Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 16


 h!” Rasul menjawab: “Baik. Engkau saja 

yang melakukannya!” 

Maka orang Anshar itu pun melawan para musyrikin sehingga ia 

terbunuh. lalu  Rasulullah Saw masih terus menaiki gunung ini  

bersama beberapa sahabatnya, dan kaum musyrikin pun terus mengejar 

Beliau.  

Rasul Saw bertanya: “Adakah seorang pria yang mampu menghadapi 

mereka?” 

Thalhah menjawab: “Saya mampu, ya Rasulullah!” Rasul bersabda: 

“Tidak, tetaplah di tempatmu!” 

Seorang pria lain dari Anshar berkata: “Saya mampu melakukannya, ya 

Rasulullah!” 

Rasul menjawab: “Baik. Engkau saja yang melakukannya!” 

lalu  pria tadi menghadang kaum musyrikin sehingga ia pun 

terbunuh. 

Rasul Saw terus menaiki gunung, dan kaum musyrikin masih terus 

mengejarnya. Rasul Saw terus saja mengatakan hal serupa kepada para 

pengikutnya. 

Dan Thalhah terus saja menjawab: “Saya mampu melakukannya, ya 

Rasulullah!” Namun Rasul Saw selalu mencegahnya dan Rasul Saw 

mengizinkan orang Anshar untuk menghadapi mereka, sehingga mereka 

semua mati sebagai syahid. Tidak ada yang tersisa menemani Rasul Saw 

saat itu selain Thalhah, sedangkan kaum musyrikin terus mengejar. Maka 

pada saat itulah Rasulullah Saw bersabda kepadanya: “Baiklah, saat ini 

engkau boleh menghadang mereka!” 

Pada saat itu Rasulullah Saw telah tanggal gigi gerahamnya, dahi dan 

bibir Beliau terluka. Darah mengalir dari wajahnya dan Beliau sudah 

merasa lelah. Thalhah langsung menyerang kaum musyrikin yang 

mengejar Nabi Saw sehingga ia mampu menghadang mereka untuk 

mengejar Rasul Saw. lalu  ia kembali lagi menemui Nabi Saw 

sehingga ia dan Beliau naik sedikit ke arah puncak gunung, lalu 

menempatkan Beliau di tanah. Dan ia kembali lagi menghadang kaum 

musyrikin. Ia terus saja melakukan hal itu sehingga dapat mencegah kaum 

musyrikin agar tidak mengejar Nabi Saw. 

Abu Bakar berkata: “Pada saat itu aku dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah 

berada jauh dari Rasulullah Saw. Begitu kami berjumpa dan hendak 

mengobati Beliau, Beliau bersabda: “Tinggalkan aku dan bantulah sahabat 

kalian (maksudnya yaitu  Thalhah)!” 

Ternyata kami menemui Thalhah sudah bersimbah darah. Di tubuhnya 

tidak kurang dari 70 luka pedang, tusukan tombak dan anak panah. Ia 

sudah kehilangan telapak tangannya dan telah terjatuh pada sebuah lubang 

yang tertutup. 

 sesudah  itu Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang ingin melihat 

seorang manusia yang berjalan di muka bumi dan ia telah meninggal, maka 

lihatlah Thalhah bin Ubaidillah!” 

Abu Bakar As Shiddiq ra jika teringat peristiwa Uhud maka ia akan 

mengatakan: “Hari itu semuanya yaitu  milik Thalhah.” 

  

Demikianlah kisahnya mengapa Thalhah dipanggil dengan As Syahid Al 

Hayy, sedangkan mengapa dia dipanggil dengan Thalhah Al Khair dan 

Thalhah Al Juud, maka ada 101 kisah yang dapat menceritakannya. 

Salah satunya yaitu  bahwa Thalhah yaitu  seorang pedagang yang 

memiliki perdagangan yang besar dan melimpah. Suatu saat ia berhasil 

membawa harta dari Hadramaut yang mencapai 700 ribu dirham. Pada 

malam harinya ia merasa takut dan khawatir. 

Istrinya yang bernama Ummu Kultsum binti Abu Bakar As Shiddiq 

mendatanginya dan bertanya: “Ada apa denganmu, wahai Abu Muhammad 

(Pent. Nama panggilan Thalhah)?! Apakah ada di antara kami yang telah 

berbuat kesalahan terhadapmu?!” Ia menjawab: “Tidak, Istri seorang suami 

muslim terbaik yaitu  engkau! Akan tetapi sejak semalam aku berpikir dan 

bertanya: “Apakah sangkaan seorang muslim kepada Tuhannya jika ia 

tertidur dengan harta sejumlah ini berada di rumahnya?!” Istrinya 

bertanya: “Apa yang membuatmu gundah akan harta ini ?! Di mana 

dirimu saat banyak orang yang membutuhkan di kalangan kaum dan 

kerabatmu?! Esok pagi, bagikanlah harta ini  kepada mereka!” 

Thalhah berkata: “Semoga Allah merahmatimu. Engkau yaitu  seorang 

wanita yang diberi petunjuk putri dari orang yang telah diberi petunjuk 

(Abu Bakar As Shiddiq).” 

Keesokan harinya ia menempatkan harta ini  di kantung-kantung 

dan piring besar. Ia membagikan harta ini  kepada para fakir dari 

kaum Muhajirin dan Anshar. 

  

Diriwayatkan juga bahwa ada seorang pria yang datang kepada 

Thalhah bin Ubaidillah yang meminta pertolongannya, lalu  pria tadi 

menyebutkan bahwa mereka berdua masih ada hubungan kerabat. Maka 

Thalhah langsung berkata: “Rupanya orang ini yaitu  familiku, dan tidak 

ada seorangpun yang memberitahukannya kepadaku sebelumnya. Dan aku 

memiliki sepetak tanah yang akan dibayar oleh Utsman bin Affan seharga 

300 ribu. Jika engkau mau, ambillah tanah ini . Dan jika engkau mau, 

aku akan menjualnya kepada Utsman seharga 300 ribu, dan aku akan 

memberikan uangnya kepadamu. 

Pria ini  berkata: “Aku lebih memilih uangnya saja.” 

Dan Thalhah pun memberikan uang ini  kepadanya! 

  

Selamat kepada Thalhah Al Khair dan Thalhah Al Juud dengan julukan 

yang diberikan oleh Rasulullah Saw kepadanya. Semoga Allah Swt 

meridhainya dan menerangi kuburnya. 


Abu Hurairah Al Dausy 

“Abu Hurairah telah Menghapalkan Demi Ummat Islam Lebih dari 

1600 Hadits Rasulullah Saw” (Para Ahli Sejarah) 

 

Tidak diragukan bahwa Anda sudah mengetahui bintang kejora dari 

kalangan para sahabat Rasulullah Saw ini. Adakah orang dalam ummat 

Islam yang belum mengenal Abu Hurairah? 

Orang-orang pada masa jahiliah memanggilnya dengan Abdu Syamsin 

(Hamba Matahari). Begitu Allah Swt memuliakan dirinya dengan Islam dan 

bertemu dengan Nabi Saw yang bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia 

menjawab: “Nama saya yaitu  Abdu Syamsin.” Lalu Rasulullah Saw 

bersabda: “Bukan. Namamu sekarang yaitu  Abdurrahman.” Ia membalas: 

“Baik. Namaku mulai sekarang yaitu  Abdurrahman. Demi ibu dan 

ayahku, ya Rasulullah!” 

Sedangkan ia dijuluki dengan nama Abu Hurairah (bapak kucing), 

sebab  saat ia masih kecil ia memiliki seekor kucing kecil yang selalu 

bermain dengannya. Oleh sebab nya, para temannya memanggil dia 

dengan: Abu Hurairah. 

Nama ini  semakin terkenal sehingga nama aslinya kalah tenar 

oleh julukannya ini. 

Begitu ia sudah sering akrab dengan Rasulullah Saw, maka Beliau 

memanggilnya dengan Abu Hirr agar lebih akrab dan terkesan sayang. Dan 

Abu Hurairah sendiri lebih suka dengan panggilan Abu Hirr dibandingkan  Abu 

Hurairah. Dan ia pernah berkata: “Kekasihku Rasulullah, memanggil diriku 

dengan nama ini ! Sebab Hirr yaitu  kucing jantan sedangkan 

Hurairah yaitu  betina. Jantan lebih baik dibandingkan  betina!” 

  

Abu Hurairah masuk Islam lewat Al Thufail bin Amr Al Dausy. Ia 

menetap di Daus hingga tahun keenam hijriyah saat ia bersama utusan 

kaumnya datang menghadap Rasulullah Saw di Madinah. 

  

Pemuda yang berasal dari Daus ini mendedikasikan waktunya untuk 

berkhidmat dan mendampingi Rasulullah Saw. Maka pemuda tadi lebih 

memilih untuk tinggal di masjid. Menjadikan Nabi sebagai pengajar dan 

imam dirinya. Sebab ia sendiri dalam hidupnya tidak beristri dan beranak. 

Dia hanya memiliki seorang ibu tua renta yang terus berusaha untuk 

  

mengajaknya kembali kepada kemusyrikan. Abu Hurairah tidak pernah 

jemu untuk mengajak ibunya untuk masuk ke dalam Islam, sebab  ia 

merasa kasihan dan ingin berbakti kepadanya. Akan tetapi ibunya selalu 

menolak dan membantah ajakannya. 

Abu Hurairah pun meninggalkan ibunya. Dan ia merasa bersedih 

sebab  sikap ibunya sehingga kesedihan ini  menguasai relung 

hatinya. 

Pada suatu hari Abu Hurairah mengajak ibunya untuk beriman kepada 

Allah dan Rasul-Nya. lalu  ibunya mengucapkan ungkapan yang 

buruk tentang Nabi Saw sehingga membuat Abu Hurairah bersedih. 

Maka Abu Hurairah pergi menemui Rasulullah Saw sambil menangis. 

Nabi Saw bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis, 

wahai Abu Hurairah?!” 

Ia menjawab: “Aku tidak pernah merasa bosan untuk mengajak ibuku 

masuk ke dalam Islam. Akan tetapi ia terus menolak ajakanku. Hari ini aku 

mengajaknya lagi, namun ia mengucapkan hal buruk tentang dirimu. 

Berdo’alah kepada Allah agar Ia mau mencondongkan hati ibu Abu 

Hurairah ke arah Islam!” 

Maka Nabi Saw pun langsung berdo’a untuk ibu Abu Hurairah. 

Abu Hurairah berujar: 

Aku pun segera kembali ke rumah. Ternyata pintu rumah telah terbuka. 

Aku mendengar ada suara air dari dalam dan aku berniat masuk ke dalam, 

namun ibuku langsung berkata: “Diam di tempatmu, ya Abu Hurairah!” 

lalu  ia mengenakan bajunya dan berkata: “Masuklah!” Begitu 

aku masuk, ibuku langsung berkata: “Asyhadu an la ilaha illallahu wa 

asyhadu anna muhammadan abduhu wa Rasuluhu. 

Aku kembali menemui Rasulullah Saw dan aku menangis saking 

gembiranya persis seperti aku menangis sebab  aku merasa sedih 

sebelumnya. Aku berkata kepada Beliau: “Berita gembira, ya Rasulullah! 

Allah Swt telah mengabulkan do’amu dan memberikan petunjuk kepada 

Ummi Abu Hurairah agar masuk Islam.” 

  

Abu Hurairah amat mencintai Rasulullah Saw dengan kecintaan yang 

mengalir ke seluruh daging dan darahnya. Ia tidak pernah jemu 

memandang Rasulullah Saw dan berkata: “Aku tidak pernah melihat 

apapun yang lebih indah dan ceria dibandingkan  Rasulullah Saw, bahkan seolah 

matahari beredar di wajah Beliau.” 

Dia selalu memuji Allah Swt sebab  telah memberikan anugerah 

kepadanya untuk mendampingi dan mengikuti ajaran agamanya. Ia 

berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah memberikan petunjuk kepada 

Abu Hurairah sehingga masuk Islam… Segala puji bagi Allah Yang telah 

 

mengajarkan Al Qur’an kepada Abu Hurairah… Segala puji bagi Allah 

Yang telah memberikan anugerah kepada Abu Hurairah untuk menjadi 

sahabat Muhammad Saw.” 

  

Sebagaimana Abu Hurairah amat mencintai Rasulullah Saw, ia juga 

amat mencintai ilmu dan menjadikan ilmu ini  sebagai kebiasaan serta 

cita-citanya. 

Zaid bin Tsabit mengisahkan: “Saat aku, Abu Hurairah dan seorang 

sahabatku lainnya sedang berada di Masjid untuk berdo’a dan bedzikir 

kepada Allah Swt, lalu datanglah Rasulullah Saw ke arah kami dan duduk 

dihadapan kami. Lalu kami pun diam.” 

Rasulullah Saw bersabda: “Lakukanlah lagi apa yang sedang kalian 

lakukan!” 

Saya dan sahabatku berdo’a kepada Allah –sebelum Abu Hurairah- dan 

Rasul Saw mengaminkan do’a kami. 

lalu  Abu Hurairah berdo’a: “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu 

seperti apa yang dipinta oleh kedua sahabatku. Aku minta kepada-Mu ilmu 

yang tidak pernah terlupa.” lalu  Rasulullah Saw mengucapkan: 

“Amin.” 

Lalu kami meminta kepada Allah ilmu yang tidak bakal terlupa. Namun 

Rasulullah Saw bersabda: “Kalian sudah didahului oleh pemuda Al Dausy 

ini.” 

  

Sebagaimana Abu Hurairah mencintai ilmu untuk dirinya, ia pun 

menyukai apabila ilmu ini  dapat bermanfaat buat orang lain. 

Salah satunya yaitu  saat ia suatu hari sedang melewati pasar 

Madinah. Dia merasa aneh dengan manusia yang sibuk oleh urusan dunia, 

dan tenggelam dalam urusan jual-beli. lalu  ia berdiri dihadapan 

mereka dan berkata: “Alangkah lemahnya kalian, wahai penduduk 

Madinah!!” 

Mereka menjaawab: “Apa yang membuat kamu mengira bahwa kami 

yaitu  lemah, wahai Abu Hurairah?!” 

Ia menjawab: “Harta warisan Rasulullah Saw sedang dibagikan 

sedangkan kalian masih saja berada di sini!! Apakah kalian tidak mau pergi 

ke sana dan mengambil jatah kalian?!” 

Mereka bertanya: “Dimana Beliau sekarang, wahai Abu Hurairah?!” 

Ia menjawab: “Beliau berada di Masjid.” 

Maka merekapun segera berlari terburu-buru. Sementara Abu 

Hurairah menunggu mereka sehingga mereka kembali. Begitu mereka 

melihat Abu Hurairah mereka berkata: “Wahai Abu Hurairah, kami sudah 

datang dan masuk ke dalam Masjid, akan tetapi kami tidak mendapati 

apapun dibagikan di sana.” 

Abu Hurairah bertanya kepada mereka: “Apakah kalian tidak 

mendapati seorangpun berada di Masjid?!” Mereka menjawab: “Tentu 

kami melihat ada orang yang sedang shalat. Beberapa orang sedang 

membaca Al Qur’an dan beberapa orang sedang mempelajari halal dan 

haram (ilmu fiqih).” 

Abu Hurairah langsung berkata: “Celaka kalian, itulah harta warisan 

Rasulullah Saw!” 

  

sebab  kecintaannya terhadap ilmu dan majlis ilmu Rasulullah, Abu 

Hurairah pernah merasa amat lapar dan hidup menderita untuk 

mendapatkannya. 

Ia menceritakan tentang dirinya sendiri: Jika aku sudah merasa amat 

lapar, aku akan bertanya kepada salah seorang sahabat Rasulullah Saw 

tentang sebuah ayat Al Qur’an –padahal aku sendiri telah mengetahuinya- 

agar ia mengajakku ke rumahnya dan memberi makan kepadaku. 

Aku pernah merasa amat lapar sehingga aku mengganjal perutku 

dengan batu. Aku lalu duduk di jalan yang biasa di lalui oleh para sahabat. 

Lalu Abu Bakar mendapatiku dan aku bertanya kepadanya tentang sebuah 

ayat dalam Kitabullah. Aku tidak bertanya sesuatu kepadanya, kecuali agar 

ia mengundangku untuk datang ke rumahnya, namun ia tidak 

mengundangku. 

Lalu lewatlah Umar bin Khattab, dan aku tanyakan kepadanya tentang 

sebuah ayat, dan ia juga tidak mengundangku ke rumahnya. Sehingga 

lewatlah Rasulullah Saw dan ia mengetahui bahwa aku lapar. Beliau 

bersabda: “Apakah engkau Abu Hurairah?” Aku menjawab: “Benar, ya 

Rasulullah!” Lalu aku mengikuti Beliau dan aku masuk ke rumah Beliau 

dan ia mendapati sebuah gelas berisikan susu. Beliau bertanya kepada 

keluarganya: “Dari mana kalian dapatkan susu ini?” Keluarganya 

menjawab: “Fulan mengirimkannya untukmu.” Rasul Saw lalu bersabda: 

“Ya Abu Hurairah, Pergilah engkau ke ahli suffah164 dan undanglah 

mereka semua!” 

Aku merasa kesal sebab  Rasul Saw menyuruhku untuk mengundang 

mereka semua. Aku berujar dalam hati: “Apa yang diberikan oleh susu 

ini  kepada Ahli Suffah?!” 

                                                     

164

 Mereka yaitu  tetamu Allah Swt dari kalangan muslim yang fakir, yang tiada memiliki istri, 

anak dan harta. Mereka menetap di sebuah Suffah di dalam Masjid Rasul Saw. Oleh sebab nya, mereka 

dikenal sebagai Ahli Suffah. 

Dan aku amat berharap aku mendapat seteguk air susu terlebih dahulu 

untuk menguatkan tubuhku, lalu lalu  aku berangkat untuk 

mengundang mereka. 

Aku lalu mendatangi Ahli Suffah lalu mengundang mereka. Dan 

mereka pun datang semuanya. Begitu mereka sudah duduk di dalam rumah 

Rasulullah Saw, Beliau bersabda: “Ambillah ini, ya Abu Hurairah dan 

bagikanlah kepada mereka!” Maka aku memberikan bejana ini  

kepada salah seorang dari mereka sehingga ia merasa puas dan semua 

orang sudah mendapatkan bagiannya. lalu  aku memberikan gelas 

susu ini  kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu mengangkat kepalanya ke 

arahku sambil tersenyum dan berkata: “Yang tersisa hanya engkau dan aku 

saja!” Aku menjawab: “Benar, ya Rasulullah!” Beliau bersabda: 

“Minumlah!” dan aku pun meminumnya. lalu  ia bersabda: 

“Minumlah!” dan aku meminumnya lagi. 

Ia terus mengatakan: “Minumlah!” dan aku pun selalu meminumnya, 

sehingga aku berkata: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, 

sudah tidak ada tempat dalam tubuhku untuk menampungnya lagi!” 

lalu  Rasul Saw mengambil gelas tadi lalu  Beliau meminum 

susu yang tersisa. 

  

Tidak berselang lama sejak itu, sehingga kaum muslimin mendapatkan 

kebaikan yang amat banyak. Mereka mendapatkan harta ghanimah yang 

melimpah dari penaklukan yang mereka lakukan. Sehingga Abu Hurairah 

pun memiliki harta, tempat tinggal & perabotan, istri & anak. 

Akan tetapi itu semua tidak merubah apapun terhadap dirinya yang 

mulia. Ia tidak pernah lupa akan hari-hari susahnya dahulu. Ia sering kali 

berkata: “Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim. Aku berhijrah sebagai 

orang miskin. Aku pernah menjadi pegawai Busrah binti Ghazwan untuk 

sekedar memberiku makan. Aku melayani kaum jika mereka singgah. Dan 

aku menarikkan unta mereka bila mereka hendak berangkat. Dan kini 

Allah Swt telah menikahkah aku dengan Busrah. Segala puji bagi Allah 

Yang telah menjadikan agama sebagai pegangan dan menjadikan Abu 

Hurairah sebagai seorang imam. 

  

Abu Hurairah pernah menjadi wali (gubernur) Madinah pada 

pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan lebih dari sekali. Jabatan ini  

sedikitpun tidak merubah watak dan sikapnya. 

Ia pernah melintasi sebuah jalan di Madinah –pada saat itu ia menjadi 

wali di sana-. Ia membawa kayu bakar di atas punggung untuk dibawa 

kepada keluarganya. lalu  ia berpapasan dengan Tsa’labah bin Malik. 

lalu  Abu Hurairah berkata kepada Tsa’labah: “Tolong berikan jalan 

untuk Amir (pemimpin), ya Ibnu Malik!” Tsa’labah membalas: “Semoga 

Allah merahmatimu. Apakah engkau belum merasa cukup sehingga masih 

mengerjakan hal ini?” 

Abu Hurairah membalas: “Berikan jalan untuk Amir dan kayu bakar 

yang ada di punggungnya!” 

Selain terkenal sebagai orang yang luas ilmunya dan berbudi luhur, ia 

juga dikenal sebagai orang yang bertaqwa dan wara’. Ia selalu berpuasa di 

siang hari, dan pada seperti malam pertama ia sudah bangun untuk ibadah. 

lalu  pada paruh kedua malam, ia membangunkan istrinya sehingga 

istrinya beribadah pada sepertiga kedua dari malam. lalu  Istrinya 

pada separuh malam terakhir membangunkan putrinya untuk beribadah. 

Maka ibadah kepada Allah Swt tidak pernah berhenti sepanjang malam 

di rumah Abu Hurairah. 

  

Abu Hurairah pernah memiliki seorang budak wanita berasal dari 

Zinjy165 yang pernah berlaku kasar kepada Abu Hurairah. Seluruh keluarga 

pun menjadi kesal. Abu Hurairah lalu mengambil cambuk untuk 

dipukulkan ke arah budak wanita tadi. Namun Abu Hurairah berhenti dan 

berkata: “Kalau saja tidak ada qishas di hari kiamat, aku pasti akan 

menyakitimu sebagaimana engkau menyakitiku. Akan tetapi aku akan 

menjualmu kepada siapa saja yang dapat membayar hargamu, dan aku 

lebih butuh terhadap uang ini . Sekarang, pergilah! Engkau aku 

bebaskan sebab  Allah Swt.” 

  

Putrinya pernah berkata kepada Abu Hurairah: “Ayah, anak-anak gadis 

lain menyindirku dan berkata: ‘mengapa ayahmu tidak menghiasi dirimu 

dengan dzahab (emas)?!” Abu Hurairah menjawab: “Wahai anakku, 

katakan kepada mereka: ‘Ayahku takut bila aku terkena panasnya lahab 

(api neraka).” 

  

Abu Hurairah tidak memberikan perhiasan kepada anaknya bukan 

sebab  pelit dan kikir akan harta,sebab dia yaitu  orang yang amat 

dermawan di jalan Allah Swt. 

Marwan bin Al Hakam pernah mengirimkan kepadanya 100 dinar 

emas. Keesokan harinya Marwan mengirimkan seorang utusan yang 

menyampaikan kepada Abu Hurairah: “bahwa pembantuku keliru telah 

memberikan dinar-dinar ini  kepadamu. Padahal yang aku tuju yaitu  

orang lain selain kamu.” Abu Hurairah merasa kesal dan berkata: “Aku 

                                                     

165

 Dari negeri Zinjy dan mereka yaitu  sebuah kaum dari Sudan. 

akan memberikannya di jalan Allah Swt dan tidak ada satu dinar pun yang 

tersisa padaku. Jika hakku di Baitul Mal telah keluar, maka ambillah saja 

uang ini !” 

Marwan melakukan hal itu hanya untuk menguji Abu Hurairah. Begitu 

sudah terbukti, maka Marwan yakin bahwa Abu Hurairah yaitu  orang 

yang benar. 

  

Abu Hurairah –semasa hidupnya- selalu berbakti kepada ibunya. Setiap 

kali ia hendak pergi meninggalkan rumah, ia akan berdiri di depan pintu 

kamar ibunya dan berkata: “Semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah 

atasmu, wahai ibuku!” 

Ibunya akan menjawab: “Semoga keselamatan, rahmat dan berkah 

Allah juga atasmu, wahai anakku!” 

Abu Hurairah lalu  berkata: “Semoga Allah merahmatimu 

sebagaimana engkau telah membesarkan aku di waktu kecil.” 

Ibunya membalas: “Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau 

berbakti kepadaku saat aku sudah tua.” 

lalu  bila ia telah kembali ke rumah, ia akan melakukan hal yang 

sama terhadap ibunya. 

  

Abu Hurairah amat menyerukan kepada manusia untuk senantiasa 

berbakti kepada orang tua dan menjaga hubungan kerabat (silaturahmi). 

Suatu hari ia melihat ada dua orang pria sedang berjalan bersama, 

dimana salah satunya lebih tua dari lainnya. Abu Hurairah bertanya kepada 

orang yang lebih muda: “Siapakah orang ini bagi dirimu?” Orang ini  

menjawab: “Dia yaitu  ayahku.” Abu Hurairah berpesan kepadanya: 

“Janganlah engkau memanggil dia dengan namanya! Janganlah berjalan di 

depannya dan janganlah duduk sebelum ia duduk!” 

  

Abu Hurairah menangis saat ajal akan datang kepadanya. Ada orang 

yang bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu 

Hurairah?!” Ia menjawab: “Aku tidak menangisi dunia yang kalian huni 

ini. Akan tetapi aku menangis sebab  jauhnya perjalanan dan sedikit bekal 

yang aku bawa. Aku kini berdiri di penghujung jalan yang dapat 

mengantarkan aku ke surga atau ke neraka. Dan aku sendiri tidak tahu 

hendak ke mana aku dibawa!!” 

Marwan bin Hakam pernah menjenguknya dan ia mendo’akan: 

“Semoga Allah menyembuhkanmu, wahai Abu Hurairah!” 

Abu Hurairah menjawab: “Ya Allah, aku menyukai perjumpaan 

dengan-Mu, maka jadikanlah perjumpaanku ini indah dan segerakanlah!” 

Belum lagi Marwan meninggalkan tempat itu, namun Abu Hurairah 

telah meninggal dunia. 

  

Semoga Allah merahmati Abu Hurairah dengan rahmat yang luas. Ia 

telah mampu menghapal demi ummat Islam lebih dari 1609 hadits 

Rasulullah Saw. 

Dan semoga Allah Swt membalas jasanya atas Islam dan kaum 

muslimin. 


Salamah bin Qais Al Asyjai’ 

“Sang Penakluk Al Ahwaz” 

 

Umar Al Faruq sedang berkeliling pada malam itu di perkampungan 

Madinah agar para penduduk Madinah dapat tidur menutup kelopak mata 

mereka dengan perasaan aman dan nyaman. 

Saat ia sedang berkeliling di antara rumah dan pasar maka terlintas di 

benaknya beberapa nama para sahabat Rasulullah Saw yang dapat diminta 

menjadi komandan pasukan dan berangkat menuju Al Ahwaz untuk 

menaklukannya. Tidak lama lalu , Umar berseru: “Aku telah 

menemukannya… aku telah menemukannya, Insya Allah!” 

Keesokan paginya, Umar memanggil Salamah bin Qais Al Asyja’i dan 

berkata kepadanya: “Aku mengangkatmu untuk menjadi komandan 

pasukan yang akan berangkat menuju Al Ahwaz. Berangkatlah dengan 

nama Allah! Perangilah di jalan Allah orang yang kufur terhadap-Nya! Jika 

kalian telah bertemu dengan musuh dari kelompok musyrikin, maka 

ajaklah mereka untuk masuk Islam. Jika mereka mau masuk Islam dan 

lebih memilih untuk tinggal di negeri mereka dan tidak turut-serta bersama 

kalian dalam memerangi kelompok musyrikin lainnya, maka mereka tidak 

berkewajiban apa-apa selain membayar zakat, dan mereka tidak 

mempunyai hak dalam harta fai’166. 

Jika mereka memilih untuk turut-serta bersama kalian dalam 

berperang, maka mereka akan mendapatkan jatah fai’ seperti kalian. 

Mereka juga memiliki kewajiban yang sama seperti kalian. 

Jika mereka menolak Islam, maka suruhlah mereka untuk membayar 

jizyah167. Jika mereka telah membayarkannya, maka biarkanlah mereka 

hidup bebas! 

Jagalah mereka dari serangan musuh. Janganlah kalian membebani 

mereka dari batas kemampuan yang mereka miliki. 

Jika mereka masih menolak, maka perangilah mereka, sebab Allah Swt 

akan menjadi Penolong kalian dalam menghadapi mereka. 

Jika mereka berlindung pada sebuah benteng, lalu  mereka 

meminta kalian untuk menggunakan hukum Allah dan Rasul-Nya, maka 

                                                     

166

 Fai’ yaitu  harta yang diperoleh kaum muslimin dari rampasan perang 

167

 Jizyah: Harta yang diwajibkan oleh kaum muslimin kepada Ahli Dzimmah untuk menjaga 

keselamatan mereka. 


janganlah kalian menuruti permintaan mereka. Sebab kalian tidak mengerti 

apakah hukum Allah dan Rasul-Nya yang sebenarnya. 

Jika mereka meminta kalian untuk kembali kepada dzimmah 

(tanggungan) Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian memberikan 

dzimmah Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi berikanlah tanggungan kalian 

saja! 

Jika kalian telah menang dalam peperangan, janganlah kalian kelewat 

batas! Jangan berkhianat! Jangan menganiaya bangkai musuh dan jangan 

membunuh anak-anak!” 

Salamah menjawab: “Kami akan patuh dan mentaatinya, ya Amirul 

Mukminin!” 

Umar lalu melepaskan Salamah dengan kehangatan. Ia menggenggam 

erat tangan Salamah. Umar pun berdo’a dengan penuh kekhusyukan bagi 

Salamah. 

Umar menyadari betapa berat tugas yang ia berikan kepada Salamah 

dan kepada para prajuritnya. Hal itu sebab  Al Ahwaz yaitu  daerah 

pegunungan yang amat sukar untuk ditempuh. Memiliki benteng yang 

kokoh. Terletak antara Bashrah dan perbatasan Persia. Al Ahwaz dihuni 

oleh para penduduk Kurdi yang gagah perkasa. 

Kaum muslimin tidak punya pilihan lain selain harus menaklukan kota 

ini  dan menguasainya agar mereka dapat melindungi diri dari 

serangan bangsa Persia terhadap Bashrah, dan menghalangi pasukan Persia 

untuk mengambil alih wilayah Bashrah sebagai pangkalan militer Persia 

sehingga akan mengganggu kesalamatan dan keamanan wilayah Irak. 

  

Salamah bin Qais berjalan di barisan terdepan para prajuritnya untuk 

berjuang di jalan Allah. Baru saja mereka masuk perbatasan Al Ahwaz, 

mereka langsung merasakan kekerasan alam dan cuaca Ahwaz. 

Para pasukan merasa beban mereka semakin berat saat mendaki 

pegunungan yang tinggi, mereka juga harus melewati rawa-rawa yang 

terus mengalir ke pantai. 

Disamping itu, mereka juga menghadapi ular-ular serta kalajengking 

beracun yang terus hidup meski terlihat tertidur. 

Akan tetapi semangat Salamah bin Qais yang teguh beriman senantiasa 

menyemangati para prajuritnya. Sehingga segala kesulitan tadi terasa 

nikmat, dan segala kesedihan menjadi mudah. 

Salamah senantiasa memberikan nasehat kepada pasukannya sehingga 

membangkitkan kembali semangat mereka. Ia juga mengisi malam-malam 

mereka dengan keharuman semerbak Al Qur’an. Maka para prajurit 

merasa mendapatkan sinar Al Qur’an, merasa tentram dengan segala 


kenikmatan, merasa nyaman meski segala beban dan penderitaan yang 

mereka alami. 

  

Salamah bin Qais melaksanakan perintah Khalifah. Begitu ia berjumpa 

dengan penduduk Al Ahwaz, ia langsung menawarkan mereka untuk 

masuk ke dalam agama Allah. Namun mereka menolak dan berpaling. 

Salamah menyeru mereka untuk membayar jizyah, mereka menolak dan 

membangkang. 

Pasukan muslimin tidak punya pilihan lain selain melakukan 

peperangan melawan mereka. Maka mereka pun melakukannya sebagai 

jihad di jalan Allah, dan mengharap pahala terbaik di sisi Allah. 

  

Terjadilah peperangan yang amat sengit. Kedua pasukan melancarkan 

serangan yang amat keras yang jarang sekali peperangan sesengit itu 

terjadi dalam sejarah. 

Tidak lama lalu , usailah peperangan dengan kemenangan berada 

di pihak muslimin yang berjuang menegakkan kalimat Allah, dan 

kekalahan di pihak musyrikin sebagai para musuh Allah. 

  

Begitu peperangan usai, Salamah bin Qais segera membagikan harta 

ghanimah kepada para prajuritnya. 

Lalu Salamah menemukan sebuah perhiasan berharga. Ia berkeinginan 

untuk memberikan perhiasan ini  kepada Amirul Mukminin. Maka 

Salamah berkata kepada para prajuritnya: “Perhiasan ini bila dibagikan 

kepada kalian, maka tidak akan begitu berarti. Apakah kalian mengizinkan 

bila perhiasan ini kita kirimkan kepada Amirul Mukminin?” 

Mereka menjawab: “Baiklah!” lalu  Salamah meletakkan 

perhiasan ini  dalam sebuah kotak kecil. lalu  ia mengutus 

seorang prajurit dari kaumnya Bani Asyja’ dan berpesan kepadanya: 

“Berangkatlah engkau dan budakmu ke Madinah! Beritahukanlah kepada 

Amirul Mukminin tentang penaklukan ini. Berikanlah perhiasan ini sebagai 

hadiah kepadanya!” 

Pria Asyja’i yang diutus ini memiliki sebuah kisah dengan Umar yang 

mengandung pelajaran berharga. Kita akan mempersilahkan dia untuk 

menceritakan kisahnya.  

Pria Asyja’i ini berkisah: “Aku dan budakku berangkat menuju Bashrah. 

Kami lalu membeli dua ekor kendaraan dengan uang yang diberikan oleh 

Salamah bin Qais kepada kami. Lalu kedua hewan tadi kami isikan dengan 

semua perbekalan yang dibutuhkan. Lalu kami berangkat menuju 


Madinah. Sesampainya di sana, aku mencari-cari Amirul Mukminin dan 

aku dapati ia tengah berdiri sedang memberi makan kepada kaum 

msulimin dan saat itu ia sedang berdiri dengan berpegang kepada sebuah 

tongkat seperti seorang gembala. Ia berjalan mengelilingi piring-piring 

besar sambil berkata kepada budaknya yang bernama Yarfa’: “Ya Yarfa’, 

tambahkan daging buat mereka. Ya Yarfa’, tambahkan roti buat mereka. Ya 

Yarfa’, tambahkan sayur buat mereka.” 

Begitu aku menghampiri Amirul Mukminin, ia berkata kepadaku: 

“Duduklah!” 

lalu  aku duduk di tengah-tengah manusia, lalu aku disodorkan 

makanan dan aku pun memakannya. 

Begitu semua orang selesai makan, lalu  Amirul Mukminin 

berkata: “Ya Yarfa’, angkatlah piring-piring besar itu!” 

lalu  Yarfa’ mengangkat piring-piring ini  dan aku 

membantunya. 

Begitu Amirul Mukminin masuk ke dalam rumahnya, aku pun meminta 

izin untuk dipersilakan masuk, dan ia mengizinkan. Aku dapati Amirul 

Mukminin sedang duduk di atas bantal dari kumpulan bulu, Beliau 

bersandar di atas dua buah bantal terbuat dari kulit yang diisi oleh bulu. 

lalu  ia melemparkan salah satunya kepadaku, lalu  aku duduk 

di atas bantal ini . 

Di belakang tubuhnya terdapat sebuah tirai, lalu  ia menoleh ke 

arah tirai ini  dan berkata: “Ya Ummu Kultsum, siapkan makanan 

untuk kami!” 

Aku berujar dalam diri: “Kira-kira apa makanan yang akan disiapkan 

khusus buat Amirul Mukminin?!” 

lalu  Ummu Kultsum memberikan sepotong roti dengan minyak 

yang ditaburi garam yang tidak merata. 

lalu  khalifah menoleh ke arahku dan berkata: “Makanlah!” Aku 

pun melaksanakannya dan aku makan sedikit saja. Ia pun turut makan. 

Aku tidak pernah melihat orang yang memiliki cara lebih baik dibandingkan nya 

saat makan. 

lalu  ia berkata: “Bawakan air untuk kami!” maka penghuni 

rumahnya membawakan sebuah gelas untuk Beliau yang berisikan 

minuman dari tepung jernih. lalu  Khalifah berkata: “Berikan 

minuman ini  kepada orang ini terlebih dahulu!” Maka para orang 

tadi memberikan minuman ini  kepadaku. 

Aku pun mengambil gelas ini  dan aku minum sedikit darinya, 

sebab  tepung jernih milikku lebih wangi dan lebih berkualitas. lalu  

Khalifah mengambilnya dan meminum dari gelas ini  hingga ia merasa 

puas. lalu  ia berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi 

kami makan sehingga merasa kenyang. Yang telah memberi kami minum, 

sehingga kami merasa tidak haus.” 

Pada saat itu, aku menatapnya dan berkata: “Aku membawa sebuah 

surat untukmu, wahai Amirul Mukminin.” Ia bertanya: “Dari mana?” Aku 

menjawab: “Dari Salamah bin Qais.” Ia langsung berseru: “Selamat datang 

untuk Salamah bin Qais, selamat datang bagi utusannya! Ceritakan 

kepadaku tentang pasukan muslimin!” 

Aku menjawab: “Sebagaimana yang engkau inginkan, wahai Amirul 

Mukminin. Mereka semua selamat, dan berhasil menang menghadapi para 

musuh mereka dan musuh Allah.” 

Aku pun memberitahukan kepadanya tentang kemenangan. Aku 

memberitahukannya tentang kondisi pasukan muslimin baik secara umum 

maupun terperinci. 

Ia berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah memberi dan melebihkan, 

Yang telah menganugerahkan dan memperbanyak!” 

lalu  ia bertanya: “Apakah engkau melewati Bashrah?” Aku 

menjawab: “Ya, aku melewatinya wahai Amirul Mukminin.” 

Ia bertanya: “Bagaimana kaum muslimin di sana?” Aku jawab: 

“Semuanya baik-baik saja dengan rahmat Allah.” Ia bertanya: “Bagaimana 

harga barang-barang di sana?” Aku jawab: “Harga barang di sana yaitu  

yang paling murah.” Ia bertanya: “Bagaimana dengan daging di sana? 

Sebab daging yaitu  bak pepohonan bagi bangsa Arab. Bangsa Arab tidak 

merasa damai kecuali mereka memiliki pepohonan.” 

Aku jawab: “Daging di sana amat banyak dan berkecukupan.” 

lalu  ia melihat kotak kecil yang aku bawa, lalu  ia bertanya: 

“Apa yang kau bawa di tanganmu itu?!” 

Aku menjawab: “Saat Allah memberikan kemenangan kepada kami saat 

menghadapi musuh, kami pun mengumpulkan harta ghanimah. Salamah 

lalu melihat terdapat sebuah perhiasan. lalu  Salamah berkata kepada 

semua prajurit: ‘Perhiasan ini bila dibagikan kepada kalian maka akan 

menjadi tidak berarti. Apakah kalian mengizinkan jika perhiasan ini aku 

kirimkan kepada Amirul Mukminin?’ Para prajurit menjawab: ‘Baiklah!’” 

lalu  aku memberikan kotak kecil ini  kepada Khalifah. 

Begitu ia membukanya dan melihat batu-batu mulia yang bertahta di 

perhiasan ini  dengan berbagai warna merah, kuning dan hijau, ia 

langsung melompat dari tempat duduknya. Ia lalu menjulurkan tangannya 

dihadapanku. Ia lalu  mencampakkan kotak kecil tadi ke tanah, maka 

berhamburanlah semua yang ada di dalamnya tercerai-berai. 

Para wanita yang ada di dalam rumah menduga bahwa aku berniat 

untuk membunuh Khalifah. Semua wanita tadi berdatangan ke arah tirai. 

lalu  Khalifah menatapku dan berkata: “Kumpulkan perhiasan itu!” 

dan ia berkata kepada budaknya: “Pukullah dan sakiti dia!” 

Aku lalu mengumpulkan isi kotak kecil yang berhamburan, sementara 

Yarfa’ memukuliku. 

lalu  Khalifah berkata: “Berdirilah dengan cara yang tidak 

terhormat, baik engkau maupun sahabatmu!” 

Aku berkata: “Tolong kembalikan hewan tungganganku yang akan 

membawa aku dan budakku ke Al Ahwaz. Budakmu telah mengambil 

hewan ini  dariku.” 

lalu  Khalifah berkata kepada Yarfa’: Berikan kepadanya dua unta 

tunggangan dari harta sedekah untuk dia dan budaknya!” 

lalu  ia berkata kepadaku: “Jika engkau telah merasa tidak 

memerlukannya lagi dan engkau mendapati ada orang yang lebih 

membutuhkannya dibandingkan mu, maka berikanlah kedua unta tadi 

kepadanya!” 

Aku menjawab: “Baik, akan aku lakukan ya Amirul Mukminin, Insya 

Allah!” 

lalu  Khalifah menatapku sambil berkata: “Demi Allah, jika para 

prajurit sudah berpisah sebelum perhiasan ini dibagikan kepada mereka, 

maka aku sendiri yang akan mematahkan tulang punggunngmu dan 

sahabatmu itu!” 

Maka aku pun segera berangkat sehingga aku menemui Salamah dan 

aku berkata: “Tiada keberkahan Allah atas tugas yang engkau berikan 

kepadaku. Bagikanlah perhiasan ini kepada para prajurit sebelum sebuah 

musibah bakal terjadi kepadaku dan kepadamu!” 

Aku pun menceritakan kisahku kepadanya. 

Ia pun tidak meninggalkan majlisnya sebelum ia membagikan 

perhiasan ini  kepada para prajurit. 


Muadz bin Jabal 

“Manusia yang Paling Mengerti Akan Hal-Hal yang Halal & Haram 

dalam Ummatku yaitu  Mu’adz bin Jabal.” (Muhammad Rasulullah) 

 

Saat jazirah Arab mulai diterangi oleh cahaya petunjuk dan kebenaran, 

saat itu seorang bocah Yatsrib yang bernama Muadz bin Jabal yaitu  

seorang pemuda yang baru masuk usia remaja. Ia memiliki keunggulan 

dibandingkan para kawan sebayanya dari sisi kecerdasan, kecerdikan, 

kecakapan dalam berbicara dan tingginya cita-cita. 

Di samping itu, Muadz memiliki rupa yang tampan, mata yang lentik, 

rambut yang keriting. Senantiasa dipuji orang dan membuat senang orang 

yang memandangnya. 

Pemuda yang bernama Muadz bin Jabal ini masuk Islam lewat seorang 

da’i yang berasal dari Mekkah bernama Mus’ab bin Umair. Pada malam 

terjadinya Bai’at Aqabah, ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman 

dengan tangan Nabi Saw dan berbaiat kepada Beliau. 

Muadz juga termasuk kelompok yang berjumlah 72 orang yang 

berangkat ke Mekkah untuk berjumpa Nabi Saw dan berbaiat kepada 

Beliau serta untuk mencantumkan nama mereka dalam catatan sejarah. 

  

Begitu pemuda ini kembali dari Mekkah ke Madinah, maka ia beserta 

beberapa orang anak sebayanya membuat sebuah kumpulan yang bertugas 

untuk menghancurkan semua berhala di Madinah dan merebutnya dari 

semua rumah orang musyrik yang berada di Yatsrib baik secara sembunyi 

maupun terang-terangan. Salah satu hasil dari gerakan para pemuda ini 

yaitu  dengan masuknya seorang tua Yatsirb ke dalam Islam yang bernama 

Amr bin Al Jamuh. 

  

Amr bin Jamuh yaitu  seorang pemuka dan tokoh Bani Salamah. Ia 

telah membuat sebuah berhala untuk dirinya dari kayu yang paling bagus 

sebagaimana kebiasan para pembesar di sana. 

Amr bin Jamuh ini yaitu  seorang tokoh Bani Salamah yang amat 

memperhatikan berhalanya. Ia selalu memakaikan pakaian sutra kepada 

berhala tadi, dan memberikan wewangian kepada berhalanya setiap pagi. 


Para pemuda tadi mengambil berhala ini  di tengah kegelapan 

malam, lalu membawanya ke belakang perumahan Bani Salamah. Mereka 

lalu  melemparkan berhala ini  ke dalam sebuah lubang tempat 

pembuangan sampah dan kotoran. 

Keesokan paginya, Amr bin Jamuh mencari-cari berhala tadi namun ia 

tidak mendapatinya. Ia mencari berhala ini  ke seluruh tempat dan 

akhirnya ia menemukan berhala itu sedang tertelungkup dan tenggelam di 

antara sampah dan kotoran. Amr berkata: “Celaka kalian, siapa yang berani 

berbuat begini kepada tuhan kami tadi malam?!” 

lalu  Amr mengeluarkan berhala ini  dari tempat sampah. Ia 

memandikannya lalu memberikan wewangian kepadanya.  Amr lalu 

membawa berhala tadi kembali pulang ke rumah. Amr berkata kepada 

berhalanya: “Ya Manat, kalau saja aku tahu siapa yang telah berbuat ini 

kepadamu, pasti akan aku siksa dia!” 

Begitu malam tiba dan Amr yang tua sudah tertidur, maka masuklah 

para pemuda tadi untuk melakukan hal yang sama kepada berhala 

sebagaimana yang mereka lakukan pada kemarin malam. 

Amr terus mencari berhalanya dan ia mendapati berhala itu berada 

pada lubang lainnya.  

Amr mengeluarkan berhala, memandikannya, mensucikannya, 

memberikan wewangian dan mengancam orang yang melakukan 

keburukan kepada berhalanya dengan ancaman yang paling menakutkan. 

Begitu kejadian ini terjadi berulang-ulang dengan para pemuda yang 

mengambil berhala tadi lalu membuangnya, dan Amr yang mencucinya… 

Lalu Amr membawa pedangnya dan ia gantungkan di leher berhala 

tadi. Amr berkata kepada berhalanya: “Demi Allah, aku tidak tahu siapakah 

yang telah berbuat ini kepadamu, seperti yang engkau lihat. Jika engkau 

memiliki kebaikan, ya Manat maka jagalah dirimu dan ini pedang aku 

berikan kepadamu!” 

Begitu malam tiba, dan Amr yang tua ini sudah tertidur. Para pemuda 

tadi mendekati berhala dan mengambil pedang yang tergantung di leher 

berhala. Mereka lalu  mengikatkan berhala tadi di leher seekor anjing 

yang mati lalu  mereka melemparkan berhala dan anjing tadi di 

lubang yang sama. Keesokan paginya, Amr yang tua mencari dengan 

sungguh-sungguh akan berhalanya yang hilang hingga ia menemukan 

berhala ini  berada di tengah kotoran yang terikat dengan seekor 

anjing yang mati dengan wajah yang tertelungkup. Pada saat itu Amr 

menatap berhalanya dan berkata: 

Demi Allah, kalau benar engkau yaitu  tuhan maka engkau tidak akan 

terikat bersama anjing di dalam lubang. 

lalu  Amr yang tua itu pun masuk Islam dan ia menjalankan 

keislamannya dengan baik. 

  

Begitu Rasulullah Saw datang ke Madinah sebagai seorang muhajir, 

Muadz bin Jabal selalu mendampingi Beliau bagaikan sebuah bayangan 

saja. Muadz belajar Al Qur’an langsung dari Rasul Saw. Ia mempelajari 

ilmu syariat Islam dari Beliau. Sehingga ia menjadi sahabat yang paling 

mengerti akan Al Qur’an dan Syariat agama. 

Yazid bin Quthaib berkisah: “Aku masuk ke dalam Masjid Himsha, dan 

aku dapati disana ada seorang pemuda berambut keriting yang dikelilingi 

oleh banyak orang.” 

Jika ia berbicara, seolah keluar dari mulutnya cahaya dan permata. Aku 

bertanya: “Siapakah dia?!” Orang-orang menjawab: “Dia yaitu  Muadz 

bin Jabal.” 

  

Abu Muslim Al Khaulany berkata: Aku masuk ke Masjid Damaskus. 

Ternyata di dalamnya ada sebuah halaqah ilmiah yang diisi oleh beberapa 

sahabat Nabi Saw yang ternama. 

Aku lihat ada seorang pemuda yang memiliki mata yang lentik dan gigi 

yang berkilau. Setiap kali para sahabat tadi berselisih tentang suatu 

permasalahan, maka mereka akan mengembalikan permasalahan ini  

kepada pemuda ini. Aku pun bertanya kepada orang yang duduk di 

sampingku: “Siapakah dia?!” Ia menjawab: “Dia yaitu  Muadz bin Jabal.” 

  

Hal itu tidak mengherankan, sebab Muadz dididik langsung oleh 

Rasulullah Saw sejak kecil. Sehingga ia telah menyerap ilmu langsung dari 

sumbernya yang subur. Ia telah mengambil ilmu pengetahuan dari 

sumbernya yang asli. Ia telah menjadi murid terbaik dari guru yang 

terbaik. 

Cukup sabda Rasul Saw menjadi jaminan kecerdasan Muadz saat Beliau 

bersabda: “Manusia yang paling mengerti akan hal-hal yang halal & haram 

dalam ummatku yaitu  Mu’adz bin Jabal.” 

Ia layak untuk memiliki keutamaan atas ummat Muhammad Saw yang 

lain sebab dia yaitu  salah satu dari 6 orang yang bertugas untuk 

mengumpulkan Al Qur’an pada masa Rasulullah Saw. 

Oleh sebab nya, jika para sahabat Rasulullah Saw sedang berbicara dan 

Muadz berada di tengah mereka, maka para sahabat tadi akan memuliakan 

dirinya sebagai rasa penghormatan atas ilmu yang ia miliki. 

Rasulullah Saw dan 2 Khalifah  sesudah nya telah menempatkan potensi 

ilmiah ini untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin. 

Nabi Saw melihat bahwa banyak sekali rombongan kaum Quraisy yang 

masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong  sesudah  

penaklukan Mekkah. 

Rasul merasakan bahwa para muslimin yang baru ini membutuhkan 

seorang pengajar besar yang dapat mengajarkan Islam dan syariatnya 

kepada mereka. Maka Nabi Saw menunjuk Attab bin Usaid untuk menjadi 

pemimpin Mekkah, dan menunjuk Muadz bin Jabal untuk menemani Attab 

untuk mengajarkan Al Qur’an kepada semua manusia dan mengajarkan 

ilmu pengetahun tentang agama Allah Swt. 

  

Ketika beberapa orang utusan para raja Yaman datang menghadap 

Rasulullah Saw dan menyatakan keislaman para raja tadi dan semua 

pendukungnya. Mereka juga meminta Rasul Saw untuk mengirimkan 

orang yang dapat mengajarkan ilmu agama kepada mereka. Maka Rasul 

Saw mengirimkan beberapa orang da’i dari kalangan sahabat untuk misi 

ini, dan Rasul Saw menunjuk Muadz bin Jabal untuk memimpin 

rombongan ini. 

  

Nabi Saw sendiri turut keluar untuk melepas rombongan pembawa 

petunjuk dan cahaya ini. Beliau berjalan di bawah kendaraan tuggangan 

Muadz, sedangkan Muadz berada di atas kendaraan. 

Rasulullah Saw menghabiskan harinya bersama Muadz seolah Beliau 

hendak berduaan dengannya. 

lalu  Beliau Saw memberikan wasiat kepada Muadz: “Ya Muadz, 

barangkali engkau tidak dapat berjumpa denganku lagi  sesudah  tahun ini. 

Barangkali engkau akan melewati Masjid dan kuburku.” 

Muadz lalu menangis sedih sebab  akan berpisah dengan Nabi 

sekaligus kekasihnya yang bernama Muhammad Saw, dan para muslimin 

yang ada pun turut menangis. 

  

Benar sekali prediksi Nabi Saw, amat beruntung sekali kedua mata 

Muadz ra yang masih sempat melihat Nabi Saw  sesudah  saat itu. 

Rasulullah Saw telah wafat sebelum Muadz kembali dari Yaman. Tidak 

ragu lagi, Muadz pun langsung menangis saat ia kembali ke Yatsrib dan ia 

menemukan bahwa Madinah telah kehilangan kekasihnya yaitu Rasulullah 

Saw.  

  

Saat Umar ra menjabat sebagai khalifah ia mengutus Muadz ke Bani 

Kilab untuk membagikan harta kepada mereka, membagikan harta sedekah 

orang kaya mereka kepada kaum fakir disana. Muadz pun menjalani apa 

yang diperintahkan kepadanya. Ia kembali ke rumah menemui istrinya 

dengan membawa pelana yang senantiasa ia bawa di atas lehernya. Istrinya 

bertanya: “Apakah yang kau bawa sebagaimana para wali (gubernur) 

membawakan hadiah bagi keluarganya?!” 

Muadz menjawab: “Aku senantiasa diikuti oleh pengawas yang selalu 

memperhatikan aku.” 

Istrinya berkata: “Engkau yaitu  orang yang dipercaya pada masa 

Rasulullah Saw dan Abu Bakar. lalu  pada zaman Umar, ia mengutus 

seorang pengawas untuk selalu mengawasimu?!” 

Hal itu lalu  tersiar hingga sampai di telinga istri Umar. Istri 

Muadz mengeluhkan hal ini kepada istri Umar. 

Hal itu sampai terdengar oleh Umar, ia pun segera memanggil Muadz 

dan bertanya: “Apakah aku pernah mengirimkan seorang pengawas 

kepadamu untuk selalu memperhatikan kamu?!” 

Muadz menjawab: “Tidak, ya Amirul Mukminin. Akan tetapi aku tidak 

memiliki alasan apapun buat istriku selain hal itu.” Maka Umar pun 

tertawa dan memberikan sesuatu kepada Muadz sambil berkata: “Buatlah 

istrimu senang dengan pemberian ini!” 

  

Pada zaman kekhalifahan Umar Al Faruq suatu saat wali Syam yang 

bernama Yazid bin Abu Sufyan mengirimkan surat yang berbunyi: “Ya 

Amirul Mukminin, Penduduk Syam sudah semakin banyak. Mereka amat 

membutuhkan orang yang dapat mengajarkan Al Qur’an dan ajaran agama 

kepada mereka. Tolong kirimkan kepadaku beberapa orang yang dapat 

mengajarkan mereka.”  Maka Umar segera mengumpulkan 5 orang yang 

pernah mengumpulkan Al Qur’an pada zaman Nabi Saw.  

Kelima orang ini  yaitu : Muadz bin Jabal, Ubadah bin Shamit, 

Abu Ayyub Al Anshary, Ubai bin Ka’b dan Abu Darda. Umar berkata 

kepada mereka: “Saudara kalian para penduduk Syam meminta 

pertolonganku untuk mengirimkan orang yang dapat mengajarkan Al 

Qur’an dan ajaran agama kepada mereka. Maka tolonglah aku –semoga 

Allah merahmati kalian- untuk menunjuk tiga orang dari kalian. Jika kalian 

mau mengundinya silahkan saja. Jika kalian tidak mau mengundinya, maka 

aku akan memilih tiga orang dari kalian. 

Mereka menjawab: “Mengapa harus diundi?! Abu Ayub yaitu  seorang 

yang sudah tua sedangkan Ubai yaitu  orang yang punya penyakit. Yang 

tersisa hanyalah kami bertiga.” 

Umar lalu berkata: “Mulailah kalian bertiga dari Himsh. Jika kalian 

sudah merasa senang di sana, maka tunjuklah salah seorang untuk tinggal 

di sana dan satu orang harus berangkat ke Damaskus dan seorang lagi ke 

Palestina. 

Maka ketiga sahabat Rasul Saw tadi melaksanakan apa yang 

diperintahkan Umar Al Faruq untuk berangkat ke Himsh. lalu  

mereka meninggalkan Ubadah bin Shamit untuk menetap di sana. Abu 

Darda pergi ke Damaskus dan Muadz bin Jabal berangkat ke Palestina. 

  

Di sanalah Muadz bin Jabal terkena wabah.  

Saat ia sudah menjelang wafat, ia menghadapkan dirinya ke arah kiblat 

dan terus-menerus membacakan nasyid ini:  

Selamat datang kematian, selamat datang! 

Akhirnya sang tamu telah datang  sesudah  lama pergi 

Dan kekasih telah datang untuk mengobati kerinduan 

lalu  ia memandang ke arah langit sambil berdoa:  

“Ya Allah, Engkau sungguh mengetahui bahwa aku tidak pernah 

mencintai dunia dan suka tinggal lama di dalamnya untuk menanam 

pepohonan, dan mengalirnya sungai. 

Akan tetapi aku suka tinggal di dunia ini untuk memberikan minum 

kepada orang yang kehausan, menunggu terjadinya kiamat dan 

berdampingan dengan para ulama di halaqah-halaqah dzikir. 

Ya Allah, terimalah jiwaku sebaik Kau menerima sebuah jiwa yang 

beriman!” 

lalu  ruhnya terlepas dari badan jauh meninggalkan keluarga dan 

famili, sebagai ruh yang mengajak ke jalan Allah dan berhijrah di jalannya. 


Keluarga Yasir                          

(Yasir, Sumayyah, dan Amar) 

 “Bersabarlah Wahai Keluarga Yasir… Sebab Tempat Kalian yaitu  

Surga” (Muhammad Rasulullah) 

 

Di suatu pagi yang cerah dan bercuaca segar, tibalah sebuah kafilah 

dari Yaman di penghujung kota Mekkah. 

Begitu Yasir bin Amir bin Amir Al Kina’I melihat Ka’bah yang 

dimulyakan maka ia terpesona dengan keagungannya. Hatinya merasa 

senang dengan memandangnya. sebab  kedua matanya belum pernah 

sebahagia kini saat melihat bangunan ini . 

  

Kedatangan Yasir ke Mekkah bukanlah untuk berdagang sebagaimana 

kebiasaan para kafilah. Akan tetapi kedatangan ia dan kedua saudaranya 

yang bernama Al Harits dan Malik kesana yaitu  untuk mencari saudara 

mereka yang sudah bertahun-tahun menghilang dan tidak sedikitpun 

mereka mendapatkan berita tentang keberadaannya. 

  

Ketiga pemuda ini  mencari saudara mereka ke semua tempat. 

Mereka menanyakan tentang keberadaan saudara mereka kepada semua 

jama’ah. Sehingga mereka merasa putus asa dan berselisih pendapat. 

Al Harits dan Malik kembali ke tempat bermain dan kampung 

halamannya di Yaman. 

Sedangkan Yasir malah tertarik untuk menetap di Mekkah sebagai 

tempat tinggal dan tanah air. 

  

Yasir bin Amir belum mengetahui saat ia mengambil keputusannya 

ini  akan kemulyaan apa yang bakal ia terima. 

Ia juga tidak pernah tahu bahwa ia akan masuk dalam catatan sejarah. 

Ia juga tidak tahu bahwa dari tulang sumsumnya akan muncul seorang 

anak yang akan menghiasi dunia. Akan tetapi Yasir tidak memiliki keluarga 

dan kerabat yang dapat melindunginya di sana. 


Maka orang asing seperti Yasir, haruslah mendapatkan dukungan dari 

seorang pemuka kaum, agar ia dapat menjalani hidup dengan aman dan 

nyaman di dalam masyarakat yang tidak memberikan ruang bergerak bagi 

mereka yang lemah. 

Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mendapatkan dukungan dari 

Abu Hudzaifah Al Mughirah Al Makhzumy. 

  

Abu Hudzaifah melihat adanya sikap yang luhur pada diri Yasir. Ia juga 

yaitu  orang yang berperangai baik yang membuat Abu Hudzaifah jatuh 

hati kepadanya. Abu Hudzaifah pun menikahkan Yasir dengan budak 

wanita miliknya yang dikenal dengan Sumayyah binti Khibath. 

Hasil pertama dari pernikahan ini yaitu  lahirnya seorang bocah yang 

memberikan kebahagiaan terbesar bagi kedua orang tuanya. Keduanya 

memberikan nama kepada bocah yang baru lahir dengan nama Ammar. 

Kegembiraan mereka semakin besar saat Abu Hudzaifah membebaskan 

dan memerdekakan Ammar. 

  

Keluarga ini  tinggal di bawah asuhan Bani Makhzum dan 

menjalani hidup yang damai dan penuh cinta. 

Hari terus berganti dan tahun terus berlalu. Yasir dan Sumayyah pun 

sudah semakin tua kini. Sedangkan Ammar telah menjadi seorang pemuda 

dewasa. 

  

Lalu teranglah dunia ini dengan datangnya cahaya Tuhan. Muncullah 

dari ngarai Mekkah cahaya kebaikan dan kebenaran yang meliputi alam. 

Cahaya ini  menutupi dunia dengan keadilan dan kebaikan. 

Nabi Saw mulai menyampaikan risalah Tuhannya dengan terang-

terangan.Ia memberikan peringatan dan kabar kebaikan kepada kaumnya. 

Ia mengajak kaumnya kepada kebaikan dunia dan kebahagiaan akhirat. 

  

Ammar bin Yasir mendengar berita tentang dakwah baru ini dari 

pembicaraan manusia sehingga ia membuka telinga, hati dan akalnya 

untuk mendengarkan berita ini . Akan tetapi Ammar saat mendapati 

dirinya tidak ada yang mengantarkannya kesana, ia merasa gundah. 

Ia berujar dalam dirinya: “Celaka engkau ya Ammar! Apa yang 

membuatmu merasa haus, padahal sumber air sudah dekat dengan 

dirimu?!” 

Ayo… datangilah pemilik risalah ini . Ayo datangi Muhammad