Minggu, 14 Desember 2025

ginekologi yahudi di Alquran 5

 




ul yang diutus-Nya.  


Sebutan Muslim juga diberikan olehul yang diutus-Nya.  

 Allah swt. 

yang menggunakannya jauh sebelum Nabi Muhammad 

saw. dan juga dalam Alquran, seperti dalam ayat berikut: 

 يهيداَه يج َّقَح يَّللَّٱ يفِ ْاوُديه ََٰجَو ۦ   َمي يهََٰربيإ مُكييَبأ َةَّلي م َجرَح نيم ينيي دلٱ يفِ مُكيَلَع َلَعَج اَمَو مُكَٰىَب َتجٱ َوُه

 ُلوُسَّرلٱ َنوُكَييل اَذ ََٰه يفَِو ُلَبق نيم َينيميلسُ

لمٱ ُمُكَٰىََّس َوُه   يساَّنلٱ ىَلَع َءاَدَهُش ْاُونوُكَتَو مُكيَلَع اًدي يهَش

 ُيريصَّنلٱ َمعينَو ََٰلَوَ

لمٱ َمعيَنف مُكََٰىلوَم َوُه يَّللَّٱيب ْاوُم يصَتعٱَو َة َٰوَكَّزلٱ ْاُوتاَءَو َة َٰوَلَّصلٱ ْاوُمييَقَأف ٧٨  

 

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad 

yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia 

sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama 

suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. 

Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang 

muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) 

ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya 

kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka 

dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan 

berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah 

Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan 

sebaik-baik Penolong.”399 (QS. al-Hajj [22]: 78) 

Sebagian kalangan mufassir menafsirkan kata 

ganti huwa dalam ungkapan huwa sammâkum al-

muslimîn (“Dia telah menamai kamu sekalian orang-

orang muslim”) dengan merujuk kepada Nabi Ibrâhim 

a.s400. Pendapat ini keliru karna berlawanan dengan fakta 

bahwa ungkapan  tersebut merupakan kelanjutan dari 

ungkapan sebelumnya, huwa ijtabâkum (“Dia telah 

memilih kalian”) yang jelas-jelas merujuk kepada Allah 

swt. Kemudian, ungkapan wa fiî hâdzâ (“dan [begitu 

pula] dalam ini”)  dalam huwa sammâkum al-muslimîn 

min qabli wa fiî hâdzâ “(Dia telah menamai kamu 

sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan [begitu 

pula] dalam ini” )  merujuk pada Al-Qur’an. Karena itu, 

jelas adanya kekeliruan dalam menafsirkan kata ganti 

“Dia” dalam “Dia telah menamai kamu sekalian orang-

orang muslim” seolah-olah merujuk kepada selain Allah.  

Ada pula sebuah ayat yang mengisahkan Nabi Nûh 

a.s., yang hidup jauh sebelum Nabi Ibrâhim a.s., 

menyampaikan kepada kaumnya bahwa Allah telah 

memerintahkannya agar menjadi seorang Muslim: 

 َينيميلس

ُ

لمٱ َنيم َنوُكَأ نَأ ُتريُمأَو يَّللَّٱ ىَلَع َّلَيإ َييرجَأ نيإ ٍرجَأ ني م مُكُتَلأَس اَمَف مُتيَّلَو َت نيَإف ٧٢  

“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak 

meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain 

hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku 

termasuk golongan orang-orang yang berserah diri 

(kepada-Nya)" 401 (QS. Yunus [10] : 72) 

Fakta lain yang harus dikemukakan dalam hal ini 

adalah bahwa istilah-istilah yang diberikan Allah swt. 

untuk menyebutkan para pengikut nabi tertentu tidak 

dapat diterapkan pada nabi itu sendiri. Jadi, Nabi Mûsâ 

a.s. bukan seorang Yahudi dan Nabi ‘Îsa a.s. bukan 

seorang Nasrani. Mungkin tampak bagi sebagian orang 

bahwa ungkapan Nabi Mûsâ a.s. kepada Allah swt. innâ 

hudnâ ilaika (“Sungguh, kami telah bertaubat kepad-Mu”) 

 

menunjukan bahwa dia sendiri adalah seorang Yahudi.402 

Meskipun demikian, pijakan utama semua agama yang 

diterima oleh para Nabi ataupun rasul adalah Islam   نَأ ُتريُمأَو

 َينيميلس

ُ

لمٱ  َنيم  َنوُكَأ. Perintah utama inilah bagi setiap Nabi dan 

umatnya untuk menjadi Muslim. Menurut Ibn Ajibah 

bahwa pengikut ajaran agama diperintahkan untuk 

mengesakan Allah.403  Atau menunaikan segala bentuk 

kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya.404 Maka 

konsep dasar utama agama adalah kepasrahan dan 

kepatuhan terhadap perintah Tuhan.405 Oleh karena itu, 

pada setiap perintah Allah kepada Nabi dan umatnya 

 Term muslim  dalam Alquran kerap dirangkain dengan hanif  yang 

berkaitan dengan ajaran agama terdahulu pakah itu Ibrahim 

ataupun nabi Musa. Berdasarkan pemaparan Mabrur dalam 

disertasinya term hanif  dan segala bentuk kata yang semakna 

dengannya, Alquran mengemukakan sebanyak 12 kali 

diberbagai surat. Salah satu makna dari hanif adalah agama 

yang cenderung pada kebenaran dan jauh dari segala bentuk 

kemusyrikan. Makna hanif lebih di identikkan dengan ajaran 

Nabi Ibrahim sebagai simbol dan bapak agama samawi.  Abu 

Manshur al-Maturidi mentakwilnya dengan orang-orang 

muslim, atau jalan yang lurus dan agama yang cenderung pada 

kebenaran dan Islam. Lihat. Mabrur, Dimensi Toleransi dalam 

Alquran; Analisis Pemikiran Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-

Munir (Ciputat: YPM, 2016), hal, 47. 

198    

adalah untuk menjadi muslim, maka setiap itu pula kaum 

mendapatkan kitab berdasarkan apa yang diterima oleh 

Nabinya.406 

Dapat disimpulkan pula bahwa agama yang 

dibawa Nabi Muhammad saw. dengan nabi-nabi 

sebelumnya adalah sama, yakni Islam, sebagaimana 

disebutkan dalam Q.S. al-Syûrâ (42): 13 berikut: 

 يهيب َٰىَّصَو اَم ينيي دلٱ َني م مُكَل ََعرَشۦ  يَّصَو اَمَو َكَيليإ اَنيَحَوأ ييذَّلٱَو احُون يهيب اَنٓۦ   َٰىَسييعَو َٰىَسوُمَو َمي يهََٰربيإ

 َم  يهَيليإ  يبَِتَيَ  ُ َّللَّٱ  يهَيليإ  مُهوُعدَت  اَم  َينيكيرش

ُ

لمٱ  ىَلَع  َُبَِك 

يهييف  ْاوُقَّرَف َت َت  َلََو  َنيي دلٱ  ْاوُمييَقأ  نَأ  ُءاَشَي  ن

 َو ُبييُني نَم يهَيليإ ييدَهي١٣  

“Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa 

yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang 

 

406  Sebagaimana penegasan Allah dalam firman-Nya 

 َّنلٱ َا يبَ ُمُكَيَ رُونَو ىدُه اَهييف َةََٰىروَّتلٱ اَنَلزَنأ َّنَّيإ  نيم ْاُوظيفحُتسٱ َا يبِ ُراَبحَلأٱَو َنوُّيينََّٰبَّرلٱَو ْاوُداَه َنييذَّليل  ْاوُمَلسَأ َنييذَّلٱ َنوُّييب

 يب ْاُوَتَشَت َلََو ينوَشخٱَو َساَّنلٱ ْاُوَشَتَ َلََف َءاَدَهُش يهَيلَع ْاُوناََكو يَّللَّٱ يبََٰتيك َ    َا يبِ مُكَيَ َّلَ نَمَو لَييَلق اَنَثَ يتََِٰيا  َلَزَنأ

نوُريف ََٰكلٱ ُمُه َكيئََٰلُْوَأف ُ َّللَّٱ ََ٤٤   

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya 

(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan 

Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-

nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim 

mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka 

diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka 

menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut 

kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah 

kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. 

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang 

diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang 

kafir.”406 (QS. al-Mâ’idah [5]: 44). 

 199 

telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami 

wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: 

Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah 

tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama 

yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada 

agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi 

petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali 

(kepada-Nya).”407 (Q.S. al-Syûrâ [42]: 13) 

Ayat ini menegaskan bahwa agama yang diterima 

oleh Rasulullah adalah “perpanjangan” dari agama-agama 

sebelumnya yang diterima oleh Nabi Nuh, Musa dan Isa. 

Menurut al-Razi berarti Allah mengkhususkan 

menyebutkan lima Nabi tersebut disebabkan merekalah 

yang paling “besar” dari nabi-nabi yang ada dengan 

syariat-syariat masing-masing yang diterima dan pengikut 

atau umatnya banyak.408  Atas syariat masing-masing 

yang diterima oleh Nabi memiliki dua tujuan yaitu 

hendaknya agama demikian ditegakkan dan jangan 

bercerai berai  ْاوُقَّرَف َت َت  َلََو  َنيي دلٱ  ْاوُمييَقأ  نَأ. Yang berarti jangan 

berpecah belah dalam hal agama, sebab kebersamaan itu 

 

407 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 484 

408 al-Razi, Mafatih al-Gaib, jilid 27, hal, 587. 

200    

adalah rahmat, dan perpecahan itu adalah siksa atau 

azab.409 

Menurut al-Qurthubi, syariat pokok agama-agama 

para nabi juga sama, yakni seperti mendirikan solat, 

zakat, puasa, haji, beramal saleh, bersikap jujur, 

memenuhi janji, menunaikan amanat, dan silaturahim. 

Termasuk juga larangan berbuat zina, membunuh, 

menyakiti orang lain, membunuh binatang, dan lain-lain. 

Perbedaan antara mereka biasanya terletak pada teknis, 

tata-cara, dan mekanismenya saja410.  

Ada perbedaan antara syarî’ah dan dîn.  Syarî’ah 

adalah jalan yang ditempuh umat atau Nabi, seperti syarit 

Nabi Ibrâhîm, Nabi Mûsâ, Nabi ‘Îsâ, dan Nabi 

Muhammad. Sedangkan dîn adalah sunnah dan jalan 

ketuhanan untuk seluruh umat manusia. Jika syariat 

memungkinkan dimodifikasi atau bakhan di naskh411, 

sedangkan dîn dalam pengertiannya yang luas tak 

 


mungkin di naskh.412  Syarî’ah berbeda dengan dîn, 

syari’at bersifat spesifik, sementara dîn tuntunan Ilahi 

yang bersifat umum dan mencakup semua umat. 

Karenanya syari’at dapat saling me-nasakh anatar syari’at 

yang satu dengan syariat yang lainnya. Sebagaimana 

kedatangan syari’at Nabi Ibrâhîm membatalkan syariat 

sebelumnya yang dibawa Nabi Nûh413. 

Dapat disimpilkan bahwa, pada dasarnya 

kepercayaan yang dianut oleh keturunan Nabi Ya’qub 

(Asbâth) adalah Islam, yaitu agama kepasrahan kepada 

Tuhan (Allah) yang Maha Esa414 yang memperkenalkan 

diri-Nya kepada umat-umat yang berbeda sepanjang 

sejarah melalui berbagai rasul yang diutus-Nya, terlepas 

dari fakta bahwa pada generasi selanjutnya terjadi banyak 

penyimpangan dalam keberagamaan. 

D. Pandangan Alquran tentang Yahudi yang Lurus 

 يإ َنييذَّلٱَو ْاوُنَماَء َنييذَّلٱ َّن ْاوُداَه  يب ََّٰصلٱَو َٰىَر ََٰصَّنلٱَو ي   احيل ََٰص َليمَعَو ير يخلأٱ يموَيلٱَو يَّللَّٱيب َنَماَء نَم َين

 َنُونَزَيَ مُه َلََو ميهيَلَع ٌفوَخ َلََو ميي بََر َدنيع مُهُرجَأ مُهَل َف ٦٢ 415 

 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang 

Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, 

siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman 

kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka 

akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada 

kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka 

bersedih hati.”416 (QS. al-Baqarah [2]: 62) 

Ayat ini turun untuk menjawab pertanyaan 

Salman al-Farisi tentang nasib kaum Nasrani yang tulus 

beriman kepada Allah dan meninggal sebelum diutusnya 

Nabi Muhammad saw. Dalam riwayat Mujahid berkata, ‘’ 

Salman al-Farisy bertanya kepada Nabi saw perihal kaum 

Nasrani dan bagaimana pendapat beliau tentang amal 

mereka. Nabi bersabda, “Mereka meninggal dalam 

keadaan tidak beragama Islam”. Dengan sedih Salman 

berkata, ‘Jika demikian sungguh bumi terasa gelap 

bagiku; aku ingat betul bagaimana kesungguhan mereka 

(dalam beribadah).’ Berkaitan dengan hal ini turunlah 

 

 ْاوُنَمَاء َنييذَّلٱ َّنيإ   يب ََّٰصلٱَو  ْاوُداَه َنييذَّلٱَو ُ    َلََو ميهَيلَع ٌفوَخ َلََف  احيل ََٰص َليمَعَو  ير يخلأٱ يموَيلٱَو يَّللَّٱيب َنَمَاء نَم َٰىَر ََٰصَّنلٱَو َنو

 َنُوَنزَيَ مُه ٦٩  

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-

orang Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja di antara 

mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari 

Kemudian serta beramal shalih, maka untuk mereka adalah 

ganjaran dari sisi Tuhan mereka, tidak ada ketakutan atas 

mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”415 (QS. Al 

Mâidah: 69) 

416 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, h. 10 

 203 

ayat innaladzîna âmanû walladzîna hâdû Rasulallah lalu 

memanggil Salman dan bersabda, ayat ini turun terkait 

teman-temanmu, Beliau juga bersabda, “Siapa saja yang 

wafat dalam keadaan memegang teguh agama Isa dan 

Islam sebelum ia mendengar dakwahku, maka ia berada di 

atas kebaikan. Sebaliknya siapa saja yang hari ini 

mendengar dakawahku, tapi enggan beriman kepadaku, 

sungguh ia telah celaka’’417. 

Ketika menjelaskan ayat ini dalam tafsir Alquran 

al-A’zhîm, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa 

yang dimaksud dengan hâdû, nashârâ dan shâbi’în dalam 

ayat ini adalah kaum terdahulu, sebelum Rasulullah 

Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus. Allah 

mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barangsiapa yang 

berbuat baik dari kalangan umat-umat terdahulu dan taat, 

bagi mereka pahala yang baik418. 

 

417 Hadits ini berstatus Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr al-Thabarî 

dari jalur al-Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Mujahid. Pada sanad ini 

terdapat keterputusan perawi, yakni antara Mujahid dengan 

Salman. Namun demikian sanad ini diperkuat oleh sanad lain, 

yaitu dari Muhammad bin Humaid dari Salmah bin Fadhl dari 

Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Abu Muhammad 

dari Sa’id bin Jubair dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas. Sanad 

riwayat ini dinilai hasan oleh penulus kitab al-Maqbûl fi Asbab 

al-Nuzûl. Lihat Abu ‘Amr Nâdî bin Muhammad Hasan al-

Maqbûl fi Asbab al-Nuzûl, h. 59. Lihat juga Ibnu Jarîr al-

Thabarî, al-Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi Alquran, juz II, h. 

45.  

418 Ibnu Katsîr, Tafsir Alquran al-‘Azhîm, Juz I, h. 216 

204    

Mengenai bagaimana bentuk keimanan orang-

orang Yahudi dan Nasrani yang dimaksud dengan “man 

âmana” dalam ayat ini Ibnu Katsir menjelaskan: Iman 

orang-orang Yahudi itu ialah barangsiapa yang berpegang 

kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa ‘alaihi salam, 

maka imannya diterima hingga Nabi Isa ‘alaihi salam 

datang. Apabila Nabi Isa telah datang, sedangkan orang 

yang tadinya berpegang kepada Taurat dan sunnah Nabi 

Musa tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikuti 

syariat Nabi Isa, maka ia termasuk orang yang binasa. 

Bagitupun acuan keimanan umat Nasrani, jika mereka 

berpegang teguh pada Injil dan syariat Nabi ‘Îsâ, 

keimanan mereka dapat diterima hingga datang masa 

Nabi Muhammad. Ketika periode Nabi Muhammad 

tersebut, mereka yang tetap berpegang pada Injil dan 

syariat Nabi ‘Îsâ akan binasa419.Mengenai ukuran 

keimana tersebut al-Thabari juga menjelaskan, ketika 

orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakui kebenaran 

Nabi Muhammad dan risalah yang dibawanya.420  

Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâl Alquran juga 

menegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang 

Yahudi, Nasrani dan Shabi’in dalam ayat ini adalah 

sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu 

‘alaihi wasallam. Menurutnya, jaminan keselamatan itu 

 

tidak berlaku bagi mereka yang tidak mengakui kenabian 

Muhammad. Baginya, perihal keyakinan adalah maslah 

yang mendasar dan prinsip sebuah ajaran. Ia berargumen 

bahwa sesuatu yang sudah jelas merupakan urusan agama. 

Sayyid Qutbh juga memberikan ‘vonis’ kepada mereka 

yang tidak mengimani Muhammad saw. sebagai Nabi dan 

Rasul adalah sesat dan pasti tidak akan mendapat jaminan 

keselamatan oleh Allah swt. Sikap kerasnya ini, agar 

dimiliki setiap Muslim supaya tidak mudah tergoda 

keimanannya dari pengaruh jahiliah, lebih-lebih 

menyangkut akidah penganut agama lain. Namun, Sayyid 

Quthb sedikit terbuka bahwa keputusan akhirnya, apakah 

mereka benar, salah, lurus, atau sesat tetap diserahkan 

kepada Allah swt. sebagai eksekutornya kelak di 

akhirat421.  Namun pandangan ini ditolak oleh Fazlur 

Rahman yang menyatakan bahwa keselamatan berlaku 

bagi umat Yahudi, Nasrani dan Sabi’in yang saleh yang 

hidup sebelum periode Nabi Muhammad saw. Rahman 

beralasan bahwa ayat tersebut sudah terang benderang, 

sebab jaminan keselamatan diberikan kepada siapa saja 

yang beriman dan beramal saleh, tanpa diembel-embeli 

syarat dan makna lain422. 

Dalam ayat lain Allah swt. juga menjelaskan 

perihal ini dalam firman-Nya: 

 

  ْاوُسَيل  ني م ءاَوَس يبََٰتيكلٱ يلَهأ َنوُدُجسَي مُهَو يليَّلٱ َءَنَّاَء يَّللَّٱ يتََٰياَء َنوُلَتي ةَميئَاق ةَُّمأ   ١١٣   َنوُن يمُؤي

 يم  َكيئََٰلُْوأَو  يتََٰيرَلٱ  يفِ  َنوُعير ََٰسُيَو  يرَكن

ُ

لمٱ  ينَع  َنوَهَنيَو  يفوُرع

َ

لمٱيب  َنوُرُمَيََو  ير يخلأٱ  يموَيلٱَو  يَّللَّٱيب َن  

 َين يحيل ََّٰصلٱ ١١٤   

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada 

golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat 

Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka 

juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada 

Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada 

yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar dan 

bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; 

mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.”423  (QS. Âli 

‘Imrân [3]: 113-114) 

Ayat di atas secara tegas menggambarkan, 

diantara Ahl al-Kitab masih terdapat golongan yang tetap 

istiqomah dengan ajaran agamanya. Perilaku mereka 

ditandai dengan sifat-sifat terpuji. Seperti rajin membaca 

ayat-ayat Allah ditengah malam sambil mereka terus-

menerus melakukan ibadah. Mereka juga beriman kepada 

Allah dan hari kemudian, melakukan amar ma’ruf nahi 

mungkar serta bergegas dalam melakukan kebajikan. 

Dalam hubungan ini, dari seluruh penilaian para 

Ahl al-Kitab terdapat orang-orang Yahudi yang baik dan 

orang-orang Nasrani yang baik, yaitu orang yang 

mempercayai satu Tuhan dan mempercayai tanda-tanda-

 

Nya. Mereka bersujud di hadapan-Nya, mengikuti pesan 

yang disampaikan para nabi, percaya pada hari pengadilan 

terakhir, berbuat baik dan menyuruh orang berbuat 

kebaikan, serta melarang berbuat jahat. Alquran 

menggambarkan kelompok minoritas ini sebagai orang-

orang yang selamat dari kutukan-kutukan, dari kemurkaan 

dan pembalasan Allah. Mereka merupakan hasil positif 

dari pengalaman wahyu terdahulu serta usaha para 

Nabi424. 

Mengenai ayat-ayat yang bernada positif dan 

simpatik terhadap Ahl al-Kitab di atas, sebagian pakar 

Alquran menyatakan bahwa term qâ’imah dalam ayat 

tersebut berarti tetap dalam keimanan dan ketaatan425. 

Hanya saja apakah yang dimaksud dengan keimanan dan 

ketaatan di sini kepada ajaran agama mereka atau kepada 

ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., terdapat 

perbedaan pendapat di kalangan pakar Alquran.  

Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhailî memberikan 

komentar426 : Tidaklah sama ahl al-Kitab yang disebutkan 

terdahulu dengan kecaman, atau sama dengan seseorang 

dalam kefasikan dan kekafiran. Akan tetapi sebagian di 

 

antara mereka adalah mukmin dan sebagian (lagi) 

berdosa, sebagaimana di anatara mereka ada kelompok 

yang tetap pada perintah Allah, istiqamah pada ajaran 

agama-Nya, taat kepada syari’at-Nya, mengikuti Nabi 

yang diutus Allah, membaca Alquran dalam salat mereka 

di waktu malam dan mereka banyak bertahajjud. Mereka 

itu beriman kepada Allah dan hari akhirat dengan iman 

yang sebenar-benarnya yang tidak ada keraguan padanya, 

mereka memerintahkan orang lain melakukan kebajikan, 

melarang dari kemungkaran, berlomba-lomba melakukan 

kebaikan, berbuat kebaikan secara kontinu. Mereka itulah 

yang diberikan predikat disisi Allah sebagai orang-orang 

saleh. Di anatara mereka ialah seperti ‘Abdullah bin 

Salâm dan Asid ibn ‘Ubayd dan Tsa’labah ibn San’ah.  

Di samping pendapat di atas terdapat pula 

pendapat yang mengatakan bahwa kandungan ayat 

tersebut tidak secara khusus menunjuk kepada Ahl al-

Kitab yang sudah memeluk agama Islam. Yang dimaksud 

ayat di atas mengenai perilaku Ahl al-Kitab yang tetap 

istiqamah membaca ayat-ayat Allah adalah membaca 

kitab suci yang ada pada mereka dalam berdoa dan 

memuji Tuhan. Ayat-ayat yang mengandung doa dan 

pujian dimaksud, banyak ditemukan dalam kitab Zabur 

Nabi Dâwûd427. 

 

Keterangan tersebut menunjukan, sebagian 

diantara Ahl al-Kitab yang memperoleh respon positif 

dari Alquran pada dasarnya dapat dipahami bahwa 

mereka itu sebagian telah menerima baik ajakan Nabi 

Muhammad saw. dan menjadikan Islam sebagai pedoman 

hidupnya, sebagai kelanjutan dari agama yang dibawa 

oleh Nabi Musa dan Nabi ‘Îsa a.s. Di samping itu dapat 

pula dipahami bahwa yang ditunjuk oleh ayat-ayat yang 

berisi sapaan posistif kepada sebagian Ahl al-Kitab, dapat 

pula mencakup mereka yang tetap setia dan konsisten 

berpegang teguh pada ajaran agama mereka, walaupun di 

sana sini sudah terdapat perubahan dan penyimpangan.  

 Namun penulis sendiri lebih cenderung pada 

pendapat yang menyatakan bahwa Ahl al-Kitab yang 

memperoleh respon positif dari Alquran adalah mereka 

yang teguh menjalankan syari’at Nabi Musa dan Nabi ‘Îsa 

a.s. sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. tanpa ada 

penyimpangan perilaku, dan mereka beriman atas 

kerasulan Nabi Muhammad sesudah  beliau diutus. Karena 

dengan mereka mengimani kerasulan dan ajaran yang 

dibawa Nabi Muhammad saw. merupakan manifestasi 

ketaatan dan keimanan mereka terhadap ajaran / syari’at 

yang dibawa oleh Nabi yang diutus kepada mereka. 

E. Tuntunan Alquran mengenai interaksi sosial umat 

Islam dengan kaum Yahudi 

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa 

interaksi sosial anatar Islam dan Yahudi telah 

210    

berlangsung sejak awal-awal Islam datang ke Madinah. 

Interaksi yang terjadi anatara umat Islam pada masa itu 

dengan kelompok Yahudi berlangsung dalam berbagai 

bidang, baik dalam bidang ekonomi/ perdagangan, politik 

dan sosial kemasyaraakatan lainnya. 

Alquran kemudian memberikan beberapa petunjuk 

mengenai etika pergaulan dengan kaum Yahudi. Alquran 

misalnya melarang menjadikan orang-orang Yahudi dan 

Nasrani sebagai Auliya’.  Mengenai hal ini terdapat dalam 

Alquran: 

 ْاوُذ يخَّت َت َلَ ْاوُنَماَء َنييذَّلٱ اَهُّ َي ََٰيَ َدوُه َيلٱ   ُهَّنيَإف مُكن ي م ُمَّلََو َت َي نَمَو ضَعب ُءاَييلَوأ مُهُضَعب َءاَييلَوأ َٰىَر ََٰصَّنلٱَوۥ 

 َينيميلََّٰظلٱ َموَقلٱ ييدَهي َلَ َ َّللَّٱ َّنيإ مُهن يم ٥١  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu 

mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi 

pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah 

pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa 

diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, 

maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. 

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada 

orang-orang yang zalim.”428 (QS. al-Mâidah [5]: 51) 

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat madinah pra 

hijrah untuk menjalin persekutuan antara beberapa pihak 

untuk saling membantu bila salah satu pihak menyerang 

atau diserang kelompok di luar persekutuan itu. sesudah  

Rasulallah datang kebiasaan ini masih berlangsung, 

hingga tidak jarang ditemukan beberapa muslim yang 

masih terikat kesepakatan semacam itu dengan kaum 

Yahudi dan Nasrani. Ayat ini kemudian turun untuk 

melarang kebiasaan tersebut. 

Dalam suatu riwyat dikemukakan bahwa 

‘Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik madinah) 

dan ‘Ubâdah bin as-Shamit (salah seorang tokoh Islam 

dari bani ‘Auf bin Khazraj) terikat oleh suatu perjanjian 

untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’, 

ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulallah saw., 

Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri. Sedangkah 

‘Ubadah bin as-Shamit berangkat mengahadap Rasulallah 

saw. Untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-

Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa’ itu, serta 

menggabungkan diri bersama Rasulallah dan menyatakan 

hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah 

Ayat ini yang mengingatkan orang yang beriman untuk 

tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak 

mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi Pemimpin 

mereka429. 

 

429 Hadits ini berstatus Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Hisyâm, al-

Sîrah al-Nabawiyyah, Juz III, h. 10-11. Meskipun Mursal 

karena jalur sanadnya hanya berhenti pada ‘Ubâdah bin al-

Wâlid, namun sanad riwayat Ibnu Hisyâm dinilai shahih oleh 

Ibrâhîm Muhammad al-‘Aliy. Ia mengatakan bahwa ada 

kemungkinan ‘Ubâdah bin al-Wâlid mendengar riwayat 

tersebut dari ayahnya dan kakeknya, seperti halnya sanad 

212    

Dalam mengomentari ayat di atas, Muhammad 

Qurays Shihab berkata: “Jika keadaan orang-orang 

Yahudi dan Nasrani atau siapapun seperti dilukiskan oleh 

ayat di atas, yakni lebih suka mengikuti kaum jahiliyah 

dan mengabaikan hukum Allah, bahkan bermaksud 

memalingkan kaum Muslimin dari sebahagian apa yang 

telah diturunkan Allah, maka, wahai orang-orang beriman 

janganlah kamu mengambil dengan susah payah, apalagi 

dengan mudah orang-orang Yahudi dan Nasrani serta 

siapapun bersifat seperti mereka yang dikecam ini juga 

mengambil mereka menjadi auliyâ’, yakni orang-orang 

dekat, sifat mereka sama dalam kekufuran dan dalam 

kebencian kepada kamu, karena itu wajar jika sebagian 

mereka adalah auliyâ’ / penolong sebagian yang lain”430. 

Rasyid Ridha berpendapat: “Dalam ayat ini Allah 

swt melarang al-Wilâyat kaum Muslimin yang tidak 

berhijrah ketika hijrah tersebut merupakan kewajiban. 

Maka tentunya wajar pula Allah meniadakan Wilâyah 

tersebut terhadap orang-orang Yahudi dan yang ketika itu 

memerangi kaum Muslimin, karena itu larangan yang 

dicantumkan dalam ayat ini adalah karena orang-orang 

 

riwayat al-Suyuthi dari Ibnu Mardawaih dari ‘Ubâdah bin al-

Wâlid dari ayahnya dari kakeknya yakni ‘Ubâdah bin Shâmit. 

Lihat Ibrâhîm Muhammad al-‘Aliy, Shahih asbâb al-Nuzûl, h. 

104. Lihat juga al-Baihaqiy, Dalâil al-Nubuwwah, Juz III, h. 

173-174. Lihat Juga al-Suyûthi, al-Dûr al-Mantsûr, Juz V, h. 

347. 

430 Muhammad Qurays Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V.  h. 182 

 213 

Yahudi dan Nasranu memerangi kaum Muslimin bukan 

disebabkan perbedaan agama”431. 

Kata Auliyâ’ sendiri berasal dari kata Waliy yang 

mengandung pengertian kedekatan, menguasai, mengikuti 

tanpa batas, memerintah, mencintai dan menolong432. 

Thabathaba’i menjelaskan secara panjang lebar 

tentang pengertian Auliyâ’, antara lain dikemukakan 

bahwa kata tersebut merupakan satu bentuk kedekatan 

kepada sesuatu yang menjadikan terangkat dan hilangnya 

batas anatara yang mendekat dan yang didekati dalam 

tujuan kedekatan itu. Kalau tujuan dalam konteks 

ketakwaan dan pertolongan, maka Auliyâ’ adalah 

penolong; apabila dalam konteks pergaulan dan kasih 

sayang, maka ia adalah ketertarikan jiwa sehingga Waliy/ 

Auliyâ’ adalah yang dicintai yang menjadikan seseorang 

tidak dapat tidak kecuali tertarik memenuhi kehendaknya 

dan mengikuti perintahnya. Kalau dalam konteks 

hubungan kekeluargaan, maka Waliy anatara lain adalah 

yang mewarisinya dan tidak aada yang dapat menghalangi 

pewarisan itu, demikian juga ayah dalam perkawinan 

anak perempuannya. Dalam konteks ketaatan maka waliy 

adalah siapa yang harus memerintah dan harus ditaati 

ketetapannya.  

 

Dalam ayat ini Allah tidak menjelaskan dalam 

konteks apa larangan tersebut, sehingga ia dapat dipahami 

dalam pengertian segala sesuatu, tetapi karena lanjutan 

ayat ini menyatakan bahwa kami takut mendapat 

bencana, maka dapat dipahami bahwa kedekatan yang 

terlarang ini adalah dalam konteks yang sesuai dengan 

apa yang mereka takuti itu, yakni mereka takut pada 

suatu ketika akan terjadi bemcana yang tidak dapat 

terelakkan, baik dari orang Yahudi dan Nasrani yang 

mereka jadikan Auliyâ’ itu maupun dari pihak lain. Maka 

karena itu mereka harus menjadikan semua pihak Auliyâ’ 

yang membela mereka sekaligus teman sepergaulan 

dengan hubungan kasih sayang. Dari sinilah Thabathaba’I 

berkesimpulan bahwa Auliyâ’ yang dimaksud ayat ini 

adalah cinta kasih yang mengantar pada melebarnya 

perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa 

yang tadinya berselisih, saling terkaitnya akhlak dan 

miripnya tingkah laku, hingga anda seakan melihat dua 

orang yang saling mencintai bagaikan orang yang 

memiliki satu jiwa satu kehendak, dan satu perbuatan 

yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam 

pengalaman hidup dan tingkat pergaulan. Inilah yang 

mengantar ayat ini menegaskan bahwa: “barang siapa 

dianatara kamu menjadikan mereka auliyâ’, maka 

sesungguhnya dia termasuk kelompok mereka.” Hal ini 

senada dengan peribahasa “siapa yang mencintai suatu 

 215 

kelompok, maka ia termasuk kelompok itu” dan bahwa 

“seseorang akan bersama siapa yang dicintainya”433. 

Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah: 

 

  مُكَنوُلَيَ  َلَ  مُكينوُد  ني م  َةنَاطيب  ْاوُذ يخَّت َت  َلَ  ْاوُنَماَء  َنييذَّلٱ  اَهُّ َي ََٰيَ يتَدَب  دَق  مُّتينَع  اَم  ْاوُّدَو  لَاَبَخ

 َنوُليقعَت مُتنُك نيإ يتََٰيلأٱ ُمُكَل اَّنَّ ي َب دَق َُبِكَأ مُُهروُدُص ي

يفُتَ اَمَو ميهيهََٰوَفأ نيم ُءاَضغَبلٱ  ١١٨   مُتَنأ ََٰه

 يهي لُك يبََٰتيكلٱيب َنوُن يمُؤتَو مُكَنوُّبُييَ َلََو ُمَنَّوُّبُيتَ يءَلَُْوأۦ   ُقَل  اَذيإَو ُمُكيَلَع  ْاوُّضَع ْاوَلَخ اَذيإَو اَّنَماَء  ْاوُلَاق مُكو

 يروُدُّصلٱ  يتاَذيب  ُمييلَع  َ َّللَّٱ  َّنيإ  مُكيظيَغيب  ْاُوتوُم  لُق  يظيَغلٱ  َنيم  َليمَنََّلأٱ  ١١٩   ةَنَسَح  مُكسَسَتم  نيإ

 َلَ ْاوُقَّ ت َتَو ْاُو يبِصَت نيإَو َا يبَ ْاوُحَرَفي ةَئي يَس مُكب يصُت نيإَو مُهؤُسَت يَش مُهُديَك مُكُّرُضَي  ً    َنوُلَمَعي َا يبِ َ َّللَّٱ َّنيإ ا

طيُيمُ ١٢٠  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil 

menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar 

kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya 

(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai 

apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari 

mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati 

mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami 

terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu 

memahaminya.  Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, 

padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman 

kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai 

kamu, mereka berkata "Kami beriman", dan apabila 

 

mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran 

marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah 

(kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu 

itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika 

kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih 

hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka 

bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, 

niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan 

kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah 

mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”434 (QS. Âli 

‘Imrân [3]: 118-120) 

Ayat ini turun berkenaan dengan hubungan 

anatara seorang Muslim dengan seorang Yahudi sejak 

zaman jahiliyah, kemudian Allah melarang pertemanan 

mereka karena dikhawatirkan akan terjadi fitnah atas 

mereka.435 

Rasyid Ridha berpendapat bahwa larangan ini baru 

berlaku jika mereka memerangi atau bermaksud jahat 

terhadap kaum Muslimin. Ridha menyatakan lebih lanjut 

bahwa sebagian orang tidak menyadari sebab atau syarat, 

sehingga berpendapat bahwa larangan ini bersifat mutlak, 

ini tidak asing, sebab orang-orang kafir ketika itu bersatu 

melawan kaum Muslimin pada masa awal-awal datangnya 

 

Islam saat turun ayat ini, karena menurut pakar-pakar 

Alquran ayat ini turun menyangkut orang-orang 

Yahudi436. Sedang Ibnu Jarir at-Thabari menyebutkan 

bahwa ayat 118 surat Ali ‘Imran berkenaan dengan sikap 

orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati 

perjanjian yang dilakukan dengan Nabi saw437. 

Sudah menjadi karakter Yahudi bahwa mereka 

suka mengkhianati perjanjian, dalam sejarah misalnya 

mereka melanggar larangan Tuhan untuk beribadah 

padahari sabtu. Watak tersebut sebenarnya bertentangan 

dengan kitab suci mereka sendiri yang menganjurkan 

supaya mentaati perintah Tuhan438. 

Sebagian ulama memahami ayat ini sebagai 

larangan bergaul akrab dengan orang-orang Yahudi. 

Sedangkan ulama lain memahaminya sebagai larangan 

terhadap orang-orang munafik439.  Sedangkan Quraisy 

 

8 Lihat Ten Comendemen dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan, 

pasal 20 ayat 1-17, yang berisi sepuluh perintah yang wajib 

dilaksanakan oleh Bani Isra’il, antara lain: Janganlah kamu 

menyembah selain Allah, Jangan menyembah berhala, Jangan 

menyebut nama Allah dengan bermain-main, Hendaklah 

memuliakan hari sabtu, dan Kewajiban memuliakan ayah dan 

ubu, Larangan berzina, Larangan mencuri, Larangan bersaksi 

palsu, dan Larangan mengiingikan istri dan hak milik orang 

lain. 


Syihab berpendapat bahwa teks ayat yang bersifat umum 

mendukung pendapat yang lebih bersifat umum, yakni 

siapapun yang sifatnya seperti yang dikemukakan oleh 

ayat di atas, walaupun diyakini bahwa ia turun dalam 

konteks pembicaraan menyangkut orang-orang Yahudi440. 

Dalam sejarah disebutkan bahwa sebelum Islam 

datang, penduduk Madinah telah menjalin hubungan 

akrab dengan kelompok Yahudi diberbagai bidang, antara 

lain bidang pertahanan dan ekonomi. Persahabatan itu 

kemudian berubah ketika Islam datang ke Madinah, 

karena Islam membawa tatanan baru dalam berbagai 

bidang sehingga sedikit banyak mereka terganggu, 

efeknya mereka sangat membenci Islam dan mereka 

menempuh segala cara untuk menghancurkan kaum 

Muslimin termasuk berpura-pura bersahabat dengan kaum 

Muslimin, padahal mereka punya niat jahat, anatar lain 

mereka ingin mencuri rahasia-rahasia kaum Muslimin 

untuk kepentingan mereka. 

Ayat 118 di atas menuntun umat Islam agar tidak 

bergaul sedemikian akrab dengan lawan-lawan Islam, 

karena kaum Muslimin menyukai mereka karena sikap 

mereka yang dikemas sedemikian rupa agar terlihat baik, 

karena kaum Muslimin orang-orang yang memiliki hati 

yang suci dan bersih yang mengukur orang lain dengan 

diri mereka, padahal mereka (lawan Islam) tidak 

 

440 Muhammad Qurays Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V. h. 183 

 219 

menyukai kaum Muslimin karena agama dan pandangan 

hidup mereka tidak sejalan dengan yang umat Islam 

yakini. Karena umat Islam beriman kepada semua kitab-

kitab yang diturunkan Allah kepada para Nabi dan 

mengimani semua utusan Allah, sedangkan mereka tidak 

mengakui/mengimani semua kitab suci dan tidak 

mengimani semua Nabi sebagaimana umat Islam imani441.  

Dari uraian di atas jelas bahwa larangan Allah 

untuk menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman 

karena mereka mempunyai kepentingan yang sama yakni 

memusuhi Islam. 

F. Posisi Yahudi menurut Alquran 

Selain mensinyalir bahwa orang-orang Yahudi 

telah merubah isi kitab suci mereka, Alquran juga 

menganggap sebagian orang Yahudi telah kafir. Hal ini 

disebutkan dalam surat al-Nisap [4]: 46,442 dan al-Mâidah 

[5]: 41.443 Ibnu atsir menafsirkan QS. Âli I’mrân [3]: 98 

 

441 Muhammad Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V, h. 185 

442 Lihat ayat selengkapnya: 

 وُداَه َنييذَّلٱ َني م ْا   يهيع يضاَوَّم نَع َميلَكلٱ َنوُفي رَُيَٓۦ  سُم َيرَغ عَسٱَو اَنيَصَعَو اَنع

َيس َنُولوُق َيَو  يفِ انعَطَو ميهيَتن يسَل يبِ اََّيل اَنيعََٰرَو عَم

 ٱ  ُمُه َنَعَّل  نيكََٰلَو  َمَوَقأَو  ُمَّلَ  ايرَخ  َناَكَل  َنَُّرظنٱَو  عَسٱَو  اَنعَطَأَو  اَنعَيس  ْاُولَاق  ُم َّنَّأ  وَلَو  ينيي دلٱ  َلََف  ميهيرفُكيب  ُ َّللَّ

لَييَلق َّلَيإ َنوُنيمُؤي٤٦ 

443 Lihat ayat selengkapnya: 

 َََٰيَ ُؤت َلََو ميهيهََٰوَف يبِ اَّنَمَاء ْاوُلَاق َنييذَّلٱ َنيم يرفُكلٱ يفِ َنوُعير ََٰسُي َنييذَّلٱ َكُنزَيَ َلَ ُلوُسَّرلٱ اَهُّ ي  ْاوُداَه َنييذَّلٱ َنيمَو ُمُبَوُل ُق نيم

 يم  َميلَكلٱ  َنوُفي رَُيَ  َكُوتَيَ  َلَ  َنييرَخَاء  ٍموَق

يل  َنوُعَََّٰس  يبيذَكليل  َنوُعَََّٰس يهيع يضاَوَم  يدَعب  نۖۦ    اَذ ََٰه  مُتييتُوأ  نيإ  َنُولوُق َي

220    

bahwa yang dimaksud dengan kafirnya orang-orang 

Yahudi adalah kekafiran terhadap kerasulan Nabi 

Muhammad saw.444 Sedangkan pada QS. al-Mâidah [5]: 

41 yang menyatakan ketidak berimanan orang-orang 

Yahudi Ibnu katsir menafsirkannya bahwa mereka 

dianggap kafir karena tidak mau mengamalkan isi Taurat 

kecuali sesudah  isinya dirubah.445 Sedangkan Zamakhsyari 

dalam menafsirkan ayat tersebut senada dengan Ibnu 

Katsir dengan mengatakan bahwa orang-orang Yahudi 

tidak mengimani Nabi Muhammad dan tidak menerapkan 

hukum-hukum Taurat446. 

Dari informasi Alquran dijelaskan bahwa predikat 

kafir terlihat secara eksplisit dalam ayat di atas ditujukan 

pada Yahudi sedangkan predikat musyrik menjadi samar, 

karena dari sikap dan prilaku Ahl al-Kitâb (Yahudi) 

terkesan bahwa mereka termasuk musyrik, sebagaimana 

diungkapkan dalam Alquran (QS. al-Taubah [9]: 30-

31)447. Hal ini menyebabkan posisi musyrik 

 

 ُهَت َنتيف  ُ َّللَّٱ يديُري  نَمَو ْاوُرَذحَٱف ُهوَتؤُت َّلَ نيإَو ُهوُذُخَفٓۥ   َُهل  َكيلَتم نَل َفٓۥ  يَش يَّللَّٱ َنيم ً    نَأ  ُ َّللَّٱ يديُري  َلَ َنييذَّلٱ  َكيئََٰلُْوأ  ا

 يخ اَين ُّدلٱ يفِ ُمَلَ ُمَبَوُل ُق َري هَُطي مييظَع ٌباَذَع يَةر يخلأٱ يفِ ُمَلََو يز٤١ 

444 Ibnu Atsir, al-Kâmil fi al-Târikh, (Jilid I, h. 475 

445 Ibnu Atsir, al-Kâmil fi al-Târikh, Jilid I, h. 475 

446 Zamaksyarî, tafsir al-Kassyâf ‘an Haqâiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-

Aqwil Fi Wujuh al-Ta’wîl, (Kairo: Musthafa al-Bâab al-Halabî 

wa Awlâduh, 1972 M) Jilid I, h. 629 

447 Lihat teks lengkapnya: 

 221 

diperselisihkan oleh pakar. Perbedaan ini berimplikasi 

pada masalah hukum dalam sosio kemasyarakatan. 

Seseorang disebut kafir jika ia mendustakan kerasulan 

Muhammad saw. dan ajaran-ajaran yang dibawanya. 

Dalam kaitan ini Thabathaba’i menyatakan bahwa semua 

term alladzîna kafarû (berbentuk lampau) dalam Alquran 

merujuk pada orang-orang kafir Makkah, kecuali kalau 

dalam ada qarinah yang menunjuk ke selain mereka448. 

Selain itu term Kufr dalam bentuk lampau juga 

menunjuk pada umat-umat terdahulu yang ingkar 

terhadap ajaran para Nabi dan Rasul yang diutus pada 

mereka, contohnya penolakan kaum Nabi Nuh, Nabi Hud 

dan kaum Nabi Sholeh terhadap ajaran yang mereka 

bawa449. Demikian juga kekafiran kaum Nabi Isa terhadap 

ajaran yang dibawanya450. 

Fakhr Razi mengurai perbedaan pendapat ulama 

mengenai posisi Yahudi dalam kaitannya dengan syirik451.  

Fakhr al-Razi mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat 

tentang musyrik, apakah mencakup orang-orang kafir dari 

 

 يه ََٰضُي ميهيهََٰوَف يبِ ُمُلَوَق َكيل ََٰذ يَّللَّٱ ُنبٱ ُحي يس

َ

لمٱ ىَر ََٰصَّنلٱ يتَلَاقَو يَّللَّٱ ُنبٱ ٌرَيزُع ُدوُه َيلٱ يتَلَاقَو ُ    ُلَبق نيم ْاوُرَفَك َنييذَّلٱ َلوَق َنو

 َل َتََٰق َنوُكَفُؤي ََّٰنََّأ ُ َّللَّٱ ُمُه  ٣٠    َّلَيإ ْاوُريُمأ اَمَو ََيَرَم َنبٱ َحي يسَ

لمٱَو يَّللَّٱ ينوُد ني م بََبََرأ مُه َنََٰبُهرَو مُهَراَبحَأ  ْاوُذََّتَٱ

 ُهَن ََٰحبُس َوُه َّلَيإ َهََٰليإ َّلَ اد يحََٰو ا ََٰلَيإ ْاوُدُبعَييلۥ  َنوُكيرشُي اَّمَع ٣١   

448 Muhammad Husayn al-Tbathaba’i, Tafsir al-Mizan, Juz I, h. 50 

449 Lihat QS. Ibrahim (14): 19 

450 Lihat QS. Shaff (61): 14 

451 Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir, h. 59-60 

222    

kalangan Yahudi atau tidak. Selanjutnya Fakhr al-Razi 

mengatakan bahwa sebagian ulama tidak memasukan 

mereka dalam kategori musyrik, tetapi mayoritas ulama 

berpendapat bahwa term musyrik mencakup pula orang-

orang kafir dari kalangan Yahudi. Pendapat inilah yang 

dianut oleh al-Razi dengan berberapa alasan sebagai 

berikut; pertama, Firman Allah QS. al-Taubah (9): 30-31, 

dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa Yahudi dan 

Nasrani termasuk kedalam kategori orang-orang Musyrik. 

Kedua, QS. al-Nisa’(4): 48. Fakhr al-Razi juga 

mengemukakan alasan yang dikemukakan Abu Bakr al-

Asham bahwa semua orang yang mendustakan risalah 

Allah disebut musyrik.  

Alquran tidak memposisikan kaum Yahudi ke 

dalam golongan yang sesat secara keseluruhan karena 

diantara sebagian mereka ada yang membaca kitab 

sucinya dan melaksanakan ajarannya dengan benar seperti 

yang telah diuraikan sebelumnya452. 

 

 

 


sesudah  melakukan kajian mengenai ayat-ayat  

Asbâth , Banî Isrâ’îl dan Yahudi dalam Alquran, maka 

berdasar pada seluruh bahasan yang telah dikemukakan, 

dapat ditarik kesimpulan bahwa  ada perbedaan antara 

term Banî Isrâ’îl dan term Asbâth yang disebut dalam 

Alquran jika dilihat dari sisi kronologis turunnya ayat 

atau dari sisi situasi dan kondisi  penyebutannya (term 

Banî Isrâ’îl dan term Asbâth ) dalam Alquran. Kendati 

maknanya hampir sama yakni keturunan Nabi Ya’qub, 

namun terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua 

term tersebut, bahwa term Banî Isrâ’îl lebih umum dari 

pada term Asbâth, yang mana term Banî Isrâ’îl bermakna 

anak-anak keturunan Isrâ’îl  atau keturunan Nabi Ya’qub. 

Sedangkan penyebutan  term Asbâth dalam Alquran 

dipakai ketika menyebutkan Banî Isrâ’îl pada zaman Nabi 

Musa, karena pada zaman Nabi Musa jumlah keturunan 

Nabi Ya’qub/ Banî Isrâ’îl berkembang banyak, maka 

penyebutannya dengan istilah  Asbâth, seperti telah 

dikemukaan Kata Asbâth berasal dari akar kata sa, ba dan 

tha, yang secara literal berarti banyak atau lebat, dan arti 

sibthun yaitu anak cucu bagaikan  pepohonan yang lebat 

lagi banyak dahannya, sedangkan makna Asbâth menurut 

terminology yaitu dua belas orang dari anak keturunan 

Nabi Ya’qub ‘alaihissalam, yang masing-masing dari dua 

224    

belas putra tersebut melahirkan suatu kaum yang menjadi 

dua belas suku Bani Isrâîl . Sedangkan mengenai sisi 

perbedaan makna term Banî Isrâ’îl dan   Yahudi dari sisi 

istilah Yahudi sebagai suku atau kelompok adalah bahwa 

tidak semua Banî Isrâ’îl bisa dikatakan Yahudi, karena 

Yahudi sekelompok kaum atau suku dari salah satu  dua 

belas suku Banî Isrâ’îl yakni dari keturunan suku Yahuda. 

Namun disisi lain, dari sisi Yahudi sebagai istilah 

kepercayaan atau agama Istilah ‘Yahudi’ lebih luas 

maknanya daripada istilah ‘Ibrani’ dan ‘Banî Isrâ’îl’. Hal 

ini karena istilah ‘Yahudi’, selain disematkan kepada 

kaum Ibrani, juga disematkan kepada orang-orang non-

Ibrani yang memeluk agama Yahudi. 

Terdapat korelasi antara Asbâth, Banî Isrâ’îl  dan 

Yahudi pada salah satu garis suku Asbâth yakni suku 

Yahuda, keturunan suku Yahuda inilah yang menjadi 

cikal bakal bangsa Yahudi, seperti telah diuraikan istilah 

Yahudi sebagai suatu bangsa ini muncul sejak terjadinya 

perpecahan kerajaan pasca wafatnya Nabi Sulaiman, yaitu 

suku yang berafiliasi pada kerajaan selatan (Yahuda) 

inilah yang menjadi kaum/ bangsa Yahudi, penduduk 

kerajaan ini mayoritas dari keturunan Yahuda anak 

keempat Nabi Ya’qub.  

Ditemukan kekeliruan penafsiran mengenai 

Asbâth yaitu kesalahan tentang klaim kenabian mereka 

terjadi akibat sangkaan sebagian ulama seperti Ali al-

Shabuni dan Ibnu ‘Athiyah bahwa saudara-saudara Yusuf 

 225 

adalah “Asbâth” (ُٓطاَبَْسلا). Padahal tidaklah demikian. Para 

“Asbâth” itu hanyalah anak cucu dari saudara-saudara 

Yusuf yang terbagi-bagi menjadi Asbâth (kaum yang 

berjumlah besar). Diantara anak cucu Ya’qub, ada 

beberapa orang menjadi Nabi, Allah pun sandarkan 

perkara turunnya wahyu kepada para Asbâth (anak cucu 

Ya’qub), karena merekalah yang mengamalkan wahyu itu.  

Al-Qur’an secara umum mengecam orang-orang 

Yahudi dengan pemakaian lafal Hâdû, Hûdan, Al-yahûdu 

)دوهيلا ( dan Yahûdiyyanٓ ٓ(ايدوهي). karena berbagai 

penyimpangan yang telah mereka lakukan terhadap 

agama dan kitab suci mereka, juga karena perbuatan 

mereka yang kerap menimbulkan kerusakan dan 

permusuhan terhadap kelompok agama lain. Di lain pihak 

Alquran juga mengakui orang-orang Yahudi yang tetap 

berada di jalan yang lurus (istiqamah) yang dalam 

Alquran penyebutan mereka dengan memakai lafal hȃdȗ, 

mereka mengamalkan ajaran Taurat dengan konsisten dan 

melakukan amal shaleh, sehingga mereka mendapat 

sapaan positif dalam Alquran walaupun jumlah mereka 

tidak terlalu banyak.