tentang perdebatan soal keshahihan hadits sebagai sumber hukum dalam Islam, al-Syäfi'iy nampak beıpegang pada pendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang ada dalam hadis berada dalam hukum-hukum Alquran; Dengan katalam, hadis Nabı dapat saja menambah hukum yang ada dalam Alquran.Ia mengatakan bahwa wujud perintah yang ada, baik dan alquran maupun hadis, yaitu berpangkal dari sumber yang sama, meskipun melalui jalur yang berbeda.
Al-Hadits didefinisikan pada umunya oleh ulama seperti definisi Al-Sunnah yaitu sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Muhammad SAW, baik ucapan, perbuatan maupun taqrir (ketetapan), Sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi atau sudah menjadi nabi. Ulama ushul fiqih membatasi pengertian hadits hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan sunnah. Pengertian hadits seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih ini , dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dan ketetapan-ketetapan
hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.1
Imam Syafi`i sebagai ulama fiqih dalam karya-karyanya banyak menulis tentang ilmu hadits, misalnya dalam kitab al risalah dan al-umm yang menarik untuk dikaji secara mendalam, salah satunya yakni tentang hadits
mukhtalif yang banyak diperdebatkan oleh para muhadits. Tulisan ini akan mengurai soal penetapan keshahihan hadits sebagai sumber hukum dalam Islam menurut Imam Syafi`i.
Pembahasan
1. Fungsi dan Kedudukan Hadis Sekiranya hadis Nabi hanya berkedudukan sebagai sumber sejarah, niscaya perhatian ulama terhadap penelitian kesahihan hadis akan lain dibandingkan yang ada sekarang ini.
Kedudukan hadis, menurut kesepakatan mayoritas ulama, yaitu sebagai salah satu sumber ajaran Islam.2Akan tetapi, ada juga sekelompok kecil dan kalangan "ulama" dan umat Islam telah menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam.Mereka ini biasa dikenal sebutan
inkar al-Sunnah. Pada zaman Nabi (w. 632 M.), belum atau tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa telah ada dari kalangan umat Islam yang menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam.Bahkan pada masaal-Khulafa' al-
Rasyidin (632 M.-661 M.) dan Bani Umayyah (661M.750M.), belum terlihat jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka yang berpaham inkar al-
Sunnah,sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Syuhudi Ismail, barulah munculpada awal masa 'Abbasyiah (750 M.-1258 M.).3Mereka juga dikenal dengan sebutan munkir al-
Sunnah.
Adanya kelompok yang menolak hadis itu diketahui melalui tulisan-tulisan al-Syafi'iy. Mereka itu oleh al-Syafi’iy dibagi tiga golongan, yakni: (1) golongan yang menolak seluruh sunnah;4 (2) golongan yang menolak sannah, kecuali 'bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Alquran; (3) golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad5 Dua golongan yang disebutkan pertama sekali, sebagaimana dijelaskan Ahmad Yusuf, sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi satu, karena kedua-duanya sama-sama menolak kewajiban-kewajiban yang timbul dari hadis.6 Cukup banyak dalil yang dikemukakan oleh pengingkar hadis ini, baik berupa ayat Alquran maupun interpretasi terhadap ayat itu sendiri. Di antara ayat Alquran yang mereka
ada perbedaan tentang siapa yang dimaksud al-Syafi'iy dengan golongan pertama ini .Hal itu disebabkan tidak adanya penjelasan dari al-Syafi'iy sendiri.Uraian dari Abu Zahrah menjelaskan bahwa Khudariy Berberpendapat golongan yang dimaksud al-Syfifi'iy itu yaitu orang-orang dari golongan Mu'tazilah.Akan tetapi, menurut Abu Zahrah sendiri, mereka yaitu orang-orang Zindiq dan sebagian dari Khawarij.
sebagaimana ditulis al-Syafi'iy, yaitu Alquran S. al-Nahl: 89 berbunyi:
Artinya:
Dan kami turunkan kepadamu Alkitab (AIquran) untuk menjelaskansegala sesuatu
Menurut mereka, ayat dialas dan semakna dengannya menunjukkan secara jelas bahwa Alquran telah mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama.Oleh karena itu, tidak diperlukan keterangan lainnya, misalnya hadis.Selain itu, mereka menyatakan bahwa Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Mereka yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab akan mampu memahami Alquran dengan baik tanpa bantuan hadis. Hal itu, menurut mereka juga, belum lagi ditambahi dengan keadaan seseorang yang tidak mungkin secara akal terbebas dari kesalahan dan kelupaan.7Jadi dalam hal ini, sangat sulit untuk mensejajarkan posisi hadis
dengan Alquran sebagai sumber ajaran Islam. Argumen-argumen yang mereka sebutkan, menurut al-Syafi'iy tidak kuat. Menurutnya, mereka salah dalam menafsirkan dan memahami maksud kata tibyan (penjelasan) yang termuat dalam Surat al-Nahl:89 Al-Syafi'iy menilai kata itu mempunyai beberapa cakupan pengertian, yakni (1) Ayat Alquran secara tegas menjelaskan adanya, berbagai kewajiban, misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji; berbagai larangan, misalnya larangan-larangan berbuat zina, meminum minuman keras, memakan bangkai, darah, dan daging Babi dan berbagai teknis pelaksanaan ibadah tertentu, misalnya tata-cara berwudu; (2) Ayat Alquran dalam penjelasannya tentang kewajiban tertentu masih bersifat global, misalnya kewajiban sholat;dalam hal ini, hadis Nabi menjelaskan teknis pelaksanaannya; (3) Nabi menetapkan suatu ketentuan yang dalam Alquran ketentuan itu tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadis ini wajib ditaati, sebab Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menaati Nabi; (4) Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk melakukan
ijtihad. Kewajiban melaksanakan
kegiatan ijtihad sama kedudukannya dengan kewajiban menaati perintah lainnya yang telah ditetapkan oleh Allah bagi mereka yang memenuhi syarat.8Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, hadis Nabi merupakan penjelas bagi ketentuan agama Islam melalui Alquran yang masih bersifat global. Sebagian ulama lainnya menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini , S. al-Nahl:89, ialah semua ketentuan agama yang tercakup dalam ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi. Hadis Nabi dicakup oleh ayat itu, karena salah satu fungsi Nabi menurut Alquran yaitu menjelaskan Alquran.Di samping itu, Alquran telah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk mengikuti petunjuk Nabi.9 Dengan demikian, sekali lagi, ayat ini sama sekali tidak menolak hadis Nabi, bahkan hadis Nabi merupakan bahagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Selanjutnya, menurut kelompok ketiga, yakni kelompok yang mengingkari hadis ahad sebagai hujah
mengatakan bahwa dalam menerima suatu berita mestilah dengan suatu kehati-hatian (al-ihatah).hal itu akan didapat hanyalah melalui suatu pengetahuan benar yang bersumber dari Alquran, hadis yang disepakati (al-
mujtama' 'alaih), dan kesepakatan seluruh manusia, seperti shalat zuhur itu empat rakaat.10 Argumen yang diajukan kelompok inipun di tentang oleh .Menurutnya, kelompok ini kurang paham tentang tingkatan-tingkatan yang ada dalam pengetahuan.Pengetahuan, lanjut al-Syafi'iy, mempunyai dua tingkatan, yaitu pengetahuan yang membawa suatu keyakinan dan pengetahuan yang membawa zan.Secara tidak sadar, dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi perbuatan ini.Seorang hakim meskipun telah dilengkapi berbagai alat-alat bukti, tetap juga tidak terlepas dari kesalahan.Oleh karena itu, apabila dalam hadis ahad ada yang mengandung kesalahan periwayat yaitu wajar.11 Selain itu, al-Syafi’iy mengajukan beberapa dalil Alquran dan hadis Nabi penguat argumennya:
Artinya:".....Dan Kami utus Nuh kepada kaumnya"
Menurut ayat itu, Nabi Nuh ketika diutus Allah menyiar berbagai ajaran-Nya tidak bersama-sama dengan Nabi-Nabi yang lain, tetapi ia diutus secara sendiri (ahad).
2. Hadits Abdullah ibn Mas'ud
Artinya:
"Semoga keselamatan dan Allah kepada seorang hamba yang mendengar perkataanku, kemudian ia sadar dan menyampaikan sebagaimana ia terima berita itu"
Hadis di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud orang yang menyampaikan yaitu seorang.Artinya, sebagaimana dikemukakan al-Syafi’iy, penyampaian itu dibolehkan oleh Nabi bagi orang perseorang, baik dalam menyampaikan hal-hal yang bersifat halal maupun yang bersifat haram.12Dengan demikian, tidak
mungkin hadis ahadditolak kehujahannya sedangkan Nabi sendiri membolehkannya. Dalam Alquran banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping Alquran.Jumlah ayat-ayat ini dalam penelitian Muhammad Fuad 'Abd al-Baqiy lebih dari lima puluh ayat13. Diantaranya yaitu :
1. Alquran S. al-Hasy: 7
Artinya:"...Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya; dan apa yang dilarangnya, maka bagimu hendaklah kamu meninggalkannya (apa yang dilarangnya itu)"
Menurut ulama, ayat ini memberi petunjuk secara umum, yakni bahwa semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orarg yang beriman.14Dengan demikıan, kewajiban
patuh kepada Nabi menıpakan konşekuensi logis dari keimanan seseorang.
2. Alqııran, S. Ali Imran: 32,
Artinya:"Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; apabila engkau berpaling, maka (ketahuılah) sesungguhnya Allah tıdak menyukai oratıg-orang yangkafir".
Menurut penjelasan ulama, ayat ini memberi petunjuk bahwa ketaatan kepada Allah yaitu dengan mematuhi petunjuk Alquran, sedang bentuk ketaatan kepada Nabı yaitu dengan mengikuti sunnah atau hadis beliau
3. Alquran, S. an-Nisa': 80,
Artinya: "Barangsıapa yang mematuhi Rasul ıtu, maka sesungguhnya orang itu telah mematuhi Allah".
Ayat ini mengandung petıuıjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan salah satu tolak ukur kepatuhajı seseorang kepada Allah16
4. Alquran, s. al-Ahzab: 21,
Artinya: "
"Sungguh telah ada pada diri Rasulullah keteladanan yang baik bagunu, (yakni) bagi orang yang mengharap (akan rahmat) Allah, (meyakini akan kedatangan) hari kiamat, dan banyak menyebut (dan ingat akan) Allah". Ayat di atas memberi petunjuk tentang tata cara meneladani Nabi Muhammad. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah, maka cara itu dapat dilakukan secara langsung, sedang bagi mereka yang tidak sezaman dengan Rasulullah, maka cara meneladani yaitu dengan mempelajari, memahami, dan mengikuti berbagai petunjuk yang
termuat dalam sunnah dan hadis beliau17. Dengan melihat berbagai ungkapan ayat diatas, maka jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam, disamping Alquran. Orang yang menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam berarti orang itu menolak petunjuk Alquran. Dalam bidang hukum Islam, pernyataan Alquran sebagai sumber hukum Islam dan hadis sebagai sumber pula, bukanlah merupakan indikasi bahwa pada masing-masing sumber berdiri sendiri, sehingga mencerminkan ketiadaan hubungan antara keduanya. Namun sebaliknya, antara kedua sumber itu saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang berasal dari Tuhan.18 Alquran menggambarkan hubungan tadi dengan mengatakan bahwa setiap apa saja yang keluar dan Nabi, baik Alquran maupun hadis, tidak lain merupakan wahyu yang tidak tercampur di dalamnya keinginan-keinginan pribadi, Berikut dikutip
firman Allah ini ,
Peristilahan untuk menggambarkan hubungan Alquran dan hadis lazim disebut dengan rutbah atau manzilah; Alquran diletakkan sebagai urutan pertama dan hadis diurutkan kedua. Dalam hal ini, al-Syatibiy mengemukakan tiga alasan lebih tingginya tingkatan Alquran dibandingkan hadis, yakni (1) Alquran diterima dengan jalan qat'iy, sedang hadis kebanyakan diterima melalui
zarnniy, (2) hadis berstatus bayan bagi alquran; (3) adanya pernyataan hadis tentang urutan rutbah itu sendiri.19 Fungsi hadis sendiri bagi Alquran sacara umum dapat dikatakan sebagai penjelas (bayan) bagi Alquran.Diketahui, Alquran yang diturunkan selama 23 tahun, tidaklah secara keseluruhan menerangkan hukum berkenaan dengan fi'il mukallaf (perbuatan orang mukallaf). Memang adakalanya Alquran menerangkan hukum ini secara rinci, tetapi banyak pula yang masih global, bahkan terkadang tidak dijumpai sama sekali suatu keteranganpun dalam Alquran. Keadaan ini , tentu saja
membingungkan, maka untuk terlaksananya perintah syara' secara sempurna, karena ayat Alquran masih bersifat global atau ketiadaan hukum, Allah memberikan otontas kepada Nabi untuk memberikan penjelasan (bayan) terhadap hal-hal tadi. Wujud pemberian wewenang tertuang dalam firman Allah S. al-Nahl: 44,
Artinya:
"... Dan kami tıınınkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah dıtunıkan kepada mereka". Ayat di atas memberi petunjuk lentang otoritas Nabi dan fungsi hadıs bagi Alquran, yaıtu (1) bayän ta'kid, yaknı sebagaı penjelasan untuk mengokohkan apa yang terkandung dalam Alquran; bayän tafsir, yakni sebagaı penjelasan atau peneıangan terhadap ayat-ayat yang mujmal (global) dan musytarak, bayän
takhsis, yakni menjelaskan tentang kekhususan suatu ayat yang umum;
bayän taqyid, yakni menjelaskan dan memberi batasan terhadap ayat Alquran yang bersit'at mutlak;
bayän tabäil, yakni mengganti suatu
hukum, sering juga dısebut dengan
bayän nasakh, Umumnya para ulama sepakat pada sebagian besar fungsi hadis terhadap Alquran yang disebutkan. Perbedaan terjadi dalam hal fungsi hadis dalam menetapkan hukum yang tıdak desebutkan oleh Alquran, misalııya keharaman mengawıni wamta yang disebabkan sesusuan yang hanya did;ıpati ketentuan hukumnya dari hadis. Untuk fungsi ini, sebagaimana disebutkan al-Siba'iy, bukanlah tentang wujud hukum yung telah ditetapkan oleh hadis itu, tetapi berkisar pada masalah apakah hukum hadis itu berada di luar hukum-hukum Alquran secara umum. Menanggapi permasalahan ini, al-Syäfi'iy nampak beıpegang pada pendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang ada dalam hadis berada dalam hukum-hukum Alquran; Dengan katalam, hadis Nabı dapat saja menambah hukum yang ada dalam Alquran.Ia mengatakan bahwa wujud
perintah yang ada, baik dan alquran maupun hadis, yaitu berpangkal dari sumber yang sama, meskipun melalui jalur yang berbeda. Berikut dikutip pernyataan al-Syäfi'iy ini :22
Pernyataan al-Syäfi'iy di atas, menggambarkan persamaan kekuatan hukum yang dimılikı Alquran dan hadis. Hal itu teıjadi, menurut al-Syäfi'iy, bermula dari adanya ketetapan Alquran sendin vang menyuruh manusia menaati Nabi,
2. Pembagian Hadis
Kalangan ulama ada yang membedakan pengertian hadıs dan sunnah; dan ada pula yang menyamakannya. Sufyän al-Sauriy (w. 778 M./161 H.) dikenal sebagaı Imäm fı
al-sunnah, al-Auza'iy (w. 774 m./157 H.) dikenal sebaliknya, sedang Malık jbn Anas dikenal sebagai Imam fi al-
hadis wa al-sunnah.Oleh karena itu, di antara ulama ada yang mengalalcan, pengertian hadıs lebıh umum dibandingkan
al-sunnah, dan ada ulama yang berpendapal sebaliknya. Selain itu, adajuga ıılamayang berpendapat, hadis
berisi petunjuk Nabi urıtuk tujuan praktis, sedaııg al-sunnah merupakaaı hukum tirıgkah laku, baik teıjadı sekali saja maupun berulang kali, baik dılakukan oleh Nabi, sahabat nabi,24
tabi'in25, maupun ulama lain pada umumnya.26 Dalam uraıan penıılıs, istilah hadis dan sımnah disamakan pengertıannya dengan istilah hadıs sebagainıana yang dinyatakan oleh ulama hadis pada umumnya, yakni
segala sabda, perbuatan, iaqrir, dan sifat Rasulullah saw. Kata hadis itu sendiri berasal dan bahasa Arab: al-hadis .jamak dari kata ini, al-ahädis, al-hidsän, ataıı al-
hudsan.Kata hadis ini juga telah menjadı salah satu kosakata bahasa Indonesia. Hanya saja pengertian yang diberikannya kurang lengkap, khususnya yəng berkenaan dengan
taqrir. Adapun dari segı bahasa, kata ini memiliki banyak arti, (1) al-jadid (yang baru), lawan dan al-qadim (yang lanıa); dan (2) al-khabar (kabar atau berita).29Secara istilah, hadis diberikan pengeıtian yang berbeda-beda.Dalam pengertıan ulama ıısül al-fiqh dikemukakan bahwa yang dımaksud hadıs yaitu aktivitas langsung alaupun tidak langsung darı Nabi.Sedangkan
pengertian hadis menurut istilah ulama hadis, masih dımungkinkan adanya sesuatu yang bukan dari aktıvıtas Nabı, mısalnya tentang warna rambut, memanjangkan jenggot.30 Selain itu, menurut Ibn al-Subkiy (w. 1370 M./771 H ), pengertian hadıs, yang dalam hal ini disebut juga dengan istilah al-
sunnah, yaitu segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Dalam pengertıan Ibn al-Subkiy, ia tidak memasukkan unsur
taqrir Nabı sebagai bagian dari rumusan hadis. Menurutnya, karena
taqrir ıtu telah masuk kedalam bentuk lain dan perbuatan (af'äl) Nabi, maka hal itu tidak perlu dikemukakan lagi. Apabila dıkemukakan juga, makarumusan definisi akan menjadı tıdak terhindar dan sesuatu yang tidak didefinisikan (qair mani ') Agak berbeda dengan pandangan yang dısebutkan, Ibıı Hazm, seorang pengikut aliran Zahiriyyah tidak menyetujui apabila seluruh perbuatan
masuk ke dalam kategorı hadis. Baginya, perbuatan (af'äl) Nabi baru dapat dikategonkan sebagai hadis, jika perbuatan itu didııkung oleh perkataan Nabi yang menyuruh mclakııkannya, misalnya perbuatan shalat yang didukung oleh ucapan Nabi yang menyuruh melakukan.32 Dalam sejarah perkembarıgan hukum Islam, pengertian hadis dalam hal ım dısebut sebagaı sunnah, menurut Schacht dengan mengutip pendapat dan Goldziher, bahwa yang sımnah pada masa sebelum al-Syäfi'iy tidaklah selalu berarti perbuatan-perbuatan Nabi, tetapi lebıh baııyak berarti bentuk tradisı terdahulu. Al-Syäfi'iy, masih menurut Schacht, yaitu orang pertama yang memprakarsaı pembatasan arti sumıalı sebagai perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad saw.art sich. Berıkut dikutıp tuhsan Schacht ini :
"It is one the main result of
this part of this book, that Syafi’iy was
the first lawyer to deftne sunnah as the
model behaviour of the prophet, in
contrast wıth his predecessors for whom
it was not necessarily connected with the
prophet, but represented the traditıonal,
Selain itu, pada masa pra al-Syäfi'iy, muncul perbedaan arti antara sunnah dan hadis. Disebut dengan sunnah, maka berarti keseluruhan tradisi yaııg telah dikenal baık dan praktek-praktek yang sudah umum dan mapan dari kaum Muslimin. Sedangkan hadis, dıartıkan dengan penuturan hukum-hukum yang sudah pasti dinyatakan oleh Rasulullah. Setelah kedatangan al-Syäfi'ıy, ia menentang adanya perbedaan pengertian antara keduanya. Ia mendesak untuk mengartikan sunnah hanya sebagai tradisi yang dijamin asli berasal dari Rasulullah.Jadi, dalam batasini al-
Syafi’iy mengidentikkan arti sunnah dengan hadis. Al-Syäfi'iy membagı hadıs yang datang dari Nabi Muhammad saw. kepada dua, yaitu (1) khabar al- ammah dan (2) khabar al-khäsah36Untuk beniuk pertama ulama laınnya menyebutnya dengan istilah
mutawatir37al-Syäfi'iy terkadang menyebutkan bentuk ıni dengan al-
khabar al-mujtama' 'alaih. Apabıla dikatakan suatu khabar ıtu 'ämmah (umum), maka menurut al-Syäfi'iy itu berartı yang diterima oleh banyak orang, kemudianmereka mengamalkannya. Dalam hal mi, semua orang, baik orang berilmu maupun yang awwam sama pengetahuannya tentang berita itu. Ia memberikan
Syarh Nukhbat al-fikr (Semarang: Maktabah al-Muanawwar, t.th.), h. 9.
contoh, seperti jumlah bilangan shalat, dan kewajiban puasa bulan Ramadhan. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah periwayat yang mesti dipenuhi pada setiap tingkatan sanad-nya untuk disebutkan suatu hadis berstatus
mutawatir. Sebagian ulama mengatakan lima orang dengan menjadikan kepada lima orang ulil al-
Azmi dari Nabi-nabi. Sebagian lainnya mangatakan tujuh orang sebagai qiyäs dari tujuh orang, ashdb al-kahfi Ada juga yang mangatakan sepuluh orang, dua puluh orang, empat puluh orangseperti jumlah yang wajib dipenuhi dalam shalat jum'at, dan lain sebagainya yang kesemuanya merujuk kepada jumlah tertentu dari penwayat. Hal ini dianggap oleh Wahbah Zuhailiy sebagai pendapat yang lemah dan tidak bersandarkan kepada rasio serta dalil tertulis yang kuat.Menurutnya, dalam menentukan status mutawatir-nya, suatu hadis tidaklah didasari pada jumlah tertentu pada periwayat, tetapi pada dasar pengetahuan dan keyakinan yang dirangkum dari pendapat-pendapat orang-orang terdahulu. Dengan demikian, dapat saja suatu hadis yang
semula hanya diriwayatkan oleh beberapa orang saja, tetapi setelah diteliti ia membawa keyakinan untuk ditingkatkan statusnya menjadi
mutawatir. Untuk hadis mutawatir, ulama menganggap tidak perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kualitasnya; hadis mutawatir pasti berkualitas sahih.Oleh karena itu,
mutawatir telah membawa keyakinan yang pasti bahwa hadis yang bersangkutan berasal dari Nabi.39 Pernyataan ulama ini tidaklah berarti bahwa terhadap hadis yang berstatus mutawatir tidak dapat dilakukan penelitian lagi.Penelitian terhadap hadis mutawatir tetap saja mesti dilakukan, hanya saja yang menjadi tujuan penelitian bukanlah untuk mengetahui bagaimana kualitas
sanad dan matan hadis yang bersangkutan.Penelitian yang dimaksud yaitu untuk membuktikan apakah benar hadis ini berstatus
mutawatir.Apabila penelitian membuktikan hadis itu memang berstatus mutawatir, maka tidak perlu diadakan penelitian terhadap sanad dan matan hadis yang bersangkutan.
39 M. Syuhudi Ismail, Metodologi., h. h. 29.
Selanjutnya mengenai khabar al-
kadsah, al-Syäfi'iy mendefinisi-kannya sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang penwayat dari seorang periwayat sampai ke Nabi Muhammad saw.40Pengertian seperti ini umumnya diterima oleh kebanyakan ulama. Bahkan, mereka bersepakat bahwa yang disebut hadis ahad41yaitu hadis yang tidak mencapai tingkatan
mutawâtir42 Menurut sebagian ulama, status
Wurûd (kedatangannya) hadis ahâd yaitu zanniy43 Mereka beralasan
40Al-Syäfi’iy, al-Risälah., h. 120. Ulama aliran Hanafiyyah (baca; pengikut Abu Hanifah) menceraikan dari pengertian hadis ahad ini satu bentuk lain, mereka menyebutnya dengan hadis masyhur, yaitu hadis yang pada tingkat sahabat diriwayatkan secara ahad, tetapi pada tingkat berikutnya diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin mereka bersepakat berdusta. Penjelasan selanjuüıya, lihat al-Zuhailiy, loc. cit. 41Ahäd yaitu kata bahasa Arab yang
muhtamil jama' dari wahıd, seperti pada asyhad
jama' dari syahid, sebagaimana jamak ahäd, seperti sabab jamaknya asbab.Kata wahid mempunyai arti satu.Dengan demikian, kata
ahad /berarti satuan, yaitu angka bilangan dari satu sampai sembilan.Selain itu, kata ahad dapat juga berarti satuan dari satu suku dari sesuatu. Penjelasan saling melengkapi, lihat al-Tahan, op. cit., h. 21; M. Hasbi Ash Shiddieqy,
Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1987 M.), h 66; M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1991 M.), h. 141. 42 Al-Tahan, loc.cit; Abû Zahrah, Usûl,., h. 108; al-Khatib, op. cit., h. 302; al-Khallaf,op.cit., h. 42. 43Kafa-kata zanniy bersama-sama dengan qat 'iy yaitu istilah yang sering digunakan oleh para ulama dan pemikir Islam
48
bahwa hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak menimbulkan keyakinan yang pasti kebenarannya.Dalam padaitn, mereka juga berpendapat bahwa status zanniy tidak menghilangkan kewajiban untuk mengamalkannya.44 Tentang kewajiban beramal dengan hadis ahad, ulama memang berbeda pendapat.Perbedaan ini didasari pada status hadis ahâd itu sendiri, yakni apakah hadis ini membawa suatu keyakinan (al-yaqin45) atau tidak. Ahmad ibn Hanbal, sebagian pemuka hadis, Daûd al-Zâhiriy, dan pengikutnya Ibn Hazm berpendapat bahwa hadis ahâd apabila terbukti
dalam kaitannya dengan pembahasan kedudukan Alquran dan hadis Nabi dilihat dari
wurud-nya (kedatangan) atausubui-nya (penetapan).Adanya pembagian ini yaitu dalam rangka mengetahui "kawasan” ajaran Islam yang dapat dilakukan ijtihåd dan yang tidak dapat.Penjelasan lebih lanjut, lihat Syuhudi.Hadis., h. 92. 44Abu Zakariya Yaliya ibn Syaraf al-Nawawiy, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawaâwiy, Juz I (Mesir: al-Matba'ah al-Misriyyah, 1924 M.), h. 20; Salim 'Ali al-Bahnasawiy, al-Sunnah
al-Maftara 'alaiha (t.t.: Dâr al-BuhÛs al-'Ilmiyyah, 1979 M.), h. 100-109. 45Dalam ilmu Usûl al-fiqh ada empat kaidah mengenai teori pengetahuan : (1) yaqîn, atau keyakinan yang membawa suatu hukum; (2) zan, atau waham yang tidak dapat membawa hukum; (3) al-Wahm, atau waham yang tidak dapat membawa hukum, disebabkan adanya pertimbangan sama antara dua kasus tertentu; dan (4) al-Syak, keraguan yang tidak membawa suatu hukum. Selanjutnya lihat 'Abd al-Hamid Hakim.al-Bayån (Jakarta: Sa'adiyah Putra, t.th.), h. 5.
benar dan Nabi, maka dia membawa keyakinan. Hal itu berbeda dengan yang dipegang oleh pengikut-pengikut Hanafî, Syâfi'iy, Mâlikiy, dan lainnya, bahwa menurut mereka hadis ahad hanya membawa suatu yang zanniy, tetapi itu cukup sebagai dasar kewajiban beramal dengan hadis ahad. Karena,masih menurut golongan yang terakhir disebutkan, zati yang ada pada hadis ahâd yaitu dugaan yang benar
(al-zan al-råjih).46 Jadi, meskipun ulama berbeda dalam menentukan kadar pengetahuan ('ilm) yang dimiliki hadis
ahâd, tetapi mereka sepakat tentang kewajiban beramal dengan hadis ahâd. Mengenai hadis mursal47 Syâfi'iy membaginya kepada dua bagian,
47Ulama dari kalangan pengikut Abu Hamtzh dan Malik menerima hadis mursal sebagai hujjah, dengan syarat orang-orang yang meriwayatkan hadis itu seluruhnya yaitu orang kepercayaan.Alasan mereka. (1) bahwa periwayat yang adil niscaya tidak akan menggugurkan periwayat yang berada antara dia dan Nabi, sekiranya periwayat yang digugurkan im bukanlah orang adil pula; dan (2) adanya hadis Nabi yang memuji kepada generasi sahabat dan îabi'in. Selanjutnya,
mursal iabi 'în besar (kibår al-tâbi’in) dan tabi 'înkecil (siqar al-abi’in).48 Untuk yang disebutkan terakhir kali, al-Syâfi'iy menolaknya dijadikan hujjah.Ia memberikan tiga alasan, (1) hadis
mursal yang mereka sebutkan sampai ke Nabi terlalu jauh melompat; (2) hadis mursal seperti ini tidak jelas sumbernya; dan (3) seringnya terjadi penyimpangan yang mengakibatkan salah dalam mengartikannya.49 Adapun mursal tabi'in besar, ia membolehkannya dengan syarat, (1)
Tabi’in yang menggugurkan yaitu
tabi'în besar yang memang berjumpa dengan sebagian besar sahabat, misalnya, Sa'îd ibn Musayyab dan al-Hasan al-Basriy; (2) Matan hadis ini diriwayatkan oleh sanad lain yang muttasil atau hadis mursal lain yang ber-sanad lain pula, atau disaksikan kebenaran hadismursalitu oleh fatwa sahabat; (3) periwayat hadis
mursal itu yaitu orang yang
adil.50Uraian syarat-syarat yang diajukan al-Syåfi'iy untuk menjadikan hadis mursal sebagai hujah dapat disebut ketat.Hal itu disebabkan, keterputusan sanad yang dimiliki oleh hadis mursal.Sesungguhnya al-Syâfi'iy, sebagaimana ditulis oleh al-Ghazaliy, sangat menolak hadis mursal.