ul yang diutus-Nya.
Sebutan Muslim juga diberikan olehul yang diutus-Nya.
Allah swt.
yang menggunakannya jauh sebelum Nabi Muhammad
saw. dan juga dalam Alquran, seperti dalam ayat berikut:
يهيداَه يج َّقَح يَّللَّٱ يفِ ْاوُديه ََٰجَو ۦ َمي يهََٰربيإ مُكييَبأ َةَّلي م َجرَح نيم ينيي دلٱ يفِ مُكيَلَع َلَعَج اَمَو مُكَٰىَب َتجٱ َوُه
ُلوُسَّرلٱ َنوُكَييل اَذ ََٰه يفَِو ُلَبق نيم َينيميلسُ
لمٱ ُمُكَٰىََّس َوُه يساَّنلٱ ىَلَع َءاَدَهُش ْاُونوُكَتَو مُكيَلَع اًدي يهَش
ُيريصَّنلٱ َمعينَو ََٰلَوَ
لمٱ َمعيَنف مُكََٰىلوَم َوُه يَّللَّٱيب ْاوُم يصَتعٱَو َة َٰوَكَّزلٱ ْاُوتاَءَو َة َٰوَلَّصلٱ ْاوُمييَقَأف ٧٨
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad
yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran)
ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya
kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik-baik Penolong.”399 (QS. al-Hajj [22]: 78)
Sebagian kalangan mufassir menafsirkan kata
ganti huwa dalam ungkapan huwa sammâkum al-
muslimîn (“Dia telah menamai kamu sekalian orang-
orang muslim”) dengan merujuk kepada Nabi Ibrâhim
a.s400. Pendapat ini keliru karna berlawanan dengan fakta
bahwa ungkapan tersebut merupakan kelanjutan dari
ungkapan sebelumnya, huwa ijtabâkum (“Dia telah
memilih kalian”) yang jelas-jelas merujuk kepada Allah
swt. Kemudian, ungkapan wa fiî hâdzâ (“dan [begitu
pula] dalam ini”) dalam huwa sammâkum al-muslimîn
min qabli wa fiî hâdzâ “(Dia telah menamai kamu
sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan [begitu
pula] dalam ini” ) merujuk pada Al-Qur’an. Karena itu,
jelas adanya kekeliruan dalam menafsirkan kata ganti
“Dia” dalam “Dia telah menamai kamu sekalian orang-
orang muslim” seolah-olah merujuk kepada selain Allah.
Ada pula sebuah ayat yang mengisahkan Nabi Nûh
a.s., yang hidup jauh sebelum Nabi Ibrâhim a.s.,
menyampaikan kepada kaumnya bahwa Allah telah
memerintahkannya agar menjadi seorang Muslim:
َينيميلس
ُ
لمٱ َنيم َنوُكَأ نَأ ُتريُمأَو يَّللَّٱ ىَلَع َّلَيإ َييرجَأ نيإ ٍرجَأ ني م مُكُتَلأَس اَمَف مُتيَّلَو َت نيَإف ٧٢
“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak
meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain
hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku
termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepada-Nya)" 401 (QS. Yunus [10] : 72)
Fakta lain yang harus dikemukakan dalam hal ini
adalah bahwa istilah-istilah yang diberikan Allah swt.
untuk menyebutkan para pengikut nabi tertentu tidak
dapat diterapkan pada nabi itu sendiri. Jadi, Nabi Mûsâ
a.s. bukan seorang Yahudi dan Nabi ‘Îsa a.s. bukan
seorang Nasrani. Mungkin tampak bagi sebagian orang
bahwa ungkapan Nabi Mûsâ a.s. kepada Allah swt. innâ
hudnâ ilaika (“Sungguh, kami telah bertaubat kepad-Mu”)
menunjukan bahwa dia sendiri adalah seorang Yahudi.402
Meskipun demikian, pijakan utama semua agama yang
diterima oleh para Nabi ataupun rasul adalah Islam نَأ ُتريُمأَو
َينيميلس
ُ
لمٱ َنيم َنوُكَأ. Perintah utama inilah bagi setiap Nabi dan
umatnya untuk menjadi Muslim. Menurut Ibn Ajibah
bahwa pengikut ajaran agama diperintahkan untuk
mengesakan Allah.403 Atau menunaikan segala bentuk
kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya.404 Maka
konsep dasar utama agama adalah kepasrahan dan
kepatuhan terhadap perintah Tuhan.405 Oleh karena itu,
pada setiap perintah Allah kepada Nabi dan umatnya
Term muslim dalam Alquran kerap dirangkain dengan hanif yang
berkaitan dengan ajaran agama terdahulu pakah itu Ibrahim
ataupun nabi Musa. Berdasarkan pemaparan Mabrur dalam
disertasinya term hanif dan segala bentuk kata yang semakna
dengannya, Alquran mengemukakan sebanyak 12 kali
diberbagai surat. Salah satu makna dari hanif adalah agama
yang cenderung pada kebenaran dan jauh dari segala bentuk
kemusyrikan. Makna hanif lebih di identikkan dengan ajaran
Nabi Ibrahim sebagai simbol dan bapak agama samawi. Abu
Manshur al-Maturidi mentakwilnya dengan orang-orang
muslim, atau jalan yang lurus dan agama yang cenderung pada
kebenaran dan Islam. Lihat. Mabrur, Dimensi Toleransi dalam
Alquran; Analisis Pemikiran Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-
Munir (Ciputat: YPM, 2016), hal, 47.
198
adalah untuk menjadi muslim, maka setiap itu pula kaum
mendapatkan kitab berdasarkan apa yang diterima oleh
Nabinya.406
Dapat disimpulkan pula bahwa agama yang
dibawa Nabi Muhammad saw. dengan nabi-nabi
sebelumnya adalah sama, yakni Islam, sebagaimana
disebutkan dalam Q.S. al-Syûrâ (42): 13 berikut:
يهيب َٰىَّصَو اَم ينيي دلٱ َني م مُكَل ََعرَشۦ يَّصَو اَمَو َكَيليإ اَنيَحَوأ ييذَّلٱَو احُون يهيب اَنٓۦ َٰىَسييعَو َٰىَسوُمَو َمي يهََٰربيإ
َم يهَيليإ يبَِتَيَ ُ َّللَّٱ يهَيليإ مُهوُعدَت اَم َينيكيرش
ُ
لمٱ ىَلَع َُبَِك
يهييف ْاوُقَّرَف َت َت َلََو َنيي دلٱ ْاوُمييَقأ نَأ ُءاَشَي ن
َو ُبييُني نَم يهَيليإ ييدَهي١٣
“Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
406 Sebagaimana penegasan Allah dalam firman-Nya
َّنلٱ َا يبَ ُمُكَيَ رُونَو ىدُه اَهييف َةََٰىروَّتلٱ اَنَلزَنأ َّنَّيإ نيم ْاُوظيفحُتسٱ َا يبِ ُراَبحَلأٱَو َنوُّيينََّٰبَّرلٱَو ْاوُداَه َنييذَّليل ْاوُمَلسَأ َنييذَّلٱ َنوُّييب
يب ْاُوَتَشَت َلََو ينوَشخٱَو َساَّنلٱ ْاُوَشَتَ َلََف َءاَدَهُش يهَيلَع ْاُوناََكو يَّللَّٱ يبََٰتيك َ َا يبِ مُكَيَ َّلَ نَمَو لَييَلق اَنَثَ يتََِٰيا َلَزَنأ
نوُريف ََٰكلٱ ُمُه َكيئََٰلُْوَأف ُ َّللَّٱ ََ٤٤
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya
(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan
Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-
nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim
mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka
menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah
kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.”406 (QS. al-Mâ’idah [5]: 44).
199
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).”407 (Q.S. al-Syûrâ [42]: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa agama yang diterima
oleh Rasulullah adalah “perpanjangan” dari agama-agama
sebelumnya yang diterima oleh Nabi Nuh, Musa dan Isa.
Menurut al-Razi berarti Allah mengkhususkan
menyebutkan lima Nabi tersebut disebabkan merekalah
yang paling “besar” dari nabi-nabi yang ada dengan
syariat-syariat masing-masing yang diterima dan pengikut
atau umatnya banyak.408 Atas syariat masing-masing
yang diterima oleh Nabi memiliki dua tujuan yaitu
hendaknya agama demikian ditegakkan dan jangan
bercerai berai ْاوُقَّرَف َت َت َلََو َنيي دلٱ ْاوُمييَقأ نَأ. Yang berarti jangan
berpecah belah dalam hal agama, sebab kebersamaan itu
407 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 484
408 al-Razi, Mafatih al-Gaib, jilid 27, hal, 587.
200
adalah rahmat, dan perpecahan itu adalah siksa atau
azab.409
Menurut al-Qurthubi, syariat pokok agama-agama
para nabi juga sama, yakni seperti mendirikan solat,
zakat, puasa, haji, beramal saleh, bersikap jujur,
memenuhi janji, menunaikan amanat, dan silaturahim.
Termasuk juga larangan berbuat zina, membunuh,
menyakiti orang lain, membunuh binatang, dan lain-lain.
Perbedaan antara mereka biasanya terletak pada teknis,
tata-cara, dan mekanismenya saja410.
Ada perbedaan antara syarî’ah dan dîn. Syarî’ah
adalah jalan yang ditempuh umat atau Nabi, seperti syarit
Nabi Ibrâhîm, Nabi Mûsâ, Nabi ‘Îsâ, dan Nabi
Muhammad. Sedangkan dîn adalah sunnah dan jalan
ketuhanan untuk seluruh umat manusia. Jika syariat
memungkinkan dimodifikasi atau bakhan di naskh411,
sedangkan dîn dalam pengertiannya yang luas tak
mungkin di naskh.412 Syarî’ah berbeda dengan dîn,
syari’at bersifat spesifik, sementara dîn tuntunan Ilahi
yang bersifat umum dan mencakup semua umat.
Karenanya syari’at dapat saling me-nasakh anatar syari’at
yang satu dengan syariat yang lainnya. Sebagaimana
kedatangan syari’at Nabi Ibrâhîm membatalkan syariat
sebelumnya yang dibawa Nabi Nûh413.
Dapat disimpilkan bahwa, pada dasarnya
kepercayaan yang dianut oleh keturunan Nabi Ya’qub
(Asbâth) adalah Islam, yaitu agama kepasrahan kepada
Tuhan (Allah) yang Maha Esa414 yang memperkenalkan
diri-Nya kepada umat-umat yang berbeda sepanjang
sejarah melalui berbagai rasul yang diutus-Nya, terlepas
dari fakta bahwa pada generasi selanjutnya terjadi banyak
penyimpangan dalam keberagamaan.
D. Pandangan Alquran tentang Yahudi yang Lurus
يإ َنييذَّلٱَو ْاوُنَماَء َنييذَّلٱ َّن ْاوُداَه يب ََّٰصلٱَو َٰىَر ََٰصَّنلٱَو ي احيل ََٰص َليمَعَو ير يخلأٱ يموَيلٱَو يَّللَّٱيب َنَماَء نَم َين
َنُونَزَيَ مُه َلََو ميهيَلَع ٌفوَخ َلََو ميي بََر َدنيع مُهُرجَأ مُهَل َف ٦٢ 415
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin,
siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.”416 (QS. al-Baqarah [2]: 62)
Ayat ini turun untuk menjawab pertanyaan
Salman al-Farisi tentang nasib kaum Nasrani yang tulus
beriman kepada Allah dan meninggal sebelum diutusnya
Nabi Muhammad saw. Dalam riwayat Mujahid berkata, ‘’
Salman al-Farisy bertanya kepada Nabi saw perihal kaum
Nasrani dan bagaimana pendapat beliau tentang amal
mereka. Nabi bersabda, “Mereka meninggal dalam
keadaan tidak beragama Islam”. Dengan sedih Salman
berkata, ‘Jika demikian sungguh bumi terasa gelap
bagiku; aku ingat betul bagaimana kesungguhan mereka
(dalam beribadah).’ Berkaitan dengan hal ini turunlah
ْاوُنَمَاء َنييذَّلٱ َّنيإ يب ََّٰصلٱَو ْاوُداَه َنييذَّلٱَو ُ َلََو ميهَيلَع ٌفوَخ َلََف احيل ََٰص َليمَعَو ير يخلأٱ يموَيلٱَو يَّللَّٱيب َنَمَاء نَم َٰىَر ََٰصَّنلٱَو َنو
َنُوَنزَيَ مُه ٦٩
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-
orang Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja di antara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari
Kemudian serta beramal shalih, maka untuk mereka adalah
ganjaran dari sisi Tuhan mereka, tidak ada ketakutan atas
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”415 (QS. Al
Mâidah: 69)
416 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 10
203
ayat innaladzîna âmanû walladzîna hâdû Rasulallah lalu
memanggil Salman dan bersabda, ayat ini turun terkait
teman-temanmu, Beliau juga bersabda, “Siapa saja yang
wafat dalam keadaan memegang teguh agama Isa dan
Islam sebelum ia mendengar dakwahku, maka ia berada di
atas kebaikan. Sebaliknya siapa saja yang hari ini
mendengar dakawahku, tapi enggan beriman kepadaku,
sungguh ia telah celaka’’417.
Ketika menjelaskan ayat ini dalam tafsir Alquran
al-A’zhîm, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan hâdû, nashârâ dan shâbi’în dalam
ayat ini adalah kaum terdahulu, sebelum Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus. Allah
mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barangsiapa yang
berbuat baik dari kalangan umat-umat terdahulu dan taat,
bagi mereka pahala yang baik418.
417 Hadits ini berstatus Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr al-Thabarî
dari jalur al-Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Mujahid. Pada sanad ini
terdapat keterputusan perawi, yakni antara Mujahid dengan
Salman. Namun demikian sanad ini diperkuat oleh sanad lain,
yaitu dari Muhammad bin Humaid dari Salmah bin Fadhl dari
Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Abu Muhammad
dari Sa’id bin Jubair dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas. Sanad
riwayat ini dinilai hasan oleh penulus kitab al-Maqbûl fi Asbab
al-Nuzûl. Lihat Abu ‘Amr Nâdî bin Muhammad Hasan al-
Maqbûl fi Asbab al-Nuzûl, h. 59. Lihat juga Ibnu Jarîr al-
Thabarî, al-Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi Alquran, juz II, h.
45.
418 Ibnu Katsîr, Tafsir Alquran al-‘Azhîm, Juz I, h. 216
204
Mengenai bagaimana bentuk keimanan orang-
orang Yahudi dan Nasrani yang dimaksud dengan “man
âmana” dalam ayat ini Ibnu Katsir menjelaskan: Iman
orang-orang Yahudi itu ialah barangsiapa yang berpegang
kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa ‘alaihi salam,
maka imannya diterima hingga Nabi Isa ‘alaihi salam
datang. Apabila Nabi Isa telah datang, sedangkan orang
yang tadinya berpegang kepada Taurat dan sunnah Nabi
Musa tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikuti
syariat Nabi Isa, maka ia termasuk orang yang binasa.
Bagitupun acuan keimanan umat Nasrani, jika mereka
berpegang teguh pada Injil dan syariat Nabi ‘Îsâ,
keimanan mereka dapat diterima hingga datang masa
Nabi Muhammad. Ketika periode Nabi Muhammad
tersebut, mereka yang tetap berpegang pada Injil dan
syariat Nabi ‘Îsâ akan binasa419.Mengenai ukuran
keimana tersebut al-Thabari juga menjelaskan, ketika
orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakui kebenaran
Nabi Muhammad dan risalah yang dibawanya.420
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâl Alquran juga
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang
Yahudi, Nasrani dan Shabi’in dalam ayat ini adalah
sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Menurutnya, jaminan keselamatan itu
tidak berlaku bagi mereka yang tidak mengakui kenabian
Muhammad. Baginya, perihal keyakinan adalah maslah
yang mendasar dan prinsip sebuah ajaran. Ia berargumen
bahwa sesuatu yang sudah jelas merupakan urusan agama.
Sayyid Qutbh juga memberikan ‘vonis’ kepada mereka
yang tidak mengimani Muhammad saw. sebagai Nabi dan
Rasul adalah sesat dan pasti tidak akan mendapat jaminan
keselamatan oleh Allah swt. Sikap kerasnya ini, agar
dimiliki setiap Muslim supaya tidak mudah tergoda
keimanannya dari pengaruh jahiliah, lebih-lebih
menyangkut akidah penganut agama lain. Namun, Sayyid
Quthb sedikit terbuka bahwa keputusan akhirnya, apakah
mereka benar, salah, lurus, atau sesat tetap diserahkan
kepada Allah swt. sebagai eksekutornya kelak di
akhirat421. Namun pandangan ini ditolak oleh Fazlur
Rahman yang menyatakan bahwa keselamatan berlaku
bagi umat Yahudi, Nasrani dan Sabi’in yang saleh yang
hidup sebelum periode Nabi Muhammad saw. Rahman
beralasan bahwa ayat tersebut sudah terang benderang,
sebab jaminan keselamatan diberikan kepada siapa saja
yang beriman dan beramal saleh, tanpa diembel-embeli
syarat dan makna lain422.
Dalam ayat lain Allah swt. juga menjelaskan
perihal ini dalam firman-Nya:
ْاوُسَيل ني م ءاَوَس يبََٰتيكلٱ يلَهأ َنوُدُجسَي مُهَو يليَّلٱ َءَنَّاَء يَّللَّٱ يتََٰياَء َنوُلَتي ةَميئَاق ةَُّمأ ١١٣ َنوُن يمُؤي
يم َكيئََٰلُْوأَو يتََٰيرَلٱ يفِ َنوُعير ََٰسُيَو يرَكن
ُ
لمٱ ينَع َنوَهَنيَو يفوُرع
َ
لمٱيب َنوُرُمَيََو ير يخلأٱ يموَيلٱَو يَّللَّٱيب َن
َين يحيل ََّٰصلٱ ١١٤
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat
Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka
juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada
Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada
yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan
bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan;
mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.”423 (QS. Âli
‘Imrân [3]: 113-114)
Ayat di atas secara tegas menggambarkan,
diantara Ahl al-Kitab masih terdapat golongan yang tetap
istiqomah dengan ajaran agamanya. Perilaku mereka
ditandai dengan sifat-sifat terpuji. Seperti rajin membaca
ayat-ayat Allah ditengah malam sambil mereka terus-
menerus melakukan ibadah. Mereka juga beriman kepada
Allah dan hari kemudian, melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar serta bergegas dalam melakukan kebajikan.
Dalam hubungan ini, dari seluruh penilaian para
Ahl al-Kitab terdapat orang-orang Yahudi yang baik dan
orang-orang Nasrani yang baik, yaitu orang yang
mempercayai satu Tuhan dan mempercayai tanda-tanda-
Nya. Mereka bersujud di hadapan-Nya, mengikuti pesan
yang disampaikan para nabi, percaya pada hari pengadilan
terakhir, berbuat baik dan menyuruh orang berbuat
kebaikan, serta melarang berbuat jahat. Alquran
menggambarkan kelompok minoritas ini sebagai orang-
orang yang selamat dari kutukan-kutukan, dari kemurkaan
dan pembalasan Allah. Mereka merupakan hasil positif
dari pengalaman wahyu terdahulu serta usaha para
Nabi424.
Mengenai ayat-ayat yang bernada positif dan
simpatik terhadap Ahl al-Kitab di atas, sebagian pakar
Alquran menyatakan bahwa term qâ’imah dalam ayat
tersebut berarti tetap dalam keimanan dan ketaatan425.
Hanya saja apakah yang dimaksud dengan keimanan dan
ketaatan di sini kepada ajaran agama mereka atau kepada
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., terdapat
perbedaan pendapat di kalangan pakar Alquran.
Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhailî memberikan
komentar426 : Tidaklah sama ahl al-Kitab yang disebutkan
terdahulu dengan kecaman, atau sama dengan seseorang
dalam kefasikan dan kekafiran. Akan tetapi sebagian di
antara mereka adalah mukmin dan sebagian (lagi)
berdosa, sebagaimana di anatara mereka ada kelompok
yang tetap pada perintah Allah, istiqamah pada ajaran
agama-Nya, taat kepada syari’at-Nya, mengikuti Nabi
yang diutus Allah, membaca Alquran dalam salat mereka
di waktu malam dan mereka banyak bertahajjud. Mereka
itu beriman kepada Allah dan hari akhirat dengan iman
yang sebenar-benarnya yang tidak ada keraguan padanya,
mereka memerintahkan orang lain melakukan kebajikan,
melarang dari kemungkaran, berlomba-lomba melakukan
kebaikan, berbuat kebaikan secara kontinu. Mereka itulah
yang diberikan predikat disisi Allah sebagai orang-orang
saleh. Di anatara mereka ialah seperti ‘Abdullah bin
Salâm dan Asid ibn ‘Ubayd dan Tsa’labah ibn San’ah.
Di samping pendapat di atas terdapat pula
pendapat yang mengatakan bahwa kandungan ayat
tersebut tidak secara khusus menunjuk kepada Ahl al-
Kitab yang sudah memeluk agama Islam. Yang dimaksud
ayat di atas mengenai perilaku Ahl al-Kitab yang tetap
istiqamah membaca ayat-ayat Allah adalah membaca
kitab suci yang ada pada mereka dalam berdoa dan
memuji Tuhan. Ayat-ayat yang mengandung doa dan
pujian dimaksud, banyak ditemukan dalam kitab Zabur
Nabi Dâwûd427.
Keterangan tersebut menunjukan, sebagian
diantara Ahl al-Kitab yang memperoleh respon positif
dari Alquran pada dasarnya dapat dipahami bahwa
mereka itu sebagian telah menerima baik ajakan Nabi
Muhammad saw. dan menjadikan Islam sebagai pedoman
hidupnya, sebagai kelanjutan dari agama yang dibawa
oleh Nabi Musa dan Nabi ‘Îsa a.s. Di samping itu dapat
pula dipahami bahwa yang ditunjuk oleh ayat-ayat yang
berisi sapaan posistif kepada sebagian Ahl al-Kitab, dapat
pula mencakup mereka yang tetap setia dan konsisten
berpegang teguh pada ajaran agama mereka, walaupun di
sana sini sudah terdapat perubahan dan penyimpangan.
Namun penulis sendiri lebih cenderung pada
pendapat yang menyatakan bahwa Ahl al-Kitab yang
memperoleh respon positif dari Alquran adalah mereka
yang teguh menjalankan syari’at Nabi Musa dan Nabi ‘Îsa
a.s. sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. tanpa ada
penyimpangan perilaku, dan mereka beriman atas
kerasulan Nabi Muhammad sesudah beliau diutus. Karena
dengan mereka mengimani kerasulan dan ajaran yang
dibawa Nabi Muhammad saw. merupakan manifestasi
ketaatan dan keimanan mereka terhadap ajaran / syari’at
yang dibawa oleh Nabi yang diutus kepada mereka.
E. Tuntunan Alquran mengenai interaksi sosial umat
Islam dengan kaum Yahudi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
interaksi sosial anatar Islam dan Yahudi telah
210
berlangsung sejak awal-awal Islam datang ke Madinah.
Interaksi yang terjadi anatara umat Islam pada masa itu
dengan kelompok Yahudi berlangsung dalam berbagai
bidang, baik dalam bidang ekonomi/ perdagangan, politik
dan sosial kemasyaraakatan lainnya.
Alquran kemudian memberikan beberapa petunjuk
mengenai etika pergaulan dengan kaum Yahudi. Alquran
misalnya melarang menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai Auliya’. Mengenai hal ini terdapat dalam
Alquran:
ْاوُذ يخَّت َت َلَ ْاوُنَماَء َنييذَّلٱ اَهُّ َي ََٰيَ َدوُه َيلٱ ُهَّنيَإف مُكن ي م ُمَّلََو َت َي نَمَو ضَعب ُءاَييلَوأ مُهُضَعب َءاَييلَوأ َٰىَر ََٰصَّنلٱَوۥ
َينيميلََّٰظلٱ َموَقلٱ ييدَهي َلَ َ َّللَّٱ َّنيإ مُهن يم ٥١
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”428 (QS. al-Mâidah [5]: 51)
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat madinah pra
hijrah untuk menjalin persekutuan antara beberapa pihak
untuk saling membantu bila salah satu pihak menyerang
atau diserang kelompok di luar persekutuan itu. sesudah
Rasulallah datang kebiasaan ini masih berlangsung,
hingga tidak jarang ditemukan beberapa muslim yang
masih terikat kesepakatan semacam itu dengan kaum
Yahudi dan Nasrani. Ayat ini kemudian turun untuk
melarang kebiasaan tersebut.
Dalam suatu riwyat dikemukakan bahwa
‘Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik madinah)
dan ‘Ubâdah bin as-Shamit (salah seorang tokoh Islam
dari bani ‘Auf bin Khazraj) terikat oleh suatu perjanjian
untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’,
ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulallah saw.,
Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri. Sedangkah
‘Ubadah bin as-Shamit berangkat mengahadap Rasulallah
saw. Untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-
Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa’ itu, serta
menggabungkan diri bersama Rasulallah dan menyatakan
hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah
Ayat ini yang mengingatkan orang yang beriman untuk
tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak
mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi Pemimpin
mereka429.
429 Hadits ini berstatus Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Hisyâm, al-
Sîrah al-Nabawiyyah, Juz III, h. 10-11. Meskipun Mursal
karena jalur sanadnya hanya berhenti pada ‘Ubâdah bin al-
Wâlid, namun sanad riwayat Ibnu Hisyâm dinilai shahih oleh
Ibrâhîm Muhammad al-‘Aliy. Ia mengatakan bahwa ada
kemungkinan ‘Ubâdah bin al-Wâlid mendengar riwayat
tersebut dari ayahnya dan kakeknya, seperti halnya sanad
212
Dalam mengomentari ayat di atas, Muhammad
Qurays Shihab berkata: “Jika keadaan orang-orang
Yahudi dan Nasrani atau siapapun seperti dilukiskan oleh
ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti kaum jahiliyah
dan mengabaikan hukum Allah, bahkan bermaksud
memalingkan kaum Muslimin dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah, maka, wahai orang-orang beriman
janganlah kamu mengambil dengan susah payah, apalagi
dengan mudah orang-orang Yahudi dan Nasrani serta
siapapun bersifat seperti mereka yang dikecam ini juga
mengambil mereka menjadi auliyâ’, yakni orang-orang
dekat, sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam
kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika sebagian
mereka adalah auliyâ’ / penolong sebagian yang lain”430.
Rasyid Ridha berpendapat: “Dalam ayat ini Allah
swt melarang al-Wilâyat kaum Muslimin yang tidak
berhijrah ketika hijrah tersebut merupakan kewajiban.
Maka tentunya wajar pula Allah meniadakan Wilâyah
tersebut terhadap orang-orang Yahudi dan yang ketika itu
memerangi kaum Muslimin, karena itu larangan yang
dicantumkan dalam ayat ini adalah karena orang-orang
riwayat al-Suyuthi dari Ibnu Mardawaih dari ‘Ubâdah bin al-
Wâlid dari ayahnya dari kakeknya yakni ‘Ubâdah bin Shâmit.
Lihat Ibrâhîm Muhammad al-‘Aliy, Shahih asbâb al-Nuzûl, h.
104. Lihat juga al-Baihaqiy, Dalâil al-Nubuwwah, Juz III, h.
173-174. Lihat Juga al-Suyûthi, al-Dûr al-Mantsûr, Juz V, h.
347.
430 Muhammad Qurays Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V. h. 182
213
Yahudi dan Nasranu memerangi kaum Muslimin bukan
disebabkan perbedaan agama”431.
Kata Auliyâ’ sendiri berasal dari kata Waliy yang
mengandung pengertian kedekatan, menguasai, mengikuti
tanpa batas, memerintah, mencintai dan menolong432.
Thabathaba’i menjelaskan secara panjang lebar
tentang pengertian Auliyâ’, antara lain dikemukakan
bahwa kata tersebut merupakan satu bentuk kedekatan
kepada sesuatu yang menjadikan terangkat dan hilangnya
batas anatara yang mendekat dan yang didekati dalam
tujuan kedekatan itu. Kalau tujuan dalam konteks
ketakwaan dan pertolongan, maka Auliyâ’ adalah
penolong; apabila dalam konteks pergaulan dan kasih
sayang, maka ia adalah ketertarikan jiwa sehingga Waliy/
Auliyâ’ adalah yang dicintai yang menjadikan seseorang
tidak dapat tidak kecuali tertarik memenuhi kehendaknya
dan mengikuti perintahnya. Kalau dalam konteks
hubungan kekeluargaan, maka Waliy anatara lain adalah
yang mewarisinya dan tidak aada yang dapat menghalangi
pewarisan itu, demikian juga ayah dalam perkawinan
anak perempuannya. Dalam konteks ketaatan maka waliy
adalah siapa yang harus memerintah dan harus ditaati
ketetapannya.
Dalam ayat ini Allah tidak menjelaskan dalam
konteks apa larangan tersebut, sehingga ia dapat dipahami
dalam pengertian segala sesuatu, tetapi karena lanjutan
ayat ini menyatakan bahwa kami takut mendapat
bencana, maka dapat dipahami bahwa kedekatan yang
terlarang ini adalah dalam konteks yang sesuai dengan
apa yang mereka takuti itu, yakni mereka takut pada
suatu ketika akan terjadi bemcana yang tidak dapat
terelakkan, baik dari orang Yahudi dan Nasrani yang
mereka jadikan Auliyâ’ itu maupun dari pihak lain. Maka
karena itu mereka harus menjadikan semua pihak Auliyâ’
yang membela mereka sekaligus teman sepergaulan
dengan hubungan kasih sayang. Dari sinilah Thabathaba’I
berkesimpulan bahwa Auliyâ’ yang dimaksud ayat ini
adalah cinta kasih yang mengantar pada melebarnya
perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa
yang tadinya berselisih, saling terkaitnya akhlak dan
miripnya tingkah laku, hingga anda seakan melihat dua
orang yang saling mencintai bagaikan orang yang
memiliki satu jiwa satu kehendak, dan satu perbuatan
yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam
pengalaman hidup dan tingkat pergaulan. Inilah yang
mengantar ayat ini menegaskan bahwa: “barang siapa
dianatara kamu menjadikan mereka auliyâ’, maka
sesungguhnya dia termasuk kelompok mereka.” Hal ini
senada dengan peribahasa “siapa yang mencintai suatu
215
kelompok, maka ia termasuk kelompok itu” dan bahwa
“seseorang akan bersama siapa yang dicintainya”433.
Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah:
مُكَنوُلَيَ َلَ مُكينوُد ني م َةنَاطيب ْاوُذ يخَّت َت َلَ ْاوُنَماَء َنييذَّلٱ اَهُّ َي ََٰيَ يتَدَب دَق مُّتينَع اَم ْاوُّدَو لَاَبَخ
َنوُليقعَت مُتنُك نيإ يتََٰيلأٱ ُمُكَل اَّنَّ ي َب دَق َُبِكَأ مُُهروُدُص ي
يفُتَ اَمَو ميهيهََٰوَفأ نيم ُءاَضغَبلٱ ١١٨ مُتَنأ ََٰه
يهي لُك يبََٰتيكلٱيب َنوُن يمُؤتَو مُكَنوُّبُييَ َلََو ُمَنَّوُّبُيتَ يءَلَُْوأۦ ُقَل اَذيإَو ُمُكيَلَع ْاوُّضَع ْاوَلَخ اَذيإَو اَّنَماَء ْاوُلَاق مُكو
يروُدُّصلٱ يتاَذيب ُمييلَع َ َّللَّٱ َّنيإ مُكيظيَغيب ْاُوتوُم لُق يظيَغلٱ َنيم َليمَنََّلأٱ ١١٩ ةَنَسَح مُكسَسَتم نيإ
َلَ ْاوُقَّ ت َتَو ْاُو يبِصَت نيإَو َا يبَ ْاوُحَرَفي ةَئي يَس مُكب يصُت نيإَو مُهؤُسَت يَش مُهُديَك مُكُّرُضَي ً َنوُلَمَعي َا يبِ َ َّللَّٱ َّنيإ ا
طيُيمُ ١٢٠
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil
menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar
kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai
apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati
mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka,
padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman
kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai
kamu, mereka berkata "Kami beriman", dan apabila
mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran
marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah
(kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu
itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika
kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih
hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka
bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa,
niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan
kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah
mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”434 (QS. Âli
‘Imrân [3]: 118-120)
Ayat ini turun berkenaan dengan hubungan
anatara seorang Muslim dengan seorang Yahudi sejak
zaman jahiliyah, kemudian Allah melarang pertemanan
mereka karena dikhawatirkan akan terjadi fitnah atas
mereka.435
Rasyid Ridha berpendapat bahwa larangan ini baru
berlaku jika mereka memerangi atau bermaksud jahat
terhadap kaum Muslimin. Ridha menyatakan lebih lanjut
bahwa sebagian orang tidak menyadari sebab atau syarat,
sehingga berpendapat bahwa larangan ini bersifat mutlak,
ini tidak asing, sebab orang-orang kafir ketika itu bersatu
melawan kaum Muslimin pada masa awal-awal datangnya
Islam saat turun ayat ini, karena menurut pakar-pakar
Alquran ayat ini turun menyangkut orang-orang
Yahudi436. Sedang Ibnu Jarir at-Thabari menyebutkan
bahwa ayat 118 surat Ali ‘Imran berkenaan dengan sikap
orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati
perjanjian yang dilakukan dengan Nabi saw437.
Sudah menjadi karakter Yahudi bahwa mereka
suka mengkhianati perjanjian, dalam sejarah misalnya
mereka melanggar larangan Tuhan untuk beribadah
padahari sabtu. Watak tersebut sebenarnya bertentangan
dengan kitab suci mereka sendiri yang menganjurkan
supaya mentaati perintah Tuhan438.
Sebagian ulama memahami ayat ini sebagai
larangan bergaul akrab dengan orang-orang Yahudi.
Sedangkan ulama lain memahaminya sebagai larangan
terhadap orang-orang munafik439. Sedangkan Quraisy
8 Lihat Ten Comendemen dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan,
pasal 20 ayat 1-17, yang berisi sepuluh perintah yang wajib
dilaksanakan oleh Bani Isra’il, antara lain: Janganlah kamu
menyembah selain Allah, Jangan menyembah berhala, Jangan
menyebut nama Allah dengan bermain-main, Hendaklah
memuliakan hari sabtu, dan Kewajiban memuliakan ayah dan
ubu, Larangan berzina, Larangan mencuri, Larangan bersaksi
palsu, dan Larangan mengiingikan istri dan hak milik orang
lain.
Syihab berpendapat bahwa teks ayat yang bersifat umum
mendukung pendapat yang lebih bersifat umum, yakni
siapapun yang sifatnya seperti yang dikemukakan oleh
ayat di atas, walaupun diyakini bahwa ia turun dalam
konteks pembicaraan menyangkut orang-orang Yahudi440.
Dalam sejarah disebutkan bahwa sebelum Islam
datang, penduduk Madinah telah menjalin hubungan
akrab dengan kelompok Yahudi diberbagai bidang, antara
lain bidang pertahanan dan ekonomi. Persahabatan itu
kemudian berubah ketika Islam datang ke Madinah,
karena Islam membawa tatanan baru dalam berbagai
bidang sehingga sedikit banyak mereka terganggu,
efeknya mereka sangat membenci Islam dan mereka
menempuh segala cara untuk menghancurkan kaum
Muslimin termasuk berpura-pura bersahabat dengan kaum
Muslimin, padahal mereka punya niat jahat, anatar lain
mereka ingin mencuri rahasia-rahasia kaum Muslimin
untuk kepentingan mereka.
Ayat 118 di atas menuntun umat Islam agar tidak
bergaul sedemikian akrab dengan lawan-lawan Islam,
karena kaum Muslimin menyukai mereka karena sikap
mereka yang dikemas sedemikian rupa agar terlihat baik,
karena kaum Muslimin orang-orang yang memiliki hati
yang suci dan bersih yang mengukur orang lain dengan
diri mereka, padahal mereka (lawan Islam) tidak
440 Muhammad Qurays Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V. h. 183
219
menyukai kaum Muslimin karena agama dan pandangan
hidup mereka tidak sejalan dengan yang umat Islam
yakini. Karena umat Islam beriman kepada semua kitab-
kitab yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan
mengimani semua utusan Allah, sedangkan mereka tidak
mengakui/mengimani semua kitab suci dan tidak
mengimani semua Nabi sebagaimana umat Islam imani441.
Dari uraian di atas jelas bahwa larangan Allah
untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman
karena mereka mempunyai kepentingan yang sama yakni
memusuhi Islam.
F. Posisi Yahudi menurut Alquran
Selain mensinyalir bahwa orang-orang Yahudi
telah merubah isi kitab suci mereka, Alquran juga
menganggap sebagian orang Yahudi telah kafir. Hal ini
disebutkan dalam surat al-Nisap [4]: 46,442 dan al-Mâidah
[5]: 41.443 Ibnu atsir menafsirkan QS. Âli I’mrân [3]: 98
441 Muhammad Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V, h. 185
442 Lihat ayat selengkapnya:
وُداَه َنييذَّلٱ َني م ْا يهيع يضاَوَّم نَع َميلَكلٱ َنوُفي رَُيَٓۦ سُم َيرَغ عَسٱَو اَنيَصَعَو اَنع
َيس َنُولوُق َيَو يفِ انعَطَو ميهيَتن يسَل يبِ اََّيل اَنيعََٰرَو عَم
ٱ ُمُه َنَعَّل نيكََٰلَو َمَوَقأَو ُمَّلَ ايرَخ َناَكَل َنَُّرظنٱَو عَسٱَو اَنعَطَأَو اَنعَيس ْاُولَاق ُم َّنَّأ وَلَو ينيي دلٱ َلََف ميهيرفُكيب ُ َّللَّ
لَييَلق َّلَيإ َنوُنيمُؤي٤٦
443 Lihat ayat selengkapnya:
َََٰيَ ُؤت َلََو ميهيهََٰوَف يبِ اَّنَمَاء ْاوُلَاق َنييذَّلٱ َنيم يرفُكلٱ يفِ َنوُعير ََٰسُي َنييذَّلٱ َكُنزَيَ َلَ ُلوُسَّرلٱ اَهُّ ي ْاوُداَه َنييذَّلٱ َنيمَو ُمُبَوُل ُق نيم
يم َميلَكلٱ َنوُفي رَُيَ َكُوتَيَ َلَ َنييرَخَاء ٍموَق
يل َنوُعَََّٰس يبيذَكليل َنوُعَََّٰس يهيع يضاَوَم يدَعب نۖۦ اَذ ََٰه مُتييتُوأ نيإ َنُولوُق َي
220
bahwa yang dimaksud dengan kafirnya orang-orang
Yahudi adalah kekafiran terhadap kerasulan Nabi
Muhammad saw.444 Sedangkan pada QS. al-Mâidah [5]:
41 yang menyatakan ketidak berimanan orang-orang
Yahudi Ibnu katsir menafsirkannya bahwa mereka
dianggap kafir karena tidak mau mengamalkan isi Taurat
kecuali sesudah isinya dirubah.445 Sedangkan Zamakhsyari
dalam menafsirkan ayat tersebut senada dengan Ibnu
Katsir dengan mengatakan bahwa orang-orang Yahudi
tidak mengimani Nabi Muhammad dan tidak menerapkan
hukum-hukum Taurat446.
Dari informasi Alquran dijelaskan bahwa predikat
kafir terlihat secara eksplisit dalam ayat di atas ditujukan
pada Yahudi sedangkan predikat musyrik menjadi samar,
karena dari sikap dan prilaku Ahl al-Kitâb (Yahudi)
terkesan bahwa mereka termasuk musyrik, sebagaimana
diungkapkan dalam Alquran (QS. al-Taubah [9]: 30-
31)447. Hal ini menyebabkan posisi musyrik
ُهَت َنتيف ُ َّللَّٱ يديُري نَمَو ْاوُرَذحَٱف ُهوَتؤُت َّلَ نيإَو ُهوُذُخَفٓۥ َُهل َكيلَتم نَل َفٓۥ يَش يَّللَّٱ َنيم ً نَأ ُ َّللَّٱ يديُري َلَ َنييذَّلٱ َكيئََٰلُْوأ ا
يخ اَين ُّدلٱ يفِ ُمَلَ ُمَبَوُل ُق َري هَُطي مييظَع ٌباَذَع يَةر يخلأٱ يفِ ُمَلََو يز٤١
444 Ibnu Atsir, al-Kâmil fi al-Târikh, (Jilid I, h. 475
445 Ibnu Atsir, al-Kâmil fi al-Târikh, Jilid I, h. 475
446 Zamaksyarî, tafsir al-Kassyâf ‘an Haqâiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-
Aqwil Fi Wujuh al-Ta’wîl, (Kairo: Musthafa al-Bâab al-Halabî
wa Awlâduh, 1972 M) Jilid I, h. 629
447 Lihat teks lengkapnya:
221
diperselisihkan oleh pakar. Perbedaan ini berimplikasi
pada masalah hukum dalam sosio kemasyarakatan.
Seseorang disebut kafir jika ia mendustakan kerasulan
Muhammad saw. dan ajaran-ajaran yang dibawanya.
Dalam kaitan ini Thabathaba’i menyatakan bahwa semua
term alladzîna kafarû (berbentuk lampau) dalam Alquran
merujuk pada orang-orang kafir Makkah, kecuali kalau
dalam ada qarinah yang menunjuk ke selain mereka448.
Selain itu term Kufr dalam bentuk lampau juga
menunjuk pada umat-umat terdahulu yang ingkar
terhadap ajaran para Nabi dan Rasul yang diutus pada
mereka, contohnya penolakan kaum Nabi Nuh, Nabi Hud
dan kaum Nabi Sholeh terhadap ajaran yang mereka
bawa449. Demikian juga kekafiran kaum Nabi Isa terhadap
ajaran yang dibawanya450.
Fakhr Razi mengurai perbedaan pendapat ulama
mengenai posisi Yahudi dalam kaitannya dengan syirik451.
Fakhr al-Razi mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat
tentang musyrik, apakah mencakup orang-orang kafir dari
يه ََٰضُي ميهيهََٰوَف يبِ ُمُلَوَق َكيل ََٰذ يَّللَّٱ ُنبٱ ُحي يس
َ
لمٱ ىَر ََٰصَّنلٱ يتَلَاقَو يَّللَّٱ ُنبٱ ٌرَيزُع ُدوُه َيلٱ يتَلَاقَو ُ ُلَبق نيم ْاوُرَفَك َنييذَّلٱ َلوَق َنو
َل َتََٰق َنوُكَفُؤي ََّٰنََّأ ُ َّللَّٱ ُمُه ٣٠ َّلَيإ ْاوُريُمأ اَمَو ََيَرَم َنبٱ َحي يسَ
لمٱَو يَّللَّٱ ينوُد ني م بََبََرأ مُه َنََٰبُهرَو مُهَراَبحَأ ْاوُذََّتَٱ
ُهَن ََٰحبُس َوُه َّلَيإ َهََٰليإ َّلَ اد يحََٰو ا ََٰلَيإ ْاوُدُبعَييلۥ َنوُكيرشُي اَّمَع ٣١
448 Muhammad Husayn al-Tbathaba’i, Tafsir al-Mizan, Juz I, h. 50
449 Lihat QS. Ibrahim (14): 19
450 Lihat QS. Shaff (61): 14
451 Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, h. 59-60
222
kalangan Yahudi atau tidak. Selanjutnya Fakhr al-Razi
mengatakan bahwa sebagian ulama tidak memasukan
mereka dalam kategori musyrik, tetapi mayoritas ulama
berpendapat bahwa term musyrik mencakup pula orang-
orang kafir dari kalangan Yahudi. Pendapat inilah yang
dianut oleh al-Razi dengan berberapa alasan sebagai
berikut; pertama, Firman Allah QS. al-Taubah (9): 30-31,
dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa Yahudi dan
Nasrani termasuk kedalam kategori orang-orang Musyrik.
Kedua, QS. al-Nisa’(4): 48. Fakhr al-Razi juga
mengemukakan alasan yang dikemukakan Abu Bakr al-
Asham bahwa semua orang yang mendustakan risalah
Allah disebut musyrik.
Alquran tidak memposisikan kaum Yahudi ke
dalam golongan yang sesat secara keseluruhan karena
diantara sebagian mereka ada yang membaca kitab
sucinya dan melaksanakan ajarannya dengan benar seperti
yang telah diuraikan sebelumnya452.
sesudah melakukan kajian mengenai ayat-ayat
Asbâth , Banî Isrâ’îl dan Yahudi dalam Alquran, maka
berdasar pada seluruh bahasan yang telah dikemukakan,
dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan antara
term Banî Isrâ’îl dan term Asbâth yang disebut dalam
Alquran jika dilihat dari sisi kronologis turunnya ayat
atau dari sisi situasi dan kondisi penyebutannya (term
Banî Isrâ’îl dan term Asbâth ) dalam Alquran. Kendati
maknanya hampir sama yakni keturunan Nabi Ya’qub,
namun terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua
term tersebut, bahwa term Banî Isrâ’îl lebih umum dari
pada term Asbâth, yang mana term Banî Isrâ’îl bermakna
anak-anak keturunan Isrâ’îl atau keturunan Nabi Ya’qub.
Sedangkan penyebutan term Asbâth dalam Alquran
dipakai ketika menyebutkan Banî Isrâ’îl pada zaman Nabi
Musa, karena pada zaman Nabi Musa jumlah keturunan
Nabi Ya’qub/ Banî Isrâ’îl berkembang banyak, maka
penyebutannya dengan istilah Asbâth, seperti telah
dikemukaan Kata Asbâth berasal dari akar kata sa, ba dan
tha, yang secara literal berarti banyak atau lebat, dan arti
sibthun yaitu anak cucu bagaikan pepohonan yang lebat
lagi banyak dahannya, sedangkan makna Asbâth menurut
terminology yaitu dua belas orang dari anak keturunan
Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yang masing-masing dari dua
224
belas putra tersebut melahirkan suatu kaum yang menjadi
dua belas suku Bani Isrâîl . Sedangkan mengenai sisi
perbedaan makna term Banî Isrâ’îl dan Yahudi dari sisi
istilah Yahudi sebagai suku atau kelompok adalah bahwa
tidak semua Banî Isrâ’îl bisa dikatakan Yahudi, karena
Yahudi sekelompok kaum atau suku dari salah satu dua
belas suku Banî Isrâ’îl yakni dari keturunan suku Yahuda.
Namun disisi lain, dari sisi Yahudi sebagai istilah
kepercayaan atau agama Istilah ‘Yahudi’ lebih luas
maknanya daripada istilah ‘Ibrani’ dan ‘Banî Isrâ’îl’. Hal
ini karena istilah ‘Yahudi’, selain disematkan kepada
kaum Ibrani, juga disematkan kepada orang-orang non-
Ibrani yang memeluk agama Yahudi.
Terdapat korelasi antara Asbâth, Banî Isrâ’îl dan
Yahudi pada salah satu garis suku Asbâth yakni suku
Yahuda, keturunan suku Yahuda inilah yang menjadi
cikal bakal bangsa Yahudi, seperti telah diuraikan istilah
Yahudi sebagai suatu bangsa ini muncul sejak terjadinya
perpecahan kerajaan pasca wafatnya Nabi Sulaiman, yaitu
suku yang berafiliasi pada kerajaan selatan (Yahuda)
inilah yang menjadi kaum/ bangsa Yahudi, penduduk
kerajaan ini mayoritas dari keturunan Yahuda anak
keempat Nabi Ya’qub.
Ditemukan kekeliruan penafsiran mengenai
Asbâth yaitu kesalahan tentang klaim kenabian mereka
terjadi akibat sangkaan sebagian ulama seperti Ali al-
Shabuni dan Ibnu ‘Athiyah bahwa saudara-saudara Yusuf
225
adalah “Asbâth” (ُٓطاَبَْسلا). Padahal tidaklah demikian. Para
“Asbâth” itu hanyalah anak cucu dari saudara-saudara
Yusuf yang terbagi-bagi menjadi Asbâth (kaum yang
berjumlah besar). Diantara anak cucu Ya’qub, ada
beberapa orang menjadi Nabi, Allah pun sandarkan
perkara turunnya wahyu kepada para Asbâth (anak cucu
Ya’qub), karena merekalah yang mengamalkan wahyu itu.
Al-Qur’an secara umum mengecam orang-orang
Yahudi dengan pemakaian lafal Hâdû, Hûdan, Al-yahûdu
)دوهيلا ( dan Yahûdiyyanٓ ٓ(ايدوهي). karena berbagai
penyimpangan yang telah mereka lakukan terhadap
agama dan kitab suci mereka, juga karena perbuatan
mereka yang kerap menimbulkan kerusakan dan
permusuhan terhadap kelompok agama lain. Di lain pihak
Alquran juga mengakui orang-orang Yahudi yang tetap
berada di jalan yang lurus (istiqamah) yang dalam
Alquran penyebutan mereka dengan memakai lafal hȃdȗ,
mereka mengamalkan ajaran Taurat dengan konsisten dan
melakukan amal shaleh, sehingga mereka mendapat
sapaan positif dalam Alquran walaupun jumlah mereka
tidak terlalu banyak.







