Minggu, 05 Januari 2025

ayub 11


 dengan mereka dan yang akan datang setelah mereka, yang 

menjadi keturunan mereka. Tampaknya berkat mengikuti 

keluarga mereka dan terkadang apa yang didapat melalui 

tipuan terpelihara sampai generasi-generasi berikutnya.  

(2) Mereka tenteram dan bukan hanya tidak disakiti, namun  juga 

tidak takut akan siapa pun dan tidak pernah khawatir akan 

bahaya, baik dari tindakan penyelenggaran Allah yang 

mengancam maupun dari nurani yang tersadarkan. namun  

orang yang membangkitkan murka Allah tidak pernah lebih 

aman hanya sebab  mereka lebih tenteram.  

(3) Ke dalam tangan mereka, Allah memberi dengan berlimpah. 

Mereka memiliki melebihi yang didambakan hati mereka 

(Mzm. 73:7, KJV). Mereka memiliki tidak hanya untuk me-

menuhi kebutuhan, namun  juga untuk bersenang-senang. 

Tidak hanya untuk diri mereka sendiri, namun  juga untuk 

orang lain. Tidak hanya untuk sekarang, namun  juga untuk 

masa depan. Dan ini semua berasal dari tangan Sang Pe-

nyelenggara pula. Allah mencurahkan berkat berlimpah ke 

dalam tangan mereka. Oleh sebab  itu, kita tidak bisa me-

nilai kesalehan seseorang berdasarkan harta mereka, atau-

pun menilai isi hati mereka berdasarkan isi tangan mereka.  

II. Ayub bahkan menyebut makhluk-makhluk yang lebih rendah seba-

gai bukti tentang kemakmuran ini. Binatang dan burung dan pohon 

dan bahkan bumi itu sendiri. Tanyalah mereka, maka engkau akan 

diberinya keterangan, (ay. 7-8). Banyak pelajaran yang bisa kita 

ambil dari mereka, namun  apa yang mereka ajarkan kepada kita? 

1. Kita bisa belajar dari mereka bahwa amanlah kemah para peru-

sak (begitulah menurut beberapa tafsiran), sebab   

(1) Di antara binatang pun yang lebih besar melahap yang le-

bih kecil dan yang lebih kuat memangsa yang lebih lemah, 

dan manusia itu seperti ikan di laut (Hab. 1:14). Seandai-

nya dosa tidak masuk ke dalam dunia, kita bisa menduga 

tidak akan ada kekacauan seperti ini di antara makhluk 

ciptaan, melainkan bahwa serigala akan tinggal bersama 

domba.  

(2) Makhluk-makhluk ini berguna bagi orang fasik, dan oleh 

sebab  itu mereka bercerita tentang kemakmuran mereka. 

Tanyalah kawanan ternak, milik siapakah mereka, dan me-

reka akan memberi keterangan, bahwa si perampok ini, si 

penindas itu, yaitu  pemilik mereka. Ikan-ikan dan bu-

rung-burung akan memberi keterangan bahwa mereka di-

hidangkan di meja dan mengenyangkan orang kaya, para 

pendosa yang congkak. Bumi menumbuhkan buah-buah-

nya untuk mereka (9:24), dan segala makhluk sama-sama 

mengeluh di bawah beban tirani mereka (Rm. 8:20, 22). 

Ingat, semua makhluk yang disalahgunakan orang fasik de-

ngan membuat mereka menjadi pengobar dan pengenyang 

nafsu mereka, suatu hari akan bersaksi melawan mereka 

(Yak. 5:3-4).  

2. Kita bisa belajar dari mereka tentang hikmat, kekuatan, dan 

kebaikan Allah serta kekuasaan-Nya yang berdaulat penuh. Di 

dalam kebenaran kekuasan-Nya yang sudah jelas dan terbukti 

ini, semua tata aturan yang sulit ini pasti terselesaikan. Zofar 

menyatakan perkara ini sebuah misteri besar (11:7). “Justru 

sebaliknya,” kata Ayub, “apa yang ingin kita ketahui, bisa kita 

pelajari dari makhluk-makhluk paling rendah sekalipun, kare-

na siapa di antara semuanya itu yang tidak tahu? (ay. 9). Siapa 

pun bisa dengan mudah menyimpulkan dari kitab para makh-

luk ini bahwa tangan Allah yang melakukan itu,” yaitu, “bahwa 

ada Penyelenggara yang berhikmat yang menuntun dan 

mengatur semua hal ini menurut aturan yang tidak kita kenal 

maupun yang tidak bisa kita nilai dengan cakap.” Perhatikan-

lah, dari kekuasaan Allah yang berdaulat atas makhluk-makh-

luk yang rendah ini, kita hendaknya belajar untuk menerima 

segala putusan-Nya atas perkara anak manusia, meskipun 

bertentangan dengan takaran kita. 

III. Ia menyerahkan semuanya pada hak milik mutlak Allah atas se-

mua ciptaan (ay. 10): di dalam tangan-Nya terletak nyawa segala 

yang hidup. Semua ciptaan, dan terutama umat manusia, mem-

peroleh keberadaannya dari-Nya, berutang pada-Nya atas keber-

adaan mereka, bergantung pada-Nya atas topangan-Nya atas ke-

beradaan mereka. Mereka bergantung pada belas kasih-Nya, ada 

di bawah arahan dan kuasa-Nya dan sepenuhnya di bawah peng-

aturan-Nya, dan harus mengakhiri hidupnya saat  dipanggil-

Nya. Seluruh jiwa yaitu  milik-Nya, jadi bukankah Ia bisa mela-

kukan apa pun yang Ia inginkan dengan milik-Nya sendiri? Nama 

Yahwe dipakai  di sini dalam teks Ibrani (ay. 9). Inilah satu-

satunya waktu di mana kita menemukan sebutan Nama-Nya ini 

dalam seluruh perdebatan antara Ayub dan sahabat-sahabatnya, 

sebab  Allah di masa itu lebih dikenal dengan nama Shaddai – 

Yang Mahakuasa.  

IV. Kata-kata itu – (ay. 11), Bukankah telinga menguji kata-kata, se-

perti langit-langit mencecap makanan? bisa diartikan entah seba-

gai kesimpulan dari perdebatan sebelumnya atau pembuka untuk 

yang berikutnya. Sewajarnya, pikiran manusia sama mampunya 

membedakan antara benar dan salah seperti langit-langit mulut 

mampu membedakan antara manis dan pahit. Oleh sebab  itu 

Ayub menuntut dari sahabat-sahabatnya kebebasan baginya un-

tuk menilai sendiri apa yang mereka katakan, dan ia mengingin-

kan mereka untuk memakai  kebebasan yang sama untuk 

menilai apa yang ia katakan. Bahkan, tampaknya ia memohon 

penilaian netral siapa pun dalam perselisihan ini. Biarlah telinga 

menguji kata-kata dari kedua belah pihak, maka akan terbukti 

bahwa ialah yang benar. Ingat, telinga harus menguji kata-kata 

sebelum menerimanya dan mengikutinya. Sebagaimana dengan 

indra pengecap kita menilai makanan apa yang sehat bagi tubuh 

dan yang tidak, begitu pula dengan roh yang membedakan baik 

dan jahat, kita harus menilai ajaran mana yang lurus dan nikmat 

dan sehat dan mana yang tidak, 1 Korintus 10:15, 11:13.  

 

Jawaban Ayub Atas Nasihat Zofar 

(12:12-25) 

12 Konon hikmat ada pada orang yang tua, dan pengertian pada orang yang 

lanjut umurnya. 13 namun  pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang 

mempunyai pertimbangan dan pengertian. 14 Bila Ia membongkar, tidak ada 

yang dapat membangun kembali; bila Ia menangkap seseorang, tidak ada 

yang dapat melepaskannya. 15 Bila Ia membendung air, keringlah semuanya; 

bila Ia melepaskannya mengalir, maka tanah dilandanya. 16 Pada Dialah 

kuasa dan kemenangan, Dialah yang menguasai baik orang yang tersesat 

maupun orang yang menyesatkan. 17 Dia yang menggiring menteri dengan 

telanjang, dan para hakim dibodohkan-Nya. 18 Dia membuka belenggu yang 

dikenakan oleh raja-raja dan mengikat pinggang mereka dengan tali peng-

ikat. 19 Dia yang menggiring dan menggeledah para imam, dan mengguling-

kan yang kokoh. 20 Dia yang membungkamkan orang-orang yang dipercaya, 

menjadikan para tua-tua hilang akal. 21 Dia yang mendatangkan penghinaan 

kepada para pemuka, dan melepaskan ikat pinggang orang kuat. 22 Dia yang 

menyingkapkan rahasia kegelapan, dan mendatangkan kelam pekat pada 

terang. 23 Dia yang membuat bangsa-bangsa bertumbuh, lalu membinasa-

kannya, dan memperbanyak bangsa-bangsa, lalu menghalau mereka. 24 Dia 

menyebabkan para pemimpin dunia kehilangan akal, dan membuat mereka 

tersesat di padang belantara yang tidak ada jalannya. 25 Mereka meraba-raba 

dalam kegelapan yang tidak ada terangnya; dan Ia membuat mereka berjalan 

terhuyung-huyung seperti orang mabuk.” 

Ini merupakan pembicaraan mulia Ayub tentang hikmat, kuasa, dan 

kedaulatan Allah dalam mengatur dan menangani semua perkara 

anak manusia, sesuai dengan pertimbangan kehendak-Nya sendiri, 

yang tidak bisa disangkal atau ditentang oleh siapa pun. Saat Ayub 

maupun sahabat-sahabatnya jeda sejenak dari perselisihan di mana 

mereka terlibat dengan begitu panas ini, mereka semua berbicara 

dengan luhur. Namun, dalam perselisihan mereka, kita terkadang 

hampir tidak tahu apa maksud mereka. Alangkah baiknya apabila 

orang benar dan berhikmat yang berbeda pendapat dalam hal-hal 

kecil, demi kehormatan dan kenyamanan mereka dan demi pendidik-

an orang lain, bisa lebih menaruh perhatian saja kepada hal-hal 

besar yang mereka saling sepakat. Dalam perihal berikut Ayub ber-

bicara sesuai sifat sebenarnya. Di sini tidak ada keluhan yang penuh 

amarah, tidak ada sindiran yang penuh kejengkelan, namun  seluruh-

nya terdengar tegar dan agung.  

I. Ia menyatakan hikmat Allah yang tak terselidiki dan kekuatan-

Nya yang tidak bisa ditentang. Di antara manusia diperbolehkan 

ada hikmat dan pengertian (ay. 12). namun  hikmat dan pengertian 

ini hanya ditemukan di antara sedikit orang, yaitu orang yang tua 

dan mereka yang diberkati dengan umur lanjut, yang mendapat-

kannya dari pengalaman panjang dan pengalaman yang terus-

menerus. namun , saat mereka mendapatkan hikmat itu, mereka 

telah kehilangan kekuatan dan tidak mampu melaksanakan hasil 

hikmat mereka. namun  pada Allahlah hikmat dan kekuatan, hik-

mat untuk merencanakan yang terbaik dan kekuatan untuk me-

nyelesaikan apa yang direncanakan itu. Ia tidak mendapatkan 

pertimbangan atau pengertian dari pengamatan seperti kita, me-

lainkan Ia memiliki pertimbangan dan pengertian yang sejati 

dalam diri-Nya secara kekal (ay. 13). Apalah hikmat orang yang 

lanjut umurnya dibandingkan dengan hikmat Yang Lanjut Usia-

nya! Hanya sedikit yang kita ketahui dan lebih sedikit lagi yang 

bisa kita perbuat, namun  Allah sanggup melakukan segala sesuatu 

dan tidak ada rencana-Nya yang gagal. Berbahagialah mereka 

yang mempunyai Allah ini sebagai Allah mereka, sebab  mereka 

mempunyai hikmat dan kekuatan kekal yang bekerja bagi mere-

ka. Bodoh dan sia-sialah semua usaha manusia melawan Allah 

(ay. 14): Bila Ia membongkar, tidak ada yang dapat membangun 

kembali. Ingat, tidak ada yang bisa berbantah dengan penyeleng-

garaan ilahi ataupun membongkar kebesarannya. Seperti yang 

Ayub katakan sebelumnya (9:12), Apabila Ia merampas, siapa 

akan menghalangi-Nya? begitulah ia katakan sekali lagi. Apa yang 

difirmankan Allah tidak bisa disangkal, begitu pula apa yang telah 

Ia hancurkan. Tidak ada yang bisa membangun kembali apa yang 

hendak dihancurkan Allah. Saksikan menara Babel yang tidak 

bisa diteruskan oleh para pembangunnya dan kebinasaan Sodom 

dan Gomora yang tidak pernah bisa diperbaiki. Baca Yesaya 25:2, 

Yehezkiel 26:14, Wahyu 18:21. Tidak ada yang bisa melepaskan 

mereka yang dihukum Allah dalam pemenjaraan kekal. Bila Ia 

menangkap seseorang melalui penyakit, membawanya ke dalam 

kesesakan, dan mempermalukannya dalam perkaranya, maka 

tidak ada yang dapat melepaskannya. Ia mengurungnya dalam 

kubur dan tidak ada yang bisa membuka pintu yang disegel itu. Ia 

mengurungnya dalam neraka, dalam rantai kegelapan, dan tidak 

ada yang bisa melewati jurang besar yang tetap itu.  

II. Ia menyebutkan satu contoh sebagai bukti ajaran ini dalam alam 

semesta (ay. 15). Allah memerintah atas air, Ia membungkus air 

seakan dengan kain (Ams. 30:4), menakarnya dengan lekuk tangan-

nya (Yes. 40:12), dan Ia bisa menghukum anak manusia entah 

dengan kekurangan atau kelebihan air. Manusia melanggar hu-

kum kebajikan dengan kedua sisi ekstrim ini, baik dengan ke-

kurangan maupun kelebihan, sedang kebajikan merupakan garis 

tengahnya. Begitu pula Allah menghajar mereka dengan keku-

rangan atau kelebihan, dan menolak untuk memberi mereka belas 

kasihan, yang menjadi garis tengah.  

1. Kekeringan besar terkadang merupakan penghakiman besar: 

Bila Ia membendung air, keringlah semuanya. Jika langit ba-

gaikan tembaga, maka bumi bagaikan besi. Jika hujan tidak 

diberikan, sumber-sumber air akan mengering dan sungai-su-

ngai tidak ada air, ladang-ladang tandus dan buah-buah me-

reka tidak ada, Amos 4:7.  

2. Kebasahan yang besar terkadang merupakan penghakiman be-

sar. Ia meninggikan air sehingga tanah dilandanya, semua 

yang dihasilkan oleh tanah itu dan bangunan-bangunan yang 

di atasnya. Hujan deras dikatakan tidak memberi makan (Ams. 

28:3). Cermati berapa banyak cara Allah untuk beperkara de-

ngan manusia yang berdosa dan mengambil dari mereka karu-

nia yang telah disalahgunakan dan dihilangkan mereka, yaitu 

belas kasihan. Betapa tidak berdayanya kita jika beperkara 

dengan-Nya. Jika kita bisa memutar urutannya, ayat ini tepat 

merujuk kepada air bah Nuh, yang yaitu  contoh kuasa ilahi 

yang akan dikenang sampai selama-lamanya. Dalam amarah-

nya, Allah saat itu melepaskan air yang menungganglang-

gangkan bumi. Namun dalam belas kasihan-Nya, Ia memben-

dungnya, menutup jendela-jendela langit dan segala sumber 

air dari kedalaman yang besar, lalu dalam waktu sebentar, air 

pun mengering.  

III. Ia memberikan banyak contoh hikmat dan kekuatan Allah dalam 

mengatur anak manusia dengan penuh kuasa, menggagalkan 

tujuan-tujuan mereka dan memenuhi tujuan-Nya melalui mereka 

dan atas mereka, mengungguli semua pertimbangan mereka, me-

nundukkan semua upaya mereka dan mengatasi semua perla-

wanan mereka. Betapa hebat perubahan-perubahan yang Allah 

perbuat terhadap manusia! Ia membelokkan jalan-jalan mereka! 

Betapa mudahnya, betapa mengejutkannya! 

1. Secara umum (ay. 16): Pada Dialah kuasa dan akal budi (be-

gitulah menurut beberapa terjemahan), kuasa dan ketetapan 

yang tidak berubah pada diri-Nya. Sungguh anggun kata da-

lam bahasa aslinya. Pada Dialah hakikat dan inti sari hikmat 

yang sebenarnya. Pada Dialah kuasa dan semua yang ada, be-

gitu menurut beberapa tafsiran lain. Ia yaitu  sebagaimana Ia 

adanya dari diri-Nya sendiri, dan oleh-Nya serta di dalam-Nya 

semua hal bisa hidup. sebab  Ia memliki kekuatan dan hik-

mat ini, Ia mengetahui bagaimana Ia bisa memakai manusia, 

bukan hanya yang baik dan berhikmat, yang bersedia dan su-

karela melayani-Nya, namun  juga mereka yang bebal dan jahat, 

yang dipikir orang tidak mungkin dipakai  untuk rancangan 

penyelenggaraan-Nya: Dialah yang menguasai baik orang yang 

tersesat maupun orang yang menyesatkan. Orang paling dungu 

yang tersesat tidaklah luput dari perhatian-Nya. Orang paling 

cerdik yang menyesatkan, dengan segala kecerdikannya tidak-

lah lepas dari pengetahuan-Nya. Dunia ini penuh dengan kese-

satan. Separuh umat manusia menipu separuh lainnya, dan 

Allah menghendaki mereka menderita demikian, dan dari ke-

duanya suatu saat Ia akan membawa kemuliaan bagi nama-

Nya. Orang yang menyesatkan memperalat orang yang disesat-

kan, namun  Allah yang Mahabesar memakai keduanya sebagai 

alat-Nya. Ia berkarya melalui mereka dan tidak ada yang bisa 

menghalangi-Nya. Ia memiliki hikmat dan kuasa yang cukup 

untuk menangani semua orang bebal dan bedebah di dunia, 

dan Ia tahu bagaimana memakai  mereka untuk melayani 

tujuan-Nya, meskipun ada kelemahan pada yang satu dan ke-

fasikan pada yang lainnya. saat  Yakub mendapatkan berkat 

melalui penipuan, rancangan karunia Allah terpenuhi. saat  

Ahab terbujuk melalui nubuatan palsu untuk melakukan se-

buah serangan militer yang mendatangkan kehancurannya, 

rancangan keadilan Allah pun terpenuhi. Dalam kedua contoh 

ini, baik orang yang tersesat maupun orang yang menyesatkan 

ada di bawah kuasa-Nya. Baca Yehezkiel 14:9. Allah tidak 

akan tinggal diam dengan dosa orang yang menyesatkan atau-

pun kemalangan orang yang disesatkan, Ia tahu bagamaina 

membatasi keduanya dan memuliakan nama-Nya melalui ke-

duanya. Haleluya! Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah 

menjadi raja, dan alangkah baiknya bahwa Ia bertakhta, kare-

na jika tidak, hikmat dan kejujuran di dunia ini akan begitu 

sedikit dan begitu dangkal sehingga semuanya pasti jatuh da-

lam kekacuan dan kehancuran sejak dulu-dulu.  

2. Selanjutnya Ayub menyelami contoh-contoh tertentu dari hik-

mat dan kuasa Allah dalam revolusi negara-negara dan keraja-

an-kerajaan. Dari situlah ia mengambil bukti-buktinya, bukan 

dari tindakan Penyelenggaraan Allah yang serupa pada diri 

orang per orang dan keluarga-keluarga, sebab  semakin tinggi 

kedudukan manusia di muka umum, semakin diperhatikan 

orang perubahan-perubahan yang menimpa mereka, dan de-

ngan begitu, semakin terang Penyelenggaraan Allah bersinar 

atas mereka. Dan mudah untuk berargumentasi bahwa apa-

bila Allah bisa mengangkat dan menggulingkan orang-orang 

besar dunia ini, seperti bola dipermainkan (seperti yang dika-

takan sang nabi, Yes. 22:18), maka apalagi orang-orang kecil. 

Tentunya merupakan suatu kegilaan besar apabila kita ber-

bantah dengan Dia yang kepada-Nya negara-negara dan kera-

jaan-kerajaan harus tunduk. Menurut beberapa tafsiran, Ayub 

di sini merujuk pada pemusnahan bangsa-bangsa yang kuat 

itu, orang Refaim, orang Zuzim, orang Emim, dan orang Hori 

(disebut di Kej. 14:5-6; Ul. 2:10, 20), yang membuat orang ke-

heranan melihat bagaimana bangsa-bangsa ini dihantam dan 

dan dilemahkan. Jika benar demikian maksud Ayub, maka 

contohnya ini menunjukkan bahwa setiap kali hal seperti ini 

terjadi dalam perkara bangsa-bangsa, maka Allah-lah yang 

melakukannya. Di dalam semua ini, kita hendaknya mengakui 

kekuasaan-Nya yang berdaulat, bahkan atas mereka yang 

menganggap dirinya paling berkuasa, paling cerdik, dan dapat 

berbuat apa saja. Bandingkan perkataan Ayub ini dengan punya 

Elifas (5:12, dst.). Mari kita kumpulkan perubahan-perubahan 

khusus yang dirinci di sini, yang diperbuat Allah terhadap ma-

nusia, entah demi penghancuran suatu bangsa dan penum-

buhan bangsa lain sebagai gantinya, atau demi menyingkirkan 

sebuah pemerintahan dan pelayanan dan meninggikan yang 

lain sebagai gantinya, yang bisa menjadi berkat bagi kerajaan 

tersebut. Kita telah menjadi saksi Revolusi Agung di negeri 

sendiri (Inggris) dua puluh tahun yang lalu, di mana kita meli-

hat sebuah peristiwa yang membahagiakan seperti yang dibi-

carakan Ayub di sini.  

(1) Orang yang dulunya berhikmat terkadang dipukul secara 

aneh, dan di dalam hal ini campur tangan, Allah harus 

diakui (ay. 17): Dia yang menggiring menteri dengan telan-

jang bagai piala kemenangan-Nya atas mereka. Mereka 

ditelanjangi-Nya, semua kehormatan dan kekayaan yang me-

reka dapatkan dengan kecerdikan mereka mereka dirampas, 

bahkan hikmat itu sendiri yang membuat mereka dipuja-

puja. Keberhasilan yang mereka janjikan dalam rancangan-

rancangan mereka juga diambil oleh-Nya. Hikmat-Nyalah 

yang tetap, sedangkan semua sarana mereka habis dihan-

curkan dan rencana mereka digagalkan. Dengan begitu me-

reka ditelanjangi baik dari kepuasan atas hikmat mereka 

maupun nama baik dari hikmat mereka. Para hakim dibo-

dohkan-Nya. Dengan memengaruhi pikiran mereka, Ia 

mencabut kemampuan mereka untuk melakukan pekerja-

an mereka, dan dengan begitu mereka benar-benar menjadi 

orang bodoh. Dengan menangani perkara mereka, Ia mem-

buat masalah dan inti rancangan mereka menjadi bertolak 

belakang dengan niat mereka sendiri, dan dengan begitu 

membuat mereka terlihat seperti orang bodoh. Di dalam 

hikmat Ahitofel, firman ini terpenuhi secara luar biasa. Nasi-

hatnya digagalkan dan menjadi sebuah kebodohan, dan ia 

sendiri, sesuai dengan arti namanya, menjadi saudara keto-

lolan. Baca Yesaya 19:13, Para pembesar Zoan bertindak 

tolol, para pembesar Memfis sudah teperdaya; para pemuka 

suku-suku mereka telah memusingkan Mesir. Oleh sebab  

itu, janganlah orang berhikmat bermegah dalam hikmat-

nya. Janganlah penasihat dan hakim paling handal mem-

banggakan status mereka, melainkan hendaknya mereka 

bergantung pada Allah dengan rendah hati demi kelanjutan 

kemampuan mereka. Bahkan orang tua-tua sekalipun, 

yang sepertinya mempunyai hikmat yang mantap dan ber-

pikir bahwa mereka mendapatkannya dari perjuangan me-

reka sendiri dan oleh sebab  itu mempunyai hak atasnya 

tanpa dapat diganggu gugat, hikmat itu tetap bisa dicabut 

dari mereka. Sering kali itulah yang terjadi atas mereka 

oleh sebab  kelemahan usia mereka, yang membuat mere-

ka bagai anak kecil dalam dua hal sekaligus: Ia menjadikan 

para tua-tua hilang akal (ay. 20). Para tua-tua, yang paling 

diandalkan dalam hal nasihat, mengecewakan orang-orang 

yang mengandalkan mereka. Kita membaca tentang se-

orang raja yang tua namun  bodoh, Pengkhotbah 4:13.  

(2) Orang yang dulunya berkedudukan tinggi dan mempunyai 

wewenang digulingkan, dibuat miskin dan diperbudak de-

ngan cara yang mengherankan dan Allah-lah yang meren-

dahkan mereka (ay. 18): Dia membuka belenggu yang di-

kenakan oleh raja-raja. Ia mengambil dari mereka kekuasa-

an yang mereka pakai untuk memerintah rakyat mereka, 

yang mungkin mereka perbudak dan perintah dengan ke-

kerasan. Ia menanggalkan semua panji kehormatan dan 

wewenang mereka serta semua pendukung yang mereka 

pakai untuk menindas. Ia melepas sabuk mereka sehingga 

pedang mereka terlepas, dan tidaklah mengherankan kalau 

tidak lama kemudian mahkota mereka ikut terlepas dari 

kepala mereka. Segera sesudahnya, Ia mengikat pinggang 

mereka dengan tali pengikat, sebuah tanda kehambaan, 

sebab  para hamba berjalan dengan pinggang terikat. De-

ngan begitu Ia juga menggiring dan menggeledah para imam 

besar. Ia menggeledah semua kekuasaan dan kekayaan 

mereka serta segala apa yang mereka senangi dan bangga-

banggakan (ay. 19). Ingat, para raja tidak luput dari peng-

hakiman Allah. Bagi kita mereka bagai dewa, namun  bagi-

Nya mereka manusia dan tunduk pada perubahan-peru-

bahan yang lebih besar daripada yang biasa terjadi dalam 

kehidupan manusia.  

(3) Orang yang dulunya kuat dengan cara mengherankan dile-

mahkan, dan Allah-lah yang melemahkan mereka (ay. 21) 

dan menggulingkan yang kokoh (ay. 19). Tubuh yang kuat 

dilemahkan oleh usia dan penyakit. Pasukan yang berkuasa 

memudar dan menjadi tidak ada apa-apanya, dan kekuatan 

mereka tidak akan menyelamatkan mereka dari kekalahan 

yang mematikan. Tidak ada kuasa yang bisa bertahan mela-

wan Sang Mahakuasa, tidak, bahkan Goliat sekalipun.  

(4) Orang yang termasyhur oleh sebab  kepandaian bicara me-

reka dan dipercaya mengurusi perkara masyarakat, dengan 

cara mengherankan dibungkam, sehingga mereka kehilang-

an kata-kata (ay. 20): Dia yang membungkamkan orang-

orang yang dipercaya, sehingga mereka tidak bisa berbicara 

seperti yang mereka kehendaki dan seperti yang biasa me-

reka lakukan, dengan kebebasan dan kejelasan, melainkan 

dengan kesalahan, goyah dan tidak bisa mengungkapkan 

apa-apa. Atau, mereka tidak bisa mengatakan apa yang 

mereka maksud, namun  justru mengatakan yang sebalik-

nya, seperti Bileam, yang memberkati orang-orang yang ha-

rusnya ia serapahi. Oleh sebab  itu, janganlah para pembi-

cara ulung membanggakan kecakapan perkataannya, atau 

memakai nya untuk tujuan yang jahat, supaya jangan 

sampai kefasihan mereka diambil oleh Allah yang mencip-

takan mulut manusia.  

(5) Orang-orang yang dihormati dan dikagumi dengan cara 

mengherankan jatuh dalam kenistaan (ay. 21): Dia yang 

mendatangkan penghinaan kepada para pemuka. Ia mem-

biarkan mereka melakukan hal-hal yang rendah sendiri 

atau mengubah pendapat orang lain tentang mereka. Jika 

para pemuka itu sendiri tidak menghormati Allah dan me-

remehkan-Nya, jika mereka melemparkan penghinaan ke-

pada umat Allah dan menginjak-injak mereka, maka mereka 

tidak akan dihargai dan Allah akan menumpahkan peng-

hinaan atas mereka. Baca Mazmur 107:40. Biasanya tidak 

ada orang yang merasa lebih terhina atau lebih dilecehkan 

oleh orang lain saat  mereka sedang terpuruk dibandingkan 

mereka yang dulu tinggi hati dan biadab saat  mereka me-

megang kuasa dan sekarang terpuruk.  

(6) Apa yang dulunya dirahasiakan dan disembunyikan de-

ngan cara mengherankan dibuat terang dan dibuka lebar 

(ay. 22): Dia yang menyingkapkan rahasia kegelapan. Per-

sekongkolan yang dirancang dengan sembunyi-sembunyi 

diungkap dan dikalahkan. Kejahatan yang dilakukan de-

ngan sembunyi-sembunyi dan ditutupi dengan cerdik diung-

kap dan pihak yang bersalah diajukan untuk menerima hu-

kuman yang sepadan. Pengkhianatan rahasia (Pkh. 10:20), 

pembunuhan rahasia, persundalan rahasia. Mahkamah para 

pemuka ada di depan mata Allah, 2 Raja-raja 6:11.  

(7) Kerajaan-kerajaan mempunyai masa pasang dan surut, 

membesar dan mengecil, dan keduanya berasal dari Allah 

(ay. 23): Ia terkadang membuat mereka bertumbuh dan mem-

perluas batas negara mereka, sehingga mereka menjadi so-

sok mengesankan di antara bangsa-bangsa dan menjadi me-

nakutkan. namun , setelah beberapa saat, mungkin melalui 

sebab yang tidak dapat dijelaskan, mereka dihancurkan 

dan dikekang, dibuat kecil dan miskin, dibinasakan dan 

banyak yang dihabiskan, sehingga menjadi hina di antara 

tetangganya.  Yang dulunya kepala sekarang menjadi ekor 

bangsa-bangsa. Baca Mazmur 107:38-39.  

(8) Orang-orang yang dulunya berani dan bernyali dan tidak 

takut bahaya, dengan cara mengherankan dibuat takut dan 

tawar hati, dan ini pula merupakan karya Tuhan (ay. 24): 

Dia menyebabkan para pemimpin dunia kehilangan akal, 

yang merupakan pemimpin dan komandan dan yang paling 

termasyhur oleh sebab  ketangkasan militer dan pencapai-

an besar mereka. saat  ada sesuatu yang harus dilaku-

kan, mereka kehilangan nyali dan siap melarikan diri meli-

hat daun bergetar. Mazmur 76:6.  

(9) Orang-orang yang melaju pada tujuan mereka dengan ke-

cepatan penuh dengan cara mengherankan dibuat bingung 

dan kehilangan arah. Mereka tidak tahu di mana mereka 

berada maupun apa yang mereka lakukan. Mereka goyah 

dalam rencana mereka dan ragu-ragu dalam langkah mere-

ka, maju mundur, lewat sini, lewat sana, berkeliaran seperti 

orang di padang belantara (ay. 24), meraba-raba seperti 

orang dalam kegelapan, dan terhuyung-huyung seperti orang 

mabuk (ay. 25). Yesaya 59:10. Ingat, Allah bisa segera men-

cengangkan politisi terhandal sekalipun dan membuat akal 

paling cerdik menjadi kehilangan akal, untuk menunjuk-

kan bahwa dalam hal apa saja mereka membanggakan diri, 

Ia lebih tinggi daripada mereka.  

Demikianlah penggulingan kerajaan-kerajaan diadakan 

dengan luar biasa oleh sebuah Penyelenggaraan ilahi yang 

memerintah atas semua. Langit dan bumi bergoncang, te-

tapi Tuhan bertakhta sebagai Raja selamanya dan dengan-

Nya kita menantikan kerajaan yang tidak tergoncangkan. 

 

 

  

PASAL 1 3  

alam pasal ini Ayub menerapkan apa yang telah dikatakannya 

dalam pasal sebelum ini. Sekarang kita mendapati suasana 

hatinya tidak sebaik sebelum ini, sebab, 

I. Ayub berlaku sangat berani terhadap sahabat-sahabatnya. Ia 

membandingkan dirinya dengan mereka, tanpa memedulikan 

aib yang dideritanya (ay. 1-2). Ia menyalahkan mereka sebab  

kepalsuan mereka, kelancangan mereka dalam menghakimi-

nya, sikap memihak mereka, dan ketidakjujuran mereka de-

ngan dalih membela perkara Allah (ay. 4-8). Ayub juga meng-

ancam mereka dengan hukuman Allah atas perbuatan mere-

ka itu (ay. 9-12). Ia ingin agar mereka berdiam diri (ay. 5, 13, 

17), lalu ia mengalihkan perhatiannya dari mereka kepada 

Allah (ay. 3). 

II.  Ia menjadi berani terhadap Allahnya. 

1. Dalam beberapa ungkapan perasaannya, imannya sangat 

berani, namun mungkin lebih tepatnya perasaan lega (ay. 

15-16, 18). Akan namun , 

2. Dalam beberapa ungkapan lain, amarahnya agak terlam-

pau berani dalam bertengkar dengan Allah berkenaan de-

ngan keadaan menyedihkan yang dialaminya (ay. 14, 19, 

dst.). Ia mengeluhkan kebingungan yang sedang dialami-

nya (ay. 20-22), dan kehabisan akalnya untuk mengetahui 

dosa apa yang telah membangkitkan amarah Allah sedemi-

kian rupa sehingga Ia menderanya seperti itu. Ia tidak tahu 

mengapa Allah berlaku keras terhadap dirinya (ay. 23-28).  

Pembelaan Ayub 

(13:1-12) 

1 “Sesungguhnya, semuanya itu telah dilihat mataku, didengar dan dipahami 

telingaku.2 Apa yang kamu tahu, aku juga tahu, aku tidak kalah dengan 

kamu. 3 namun  aku, aku hendak berbicara dengan Yang Mahakuasa, aku 

ingin membela perkaraku di hadapan Allah. 4 Sebaliknya kamulah orang 

yang menutupi dusta, tabib palsulah kamu sekalian. 5 Sekiranya kamu me-

nutup mulut, itu akan dianggap kebijaksanaan dari padamu. 6 Dengarkanlah 

pembelaanku, dan perhatikanlah bantahan bibirku.7 Sudikah kamu berbo-

hong untuk Allah, sudikah kamu mengucapkan dusta untuk Dia? 8 Apakah 

kamu mau memihak Allah, berbantah untuk membela Dia? 9 Apakah baik, 

kalau Ia memeriksa kamu? Dapatkah kamu menipu Dia seperti menipu ma-

nusia? 10 Kamu akan dihukum-Nya dengan keras, jikalau kamu diam-diam 

memihak. 11 Apakah kebesaran-Nya tidak akan mengejutkan kamu dan keta-

kutan kepada-Nya menimpa kamu? 12 Dalil-dalilmu yaitu  amsal debu, dan 

perisaimu perisai tanah liat. 

Di dalam perikop ini Ayub mengutarakan kekesalannya terhadap si-

kap tidak ramah sahabat-sahabatnya. 

I. Ayub mengemukakan kepada mereka bahwa ia memahami masa-

lah yang diperdebatkan itu sebaik mereka, jadi tidak perlu diajari 

oleh mereka (ay. 1-2). Mereka membuat Ayub terpaksa, seperti 

orang Korintus memaksa Paulus, harus percaya kepada diri sen-

diri dan yakin pada pengetahuan sendiri, namun bukan dengan 

cara memuji diri, namun  untuk membela dan membenarkan diri. 

Segala sesuatu yang telah ia ucapkan sebelumnya, telah dilihat-

nya sendiri dan diteguhkan melalui banyak kejadian. Telinganya 

telah mendengar hal-hal yang didukung banyak ahli, dan ia me-

mahaminya dengan baik serta tahu benar cara memakai nya. 

Berbahagialah orang yang tidak sekadar melihat dan mendengar, 

namun  memahami kebesaran, keagungan, kemuliaan, dan kedau-

latan Allah. Menurutnya, hal ini akan membenarkan apa yang te-

lah diucapkannya (12:3), yang kemudian diulanginya di sini (ay. 2): 

“Apa yang kamu tahu, aku juga tahu, jadi aku tidak perlu datang 

kepadamu untuk diajari. Aku tidak kalah dengan kamu dalam hal 

hikmat.” Perhatikanlah, orang-orang yang terlibat percekcokan 

akan tergoda untuk meninggikan diri serta menjelek-jelekkan sau-

dara mereka lebih dari selayaknya. Oleh sebab itu mereka harus 

berjaga-jaga dan berdoa melawan kesombongan. 

II.  Ayub berpaling dari mereka kepada Allah (ay. 3): namun  aku, aku 

hendak berbicara dengan Yang Mahakuasa. Seolah-olah ia hendak 

berkata, “Aku tidak akan puas berbicara dengan kalian. Oh, se-

andainya saja aku memiliki kebebasan untuk membela perkaraku 

di hadapan Allah! Ia tidak akan bersikap keras terhadapku seperti 

sikap kalian terhadapku.” Raja sendiri mungkin akan mendengar-

kan seorang pemohon yang malang dengan sikap yang lebih lem-

but, sabar, dan merendah daripada para pelayannya. Ayub lebih 

suka berdebat dengan Allah sendiri daripada dengan sahabat-

sahabatnya. Lihatlah di sini, 

1. Betapa besar keyakinan orang-orang terhadap Allah, apabila 

hati mereka tidak menuduh mereka berbuat fasik. Dengan ke-

beranian yang disertai kerendahan hati, mereka dapat tampil 

dihadapan-Nya dan mengajukan perkara mereka kepada-Nya. 

2. Betapa besar penghiburan yang didapatkan orang-orang di 

dalam Allah, saat  sesama mereka menyalahkan dengan tidak 

adil. Apabila mereka tidak dapat berbicara dan berharap dide-

ngarkan dengan adil, mereka masih bisa berbicara kepada 

Yang Mahakuasa. Mereka mendapat jalan untuk menghampiri-

Nya dengan mudah dan akan diterima oleh-Nya. 

III. Ayub menyalahkan sahabat-sahabatnya sebab  sikap mereka yang 

tidak adil dan tidak mengenal belas kasihan terhadap dirinya (ay. 

4). 

1. Mereka melontarkan tuduhan palsu kepadanya, dan itu ada-

lah perbuatan yang tidak adil: kamulah orang yang menutupi 

dusta. Mereka menyusun anggapan dasar yang keliru perihal 

Penyelenggaraan ilahi dan salah dalam menggambarkannya, 

seakan-akan penderitaan itu tidak pernah menimpa siapa pun 

selain orang-orang jahat di dunia ini. Kemudian mereka mena-

rik kesimpulan palsu menyangkut Ayub, yaitu bahwa ia se-

orang fasik. Terhadap kesalahan besar ini, baik dari segi peng-

ajaran maupun penerapannya, menurutnya mereka telah mem-

fitnah dia. Mengucapkan dusta sudah merupakan sesuatu 

yang cukup buruk, meskipun sekadar dusta sepele. Namun, 

memfitnah dengan berencana dan sengaja jauh lebih buruk 

lagi. Terhadap kesalahan ini, keadaan tidak bersalah maupun 

unggul tidak akan dapat menjadi pagar yang melindungi orang 

darinya. 

2. Mereka menipunya dengan keji, dan ini merupakan perbuatan 

yang tidak baik. Mereka berusaha menyembuhkannya dan 

berpura-pura bertindak sebagai tabibnya. Namun kenyataan-

nya mereka semua hanyalah tabib palsu, “Tabib berhala yang 

tidak lebih berguna bagiku daripada berhala itu sendiri.” 

Mereka yaitu  tabib-tabib tidak berharga, yang tidak mema-

hami perkaranya maupun tidak tahu cara mengobatinya. Me-

reka sekadar mengandalkan pengalaman pribadi dan pura-

pura mengetahui hal-hal besar, namun dalam perbincangan, 

mereka ternyata tidak menambahkan kegunaan apa pun 

kepada Ayub. Ia tidak menjadi lebih bijak setelah mendengar 

segala sesuatu yang mereka katakan. Demikianlah, dalam 

pandangan hati yang remuk dan nurani yang terluka, semua 

makhluk tanpa Kristus bagaikan tabib yang tidak berharga. 

Orang bisa habiskan waktu dengan tabib demikian, namun  

tidak pernah sembuh-sembuh, malahan menjadi lebih parah 

lagi (Mrk. 5:26). 

IV. Ayub memohon agar sahabat-sahabatnya diam dan mendengar-

kannya dengan sabar (ay. 5-6). 

1. Menurutnya, akan merupakan kehormatan bagi mereka apa-

bila mereka tidak berkata apa-apa lagi, sebab  mereka sudah 

berbicara begitu banyak: “Sekiranya kamu menutup mulut, itu 

akan dianggap kebijaksanaan dari padamu, sebab dengan 

demikian kamu akan dapat menyembunyikan ketidaktahuan 

dan kedengkianmu, yang sekarang timbul dalam segala sesua-

tu yang kamu katakan.” Mereka lalu mengajukan alasan bah-

wa mereka tidak dapat menahan diri untuk berbicara (4:2; 

11:2-3). Namun, Ayub mengatakan kepada mereka bahwa 

mereka akan menyelamatkan nama baik mereka sendiri jika 

mereka mau berdiam diri. Lebih baik tidak berkata apa pun 

daripada mengatakan sesuatu yang tidak ada gunanya atau 

yang cenderung tidak memuliakan Allah dan membuat sesama 

kita bersedih. Juga orang bodoh akan disangka bijak kalau ia 

berdiam diri, sebab tidak ada yang terlihat sebaliknya (Ams. 

17:28). Sama seperti berdiam diri merupakan bukti adanya 

hikmat, begitu pula diam merupakan cara menjadi berhikmat, 

sebab  memberikan waktu untuk berpikir dan mendengar. 


2. Ayub berpendapat akan adil baginya apabila mereka mau 

mendengarkan apa yang hendak dikatakannya: Dengarkanlah 

pembelaanku. Boleh jadi, meskipun mereka tidak menyela 

pembicaraannya, mereka tampak tidak peduli, dan tidak me-

nyimak apa yang diucapkan Ayub. Oleh sebab itu ia meminta 

agar mereka tidak saja mendengar, namun  menyimak juga. Per-

hatikanlah, bila sebab  suatu alasan, kita cenderung berpikir 

buruk tentang seseorang, maka sebaiknya kita membuka hati 

mendengarkan apa yang hendak ia sampaikan tentang dirinya. 

Banyak orang, jika didengarkan dengan baik, akan merasa 

lega, terbebas dari tuduhan, bahkan terhadap hati nurani 

orang-orang yang mempergunjingkannya. 

V. Ayub berusaha keras meyakinkan mereka akan kesalahan yang 

mereka perbuat terhadap kehormatan Allah, saat  mereka ber-

pura-pura membela perkara-Nya (ay. 7-8). Mereka memandang 

diri hebat telah berbicara mewakili Allah, menjadi pembela bagi-

Nya, dan telah berusaha membenarkan Dia dan tindakan-Nya 

terhadap Ayub. Dan sebab  mereka, seperti yang mereka sangka, 

telah menyampaikan nasihat Yang Mahakuasa, mereka berharap 

agar tidak saja didengarkan dan punya hak atas kata akhir, namun  

juga bahwa keputusan ada di pihak mereka. Namun, Ayub me-

ngatakan kepada mereka dengan terus terang, 

1. Bahwa Allah dan perkara-Nya tidak membutuhkan pembela 

semacam mereka: “Apakah menurut sangkamu kamu hendak 

berbantah untuk membela Allah, seakan-akan keadilan-Nya 

kabur dan perlu dibersihkan? Atau seolah-olah Ia kehilangan 

akal harus berkata apa dan ingin agar kamu berbicara untuk-

Nya? Akankah kamu yang begitu lemah serta penuh amarah 

ini punya kehormatan membela perkara Allah?” Pekerjaan 

yang baik janganlah diberikan kepada tangan-tangan yang ja-

hat. Apakah kamu mau memihak Allah? Jika orang yang tidak 

benar sampai memenangkan perkaranya, maka pastilah hakim 

sudah memihak kepada orang itu. Sebaliknya, perkara Allah 

begitu adil hingga tidak membutuhkan cara-cara semacam itu 

guna menopangnya. Ia yaitu  Allah yang mampu membela 

diri-Nya sendiri (Hak. 6:31). Jadi jika kamu mau diam saja, 

sorga akan mengumumkan keadilan-Nya. 

2. Bahwa perkara Allah dirugikan akibat penanganan semacam 

itu. Di balik kepura-puraan membenarkan Allah dalam men-

datangkan penderitaan ke atas Ayub, mereka dengan sikap 

berwibawa menuduhnya sebagai orang munafik yang jahat. 

“Ini,” ujar Ayub, “sama dengan berbohong” sebab sikap tidak 

mengenal belas kasihan dan suka mengecam merupakan per-

buatan jahat, perbuatan yang sangat jahat, dan memperlaku-

kan sesama dengan tidak benar merupakan pelanggaran ter-

hadap Allah. “Kamu mengucapkan dusta, sebab kamu menya-

lahkan orang, namun  pada saat yang sama hati nuranimu mau 

tidak mau membebaskannya dari segala tuduhan. Landasan 

pikiranmu salah, sedangkan alasanmu keliru. Lalu, masakan 

kamu berkata, Ini untuk Allah?” Tidak, sebab  niat baik tidak 

akan membenarkan, apalagi menyucikan perkataan atau tin-

dakan yang buruk. Kebenaran Allah tidak membutuhkan 

dusta kita. Perkara Allah juga tidak membutuhkan siasat atau 

semangat kita yang penuh dosa. Amarah manusia tidak me-

ngerjakan kebenaran Allah, dan kita tidak boleh berbuat yang 

jahat, supaya yang baik timbul dari padanya (Rm. 3:7-8). Kecu-

rangan berkedok kesalehan (begitulah orang menyebutnya) me-

rupakan penipuan yang cemar, sedangkan penganiayaan ber-

kedok kesalehan merupakan pencemaran mengerikan terhadap 

nama Allah. Ini sama seperti saudara-saudara, yang membenci 

sesama mereka dan mengucilkan mereka, berkata: “Baiklah 

TUHAN menyatakan kemuliaan-Nya (Yes. 66:5; Yoh. 16:2). 

VI. Ayub berusaha menyadarkan mereka supaya mereka gentar akan 

penghukuman Allah, sehingga dengan demikian membuat mereka 

berperilaku lebih baik. Janganlah mereka sampai memperdaya 

Allah seperti yang mungkin akan mereka perbuat terhadap sesama 

manusia seperti diri mereka, atau berharap memperoleh dukungan-

Nya dalam perilaku buruk mereka dengan pura-pura bersemangat 

bagi Dia dan kehormatan-Nya. “Sama seperti manusia menipu se-

samanya dengan cara menyanjung dia, apakah menurutmu kamu 

dapat mengolok-olok dan menipu Dia?” Yang sudah pasti, orang-

orang yang berpikir untuk menipu Allah akan terbukti menipu 

diri sendiri. Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya diper-

mainkan. Supaya para sahabatnya itu tidak berpikir bisa meng-

olok-olok Allah dan menghina-Nya, Ayub mau agar mereka mere-

nungkan baik Allah maupun diri mereka sendiri, sehingga dengan 

demikian mereka akan mendapati bahwa mereka tidak akan bisa 

menang melawan penghakiman-Nya. 

1. Biarlah mereka merenungkan seperti apa sebenarnya Allah 

itu, yang telah rela mereka layani. Mereka sungguh telah me-

nyakiti hati-Nya. Mereka harus bertanya-tanya apakah mereka 

dapat memberi pertanggungjawaban atas apa yang telah 

mereka lakukan. Renungkanlah, 

(1) Kecermatan Ayub dalam menyelidiki dan bertanya tentang 

para sahabatnya (ay. 9): “Apakah baik, kalau Ia memeriksa 

kamu? Mampukah kamu bertahan apabila asas pikiran yang 

kamu gunakan dalam kecamanmu itu diteliti, dan dasar ke-

camanmu itu diungkap?” Perhatikanlah, benar-benar men-

jadi urusan kita semua untuk merenungkan apakah akan 

membawa keuntungan bagi kita atau tidak apabila Allah 

menyelidiki hati kita. Sungguh baik bagi orang yang tulus 

dan jujur apabila Allah menyelidikinya. Itulah sebabnya ia 

berdoa: Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku. Ke-

mahatahuan Allah merupakan saksi ketulusan-Nya. Seba-

liknya, celakalah orang yang menoleh ke satu arah namun 

mendayung ke arah lain saat  Allah menyelidiki hatinya, 

sehingga didapatilah perbuatannya yang sebenarnya.  

(2) Kerasnya teguran Ayub dan rasa tidak sukanya terhadap 

sahabat-sahabatnya (ay. 10): “Jikalau kamu diam-diam me-

mihak, walau secara diam-diam dan di dalam hati, kamu 

akan dihukum-Nya dengan keras. Ia sama sekali tidak akan 

senang dengan kecamanmu terhadap diriku, meskipun de-

ngan dalih mempertahankan kehormatan-Nya. Ia pasti me-

rasa marah dengan kecaman seperti itu, seperti yang akan 

diperbuat raja atau orang besar manapun, jika suatu per-

buatan rendah dilakukan dengan memakai  namanya 

dan dilakukan dengan dalih demi kepentingannya.” Perha-

tikanlah, bagi kesalahan apa pun yang kita lakukan, kita 

pasti akan ditegur dengan satu atau lain cara dan pada 

satu atau lain waktu, meskipun dilakukan dengan tersem-

bunyi. 

(3) Kedahsyatan keagungan-Nya, yang seandainya mereka ka-

gumi seperti seharusnya, tentu mereka tidak akan semba-

rangan berbuat sesuatu yang dapat mengakibatkan mereka 

menjadi sasaran murka-Nya (ay. 11): “Apakah kebesaran-

Nya tidak akan mengejutkan kamu? Kamu yang tahu begitu 

banyak tentang Allah, dan mengaku beribadah serta takut 

kepada-Nya, betapa beraninya kamu berbicara seperti ini 

dan begitu bebas mengutarakannya? Bukankah kamu ha-

rus berlaku dan berbicara dengan takut akan Allah? (Neh. 

5:9). Bukankah seharusnya ketakutan kepada-Nya me-

nimpa kamu, sehingga mengendalikan semangatmu?” Saya 

berpendapat bahwa Ayub berkata demikian sebagai orang 

yang mengetahui sendiri kedahsyatan Tuhan dan hidup 

dengan ketakutan kudus terhadap-Nya, tidak peduli apa 

pun penilaian sahabat-sahabatnya yang bertolak belakang 

tentang dia. Perhatikanlah, 

[1] Di dalam diri Allah terdapat keagungan yang menakut-

kan. Ia yaitu  Wujud yang terunggul, memiliki segala 

keunggulan di dalam diri-Nya dan di dalam setiap hal 

mengungguli makhluk ciptaan apa pun secara tak ter-

hingga. Keunggulan-Nya itu sendiri sangat mengagum-

kan dan menyenangkan. Ia yaitu  Wujud terindah, na-

mun mengingat jauhnya jarak manusia dari Allah secara 

kodrat, serta kerusakan dan kemerosotannya akibat dosa, 

segala keunggulan-Nya itu menjadi menakutkan. Kuasa, 

kekudusan, keadilan, bahkan kebaikan-Nya pun meru-

pakan keunggulan yang menakutkan. Mereka akan ta-

kut kepada Tuhan dan kebaikan-Nya. 

[2] Rasa takjub yang kudus terhadap kebesaran-Nya yang 

menakutkan itu haruslah menimpa kita dan membuat 

kita takut. Hal ini akan menyadarkan orang-orang ber-

dosa yang tidak mau bertobat, dan membawa mereka 

kepada pertobatan, serta memengaruhi semua orang 

agar dengan hati-hati berusaha menyenangkan hati-Nya 

dan takut melakukan kesalahan terhadap-Nya. 

2. Biarlah mereka merenungkan keadaan mereka sendiri, betapa 

tidak seimbangnya diri mereka dibandingkan dengan Allah 

yang agung (ay. 12): “Dalil-dalilmu (segala sesuatu dalam diri-

mu yang kamu harap akan dikenang setelah kamu tiada) ada-

lah amsal debu, tidak berguna dan lemah, serta mudah diin-

jak-injak dan diterbangkan angin. Perisaimu bagaikan perisai 

tanah liat, mudah berjamur dan akan lenyap. Ingatanmu, sang-

kamu, akan bertahan lebih lama dibandingkan tubuhmu, na-

mun sayang sekali, ingatanmu bagaikan debu yang akan dise-

rok bersama debumu.” Perhatikanlah, perenungan terhadap 

kerendahan dan kefanaan diri kita sudah seharusnya membuat 

kita takut melakukan kesalahan terhadap Allah, dan memberi-

kan alasan tepat mengapa kita tidak boleh memandang rendah 

dan menginjak-injak sesama kita. Uskup Patrick memberikan 

makna lain pada ayat ini: “Bantahan yang kamu sampaikan 

atas nama Allah tidak lebih baik daripada debu, sedangkan 

sanggahanmu yang bertumpuk-tumpuk itu tidak lebih dari 

gundukan kotoran.” 

Pembelaan Ayub 

(13:13-22) 

13 Diam! Aku hendak bicara, apapun yang akan terjadi atas diriku! 14 Daging-

ku akan kuambil dengan gigiku, dan nyawaku akan kutatang dalam geng-

gamku. 15 Lihatlah, Ia hendak membunuh aku, tak ada harapan bagiku, na-

mun aku hendak membela perilakuku di hadapan-Nya. 16 Itulah yang menye-

lamatkan aku; namun  orang fasik tidak akan menghadap kepada-Nya. 17 De-

ngarkanlah baik-baik perkataanku, perhatikanlah keteranganku. 18 Ketahuilah, 

aku menyiapkan perkaraku, aku yakin, bahwa aku benar. 19 Siapa mau ber-

sengketa dengan aku? Pada saat itu juga aku mau berdiam diri dan binasa.  

20 Hanya janganlah Kaulakukan terhadap aku dua hal ini, maka aku tidak akan 

bersembunyi terhadap Engkau: 21 jauhkanlah kiranya tangan-Mu dari padaku, 

dan kegentaran terhadap Engkau janganlah menimpa aku! 22 Panggillah, maka 

aku akan menjawab; atau aku berbicara, dan Engkau menjawab. 

Dalam perikop ini Ayub berpegang kembali, dan dengan teguh, pada 

ketulusannya, sebagai orang yang sudah bulat hati tidak akan mele-

paskan pegangannya, atau membiarkannya dirampas darinya. Kete-

guhannya dalam perkara ini patut dipuji dan amarahnya dapat dimaaf-

kan. 

I. Ayub meminta dengan sangat agar sahabat-sahabatnya dan se-

mua yang hadir membiarkan ia sendirian, dan tidak mengganggu-

nya saat ia menyampaikan apa yang hendak dikatakannya (ay. 

13), melainkan menyimak dengan baik (ay. 17). Ia ingin sanggah-

annya tidak dibantah, sebab tidak seorang pun selain Allah dan 

dirinya sendiri yang mengenal isi hatinya. “Oleh sebab itu diam-

lah, dan janganlah aku mendengar perkataanmu lagi. Dengarkan 

baik-baik apa yang hendak kukatakan, dan biarlah aku meneguh-

kannya dengan sumpahku untuk mengakhiri perselisihan ini.” 

II. Ayub bertekad tetap berpegang pada kesaksian hati nuraninya 

sendiri mengenai ketulusannya. Meskipun sahabat-sahabatnya 

menyebutnya sebagai sifat keras kepala, hal itu tidak mampu 

menggoyahkan ketetapan hatinya: “Aku akan berbicara untuk 

membela diri, apapun yang akan terjadi atas diriku (ay. 13). Biar-

kan saja sahabat-sahabatku mereka-rekakan sesuka hati dan 

berpikir buruk tentang diriku. Aku berharap Allah tidak meng-

anggap aku berbuat salah sebab  terpaksa membela diri, seperti 

yang kalian lakukan. Ia akan membenarkan aku (ay. 18), se-

hingga dengan demikian aku tidak melakukan kesalahan apa 

pun. Orang-orang yang tulus dan memiliki jaminan perihal ke-

tulusan mereka, dapat dengan senang hati menghadapi setiap 

kejadian. Apa pun yang terjadi, bene præparatum pectus – mereka 

siap untuk itu. Ayub bertekad (ay. 15) hendak membela perilaku-

nya. Ia tidak akan pernah berpisah dengan rasa puas yang di-

alaminya selama berjalan dengan tulus bersama Allah. Meskipun 

ia tidak dapat membenarkan setiap kata yang telah diucapkan-

nya, namun secara umum jalan hidupnya baik adanya. Ia hendak 

mempertahankan ketulusannya itu. Untuk apa ia meninggalkan-

nya, itulah yang menjadi dukungan terbesarnya di balik semua 

pengalamannya selama ini, sama seperti yang dikatakan Hizkia, 

Ah TUHAN, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-

Mu. Bahkan lebih dari itu, Ayub tidak saja tidak akan meninggal-

kan perkaranya atau atau menyerah, namun  bahkan juga bersedia 

mengakui kesungguhan hatinya secara terbuka, sebab  (ay. 19): 

“Jika aku berdiam diri, dan tidak berbicara untuk diriku sendiri, 

maka sikap diamku itu akan membungkamku selamanya, sebab 

aku pasti akan binasa” (ay. 19). “Kalaupun nama baikku tidak 

dibersihkan, setidaknya biarlah aku hatiku menjadi tenang me-

lalui apa yang kukatakan,” sama seperti halnya Elihu (32:17, 20). 

III. Ayub mengeluhkan parahnya rasa sakit dan kesengsaraan yang 

sedang menderanya (ay. 14): Dagingku akan kuambil dengan gigi-

ku. Artinya, 

1. “Mengapa aku sampai mengalami penderitaan sekarat sema-

cam ini? Mau tidak mau aku bertanya-tanya mengapa Allah 

mengizinkan kesengsaraan sehebat ini, padahal Ia tahu aku 

bukan orang jahat.” Ayub siap untuk tidak saja mengoyakkan 

pakaiannya, namun  juga dagingnya, akibat beratnya penderita-

an yang dialaminya itu. Ia melihat dirinya sudah di ambang 

kematian, sedangkan nyawanya ada dalam genggamannya. 

Namun, sahabat-sahabatnya tidak dapat menjatuhkan tuduh-

an ke atas dirinya dengan kejahatan besar. Ia sendiri pun 

tidak dapat menemukan kejahatan apa pun yang telah diper-

buatnya. Tidak mengherankan apabila ia begitu bingung. 

2. “Mengapa aku harus menahan dan mengekang diri untuk 

mengungkapkan sanggahanku bahwa aku tidak bersalah?” 

saat  orang yang mengalami kesukaran hebat menahan perka-

taan yang hendak diucapkannya, ia menggigit bibirnya. “Nah,” 

ujarnya, “mengapa aku tidak boleh bebas berbicara saja? Aku 

hanya menyakiti diri sendiri, menambah kesengsaraanku, dan 

membahayakan nyawaku dengan cara menahan diri.” Perhati-

kanlah, orang yang paling sabar pun akan merasa sakit, saat  

telah kehilangan segala sesuatu, lalu dijauhkan pula dari rasa 

terhibur (yang layak diterimanya) bahwa hati nurani bersih 

dan namanya tidaklah cemar. 

IV. Ayub menghibur diri di dalam Allah, dan masih berpegang pada 

keyakinannya di dalam Dia. Amatilah di sini, 

1. Apa yang diandalkannya dari Allah, yaitu pembenaran dan ke-

selamatan, dua hal besar yang kita harapkan melalui Kristus. 

(1) Pembenaran (ay. 18): aku menyiapkan perkaraku, dan me-

ngenai seluruh perkara itu, aku yakin, bahwa aku benar. 

Ayub tahu mengenai hal ini sebab ia tahu bahwa Penebus-

nya hidup (19:25). Orang-orang yang tulus hati dengan 

Allah dan tidak hidup menurut kedagingan namun  menurut 

Roh, boleh merasa yakin bahwa melalui Kristus mereka 

tidak akan dijatuhi hukuman. Siapa pun memikul tang-

gung jawab akan dibenarkan. Mereka boleh mengetahui 

bahwa mereka akan dibenarkan. 

(2) Keselamatan (ay. 16): Itulah yang menyelamatkan aku. 

Yang dimaksudkan Ayub bukanlah sekadar keselamatan 

sementara waktu, ia nyaris tidak mengharapkannya, me-

lainkan keselamatan kekal. Mengenai keselamatan kekal, ia 

sangat yakin bahwa Allah bukan saja menjadi Juruselamat 

yang membuatnya bahagia, melainkan juga keselamatan 

dalam arti ia akan melihat dan menikmati Dia, yang akan 

membuatnya bahagia. Alasan mengapa ia mengandalkan 

Allah untuk memperoleh keselamatan yaitu  sebab  orang 

fasik tidak akan menghadap kepada-Nya. Ayub tahu dirinya 

bukanlah orang fasik, dan hanya orang fasiklah yang akan 

ditolak Allah. Itulah sebabnya ia menyimpulkan bahwa ia 

tidak bisa ditolak. Kesungguhan dan ketulusan hati meru-

pakan kesempurnaan Injili. Tidak ada suatu pun yang akan 

menghancurkan kita selain tiadanya ketulusan hati itu. 

2. Betapa dengan setia Ayub mengandalkan Allah: apabila Ia 

hendak membunuh aku sekalipun, aku akan tetap percaya 

kepada-Nya (ay. 15, KJV). Ini merupakan ungkapan iman yang 

sangat tinggi, sesuatu yang harus berusaha keras kita capai, 

yaitu mempercayai Allah, sekalipun ia membunuh kita. Arti-

nya, kita harus senang dengan Allah sebagai sahabat, bahkan 

saat  Ia tampaknya melawan kita s