h!” Rasul menjawab: “Baik. Engkau saja
yang melakukannya!”
Maka orang Anshar itu pun melawan para musyrikin sehingga ia
terbunuh. lalu Rasulullah Saw masih terus menaiki gunung ini
bersama beberapa sahabatnya, dan kaum musyrikin pun terus mengejar
Beliau.
Rasul Saw bertanya: “Adakah seorang pria yang mampu menghadapi
mereka?”
Thalhah menjawab: “Saya mampu, ya Rasulullah!” Rasul bersabda:
“Tidak, tetaplah di tempatmu!”
Seorang pria lain dari Anshar berkata: “Saya mampu melakukannya, ya
Rasulullah!”
Rasul menjawab: “Baik. Engkau saja yang melakukannya!”
lalu pria tadi menghadang kaum musyrikin sehingga ia pun
terbunuh.
Rasul Saw terus menaiki gunung, dan kaum musyrikin masih terus
mengejarnya. Rasul Saw terus saja mengatakan hal serupa kepada para
pengikutnya.
Dan Thalhah terus saja menjawab: “Saya mampu melakukannya, ya
Rasulullah!” Namun Rasul Saw selalu mencegahnya dan Rasul Saw
mengizinkan orang Anshar untuk menghadapi mereka, sehingga mereka
semua mati sebagai syahid. Tidak ada yang tersisa menemani Rasul Saw
saat itu selain Thalhah, sedangkan kaum musyrikin terus mengejar. Maka
pada saat itulah Rasulullah Saw bersabda kepadanya: “Baiklah, saat ini
engkau boleh menghadang mereka!”
Pada saat itu Rasulullah Saw telah tanggal gigi gerahamnya, dahi dan
bibir Beliau terluka. Darah mengalir dari wajahnya dan Beliau sudah
merasa lelah. Thalhah langsung menyerang kaum musyrikin yang
mengejar Nabi Saw sehingga ia mampu menghadang mereka untuk
mengejar Rasul Saw. lalu ia kembali lagi menemui Nabi Saw
sehingga ia dan Beliau naik sedikit ke arah puncak gunung, lalu
menempatkan Beliau di tanah. Dan ia kembali lagi menghadang kaum
musyrikin. Ia terus saja melakukan hal itu sehingga dapat mencegah kaum
musyrikin agar tidak mengejar Nabi Saw.
Abu Bakar berkata: “Pada saat itu aku dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah
berada jauh dari Rasulullah Saw. Begitu kami berjumpa dan hendak
mengobati Beliau, Beliau bersabda: “Tinggalkan aku dan bantulah sahabat
kalian (maksudnya yaitu Thalhah)!”
Ternyata kami menemui Thalhah sudah bersimbah darah. Di tubuhnya
tidak kurang dari 70 luka pedang, tusukan tombak dan anak panah. Ia
sudah kehilangan telapak tangannya dan telah terjatuh pada sebuah lubang
yang tertutup.
sesudah itu Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang ingin melihat
seorang manusia yang berjalan di muka bumi dan ia telah meninggal, maka
lihatlah Thalhah bin Ubaidillah!”
Abu Bakar As Shiddiq ra jika teringat peristiwa Uhud maka ia akan
mengatakan: “Hari itu semuanya yaitu milik Thalhah.”
Demikianlah kisahnya mengapa Thalhah dipanggil dengan As Syahid Al
Hayy, sedangkan mengapa dia dipanggil dengan Thalhah Al Khair dan
Thalhah Al Juud, maka ada 101 kisah yang dapat menceritakannya.
Salah satunya yaitu bahwa Thalhah yaitu seorang pedagang yang
memiliki perdagangan yang besar dan melimpah. Suatu saat ia berhasil
membawa harta dari Hadramaut yang mencapai 700 ribu dirham. Pada
malam harinya ia merasa takut dan khawatir.
Istrinya yang bernama Ummu Kultsum binti Abu Bakar As Shiddiq
mendatanginya dan bertanya: “Ada apa denganmu, wahai Abu Muhammad
(Pent. Nama panggilan Thalhah)?! Apakah ada di antara kami yang telah
berbuat kesalahan terhadapmu?!” Ia menjawab: “Tidak, Istri seorang suami
muslim terbaik yaitu engkau! Akan tetapi sejak semalam aku berpikir dan
bertanya: “Apakah sangkaan seorang muslim kepada Tuhannya jika ia
tertidur dengan harta sejumlah ini berada di rumahnya?!” Istrinya
bertanya: “Apa yang membuatmu gundah akan harta ini ?! Di mana
dirimu saat banyak orang yang membutuhkan di kalangan kaum dan
kerabatmu?! Esok pagi, bagikanlah harta ini kepada mereka!”
Thalhah berkata: “Semoga Allah merahmatimu. Engkau yaitu seorang
wanita yang diberi petunjuk putri dari orang yang telah diberi petunjuk
(Abu Bakar As Shiddiq).”
Keesokan harinya ia menempatkan harta ini di kantung-kantung
dan piring besar. Ia membagikan harta ini kepada para fakir dari
kaum Muhajirin dan Anshar.
Diriwayatkan juga bahwa ada seorang pria yang datang kepada
Thalhah bin Ubaidillah yang meminta pertolongannya, lalu pria tadi
menyebutkan bahwa mereka berdua masih ada hubungan kerabat. Maka
Thalhah langsung berkata: “Rupanya orang ini yaitu familiku, dan tidak
ada seorangpun yang memberitahukannya kepadaku sebelumnya. Dan aku
memiliki sepetak tanah yang akan dibayar oleh Utsman bin Affan seharga
300 ribu. Jika engkau mau, ambillah tanah ini . Dan jika engkau mau,
aku akan menjualnya kepada Utsman seharga 300 ribu, dan aku akan
memberikan uangnya kepadamu.
Pria ini berkata: “Aku lebih memilih uangnya saja.”
Dan Thalhah pun memberikan uang ini kepadanya!
Selamat kepada Thalhah Al Khair dan Thalhah Al Juud dengan julukan
yang diberikan oleh Rasulullah Saw kepadanya. Semoga Allah Swt
meridhainya dan menerangi kuburnya.
Abu Hurairah Al Dausy
“Abu Hurairah telah Menghapalkan Demi Ummat Islam Lebih dari
1600 Hadits Rasulullah Saw” (Para Ahli Sejarah)
Tidak diragukan bahwa Anda sudah mengetahui bintang kejora dari
kalangan para sahabat Rasulullah Saw ini. Adakah orang dalam ummat
Islam yang belum mengenal Abu Hurairah?
Orang-orang pada masa jahiliah memanggilnya dengan Abdu Syamsin
(Hamba Matahari). Begitu Allah Swt memuliakan dirinya dengan Islam dan
bertemu dengan Nabi Saw yang bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia
menjawab: “Nama saya yaitu Abdu Syamsin.” Lalu Rasulullah Saw
bersabda: “Bukan. Namamu sekarang yaitu Abdurrahman.” Ia membalas:
“Baik. Namaku mulai sekarang yaitu Abdurrahman. Demi ibu dan
ayahku, ya Rasulullah!”
Sedangkan ia dijuluki dengan nama Abu Hurairah (bapak kucing),
sebab saat ia masih kecil ia memiliki seekor kucing kecil yang selalu
bermain dengannya. Oleh sebab nya, para temannya memanggil dia
dengan: Abu Hurairah.
Nama ini semakin terkenal sehingga nama aslinya kalah tenar
oleh julukannya ini.
Begitu ia sudah sering akrab dengan Rasulullah Saw, maka Beliau
memanggilnya dengan Abu Hirr agar lebih akrab dan terkesan sayang. Dan
Abu Hurairah sendiri lebih suka dengan panggilan Abu Hirr dibandingkan Abu
Hurairah. Dan ia pernah berkata: “Kekasihku Rasulullah, memanggil diriku
dengan nama ini ! Sebab Hirr yaitu kucing jantan sedangkan
Hurairah yaitu betina. Jantan lebih baik dibandingkan betina!”
Abu Hurairah masuk Islam lewat Al Thufail bin Amr Al Dausy. Ia
menetap di Daus hingga tahun keenam hijriyah saat ia bersama utusan
kaumnya datang menghadap Rasulullah Saw di Madinah.
Pemuda yang berasal dari Daus ini mendedikasikan waktunya untuk
berkhidmat dan mendampingi Rasulullah Saw. Maka pemuda tadi lebih
memilih untuk tinggal di masjid. Menjadikan Nabi sebagai pengajar dan
imam dirinya. Sebab ia sendiri dalam hidupnya tidak beristri dan beranak.
Dia hanya memiliki seorang ibu tua renta yang terus berusaha untuk
mengajaknya kembali kepada kemusyrikan. Abu Hurairah tidak pernah
jemu untuk mengajak ibunya untuk masuk ke dalam Islam, sebab ia
merasa kasihan dan ingin berbakti kepadanya. Akan tetapi ibunya selalu
menolak dan membantah ajakannya.
Abu Hurairah pun meninggalkan ibunya. Dan ia merasa bersedih
sebab sikap ibunya sehingga kesedihan ini menguasai relung
hatinya.
Pada suatu hari Abu Hurairah mengajak ibunya untuk beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. lalu ibunya mengucapkan ungkapan yang
buruk tentang Nabi Saw sehingga membuat Abu Hurairah bersedih.
Maka Abu Hurairah pergi menemui Rasulullah Saw sambil menangis.
Nabi Saw bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis,
wahai Abu Hurairah?!”
Ia menjawab: “Aku tidak pernah merasa bosan untuk mengajak ibuku
masuk ke dalam Islam. Akan tetapi ia terus menolak ajakanku. Hari ini aku
mengajaknya lagi, namun ia mengucapkan hal buruk tentang dirimu.
Berdo’alah kepada Allah agar Ia mau mencondongkan hati ibu Abu
Hurairah ke arah Islam!”
Maka Nabi Saw pun langsung berdo’a untuk ibu Abu Hurairah.
Abu Hurairah berujar:
Aku pun segera kembali ke rumah. Ternyata pintu rumah telah terbuka.
Aku mendengar ada suara air dari dalam dan aku berniat masuk ke dalam,
namun ibuku langsung berkata: “Diam di tempatmu, ya Abu Hurairah!”
lalu ia mengenakan bajunya dan berkata: “Masuklah!” Begitu
aku masuk, ibuku langsung berkata: “Asyhadu an la ilaha illallahu wa
asyhadu anna muhammadan abduhu wa Rasuluhu.
Aku kembali menemui Rasulullah Saw dan aku menangis saking
gembiranya persis seperti aku menangis sebab aku merasa sedih
sebelumnya. Aku berkata kepada Beliau: “Berita gembira, ya Rasulullah!
Allah Swt telah mengabulkan do’amu dan memberikan petunjuk kepada
Ummi Abu Hurairah agar masuk Islam.”
Abu Hurairah amat mencintai Rasulullah Saw dengan kecintaan yang
mengalir ke seluruh daging dan darahnya. Ia tidak pernah jemu
memandang Rasulullah Saw dan berkata: “Aku tidak pernah melihat
apapun yang lebih indah dan ceria dibandingkan Rasulullah Saw, bahkan seolah
matahari beredar di wajah Beliau.”
Dia selalu memuji Allah Swt sebab telah memberikan anugerah
kepadanya untuk mendampingi dan mengikuti ajaran agamanya. Ia
berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah memberikan petunjuk kepada
Abu Hurairah sehingga masuk Islam… Segala puji bagi Allah Yang telah
mengajarkan Al Qur’an kepada Abu Hurairah… Segala puji bagi Allah
Yang telah memberikan anugerah kepada Abu Hurairah untuk menjadi
sahabat Muhammad Saw.”
Sebagaimana Abu Hurairah amat mencintai Rasulullah Saw, ia juga
amat mencintai ilmu dan menjadikan ilmu ini sebagai kebiasaan serta
cita-citanya.
Zaid bin Tsabit mengisahkan: “Saat aku, Abu Hurairah dan seorang
sahabatku lainnya sedang berada di Masjid untuk berdo’a dan bedzikir
kepada Allah Swt, lalu datanglah Rasulullah Saw ke arah kami dan duduk
dihadapan kami. Lalu kami pun diam.”
Rasulullah Saw bersabda: “Lakukanlah lagi apa yang sedang kalian
lakukan!”
Saya dan sahabatku berdo’a kepada Allah –sebelum Abu Hurairah- dan
Rasul Saw mengaminkan do’a kami.
lalu Abu Hurairah berdo’a: “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu
seperti apa yang dipinta oleh kedua sahabatku. Aku minta kepada-Mu ilmu
yang tidak pernah terlupa.” lalu Rasulullah Saw mengucapkan:
“Amin.”
Lalu kami meminta kepada Allah ilmu yang tidak bakal terlupa. Namun
Rasulullah Saw bersabda: “Kalian sudah didahului oleh pemuda Al Dausy
ini.”
Sebagaimana Abu Hurairah mencintai ilmu untuk dirinya, ia pun
menyukai apabila ilmu ini dapat bermanfaat buat orang lain.
Salah satunya yaitu saat ia suatu hari sedang melewati pasar
Madinah. Dia merasa aneh dengan manusia yang sibuk oleh urusan dunia,
dan tenggelam dalam urusan jual-beli. lalu ia berdiri dihadapan
mereka dan berkata: “Alangkah lemahnya kalian, wahai penduduk
Madinah!!”
Mereka menjaawab: “Apa yang membuat kamu mengira bahwa kami
yaitu lemah, wahai Abu Hurairah?!”
Ia menjawab: “Harta warisan Rasulullah Saw sedang dibagikan
sedangkan kalian masih saja berada di sini!! Apakah kalian tidak mau pergi
ke sana dan mengambil jatah kalian?!”
Mereka bertanya: “Dimana Beliau sekarang, wahai Abu Hurairah?!”
Ia menjawab: “Beliau berada di Masjid.”
Maka merekapun segera berlari terburu-buru. Sementara Abu
Hurairah menunggu mereka sehingga mereka kembali. Begitu mereka
melihat Abu Hurairah mereka berkata: “Wahai Abu Hurairah, kami sudah
datang dan masuk ke dalam Masjid, akan tetapi kami tidak mendapati
apapun dibagikan di sana.”
Abu Hurairah bertanya kepada mereka: “Apakah kalian tidak
mendapati seorangpun berada di Masjid?!” Mereka menjawab: “Tentu
kami melihat ada orang yang sedang shalat. Beberapa orang sedang
membaca Al Qur’an dan beberapa orang sedang mempelajari halal dan
haram (ilmu fiqih).”
Abu Hurairah langsung berkata: “Celaka kalian, itulah harta warisan
Rasulullah Saw!”
sebab kecintaannya terhadap ilmu dan majlis ilmu Rasulullah, Abu
Hurairah pernah merasa amat lapar dan hidup menderita untuk
mendapatkannya.
Ia menceritakan tentang dirinya sendiri: Jika aku sudah merasa amat
lapar, aku akan bertanya kepada salah seorang sahabat Rasulullah Saw
tentang sebuah ayat Al Qur’an –padahal aku sendiri telah mengetahuinya-
agar ia mengajakku ke rumahnya dan memberi makan kepadaku.
Aku pernah merasa amat lapar sehingga aku mengganjal perutku
dengan batu. Aku lalu duduk di jalan yang biasa di lalui oleh para sahabat.
Lalu Abu Bakar mendapatiku dan aku bertanya kepadanya tentang sebuah
ayat dalam Kitabullah. Aku tidak bertanya sesuatu kepadanya, kecuali agar
ia mengundangku untuk datang ke rumahnya, namun ia tidak
mengundangku.
Lalu lewatlah Umar bin Khattab, dan aku tanyakan kepadanya tentang
sebuah ayat, dan ia juga tidak mengundangku ke rumahnya. Sehingga
lewatlah Rasulullah Saw dan ia mengetahui bahwa aku lapar. Beliau
bersabda: “Apakah engkau Abu Hurairah?” Aku menjawab: “Benar, ya
Rasulullah!” Lalu aku mengikuti Beliau dan aku masuk ke rumah Beliau
dan ia mendapati sebuah gelas berisikan susu. Beliau bertanya kepada
keluarganya: “Dari mana kalian dapatkan susu ini?” Keluarganya
menjawab: “Fulan mengirimkannya untukmu.” Rasul Saw lalu bersabda:
“Ya Abu Hurairah, Pergilah engkau ke ahli suffah164 dan undanglah
mereka semua!”
Aku merasa kesal sebab Rasul Saw menyuruhku untuk mengundang
mereka semua. Aku berujar dalam hati: “Apa yang diberikan oleh susu
ini kepada Ahli Suffah?!”
164
Mereka yaitu tetamu Allah Swt dari kalangan muslim yang fakir, yang tiada memiliki istri,
anak dan harta. Mereka menetap di sebuah Suffah di dalam Masjid Rasul Saw. Oleh sebab nya, mereka
dikenal sebagai Ahli Suffah.
Dan aku amat berharap aku mendapat seteguk air susu terlebih dahulu
untuk menguatkan tubuhku, lalu lalu aku berangkat untuk
mengundang mereka.
Aku lalu mendatangi Ahli Suffah lalu mengundang mereka. Dan
mereka pun datang semuanya. Begitu mereka sudah duduk di dalam rumah
Rasulullah Saw, Beliau bersabda: “Ambillah ini, ya Abu Hurairah dan
bagikanlah kepada mereka!” Maka aku memberikan bejana ini
kepada salah seorang dari mereka sehingga ia merasa puas dan semua
orang sudah mendapatkan bagiannya. lalu aku memberikan gelas
susu ini kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu mengangkat kepalanya ke
arahku sambil tersenyum dan berkata: “Yang tersisa hanya engkau dan aku
saja!” Aku menjawab: “Benar, ya Rasulullah!” Beliau bersabda:
“Minumlah!” dan aku pun meminumnya. lalu ia bersabda:
“Minumlah!” dan aku meminumnya lagi.
Ia terus mengatakan: “Minumlah!” dan aku pun selalu meminumnya,
sehingga aku berkata: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran,
sudah tidak ada tempat dalam tubuhku untuk menampungnya lagi!”
lalu Rasul Saw mengambil gelas tadi lalu Beliau meminum
susu yang tersisa.
Tidak berselang lama sejak itu, sehingga kaum muslimin mendapatkan
kebaikan yang amat banyak. Mereka mendapatkan harta ghanimah yang
melimpah dari penaklukan yang mereka lakukan. Sehingga Abu Hurairah
pun memiliki harta, tempat tinggal & perabotan, istri & anak.
Akan tetapi itu semua tidak merubah apapun terhadap dirinya yang
mulia. Ia tidak pernah lupa akan hari-hari susahnya dahulu. Ia sering kali
berkata: “Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim. Aku berhijrah sebagai
orang miskin. Aku pernah menjadi pegawai Busrah binti Ghazwan untuk
sekedar memberiku makan. Aku melayani kaum jika mereka singgah. Dan
aku menarikkan unta mereka bila mereka hendak berangkat. Dan kini
Allah Swt telah menikahkah aku dengan Busrah. Segala puji bagi Allah
Yang telah menjadikan agama sebagai pegangan dan menjadikan Abu
Hurairah sebagai seorang imam.
Abu Hurairah pernah menjadi wali (gubernur) Madinah pada
pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan lebih dari sekali. Jabatan ini
sedikitpun tidak merubah watak dan sikapnya.
Ia pernah melintasi sebuah jalan di Madinah –pada saat itu ia menjadi
wali di sana-. Ia membawa kayu bakar di atas punggung untuk dibawa
kepada keluarganya. lalu ia berpapasan dengan Tsa’labah bin Malik.
lalu Abu Hurairah berkata kepada Tsa’labah: “Tolong berikan jalan
untuk Amir (pemimpin), ya Ibnu Malik!” Tsa’labah membalas: “Semoga
Allah merahmatimu. Apakah engkau belum merasa cukup sehingga masih
mengerjakan hal ini?”
Abu Hurairah membalas: “Berikan jalan untuk Amir dan kayu bakar
yang ada di punggungnya!”
Selain terkenal sebagai orang yang luas ilmunya dan berbudi luhur, ia
juga dikenal sebagai orang yang bertaqwa dan wara’. Ia selalu berpuasa di
siang hari, dan pada seperti malam pertama ia sudah bangun untuk ibadah.
lalu pada paruh kedua malam, ia membangunkan istrinya sehingga
istrinya beribadah pada sepertiga kedua dari malam. lalu Istrinya
pada separuh malam terakhir membangunkan putrinya untuk beribadah.
Maka ibadah kepada Allah Swt tidak pernah berhenti sepanjang malam
di rumah Abu Hurairah.
Abu Hurairah pernah memiliki seorang budak wanita berasal dari
Zinjy165 yang pernah berlaku kasar kepada Abu Hurairah. Seluruh keluarga
pun menjadi kesal. Abu Hurairah lalu mengambil cambuk untuk
dipukulkan ke arah budak wanita tadi. Namun Abu Hurairah berhenti dan
berkata: “Kalau saja tidak ada qishas di hari kiamat, aku pasti akan
menyakitimu sebagaimana engkau menyakitiku. Akan tetapi aku akan
menjualmu kepada siapa saja yang dapat membayar hargamu, dan aku
lebih butuh terhadap uang ini . Sekarang, pergilah! Engkau aku
bebaskan sebab Allah Swt.”
Putrinya pernah berkata kepada Abu Hurairah: “Ayah, anak-anak gadis
lain menyindirku dan berkata: ‘mengapa ayahmu tidak menghiasi dirimu
dengan dzahab (emas)?!” Abu Hurairah menjawab: “Wahai anakku,
katakan kepada mereka: ‘Ayahku takut bila aku terkena panasnya lahab
(api neraka).”
Abu Hurairah tidak memberikan perhiasan kepada anaknya bukan
sebab pelit dan kikir akan harta,sebab dia yaitu orang yang amat
dermawan di jalan Allah Swt.
Marwan bin Al Hakam pernah mengirimkan kepadanya 100 dinar
emas. Keesokan harinya Marwan mengirimkan seorang utusan yang
menyampaikan kepada Abu Hurairah: “bahwa pembantuku keliru telah
memberikan dinar-dinar ini kepadamu. Padahal yang aku tuju yaitu
orang lain selain kamu.” Abu Hurairah merasa kesal dan berkata: “Aku
165
Dari negeri Zinjy dan mereka yaitu sebuah kaum dari Sudan.
akan memberikannya di jalan Allah Swt dan tidak ada satu dinar pun yang
tersisa padaku. Jika hakku di Baitul Mal telah keluar, maka ambillah saja
uang ini !”
Marwan melakukan hal itu hanya untuk menguji Abu Hurairah. Begitu
sudah terbukti, maka Marwan yakin bahwa Abu Hurairah yaitu orang
yang benar.
Abu Hurairah –semasa hidupnya- selalu berbakti kepada ibunya. Setiap
kali ia hendak pergi meninggalkan rumah, ia akan berdiri di depan pintu
kamar ibunya dan berkata: “Semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah
atasmu, wahai ibuku!”
Ibunya akan menjawab: “Semoga keselamatan, rahmat dan berkah
Allah juga atasmu, wahai anakku!”
Abu Hurairah lalu berkata: “Semoga Allah merahmatimu
sebagaimana engkau telah membesarkan aku di waktu kecil.”
Ibunya membalas: “Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau
berbakti kepadaku saat aku sudah tua.”
lalu bila ia telah kembali ke rumah, ia akan melakukan hal yang
sama terhadap ibunya.
Abu Hurairah amat menyerukan kepada manusia untuk senantiasa
berbakti kepada orang tua dan menjaga hubungan kerabat (silaturahmi).
Suatu hari ia melihat ada dua orang pria sedang berjalan bersama,
dimana salah satunya lebih tua dari lainnya. Abu Hurairah bertanya kepada
orang yang lebih muda: “Siapakah orang ini bagi dirimu?” Orang ini
menjawab: “Dia yaitu ayahku.” Abu Hurairah berpesan kepadanya:
“Janganlah engkau memanggil dia dengan namanya! Janganlah berjalan di
depannya dan janganlah duduk sebelum ia duduk!”
Abu Hurairah menangis saat ajal akan datang kepadanya. Ada orang
yang bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu
Hurairah?!” Ia menjawab: “Aku tidak menangisi dunia yang kalian huni
ini. Akan tetapi aku menangis sebab jauhnya perjalanan dan sedikit bekal
yang aku bawa. Aku kini berdiri di penghujung jalan yang dapat
mengantarkan aku ke surga atau ke neraka. Dan aku sendiri tidak tahu
hendak ke mana aku dibawa!!”
Marwan bin Hakam pernah menjenguknya dan ia mendo’akan:
“Semoga Allah menyembuhkanmu, wahai Abu Hurairah!”
Abu Hurairah menjawab: “Ya Allah, aku menyukai perjumpaan
dengan-Mu, maka jadikanlah perjumpaanku ini indah dan segerakanlah!”
Belum lagi Marwan meninggalkan tempat itu, namun Abu Hurairah
telah meninggal dunia.
Semoga Allah merahmati Abu Hurairah dengan rahmat yang luas. Ia
telah mampu menghapal demi ummat Islam lebih dari 1609 hadits
Rasulullah Saw.
Dan semoga Allah Swt membalas jasanya atas Islam dan kaum
muslimin.
Salamah bin Qais Al Asyjai’
“Sang Penakluk Al Ahwaz”
Umar Al Faruq sedang berkeliling pada malam itu di perkampungan
Madinah agar para penduduk Madinah dapat tidur menutup kelopak mata
mereka dengan perasaan aman dan nyaman.
Saat ia sedang berkeliling di antara rumah dan pasar maka terlintas di
benaknya beberapa nama para sahabat Rasulullah Saw yang dapat diminta
menjadi komandan pasukan dan berangkat menuju Al Ahwaz untuk
menaklukannya. Tidak lama lalu , Umar berseru: “Aku telah
menemukannya… aku telah menemukannya, Insya Allah!”
Keesokan paginya, Umar memanggil Salamah bin Qais Al Asyja’i dan
berkata kepadanya: “Aku mengangkatmu untuk menjadi komandan
pasukan yang akan berangkat menuju Al Ahwaz. Berangkatlah dengan
nama Allah! Perangilah di jalan Allah orang yang kufur terhadap-Nya! Jika
kalian telah bertemu dengan musuh dari kelompok musyrikin, maka
ajaklah mereka untuk masuk Islam. Jika mereka mau masuk Islam dan
lebih memilih untuk tinggal di negeri mereka dan tidak turut-serta bersama
kalian dalam memerangi kelompok musyrikin lainnya, maka mereka tidak
berkewajiban apa-apa selain membayar zakat, dan mereka tidak
mempunyai hak dalam harta fai’166.
Jika mereka memilih untuk turut-serta bersama kalian dalam
berperang, maka mereka akan mendapatkan jatah fai’ seperti kalian.
Mereka juga memiliki kewajiban yang sama seperti kalian.
Jika mereka menolak Islam, maka suruhlah mereka untuk membayar
jizyah167. Jika mereka telah membayarkannya, maka biarkanlah mereka
hidup bebas!
Jagalah mereka dari serangan musuh. Janganlah kalian membebani
mereka dari batas kemampuan yang mereka miliki.
Jika mereka masih menolak, maka perangilah mereka, sebab Allah Swt
akan menjadi Penolong kalian dalam menghadapi mereka.
Jika mereka berlindung pada sebuah benteng, lalu mereka
meminta kalian untuk menggunakan hukum Allah dan Rasul-Nya, maka
166
Fai’ yaitu harta yang diperoleh kaum muslimin dari rampasan perang
167
Jizyah: Harta yang diwajibkan oleh kaum muslimin kepada Ahli Dzimmah untuk menjaga
keselamatan mereka.
janganlah kalian menuruti permintaan mereka. Sebab kalian tidak mengerti
apakah hukum Allah dan Rasul-Nya yang sebenarnya.
Jika mereka meminta kalian untuk kembali kepada dzimmah
(tanggungan) Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian memberikan
dzimmah Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi berikanlah tanggungan kalian
saja!
Jika kalian telah menang dalam peperangan, janganlah kalian kelewat
batas! Jangan berkhianat! Jangan menganiaya bangkai musuh dan jangan
membunuh anak-anak!”
Salamah menjawab: “Kami akan patuh dan mentaatinya, ya Amirul
Mukminin!”
Umar lalu melepaskan Salamah dengan kehangatan. Ia menggenggam
erat tangan Salamah. Umar pun berdo’a dengan penuh kekhusyukan bagi
Salamah.
Umar menyadari betapa berat tugas yang ia berikan kepada Salamah
dan kepada para prajuritnya. Hal itu sebab Al Ahwaz yaitu daerah
pegunungan yang amat sukar untuk ditempuh. Memiliki benteng yang
kokoh. Terletak antara Bashrah dan perbatasan Persia. Al Ahwaz dihuni
oleh para penduduk Kurdi yang gagah perkasa.
Kaum muslimin tidak punya pilihan lain selain harus menaklukan kota
ini dan menguasainya agar mereka dapat melindungi diri dari
serangan bangsa Persia terhadap Bashrah, dan menghalangi pasukan Persia
untuk mengambil alih wilayah Bashrah sebagai pangkalan militer Persia
sehingga akan mengganggu kesalamatan dan keamanan wilayah Irak.
Salamah bin Qais berjalan di barisan terdepan para prajuritnya untuk
berjuang di jalan Allah. Baru saja mereka masuk perbatasan Al Ahwaz,
mereka langsung merasakan kekerasan alam dan cuaca Ahwaz.
Para pasukan merasa beban mereka semakin berat saat mendaki
pegunungan yang tinggi, mereka juga harus melewati rawa-rawa yang
terus mengalir ke pantai.
Disamping itu, mereka juga menghadapi ular-ular serta kalajengking
beracun yang terus hidup meski terlihat tertidur.
Akan tetapi semangat Salamah bin Qais yang teguh beriman senantiasa
menyemangati para prajuritnya. Sehingga segala kesulitan tadi terasa
nikmat, dan segala kesedihan menjadi mudah.
Salamah senantiasa memberikan nasehat kepada pasukannya sehingga
membangkitkan kembali semangat mereka. Ia juga mengisi malam-malam
mereka dengan keharuman semerbak Al Qur’an. Maka para prajurit
merasa mendapatkan sinar Al Qur’an, merasa tentram dengan segala
kenikmatan, merasa nyaman meski segala beban dan penderitaan yang
mereka alami.
Salamah bin Qais melaksanakan perintah Khalifah. Begitu ia berjumpa
dengan penduduk Al Ahwaz, ia langsung menawarkan mereka untuk
masuk ke dalam agama Allah. Namun mereka menolak dan berpaling.
Salamah menyeru mereka untuk membayar jizyah, mereka menolak dan
membangkang.
Pasukan muslimin tidak punya pilihan lain selain melakukan
peperangan melawan mereka. Maka mereka pun melakukannya sebagai
jihad di jalan Allah, dan mengharap pahala terbaik di sisi Allah.
Terjadilah peperangan yang amat sengit. Kedua pasukan melancarkan
serangan yang amat keras yang jarang sekali peperangan sesengit itu
terjadi dalam sejarah.
Tidak lama lalu , usailah peperangan dengan kemenangan berada
di pihak muslimin yang berjuang menegakkan kalimat Allah, dan
kekalahan di pihak musyrikin sebagai para musuh Allah.
Begitu peperangan usai, Salamah bin Qais segera membagikan harta
ghanimah kepada para prajuritnya.
Lalu Salamah menemukan sebuah perhiasan berharga. Ia berkeinginan
untuk memberikan perhiasan ini kepada Amirul Mukminin. Maka
Salamah berkata kepada para prajuritnya: “Perhiasan ini bila dibagikan
kepada kalian, maka tidak akan begitu berarti. Apakah kalian mengizinkan
bila perhiasan ini kita kirimkan kepada Amirul Mukminin?”
Mereka menjawab: “Baiklah!” lalu Salamah meletakkan
perhiasan ini dalam sebuah kotak kecil. lalu ia mengutus
seorang prajurit dari kaumnya Bani Asyja’ dan berpesan kepadanya:
“Berangkatlah engkau dan budakmu ke Madinah! Beritahukanlah kepada
Amirul Mukminin tentang penaklukan ini. Berikanlah perhiasan ini sebagai
hadiah kepadanya!”
Pria Asyja’i yang diutus ini memiliki sebuah kisah dengan Umar yang
mengandung pelajaran berharga. Kita akan mempersilahkan dia untuk
menceritakan kisahnya.
Pria Asyja’i ini berkisah: “Aku dan budakku berangkat menuju Bashrah.
Kami lalu membeli dua ekor kendaraan dengan uang yang diberikan oleh
Salamah bin Qais kepada kami. Lalu kedua hewan tadi kami isikan dengan
semua perbekalan yang dibutuhkan. Lalu kami berangkat menuju
Madinah. Sesampainya di sana, aku mencari-cari Amirul Mukminin dan
aku dapati ia tengah berdiri sedang memberi makan kepada kaum
msulimin dan saat itu ia sedang berdiri dengan berpegang kepada sebuah
tongkat seperti seorang gembala. Ia berjalan mengelilingi piring-piring
besar sambil berkata kepada budaknya yang bernama Yarfa’: “Ya Yarfa’,
tambahkan daging buat mereka. Ya Yarfa’, tambahkan roti buat mereka. Ya
Yarfa’, tambahkan sayur buat mereka.”
Begitu aku menghampiri Amirul Mukminin, ia berkata kepadaku:
“Duduklah!”
lalu aku duduk di tengah-tengah manusia, lalu aku disodorkan
makanan dan aku pun memakannya.
Begitu semua orang selesai makan, lalu Amirul Mukminin
berkata: “Ya Yarfa’, angkatlah piring-piring besar itu!”
lalu Yarfa’ mengangkat piring-piring ini dan aku
membantunya.
Begitu Amirul Mukminin masuk ke dalam rumahnya, aku pun meminta
izin untuk dipersilakan masuk, dan ia mengizinkan. Aku dapati Amirul
Mukminin sedang duduk di atas bantal dari kumpulan bulu, Beliau
bersandar di atas dua buah bantal terbuat dari kulit yang diisi oleh bulu.
lalu ia melemparkan salah satunya kepadaku, lalu aku duduk
di atas bantal ini .
Di belakang tubuhnya terdapat sebuah tirai, lalu ia menoleh ke
arah tirai ini dan berkata: “Ya Ummu Kultsum, siapkan makanan
untuk kami!”
Aku berujar dalam diri: “Kira-kira apa makanan yang akan disiapkan
khusus buat Amirul Mukminin?!”
lalu Ummu Kultsum memberikan sepotong roti dengan minyak
yang ditaburi garam yang tidak merata.
lalu khalifah menoleh ke arahku dan berkata: “Makanlah!” Aku
pun melaksanakannya dan aku makan sedikit saja. Ia pun turut makan.
Aku tidak pernah melihat orang yang memiliki cara lebih baik dibandingkan nya
saat makan.
lalu ia berkata: “Bawakan air untuk kami!” maka penghuni
rumahnya membawakan sebuah gelas untuk Beliau yang berisikan
minuman dari tepung jernih. lalu Khalifah berkata: “Berikan
minuman ini kepada orang ini terlebih dahulu!” Maka para orang
tadi memberikan minuman ini kepadaku.
Aku pun mengambil gelas ini dan aku minum sedikit darinya,
sebab tepung jernih milikku lebih wangi dan lebih berkualitas. lalu
Khalifah mengambilnya dan meminum dari gelas ini hingga ia merasa
puas. lalu ia berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi
kami makan sehingga merasa kenyang. Yang telah memberi kami minum,
sehingga kami merasa tidak haus.”
Pada saat itu, aku menatapnya dan berkata: “Aku membawa sebuah
surat untukmu, wahai Amirul Mukminin.” Ia bertanya: “Dari mana?” Aku
menjawab: “Dari Salamah bin Qais.” Ia langsung berseru: “Selamat datang
untuk Salamah bin Qais, selamat datang bagi utusannya! Ceritakan
kepadaku tentang pasukan muslimin!”
Aku menjawab: “Sebagaimana yang engkau inginkan, wahai Amirul
Mukminin. Mereka semua selamat, dan berhasil menang menghadapi para
musuh mereka dan musuh Allah.”
Aku pun memberitahukan kepadanya tentang kemenangan. Aku
memberitahukannya tentang kondisi pasukan muslimin baik secara umum
maupun terperinci.
Ia berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah memberi dan melebihkan,
Yang telah menganugerahkan dan memperbanyak!”
lalu ia bertanya: “Apakah engkau melewati Bashrah?” Aku
menjawab: “Ya, aku melewatinya wahai Amirul Mukminin.”
Ia bertanya: “Bagaimana kaum muslimin di sana?” Aku jawab:
“Semuanya baik-baik saja dengan rahmat Allah.” Ia bertanya: “Bagaimana
harga barang-barang di sana?” Aku jawab: “Harga barang di sana yaitu
yang paling murah.” Ia bertanya: “Bagaimana dengan daging di sana?
Sebab daging yaitu bak pepohonan bagi bangsa Arab. Bangsa Arab tidak
merasa damai kecuali mereka memiliki pepohonan.”
Aku jawab: “Daging di sana amat banyak dan berkecukupan.”
lalu ia melihat kotak kecil yang aku bawa, lalu ia bertanya:
“Apa yang kau bawa di tanganmu itu?!”
Aku menjawab: “Saat Allah memberikan kemenangan kepada kami saat
menghadapi musuh, kami pun mengumpulkan harta ghanimah. Salamah
lalu melihat terdapat sebuah perhiasan. lalu Salamah berkata kepada
semua prajurit: ‘Perhiasan ini bila dibagikan kepada kalian maka akan
menjadi tidak berarti. Apakah kalian mengizinkan jika perhiasan ini aku
kirimkan kepada Amirul Mukminin?’ Para prajurit menjawab: ‘Baiklah!’”
lalu aku memberikan kotak kecil ini kepada Khalifah.
Begitu ia membukanya dan melihat batu-batu mulia yang bertahta di
perhiasan ini dengan berbagai warna merah, kuning dan hijau, ia
langsung melompat dari tempat duduknya. Ia lalu menjulurkan tangannya
dihadapanku. Ia lalu mencampakkan kotak kecil tadi ke tanah, maka
berhamburanlah semua yang ada di dalamnya tercerai-berai.
Para wanita yang ada di dalam rumah menduga bahwa aku berniat
untuk membunuh Khalifah. Semua wanita tadi berdatangan ke arah tirai.
lalu Khalifah menatapku dan berkata: “Kumpulkan perhiasan itu!”
dan ia berkata kepada budaknya: “Pukullah dan sakiti dia!”
Aku lalu mengumpulkan isi kotak kecil yang berhamburan, sementara
Yarfa’ memukuliku.
lalu Khalifah berkata: “Berdirilah dengan cara yang tidak
terhormat, baik engkau maupun sahabatmu!”
Aku berkata: “Tolong kembalikan hewan tungganganku yang akan
membawa aku dan budakku ke Al Ahwaz. Budakmu telah mengambil
hewan ini dariku.”
lalu Khalifah berkata kepada Yarfa’: Berikan kepadanya dua unta
tunggangan dari harta sedekah untuk dia dan budaknya!”
lalu ia berkata kepadaku: “Jika engkau telah merasa tidak
memerlukannya lagi dan engkau mendapati ada orang yang lebih
membutuhkannya dibandingkan mu, maka berikanlah kedua unta tadi
kepadanya!”
Aku menjawab: “Baik, akan aku lakukan ya Amirul Mukminin, Insya
Allah!”
lalu Khalifah menatapku sambil berkata: “Demi Allah, jika para
prajurit sudah berpisah sebelum perhiasan ini dibagikan kepada mereka,
maka aku sendiri yang akan mematahkan tulang punggunngmu dan
sahabatmu itu!”
Maka aku pun segera berangkat sehingga aku menemui Salamah dan
aku berkata: “Tiada keberkahan Allah atas tugas yang engkau berikan
kepadaku. Bagikanlah perhiasan ini kepada para prajurit sebelum sebuah
musibah bakal terjadi kepadaku dan kepadamu!”
Aku pun menceritakan kisahku kepadanya.
Ia pun tidak meninggalkan majlisnya sebelum ia membagikan
perhiasan ini kepada para prajurit.
Muadz bin Jabal
“Manusia yang Paling Mengerti Akan Hal-Hal yang Halal & Haram
dalam Ummatku yaitu Mu’adz bin Jabal.” (Muhammad Rasulullah)
Saat jazirah Arab mulai diterangi oleh cahaya petunjuk dan kebenaran,
saat itu seorang bocah Yatsrib yang bernama Muadz bin Jabal yaitu
seorang pemuda yang baru masuk usia remaja. Ia memiliki keunggulan
dibandingkan para kawan sebayanya dari sisi kecerdasan, kecerdikan,
kecakapan dalam berbicara dan tingginya cita-cita.
Di samping itu, Muadz memiliki rupa yang tampan, mata yang lentik,
rambut yang keriting. Senantiasa dipuji orang dan membuat senang orang
yang memandangnya.
Pemuda yang bernama Muadz bin Jabal ini masuk Islam lewat seorang
da’i yang berasal dari Mekkah bernama Mus’ab bin Umair. Pada malam
terjadinya Bai’at Aqabah, ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman
dengan tangan Nabi Saw dan berbaiat kepada Beliau.
Muadz juga termasuk kelompok yang berjumlah 72 orang yang
berangkat ke Mekkah untuk berjumpa Nabi Saw dan berbaiat kepada
Beliau serta untuk mencantumkan nama mereka dalam catatan sejarah.
Begitu pemuda ini kembali dari Mekkah ke Madinah, maka ia beserta
beberapa orang anak sebayanya membuat sebuah kumpulan yang bertugas
untuk menghancurkan semua berhala di Madinah dan merebutnya dari
semua rumah orang musyrik yang berada di Yatsrib baik secara sembunyi
maupun terang-terangan. Salah satu hasil dari gerakan para pemuda ini
yaitu dengan masuknya seorang tua Yatsirb ke dalam Islam yang bernama
Amr bin Al Jamuh.
Amr bin Jamuh yaitu seorang pemuka dan tokoh Bani Salamah. Ia
telah membuat sebuah berhala untuk dirinya dari kayu yang paling bagus
sebagaimana kebiasan para pembesar di sana.
Amr bin Jamuh ini yaitu seorang tokoh Bani Salamah yang amat
memperhatikan berhalanya. Ia selalu memakaikan pakaian sutra kepada
berhala tadi, dan memberikan wewangian kepada berhalanya setiap pagi.
Para pemuda tadi mengambil berhala ini di tengah kegelapan
malam, lalu membawanya ke belakang perumahan Bani Salamah. Mereka
lalu melemparkan berhala ini ke dalam sebuah lubang tempat
pembuangan sampah dan kotoran.
Keesokan paginya, Amr bin Jamuh mencari-cari berhala tadi namun ia
tidak mendapatinya. Ia mencari berhala ini ke seluruh tempat dan
akhirnya ia menemukan berhala itu sedang tertelungkup dan tenggelam di
antara sampah dan kotoran. Amr berkata: “Celaka kalian, siapa yang berani
berbuat begini kepada tuhan kami tadi malam?!”
lalu Amr mengeluarkan berhala ini dari tempat sampah. Ia
memandikannya lalu memberikan wewangian kepadanya. Amr lalu
membawa berhala tadi kembali pulang ke rumah. Amr berkata kepada
berhalanya: “Ya Manat, kalau saja aku tahu siapa yang telah berbuat ini
kepadamu, pasti akan aku siksa dia!”
Begitu malam tiba dan Amr yang tua sudah tertidur, maka masuklah
para pemuda tadi untuk melakukan hal yang sama kepada berhala
sebagaimana yang mereka lakukan pada kemarin malam.
Amr terus mencari berhalanya dan ia mendapati berhala itu berada
pada lubang lainnya.
Amr mengeluarkan berhala, memandikannya, mensucikannya,
memberikan wewangian dan mengancam orang yang melakukan
keburukan kepada berhalanya dengan ancaman yang paling menakutkan.
Begitu kejadian ini terjadi berulang-ulang dengan para pemuda yang
mengambil berhala tadi lalu membuangnya, dan Amr yang mencucinya…
Lalu Amr membawa pedangnya dan ia gantungkan di leher berhala
tadi. Amr berkata kepada berhalanya: “Demi Allah, aku tidak tahu siapakah
yang telah berbuat ini kepadamu, seperti yang engkau lihat. Jika engkau
memiliki kebaikan, ya Manat maka jagalah dirimu dan ini pedang aku
berikan kepadamu!”
Begitu malam tiba, dan Amr yang tua ini sudah tertidur. Para pemuda
tadi mendekati berhala dan mengambil pedang yang tergantung di leher
berhala. Mereka lalu mengikatkan berhala tadi di leher seekor anjing
yang mati lalu mereka melemparkan berhala dan anjing tadi di
lubang yang sama. Keesokan paginya, Amr yang tua mencari dengan
sungguh-sungguh akan berhalanya yang hilang hingga ia menemukan
berhala ini berada di tengah kotoran yang terikat dengan seekor
anjing yang mati dengan wajah yang tertelungkup. Pada saat itu Amr
menatap berhalanya dan berkata:
Demi Allah, kalau benar engkau yaitu tuhan maka engkau tidak akan
terikat bersama anjing di dalam lubang.
lalu Amr yang tua itu pun masuk Islam dan ia menjalankan
keislamannya dengan baik.
Begitu Rasulullah Saw datang ke Madinah sebagai seorang muhajir,
Muadz bin Jabal selalu mendampingi Beliau bagaikan sebuah bayangan
saja. Muadz belajar Al Qur’an langsung dari Rasul Saw. Ia mempelajari
ilmu syariat Islam dari Beliau. Sehingga ia menjadi sahabat yang paling
mengerti akan Al Qur’an dan Syariat agama.
Yazid bin Quthaib berkisah: “Aku masuk ke dalam Masjid Himsha, dan
aku dapati disana ada seorang pemuda berambut keriting yang dikelilingi
oleh banyak orang.”
Jika ia berbicara, seolah keluar dari mulutnya cahaya dan permata. Aku
bertanya: “Siapakah dia?!” Orang-orang menjawab: “Dia yaitu Muadz
bin Jabal.”
Abu Muslim Al Khaulany berkata: Aku masuk ke Masjid Damaskus.
Ternyata di dalamnya ada sebuah halaqah ilmiah yang diisi oleh beberapa
sahabat Nabi Saw yang ternama.
Aku lihat ada seorang pemuda yang memiliki mata yang lentik dan gigi
yang berkilau. Setiap kali para sahabat tadi berselisih tentang suatu
permasalahan, maka mereka akan mengembalikan permasalahan ini
kepada pemuda ini. Aku pun bertanya kepada orang yang duduk di
sampingku: “Siapakah dia?!” Ia menjawab: “Dia yaitu Muadz bin Jabal.”
Hal itu tidak mengherankan, sebab Muadz dididik langsung oleh
Rasulullah Saw sejak kecil. Sehingga ia telah menyerap ilmu langsung dari
sumbernya yang subur. Ia telah mengambil ilmu pengetahuan dari
sumbernya yang asli. Ia telah menjadi murid terbaik dari guru yang
terbaik.
Cukup sabda Rasul Saw menjadi jaminan kecerdasan Muadz saat Beliau
bersabda: “Manusia yang paling mengerti akan hal-hal yang halal & haram
dalam ummatku yaitu Mu’adz bin Jabal.”
Ia layak untuk memiliki keutamaan atas ummat Muhammad Saw yang
lain sebab dia yaitu salah satu dari 6 orang yang bertugas untuk
mengumpulkan Al Qur’an pada masa Rasulullah Saw.
Oleh sebab nya, jika para sahabat Rasulullah Saw sedang berbicara dan
Muadz berada di tengah mereka, maka para sahabat tadi akan memuliakan
dirinya sebagai rasa penghormatan atas ilmu yang ia miliki.
Rasulullah Saw dan 2 Khalifah sesudah nya telah menempatkan potensi
ilmiah ini untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin.
Nabi Saw melihat bahwa banyak sekali rombongan kaum Quraisy yang
masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong sesudah
penaklukan Mekkah.
Rasul merasakan bahwa para muslimin yang baru ini membutuhkan
seorang pengajar besar yang dapat mengajarkan Islam dan syariatnya
kepada mereka. Maka Nabi Saw menunjuk Attab bin Usaid untuk menjadi
pemimpin Mekkah, dan menunjuk Muadz bin Jabal untuk menemani Attab
untuk mengajarkan Al Qur’an kepada semua manusia dan mengajarkan
ilmu pengetahun tentang agama Allah Swt.
Ketika beberapa orang utusan para raja Yaman datang menghadap
Rasulullah Saw dan menyatakan keislaman para raja tadi dan semua
pendukungnya. Mereka juga meminta Rasul Saw untuk mengirimkan
orang yang dapat mengajarkan ilmu agama kepada mereka. Maka Rasul
Saw mengirimkan beberapa orang da’i dari kalangan sahabat untuk misi
ini, dan Rasul Saw menunjuk Muadz bin Jabal untuk memimpin
rombongan ini.
Nabi Saw sendiri turut keluar untuk melepas rombongan pembawa
petunjuk dan cahaya ini. Beliau berjalan di bawah kendaraan tuggangan
Muadz, sedangkan Muadz berada di atas kendaraan.
Rasulullah Saw menghabiskan harinya bersama Muadz seolah Beliau
hendak berduaan dengannya.
lalu Beliau Saw memberikan wasiat kepada Muadz: “Ya Muadz,
barangkali engkau tidak dapat berjumpa denganku lagi sesudah tahun ini.
Barangkali engkau akan melewati Masjid dan kuburku.”
Muadz lalu menangis sedih sebab akan berpisah dengan Nabi
sekaligus kekasihnya yang bernama Muhammad Saw, dan para muslimin
yang ada pun turut menangis.
Benar sekali prediksi Nabi Saw, amat beruntung sekali kedua mata
Muadz ra yang masih sempat melihat Nabi Saw sesudah saat itu.
Rasulullah Saw telah wafat sebelum Muadz kembali dari Yaman. Tidak
ragu lagi, Muadz pun langsung menangis saat ia kembali ke Yatsrib dan ia
menemukan bahwa Madinah telah kehilangan kekasihnya yaitu Rasulullah
Saw.
Saat Umar ra menjabat sebagai khalifah ia mengutus Muadz ke Bani
Kilab untuk membagikan harta kepada mereka, membagikan harta sedekah
orang kaya mereka kepada kaum fakir disana. Muadz pun menjalani apa
yang diperintahkan kepadanya. Ia kembali ke rumah menemui istrinya
dengan membawa pelana yang senantiasa ia bawa di atas lehernya. Istrinya
bertanya: “Apakah yang kau bawa sebagaimana para wali (gubernur)
membawakan hadiah bagi keluarganya?!”
Muadz menjawab: “Aku senantiasa diikuti oleh pengawas yang selalu
memperhatikan aku.”
Istrinya berkata: “Engkau yaitu orang yang dipercaya pada masa
Rasulullah Saw dan Abu Bakar. lalu pada zaman Umar, ia mengutus
seorang pengawas untuk selalu mengawasimu?!”
Hal itu lalu tersiar hingga sampai di telinga istri Umar. Istri
Muadz mengeluhkan hal ini kepada istri Umar.
Hal itu sampai terdengar oleh Umar, ia pun segera memanggil Muadz
dan bertanya: “Apakah aku pernah mengirimkan seorang pengawas
kepadamu untuk selalu memperhatikan kamu?!”
Muadz menjawab: “Tidak, ya Amirul Mukminin. Akan tetapi aku tidak
memiliki alasan apapun buat istriku selain hal itu.” Maka Umar pun
tertawa dan memberikan sesuatu kepada Muadz sambil berkata: “Buatlah
istrimu senang dengan pemberian ini!”
Pada zaman kekhalifahan Umar Al Faruq suatu saat wali Syam yang
bernama Yazid bin Abu Sufyan mengirimkan surat yang berbunyi: “Ya
Amirul Mukminin, Penduduk Syam sudah semakin banyak. Mereka amat
membutuhkan orang yang dapat mengajarkan Al Qur’an dan ajaran agama
kepada mereka. Tolong kirimkan kepadaku beberapa orang yang dapat
mengajarkan mereka.” Maka Umar segera mengumpulkan 5 orang yang
pernah mengumpulkan Al Qur’an pada zaman Nabi Saw.
Kelima orang ini yaitu : Muadz bin Jabal, Ubadah bin Shamit,
Abu Ayyub Al Anshary, Ubai bin Ka’b dan Abu Darda. Umar berkata
kepada mereka: “Saudara kalian para penduduk Syam meminta
pertolonganku untuk mengirimkan orang yang dapat mengajarkan Al
Qur’an dan ajaran agama kepada mereka. Maka tolonglah aku –semoga
Allah merahmati kalian- untuk menunjuk tiga orang dari kalian. Jika kalian
mau mengundinya silahkan saja. Jika kalian tidak mau mengundinya, maka
aku akan memilih tiga orang dari kalian.
Mereka menjawab: “Mengapa harus diundi?! Abu Ayub yaitu seorang
yang sudah tua sedangkan Ubai yaitu orang yang punya penyakit. Yang
tersisa hanyalah kami bertiga.”
Umar lalu berkata: “Mulailah kalian bertiga dari Himsh. Jika kalian
sudah merasa senang di sana, maka tunjuklah salah seorang untuk tinggal
di sana dan satu orang harus berangkat ke Damaskus dan seorang lagi ke
Palestina.
Maka ketiga sahabat Rasul Saw tadi melaksanakan apa yang
diperintahkan Umar Al Faruq untuk berangkat ke Himsh. lalu
mereka meninggalkan Ubadah bin Shamit untuk menetap di sana. Abu
Darda pergi ke Damaskus dan Muadz bin Jabal berangkat ke Palestina.
Di sanalah Muadz bin Jabal terkena wabah.
Saat ia sudah menjelang wafat, ia menghadapkan dirinya ke arah kiblat
dan terus-menerus membacakan nasyid ini:
Selamat datang kematian, selamat datang!
Akhirnya sang tamu telah datang sesudah lama pergi
Dan kekasih telah datang untuk mengobati kerinduan
lalu ia memandang ke arah langit sambil berdoa:
“Ya Allah, Engkau sungguh mengetahui bahwa aku tidak pernah
mencintai dunia dan suka tinggal lama di dalamnya untuk menanam
pepohonan, dan mengalirnya sungai.
Akan tetapi aku suka tinggal di dunia ini untuk memberikan minum
kepada orang yang kehausan, menunggu terjadinya kiamat dan
berdampingan dengan para ulama di halaqah-halaqah dzikir.
Ya Allah, terimalah jiwaku sebaik Kau menerima sebuah jiwa yang
beriman!”
lalu ruhnya terlepas dari badan jauh meninggalkan keluarga dan
famili, sebagai ruh yang mengajak ke jalan Allah dan berhijrah di jalannya.
Keluarga Yasir
(Yasir, Sumayyah, dan Amar)
“Bersabarlah Wahai Keluarga Yasir… Sebab Tempat Kalian yaitu
Surga” (Muhammad Rasulullah)
Di suatu pagi yang cerah dan bercuaca segar, tibalah sebuah kafilah
dari Yaman di penghujung kota Mekkah.
Begitu Yasir bin Amir bin Amir Al Kina’I melihat Ka’bah yang
dimulyakan maka ia terpesona dengan keagungannya. Hatinya merasa
senang dengan memandangnya. sebab kedua matanya belum pernah
sebahagia kini saat melihat bangunan ini .
Kedatangan Yasir ke Mekkah bukanlah untuk berdagang sebagaimana
kebiasaan para kafilah. Akan tetapi kedatangan ia dan kedua saudaranya
yang bernama Al Harits dan Malik kesana yaitu untuk mencari saudara
mereka yang sudah bertahun-tahun menghilang dan tidak sedikitpun
mereka mendapatkan berita tentang keberadaannya.
Ketiga pemuda ini mencari saudara mereka ke semua tempat.
Mereka menanyakan tentang keberadaan saudara mereka kepada semua
jama’ah. Sehingga mereka merasa putus asa dan berselisih pendapat.
Al Harits dan Malik kembali ke tempat bermain dan kampung
halamannya di Yaman.
Sedangkan Yasir malah tertarik untuk menetap di Mekkah sebagai
tempat tinggal dan tanah air.
Yasir bin Amir belum mengetahui saat ia mengambil keputusannya
ini akan kemulyaan apa yang bakal ia terima.
Ia juga tidak pernah tahu bahwa ia akan masuk dalam catatan sejarah.
Ia juga tidak tahu bahwa dari tulang sumsumnya akan muncul seorang
anak yang akan menghiasi dunia. Akan tetapi Yasir tidak memiliki keluarga
dan kerabat yang dapat melindunginya di sana.
Maka orang asing seperti Yasir, haruslah mendapatkan dukungan dari
seorang pemuka kaum, agar ia dapat menjalani hidup dengan aman dan
nyaman di dalam masyarakat yang tidak memberikan ruang bergerak bagi
mereka yang lemah.
Tidak ada pilihan lain baginya kecuali mendapatkan dukungan dari
Abu Hudzaifah Al Mughirah Al Makhzumy.
Abu Hudzaifah melihat adanya sikap yang luhur pada diri Yasir. Ia juga
yaitu orang yang berperangai baik yang membuat Abu Hudzaifah jatuh
hati kepadanya. Abu Hudzaifah pun menikahkan Yasir dengan budak
wanita miliknya yang dikenal dengan Sumayyah binti Khibath.
Hasil pertama dari pernikahan ini yaitu lahirnya seorang bocah yang
memberikan kebahagiaan terbesar bagi kedua orang tuanya. Keduanya
memberikan nama kepada bocah yang baru lahir dengan nama Ammar.
Kegembiraan mereka semakin besar saat Abu Hudzaifah membebaskan
dan memerdekakan Ammar.
Keluarga ini tinggal di bawah asuhan Bani Makhzum dan
menjalani hidup yang damai dan penuh cinta.
Hari terus berganti dan tahun terus berlalu. Yasir dan Sumayyah pun
sudah semakin tua kini. Sedangkan Ammar telah menjadi seorang pemuda
dewasa.
Lalu teranglah dunia ini dengan datangnya cahaya Tuhan. Muncullah
dari ngarai Mekkah cahaya kebaikan dan kebenaran yang meliputi alam.
Cahaya ini menutupi dunia dengan keadilan dan kebaikan.
Nabi Saw mulai menyampaikan risalah Tuhannya dengan terang-
terangan.Ia memberikan peringatan dan kabar kebaikan kepada kaumnya.
Ia mengajak kaumnya kepada kebaikan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Ammar bin Yasir mendengar berita tentang dakwah baru ini dari
pembicaraan manusia sehingga ia membuka telinga, hati dan akalnya
untuk mendengarkan berita ini . Akan tetapi Ammar saat mendapati
dirinya tidak ada yang mengantarkannya kesana, ia merasa gundah.
Ia berujar dalam dirinya: “Celaka engkau ya Ammar! Apa yang
membuatmu merasa haus, padahal sumber air sudah dekat dengan
dirimu?!”
Ayo… datangilah pemilik risalah ini . Ayo datangi Muhammad