Minggu, 05 Januari 2025

ayub 12


 sebagai musuh (23:8-10). 

Kita harus percaya bahwa segala sesuatu akan mendatangkan 

kebaikan bagi kita meskipun segala sesuatu terlihat menen-

tang kita (Yer. 24:5). Kita harus terus maju dan bertekun 

dalam menjalani kewajiban kita, meskipun untuk itu kita ha-

rus kehilangan segala sesuatu yang sangat berharga bagi kita 

di dunia ini, bahkan nyawa sekalipun (Ibr. 11:35). Kita harus 

bergantung pada penggenapan janji itu saat  semua jalan 

menuju ke sana tertutup (Rm. 4:18). Kita harus bersukacita di 

dalam Allah saat  tidak terdapat suatu pun yang dapat mem-

buat kita bersukacita. Kita harus melekat kepada-Nya, bahkan 

saat kita sekarang ini tidak dapat menemukan penghiburan di 

dalam diri-Nya. Saat mendekati ajal, kita harus mengambil 

penghiburan hidup dari-Nya, dan ini yaitu  percaya kepada-

Nya meskipun Ia hendak membunuh kita. 

V. Ayub hendak mengajukan perkaranya, bahkan dengan Allah sen-

diri, asal saja ia diizinkan membahas pendahuluan perjanjian itu 

(ay. 20-22). Ia ingin (ay. 3) membela perkaranya di hadapan Allah, 

dan masih tetap berpikir demikian. Ia tidak akan bersembunyi. 

Artinya, ia tidak akan menolak pencobaan itu atau takut kepada 

masalah itu, namun di bawah dua persyaratan: 

1. Supaya tubuhnya tidak tersiksa dengan rasa sakit luar biasa 

ini: “Jauhkanlah kiranya tangan-Mu dari padaku, sebab de-

ngan kesakitan luar biasa ini, aku tidak mampu melakukan 

apa pun. Aku masih bisa bergeser saat berbincang dengan 

para sahabatku, namun aku tidak tahu bagaimana harus ber-

sikap untuk berbincang dengan-Mu.” saat  hendak bercakap-

cakap dengan Allah, kita perlu tenangkan diri dahulu dan 

sedapat mungkin bebas dari segala sesuatu yang bisa mem-

buat kita merasa tidak nyaman. 

2. Supaya pikirannya tidak gentar sebab  kedahsyatan keagung-

an Allah: “Kegentaran terhadap Engkau janganlah menimpa 

aku. Biarlah perwujudan hadirat-Mu terlihat akrab bagiku, 

atau biarlah aku dimampukan melihatnya tanpa merasa kacau 

dan gelisah.” Musa sendiri gemetar di hadapan Allah, begitu 

juga Yesaya dan Habakuk. Allah yaitu  dahsyat dari dalam 

tempat kudus-Nya. “Tuhan,” kata Ayub, “janganlah rohku di-

buat ketakutan teramat sangat bersamaan dengan penderita-

an jasmani ini. sebab  bila demikian halnya, aku pasti ter-

paksa menyerah pada perkara ini, dan tidak bisa berbuat apa-

apa lagi.” Lihatlah betapa bodoh manusia menunda pertobatan 

dan perubahan hatinya di pembaringan saat  ia sakit dan 

mendekati ajal. Bagaimana mungkin orang baik, apalagi orang 

jahat, masih juga berbantah dengan Allah supaya dibenarkan 

di hadapan-Nya, padahal ia sedang didera rasa sakit dan 

ketakutan di bawah ancaman kematian? Di saat-saat penderi-

taan dan jelang kematian, sungguhlah berat untuk melakukan 

pekerjaan besar itu, yaitu pertobatan. Namun Ayub masih 

mau melakukannya dengan senang hati, asal saja ia diberi 

sedikit waktu untuk mengambil napas, dan ia siap, 

(1) Mendengar Allah berbicara kepadanya melalui firman-Nya, 

dan membalasnya: Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan 

menjawab. Atau, 

(2) Berbicara kepada-Nya melalui doa, dan menantikan jawab-

an: Biarlah aku berbicara, dan Engkau menjawab (ay. 22). 

Bandingkanlah ayat ini dengan pasal 9:34-35, saat  Ayub 

berbicara dengan pokok yang sama. Singkat kata, buruk-

nya perkara Ayub saat itu membuatnya begitu berputus 

asa hingga ia tidak mampu mengatasinya. Jika tidak, ia 

sungguh yakin perihal kebaikan tujuan perkaranya, dan 

tidak bimbang bahwa akhirnya ia akan memperoleh peng-

hiburan, saat  awan gelap yang menudunginya itu berlalu. 

Orang yang tulus boleh datang dengan keberanian kudus 

ke takhta kasih karunia, dan tidak bimbang akan menda-

patkan kasih setia di sana.  

Pembelaan Ayub di Hadapan Allah 

(13:23-28) 

23 Berapa besar kesalahan dan dosaku? Beritahukanlah kepadaku pelang-

garan dan dosaku itu. 24 Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu, dan 

menganggap aku sebagai musuh-Mu? 25 Apakah Engkau hendak menggen-

tarkan daun yang ditiupkan angin, dan mengejar jerami yang kering? 26 Se-

bab Engkau menulis hal-hal yang pahit terhadap aku dan menghukum aku 

sebab  kesalahan pada masa mudaku; 27 kakiku Kaumasukkan ke dalam 

pasung, segala tindak tandukku Kauawasi, dan rintangan Kaupasang di 

depan tapak kakiku? 28 Dan semuanya itu terhadap orang yang sudah rapuh 

seperti kayu lapuk, seperti kain yang dimakan gegat!” 

Di dalam perikop ini, 

I. Ayub menanyakan perihal dosa-dosanya, dan memohon agar se-

muanya disingkapkan kepadanya. Ia memandang Allah dan me-

nanyakan jumlah dosanya kepada-Nya (Berapa besar kesalahan 

dan dosaku?) dan apa saja dosa-dosa itu: Beritahukanlah kepada-

ku pelanggaran dan dosaku itu (ay. 23). Sahabat-sahabatnya siap 

memberitahukan kepadanya seberapa banyak dan keji dosa-dosa-

nya (22:5). “namun  TUHAN,” katanya, “izinkan aku mengetahuinya 

dari-Mu, sebab hukuman Allah berlangsung secara jujur, sedangkan 

hukuman mereka tidak demikian halnya.” Hal ini bisa dianggap, 

1. Sebagai keluhan yang penuh kejengkelan dan keras, bahwa ia 

dihukum akibat kesalahannya, namun tidak diberi tahu apa 

sebenarnya kesalahan itu. Atau, 

2. Sebagai pembelaan diri yang bijaksana kepada Allah akibat 

kecaman sahabat-sahabatnya. Ayub ingin agar semua dosanya 

dijelaskan. Ia tahu bahwa jumlahnya tidak akan begitu banyak, 

atau berat, seperti yang dicurigai sahabat-sahabatnya. Atau, 

 

3. Sebagai permohonan saleh, dengan pokok sama seperti yang 

ditujukan Elihu kepadanya (34:32). Apa yang tidak kumeng-

erti, ajarkanlah kepadaku. Perhatikanlah, orang yang benar-

benar menyesali dosanya, bersedia mengetahui hal terburuk 

tentang dirinya sendiri. Kita semua harus ingin mengetahui 

apa saja pelanggaran kita, supaya kita dapat mengakuinya 

dengan terperinci dan waspada di kemudian hari. 

II. Dengan pahit ia mengeluhkan undurnya Allah darinya (ay. 24): 

Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu? Hal ini pasti di-

maksudkan tentang sesuatu yang lebih dari sekadar penderitaan 

jasmaninya. Kehilangan harta, anak-anak, dan kesehatan dapat 

dikaitkan dengan kasih Allah. Andai kata hanya itulah semuanya, 

Ayub dapat memuji nama TUHAN. Namun lebih dari itu, jiwanya 

seperti mau mati rasanya, dan itulah yang diratapinya di sini. 

1. Bahwa perkenanan Yang Mahakuasa ditangguhkan. Allah me-

nyembunyikan wajah-Nya seolah-olah Ia tidak mengenal Ayub, 

tidak menyukainya, dan enggan serta tidak memperhatikannya. 

2. Bahwa kedahsyatan Yang Mahakuasa ditimpakan dan dihu-

jamkan ke atas dirinya. Allah menganggap dia sebagai musuh, 

menembakkan anak panah kepadanya (6:4), dan menjadikan 

dia sebagai sasaran (7:20). Perhatikanlah, Roh Kudus adakala-

nya meniadakan perkenanan-Nya dan menyatakan kedahsyat-

an-Nya kepada orang-orang kudus serta para pelayan-Nya 

yang terbaik dan paling dikasihi-Nya di dunia ini. Hal ini 

terjadi tidak saja dalam pengadaannya, namun  adakalanya juga 

dalam perkembangan kehidupan ilahi juga. Bukti-bukti ten-

tang sorga menjadi pudar, penyampaian yang nyata disela, ke-

takutan terhadap murka ilahi dihujamkan, dan kembalinya 

penghiburan untuk sementara waktu tidak dapat diharapkan 

(Mzm. 77: 8-10; 88:8, 16-17). Beginilah beban menyengsara-

kan yang dipikul jiwa yang pengasih dan menilai kasih setia 

Allah lebih besar daripada hidup (Ams. 18:14), siapa akan me-

mulihkan semangat yang patah? saat  bertanya, Mengapa 

Engkau menyembunyikan wajah-Mu? Ayub mengajar kita bah-

wa kapan pun kita seakan-akan merasa Allah menjauhi kita, 

kita perlu menanyakan alasannya, apa gerangan dosa yang 

membuat Dia memperbaiki kita, dan apa gerangan kebaikan 

yang direncanakan-Nya bagi kita. Penderitaan Ayub melam-

bangkan penderitaan Kristus, dari siapa bukan hanya manu-

sia memalingkan wajah mereka (Yes. 53:3), melainkan Allah 

sendiri menyembunyikan wajah-Nya juga. Lihatlah kegelapan 

yang mengelilingi-Nya di salib saat Ia berseru, Allah-Ku, Allah-

Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Apabila pohon-pohon 

hijau saja sudah tertimpa dengan dahsyatnya, apa jadinya 

pula dengan pohon-pohon kering? Mereka akan ditinggalkan 

selamanya. 

III. Dengan rendah hati Ayub memohon kepada Allah berkenaan de-

ngan ketidakmampuannya berdiri di hadapan-Nya (ay. 25): “Apa-

kah Engkau hendak menggentarkan daun yang ditiupkan angin, 

dan mengejar jerami yang kering? TUHAN, apakah demi kehormat-

an-Mu Engkau menginjak-injak orang yang sudah terpuruk, atau 

menghancurkan orang yang tidak berdaya, yang tidak sanggup 

melawan-Mu?” Perhatikanlah, kita harus memahami kebaikan 

serta rasa belas kasih Allah supaya dapat percaya bahwa buluh 

yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya (Mat. 12:20). 

IV. Dengan sedih ia mengeluhkan perlakuan keras Allah terhadap 

dirinya. Ayub mengakui bahwa oleh sebab dosa-dosanyalah Allah 

menentangnya sedemikian rupa. Namun, ia menganggap cara itu 

sungguh berat, sebab , 

1. Dosa-dosanya yang dahulu, yang sudah lama sekali terjadi, se-

karang kembali diingat untuk melawannya, dan ia harus ber-

tanggung jawab atas hal-hal yang lama (ay. 26): Engkau menu-

lis hal-hal yang pahit terhadap aku. Penderitaan merupakan 

hal yang pahit. Menuliskan hal-hal itu memerlukan kehendak 

kuat dan ketetapan hati, dituliskan sebagai jaminan untuk di-

laksanakan. Hal itu juga menunjukkan keberlangsungan pen-

deritaannya, sebab apa yang sudah tertulis akan tetap ada. 

“Dan dalam hal ini Engkau menghukum aku sebab  kesalahan 

pada masa mudaku.” Artinya, “Engkau menghukumku sebab  

kesalahan-kesalahan lama, sehingga dengan demikian meng-

ingatkanku akan semuanya itu, dan mengharuskan aku mem-

perbarui pertobatanku atas semua kesalahan lama itu.” Per-

hatikanlah,  

(1) Adakalanya Allah mencatat hal-hal yang sangat pahit ber-

kenaan dengan orang-orang kudus serta para pelayan-Nya 

yang terbaik dan paling dikasihi, baik dalam hal penderita-

an jasmani maupun kegelisahan batiniah. Baik kesesakan 

jasmani maupun batiniah, supaya Ia dapat membuat mere-

ka merendahkan hati, membuktikan diri, dan pada akhir-

nya mendatangkan kebaikan bagi mereka. 

(2) Bahwa dosa-dosa pada masa muda acap kali merupakan 

kegegabahan usia, baik menyangkut dukacita dalam batin 

(Yer. 31:18-19) maupun penderitaan jasmani (20:11). Wak-

tu tidak dapat memudarkan kesalahan dosa. 

(3) Bahwa saat  Allah menuliskan hal-hal pahit tentang diri 

kita, tujuan-Nya yaitu  untuk membuat kita bertanggung 

jawab atas kelemahan kita, dan mengingatkan kita akan 

dosa-dosa kita, sehingga dengan demikian membuat kita 

menyesalinya serta menjauhkan kita darinya. Inilah buah-

nya kalau ia menjauhkan dosanya. 

2. Kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalannya sekarang ini 

diteliti secermat itu, dan diperhatikan seberat itu (ay. 27): “Kaki-

ku Kaumasukkan ke dalam pasung, tidak saja untuk mem-

buatku menderita dan memperhadapkanku kepada aib. Tidak 

saja mencegahku terlepas dari hantaman murka-Mu, namun  juga 

supaya Engkau dapat mengecam semua gerakanku dan meng-

awasi semua jalanku, untuk memperbaiki setiap langkahku 

yang salah. Bahkan lebih dari itu, hanya sebab  pandangan 

yang keliru atau perkataan yang disalahgunakan pun, rintang-

an Kaupasang di depan tapak kakiku. Engkau mencatat se-

mua kesalahan yang kubuat atau harus kupertanggungjawab-

kan. Begitu aku melakukan langkah yang salah, meski begitu 

kecil, segera saja Engkau mencatat kesalahanku itu, lebih ce-

pat daripada tindakan penyelasanku. Hukuman seperti meng-

ikuti setiap langkah dosa. Kesalahan, baik yang lama maupun 

terbaru, disatukan sebagai alasan bagi bencanaku.” Sekarang, 

(1) Tidaklah benar bahwa oleh sebab itu Allah mencari keun-

tungan dengan menentang Ayub. Ia tidaklah sekeras itu 

hingga menandai setiap kesalahan yang kita perbuat. Se-

andainya memang demikian halnya, tidak akan ada yang 

tersisa pada kita (Mzm. 103:3). Sebaliknya, Ia sama sekali 

tidak seperti itu sehingga Ia tidak memperlakukan kita 

sesuai ganjaran yang patut kita terima. Tidak, Ia tidak ber-

buat demikian untuk dosa-dosa kita yang nyata, yang tiada 

pernah didapati akan salahnya (Yer. 2:34, TL). Inilah kesan 

yang terkandung di dalam kesedihan Ayub. Pikirannya 

yang bijaksana tidak pernah menggambarkan Allah sebagai 

Tuan yang kejam. 

(2) Namun, kita harus sungguh-sungguh melakukan apa yang 

dilakukan Ayub ini pada diri kita sendiri dan langkah-lang-

kah kita, baik untuk mengetahui dosa-dosa pada masa lalu 

maupun untuk mencegah terjadinya dosa-dosa itu pada 

masa mendatang. Sungguh baik bagi kita semua untuk 

merenung bagaimana menempuh jalan yang rata. 

V. Ayub mendapati diri melemah dengan cepat di bawah tekanan 

tangan Allah (ay. 28). Ia seperti orang yang sudah rapuh seperti 

kayu lapuk, yang asas pikirannya mengalami pembusukan seperti 

kain yang dimakan gegat, yang makin lama makin busuk. Atau, Ia 

(Allah), akan seperti ngengat yang memakanku. Bandingkan ayat 

ini dengan Hosea 5:12, Aku ini akan seperti ngengat bagi Efraim 

dan seperti belatung bagi kaum Yehuda. Lihat juga Mazmur 39:12. 

Perhatikanlah, manusia dalam keadaannya yang terbaik sekali-

pun, akan rapuh dengan cepat. Namun, terutama di bawah tegur-

an Allah, ia akan segera lenyap. sebab  terdapat begitu sedikit 

yang sehat di dalam jiwa manusia, maka tidak heran apabila ter-

dapat begitu sedikit yang sehat juga dalam daging (Mzm. 38:4). 

 

 

 

  

PASAL 14  

yub beralih dari berbicara kepada para sahabatnya, mendapati 

tak ada gunanya berdebat dengan mereka, dan di sini dia melan-

jutkan berbicara kepada Allah dan dirinya sendiri. Ia telah meng-

ingatkan para sahabatnya akan kerapuhan dan kefanaan mereka 

(13:12). Di sini dia mengingatkan diri sendiri akan hal-hal tersebut 

dan memohon keringanan dari Allah atas penderitaannya. Kita di sini 

mendapati gambaran,  

I. Tentang kehidupan manusia, yaitu,  

1. Singkat (ay. 1).  

2. Menderita (ay. 1).  

3. Berdosa (ay. 4).  

4. Terbatas (ay. 5, 14).  

II. Tentang kematian manusia, yang memberi akhir bagi kehi-

dupan kita sekarang ini, yang tidak akan pernah kembali lagi 

(ay. 7-12), yang menyembunyikan kita dari bencana kehidup-

an (ay. 13), menghancurkan harapan kehidupan (ay. 18-19), 

menyingkirkan kita dari urusan kehidupan (ay. 20), dan me-

nahan kita dalam kegelapan sehingga kita tidak punya hu-

bungan lagi dengan sanak saudara kita yang masih hidup, 

betapa pun besarnya kita sebelumnya memperhatikan mere-

ka semua (ay. 21-22),  

III. Bagaimana Ayub memanfaatkan semua hal ini.  

1. Ia memohon kepada Allah, yang menurutnya terlalu keras 

dan kejam dengannya (ay. 16-17), memohon bahwa, meng-

ingat betapa rapuhnya ia, kiranya Allah tidak bertengkar 

dengannya (ay. 3), melainkan memberikannya sedikit ke-

legaan (ay. 6).  

2. Ia menyiapkan diri bagi kematian (ay. 14), dan mendorong 

dirinya untuk berharap bahwa kematian akan menda-

tangkan penghiburan baginya (ay. 15). Pasal ini tepat bagi 

upacara penguburan. Dan perenungan yang sungguh-

sungguh akan pasal ini akan membantu kita merasa ter-

hibur saat kematian orang lain dan bersiap bagi kematian 

kita sendiri. 

Singkat dan Rapuhnya Hidup Manusia 

(14:1-6) 

1 “Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegeli-

sahan. 2 Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia 

hilang lenyap dan tidak dapat bertahan. 3 Masakan Engkau menujukan pan-

dangan-Mu kepada orang seperti itu, dan menghadapkan kepada-Mu untuk 

diadili? 4 Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorang pun 

tidak! 5 Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu 

pada-Mu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak dapat di-

langkahinya, 6 hendaklah Kaualihkan pandangan-Mu dari padanya, agar ia 

beristirahat, sehingga ia seperti orang upahan dapat menikmati harinya. 

Kita di sini dituntun untuk berpikir, 

I. Tentang asal-usul hidup manusia. Allah sungguh yaitu  sumber 

asalnya yang agung, sebab Ia menghembuskan nafas hidup ke 

dalam hidungnya dan di dalam Dia kita hidup. Namun kita meng-

hitung keberadaannya dari waktu kelahiran kita dan dari situ 

kemudian harus menghitung kerapuhan dan kecemarannya.  

1. Kerapuhannya: Manusia yang lahir dari perempuan, singkat 

umurnya (ay. 1). Ini mungkin merujuk kepada perempuan per-

tama, yang disebut Hawa,  sebab dialah ibu dari semua yang 

hidup. Dari Hawa, yang ditipu oleh sang penggoda dan yang 

pertama kali melakukan pelanggaran, kita semua dilahirkan 

dan akibatnya mewarisi darinya dosa dan kerusakan yang 

memperpendek hari-hari kita dan mendukakannya. Atau hal 

itu dapat merujuk kepada setiap ibu kandung dari semua 

orang. Perempuan yaitu  bejana yang lebih lemah dan kita 

tahu bahwa partus sequitur ventrem – anak menyerupai ibunya. 

sebab  itu seorang laki-laki yang kuat hendaknya jangan ber-

megah dalam kekuatannya atau dalam kekuatan ayahnya, 

namun  harus ingat bahwa dia dilahirkan dari seorang perem-

puan, sehingga, saat  Allah berkenan, kegagahberanian me-

reka ... lenyap, ... menjadi seperti perempuan (Yer. 51:30).  

2. Kecemarannya (ay. 4): Siapa dapat mendatangkan yang tahir 

dari yang najis? Jikalau seorang laki-laki dilahirkan dari se-

orang perempuan yang yaitu  seorang berdosa, bagaimana 

mungkin dia dapat menjadi kebalikan daripada selain dia 

harus juga menjadi seorang yang berdosa? (25:4). Bagaimana 

orang yang dilahirkan perempuan itu bersih? Anak-anak yang 

bersih tidak mungkin berasal dari orangtua yang tidak bersih, 

seperti halnya aliran sungai yang jernih tidak akan mengalir 

dari sumber yang kotor, atau anggur berasal dari onak duri. 

Kerusakan kita yang mengakar berikut dengan kodratnya ber-

asal dari orangtua kita, dan sebab nya bertumbuh di dalam 

tulang-tulang kita. Darah kita tidak hanya diperoleh dengan 

suatu penghakiman bersalah, namun  juga dinodai dengan se-

buah penyakit keturunan. Tuhan Yesus kita, dengan dijadikan 

berdosa sebab  kita, dikatakan yang lahir dari seorang perem-

puan (Gal. 4:4). 

II. Tentang kodrat hidup manusia: ia seperti bunga, seperti bayang-

bayang (ay. 2). Bunga menjadi layu dan semua keindahannya 

segera pudar dan lenyap. Bayangan segera berlalu dan keberada-

annya segera lenyap dan tenggelam dalam bayangan malam. 

Keduanya tidak dapat kita andalkan atau menaruh keyakinan 

kita kepadanya. 

III. Tentang singkat dan tak menentunya hidup manusia: Manusia itu 

singkat umurnya. Kehidupan di sini dihitung, bukan dengan 

bulan atau tahun, melainkan dengan hari, sebab kita tidak dapat 

pasti tentang hari apa pun, sebab  mungkin hari itu yaitu  hari 

terakhir kita. Hari-hari kita sedikit, lebih sedikit dari yang kita pi-

kirkan, sangat sedikit, dibandingkan dengan hari-hari dari bapak-

bapak leluhur kita yang mula-mula, jauh lebih sedikit lagi diban-

dingkan dengan hari-hari di dalam kekekalan, namun  sangat lebih 

sedikit lagi dari yang paling panjang harinya dari orang yang hari-

nya masih lebih singkat dari apa yang kita sebut umur manusia. 

Manusia kadang-kadang tidak lebih cepat keluar dari saat saat  

ia ditebang. Tidak lebih cepat keluar dari rahim daripada saat dia 

mati dalam masa bayinya. Begitu keluar ke dunia dan masuk ke 

dalam urusannya, belum apa-apa lagi ia sudah bergegas pergi 

begitu dia meletakkan tangannya ke bajak. Jika tidak diputus 

dengan segera, dia berlalu seperti bayang-bayang, dan tidak per-

nah tinggal menetap, dalam satu bentuk, melainkan selalu berlalu 

rupanya. Demikian pula dunia ini dan kehidupan di dalamnya 

(1Kor. 7:31). 

IV. Tentang nasib celaka hidup manusia. Manusia, sama seperti sing-

kat hidupnya, demikian pula sedih hidupnya. Kendati dia hanya 

memiliki sedikit hari saja untuk dihabiskan di sini, namun jika 

dia dapat bergembira dalam beberapa hari tersebut, hal itu baik. 

Hidup yang singkat dan bergembira yaitu  dambaan sebagian 

orang. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Selama beberapa 

hari hidupnya itu penuh dengan masalah, tidak hanya masalah, 

namun  penuh dengan masalah, entah bekerja keras atau resah, 

bersedih atau takut. Tidak ada hari berlalu tanpa gangguan, ter-

gesa-gesa, gangguan ini gangguan itu. Orang-orang yang menyu-

kai dunia akan merasa jemu dengannya. Ia satur tremore – penuh 

dengan keributan. Singkatnya hari-harinya menciptakan suatu 

masalah yang terus-menerus dan ketidaktenangan dalam meng-

harapkan akhirnya. Ditambah lagi, ia selalu terkatung-katung 

dalam keraguan akan hidupnya. Namun, sebab  hari-hari manu-

sia penuh dengan masalah, untungnya jumlahnya sedikit, sehing-

ga pemenjaraan jiwa di dalam tubuh, dan masa pembuangan dari 

TUHAN, tidaklah kekal dan lama. saat  kita sampai di sorga, 

hari-hari kita akan banyak, dan sama sekali bebas dari masalah. 

namun , untuk sementara ini iman, pengharapan dan kasih me-

nyeimbangkan segala kesedihan sekarang ini.  

V. Tentang keberdosaan hidup manusia, yang timbul dari keberdosa-

an kodrat manusia. Demikianlah beberapa orang memahami per-

tanyaan tersebut (ay. 4), Siapa dapat mendatangkan yang tahir 

dari yang najis? Tingkah laku yang bersih dari dasar hati yang 

tidak bersih? Perhatikanlah, semua pelanggaran yang terjadi ada-

lah hasil alamiah dari kerusakan yang sudah mendarah daging, 

yang sebab nya disebut dosa asal, sebab  itulah yang merupakan 

asal dari semua dosa kita. Ayub yang kudus ini di sini meratap, 

sebagaimana yang dilakukan oleh semua orang yang dikuduskan, 

berlari kepada sumber mata air (Mzm. 51:7). Dan beberapa penaf-

sir berpikir bahwa dia memaksudkan ayat tadi sebagai sebuah per-

mohonan kepada Allah meminta belas kasihan: “TUHAN, janganlah 

keras menandai dosa-dosaku sebab  kerapuhan dan kelemahanku 

sebagai manusia, sebab Engkau tahu kelemahanku. Ingatlah bahwa 

aku ini daging!” Terjemahan bahasa Aram lebih terperinci: Siapakah 

yang dapat membuat manusia bersih, yang telah dicemari oleh 

dosa? Kecuali satu, yaitu Allah. Atau Siapakah selain Allah, yang 

yaitu  satu-satunya, yang akan menyayangkan dia? Allah, oleh 

anugerah-Nya yang Mahakuasa, dapat mengubah kulit yang 

hitam, kulit Ayub, meskipun terbungkus dengan cacing-cacing.  

VI. Tentang masa hidup manusia yang sudah ditetapkan (ay. 5). 

1. Tiga hal kita diyakinkan di sini:  

(1) Bahwa hidup kita akan sampai kepada suatu akhir. Hari-

hari kita di atas bumi tidaklah tanpa batas dan tanpa 

akhir, tidak, semuanya terhitung dan akan segera berakhir 

(Dan. 5:26).  

(2) Bahwa hidup kita telah ditentukan, berdasarkan pertim-

bangan dan ketetapan Allah, berapa lama kita akan hidup 

dan kapan kita akan mati. Jumlah bulan-bulan kita ada 

bersama Allah, dalam genggaman kuasa-Nya, yang tidak 

dapat dikendalikan, dan di bawah kemahatahuan-Nya, 

yang tidak dapat ditipu. Sudah pasti bahwa penyelenggara-

an Allah mengatur masa hidup kita. Waktu kita ada di 

dalam tangan-Nya. Kekuasaan alam bergantung kepada-

Nya dan bertindak di bawah perintah-Nya. Di dalam Dia 

kita hidup dan bergerak. Penyakit yaitu  hamba-Nya. Ia 

yang mematikan dan menjadikan hidup. Tidak ada yang 

berlalu secara kebetulan, tidak, termasuk kematian yang 

terjadi akibat panah busur yang dilesatkan dengan sem-

barangan. Oleh sebab nya, pastilah bahwa pengetahuan 

Allah yang Maha mendahului telah menentukannya se-

belumnya. Sebab telah diketahui Allah sejak semula segala 

pekerjaan-Nya. Apa saja yang dilakukan-Nya telah ditentu-

kan-Nya, namun dengan memperhatikan sebagian dari per-

jalanan alam yang telah ditetapkan (tujuan dan sarananya 

telah ditentukan bersama) dan hukum peraturan moral 

yang telah ditetapkan, untuk menghukum yang jahat dan 

memberi pahala kepada kebaikan dalam kehidupan ini. 

Kita tidak diatur oleh nasib buta dari filsafat Stoa maupun 

keberuntungan nasib buta kaum Epikurus.  

(3) Bahwa batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah tidak 

dapat kita lewati. Sebab, semua putusan pertimbangan-

Nya tidak dapat diubah, nubuatan-Nya tidak dapat salah.  

2. Pertimbangan-pertimbangan yang dengan sangat dipakai Ayub  

sebagai alasan,  

(1) Mengapa Allah seharusnya jangan berlaku begitu ketat 

dalam menandai kelalaian dan kegagalannya (ay. 3): “Oleh 

sebab  aku memiliki kodrat yang telah rusak di dalam diri, 

dan cenderung didatangi begitu banyak masalah, yang 

mencobaiku terus-menerus dari luar diriku. Jadi, apakah 

engkau tega membuka mata dan memelototkan mata-Mu 

kepada orang yang seperti ini, mau menandai kesalahanku 

dengan teramat sangat? (13:27). Dan masakan Engkau 

mau membawa aku, cacing tidak berharga seperti aku ini, 

ke dalam sidang pengadilan-Mu, dengan sedemikian cepat 

menyelidiki dan menemukan kegagalan yang paling kecil, 

sedemikian suci membencinya, sedemikian adil mengutuk-

nya, dan sedemikian hebat menghukumnya?” Dengan me-

renungkan betapa kita ini tidak sanggup untuk berdebat 

dengan Allah, begitu berdosa dan lemah, maka seharusnya 

ini mendorong kita untuk berdoa, Janganlah beperkara 

dengan hamba-Mu ini, sebab di antara yang hidup tidak 

seorang pun yang benar di hadapan-Mu.  

(2) Mengapa Ia jangan begitu keras dalam berurusan dengan-

nya: “TUHAN, Aku hanya memiliki sedikit waktu untuk 

hidup. Aku pasti dan segera pergi, sedangkan hari yang se-

dikit yang kupunyai di sini, yang terbaik sekalipun, hanya-

lah penuh dengan masalah. Oh kiranya aku mendapatkan 

sedikit kelegaan! (ay. 6). Berbaliklah dari menimpakan cela-

ka kepada seorang makhluk yang malang ini, dan biarkan 

dia beristirahat sebentar. Biarkanlah dia mendapat sedikit 

waktu bernapas, sehingga ia seperti orang upahan dapat 

menikmati harinya. Telah ditetapkan bagiku untuk mati 

suatu saat. Berikan kiranya satu hari keluputan bagiku, 

dan janganlah aku terus-menerus sekarat, mengalami seri-

bu kali jelang kematian. Kiranya cukuplah hidupku ini, pa-

ling tidak, seperti hari orang upahan, suatu hari kerja ke-

ras. Aku puas untuk menyelesaikannya dan akan menjadi-

kan yang terbaik dari segala kesukaran hidup manusia, 

beban dan teriknya hari. Namun janganlah aku merasakan 

siksaan yang tidak biasa tersebut, janganlah hidupku men-

jadi seperti hari seorang penjahat, hari hukuman mati.” 

Demikianlah, biarlah kita mendapatkan sedikit kelegaan di 

bawah masalah yang besar dengan menyerahkan diri ke-

pada belas kasihan Allah yang mengetahui keadaan kita 

dan akan mempertimbangkannya, untuk melepaskan kita 

dari keadaan tersebut.  

Kematian Dinantikan 

(14:7-15) 

7 sebab  bagi pohon masih ada harapan: apabila ditebang, ia bertunas kem-

bali, dan tunasnya tidak berhenti tumbuh. 8 Apabila akarnya menjadi tua di 

dalam tanah, dan tunggulnya mati di dalam debu, 9 maka bersemilah ia, 

setelah diciumnya air, dan dikeluarkannyalah ranting seperti semai. 10 namun  

bila manusia mati, maka tidak berdayalah ia, bila orang binasa, di manakah 

ia? 11 Seperti air menguap dari dalam tasik, dan sungai surut dan menjadi 

kering, 12 demikian juga manusia berbaring dan tidak bangkit lagi, sampai 

langit hilang lenyap, mereka tidak terjaga, dan tidak bangun dari tidurnya.  

13 Ah, kiranya Engkau menyembunyikan aku di dalam dunia orang mati, me-

lindungi aku, sampai murka-Mu surut; dan menetapkan waktu bagiku, ke-

mudian mengingat aku pula! 14 Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? 

Maka aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba 

giliranku; 15 maka Engkau akan memanggil, dan aku pun akan menyahut; 

Engkau akan rindu kepada buatan tangan-Mu. 

Kita telah melihat apa yang harus dikatakan Ayub tentang kehidup-

an. Sekarang mari kita lihat apa yang harus dikatakannya tentang 

kematian, yang sangat dikenal oleh pikirannya, saat  sekarang dia 

sakit dan menderita. Memang bukan waktu yang baik untuk berpikir 

tentang kematian saat  kita masih sehat. namun  tidak dapat dimaaf-

kan jika kita acuh tak acuh saat  kita telah dibawa masuk ke dalam 

tahanan maut, dan memandangnya sebagai sesuatu yang ada di 

kejauhan. Ayub telah menunjukkan bahwa kematian akan datang 

dan jamnya telah ditetapkan. Sekarang di sini dia menunjukkan, 

I. Bahwa kematian yaitu  suatu perpindahan untuk selamanya dari 

dunia ini. Hal ini telah dibicarakannya sebelumnya (7:9-10), dan 

sekarang dia menyinggungnya lagi. Sebab, kendati hal itu yaitu  

suatu kebenaran yang tidak perlu dibuktikan, namun tetap perlu 

dipertimbangkan, agar sungguh-sungguh dimanfaatkan. 

1. Seorang manusia yang telah diputuskan oleh kematian tidak 

akan hidup kembali, tidak seperti sebuah pohon yang dite-

bang. Pengharapan apakah yang dimiliki oleh sebuah pohon 

ditunjukkan oleh Ayub dengan elok (ay. 7-9). Apabila batang 

pohon ditebang, dan hanya batang utama atau tunggul yang 

tertinggal di dalam tanah, kendati tampaknya mati dan kering, 

pohon itu akan mengeluarkan dahan muda lagi, seolah-olah 

baru saja ditanam. Kelembaban bumi dan hujan dari langit, 

sepertinya, mengeluarkan bau wangi dan dirasakan oleh tung-

gul suatu pohon, dan berpengaruh untuk menghidupkannya 

lagi. Namun tubuh jenazah seorang manusia tidak akan dapat 

merasakannya atau pun dipengaruhi olehnya. Dalam mimpi 

Nebukadnezar, kehilangan akal sehatnya dilambangkan oleh 

ditebangnya sebuah pohon, dan kembalinya akal sehatnya 

dilambangkan oleh tetap tinggalnya tunggul di dalam tanah 

dalam keadaan terikat dengan rantai besi dan tembaga yang 

dibasahi dengan embun dari langit (Dan. 4:15). Namun ma-

nusia tidaklah memiliki harapan yang demikian untuk kembali 

hidup. Hidup tanaman sangatlah murah dan mudah: aroma 

air akan memulihkannya. Hidup binatang, seperti beberapa 

serangga dan unggas, juga demikian: panas matahari menyela-

matkannya. namun  jiwa yang berakal budi, sekali berhenti, 

terlalu agung, terlalu luhur, untuk dihidupkan kembali oleh 

kuasa alam apa pun. Hal itu di luar jangkauan matahari atau 

hujan dan tidak dapat dipulihkan kecuali oleh pekerjaan lang-

sung dari Yang Mahakuasa sendiri. Sebab (ay. 10), bila manu-

sia mati, maka tidak berdayalah ia, bila orang binasa, di mana-

kah ia? Dua kata dipakai  di sini untuk manusia: Geber, 

manusia perkasa, kendati kuat, tetap mati. Adam, manusia fana 

(tanah), dan sebab  fana, berasal dari tanah, akan lenyap. Per-

hatikanlah, Manusia yaitu  makhluk ciptaan yang sedang me-

nuju kematian. Ia di sini digambarkan oleh apa yang terjadi,  

(1) Sebelum kematian: ia tidak berdaya. Ia terus-menerus me-

lemah, menuju kematian setiap hari, menghabiskan sisa 

kekuatan hidup dengan cepat. Penyakit dan usia lanjut 

yaitu  hal-hal yang menggerogoti daging, kekuatan, kein-

dahan.  

(2) Dalam kematian: ia binasa. Jiwa meninggalkan tubuh dan 

kembali kepada Allah yang mengaruniakannya, Bapa yang 

empunya roh.  

(3) Sesudah kematian: Di manakah ia? Ia tidak berada di tem-

pat sebelumnya. Tempatnya tidak mengenalnya lagi. Na-

mun apakah dia tidak berada di suatu tempat? Demikian 

dibaca oleh beberapa orang. Ya, dia ada di suatu tempat. 

Dan merupakan pertimbangan yang mengerikan untuk me-

mikirkan keberadaan orang-orang yang telah meninggal 

dan ke mana akan berada saat  tidak berdaya. Jiwa telah 

pergi ke dalam dunia roh, pergi ke dalam kekekalan, pergi 

untuk tidak kembali lagi ke dalam dunia ini.  

2. Seseorang yang terbaring di dalam kubur tidak akan bangkit 

kembali (ay. 11-12). Setiap malam kita berbaring untuk tidur, 

dan di pagi hari kita bangun dan bangkit kembali. namun  pada 

saat kematian kita harus berbaring di dalam kubur, tidak un-

tuk bangun atau bangkit kembali ke dunia, kepada keadaan, 

yang seperti sekarang ini, tidak pernah bangun atau bangkit 

selama langit, ukuran waktu yang setia, belum lenyap, dan 

akibatnya waktu itu sendiri akan sampai kepada suatu akhir 

dan ditelan dalam kekekalan. Dengan demikian hidup manu-

sia dapat dengan tepat dibandingkan dengan air dari suatu 

banjir bandang, yang mengalir jauh dan membuat suatu per-

tunjukan yang besar, namun  dangkal, dan saat  terputus dari 

laut atau sungai, yang luapannya yang menyebabkan banjir 

bandang itu, maka air itu pun segera surut dan kering, dan 

tempatnya tidak mengenalnya lagi. Air kehidupan segera ber-

embus keluar dan lenyap. Tubuh, seperti air tersebut, teng-

gelam dan terserap ke dalam tanah, dan dikubur di sana. Se-

dangkan jiwa ditarik ke atas, bersatu dengan segala air yang 

ada di cakrawala. Cendekiawan Tuan Richard Blackmore mem-

buat kiasan yang terbalik. Jikalau air surut dan menjadi kering 

di musim panas, namun akan kembali lagi di musim dingin. 

namun  tidaklah demikian dengan kehidupan manusia. Coba 

lihat pengungkapan beliau dalam kata-kata berikut: 

Sungai yang mengalir, atau danau yang penuh, 

Tepiannya mengering dan pantainya gersang.  

Airnya menguap dan bergerak ke atas,  

Bergulung-gulung ke dalam di awan di atas.  

namun  air yang mengalir itu akan mendapat kembali  

Yang hilang di musim panas yang lalu:  

Namun, jika, O manusia! air hidupmu mengering 

Segala salurannya dan hati yang menipu, 

Tidak akan dialiri lagi oleh aliran segar,  

Tidak merasakan kembali pasang kehidupannya. 

II. Bahwa hidup manusia akan kembali lagi di dunia lain, pada akhir 

zaman, saat  langit hilang lenyap. Dan mereka akan terjaga dan 

bangun dari tidurnya. Kebangkitan orang mati tak diragukan lagi 

yaitu  suatu bagian dari keyakinan Ayub, seperti tampak jelas 

dalam pasal 19:26, dan terhadap hal itu, tampaknya, dia meng-

amati di sini, di mana, dalam keyakinan akan hal itu, kita mene-

mukan tiga hal: 

1. Suatu permohonan yang rendah hati akan sebuah tempat 

persembunyian di dalam kubur (ay. 13). Bukan hanya sebab  

merasa lelah dengan kehidupan ini sehingga dia berharap 

mati, namun  juga sebab  keyakinannya akan kehidupan yang 

lebih baik, yang pada akhirnya akan dicapainya saat  bang-

kit. Ah, kiranya Engkau menyembunyikan aku di dalam dunia 

orang mati! Kuburan tidak hanya sebuah tempat istirahat, 

namun  juga tempat persembunyian, bagi umat Allah. Allah me-

miliki kunci dunia orang mati, untuk memberi izin masuk se-

karang dan keluar pada hari kebangkitan. Ia menyembunyikan 

manusia di dalam kubur, seperti kita menyembunyikan harta 

kita di dalam suatu tempat yang rahasia dan aman. Dan dia 

yang bersembunyi akan menerima dan tidak ada yang hilang. 

“O kiranya Engkau mau menyembunyikan aku, tidak hanya 

dari badai dan masalah kehidupan ini, namun  juga demi keba-

hagiaan dan kemuliaan dari suatu kehidupan yang lebih baik. 

Biarkan aku berbaring di dalam kubur, disimpan bagi kekekal-

an, tersembunyi dari dunia, namun  tidak dari Engkau, tidak 

dari mata-Mu yang melihat hakikat diriku saat  pertama kali 

dirajut di bagian-bagian bumi yang paling bawah” (Mzm. 139:15-

16). Biarkanlah aku berbaring di sana, 

(1)  Sampai murka-Mu menjadi surut. Sepanjang tubuh orang-

orang kudus berbaring di dalam kubur, selama itu juga 

masih tertinggal sisa-sisa murka yang kodratnya sebagai 

manusia, selama itulah mereka berada di bawah akibat 

dosa. Namun, saat  tubuh dibangkitkan, maka semuanya 

lenyap seluruhnya. Saat itulah kematian, musuh yang ter-

akhir itu, akan dihancurkan sepenuhnya. 

(2) Sampai menetapkan waktu tiba bagiku untuk diingat, se-

perti Nuh diingat di dalam bahtera (Kej. 8:1), di mana Allah 

tidak hanya menyembunyikannya dari kebinasaan dunia 

lama, namun  juga menjaga dia bagi perbaikan suatu dunia 

yang baru. Tubuh orang-orang kudus tidak akan dilupakan 

di dalam kubur. Ada suatu waktu yang ditetapkan, ditentu-

kan, bagi keberadaan mereka sesudahnya. Kita tidak dapat 

pasti bahwa kita akan melihat melalui kegelapan masalah 

kita di masa sekarang dan melihat hari-hari yang baik 

sesudahnya di dalam dunia ini. namun , jika kita sanggup 

berlaku benar sampai masuk kubur, maka kita dapat 

dengan mata iman melihat melalui kegelapannya, seperti 

Ayub di sini, dan melihat hari-hari yang lebih baik di sisi 

lain, di suatu dunia yang lebih baik.  

2. Suatu ketetapan hati yang kudus dengan sabar menyambut 

kehendak Allah baik dalam kematian maupun kebangkitannya 

(ay. 14): Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? Maka 

aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sam-

pai tiba giliranku. Para sahabat Ayub terbukti sebagai para 

penghibur yang menyedihkan, maka dia lebih memilih diri 

sendiri sebagai penghibur bagi dirinya sendiri. Kasusnya kini 

buruk, namun  dia menghibur diri dengan pengharapan akan 

suatu perubahan. Saya kira ia tidak bermaksud untuk kem-

bali kepada kehidupan makmur di dalam dunia ini. Para saha-

batnya memang membuaikan dirinya dengan mengharapkan 

hal yang demikian, namun  dia sendiri merasa putus asa akan 

hal itu. Penghiburan yang didasarkan pada ketidakpastian 

pastilah menjadi penghiburan yang tak menentu. sebab  itu, 

tak diragukan, ada sesuatu yang lebih pasti yang menopang-

nya dalam pengharapannya. Perubahan yang dinantikannya 

harus dipahami entah,  

(1) Tentang perubahan akan kebangkitan, saat  tubuh yang 

hina ini akan diubahkan (Flp. 3:21), dan akan suatu per-

ubahan yang besar dan mulia. Dan barulah pertanyaan ini, 

kalau manusia mati, dapatkah ia hidup kembali? harus 

dipahami dengan kekaguman. “Aneh! Tulang-tulang kering 

itu hidup kembali! Jika demikian, selama jiwa dan tubuh ter-

pisah, selama itu pula jiwaku akan menunggu sampai per-

ubahan tersebut tiba, saat  jiwa akan dipersatukan kem-

bali dengan tubuh, dan tubuhku akan diam dengan tente-

ram” (Mzm. 16:9). Atau,  

(2) Tentang perubahan pada saat kematian. “Kalau manusia 

mati, dapatkah ia hidup kembali? Tidak, tidak kepada ke-

hidupan seperti sekarang ini. sebab  itu aku dengan sabar 

akan menanti sampai perubahan tersebut tiba, yang akan 

mengakhiri penderitaanku. Aku sabar berharap untuk itu, 

seperti yang telah kulakukan.” Amatilah di sini, 

[1] Bahwa bukan merupakan sesuatu yang sepele untuk 

mati. Kematian akan bekerja dengan sendirinya. Itu 

yaitu  suatu perubahan. Ada suatu perubahan yang 

kelihatan di dalam tubuh, tampaknya berubah, segala 

tindakannya telah berakhir, namun  suatu perubahan 

yang lebih besar dengan jiwa, yang keluar dari tubuh, 

dan berpindah ke dunia roh, menyelesaikan masa per-

cobaannya dan masuk kepada masa pemberian upah. 

Perubahan ini akan tiba dan akan menjadi suatu per-

ubahan yang terakhir, tidak seperti perubahan unsur-

unsur, yang kembali kepada keadaannya yang semula. 

Tidak, kita pasti mati, dan tidak untuk hidup lagi. 

Hanya sekali saja mati, maka perlu dilakukan dengan 

baik sebab  hanya terjadi sekali saja. Suatu kesalahan 

saja akan mematikan, selesai di situ, dan tidak dapat 

diperbaiki lagi.  

[2] Oleh sebab  itu merupakan kewajiban dari setiap kita 

untuk menantikan perubahan tersebut dan untuk terus 

menunggu hari-hari dari waktu kita yang telah ditentu-

kan. Waktu kehidupan yaitu  suatu waktu yang telah 

ditetapkan. Waktu itu dihitung dengan hari. Dan hari-

hari itu harus dihabiskan dalam menantikan perubah-

an kita. Yaitu,  

Pertama, kita harus berharap bahwa waktu itu akan 

tiba, dan harus banyak memikirkannya.  

Kedua, kita harus merindukan waktu itu akan tiba, 

sebagai orang yang rindu untuk bersama dengan Kristus.  

Ketiga, kita harus bersedia untuk menunggu hingga 

hari itu tiba, sebagaimana orang yang mempercayai 

waktu Allah sebagai yang terbaik.   

Keempat, kita harus tekun untuk bersiap mengha-

dapi hari tersebut tiba, sehingga hari itu akan menjadi 

suatu perubahan yang terberkati bagi kita. 

3. Suatu pengharapan penuh sukacita akan kebahagiaan dan ke-

puasan di dalam hal ini (ay. 15): Maka Engkau akan memang-

gil, dan aku pun akan menyahut. Sekarang, dia ada di bawah 

suatu awan yang begitu rupa sehingga tidak dapat menjawab 

(9:15, 35; 13:22). namun  dia menghibur diri dengan hal ini, 

bahwa akan tiba suatu waktu saat  Allah akan memanggil 

dan dia harus menyahut. Yaitu,  

(1) Pada saat kebangkitan, “Engkau akan memanggilku keluar 

dari kubur, melalui suara penghulu malaikat, dan aku akan 

menjawab dan datang pada saat panggilan tersebut.” Tubuh 

yaitu  pekerjaan tangan Allah, dan Ia akan merindukannya, 

untuk mempersiapkan suatu kemuliaan baginya. Atau,  

(2) Pada saat kematian: “Engkau akan memanggil tubuhku ke 

kubur, dan jiwaku kembali kepada-Mu, dan aku akan men-

jawab, Siap, TUHAN, siap, Datanglah, datanglah. Ini aku.” 

Jiwa-jiwa yang diberkati dapat menjawab panggilan kema-

tian dengan sukacita, dan tampil menyambut perintahnya. 

Roh mereka tidak dituntut secara paksa dari mereka (se-

perti dalam Luk. 12:20), melainkan dengan sukarela dise-

rahkan oleh mereka, dan kemah lahiriah tidak dengan ke-

kerasan ditarik, melainkan dengan sukarela diletakkan, 

dengan keyakinan ini, “Engkau akan rindu kepada buatan 

tangan-Mu. Engkau menyediakan rahmat bagiku, tidak ha-

nya seperti yang Engkau sediakan melalui penyelengga-

raan-Mu, melainkan juga yang dibuat baru oleh anugerah-

Mu.” Jika tidak, Ia yang telah menjadikan mereka tidak 

akan menyelamatkan mereka. Perhatikanlah, anugerah di 

dalam jiwa yaitu  pekerjaan tangan Allah, dan sebab  itu 

Ia tidak akan meninggalkannya di dalam dunia ini (Mzm. 

138:8), melainkan akan merindukannya, untuk menyem-

purnakannya di dunia lain, dan memahkotainya dengan 

kemuliaan yang tak berakhir. 

Keluhan Ayub 

(14:16-22) 

16 Sungguhpun Engkau menghitung langkahku, Engkau tidak akan memper-

hatikan dosaku; 17 pelanggaranku akan dimasukkan di dalam pundi-pundi 

yang dimeteraikan, dan kesalahanku akan Kaututup dengan lepa. 18 namun  

seperti gunung runtuh berantakan, dan gunung batu bergeser dari tempat-

nya, 19 seperti batu-batu dikikis air, dan bumi dihanyutkan tanahnya oleh 

hujan lebat, demikianlah Kauhancurkan harapan manusia. 20 Engkau meng-

gagahi dia untuk selama-lamanya, maka pergilah ia, Engkau mengubah 

wajahnya dan menyuruh dia pergi. 21 Anak-anaknya menjadi mulia, namun  ia 

tidak tahu; atau mereka menjadi hina, namun  ia tidak menyadarinya. 22 Hanya 

tubuhnya membuat dirinya menderita, dan sebab  dirinya sendiri jiwanya 

berduka cita. 

Ayub di sini kembali kepada keluhannya. Dan, kendati dia bukan 

tanpa harapan akan kebahagiaan masa depan, dia mendapati sangat 

sukar untuk melewati penderitaannya sekarang. 

I. Ayub mengeluh tentang semua kesukaran yang sedang dialami-

nya, yang dipahaminya sebagai akibat kerasnya keadilan Allah 

(ay. 16-17). Oleh sebab  itu dia rindu untuk pergi ke dunia di 

mana murka Allah akan berlalu, sebab  sekarang dia terus ber-

ada di bawah tanda-tanda murka-Nya, seperti seorang anak yang 

ada di bawah hukuman tongkat yang keras. “Kapankah perubah-

anku tiba? Sebab sekarang kelihatan bagiku Engkau menghitung 

langkahku, dan memperhatikan dosaku, dan memeteraikannya di 

dalam pundi-pundi,  seperti surat dakwaan yang disimpan dengan 

aman, untuk dikeluarkan melawan si tahanan” (Lih. Ul. 32:34). 

“Engkau mengambil semua keuntungan terhadap aku. Semua 

pelanggaraan lama dihitung kembali, setiap kelemahan disebut-

kan lagi, dan belum apa-apa sebuah langkah yang salah diambil, 

aku sudah dipukuli untuk itu.” Nah,  

1. Ayub bersikap benar terhadap keadilan ilahi dalam mengakui 

bahwa dia merasa marah terhadap semua dosa dan palanggar-

annya, dan pantas mendapatkan semua yang ditimpakan ke 

atasnya. Sebab ada dosa dalam semua langkahnya dan dia 

cukup bersalah atas pelanggaran yang membawa semua ke-

hancuran ini ke atasnya, saat  pelanggarannya diselidiki de-

ngan ketat: dia jauh dari mengatakan bahwa dia binasa kare-

na tidak bersalah. Akan namun ,  

2. Ia bersalah terhadap kebaikan ilahi dalam menganggap bahwa 

Allah berlaku terlalu luar biasa keras dalam menandai kesalah-

annya dan memperlakukan segala pelanggarannya dengan 

sangat buruk. Ia berbicara dengan maksud ini (13:27). Perkata-

annya tidaklah bijak, dan sebab nya kita tidak ingin berlama-

lama membahasnya. Allah memang melihat semua dosa kita. Ia 

melihat dosa di dalam umat-Nya sendiri. namun  Ia tidaklah 

kejam dalam meminta pertanggungjawaban kita, dan hukum-

Nya tidak diajukan untuk melawan kita, sebaliknya kita dihu-

kum lebih ringan daripada yang pantas ditanggung oleh kesa-

lahan kita. Allah memang menyegel dan mengikat, untuk hari 

kemurkaan, pelanggaran dari orang yang tidak bertobat, namun  

dosa umat-Nya dihapuskan-Nya seperti awan terserak lenyap.  

II. Ayub mengeluh tentang kondisi umat manusia yang makin mero-

sot pada umumnya. Kita tinggal di dalam dunia yang sedang se-

karat. Siapa yang tahu kekuatan dari murka Allah, yang olehnya 

kita dibakar dan disusahkan, sehingga semua hari kita berlalu? 

(Lih. Mzm. 90:7-9, 11). Dan siapa yang dapat tahan terhadap har-

dikan-Nya? (Mzm. 39:12). 

1. Kita melihat kemerosotan dari bumi itu sendiri.  

(1) Dari bagiannya yang terkuat (ay. 18). Tidak ada yang dapat 

selalu bertahan, sebab kita melihat bahkan gunung-gu-

nung meleleh dan hancur lebur. Mereka menjadi layu dan 

gugur seperti sehelai daun. Bebatuan menjadi tua dan han-

cur oleh hantaman air laut yang tanpa henti. Air mengikis 

batu-batu dengan tetesan demi tetesan, non vi, sed saepe 

cadendo – bukan dengan kekerasan, melainkan dengan 

terus-menerus jatuh ke atas bebatuan. Di atas bumi ini 

segala sesuatu semakin rusak sebab  penggunaan yang 

terus-menerus. Tempus edax rerum – Waktu menelan segala 

sesuatu. Namun tidaklah demikian dengan tubuh sorgawi.  

(2) Dari hasil alamnya. Segala sesuatu yang tumbuh dari bumi, 

dan tampaknya dengan kuat berakar di dalamnya, kadang-

kadang oleh hujan yang berlebihan dapat tersapu bersih 

(ay. 19). Beberapa penafsir berpikir dia memohon hal ini 

untuk kelegaannya: “TUHAN, kesabaranku tidak selalu da-

pat bertahan. Bahkan batu dan gunung pun akan runtuh 

pada akhirnya. sebab  itu hentikanlah pertengkaran ini.”  

2. Tidak heran jika kita melihat kemerosotan manusia di atas 

bumi ini, sebab  dia berasal dari tanah, bersifat tanah. Ayub 

mulai memikirkan bahwa perkaranya tidaklah menimpa diri-

nya sendiri, dan sebab nya dia harus menyesuaikan diri de-

ngan nasib kebanyakan orang. Kita memahami melalui banyak 

contoh,  

(1) Betapa sia-sia untuk berharap banyak dari kesenangan 

hidup: “Kauhancurkan harapan manusia,” yaitu, “mengakhiri 

semua rencana yang telah disusunnya dan segala harapan 

akan kepuasan yang diimpikannya akan datang melalui 

semua rencananya itu.” Kematian akan menjadi kehancur-

an dari semua harapan tersebut, yang dibangun di atas 

keyakinan duniawi dan semata demi kesenangan duniawi. 

Pengharapan dalam Kristus, dan pengharapan akan sorga, 

akan ditelan oleh kematian, namun  tidak dihancurkannya.  

(2) Betapa sia-sia untuk bergumul melawan serangan kemati-

an (ay. 20): Engkau menggagahi dia untuk selama-lamanya. 

Perhatikanlah, manusia bukanlah tandingan bagi Allah. 

Siapa yang Allah tantang, Dia pasti kalahkan, Dia akan 

gagahi, yaitu kalahkan untuk selamanya sehingga mereka 

tidak pernah sanggup untuk menegakkan kepala lagi. Per-

hatikanlah lebih lanjut, hantaman kematian tidaklah dapat 

dilawan. Sia-sia untuk menantang panggilannya. Allah 

pasti menang melawan manusia, dan manusia pun mati, 

namun lihatlah, Allah tidak. Pandanglah manusia yang 

sedang sekarat dan lihatlah,  

[1] Bagaimana rupanya berubah: Engkau mengubah wajah-

nya, dan hal ini dalam dua cara:  

Pertama, dengan penyakit di tubuhnya. saat  ma-

nusia selama beberapa hari sakit, betapa besar peru-

bahan pada wajahnya! Betapa lebih lagi saat  dia bebe-

rapa menit berada di ambang kematian! Wajah yang 

dahulu anggun dan hebat sekarang menjadi buruk dan 

hina. Yang dahulu cantik dan mengagumkan sekarang 

menjadi menakutkan dan mengerikan. Kuburlah jena-

zahku jauh dari hadapanku (Kej. 23:8, KJV). Di manakah 

keindahan yang mengagumkan itu? Kematian meng-

ubah rupa, lalu menyingkirkan kita dari dunia ini, 

memberi kita hanya satu kali kesempatan keluar dari 

sana, dan tidak dapat kembali lagi.  

Kedua, dengan kegelisahan pikirannya. Perhatikanlah, 

mendekatnya kematian akan membuat yang terkuat dan 

tergagah berubah wajahnya. Kematian akan membuat 

wajah penuh senyum dan teramat renyah menjadi tam-

pak murung dan dingin. Wajah yang paling berani tam-

pak pucat dan ketakutan.  

[2] Betapa sedikit perhatian manusia akan urusan keluar-

ganya, yang pernah sangat dekat di hatinya. saat  dia 

berada dalam tangan pembawa pesan kematian, misal-

nya dihantam dengan kelumpuhan atau serangan strok, 

atau terganggu pikiran sebab  demam, atau bergumul 

dengan kematian, coba beri tahu dia kabar yang paling 

menyenangkan, atau paling menyedihkan, tentang 

anak-anaknya, maka semuanya sama saja, dia tidak 

dapat mengetahuinya atau memahaminya (ay. 21). Ia 

akan pergi ke dunia di mana dia akan menjadi seorang 

yang sangat asing terhadap segala sesuatu yang selama 

di sini memenuhi dan memengaruhinya. Pertimbangan 

ini seharusnya mendorong kepedulian kita terhadap 

anak dan keluarga kita. Allah tahu apa yang akan ter-

jadi pada mereka saat  kita pergi. Kepada Dia sebab -

nya mari kita percayakan mereka, bersama Dia mari 

kita tinggalkan mereka, dan jangan membebani diri 

sendiri dengan kekhawatiran yang tidak semestinya dan 

tidak berguna tentang mereka.  

[3] Betapa menakutkan kesengsaraan menjelang kematian 

(ay. 22): tubuhnya, yaitu tubuh yang enggan diserah-

kannya: membuat dirinya menderita. Dan jiwanya,  

yaitu, roh yang enggan ia serahkan, berduka cita. Per-

hatikanlah, menderita sekarat yaitu  kerja keras. Rasa 

sakit menjelang kematian umumnya sangat perih. Kare-

na itu, bodohlah manusia kalau menunda pertobatan 

mereka sampai menderita sekarat di ranjang tidur, dan 

memaksakan diri untuk melakukan satu hal yang perlu 

pada waktu mereka tidak berdaya melakukan apa pun. 

Namun, sungguh berhikmat bila kita mau berdamai 

dengan Allah di dalam Kristus dan menjaga hati nurani 

yang baik, untuk menimbun harta penghiburan yang 

akan mendukung dan melegakan kita melawan kepe-

dihan dan dukacita waktu menjelang ajal. 

 

  

PASAL 1 5  

ungkin Ayub begitu jelas, dan begitu puas, dengan kebenaran 

pemikirannya, sehingga dia berpikir, jika tidak menginsafkan, 

paling tidak telah membungkamkan ketiga sahabatnya itu. Namun 

sepertinya tidak demikian: dalam pasal ini mereka mulai melancar-

kan serangan kedua terhadap Ayub, masing-masing menuduhnya 

dengan hal baru dengan menggebu-gebu seperti sebelumnya. Wajar 

bagi kita untuk suka dengan perasaan sendiri, dan sebab  itu men-

jadi teguh dengannya, sehingga sulit untuk dibuat mundur darinya. 

Elifas di sini tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang dipakainya 

untuk mengecam Ayub sebelumnya, dan,  

I. Elifas menegur Ayub sebab  membenarkan diri, dan menu-

duhkan kepadanya banyak hal jahat yang secara tidak adil 

disimpulkan sendiri (ay. 2-1