

Yesus dalam tiga pencobaan selama pelayananNya di bumi. Tuhan Elohim 

bermaksud melalui pencobaan ini agar Yesus mengalahkan sepenuhnya 

pencobaan yang pernah menjatuhkan Adam (manusia pertama). 

Sebaliknya setan berupaya untuk menggagalkan misi Yesus 

menyelamatkan manusia. 


d. Selain itu, dalam kasus penyangkalan Petrus terhadap Yesus di hadapan 

Mahkamah Agung, Yesus menyebutkan bahwa ada dua pihak yang 

terlibat dan memiliki maksud yang sama sekali berbeda dalam diri Petrus 

(lihat Lukas 22:31-32) “Simon, Simon, lihatlah, Satan telah menuntut 

untuk menampi engkau seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa 

untukmu supaya imanmu tidak gugur. Dan engkau, bilamana sudah insaf 

kembali, kuatkanlah saudara-saudaramu.” 

e. Yang terakhir adalah pada saat penyaliban Kristus. Disitu kembali terlihat 

bahwa Tuhan Elohim dan setan sama-sama terlibat dalam proses 

penyaliban ini. setan memperlihatkan maksudnya ketika dia menguasai 

hati Yudas dengan kelobaan akan harta dan kebencian (Yohanes 13:27), 

yang mana menyebabkan mengkhianati Yesus. Di sisi lain, alasan Tuhan 

dibalik penyaliban Yesus adalah untuk mengorbankan tubuh Yesus 

sebagai tebusan bagi banyak orang, sehingga manusia berdosa dapat 

memiliki kembali hubungan dengan Tuhan, seperti yang terjadi ketika 

mereka masih di taman Eden. 

Kelima contoh di atas menunjukkan bahwa Tuhan dan setan dapat sama-

sama terlibat dalam suatu peristiwa walaupun dengan motivasi yang 

berbeda. Motif setan dapat dilihat dari semua contoh di atas, - termasuk 

ketika Daud melakukan penghitungan jumlah penduduk – adalah jahat 

semata, sedangkan maksud Tuhan sama sekali berbeda. Tuhan bermaksud 

untuk memberi  kebaikan yang terakhir pada kemenangan dalam setiap 

kejadian, sekaligus juga meningkatkan kualitas orang yang diuji. Kita 

melihat bahwa dalam setiap peristiwa keberhasilan setan hanya bersifat 

sementara dan sangat terbatas; sedangkan Tuhan melalui ujian-ujian yang 

diijinkan untuk diberikan kepada umat manusia pada akhirnya menghasilkan 

maksud yang sesuai dengan rencana-Nya. 

(Archer 1982:186-188) 

 

2. 2 Samuel 24:9 menyebutkan jumlah penduduk Israel pada masa itu 

adalah 800.000, sedangkan dalam 1 Tawarikh 21:5 disebutkan 

1.100.000 jiwa. 

(Kategori: salah memahami konteks sejarah, atau salah memahami maksud 

penulis) 

Ada sejumlah cara untuk memahami bukan saja pertanyaan ini tetapi juga 

pertanyaan lainnya,  sebab  keduanya sama-sama menunjuk kepada perikop 

yang sama dan pada sensus penduduk yang sama. 

Perbedaan mungkin saja terjadi pada kedua penghitungan di atas  sebab  

sifat sensus yang tidak dilakukan secara lengkap dan resmi (hal ini akan 

dibahas kemudian), atau  sebab  kitab Samuel hanya menuliskan perkiraan 

jumlah penduduk yang dibulatkan untuk kaum Yehuda. 

Jawaban yang lebih mendasar adalah sebagai berikut: Kedua sensus 

ini  tidak menghitung sasaran yang sama. Angka sensus yang ditulis 

dalam 1 Tawarikh 21:5 adalah jumlah semua pria yang dapat diikut-sertakan 

untuk berperang, sedangkan angka sensus dalam 2 Samuel 24:9 mencakup 

jumlah orang-orang pria yang siap berperang. Soalnya laporan Yoab dalam 2 

Samuel 24 dalam terjemahan aslinya menggunakan kata “is hayil” yang 

artinya adalah „orang-orang perkasa‟ atau tentara yang siap perang, dan itu 

menunjuk kepada 800.000 tentara veteran. Sedangkan tambahan 300.000 

orang menunjuk kepada laki-laki yang dapat dicadangkan untuk terjun 

dalam kancah peperangan. 

Dengan demikian, jumlah kedua kelompok disini adalah 1.100.000 orang 

seperti yang disebut dalam 1 Tawarikh 21, yang memang tidak 

menyebutkan kata „is hayil‟. 

3. 2 Samuel 24:9 menyebutkan ada 500.000 orang Yehuda yang dapat 

berperang, jumlah ini  30.000 lebih banyak dibandingkan dalam 

1 Tawarikh 21:5 

(Kategori: salah memahami isi cerita) 

Perhatikan dalam 1 Tawarikh 21:6, yang dengan jelas menyatakan bahwa 

Yoab belum menghitung jumlah orang-orang suku Benyamin dan suku Lewi, 

 sebab  Daud merasa bersalah dengan menghitung jumlah seluruh 

penduduk. Jadi pada dasarnya, perbedaan jumlah-jumlah di atas dihasilkan 

oleh suku-suku tertentu yang sudah termasuk dihitung atau belum. Ada lagi 

referensi tambahan dalam 1 Tawarikh 27:23-24, dimana disebutkan bahwa 

Daud tidak memasukkan orang-orang yang berusia 20 tahun ke bawah. Dan 

 sebab  Yoab belum selesai menghitung jumlah penduduk, maka jumlah 

ini  tidak dicatat dalam kisah sejarah Raja Daud. 

Prosedur pelaksanaan sensus penduduk dimulai dengan menghitung suku-

suku yang melintasi sungai Yordan (2 Samuel 24:5) kemudian bergeser 

kepada suku di utara yaitu suku Dan, kemudian penghitungan diteruskan ke 

arah selatan menuju Yerusalem (ayat 7). Maka suku Benyamin (anak Yakub 

yang bungsu) selalu dihitung paling akhir, sehingga suku Benyamin tidak 

diperhitungkan dalam jumlah total penduduk Israel ataupun suku Yehuda. 

Baru dalam 2 samuel 24, disebutkan bahwa penduduk Yehuda ditambah 

dengan kumpulan suku Benyamin yang diketahui berjumlah 30.000 orang, 

total adalah 500.000 orang.

 

Perhatikan bahwa pemisahan Kerajaan Utara dan Selatan terjadi sesudah  

kematian Raja Salomo pada tahun 930 SM. Tetapi kebanyakan orang-orang 

suku Benyamin saat itu setia kepada dinasti Daud dan masih tergolong ke 

dalam kerajaan Yehuda bersama dengan suku Simeon di Selatan. Oleh 

 sebab  itu, sangat masuk akal untuk memperhitungkan suku Benyamin dan 

Simeon ke dalam hitungan orang-orang Yehuda yang berjumlah 500.000 

orang, sekalipun Yoab tidak memperhitungkannya dalam laporannya yang 

pertama kepada Daud (1 tawarikh 21:5). Dengan demikian jumlah 

keseluruhan orang yang dapat berperang yang tergabung dalam angkatan 

bersenjata di bawah pimpinan Daud adalah 1.600.000 orang (1.100.000 

orang dari Kerajaan Israel dan 470.000 orang dari suku Yehuda – Simeon 

dan 30.000 orang dari suku Benyamin). 

4. Kitab 2 Samuel 24:13 (terjemahan bahasa Inggris) menyebutkan 

bahwa akan ada tujuh tahun masa kelaparan, sedangkan dalam 1 

Tawarikh 21:12 menyebutkan hanya tiga tahun lamanya. 

(Kategori: salah memahami maksud tulisan dan penulis) 

Ada dua sudut pandang yang dapat dipakai untuk menjelaskan hal ini. 

Pemahaman pertama, yaitu bahwa penulis kitab 1 Tawarikh lebih 

menekankan pada periode tiga tahun dengan masa kelaparan terjadi paling 

hebat, sedangkan penulis kitab 2 Samuel memasukkan dua tahun sebelum 

dan sesudah masa kelaparan ini , yaitu masa dimana kelaparan belum 

terasa sangat hebat dan kemudian berangsur-angsur membaik. 

Pemahaman kedua, dapat dilihat dari mencermati setiap kata yang 

digunakan. Coba bandingkan kedua kalimat di atas, maka tampak jelas 

bahwa kata-kata yang digunakan di dalam 1 Tawarikh 21 dan 2 Samuel 24 

sama sekali berbeda. Kitab 2 Samuel 24:13 memakai kalimat yang berupa 

pertanyaan, “Akan datangkah menimpa engkau tujuh tahun kelaparan di 

negerimu?” Sedangkan dalam 1 Tawarikh 21:12 lebih menggunakan kata-

kata imperative (yang bersifat keharusan) untuk memilih salah satu dari 3 

pilihan, yaitu “Haruslah engkau memilih: tiga tahun kelaparan, atau…” Dari 

sini dapat disimpulkan bahwa kitab 2 Samuel mencatat pendekatan/teguran 

yang dilakukan pertama kali oleh nabi Gad kepada Daud, dimana pilihan 

yang disampaikan adalah tujuh tahun, sedangkan dalam Tawarikh 

memberi  pendekatan/teguran kedua dan yang terakhir dari nabi Gad 

kepada Daud, dimana Tuhan (sesudah  Daud menanggapi teguran yang 

pertama dengan berdoa dan memohon sungguh-sungguh) mengurangi masa 

hukuman dari tujuh tahun menjadi tiga tahun. Daud kemudian memilih 

alternatif ke-3 dari hukuman Tuhan, yaitu penyakit sampar selama tiga hari, 

yang menyebabkan 70.000 orang Israel mati. 


5. Apakah Ahazia berusia 22 tahun (2 Raja-raja 8:26) atau 42 tahun (2 

Tawarikh 22:2) ketika ia memerintah atas Yerusalem? 

(Kategori:kesalahan penulis ulang) 

 sebab  pasal-pasal Alkitab yang kita baca saat ini berasal dari tulisan ribuan 

tahun lalu, kita tidak dapat berharap naskah aslinya tersedia bagi kita saat 

ini,  sebab  naskah ini  sudah rusak lewat waktu yang panjang. Kini kita 

tergantung kepada naskah-naskah salinan ulang, yang ditulis secara 

berulang kali sejak ratusan tahun lalu. Mereka yang menulis ulang itu 

cenderung memiliki dua kesalahan dalam menulis. Kesalahan yang pertama 

adalah dalam hal penyebutan nama dan kesalahan kedua berkaitan dengan 

jumlah/bilangan. 

Dua contoh yang berbeda bilangan di atas terkait dengan masa 22 tahun 

dalam 2 Raja-raja 8:26, sedangkan 2 Tawarikh 22:2 menyebutkan ia telah 

berusia 42 tahun. Untunglah ada cukup tambahan informasi dalam Alkitab 

yang menunjukkan bahwa yang benar adalah berusia 22 tahun. Sebelumnya 

dalam 2 Raja-raja 8:17 penulis menyebutkan bahwa Ayah dari Ahazia, yaitu 

Yoram bin Ahab berusia 32 tahun ketika ia menjadi raja, dan ia mati delapan 

tahun kemudian, pada saat berusia 40 tahun. Oleh  sebab  itu Ahazia tidak  

mungkin berusia 42 tahun pada saat ayahnya meninggal di usia 40 tahun! 

Kesalahan tulisan seperti ini diketahui oleh banyak pihak sejak dulu, namun 

keaslian salinannya tetap dijaga dan tidak diubah. Tidak ada orang Yahudi 

maupun Kristen yang terpengaruhi kepercayaannya. Dalam beberapa 

peristiwa, justru bagian tertentu dari kitab suci dapat digunakan untuk 

mengoreksi sesuatu yang salah (misalnya 2 Raja-raja 8:26 itulah). Justru 

perlu disimpulkan bahwa para penyalin ulang Alkitab yang bertanggung 

jawab telah berbuat kejujuran yang paling terpercaya. Mereka, walau 

mengetahui kesalahan teks itu, tetap menulis apa adanya menurut keaslian 

yang mereka peroleh tanpa berani melakukan perubahan apapun yang 

diduga bermasalah, yang untungnya hanya ada segelintir saja. 

(Penjelasan terhadap pertanyaan berikut akan lebih menjelaskan bagaimana 

seorang penyalin naskah dapat keliru dalam salinannya yang berkenaan 

dengan bilangan) 

(Archer 1982:206 dan Light of Life II 1992:201) 

6. Apakah Yoyakhin berumur 18 tahun (2 Raja-raja 24:8) atau 8 tahun 

(2 Tawarikh 36:9) ketika ia menjadi raja di Yerusalem? 

(Kategori: kesalahan penulis ulang) 


Untuk kasus di atas, sekali lagi ada  informasi yang cukup untuk 

mengatakan bahwa usia 8 tahun adalah salah dan yang benar adalah 

berusia 18 tahun. Usia 8 tahun adalah terlalu muda untuk memerintah. 

Tetapi ada beberapa komentator yang mengatakan bahwa dapat saja hal 

ini  benar. Mereka berpendapat bahwa Yoyakhin, ketika berusia 

delapan tahun diangkat menjadi pendamping ayahnya, dimana ia dididik 

untuk memimpin sebuah kerajaan. Yoyakhin kemudian secara resmi 

diangkat menjadi raja pada usia delapan belas tahun, sesudah  ayahnya 

meninggal dunia. 

Versi 8 versus 18 tahun ini merupakan contoh lain yang menunjukkan 

kesalahan di dalam menulis angka. Mungkin akan membantu jika dijelaskan 

disini bahwa ada tiga cara untuk menuliskan angka dalam bahasa Ibrani. 

Yang pertama yaitu rangkaian tanda baca yang digunakan oleh orang Yahudi 

pada abad kelima SM, Elephantine Papyri (akan dijelaskan dibawah), yang 

kedua adalah sistem yang memakai huruf-huruf alphabet sebagai bilangan. 

Dan yang terakhir adalah, sistem yang menggunakan angka-angka yang 

ditulis dalam sekumpulan soperim. Untungnya, kami memiliki sejumlah 

besar dokumen di atas papyrus yang berisi ketiga jenis tulisan angka-angka 

ini  di atas. 

Perbedaan-perbedaan bilangan pada umumnya menyangkut angka-angka 

puluhan, bukan satuan. Telah dijelaskan bahwa tulisan angka yang berupa 

tanda baca telah digunakan oleh orang Yahudi pada abad kelima SM, 

Elephantine Papyri, yaitu sejak masa Ezra dan Nehemia. Tanda baca ini 

berupa garis melintang dengan lekukan kecil ke bawah di ujung kanannya 

yang menunjukkan angka sepuluh (dan dua buah garis yang diletakkan atas 

bawah akan menunjukkan angka 20). Sedangkan garis tegak lurus 

digunakan untuk angka-angka satuan. Oleh  sebab  itu angka 8 akan ditulis 

dengan /III IIII, sedangkan angka 18 akan ditulis /III IIII dengan tambahan 

di atasnya satu garis melintang yang berlekukan di ujung kanannya. Dengan 

demikian angka 22 akan ditulis /I dengan dua buah garis melintang yang 

berlekukan di atasnya, dan 42 akan ditulis /I dengan dua pasang garis 

melintang dengan lekukannya. (kami mohon maaf jika tulisan di komputer 

kami tidak mirip dengan tulisan Dr. Archer) 

Jika demikian bisa saja terjadi  sebab  tulisan kitab yang pertama-tama telah 

buram dan kotor, ada satu atau lebih tanda baca yang telah hilang atau 

tidak terlihat oleh penulis. Dan biasanya penyalin ulang justru cenderung 

salah dalam melihat jumlah garis melintang yang buram (yaitu angka-

puluhan) dalam kitab aslinya. 

Mengenai hal ini, Alkitab New International Version (NIV) telah mengoreksi 

isinya. Namun mereka tetap menyebutkan pada bagian catatan kaki, bahwa 

kesalahan ini ada termuat dalam naskah asli teks Ibrani. Sedangkan naskah 

 

salinan asli Septuaginta dan Syria dan juga satu naskah Ibrani lainnya 

memuat angka-angka yang benar. Koreksi angka ini hanya berani dilakukan 

sesudah  kesalahannya dibukakan (bukan malah dirahasiakan). Semua 

“kekeliruan asli” tidak dibakar atau dihilangkan dari catatan, hal mana 

mengamankan keaslian dan otoritas dari kitab suci yang kita miliki. 

Setiap orang yang berpikir waras akan tahu bahwa tidak ada gunanya 

angka/bilangan ini  diubah dengan sengaja! Itu hanya terjadi  sebab  

kejujuran 100%: Menghadapi keburaman naskah! 

Kesalahan tulisan para penyalin ulang seperti ini juga ada  pada tulisan-

tulisan dari kaum pagan. Seperti contoh yang ada  dalam ukiran batu 

Behistun yang diperintahkan untuk ditulis oleh Darius I, dimana menurut 

koloni inskripsi Babylonia nomor 38, pasukan Frada yang dibantai adalah 

55.243 pasukan dan 6.572 tawanan. Sedangkan salinan ulang buku ini yang 

kemudian ditemukan di Babylonia, mencatat ada 6.973 orang tawanan. 

Tetapi dalam terjemahan bahasa Aram, tulisan yang diketemukan di Patung 

Gajah (=Elephantine) di Mesir disebutkan bahwa jumlah tawanan adalah 

6.972 orang. 

Kejadian serupa, ada  pada kolom inskripsi nomor 31 dalam buku yang 

sama, penulis Babylonia menulis 2.045 sebagai jumlah pasukan Frawatish 

yang tewas, dengan 1.558 orang tawanan. Sedangkan salinan dalam bahasa 

Aram menulis lebih dari 1.575 orang yang menjadi tawanan. 

7. Apakah Raja Yoyakhin memerintah Yerusalem selama tiga bulan (2 

Raja-raja 24:8) ataukah tiga bulan sepuluh hari? (2 Tawarikh 36:9) 

(Kategori: salah memahami isi cerita atau maksud penulis) 

Sekali lagi, kita temui pertanyaan seperti no 2 dan 4, dimana penulis 

Tawarikh menuliskan lamanya masa pemerintahan Yoyakhin secara lebih 

spesifik, sedangkan penulis kitab Raja-raja hanya menyebutkan secara garis 

besar dan membulatkan jumlah bulannya saja, dengan anggapan bahwa 

tambahan sepuluh hari tidak cukup perlu untuk disebutkan secara khusus. 

8. Apakah kepala perwira yang mengiringi Daud berperang telah 

membunuh 800 orang (2 Samuel 23:8) atau hanya 300 orang? (1 

Tawarikh 11:11) 

(Kategori: salah memahami konteks sejarah atau maksud penulis) 

Sangat mungkin bahwa, kedua penulis telah menceritakan dua kejadian 

yang berbeda walau dengan tokoh yang sama. Atau dapat juga, penulis 

yang satu hanya menyebutkan sebagian dari jumlah yang ada sedangkan 

penulis yang lain menyebutkan jumlah secara keseluruhan. 

9. Apakah Daud membawa Tabut Perjanjian ke Yerusalem sesudah  

mengalahkan orang Filistin (2 Samuel 5 dan 6) atau sebelumnya? (1 

Tawarikh 13 dan 14) 

(Kategori: tidak membaca teks secara keseluruhan) 

Pertanyaan di atas tidak akan menjadi masalah, 

seandainya Shabbir Ally membaca lebih lanjut sampai ke 1 

Tawarikh 15, yang menyebutkan bahwa Daud 

memindahkan Tabut Perjanjian sesudah  mengalahan tentara Filistin. 

Alasannya adalah  sebab  orang Israel memindahkan Tabut Perjanjian ini dua 

kali. Yang pertama, mereka memindahkannya dari Baal tempat orang Israel 

mengalahkan orang Filistin, seperti yang kita baca dalam 2 Samuel 5 dan 6 

dan 1 Tawarikh 15. Ketika Nabi Samuel menceritakan kemenangan Daud 

atas Filistin, ia menceritakan dua kali kepindahan Tabut Perjanjian. Namun 

dalam 1 Tawarikh disebutkan urutannya sebagai berikut: pertama-tama 

Tabut Perjanjian dipindahkan dari Baal; kemudian Daud mengalahkan orang 

Filistin, dan akhirnya Tabut Perjanjian dipindahkan lagi dari rumah Obed-

Edom ke Yerusalem. 

Oleh  sebab  itu kedua teks di atas sama sekali tidak ada pertentangan 

apapun. Disini, di satu sisi Nabi Samuel lebih memilih menceritakan seluruh 

kisah sebagai suatu kesatuan (daripada menceritakannya sebagai susulan) 

dan di sisi lain kitab Tawarikh mengisahkan sejarahnya dengan cara yang 

berbeda. Kendati demikian, kedua cerita di atas berlangsung pada kurun 

waktu yang sama. 

Kejadian serupa dapat lebih buruk dikenakan kepada Al Qur‟an. Dalam Surat 

2 kita temukan kisah mengenai kejatuhan Adam, kemudian kemurahan 

Tuhan yang dinyatakan kepada bangsa Israel, diikuti dengan tenggelamnya 

tentara Firaun, kisah tentang Musa dan patung lembu yang terbuat dari 

emas, keluhan bangsa Israel mengenai makanan dan minuman, dan 

kemudian dikisahkan kembali mengenai patung lembu emas. Menyusul ini, 

kita membaca kisah mengenai Musa dan Yesus, kemudian kita membaca 

tentang Musa dan patung lembu emas, dan kemudian kisah mengenai 

Salomo dan Abraham. Jika kita mau berbicara mengenai kronologis urutan 

waktu, maka apakah hubungannya Musa dengan Yesus atau Salomo dengan 

Abraham disitu? Jika disusun menurut kurun waktu, seharusnya surat 

ini  memulai tulisannya dengan kisah mengenai kejatuhan Adam, 

kemudian tentang Kain dan Habil, Abraham, Lot, Ishak, Yakub dan Esau, 

Yusuf, Anak-anak Israel dan Musa. Melihat kronologi yang sedemikian 


semrawutnya dalam surat Al Qur‟an ini, apakah Shabbir Ally bisa 

menjelaskan terlebih dahulu sebelum ia banyak mengkritik sesuatu yang ia 

anggap ada kesalahan di dalam Alkitab? 

10. Apakah Nuh membawa sepasang-sepasang dari semua jenis 

mahluk hidup (Kejadian 6:19-20) ataukah 7 pasang binatang yang 

“tidak haram”? (Kejadian 7:2; lihat juga Kejadian 7:8-9) 

(Kategori: salah mengutip ayat) 

Inilah contoh pertanyaan yang aneh. Jelas sekali bahwa Shabbir Ally telah 

salah mengutip ayat dalam Kitab Kejadian pasal 6, yang tidak 

menyebutkan bilangan apapun untuk jenis binatang yang “tidak haram”. 

Sedangkan pasal 7 secara khusus memisahkan antara binatang yang 

haram dan “tidak haram”. Kejadian 7:2 menyebutkan bahwa Nuh harus 

membawa 7 pasang binatang yang “tidak haram” dan satu pasang untuk 

binatang “haram” yang mana saja. Mengapa dalam pertanyaan Shabbir 

tidak menyebutkan bagian akhir dari ayat di atas yang menunjukkan satu 

pasang binatang? Jelas bahwa tidak ada pertentangan diantara kedua ayat 

di