sebagai musuh (23:8-10).
Kita harus percaya bahwa segala sesuatu akan mendatangkan
kebaikan bagi kita meskipun segala sesuatu terlihat menen-
tang kita (Yer. 24:5). Kita harus terus maju dan bertekun
dalam menjalani kewajiban kita, meskipun untuk itu kita ha-
rus kehilangan segala sesuatu yang sangat berharga bagi kita
di dunia ini, bahkan nyawa sekalipun (Ibr. 11:35). Kita harus
bergantung pada penggenapan janji itu saat semua jalan
menuju ke sana tertutup (Rm. 4:18). Kita harus bersukacita di
dalam Allah saat tidak terdapat suatu pun yang dapat mem-
buat kita bersukacita. Kita harus melekat kepada-Nya, bahkan
saat kita sekarang ini tidak dapat menemukan penghiburan di
dalam diri-Nya. Saat mendekati ajal, kita harus mengambil
penghiburan hidup dari-Nya, dan ini yaitu percaya kepada-
Nya meskipun Ia hendak membunuh kita.
V. Ayub hendak mengajukan perkaranya, bahkan dengan Allah sen-
diri, asal saja ia diizinkan membahas pendahuluan perjanjian itu
(ay. 20-22). Ia ingin (ay. 3) membela perkaranya di hadapan Allah,
dan masih tetap berpikir demikian. Ia tidak akan bersembunyi.
Artinya, ia tidak akan menolak pencobaan itu atau takut kepada
masalah itu, namun di bawah dua persyaratan:
1. Supaya tubuhnya tidak tersiksa dengan rasa sakit luar biasa
ini: “Jauhkanlah kiranya tangan-Mu dari padaku, sebab de-
ngan kesakitan luar biasa ini, aku tidak mampu melakukan
apa pun. Aku masih bisa bergeser saat berbincang dengan
para sahabatku, namun aku tidak tahu bagaimana harus ber-
sikap untuk berbincang dengan-Mu.” saat hendak bercakap-
cakap dengan Allah, kita perlu tenangkan diri dahulu dan
sedapat mungkin bebas dari segala sesuatu yang bisa mem-
buat kita merasa tidak nyaman.
2. Supaya pikirannya tidak gentar sebab kedahsyatan keagung-
an Allah: “Kegentaran terhadap Engkau janganlah menimpa
aku. Biarlah perwujudan hadirat-Mu terlihat akrab bagiku,
atau biarlah aku dimampukan melihatnya tanpa merasa kacau
dan gelisah.” Musa sendiri gemetar di hadapan Allah, begitu
juga Yesaya dan Habakuk. Allah yaitu dahsyat dari dalam
tempat kudus-Nya. “Tuhan,” kata Ayub, “janganlah rohku di-
buat ketakutan teramat sangat bersamaan dengan penderita-
an jasmani ini. sebab bila demikian halnya, aku pasti ter-
paksa menyerah pada perkara ini, dan tidak bisa berbuat apa-
apa lagi.” Lihatlah betapa bodoh manusia menunda pertobatan
dan perubahan hatinya di pembaringan saat ia sakit dan
mendekati ajal. Bagaimana mungkin orang baik, apalagi orang
jahat, masih juga berbantah dengan Allah supaya dibenarkan
di hadapan-Nya, padahal ia sedang didera rasa sakit dan
ketakutan di bawah ancaman kematian? Di saat-saat penderi-
taan dan jelang kematian, sungguhlah berat untuk melakukan
pekerjaan besar itu, yaitu pertobatan. Namun Ayub masih
mau melakukannya dengan senang hati, asal saja ia diberi
sedikit waktu untuk mengambil napas, dan ia siap,
(1) Mendengar Allah berbicara kepadanya melalui firman-Nya,
dan membalasnya: Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan
menjawab. Atau,
(2) Berbicara kepada-Nya melalui doa, dan menantikan jawab-
an: Biarlah aku berbicara, dan Engkau menjawab (ay. 22).
Bandingkanlah ayat ini dengan pasal 9:34-35, saat Ayub
berbicara dengan pokok yang sama. Singkat kata, buruk-
nya perkara Ayub saat itu membuatnya begitu berputus
asa hingga ia tidak mampu mengatasinya. Jika tidak, ia
sungguh yakin perihal kebaikan tujuan perkaranya, dan
tidak bimbang bahwa akhirnya ia akan memperoleh peng-
hiburan, saat awan gelap yang menudunginya itu berlalu.
Orang yang tulus boleh datang dengan keberanian kudus
ke takhta kasih karunia, dan tidak bimbang akan menda-
patkan kasih setia di sana.
Pembelaan Ayub di Hadapan Allah
(13:23-28)
23 Berapa besar kesalahan dan dosaku? Beritahukanlah kepadaku pelang-
garan dan dosaku itu. 24 Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu, dan
menganggap aku sebagai musuh-Mu? 25 Apakah Engkau hendak menggen-
tarkan daun yang ditiupkan angin, dan mengejar jerami yang kering? 26 Se-
bab Engkau menulis hal-hal yang pahit terhadap aku dan menghukum aku
sebab kesalahan pada masa mudaku; 27 kakiku Kaumasukkan ke dalam
pasung, segala tindak tandukku Kauawasi, dan rintangan Kaupasang di
depan tapak kakiku? 28 Dan semuanya itu terhadap orang yang sudah rapuh
seperti kayu lapuk, seperti kain yang dimakan gegat!”
Di dalam perikop ini,
I. Ayub menanyakan perihal dosa-dosanya, dan memohon agar se-
muanya disingkapkan kepadanya. Ia memandang Allah dan me-
nanyakan jumlah dosanya kepada-Nya (Berapa besar kesalahan
dan dosaku?) dan apa saja dosa-dosa itu: Beritahukanlah kepada-
ku pelanggaran dan dosaku itu (ay. 23). Sahabat-sahabatnya siap
memberitahukan kepadanya seberapa banyak dan keji dosa-dosa-
nya (22:5). “namun TUHAN,” katanya, “izinkan aku mengetahuinya
dari-Mu, sebab hukuman Allah berlangsung secara jujur, sedangkan
hukuman mereka tidak demikian halnya.” Hal ini bisa dianggap,
1. Sebagai keluhan yang penuh kejengkelan dan keras, bahwa ia
dihukum akibat kesalahannya, namun tidak diberi tahu apa
sebenarnya kesalahan itu. Atau,
2. Sebagai pembelaan diri yang bijaksana kepada Allah akibat
kecaman sahabat-sahabatnya. Ayub ingin agar semua dosanya
dijelaskan. Ia tahu bahwa jumlahnya tidak akan begitu banyak,
atau berat, seperti yang dicurigai sahabat-sahabatnya. Atau,
3. Sebagai permohonan saleh, dengan pokok sama seperti yang
ditujukan Elihu kepadanya (34:32). Apa yang tidak kumeng-
erti, ajarkanlah kepadaku. Perhatikanlah, orang yang benar-
benar menyesali dosanya, bersedia mengetahui hal terburuk
tentang dirinya sendiri. Kita semua harus ingin mengetahui
apa saja pelanggaran kita, supaya kita dapat mengakuinya
dengan terperinci dan waspada di kemudian hari.
II. Dengan pahit ia mengeluhkan undurnya Allah darinya (ay. 24):
Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu? Hal ini pasti di-
maksudkan tentang sesuatu yang lebih dari sekadar penderitaan
jasmaninya. Kehilangan harta, anak-anak, dan kesehatan dapat
dikaitkan dengan kasih Allah. Andai kata hanya itulah semuanya,
Ayub dapat memuji nama TUHAN. Namun lebih dari itu, jiwanya
seperti mau mati rasanya, dan itulah yang diratapinya di sini.
1. Bahwa perkenanan Yang Mahakuasa ditangguhkan. Allah me-
nyembunyikan wajah-Nya seolah-olah Ia tidak mengenal Ayub,
tidak menyukainya, dan enggan serta tidak memperhatikannya.
2. Bahwa kedahsyatan Yang Mahakuasa ditimpakan dan dihu-
jamkan ke atas dirinya. Allah menganggap dia sebagai musuh,
menembakkan anak panah kepadanya (6:4), dan menjadikan
dia sebagai sasaran (7:20). Perhatikanlah, Roh Kudus adakala-
nya meniadakan perkenanan-Nya dan menyatakan kedahsyat-
an-Nya kepada orang-orang kudus serta para pelayan-Nya
yang terbaik dan paling dikasihi-Nya di dunia ini. Hal ini
terjadi tidak saja dalam pengadaannya, namun adakalanya juga
dalam perkembangan kehidupan ilahi juga. Bukti-bukti ten-
tang sorga menjadi pudar, penyampaian yang nyata disela, ke-
takutan terhadap murka ilahi dihujamkan, dan kembalinya
penghiburan untuk sementara waktu tidak dapat diharapkan
(Mzm. 77: 8-10; 88:8, 16-17). Beginilah beban menyengsara-
kan yang dipikul jiwa yang pengasih dan menilai kasih setia
Allah lebih besar daripada hidup (Ams. 18:14), siapa akan me-
mulihkan semangat yang patah? saat bertanya, Mengapa
Engkau menyembunyikan wajah-Mu? Ayub mengajar kita bah-
wa kapan pun kita seakan-akan merasa Allah menjauhi kita,
kita perlu menanyakan alasannya, apa gerangan dosa yang
membuat Dia memperbaiki kita, dan apa gerangan kebaikan
yang direncanakan-Nya bagi kita. Penderitaan Ayub melam-
bangkan penderitaan Kristus, dari siapa bukan hanya manu-
sia memalingkan wajah mereka (Yes. 53:3), melainkan Allah
sendiri menyembunyikan wajah-Nya juga. Lihatlah kegelapan
yang mengelilingi-Nya di salib saat Ia berseru, Allah-Ku, Allah-
Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Apabila pohon-pohon
hijau saja sudah tertimpa dengan dahsyatnya, apa jadinya
pula dengan pohon-pohon kering? Mereka akan ditinggalkan
selamanya.
III. Dengan rendah hati Ayub memohon kepada Allah berkenaan de-
ngan ketidakmampuannya berdiri di hadapan-Nya (ay. 25): “Apa-
kah Engkau hendak menggentarkan daun yang ditiupkan angin,
dan mengejar jerami yang kering? TUHAN, apakah demi kehormat-
an-Mu Engkau menginjak-injak orang yang sudah terpuruk, atau
menghancurkan orang yang tidak berdaya, yang tidak sanggup
melawan-Mu?” Perhatikanlah, kita harus memahami kebaikan
serta rasa belas kasih Allah supaya dapat percaya bahwa buluh
yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya (Mat. 12:20).
IV. Dengan sedih ia mengeluhkan perlakuan keras Allah terhadap
dirinya. Ayub mengakui bahwa oleh sebab dosa-dosanyalah Allah
menentangnya sedemikian rupa. Namun, ia menganggap cara itu
sungguh berat, sebab ,
1. Dosa-dosanya yang dahulu, yang sudah lama sekali terjadi, se-
karang kembali diingat untuk melawannya, dan ia harus ber-
tanggung jawab atas hal-hal yang lama (ay. 26): Engkau menu-
lis hal-hal yang pahit terhadap aku. Penderitaan merupakan
hal yang pahit. Menuliskan hal-hal itu memerlukan kehendak
kuat dan ketetapan hati, dituliskan sebagai jaminan untuk di-
laksanakan. Hal itu juga menunjukkan keberlangsungan pen-
deritaannya, sebab apa yang sudah tertulis akan tetap ada.
“Dan dalam hal ini Engkau menghukum aku sebab kesalahan
pada masa mudaku.” Artinya, “Engkau menghukumku sebab
kesalahan-kesalahan lama, sehingga dengan demikian meng-
ingatkanku akan semuanya itu, dan mengharuskan aku mem-
perbarui pertobatanku atas semua kesalahan lama itu.” Per-
hatikanlah,
(1) Adakalanya Allah mencatat hal-hal yang sangat pahit ber-
kenaan dengan orang-orang kudus serta para pelayan-Nya
yang terbaik dan paling dikasihi, baik dalam hal penderita-
an jasmani maupun kegelisahan batiniah. Baik kesesakan
jasmani maupun batiniah, supaya Ia dapat membuat mere-
ka merendahkan hati, membuktikan diri, dan pada akhir-
nya mendatangkan kebaikan bagi mereka.
(2) Bahwa dosa-dosa pada masa muda acap kali merupakan
kegegabahan usia, baik menyangkut dukacita dalam batin
(Yer. 31:18-19) maupun penderitaan jasmani (20:11). Wak-
tu tidak dapat memudarkan kesalahan dosa.
(3) Bahwa saat Allah menuliskan hal-hal pahit tentang diri
kita, tujuan-Nya yaitu untuk membuat kita bertanggung
jawab atas kelemahan kita, dan mengingatkan kita akan
dosa-dosa kita, sehingga dengan demikian membuat kita
menyesalinya serta menjauhkan kita darinya. Inilah buah-
nya kalau ia menjauhkan dosanya.
2. Kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalannya sekarang ini
diteliti secermat itu, dan diperhatikan seberat itu (ay. 27): “Kaki-
ku Kaumasukkan ke dalam pasung, tidak saja untuk mem-
buatku menderita dan memperhadapkanku kepada aib. Tidak
saja mencegahku terlepas dari hantaman murka-Mu, namun juga
supaya Engkau dapat mengecam semua gerakanku dan meng-
awasi semua jalanku, untuk memperbaiki setiap langkahku
yang salah. Bahkan lebih dari itu, hanya sebab pandangan
yang keliru atau perkataan yang disalahgunakan pun, rintang-
an Kaupasang di depan tapak kakiku. Engkau mencatat se-
mua kesalahan yang kubuat atau harus kupertanggungjawab-
kan. Begitu aku melakukan langkah yang salah, meski begitu
kecil, segera saja Engkau mencatat kesalahanku itu, lebih ce-
pat daripada tindakan penyelasanku. Hukuman seperti meng-
ikuti setiap langkah dosa. Kesalahan, baik yang lama maupun
terbaru, disatukan sebagai alasan bagi bencanaku.” Sekarang,
(1) Tidaklah benar bahwa oleh sebab itu Allah mencari keun-
tungan dengan menentang Ayub. Ia tidaklah sekeras itu
hingga menandai setiap kesalahan yang kita perbuat. Se-
andainya memang demikian halnya, tidak akan ada yang
tersisa pada kita (Mzm. 103:3). Sebaliknya, Ia sama sekali
tidak seperti itu sehingga Ia tidak memperlakukan kita
sesuai ganjaran yang patut kita terima. Tidak, Ia tidak ber-
buat demikian untuk dosa-dosa kita yang nyata, yang tiada
pernah didapati akan salahnya (Yer. 2:34, TL). Inilah kesan
yang terkandung di dalam kesedihan Ayub. Pikirannya
yang bijaksana tidak pernah menggambarkan Allah sebagai
Tuan yang kejam.
(2) Namun, kita harus sungguh-sungguh melakukan apa yang
dilakukan Ayub ini pada diri kita sendiri dan langkah-lang-
kah kita, baik untuk mengetahui dosa-dosa pada masa lalu
maupun untuk mencegah terjadinya dosa-dosa itu pada
masa mendatang. Sungguh baik bagi kita semua untuk
merenung bagaimana menempuh jalan yang rata.
V. Ayub mendapati diri melemah dengan cepat di bawah tekanan
tangan Allah (ay. 28). Ia seperti orang yang sudah rapuh seperti
kayu lapuk, yang asas pikirannya mengalami pembusukan seperti
kain yang dimakan gegat, yang makin lama makin busuk. Atau, Ia
(Allah), akan seperti ngengat yang memakanku. Bandingkan ayat
ini dengan Hosea 5:12, Aku ini akan seperti ngengat bagi Efraim
dan seperti belatung bagi kaum Yehuda. Lihat juga Mazmur 39:12.
Perhatikanlah, manusia dalam keadaannya yang terbaik sekali-
pun, akan rapuh dengan cepat. Namun, terutama di bawah tegur-
an Allah, ia akan segera lenyap. sebab terdapat begitu sedikit
yang sehat di dalam jiwa manusia, maka tidak heran apabila ter-
dapat begitu sedikit yang sehat juga dalam daging (Mzm. 38:4).
PASAL 14
yub beralih dari berbicara kepada para sahabatnya, mendapati
tak ada gunanya berdebat dengan mereka, dan di sini dia melan-
jutkan berbicara kepada Allah dan dirinya sendiri. Ia telah meng-
ingatkan para sahabatnya akan kerapuhan dan kefanaan mereka
(13:12). Di sini dia mengingatkan diri sendiri akan hal-hal tersebut
dan memohon keringanan dari Allah atas penderitaannya. Kita di sini
mendapati gambaran,
I. Tentang kehidupan manusia, yaitu,
1. Singkat (ay. 1).
2. Menderita (ay. 1).
3. Berdosa (ay. 4).
4. Terbatas (ay. 5, 14).
II. Tentang kematian manusia, yang memberi akhir bagi kehi-
dupan kita sekarang ini, yang tidak akan pernah kembali lagi
(ay. 7-12), yang menyembunyikan kita dari bencana kehidup-
an (ay. 13), menghancurkan harapan kehidupan (ay. 18-19),
menyingkirkan kita dari urusan kehidupan (ay. 20), dan me-
nahan kita dalam kegelapan sehingga kita tidak punya hu-
bungan lagi dengan sanak saudara kita yang masih hidup,
betapa pun besarnya kita sebelumnya memperhatikan mere-
ka semua (ay. 21-22),
III. Bagaimana Ayub memanfaatkan semua hal ini.
1. Ia memohon kepada Allah, yang menurutnya terlalu keras
dan kejam dengannya (ay. 16-17), memohon bahwa, meng-
ingat betapa rapuhnya ia, kiranya Allah tidak bertengkar
dengannya (ay. 3), melainkan memberikannya sedikit ke-
legaan (ay. 6).
2. Ia menyiapkan diri bagi kematian (ay. 14), dan mendorong
dirinya untuk berharap bahwa kematian akan menda-
tangkan penghiburan baginya (ay. 15). Pasal ini tepat bagi
upacara penguburan. Dan perenungan yang sungguh-
sungguh akan pasal ini akan membantu kita merasa ter-
hibur saat kematian orang lain dan bersiap bagi kematian
kita sendiri.
Singkat dan Rapuhnya Hidup Manusia
(14:1-6)
1 “Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegeli-
sahan. 2 Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia
hilang lenyap dan tidak dapat bertahan. 3 Masakan Engkau menujukan pan-
dangan-Mu kepada orang seperti itu, dan menghadapkan kepada-Mu untuk
diadili? 4 Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorang pun
tidak! 5 Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu
pada-Mu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak dapat di-
langkahinya, 6 hendaklah Kaualihkan pandangan-Mu dari padanya, agar ia
beristirahat, sehingga ia seperti orang upahan dapat menikmati harinya.
Kita di sini dituntun untuk berpikir,
I. Tentang asal-usul hidup manusia. Allah sungguh yaitu sumber
asalnya yang agung, sebab Ia menghembuskan nafas hidup ke
dalam hidungnya dan di dalam Dia kita hidup. Namun kita meng-
hitung keberadaannya dari waktu kelahiran kita dan dari situ
kemudian harus menghitung kerapuhan dan kecemarannya.
1. Kerapuhannya: Manusia yang lahir dari perempuan, singkat
umurnya (ay. 1). Ini mungkin merujuk kepada perempuan per-
tama, yang disebut Hawa, sebab dialah ibu dari semua yang
hidup. Dari Hawa, yang ditipu oleh sang penggoda dan yang
pertama kali melakukan pelanggaran, kita semua dilahirkan
dan akibatnya mewarisi darinya dosa dan kerusakan yang
memperpendek hari-hari kita dan mendukakannya. Atau hal
itu dapat merujuk kepada setiap ibu kandung dari semua
orang. Perempuan yaitu bejana yang lebih lemah dan kita
tahu bahwa partus sequitur ventrem – anak menyerupai ibunya.
sebab itu seorang laki-laki yang kuat hendaknya jangan ber-
megah dalam kekuatannya atau dalam kekuatan ayahnya,
namun harus ingat bahwa dia dilahirkan dari seorang perem-
puan, sehingga, saat Allah berkenan, kegagahberanian me-
reka ... lenyap, ... menjadi seperti perempuan (Yer. 51:30).
2. Kecemarannya (ay. 4): Siapa dapat mendatangkan yang tahir
dari yang najis? Jikalau seorang laki-laki dilahirkan dari se-
orang perempuan yang yaitu seorang berdosa, bagaimana
mungkin dia dapat menjadi kebalikan daripada selain dia
harus juga menjadi seorang yang berdosa? (25:4). Bagaimana
orang yang dilahirkan perempuan itu bersih? Anak-anak yang
bersih tidak mungkin berasal dari orangtua yang tidak bersih,
seperti halnya aliran sungai yang jernih tidak akan mengalir
dari sumber yang kotor, atau anggur berasal dari onak duri.
Kerusakan kita yang mengakar berikut dengan kodratnya ber-
asal dari orangtua kita, dan sebab nya bertumbuh di dalam
tulang-tulang kita. Darah kita tidak hanya diperoleh dengan
suatu penghakiman bersalah, namun juga dinodai dengan se-
buah penyakit keturunan. Tuhan Yesus kita, dengan dijadikan
berdosa sebab kita, dikatakan yang lahir dari seorang perem-
puan (Gal. 4:4).
II. Tentang kodrat hidup manusia: ia seperti bunga, seperti bayang-
bayang (ay. 2). Bunga menjadi layu dan semua keindahannya
segera pudar dan lenyap. Bayangan segera berlalu dan keberada-
annya segera lenyap dan tenggelam dalam bayangan malam.
Keduanya tidak dapat kita andalkan atau menaruh keyakinan
kita kepadanya.
III. Tentang singkat dan tak menentunya hidup manusia: Manusia itu
singkat umurnya. Kehidupan di sini dihitung, bukan dengan
bulan atau tahun, melainkan dengan hari, sebab kita tidak dapat
pasti tentang hari apa pun, sebab mungkin hari itu yaitu hari
terakhir kita. Hari-hari kita sedikit, lebih sedikit dari yang kita pi-
kirkan, sangat sedikit, dibandingkan dengan hari-hari dari bapak-
bapak leluhur kita yang mula-mula, jauh lebih sedikit lagi diban-
dingkan dengan hari-hari di dalam kekekalan, namun sangat lebih
sedikit lagi dari yang paling panjang harinya dari orang yang hari-
nya masih lebih singkat dari apa yang kita sebut umur manusia.
Manusia kadang-kadang tidak lebih cepat keluar dari saat saat
ia ditebang. Tidak lebih cepat keluar dari rahim daripada saat dia
mati dalam masa bayinya. Begitu keluar ke dunia dan masuk ke
dalam urusannya, belum apa-apa lagi ia sudah bergegas pergi
begitu dia meletakkan tangannya ke bajak. Jika tidak diputus
dengan segera, dia berlalu seperti bayang-bayang, dan tidak per-
nah tinggal menetap, dalam satu bentuk, melainkan selalu berlalu
rupanya. Demikian pula dunia ini dan kehidupan di dalamnya
(1Kor. 7:31).
IV. Tentang nasib celaka hidup manusia. Manusia, sama seperti sing-
kat hidupnya, demikian pula sedih hidupnya. Kendati dia hanya
memiliki sedikit hari saja untuk dihabiskan di sini, namun jika
dia dapat bergembira dalam beberapa hari tersebut, hal itu baik.
Hidup yang singkat dan bergembira yaitu dambaan sebagian
orang. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Selama beberapa
hari hidupnya itu penuh dengan masalah, tidak hanya masalah,
namun penuh dengan masalah, entah bekerja keras atau resah,
bersedih atau takut. Tidak ada hari berlalu tanpa gangguan, ter-
gesa-gesa, gangguan ini gangguan itu. Orang-orang yang menyu-
kai dunia akan merasa jemu dengannya. Ia satur tremore – penuh
dengan keributan. Singkatnya hari-harinya menciptakan suatu
masalah yang terus-menerus dan ketidaktenangan dalam meng-
harapkan akhirnya. Ditambah lagi, ia selalu terkatung-katung
dalam keraguan akan hidupnya. Namun, sebab hari-hari manu-
sia penuh dengan masalah, untungnya jumlahnya sedikit, sehing-
ga pemenjaraan jiwa di dalam tubuh, dan masa pembuangan dari
TUHAN, tidaklah kekal dan lama. saat kita sampai di sorga,
hari-hari kita akan banyak, dan sama sekali bebas dari masalah.
namun , untuk sementara ini iman, pengharapan dan kasih me-
nyeimbangkan segala kesedihan sekarang ini.
V. Tentang keberdosaan hidup manusia, yang timbul dari keberdosa-
an kodrat manusia. Demikianlah beberapa orang memahami per-
tanyaan tersebut (ay. 4), Siapa dapat mendatangkan yang tahir
dari yang najis? Tingkah laku yang bersih dari dasar hati yang
tidak bersih? Perhatikanlah, semua pelanggaran yang terjadi ada-
lah hasil alamiah dari kerusakan yang sudah mendarah daging,
yang sebab nya disebut dosa asal, sebab itulah yang merupakan
asal dari semua dosa kita. Ayub yang kudus ini di sini meratap,
sebagaimana yang dilakukan oleh semua orang yang dikuduskan,
berlari kepada sumber mata air (Mzm. 51:7). Dan beberapa penaf-
sir berpikir bahwa dia memaksudkan ayat tadi sebagai sebuah per-
mohonan kepada Allah meminta belas kasihan: “TUHAN, janganlah
keras menandai dosa-dosaku sebab kerapuhan dan kelemahanku
sebagai manusia, sebab Engkau tahu kelemahanku. Ingatlah bahwa
aku ini daging!” Terjemahan bahasa Aram lebih terperinci: Siapakah
yang dapat membuat manusia bersih, yang telah dicemari oleh
dosa? Kecuali satu, yaitu Allah. Atau Siapakah selain Allah, yang
yaitu satu-satunya, yang akan menyayangkan dia? Allah, oleh
anugerah-Nya yang Mahakuasa, dapat mengubah kulit yang
hitam, kulit Ayub, meskipun terbungkus dengan cacing-cacing.
VI. Tentang masa hidup manusia yang sudah ditetapkan (ay. 5).
1. Tiga hal kita diyakinkan di sini:
(1) Bahwa hidup kita akan sampai kepada suatu akhir. Hari-
hari kita di atas bumi tidaklah tanpa batas dan tanpa
akhir, tidak, semuanya terhitung dan akan segera berakhir
(Dan. 5:26).
(2) Bahwa hidup kita telah ditentukan, berdasarkan pertim-
bangan dan ketetapan Allah, berapa lama kita akan hidup
dan kapan kita akan mati. Jumlah bulan-bulan kita ada
bersama Allah, dalam genggaman kuasa-Nya, yang tidak
dapat dikendalikan, dan di bawah kemahatahuan-Nya,
yang tidak dapat ditipu. Sudah pasti bahwa penyelenggara-
an Allah mengatur masa hidup kita. Waktu kita ada di
dalam tangan-Nya. Kekuasaan alam bergantung kepada-
Nya dan bertindak di bawah perintah-Nya. Di dalam Dia
kita hidup dan bergerak. Penyakit yaitu hamba-Nya. Ia
yang mematikan dan menjadikan hidup. Tidak ada yang
berlalu secara kebetulan, tidak, termasuk kematian yang
terjadi akibat panah busur yang dilesatkan dengan sem-
barangan. Oleh sebab nya, pastilah bahwa pengetahuan
Allah yang Maha mendahului telah menentukannya se-
belumnya. Sebab telah diketahui Allah sejak semula segala
pekerjaan-Nya. Apa saja yang dilakukan-Nya telah ditentu-
kan-Nya, namun dengan memperhatikan sebagian dari per-
jalanan alam yang telah ditetapkan (tujuan dan sarananya
telah ditentukan bersama) dan hukum peraturan moral
yang telah ditetapkan, untuk menghukum yang jahat dan
memberi pahala kepada kebaikan dalam kehidupan ini.
Kita tidak diatur oleh nasib buta dari filsafat Stoa maupun
keberuntungan nasib buta kaum Epikurus.
(3) Bahwa batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah tidak
dapat kita lewati. Sebab, semua putusan pertimbangan-
Nya tidak dapat diubah, nubuatan-Nya tidak dapat salah.
2. Pertimbangan-pertimbangan yang dengan sangat dipakai Ayub
sebagai alasan,
(1) Mengapa Allah seharusnya jangan berlaku begitu ketat
dalam menandai kelalaian dan kegagalannya (ay. 3): “Oleh
sebab aku memiliki kodrat yang telah rusak di dalam diri,
dan cenderung didatangi begitu banyak masalah, yang
mencobaiku terus-menerus dari luar diriku. Jadi, apakah
engkau tega membuka mata dan memelototkan mata-Mu
kepada orang yang seperti ini, mau menandai kesalahanku
dengan teramat sangat? (13:27). Dan masakan Engkau
mau membawa aku, cacing tidak berharga seperti aku ini,
ke dalam sidang pengadilan-Mu, dengan sedemikian cepat
menyelidiki dan menemukan kegagalan yang paling kecil,
sedemikian suci membencinya, sedemikian adil mengutuk-
nya, dan sedemikian hebat menghukumnya?” Dengan me-
renungkan betapa kita ini tidak sanggup untuk berdebat
dengan Allah, begitu berdosa dan lemah, maka seharusnya
ini mendorong kita untuk berdoa, Janganlah beperkara
dengan hamba-Mu ini, sebab di antara yang hidup tidak
seorang pun yang benar di hadapan-Mu.
(2) Mengapa Ia jangan begitu keras dalam berurusan dengan-
nya: “TUHAN, Aku hanya memiliki sedikit waktu untuk
hidup. Aku pasti dan segera pergi, sedangkan hari yang se-
dikit yang kupunyai di sini, yang terbaik sekalipun, hanya-
lah penuh dengan masalah. Oh kiranya aku mendapatkan
sedikit kelegaan! (ay. 6). Berbaliklah dari menimpakan cela-
ka kepada seorang makhluk yang malang ini, dan biarkan
dia beristirahat sebentar. Biarkanlah dia mendapat sedikit
waktu bernapas, sehingga ia seperti orang upahan dapat
menikmati harinya. Telah ditetapkan bagiku untuk mati
suatu saat. Berikan kiranya satu hari keluputan bagiku,
dan janganlah aku terus-menerus sekarat, mengalami seri-
bu kali jelang kematian. Kiranya cukuplah hidupku ini, pa-
ling tidak, seperti hari orang upahan, suatu hari kerja ke-
ras. Aku puas untuk menyelesaikannya dan akan menjadi-
kan yang terbaik dari segala kesukaran hidup manusia,
beban dan teriknya hari. Namun janganlah aku merasakan
siksaan yang tidak biasa tersebut, janganlah hidupku men-
jadi seperti hari seorang penjahat, hari hukuman mati.”
Demikianlah, biarlah kita mendapatkan sedikit kelegaan di
bawah masalah yang besar dengan menyerahkan diri ke-
pada belas kasihan Allah yang mengetahui keadaan kita
dan akan mempertimbangkannya, untuk melepaskan kita
dari keadaan tersebut.
Kematian Dinantikan
(14:7-15)
7 sebab bagi pohon masih ada harapan: apabila ditebang, ia bertunas kem-
bali, dan tunasnya tidak berhenti tumbuh. 8 Apabila akarnya menjadi tua di
dalam tanah, dan tunggulnya mati di dalam debu, 9 maka bersemilah ia,
setelah diciumnya air, dan dikeluarkannyalah ranting seperti semai. 10 namun
bila manusia mati, maka tidak berdayalah ia, bila orang binasa, di manakah
ia? 11 Seperti air menguap dari dalam tasik, dan sungai surut dan menjadi
kering, 12 demikian juga manusia berbaring dan tidak bangkit lagi, sampai
langit hilang lenyap, mereka tidak terjaga, dan tidak bangun dari tidurnya.
13 Ah, kiranya Engkau menyembunyikan aku di dalam dunia orang mati, me-
lindungi aku, sampai murka-Mu surut; dan menetapkan waktu bagiku, ke-
mudian mengingat aku pula! 14 Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?
Maka aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba
giliranku; 15 maka Engkau akan memanggil, dan aku pun akan menyahut;
Engkau akan rindu kepada buatan tangan-Mu.
Kita telah melihat apa yang harus dikatakan Ayub tentang kehidup-
an. Sekarang mari kita lihat apa yang harus dikatakannya tentang
kematian, yang sangat dikenal oleh pikirannya, saat sekarang dia
sakit dan menderita. Memang bukan waktu yang baik untuk berpikir
tentang kematian saat kita masih sehat. namun tidak dapat dimaaf-
kan jika kita acuh tak acuh saat kita telah dibawa masuk ke dalam
tahanan maut, dan memandangnya sebagai sesuatu yang ada di
kejauhan. Ayub telah menunjukkan bahwa kematian akan datang
dan jamnya telah ditetapkan. Sekarang di sini dia menunjukkan,
I. Bahwa kematian yaitu suatu perpindahan untuk selamanya dari
dunia ini. Hal ini telah dibicarakannya sebelumnya (7:9-10), dan
sekarang dia menyinggungnya lagi. Sebab, kendati hal itu yaitu
suatu kebenaran yang tidak perlu dibuktikan, namun tetap perlu
dipertimbangkan, agar sungguh-sungguh dimanfaatkan.
1. Seorang manusia yang telah diputuskan oleh kematian tidak
akan hidup kembali, tidak seperti sebuah pohon yang dite-
bang. Pengharapan apakah yang dimiliki oleh sebuah pohon
ditunjukkan oleh Ayub dengan elok (ay. 7-9). Apabila batang
pohon ditebang, dan hanya batang utama atau tunggul yang
tertinggal di dalam tanah, kendati tampaknya mati dan kering,
pohon itu akan mengeluarkan dahan muda lagi, seolah-olah
baru saja ditanam. Kelembaban bumi dan hujan dari langit,
sepertinya, mengeluarkan bau wangi dan dirasakan oleh tung-
gul suatu pohon, dan berpengaruh untuk menghidupkannya
lagi. Namun tubuh jenazah seorang manusia tidak akan dapat
merasakannya atau pun dipengaruhi olehnya. Dalam mimpi
Nebukadnezar, kehilangan akal sehatnya dilambangkan oleh
ditebangnya sebuah pohon, dan kembalinya akal sehatnya
dilambangkan oleh tetap tinggalnya tunggul di dalam tanah
dalam keadaan terikat dengan rantai besi dan tembaga yang
dibasahi dengan embun dari langit (Dan. 4:15). Namun ma-
nusia tidaklah memiliki harapan yang demikian untuk kembali
hidup. Hidup tanaman sangatlah murah dan mudah: aroma
air akan memulihkannya. Hidup binatang, seperti beberapa
serangga dan unggas, juga demikian: panas matahari menyela-
matkannya. namun jiwa yang berakal budi, sekali berhenti,
terlalu agung, terlalu luhur, untuk dihidupkan kembali oleh
kuasa alam apa pun. Hal itu di luar jangkauan matahari atau
hujan dan tidak dapat dipulihkan kecuali oleh pekerjaan lang-
sung dari Yang Mahakuasa sendiri. Sebab (ay. 10), bila manu-
sia mati, maka tidak berdayalah ia, bila orang binasa, di mana-
kah ia? Dua kata dipakai di sini untuk manusia: Geber,
manusia perkasa, kendati kuat, tetap mati. Adam, manusia fana
(tanah), dan sebab fana, berasal dari tanah, akan lenyap. Per-
hatikanlah, Manusia yaitu makhluk ciptaan yang sedang me-
nuju kematian. Ia di sini digambarkan oleh apa yang terjadi,
(1) Sebelum kematian: ia tidak berdaya. Ia terus-menerus me-
lemah, menuju kematian setiap hari, menghabiskan sisa
kekuatan hidup dengan cepat. Penyakit dan usia lanjut
yaitu hal-hal yang menggerogoti daging, kekuatan, kein-
dahan.
(2) Dalam kematian: ia binasa. Jiwa meninggalkan tubuh dan
kembali kepada Allah yang mengaruniakannya, Bapa yang
empunya roh.
(3) Sesudah kematian: Di manakah ia? Ia tidak berada di tem-
pat sebelumnya. Tempatnya tidak mengenalnya lagi. Na-
mun apakah dia tidak berada di suatu tempat? Demikian
dibaca oleh beberapa orang. Ya, dia ada di suatu tempat.
Dan merupakan pertimbangan yang mengerikan untuk me-
mikirkan keberadaan orang-orang yang telah meninggal
dan ke mana akan berada saat tidak berdaya. Jiwa telah
pergi ke dalam dunia roh, pergi ke dalam kekekalan, pergi
untuk tidak kembali lagi ke dalam dunia ini.
2. Seseorang yang terbaring di dalam kubur tidak akan bangkit
kembali (ay. 11-12). Setiap malam kita berbaring untuk tidur,
dan di pagi hari kita bangun dan bangkit kembali. namun pada
saat kematian kita harus berbaring di dalam kubur, tidak un-
tuk bangun atau bangkit kembali ke dunia, kepada keadaan,
yang seperti sekarang ini, tidak pernah bangun atau bangkit
selama langit, ukuran waktu yang setia, belum lenyap, dan
akibatnya waktu itu sendiri akan sampai kepada suatu akhir
dan ditelan dalam kekekalan. Dengan demikian hidup manu-
sia dapat dengan tepat dibandingkan dengan air dari suatu
banjir bandang, yang mengalir jauh dan membuat suatu per-
tunjukan yang besar, namun dangkal, dan saat terputus dari
laut atau sungai, yang luapannya yang menyebabkan banjir
bandang itu, maka air itu pun segera surut dan kering, dan
tempatnya tidak mengenalnya lagi. Air kehidupan segera ber-
embus keluar dan lenyap. Tubuh, seperti air tersebut, teng-
gelam dan terserap ke dalam tanah, dan dikubur di sana. Se-
dangkan jiwa ditarik ke atas, bersatu dengan segala air yang
ada di cakrawala. Cendekiawan Tuan Richard Blackmore mem-
buat kiasan yang terbalik. Jikalau air surut dan menjadi kering
di musim panas, namun akan kembali lagi di musim dingin.
namun tidaklah demikian dengan kehidupan manusia. Coba
lihat pengungkapan beliau dalam kata-kata berikut:
Sungai yang mengalir, atau danau yang penuh,
Tepiannya mengering dan pantainya gersang.
Airnya menguap dan bergerak ke atas,
Bergulung-gulung ke dalam di awan di atas.
namun air yang mengalir itu akan mendapat kembali
Yang hilang di musim panas yang lalu:
Namun, jika, O manusia! air hidupmu mengering
Segala salurannya dan hati yang menipu,
Tidak akan dialiri lagi oleh aliran segar,
Tidak merasakan kembali pasang kehidupannya.
II. Bahwa hidup manusia akan kembali lagi di dunia lain, pada akhir
zaman, saat langit hilang lenyap. Dan mereka akan terjaga dan
bangun dari tidurnya. Kebangkitan orang mati tak diragukan lagi
yaitu suatu bagian dari keyakinan Ayub, seperti tampak jelas
dalam pasal 19:26, dan terhadap hal itu, tampaknya, dia meng-
amati di sini, di mana, dalam keyakinan akan hal itu, kita mene-
mukan tiga hal:
1. Suatu permohonan yang rendah hati akan sebuah tempat
persembunyian di dalam kubur (ay. 13). Bukan hanya sebab
merasa lelah dengan kehidupan ini sehingga dia berharap
mati, namun juga sebab keyakinannya akan kehidupan yang
lebih baik, yang pada akhirnya akan dicapainya saat bang-
kit. Ah, kiranya Engkau menyembunyikan aku di dalam dunia
orang mati! Kuburan tidak hanya sebuah tempat istirahat,
namun juga tempat persembunyian, bagi umat Allah. Allah me-
miliki kunci dunia orang mati, untuk memberi izin masuk se-
karang dan keluar pada hari kebangkitan. Ia menyembunyikan
manusia di dalam kubur, seperti kita menyembunyikan harta
kita di dalam suatu tempat yang rahasia dan aman. Dan dia
yang bersembunyi akan menerima dan tidak ada yang hilang.
“O kiranya Engkau mau menyembunyikan aku, tidak hanya
dari badai dan masalah kehidupan ini, namun juga demi keba-
hagiaan dan kemuliaan dari suatu kehidupan yang lebih baik.
Biarkan aku berbaring di dalam kubur, disimpan bagi kekekal-
an, tersembunyi dari dunia, namun tidak dari Engkau, tidak
dari mata-Mu yang melihat hakikat diriku saat pertama kali
dirajut di bagian-bagian bumi yang paling bawah” (Mzm. 139:15-
16). Biarkanlah aku berbaring di sana,
(1) Sampai murka-Mu menjadi surut. Sepanjang tubuh orang-
orang kudus berbaring di dalam kubur, selama itu juga
masih tertinggal sisa-sisa murka yang kodratnya sebagai
manusia, selama itulah mereka berada di bawah akibat
dosa. Namun, saat tubuh dibangkitkan, maka semuanya
lenyap seluruhnya. Saat itulah kematian, musuh yang ter-
akhir itu, akan dihancurkan sepenuhnya.
(2) Sampai menetapkan waktu tiba bagiku untuk diingat, se-
perti Nuh diingat di dalam bahtera (Kej. 8:1), di mana Allah
tidak hanya menyembunyikannya dari kebinasaan dunia
lama, namun juga menjaga dia bagi perbaikan suatu dunia
yang baru. Tubuh orang-orang kudus tidak akan dilupakan
di dalam kubur. Ada suatu waktu yang ditetapkan, ditentu-
kan, bagi keberadaan mereka sesudahnya. Kita tidak dapat
pasti bahwa kita akan melihat melalui kegelapan masalah
kita di masa sekarang dan melihat hari-hari yang baik
sesudahnya di dalam dunia ini. namun , jika kita sanggup
berlaku benar sampai masuk kubur, maka kita dapat
dengan mata iman melihat melalui kegelapannya, seperti
Ayub di sini, dan melihat hari-hari yang lebih baik di sisi
lain, di suatu dunia yang lebih baik.
2. Suatu ketetapan hati yang kudus dengan sabar menyambut
kehendak Allah baik dalam kematian maupun kebangkitannya
(ay. 14): Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? Maka
aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sam-
pai tiba giliranku. Para sahabat Ayub terbukti sebagai para
penghibur yang menyedihkan, maka dia lebih memilih diri
sendiri sebagai penghibur bagi dirinya sendiri. Kasusnya kini
buruk, namun dia menghibur diri dengan pengharapan akan
suatu perubahan. Saya kira ia tidak bermaksud untuk kem-
bali kepada kehidupan makmur di dalam dunia ini. Para saha-
batnya memang membuaikan dirinya dengan mengharapkan
hal yang demikian, namun dia sendiri merasa putus asa akan
hal itu. Penghiburan yang didasarkan pada ketidakpastian
pastilah menjadi penghiburan yang tak menentu. sebab itu,
tak diragukan, ada sesuatu yang lebih pasti yang menopang-
nya dalam pengharapannya. Perubahan yang dinantikannya
harus dipahami entah,
(1) Tentang perubahan akan kebangkitan, saat tubuh yang
hina ini akan diubahkan (Flp. 3:21), dan akan suatu per-
ubahan yang besar dan mulia. Dan barulah pertanyaan ini,
kalau manusia mati, dapatkah ia hidup kembali? harus
dipahami dengan kekaguman. “Aneh! Tulang-tulang kering
itu hidup kembali! Jika demikian, selama jiwa dan tubuh ter-
pisah, selama itu pula jiwaku akan menunggu sampai per-
ubahan tersebut tiba, saat jiwa akan dipersatukan kem-
bali dengan tubuh, dan tubuhku akan diam dengan tente-
ram” (Mzm. 16:9). Atau,
(2) Tentang perubahan pada saat kematian. “Kalau manusia
mati, dapatkah ia hidup kembali? Tidak, tidak kepada ke-
hidupan seperti sekarang ini. sebab itu aku dengan sabar
akan menanti sampai perubahan tersebut tiba, yang akan
mengakhiri penderitaanku. Aku sabar berharap untuk itu,
seperti yang telah kulakukan.” Amatilah di sini,
[1] Bahwa bukan merupakan sesuatu yang sepele untuk
mati. Kematian akan bekerja dengan sendirinya. Itu
yaitu suatu perubahan. Ada suatu perubahan yang
kelihatan di dalam tubuh, tampaknya berubah, segala
tindakannya telah berakhir, namun suatu perubahan
yang lebih besar dengan jiwa, yang keluar dari tubuh,
dan berpindah ke dunia roh, menyelesaikan masa per-
cobaannya dan masuk kepada masa pemberian upah.
Perubahan ini akan tiba dan akan menjadi suatu per-
ubahan yang terakhir, tidak seperti perubahan unsur-
unsur, yang kembali kepada keadaannya yang semula.
Tidak, kita pasti mati, dan tidak untuk hidup lagi.
Hanya sekali saja mati, maka perlu dilakukan dengan
baik sebab hanya terjadi sekali saja. Suatu kesalahan
saja akan mematikan, selesai di situ, dan tidak dapat
diperbaiki lagi.
[2] Oleh sebab itu merupakan kewajiban dari setiap kita
untuk menantikan perubahan tersebut dan untuk terus
menunggu hari-hari dari waktu kita yang telah ditentu-
kan. Waktu kehidupan yaitu suatu waktu yang telah
ditetapkan. Waktu itu dihitung dengan hari. Dan hari-
hari itu harus dihabiskan dalam menantikan perubah-
an kita. Yaitu,
Pertama, kita harus berharap bahwa waktu itu akan
tiba, dan harus banyak memikirkannya.
Kedua, kita harus merindukan waktu itu akan tiba,
sebagai orang yang rindu untuk bersama dengan Kristus.
Ketiga, kita harus bersedia untuk menunggu hingga
hari itu tiba, sebagaimana orang yang mempercayai
waktu Allah sebagai yang terbaik.
Keempat, kita harus tekun untuk bersiap mengha-
dapi hari tersebut tiba, sehingga hari itu akan menjadi
suatu perubahan yang terberkati bagi kita.
3. Suatu pengharapan penuh sukacita akan kebahagiaan dan ke-
puasan di dalam hal ini (ay. 15): Maka Engkau akan memang-
gil, dan aku pun akan menyahut. Sekarang, dia ada di bawah
suatu awan yang begitu rupa sehingga tidak dapat menjawab
(9:15, 35; 13:22). namun dia menghibur diri dengan hal ini,
bahwa akan tiba suatu waktu saat Allah akan memanggil
dan dia harus menyahut. Yaitu,
(1) Pada saat kebangkitan, “Engkau akan memanggilku keluar
dari kubur, melalui suara penghulu malaikat, dan aku akan
menjawab dan datang pada saat panggilan tersebut.” Tubuh
yaitu pekerjaan tangan Allah, dan Ia akan merindukannya,
untuk mempersiapkan suatu kemuliaan baginya. Atau,
(2) Pada saat kematian: “Engkau akan memanggil tubuhku ke
kubur, dan jiwaku kembali kepada-Mu, dan aku akan men-
jawab, Siap, TUHAN, siap, Datanglah, datanglah. Ini aku.”
Jiwa-jiwa yang diberkati dapat menjawab panggilan kema-
tian dengan sukacita, dan tampil menyambut perintahnya.
Roh mereka tidak dituntut secara paksa dari mereka (se-
perti dalam Luk. 12:20), melainkan dengan sukarela dise-
rahkan oleh mereka, dan kemah lahiriah tidak dengan ke-
kerasan ditarik, melainkan dengan sukarela diletakkan,
dengan keyakinan ini, “Engkau akan rindu kepada buatan
tangan-Mu. Engkau menyediakan rahmat bagiku, tidak ha-
nya seperti yang Engkau sediakan melalui penyelengga-
raan-Mu, melainkan juga yang dibuat baru oleh anugerah-
Mu.” Jika tidak, Ia yang telah menjadikan mereka tidak
akan menyelamatkan mereka. Perhatikanlah, anugerah di
dalam jiwa yaitu pekerjaan tangan Allah, dan sebab itu
Ia tidak akan meninggalkannya di dalam dunia ini (Mzm.
138:8), melainkan akan merindukannya, untuk menyem-
purnakannya di dunia lain, dan memahkotainya dengan
kemuliaan yang tak berakhir.
Keluhan Ayub
(14:16-22)
16 Sungguhpun Engkau menghitung langkahku, Engkau tidak akan memper-
hatikan dosaku; 17 pelanggaranku akan dimasukkan di dalam pundi-pundi
yang dimeteraikan, dan kesalahanku akan Kaututup dengan lepa. 18 namun
seperti gunung runtuh berantakan, dan gunung batu bergeser dari tempat-
nya, 19 seperti batu-batu dikikis air, dan bumi dihanyutkan tanahnya oleh
hujan lebat, demikianlah Kauhancurkan harapan manusia. 20 Engkau meng-
gagahi dia untuk selama-lamanya, maka pergilah ia, Engkau mengubah
wajahnya dan menyuruh dia pergi. 21 Anak-anaknya menjadi mulia, namun ia
tidak tahu; atau mereka menjadi hina, namun ia tidak menyadarinya. 22 Hanya
tubuhnya membuat dirinya menderita, dan sebab dirinya sendiri jiwanya
berduka cita.
Ayub di sini kembali kepada keluhannya. Dan, kendati dia bukan
tanpa harapan akan kebahagiaan masa depan, dia mendapati sangat
sukar untuk melewati penderitaannya sekarang.
I. Ayub mengeluh tentang semua kesukaran yang sedang dialami-
nya, yang dipahaminya sebagai akibat kerasnya keadilan Allah
(ay. 16-17). Oleh sebab itu dia rindu untuk pergi ke dunia di
mana murka Allah akan berlalu, sebab sekarang dia terus ber-
ada di bawah tanda-tanda murka-Nya, seperti seorang anak yang
ada di bawah hukuman tongkat yang keras. “Kapankah perubah-
anku tiba? Sebab sekarang kelihatan bagiku Engkau menghitung
langkahku, dan memperhatikan dosaku, dan memeteraikannya di
dalam pundi-pundi, seperti surat dakwaan yang disimpan dengan
aman, untuk dikeluarkan melawan si tahanan” (Lih. Ul. 32:34).
“Engkau mengambil semua keuntungan terhadap aku. Semua
pelanggaraan lama dihitung kembali, setiap kelemahan disebut-
kan lagi, dan belum apa-apa sebuah langkah yang salah diambil,
aku sudah dipukuli untuk itu.” Nah,
1. Ayub bersikap benar terhadap keadilan ilahi dalam mengakui
bahwa dia merasa marah terhadap semua dosa dan palanggar-
annya, dan pantas mendapatkan semua yang ditimpakan ke
atasnya. Sebab ada dosa dalam semua langkahnya dan dia
cukup bersalah atas pelanggaran yang membawa semua ke-
hancuran ini ke atasnya, saat pelanggarannya diselidiki de-
ngan ketat: dia jauh dari mengatakan bahwa dia binasa kare-
na tidak bersalah. Akan namun ,
2. Ia bersalah terhadap kebaikan ilahi dalam menganggap bahwa
Allah berlaku terlalu luar biasa keras dalam menandai kesalah-
annya dan memperlakukan segala pelanggarannya dengan
sangat buruk. Ia berbicara dengan maksud ini (13:27). Perkata-
annya tidaklah bijak, dan sebab nya kita tidak ingin berlama-
lama membahasnya. Allah memang melihat semua dosa kita. Ia
melihat dosa di dalam umat-Nya sendiri. namun Ia tidaklah
kejam dalam meminta pertanggungjawaban kita, dan hukum-
Nya tidak diajukan untuk melawan kita, sebaliknya kita dihu-
kum lebih ringan daripada yang pantas ditanggung oleh kesa-
lahan kita. Allah memang menyegel dan mengikat, untuk hari
kemurkaan, pelanggaran dari orang yang tidak bertobat, namun
dosa umat-Nya dihapuskan-Nya seperti awan terserak lenyap.
II. Ayub mengeluh tentang kondisi umat manusia yang makin mero-
sot pada umumnya. Kita tinggal di dalam dunia yang sedang se-
karat. Siapa yang tahu kekuatan dari murka Allah, yang olehnya
kita dibakar dan disusahkan, sehingga semua hari kita berlalu?
(Lih. Mzm. 90:7-9, 11). Dan siapa yang dapat tahan terhadap har-
dikan-Nya? (Mzm. 39:12).
1. Kita melihat kemerosotan dari bumi itu sendiri.
(1) Dari bagiannya yang terkuat (ay. 18). Tidak ada yang dapat
selalu bertahan, sebab kita melihat bahkan gunung-gu-
nung meleleh dan hancur lebur. Mereka menjadi layu dan
gugur seperti sehelai daun. Bebatuan menjadi tua dan han-
cur oleh hantaman air laut yang tanpa henti. Air mengikis
batu-batu dengan tetesan demi tetesan, non vi, sed saepe
cadendo – bukan dengan kekerasan, melainkan dengan
terus-menerus jatuh ke atas bebatuan. Di atas bumi ini
segala sesuatu semakin rusak sebab penggunaan yang
terus-menerus. Tempus edax rerum – Waktu menelan segala
sesuatu. Namun tidaklah demikian dengan tubuh sorgawi.
(2) Dari hasil alamnya. Segala sesuatu yang tumbuh dari bumi,
dan tampaknya dengan kuat berakar di dalamnya, kadang-
kadang oleh hujan yang berlebihan dapat tersapu bersih
(ay. 19). Beberapa penafsir berpikir dia memohon hal ini
untuk kelegaannya: “TUHAN, kesabaranku tidak selalu da-
pat bertahan. Bahkan batu dan gunung pun akan runtuh
pada akhirnya. sebab itu hentikanlah pertengkaran ini.”
2. Tidak heran jika kita melihat kemerosotan manusia di atas
bumi ini, sebab dia berasal dari tanah, bersifat tanah. Ayub
mulai memikirkan bahwa perkaranya tidaklah menimpa diri-
nya sendiri, dan sebab nya dia harus menyesuaikan diri de-
ngan nasib kebanyakan orang. Kita memahami melalui banyak
contoh,
(1) Betapa sia-sia untuk berharap banyak dari kesenangan
hidup: “Kauhancurkan harapan manusia,” yaitu, “mengakhiri
semua rencana yang telah disusunnya dan segala harapan
akan kepuasan yang diimpikannya akan datang melalui
semua rencananya itu.” Kematian akan menjadi kehancur-
an dari semua harapan tersebut, yang dibangun di atas
keyakinan duniawi dan semata demi kesenangan duniawi.
Pengharapan dalam Kristus, dan pengharapan akan sorga,
akan ditelan oleh kematian, namun tidak dihancurkannya.
(2) Betapa sia-sia untuk bergumul melawan serangan kemati-
an (ay. 20): Engkau menggagahi dia untuk selama-lamanya.
Perhatikanlah, manusia bukanlah tandingan bagi Allah.
Siapa yang Allah tantang, Dia pasti kalahkan, Dia akan
gagahi, yaitu kalahkan untuk selamanya sehingga mereka
tidak pernah sanggup untuk menegakkan kepala lagi. Per-
hatikanlah lebih lanjut, hantaman kematian tidaklah dapat
dilawan. Sia-sia untuk menantang panggilannya. Allah
pasti menang melawan manusia, dan manusia pun mati,
namun lihatlah, Allah tidak. Pandanglah manusia yang
sedang sekarat dan lihatlah,
[1] Bagaimana rupanya berubah: Engkau mengubah wajah-
nya, dan hal ini dalam dua cara:
Pertama, dengan penyakit di tubuhnya. saat ma-
nusia selama beberapa hari sakit, betapa besar peru-
bahan pada wajahnya! Betapa lebih lagi saat dia bebe-
rapa menit berada di ambang kematian! Wajah yang
dahulu anggun dan hebat sekarang menjadi buruk dan
hina. Yang dahulu cantik dan mengagumkan sekarang
menjadi menakutkan dan mengerikan. Kuburlah jena-
zahku jauh dari hadapanku (Kej. 23:8, KJV). Di manakah
keindahan yang mengagumkan itu? Kematian meng-
ubah rupa, lalu menyingkirkan kita dari dunia ini,
memberi kita hanya satu kali kesempatan keluar dari
sana, dan tidak dapat kembali lagi.
Kedua, dengan kegelisahan pikirannya. Perhatikanlah,
mendekatnya kematian akan membuat yang terkuat dan
tergagah berubah wajahnya. Kematian akan membuat
wajah penuh senyum dan teramat renyah menjadi tam-
pak murung dan dingin. Wajah yang paling berani tam-
pak pucat dan ketakutan.
[2] Betapa sedikit perhatian manusia akan urusan keluar-
ganya, yang pernah sangat dekat di hatinya. saat dia
berada dalam tangan pembawa pesan kematian, misal-
nya dihantam dengan kelumpuhan atau serangan strok,
atau terganggu pikiran sebab demam, atau bergumul
dengan kematian, coba beri tahu dia kabar yang paling
menyenangkan, atau paling menyedihkan, tentang
anak-anaknya, maka semuanya sama saja, dia tidak
dapat mengetahuinya atau memahaminya (ay. 21). Ia
akan pergi ke dunia di mana dia akan menjadi seorang
yang sangat asing terhadap segala sesuatu yang selama
di sini memenuhi dan memengaruhinya. Pertimbangan
ini seharusnya mendorong kepedulian kita terhadap
anak dan keluarga kita. Allah tahu apa yang akan ter-
jadi pada mereka saat kita pergi. Kepada Dia sebab -
nya mari kita percayakan mereka, bersama Dia mari
kita tinggalkan mereka, dan jangan membebani diri
sendiri dengan kekhawatiran yang tidak semestinya dan
tidak berguna tentang mereka.
[3] Betapa menakutkan kesengsaraan menjelang kematian
(ay. 22): tubuhnya, yaitu tubuh yang enggan diserah-
kannya: membuat dirinya menderita. Dan jiwanya,
yaitu, roh yang enggan ia serahkan, berduka cita. Per-
hatikanlah, menderita sekarat yaitu kerja keras. Rasa
sakit menjelang kematian umumnya sangat perih. Kare-
na itu, bodohlah manusia kalau menunda pertobatan
mereka sampai menderita sekarat di ranjang tidur, dan
memaksakan diri untuk melakukan satu hal yang perlu
pada waktu mereka tidak berdaya melakukan apa pun.
Namun, sungguh berhikmat bila kita mau berdamai
dengan Allah di dalam Kristus dan menjaga hati nurani
yang baik, untuk menimbun harta penghiburan yang
akan mendukung dan melegakan kita melawan kepe-
dihan dan dukacita waktu menjelang ajal.
PASAL 1 5
ungkin Ayub begitu jelas, dan begitu puas, dengan kebenaran
pemikirannya, sehingga dia berpikir, jika tidak menginsafkan,
paling tidak telah membungkamkan ketiga sahabatnya itu. Namun
sepertinya tidak demikian: dalam pasal ini mereka mulai melancar-
kan serangan kedua terhadap Ayub, masing-masing menuduhnya
dengan hal baru dengan menggebu-gebu seperti sebelumnya. Wajar
bagi kita untuk suka dengan perasaan sendiri, dan sebab itu men-
jadi teguh dengannya, sehingga sulit untuk dibuat mundur darinya.
Elifas di sini tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang dipakainya
untuk mengecam Ayub sebelumnya, dan,
I. Elifas menegur Ayub sebab membenarkan diri, dan menu-
duhkan kepadanya banyak hal jahat yang secara tidak adil
disimpulkan sendiri (ay. 2-1