dengan mereka dan yang akan datang setelah mereka, yang
menjadi keturunan mereka. Tampaknya berkat mengikuti
keluarga mereka dan terkadang apa yang didapat melalui
tipuan terpelihara sampai generasi-generasi berikutnya.
(2) Mereka tenteram dan bukan hanya tidak disakiti, namun juga
tidak takut akan siapa pun dan tidak pernah khawatir akan
bahaya, baik dari tindakan penyelenggaran Allah yang
mengancam maupun dari nurani yang tersadarkan. namun
orang yang membangkitkan murka Allah tidak pernah lebih
aman hanya sebab mereka lebih tenteram.
(3) Ke dalam tangan mereka, Allah memberi dengan berlimpah.
Mereka memiliki melebihi yang didambakan hati mereka
(Mzm. 73:7, KJV). Mereka memiliki tidak hanya untuk me-
menuhi kebutuhan, namun juga untuk bersenang-senang.
Tidak hanya untuk diri mereka sendiri, namun juga untuk
orang lain. Tidak hanya untuk sekarang, namun juga untuk
masa depan. Dan ini semua berasal dari tangan Sang Pe-
nyelenggara pula. Allah mencurahkan berkat berlimpah ke
dalam tangan mereka. Oleh sebab itu, kita tidak bisa me-
nilai kesalehan seseorang berdasarkan harta mereka, atau-
pun menilai isi hati mereka berdasarkan isi tangan mereka.
II. Ayub bahkan menyebut makhluk-makhluk yang lebih rendah seba-
gai bukti tentang kemakmuran ini. Binatang dan burung dan pohon
dan bahkan bumi itu sendiri. Tanyalah mereka, maka engkau akan
diberinya keterangan, (ay. 7-8). Banyak pelajaran yang bisa kita
ambil dari mereka, namun apa yang mereka ajarkan kepada kita?
1. Kita bisa belajar dari mereka bahwa amanlah kemah para peru-
sak (begitulah menurut beberapa tafsiran), sebab
(1) Di antara binatang pun yang lebih besar melahap yang le-
bih kecil dan yang lebih kuat memangsa yang lebih lemah,
dan manusia itu seperti ikan di laut (Hab. 1:14). Seandai-
nya dosa tidak masuk ke dalam dunia, kita bisa menduga
tidak akan ada kekacauan seperti ini di antara makhluk
ciptaan, melainkan bahwa serigala akan tinggal bersama
domba.
(2) Makhluk-makhluk ini berguna bagi orang fasik, dan oleh
sebab itu mereka bercerita tentang kemakmuran mereka.
Tanyalah kawanan ternak, milik siapakah mereka, dan me-
reka akan memberi keterangan, bahwa si perampok ini, si
penindas itu, yaitu pemilik mereka. Ikan-ikan dan bu-
rung-burung akan memberi keterangan bahwa mereka di-
hidangkan di meja dan mengenyangkan orang kaya, para
pendosa yang congkak. Bumi menumbuhkan buah-buah-
nya untuk mereka (9:24), dan segala makhluk sama-sama
mengeluh di bawah beban tirani mereka (Rm. 8:20, 22).
Ingat, semua makhluk yang disalahgunakan orang fasik de-
ngan membuat mereka menjadi pengobar dan pengenyang
nafsu mereka, suatu hari akan bersaksi melawan mereka
(Yak. 5:3-4).
2. Kita bisa belajar dari mereka tentang hikmat, kekuatan, dan
kebaikan Allah serta kekuasaan-Nya yang berdaulat penuh. Di
dalam kebenaran kekuasan-Nya yang sudah jelas dan terbukti
ini, semua tata aturan yang sulit ini pasti terselesaikan. Zofar
menyatakan perkara ini sebuah misteri besar (11:7). “Justru
sebaliknya,” kata Ayub, “apa yang ingin kita ketahui, bisa kita
pelajari dari makhluk-makhluk paling rendah sekalipun, kare-
na siapa di antara semuanya itu yang tidak tahu? (ay. 9). Siapa
pun bisa dengan mudah menyimpulkan dari kitab para makh-
luk ini bahwa tangan Allah yang melakukan itu,” yaitu, “bahwa
ada Penyelenggara yang berhikmat yang menuntun dan
mengatur semua hal ini menurut aturan yang tidak kita kenal
maupun yang tidak bisa kita nilai dengan cakap.” Perhatikan-
lah, dari kekuasaan Allah yang berdaulat atas makhluk-makh-
luk yang rendah ini, kita hendaknya belajar untuk menerima
segala putusan-Nya atas perkara anak manusia, meskipun
bertentangan dengan takaran kita.
III. Ia menyerahkan semuanya pada hak milik mutlak Allah atas se-
mua ciptaan (ay. 10): di dalam tangan-Nya terletak nyawa segala
yang hidup. Semua ciptaan, dan terutama umat manusia, mem-
peroleh keberadaannya dari-Nya, berutang pada-Nya atas keber-
adaan mereka, bergantung pada-Nya atas topangan-Nya atas ke-
beradaan mereka. Mereka bergantung pada belas kasih-Nya, ada
di bawah arahan dan kuasa-Nya dan sepenuhnya di bawah peng-
aturan-Nya, dan harus mengakhiri hidupnya saat dipanggil-
Nya. Seluruh jiwa yaitu milik-Nya, jadi bukankah Ia bisa mela-
kukan apa pun yang Ia inginkan dengan milik-Nya sendiri? Nama
Yahwe dipakai di sini dalam teks Ibrani (ay. 9). Inilah satu-
satunya waktu di mana kita menemukan sebutan Nama-Nya ini
dalam seluruh perdebatan antara Ayub dan sahabat-sahabatnya,
sebab Allah di masa itu lebih dikenal dengan nama Shaddai –
Yang Mahakuasa.
IV. Kata-kata itu – (ay. 11), Bukankah telinga menguji kata-kata, se-
perti langit-langit mencecap makanan? bisa diartikan entah seba-
gai kesimpulan dari perdebatan sebelumnya atau pembuka untuk
yang berikutnya. Sewajarnya, pikiran manusia sama mampunya
membedakan antara benar dan salah seperti langit-langit mulut
mampu membedakan antara manis dan pahit. Oleh sebab itu
Ayub menuntut dari sahabat-sahabatnya kebebasan baginya un-
tuk menilai sendiri apa yang mereka katakan, dan ia mengingin-
kan mereka untuk memakai kebebasan yang sama untuk
menilai apa yang ia katakan. Bahkan, tampaknya ia memohon
penilaian netral siapa pun dalam perselisihan ini. Biarlah telinga
menguji kata-kata dari kedua belah pihak, maka akan terbukti
bahwa ialah yang benar. Ingat, telinga harus menguji kata-kata
sebelum menerimanya dan mengikutinya. Sebagaimana dengan
indra pengecap kita menilai makanan apa yang sehat bagi tubuh
dan yang tidak, begitu pula dengan roh yang membedakan baik
dan jahat, kita harus menilai ajaran mana yang lurus dan nikmat
dan sehat dan mana yang tidak, 1 Korintus 10:15, 11:13.
Jawaban Ayub Atas Nasihat Zofar
(12:12-25)
12 Konon hikmat ada pada orang yang tua, dan pengertian pada orang yang
lanjut umurnya. 13 namun pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang
mempunyai pertimbangan dan pengertian. 14 Bila Ia membongkar, tidak ada
yang dapat membangun kembali; bila Ia menangkap seseorang, tidak ada
yang dapat melepaskannya. 15 Bila Ia membendung air, keringlah semuanya;
bila Ia melepaskannya mengalir, maka tanah dilandanya. 16 Pada Dialah
kuasa dan kemenangan, Dialah yang menguasai baik orang yang tersesat
maupun orang yang menyesatkan. 17 Dia yang menggiring menteri dengan
telanjang, dan para hakim dibodohkan-Nya. 18 Dia membuka belenggu yang
dikenakan oleh raja-raja dan mengikat pinggang mereka dengan tali peng-
ikat. 19 Dia yang menggiring dan menggeledah para imam, dan mengguling-
kan yang kokoh. 20 Dia yang membungkamkan orang-orang yang dipercaya,
menjadikan para tua-tua hilang akal. 21 Dia yang mendatangkan penghinaan
kepada para pemuka, dan melepaskan ikat pinggang orang kuat. 22 Dia yang
menyingkapkan rahasia kegelapan, dan mendatangkan kelam pekat pada
terang. 23 Dia yang membuat bangsa-bangsa bertumbuh, lalu membinasa-
kannya, dan memperbanyak bangsa-bangsa, lalu menghalau mereka. 24 Dia
menyebabkan para pemimpin dunia kehilangan akal, dan membuat mereka
tersesat di padang belantara yang tidak ada jalannya. 25 Mereka meraba-raba
dalam kegelapan yang tidak ada terangnya; dan Ia membuat mereka berjalan
terhuyung-huyung seperti orang mabuk.”
Ini merupakan pembicaraan mulia Ayub tentang hikmat, kuasa, dan
kedaulatan Allah dalam mengatur dan menangani semua perkara
anak manusia, sesuai dengan pertimbangan kehendak-Nya sendiri,
yang tidak bisa disangkal atau ditentang oleh siapa pun. Saat Ayub
maupun sahabat-sahabatnya jeda sejenak dari perselisihan di mana
mereka terlibat dengan begitu panas ini, mereka semua berbicara
dengan luhur. Namun, dalam perselisihan mereka, kita terkadang
hampir tidak tahu apa maksud mereka. Alangkah baiknya apabila
orang benar dan berhikmat yang berbeda pendapat dalam hal-hal
kecil, demi kehormatan dan kenyamanan mereka dan demi pendidik-
an orang lain, bisa lebih menaruh perhatian saja kepada hal-hal
besar yang mereka saling sepakat. Dalam perihal berikut Ayub ber-
bicara sesuai sifat sebenarnya. Di sini tidak ada keluhan yang penuh
amarah, tidak ada sindiran yang penuh kejengkelan, namun seluruh-
nya terdengar tegar dan agung.
I. Ia menyatakan hikmat Allah yang tak terselidiki dan kekuatan-
Nya yang tidak bisa ditentang. Di antara manusia diperbolehkan
ada hikmat dan pengertian (ay. 12). namun hikmat dan pengertian
ini hanya ditemukan di antara sedikit orang, yaitu orang yang tua
dan mereka yang diberkati dengan umur lanjut, yang mendapat-
kannya dari pengalaman panjang dan pengalaman yang terus-
menerus. namun , saat mereka mendapatkan hikmat itu, mereka
telah kehilangan kekuatan dan tidak mampu melaksanakan hasil
hikmat mereka. namun pada Allahlah hikmat dan kekuatan, hik-
mat untuk merencanakan yang terbaik dan kekuatan untuk me-
nyelesaikan apa yang direncanakan itu. Ia tidak mendapatkan
pertimbangan atau pengertian dari pengamatan seperti kita, me-
lainkan Ia memiliki pertimbangan dan pengertian yang sejati
dalam diri-Nya secara kekal (ay. 13). Apalah hikmat orang yang
lanjut umurnya dibandingkan dengan hikmat Yang Lanjut Usia-
nya! Hanya sedikit yang kita ketahui dan lebih sedikit lagi yang
bisa kita perbuat, namun Allah sanggup melakukan segala sesuatu
dan tidak ada rencana-Nya yang gagal. Berbahagialah mereka
yang mempunyai Allah ini sebagai Allah mereka, sebab mereka
mempunyai hikmat dan kekuatan kekal yang bekerja bagi mere-
ka. Bodoh dan sia-sialah semua usaha manusia melawan Allah
(ay. 14): Bila Ia membongkar, tidak ada yang dapat membangun
kembali. Ingat, tidak ada yang bisa berbantah dengan penyeleng-
garaan ilahi ataupun membongkar kebesarannya. Seperti yang
Ayub katakan sebelumnya (9:12), Apabila Ia merampas, siapa
akan menghalangi-Nya? begitulah ia katakan sekali lagi. Apa yang
difirmankan Allah tidak bisa disangkal, begitu pula apa yang telah
Ia hancurkan. Tidak ada yang bisa membangun kembali apa yang
hendak dihancurkan Allah. Saksikan menara Babel yang tidak
bisa diteruskan oleh para pembangunnya dan kebinasaan Sodom
dan Gomora yang tidak pernah bisa diperbaiki. Baca Yesaya 25:2,
Yehezkiel 26:14, Wahyu 18:21. Tidak ada yang bisa melepaskan
mereka yang dihukum Allah dalam pemenjaraan kekal. Bila Ia
menangkap seseorang melalui penyakit, membawanya ke dalam
kesesakan, dan mempermalukannya dalam perkaranya, maka
tidak ada yang dapat melepaskannya. Ia mengurungnya dalam
kubur dan tidak ada yang bisa membuka pintu yang disegel itu. Ia
mengurungnya dalam neraka, dalam rantai kegelapan, dan tidak
ada yang bisa melewati jurang besar yang tetap itu.
II. Ia menyebutkan satu contoh sebagai bukti ajaran ini dalam alam
semesta (ay. 15). Allah memerintah atas air, Ia membungkus air
seakan dengan kain (Ams. 30:4), menakarnya dengan lekuk tangan-
nya (Yes. 40:12), dan Ia bisa menghukum anak manusia entah
dengan kekurangan atau kelebihan air. Manusia melanggar hu-
kum kebajikan dengan kedua sisi ekstrim ini, baik dengan ke-
kurangan maupun kelebihan, sedang kebajikan merupakan garis
tengahnya. Begitu pula Allah menghajar mereka dengan keku-
rangan atau kelebihan, dan menolak untuk memberi mereka belas
kasihan, yang menjadi garis tengah.
1. Kekeringan besar terkadang merupakan penghakiman besar:
Bila Ia membendung air, keringlah semuanya. Jika langit ba-
gaikan tembaga, maka bumi bagaikan besi. Jika hujan tidak
diberikan, sumber-sumber air akan mengering dan sungai-su-
ngai tidak ada air, ladang-ladang tandus dan buah-buah me-
reka tidak ada, Amos 4:7.
2. Kebasahan yang besar terkadang merupakan penghakiman be-
sar. Ia meninggikan air sehingga tanah dilandanya, semua
yang dihasilkan oleh tanah itu dan bangunan-bangunan yang
di atasnya. Hujan deras dikatakan tidak memberi makan (Ams.
28:3). Cermati berapa banyak cara Allah untuk beperkara de-
ngan manusia yang berdosa dan mengambil dari mereka karu-
nia yang telah disalahgunakan dan dihilangkan mereka, yaitu
belas kasihan. Betapa tidak berdayanya kita jika beperkara
dengan-Nya. Jika kita bisa memutar urutannya, ayat ini tepat
merujuk kepada air bah Nuh, yang yaitu contoh kuasa ilahi
yang akan dikenang sampai selama-lamanya. Dalam amarah-
nya, Allah saat itu melepaskan air yang menungganglang-
gangkan bumi. Namun dalam belas kasihan-Nya, Ia memben-
dungnya, menutup jendela-jendela langit dan segala sumber
air dari kedalaman yang besar, lalu dalam waktu sebentar, air
pun mengering.
III. Ia memberikan banyak contoh hikmat dan kekuatan Allah dalam
mengatur anak manusia dengan penuh kuasa, menggagalkan
tujuan-tujuan mereka dan memenuhi tujuan-Nya melalui mereka
dan atas mereka, mengungguli semua pertimbangan mereka, me-
nundukkan semua upaya mereka dan mengatasi semua perla-
wanan mereka. Betapa hebat perubahan-perubahan yang Allah
perbuat terhadap manusia! Ia membelokkan jalan-jalan mereka!
Betapa mudahnya, betapa mengejutkannya!
1. Secara umum (ay. 16): Pada Dialah kuasa dan akal budi (be-
gitulah menurut beberapa terjemahan), kuasa dan ketetapan
yang tidak berubah pada diri-Nya. Sungguh anggun kata da-
lam bahasa aslinya. Pada Dialah hakikat dan inti sari hikmat
yang sebenarnya. Pada Dialah kuasa dan semua yang ada, be-
gitu menurut beberapa tafsiran lain. Ia yaitu sebagaimana Ia
adanya dari diri-Nya sendiri, dan oleh-Nya serta di dalam-Nya
semua hal bisa hidup. sebab Ia memliki kekuatan dan hik-
mat ini, Ia mengetahui bagaimana Ia bisa memakai manusia,
bukan hanya yang baik dan berhikmat, yang bersedia dan su-
karela melayani-Nya, namun juga mereka yang bebal dan jahat,
yang dipikir orang tidak mungkin dipakai untuk rancangan
penyelenggaraan-Nya: Dialah yang menguasai baik orang yang
tersesat maupun orang yang menyesatkan. Orang paling dungu
yang tersesat tidaklah luput dari perhatian-Nya. Orang paling
cerdik yang menyesatkan, dengan segala kecerdikannya tidak-
lah lepas dari pengetahuan-Nya. Dunia ini penuh dengan kese-
satan. Separuh umat manusia menipu separuh lainnya, dan
Allah menghendaki mereka menderita demikian, dan dari ke-
duanya suatu saat Ia akan membawa kemuliaan bagi nama-
Nya. Orang yang menyesatkan memperalat orang yang disesat-
kan, namun Allah yang Mahabesar memakai keduanya sebagai
alat-Nya. Ia berkarya melalui mereka dan tidak ada yang bisa
menghalangi-Nya. Ia memiliki hikmat dan kuasa yang cukup
untuk menangani semua orang bebal dan bedebah di dunia,
dan Ia tahu bagaimana memakai mereka untuk melayani
tujuan-Nya, meskipun ada kelemahan pada yang satu dan ke-
fasikan pada yang lainnya. saat Yakub mendapatkan berkat
melalui penipuan, rancangan karunia Allah terpenuhi. saat
Ahab terbujuk melalui nubuatan palsu untuk melakukan se-
buah serangan militer yang mendatangkan kehancurannya,
rancangan keadilan Allah pun terpenuhi. Dalam kedua contoh
ini, baik orang yang tersesat maupun orang yang menyesatkan
ada di bawah kuasa-Nya. Baca Yehezkiel 14:9. Allah tidak
akan tinggal diam dengan dosa orang yang menyesatkan atau-
pun kemalangan orang yang disesatkan, Ia tahu bagamaina
membatasi keduanya dan memuliakan nama-Nya melalui ke-
duanya. Haleluya! Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah
menjadi raja, dan alangkah baiknya bahwa Ia bertakhta, kare-
na jika tidak, hikmat dan kejujuran di dunia ini akan begitu
sedikit dan begitu dangkal sehingga semuanya pasti jatuh da-
lam kekacuan dan kehancuran sejak dulu-dulu.
2. Selanjutnya Ayub menyelami contoh-contoh tertentu dari hik-
mat dan kuasa Allah dalam revolusi negara-negara dan keraja-
an-kerajaan. Dari situlah ia mengambil bukti-buktinya, bukan
dari tindakan Penyelenggaraan Allah yang serupa pada diri
orang per orang dan keluarga-keluarga, sebab semakin tinggi
kedudukan manusia di muka umum, semakin diperhatikan
orang perubahan-perubahan yang menimpa mereka, dan de-
ngan begitu, semakin terang Penyelenggaraan Allah bersinar
atas mereka. Dan mudah untuk berargumentasi bahwa apa-
bila Allah bisa mengangkat dan menggulingkan orang-orang
besar dunia ini, seperti bola dipermainkan (seperti yang dika-
takan sang nabi, Yes. 22:18), maka apalagi orang-orang kecil.
Tentunya merupakan suatu kegilaan besar apabila kita ber-
bantah dengan Dia yang kepada-Nya negara-negara dan kera-
jaan-kerajaan harus tunduk. Menurut beberapa tafsiran, Ayub
di sini merujuk pada pemusnahan bangsa-bangsa yang kuat
itu, orang Refaim, orang Zuzim, orang Emim, dan orang Hori
(disebut di Kej. 14:5-6; Ul. 2:10, 20), yang membuat orang ke-
heranan melihat bagaimana bangsa-bangsa ini dihantam dan
dan dilemahkan. Jika benar demikian maksud Ayub, maka
contohnya ini menunjukkan bahwa setiap kali hal seperti ini
terjadi dalam perkara bangsa-bangsa, maka Allah-lah yang
melakukannya. Di dalam semua ini, kita hendaknya mengakui
kekuasaan-Nya yang berdaulat, bahkan atas mereka yang
menganggap dirinya paling berkuasa, paling cerdik, dan dapat
berbuat apa saja. Bandingkan perkataan Ayub ini dengan punya
Elifas (5:12, dst.). Mari kita kumpulkan perubahan-perubahan
khusus yang dirinci di sini, yang diperbuat Allah terhadap ma-
nusia, entah demi penghancuran suatu bangsa dan penum-
buhan bangsa lain sebagai gantinya, atau demi menyingkirkan
sebuah pemerintahan dan pelayanan dan meninggikan yang
lain sebagai gantinya, yang bisa menjadi berkat bagi kerajaan
tersebut. Kita telah menjadi saksi Revolusi Agung di negeri
sendiri (Inggris) dua puluh tahun yang lalu, di mana kita meli-
hat sebuah peristiwa yang membahagiakan seperti yang dibi-
carakan Ayub di sini.
(1) Orang yang dulunya berhikmat terkadang dipukul secara
aneh, dan di dalam hal ini campur tangan, Allah harus
diakui (ay. 17): Dia yang menggiring menteri dengan telan-
jang bagai piala kemenangan-Nya atas mereka. Mereka
ditelanjangi-Nya, semua kehormatan dan kekayaan yang me-
reka dapatkan dengan kecerdikan mereka mereka dirampas,
bahkan hikmat itu sendiri yang membuat mereka dipuja-
puja. Keberhasilan yang mereka janjikan dalam rancangan-
rancangan mereka juga diambil oleh-Nya. Hikmat-Nyalah
yang tetap, sedangkan semua sarana mereka habis dihan-
curkan dan rencana mereka digagalkan. Dengan begitu me-
reka ditelanjangi baik dari kepuasan atas hikmat mereka
maupun nama baik dari hikmat mereka. Para hakim dibo-
dohkan-Nya. Dengan memengaruhi pikiran mereka, Ia
mencabut kemampuan mereka untuk melakukan pekerja-
an mereka, dan dengan begitu mereka benar-benar menjadi
orang bodoh. Dengan menangani perkara mereka, Ia mem-
buat masalah dan inti rancangan mereka menjadi bertolak
belakang dengan niat mereka sendiri, dan dengan begitu
membuat mereka terlihat seperti orang bodoh. Di dalam
hikmat Ahitofel, firman ini terpenuhi secara luar biasa. Nasi-
hatnya digagalkan dan menjadi sebuah kebodohan, dan ia
sendiri, sesuai dengan arti namanya, menjadi saudara keto-
lolan. Baca Yesaya 19:13, Para pembesar Zoan bertindak
tolol, para pembesar Memfis sudah teperdaya; para pemuka
suku-suku mereka telah memusingkan Mesir. Oleh sebab
itu, janganlah orang berhikmat bermegah dalam hikmat-
nya. Janganlah penasihat dan hakim paling handal mem-
banggakan status mereka, melainkan hendaknya mereka
bergantung pada Allah dengan rendah hati demi kelanjutan
kemampuan mereka. Bahkan orang tua-tua sekalipun,
yang sepertinya mempunyai hikmat yang mantap dan ber-
pikir bahwa mereka mendapatkannya dari perjuangan me-
reka sendiri dan oleh sebab itu mempunyai hak atasnya
tanpa dapat diganggu gugat, hikmat itu tetap bisa dicabut
dari mereka. Sering kali itulah yang terjadi atas mereka
oleh sebab kelemahan usia mereka, yang membuat mere-
ka bagai anak kecil dalam dua hal sekaligus: Ia menjadikan
para tua-tua hilang akal (ay. 20). Para tua-tua, yang paling
diandalkan dalam hal nasihat, mengecewakan orang-orang
yang mengandalkan mereka. Kita membaca tentang se-
orang raja yang tua namun bodoh, Pengkhotbah 4:13.
(2) Orang yang dulunya berkedudukan tinggi dan mempunyai
wewenang digulingkan, dibuat miskin dan diperbudak de-
ngan cara yang mengherankan dan Allah-lah yang meren-
dahkan mereka (ay. 18): Dia membuka belenggu yang di-
kenakan oleh raja-raja. Ia mengambil dari mereka kekuasa-
an yang mereka pakai untuk memerintah rakyat mereka,
yang mungkin mereka perbudak dan perintah dengan ke-
kerasan. Ia menanggalkan semua panji kehormatan dan
wewenang mereka serta semua pendukung yang mereka
pakai untuk menindas. Ia melepas sabuk mereka sehingga
pedang mereka terlepas, dan tidaklah mengherankan kalau
tidak lama kemudian mahkota mereka ikut terlepas dari
kepala mereka. Segera sesudahnya, Ia mengikat pinggang
mereka dengan tali pengikat, sebuah tanda kehambaan,
sebab para hamba berjalan dengan pinggang terikat. De-
ngan begitu Ia juga menggiring dan menggeledah para imam
besar. Ia menggeledah semua kekuasaan dan kekayaan
mereka serta segala apa yang mereka senangi dan bangga-
banggakan (ay. 19). Ingat, para raja tidak luput dari peng-
hakiman Allah. Bagi kita mereka bagai dewa, namun bagi-
Nya mereka manusia dan tunduk pada perubahan-peru-
bahan yang lebih besar daripada yang biasa terjadi dalam
kehidupan manusia.
(3) Orang yang dulunya kuat dengan cara mengherankan dile-
mahkan, dan Allah-lah yang melemahkan mereka (ay. 21)
dan menggulingkan yang kokoh (ay. 19). Tubuh yang kuat
dilemahkan oleh usia dan penyakit. Pasukan yang berkuasa
memudar dan menjadi tidak ada apa-apanya, dan kekuatan
mereka tidak akan menyelamatkan mereka dari kekalahan
yang mematikan. Tidak ada kuasa yang bisa bertahan mela-
wan Sang Mahakuasa, tidak, bahkan Goliat sekalipun.
(4) Orang yang termasyhur oleh sebab kepandaian bicara me-
reka dan dipercaya mengurusi perkara masyarakat, dengan
cara mengherankan dibungkam, sehingga mereka kehilang-
an kata-kata (ay. 20): Dia yang membungkamkan orang-
orang yang dipercaya, sehingga mereka tidak bisa berbicara
seperti yang mereka kehendaki dan seperti yang biasa me-
reka lakukan, dengan kebebasan dan kejelasan, melainkan
dengan kesalahan, goyah dan tidak bisa mengungkapkan
apa-apa. Atau, mereka tidak bisa mengatakan apa yang
mereka maksud, namun justru mengatakan yang sebalik-
nya, seperti Bileam, yang memberkati orang-orang yang ha-
rusnya ia serapahi. Oleh sebab itu, janganlah para pembi-
cara ulung membanggakan kecakapan perkataannya, atau
memakai nya untuk tujuan yang jahat, supaya jangan
sampai kefasihan mereka diambil oleh Allah yang mencip-
takan mulut manusia.
(5) Orang-orang yang dihormati dan dikagumi dengan cara
mengherankan jatuh dalam kenistaan (ay. 21): Dia yang
mendatangkan penghinaan kepada para pemuka. Ia mem-
biarkan mereka melakukan hal-hal yang rendah sendiri
atau mengubah pendapat orang lain tentang mereka. Jika
para pemuka itu sendiri tidak menghormati Allah dan me-
remehkan-Nya, jika mereka melemparkan penghinaan ke-
pada umat Allah dan menginjak-injak mereka, maka mereka
tidak akan dihargai dan Allah akan menumpahkan peng-
hinaan atas mereka. Baca Mazmur 107:40. Biasanya tidak
ada orang yang merasa lebih terhina atau lebih dilecehkan
oleh orang lain saat mereka sedang terpuruk dibandingkan
mereka yang dulu tinggi hati dan biadab saat mereka me-
megang kuasa dan sekarang terpuruk.
(6) Apa yang dulunya dirahasiakan dan disembunyikan de-
ngan cara mengherankan dibuat terang dan dibuka lebar
(ay. 22): Dia yang menyingkapkan rahasia kegelapan. Per-
sekongkolan yang dirancang dengan sembunyi-sembunyi
diungkap dan dikalahkan. Kejahatan yang dilakukan de-
ngan sembunyi-sembunyi dan ditutupi dengan cerdik diung-
kap dan pihak yang bersalah diajukan untuk menerima hu-
kuman yang sepadan. Pengkhianatan rahasia (Pkh. 10:20),
pembunuhan rahasia, persundalan rahasia. Mahkamah para
pemuka ada di depan mata Allah, 2 Raja-raja 6:11.
(7) Kerajaan-kerajaan mempunyai masa pasang dan surut,
membesar dan mengecil, dan keduanya berasal dari Allah
(ay. 23): Ia terkadang membuat mereka bertumbuh dan mem-
perluas batas negara mereka, sehingga mereka menjadi so-
sok mengesankan di antara bangsa-bangsa dan menjadi me-
nakutkan. namun , setelah beberapa saat, mungkin melalui
sebab yang tidak dapat dijelaskan, mereka dihancurkan
dan dikekang, dibuat kecil dan miskin, dibinasakan dan
banyak yang dihabiskan, sehingga menjadi hina di antara
tetangganya. Yang dulunya kepala sekarang menjadi ekor
bangsa-bangsa. Baca Mazmur 107:38-39.
(8) Orang-orang yang dulunya berani dan bernyali dan tidak
takut bahaya, dengan cara mengherankan dibuat takut dan
tawar hati, dan ini pula merupakan karya Tuhan (ay. 24):
Dia menyebabkan para pemimpin dunia kehilangan akal,
yang merupakan pemimpin dan komandan dan yang paling
termasyhur oleh sebab ketangkasan militer dan pencapai-
an besar mereka. saat ada sesuatu yang harus dilaku-
kan, mereka kehilangan nyali dan siap melarikan diri meli-
hat daun bergetar. Mazmur 76:6.
(9) Orang-orang yang melaju pada tujuan mereka dengan ke-
cepatan penuh dengan cara mengherankan dibuat bingung
dan kehilangan arah. Mereka tidak tahu di mana mereka
berada maupun apa yang mereka lakukan. Mereka goyah
dalam rencana mereka dan ragu-ragu dalam langkah mere-
ka, maju mundur, lewat sini, lewat sana, berkeliaran seperti
orang di padang belantara (ay. 24), meraba-raba seperti
orang dalam kegelapan, dan terhuyung-huyung seperti orang
mabuk (ay. 25). Yesaya 59:10. Ingat, Allah bisa segera men-
cengangkan politisi terhandal sekalipun dan membuat akal
paling cerdik menjadi kehilangan akal, untuk menunjuk-
kan bahwa dalam hal apa saja mereka membanggakan diri,
Ia lebih tinggi daripada mereka.
Demikianlah penggulingan kerajaan-kerajaan diadakan
dengan luar biasa oleh sebuah Penyelenggaraan ilahi yang
memerintah atas semua. Langit dan bumi bergoncang, te-
tapi Tuhan bertakhta sebagai Raja selamanya dan dengan-
Nya kita menantikan kerajaan yang tidak tergoncangkan.
PASAL 1 3
alam pasal ini Ayub menerapkan apa yang telah dikatakannya
dalam pasal sebelum ini. Sekarang kita mendapati suasana
hatinya tidak sebaik sebelum ini, sebab,
I. Ayub berlaku sangat berani terhadap sahabat-sahabatnya. Ia
membandingkan dirinya dengan mereka, tanpa memedulikan
aib yang dideritanya (ay. 1-2). Ia menyalahkan mereka sebab
kepalsuan mereka, kelancangan mereka dalam menghakimi-
nya, sikap memihak mereka, dan ketidakjujuran mereka de-
ngan dalih membela perkara Allah (ay. 4-8). Ayub juga meng-
ancam mereka dengan hukuman Allah atas perbuatan mere-
ka itu (ay. 9-12). Ia ingin agar mereka berdiam diri (ay. 5, 13,
17), lalu ia mengalihkan perhatiannya dari mereka kepada
Allah (ay. 3).
II. Ia menjadi berani terhadap Allahnya.
1. Dalam beberapa ungkapan perasaannya, imannya sangat
berani, namun mungkin lebih tepatnya perasaan lega (ay.
15-16, 18). Akan namun ,
2. Dalam beberapa ungkapan lain, amarahnya agak terlam-
pau berani dalam bertengkar dengan Allah berkenaan de-
ngan keadaan menyedihkan yang dialaminya (ay. 14, 19,
dst.). Ia mengeluhkan kebingungan yang sedang dialami-
nya (ay. 20-22), dan kehabisan akalnya untuk mengetahui
dosa apa yang telah membangkitkan amarah Allah sedemi-
kian rupa sehingga Ia menderanya seperti itu. Ia tidak tahu
mengapa Allah berlaku keras terhadap dirinya (ay. 23-28).
Pembelaan Ayub
(13:1-12)
1 “Sesungguhnya, semuanya itu telah dilihat mataku, didengar dan dipahami
telingaku.2 Apa yang kamu tahu, aku juga tahu, aku tidak kalah dengan
kamu. 3 namun aku, aku hendak berbicara dengan Yang Mahakuasa, aku
ingin membela perkaraku di hadapan Allah. 4 Sebaliknya kamulah orang
yang menutupi dusta, tabib palsulah kamu sekalian. 5 Sekiranya kamu me-
nutup mulut, itu akan dianggap kebijaksanaan dari padamu. 6 Dengarkanlah
pembelaanku, dan perhatikanlah bantahan bibirku.7 Sudikah kamu berbo-
hong untuk Allah, sudikah kamu mengucapkan dusta untuk Dia? 8 Apakah
kamu mau memihak Allah, berbantah untuk membela Dia? 9 Apakah baik,
kalau Ia memeriksa kamu? Dapatkah kamu menipu Dia seperti menipu ma-
nusia? 10 Kamu akan dihukum-Nya dengan keras, jikalau kamu diam-diam
memihak. 11 Apakah kebesaran-Nya tidak akan mengejutkan kamu dan keta-
kutan kepada-Nya menimpa kamu? 12 Dalil-dalilmu yaitu amsal debu, dan
perisaimu perisai tanah liat.
Di dalam perikop ini Ayub mengutarakan kekesalannya terhadap si-
kap tidak ramah sahabat-sahabatnya.
I. Ayub mengemukakan kepada mereka bahwa ia memahami masa-
lah yang diperdebatkan itu sebaik mereka, jadi tidak perlu diajari
oleh mereka (ay. 1-2). Mereka membuat Ayub terpaksa, seperti
orang Korintus memaksa Paulus, harus percaya kepada diri sen-
diri dan yakin pada pengetahuan sendiri, namun bukan dengan
cara memuji diri, namun untuk membela dan membenarkan diri.
Segala sesuatu yang telah ia ucapkan sebelumnya, telah dilihat-
nya sendiri dan diteguhkan melalui banyak kejadian. Telinganya
telah mendengar hal-hal yang didukung banyak ahli, dan ia me-
mahaminya dengan baik serta tahu benar cara memakai nya.
Berbahagialah orang yang tidak sekadar melihat dan mendengar,
namun memahami kebesaran, keagungan, kemuliaan, dan kedau-
latan Allah. Menurutnya, hal ini akan membenarkan apa yang te-
lah diucapkannya (12:3), yang kemudian diulanginya di sini (ay. 2):
“Apa yang kamu tahu, aku juga tahu, jadi aku tidak perlu datang
kepadamu untuk diajari. Aku tidak kalah dengan kamu dalam hal
hikmat.” Perhatikanlah, orang-orang yang terlibat percekcokan
akan tergoda untuk meninggikan diri serta menjelek-jelekkan sau-
dara mereka lebih dari selayaknya. Oleh sebab itu mereka harus
berjaga-jaga dan berdoa melawan kesombongan.
II. Ayub berpaling dari mereka kepada Allah (ay. 3): namun aku, aku
hendak berbicara dengan Yang Mahakuasa. Seolah-olah ia hendak
berkata, “Aku tidak akan puas berbicara dengan kalian. Oh, se-
andainya saja aku memiliki kebebasan untuk membela perkaraku
di hadapan Allah! Ia tidak akan bersikap keras terhadapku seperti
sikap kalian terhadapku.” Raja sendiri mungkin akan mendengar-
kan seorang pemohon yang malang dengan sikap yang lebih lem-
but, sabar, dan merendah daripada para pelayannya. Ayub lebih
suka berdebat dengan Allah sendiri daripada dengan sahabat-
sahabatnya. Lihatlah di sini,
1. Betapa besar keyakinan orang-orang terhadap Allah, apabila
hati mereka tidak menuduh mereka berbuat fasik. Dengan ke-
beranian yang disertai kerendahan hati, mereka dapat tampil
dihadapan-Nya dan mengajukan perkara mereka kepada-Nya.
2. Betapa besar penghiburan yang didapatkan orang-orang di
dalam Allah, saat sesama mereka menyalahkan dengan tidak
adil. Apabila mereka tidak dapat berbicara dan berharap dide-
ngarkan dengan adil, mereka masih bisa berbicara kepada
Yang Mahakuasa. Mereka mendapat jalan untuk menghampiri-
Nya dengan mudah dan akan diterima oleh-Nya.
III. Ayub menyalahkan sahabat-sahabatnya sebab sikap mereka yang
tidak adil dan tidak mengenal belas kasihan terhadap dirinya (ay.
4).
1. Mereka melontarkan tuduhan palsu kepadanya, dan itu ada-
lah perbuatan yang tidak adil: kamulah orang yang menutupi
dusta. Mereka menyusun anggapan dasar yang keliru perihal
Penyelenggaraan ilahi dan salah dalam menggambarkannya,
seakan-akan penderitaan itu tidak pernah menimpa siapa pun
selain orang-orang jahat di dunia ini. Kemudian mereka mena-
rik kesimpulan palsu menyangkut Ayub, yaitu bahwa ia se-
orang fasik. Terhadap kesalahan besar ini, baik dari segi peng-
ajaran maupun penerapannya, menurutnya mereka telah mem-
fitnah dia. Mengucapkan dusta sudah merupakan sesuatu
yang cukup buruk, meskipun sekadar dusta sepele. Namun,
memfitnah dengan berencana dan sengaja jauh lebih buruk
lagi. Terhadap kesalahan ini, keadaan tidak bersalah maupun
unggul tidak akan dapat menjadi pagar yang melindungi orang
darinya.
2. Mereka menipunya dengan keji, dan ini merupakan perbuatan
yang tidak baik. Mereka berusaha menyembuhkannya dan
berpura-pura bertindak sebagai tabibnya. Namun kenyataan-
nya mereka semua hanyalah tabib palsu, “Tabib berhala yang
tidak lebih berguna bagiku daripada berhala itu sendiri.”
Mereka yaitu tabib-tabib tidak berharga, yang tidak mema-
hami perkaranya maupun tidak tahu cara mengobatinya. Me-
reka sekadar mengandalkan pengalaman pribadi dan pura-
pura mengetahui hal-hal besar, namun dalam perbincangan,
mereka ternyata tidak menambahkan kegunaan apa pun
kepada Ayub. Ia tidak menjadi lebih bijak setelah mendengar
segala sesuatu yang mereka katakan. Demikianlah, dalam
pandangan hati yang remuk dan nurani yang terluka, semua
makhluk tanpa Kristus bagaikan tabib yang tidak berharga.
Orang bisa habiskan waktu dengan tabib demikian, namun
tidak pernah sembuh-sembuh, malahan menjadi lebih parah
lagi (Mrk. 5:26).
IV. Ayub memohon agar sahabat-sahabatnya diam dan mendengar-
kannya dengan sabar (ay. 5-6).
1. Menurutnya, akan merupakan kehormatan bagi mereka apa-
bila mereka tidak berkata apa-apa lagi, sebab mereka sudah
berbicara begitu banyak: “Sekiranya kamu menutup mulut, itu
akan dianggap kebijaksanaan dari padamu, sebab dengan
demikian kamu akan dapat menyembunyikan ketidaktahuan
dan kedengkianmu, yang sekarang timbul dalam segala sesua-
tu yang kamu katakan.” Mereka lalu mengajukan alasan bah-
wa mereka tidak dapat menahan diri untuk berbicara (4:2;
11:2-3). Namun, Ayub mengatakan kepada mereka bahwa
mereka akan menyelamatkan nama baik mereka sendiri jika
mereka mau berdiam diri. Lebih baik tidak berkata apa pun
daripada mengatakan sesuatu yang tidak ada gunanya atau
yang cenderung tidak memuliakan Allah dan membuat sesama
kita bersedih. Juga orang bodoh akan disangka bijak kalau ia
berdiam diri, sebab tidak ada yang terlihat sebaliknya (Ams.
17:28). Sama seperti berdiam diri merupakan bukti adanya
hikmat, begitu pula diam merupakan cara menjadi berhikmat,
sebab memberikan waktu untuk berpikir dan mendengar.
2. Ayub berpendapat akan adil baginya apabila mereka mau
mendengarkan apa yang hendak dikatakannya: Dengarkanlah
pembelaanku. Boleh jadi, meskipun mereka tidak menyela
pembicaraannya, mereka tampak tidak peduli, dan tidak me-
nyimak apa yang diucapkan Ayub. Oleh sebab itu ia meminta
agar mereka tidak saja mendengar, namun menyimak juga. Per-
hatikanlah, bila sebab suatu alasan, kita cenderung berpikir
buruk tentang seseorang, maka sebaiknya kita membuka hati
mendengarkan apa yang hendak ia sampaikan tentang dirinya.
Banyak orang, jika didengarkan dengan baik, akan merasa
lega, terbebas dari tuduhan, bahkan terhadap hati nurani
orang-orang yang mempergunjingkannya.
V. Ayub berusaha keras meyakinkan mereka akan kesalahan yang
mereka perbuat terhadap kehormatan Allah, saat mereka ber-
pura-pura membela perkara-Nya (ay. 7-8). Mereka memandang
diri hebat telah berbicara mewakili Allah, menjadi pembela bagi-
Nya, dan telah berusaha membenarkan Dia dan tindakan-Nya
terhadap Ayub. Dan sebab mereka, seperti yang mereka sangka,
telah menyampaikan nasihat Yang Mahakuasa, mereka berharap
agar tidak saja didengarkan dan punya hak atas kata akhir, namun
juga bahwa keputusan ada di pihak mereka. Namun, Ayub me-
ngatakan kepada mereka dengan terus terang,
1. Bahwa Allah dan perkara-Nya tidak membutuhkan pembela
semacam mereka: “Apakah menurut sangkamu kamu hendak
berbantah untuk membela Allah, seakan-akan keadilan-Nya
kabur dan perlu dibersihkan? Atau seolah-olah Ia kehilangan
akal harus berkata apa dan ingin agar kamu berbicara untuk-
Nya? Akankah kamu yang begitu lemah serta penuh amarah
ini punya kehormatan membela perkara Allah?” Pekerjaan
yang baik janganlah diberikan kepada tangan-tangan yang ja-
hat. Apakah kamu mau memihak Allah? Jika orang yang tidak
benar sampai memenangkan perkaranya, maka pastilah hakim
sudah memihak kepada orang itu. Sebaliknya, perkara Allah
begitu adil hingga tidak membutuhkan cara-cara semacam itu
guna menopangnya. Ia yaitu Allah yang mampu membela
diri-Nya sendiri (Hak. 6:31). Jadi jika kamu mau diam saja,
sorga akan mengumumkan keadilan-Nya.
2. Bahwa perkara Allah dirugikan akibat penanganan semacam
itu. Di balik kepura-puraan membenarkan Allah dalam men-
datangkan penderitaan ke atas Ayub, mereka dengan sikap
berwibawa menuduhnya sebagai orang munafik yang jahat.
“Ini,” ujar Ayub, “sama dengan berbohong” sebab sikap tidak
mengenal belas kasihan dan suka mengecam merupakan per-
buatan jahat, perbuatan yang sangat jahat, dan memperlaku-
kan sesama dengan tidak benar merupakan pelanggaran ter-
hadap Allah. “Kamu mengucapkan dusta, sebab kamu menya-
lahkan orang, namun pada saat yang sama hati nuranimu mau
tidak mau membebaskannya dari segala tuduhan. Landasan
pikiranmu salah, sedangkan alasanmu keliru. Lalu, masakan
kamu berkata, Ini untuk Allah?” Tidak, sebab niat baik tidak
akan membenarkan, apalagi menyucikan perkataan atau tin-
dakan yang buruk. Kebenaran Allah tidak membutuhkan
dusta kita. Perkara Allah juga tidak membutuhkan siasat atau
semangat kita yang penuh dosa. Amarah manusia tidak me-
ngerjakan kebenaran Allah, dan kita tidak boleh berbuat yang
jahat, supaya yang baik timbul dari padanya (Rm. 3:7-8). Kecu-
rangan berkedok kesalehan (begitulah orang menyebutnya) me-
rupakan penipuan yang cemar, sedangkan penganiayaan ber-
kedok kesalehan merupakan pencemaran mengerikan terhadap
nama Allah. Ini sama seperti saudara-saudara, yang membenci
sesama mereka dan mengucilkan mereka, berkata: “Baiklah
TUHAN menyatakan kemuliaan-Nya (Yes. 66:5; Yoh. 16:2).
VI. Ayub berusaha menyadarkan mereka supaya mereka gentar akan
penghukuman Allah, sehingga dengan demikian membuat mereka
berperilaku lebih baik. Janganlah mereka sampai memperdaya
Allah seperti yang mungkin akan mereka perbuat terhadap sesama
manusia seperti diri mereka, atau berharap memperoleh dukungan-
Nya dalam perilaku buruk mereka dengan pura-pura bersemangat
bagi Dia dan kehormatan-Nya. “Sama seperti manusia menipu se-
samanya dengan cara menyanjung dia, apakah menurutmu kamu
dapat mengolok-olok dan menipu Dia?” Yang sudah pasti, orang-
orang yang berpikir untuk menipu Allah akan terbukti menipu
diri sendiri. Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya diper-
mainkan. Supaya para sahabatnya itu tidak berpikir bisa meng-
olok-olok Allah dan menghina-Nya, Ayub mau agar mereka mere-
nungkan baik Allah maupun diri mereka sendiri, sehingga dengan
demikian mereka akan mendapati bahwa mereka tidak akan bisa
menang melawan penghakiman-Nya.
1. Biarlah mereka merenungkan seperti apa sebenarnya Allah
itu, yang telah rela mereka layani. Mereka sungguh telah me-
nyakiti hati-Nya. Mereka harus bertanya-tanya apakah mereka
dapat memberi pertanggungjawaban atas apa yang telah
mereka lakukan. Renungkanlah,
(1) Kecermatan Ayub dalam menyelidiki dan bertanya tentang
para sahabatnya (ay. 9): “Apakah baik, kalau Ia memeriksa
kamu? Mampukah kamu bertahan apabila asas pikiran yang
kamu gunakan dalam kecamanmu itu diteliti, dan dasar ke-
camanmu itu diungkap?” Perhatikanlah, benar-benar men-
jadi urusan kita semua untuk merenungkan apakah akan
membawa keuntungan bagi kita atau tidak apabila Allah
menyelidiki hati kita. Sungguh baik bagi orang yang tulus
dan jujur apabila Allah menyelidikinya. Itulah sebabnya ia
berdoa: Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku. Ke-
mahatahuan Allah merupakan saksi ketulusan-Nya. Seba-
liknya, celakalah orang yang menoleh ke satu arah namun
mendayung ke arah lain saat Allah menyelidiki hatinya,
sehingga didapatilah perbuatannya yang sebenarnya.
(2) Kerasnya teguran Ayub dan rasa tidak sukanya terhadap
sahabat-sahabatnya (ay. 10): “Jikalau kamu diam-diam me-
mihak, walau secara diam-diam dan di dalam hati, kamu
akan dihukum-Nya dengan keras. Ia sama sekali tidak akan
senang dengan kecamanmu terhadap diriku, meskipun de-
ngan dalih mempertahankan kehormatan-Nya. Ia pasti me-
rasa marah dengan kecaman seperti itu, seperti yang akan
diperbuat raja atau orang besar manapun, jika suatu per-
buatan rendah dilakukan dengan memakai namanya
dan dilakukan dengan dalih demi kepentingannya.” Perha-
tikanlah, bagi kesalahan apa pun yang kita lakukan, kita
pasti akan ditegur dengan satu atau lain cara dan pada
satu atau lain waktu, meskipun dilakukan dengan tersem-
bunyi.
(3) Kedahsyatan keagungan-Nya, yang seandainya mereka ka-
gumi seperti seharusnya, tentu mereka tidak akan semba-
rangan berbuat sesuatu yang dapat mengakibatkan mereka
menjadi sasaran murka-Nya (ay. 11): “Apakah kebesaran-
Nya tidak akan mengejutkan kamu? Kamu yang tahu begitu
banyak tentang Allah, dan mengaku beribadah serta takut
kepada-Nya, betapa beraninya kamu berbicara seperti ini
dan begitu bebas mengutarakannya? Bukankah kamu ha-
rus berlaku dan berbicara dengan takut akan Allah? (Neh.
5:9). Bukankah seharusnya ketakutan kepada-Nya me-
nimpa kamu, sehingga mengendalikan semangatmu?” Saya
berpendapat bahwa Ayub berkata demikian sebagai orang
yang mengetahui sendiri kedahsyatan Tuhan dan hidup
dengan ketakutan kudus terhadap-Nya, tidak peduli apa
pun penilaian sahabat-sahabatnya yang bertolak belakang
tentang dia. Perhatikanlah,
[1] Di dalam diri Allah terdapat keagungan yang menakut-
kan. Ia yaitu Wujud yang terunggul, memiliki segala
keunggulan di dalam diri-Nya dan di dalam setiap hal
mengungguli makhluk ciptaan apa pun secara tak ter-
hingga. Keunggulan-Nya itu sendiri sangat mengagum-
kan dan menyenangkan. Ia yaitu Wujud terindah, na-
mun mengingat jauhnya jarak manusia dari Allah secara
kodrat, serta kerusakan dan kemerosotannya akibat dosa,
segala keunggulan-Nya itu menjadi menakutkan. Kuasa,
kekudusan, keadilan, bahkan kebaikan-Nya pun meru-
pakan keunggulan yang menakutkan. Mereka akan ta-
kut kepada Tuhan dan kebaikan-Nya.
[2] Rasa takjub yang kudus terhadap kebesaran-Nya yang
menakutkan itu haruslah menimpa kita dan membuat
kita takut. Hal ini akan menyadarkan orang-orang ber-
dosa yang tidak mau bertobat, dan membawa mereka
kepada pertobatan, serta memengaruhi semua orang
agar dengan hati-hati berusaha menyenangkan hati-Nya
dan takut melakukan kesalahan terhadap-Nya.
2. Biarlah mereka merenungkan keadaan mereka sendiri, betapa
tidak seimbangnya diri mereka dibandingkan dengan Allah
yang agung (ay. 12): “Dalil-dalilmu (segala sesuatu dalam diri-
mu yang kamu harap akan dikenang setelah kamu tiada) ada-
lah amsal debu, tidak berguna dan lemah, serta mudah diin-
jak-injak dan diterbangkan angin. Perisaimu bagaikan perisai
tanah liat, mudah berjamur dan akan lenyap. Ingatanmu, sang-
kamu, akan bertahan lebih lama dibandingkan tubuhmu, na-
mun sayang sekali, ingatanmu bagaikan debu yang akan dise-
rok bersama debumu.” Perhatikanlah, perenungan terhadap
kerendahan dan kefanaan diri kita sudah seharusnya membuat
kita takut melakukan kesalahan terhadap Allah, dan memberi-
kan alasan tepat mengapa kita tidak boleh memandang rendah
dan menginjak-injak sesama kita. Uskup Patrick memberikan
makna lain pada ayat ini: “Bantahan yang kamu sampaikan
atas nama Allah tidak lebih baik daripada debu, sedangkan
sanggahanmu yang bertumpuk-tumpuk itu tidak lebih dari
gundukan kotoran.”
Pembelaan Ayub
(13:13-22)
13 Diam! Aku hendak bicara, apapun yang akan terjadi atas diriku! 14 Daging-
ku akan kuambil dengan gigiku, dan nyawaku akan kutatang dalam geng-
gamku. 15 Lihatlah, Ia hendak membunuh aku, tak ada harapan bagiku, na-
mun aku hendak membela perilakuku di hadapan-Nya. 16 Itulah yang menye-
lamatkan aku; namun orang fasik tidak akan menghadap kepada-Nya. 17 De-
ngarkanlah baik-baik perkataanku, perhatikanlah keteranganku. 18 Ketahuilah,
aku menyiapkan perkaraku, aku yakin, bahwa aku benar. 19 Siapa mau ber-
sengketa dengan aku? Pada saat itu juga aku mau berdiam diri dan binasa.
20 Hanya janganlah Kaulakukan terhadap aku dua hal ini, maka aku tidak akan
bersembunyi terhadap Engkau: 21 jauhkanlah kiranya tangan-Mu dari padaku,
dan kegentaran terhadap Engkau janganlah menimpa aku! 22 Panggillah, maka
aku akan menjawab; atau aku berbicara, dan Engkau menjawab.
Dalam perikop ini Ayub berpegang kembali, dan dengan teguh, pada
ketulusannya, sebagai orang yang sudah bulat hati tidak akan mele-
paskan pegangannya, atau membiarkannya dirampas darinya. Kete-
guhannya dalam perkara ini patut dipuji dan amarahnya dapat dimaaf-
kan.
I. Ayub meminta dengan sangat agar sahabat-sahabatnya dan se-
mua yang hadir membiarkan ia sendirian, dan tidak mengganggu-
nya saat ia menyampaikan apa yang hendak dikatakannya (ay.
13), melainkan menyimak dengan baik (ay. 17). Ia ingin sanggah-
annya tidak dibantah, sebab tidak seorang pun selain Allah dan
dirinya sendiri yang mengenal isi hatinya. “Oleh sebab itu diam-
lah, dan janganlah aku mendengar perkataanmu lagi. Dengarkan
baik-baik apa yang hendak kukatakan, dan biarlah aku meneguh-
kannya dengan sumpahku untuk mengakhiri perselisihan ini.”
II. Ayub bertekad tetap berpegang pada kesaksian hati nuraninya
sendiri mengenai ketulusannya. Meskipun sahabat-sahabatnya
menyebutnya sebagai sifat keras kepala, hal itu tidak mampu
menggoyahkan ketetapan hatinya: “Aku akan berbicara untuk
membela diri, apapun yang akan terjadi atas diriku (ay. 13). Biar-
kan saja sahabat-sahabatku mereka-rekakan sesuka hati dan
berpikir buruk tentang diriku. Aku berharap Allah tidak meng-
anggap aku berbuat salah sebab terpaksa membela diri, seperti
yang kalian lakukan. Ia akan membenarkan aku (ay. 18), se-
hingga dengan demikian aku tidak melakukan kesalahan apa
pun. Orang-orang yang tulus dan memiliki jaminan perihal ke-
tulusan mereka, dapat dengan senang hati menghadapi setiap
kejadian. Apa pun yang terjadi, bene præparatum pectus – mereka
siap untuk itu. Ayub bertekad (ay. 15) hendak membela perilaku-
nya. Ia tidak akan pernah berpisah dengan rasa puas yang di-
alaminya selama berjalan dengan tulus bersama Allah. Meskipun
ia tidak dapat membenarkan setiap kata yang telah diucapkan-
nya, namun secara umum jalan hidupnya baik adanya. Ia hendak
mempertahankan ketulusannya itu. Untuk apa ia meninggalkan-
nya, itulah yang menjadi dukungan terbesarnya di balik semua
pengalamannya selama ini, sama seperti yang dikatakan Hizkia,
Ah TUHAN, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-
Mu. Bahkan lebih dari itu, Ayub tidak saja tidak akan meninggal-
kan perkaranya atau atau menyerah, namun bahkan juga bersedia
mengakui kesungguhan hatinya secara terbuka, sebab (ay. 19):
“Jika aku berdiam diri, dan tidak berbicara untuk diriku sendiri,
maka sikap diamku itu akan membungkamku selamanya, sebab
aku pasti akan binasa” (ay. 19). “Kalaupun nama baikku tidak
dibersihkan, setidaknya biarlah aku hatiku menjadi tenang me-
lalui apa yang kukatakan,” sama seperti halnya Elihu (32:17, 20).
III. Ayub mengeluhkan parahnya rasa sakit dan kesengsaraan yang
sedang menderanya (ay. 14): Dagingku akan kuambil dengan gigi-
ku. Artinya,
1. “Mengapa aku sampai mengalami penderitaan sekarat sema-
cam ini? Mau tidak mau aku bertanya-tanya mengapa Allah
mengizinkan kesengsaraan sehebat ini, padahal Ia tahu aku
bukan orang jahat.” Ayub siap untuk tidak saja mengoyakkan
pakaiannya, namun juga dagingnya, akibat beratnya penderita-
an yang dialaminya itu. Ia melihat dirinya sudah di ambang
kematian, sedangkan nyawanya ada dalam genggamannya.
Namun, sahabat-sahabatnya tidak dapat menjatuhkan tuduh-
an ke atas dirinya dengan kejahatan besar. Ia sendiri pun
tidak dapat menemukan kejahatan apa pun yang telah diper-
buatnya. Tidak mengherankan apabila ia begitu bingung.
2. “Mengapa aku harus menahan dan mengekang diri untuk
mengungkapkan sanggahanku bahwa aku tidak bersalah?”
saat orang yang mengalami kesukaran hebat menahan perka-
taan yang hendak diucapkannya, ia menggigit bibirnya. “Nah,”
ujarnya, “mengapa aku tidak boleh bebas berbicara saja? Aku
hanya menyakiti diri sendiri, menambah kesengsaraanku, dan
membahayakan nyawaku dengan cara menahan diri.” Perhati-
kanlah, orang yang paling sabar pun akan merasa sakit, saat
telah kehilangan segala sesuatu, lalu dijauhkan pula dari rasa
terhibur (yang layak diterimanya) bahwa hati nurani bersih
dan namanya tidaklah cemar.
IV. Ayub menghibur diri di dalam Allah, dan masih berpegang pada
keyakinannya di dalam Dia. Amatilah di sini,
1. Apa yang diandalkannya dari Allah, yaitu pembenaran dan ke-
selamatan, dua hal besar yang kita harapkan melalui Kristus.
(1) Pembenaran (ay. 18): aku menyiapkan perkaraku, dan me-
ngenai seluruh perkara itu, aku yakin, bahwa aku benar.
Ayub tahu mengenai hal ini sebab ia tahu bahwa Penebus-
nya hidup (19:25). Orang-orang yang tulus hati dengan
Allah dan tidak hidup menurut kedagingan namun menurut
Roh, boleh merasa yakin bahwa melalui Kristus mereka
tidak akan dijatuhi hukuman. Siapa pun memikul tang-
gung jawab akan dibenarkan. Mereka boleh mengetahui
bahwa mereka akan dibenarkan.
(2) Keselamatan (ay. 16): Itulah yang menyelamatkan aku.
Yang dimaksudkan Ayub bukanlah sekadar keselamatan
sementara waktu, ia nyaris tidak mengharapkannya, me-
lainkan keselamatan kekal. Mengenai keselamatan kekal, ia
sangat yakin bahwa Allah bukan saja menjadi Juruselamat
yang membuatnya bahagia, melainkan juga keselamatan
dalam arti ia akan melihat dan menikmati Dia, yang akan
membuatnya bahagia. Alasan mengapa ia mengandalkan
Allah untuk memperoleh keselamatan yaitu sebab orang
fasik tidak akan menghadap kepada-Nya. Ayub tahu dirinya
bukanlah orang fasik, dan hanya orang fasiklah yang akan
ditolak Allah. Itulah sebabnya ia menyimpulkan bahwa ia
tidak bisa ditolak. Kesungguhan dan ketulusan hati meru-
pakan kesempurnaan Injili. Tidak ada suatu pun yang akan
menghancurkan kita selain tiadanya ketulusan hati itu.
2. Betapa dengan setia Ayub mengandalkan Allah: apabila Ia
hendak membunuh aku sekalipun, aku akan tetap percaya
kepada-Nya (ay. 15, KJV). Ini merupakan ungkapan iman yang
sangat tinggi, sesuatu yang harus berusaha keras kita capai,
yaitu mempercayai Allah, sekalipun ia membunuh kita. Arti-
nya, kita harus senang dengan Allah sebagai sahabat, bahkan
saat Ia tampaknya melawan kita s