Minggu, 14 Desember 2025

Hermeneutika Alkitab diSejarah.

 


Praktik hermeneutika telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah manusia. 

Hermeneutika sebagai aktivitas manusia muncul dari kebutuhan untuk menafsirkan pemikiran atau 

teks yang ditulis oleh orang lain. Penelusuran sejarah menyatakan bahwa terjadi beberapa perubahan 

dalam prinsip hermeneutika Alkitab. Tulisan ini bertujuan untuk mencari tahu apa saja prinsip-prinsip 

hermeneutika yang berkembang sejak gereja mula-mula sampai ke zaman postmodern saat ini. 

Tulisan ini menggunakan sebuah pendekatan sejarah dengan menggunakan metode penelitian 

dokumen. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa setidaknya ada tigaprinsip penafsiran Alkitab 

sejak gereja mula-mula sampai ke zaman postmodern. Pertama, hermeneutika Alkitab secara literal 

yang disetujui oleh semua bapa-bapa gereja mula-mula, meskipun penafsiran Alkitab secara 

kontekstual, gramatikal, dan historis ditekankan oleh dua bapa gereja, yaitu Theodore dan 

Chrysostom. Hermeneutika literal ini digunakan sampai era reformasi. Kedua, hermeneutika modern 

yang lebih mengarah kepada alasan daripada prinsip literal. Hal ini memunculkan hermeneutika 

relativisme yang mendasarkan kebenaran pada indera dan alasan.Prinsip ini menyepakati penerapan 

rasionalisme pada Alkitab yang mengarah pada historis-kritis. Ketiga, hermeneutika kontemporer 

(postmodern) lebih ke arah sebuah proses pemahaman yang bersifat sementara (tidak kekal). Ini

berarti bahwa pemahaman tidak memiliki batasan yang tegas, dan bahwa interpreter tidak dapat 

mencapai pemahaman yang sepenuhnya pasti. Dengan demikian, hermeneutika Alkitab kontemporer 

penuh dengan subjektivisme, relativisme, pluralisme dan bersifat sementara.

Praktik hermeneutika telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah 

manusia. Hermeneutika sebagai aktivitas manusia muncul dari kebutuhan untuk menafsirkan pemikiran atau teks yang ditulis oleh orang lain. Meskipun sepanjang 

sejarah kata hermeneutika telah didefinisikan dalam banyak cara, namun kata ini 

sendiri berasal dari kata Yunani hermenuein \DQJEHUDUWL³PHQDIVLUNDQ¥\DQJEHUDVDO

dari kata dewa Yunani Hermes. Hermes dianggap sebagai utusan dari juru kabar 

yang menerjemahkan atau menafsirkan pesan-pesan dari para dewa kepada 

manusia ³+HUPHQHXWLF¥ . 

Dalam tindakan penyampaian atau penafsiran ini, setidaknya terdapat dua 

komponen mendasar. Pertama, tidak mungkin untuk menyampaikan atau 

menafsirkan pemikiran atau teks apa pun tanpa konsepsi yang benar tentang 

pemikiran atau teks tersebut. Dengan demikian komponen penting pertama dari 

hermeneutika adalah konsepsi. Kedua, sebuah pemikiran atau teks tidak 

sepenuhnya disampaikan sampai apa yang telah dipahami dengan benar telah 

diwakili dengan benar. Dengan demikian, komponen penting kedua dari 

hermeneutika adalah representasi, yang umumnya dipahami sebagai interpretasi, 

yaitu untuk memberikan konsepsi sendiri tentang sesuatu (Maier, 1994). Interpretasi 

diperlukan untuk menjadikan makna sebuah pemikiran atau teks menjadi transparan, 

terang, jelas, dan gamblang (Ampel, 2007). 

Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan prinsip-prinsip umum hermeneutika

yang diterapkan pada Alkitab. Pembahasan akan dimulai dengan menelusuri sejarah 

hermeneutika Alkitab sejak gereja mula-mula sampai ke zaman kontemporer 

sekarang ini. Hermeneutika Masa Lampau 

Bagian ini akan membahas tentang pengertian dan praktik hermeneutika 

Alkitab dari gereja mula-mula hingga zaman reformasi. 

Gereja Mula-mula. Permulaan hermeneutika Kristen Alkitabiah berasal dari 

abad pertama. Diakui bahwa umat Kristen awal tidak hanya membagikan Kitab Suci 

orang Yahudi, yaitu Perjanjian Lama, tetapi juga metode-metode penafsirannya 

(Dockery, 1992). David Dockery mengidentifikasi empat pendekatan utama Yahudi 

terhadap penafsiran Alkitab, yaitu: literal, midrash, pesher, dan tipologi (Dockery,

1992). Dalam bukunya ini, Dockery mengatakan bahwa pendekatan literal dianggap 

sebagai dasar bagi semua pendekatan lainnya karena didasarkan pada pemahaman 

yang jelas dan literal dari teks Alkitab. Sedangkan pesher melihat teks Alkitab dari 

perspektif apokaliptik. Akhirnya, pendekatan tipologis berusaha menemukan 

korespondensi antara orang-orang dan peristiwa dari masa lalu dan masa kini atau 

masa depan. 

Sementara orang-orang percaya mula-mula mengadopsi beberapa 

pendekatan ini, mereka juga mengandaikan sebuah hermeneutika Kristologi yang 

mendasar, yang berarti bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami dalam kehidupan 

Kristus memberikan lensa atau kerangka dasar yang melaluinya Perjanjian Lama 

dipandang. 

Yang penting bagi pendekatan-pendekatan di atas untuk penafsiran Alkitab 

adalah keyakinan yang kuat akan inspirasi Ilahi terhadap Kitab Suci, dan keyakinan 

bahwa karena Taurat memuat seluruh kebenaran Allah untuk tuntunan umat 

manusia, maka tujuan dari semua penafsiran adalah untuk menerjemahkan kata-kata 

Allah tersebut ke dalam kehidupan manusia (Dockery, 1992). 

Abad kedua dan seterusnya melihat tantangan yang mengarah pada 

perkembangan baru dalam penafsiran Alkitab. Secara umum, Alkitab terus 

dipandangasal usulnya berasal dari Allah, dan bahwa tujuan Ilahi ada di balik setiap 

perikopnya. Demikian pula halnya dengan pendekatan yang kontras dari aliran 

Aleksandria dan Antiokhia. Aliran Aleksandria menekankan pendekatan alegoris, 

sementara aliran Antiokhia mengadopsi pendekatan yang lebih literal dan historis. 

Ringkasan Dockery sangat membantu dalam memberikan gambaran sehubungan 

dengan penafsiran Alkitab oleh gereja mula-PXOD ³semua bapa-bapa gereja mula￾mula menyetujui arti literal dari Kitab Suci, tetapi interpretasi kontekstual, gramatikal, 

dan historis ditekankan oleh Theodore and Chrysostom, dengan konvergensi yang 

berkembang ke arah itu oleh -HURPH $XJXVWLQH DQG 7KHRGRUHW¥ (Dockery, 1992). 

Dalam hal ini semua bapa-bapa gereja mula-mula menyetujui penafsiran Alkitab 

secara literal, meskipun penafsiran Alkitab secara kontekstual, gramatikal, dan 

historis ditekankan oleh dua bapa gereja, yaitu Theodore dan Chrysostom. 

Hermeneutika Abad Pertengahan. John Cassian (360 ± 435) memetakan 

jalur penafsiran yang diikuti dari Agustinus sampai periode abad pertengahan. Dia 

mengembangkan teori penafsiran sehubungan dengan pengertian Kitab Suci yang 

terdiri dari empat aspek, yaitu indera literal, alegoris, tropologis dan anagogis. 

Penafsiran Alkitab dimaksudkan untuk memelihara iman, harapan dan cinta, dan 

diakui bahwa penafsiran literal sering kali mencapai tujuannya. Namun, ketika 

dirasakan bahwa penafsiran literal tidak memenuhi tujuan tersebut, maka penafsiran 

alegoris diperlukan untuk meningkatkan iman, tropologis untuk memelihara cinta, dan

anagogis untuk meningkatkan harapan (Dockery, 1992). Dalam pengertian ini, 

misalnya adalah kota Yerusalem yang secara umum dipahami secara literalsebagai 

kota Yahudi, secara alegoris sebagai gereja Kristus, secara tropologis sebagai jiwa 

pria dan wanita, dan secara anagogis sebagai kota surgawi (Dockery, 1992). 

Hermeneutika Era Reformasi. Selama reformasi, hermeneutika melihat 

adanya peningkatan bertahap terhadap prioritas makna literal atas makna alegoris. 

Perkembangan pemahaman hermeneutika ini dikreditkan kepada Martin Luther 

(1483-1546), Erasmus (1466-1536) dan John Calvin 1509-1564. Secara khusus, 

Calvin diakui sebagai penafsir terbesar reformasi yang memberikan dorongan 

kepada pengembangan dan penggunaan metode eksegetis gramatikal-historikal 

(Dockery, 1992). 

Presaposisi Hermeneutika Masa Lampau. Keyakinan mendasar dari para 

praktisi hermeneutika Alkitab adalah kepercayaan akan asal usul Alkitab. Karena itu, 

diyakini bahwa tujuan Ilahi ada di balik setiap bagian dari Alkitab. Dengan demikian, 

arti literal dari Kitab Suci itu sangatlah penting, yaitu, kata-kata dari Kitab Suci 

membawa makna tertentu yang perlu dipahami untuk menemukan tujuan Ilahi di 

balik teks Alkitab. Bahkan ketika perbedaan dibuat seperti halnya oleh Thomas 

Aquinas (1224-1274), yang membedakan pengertian spiritual dan literal atas dasar 


filsafat Aristoteles, namun ia tetap memahami pengertian literal sebagai pengertian 

primer (Steinmetz, 1980). Harus disebutkan bahwa, bahkan di antara bapa-bapa 

gereja ± Theodore, Chrysostom, Jerome, Augustine, dan Theodoret ± pengertian 

literal dari Kitab Suci tidak menghalangi mereka untuk mempertimbangkan 

konteksnya. 

Jelaslah bahwa pandangan gereja masa lampau sehubungan dengan 

hermeneutika lebih ke arah makna literal dibandingkan makna alegori dan lainnya. 

Hermeneutika Masa Kini 

Bagian ini akan membahas tentang pengertian dan praktik hermeneutika 

Alkitab dari era reformasi sampai kepada saat ini. 

Perkembangan budaya paling penting di dunia Barat yang berada di antara 

hermeneutika masa lampau dan hermeneutika masa kini adalah Pencerahan pada 

abad ke-18. Pencerahan relevan dengan diskusi tentang hermeneutika karena sejak 

awal abad Pencerahan ini, ada pencarian untuk sebuah matriks - sesuatu di dalam 

atau dari mana sesuatu yang lain berasal, berkembang, atau mengambil bentuk 

³0DWUL[¥QG , yang pasti dan permanen yang dapat digunakan untuk menentukan 

apa yang benar, nyata, rasional, benar, dan baik. Terutama ketika Rene Descartes 

pada abad Pencerahan menemukan matriks tersebut (William J. Larkin, 1988; 

Richard J. Bernstein, 1983). Descartes melihat matriks sebagai sebuah alat yang 

yang sangat berguna untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan mendasar 

tentang pengetahuan dan realita (Irwin, 2002). Matriks inilah yang akan membentuk 

opini kita dengan informasi yang dikumpulkan melalui indera penglihatan,

pendengaran, sentuhan, penciuman, dan rasa (Descartes, 1985). 

Pemikiran Descartes ini membuat terjadinya peralihan pada realita kebenaran 

GDQPDNQD\DQJGLWHQWXNDQROHK³DODVDQ-DODVDQ¥GDQWLGDNODJLROHK³ZDK\X¥ (Larkin, 

1988). Hal ini menjelaskan bahwa Pencerahan dengan hasratnya untuk sebuah 

objektivitas seperti ini, akhirnya memunculkan relativisme yang menjadi ciri 

kebuntuan hermeneutika yang kita hadapi saat ini. Singkatnya, hermeneutika 

relativisme terjadi karena kebenaran didasarkan pada indera dan alasan, dan tentu 

saja indera dan alasan setiap orang bisa berbeda-beda. 

Selain Descartes, ada beberapa tokoh lain yang membentuk hermeneutika

pada abad Pencerahan. Mereka adalah Larkin yang memberikan kepada kita

SHPDKDPDQ VHKXEXQJDQ GHQJDQ ³knowing self¥ \DQJ GLFHWXVNDQ ROHK 'HVFDUWHV

Kemudian Immanuel Kant menjelaskan tentang sebuah perbedaan antara

pengetahuan tentang nuomena (QXRPHQDO ³2EMHN DWDX SHULVWLZD \DQJ PXQFXO

dengan sendirinya terlepas dari persepsi dan indera) ³QRXPHQRQ¥ QG dan 

fenomenal. Preunderstanding (Preunderstanding adalah istilah teknis yang 

digunakan dalam bahasa teologi dan filsafat untuk merujuk pada apa yang kita bawa 

secara tidak refleks terhadap pembacaan suatu teks) dan lingkaran hermeneutika 

yang dicetuskan oleh Friedrich Schleiermacher (Larkin, 1988). Yang timbul dari 

kombinasi kekuatan-kekuatan ini adalah pengembangan metode historis-kritis. 

Secara umum disepakati bahwa penerapan rasionalisme pada Alkitab adalah salah 

satu penyebab utama yang mengarah pada historis-kritis (Maier, 1994). 

Metode Historis Kritis.Tidak cukup ruang bagi kita untuk memberikan 

penjelasan secara lengkap tentang metode historis-kritis, tetapi signifikansi

hermeneutisnya perlu diuraikan secara singkat. Metode historis-kritis sebagaimana

yang diterapkan pada Kitab Suci akan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi 

secara objektif. Tetapi karena ini adalah sebuah metode yang berkomitmen pada 

Pencerahan, maka metode ini memiliki prinsip-prinsip tertentu, yaitu prinsip-prinsip 

kritik, analogi, dan korelasi. 

3ULQVLSNULWLN\DQJGLPDNVXGGLVLQLEHUDUWLEDKZD³SHQLODLDQNLWDWHQWDQJPDVD

lalu tidak dapat dengan mudah diklasifikasikan sebagai benar atau salah tetapi harus 

dilihat sebagai sebuah klaim terhadap tingkat probabilitas yang lebih besar atau lebih 

NHFLOGDQKDUXVVHODOXWHUEXNDXQWXNGLUHYLVL¥ (Hansel, 1985). Dengan kata lain, kita 

harus selalu memulainya dengan keraguan. Prinsip analogi, di sisi lain, 

mengharuskan kita melanjutkan asumsi bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di 

masa lalu adalah sejalan dengan peristiwa-peristiwa dari pengalaman kita sendiri 

saat ini. Dengan kata lain, prinsip ini mengacu pada homogenitas mendasar dari 

semua peristiwa sejarah (Hansel, 1985). 

Dengan metode historis-kritis ini maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa 

realitas saat ini menentukan status kebenaran masa lalu. Karena alasan inilah 

mukjizat dianggap mustahil hari ini. Akhirnya prinsip korelasi masa lalu dan masa kini 

mengharuskan kita untuk melihat setiap peristiwa sejarah berkorelasi dengan 

peristiwa lainnya dalam seri yang sama. Macquarrie menjelaskan esensi dari prinsip 

ini:

Ada kesinambungan integral dalam sejarah, sehingga segala sesuatu yang 

terjadi harus dianggap imanen (tetap ada) dalam hubungan sebab akibat yang 

sangat kompleks. ... Namun, pokok dari prinsip korelasi adalah, bahwa 

walaupun mungkin ada peristiwa-peristiwa yang berbeda, dan bahkan 

peristiwa-peristiwa yang sangat berbeda, semua peristiwa-peristiwa memiliki 

urutan yang sama, dan dapat dijelaskan dalam hal apa yang imanen dalam 

sejarah itu sendiri (Macquarrie, 1988). 

Friedrich Schleiermacher (1768-1834): Bapak Hermeneutika Modern 

Sejauh prinsip-prinsip Pencerahan dan metode historis-kritis mengurangi

kemungkinan wahyu / ilham Ilahi, urgensi membangun makna literal teks sudah 

berkurang. Schleiermacher, seorang pietis dan filsuf mistik memahami tantangan

hermeneutis yang ditimbulkan oleh kritik sejarah dan berusaha untuk menekankan 

lokus yang berbeda untuk sebuah makna. Jadi, sementara banyak ahli yang 

berfokus pada metode historis-kritis, Schleiermacher menunjukkan minat pada 

hermeneutika baru. 

Pergeseran fundamental dalam perkembangan hermeneutika adalah ketika 

hermeneutika sebagai metodologi pemahaman berubah menjadi filsafat. Perubahan 

ini dipengaruhi oleh corak berpikir masyarakat modern yang berpangkal pada 

semangat rasionalisasi, di mana akal menjadi patokan bagi kebenaran yang 

berakibat pada penolakan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau 

metafisika. Hal ini merupakan pemikiran Friedrich Schleiermacher ketika dia 

mencetuskan idenya dalam hermeneutika, yaitu universal hermeneutic. Dalam 

gagasannya ini, teks Alkitab sepatutnya diperlakukan sebagaimana teks-teks lain 

yang dikarang oleh manusia (Muchtar, 2016).Hermeneutika modern ini 

menempatkan semua jenis teks pada posisi yang sama, tanpa memerdulikan apakah 

teks itu Ilahi atau tidak, dan ini adalah bagian dari upaya liberalisasi Alkitab. Bagi 

Schleiermacher, faktor kondisi dan motif pengarang sangatlah penting untuk 

memahami makna suatu teks, di samping faktor gramatikalnya (Mircea, 1990). 

Dalam pengantar tulisan ini, penulis membuat pengamatan bahwa 

hermeneutika kontemporer menunjukkan kecenderungan untuk isu-isu mengenai 

konsepsi dan pemahaman. Meskipun diskusi hermeneutika pada abad ke-19 dimulai 

dengan pengembangan aturan untuk interpretasi yang tepat, perhatian kemudian 

bergeser ke pertanyaan yang lebih mendasar mengenai kondisi-kondisi untuk 

sesuatu yang lebih mungkin untuk dimengerti (Maddox, 1985). Dengan gagasan 

preunderstanding, Schleiermacher mulai membahas kondisi untuk kemungkinan memahami apa pun. Dia mengubah hermeneutika Alkitabiah tradisional menjadi 

hermeneutika umum/universal yang menggabungkan semua jenis teks. Dengan

membawa penyelidikan hermeneutika ke tingkat universal, Schleiermacher 

membuka masalah interpretasi kepada suatu ruang lingkup pemahaman dan 

penjelasan yang baru (Graham, 1993). 

Metode interpretasi gramatikal yang diperkenalkan oleh Schleiermacher 

melibatkan pemahaman teks, yang membutuhkan pemahaman kata-kata dan 

bahasa umum. Seseorang harus memeriksa kata-kata dalam kaitannya dengan 

kalimat, dan kalimat dalam konteks paragraf, dan seterusnya, hingga pemahaman 

teks dapat dicapai secara akurat. Ini memunculkan apa yang oleh Schleiermacher 

disebut sebagai ³lingkaran hermeneutiND¥ Kita tidak dapat memahami arti dari 

keseluruhan teks selain dari memahami makna dari kalimat individu, dan bahkan 

kata-kata, dalam teks tersebut. Di sisi lain, kita tidak dapat memahami bagian-bagian 

individual dengan benar selain memahaminya secara menyeluruh. Inilah yang 

dimaksud dengan lingkaran hermeneutika (Stiver, 1996). 

Lebih lanjut Schleiermacher menjelaskan tentang interpretasi gramatikal 

dengan cara berikut³Kosakata dan sejarah usia penulis bersama-sama membentuk 

keseluruhan dari mana tulisan-tulisannya harus dipahami sebagai sebuah bagian¥

(Schleiermacher, 1977). Schleiermacher menunjukkan bagaimana studi tentang 

sejarah linguistik, serta budaya dan masyarakatnya, sangat penting untuk metode 

penafsiran tata bahasa. Bahasa terikat oleh kehidupan orang-orang dan kepentingan 

komunitas, oleh karena hal itu menciptakan genre baru yang mencerminkan sejarah 

penulis. Dengan demikian, maka seorang interpreter harus berkenalan dengan

kehidupan dan waktu penulis. Keakraban konteks biografi dan sejarah penulis 

adalah prasyarat untuk sebuah metode interpretasi (Schleiermacher, 1977). 

Rudolf Bultmann (1884-1976): Hermeneutika Eksistensial 

Pemahaman Bultmann sehubungan dengan hermeneutika banyak 

dipengaruhi oleh pemikiran hermeneutika eksistensial yang dikemukakan oleh 

Heidegger. Heidegger mengatakan bahwa jika kehidupan manusia telah menjadi 

pokok bahasan hermeneutika, dan kehidupan manusia secara radikal adalah 

historis, maka tak dapat dihindari bahwa kehidupan manusia itu akan menjadi subjek 

dari analisis yang ketat. Heidegger merupakan titik balik yang signifikan dalam pemahaman hermeneutika. Baginya, manusia hanya dapat menafsirkan dunia 

sebagaimana ia melihatnya dari situasi kehidupan yang diberikan (Thiselton, 1993). 

Bagi hermeneutika Bultmann, Perjanjian Baru dapat ditafsirkan (dipahami)

dengan tepat ketika kemungkinan eksistensial soal iman disesuaikan untuk 

menghasilkan pemahaman diri yang baru yang dapat dimengerti (Dockery, 1992). 

Sebagai contoh, ketika dalam Kisah 17:31 Alkitab mengatakan bahwa Allah telah 

menetapkan hari di mana Ia akan menghakimi dunia, menurut Bultmann ini hanyalah 

EHUDUWL EDKZD PDQXVLD ³KDUXV PHPLOLK MDODQQ\D VHQGLUL GDODP hal tanggungjawab 

GDQNHSXWXVDQ¥ (Bultmann, 1960). 

Hermeneutika eksistensial, ketika berkembang terutama dalam karya-karya 

Bultmann mendapat tekanan. Poin utama keberatannya berkaitan dengan fakta 

bahwa dalam hermeneutika eksistensial, interpretasi pada dasarnya berorientasi 

pada eksistensi manusia terhadap kelalaian aspek teologis dan kognitif. Salah 

seorang yang keberatan dengan pandangan hermeneutika eksistensial Bultmann 

adalah Wolfhart Pannenburg. Dia mengatakan bahwa seharusnya biarkan teks 

Alkitab itu mengatakan apa yang seharusnya dikatakan oleh Alkitab itu sendiri, dan 

bukannya diberikan pemikiran eksistensial terhadap teks Alkitab tersebut 

(Pannenburg, 1967). 

Tokoh hermeneutika lainnya yang akan dibahas dalam hermeneutika masa 

kini adalah Hans-Georg Gadamer yang ingin bergerak melampaui hermeneutika

eksistensial dengan memfokuskan hermeneutika pada bahasa dan subjek. 

Hans-Georg Gadamer (1900-2002): Hermeneutika Pemahaman 

Gadamer mengeksplorasi penggunaan hermeneutika dalam semua disiplin 

ilmu kehidupan. Dia menunjukkan bagaimana metode hermeneutika sangat 

mendasar bagi semua pemahaman manusia. Teori Gadamer bertumpu pada tiga 

pengungkapan kebenaran: seni, sejarah dan bahasa. Dalam pandangan Gadamer, 

seni memberikan jendela yang lebih baik untuk memahami sejarah dan kenyataan, 

karena seni adalah bagian penting dari pemikiran (Klemm, 1986). Dalam hal ini,

hermeneutika ibarat sebuah permainan, pemain tidaklah mengendalikan permainan, 

melainkan permainan yang mengendalikan pemain. Pemikiran kitalah yang 

mengendalikan hermeneutika, sehingga diperlukan seni untuk mengendalikannya. Pengungkapan kedua dalam hermeneutika Gadamer adalah sejarah. Dalam 

hal ini Gadamer menegaskan bahwa sebuah hermeneutika tidaklah objektif jika 

melangkah keluar dari sejarah, karena sejarah dan tradisi mempersiapkan kita untuk 

mengetahui dan memahami hermeneutika. Dengan merekonstruksi kepentingan 

sosial, politik, agama dan ekonomi dari zaman si penulis, maka kita dapat

memperoleh pemahaman yang lebih lengkap (Stiver, 1996). Ada hal-hal yang terjadi 

pada masa lalu yang merupakan gambaran dari apa yang terjadi sekarang, demikian 

juga kejadian masa sekarang adalah cerminan dari peristiwa yang terjadi di masa 

lalu. Sehingga penelusuran sejarah ini sangatlah diperlukan dalam sebuah 

hermeneutika (Klemm, 1986). 

Bagian ketiga dari hermeneutika Gadamer adalah bahasa. Baginya semua

pengertian berakar pada bahasa. Gadamer mengklaim bahwa pemahaman 

hermeneutika terjadi ketika teks dan penafsirnya saling menyatu. Seorang interpreter 

teks harus hati-hati memahami arti tersembunyi dari bahasa yang diungkapkan oleh 

si penulis. Fokus Gadamer adalah pada signifikansi filosofis dari apa yang dimaksud 

oleh penulis teks tersebut (Graham, 1993). 

Dalam hal ini, fokus Gadamer bukan pada si penulis melainkan pada seorang 

interpreter teks dan bagaimana dia menyelami arti dari signifikansi filosofi yang 

terkandung dalam teks tersebut.Sehingga seorang interpreter teks dapat memahami 

pokok pembahasan, sifat bahasa yang digunakan, dan waktu penulisannya, 

sehingga diharapkan teks tersebut merupakan sebuah eksposisi dari sesuatu yang 

melebihi teks itu sendiri (Dockery, 1992). Dengan demikian, jelaslah bahwa Gadamer 

menolak gagasan bahwa sebuah teks, khususnya teks Alkitab adalah kepercayaan 

mutlak yang memiliki konten yang tetap stabil dan konstan (Dockery, 

1992).Mengikuti pola Gadamer ini, maka sebuah hermeneutika era postmodern akan 

bervariasi tergantung dari interpreternya, sehingga bisa saja arti sebuah teks Alkitab 

dipertanyakan (Richardson & Bowden, 1983).  

Tulisan ini memberikan gambaran singkat tentang sejarah hermeneutika pada 

masa lalu hingga masa kini. Dalam hal ini didapati bahwa hermeneutika kontemporer

membuktikan adanya tiga pendekatan utama terhadap hermeneutika. Roy J. Howard menyajikan sebuah pengantar kepada berbagai teori pengertian yang berbeda saat 

hal itu dihubungkan dengan artinya. Adapun ketiga pendekatan utama dari 

hermeneutika ini adalah analisa, psikososial, dan ontologis (Howard, 1982). Hal 

serupa juga dikemukakan oleh Josef Bleicher yang mengindentifikasi tiga aliran

pemikiran utama dalam sebuah diskusi filosofi komtemporer tentang hermeneutika 

yang boleh dikata sejajar dengan klasifikasi yang telah disebutkan oleh Howard 

Poin inti yang dapat dibuat sehubungan dengan hermeneutika kontemporer 

adalah tentang sebuah proses pemahaman yang bersifat sementara (tidak kekal). Ini 

berarti bahwa pemahaman tidak memiliki batasan yang tegas, dan bahwa penafsir 

tidak dapat mencapai pemahaman yang sepenuhnya pasti. Dengan demikian, 

penafsiran Alkitab kontemporer penuh dengan subjektivisme, relativisme, pluralisme 

dan bersifat sementara.