aradigma integrasi-interkoneksi keilmuan menyatakan bahwa
hakikatnya tidak ada ilmu yang berdiri sendiri tanpa terkait
dengan bidang-bidang keilmuan yang lain. Setiap ilmu, dalam
berbagai aspek nya, baik itu aspek materi, metodologi, maupun
aspekaksiologinya, pasti bersinggungan de ngan ranah keilmuan
lain. Asumsi yang sama inilah kiranya yang mendasari muncul nya
wacana hermeneu tika Al-Qur’an yang apabila dicermati me rupakan sebentukintegrasi antara hermeneutika dan qur’anic-studies
di level meto dologi. Selain merupakan wacana yang paling banyak
dibicarakandalam konteks Islamic-Studies kontemporer, wacana
ini dapat dikata kan wacana paling kontro versial karena munculnya
kubu pro dan kontra yang cukup tajam.
Hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara
untuk menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang
diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, dimana
metode hermeneutik ini men sya ratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan masa lampau yang tidak di alami, kemudian dibawa
ke masa sekarang.Beberapa tahun terakhir ini, hermeneutika semakin mengemukadalam dunia ilmiah akademis dan dipakai oleh para tokoh
dari ber bagai bidang, seperti para kritikus sastra, sosiolog, sejarawan,
antro polog, teolog, filosof, para pengkaji agama-agama, dan lain
sebagainya.
Istilah hermeneutika dalam pengertian sebagai “ilmu tafsir”
muncul pada sekitar abad ke-17, dimana istilah ini bisa di pahami
dalam dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat
prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian
filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan
memahami.2
Carl Braathen mengakomodasi kedua definisi ini menjadi satu dan menyatakan bahwasanya hermeneutika adalah “ilmu
yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di
masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna
secara nyata di masa kini dimana di dalamnya sekaligus terkandung
aturan- aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran
dan asumsi-asumsi metodologis dari aktifitas pemahaman”.3
Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh hermeneutika di
antara nya adalah bagaimana orang memahami teks atau sesuatu
yang di anggap sebagai teks? Bagaimana orang yang berbeda,
berbe da pula pemahamannya? Bagaimana orang yang sama
dalam kondisi yang berbeda, berbeda pula dalam memahami teks?
Hermeneutika pada awal perkembangannya dikenal sebagai
ge rakan eksegesis di kalangan gereja dan kemudian berkembang
menjadi “filsafat penafsiran”. Adalah F.D.E. Schleiermacher yang
selanjutnya di anggap sebagai “Bapak Hermeneutika Moderen” karena
‘membangkitkan’ kembali herme neutika dan membakukannya
sebagai satu metode umum interpretasi yang tidak hanya terba tas
pada kitab suci dan sastra. Dalam perkembangan nya kemudi an
Wilhelm Dilthey menggagas hermeneutika sebagai landasan bagi
ilmu-ilmu kemanusia an (Geisteswissenschaften), lalu Gadamer
mengem bangkan nya menjadi metode filsafat yang selanjut nya
lebih jauh dikembangkan oleh banyak filosof lain seperti Paul
Ricoeur, Jurgen Habermas dan Jacques Derrida.4
Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk
“menafsir kan” berbagai bidang kajian keilmuan, melihat sejarah
kelahir an dan perkembangannya, harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan
kritik teks, khusus nya kitab suci. Mengenai hal ini Roger Trigg,
sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat dalam buku nya
Memahami Bahasa Agama berkata:
The Paradigm for hermeneutics is the interpretation
of a traditio nal text, where the problem must always
be how we can come to understand in our own
context something which was written in a radically
different situation.5
Hasan Hanafi dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution
menyatakan bahwa hermeneutik itu tidak sekedar ilmu interpretasi
atau teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan
penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkatdunia.
Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos
sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan
kepada kehidupan manusia.6
Meskipun demikian, ketika dalam Islam muncl fenomena
herme neutika Al-Qur’an yang intinya merupakan sebentuk integrasihermeneutika dengan qur’anic studies, pandangan ang muncul
cukup beragam, baik yang pro maupun yang kontra. Pendapat
yang pro secara umum meyakini bahwa kehadiran hermeneutika
dalam qur’anic studies akan membantu proses dinamisasi tafsir,
sehingga hasil pemahaman terhadap Al-Qur’an akan senantiasa
kontekstual dan mampu menjawab tantangan realitas; sementara itu
pendapat yang kontra lebih meyakini ‘keampuhan’ tafsir dan ulumul
qur’an klasik sebagai yang paling mendekati kebenaran, sehingga
umat Islam tidak memerlukan unsur-unsur tambahan yang asing
seperti hermeneu tika ini.
Kajian tentang integrasi hermeneutika dan qur’anic studies
dapat di katakan merupakan merupakan salah satu issu islamic
studies kontemporer yang paling hangat dibicarakan. Hal itu bisa
dibuktikan dengan banyaknya kajian yang dilakukan dalam ranah
ini, baik yang termasuk kategori pro maupun yang termasuk kategori
kontra.
Diantara kajian yang mengedepankan perspektif yang pro
terha dap inte grasi hermeneeutika dengan qur’anic studies ini
dapat disebut misalnya Farid Esack dalam qur’an plurlism and
liberation7
, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Mafhum al-Nash, Dirasah
fi ‘Ulum al-Qur’an,8
dan juga Isykaliyat al-Qiraat wa ‘Aliyat alTa’wil9
, Fazlurrahman dalam Major themes of the Qur’an, Muh.
Ata’ Al-Sid, The Hermeneutical Problem of the Qur’an in Islamic
History10, Mohammed Arkoun dalam Kajian Kontemporer AlQur’an,11 Komaruddin Hidayat dalam Memahami Bahasa Agama12
dan juga M. Amin Abdullah dalam Al-Ta’wil al-‘Ilmy: Paradigma
Baru Penafsiran Kitab Suci.13
Kajian-kajian yang pro terhadap integrasi qur’anic studies dengan herme neutika ini secara umum mengasumsikan ba hwa
betapapun sakralnya Al-Qur’an, namun pemahaman manusia terhadapnya tidak bisa diberi nilai sama sakralnya, sementara di sisi
lain manusia dituntut untuk memahami Al-Qur’an secara kontekstual untuk merealisasikan karakter Al-Qur’an agar salih li kulli
zaman wa makan. Di sisi lain, beberapa eksponen kubu ini lebih
jauh menyata kan bahwa Al-Qur’an itu adalah teks dalam bahasa
Arab meskipun secara ontologis tetap memiliki status Kalamullah,
sehingga untuk memahami Al-Qur’a historisitas Arab merupakan
aspek yang idak bole ditinggalkan. Dalam konteks inilah hermeneutika diperlukan.
Adapun diantara kajian-kajian yang kontra terhadap hermeneutika bisa disebut antara lain Adian Husaini dalam problem
teks Bible dan herme neutika,14 Adnin Armas dalam Metodologi
Bibel dalam Studi Al-Qur’an,15 Hamid Fahmy Zarkasyi dalam
Menguak Nilai Dibalik Hermeneutika,16 Hartono Ahmad Jaiz dalam
ada Pemurtadan di IAIN,17 atau juga Nashruddin Baidan, Tinjauan
Kritis terhadap konsep Hermeneutika.18 Menurut para pendukung
kubu kontra ini, selain bahwa hermeneutika itu berasal dari Barat
(Tradisi Bibel), umat Islam juga telah memiliki Ulumul Qur’an yang
cukup komprehensif, sehingga tidak memerlukan hermeneutika.
ata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang ber arti “menafsirkan”, dan dari kata hermeneuein ini
dapat ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes yang berarti interpreter
(penafsir).1
Kata ini seri ngdiasosiasi kan dengan nama salah seorang dewa Yunani, Hermes yang dianggap sebagai utusan para
dewa bagi manusia. Hermes adalah utusa n para dewa di langit
untuk membawa pesan kepada manusia.2
Menarik untuk melihat ternyata ada yang membedakan antara
kata hermeneutic (tanpa ‘s’) dan hermeneutics (dengan huruf ‘s’).
Term yang pertama dimaksudkan sebagai sebuah bentuk adjective
(kata sifat) yang apabila di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia
dapat diartikans seba gai ketafsiran, yaini menunjuk ke pada ‘keadaan’
atau sifat yang terda pat dalam satu pe nafsiran. Sementara term
kedua (hermeneutics) adalahsebuah kata benda (noun). Kata ini
mengandung tiga arti:
1. Ilmu penafsiran
2. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam
kata- kata dan ungkapan penulis
3. penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada pe nafsir an kitab suci.3
Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes secara sekilas
menunjukkan adanya tiga unsur dalam aktifitas penafsiran, yaitu:
1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan
dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang
dibawa oleh Hermes,
2. Perantara atau penafsir (Hermes),
3. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa
dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Bisa dikatakan ketiga unsur inilah nantinya yang akan
menjadi tiga unsur utama dalam hermeneutika, yaitu sifat-sifat
teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks dan bagaimana
pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan
dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsir kan teks.
Hermeneutika secara ringkas biasa diartikan sebagai “proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan
mengerti”.4
Definisi ini agaknya definisi umum dan disepakati terhadap hermeneutik, meskipun secara lebih jelas jika melihat terminologinya, kata hermeneutika ini bisa didefinisikan sebagai tiga
hal:
1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, mener jemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa
dimenger ti oleh si pembaca.
3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah
menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Secara lebih luas hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt
Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan
pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas,
kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.6
Jika dirunut ke belakang, keberadaan hermeneutik ini sebenarnya sudah ditemukan sejak zaman Yunani Kuno. Pada saat
itu, sudah ada diskursus hermeneutik sebagaimana yang terdapat
dalam tulisan Aristoteles yang berjudul Peri Hermenians (de interpretation).7
Dalam perkembangannya, Hermeneutika mengalami perkem ba ngan dan perubahan-perubahan persepsi dan model
pe ma kaiannya yang muncul dari keragaman pendefinisian dan
pe mahaman terhadap hermeneutika. Gambaran kronologis perkembangan pengertian dan pendefinisian terhadap hermeneutika
ini oleh Richad E. Palmer dibagi dalam enam kategori, yaitu
hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, hermeneutika
sebagai metode filologi, hermeneutika sebagai pemahaman
linguistik, hermeneutika sebagai fondasi dari geisteswissenschaft, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan hermeneutika
se bagai sistem interpretasi.8
A. Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Istilah hermeneutika dalam pengertian teori penafsiran kitab
suci ini perta ma kali dimunculkan oleh J.C. Dannhauer dalam
bukunya Hermeneutica Sacra Siva Methodus Expondarum Sacrarum
Litterarum. Istilah Hermeneutika dalam hal ini dimaksudkan
sebagai kegiatan memahami kitab-kitab suci yang dilakukan oleh
para agamawan. Kata hermeneutika dalam pengertian ini muncul
pada abad 17-an, meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan
pem bica ra an tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab
suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung
sejak lama.9
Dalam agama Yahudi misalnya, tafsir terhadap teks-teks
Taurat dilakukan oleh para Ahli Kitab, yaitu mereka yang membaktikan hidupnya untuk mempelajari dan menafsirkan hukumhukum agama yang dibawa oleh para Nabi.
Berbeda dengan kaum Yahudi, awal tradisi Kristen dengan
pengalaman akan Yesus yang dianggap wafat dan bangkit lagi,
juga menerapkan tafsir pada teks-teks Perjanjian Lama, dimana
tafsir tersebut bisa dikategorikan Hermeneutika, karena Perjanjian
Lama dipahami secara Kristiani dan hasilnya kemudian disebut
sebagai Perjanjian Baru.
Dalam sejarah tradisi kristen juga pernah terjadi dua macam
penafsir an terhadap kitab suci, yaitu penafsiran harfiyah yang
banyak dianut oleh Mazhab Anthiokia dan Penafsiran Simbolik yang
banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Kegiatan penafsiran
juga marak dalam Islam. “Tafsir” dipakai sebagai upaya untuk
memahami Al-Qur’an, dan seper ti hal nya dalam tradisi Kristen,
disana terjadi pula polemik antara dua macam penafsiran, yaitu
tafsir bi al-ma’tsar dan tafsir bi al-ra’yi. Puncak perkembangan
hermeneutika sebagai penafsiran terhadap teks kitab Suci muncul
pada zaman reformasi pada agama Kristen. Agama Kristen terpecah karena perbedaan prinsip-prinsip penafsiran. Golongan
Protestan memegang prinsip sola scriptura (hanya kitab suci),
sedangkan Katolik memegang prinsip tradisi, dimana kitab suci
ditafsirkan dalam naungan tradisi. Pada masa ini hermeneutika
menjadi ke giat an penting dan memiliki implikasi-implikasi sosial
politik yang sangat luas. Masing-masing aliran dalam agama
Kristen memperkembangkan bangunan teologisnya menurut prinsipprinsip hermeneutik mereka sendiri sehingga perbedaan ini juga
nampak dalam tatanan sosio-religius mereka.
Sampai disini dapat dikatakan bahwasanya keseluruhan
khazanah penafsiran kitab suci yang sangat beragam, baik dari
aspek metode maupun hasilnya itu, pada dasarnya merupakan
sebuah karya hermeneutis. Dalam kaca mata hermeneutika, keragaman tersebut tidak lain merupakan hasil ‘inter aksi’ antara teks
dengan konteks yang mengolahnya, baik konteks penafsir itu
sendiri maupun konteks ketika penafsiran dilakukan.
Namun harus dicatat bahwa secara umum kesadaranmenge nai ke terkaitan antara teks dan konteks dalam masa klasik
penafsiran kitab suci ini dapat dikatakan ‘belum populer’.
Sebagian besar penafsir kitab suci biasanya memandang apa yang
di tafsir kan nya sebagai sesuatu yang ‘seharusnya’, yang ‘tepat’
dan ‘seperti yang dikehendaki Sang Pembuat Teks’,. Pendirian
semacam inilah yang seringkali meningkatkan ‘tensi’ hubungan
antar aliran, antar metode pemahaman dan antar corak penafsiran
yang beragam tersebut. Klaim bahwa hasil penafsirannya adalah
yang paling mendekati apa yang ‘dikehendaki Tuhan’, membuat
seorang penafsir ‘terpaksa’ harus menegasikan pemahaman dan
penafsiran di luar yang dihasilkannya. Dalam wilayah inilah agaknya
sumber pertikaian ‘intern’ umat beragama, karena ternyata pola
klaim semacam itu terdapat dalam hampir semua bidang-bidang
ilmu agama tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya ketika memasuki zaman
moderen, muncullah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher,
Seorang Pendeta yang nanti nya dianggap sebagai Bapak Hermeneutika Moderen karena ‘me lahirkan kembali’ hermeneutika melalui
konsep hermeneutikanya yang sering disebut sebagai Hermeneutika
Romantik
Oleh Schleiermacher, Hermeneutika dipakai dalam upaya
untuk me nyelesaikan problem dan konflik berkaitan dengan penaf siran teks. Pertama-tama Schleiermacher ingin memperjelas
kembali wilayah dan kondisi penafsiran teks yang sebenarnya,
baik yang berhubungan de ng an teks itu sendiri maupun yang
berkaitan dengan penafsirnya. Dalam hubungannya dengan kitab
suci, Schleiermacher dapat dikatakan ingin memilah terlebih dahulu
antara dimensi sakral dan dimensi profan dalam variabel-variabel
aktifitas menafsirkan tersebut, sehingga orang tidak terjebak dalam
klaim ‘sakral’ terhadap sesuatu yang sebenarnya ‘profan’, karena
agaknya dalam dimensi inilah benturan sering terjadi.
Meskipun sebelum Schleiermacher telah ada perdebatan
mengenai penafsiran yang sakral dan yang profan, tetapi Schleiermacherlah yang berka ta bahwa variabel-variabel terpenting dari
aktifitas penafsiran yang berkait de ngan dimensi sakral dan profan
dari teks tersebut dapat dideteksi dari pembe daan antara teks itu
sendiri dari aspek gramatikalnya dan kondisi-kondisi psikologis
yang tidak terelakkan dalam diri seorang penafsir ketika ia me maha mi teks apapun.
Teori hermeneutik Schleiermacher ini secara garis besar
berkisar dalam dua wilayah:
1. Pemahaman gramatikal terhadap ciri-ciri bentuk ekspresi
dan bentuk bahasa dari satu budaya dimana “sang pengarang” berada dan dimana kondisi-kondisi tersebut
menentukan pemikirannya.
2. Pemahaman teknis atau psikologis terhadap ciri khas
subyektifitas atau kreatifitas “sang pengarang”.11
Dengan dua hal ini diharapkan seorang penafsir dapat memahami “sang pengarang” bahkan seringkali dengan “lebih baik”
dibandingkan pemahaman “sang pengarang” terhadap diri nya
sendiri. Mungkin pernyatan ini terasa aneh dan lucu, tetapi apabila ditelaah lebih mendalam, pernyataan tersebut dapat di pahami.
Seorang penafsir, ketika ia menafsirkan sesuatu, sering kali tidak
sadar akan kondisi-kondisi psi kologis dan sosial di seputardirinya yang turut ‘bermain’ dan menentukan pola dan cara penafsiran nya, sehingga tak jarang seorang penafsir meng anggap
bahwa tafsir yang dihasilkannya bersifat obyektif dan tidak berpihak, dan merepresentasikan makna teks yang paling ‘benar’.
Akibatnya, penafsir tersebut tidak mampu untuk menempatkan
hasil penafsiran nya dalam porsi dan proporsi yang tepat. Kondisi
semacam inilah yang kemudian ingin diurai oleh hermeneutika. Ketika seseorang dengan kaca mata hermeneutik membaca ke m bali
tafsir tersebut, ia tidak hanya ber henti kepada teks yang berposisi sebagai hasil penafsiran si penafsir tersebut, tetapi lebih
jauh ia akan melacak konteks historis dan psikologis dari sang
penafsir, sehingga kemudian ia mendapatkan kejelasan tidak saja
mengenai apa yang dimaksud oleh si penafsir, tetapi ia bahkan
mampu untuk menemukan dasar, landasan serta latar belakang penafsiran yang dimaksud. Tidak mengherankan apabila kemudian
ia pun mendapatkan ‘pemahaman’ yang lebih baik dari penafsir
itu sendiri, karena dengan pemahamannya yang ‘utuh’ tersebut ia
dapat menempatkan tafsir yang dimaksud sesuai dengan porsi
dan proporsinya.
Bertolak dari ide-ide yang diajukan oleh Schleiermacher
inilah selanjut nya hermeneutika moderen menyusun konsepnya
dengan patokan empat pertanyaan:
1. Bagaimana untuk memahami teks dan kondisi-kondisi
apa saja yang mungkin melingkupinya?
2. Bagaimana “ilmu-ilmu kultural” itu berbeda, baik dalam
metode maupun dalam bentuknya, dari “ilmu-ilmu natural”?
3. Kondisi apa sajakah yang memungkinkan munculnya
satu pemahaman tertentu?
4. Bagaimana kita bisa menjelaskan konsep-konsep tertentu
yang ruwet apabila dikaitkan dengan konsep- konsepseper ti pemahaman dan makna, dan bagaimana pen jelasan tersebut bisa membantu kita untuk memahami yang
harus dilakukan dalam penafsiran?12
Konsep-konsep yang diajukan oleh hermeneutika ini bisa
dikatakan seba gai pendobrak metode penafsiran yang konvensional. Sebelum berkembangnya hermeneutika moderen, bisa
dikatakan sebagian besar penafsiran dilandaskan kepada asumsi
bahwa satu teks tertulis itu memiliki “kehidupan” -nya sendiri dan
terbebas dari “sang pengarang”-nya, dimanauntuk me maha mi nya
hanya perlu sedikit, atau bahkan tidak perlu sama sekali memahami maksud dan tujuan pengarang saat menulisnya.
B. Hermeneutika sebagai Metode Filologi
Dalam laju perkembangannya, hermeneutika mengalami perubah an dalam memperlakukan sebuah teks. Perkembangan ini meram bat sejalan de ngan berkembangnya rasionalisme dan filologi
di abad pen cerahan. Dalam wilayah ini, sekalipun suatu teks berasal dari kitab suci, harus juga di perlakukan sebagaimana teksteks buku lainnya. Semua teks dipandang sama-samamemiliki
keterkaitan dengan sejarah ketika teks itu muncul. Mengenai hal ini
Palmer mengutip kata Johan August Ernesti (1761) “Pemahaman
secara verbal terhadap kitab suci harus tunduk dibawah aturan
yang sama dengan yang dilakukan terhadap teks lain.”13
Dengan adanya perkembangan pemikiran dan semenjak terjadi nya pencerahan, metode hermeneutika sebagai penafsiran kitab
suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran “sekular”
seperti filologi.
Sumbangan yang sangat berarti dalam memperkaya pengertian herme neutika ini berasal dari seorang teolog moderen yang
bernama Rudolf Bultman. Konsepnya yang termasyhur adalah Demito logisasi dalam membaca dan menafsirkan kitab suci.
Demitologisasi disini bukan berarti membuang sama sekali ceritacerita yang dianggap mitos karena dianggap se ke dar dongeng,
tetapi berarti mempersepsikan mitos sebagai ungkapan simbolis mengenai satu realitas dengan mempergunakan gambarangambaran, kiasan-kiasan dan lukisan-lukisan. Dengan demikian persoalannya bukanlah bagaimana melenyapkan mitos tetapi
bagaimana menafsirkannya secara eksis tensial dan mendemit olo gisasikannya.14
Pola Demitologisasi ini agaknya banyak dipakai oleh para
pembaharu agama untuk mendobrak umat beragama dari keterkungkungan tekstual dan menerima apa adanya berbagai ‘mitos’
dan simbol-simbol keagamaan tanpa berusaha meng ungkap
muatan makna yang ter kandung dibalik ‘mitos’ atau simbol tersebut atau menerapkan makna yang dimaksud dengan kontekskekini an, sehingga simbol dan mitos tersebut menjadi ‘diam’
dan tidak memiliki fungsi lagi. Diantara para pembaharu muslim
awal upaya demitologisasi ini nampak misalnya di India dikenal
Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang ber usaha
melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang
dianggap bersifat mitologis, seperti mengenai mukjizat dan halhal gaib dan di Mesir sangat dikenal Muhammad Abduh yang
melakukan penafsiran Al-Qur’an dalam pola yang sama menghadapi urusan-urusan gaib yang oleh banyak penafsir awal makna
yang sebenarnya hanya ‘di pasrahkan’ kepada Allah.
Memahami ungkapan simbolis atau tanda-tanda berarti
memahami konteks kehidupan manusia yang disimbolkan dan
ditandakan. Bahasa me rupakan bagian dari simbol pikiran manusia yang diikat oleh huruf atau kata atau kalimat. Ketika seseorang memahami teks yang berasal dari kontek zaman yang
berbeda pastilah ia akan berhadapan dengan satu teks yang
“asing”. Untuk inilah dalam perkembangan selanjutnya, seorang
tokoh hermeneutik bernama Wilhelm Dilthey mengajukan konsep
historical understanding15 atau menurut istilah Palmer sebagai
kesadaran sejarah (historical conciousness).16
C. Hermeneutika sebagai Linguistik
Pada perkembangan selanjutnya, hermeneutika tidak cukup
hanya dipersepsikan sebagai hermeneutika filologis saja, namun
lebih jauh merupa kan satu disiplin pemahaman linguistik. Dalam
pengertian ini hermeneutika melangkah lebih jauh ke balik teks dan
merupakan satu disiplin ilmu yang memaparkan kondisi-kondisi
yang pasti ada dalam setiap penafsiran. Karena itu hermeneutika ini
tidak bisa disebut sebagai hermeneutika filologis, tetapi lebih tepat
dikatakan sebagai herme neutika umum (allgemeine hermeneutik)
yang menjadi landasan bagi semua bentuk interpretasi teks.17
Sebagai “kelanjutan” dari hermeneutika filologis, hermeneutika
jenis ini menyatakan bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak
sama sekali asin g dan tidak sepenuhnya biasa bagi seorang
penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi dengan mencoba
membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi
batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain
harus juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga
dapat mereproduksi pengalaman sang pengarang.
Asumsi dasar bahwasanya suatu teks itu tidak sepenuhnya
asing dan tidak sepenuhnya akrab bagi seorang penafsir, di satu
sisi me nunjukkan bahw a setiap penafsir pada dasarnya melakukan
rekonstruksi makna berdasarkan apa yang tidak asing baginya dan
di sisi yang lain melakukan reproduksi makna dengan mengaitkan
yang tidak asing tersebut dengan ‘keunikan’ diri nya sebagai anak
zaman tertentu dan anak paradigma pemikiran tertentu.
D. Hermeneutika sebagai Pondasi Geisteswissenschaften
Dalam perkembangan selanjutnya muncul Wilhelm Dilthey,
seorang filosof sejarah, yang digelisahkan oleh ketiadaan metode
yang tepat bagi ilmu-ilmu kultural (humaniora), sementara ilmuilmu kealaman dengan metode ilmiah nya telah menemukan metode
yang dianggap layak dan memadai. Kegelisahan ini membawa
Dilthey untuk menelaah hermeneutika yang diperkenal kan oleh
Schleiermacher. Dari sinilah kemudian Dilthey menarik kesimpulan
bahwa herme neutika sebenarnya layak untuk dipertimbang kan
sebagai landasan epistemologis bagi ilmu-ilmu kultural (huma niora),
dan tidak sekedar sebagai ilmu pemahaman atau penafsiran teks.
Hermeneutika Dilthey ini sangat jelas didasarkan kepada pembedaan antara metode dalam ilmu-ilmu kultural dan ilmu-ilmu natural.
Metode untuk ilmu-ilmu kultural adalah pemahaman (vers tehen),
sementara dalam ilmu-ilmu natural adalah penjelasan (erklaren). Ilmuwan natural menjelaskan peristi wa-peristiwa dengan berpedoman kepada hukum-hukum alam universal sementara
para ahli sejarah tidak menemukan atau memakai hukum-hukum
tersebut, tetapi lebih berusaha untuk memahami perilaku manusia dengan mencari perhatian, tujuan, keinginan dan karakternya.
Perilaku tersebut bisa di pahami sebab perilaku manusia, berbeda
dengan peristiwa alam, memiliki unsur “da l a m” yang bisa kita pahami sebab mereka dan kita sama-sama manusia. Memahami dengan demikian adalah menemukan “Aku” di dalam “Kamu”, dan
hal ini mungkin sebab adanya kesamaan sebagai manusia.
Aktifitas pemahaman historis amat dibutuhkan untuk menafsirkan eks pr es i kehidupan manusia, baik itu karya sastra, hukum
atau kitab suci yang tentunya melibatkan pengetahuan terhadap
makna manusia.18
Dilthey mengembangkan satu teori yang komplek dan mendalam menge nai pengalaman (erlebnis) dan hubungannya dengan
beragam bentuk ekspresi yang menjadi dasar bagi filsafat antropologi dan juga epistemologi yang menurutnya harus ada dalam
merumuskan hermeneutika sebagai dasar bagi disiplin ilmu-ilmu
kultural.
Hermeneutika dalam hal ini dijadikan sebagai metode untuk
memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks saja,
tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk
sinyal dan simbol, praktek sosial, kejadian-keja dian sejarah dan termasuk juga karya-karya seni.19
Dengan posisi ini maka hermeneutika membutuhkan penggalian ter hadap prinsip-prinsip epistemologis sehingga bisa dipakai
oleh ilmu-ilmu kultural sebagaimana prinsip-prinsip Kant yang
diterapkan kepada Fisika Newtonian. Kalau Kant mengembangkan
critique of pure reason maka bisa dikatakan Dilthey mencurahkan
usahanya untuk critique of historical reason.
Menurut Dilthey, satu peristiwa sejarah itu dapat dipahami
dengan tiga proses:
1. Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.
2. Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka
yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa
sejarah.
3. Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan
yang berla ku pada saat sejarawan yang bersangkutan
hidup.21
E. Hemeneutika sebagai Pemahaman Eksistensial
Adalah Martin Heidegger yang telah mengembangkan hermeneutika dengan muatan-muatan filosofis yang sama sekali baru
dan berbeda dengan pengertian hermeneutika lainnya. Analisaanalisanya mengenai keberadaan manusia di dunia, sebagaimana
dalam masterpiece-nya, Being and Time (1972), ia sebut sebagai “Hermeneutika dasein”.
Bagi Heiddeger hermeneutika berarti penafsiran esensi (being).
Dalam kenyataannya, esensi itu selalu tampil dalam eksistensi.
Suatu peristiwa kebe naran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian
antara konsep dan realita obyektif atau adequatio, tetapi dilihat
sebagai peristiwa tersingkapnya esensi tersebut. Semen tara itu,
satu-satunya wahana bagi penampakan diri being tersebut adalah
eksistensi manusia; maka hermeneutik tidak bisa lain dari pada
penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein) melalui bahasa.22
Maka menurut Heidegger, hermeneutika bukan sekedar berarti metode filologi ataupun geisteswissenschaft, akan tetapi merupakan ciri hakiki manusia. Hermeneutika adalah ciri khas yang
sebenarnya dari manusia. Memahami dan menafsirkan adalah
bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia. Dengan kata
lain, hermeneutika lebih dari sekedar pengungkapan fe no me nologi
eksistensi diri manusia. Bisa dikatakan “hermeneutika dasein” dari
Heidegger ini membahas hermeneutika baik dari segi bentuk keberadaannya, maupun dari segi metodenya. Di satu sisi hermeneutika dikaitkan dengan dimensi ontologis dari pemahaman dan
segala implikasinya, sementara di sisi lain ia diidentifikasi sebagai
satu bentuk fenomenologi.23
Bila pandangan Heidegger ini dianggap menindaklanjuti
metode feno menologi gurunya, Edmund Husserl, maka visi pemikiran Heidegger sendiri diteruskan oleh Hans Georg Gadamer
dengan bukunya truth and methods, dimana ia menyumbangkan satu
tulisan sistematis yang kemudian dianggap mewakili kelompok “hermeneutika filosofis”.
Gadamer memandang hermeneutik sebagai einethorie der
wirklichen erfahrung, yaitu suatu usaha falsafati untuk mempertanggungjawabkan pemahaman (verstehen) sebagai proses ontologis
dalam manusia. Pemahaman sendiri bukan proses sub yektif
manusia yang dihadapkan pada suatu obyek, bukan pula suatu
metode obyektifitas. Lebih dari itu pemahaman adalah modus
existensi manusia. Peristiwa pemahaman senantiasa merupakan
peristiwa historikal, dialektik dan kebahasaan.24
Lebih jauh dari Heidegger, Gadamer tidak hanya mengaitkan
herme neutika dengan pemahaman historis secara filosofis, namun
juga mem bawanya pada wilayah linguistik, karena hermeneutika berhubungan dengan sesuatu itu melalui bahasa. Salah satu
pernyataannya yang amat terkenal adalah: “Being that can be
unders tood is language”. Pada akhirnya, karakter linguistik manusia itu sendiri dan hermeneutika akan berhadapan dengan
pertanyaan- pertanyaan yang sangat filosofis mengenai hubungan
antara bahasa dengan sesuatu, juga mengenai pemahaman, sejarah,
ekistensi dan realitas.25
Berkait dengan aktifitas pemahaman teks tertulis, Gadamer
menyatakan bahwa horison yang terlibat tidak boleh dibatasi hanya
pada apa yang di maksud oleh pengarang atau penulisnya saja,
atau hanya kepada audience yang dituju oleh tulisan itu saja.26
Ada empat hal yang selalu ada dalam interpretasi menurut
Gadamer, yaitu:
1. Bildung, yaitu pembentukan jalan pikiran.
2. Sensus Communis, yaitu pertimbangan praktis yang baik.
3. Pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus
atas dasar pandangan tentang yang universal.
4. Selera, yaitu keseimbangan antara instink panca indera
dengan kebebasan intelektual.27
Keempat hal yang ada dalam penafsiran tersebut menyiratkan
bahw a sanya sebenarnya setiap pemahaman dan pengalaman memahami manusia itu unik dan tidak sama. Karena inilah agaknya
Gadamer sangat memb e n ci adanya pemutlakan satu metode
untuk mencapai kebenaran. Di mata Gadamer, metode-metode
yang dianggap sudah final dan valid untuk mencapai kebenaran
itu pada gilirannya akan menjadai suatu ‘penjara’ dalam dunia
pencarian kebenaran itu sendiri. Tidak heran jika kemudian
Gadamer memandang hermeneutika tidak sebagai metode untuk
memahami, tetapi sebuah ‘seni’.
Dalam memahami tradisi, dan juga termasuk teks masa
lampau, Gadamer merumuskan satu teori yang dikenal sebagai
“effective history”. Teori ini m elihat adanya tiga kerangka waktu
yang menjadi wilayah teks. Pertama, masa lampau dimana teks
itu dilahirkan atau dipublikasikan. Dari teks masa lampau ini
teks bukan milik si penyusun lagi, melainkan milik setiap orang.
Mereka b ebas menginterpretasikannya. Kedua, masa kini yang
didalamnya ada para p e naf sir dengan prejudice (persangkaan)
masing-masing. Prasangka-prasangka tersebut pada akhirnya
akan berdialog dengan masa sebelumnya se hingga akan muncul
satu penafsiran yang sesuai dengan kontek sang penafsir. Ketiga,
masa depan, dimana didalamnya terdapat nuansa yang baru yang
produktif. Dalam masa depan inilah terkandung effective history.28
Dalam kerangka effective history inilah kemudian terjadi
“Fusion of Horizons” atau “percampuran antar horison”. Ketika
suatu aktifitas memahami dan menafsirkan terjadi, sebenarnya yang
sedang berlaku adalah suatu percampuran dan pertautan antar
horison yang terlibat dalam penafsiran tersebut, setidaknya yang
terlibat tersebut adalah horison pengarang dan segala hori son
yang melingkupi pengarang tersebut, horison teks dan horisonhorison yang melingkupi teks tersebut, serta horison penafsir dan
horison-horison yang lain yang melingkupinya. Horison-horison lain
yang dimaksud ini misal nya keberadaannya dalam ling kungan
tertentu, negara tertentu, atau kondisi psikologis tertentu.
F. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Setelah hermeneutika mengalami beragam pendefinisian
di tangan beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian dari metode filsafat,
maka kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Riceour
yang menarik kembali diskursus herme neutika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks (textual exegesis). Dalam
buku nya De l’interpretation (1965) dia mengatakan hermeneutika
adalah “teori mengenai aturan-aturan mengen ai pe nafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau
simbol yang dianggap seba gai teks”.29
Hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terda pat
dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung- selu bung
yang menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya sehi ngga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbolsimbol.
Bagi Riceour langkah pemahaman itu ada tiga, yaitu:
1. Langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol.
2. Pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna
3. Langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan
simbol sebagai titik tolaknya.31
Lebih jauh Riceour memberi contoh bahwasanya psikoanalisa,
khusus nya penafsiran terhadap mimpi adalah salah satu bentuk
hermeneutika. Semua unsur hermeneutik ada disana: mimpi itu
sendiri sebagai teks yang penuh dengan gambaran-gambaran
simbolik, dan seorang psikoanalis dengan satu sistem penafsiran
tertentu akan berusaha untuk memahami dan menampilkan makna
yang sebenarnya. Maka bisa di katakan bahwa hermeneutika adalah satu proses penguraian dari muatan yang sebenarnya menuju
muatan yang tersembunyi atau yang terpendam.
Menurut Riceour, ada dua macam sindroma mengenai
herme neutik dalam masa moderen ini: yang pertama adalah mo del
demitologisasi ala Bultman yang menggarap simbol untuk me nemukan makna yang tersembunyi di baliknya, sementara yang kedua
adalah demistifikasi yang berusaha untuk menghancurkan simbolsimbol karena merupakan representasi dari realitas yang palsu.
Tiga tokoh demistifikasi yang di contohkan oleh Riceour ada lah
Marx, Nietsche dan Freud. Ketiga orang ini melihat realitas yang
nampak sebagai sesuatu yang tidak sebenarnya dan berusaha
untuk merombaknya. Mereka melakukan satu interpretasi terhadap
realitas yang “menyimpang” dan upaya itu bisa dikatakan sebagai
satu “hermeneutika baru”.32
Karena adanya perbedaan dari dua pendekatan dalam
menafsirkan simb ol tersebut, menurut Riceour tidak ada aturan
universal dalam penafsiran. Demitologisasi memperlakukan simbol
atau teks sebagai jendela untuk sampai kepada realitas, sementara
demistifikasi memandang simbol sebagai realitas menyimpang
yang harus dimusnahkan.33
Itulah enam kategori pendefinisian hermeneutika yang dilaku kan oleh Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heiddeger and
Gadamer. Berbeda dengan Palmer yang membagi hermeneutika ke dalam enam kategori, Josef Bleicher dalam bukunya Contemporary
Hermeneutics mem bagi hermeneutik menjadi tiga, yaitu hermeneutika sebagai sebuah metodologi, hermeneutika sebagai filsafat
dan hermeneutika sebagai kritik.34
Pembahasan hermeneutika sebagai metodologi menyangkut
ber bagai hal yang terkait dengan hermeneutik secara meto dologis. Dalam wilayah ini dikaji menganai teori-teori umum tentang
interpretasi sebagai metodologi da l a m ilmu-ilmu kemanusiaan
(geisteswissenschaft). Berkait dengan teks, pada wilayah ini
dinyata kan bahwa seseorang itu tidak mempunyai akses langsung
kepada penulis (pengarang) yang disebabkan oleh adanya perbedaan ruang, waktu dan tradisi.
Sementara itu filsafat hermeneutika dikenalkan oleh Heiddeger
dan Gadamer yang berprinsip tidak memakai prosedur metodologi
umum untuk menemukan pengetahuan obyektif. Bentuk pemahaman yang ditekankan dalam hal ini adalah pengungkapan dasein
dalam aspek temporalitas dan historis nya. Adapun kritik hermeneutik dikembangkan antara lain oleh Apel dan Habermas.
Pendefinisian-pendefinisian dan perkembangan persepsi terhadap her me neutika tersebut menunjukkan bagaimana kronologi
pemahaman manusia terhadap hermeneutika. Meskipun terdapat
beragam pendefinisian terhadap hermeneutika sebagaimana tersebut dimuka, secara umum bisa dikatakan bahwa hermeneutika
merujuk pada teori penafsiran, baik yang ditafsir kan itu teks atau
sesuatu yang diperlakukan sebagaimana teks. Seperti apapun
bentuk pembacaan, pemahaman dan penafsiran yang dilakukan seseorang terhadap teks maupun sesuatu—termasuk realitas—yang diperlakukan sebagai teks, maka dapat dikatakan bahwapembacaan, pemahaman dan penafsiran tersebut merupakan
sebentuk hermeneutika tersendiri. Tidak heran apa bila kemudian
term hermeneutika ini menjadi sangat populer dan umum serta be ragamdalam ber bagai disiplin keilmuan, termasuk satu diantaranya adalah “hermeneutika Qur’ani”. Sebagai suatu metode
penafsiran, dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah sebuah
bidang kajian yang membahas mengenai bagaimana menggunakan instrumen sejarah, filologi, manuskriptologi, dan lain sebagainya sebagai sarana untuk memahami maksud dari suatu
obyek yang ditafsirkan.35
Di sisi lain, wilayah hermeneutika juga menggarap proses
dan asumsi -asumsi yang berlaku dalam suatu pemahamn dan
penafsiran tertentu sebagaimana dijelaskan dalam hermeneutika
filosofis. Ini berarti, hermeneutika dalam dimensi filosofis—mung kin
lebih tepatnya: epistemologis—nya dapat didefinisikan sebagai
suatu “pemahaman ter hadap pemahaman”. Ibarat “ce rita berbing kai” dalam dunia sastra, maka hermeneutika adalah suatu pemahaman terhadap suatu pemahaman yang dilakukan seseorang
dengan menelaah proses dan asumsi-asumsi yang berlaku dalampemahaman tersebut, termasuk diantaranya konteks- konteks
yang melingkupi dan mempe ngaruhi proses tersebut. Hal ini secara umum dilakukan setidaknya untuk dua tujuan: pertama, untuk
me letakkan hasil pemahaman yang dimaksud dalam porsi dan
proporsi yang sesuai dan kedua,untuk melakukan suaru “reproduksi”makna dari pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk
kontekstualisasi. Menariknya, pada gilirannya, pemahaman terhadap pemahaman ini akan juga menjadi obyek pemahaman dan
di perlakukan sebagaimana ia memperlakukan pemahaman sebelum nya; dan demikianlah seterusnya proses semacam ini berlanjut tanpa harus terjadi overlapping dalam pemahaman karena
pemahaman-pemahaman yang baru dalam kerang hermeneutika
ini selalu mempertimbangkan konteks ketika pemahaman dilakukan.
Kondisi hermeneutika yang semacam ini seringkali mengundang kriti k akan adanya muatan “relativisme” di dalamnya.
Ada nya perubahan dan perkembangan pemaknaan terhadap teks
tidak jarang memunculkan tuduhan bahwasanya bagi hermeneutika tidak ada kebenaran yang obyektif, semua nya tergantung ruang
dan waktu, ringkasnya: kebenaran bagi hermeneutika itu relatif.
Kritik ini dapat dijawab dengan dua cara:
Pertama, apa yang dimunculkan oleh hermeneutika dengan
keniscayaan terlibatnya konteks dalam pemahaman dan penafsiran tersebut sebenarnya bukanlah sebuah asumsi yang semenamena. Hermeneutika pada dasarnya hanyalah mengekspose
rea litas yang sebenarnya dari suatu pemahaman dan penafsiran. Disadari atau tidak seorang yang memahami itu pasti terkondisikan oleh konteks-konteks yang berhubungan dengan dirinya; baik konteks psikologis maupun konteks sosial budaya tempat
ia ber ada. Dengan kata lain, seandainya—sekali lagi: seandainya—
benar bahwa dalam pandangan herme neutika makna itu menjadi relatif, maka itu bukanlah ‘salah’ hermeneutika, tetap i kodrat
manusia lah yang menuntut pandangan semacam itu.
Kedua, ‘reproduksi’ makna melalui pemahaman yang baru yang
di l aku ka n oleh hermeneutika terhadap teks atau sesuatu yang
diperlakukan sebagai teks itu tidak dapat dikatakan menciptakan
satu makna baru yang sama sekali berbeda dan tidak berkaitan
dengan makna atau pemahaman lama. Dalam hal ini hermeneutikas hanyalah melakukan sebentuk “kontekstualisasi’, dalam arti
menyelaraskan pemahaman atau makna suatu teks de ngan konteks
keti ka pemaknaan dan pemahaman tersebut berlangsung agar
teks yang dimaksud dapat fungsional dan operasional. Dengan
model semacam ini maka tidak dapat dikatakan bahwa makna dalam hermeneutika itu ‘relatif’, karena sebenar nya ada yang tidak berubah, yaitu teks dan makna esensial dari teks itu sendiri;
hanya saja pemahaman dan pemaknaan ‘baru’ yang dilakukan
terhadap nya meng alami penyesuaian.
A
da dua hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia; dua hal itu menjadi garis demarkasi yang membeda kan
manusia dari se gala entitas kehidupan lainnya di muka bumi
ini. Dua hal yang dimaksud adalah memahami dan menafsir kan.
Berkait dengan aktifi tas memahami dan menafsirkan ini, dalam
sejarah intelektual manusia banyak ditemui para tokoh di bidang
ke ahliannya masing-masing yang berusaha merumuskan apa dan
bagaimana kondisi dan cara memahami yang akurat, tepat, layakdan benar. Berbagai teori, konsep dan disiplin keilmuan pun
muncul khusus untuk meng urusi bidang ini; satu diantaranya adalah
Herme neutika.
Beberapa tahun terakhir ini, kajian-kajian mengenai Hermeneutika maupu n kajian-kajian yang memanfaatkan Hermeneutika
sebagai pendekatan sema kin “populer” dan dipakai oleh para
ilmu wan dari berbagai bidang kaji a n, seperti para kritikus sastra,
sosio log, sejarawan, antropolog, dan filosof. Popularitas hermeneutika ini harus dikatakan mengiringi perubahan paradigma berpikir manusia secara umum, khususnya yang terjadi dalam dunia
ilmiah akademik. Sebagaimana diketahui, baik dalam era Yunani,
era skolastik abad pertengahan, maupun era modern, paradigma berpikir manusia senantiasa “terpusat’. Era Yunani di kenal
kosmosentris (berpusat pada alam), era skolast i k terkenal dengan nalarnya yang teosentris (berpusat kepada Tuhan) dan era
moderen terbukti bercorak antroposentris (berpusat pada manusia). Biasanya, sebuah paradigma berpikir yang serba sentris ini
membawa implikasi hegemoni dan otoritarianistik, yaitu dominasi
pemaknaan dan kebenaran oleh ide-ide dan pikiran yang sejalur
dengan sentris yang berlaku, sehingga segala orientasi berpikir
lain menjadi terpinggirkan dan tersub-ordinasi.
Seiring dengan munculnya berbagai kritik terhadap modernisme, para digma serba terpusat ini mulai dipertanyakan. Secara
komulatif kritik- kriti k tersebut dapat dikatakan melahirkan paradigma baru yang biasadisebut seba gai pasca-moderen. Paradigma
baru ini secara umum membawa isu besar ‘anti-sentris’.
Ada dua kesadaran utama yang menjadi pemicu paradigma
baru ini, yait u kesadaran kontekstualitas dan kesadaran progresifi tas.
Kesadaran konteks tualitas berarti kesadaran bahwa setiap orang,
setiap kelompok orang atau se ti a p komunitas sosial- budaya tertentu
berperilaku dan bernalar sesuai denga n konteks kehidupannya;
baik konteks historis, sosial-budaya-politik, maupun konteks psikologis. Konteks inilah yang dipandang menentukan apa yang mereka
serap (internalisasi) dan apa yang mereka ekspresikan melalui
pikiran dan perbuatan (eksternalisasi). Sementara itu kesadaran prog resifitas berarti kesadaran akan dinamika dan perkembangan
dalam kehidupan. Kesadaran progresifitas ini mengasumsikan
bahwa kehidupan manusia itu tidak statis atau mandeg, tetapi senantiasa terjadi proses dialogis dan dialektis antar variabelnya yang
pada gilirannya memunculkan sesuatu yang baru, atau setidak nya
sesuatu yang berbeda. Meskipun mungkin tidak persis seperti
rama lan Hegel bahwa perkembangan tersebut secara umum bergerak ke arah yang lebih rasional dan lebih baik, namun yang
jelas perkembangan dan perubahan itu ada dan terjadi, bahkan
terus menerus.
Kedua kesadaran diatas pada gilirannya akan membawa
kepada sebuah asumsi yang menjadi fokus utama para tokoh pasca moderen, ‘pluralitas’. Kesimpulan bahwa kehidupan itu plural didasarkan pada fakta bahwa konteks hidup manusia itu be ragam
serta kenyataan bahwa hidup manusia itu se nantiasa dinamis.
Asumsi pluralitas ini mengimplikasikan sebuah kritik kepada paradigma berpikir sebelumnya yang serba sentris. Dengan meyakini
asumsi pluralitas ini maka muncul tuntutan untuk mengakui bahwa tidak ada satu pun teori, konsep maupun sentris yang mampu mengakomodasi secara total dan mampu memberikan analisis
holistik yang bisa mencakup segala dimensi hidup manusia yang
kompleks. Setiap teori, setiap konsep, juga setiap pemahaman
dan penafsiran terhadap kehidupan dan segala aspeknya pasti
mengan dung sebentuk reduksi, yaitu ‘pemangkasan’ realitas karena
keterbatasan perspektif untuk mampu mengakomodasi seluruh
kenyataan hidup.
Berdasarkan asumsi inilah selanjutnya hermeneutika menemukan posisinya yang strategis, karena sebagai sebuah disiplin
kajian yang menggarap wilayah pemahaman dan penafsiran
manu sia terhadap realitas hidupnya—dalam aspek apapun—,
hermeneutika sejak awal sangat menimbang pluralitas. Dengan
menimbang asumsi pluralitas ini hermeneutika sejak awal menegaskan bahwa konteks dalam setiap horison kehidupan manusia,
baik pada dataran individu, sosial, budaya maupun politik, sangat
‘bermain’ dan mempengaruhi pola pemahaman dan juga ekspresi
hasil pemahaman tersebut.
A. Hermeneutika dan Ilmu Tafsir Al-Qur’an
Meskipun Hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk “menafsirkan” berbagai bidang kajian keilmuan, melihat se jarah kelahiran
dan per kembangannya, harus diakui bahwa peran Hermeneutika
yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik
teks, khususnya kitab suci. Mengenai hal ini Roger Trigg, sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat dalam bukunya Memahami
Bahasa Agama berkata:
The Paradigm for hermeneutics is the interpretation
of a tradi tional text, where the problem must always
be how we can come to understand in our own
context something which was written in a radically
different situation.1
Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian
kitab suci, keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan
dari dunia kitab suci Al-Qur’an. Menjamurnya berbagai literatur
Ilmu Tafsir kontemporer yang menawar kan hermeneutika sebagai
variabel metode pemahaman Al-Qur’an me nunjukkan betapa
daya tarik hermeneutika memang luar biasa. Hassan Hanafi dalam
tulisan nya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa Hermeneutik itu tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan
wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu
tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos
sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan
kepada kehidupan manusia.2
Sebenarnya, term khusus yang digunakan untuk menunjuk
kegiatan inter pretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah “tafsir”.3
Kata yang asal nya dalam bahasa Arab fassara atau fasara ini
digu nakan secara teknis dala m pengertian eksegesis di kala ngan
orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang.4
Sementara itu istilah
Hermeneutik sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir Al-Qur’an klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini —kalaumelihat sejarah perkembangan Hermeneutika Moderen—mulai
populer beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan juga the rise of education
yang melahirkan banyak intelektual muslim kontemporer. Meski
demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya Qur’an: Pluralism
and Liberation, praktek Hermeneutik sebenarnya telah dilakukan
oleh Umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi AlQur’an. Bukti dari hal itu adalah:
1. Problematika Hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, mesk i tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti
dari kajian-kajian mengenai asbabun-nuzul dan nasakhmansukh.
2. Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap Al-Qur’an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode
penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literaturliteratur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir. 3. Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategorikategori, misal nya tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum,
tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan
adanya kesadaran tentang kelompok -kelompok tertentu,
ideologi-ideologi tertentu, periode- periode tertentu, maupun
horison- horison sosial tertentu dari tafsir. 5
Ketiga hal ini jelas menunjukkan adanya kesadaran akan
historisitas pemahaman yang berimplikasi kepada pluralitas penafsiran. Oleh karena itu, meskipun tidak disebut secara definitif, dapat
dikatakan corak hermeneutik yang berasumsi dasar pluralitas pemahaman ini sebenarnya telah memiliki bibi-bibitnya dalam Ulumul
Qur’an klasik.
Operasional Hermeneutika Moderen dalam penafsiran AlQur’an bisa dikatakan dirintis oleh para pembaharu muslim; seper ti
di India dikenal Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves,
yang berusaha melakukan demitologisasi6
konsep- konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis, seperti menge nai
mukjizat dan hal-hal gaib. Di Mesir muncul Muhammad Abduh
yang secara operasional melakukan operasi Hermeneutik dengan
bertumpu pada analisis sosial- kemasyarakatan. Meskipun demikian, rumusan metodologis mereka ini tidak sistematis dan tidak
terlalu jelas.
Dalam dekade 1960 sampai 1970-an, muncul tokoh- tokoh
yang mulai serius memikirkan persoalan metodologi tafsir ini.
Hassan Hanafi mempubli kasikan tiga karyanya yang ber corak
Her meneutik; yang pertama berkaitan dengan upaya rekons truksi
ilmu ushul fiqih, yang kedua berkaitan dengan Hermeneutika
feno me nologis dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan
keberagamaan, dan yang ketiga berhubungan dengan kajian kritis terhadapHermeneutika eksistensial dalam kerangka penafsiran Perjanjian Baru.7
Mohammed Arkoun dari Aljazair menelorkan
idenya menge nai ‘cara baca’ semiotik terhadap Al-Qur’an, dan
Fazlur rahman merumuskan metode Hermeneutika yang sistematik
terhadap Al-Qur’an dan dikenal sebagai “double movement”.
Dewasa ini telah banyak pemerhati Al-Qur’an yang melaku kan
kritik historis dan linguistik yang menjadi ciri khas Hermeneutika.
Tulisan-tulisan yang menyangkut bidang ini banyak ber munculan,
baik dari kalangan outside r maup un dari kalangan Umat Islam
sendiri. Diantara tulisan- tulisan tersebut misalnya Qur’anic
Hermeneutic: The Views of al-Tabari and Ibn katsir karya Jane
Mc Auliffe yang menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit
pada horison sosialnya,8
lalu tulisan Azim Nandji yang membahas
tentang teori ta’wil dalam tradisi keilmuan Isma’ili yang banyak membantu dalam kritik sastra,9
juga Nasr Hamid Abu Zayd yang dengan intensif menggeluti kajian Hermeneutik dalam tafsir klasik.
Apa yang dilakukan oleh Fazlurrahman, Arkoun, Abu Zayd
yang lainnya adalah contoh-contoh bagaimana “mengolah” AlQur’an dengan Hermeneutika. Hermeneutika, sebagaimana di se but
di atas, pada dasar nya merupakan satu metode penafsiran yang
berangkat dari analisa bahasa dan kemudian melangkah kepada
analisa konteks, untuk selanjutnya “me narik” makna yang didapat
ke dalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian
teks Al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi
adalah bagaimana teks Al-Qur’an hadir di tengah masyarakat,
lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemah kan dan didialogkan dengan
dina mika realitas historisnya.
Sehubungan dengan pendekatan hermeneutika moderen
terhadap Al-Qur’an ini, maka perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsirannya, yaitu:
1. Para penafsir itu adalah manusia
Siapapun orangnya yang menafsirkan teks kitab suci itu,
ia tetaplah manusia biasa yang lengkap dengan segala
kekurangan, kelebihannya dan kesementaraannya karena
terikat oleh ruang dan waktu tertentu. Dengan asumsi ini
diharapkan bisa dimengerti bahwasanya manusia itu tidak
akan bisa melepaskan diri dari ikatan historis ke hidu p an
dan pengalamannya, dimana ikatan tersebut sedikit banyak
akan membawa pengaruh dan mewarnai corak penafsirannya. Asumsi ini dimak sudkan untuk tidak memberikan
vonis “mutlak” benar atau salah kepada suatu penafsiran, namun lebih mengarah untuk melakukan pe ma haman
dan analisa yang kritis terhadap satu penafsiran.
Para penafsir adalah manusia yang membawa “muatanmuatan” kemanusiaan masing-masing. Setiap generasi muslim sejak masa Nabi Muhammad, sambil
membawa “muatan”-nya itu, telah memproduks i komentarkomentar mereka sendiri terhadap Al-Qur’an. Tidaklah
meng herankan jika akhirnya ada beragam interpretasi dari
setiap generasi.11
2. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan
tradisi
Segala aktifitas penafsiran pada dasarnya merupakan satu
partisipasi dalam proses historis-linguistik dan tradisi yang
berlaku, dimana partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Pergulatan Umat Islam dengan Al-Qur’an juga
berada dalam “kurungan” ini. Seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari bahasa, budaya dan tradisi dimana mereka hidup. Para pemikir reformis sering menyata kan bahwasanya krisis yang terjadi di dunia
Islam serta ketidak mampuan umat Islam untuk memberikan satu kontribusi yang berguna bagi dunia kontemporer adalah dikarenakan tradisi. Jalan keluar yang
dianjurkan oleh para reformis itu seringkali adalah dengan meninggal kan ikatan tradisi dan “kembali kepada
Al-Qur’an”. Pernyataan tersebut sebenar nya tidak selaras
dengan fakta bahwasanya satu penafsiran itu tidak bisa
secara sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi pasti
terkait deng a n muatan historisnya, baik muatan historis
saat teks itu muncul dan saat teks itu ditafsirkan.12
3. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri
Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuan
Al-Qur’an itu nampak dalam isi, bentuk, tujuan dan bahasa yang dipakai Al-Qur’an. Hal ini nampak pula misalnya dalam pembedaan antara ayat-ayat makkiyah dan
ayat-ayat madaniyah. Dalam hubungannya dengan pro ses
pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi, serta dengan komu nitas masyarakat yang menerimanya di sisi yang lain,
Al-Qur’an tidaklah “unik”. Wahyu selalu saja merupakan
komentar terhadap —setidaknya harus dipahami dalam
kerangka— kondisi masyarakat tertentu diman a wahyu
itu turun.13
B. Kontribusi hermeneutika terhadap tafsir al-Qur’an
Khazanah Ulumul Qur’an sebagai sebentuk metodologi untuk
menggarap wilayah penafsiran dan pemaknaan terhadap Al-Qur’an
harus diakui me miliki tingkat sofistikasi yang luar biasa. Sifat luar
biasa dari khazanah Ulumul Qur’an ini terbukti dari berlimpahnya
karya tafsir de ngan berbagai pola, mulai tahlili sampai maudhu’i
dan mulai yang sekedar menafsirkan dengan mencari sinonim
kata dan ayat hingga yang me lakukan ta’wil secara intuitif dan
me nafsirkan secara ilmiah. Kenyataan ini mau atau tidak telah
mem buktikan komprehensifnya Ulumul Qur’an tersebut dalam menjembatani jarak antara mufassir dengan Al-Qur’an sehingga
melahirkan berbagai khazanah tafsir. Sampai di sini mungkin
kemudian orang akan menyimpulkan bahwa sebenar nya Ulumul
Qur’an saja telah cukup dan tidak perlu lagi tambahan-tambahan
meto dologi baru semisal hermeneutika ini.
Apabila melihat asumsi-asumsi dasar hermeneutika diatas, yaitu
perh atian tidak saja kepada teks, namun juga konteks, sebenarnya beberapa perangkat dan variabel Ulumul Qur’an Klasik telah menunjukkan orientasi ke arah tersebut. Tema-tema se perti
Makki-Madani, Asbabun Nuzul, juga Nasikh-mansukh secara
langsung atau tidak menunjukkan perhatian adanya perbedaan
konteks yang mempengaruhi pemaknaan. Sampai di titik ini klaim
bahwa Ulumul Qur’an masih memadai untuk mengolah dimensi
pemaknaan terhadap Al-Qur’an harus diakui memiliki relevansi.
Berdasarkan ketiga jenis hermeneutika sebagaimana disebut
diatas, maka bisa dikatakan bahwa Ulumul Qur’an tersebut telah
memenuhi kriteria hermeneutika jenis pertama, yaitu telah memiliki kesadaran akan pentingnya konteks sebagai salah satu cara
untuk menggali makna dari teks. Oleh karena itu harus dikatakan
bahwa secara hermeneutik Ulumul Qur’an telah bergerak on the
right track. Meskipun demikian, kesadaran konteks saja tidaklah
cu kup. Kesadaran konteks hanya akan membawa seseorang ke
‘masa-lalu’, ke masa dimana sebuah teks dilahirkan, apa tujuan
‘pengarang’-nya dan seperti apa pemaknaan para pembaca teks
yang menjadi audiens pertama teks. Kesadaran konteks saja dan
mencukupkan diri dengan pemaknaan dan pemahaman generasi
masa lalu terhadap teks, hanya akan membawa se seorang kepada keterasingan dari aspek ruang dan waktu dimana dia hidup
saat ini. Dalam bahasa hermeneutika, dengan kesadaran konteks
saja yang terjadi hanyalah sekedar ‘reproduksi’ makna lama ke
dalam ruang dan waktu masa kini. Mungkin saja –dalam aspek
tertentu– pemaknaan lama ini masih relevan dan sesuai untuk
diaplikasi kan,14 namun dalam banyak hal bisa dipastikan akan terjadi pemak naan dan pemahaman yang mis-placed atau a-historis.
Untuk mengatasi keterbatasan pemahaman yang berhenti kepada konteks ini adalah dengan menambahkan variabel
konteks tualisasi, yaitu me numbuhkan kesadaran akan kekinian
dan segala logika serta kondisi yang ber kembang di dalamnya.
Variabel konteks tualisasi yang di maksud adalah perangkat metodologis yang bisa menjawab pertanyaan ‘bagaimana agar teks
yang diproduksi dan berasal dari masa lalu bisa dipahami dan
bermanfaat untuk masa kini?”. Dalam istilah jargonal yang sering
disebut orang berkaitan de ngan Al-Qur’an, pertanyaannya mungkin sebagai berikut: ‘bagaimana caranya agar Al-Qur’an shalih
li kulli zaman wa makan’?, bagaimana caranya agar Al-Qur’an
bisa applicable untuk segala ruang dan waktu, dan tidak hanya
kompatibel untuk ruang dan waktu ketika teks tersebut muncul
pertama kali.
Menarik untuk melihat ternyata banyak mufassir Al-Qur’an,
bah kan sejak jaman para pembaharu, yang memiliki kesadaran
kontekstualisasi ini. Sebut saja misalnya Muhammad Abduh dengan Tafsir Al-Manar-nya yang bercorak Adab ‘Ijtima’i maupun
ber bagai tafsir ilmiah yang mencari kesesuaian ayat Al-Qur’an
dengan teori- teori sains moderen seperti karya Tafsir Thantawi
Jawhari. Namun ternyata, tafsir-tafsir yang sangat kontekstual pada jamannya tersebut harus dikatakan memiliki kelemahandalam kesadaran historis; tepatnya, tafsir-tafsir tersebut sering
mengabaikan ke sa daran konteks. Tafsir-tafsir ini dapat dikatakan
merupakan represen tasi dari model hermeneutika filoso fis murni
ala Gadamerian, karena implisit dalam tafsir-tafsir tersebut sebuah asumsi bahwa teks adalah sesuatu yang otonom dan independen, sehingga merupakan preogratif pembaca nya untuk
menafsirkan teks-teks tersebut sesuai ideal mere ka. Lenyapnya
kesadaran konteks dari tafsir-tafsir yang lebih melihat aspek kontekstualisasi ini tentu saja memiliki kelemahan dari aspek teologis,
ya itu tuntutan bagi seorang yang be ragama untuk tidak keluar
dari asumsi- asumsi dan doktrin-doktrin keimanan serta ajaranajaran keutamaan yang digariskan oleh Tuhan sejak era Sang
Pembawa Risalah hingga saat ini dalam bentuk teks kitab suci.
Mengabaikan sama sekali konteks awal pe maknaan teks kitab
suci meng implikasikan a-historisitas dalam pemahaman dan pemaknaan serta mengandung bahaya ‘keluar dari maksud dan
spirit teks yang sebenarnya’.
Sampai disini harus ditegaskan bahwa jalur teks-kontekskonteks tualisasihendaknya diaplikasikan secara dialektis- dialogis
dan berkesinambu ngan. Dengan secara intensif mendialogkan
ketiga aspek tersebut diharapkan seorang mufassir selain mampu
menangkap tujuan utama dan spirit teks sehingga tidak a-historis, juga mampu meng aplikasikan pemahamannya dalam realitas
kekini an, sehingga tidak a- sosial, tidak terasing dari ruang dan
waktunya. Dapat dikatakan dalam aspek dialektika teks-konteks
dan konteks tualisasi inilah terletak kelemahan besar kitab-kitab
tafsir klasik. Ada kitab tafsir yang cenderung melihat teks saja,
sehing ga melahirkan pemaknaan yang harafiah belaka. Ada tafsir
yang cenderung melihat konteks saja, sehingga melahirkan tafsir
yang hanya melihat ideal-ideal pemaknaan masa lalu. Ada tafsir
yang ha nya merumuskan cara mengaplikasikan Al-Qur’an dalam kehidup an kontekstual saja, sehingga terputus kaitannya dengan misi
dan mak sud awal Al-Qur’an.
Sumbangan paling berharga dari hermeneutika dan dapat
dikatakan membawa sebuah perspektif baru dalam Ilmu Tafsir
Al-Qur’an adalah berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman
yang berasal dari para tokoh hermeneutika filosofis dan kritis.
Sum bangan dari para tokoh ini secara umum adalah kesadaran
akan adanya berbagai determinasi yang turut menentukan sebuah
proses pemahaman, baik determinasi tersebut berasal dari wilayah
sosial, budaya maupun politik, bahkan yang berasal dari wilayah
psikologis. Kesadaran akan adanya determinasi- determinasi
ini pada akhirnya akan mengeliminasi setiap pemahaman dan
penafsiran yang merasa sebagai ‘obyektif’ dan ‘tanpa kepentingan’
serta ‘pasti benar’. Seperti apapun jenis pemahaman dan penafsiran
manusia, dibalik pemahaman tersebut pasti ada kepentingankepenting an tertentu, baik kepentingan untuk merebut wacana,
kepentingan untuk mempertahankan status-quo agar pemaknaan
dan pemahaman berjalan seperti sedia kala, atau setidaknya suatu
keinginan agar apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar.
Kenyataan seperti ini tidak perlu dirisaukan selama perebutan
pemaknaan dan kompetisi pemahaman tersebut berjalan dalam
satu ruang publik yang sehat dan tidak ada pihak- pihak yang
dengan kekuasaannya—baik kekuasaan politik, sosial maupun
budaya—melakukan hegemoni pemaknaan dan meminggirkan
segala pemaknaan lain yang tidak mendukungnya.
Dari kesadaran ala hermeneutika kritis inilah nantinya diharapkan bisa muncul dan berkembanga sikap inklusif dan toleran
meng hadapi keragaman. Harus diakui, Kalangan umat beragama
memiliki satu penyakit yang dapat di katakan ‘akut’ dan menjadi
sumber berbagai konflik di kalangan mereka sendiri, yaitu truth
claim. Truth Claim ini terjadi ketika seseorang atau sekelompok
orang menyatakan bahwa ‘miliknya’, pemikirannya, idenya, atau
pandangan nyalah yang paling benar, dan yang lain salah. Dalam
dunia penafsir an, truth claim ini nampak dalam bentuk sikap apriori dan memandang bahwa pe nafsiran dan pemahamannyalah yang paling benar, dan ‘yang lain’ adalah salah. Disinilah kiranya hermeneutika memberi kan pelajaran bahwa se benarnya setiap ide, pemikiran maupun penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh
konteks dan misi serta kepentingan dari sang penafsir; sehingga
sangat tidak bijak sana untuk menyalahkan ‘yang lain’ dan membenarkan dirinya sendiri secara apriori, karena betapapun adanya, baik pikiran ‘yang lain’ maupun pikiran sendiri itu sangat ditentukan oleh konteks masing- masing. Setiap Pemahaman pasti
ada sisi-sisi kebenarannya namun juga tidak mungkin sempurna
dan memiliki aspek-sepek kelemahan dan kesalahan. Yang dapat
dilakukan oleh setiap orang —termasukUmat beragama— hanyalah berkarya dan berperilaku sebaik mung kin sesuai dengan kebenaran yang diyakininya, sekaligus ber lomba secara adil dan fair
dengan ‘yang lain’ sebaik-baiknya, dalam kebaikan.
Identitas dan Pluralitas, dua unsur utama dalam kehidupan ini
dapat dikatakan merupakan pangkal berbagai problema manusia
pasca-moderen. Sebagai entitas yang unik—baik pada dataran
individual maupun sosial—setiap manusia berkepentingan untuk
merumuskan keberadaan dirinya dan mengenali porsi dan pro porsi
kehidupannya. Dengan kesadaran dan pengetahuan akan eksistensi
diri dan kelompoknya inilah manusia mampu mengidentifikasi dirinya serta mengekspresikan segala cipta, rasa dan karsanya sesuai
dengan konteks kehidupannya. Di sisi lain, adanya individu dan
kelompok diluar diri nya, dengan konteks kehidupan yang berbeda
dan tentunya memiliki cipt a, rasa dan karsa yang berbeda, menuntut setiap orang untuk tidak egois melampias kan pemenuhan
eksistensinya, tetapi juga secara bijaksana menimbang keberadaan
‘yang lain’ yang juga memerlukan pemenuhan eksistensi. Di abad
21 ini —seiring dengan dahsyatnya globalisasi informasi dan tekno logi— persoalan ini jelas menjadi semakin krusial. Dalam ranah
inilah kemudian muncul beragam perbedaan pandangan, benturan
antar keinginan, konflik ke pentingan dan lain sejenisnya, dimana
keragaman dan benturan tersebut tidak jarang menginspirasi lahirnya aturan-aturan bersama, kesepakatan-kesepa katan sosial dan
lain sejenisnya.
Problema identitas dan pluralitas ini pun tidak bisa dihindari
juga meland a Umat Islam. Mau atau tidak umat Islam seakan dipaksa untuk merumuskan kembali keberadaan dirinya di tengah
gempur an kenyataan bahwa ada banyak ‘yang lain’ diluar dirinya
yang selama ini tidak disadari, termasuk pula banyaknya tantangan isu dan wawasan baru yang mencoba meng gugat rumusan
‘identitas’ lama yang selama ini kukuh dipegangi sebagai “harus
seperti itu”. Diantara berbagai tantangan yang dimaksud adalah
tawaran baru dari hermeneutika. Keberadaan hermeneutika sebagai
sebuah tawaran baru dalam dunia pembacaan kitab suci menggoyang
kema panan (pemapanan?) Ulumul Qur’an yang sekian abad lamanya eksis di dunia Islam sebagai sebentuk metodologi penafsiran
kitab suci.
Menghadapi tawaran dan tantangan baru ini, respon umat
Islam sendir i dapat dikatakan sangat beragam. Ada yang meng-
‘iya’-kan tawaran baru tersebut sambil menekankan aspek dinamis
dan progresif dari kehidupan, karena Ulumul Qur’an lama yang
dibakukan tidak akan selalu mampu meng ikuti perkembangan zaman
kalau tidak mencoba terus- menerus merekons truksi dirinya sesuai
dengan perkembangan mutakhir peradaban ilmiah manusia.
Ada pula yang menolak tawaran tersebut sambil menegaskan
bahwa identitas lama –termasuk pola penyikap an dan penafsiran
terhadap Al-Qur’an– adalah sudah final dan tidak boleh samasekali diotak-atik. Mengotak-atik hal-h al yang sejak lama sudah
diyakini kebenaranya sama artinya dengan me runtuhkan keimanan
dan berimplikasi keluar dari jalur keberagamaan Islam.
Tulisan berikut tidak akan secara komprehensif membahas
fenome na sila ng pendapat antara mereka yang ingin mempertahankan identitas lama dan mereka yang ingin melakukan dinamisasi
dan progress dalam ber agama dan keberagamaan. Tulisan berikut hanya ingin melihat pola argumentasi mereka yang tidak setuju
terhadap pemakaian hermeneutika sebagai sarana menafsirkan
Al-Qur’an dan kemudian mencoba untuk memposisikan argumen
tersebut secara proporsional dan kritis.
A. Argumen-argumen Anti Hermeneutika
Salah satu dampak dari pendekatan hermeneutika secara
umum adalah pola bernalar yang antroposentris. Itulah mengapa
ketika banyak orang menyebut nalar hermeneutika ini sebagai
sebentuk ta’wil1
, mungkin lebih tepat untuk menyebut hermeneutika ini tidak dengan is tilah ta’wil saja, tetapi ta’wil-antroposentris. Kenyataan antoposentris inilah yang biasa nya sangat ditentang
oleh banyak kalangan umat beragama, karena betapapun se mes ta
pemikiran dan perilaku keberagamaan adalah dunia yang penuh
dengan sakralitas dan tabu-tabu yang di asosiasikan de ngan dimensi Ilahiah, sehingga pusatnya adalah Tuhan dan bukan manusia.
Menghadapi berbagai sakralisasi dan tabu-tabu tersebut setiap
orang hanya berhak untuk tunduk dan patuh, tidak lebih, termasuk
diantaranya terhadap klaim sakralitas Al-Qur’an dalam ber bagai
aspek nya. Pendekatan hermeneutika terhadap sebuah teks suci,
terma suk Al-Qur’an, sering dipandang akan melenyapkan sakralitas teks yang dimaksud karena de ngan pendekatan hermene utika
maka segala pemahaman dan pemaknaan terhadap teks yang
semula juga dipandang sama-sakralnya dengan teks itu sendiri, kini
dianggap sekedar hasil karya manusia biasa yang meruang-waktu
serta tidak bersih dari kesalahan.
Apabila dicermati, secara umum argumentasi kelompok yang
anti herme neutika tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutika berasal
dari tra d isi Kristen, Barat, dan juga tradisi Filsafat, sehingga
tidak mustahil meng usung ideologi dan nilai-nilai Kristiani,
Barat dan juga Filsafat, yang tidak pasti sesuai dengan Islam.
Keberatan pertama ini melihat perkembangan hermeneutika ber awal dari tradisi Bibel, dan kemunculan hermeneutika ini berawal dari trauma umat Kristen saat itu ter hadap
otoritas gereja dan problemati teks Bible sendiri. Sebagai
satu teks, Bibel dianggap memiliki ba nyak auth or. Hal
tersebut dibuktikan de ngan banyaknya teori yang di te mu kan
sepu tar penulisan Bible, maka dari itu metode her me neutika
sangat menekankan pada aspek historisitas dan kondisi
penulis teks.2
Di sisi lain, apabila dilihat dari perkembangannya Kajian
hermeneutika yang pada mulanya banyak berkutat di
wilayah teo logis ternyata ke mudian bergeser ke dalam
kajian filsafat. Ketika makna herme neutika memasuki diskursus filsafat, tradisi intelek tual Barat telah siap de ngan
mekanisme pembaratan- nya. Nilai-nilai pandangan hidup
Barat yang sekuler dan anti- agama dianggap ikut memberi kan makna baru ter hadap herme neutika. Oleh karena
itu, ketika hermeneutika telah menjadi metode filsafat, ia
sudah bukan lagi metode interpretasi kitab suci, dan jika
diterapkan untuk kajian kitab suci ia dicurigai akan merusak sendi-sendi agama, karena agama disub-ordinasi kan
dibawah filsafat. Sebagai sebuah metode filsafat her me neutika
diasumsi kan penuh dengan pre-supposisi epistemologis yang ber sumber pada konsep reali tas dan kebenaran
dalam perspektif Barat yang tidak mempertimbang kan
aspek- aspek realitas yang bersifat metafisis, kosmologis
dan ontologis.3
2. Sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri
dalam menginterpretasi Al-Qur’an, yaitu Ulumul Qur’an
atau Ilmu tafsir Al-Qur’an. Argumen kedua ini pada intinya ingin menyatakan bahwa
Ilmu tafsir yang sudah lama dimiliki umat Islam masih
tetap relevan digunakan di dalam studi Islam, sementara
herme neutika tidak lah sesuai untuk diterapkan ke dalam studi tafsir yang sudah berjalan mapan dalam Islam.
Al-Qur’an tidak memerlukan herme neutika sebagaimana Bibel, karena Al-Qur’an adalah final tetap dan tidak
ber ubah. Otentisitas Al-Qur’an terjaga. Berbeda dengan AlQur’an, teks Bibel tidak fin a l, tidak tetap dan berubah-ubah.4
Tegasnya, Ulumul Qur’an sangat ber beda de ngan hermeneutika. Dasar yang sangat fundamental dari per beda an itu
terletak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas teks serta
keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengerti an
kitab suci itu.5
Sebuah artikel yang kiranya juga mengekspresikan pendirian
ke tidak - setujuan terhadap hermeneutika memberikan argumen
berikut:6
1. Berdasarkan akar katanya, hermeneutika sering di asosiasi kan dengan Hermes, yaitu seorang Dewa Yunani
yang bertugas menyampaikan pesan dari dunia dewadewa kepada manusia. Untuk melaksanakan tugasnya ini
Hermes bertanggung-jawab membuat penduduk bumi
bisa memahami apa kemauan dewa, sehingga sangat
mung kin Hermes ini memilih cara dan model ungkapan
kata sendiri untuk disampaikan kepada manusia. Apabila
dilihat dari titik ini, maka harus ditegaskan meskipun
fungsin ya sama, namun Muhammad yang mengemban
Risalah Al-Qur’an tidaklah sama dengan Hermes, Kalau
Muhammad tidak berhak menginterpretasi dan menyadur Risalah serta selalu mendapat pengawasan dari Allah
agar tidak me manipulasi Risalah, tidak demikian halnya
dengan Hermes.
2. Dalam proses penafsiran, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural, karena satu-satunya jalan untuk
memberikan interpretasi yang benar dan jujur terhadap
teks ialah penguasaan terhadap teks dan konteks historis
yang melatari munculnya teks tersebut. Berbeda dengan
tradisi ulumul Qur’an yang sangat mementingkan di mensi
otentisitas dan prosedur periwayatan sebelum menafsirkan; misalnya ada hirarki langkah-langkah penafsiran: yang
paling utama adalah ayat de ngan ayat, lalu ayat de ngan
sunnah (hadis Rasul); kemudian penafsiran sahabat, selanjut nya penafsiran tabiin.
3. Ruan







