Minggu, 14 Desember 2025

heremeneutika

 


Hermeneutika Paul Ricoeur memiliki tipologi tersendiri dalam peta herme-neutika. 

Paul Ricoeur menganalisis secara tajam aliran-aliran hermeneutika sebelumnya. Paul Ricoeur 

menyatukan kembali aliran hermeneutika dalam skema yang lebih besar yang mengapresiasi 

peran penting yang dimainkan oleh analisis strukturalis. Paradigma teks yang berpusat pada 

konteks dan pembaca inilah yang merupakan keunikan konsep hermeneutika Paul Ricoeur. 

Konsep hermeneutika Paul Ricoeur diposisikan pada kelompok postmodernis afirmatif. Paul 

Ricoeur melihat peran pengarang absen, karena pengarang tidak hadir ketika seseorang 

memahami teks. Yang hadir dalam teks adalah gaya pengarang dalam sebuah genre tertentu. 

Kata “hermeneutika “ merupakan terjemahan 

dari bahasa Inggris yakni hermeneutics. 

Hermeneutics merujuk pada kata kerja dalam 

bahasa Yunani hermeneo yang berarti meng￾ungkapkan pikiran seseorang dalam kata￾kata. Hermeneutika selanjutnya dipahami 

sebagai ilmu atau seni menafsirkan teks. 

Literatur filsafat mencatat Aristoteles 

merupakan filsuf awal yang menaruh per￾hatian pada hermeneutika melalui karyanya 

Peri Hermenias atau de Interpretation.

Aristoteles (1941: 40) berpendapat kata 

tuturan (spoken word) merupakan simbol 

pengalaman batin dan kata yang ditulis 

(written word) merupakan simbol dari kata 

tuturan. Pengalaman batin yang disimbolkan 

adalah sama untuk semua orang.

Hermeneia atau interpretasi menaruh 

perhatian pada setiap wacana (discourse) 

yang bermakna. Wacana yang bermakna ada￾lah hermeneia, menginterpretasikan realitas 

yaitu mengatakan sesuatu tentang sesuatu. 

Wacana adalah sebuah pernyataan diskursif, 

suatu bentuk penangkapan realitas melalui 

ekspresi yang bermakna, bukan sebuah 

pilihan di antara kesan-kesan yang berasal 

dari benda di dalam dirinya sendiri (Bleicher, 

1980: 237). 

The Encyclopedia of Philosophy volu￾me ketiga (1967:489) menjelaskan herme￾neutika is the outlook associated with the 

hermetic writings, a literature in Greek wich 

developed in the early centuries after Christ 

under the name " Hermes Trismegistus”. Much of it is concerned with astrology, 

philosophy hermetic literature. Kata 

hermenios diasosiasikan pada dewa Hermes 

yang bertugas mentransmisikan pesan Jupiter 

kepada manusia. Hermes bertugas menerje￾mahkan pesan dari Dewa ke dalam bahasa 

yang mudah dimengerti oleh manusia. Her￾mes memiliki arti penting dalam menjaga 

kesalahpahaman yang berakibat fatal dalam 

memahami pesan dewa (Sumaryono: 1999: 

23-24). 

Ricard E. Palmer (1969: 13), dalam 

tradisi Yanani kuno, kata hermeneuin dan 

kata hermeneia dipakai dalam tiga makna 

yakni :1) mengatakan (to say) 2) menjelaskan 

(to explain) dan 3) menerjemahkan (to 

translate) tiga makna ini dalam bahasa 

Inggris diekspresikan dalam kata : to 

Interprete. Interpretasi dengan demikian 

menunjukkan pada tiga hal pokok : 

pengucapan lisan (and oral rasitation), 

penjelasan yang masuk akal (reaseanable 

explanation), dan terjemahan dari bahasa lain 

(a translation from anather language).

Budi Hardiman (1991 : 3) menguraikan

lebih lanjut makna hermeneutika yakni : 1) 

mengungkapkan pikiran seseorang dalam 

kata-kata. 2). Menerjemahkan 3) Bertindak 

sebagai penafsir. Ketiga pengertian di atas 

sebenarnya mau mengungkapkan bahwa 

hermeneutika merupakan usaha untuk beralih 

dari sesuatu yang relative gelap ke sesuatu 

yang lebih terang. Pengertian pertama,

hermeneutika dapat dipahami sebagai sema￾cam peralihan sesuatu yang relative abstrak 

dan gelap, yakni pikiran-pikiran, ke dalam 

bentuk ungkapan-ungkapan yang jelas yaitu 

dalam bentuk bahasa. 

 Pengertian kedua, hermeneutik sebagai 

suatu usaha mengalihkan diri dari bahasa 

asing, yang maknanya gelap ke dalam bahasa 

yang dipahami maknanya secara jelas. 

Pengertian ketiga, hermeneutika merupakan 

suatu tindakan menafsirkan sesuatu, mele￾wati suatu ungkapan pikiran yang kurang 

jelas menuju ke pengertian yang lebih jelas, 

bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah 

menjadi bentuk yang lebih jelas. 

Hermeneutika pada abad tengah 

memasuki ranah interpretasi terhadap Bibel 

oleh Chladenius dan Spinoza. Hermeneutika 

pada masa ini, tertuju pada teks-teks klasik 

dengan metode filologi dalam rangka 

menafsirkan teks-teks kitab suci. Kedua 

tokoh tersebut belum menyusun konsep 

hermeneutika secara sistematis melainkan 

menekankan kesadaran kritis kepada para 

pelajar Bible untuk berani skeptis terhadap 

para pengajarnya dan berani untuk bersikap 

mandiri dalam melakukan interpretasi 

(Warnke, 1987: 10). 

Pemikiran Martin Luther terhadap 

teks-teks injil terutama bagian-bagian yang 

ambigu, telah memberi pengaruh terhadap 

kelahiran hermeneutika. Philip Melanchton 

dan Matthias Flacius Illyricus (1520-1575) 

adalah tokoh yang mengembangkan herme￾neutika khusus yang berguna sebagai kunci 

untuk memahami bagian-bagian yang sulit 

dari scripture (Grondin, 2007: 46-48).

Hermeneutika kemudian berkembang 

memasuki perdebatan yang sangat luas dalam 

teori umum mengenai interpretasi yang 

muncul pada masa Friedrich Ernst Daniel 

Schleiermacher. Schleiermacher membuka 

ruang interpretasi yang semula terbatas pada 

teks-teks klasik menuju persyaratan bagi 

sebuah pemahaman sehingga makna dapat 

dipahami.

Schleiermacher mengarahkan herme￾neutika pada seluruh bentuk ekspresi 

manusia baik berupa tulisan maupun lisan. 

Rumusan Schleiermacher mengenai sebuah 

sistem aturan interpretasi membawa perkem￾bangan hermeneutika menjauh secara gradual 

dari titik awalnya yang bersifat dogmatis. 

Hermeneutika umum tidak memperbolehkan

penggunaan metodologi khusus bagi sebuah 

teks istimewa seperti Al Kitab. Satu-satunya 

izin yang dapat dibuat bagi muatan spesifik 

semacam itu hanya terdapat di dalam aneka 

warna penggunaan metode-metode yang 

disetujui oleh ilmu hermeneutika (Palmer: 

1969, 11-12). 

Josef Bleicher (1980: 1) selanjutnya 

merumuskan hermeneutika kontemporer. 

Her-meneutika kontemporer di bagi menjadi 

tiga bidang yang jelas-jelas terpisah yakni 

teori hermeneutika, filsafat hermeneutika dan 

hermeneutika kritis. Teori hermeneutika 

memusatkan perhatian pada persoalan teori 

umum interpretasi sebagai metodologi bagi 

ilmu-ilmu humaniora (Geisteswis-sens -

chaften). Teori hermeneutika membahas 

interpretasi sebagai suatu metode untuk 

ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial. 

Teori hermeneutika membahas pedo-man￾pedoman ketentuan-ketentuan yang 

seharusnya ada untuk mengungkap makna 

dari masa lampau menuju masa sekarang.

Filsafat hermeneutika sangat berbe￾da dari teori interpretasi. Filsafat herme￾neutika mengungkapkan dan mendeskrip￾sikan fenomenologis tentang Dasein. Manu￾sia menjadi pusat perhatian dalam tempora￾litas dan historisitasnya. Filsafat hermeneu￾tika yaitu hermeneutika yang berusaha me￾ngembangkan pemikiran filsafat berdasarkan 

suatu penafsiran dengan mengembangkan 

pemahaman filosofis berdasarkan filsafat.

Filsafat hermeneutika tidak berusaha 

mencari pengetahuan yang objektif melalui 

metode yang digunakan, tetapi membuat 

deskripsi fenomenologis tentang Dasein. 

Filsafat hermeneutika mengembangkan her￾meneutika fundamental ontology. Dengan 

kata lain, ontologi tentang Dasein membawa 

kepada ilmu tentang interpretasi 

Hermeneutika kritis mempertimbang￾kan faktor-faktor di luar bahasa seperti kerja 

dan dominasi ikut membantu mengkonteks￾tulisasikan konteks pemikiran dan tindakan. 

Hermeneutika yang memperlihatkan usaha 

yang bersifat kritis tehadap asumsi-asumsi 

idealis baik dari teori hermeneutika maupun 

dari filsafat hermeneutika. Hermeneutika 

kritis berusaha menyelidiki aspek-aspek 

ideologis dari suatu peristiwa yang mungkin 

tidak diperhitungkan dalam proses penafsiran 

sebuah teks. Hermeneutika memperhatikan 

pertimbangan-pertimbangan esktra-linguistik 

sebagai faktor yang ikut membentuk dan 

menentukan teks pikiran dan aksi seperti 

kerja dan kekuasaan.

Beberapa tokoh penting yang mewa￾kili sejarah perkembangan hermeneutika di

antaranya:

1. Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher

Friedrich Ernst Daniel Schleier￾macher (1768-1834). Schleiermacher lahir di 

Breslau, Silesia. Schleiermacher tidak pernah 

menulis suatu traktat yang sistematik tentang 

hermeneutika, dan hanya meninggalkan be￾berapa catatan kecil, kumpulan kuliah, 

catatan-catatan pinggir serta dua ceramah di 

depan akademisi Prussia (Poespoprodjo, 

1985: 8). 

Sejarah perjalanan hermeneutika me￾letakkan Schleiermacher pada posisi penting 

di mana untuk pertama kalinya masalah pe￾mahaman diangkat sebagai masalah spesifik, 

sehingga pemahaman memasuki ranah 

filsafati. Schleiermacher merekonsepsi 

hermeneutika sebagai suatu masalah prinsipil 

bagi “Die Rede”, diskursus yakni semua 

pikiran yang diungkapkan ke dalam tanda￾tanda lisan atau tertulis dalam usaha 

menghindari salah paham. Herme-neutika 

melampaui keterbatasan linguistik-historikal 

dan keterbatasan teologis, sehing-ga 

hermeneutika bukanlah monopoli suatu 

disiplin ilmu tertentu seperti sastra, hukum 

atau teologi 

Hermeneutika sebagai seni pemaham￾an belum menjadi sebuah disiplin umum, 

maka tujuan fundamental dari gagasan 

Schleiermacher adalah meletakkan herme￾neutika umum sebagai seni pemaham an. 

Seni pemahaman yang ditujukan pada semua 

teks baik dokumen hukum, kitab-kitab kea￾gamaan atau karya sastra. Schleiermacher 

berpendapat meski-pun setiap teks memiliki 

perbedaan dari segi disiplinnya masing￾masing, namun pada setiap teks terdapat 

kesatuan yang lebih mendasar. Teks sesung￾guhnya berada dalam bahasa, gra-matika 

digunakan untuk memperoleh makna sebuah 

kalimat serta gagasan umum berin-teraksi 

dengan struktur gramatis untuk mem-bentuk 

makna terhadap setiap teks atau dokumen 

(Palmer, 2007: 95).

Pemahaman sebagai sebuah seni 

adalah mengalami kembali proses mental 

dari pengarang teks. Schleiermacher memulai 

dengan ekspresi baku dan final kemudian 

merunut kembali kehidupan mental yang 

memunculkan ekspresi. Interpretasi dengan 

demikian terdiri dari dua gerakan interaksi 

yakni secara gramatika dan psikologis. 

Prinsip rekonstruksi gramatika atau psiko￾logis inilah yang merupakan lingkaran her￾meneutika (hermeneutical circle) ( Palmer, 

2007: 98). 

Pemahaman adalah kegiatan referensial 

yakni proses membandingkan sesuatu dengan 

sesuatu yang sudah diketahui. Satu bagian 

membantu bagian yang lain. Suatu lingkaran 

yang memuat bagian-bagian di samping 

adanya keseluruhan. Satu persatu kata 

ditentukan artinya secara fungsional dalam 

kalimat. Masing-masing kata hanya dapat 

diketahui artinya dari kontesknya. Schleier￾macher melihat masalah polisemi yakni fak

ta bahwa sesuatu kata mempunyai berbagai 

arti. Schleiermacher membedakan Sinn yak￾ni kesatuan arti yang terbilang pada suatu 

kata, dan Bedeutung yang berarti berbagai 

kemungkinan realisasi sesuatu kata di dalam 

konteks. Interaksi antara keseluruhan dan 

bagian atau sebaliknya memberi arti pada 

yang lainnya. Pemahaman hadir dari sebuah 

gerak melingkar. Lingkaran yang memun￾culkan makna disebut lingkaran hermeneu￾tika (Poesproprodjo, 1985: 17) 

Titik tolak hermeneutika bagi Schleier￾macher adalah memahami ungkapan dalam 

bahasa tulis atau bahasa tutur, sehingga 

hermeneutika lebih merupakan seni pema￾haman. Situasi pemahaman melibatkan 

hubungan dialogis antara si pembaca teks 

dengan pengarang. Apa yang dimaksud si 

pengarang itulah yang harus di tanggkap oleh 

si pembaca. Proses hermeneutika sebagai 

proses divinasi yakni menerima serangkaian 

kata untuk menangkap artinya. Si pembaca 

harus keluar dari pendirian pribadi, agar 

terbuka terhadap pendirian si pengarang 

(Mustansyir, 2009: 37)

Schleiermacher berpandangan bahwa 

hermeneutika sebagai seni menghindari salah 

paham. Tujuan hermeneutika Schleiermacher 

adalah agar arti yang sebenarnya dari suatu 

karya seni dapat diungkapkan dan agar 

rekonstruksi yang salah dapat terhindarkan. 

Perlu diusahakan segala cara untuk menga￾dakan rekonstruksi historis dengan memun￾culkan dunia karya tersebut, artinya memun￾culkan situasi asli yang di garap, penampilan 

dan gaya aslinya. 

2. Wilhelm Dilthey

W. Dilthey (1833-1911) lahir 19 Novem

ber 1833 di Biebrich Jerman. W. Dilthey ba￾nyak dipengaruhi oleh Schleier-macher. W 

Dilthey ahli sejarah yang me-letakkan 

hermeneutika dalam perspektif kesejarahan 

dan menjadikan hermeneutika sebagai di￾siplin inti yang dapat berfungsi sebagai dasar 

bagi semua disiplin yang terpusat pada 

pemahaman karya manusia.

Masalah arti tidak pernah keluar dari 

konteks kenyataan hidup yang prosesual. 

Dilthey menganalisis proses pemahaman 

yang mem-buat seseorang mengetahui 

kehidupan pi-kiran (kejiwaannyanya) dan 

kehidupan pikiran (kejiwaaan orang lain). 

Dilthey me-nawarkan hermeneutika sebagai 

metode untuk Geisteswissenschaften yakni 

sebagai metode semua ilmu sosial dan 

humanities, semua studi yang menafsirkan 

ekspresi kehidupan kejiwaan manusia, seperti 

sejarah, hukum tertulis, karya seni dan karya 

sastra (Poespoprodjo, 1985: 24-25) . 

Pemikiran Dilthey tentang hermeneutika 

bertitik tolak dari Filsafat Hidup (Philosophie 

des Lebens) yang membutuhkan suatu pema￾haman (Das Verstehen). Hidup merupakan 

kontinum kenyataan yang bergerak dalam 

sejarah. Hidup tidak dapat diterangkan 

(erklaren) melainkan hanya dapat dipahami 

(verstehen). Kehidupan dimaknai bukan 

hanya dalam arti biologios tetapi seluruh ke￾hidupan manusia yang dialami dengan 

berbagai keanekaragamannya. Dilthey 

kemudian membagi ilmu menjadi dua bagian 

yakni ilmu kealaman (Naturwissenschaften) 

yang dapat diterangkan dan ilmu kema￾nusiaan (Geisteswissenschaften) (Musytansir 

Rizal, 2009; 42). 

Proyek penemuan basis metodologi bagi 

Geisteswissenschaften oleh Dilthey di 

anggap sebagai sebuah kebutuhan untuk 

beralih dari perspektif reduksionis dan 

mekanistis ilmu-ilmu alam dan keinginan 

untuk menemukan suatu pendekatan yang 

memadai terhadap kebutuhan fenomena. 

Proyek penemuan basis metodologi bagi 

Geisteswissenschaften ini di lihat sebagai, 

pertama: sebuah problem epistemologis. 

kedua, Persoalan mendalami konsepsi 

manusia terhadap sejarah dan ketiga, 

kebutuhan untuk memahami ekspresi dari 

luar “kehidupan itu sendiri” (Palmer, 2007: 

112).

3.Martin Heidegger (1889-1976)

Heidegger berangkat dari kenyataan 

hidup sebagaimana adanya, yang bersifat 

historikal, yang melampaui kategori statis. 

Heidegger bertolak dari analisis faksisitas 

ujud manusia (Dasein). Heidegger 

melanjutkan secara mendasar perbedaan 

antar ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial 

humanitis yang diusung oleh W. Dilthey. 

Heidegger membedakan ciri-ciri benda alami 

yang disebut kategori-kategori, sedangkan 

ciri-ciri keberadaan manusia disebut eksis￾tensi (Poespoprodjo, 1985: 63). Martin Hei￾degger juga menginginkan suatu metode 

yang akan mengungkapkan hidup dalam 

istilahnya sendiri. Heidegger merumuskan 

defenisi hermeneutika sebagai fenomenologi 

ujud manusia di dalam arti primordial/mula 

pertama dari kata tersebut, manakala ia me￾nunjuk kesibukan menafsirkan. Fenomeno￾logi bertugas menguak “ada” dan wujud 

manusia yang harus di teliti agar pertanyaan 

ontologis tentang “ada” dapat dihampiri. 

Hermeneutika adalah fenomenologi wujud 

manusia. Analitika struktur-struktur universal 

eksistensi tetap diabdikan bagi suatu herme￾neutika, yang akhirnya berurusan dengan 

pertanyaan tentang arti ada sebagai “ada”. 

Dalam arti inilah hermeneutika bersifat 

ontologis (Poespoprodjo,1985 : 68). 

Martin Heidegger mengembangkan her￾meneutika filsafati yang dicirikan dengan 

tema fundamental yang dikaji mengenai 

interpretasi Desein. Interpretasi objektif yang 

diusung teori hermeneutika di tangan Martin 

Heidegger berubah menjadi analisis transen￾dental melalui interpretasi Desein yang me￾nguji dasar eksistensial pemahaman yang 

memungkinkan titik pijak eksistensial. 

Eksistensi yang di dapat melalui tindakan 

pemahaman diri (Bleicher, 2007:140).

Hermeneutika menurut Heidegger 

bukanlah suatu penjelasan, bukan suatu 

analisis, melainkan suatu proses mende￾ngarkan sang “ada” , mendengarkan kenya￾taan itu sendiri. Satu-satunya wahana bagi 

penampilan diri sang ada bagi Heidegger 

adalah eksistensi manusia. Hermeneutika 

adalah penafsiran diri manusia itu sendiri, 

analisa ekssistensi atau kegiatan mende￾ngarkan manusia melalui bahasa (Sugiharto, 

1996:75) 

4.Jurgen Habermas

Jurjen Habermas lahir di Gummersbach 

pada tahun 1929. Habermas menempuh studi 

doktor filsafat Universitas Bonn dengan 

disertasi berjudul “ Das Absolute und die 

Geschichte”. Gagasan Habermas tidak 

terpusat pada hermeneutika, namun mendu￾kung pustaka hermeneutika. Gagasan herme￾neutika Habermas dapat ditemukan pada 

karyanya yang berjudul “ Knowledge and 

Human Interests” (Sumaryono, 1999: 87-88). 

Habermas terkenal dengan konsep herne￾neutika kritik. Habermas mencoba mene￾ngahi objektivitas proses sejarah dengan 

peran kepentingan yang bergerak dida￾lamnya. Kepentingan (interest) adalah 

orientasi dasar yang berakar dalam kondisi 

fundamental khusus dari reproduksi yang 

mungkin dan kelangsungan hidup spesies 

manusia yaitu kerja dan interaksi. Habermas 

menganggap kepentingan dan pengetahuan 

itu pada dasarnya satu, keduanya berpadu 

dalam bahasa yang dipakai. 

Hermeneutika kritik berusaha mengi￾ngatkan dua kelompok hermeneutika sebe￾lumnya yakni teori hermeneutika dan 

hermeneutika filsafati. Hermeneutika kritik 

mengingatkan bahwa, perlunya pertimbang

an-pertimbangan ekstra-linguistik sebagai 

faktor yang ikut menentukan konteks pikiran 

dan aksi seperti kerja dan kekuasaan. Her￾meneutika kritik berusaha menyelidiki aspek￾aspek ideologis dari suatu peristiwa, yang 

biasa tidak diperhatikan oleh si penafsir. 

Pertimbangan-pertimbangan ideologis ini 

seharusnya menjadi konteks dalam inter￾pretasi (Fithri, 1999: 43). 

Habermas berpendapat untuk memahami 

hermeneutika, harus terlebih dahulu 

memahami maksud dari penjelasan dan 

pemahaman. Penjelasan menuntut penerapan 

teori terhadap fakta yang terbentuk secara 

bebas melalui pengamatan sistematis. 

Sedangkan pemahaman adalah suatu 

kegiatan dimana pengalaman dan teoris 

terpadu menjadi satu. Manusia tidak dapat 

memahami secara penuh karena di dalam 

objeknya ada fakta yang tidak dapat 

diinterpretasikan Selalu ada makna yang 

bersifat lebih yang tidak dapat dijangkau oleh 

interpretasi dan hal itu mengalir dalam hidup 

keseharian manusia. Pemahaman menjadi 

sesuatu yang pokok karena melibatkan 

interpretasi (Pamungkas, 1999: 28) . 

Perkembangan hermeneutika dari masa 

ke masa telah mengakibatkan terjadinya per￾geseran paradigma makna dari yang semula 

berpusat pada pengarang dimana figur 

pengarang memilki otoritas yang menen￾tukan dalam memaknai teks. Teks-teks lain 

yang ditulis oleh pengarang yang sama, 

biasanya digunakan untuk membantu dalam 

menginterpretasi satu dengan yang lain 

dengan tujuan utama menemukan maksud 

pengarang.

Berkembangnya ilmu bahasa yang 

dipelopori oleh Ferdinand de Saussure telah 

ikut mempengaruhi perkembangan herme￾neutika selanjutnya. Hermeneutika memasuki 

fase dimana paradigma teks berdasarkan kata 

dan struktur. Ciri yang menekankan pen￾carian teks pada dirinya atau paradigma yang 

berpusat pada teks. Paradigma ini menggantikan pencarian makna teks ber￾dasarkan maksud pengarang. Orientasi uta￾ma adalah menampakkan hukum-hukum 

universal yang terletak di dalam teks 

(Lehtonen, 2000: 87). 

Ferdinand de Saussure mengembangkan 

studi linguistik struktural yang menekankan 

pemahaman bahasa dengan menjelaskan 

penataan, sistematika atau organisasi bahasa 

dalam bentuk tertentu. Saussure menyusun 

ilmu linguistik sebagai studi sistematis yang 

menekankan karakter struktural dan fung￾sional bahasa. Saussure membedakan antara 

bahasa (language) dengan wicara (speaking).

Bahasa adalah serangkaian konvensi 

yang diadopsi secara sosial yang memung￾kinkan individu-individu untuk memprak￾tekkan bahasa. Wicara (speaking) adalah 

aktifitas konkrit subyek yang memprak￾tekkan bahasa (Ricoeur, 1974: 31) 

Perkembangan hermeneutika berikutnya 

menekankan bahwa paradigma teks berpu￾sat pada konteks dan pembaca. Teks 

sesungguhnya dapat dibaca dalam berbagai 

cara. Pembacaan teks tidak bisa dilepaskan 

dari praktik dan relasi kultural di mana 

pencipta dan pembaca bertindak. Makna 

tidak pernah ditulis seolah-olah sekali untuk 

selamanya, tetapi terbentuk di dalam pemba￾caan teks yang dipengaruhi oleh pembaca 

dalam konteks dan praktik budaya di 

samping teks itu sendiri. Dari sudut ini teks 

adalah penciptaan. 

Paradigma teks yang berpusat pada 

konteks dan pembaca inilah yang merupakan 

keunikan konsep hermeneutika Paul Ricoeur. 

Rosenau (1992: 38-39) menjelaskan bahwa 

konsep hermeneutika Paul Ricoeur diposi￾sikan pada kelompok postmodernis afirmatif. 

Paul Ricoeur melihat peran pengarang absen, 

karena pengarang tidak hadir ketika 

seseorang memahami teks. Yang hadir dalam 

teks adalah gaya pengarang dalam sebuah 

genre tertentu. 

Ricoeur berpendapat teks bersifat 

otonom. Teks tidak terikat pada horison 

pengarang, situasi asli dan pembaca asli. 

Teks bagi Ricoeur mengatakan sesuatu 

tentang sesuatu. Ia mengacu pada sesutau di 

luar dirinya atau acuan (refernce). Pembaca 

dalam menghadapi teks berada dalam posisi 

berjarak (distance) dan mengapropriasi 

(apropriate). Dalam mengapropriasi pem￾baca membawa horison masing-masing, tapi 

pembaca juga dibatasi oleh teks yang 

membawa kandungan tententu (Ricoeur, 

1991: 118-119) . Hermeneutika Paul Ricoeur 

berbeda dari tiga tradisi hermeneutika yang 

dirumuskan Joseph Bleicher. Pemikiran 

hermeneutika Paul Ricoeur menjembatani 

perdebatan sengit dalam peta hermeneutika 

antara tradisi metodologis dan tradisi 

filosofis (Bleicher, 1980: 233). Hermeneutika 

Paul Ricoeur satu sisi ditujukan untuk 

menyingkap makna objektif dari teks-teks 

yang memiliki jarak ruang dan waktu dari 

pembaca, disisi lain Paul Ricoeur juga 

menganggap maksud pengarang sudah tidak 

digunakan lagi sebagai acuan utama dalam 

memahami teks .

Paul Ricoeur juga menjadi mediator 

antara tradisi hermeneutika romantis dari 

Schleiermacher dan Dilthey dengan herme￾neutika Martin Heidegger. Paul Ricoeur 

menempatkan hermeneutika sebagai kajian 

terhadap ekspresi-ekspresi kehidupan yang 

terbakukan dalam bahasa, tetapi juga me￾nyingkapkan potensi Ada atau eksistensi. 

Keunikan Paul Ricoeur yang lain adalah 

memadukan dua tradisi filsafat fenomenologi 

Jerman dan Strukturalisme Perancis. Dalam 

perspektif fenomenologi Paul Ricoeur 

memadukan antara tendensi metafisik 

Cartesian Edmund Husserl dan tendensi 

eksistensial dari Heidegger. Paul Ricoeur dari sudut pandang Strukturalisme, menga￾dopsi aliran dari Ferdinand de Saussure 

maupun aliran Claude Levis- Strauss. Paul 

Ricoeur dalam mengeksplorasi isi pada 

kajian hermeneutika juga mengakomodir

kritik ideologi di satu sisi dan psikoanalisis di 

sisi lain (Permata, 2002 :202-205). 

 

A. Biografi Paul Ricoeur

Paul Ricoeur adalah salah seorang 

filosof terpenting abad dua puluh. Paul 

Ricoeur lahir di Valence, Prancis Selatan 

pada tanggal 27 Februari 1913. Paul Ricoeur 

menjadi yatim piatu pada tahun 1915 karena 

ibunya meninggal dan ayahnya tewas dalam 

perang Mame. Ricoeur kemudian dipelihara 

oleh kakek, nenek, serta bibinya. Ricoeur 

dibesarkan dalam lingkungan keluarga Kris￾ten Protestan yang sholeh, lingkungan yang 

kemudian membesarkannya sebagai seorang 

intelektual Protestan terkemuka di Prancis.

Paul Ricoeur mulai berkenalan dengan 

filsafat dari seorang Thomisme bernama R. 

Dalbiez di Lycee dan memperoleh licence de 

philosophie pada tahun 1933. Ricoeur 

dengan lisensi tersebut melanjutkan pendi￾dikannya di Universitas Sorbonne. Paul 

Ricoeur meraih agregation de philoshophie 

pada tahun 1935. Paul Ricoeur menekuni 

bidang filsafat pada saat pemikiran Eropa 

sedang di warnai oleh pemikiran tokoh-tokoh 

besar filsafat terutama paham eksistensia￾lisme seperti pemikiran Husserl, Heidegger, 

Jaspers dan Marcel. Pemikiran Marcel cukup 

banyak mendapat perhatian Ricoeur. 

Pengaruh pemikiran Marcel, membawa 

Ricoeur pada persoalan ontologi konkret 

yang digabungkan dengan tema kebebasan, 

keterbatasan, dan harapan. Ricoeur 

selanjutnya mendalami pemikiran Edmund 

Husserl, Martin Heidegger dan Karl Jaspers 

(Ricoeur, 2009: 3). 

Paul Ricoeur dalam otobiografinya 

menjelaskan bahwa fenomenologi Husserl 

sangat mempengaruhi pemikirannya. Paul 

Ricoeur adalah salah seorang pendukung 

filsafat Jerman terutama fenomenologi ketika 

melanjutkan pendidikan di Jerman sebelum 

perang dunia kedua meletus. Paul Ricoeur 

banyak menulis artikel dengan bermacam 

topik, seperti Freedom and Nature: The 

Voluntary and the Involuntary (1950, Eng. tr. 

1966), dan du volume tentang Finitude and 

Culpability, dan dua bagiannya Fallible Man

(1960, Eng. tr. 1967, dan The Symbolism of 

Evil (1960, Eng. tr. 1970); Freud and 

Philosophy: An Essay on Interpretation

(1965, Eng. tr. 1970); The Rule of Metaphor

(1975, Eng.tr. 1977) dan tiga volume dari 

Time and Narrative (1983-85, Eng. tr. 1984-

88, publikasi dari kuliah Gifford dengan 

judul Oneself as Another (1990, Eng. tr. 

1992, Memory, History, Forgetting (2000, 

Eng. tr. 2004,) and The Course of 

Recognition (2004, Eng. tr. 2005 ). Selain 

buku-bukunya, ia juga menulis lebih dari 500 

esei, dan yang paling penting diterbitkan 

dalam 10 volume dan sudah diterjemahkan 

dalam bahasa Inggris. Di antara ke-10 

volume ini, yang sangat penting adalah Dari 

Teks menuju Aksi (1986, Eng. tr. 1991) and 

Sang Adil (1995, Eng. tr. 2000). Tulisan Paul 

Ricoeur sebagian besar memiliki kepedulian 

terhadap perkembangan antropologi filsa￾fat. Antropologi yang Ricoeur sebut sebagai 

“antropologi manusia yang mampu” ber￾tujuan untuk memberikan kemampuan dan 

kerapuhan fundamental pada umat manusia 

dengan menunjukkan kegiatan-kegiatan yang 

membentuk hidup manusia. Ricoeur selalu 

menolak setiap teknik Cartesianesque yang 

mengklaim transparansi absolute dari diri 

kepada diri yang sejatinya akan memberikan 

pengetahuan diri yang mandiri untuk semua 

ilmu pengetahuan di dunia ini.

Kemampuan Ricoeur menguasai isu-isu 

filsafat dan melakukan mediasi dari berbagai 

aliran filsafat yang bertentangan merupakan 

salah satu kekuatannya. Ricoeur menggu￾nakan hermeneutika untuk menunjukkan 

bagaimana hal-hal yang bertentangan dapat 

berjalan bersama dengan mengaitkan salah 

satu pandangan dalam konteks pandangan 

yang lain. Ricoeur menghargai pluralitas 

suara dan pertanyaan dari yang lain 

sementara tetap menghormati dorongan 

filosofis yang orisional untuk menemukan 

kesatuan nalar, dan kejernihan dalam sejarah 

(Kaplan, 2003: 1-2).

Marcelino menjelaskan bahwa struktur 

pemikiran Ricoeur dapat dikategorikan pada 

4 hal: Pertama, pendidikan dan pengaruh

nya sampai tahun 1950. Kedua, fenomeno￾logi dari tahun 1950-1960. Ketiga, herme￾neutika dari tahun 1960-1990). Keempat, 

filsafat praktis yang berkaitan dengan etika, 

politik dan filsafat. Di antara keempat taha￾pan di atas, periode hermeneutika merupakan 

periode terbesar dan terpenting baik dari 

segi waktu maupun jumlah publikasinya 

(www. fondsricoeur.fr).

Paul Ricoeur memulai perjalanan 

intelektualnya dari filsafat kehendak (Philo￾shopy of Will). Pemikiran filfasat kehendak 

dituangkan Ricoeur pada tiga jilid buku. 

Buku pertama berjudul Freedom and Natu￾re, The Voluntary and Involuntary. Jilid 

kedua muncul pada tahun 1960 dengan judul 

Guilt an Finitude yang terdiri dari dua buku 

yakni Fallible Man dan buku kedua The 

Symbolism of Evil. Sedangkan jilid ketiga 

belum sempat dipublikasikan (Mukallam: 

2005, 33). Paul Ricoeur adalah seorang filsuf 

yang unik, yang menggabungkan antara fe￾nomenologi dengan metode hermeneutik, dan 

menghasilkan konsep tentang hermeneutika 

fenomenologis. Konsep Paul Ricoeur bermu￾la dari interpretasinya terhadap permasa￾lahan fenomena budaya. Ricoeur menya￾takan peran refleksi kritis filsafat sangat 

penting dalam memahami fenomena budaya 

sehingga dapat diungkap lebih baik. 

Permasalahan metode hermeneutika haruslah 

dianggap sebagai permasalahan filsafat, 

karena sesungguhnya usaha interpretasi 

merupakan pengungkapan sebuah maksud 

yang lebih mendalam, yakni menjembatani 

hal-hal yang sifatnya otonom dengan perbe￾daan-perbedaan budaya.

Bleicher (1980: 4) berpendapat herme￾neutika Paul Ricoeur memiliki tipologi ter￾sendiri dalam peta hermeneutika. Paul 

Ricoeur mengalisis secara tajam aliran-aliran 

hermeneutika sebelumnya. Paul Ricoeur 

menyatukan kembali aliran hermeneutika 

dalam skema yang lebih besar yang 

mengapresiasi peran penting yang dimainkan 

oleh analisis strukturalis. Pendapat Bleicher 

ditegaskan oleh Palmer (1969: 44) yang 

menyatakan bahwa hermeneutika Paul 

Ricoeur memiliki sudut pandang yang 

berbeda dari faham dan definisi 

hermeneutika sebelumnya.

Paul Ricoeur ingin memindahkan feno￾menologi ke dalam hermeneutik dan meng￾garisbawahi konsep teks secara tidak 

langsung dan dialektis daripada langsung dan 

univokal. Paul Ricoeur memilih bahwa jalan 

yang terbaik adalah dengan menentukan 

bahwa seperangkat ekspresi simbolik dan 

mitos oleh manusia akan dapat memahami 

dirinya dengan lebih baik. Simbol adalah 

“jalan” yang secara tidak langsung atau 

perantara dan melalui konstitusi interpretasi 

akan membuka cakrawala hermeneutik 

fenomenologi atau filsafat hermeneutik. 

Pemikiran Ricoeur memasuki babak baru 

dalam teori interpretasi atau hermeneutika 

sekitar tahun 1960-1990 yang ditandai de￾ngan beberapa karya seperti Freud and 

Philosophy : An Essay on Interpretation 

1965), The rule of Metaphor ( 1975 dan The 

Theory of Interpretation (1976). Disusul 

kemudian beberapa tulisan yang berjudul 

Conflict Interpretasi (1969), Hermeneutic 

and Human Sciences (1981), From text to 

Action ( 1991) dan Time an Narrative (1984-

1988). 

Paul Ricoeur merancang hermeneutika 

sebagai teori interpretasi dalam bangunan 

epistemologi dan lebih spesifik mengarah 

pada masalah fundamental yakni herme￾neutika kenyataan “aku berada” (herme￾neutika keberadaan subjek). Paul Ricoeur 

berusaha menemukan keberadaan diri lewat 

teks. Paul Ricoeur selalu memunculkan 

sebuah pertanyaan yang mendasar yakni 

memaknai keberadaan diri sebagai manusia. 

Paul Ricoeur berpendapat teks dan pema￾haman tekstual dapat menemukan jejak-jejak 

keberadaan manusia. Barangkali inilah yang 

dimaksud dengan antropologi filosofisnya, 

karena selalu mempertanyakan makna 

keberadaan manusia. Joko Siswanto men￾jelaskan (2008: 54) Ricoeur adalah seorang 

penulis yang sangat produktif dan seluruh 

karya-karyanya terkait dengan tema agung 

kefilsafatan yakni “makna Hidup”. Ketetapan 

hatinya menggarap filsafat tentang her￾meneutika diri (hermeneutic of self) membuat 

tema ini dapat dipahami oleh banyak orang. 

Hermeneutika bagi Paul Ricoeur adalah 

suatu peralihan antara refleksi abstrak dan 

refleksi konkret. Ricoeur ingin mengetahui 

batas-batas isolasi struktur pikiran manusia 

sekaligus menjadikan hermeneutika sebagai 

titik tolak menjawab pertanyaan apa artinya 

menjadi manusia. Manusia tidak mungkin 

mengetahui dirinya secara langsung. Agar 

manusia terhindar dari idealisme atau 

kepastian subjektif, kepenuhan, dan kom￾pleksitas keberadaan manusia dapat diketahui 

melalui hermeneutika kesangsian. Herme￾neutika bertugas menunjukkan bahwa pe￾mahaman akan orang lain dan tanda￾tandanya di dalam kebudayaan yang berbeda￾beda terjadi bersamaan dengan pemahaman 

manusia akan dirinya dan pemahaman akan 

ada (Poespoprojo, 1985: 116). 

Pemahaman diri yang lebih baik ter￾ungkap dalam ketulusan yang terstrukturasi 

dalam tindakan seperti tujuan, motif, sarana, 

pelaku, imajinasi dan kehendak. Tindakan 

bukanlah muncul begitu saja namun bermula 

dari sikap meniru dengan mendengar, meli￾hat, membaca dan sesuatu yang telah dibuat. 

Dengan demikian terdapat hubungan antara 

tindakan dan kisah. Paul Ricoeur membahas 

masalah ini dalam mimesis. Mimesis berasal 

dari kata “mimesthai” yang berarti meniru, 

interpretasi.mengulang, mengikuti, 

meneladani, memalsu dan menciptakan 

kembali. Menurut Ricoeur tindakan 

kreatiflah yang merupakan tindakan manusia. 

Tindakan kreatif memerlukan pemahaman 

diri melalui kisah yang diantarai oleh tanda, 

simbol dan teks. Pemahaman diri yang 

memungkinkan transparansi pada hakikatnya 

ditemukan dalam penafsiran (hermeneutika) 

(Haryatmoko, 2000: 28).

B. Teori Hermeneutika Paul Ricoeur

Hermeneutika menurut Ricoeur (1991: 

53) adalah teori tentang bekerjanya pema￾haman dalam hubungannya dengan inter￾pretasi teks (the theory of the operation of 

understanding in their relation to the 

interpretation of text). Teks merupakan 

realisasi diskursus (wacana) yang dibakukan 

melalui tulisan. Hermeneutika dengan 

demikian berhubungan dengan kata-kata 

yang tertulis sebagai ganti kata-kata yang 

diucapkan. Teks bagi Ricoeur bukan hanya 

wacana yang mengendap pada tulisan, tetapi 

juga setiap tindakan manusia yang memiliki 

makna (tujuan tertentu). Ricoeur berpendapat 

berdasarkan analisisnya pada hermeneutik 

sebagai kajian teks, objek ilmu-ilmu sosial 

dan humaniora memiliki karakter sebagai 

teks. Pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial 

dan humaniora haruslah berupa kajian 

interpretatif.

Argumen Paul Ricoeur didukung empat 

alasan yakni: Pertama, realitas sosial atau 

sejarah baru dapat dijadikan sebagai kajian 

ilmiah ketika sudah terbakukan dalam meka￾nisme dan struktur. Sama halnya dengan keti￾ka wacana dibakukan lewat tulisan. Kedua, 

sebuah tindakan sosial memiliki makna 

objektif. Makna tindakan tidak terbatas pada 

maksud semula. Makna teks tidak selalu 

tergantung pada maksud pengarang. Ketiga, 

realitas sosial yang memiliki karakter teks 

juga memperlihatkan bahwa makna tindakan 

tidak harus dipa-hami berdasarkan konteks 

awal. Tindakan dapat bermakna lain ketika 

dihubungkan dengan konteks yang berbeda. 

Keempat, sebuah teks memiliki keterbukaan 

pada makna baru. Sebuah tindakan sesung￾guhnya sangat terbuka untuk diinterpretasi 

kapan saja dan oleh siapa saja. Sebuah 

tindakan akan diuji oleh perjalanan sejarah 

itu sendiri (Pertama, 2002: 224-228). Paul 

Ricoeur melalui konsep hermeneutika ingin 

memba-ngun sebuah epistemologi baru bagi 

ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Teks tertulis yang merupakan fokus 

kajian dari hermeneutika dimediasi oleh ba￾hasa. Refleksi atas hakikat dan fungsi bahasa 

pada hermeneutika merupakan modus 

keberadaan dan tonggak eksistensi manusia. 

Sangat penting untuk dipahami bahwa her￾meneutika memiliki hubungan yang istimewa 

dengan bahasa, karena bahasa merupakan 

ladang garap hermeneutika. Kata-kata adalah 

simbol-simbol karena menggam-barkan mak￾na lain yang sifatnya tidak langsung, tidak 

begitu penting serta berupa kiasan dan hanya 

dimengerti melalui simbol-simbol tersebut 

(Sumaryono, 1999: 105). Usaha re-regio￾nalisasi hermeneutika lewat pengertian teks 

menyadarkan Ricoeur akan pentingnya 

memahami kontur bahasa sepenuhnya yang 

memunculkan persoalan tentang kategori –

kategori tekstualitas, bahasa yang bersifat 

polisemi yakni kata yang memiliki makna 

lebih dari satu, dan masalah konteks yang 

tidak lepas dari polisemi. Ricoeur (1991: 54) 

menyebut apa yang terucap atau tertulis 

mempunyai makna lebih dari satu jika 

dihubungkan dengan konteks yang berbeda. 

Untuk mengimbangi polisemi kata diperlu￾kan pemilihan konteks yang selektif guna 

menentukan nilai yang dikandung oleh kata 

tersebut di dalam pesan yang dilontarkan 

oleh pembicara kepada pendengar yang 

berada dalam situasi ter-tentu. Kepekaan 

terhadap konteks ini merupakan pelengkap 

yang sangat penting dan akan melibatkan 

aktivitas penilaian yang diuji lewat 

pertukaran pesan. Aktivitas Tugas utama 

interpertasi adalah untuk menciptakan dis￾kursus yang relatif bermak-na tunggal diba￾ngun berdasarkan makna polisemi serta 

untuk mengetahui maksud dari ketunggalan 

makna ketika menerima sebuah pesan. 

Penyelidikan terhadap bahasa hakikatnya 

sejajar dengan penyelidikan tentang penga￾laman manusia (Poespoprodjo, 1985: 117). 

Melacak kembali ekspresi pengalaman dan 

pikiran manusia melalui bahasa, akan dapat 

ditemukan kembali manusia konkrit yang 

berada di dunia itu. Ekspresi simbolik akan 

mengatakan sesuatu arti dan mempunyai 

referensi yang bermakna ganda. 

Bagi Ricoeur ekspresi tidak sama dengan 

yang tampak, pada ekspresi Ricoeur mencari 

pikiran dan pengalaman dari subjek yang 

mengekspresikan diri. Pengalaman harus 

dibaca lewat expresi dan penyelidikan atas 

ekspresi dilakukan lewat interpretasi. Sesuatu 

yang jauh secara waktu, geografis, budaya dan secara spiritual melalui interpretasi 

menjadi suatu yang dekat. Interpretasi 

mengkaji expresi agar dapat mendengar dan 

mengulang lagi. 

Hermeneutika merupakan bekerjanya 

teori pemahaman dalam kaitan-nya dengan 

interpretasi teks. Tugas herme-neutika ada￾lah mengenali dunia teks dan dunia yang 

dibahasakan oleh teks dan bukan jiwa 

pengarang. Hermeneutika bukan men-dapat￾kan kembali maksud yang hilang dibalik 

teks, tetapi membentangkan di hadapan teks 

dunia yang dibukakan dan diperlihatkan. 

 Pembedaan konsep hermeneutika Paul 

Ricoeur menjadi sangat penting dengan meli￾hat struktur hermeneutika yang merupakan 

basis teori interpretasinya meliputi wacana, 

teks dan metafore serta narasi.

1. Wacana (Discourse)

Teori interpretasi yang dikembangkan 

Ricoeur berdasarkan pembedaan antara dua 

realitas linguistik yakni sistem bahasa dan 

wacana (discourse). Ricoeur menyebut 

wacana sebagai sisi lain dari sistem bahasa the 

counterpart of what linguists call languange 

system or linguistic codes. 

Wacana merupakan peristiwa bahasa ketika 

seseorang mengatakan sesuatu pada orang yang 

lain tentang sesuatu. Discourse is language￾event or linguistic usage (Ricoeur, 1991: 145). 

Wacana adalah medium pemahaman di mana 

peristiwa dan makna serta kutub-kutub subjektif 

dan objektif dapat di-artikulasikan. Wacana 

adalah maksud komu-nikatif, maksud yang 

menandai, atau keinginan untuk mengutarakan 

sesuatu yang melampaui peristiwa produksinya. 

 Wacana sebagai peristiwa bahasa memiliki 

empat ciri dan dapat dibedakan dengan sistem 

tanda :

1. Wacana direalisasikan secara temporal seka￾rang, di sini, sedangkan sistem bahasa tidak

ber sifat virtual dan diluar waktu. 

2. wacana bersifat self–referential, yaitu menga￾cu pada pembicara melalui serangkaian cara 

dengan menunjuk kata ganti personal (aku, 

dia, engkau, kita, kami). 

3. wacana selalu mengacu pada sesuatu realitas 

yang dideskripsikan, diutarakan, semen-tara 

tanda di dalam sistem bahasa hanya mengacu 

satu sama lain di dalam sistem yang sama. 

4. Di dalam wacana semua pesan dipertukarkan 

sehingga ia bukan hanya meli-batkan dunia 

yang diacu, tetapi juga orang lain yang terlibat 

dalam komunikasi atau orang lain yang dituju, 

sementara sistem bahasa hanya merupakan 

kondisi yang memungkinkan ber-langsungnya 

komunikasi sebagai penyedia kode-kode 

(Ricoeur, 1991: 145-146). 


Empat unsur penting dalam wacana 

yaitu: Pertama, pembicara. Kedua, waktu dan 

tempat. Ketiga, pesan. Keempat, pendengar. 

Wacana disampaikan seorang pembi cara 

yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu

yang ingan menyampaikan pesan pada seseo￾rang atau sekelompok yang lain. 

Ricoeur (1981: 177-181) menegaskan 

bahasa sebagai wacana adalah sebuah dialek￾tika peristiwa dan makna, rasa dan rujukan. 

Wacana menempati peristiwa sebagai peris￾tiwa tetapi memiliki makna yang ideal dan 

dapat diulang yang memungkinkan apa yang 

diucapkan untuk diulangi, diidentifikasi atau 

dikatakan secara berbeda. Wacana adalah 

kejadian yang ideal yang membuat bahasa 

menjadi aktual sekaligus entitas yang dapat 

diidentifikasi dan dapat diidentifikasi lagi 

sebagaimana adanya. Sebuah peristiwa 

sesungguhnya be-rsifat referensial (tentang 

sesuatu), referensi diri (dikatakan oleh 

seseorang), dan tempo-ral (dikatakan orang) 

.Wacana dapat dibedakan dari tuturan (live 

speech) dan tulisan (writing).

Pada saat dituturkan, wacana meru￾pakan peristiwa yang menampak, kemudian 

menghilang atau cepat berlalu. Seseorang 

mengatakan suatu hal, kejadian tersebut 

sebentar, seketika, menampak lalu menghi￾lang. Seseorang harus menuturkan ulang 

ketika akan mengenali kembali akan 

maknanya. Pada tulisan, waca-na mengalami 

proses pembakuan (pengawetan) atau pendo￾kumentasian. Ricoeur berpendapat bahwa 

tulisan adalah sebuah penyembuhan dari 

kelemahan wacana sebagai peristiwa pada 

tingkat tuturan. 

Wacana merupakan dua kutub yang 

saling berdialektika yakni peristiwa dan 

makna. Wacana ingin menyelamatkan makna 

bukan persitiwa itu sendiri. Wacana dapat 

dikenali kembali melalui tulisan sehingga 

terjadi proses pemahaman. Makna yang 

melekat pada peristiwa itulah yang 

sesungguhnya ingin dipermanenkan. Paul 

Ricoeur (1981 : 182) memahami makna 

dalam pengertian luas yang meliputi semua 

aspek dan semua level pengungkapan 

maksud yang pada gilirannya memungkinkan 

pengejawantahan diskursus dalam tulisan dan 

dalam karya.

Ricoeur terinspirasi dari konsep pemi￾kiran tokoh filsafat bahasa analitik yakni 

Austin dan Sarle tentang act of speech (aksi 

bahasa). Pendapat kedua tokoh ini adalah 

aksi bahasa terbentuk berdasarkan atas tiga 

tingkatan yakni : Pertama, Locutionary: me￾ngatakan. Kedua, Illocutionary : aksi yang 

dilakukan oleh pembicara yang menyertai 

aksi mengatakan. Ketiga, Perlocutionary, 

yakni memaksudkan sesuatu ketika sese￾orang mengatakan sesuatu. Austin ingin 

menunjukkan bahwa bahasa lebih dari 

sekedar menggambarkan fakta-fakta, subjek 

melakukan berbagai hal dengan bahasa. Pem￾bicara menggunakan bahasa dengan mengi￾kuti aturan-aturan penerapan yang tepat dan 

berlaku untuk dapat mencapai tujuan-tujuan 

tertentu dan melakukan tugas-tugas tertentu. 

Teori tindak wicara mengisyaratkan ada￾nya pengakuan timbal balik mengenai 

maksud-maksud yang dikehendaki pembi￾cara maupun pendengar. Wacana me-rupakan 

kinerja wicara dialogis, komunikatif dimana 

pembicara dan pendengar menggu-nakan 

bahasa untuk men-capai sejumlah maksud, 

tujuan dan tugas-tugas tertentu. Peristiwa 

wacana adalah pengalaman dialog bersama, 

dan pada saat yang sama ko-munikasi makna 

melampaui peristiwa pro-duksinya. Orientasi 

dialog adalah menuju pemahaman bersama 

dan pengakuan timbal balik yang berarti 

seorang pembicara berusaha untuk mempro￾duksi sebuah pengalaman dengan pendengar-

nya dimana pendengar me-ngenali maksud￾maksud pembicara (Ricoeur, 1976: 19). 

Ricoeur juga memperjelas makna waca￾na dengan membedakan antara arti (sense)

dan rujukan (reference). Basis objektif waca￾na yakni sesuatu yang dimasudkan oleh 

kalimat atau sesuatu yang dirujuk oleh ka￾limat tertentu. Dengan demikian bisa dijelas￾kan arti sebuah wacana berbicara tentang 

“apa”nya, sedangnya rujukannya berbicara 

“tentang apa”nya wacana. Makna wacana 

memiliki arti imanen dalam dirinya, se￾dangkan referen ( rujukannya) mengacu pada 

dunia tertentu (Poespoprodjo, 1985: 129). 

 Ricoeur menjelaskan terdapat tiga ciri 

wacana dalam kaitannya dengan perbedaan 

karakter antara wacana tuturan dan wacana 

tulisan serta hubungannnya dengan subjek 

pembicara yang mengingatkan bahwa waca￾na selalu mengacu pada dunia yang meru￾pakan nilai objektif wacana atau mak-na.

Seseorang yang mengatakan sesuatu sesung￾gunya dia sedang mengatakan tentang sesua￾tu. Ricoeur selanjutnya membedakan an-tara 

pengertian (sense) dan trujukan (reference) 

dari sebuah proposisi. Pengertian merupakan 

makna yang aada dalam tubuh teks. 

Sedangkan acuan merupakan makna ektra 

linguistik yang bersifat transenden. Penger￾tian dapat di jelaskan melalui hu-bungan 

antar tanda di dalam teks, sedangkan acuan 

dapat dipahami dalam hubungannya dengan 

realitas yang ingin dituju oleh teks (Ricoeur, 

1976: 19).

Acuan pada wacana tutur juga berbeda 

dengan acuan pada wacana tulisan. Pada 

wacana tutur, dunia yang diacu adalah situasi 

bersama diantara orang-orang yang terlibat 

dalam komunikasi pada sebuah dialog seperti 

tindakan yang mengiringi pembicaraan ada￾nya gerak-gerik, senyuman, menunjuk jari 

dan lain-lain. Dengan demikian ciri yang 

melekat pada wacana tuturan bersifat ostensif 

(menunjuk). Kondisi inilah yang melatar￾belakangi makna dalam dialog (wacana tutur) 

dimana sang pembicara dan pendengar hadir 

dalam satu waktu dan ruang.

 Acuan atau referensi pada wacana 

tidak bersifat ostensif atau menunjuk. Orang￾orang yang terlibat dalam komunikasi tidak 

hadir dalam komunikasi. Tulisan diciptakan 

ketika pembaca tidak hadir, dan pembaca 

hadir setelah tulisan selesai dibuat. Wacana 

tulisan diperuntukkan bagi siapa saja yang 

bisa membaca. Teks membebaskan dirinya 

dari maksud pengarang dan batas-batas acuan 

ostensif.

Hal ini dapat membuka dimensi baru 

dari sebuah teks tentang eksistensi perluasan 

makna teks. Teks sebagai wacana tulisan 

menurut Ricoeur merupakan model bagi 

pemahaman dalam keseluruhan wilayah 

interpretasi karena ia menawarkan serang￾kaian modus yang lebih memadai (Ricoeur, 

2009: 186).

Wacana memiliki subjek yang dituju 

yang memungkinkan terjadinya pertukaran 

makna. Seseorang yang mengatakan sesuatu 

dan memaksudkan sesuatu, hal ini ditujukan 

pada orang lain sebagai pihak yang terlibat 

dalam komunikasi. Pada sistem bahasa tidak 

terjadi pola pertukaran makna seperti ini, 

karena sistem bahasa tidak memiliki subjek, 

virtual dan belum aktual. Sistem bahasa 

hanya merupakan pondasi yang memung￾kinkan terjadinya komunikasi, sementara 

komunikasi yang aktual terjadi di dalam 

wacana yakni proses seseorang mengatakan 

sesuatu tentang sesuatu hal pada orang lain. 

Dialektika peristiwa dan makna, arti dan 

rujukan tidak hanya memunculkan wacana 

yang diucapkan tetapi juga wacana yang 

ditulis yakni teks.Paul Ricoeur berpendapat teks adalah 

sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. 

Wacana dilanggengkan lewat tulisan. Paul 

Ricoeur menjelaskan bahwa teks adalah 

sebuah diskursus yang dibakukan lewat 

tulisan, karena pembakuan lewat tulisan 

merupakan ciri konstitutif dari teks itu 

sendiri (Ricoeur, 1991: 106). Perkataan dan 

tulisan merupakan dua pilihan dan bentuk 

perwujudan diskursus yang sama-sama sah. 

Paul Ricoeur ketika menjelaskan makna teks, 

memulai penjelasan bahwa tulisan meru￾pakan tambahan dari peristiwa ucapan. Jadi 

apa yang terbakukan lewat teks adalah 

diskursus yang memang dapat diucapkan 

namun dia ditulis karena tidak diucapkan lagi

(Ricoeur, 2009: 196-197). Pembakuan mela￾lui tulisan menempati posisi ucapan. 

Implikasi dari pemahaman ini adalah bahwa 

sebuah teks akan menjadi teks yang 

sebenarnya bila teks tidak hanya terbatas 

untuk memproduksi ujaran kembali. Teks 

bagi Ricoeur tidak dapat disamakan begitu 

saja dengan tulisan. Terdapat perbedaan di

antara keduanya, pertama problem herme￾neutika bukanlah muncul dari tulisan 

melainkan dialektika antara ucapan dan 

tulisan. Kedua, dialektika ini dibentuk berda￾sarkan dialektika penjarakan yang lebih 

primitif ketimbang oposisi tulisan dan ucapan 

(Ricoeur, 2009: 176) 

Ricoeur berpendapat tulisan memerlu￾kan pembacaan melalui cara atau konsep￾konsep interpretasi. Dapat ditegaskan bahwa 

dalam hubungan membaca dan menulis 

tidaklah sama dengan hubungan bertanya￾menjawab. Membaca sebuah teks bukanlah 

berdialog dengan pengarang melalui karya￾nya. Hubungan pembaca dengan buku sa￾ngatlah mempunyai karakter yang berbeda 

dengan hubungan penanya dengan orang 

yang menjawab dalam sebuah peristiwa. 

Perbedaan yang mendasar adalah pada saat 

dialog terjadi peristiwa bertukar tanya dan 

sebuah jawaban yang diberikan pada suatu 

peristiwa. Sementara pertukaran itu tidak 

terdapat pada pembaca dengan pengarang 

melalui karyanya. Pembaca tidak tahu dan 

tidak terlibat dalam menulis, dan penulis juga 

tidak tahu dan tidak terlibat pada saat mem￾baca. Dalam hal ini buku atau teks memba￾tasi penulis dengan pembaca. Penulis tidak 

merespon pembaca, demikian juga pembaca 

tidak merespon penulis. Di dalam buku tidak

terdapat komunikasi antara penulis dan 

pembaca. Teks dalam hal ini menciptakan 

bayangan ganda yakni pembaca dan penulis.

Teks yang menjadi pembatas antara 

pembaca dan penulis juga telah menggan￾tikan posisi dialog antara dua orang yang 

bertanya jawab dalam suatu peristiwa . 

Pembacaan terhadap teks yang menempati 

posisi dalam dialog akan terasa lebih jelas 

ketika pembaca bertemu dengan pengarang, 

namun merasa tidak nyambung dalam 

hubungannya dengan karya pengarang 

tersebut. Hal ini disebabkan karena pembaca 

merasa dibatasi dan hubungannya menjadi 

tidak sempurna dan utuh terhadap teks 

tersebut. Dengan kata lain Ricoeur menjelas￾kan membaca sebuah buku berarti mengang￾gap pengarangnya sudah mati dan buku itu 

lahir persis setelah pengarangnya mati. 

Pengarang dengan demikian tidak dapat 

merespon kembali dan cara satu-satunya 

yang tersisa yang dilakukan adalah membaca 

karyanya (Ricoeur: 2009: 198).

Ricoeur berpendapat teks bersifat oto￾nom. Teks memiliki kemandirian dan tota￾litas. Teks yang memiliki kemandirian memi￾liki empat ciri yakni : Pertama, Makna yang 

terdapat pada teks tentang “apa yang dikata￾kan” terlepas dari “proses pengungkapan”. 

“Apa yang dikatakan” dengan “proses peng￾ungkapan” pada teks dibandingkan denganbahasa lisan, keduanya tidak bisa dilepaskan. 

Makna tidak saja ditangkap dari kalimat yang 

disampaikan didalam percaka-pan lisan tapi 

juga disempurnakan oleh mimik, intonasi dan 

lain sebagainya. Kedua, Makna teks tidak 

terikat kepada pengarang atau pembicara 

pada bahasa lisan. Teks selalu berusaha 

keluar dari cakrawala pengarang sehingga 

makna teks tidak lagi berhubungan dengan 

psikologi maksud pengarang. Maksud si 

pengarang terhalang oleh teks yang sudah 

baku dan pengarang merupakan pembaca 

pertama.

Text’s career escapes the finite horizon 

lived bay its author. What the text says now 

matters more then what the author meant to 

say, and very exegesis unfolds its procedures 

within the circumference of a meaning that 

has broken its moorings to the psychology of 

its author (Ricoeur, 1991: 148)

 Ketiga, Makna sebuah teks tidak lagi 

terikat pada konteks semula (ostensive refe￾rence). teks terbuka pada dunia baru yang di

bangun oleh teks itu sendiri yang tidak 

dibatasi 

 Makna teks terlepas dari konteks awal 

pembicaraan. Teks membebaskan makna. 

Makna teks terlepas dari konteks awal pembi

caraan. Teks membebaskan makna dari 

situasi yang dialogis. 

 Keempat, Makna teks juga terlepas 

dari audiens awal, ruang dan waktu. Teks 

juga tidak ditujukan pada pemba

ca tertentu melainkan teks tertuju pada siapa 

saja yang bisa membaca karena sifatnya yang

monolog. Ricoeur berpenda-pat makna teks 

tidak terletak di balik teks melainkan berada 

di hadapannya. Teks bukanlah sesuatu 

tersembunyi tapi sesuatu yang bersifat 

terbuka.

The sense of a text is not behind the 

text, but in front of it. It is not something 

hidden, but something disclosed. What has 

to be understood is not the initial situation 

of discourse, but what point towards 

apossible world, thanks to the non 

ostensive reference of text (Ricoeur : 

1976, 87) 



Hermeneutika bertujuan untuk menggali 

makna yang terdapat pada teks dengan 

menggali tanpa henti makna-makna yang 

tersembunyi. Penggalian makna tanpa henti 

harus dilakukan karena interpretasi terhadap 

teks bukanlah interpretasi yang bersifat 

mutlak dan tunggal, melainkan temporer dan 

multi interpretasi. 

Paul Ricoeur juga memperluas kon￾sep teks dengan menyatakan realitas dan 

tindakan sosial sebagi teks yang membawa￾nya kepada ilmu-ilmu sosial yang melihat 

tindakan sosial manusia sebagai objek kajian. 

Teks bagi Ricoeur dilihat sebagai paradigma 

untuk segala makna yang mengundang 

interpretasi atasnya (Ricoeur, 1981: 144). 

Paradigma teks ini muncul sebagai proses 

distansiasi yang merupakan pembakuan atau 

fiksasi makna. Pemisahan maksud penulis 

dari yang ditulisnya dan si pembaca dari 

situasi sosial ketika diproduksi yang me￾munculkan otonomi teks. Paul Ricoeur ter￾dapat 4 paradigma teks sebagai pema-haman 

tindakan sosial. Pertama, tindakan tereks￾ternalisasi dalam suatu cara yang dapat 

dibandingkan dengan fiksasi tulisan. 

Kedua, tindakan dalam memisahkan di￾rinya sendiri dari agennya, tindakan membu￾tuhkan suatu otonomi yang sebanding dengan 

otonomi semantik teks. Ketiga, sebagaimana 

teks, yang maknanya terlepas dari kondisi 

awal yang menghasilkannya, tindakan ma￾nusia memiliki bobot makna tidak tereduk￾sikan pada kepentingan situasi awal di mana 

ia muncul tetapi mengikuti reinskripsinya 

dalam bentuk baru. Keempat, Suatu tindakan 

sebagaimana teks adalah suatu karya terbuka, 

dialamatkan kepada urutan yang tak terbatas 

dari kemungkinan pembacanya (Ricoeur, 

1981: 138). 

3. Metafora dan Narasi

Teks merupakan bentuk pengawetan 

wacana sedangkan metafora adalah proses 

perubahan makna di dalam dinamika wacana. 

Kemampuan mengkreasi bahasa dalam ben￾tuk metafora dan narasi merupakan tema 

yang cukup penting dalam hermeneutika Paul 

Ricoeur. Bahasa kreatif berusaha mengeks￾presikan aspek realitas yang tersembunyi dari 

bahasa harian. Menggambarkan dunia de￾ngan cara-cara baru, metafora dan narasi 

menciptakan interpretasi-interpretasi dan pe￾ngalaman–pengalaman baru tentang dunia. 

Bahasa kreatif ini memperluas lingkup her￾meneutika. 

Ricoeur meminjam bahasa Monroe 

Beardsley (1976: 46) menjelaskan bahwa 

metafora merupakan “puisi dalam miniatur”. 

Metafora menghubungkan makna harfiah 

dengan makna figuratif dalam karya sastra. 

Pernyataan yang bersifat metaforis berbeda 

dengan pernyataan literal. Pernyataan literal 

bersifat tegas, sementara pernyataan meta￾foris mengatakan sesuatu yang lain. Pernya￾tan literal berarti pernyataan yang memas￾tikan sesutau yang sama, sedangkan pernya￾tan metaforis menyatakan sesuatu yang mirip 

dengan yang lain.

Metafora menggambarkan dan menje￾laskan ihwal bagaimana penggunaan bahasa 

kreatif dan imajinatif merujuk pada realitas 

sedemikian rupa sehingga memproduksi in￾terpretasi baru tentang dunia. Sebuah meta￾fora merupakan fiksi heuristik yang meng￾gambarkan ulang realitas dengan merujuk 

padanya, berkaitan dengan sesuatu yang 

imajinatif atau fiksional, yang memung￾kinkan kita untuk belajar sesuatu tentang 

relitas dari cerita rekaan atau fiksi. Fiksi-fiksi 

heuristik membantu kita memahami hubu￾ngan-hubungan baru dan koneksi-koneksi 


baru diantara berbagai hal, memper-luas 

kemampuan seseorang untuk mengeks￾presikan diri, menginterpretasikan diri dan 

menstransformasikan diri (Kaplan, 2010: 70). 

Metafora sebagai bagian dari retorika 

dipahami sebagai berikut : Pertama, metafora 

adalah suatu kiasan, suatu bentuk wacana 

berkenaan dengan denominasi. Kedua, me￾tafora merepresentasikan perluasan makna 

dari suatu nama melalui deviasi dari makna 

literal kata. Ketiga, alasan dari deviasi ini 

adalah keserupaan. Keempat, fungsi penye￾rupaan ini adalah memberikan landasan 

substitusi gambaran makna sebuah kata di￾tempat pemaknaan literal, yang dapat digu￾nakan dalam tempat yang sama. Kelima, 

metafora menggantikan makna literal di 

mana kata figuratif merupakan sebuah 

substitusi. Keenam, metafora tidak membawa 

informasi baru tentang realitas (Ricoeur, 

2002: 109).

Inovasi semantik terjadi dalam metafora 

melalui prediksi tidak biasa yang dipahami 

ketika seseorang mengikuti rujukan ganda 

dan memahami bersama makna-makna 

figuratif dan harfiahnya. Inovasi semantik 

terjadi dalam narasi melalui sintesis yang 

sama dari berbagai bagian yang heterogen. 

Unit mendasar dari narasi adalah alur cerita 

yang menyatukan berbagai elemen sebuah 

kisah termasuk alasan alasan, motif-motif 

dan tindakan-tindakan para tokoh dengan 

peristiwa, kejadian-kejadian dan lingkungan￾lingkungannya bersama menjadi sebuah 

kesatuan yang koheren. Sebuah alur cerita 

berusaha mensintesakan, mengintegrasikan, 

dan mensistema- tisasikan tindakan-tindakan, 

peristiwa-peristiwa, dan pada akhirnya waktu 

menjadi satu kesatuan yang utuh dan 

mengatakan sesuatu yang baru. Pada meta￾fora maupun pada narasi selalu melibatkan 

sintesa atas hal-hal yang heterogen. Sintesa 

dalam metafora, merupakan kemampuan un￾tuk memahami kemiripan dalam perbedaan, 

sedangkan dalam narasi sintesa itu 

merupakan kemampuan untuk mengkons￾truksi organisasi yang bermakna dari ber￾bagai peristiwa yang tampaknya tak saling 

terkait (Kaplan, 2010: 74). 

Ricoeur mengalihkan perhatiannya dari 

interpretasi tekstual menuju tindakan ma￾nusia. Ricoeur berpendapat karya-karya 

tertulis sesungguhnya memediasi interpretasi. 

Kehidupan manusia adalah kisah-kisah yang 

belum lengkap dengan struktur pranaratif 

yang hanya menjadi sungguh-sungguh dapat

dipahami ketika ditransformasikan menjadi 

sebuah narasi. Membaca berarti melengkapi 

bagian sebuah narasi. Ia merupakan tindakan 

akhir dari aktifitas narasi. 

Kunci memahami hubungan antara me￾tafora dan narasi adalah imajinasi produktif. 

Imajinasi produktif adalah melakukan ske￾matisasi atas operasi-operasi sintetik. Ima￾jinasi produktif membuat sintesa berbagai 

perbedaan sesuai dengan aturan-aturan ter￾tentu. Imajinasi produktif yang bekerja dalam 

proses metaforik adalah kemampuan seseo￾rang untuk menciptakan makna-makna baru 

dengan tindak pemahaman sintetik untuk 

melihat kemiripan-kemiripan dalam perbe￾daan. 

C. Unsur dan Penerapan Teori Hermeneu￾tika Paul Ricoeur

Pada teori hermeneutika Paul Ricoeur 

penulis menjelaskan konsep yang membe￾dakan hermeneutika Paul Ricoeur dari 

konsep hermeneutika lainnya, maka pada 

bagian unsur teori hermeneutika ini akan di￾jelaskan model pendekatan yang digunakan 

oleh Paul Ricoeur dalam memba-ca teks. 

1. Objektivasi Struktur Teks

Tugas hermeneutika tidak mencari 

kesamaan maksud dengan pengarang, tetapi menafsirkan makna teks secara objektif 

sesuai dengan yang diisyaratkan teks. Teks 

selalu berkaitan erat dengan konteks untuk 

mengaktualkan makna, sehingga pemaknaan 

bersifat temporal. Di dalam konteks terdapat 

banyak hal yang dapat mendukung keutuhan 

makna, namun tetap dalam kaitannya dengan 

teks. Dengan demikian analisis selalu 

bergerak dari teks untuk mendapatkan makna 

objektif dan proses penafsiran melibatkan 

dialog antara teks dengan penafsir. 

Objektivasi melalui struktur merupakan 

langkah untuk menunjukkan hubungan 

internal dalam teks. Hermeneutika pada saat 

ini terkait dengan analisis struktural. Analisis 

struktural menjadi penting untuk mengurai￾kan teks yang melihat hubungan perbagai 

persoalan sebagai sebuah jaringan struktur 

atau sistem. Penafsir memahami struktur dan 

makna persoalan melalui relasi-relasi antar 

bagian. Objektivasi melalui struktur merupa￾kan pendukung terhadap pembacaan teks 

yang otonom.

Objektivasi melalui struktur dan distan￾siasi melalui tulisan merupakan prasyarat 

agar teks bisa mengatakan sesuatu. Kedua 

kategori ini merupakan kutub objektif dari 

pemahaman diri. Sedangkan pemahaman 

diri mendasarkan diri pada dunia teks agar 

bisa terungkap di dalam bahasa. Kempat 

kategori ini mencerminkan keprihatinan 

hermeneutika yang tidak puas hanya sebagai 

metode (epistemologis), tetapi melalui epis￾temologi ini ingin dijangkau sisi eksistensial 

penafsir (ontologis).

Haryatmoko (2009: 125) menjelaskan 

bahwa Paul Ricoeur menganggap pendekatan 

struktural bisa berperan sebagai sarana 

objektifikasi di dalam proses penafsiran yang 

memungkinkan pemahaman diri lebih baik 

(ketegori hermeneutika apropriasi). Objekti￾fikasi melalui struktur tidak hanya dibatasi 

pada pendekatan struktural, tetapi semua 

bentuk penjelasan terhadap teks. Jadi kate￾gori ini mencakup penjelasan dari ilmu psi￾kologi, sosiologi, sejarah, antropologi. Da￾lam dialektika penjelasan dan pemaha-man, 

ilmu-ilmu tersebut berfungsi untuk mengob￾jektivasi teks dalam arti menjelaskan hubu￾ngan-hubungan logis teks dari sudut pandang 

bidang masing-masing. Objektivasi melalui 

struktur merupakan penjelasan yang mene￾kankan sisi metodologis hermeneutika (epis￾temologis). Penjelasan ini menjadi batu lon￾catan untuk sampai pada pemahaman diri 

yang lebih baik dari sisi ontologisnya.

Hubungan antara penjelasan dan pema￾haman, antara objektivasi melalui struktur 

dan pemahaman diri dilihat oleh Ricoeur 

sebagai dua hal yang saling melengkapi. 

Dialektika ini terjadi di dalam konsep 

Ricoeur tentang teks. Teks memiliki struktur 

imanen yang bisa dijelaskan dengan 

pendekatan struktural, tetapi teks sekaligus 

mempunyai acuan luar yang melampaui 

linguistik dan filsafat bahasa. Acuan luar ini 

yang disebut wahana/dunia teks, yaitu rea￾litas yang digelar oleh teks, suatu totalitas 

makna. Dan dunia/ wahana teks ini bukan 

berasal dari maksud-maksud psikologis pe￾ngarang, tetapi dibawa melalui mediasi struk￾tur-struktur teks. Dalam rangka memahami 

tindakan sebagai teks, objektivasi melalui 

struktur mengungkap tindakan manusia de￾ngan struktur maknawi yang sudah terdapat 

di dalamnya. Tindakan yang bermakna 

mempunyai keempat ciri tekstualitas, yaitu 

terpatrinya tindakan, otonomisasi tindakan, 

relevansi tindakan dan tindakan sebagai 

karya terbuka. Ciri-ciri tektuslitas ini 

memungkinkan tindakan untuk diperlakukan sama seperti teks. Analisa struktural atas 

tindakan menunjukkan bahwa tindakan 

selalu mempunyai pelaku, motif, tujuan 

lingkup dan akibat. Semua unsur ini mem￾bentuk jaringan konseptual atas struktur 

makna. Tetapi pemahaman akan unsur struk￾tural itu berbeda sesuai dengan ragam sim￾bolik dalam kebudayaan yang bersang-kutan 

(Haryatmoko, 2009: 126). 

Suatu tindakan mendapatkan makna 

yang aktual berkat ragam simbolik dan kon￾teks sosial atau budaya tertentu. Tindakan 

saat ini tidak bisa dilepaskna dari masa lalu. 

Tindakan seseorang di dapat dengan belajar 

dari orang lain yang dilihat dan kemudian 

ditiru. Tindakan merupakan endapan dan 

tiruan dari kisah-kisah yang di dengar, di 

lihat atau di baca. Jadi kisah atau teladan 

lebih mudah mendorong tindakan dari pada 

ajaran moral yang instruktif karena kisah 

meyediakan paradigma kehidupan. Tindak

an- tindakan itu pada girlirannya itu menjadi 

bahan untuk dikisahkan. Sedangkan kisah 

akan memberikan pemahaman lebih jernih 

terhadp tindakan karena mampu menyingkap 

aspek-aspek dari tindakan. Maka kisah bisa 

berperan sebagai mediasi untuk bisa 

memahami diri lebih baik. 

2. Distansiasi

Distansiasi adalah unsur yang me￾mainkan peran penting dari teori hermeneu￾tika Ricoeur. Distansiasi merupakan jalan 

utama menuju otonomi teks dimana wacana 

terinskripsikan melalui tulisan. Distansiasi 

merupakan pemeliharaan makna yang me￾munculkan interpretasi (Haryatmoko, 2000: 

31). 

Terdapat 4 macam distansisasi yang 

terjadi dalam teks. Pertama, Distansiasi 

makna dari peristiwa. Terjadinya dialektika 

antara wacana dan peristiwa yang me￾ngandaikan bahwa keseluruhan wacana 

sebagai peristiwa sehingga dipahami 

keseluruhan peristiwa sebagai makna 

(Ricoeur, 1991: 78). Kedua, Distansiasi 

makna teks dengan maksud pengarang. 

Maksud pengarang terdistansiasi setelah 

wacana terinskrpsi dalam teks. Ketiga, 

distansiasi teks dari kondisi yang mengi￾tarinya. Kondisi awal teks dengan dimensi 

sosio kulturalnya tidak diperlukan mengingat 

teks terbuka untuk seapapun . Teks memutus 

perkembangan historis awal. Keempat, 

distansiasi audiens. Teks membe-baskan diri 

dari audiens awal dan selanjutnya membuka 

diri bagi siapapun yang membuka jalan bagi 

adanya otonomi teks. Ricoeur (1991: 83) 

menjelaskan bahwa karakter esensial dari 

teks literer adalah bahwa ia mentran￾sendensikan kondisi-kondisi psikologis pro￾duksi karyanya sendiri dengan begitu mem￾buka dirinya ke arah rangkaian pembacaan 

yang tak terbatas, dimana pembacaan dalam

situasi sosiokul-tural yang berbeda. 

Paul Ricoeur berpendapat subjek tidak 

pernah sampai pada pengetahuan dan 

pemahaman tentang dirinya sendiri tanpa 

ditandai oleh yang lain dalam bentuk 

perbandingan, kontras, oposisi, perbedaan 

atau kesamaan. Pemahaman diri bukan ber￾langsung dalam pertemuan ada dan 

pemikiran. Ada jarak antara subjek yang 

merefleksi dengan diri. Untuk menjembatani 

jarak tersebut, menurut Ricoeur, perlu 

mediasi tanda, simbol dan teks ( Haryat￾moko, 2009: 123).

Paul Ricoeur berpendapat melalui teks 

dan ego, peran mediasi antara subjek dan 

pemahaman diri mengantarkan pada suatu 

makna yakni subjek moral yang bertang￾gungjawab. Bagi Ricoeur yang terpenting 

menekankan pada syarat-syaratt penafsiran 

yang berhasil adalah bila akhirnya bisa membantu memahami diri lebih baik. Kon￾sep pemahaman diri lebih baik menyatukan 

dimensi epistemologi dan ontologi.

Mediasi melalui tanda, bagi Paul 

Ricoeur bahwa kondisi awali semua pe￾ngalaman manusia adalah bahasa. Mak￾sudnya persepsi selalu dikatakan, keinginan 

juga diungkapkan dengan kata-kata. Mediasi 

melalui simbol berarti semua ungkapan yang 

bermakna ganda yang dikaitkan dengan 

penamaan unsur-unsur kosmos, penamaan 

dimensi, penamaan aspek-aspeknya. Teks 

adalah semua wacana yang terpatri melalui 

tulisan. Teks memisahkan dua hal yaitu 

tindakan menulis dan tindakan membaca. 

Penulis tidak hadir ketika teks dibaca. 

Pembaca tidak hadir pada saat teks ditulis 

(Haryatmoko, 2009: 124). 

Mediasi melalui tanda dan simbol di 

perluas dan di modifikasi oleh mediasi 

melalui teks. Akan tetapi mediasi ini menca￾but teks dari hubungan intersubjektif. Artinya 

maksud pengarang tidak lagi tampil seperti 

dikehendaki pada kondisi bersama dengan 

makna teks itu sendiri. Oleh karena itu, 

hermeneutika tidak lagi dimengerti sebagai 

mencari kesamaan antara pemahaman pe￾nafsir dan maksud pengarang. Tugas 

hermeneutika: Pertama, mencari di dalam 

teks itu sendiri dinamika yang diarah oleh 

strukturasi karya. Kedua,mencari di dalam 

teks kemampuan untuk memproyeksikan diri 

ke luar dari dirinya dan melahirkan suatu 

dunia yang merupakan halnya atau pesan 

utama teks (Hayatmoko, 2009: 125). 

Ricoeur menekankan pentingnya pema￾haman tentang distanciation (pengambilan￾jarak). Setiap pemaknaan yang dilakukan 

oleh kesadaran melibatkan saat pengambilan￾jarak dari obyek yang diberi makna, 

pengambilan-jarak dari pengalaman yang 

dihayati sambil tetap secara murni dan lugas 

tertuju kepadanya.

Pentingnya distansiasi dalam hermeneu￾tika Paul Ricoeur adalah untuk menjaga jarak 

keobjektifan dalam ilmu-ilmu kemanusian 

yang diharapkan akan mampu membawa 

pada dialektika antara aliansi distansiasi 

dengan pengalaman. Distansiasi Ricoeur le￾bih dilatarbelakangi oleh studi bahasa, teru￾tama oleh ahli bahasa Perancis, Benveniste. 

Menurutnya, bahasa wacana dengan bahasa 

sebagai bahasa merupakan dua hal yang 

berbeda. Kini pemilahan terserbut muncul 

dalam konsep, bahasa sebagai sistem bahasa 

dan dibedakan dari bahasa sebagai sistem 

komunikasi. Bahasa sebagai sistem adalah 

bahasa merupakan suatu tumpukan yang

pasif, misalnya dalam kamus; sementara 

bahasa sebagai sistem komunikasi adalah 

bahasa yang telah diaktifkan oleh seseorang 

dalam suatu waktu dan tempat tertentu.

Bahasa dalam wacana menegaskan ada￾nya dialektika antara event dan meaning. Ini 

merupakan titik awal Ricoeur merumuskan 

teori teks. Wacana adalah event (peristiwa) 

berarti mengatakan bahwa wacana itu direa￾lisasikan dalam waktu; discourse is realized 

temporally. Suatu wacana itu diungkapkan 

dalam perjalanan waktu tertentu sementara 

bahasa sebagai system, bahasa tidak 

melibatkan waktu atau outside of time. 

Bahasa sebagai system, tidak ada pertanyaan, 

siapa yang mengatakan? Kapan dikatakan? 

Di mana dikatakan? Pertanyaan-pertanyaan 

ini semua baru muncul manakala bahasa 

tidak sebagai sistem, bahasa masih dalam 

kondisinya yang pasif tidak atau belum 

diaktifkan dalam sistem komunikasi. Wacana 

sebagai event menunjuk kepada kejadian di 

mana dan siapa subyek yang mengatakan.. 

The evenful character is linked to the person 

who speaks, demikian Ricoeur (1991; 77) . 

Ricoeur melanjutkan, "what we wish to understand is not the fleeting event but rather 

the meaning that endures. Discource is 

realized as event, but understood as meaning

(Ricoeur, 1991; 78,81).

Bahasa dalam wacana adalah bahasa 

yang telah diaktifkan oleh seseorang dalam 

wacana. Untuk itu, pertanyaan yang muncul 

antara lain, kapan diungkapkan? Di mana dan 

oleh siapa? Teori distansiasi bekerja sebagai 

proses memilah antara kejadian wacana 

dengan wacana iu sendiri. Apa yang menjadi 

perhatian hermeneutika bukan kepada 

kejadiannya melainkan pada wacananya 

karena dia adalah obyek kajian yang hendak 

dipahami. Hermeneutika berkepentingan 

dengan wacananya, berkepentingan dengan 

bahasa atau kalimatnya yang di dalamnya 

mengandung makna tertentu. Distansisasi 

sebagai pemilahan antara peristiwa dengan 

makna oleh Ricoeur diberlakukan pada 

tindak bicara (wacana lisan), tindak menulis 

(teks) dan tindak berbuat (action) lengkap 

dengan karakteristiknya sendiri-sendiri. Akan 

tetapi dari tiga karakter tersebut, perhatian 

utamanya pada teks; distanciation separates 

the message from the speaker, from the 

initial situation and from its primary 

receiver. Distansiasi itu memisahkan berita 

dari sang penuturnya, dari situasi dan dari 

penerima awal berita tersebut. Melalui 

wacana lisan atau wacana tulis, atau teks, self 

understanding seseorang tertantang apakah 

memiliki tingkat pemahaman mencukupi 

atau tidak.

3. Apropriasi

Apropriasi (appropriation) adalah menja

dikan sesuatu yang sebelumnya “asing” 

kemudian menjadi “milik sendiri”. Paul 

Ricoeur berpendapat distansiasi bermakna 

pemisahan sedangkan apropriasi dimak￾sudkan sebagai obat yang dapat menyelamat￾kan warisan kultural masa lampau dari 

aliansi distansiasi (Ricoeur,1976: 89). Apro￾priasi bertujuan untuk mengaktualkan makna 

teks bagi pembaca terkini. Apropriasi tetap 

menjadi konsep bagi aktualisasi makna yang 

dialamatkan kepada seseorang. Hermeneu￾tika sempurna sebagai apropriasi ketika 

pembacaan lentur dengan sesuatu seperti 

sebuah peristiwa. Apa yang diapropriasikan 

adalah kekuatan mengungkap dunia yang 

membentuk referensi teks. Apropriasi lebih 

dekat kepada peleburan horizon yakni ho￾rizon dunia pembaca dipadukan dengan 

horizon dunia penulis (Ricoeur: 2009: 51). 

Tahap penting antara penjelasan dan 

pemahaman diri adalah penggelaran wahana/ 

dunia teks. Tahap ini membentuk dan meng￾ubah pembaca atau penafsir. Istilah-istilah ini 

menunjuk ke objektivitas keberadan baru 

yang diproyeksikan oleh teks. Wahana/dunia 

baru ini tidak berasal langsung dari maksud 

pengarang. Tetapi disingkap melalui struktur￾struktur karya atau teks. Dunia yang digelar 

dan disarankan oleh teks ini baru bermakna 

bila menjadi miliki pembaca atau penafsir 

(apropriasi).

Titik tolak apropriasi adalah bahwa teks 

merupakan medium di mana si pembaca 

memahami dirinya sendiri, sehingga menan￾dai kemunculan karakter subjektifitas pem￾baca yang meluas menjadi karakter funda￾mental wacana sebagai sebuah keberadaan 

yang dialamatkan kepada orang lain 

(Ricoeur, 1991: 87). 

Aprpopriasi (menjadi miliki diri) atau 

pemahaman diri menandai pertemuan antara 

dunia yang disarankan oleh teks dan dunia 

kongkrit pembaca atau penafsir. Pembauran 

karena pembaca tidak mungkin mengambil 

alih dunia teks secara keseluruhan dan me￾ninggalkan dunia aktual tetap dan sekaligus 

tidak menolak dunia yang ditawarkan teks. 

Dunia pembaca mengalami transformasi. Kategori ini langsung menyangkut kebera￾daan pembaca/penafsir. Perubahan pada diri 

pembaca terjadi berkat pengaruh teks yang di 

baca sehingga mengubah dirinya atau 

membantu memahami diri lebih baik. 

Pengambilan jarak terhadap diri sendiri 

pada proses pemahaman diri (approriasi) 

merupakan prasyarat mutlak agar tidak 

terjadi distorsi makna dan agar dapat mere￾lativisir kesewenang-wenangan di dalam pe￾nafsiran. Pengambilan jarak ini bersifat krea￾tif karena akan memperkaya dan memur￾nikan pemahaman diri. Pengambilan jarak 

terdiri dari kritik ideologi, dekonstruksi dan 

analogi permainan (Haryatmoko, 2009: 127).

Kritik Ideologi adalah kritik atas prangka

-prasangka dan ilusi-ilusi penafsir. Kritik ini 

menjadi penting karena dalam setiap pe￾nafsiran, subjek penafsiran sudah memiliki 

pra pengalaman yang bisa mem-permudah 

pemahaman, tetapi bisa juga mnghambat atau 

mengacaukan. Pemahaman hermeneutika 

yang memusatkan diri pada teks, krirtik ini 

sekaligus merupakan pengakuan terhadap 

serangan dari luar, yang mungkin bisa 

destruktif, tetapi kemudian di ubah menjadi 

alat otokritik untuk pemurnian diri. Maka 

jawaban atas kritik itu bukan lagi apologi, 

tetapi penjinakan serangan yang datang dari 

luar untuk kepentingan pemur-nian dalam 

pemahaman diri yang lebih baik. Bentuk 

distansiasi yang mirip dengan kritik ideologi 

ini ialah dekonstruksi. Melalui de-konstruksi, 

pembaca di ajak untuk membong-kar moti￾vasi-motivasi baik sadar atau bawah sadar, 

serta kepentingan kepentingan diri atau 

kelompok di depan teks.

4. Analogi permainan

Ricoeur memandang analogi permainan 

sebagai salah satu bentuk pengambilan-jarak 

dalam hermeneutika. Analogi permainan 

merujuk pada aktivitas membandingkan 

tindakan-tindakan dan keyakinan-keyakinan 

manusia dengan permainan. Setiap per￾mainan memiliki aturan main yang diten￾tukan oleh pencipta atau para pemainnya. 

Tindakan dan keyakinan manusia dengan 

analogi permainan dapat dipahami meru￾pakan sebuah kreasi manusia untuk 

menimbulkan efek-efek tertentu yang memu￾askannya. Ada kepentingan yang di dorong 

oleh kehendak manusia menunjukkan bahwa 

tindakan dan keyakinannya bukan sesuatu 

yang didasarkan pada sesuatu yang mutlak 

dan tak dapat ditawar-tawar. Penerapan 

analogi permainan dalam kegiatan penafsiran 

membawa penafsir untuk dapat memperkaya 

teks yang ditafsirkan. Teks menjadi lebih 

lentur dalam arti pembaca yang menafsir￾kannya dapat menghasilkan makna-makna 

baru dari kegiatan membacanya (Haryatmo￾ko, 2000: 32).

Kalau krirtik ideologi dan dekonstruksi 

merupakan bentuk negatif dari pemngam￾bilan jarak terhadap diri sendiri. Analogi 

permainan merupakan bentuk positifnya. 

Permainan adalah suatu bentuk pengambilan 

jarak terhadap diri karena kehidupan yang 

serius dan formal. Permainan bisa membantu 

membuka kemungkinan-kemungkinan baru 

yang terpenjara oleh pemikiran yang terlalu 

serius. Permainan juga membuka kemung￾kinan subjek untuk berubah yang tidak 

dimung-kinkan oleh visi yang melulu moral. 

Permain an dengan kata lain bisa mendorong 

tum-buhnya kreativitas karena dengan 

permainan, subjek dibebaskan dari norma 

sosial dan keseriusan sehari-hari. Dengan 

demikian nampak fenomena dasariah pada 

manusia, proses lahirnya kreativitas, bahwa 

pertama-pertama di dalam imajinasi terben￾tuk “ada yang baru”, dan bukan di dalam 

kehendak. Kemampuan untuk di tangkap 

oleh kemungkinan-kemungkinan baru men￾dahului ke-mampuan untuk memilih dan engambil keputusan. Imajinasi adalah 

dimensi dari subjek yang menjawab teks 

sebagai puisi (yang menciptakan sesuatu). 

Jadi pertama-tama kepada imajinasi, suatu 

teks itu ingin berbicara dengan mengusulkan 

kemung-kinan-kemungkinan baru dan 

gambaran yang membebaskan diri subjek.

Pemahaman diri sebagai kategori- kate￾gori hermeneutika mengandung dua unsur 

dinamis pembentukan dan perubahan subjek, 

yaitu pengambilan jarak secara kritis dan 

pngambilan jarak yang mendorong ke 

kreativitas. Kritik iodeologi dan dekontruksi 

membantu subjek untuk menatap dan mem￾bersihkan ilusi, motivasi dan kepentingan 

sehingga subjek di ajak untuk jujur terhadap 

dirinya sendiri dan orang lain. Dengan 

demikian sekaligus suatu bentuk tuntutan 

untuk bertanggungjawab atas tindakannya. 

Analogi permainan mengarahkan subjek ke 

dimensi puitis dan kreatif (Haryatmoko,2009: 

128).

Realisme pendekatan Ricoeur ini terletak 

pada kenyataan bahwa manusia digelayuti 

oleh kepentingan-kepentingan dan diarahkan 

oleh keyakinan yang bisa berubah menjadi 

ilusi, maka pengambilan jarak kritis terhadap 

teks dan diri sendiri menjadi sarana efektif 

untuk masuk ke tanggungjawab. Analogi per

mainan melepaskan dari pembatasan-pem￾batasan untuk masuk ke dimensi kreatif 

kehidupan subjek. Jadi status alteritas selalu 

diantarai oleh teks yang bisa dalam bentuk 

kisah , sejarah atau mitos. Sesuatu yang lain 

memurnikan aku sehingga bisa memahami 

diri menjadi lebih baik. Tanggungjawab lahir 

bukan karena dituntut oleh “orang /yang 

lain”, tetapi karena kritis terhadap diri 

sendiri, berani membongkar kepentingan￾kepentingan diri, terbuka untuk memurnikan 

motifasi dan akhirnya akan ditantang untuk 

terobosan-terobosan baru. 

D. Tahap Operasional Pemahaman dalam 

Hermeneutika Paul Ricoeur

Tujuan interpretasi Ricoeur adalah se￾buah pemahaman eksistensial (Hery, 2008: 

267). Ricoeur mengajukan tiga tahapan 

pemahaman yang harus dilakukan sang 

penafsir yang dapat dijadikan pijakan bagi 

operasional interpretasi. Ketiga tahapan itu: 

Pertama, tahapan semantik, Kedua: tahapan 

reflektif dan Ketiga: tahapan eksistensial. 

Tahapan pemhaman ini melibatkan semua 

unsur dalam hermenutika Ricoeur.

1. Tahapan pemahaman Semantik

Tahapan Semantik merupakan kajian 

kebahasaan. Pada tahap ini si penafsir 

menghubungkan antara objek yang dipahami 

dengan subjek yang melakukan pemahamn. 

Proses interpretasi dalam hermeneutika 

Ricoeur dimulai dengan penebakan. Mene￾bak makna sebuah teks berkaitan dengan 

bentuk semantik otonomi teks, yakni makna 

teks tidak lagi serupa dengan makna dan 

maksud pengarang( Ricoeur, 1991: 75). 

Makna harus di tebak karena pengarang tidak 

lagi hadir mengiringi teks. Tahapan ini 

merupakan pintu masuk menuju pemahaman 

eksistensial. Hermeneutika Ricoeur berupaya 

mengangkat taraf analisis bahasa pada analisi 

atas struktur-struktur semantik ekspresi￾ekspresi manusiawi dengan ragam makna, ke 

arah yang lebih tinggi. Analisis semantik 

akan menghasilkan makna polisemi. Pada 

tahap semantik keragaman model dan metode 

hermeneutika dapat diterapkan untuk menga￾nalisis kebahasaan . 

2. Tahapan pemahaman Reflektif

Tahap reflektif merupakan jembatan 

anatara tahap semantik ke tahap eksistensial, 

karena bahas sesungguhnya berhubungan 

dengan eksistensial. Tahap ini merupakan 

peroses yang menghubungkan antara pema-hamn teks dan pemahamn diri sendiri. Tahap 

refleksi ini berkaitan dengan ekspresi hidup, 

yang berproses dari kesadaran tidak langsung 

melalui karya yang merupakan ekspresi dari 

aktus berada manusiawi. 

3. Tahapan pemahaman Eksistensial

Tahap ini interpretasi menuju pada 

yang Ada (being).Tahap eksistensial Ricoeur 

melewati simbol, tahap semantik dan tahap 

reflektif. Tahap ontologi ini dapat dicapai 

melalui berbagai metode interpretatif, konflik 

interpretasi yang terdapat dalam level se￾mantik dan tradisi filsafat reflektif.