Minggu, 14 Desember 2025

Hermeneutika Alquran 1

 


aradigma integrasi-interkoneksi keilmuan menyatakan bahwa 

hakikatnya tidak ada ilmu yang berdiri sendiri tanpa terkait 

dengan bidang-bidang keilmuan yang lain. Setiap ilmu, dalam 

berbagai aspek nya, baik itu aspek materi, metodologi, maupun 

aspekaksiologinya, pasti bersinggungan de ngan ranah keilmuan 

lain. Asumsi yang sama inilah kiranya yang mendasari muncul nya 

wacana hermeneu tika Al-Qur’an yang apabila dicermati me rupa￾kan sebentukintegrasi antara hermeneutika dan qur’anic-studies 

di level meto dologi. Selain merupakan wacana yang paling banyak 

dibicarakandalam konteks Islamic-Studies kontemporer, wacana 

ini dapat dikata kan wacana paling kontro versial karena munculnya 

kubu pro dan kontra yang cukup tajam.

Hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara 

untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang 

diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, dimana 

metode hermeneutik ini men sya ratkan adanya kemampuan untuk 

menafsirkan masa lampau yang tidak di alami, kemudian dibawa 

ke masa sekarang.Beberapa tahun terakhir ini, hermeneutika semakin menge￾mukadalam dunia ilmiah akademis dan dipakai oleh para tokoh 

dari ber bagai bidang, seperti para kritikus sastra, sosiolog, sejarawan, 

antro polog, teolog, filosof, para pengkaji agama-agama, dan lain 

sebagainya. 

Istilah hermeneutika dalam pengertian sebagai “ilmu tafsir” 

muncul pada sekitar abad ke-17, dimana istilah ini bisa di pahami 

dalam dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat 

prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian 

filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan 

memahami.2

 Carl Braathen mengakomodasi kedua definisi ini men￾jadi satu dan menyatakan bahwasanya hermeneutika adalah “ilmu 

yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di 

masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna 

secara nyata di masa kini dimana di dalamnya sekaligus terkandung 

aturan- aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran 

dan asumsi-asumsi metodologis dari aktifitas pemahaman”.3

Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh hermeneutika di 

antara nya adalah bagaimana orang memahami teks atau sesuatu 

yang di anggap sebagai teks? Bagaimana orang yang berbeda, 

berbe da pula pemahamannya? Bagaimana orang yang sama 

dalam kondisi yang berbeda, berbeda pula dalam memahami teks?

Hermeneutika pada awal perkembangannya dikenal sebagai 

ge rakan eksegesis di kalangan gereja dan kemudian berkembang 

menjadi “filsafat penafsiran”. Adalah F.D.E. Schleiermacher yang 

selanjutnya di anggap sebagai “Bapak Hermeneutika Moderen” karena 

‘membangkitkan’ kembali herme neutika dan membakukannya 

sebagai satu metode umum interpretasi yang tidak hanya terba tas 

pada kitab suci dan sastra. Dalam perkembangan nya kemudi an 

Wilhelm Dilthey menggagas hermeneutika sebagai landasan bagi 

ilmu-ilmu kemanusia an (Geisteswissenschaften), lalu Gadamer 

mengem bangkan nya menjadi metode filsafat yang selanjut nya 

lebih jauh dikembangkan oleh banyak filosof lain seperti Paul 

Ricoeur, Jurgen Habermas dan Jacques Derrida.4

Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk 

“menafsir kan” berbagai bidang kajian keilmuan, melihat sejarah 

kelahir an dan perkembangannya, harus diakui bahwa peran herme￾neutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan 

kritik teks, khusus nya kitab suci. Mengenai hal ini Roger Trigg, 

sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat dalam buku nya 

Memahami Bahasa Agama berkata:

The Paradigm for hermeneutics is the interpretation 

of a traditio nal text, where the problem must always 

be how we can come to understand in our own 

context something which was written in a radically 

different situation.5

Hasan Hanafi dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution 

menyatakan bahwa hermeneutik itu tidak sekedar ilmu interpretasi

atau teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan 

penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkatdunia. 

Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos 

sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan 

kepada kehidupan manusia.6

Meskipun demikian, ketika dalam Islam muncl fenomena 

herme neutika Al-Qur’an yang intinya merupakan sebentuk inte￾grasihermeneutika dengan qur’anic studies, pandangan ang muncul 

cukup beragam, baik yang pro maupun yang kontra. Pendapat 

yang pro secara umum meyakini bahwa kehadiran hermeneutika 

dalam qur’anic studies akan membantu proses dinamisasi tafsir, 

sehingga hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an akan senantiasa 

kontekstual dan mampu menjawab tantangan realitas; sementara itu 

pendapat yang kontra lebih meyakini ‘keampuhan’ tafsir dan ulumul 

qur’an klasik sebagai yang paling mendekati kebenaran, sehingga 

umat Islam tidak memerlukan unsur-unsur tambahan yang asing 

seperti hermeneu tika ini.

Kajian tentang integrasi hermeneutika dan qur’anic studies 

dapat di katakan merupakan merupakan salah satu issu islamic 

studies kontemporer yang paling hangat dibicarakan. Hal itu bisa 

dibuktikan dengan banyaknya kajian yang dilakukan dalam ranah 

ini, baik yang termasuk kategori pro maupun yang termasuk kategori 

kontra.

Diantara kajian yang mengedepankan perspektif yang pro 

terha dap inte grasi hermeneeutika dengan qur’anic studies ini 

dapat disebut misalnya Farid Esack dalam qur’an plurlism and 

liberation7

, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Mafhum al-Nash, Dirasah 

fi ‘Ulum al-Qur’an,8

dan juga Isykaliyat al-Qiraat wa ‘Aliyat al￾Ta’wil9

, Fazlurrahman dalam Major themes of the Qur’an, Muh. 

Ata’ Al-Sid, The Hermeneutical Problem of the Qur’an in Islamic 

History10, Mohammed Arkoun dalam Kajian Kontemporer Al￾Qur’an,11 Komaruddin Hidayat dalam Memahami Bahasa Agama12

dan juga M. Amin Abdullah dalam Al-Ta’wil al-‘Ilmy: Paradigma 

Baru Penafsiran Kitab Suci.13

Kajian-kajian yang pro terhadap integrasi qur’anic studies de￾ngan herme neutika ini secara umum mengasumsikan ba hwa 

betapapun sakralnya Al-Qur’an, namun pemahaman manusia ter￾hadapnya tidak bisa diberi nilai sama sakralnya, sementara di sisi

lain manusia dituntut untuk memahami Al-Qur’an secara konteks￾tual untuk merealisasikan karakter Al-Qur’an agar salih li kulli 

zaman wa makan. Di sisi lain, beberapa eksponen kubu ini lebih 

jauh menyata kan bahwa Al-Qur’an itu adalah teks dalam bahasa 

Arab meskipun secara ontologis tetap memiliki status Kalamullah, 

sehingga untuk memahami Al-Qur’a historisitas Arab merupakan 

aspek yang idak bole ditinggalkan. Dalam konteks inilah herme￾neutika diperlukan. 

Adapun diantara kajian-kajian yang kontra terhadap herme￾neutika bisa disebut antara lain Adian Husaini dalam problem 

teks Bible dan herme neutika,14 Adnin Armas dalam Metodologi 

Bibel dalam Studi Al-Qur’an,15 Hamid Fahmy Zarkasyi dalam 

Menguak Nilai Dibalik Hermeneutika,16 Hartono Ahmad Jaiz dalam 

ada Pemurtadan di IAIN,17 atau juga Nashruddin Baidan, Tinjauan 

Kritis terhadap konsep Hermeneutika.18 Menurut para pendukung 

kubu kontra ini, selain bahwa hermeneutika itu berasal dari Barat 

(Tradisi Bibel), umat Islam juga telah memiliki Ulumul Qur’an yang 

cukup komprehensif, sehingga tidak memerlukan hermeneutika.


ata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein 

yang ber arti “menafsirkan”, dan dari kata hermeneuein ini 

dapat ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsir￾an” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti interpreter 

(penafsir).1

 Kata ini seri ngdiasosiasi kan dengan nama salah se￾orang dewa Yunani, Hermes yang dianggap sebagai utusan para 

dewa bagi manusia. Hermes adalah utusa n para dewa di langit 

untuk membawa pesan kepada manusia.2

Menarik untuk melihat ternyata ada yang membedakan antara 

kata hermeneutic (tanpa ‘s’) dan hermeneutics (dengan huruf ‘s’). 

Term yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah bentuk adjective

(kata sifat) yang apabila di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia 

dapat diartikans seba gai ketafsiran, yaini menunjuk ke pada ‘keadaan’ 

atau sifat yang terda pat dalam satu pe nafsiran. Sementara term 

kedua (hermeneutics) adalahsebuah kata benda (noun). Kata ini 

mengandung tiga arti:

1. Ilmu penafsiran

2. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam 

kata- kata dan ungkapan penulis

3. penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada pe naf￾sir an kitab suci.3

Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas 

menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktifitas penafsiran, yaitu: 

1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan 

dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang 

dibawa oleh Hermes, 

2. Perantara atau penafsir (Hermes), 

3. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa 

dipahami dan sampai kepada yang menerima. 

Bisa dikatakan ketiga unsur inilah nantinya yang akan 

menjadi tiga unsur utama dalam hermeneutika, yaitu sifat-sifat 

teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks dan bagaimana 

pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan 

dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan me￾nafsir kan teks.

Hermeneutika secara ringkas biasa diartikan sebagai “proses 

mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan 

mengerti”.4

 Definisi ini agaknya definisi umum dan disepakati ter￾hadap hermeneutik, meskipun secara lebih jelas jika melihat ter￾minologinya, kata hermeneutika ini bisa didefinisikan sebagai tiga 

hal:

1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, me￾ner jemahkan dan bertindak sebagai penafsir.

2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang makna￾nya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa 

dimenger ti oleh si pembaca.

3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah 

menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.

Secara lebih luas hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt 

Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan 

pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, 

kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan ke￾bingungan bagi pendengar atau pembaca.6

Jika dirunut ke belakang, keberadaan hermeneutik ini se￾benarnya sudah ditemukan sejak zaman Yunani Kuno. Pada saat 

itu, sudah ada diskursus hermeneutik sebagaimana yang terdapat 

dalam tulisan Aristoteles yang berjudul Peri Hermenians (de in￾terpretation).7

Dalam perkembangannya, Hermeneutika mengalami per￾kem ba ngan dan perubahan-perubahan persepsi dan model 

pe ma kaiannya yang muncul dari keragaman pendefinisian dan 

pe mahaman terhadap hermeneutika. Gambaran kronologis per￾kembangan pengertian dan pendefinisian terhadap hermeneutika

ini oleh Richad E. Palmer dibagi dalam enam kategori, yaitu 

hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, hermeneutika

sebagai metode filologi, hermeneutika sebagai pemahaman 

linguistik, hermeneutika sebagai fondasi dari geisteswissenschaft, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan hermeneutika

se bagai sistem interpretasi.8

A. Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci

Istilah hermeneutika dalam pengertian teori penafsiran kitab 

suci ini perta ma kali dimunculkan oleh J.C. Dannhauer dalam 

bukunya Hermeneutica Sacra Siva Methodus Expondarum Sacrarum 

Litterarum. Istilah Hermeneutika dalam hal ini dimaksudkan 

sebagai kegiatan memahami kitab-kitab suci yang dilakukan oleh 

para agamawan. Kata hermeneutika dalam pengertian ini muncul 

pada abad 17-an, meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan 

pem bica ra an tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab 

suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung 

sejak lama.9

Dalam agama Yahudi misalnya, tafsir terhadap teks-teks 

Taurat dilakukan oleh para Ahli Kitab, yaitu mereka yang mem￾baktikan hidupnya untuk mempelajari dan menafsirkan hukum￾hukum agama yang dibawa oleh para Nabi.

Berbeda dengan kaum Yahudi, awal tradisi Kristen dengan 

pengalaman akan Yesus yang dianggap wafat dan bangkit lagi, 

juga menerapkan tafsir pada teks-teks Perjanjian Lama, dimana 

tafsir tersebut bisa dikategorikan Hermeneutika, karena Perjanjian 

Lama dipahami secara Kristiani dan hasilnya kemudian disebut 

sebagai Perjanjian Baru. 

Dalam sejarah tradisi kristen juga pernah terjadi dua macam 

penafsir an terhadap kitab suci, yaitu penafsiran harfiyah yang 

banyak dianut oleh Mazhab Anthiokia dan Penafsiran Simbolik yang 

banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Kegiatan penafsiran 

juga marak dalam Islam. “Tafsir” dipakai sebagai upaya untuk 

memahami Al-Qur’an, dan seper ti hal nya dalam tradisi Kristen, 

disana terjadi pula polemik antara dua macam penafsiran, yaitu 

tafsir bi al-ma’tsar dan tafsir bi al-ra’yi. Puncak perkembangan 

hermeneutika sebagai penafsiran terhadap teks kitab Suci muncul 

pada zaman reformasi pada agama Kristen. Agama Kristen ter￾pecah karena perbedaan prinsip-prinsip penafsiran. Golongan 

Protestan memegang prinsip sola scriptura (hanya kitab suci), 

sedangkan Katolik memegang prinsip tradisi, dimana kitab suci 

ditafsirkan dalam naungan tradisi. Pada masa ini hermeneutika

menjadi ke giat an penting dan memiliki implikasi-implikasi sosial 

politik yang sangat luas. Masing-masing aliran dalam agama 

Kristen memperkembangkan bangunan teologisnya menurut prinsip￾prinsip hermeneutik mereka sendiri sehingga perbedaan ini juga 

nampak dalam tatanan sosio-religius mereka.

Sampai disini dapat dikatakan bahwasanya keseluruhan 

khazanah penafsiran kitab suci yang sangat beragam, baik dari 

aspek metode maupun hasilnya itu, pada dasarnya merupakan 

sebuah karya hermeneutis. Dalam kaca mata hermeneutika, ke￾ragaman tersebut tidak lain merupakan hasil ‘inter aksi’ antara teks 

dengan konteks yang mengolahnya, baik konteks penafsir itu 

sendiri maupun konteks ketika penafsiran dilakukan. 

Namun harus dicatat bahwa secara umum kesadaranme￾nge nai ke terkaitan antara teks dan konteks dalam masa klasik 

penafsiran kitab suci ini dapat dikatakan ‘belum populer’. 

Sebagian besar penafsir kitab suci biasanya memandang apa yang 

di tafsir kan nya sebagai sesuatu yang ‘seharusnya’, yang ‘tepat’ 

dan ‘seperti yang dikehendaki Sang Pembuat Teks’,. Pendirian 

semacam inilah yang seringkali meningkatkan ‘tensi’ hubungan 

antar aliran, antar metode pemahaman dan antar corak penafsiran 

yang beragam tersebut. Klaim bahwa hasil penafsirannya adalah 

yang paling mendekati apa yang ‘dikehendaki Tuhan’, membuat 

seorang penafsir ‘terpaksa’ harus menegasikan pemahaman dan 

penafsiran di luar yang dihasilkannya. Dalam wilayah inilah agaknya 

sumber pertikaian ‘intern’ umat beragama, karena ternyata pola 

klaim semacam itu terdapat dalam hampir semua bidang-bidang 

ilmu agama tertentu. 

Pada perkembangan selanjutnya ketika memasuki zaman 

moderen, muncullah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher, 

Seorang Pendeta yang nanti nya dianggap sebagai Bapak Herme￾neutika Moderen karena ‘me lahirkan kembali’ hermeneutika melalui 

konsep hermeneutikanya yang sering disebut sebagai Hermeneutika 

Romantik

Oleh Schleiermacher, Hermeneutika dipakai dalam upaya 

untuk me nyelesaikan problem dan konflik berkaitan dengan pe￾naf siran teks. Pertama-tama Schleiermacher ingin memperjelas 

kembali wilayah dan kondisi penafsiran teks yang sebenarnya, 

baik yang berhubungan de ng an teks itu sendiri maupun yang 

berkaitan dengan penafsirnya. Dalam hubungannya dengan kitab 

suci, Schleiermacher dapat dikatakan ingin memilah terlebih dahulu 

antara dimensi sakral dan dimensi profan dalam variabel-variabel 

aktifitas menafsirkan tersebut, sehingga orang tidak terjebak dalam 

klaim ‘sakral’ terhadap sesuatu yang sebenarnya ‘profan’, karena 

agaknya dalam dimensi inilah benturan sering terjadi.

Meskipun sebelum Schleiermacher telah ada perdebatan 

mengenai penafsiran yang sakral dan yang profan, tetapi Schleier￾macherlah yang berka ta bahwa variabel-variabel terpenting dari 

aktifitas penafsiran yang berkait de ngan dimensi sakral dan profan 

dari teks tersebut dapat dideteksi dari pembe daan antara teks itu 

sendiri dari aspek gramatikalnya dan kondisi-kondisi psikologis 

yang tidak terelakkan dalam diri seorang penafsir ketika ia me ma￾ha mi teks apapun.

Teori hermeneutik Schleiermacher ini secara garis besar 

berkisar dalam dua wilayah:

1. Pemahaman gramatikal terhadap ciri-ciri bentuk ekspresi 

dan bentuk bahasa dari satu budaya dimana “sang pe￾ngarang” berada dan dimana kondisi-kondisi tersebut 

menentukan pemikirannya.

2. Pemahaman teknis atau psikologis terhadap ciri khas 

subyektifitas atau kreatifitas “sang pengarang”.11

Dengan dua hal ini diharapkan seorang penafsir dapat me￾mahami “sang pengarang” bahkan seringkali dengan “lebih baik” 

dibandingkan pemahaman “sang pengarang” terhadap diri nya 

sendiri. Mungkin pernyatan ini terasa aneh dan lucu, tetapi apa￾bila ditelaah lebih mendalam, pernyataan tersebut dapat di pahami. 

Seorang penafsir, ketika ia menafsirkan sesuatu, sering kali tidak 

sadar akan kondisi-kondisi psi kologis dan sosial di seputardiri￾nya yang turut ‘bermain’ dan menentukan pola dan cara pe￾nafsiran nya, sehingga tak jarang seorang penafsir meng anggap 

bahwa tafsir yang dihasilkannya bersifat obyektif dan tidak ber￾pihak, dan merepresentasikan makna teks yang paling ‘benar’. 

Akibatnya, penafsir tersebut tidak mampu untuk menempatkan 

hasil penafsiran nya dalam porsi dan proporsi yang tepat. Kondisi 

semacam inilah yang kemudian ingin diurai oleh hermeneutika. Ketika seseorang dengan kaca mata hermeneutik membaca ke m bali 

tafsir tersebut, ia tidak hanya ber henti kepada teks yang ber￾posisi sebagai hasil penafsiran si penafsir tersebut, tetapi lebih 

jauh ia akan melacak konteks historis dan psikologis dari sang 

penafsir, sehingga kemudian ia mendapatkan kejelasan tidak saja 

mengenai apa yang dimaksud oleh si penafsir, tetapi ia bahkan 

mampu untuk menemukan dasar, landasan serta latar belakang pe￾nafsiran yang dimaksud. Tidak mengherankan apabila kemudian 

ia pun mendapatkan ‘pemahaman’ yang lebih baik dari penafsir 

itu sendiri, karena dengan pemahamannya yang ‘utuh’ tersebut ia 

dapat menempatkan tafsir yang dimaksud sesuai dengan porsi 

dan proporsinya.

Bertolak dari ide-ide yang diajukan oleh Schleiermacher 

inilah selanjut nya hermeneutika moderen menyusun konsepnya 

dengan patokan empat pertanyaan:

1. Bagaimana untuk memahami teks dan kondisi-kondisi 

apa saja yang mungkin melingkupinya?

2. Bagaimana “ilmu-ilmu kultural” itu berbeda, baik dalam 

metode maupun dalam bentuknya, dari “ilmu-ilmu natural”?

3. Kondisi apa sajakah yang memungkinkan munculnya 

satu pemahaman tertentu?

4. Bagaimana kita bisa menjelaskan konsep-konsep tertentu 

yang ruwet apabila dikaitkan dengan konsep- konsepse￾per ti pemahaman dan makna, dan bagaimana pen jelas￾an tersebut bisa membantu kita untuk memahami yang 

harus dilakukan dalam penafsiran?12

Konsep-konsep yang diajukan oleh hermeneutika ini bisa 

dikatakan seba gai pendobrak metode penafsiran yang konven￾sional. Sebelum berkembangnya hermeneutika moderen, bisa 

dikatakan sebagian besar penafsiran dilandaskan kepada asumsi 

bahwa satu teks tertulis itu memiliki “kehidupan” -nya sendiri dan 

terbebas dari “sang pengarang”-nya, dimanauntuk me maha mi nya 

hanya perlu sedikit, atau bahkan tidak perlu sama sekali me￾mahami maksud dan tujuan pengarang saat menulisnya.

B. Hermeneutika sebagai Metode Filologi

Dalam laju perkembangannya, hermeneutika mengalami peru￾bah an dalam memperlakukan sebuah teks. Perkembangan ini me￾ram bat sejalan de ngan berkembangnya rasionalisme dan filologi 

di abad pen cerahan. Dalam wilayah ini, sekalipun suatu teks ber￾asal dari kitab suci, harus juga di perlakukan sebagaimana teks￾teks buku lainnya. Semua teks dipandang sama-samamemiliki 

keterkaitan dengan sejarah ketika teks itu muncul. Mengenai hal ini 

Palmer mengutip kata Johan August Ernesti (1761) “Pemahaman 

secara verbal terhadap kitab suci harus tunduk dibawah aturan 

yang sama dengan yang dilakukan terhadap teks lain.”13

Dengan adanya perkembangan pemikiran dan semenjak ter￾jadi nya pencerahan, metode hermeneutika sebagai penafsiran kitab 

suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran “sekular” 

seperti filologi. 

Sumbangan yang sangat berarti dalam memperkaya penger￾tian herme neutika ini berasal dari seorang teolog moderen yang 

bernama Rudolf Bultman. Konsepnya yang termasyhur ada￾lah Demito logisasi dalam membaca dan menafsirkan kitab suci. 

Demitologisasi disini bukan berarti membuang sama sekali cerita￾cerita yang dianggap mitos karena dianggap se ke dar dongeng, 

tetapi berarti mempersepsikan mitos sebagai ungkapan simbo￾lis mengenai satu realitas dengan mempergunakan gambaran￾gambaran, kiasan-kiasan dan lukisan-lukisan. Dengan demiki￾an persoalannya bukanlah bagaimana melenyapkan mitos tetapi 

bagaimana menafsirkannya secara eksis tensial dan mendemit olo gi￾sasikannya.14

Pola Demitologisasi ini agaknya banyak dipakai oleh para 

pembaharu agama untuk mendobrak umat beragama dari keter￾kungkungan tekstual dan menerima apa adanya berbagai ‘mitos’ 

dan simbol-simbol keagamaan tanpa berusaha meng ungkap 

muatan makna yang ter kandung dibalik ‘mitos’ atau simbol ter￾sebut atau menerapkan makna yang dimaksud dengan kon￾tekskekini an, sehingga simbol dan mitos tersebut menjadi ‘diam’ 

dan tidak memiliki fungsi lagi. Diantara para pembaharu muslim 

awal upaya demitologisasi ini nampak misalnya di India dikenal 

Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang ber usaha 

melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang 

dianggap bersifat mitologis, seperti mengenai mukjizat dan hal￾hal gaib dan di Mesir sangat dikenal Muhammad Abduh yang 

melakukan penafsiran Al-Qur’an dalam pola yang sama meng￾hadapi urusan-urusan gaib yang oleh banyak penafsir awal makna 

yang sebenarnya hanya ‘di pasrahkan’ kepada Allah.

Memahami ungkapan simbolis atau tanda-tanda berarti 

memahami konteks kehidupan manusia yang disimbolkan dan 

ditandakan. Bahasa me rupakan bagian dari simbol pikiran ma￾nusia yang diikat oleh huruf atau kata atau kalimat. Ketika se￾seorang memahami teks yang berasal dari kontek zaman yang 

berbeda pastilah ia akan berhadapan dengan satu teks yang 

“asing”. Untuk inilah dalam perkembangan selanjutnya, seorang 

tokoh hermeneutik bernama Wilhelm Dilthey mengajukan konsep 

historical understanding15 atau menurut istilah Palmer sebagai 

kesadaran sejarah (historical conciousness).16

C. Hermeneutika sebagai Linguistik

Pada perkembangan selanjutnya, hermeneutika tidak cukup 

hanya dipersepsikan sebagai hermeneutika filologis saja, namun 

lebih jauh merupa kan satu disiplin pemahaman linguistik. Dalam 

pengertian ini hermeneutika melangkah lebih jauh ke balik teks dan 

merupakan satu disiplin ilmu yang memaparkan kondisi-kondisi 

yang pasti ada dalam setiap penafsiran. Karena itu hermeneutika ini 

tidak bisa disebut sebagai hermeneutika filologis, tetapi lebih tepat 


dikatakan sebagai herme neutika umum (allgemeine hermeneutik) 

yang menjadi landasan bagi semua bentuk interpretasi teks.17

Sebagai “kelanjutan” dari hermeneutika filologis, hermeneutika

jenis ini menyatakan bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak 

sama sekali asin g dan tidak sepenuhnya biasa bagi seorang 

penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi dengan mencoba 

membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi 

batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain 

harus juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga 

dapat mereproduksi pengalaman sang pengarang.

Asumsi dasar bahwasanya suatu teks itu tidak sepenuhnya 

asing dan tidak sepenuhnya akrab bagi seorang penafsir, di satu 

sisi me nunjukkan bahw a setiap penafsir pada dasarnya melakukan 

rekonstruksi makna berdasarkan apa yang tidak asing baginya dan 

di sisi yang lain melakukan reproduksi makna dengan mengaitkan 

yang tidak asing tersebut dengan ‘keunikan’ diri nya sebagai anak 

zaman tertentu dan anak paradigma pemikiran tertentu.

D. Hermeneutika sebagai Pondasi Geisteswissenschaften

Dalam perkembangan selanjutnya muncul Wilhelm Dilthey, 

seorang filosof sejarah, yang digelisahkan oleh ketiadaan metode 

yang tepat bagi ilmu-ilmu kultural (humaniora), sementara ilmu￾ilmu kealaman dengan metode ilmiah nya telah menemukan metode 

yang dianggap layak dan memadai. Kegelisahan ini membawa 

Dilthey untuk menelaah hermeneutika yang diperkenal kan oleh 

Schleiermacher. Dari sinilah kemudian Dilthey menarik kesimpulan 

bahwa herme neutika sebenarnya layak untuk dipertimbang kan 

sebagai landasan epistemologis bagi ilmu-ilmu kultural (huma niora), 

dan tidak sekedar sebagai ilmu pemahaman atau penafsiran teks.

Hermeneutika Dilthey ini sangat jelas didasarkan kepada pem￾bedaan antara metode dalam ilmu-ilmu kultural dan ilmu-ilmu natural. 

Metode untuk ilmu-ilmu kultural adalah pemahaman (vers tehen), 

sementara dalam ilmu-ilmu natural adalah penjelasan (erklar￾en). Ilmuwan natural menjelaskan peristi wa-peristiwa dengan berpedoman kepada hukum-hukum alam universal sementara 

para ahli sejarah tidak menemukan atau memakai hukum-hukum 

tersebut, tetapi lebih berusaha untuk memahami perilaku manu￾sia dengan mencari perhatian, tujuan, keinginan dan karakternya. 

Perilaku tersebut bisa di pahami sebab perilaku manusia, berbeda 

dengan peristiwa alam, memiliki unsur “da l a m” yang bisa kita pa￾hami sebab mereka dan kita sama-sama manusia. Memahami de￾ngan demikian adalah menemukan “Aku” di dalam “Kamu”, dan 

hal ini mungkin sebab adanya kesamaan sebagai manusia.

Aktifitas pemahaman historis amat dibutuhkan untuk menafsir￾kan eks pr es i kehidupan manusia, baik itu karya sastra, hukum 

atau kitab suci yang tentunya melibatkan pengetahuan terhadap 

makna manusia.18

Dilthey mengembangkan satu teori yang komplek dan men￾dalam menge nai pengalaman (erlebnis) dan hubungannya dengan 

beragam bentuk ekspresi yang menjadi dasar bagi filsafat antro￾pologi dan juga epistemologi yang menurutnya harus ada dalam 

merumuskan hermeneutika sebagai dasar bagi disiplin ilmu-ilmu 

kultural. 

Hermeneutika dalam hal ini dijadikan sebagai metode untuk 

memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, se￾hingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks saja, 

tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk 

sinyal dan simbol, praktek sosial, kejadian-keja dian sejarah dan ter￾masuk juga karya-karya seni.19

Dengan posisi ini maka hermeneutika membutuhkan peng￾galian ter hadap prinsip-prinsip epistemologis sehingga bisa dipakai 

oleh ilmu-ilmu kultural sebagaimana prinsip-prinsip Kant yang 

diterapkan kepada Fisika Newtonian. Kalau Kant mengembangkan 

critique of pure reason maka bisa dikatakan Dilthey mencurahkan 

usahanya untuk critique of historical reason.

Menurut Dilthey, satu peristiwa sejarah itu dapat dipahami 

dengan tiga proses:

1. Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.

2. Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka 

yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa 

sejarah.

3. Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan 

yang berla ku pada saat sejarawan yang bersangkutan 

hidup.21

E. Hemeneutika sebagai Pemahaman Eksistensial

Adalah Martin Heidegger yang telah mengembangkan her￾meneutika dengan muatan-muatan filosofis yang sama sekali baru 

dan berbeda dengan pengertian hermeneutika lainnya. Analisa￾analisanya mengenai keberadaan manusia di dunia, sebagaimana 

dalam masterpiece-nya, Being and Time (1972), ia sebut sebagai “Hermeneutika dasein”.

Bagi Heiddeger hermeneutika berarti penafsiran esensi (being). 

Dalam kenyataannya, esensi itu selalu tampil dalam eksistensi. 

Suatu peristiwa kebe naran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian 

antara konsep dan realita obyektif atau adequatio, tetapi dilihat 

sebagai peristiwa tersingkapnya esensi tersebut. Semen tara itu, 

satu-satunya wahana bagi penampakan diri being tersebut adalah 

eksistensi manusia; maka hermeneutik tidak bisa lain dari pada 

penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein) melalui bahasa.22

Maka menurut Heidegger, hermeneutika bukan sekedar ber￾arti metode filologi ataupun geisteswissenschaft, akan tetapi me￾rupakan ciri hakiki manusia. Hermeneutika adalah ciri khas yang 

sebenarnya dari manusia. Memahami dan menafsirkan adalah 

bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia. Dengan kata 

lain, hermeneutika lebih dari sekedar pengungkapan fe no me nologi 

eksistensi diri manusia. Bisa dikatakan “hermeneutika dasein” dari 

Heidegger ini membahas hermeneutika baik dari segi bentuk ke￾beradaannya, maupun dari segi metodenya. Di satu sisi herme￾neutika dikaitkan dengan dimensi ontologis dari pemahaman dan 

segala implikasinya, sementara di sisi lain ia diidentifikasi sebagai 

satu bentuk fenomenologi.23

Bila pandangan Heidegger ini dianggap menindaklanjuti 

metode feno menologi gurunya, Edmund Husserl, maka visi pemi￾kiran Heidegger sendiri diteruskan oleh Hans Georg Gadamer 

dengan bukunya truth and methods, dimana ia menyumbangkan satu 

tulisan sistematis yang kemudian dianggap mewakili kelompok “hermeneutika filosofis”. 

Gadamer memandang hermeneutik sebagai einethorie der 

wirklichen erfahrung, yaitu suatu usaha falsafati untuk memper￾tanggungjawabkan pemahaman (verstehen) sebagai proses ontologis 

dalam manusia. Pemahaman sendiri bukan proses sub yektif 

manusia yang dihadapkan pada suatu obyek, bukan pula suatu 

metode obyektifitas. Lebih dari itu pemahaman adalah modus 

existensi manusia. Peristiwa pemahaman senantiasa merupakan 

peristiwa historikal, dialektik dan kebahasaan.24

Lebih jauh dari Heidegger, Gadamer tidak hanya mengaitkan 

herme neutika dengan pemahaman historis secara filosofis, namun 

juga mem bawanya pada wilayah linguistik, karena hermeneuti￾ka berhubungan dengan sesuatu itu melalui bahasa. Salah satu 

pernyataannya yang amat terkenal adalah: “Being that can be 

unders tood is language”. Pada akhirnya, karakter linguistik ma￾nusia itu sendiri dan hermeneutika akan berhadapan dengan 

pertanyaan- pertanyaan yang sangat filosofis mengenai hubungan 

antara bahasa dengan sesuatu, juga mengenai pemahaman, sejarah, 

ekistensi dan realitas.25

Berkait dengan aktifitas pemahaman teks tertulis, Gadamer 

menyatakan bahwa horison yang terlibat tidak boleh dibatasi hanya 

pada apa yang di maksud oleh pengarang atau penulisnya saja, 

atau hanya kepada audience yang dituju oleh tulisan itu saja.26

Ada empat hal yang selalu ada dalam interpretasi menurut 

Gadamer, yaitu:

1. Bildung, yaitu pembentukan jalan pikiran.

2. Sensus Communis, yaitu pertimbangan praktis yang baik.

3. Pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus 

atas dasar pandangan tentang yang universal.

4. Selera, yaitu keseimbangan antara instink panca indera 

dengan kebebasan intelektual.27

Keempat hal yang ada dalam penafsiran tersebut menyiratkan 

bahw a sanya sebenarnya setiap pemahaman dan pengalaman me￾mahami manusia itu unik dan tidak sama. Karena inilah agaknya 

Gadamer sangat memb e n ci adanya pemutlakan satu metode 

untuk mencapai kebenaran. Di mata Gadamer, metode-metode 

yang dianggap sudah final dan valid untuk mencapai kebenaran 

itu pada gilirannya akan menjadai suatu ‘penjara’ dalam dunia 

pencarian kebenaran itu sendiri. Tidak heran jika kemudian 

Gadamer memandang hermeneutika tidak sebagai metode untuk 

memahami, tetapi sebuah ‘seni’.

Dalam memahami tradisi, dan juga termasuk teks masa 

lampau, Gadamer merumuskan satu teori yang dikenal sebagai 

“effective history”. Teori ini m elihat adanya tiga kerangka waktu 

yang menjadi wilayah teks. Pertama, masa lampau dimana teks 

itu dilahirkan atau dipublikasikan. Dari teks masa lampau ini 

teks bukan milik si penyusun lagi, melainkan milik setiap orang. 

Mereka b ebas menginterpretasikannya. Kedua, masa kini yang 

didalamnya ada para p e naf sir dengan prejudice (persangkaan) 

masing-masing. Prasangka-prasangka tersebut pada akhirnya 

akan berdialog dengan masa sebelumnya se hingga akan muncul 

satu penafsiran yang sesuai dengan kontek sang penafsir. Ketiga, 

masa depan, dimana didalamnya terdapat nuansa yang baru yang 

produktif. Dalam masa depan inilah terkandung effective history.28

Dalam kerangka effective history inilah kemudian terjadi 

“Fusion of Horizons” atau “percampuran antar horison”. Ketika 

suatu aktifitas memahami dan menafsirkan terjadi, sebenarnya yang 

sedang berlaku adalah suatu percampuran dan pertautan antar 

horison yang terlibat dalam penafsiran tersebut, setidaknya yang 

terlibat tersebut adalah horison pengarang dan segala hori son 

yang melingkupi pengarang tersebut, horison teks dan horison￾horison yang melingkupi teks tersebut, serta horison penafsir dan 

horison-horison yang lain yang melingkupinya. Horison-horison lain 

yang dimaksud ini misal nya keberadaannya dalam ling kungan 

tertentu, negara tertentu, atau kondisi psikologis tertentu.

F. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi

Setelah hermeneutika mengalami beragam pendefinisian 

di tangan beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori pe￾nafsiran konvensional sampai merupakan bagian dari metode filsafat, 

maka kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Riceour 

yang menarik kembali diskursus herme neutika ke dalam kegia￾tan penafsiran dan pemahaman teks (textual exegesis). Dalam 

buku nya De l’interpretation (1965) dia mengatakan hermeneutika

adalah “teori mengenai aturan-aturan mengen ai pe nafsiran, yai￾tu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau 

simbol yang dianggap seba gai teks”.29

Hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terda pat 

dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung- selu bung 

yang menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguh￾nya sehi ngga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol￾simbol.

Bagi Riceour langkah pemahaman itu ada tiga, yaitu:

1. Langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol.

2. Pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cer￾mat atas makna

3. Langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan 

simbol sebagai titik tolaknya.31

Lebih jauh Riceour memberi contoh bahwasanya psikoanalisa, 

khusus nya penafsiran terhadap mimpi adalah salah satu bentuk 

hermeneutika. Semua unsur hermeneutik ada disana: mimpi itu 

sendiri sebagai teks yang penuh dengan gambaran-gambaran 

simbolik, dan seorang psikoanalis dengan satu sistem penafsiran 

tertentu akan berusaha untuk memahami dan menampilkan makna 

yang sebenarnya. Maka bisa di katakan bahwa hermeneutika ada￾lah satu proses penguraian dari muatan yang sebenarnya menuju 

muatan yang tersembunyi atau yang terpendam.

Menurut Riceour, ada dua macam sindroma mengenai 

herme neutik dalam masa moderen ini: yang pertama adalah mo del 

demitologisasi ala Bultman yang menggarap simbol untuk me nemu￾kan makna yang tersembunyi di baliknya, sementara yang kedua 

adalah demistifikasi yang berusaha untuk menghancurkan simbol￾simbol karena merupakan representasi dari realitas yang palsu. 

Tiga tokoh demistifikasi yang di contohkan oleh Riceour ada lah 

Marx, Nietsche dan Freud. Ketiga orang ini melihat realitas yang 

nampak sebagai sesuatu yang tidak sebenarnya dan berusaha 

untuk merombaknya. Mereka melakukan satu interpretasi terhadap 

realitas yang “menyimpang” dan upaya itu bisa dikatakan sebagai 

satu “hermeneutika baru”.32

Karena adanya perbedaan dari dua pendekatan dalam 

menafsirkan simb ol tersebut, menurut Riceour tidak ada aturan 

universal dalam penafsiran. Demitologisasi memperlakukan simbol 

atau teks sebagai jendela untuk sampai kepada realitas, sementara 

demistifikasi memandang simbol sebagai realitas menyimpang 

yang harus dimusnahkan.33

Itulah enam kategori pendefinisian hermeneutika yang di￾laku kan oleh Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutics: 

Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heiddeger and 

Gadamer. Berbeda dengan Palmer yang membagi hermeneutika ke da￾lam enam kategori, Josef Bleicher dalam bukunya Contemporary 

Hermeneutics mem bagi hermeneutik menjadi tiga, yaitu herme￾neutika sebagai sebuah metodologi, hermeneutika sebagai filsafat 

dan hermeneutika sebagai kritik.34

Pembahasan hermeneutika sebagai metodologi menyangkut 

ber bagai hal yang terkait dengan hermeneutik secara meto dolo￾gis. Dalam wilayah ini dikaji menganai teori-teori umum tentang 

interpretasi sebagai metodologi da l a m ilmu-ilmu kemanusiaan 

(geisteswissenschaft). Berkait dengan teks, pada wilayah ini 

dinyata kan bahwa seseorang itu tidak mempunyai akses langsung 

kepada penulis (pengarang) yang disebabkan oleh adanya per￾bedaan ruang, waktu dan tradisi.

Sementara itu filsafat hermeneutika dikenalkan oleh Heiddeger 

dan Gadamer yang berprinsip tidak memakai prosedur metodologi 

umum untuk menemukan pengetahuan obyektif. Bentuk pemaha￾man yang ditekankan dalam hal ini adalah pengungkapan dasein

dalam aspek temporalitas dan historis nya. Adapun kritik herme￾neutik dikembangkan antara lain oleh Apel dan Habermas. 

Pendefinisian-pendefinisian dan perkembangan persepsi ter￾hadap her me neutika tersebut menunjukkan bagaimana kronologi 

pemahaman manusia terhadap hermeneutika. Meskipun terdapat 

beragam pendefinisian terhadap hermeneutika sebagaimana ter￾sebut dimuka, secara umum bisa dikatakan bahwa hermeneutika

merujuk pada teori penafsiran, baik yang ditafsir kan itu teks atau 

sesuatu yang diperlakukan sebagaimana teks. Seperti apapun 

bentuk pembacaan, pemahaman dan penafsiran yang dilaku￾kan seseorang terhadap teks maupun sesuatu—termasuk real￾itas—yang diperlakukan sebagai teks, maka dapat dikatakan bah￾wapembacaan, pemahaman dan penafsiran tersebut merupakan 

sebentuk hermeneutika tersendiri. Tidak heran apa bila kemudian 

term hermeneutika ini menjadi sangat populer dan umum ser￾ta be ragamdalam ber bagai disiplin keilmuan, termasuk satu di￾antaranya adalah “hermeneutika Qur’ani”. Sebagai suatu metode 

penafsiran, dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah sebuah 

bidang kajian yang membahas mengenai bagaimana menggu￾nakan instrumen sejarah, filologi, manuskriptologi, dan lain se￾bagainya sebagai sarana untuk memahami maksud dari suatu 

obyek yang ditafsirkan.35

Di sisi lain, wilayah hermeneutika juga menggarap proses 

dan asumsi -asumsi yang berlaku dalam suatu pemahamn dan 

penafsiran tertentu sebagaimana dijelaskan dalam hermeneutika

filosofis. Ini berarti, hermeneutika dalam dimensi filosofis—mung kin 

lebih tepatnya: epistemologis—nya dapat didefinisikan sebagai 

suatu “pemahaman ter hadap pemahaman”. Ibarat “ce rita ber￾bing kai” dalam dunia sastra, maka hermeneutika adalah suatu pe￾mahaman terhadap suatu pemahaman yang dilakukan seseorang 

dengan menelaah proses dan asumsi-asumsi yang berlaku da￾lampemahaman tersebut, termasuk diantaranya konteks- konteks 

yang melingkupi dan mempe ngaruhi proses tersebut. Hal ini se￾cara umum dilakukan setidaknya untuk dua tujuan: pertama, untuk 

me letakkan hasil pemahaman yang dimaksud dalam porsi dan 

proporsi yang sesuai dan kedua,untuk melakukan suaru “repro￾duksi”makna dari pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk 

kontekstualisasi. Menariknya, pada gilirannya, pemahaman ter￾hadap pemahaman ini akan juga menjadi obyek pemahaman dan 

di perlakukan sebagaimana ia memperlakukan pemahaman sebe￾lum nya; dan demikianlah seterusnya proses semacam ini ber￾lanjut tanpa harus terjadi overlapping dalam pemahaman karena 

pemahaman-pemahaman yang baru dalam kerang hermeneutika

ini selalu mempertimbangkan konteks ketika pemahaman dilaku￾kan.

Kondisi hermeneutika yang semacam ini seringkali meng￾undang kriti k akan adanya muatan “relativisme” di dalamnya. 

Ada nya perubahan dan perkembangan pemaknaan terhadap teks 

tidak jarang memunculkan tuduhan bahwasanya bagi hermeneu￾tika tidak ada kebenaran yang obyektif, semua nya tergantung ruang 

dan waktu, ringkasnya: kebenaran bagi hermeneutika itu relatif. 

Kritik ini dapat dijawab dengan dua cara: 

Pertama, apa yang dimunculkan oleh hermeneutika dengan 

keniscayaan terlibatnya konteks dalam pemahaman dan penafsir￾an tersebut sebenarnya bukanlah sebuah asumsi yang semena￾mena. Hermeneutika pada dasarnya hanyalah mengekspose 

rea litas yang sebenarnya dari suatu pemahaman dan penafsir￾an. Disadari atau tidak seorang yang memahami itu pasti ter￾kondisikan oleh konteks-konteks yang berhubungan dengan diri￾nya; baik konteks psikologis maupun konteks sosial budaya tempat 

ia ber ada. Dengan kata lain, seandainya—sekali lagi: seandainya—

benar bahwa dalam pandangan herme neutika makna itu men￾jadi relatif, maka itu bukanlah ‘salah’ hermeneutika, tetap i kodrat 

manusia lah yang menuntut pandangan semacam itu.

Kedua, ‘reproduksi’ makna melalui pemahaman yang baru yang 

di l aku ka n oleh hermeneutika terhadap teks atau sesuatu yang 

diperlakukan sebagai teks itu tidak dapat dikatakan menciptakan 

satu makna baru yang sama sekali berbeda dan tidak berkaitan 

dengan makna atau pemahaman lama. Dalam hal ini hermeneu￾tikas hanyalah melakukan sebentuk “kontekstualisasi’, dalam arti 

menyelaraskan pemahaman atau makna suatu teks de ngan konteks 

keti ka pemaknaan dan pemahaman tersebut berlangsung agar 

teks yang dimaksud dapat fungsional dan operasional. Dengan 

model semacam ini maka tidak dapat dikatakan bahwa mak￾na dalam hermeneutika itu ‘relatif’, karena sebenar nya ada yang tidak berubah, yaitu teks dan makna esensial dari teks itu sendiri; 

hanya saja pemahaman dan pemaknaan ‘baru’ yang dilakukan 

terhadap nya meng alami penyesuaian.


A

da dua hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manu￾sia; dua hal itu menjadi garis demarkasi yang membeda kan 

manusia dari se gala entitas kehidupan lainnya di muka bumi 

ini. Dua hal yang dimaksud adalah memahami dan menafsir kan. 

Berkait dengan aktifi tas memahami dan menafsirkan ini, dalam 

sejarah intelektual manusia banyak ditemui para tokoh di bidang 

ke ahliannya masing-masing yang berusaha merumuskan apa dan 

bagaimana kondisi dan cara memahami yang akurat, tepat, la￾yakdan benar. Berbagai teori, konsep dan disiplin keilmuan pun 

muncul khusus untuk meng urusi bidang ini; satu diantaranya adalah 

Herme neutika. 

Beberapa tahun terakhir ini, kajian-kajian mengenai Herme￾neutika maupu n kajian-kajian yang memanfaatkan Hermeneutika 

sebagai pendekatan sema kin “populer” dan dipakai oleh para 

ilmu wan dari berbagai bidang kaji a n, seperti para kritikus sastra, 

sosio log, sejarawan, antropolog, dan filosof. Popularitas herme￾neutika ini harus dikatakan mengiringi perubahan paradigma ber￾pikir manusia secara umum, khususnya yang terjadi dalam dunia 

ilmiah akademik. Sebagaimana diketahui, baik dalam era Yunani, 

era skolastik abad pertengahan, maupun era modern, para￾digma berpikir manusia senantiasa “terpusat’. Era Yunani di kenal 

kosmosentris (berpusat pada alam), era skolast i k terkenal de￾ngan nalarnya yang teosentris (berpusat kepada Tuhan) dan era 

moderen terbukti bercorak antroposentris (berpusat pada manu￾sia). Biasanya, sebuah paradigma berpikir yang serba sentris ini 

membawa implikasi hegemoni dan otoritarianistik, yaitu dominasi 

pemaknaan dan kebenaran oleh ide-ide dan pikiran yang sejalur 

dengan sentris yang berlaku, sehingga segala orientasi berpikir 

lain menjadi terpinggirkan dan tersub-ordinasi. 

Seiring dengan munculnya berbagai kritik terhadap modernis￾me, para digma serba terpusat ini mulai dipertanyakan. Secara 

komulatif kritik- kriti k tersebut dapat dikatakan melahirkan paradig￾ma baru yang biasadisebut seba gai pasca-moderen. Paradigma 

baru ini secara umum membawa isu besar ‘anti-sentris’. 

Ada dua kesadaran utama yang menjadi pemicu paradigma 

baru ini, yait u kesadaran kontekstualitas dan kesadaran progresifi tas. 

Kesadaran konteks tualitas berarti kesadaran bahwa setiap orang, 

setiap kelompok orang atau se ti a p komunitas sosial- budaya tertentu 

berperilaku dan bernalar sesuai denga n konteks kehidupannya; 

baik konteks historis, sosial-budaya-politik, maupun konteks psikolo￾gis. Konteks inilah yang dipandang menentukan apa yang mereka 

serap (internalisasi) dan apa yang mereka ekspresikan melalui 

pikiran dan perbuatan (eksternalisasi). Sementara itu kesadaran pro￾g resifitas berarti kesadaran akan dinamika dan perkembangan 

dalam kehidupan. Kesadaran progresifitas ini mengasumsikan 

bahwa kehidupan manusia itu tidak statis atau mandeg, tetapi se￾nantiasa terjadi proses dialogis dan dialektis antar variabelnya yang 

pada gilirannya memunculkan sesuatu yang baru, atau setidak nya 

sesuatu yang berbeda. Meskipun mungkin tidak persis seperti 

rama lan Hegel bahwa perkembangan tersebut secara umum ber￾gerak ke arah yang lebih rasional dan lebih baik, namun yang 

jelas perkembangan dan perubahan itu ada dan terjadi, bahkan 

terus menerus. 

Kedua kesadaran diatas pada gilirannya akan membawa 

kepada sebuah asumsi yang menjadi fokus utama para tokoh pasca moderen, ‘pluralitas’. Kesimpulan bahwa kehidupan itu plu￾ral didasarkan pada fakta bahwa konteks hidup manusia itu be ragam 

serta kenyataan bahwa hidup manusia itu se nantiasa dinamis. 

Asumsi pluralitas ini mengimplikasikan sebuah kritik kepada para￾digma berpikir sebelumnya yang serba sentris. Dengan meyakini 

asumsi pluralitas ini maka muncul tuntutan untuk mengakui bah￾wa tidak ada satu pun teori, konsep maupun sentris yang mam￾pu mengakomodasi secara total dan mampu memberikan analisis 

holistik yang bisa mencakup segala dimensi hidup manusia yang 

kompleks. Setiap teori, setiap konsep, juga setiap pemahaman 

dan penafsiran terhadap kehidupan dan segala aspeknya pasti 

mengan dung sebentuk reduksi, yaitu ‘pemangkasan’ realitas karena 

keterbatasan perspektif untuk mampu mengakomodasi seluruh 

kenyataan hidup.

Berdasarkan asumsi inilah selanjutnya hermeneutika mene￾mukan posisinya yang strategis, karena sebagai sebuah disiplin 

kajian yang menggarap wilayah pemahaman dan penafsiran 

manu sia terhadap realitas hidupnya—dalam aspek apapun—, 

hermeneutika sejak awal sangat menimbang pluralitas. Dengan 

menimbang asumsi pluralitas ini hermeneutika sejak awal mene￾gaskan bahwa konteks dalam setiap horison kehidupan manusia, 

baik pada dataran individu, sosial, budaya maupun politik, sangat 

‘bermain’ dan mempengaruhi pola pemahaman dan juga ekspresi 

hasil pemahaman tersebut.

A. Hermeneutika dan Ilmu Tafsir Al-Qur’an

Meskipun Hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk “menaf￾sirkan” berbagai bidang kajian keilmuan, melihat se jarah kelahiran 

dan per kembangannya, harus diakui bahwa peran Hermeneutika 

yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik 

teks, khususnya kitab suci. Mengenai hal ini Roger Trigg, sebagai￾mana dikutip oleh Komaruddin Hidayat dalam bukunya Memahami 

Bahasa Agama berkata:

The Paradigm for hermeneutics is the interpretation 

of a tradi tional text, where the problem must always 

be how we can come to understand in our own 

context something which was written in a radically 

different situation.1

Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian 

kitab suci, keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan 

dari dunia kitab suci Al-Qur’an. Menjamurnya berbagai literatur 

Ilmu Tafsir kontemporer yang menawar kan hermeneutika sebagai 

variabel metode pemahaman Al-Qur’an me nunjukkan betapa 

daya tarik hermeneutika memang luar biasa. Hassan Hanafi dalam 

tulisan nya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bah￾wa Hermeneutik itu tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pe￾mahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan 

wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu 

tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos 

sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan 

kepada kehidupan manusia.2

Sebenarnya, term khusus yang digunakan untuk menunjuk 

kegiatan inter pretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah “tafsir”.3

Kata yang asal nya dalam bahasa Arab fassara atau fasara ini 

digu nakan secara teknis dala m pengertian eksegesis di kala ngan 

orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang.4

 Sementara itu istilah 

Hermeneutik sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya taf￾sir Al-Qur’an klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini —ka￾laumelihat sejarah perkembangan Hermeneutika Moderen—mulai 

populer beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkemba￾ngan pesat teknologi informasi dan juga the rise of education 

yang melahirkan banyak intelektual muslim kontemporer. Meski 

demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya Qur’an: Pluralism 

and Liberation, praktek Hermeneutik sebenarnya telah dilakukan 

oleh Umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al￾Qur’an. Bukti dari hal itu adalah:

1. Problematika Hermeneutik itu senantiasa dialami dan di￾kaji, mesk i tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti 

dari kajian-kajian mengenai asbabun-nuzul dan nasakh￾mansukh.

2. Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terha￾dap Al-Qur’an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode 

penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur￾literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir. 3. Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori￾kategori, misal nya tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, 

tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan 

adanya kesadaran tentang kelompok -kelompok tertentu, 

ideologi-ideologi tertentu, periode- periode tertentu, maupun 

horison- horison sosial tertentu dari tafsir. 5

Ketiga hal ini jelas menunjukkan adanya kesadaran akan 

historisitas pemahaman yang berimplikasi kepada pluralitas penafsir￾an. Oleh karena itu, meskipun tidak disebut secara definitif, dapat 

dikatakan corak hermeneutik yang berasumsi dasar pluralitas pe￾mahaman ini sebenarnya telah memiliki bibi-bibitnya dalam Ulumul 

Qur’an klasik.

Operasional Hermeneutika Moderen dalam penafsiran Al￾Qur’an bisa dikatakan dirintis oleh para pembaharu muslim; seper ti 

di India dikenal Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, 

yang berusaha melakukan demitologisasi6

 konsep- konsep da￾lam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis, seperti menge nai 

mukjizat dan hal-hal gaib. Di Mesir muncul Muhammad Abduh 

yang secara operasional melakukan operasi Hermeneutik dengan 

bertumpu pada analisis sosial- kemasyarakatan. Meskipun demiki￾an, rumusan metodologis mereka ini tidak sistematis dan tidak 

terlalu jelas.

Dalam dekade 1960 sampai 1970-an, muncul tokoh- tokoh 

yang mulai serius memikirkan persoalan metodologi tafsir ini. 

Hassan Hanafi mempubli kasikan tiga karyanya yang ber corak 

Her meneutik; yang pertama berkaitan dengan upaya rekons truksi 

ilmu ushul fiqih, yang kedua berkaitan dengan Hermeneutika 

feno me nologis dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan 

keberagamaan, dan yang ketiga berhubungan dengan kajian kri￾tis terhadapHermeneutika eksistensial dalam kerangka penafsir￾an Perjanjian Baru.7

 Mohammed Arkoun dari Aljazair menelorkan 

idenya menge nai ‘cara baca’ semiotik terhadap Al-Qur’an, dan 

Fazlur rahman merumuskan metode Hermeneutika yang sistematik 

terhadap Al-Qur’an dan dikenal sebagai “double movement”.

Dewasa ini telah banyak pemerhati Al-Qur’an yang melaku kan 

kritik historis dan linguistik yang menjadi ciri khas Hermeneutika. 

Tulisan-tulisan yang menyangkut bidang ini banyak ber munculan, 

baik dari kalangan outside r maup un dari kalangan Umat Islam 

sendiri. Diantara tulisan- tulisan tersebut misalnya Qur’anic 

Hermeneutic: The Views of al-Tabari and Ibn katsir karya Jane 

Mc Auliffe yang menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit 

pada horison sosialnya,8

 lalu tulisan Azim Nandji yang membahas 

tentang teori ta’wil dalam tradisi keilmuan Isma’ili yang banyak mem￾bantu dalam kritik sastra,9

 juga Nasr Hamid Abu Zayd yang de￾ngan intensif menggeluti kajian Hermeneutik dalam tafsir klasik.

Apa yang dilakukan oleh Fazlurrahman, Arkoun, Abu Zayd 

yang lainnya adalah contoh-contoh bagaimana “mengolah” Al￾Qur’an dengan Hermeneutika. Hermeneutika, sebagaimana di se but 

di atas, pada dasar nya merupakan satu metode penafsiran yang 

berangkat dari analisa bahasa dan kemudian melangkah kepada 

analisa konteks, untuk selanjutnya “me narik” makna yang didapat 

ke dalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran terse￾but dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian 

teks Al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi 

adalah bagaimana teks Al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, 

lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemah kan dan didialogkan dengan 

dina mika realitas historisnya. 

Sehubungan dengan pendekatan hermeneutika moderen 

terhadap Al-Qur’an ini, maka perlu diperhatikan tiga hal yang men￾jadi asumsi dasar dalam penafsirannya, yaitu:

1. Para penafsir itu adalah manusia

Siapapun orangnya yang menafsirkan teks kitab suci itu, 

ia tetaplah manusia biasa yang lengkap dengan segala 

kekurangan, kelebihannya dan kesementaraannya karena 

terikat oleh ruang dan waktu tertentu. Dengan asumsi ini 

diharapkan bisa dimengerti bahwasanya manusia itu tidak 

akan bisa melepaskan diri dari ikatan historis ke hidu p an 

dan pengalamannya, dimana ikatan tersebut sedikit banyak 

akan membawa pengaruh dan mewarnai corak penaf￾sirannya. Asumsi ini dimak sudkan untuk tidak memberikan 

vonis “mutlak” benar atau salah kepada suatu penafsir￾an, namun lebih mengarah untuk melakukan pe ma haman 

dan analisa yang kritis terhadap satu penafsiran.

Para penafsir adalah manusia yang membawa “muatan￾muatan” kemanusiaan masing-masing. Setiap gene￾rasi muslim sejak masa Nabi Muhammad, sambil 

membawa “muatan”-nya itu, telah memproduks i komentar￾komentar mereka sendiri terhadap Al-Qur’an. Tidaklah 

meng herankan jika akhirnya ada beragam interpretasi dari 

setiap generasi.11

2. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan 

tradisi

Segala aktifitas penafsiran pada dasarnya merupakan satu 

partisipasi dalam proses historis-linguistik dan tradisi yang 

berlaku, dimana partisipasi ini terjadi dalam ruang dan wak￾tu tertentu. Pergulatan Umat Islam dengan Al-Qur’an juga 

berada dalam “kurungan” ini. Seseorang tidak mung￾kin bisa melepaskan diri dari bahasa, budaya dan tra￾disi dimana mereka hidup. Para pemikir reformis se￾ring menyata kan bahwasanya krisis yang terjadi di dunia 

Islam serta ketidak mampuan umat Islam untuk mem￾berikan satu kontribusi yang berguna bagi dunia kon￾temporer adalah dikarenakan tradisi. Jalan keluar yang 

dianjurkan oleh para reformis itu seringkali adalah de￾ngan meninggal kan ikatan tradisi dan “kembali kepada 

Al-Qur’an”. Pernyataan tersebut sebenar nya tidak selaras 

dengan fakta bahwasanya satu penafsiran itu tidak bisa 

secara sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi pasti 

terkait deng a n muatan historisnya, baik muatan historis 

saat teks itu muncul dan saat teks itu ditafsirkan.12

3. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri

Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuan 

Al-Qur’an itu nampak dalam isi, bentuk, tujuan dan ba￾hasa yang dipakai Al-Qur’an. Hal ini nampak pula misal￾nya dalam pembedaan antara ayat-ayat makkiyah dan 

ayat-ayat madaniyah. Dalam hubungannya dengan pro ses 

pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi, serta dengan ko￾mu nitas masyarakat yang menerimanya di sisi yang lain, 

Al-Qur’an tidaklah “unik”. Wahyu selalu saja merupakan 

komentar terhadap —setidaknya harus dipahami dalam 

kerangka— kondisi masyarakat tertentu diman a wahyu 

itu turun.13

B. Kontribusi hermeneutika terhadap tafsir al-Qur’an

Khazanah Ulumul Qur’an sebagai sebentuk metodologi untuk 

menggarap wilayah penafsiran dan pemaknaan terhadap Al-Qur’an 

harus diakui me miliki tingkat sofistikasi yang luar biasa. Sifat luar 

biasa dari khazanah Ulumul Qur’an ini terbukti dari berlimpahnya 

karya tafsir de ngan berbagai pola, mulai tahlili sampai maudhu’i

dan mulai yang sekedar menafsirkan dengan mencari sinonim 

kata dan ayat hingga yang me lakukan ta’wil secara intuitif dan 

me nafsirkan secara ilmiah. Kenyataan ini mau atau tidak telah 

mem buktikan komprehensifnya Ulumul Qur’an tersebut dalam men￾jembatani jarak antara mufassir dengan Al-Qur’an sehingga 

melahirkan berbagai khazanah tafsir. Sampai di sini mungkin 

kemudian orang akan menyimpulkan bahwa sebenar nya Ulumul 

Qur’an saja telah cukup dan tidak perlu lagi tambahan-tambahan 

meto dologi baru semisal hermeneutika ini.

Apabila melihat asumsi-asumsi dasar hermeneutika diatas, yaitu 

perh atian tidak saja kepada teks, namun juga konteks, sebenar￾nya beberapa perangkat dan variabel Ulumul Qur’an Klasik te￾lah menunjukkan orientasi ke arah tersebut. Tema-tema se perti 

Makki-Madani, Asbabun Nuzul, juga Nasikh-mansukh secara 

langsung atau tidak menunjukkan perhatian adanya perbedaan 

konteks yang mempengaruhi pemaknaan. Sampai di titik ini klaim 

bahwa Ulumul Qur’an masih memadai untuk mengolah dimensi 

pemaknaan terhadap Al-Qur’an harus diakui memiliki relevansi.

Berdasarkan ketiga jenis hermeneutika sebagaimana disebut 

diatas, maka bisa dikatakan bahwa Ulumul Qur’an tersebut telah 

memenuhi kriteria hermeneutika jenis pertama, yaitu telah memi￾liki kesadaran akan pentingnya konteks sebagai salah satu cara 

untuk menggali makna dari teks. Oleh karena itu harus dikatakan 

bahwa secara hermeneutik Ulumul Qur’an telah bergerak on the 

right track. Meskipun demikian, kesadaran konteks saja tidaklah 

cu kup. Kesadaran konteks hanya akan membawa seseorang ke 

‘masa-lalu’, ke masa dimana sebuah teks dilahirkan, apa tujuan 

‘pengarang’-nya dan seperti apa pemaknaan para pembaca teks 

yang menjadi audiens pertama teks. Kesadaran konteks saja dan 

mencukupkan diri dengan pemaknaan dan pemahaman generasi 

masa lalu terhadap teks, hanya akan membawa se seorang kepa￾da keterasingan dari aspek ruang dan waktu dimana dia hidup 

saat ini. Dalam bahasa hermeneutika, dengan kesadaran konteks 

saja yang terjadi hanyalah sekedar ‘reproduksi’ makna lama ke 

dalam ruang dan waktu masa kini. Mungkin saja –dalam aspek 

tertentu– pemaknaan lama ini masih relevan dan sesuai untuk 

diaplikasi kan,14 namun dalam banyak hal bisa dipastikan akan ter￾jadi pemak naan dan pemahaman yang mis-placed atau a-historis.

Untuk mengatasi keterbatasan pemahaman yang berhen￾ti kepada konteks ini adalah dengan menambahkan variabel 

konteks tualisasi, yaitu me numbuhkan kesadaran akan kekinian 

dan segala logika serta kondisi yang ber kembang di dalamnya. 

Variabel konteks tualisasi yang di maksud adalah perangkat meto￾dologis yang bisa menjawab pertanyaan ‘bagaimana agar teks 

yang diproduksi dan berasal dari masa lalu bisa dipahami dan 

bermanfaat untuk masa kini?”. Dalam istilah jargonal yang sering 

disebut orang berkaitan de ngan Al-Qur’an, pertanyaannya mung￾kin sebagai berikut: ‘bagaimana caranya agar Al-Qur’an shalih 

li kulli zaman wa makan’?, bagaimana caranya agar Al-Qur’an 

bisa applicable untuk segala ruang dan waktu, dan tidak hanya 

kompatibel untuk ruang dan waktu ketika teks tersebut muncul 

pertama kali.

Menarik untuk melihat ternyata banyak mufassir Al-Qur’an, 

bah kan sejak jaman para pembaharu, yang memiliki kesadaran 

kontekstualisasi ini. Sebut saja misalnya Muhammad Abduh de￾ngan Tafsir Al-Manar-nya yang bercorak Adab ‘Ijtima’i maupun 

ber bagai tafsir ilmiah yang mencari kesesuaian ayat Al-Qur’an 

dengan teori- teori sains moderen seperti karya Tafsir Thantawi 

Jawhari. Namun ternyata, tafsir-tafsir yang sangat konteks￾tual pada jamannya tersebut harus dikatakan memiliki kelema￾handalam kesadaran historis; tepatnya, tafsir-tafsir tersebut sering 

mengabaikan ke sa daran konteks. Tafsir-tafsir ini dapat dikatakan 

merupakan represen tasi dari model hermeneutika filoso fis murni 

ala Gadamerian, karena implisit dalam tafsir-tafsir tersebut se￾buah asumsi bahwa teks adalah sesuatu yang otonom dan in￾dependen, sehingga merupakan preogratif pembaca nya untuk 

menafsirkan teks-teks tersebut sesuai ideal mere ka. Lenyapnya 

kesadaran konteks dari tafsir-tafsir yang lebih melihat aspek kon￾tekstualisasi ini tentu saja memiliki kelemahan dari aspek teologis, 

ya itu tuntutan bagi seorang yang be ragama untuk tidak keluar 

dari asumsi- asumsi dan doktrin-doktrin keimanan serta ajaran￾ajaran keutamaan yang digariskan oleh Tuhan sejak era Sang 

Pembawa Risalah hingga saat ini dalam bentuk teks kitab suci. 

Mengabaikan sama sekali konteks awal pe maknaan teks kitab 

suci meng implikasikan a-historisitas dalam pemahaman dan pe￾maknaan serta mengandung bahaya ‘keluar dari maksud dan 

spirit teks yang sebenarnya’.

Sampai disini harus ditegaskan bahwa jalur teks-konteks￾konteks tualisasihendaknya diaplikasikan secara dialektis- dialogis 

dan berkesinambu ngan. Dengan secara intensif mendialogkan 

ketiga aspek tersebut diharapkan seorang mufassir selain mampu 

menangkap tujuan utama dan spirit teks sehingga tidak a-histo￾ris, juga mampu meng aplikasikan pemahamannya dalam realitas 

kekini an, sehingga tidak a- sosial, tidak terasing dari ruang dan 

waktunya. Dapat dikatakan dalam aspek dialektika teks-konteks 

dan konteks tualisasi inilah terletak kelemahan besar kitab-kitab 

tafsir klasik. Ada kitab tafsir yang cenderung melihat teks saja, 

sehing ga melahirkan pemaknaan yang harafiah belaka. Ada tafsir 

yang cenderung melihat konteks saja, sehingga melahirkan tafsir 

yang hanya melihat ideal-ideal pemaknaan masa lalu. Ada tafsir 

yang ha nya merumuskan cara mengaplikasikan Al-Qur’an dalam kehidup an kontekstual saja, sehingga terputus kaitannya dengan misi 

dan mak sud awal Al-Qur’an.

Sumbangan paling berharga dari hermeneutika dan dapat 

dikatakan membawa sebuah perspektif baru dalam Ilmu Tafsir 

Al-Qur’an adalah berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman 

yang berasal dari para tokoh hermeneutika filosofis dan kritis. 

Sum bangan dari para tokoh ini secara umum adalah kesadaran 

akan adanya berbagai determinasi yang turut menentukan sebuah 

proses pemahaman, baik determinasi tersebut berasal dari wilayah 

sosial, budaya maupun politik, bahkan yang berasal dari wilayah 

psikologis. Kesadaran akan adanya determinasi- determinasi 

ini pada akhirnya akan mengeliminasi setiap pemahaman dan 

penafsiran yang merasa sebagai ‘obyektif’ dan ‘tanpa kepentingan’ 

serta ‘pasti benar’. Seperti apapun jenis pemahaman dan penafsiran 

manusia, dibalik pemahaman tersebut pasti ada kepentingan￾kepenting an tertentu, baik kepentingan untuk merebut wacana, 

kepentingan untuk mempertahankan status-quo agar pemaknaan 

dan pemahaman berjalan seperti sedia kala, atau setidaknya suatu 

keinginan agar apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. 

Kenyataan seperti ini tidak perlu dirisaukan selama perebutan 

pemaknaan dan kompetisi pemahaman tersebut berjalan dalam 

satu ruang publik yang sehat dan tidak ada pihak- pihak yang 

dengan kekuasaannya—baik kekuasaan politik, sosial maupun 

budaya—melakukan hegemoni pemaknaan dan meminggirkan 

segala pemaknaan lain yang tidak mendukungnya.

Dari kesadaran ala hermeneutika kritis inilah nantinya diharap￾kan bisa muncul dan berkembanga sikap inklusif dan toleran 

meng hadapi keragaman. Harus diakui, Kalangan umat beragama 

memiliki satu penyakit yang dapat di katakan ‘akut’ dan menjadi 

sumber berbagai konflik di kalangan mereka sendiri, yaitu truth 

claim. Truth Claim ini terjadi ketika seseorang atau sekelompok 

orang menyatakan bahwa ‘miliknya’, pemikirannya, idenya, atau 

pandangan nyalah yang paling benar, dan yang lain salah. Dalam 

dunia penafsir an, truth claim ini nampak dalam bentuk sikap apri￾ori dan memandang bahwa pe nafsiran dan pemahamannyalah yang paling benar, dan ‘yang lain’ adalah salah. Disinilah kira￾nya hermeneutika memberi kan pelajaran bahwa se benarnya seti￾ap ide, pemikiran maupun penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh 

konteks dan misi serta kepentingan dari sang penafsir; sehingga 

sangat tidak bijak sana untuk menyalahkan ‘yang lain’ dan mem￾benarkan dirinya sendiri secara apriori, karena betapapun ada￾nya, baik pikiran ‘yang lain’ maupun pikiran sendiri itu sangat di￾tentukan oleh konteks masing- masing. Setiap Pemahaman pasti 

ada sisi-sisi kebenarannya namun juga tidak mungkin sempurna 

dan memiliki aspek-sepek kelemahan dan kesalahan. Yang dapat 

dilakukan oleh setiap orang —termasukUmat beragama— hanya￾lah berkarya dan berperilaku sebaik mung kin sesuai dengan ke￾benaran yang diyakininya, sekaligus ber lomba secara adil dan fair 

dengan ‘yang lain’ sebaik-baiknya, dalam kebaikan.



Identitas dan Pluralitas, dua unsur utama dalam kehidupan ini 

dapat dikatakan merupakan pangkal berbagai problema manusia 

pasca-moderen. Sebagai entitas yang unik—baik pada dataran 

individual maupun sosial—setiap manusia berkepentingan untuk 

merumuskan keberadaan dirinya dan mengenali porsi dan pro porsi 

kehidupannya. Dengan kesadaran dan pengetahuan akan eksistensi 

diri dan kelompoknya inilah manusia mampu mengidentifikasi diri￾nya serta mengekspresikan segala cipta, rasa dan karsanya sesuai 

dengan konteks kehidupannya. Di sisi lain, adanya individu dan 

kelompok diluar diri nya, dengan konteks kehidupan yang berbeda 

dan tentunya memiliki cipt a, rasa dan karsa yang berbeda, me￾nuntut setiap orang untuk tidak egois melampias kan pemenuhan 

eksistensinya, tetapi juga secara bijaksana menimbang keberadaan 

‘yang lain’ yang juga memerlukan pemenuhan eksistensi. Di abad 

21 ini —seiring dengan dahsyatnya globalisasi informasi dan tek￾no logi— persoalan ini jelas menjadi semakin krusial. Dalam ranah 

inilah kemudian muncul beragam perbedaan pandangan, benturan 

antar keinginan, konflik ke pentingan dan lain sejenisnya, dimana 

keragaman dan benturan tersebut tidak jarang menginspirasi lahir￾nya aturan-aturan bersama, kesepakatan-kesepa katan sosial dan 

lain sejenisnya.

Problema identitas dan pluralitas ini pun tidak bisa dihindari 

juga meland a Umat Islam. Mau atau tidak umat Islam seakan di￾paksa untuk merumuskan kembali keberadaan dirinya di tengah 

gempur an kenyataan bahwa ada banyak ‘yang lain’ diluar dirinya 

yang selama ini tidak disadari, termasuk pula banyaknya tanta￾ngan isu dan wawasan baru yang mencoba meng gugat rumusan 

‘identitas’ lama yang selama ini kukuh dipegangi sebagai “harus 

seperti itu”. Diantara berbagai tantangan yang dimaksud adalah 

tawaran baru dari hermeneutika. Keberadaan hermeneutika sebagai 

sebuah tawaran baru dalam dunia pembacaan kitab suci menggoyang 

kema panan (pemapanan?) Ulumul Qur’an yang sekian abad lama￾nya eksis di dunia Islam sebagai sebentuk metodologi penafsiran 

kitab suci.

Menghadapi tawaran dan tantangan baru ini, respon umat 

Islam sendir i dapat dikatakan sangat beragam. Ada yang meng-

‘iya’-kan tawaran baru tersebut sambil menekankan aspek dinamis 

dan progresif dari kehidupan, karena Ulumul Qur’an lama yang 

dibakukan tidak akan selalu mampu meng ikuti perkembangan zaman 

kalau tidak mencoba terus- menerus merekons truksi dirinya sesuai 

dengan perkembangan mutakhir peradaban ilmiah manusia. 

Ada pula yang menolak tawaran tersebut sambil menegaskan 

bahwa identitas lama –termasuk pola penyikap an dan penafsiran 

terhadap Al-Qur’an– adalah sudah final dan tidak boleh sama￾sekali diotak-atik. Mengotak-atik hal-h al yang sejak lama sudah 

diyakini kebenaranya sama artinya dengan me runtuhkan keimanan 

dan berimplikasi keluar dari jalur keberagamaan Islam.

Tulisan berikut tidak akan secara komprehensif membahas 

fenome na sila ng pendapat antara mereka yang ingin mempertahan￾kan identitas lama dan mereka yang ingin melakukan dinamisasi 

dan progress dalam ber agama dan keberagamaan. Tulisan beri￾kut hanya ingin melihat pola argumentasi mereka yang tidak setuju 

terhadap pemakaian hermeneutika sebagai sarana menafsirkan 

Al-Qur’an dan kemudian mencoba untuk memposisikan argumen 

tersebut secara proporsional dan kritis.

A. Argumen-argumen Anti Hermeneutika

Salah satu dampak dari pendekatan hermeneutika secara 

umum adalah pola bernalar yang antroposentris. Itulah mengapa 

ketika banyak orang menyebut nalar hermeneutika ini sebagai 

sebentuk ta’wil1

, mungkin lebih tepat untuk menyebut hermeneu￾tika ini tidak dengan is tilah ta’wil saja, tetapi ta’wil-antroposentris. Kenyataan antoposentris inilah yang biasa nya sangat ditentang 

oleh banyak kalangan umat beragama, karena betapapun se mes ta 

pemikiran dan perilaku keberagamaan adalah dunia yang penuh 

dengan sakralitas dan tabu-tabu yang di asosiasikan de ngan di￾mensi Ilahiah, sehingga pusatnya adalah Tuhan dan bukan manusia. 

Menghadapi berbagai sakralisasi dan tabu-tabu tersebut setiap 

orang hanya berhak untuk tunduk dan patuh, tidak lebih, termasuk 

diantaranya terhadap klaim sakralitas Al-Qur’an dalam ber bagai 

aspek nya. Pendekatan hermeneutika terhadap sebuah teks suci, 

terma suk Al-Qur’an, sering dipandang akan melenyapkan sakrali￾tas teks yang dimaksud karena de ngan pendekatan hermene utika 

maka segala pemahaman dan pemaknaan terhadap teks yang 

semula juga dipandang sama-sakralnya dengan teks itu sendiri, kini 

dianggap sekedar hasil karya manusia biasa yang meruang-waktu 

serta tidak bersih dari kesalahan.

Apabila dicermati, secara umum argumentasi kelompok yang 

anti herme neutika tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutika berasal 

dari tra d isi Kristen, Barat, dan juga tradisi Filsafat, sehingga 

tidak mustahil meng usung ideologi dan nilai-nilai Kristiani, 

Barat dan juga Filsafat, yang tidak pasti sesuai dengan Islam. 

Keberatan pertama ini melihat perkembangan hermeneu￾tika ber awal dari tradisi Bibel, dan kemunculan hermeneu￾tika ini berawal dari trauma umat Kristen saat itu ter hadap 

otoritas gereja dan problemati teks Bible sendiri. Sebagai 

satu teks, Bibel dianggap memiliki ba nyak auth or. Hal 

tersebut dibuktikan de ngan banyaknya teori yang di te mu kan 

sepu tar penulisan Bible, maka dari itu metode her me neutika 

sangat menekankan pada aspek historisitas dan kondisi 

penulis teks.2

Di sisi lain, apabila dilihat dari perkembangannya Kajian 

hermeneutika yang pada mulanya banyak berkutat di 

wilayah teo logis ternyata ke mudian bergeser ke dalam 

kajian filsafat. Ketika makna herme neutika memasuki dis￾kursus filsafat, tradisi intelek tual Barat telah siap de ngan 

mekanisme pembaratan- nya. Nilai-nilai pandangan hidup 

Barat yang sekuler dan anti- agama dianggap ikut mem￾beri kan makna baru ter hadap herme neutika. Oleh karena 

itu, ketika hermeneutika telah menjadi metode filsafat, ia 

sudah bukan lagi metode interpretasi kitab suci, dan jika 

diterapkan untuk kajian kitab suci ia dicurigai akan me￾rusak sendi-sendi agama, karena agama disub-ordinasi kan 

dibawah filsafat. Sebagai sebuah metode filsafat her me neutika 

diasumsi kan penuh dengan pre-supposisi epistemolo￾gis yang ber sumber pada konsep reali tas dan kebenaran 

dalam perspektif Barat yang tidak mempertimbang kan 

aspek- aspek realitas yang bersifat metafisis, kosmologis 

dan ontologis.3

2. Sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri 

dalam menginterpretasi Al-Qur’an, yaitu Ulumul Qur’an 

atau Ilmu tafsir Al-Qur’an. Argumen kedua ini pada intinya ingin menyatakan bahwa 

Ilmu tafsir yang sudah lama dimiliki umat Islam masih 

tetap relevan digunakan di dalam studi Islam, sementara 

herme neutika tidak lah sesuai untuk diterapkan ke da￾lam studi tafsir yang sudah berjalan mapan dalam Islam. 

Al-Qur’an tidak memerlukan herme neutika sebagaima￾na Bibel, karena Al-Qur’an adalah final tetap dan tidak 

ber ubah. Otentisitas Al-Qur’an terjaga. Berbeda dengan Al￾Qur’an, teks Bibel tidak fin a l, tidak tetap dan berubah-ubah.4

Tegasnya, Ulumul Qur’an sangat ber beda de ngan herme￾neutika. Dasar yang sangat fundamental dari per beda an itu 

terletak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas teks serta 

keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengerti an 

kitab suci itu.5

Sebuah artikel yang kiranya juga mengekspresikan pendirian 

ke tidak - setujuan terhadap hermeneutika memberikan argumen 

berikut:6

1. Berdasarkan akar katanya, hermeneutika sering di aso￾siasi kan dengan Hermes, yaitu seorang Dewa Yunani 

yang bertugas menyampaikan pesan dari dunia dewa￾dewa kepada manusia. Untuk melaksanakan tugasnya ini 

Hermes bertanggung-jawab membuat penduduk bumi 

bisa memahami apa kemauan dewa, sehingga sangat 

mung kin Hermes ini memilih cara dan model ungkapan 

kata sendiri untuk disampaikan kepada manusia. Apabila 

dilihat dari titik ini, maka harus ditegaskan meskipun 

fungsin ya sama, namun Muhammad yang mengemban 

Risalah Al-Qur’an tidaklah sama dengan Hermes, Kalau 

Muhammad tidak berhak menginterpretasi dan menyadur Risalah serta selalu mendapat pengawasan dari Allah 

agar tidak me manipulasi Risalah, tidak demikian halnya 

dengan Hermes.

2. Dalam proses penafsiran, hermeneutika tidak mementing￾kan urutan prosedural, karena satu-satunya jalan untuk 

memberikan interpretasi yang benar dan jujur terhadap 

teks ialah penguasaan terhadap teks dan konteks historis 

yang melatari munculnya teks tersebut. Berbeda dengan 

tradisi ulumul Qur’an yang sangat mementingkan di mensi 

otentisitas dan prosedur periwayatan sebelum menafsir￾kan; misalnya ada hirarki langkah-langkah penafsiran: yang 

paling utama adalah ayat de ngan ayat, lalu ayat de ngan 

sunnah (hadis Rasul); kemudian penafsiran sahabat, se￾lanjut nya penafsiran tabiin.

3. Ruan