Minggu, 29 Desember 2024

amsal 4

 


akan dapat 

memperoleh apa yang dia punyai, sebab semuanya harus dibayar 

dengan harga yang amat mahal.” Nah, untuk menunjukkan meng-

apa orang-orang kudus tidak sepatutnya merasa iri terhadap para 

pendosa, dalam empat ayat terakhir di pasal ini, Salomo memban-

dingkan keadaan para pendosa dengan orang-orang kudus (seper-

ti yang pernah dilakukan oleh Daud, ayahnya, Mzm. 37). Ia mem-

pertentangkan keduanya berhadap-hadapan supaya kita dapat 

melihat betapa bahagianya orang-orang kudus itu sekalipun 

mereka teraniaya, dan betapa sengsaranya orang fasik, sekalipun 

merekalah yang menjadi penganiaya. Manusia akan dihakimi ber-

dasarkan kedudukan mereka di hadapan Allah, dan berdasarkan 

penghakiman Allah atas mereka, bukan berdasarkan kedudukan 

mereka di mata dunia. Orang-orang yang seturut dengan pikiran 

Allah berarti sudah berbuat benar, dan jika kita seturut dengan 

pikiran-Nya, maka kita akan melihat bahwa begitu bahagianya 

orang-orang kudus itu sehingga mereka tidak memiliki alasan lagi 

untuk merasa iri terhadap para pendosa, walaupun keadaan me-

reka makmur sampai mereka sendiri saling merasa iri. Sebab,   

1. Orang-orang berdosa dibenci Allah, namun  orang-orang kudus 

dikasihi-Nya (ay. 32). Para pendosa yang lancang, yang terus-

menerus menyimpang dari-Nya, yang hidupnya merupakan 

pertentangan melawan kehendak-Nya, yaitu  kekejian bagi 

TUHAN. Dia yang tidak membenci apa pun yang telah Dia 


 66

ciptakan harus merasa jijik terhadap orang-orang yang telah 

mencemari diri mereka sendiri. Mereka bukan saja menjijikkan 

di depan mata-Nya, namun  juga merupakan kekejian. Oleh 

  sebab  itu, orang-orang benar tidak memiliki alasan untuk 

merasa cemburu terhadap para pendosa itu, sebab dengan 

orang-orang benarlah Ia bergaul erat. Mereka yaitu  orang-

orang kesayangan-Nya. Dia bergaul erat dengan mereka mela-

lui persekutuan yang tidak diketahui dunia ini, dan dalam 

persekutuan itulah mereka memiliki sukacita yang tidak 

dirasakan oleh orang lain. Dia menyampaikan tanda-tanda ka-

sih-Nya kepada mereka. Kovenan-Nya atau janji-Nya ada 

dengan mereka. Mereka mengenal pikiran-Nya serta makna 

dan tujuan pemeliharaan-Nya, lebih dibandingkan  yang diketahui 

orang lain. Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abra-

ham apa yang hendak Kulakukan ini?  

2.  Para pendosa beserta seisi rumah mereka berada di bawah 

kutuk Allah. Para orang kudus dan kediaman mereka ada di 

bawah berkat-Nya (ay. 33). Orang fasik memiliki rumah yang 

mungkin kokoh dan megah, namun  kutuk TUHAN ada di sana, 

ada di dalamnya. Dan, sekalipun usaha keluarga mereka 

mungkin berhasil, namun  setiap berkat mereka akan menjadi 

kutuk (Mal. 2:2). Di sana ada penyakit paru-paru, saat  tubuh 

mereka justru dikenyangkan sampai puas (Mzm. 106:15). Ku-

tuk dapat menimpa dengan diam-diam dan perlahan-lahan, 

namun  hal itu merupakan penyakit kusta yang parah, yang 

pada akhirnya akan memusnahkan baik kayunya maupun 

batu-batunya (Za. 5:4; Hab. 2:11). Orang benar memiliki tem-

pat tinggal yang sederhana (kata yang dipakai yaitu  yang 

biasa digunakan untuk kandang domba), gubuk yang sangat 

hina, namun  Allah memberkatinya. Dia terus memberkatinya 

dari awal hingga akhir tahun. Kutuk dan berkat Allah ada di 

atas rumah berdasarkan penghuninya, apakah mereka fasik 

atau saleh, dan jelaslah bahwa keluarga yang diberkati, meski-

pun mereka miskin, tidak seharusnya merasa iri terhadap 

keluarga yang dikutuk, sekalipun mereka kaya.  

3. Allah merendahkan pendosa, namun  menghormati orang-orang 

kudus (ay. 34).  

(1) Orang-orang yang meninggikan diri pasti akan direndah-

kan: jika  Ia menghadapi pencemooh, maka Ia pun men-

Kitab Amsal 3:27-35 

 67

cemooh. Orang-orang yang mencemooh dan tidak mau tun-

duk pada disiplin agama, tidak sudi memikul kuk Allah, 

tidak mengindahkan anugerah-Nya dan mengolok-olok 

kesalehan serta orang-orang saleh, dan suka menentang 

dan mencemoohkan mereka, akan dicemoohkan oleh Allah 

dan dipertontonkan kepada dunia untuk dicemoohkan. Dia 

mengejek kejahatan mereka yang tidak punya daya apa-apa 

itu. Ia bersemayam di sorga, tertawa (Mzm. 2:4). Dia meng-

ganjar mereka (Mzm. 18:26). Dia menentang orang yang cong-

kak.  

(2) Orang yang merendahkan diri akan ditinggikan, sebab 

orang yang rendah hati dikasihani-Nya. Dia mengerjakan di 

dalam diri mereka apa yang mendatangkan kehormatan 

bagi mereka, dan oleh   sebab  itu mereka berkenan pada 

Allah dan dihormati oleh manusia. Mereka yang sabar me-

nanggung celaan orang-orang fasik akan mendapat kehor-

matan dari Allah dan dari orang-orang benar, dan   sebab  

itulah mereka tidak memiliki alasan untuk mencemburui 

para pendosa atau untuk memilih jalan mereka.  

4. Nasib akhir para pendosa yaitu  aib yang kekal, sementara 

nasib akhir para orang kudus yaitu  kehormatan yang tidak 

berkesudahan (ay. 35). 

(1) Orang-orang kudus itu bijaksana dan bertindak bijak bagi 

diri mereka sendiri. Sebab, sekalipun agama mereka kini 

seolah-olah menyembunyikan kehormatan mereka dan 

membuat mereka rawan terhadap hinaan, namun  pada 

akhirnya mereka pasti akan mendapatkan kehormatan itu, 

yang jauh lebih besar dan kekal. Mereka akan memperoleh 

dan mewarisi harta yang paling indah dan terjamin. Allah 

memberi mereka anugerah (ay. 34), dan oleh   sebab  itulah 

mereka akan mewarisi kehormatan, sebab anugerah meru-

pakan kehormatan (2Kor. 3:18). Anugerah merupakan awal 

dari kemuliaan, pertanda yang mengawalinya (Mzm. 84:12).  

(2) Para pendosa merupakan orang-orang bebal, sebab mereka 

bukan saja menyediakan aib bagi diri mereka sendiri, me-

lainkan juga berkhayal akan mendapatkan kehormatan, se-

akan-akan hanya mereka saja yang akan menjadi agung. 

Nasib akhir mereka akan mempertontonkan kebebalan me-


 68

reka: orang yang bebal akan menerima cemooh. Bukannya 

kehormatan yang didapat mereka, malah penghukuman 

yang lebih besar. Satu-satunya kehormatan yang bisa me-

reka dapatkan yaitu  bahwa Allah akan dipermuliakan di 

dalam kebinasaan kekal mereka.    

 

 

PASAL  4  

etika hal-hal yang berkenaan dengan Allah harus diajarkan, 

maka ketetapan demi ketetapan, baris demi baris harus diajar-

kan dengan telaten, bukan hanya   sebab  hal-hal itu mengandung 

bobot dan nilai yang tinggi, melainkan   sebab  akal manusia, sebaik 

apa pun, tidak siap menerima semua itu dan sering kali berprasang-

ka buruk terhadapnya. Oleh   sebab  itu, dalam pasal ini Salomo me-

nekankan hal-hal yang sama dengan yang telah ditekankannya ke-

pada kita dalam pasal-pasal sebelumnya, dengan berbagai ungkapan 

dan kefasihan ilahi yang begitu indah dan dahsyat kuasanya. Di sini 

ada ,  

I. Imbauan yang bersungguh-sungguh untuk mempelajari hik-

mat, yaitu agama dan kesalehan yang sejati, yang berasal 

dari didikan-didikan baik yang diberikan oleh ayahnya ke-

padanya dan diperkuat dengan berbagai alasan yang tepat 

(ay. 1-13).  

II. Peringatan untuk menjauhi pergaulan buruk dan segala per-

sekongkolan dengan pekerjaan kegelapan yang sia-sia (ay. 

14-19).  

III. Arahan-arahan khusus untuk memperoleh dan memperta-

hankan hikmat dan menghasilkan buah-buah hikmat itu (ay. 

20-27).  

Perkara ini diketengahkan di hadapan kita dengan begitu jelas 

dan ditekankan dengan sungguh-sungguh, sehingga kita tidak akan 

diampuni jika kita binasa dalam kebebalan kita sendiri.  


 70

Didikan Orangtua  

(4:1-13) 

1 Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlah 

supaya engkau beroleh pengertian, 2   sebab  aku memberikan ilmu yang baik 

kepadamu; janganlah meninggalkan petunjukku. 3   sebab  saat  aku masih 

tinggal di rumah ayahku sebagai anak, lemah dan sebagai anak tunggal bagi 

ibuku, 4 aku diajari ayahku, katanya kepadaku: “Biarlah hatimu memegang 

perkataanku; berpeganglah pada petunjuk-petunjukku, maka engkau akan 

hidup. 5 Perolehlah hikmat, perolehlah pengertian, jangan lupa, dan jangan 

menyimpang dari perkataan mulutku. 6 Janganlah meninggalkan hikmat itu, 

maka engkau akan dipeliharanya, kasihilah dia, maka engkau akan dijaga-

nya. 7 Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang 

kauperoleh perolehlah pengertian. 8 Junjunglah dia, maka engkau akan di-

tinggikannya; engkau akan dijadikan terhormat, jika  engkau memeluk-

nya. 9 Ia akan mengenakan karangan bunga yang indah di kepalamu, mah-

kota yang indah akan dikaruniakannya kepadamu.” 10 Hai anakku, dengar-

kanlah dan terimalah perkataanku, supaya tahun hidupmu menjadi banyak. 

11 Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, aku memimpin engkau di jalan 

yang lurus. 12 Bila engkau berjalan langkahmu tidak akan terhambat, bila 

engkau berlari engkau tidak akan tersandung. 13 Berpeganglah pada didikan, 

janganlah melepaskannya, peliharalah dia,   sebab  dialah hidupmu. 

Di sini kita mendapati, 

I. Ajakan yang dilayangkan Salomo kepada anak-anaknya untuk 

datang dan menerima didikan darinya (ay. 1-2): Dengarkanlah, hai 

anak-anak, didikan seorang ayah. Artinya, 

1. “Biarlah anak-anakku sendiri terlebih dahulu menerima dan 

mengindahkan semua didikan yang aku paparkan untuk men-

didik orang lain juga.” Perhatikanlah, para pejabat dan pelayan 

yang dipercaya untuk mengarahkan kumpulan warga  

yang lebih luas, haruslah mendidik keluarga mereka sendiri 

dengan lebih hati-hati, sebab tugas mereka terhadap kepen-

tingan umum sama sekali tidak berarti bahwa mereka boleh 

melalaikan kepentingan keluarga sendiri. Pekerjaan yang baik 

itu harus dimulai di rumah sendiri, namun  tidak boleh berakhir 

sampai di sana saja, sebab bagaimana mungkin seseorang 

bisa menjalankan kewajibannya untuk mengurus jemaat Allah, 

jika anak-anaknya saja tidak menyegani dan menghormatinya 

  sebab  dia sendiri tidak mau berupaya mendidik mereka 

dengan benar? (1Tim. 3:4-5). Anak-anak dari orang-orang yang 

terkemuka dalam hikmat dan kepentingan umum haruslah 

meningkatkan pengetahuan dan sopan santun, sebanding de-

ngan keuntungan yang mereka miliki oleh   sebab  mempunyai

Kitab Amsal 4:1-13 

 71

 orangtua terpandang seperti itu. Akan namun  perlu diperhati-

kan bahwa Rehabeam, anak Salomo, sama sekali bukanlah 

orang yang terbijak atau terbaik. Hal ini digambarkan untuk 

menyelamatkan kehormatan dan penghiburan bagi para orang-

tua yang anak-anaknya tidaklah sebaik didikan yang mereka 

miliki. Jadi, kita memiliki alasan untuk berpikir bahwa ribuan 

orang lain menjadi lebih baik oleh   sebab  amsal-amsal Sa-

lomo, dibandingkan dengan anaknya sendiri. Jadi tampaknya 

amsal-amsal itu terutama ditujukan bagi mereka. 

2. Biarlah semua kaum muda, dalam masa kecil dan masa re-

maja mereka, mau bersusah payah mendapatkan pengetahuan 

dan karunia, sebab masa-masa itu yaitu  masa yang tepat 

untuk belajar, supaya akal budi mereka dibentuk dan dididik. 

Dia tidak berkata, anak-anakku, namun  hai, anak-anak. Kita 

hanya mendapati satu saja anak kandung Salomo, namun  (ti-

dakkah Anda pikir demikian?), dia sudi menjadikan diri sen-

diri sebagai seorang guru dan mengajari anak-anak orang lain! 

Sebab, di usia muda seperti itulah terletak harapan keberha-

silan. Batang pohon juga mudah dibengkokkan saat  masih 

muda dan lemah.  

3.  Biarlah semua orang yang mau menerima didikan datang de-

ngan sikap seperti anak-anak, sekalipun mereka sudah de-

wasa. Kesampingkanlah segala prasangka dan biarlah pikiran 

menjadi seputih kertas. Kiranya mereka menurut, dapat di-

ajari, dan tidak mengandalkan diri sendiri. Kiranya mereka 

menerima nasihat itu sebagai perkataan dari seorang ayah, 

yang diucapkan dengan kuasa dan juga kasih sayang. Kita ha-

rus menganggapnya berasal dari Allah sebagai Bapa kita di 

sorga, kepada siapa kita berdoa, dari siapa kita mengharapkan 

berkat, Bapa dari roh kita, yang harus kita patuhi supaya kita 

hidup. Kita harus memandang guru-guru kita sebagai ayah 

kita sendiri, yang mengasihi kita dan mengusahakan kese-

jahteraan kita. Oleh   sebab  itu, sekalipun didikan mereka me-

ngandung teguran dan hajaran, demikianlah arti yang terkan-

dung dalam kata aslinya, kita tetap harus menerimanya de-

ngan lapang dada. Nah,  

(1) Untuk menganjurkan kita menerima perkataan itu, di sini 

kita diberi tahu bahwa pengajaran itu bukan saja didikan 

seorang ayah, melainkan juga merupakan sebuah pengerti-


 72

an, dan   sebab  itulah harus disambut oleh semua makhluk 

yang berakal budi. Agama memiliki dasar yang teguh dan 

kita diajar mengenainya dengan alasan yang masuk akal. 

Agama merupakan sebuah petunjuk (ay. 2), namun  petunjuk 

yang didasari ilmu, oleh kaidah-kaidah kebenaran yang 

tidak terbantahkan, atas dasar ilmu yang baik, yang bukan 

saja teguh, namun  juga sangat berharga untuk diterima. 

Jika kita mengakui ilmu itu, pastilah kita bersedia tunduk 

kepada hukum.  

(2) Untuk mematrikannya di dalam diri kita, kita diarahkan 

untuk menerima didikan itu sebagai sebuah karunia, un-

tuk mematuhinya dengan segenap ketekunan, untuk mem-

perhatikannya dan mengenalnya, sebab jika tidak begitu, 

kita tidak akan mampu mengamalkannya. Kita juga diarah-

kan untuk tidak melalaikannya, tidak mengabaikan ilmu 

tersebut atau melanggar hukum itu. 

II. Didikan yang dia berikan kepada mereka.  

Perhatikanlah: 

1.  Bagaimana ia memperoleh didikan tersebut. Ia mendapatkan-

nya dari orangtuanya, dan kini mengajarkan anak-anaknya hal 

yang sama seperti yang telah diajarkan orangtuanya (ay. 3-4). 

Perhatikanlah:  

(1) Orangtuanya mengasihi dia, dan   sebab  itulah mereka 

mendidiknya: Aku tinggal di rumah ayahku sebagai anak. 

Daud mempunyai banyak anak, namun  Salomolah yang 

benar-benar menjadi anak laki-laki baginya, sebagaimana 

Ishak disebut demikian (Kej. 17:19) dan   sebab  alasan yang 

sama, yaitu   sebab  kepadanyalah perjanjian (kovenan) 

berlaku. Ia merupakan anak kesayangan ayahnya, melebihi 

anak-anaknya yang lain. Allah menunjukkan kebaikan 

yang istimewa kepada Salomo (Nabi Natan menamakan dia 

Yedija, sebab Allah mengasihi anak itu, 2Sam. 12:25), dan 

  sebab  itulah Daud pun menunjukkan kebaikan istimewa 

terhadap Salomo, sebab dia yaitu  seorang yang berkenan 

di hati Allah. Para orangtua hanya boleh mengasihi seorang 

anak lebih dari anak yang lainnya, jika Allah telah jelas-

jelas menunjukkan hal yang serupa. Salomo lemah dan 

Kitab Amsal 4:1-13 

 73

merupakan anak tunggal bagi ibunya. Tentu saja harus ada 

alasan yang jelas dalam menerapkan perlakuan yang ber-

beda seperti itu oleh kedua orangtua kepada salah seorang 

anaknya. Lihatlah bagaimana mereka menunjukkan kasih 

mereka. Mereka mendidiknya secara rohani, membimbing-

nya supaya rajin belajar dan menerapkan kedisiplinan yang 

tinggi terhadapnya. Meskipun dia yaitu  seorang putra 

mahkota yang akan mewarisi takhta, mereka tidak membiar-

kannya hidup seenaknya. Bahkan, mereka terus membim-

bingnya. Mungkin juga Daud lebih keras mendidik Salomo 

  sebab  dia telah melihat dampak buruk akibat terlalu me-

manjakan Adonia, yang sama sekali tidak pernah dia tegor 

dalam hal apa pun (1Raj. 1:6), seperti juga terhadap Absa-

lom.  

(2) Apa yang telah diajarkan orangtuanya, diajarkannya pula 

kepada orang lain.  

Perhatikanlah:  

[1] Saat Salomo telah dewasa, dia bukan saja mengingat, te-

tapi juga gemar mengulangi didikan baik yang diajarkan 

orangtuanya saat ia masih kecil. Dia tidak melupakan 

didikan itu, sebab didikan itu sudah demikian tertanam 

dalam dirinya. Dia tidak malu oleh   sebab  didikan itu, 

justru sangat menghargainya. Saat ia sudah dewasa, 

dia juga tidak lantas menganggapnya sebagai hal yang 

kekanak-kanakan dan remeh yang harus ia kesamping-

kan saat  ia menjadi raja, seolah hal itu dapat mem-

permalukannya. Dia juga tidak mengulang-ulanginya 

sebagaimana yang biasa dilakukan anak-anak liar yang 

mengolok-olok didikan dan menertawakannya bersama-

sama dengan kawan-kawan mereka. Dia tidak berlaku 

seperti anak-anak itu yang merasa bangga   sebab  telah 

melepaskan diri dari segala didikan dan kekangan.  

[2] Meski Salomo yaitu  seorang yang bijak dan diilhami 

secara ilahi, akan namun , saat  ia harus mengajarkan 

hikmat, dia tidak merasa risih untuk mengutip dan me-

makai kata-kata ayahnya. Orang-orang yang hendak 

belajar dan mengajar dengan baik dalam bidang agama, 

tidak boleh mengarang keyakinan baru dan merumus-


 74

kan perkataan baru sedemikian rupa untuk merendah-

kan pengetahuan dan bahasa para pendahulu mereka. 

Jika kita harus terus menempuh jalan-jalan dahulu 

kala yang baik itu, mengapakah kita menghina perkata-

an dahulu kala yang baik? (Yer. 6:16)  

[3]   sebab  telah dididik dengan baik oleh orangtuanya, Sa-

lomo menganggap dirinya wajib mendidik anak-anaknya 

pula. Inilah salah satu cara yang bisa kita tempuh un-

tuk membalas budi orangtua kita yang telah bersusah 

payah mendidik kita. Bahkan lebih dari itu, kita harus 

menunjukkan bakti kita kepada kaum keluarga (1Tim. 

5:4). Mereka mengajari kita bukan hanya supaya kita 

belajar, namun  juga supaya kita mengajarkan pengenal-

an akan Allah kepada anak cucu kita (Mzm. 78:6). Jika 

kita tidak melakukannya, berarti kita gagal menunaikan 

apa yang dipercayakan kepada kita, sebab benih suci 

didikan dan hukum agamawi ditaruh di tangan kita de-

ngan suatu perintah untuk meneruskan seluruhnya dan 

secara murni kepada orang-orang yang akan datang 

sesudah  kita (2Tim. 2:2).  

[4] Salomo memperkuat himbauan-himbauannya itu de-

ngan kewenangan ayahnya Daud, seorang yang kena-

maan di angkatannya dalam segala hal. Biarlah hal ini 

dicamkan bagi kehormatan agama, yaitu bahwa orang-

orang yang terbaik dan terbijak di segala zaman yaitu  

orang-orang yang paling giat, bukan saja dalam mene-

rapkan agama itu bagi diri mereka sendiri, namun  juga 

dalam meneruskannya kepada orang lain. Oleh   sebab  

itulah kita hendaknya tetap berpegang pada kebenaran 

yang telah kita terima, dengan selalu mengingat orang 

yang telah mengajarkannya kepada kita (2Tim. 3:14).  

2. Apa didikan-didikan tersebut (ay. 4-13). 

(1) Melalui titah dan dorongan. Daud, saat mengajar anaknya, 

sekalipun anak itu memiliki kemampuan yang besar dan 

cepat mengerti, tetap mengungkapkan ajarannya dengan se-

mangat dan ketekunan, mengulangi hal yang sama, lagi dan 

lagi, untuk menunjukkan bahwa dia bersungguh-sungguh 

dengan semua itu, dan juga untuk menggugah anaknya le-

Kitab Amsal 4:1-13 

 75

bih dalam lagi dengan semua yang ia katakan. Anak-anak 

memang harus diajar dengan cara demikian (Ul. 6:7), harus-

lah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-

anakmu. Meski Daud memiliki banyak sekali urusan dan 

mempunyai banyak pengajar untuk anaknya, dia tetap meng-

ajari sendiri anaknya itu.  

[1] Dia mengajar anaknya dengan Kitab Suci dan didikan-

nya sebagai sarana, perkataan ayahnya (ay. 4), perkata-

an mulutnya (ay. 5), perkataannya (ay. 10), seluruh 

pelajaran baik yang telah diajarkannya. Mungkin dia 

terutama memaksudkan Kitab Mazmur yang kebanyak-

an berisi Maschil – mazmur pengajaran, dan dua di 

antaranya jelas-jelas disebutkan sebagai mazmur untuk 

Salomo. Salomo harus memperhatikan kedua mazmur 

itu dan juga seluruh perkataan lain yang diutarakan 

ayahnya. Pertama, dia harus mendengar dan menerima 

perkataan itu (ay. 10), tekun memperhatikan dan me-

nyerapnya, sebagaimana tanah yang menghisap air hu-

jan yang sering turun ke atasnya (Ibr. 6:7). Begitulah 

Allah menarik perhatian kita pada firman-Nya: Hai anak-

ku, dengarkanlah dan terimalah perkataanku. Kedua, dia 

harus memegang contoh ajaran yang sehat yang diberi-

kan ayahnya (ay. 4): Biarlah hatimu memegang perkata-

anku. Perkataan itu baru bisa dipegang jika perkataan 

tersebut ditanamkan dalam hati, terpatri dalam tekad 

dan kasih. Ketiga, dia harus menguasai dirinya sendiri 

dengan perkataan tersebut: Berpeganglah pada petunjuk-

petunjukku, taatilah, dan itulah cara untuk bertambah di 

dalam pengetahuan mengenai hal itu (Yoh. 7:17). Keem-

pat, dia harus setia dan tinggal di dalam perkataan itu: 

“Jangan menyimpang dari perkataan mulutku (ay. 5), 

seakan-akan gentar menerima akibatnya yang terlalu 

besar bagimu, namun  berpeganglah pada didikan (ay. 13), 

bertekad untuk tetap teguh dan tidak pernah mengabai-

kannya.” Orang-orang yang memiliki pendidikan yang 

baik, sekalipun mereka berusaha mencampakkannya, 

akan tetap mendapati didikan itu melekat dalam diri 

mereka selama beberapa saat, dan jika tidak begitu, 


 76

maka keadaan mereka itu akan menjadi amat memilu-

kan.  

[2] Dia memaparkan hikmat dan pengertian di hadapan 

anaknya sebagai tujuan yang harus dibidik dalam me-

manfaatkan sarana-sarana tersebut. Raihlah hikmat 

yang merupakan hikmat yang terutama. Quod caput est 

sapientia eam acquire sapientiam – Pastikan untuk mem-

perhatikan ranting hikmat yang merupakan puncaknya, 

yaitu takut akan TUHAN (1:7). Junius dan Tremellius: 

Kaidah agamawi di dalam hati merupakan satu hal yang 

diperlukan.   sebab  itu, pertama, perolehlah hikmat, per-

olehlah pengertian (ay. 5). Dan lagi, “Perolehlah hikmat 

dan dengan segala yang kauperoleh perolehlah pengerti-

an (ay. 7). Berdoalah untuk hikmat itu, bersusah payah-

lah untuk meraihnya dengan bertekun memakai semua 

sarana untuk memperolehnya. Tunggulah pada pintuku 

(8:34). Berkuasalah atas segala kebejatanmu, yang me-

rupakan kebebalanmu: milikilah kaidah-kaidah bijak-

sana dan kebiasaan-kebiasaan yang bijak. Raihlah hik-

mat melalui pengalaman, raihlah di atas segala yang 

kauperoleh. Bergiatlah lebih lagi dalam berusaha mem-

perolehnya, lebih dibandingkan  berusaha memperoleh keka-

yaan dunia ini. Apa pun boleh engkau abaikan, namun  

yang satu ini, tetaplah berusaha memperolehnya, pan-

danglah itu sebagai tujuan yang besar, dan kejarlah 

dengan sungguh-sungguh.” Hikmat sejati merupakan 

karunia dari Allah, namun  di sini kita tetap diperintah-

kan untuk mendapatkannya, sebab Allah mengarunia-

kannya kepada orang-orang yang mau berusaha untuk 

mendapatkannya. Akan namun , sesudah  mendapatkan-

nya, kita tetap tidak boleh berkata, kekuasaanku dan 

kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh 

kekayaan ini. Kedua, jangan lupa (ay. 5), janganlah 

meninggalkan hikmat itu (ay. 6), janganlah melepaskan-

nya (ay. 13), namun  peliharalah dia. Orang-orang yang 

telah memperoleh hikmat ini harus berjaga-jaga supaya 

tidak kehilangan hikmat lagi akibat kembali ke dalam 

kebodohan mereka: memang benar, hal yang baik tidak 

akan diambil dari kita. Akan namun , kita harus berhati-

Kitab Amsal 4:1-13 

 77

hati supaya kita tidak membuangnya sendiri, seperti 

yang dilakukan oleh mereka yang pertama-tama melu-

pakannya, lalu menghapuskannya dari benak mereka, 

mengabaikannya dan menolak jalan-jalannya yang baik. 

Hal baik yang telah diserahkan kepada kita itu haruslah 

kita jaga dan tidak boleh kita lalai sampai membuatnya 

terlepas. Janganlah juga kita membiarkannya direnggut 

dari kita atau menjauhkan diri kita darinya. Jangan 

pernah melepaskan permata seperti itu. Ketiga, kasihi-

lah dia (ay. 6) dan peluklah dia (ay. 8), sebagaimana 

orang-orang duniawi memuja harta dan melekatkan 

hati mereka pada harta itu. Agama haruslah menjadi 

sesuatu yang amat berharga bagi kita, lebih dari segala 

sesuatu di dunia ini. Jika kita tidak mampu menjadi 

ulung dalam hikmat, biarlah kita sungguh-sungguh 

mengasihi hikmat itu. Marilah kita memeluk anugerah 

yang kita miliki dengan kasih yang tulus, sebagai orang-

orang yang mengagumi keelokannya. Keempat, “Jun-

junglah dia (ay. 8). Miliki selalu pemikiran yang luhur 

terhadap agama, dan lakukan semampumu untuk men-

jaga nama baiknya dan memelihara kehormatannya di 

antara manusia. Bersatulah dengan Allah dalam tuju-

an-Nya, yaitu untuk mengagungkan petunjuk-Nya dan 

menjaganya supaya dihargai, dan berbuat semampumu 

untuk meraih tujuan itu.” Biarlah anak-anak hikmat 

tidak hanya membenarkan hikmat itu, namun  juga 

mengagungkannya, lebih memilihnya dibandingkan  apa pun 

yang berharga bagi mereka di dunia ini. Saat kita meng-

hormati orang-orang yang takut akan Tuhan, meskipun 

mereka miskin di dunia ini, dan menghormati seorang 

miskin yang berhikmat, kita menjunjung hikmat. 

(2) Melalui alasan dan dorongan untuk bertekun mencari hik-

mat dan berserah di dalam bimbingannya, pertimbangkan-

lah,  

[1] Hikmat merupakan perkara yang utama, yang harus 

menjadi kepedulian utama dan terus-menerus dari setiap 

manusia di dalam kehidupan ini (ay. 7): Adapun hikmat 

itu terutamalah adanya. Hal-hal lainnya yang begitu ingin 


 78

kita dapatkan dan pertahankan sama sekali tidaklah se-

banding dengan hikmat. Ini yaitu  kewajiban setiap 

orang (Pkh. 12:13). Itulah yang mendekatkan kita de-

ngan Allah, yang memperindah jiwa, memampukan kita 

menggapai tujuan penciptaan, untuk menjalani hidup 

yang memiliki makna di dunia ini, dan untuk mencapai 

sorga pada akhirnya.   sebab  itulah, hikmat merupakan 

hal yang terutama.  

[2] Hikmat memiliki dasar dan keadilan di dalamnya (ay. 

11): “Aku mengajarkan jalan hikmat kepadamu, dan pada 

akhirnya jalan itu memang akan didapati demikian. Aku 

memimpin engkau, bukan di jalan serong kedagingan, 

yang melakukan kejahatan di bawah kedok hikmat, te-

tapi di jalan yang lurus, sesuai dengan aturan-aturan 

dan alasan-alasan kekal mengenai apa yang baik dan 

yang jahat.” Kebenaran natur (kodrat) ilahi tampak da-

lam kebenaran seluruh petunjuk ilahi. Perhatikanlah, 

Daud tidak hanya mengajari anaknya melalui petunjuk-

petunjuk yang baik, namun  juga memimpinnya melalui 

teladan yang benar dan dengan mengamalkan didikan 

umum pada perkara-perkara khusus. Dengan demikian, 

dia tidak kekurangan apa pun untuk menjadi bijaksana.  

[3] Hikmat itu akan mendatangkan keuntungan baginya: 

“Jika engkau baik dan bijak, engkau akan menjadi se-

perti itu demi keuntungan dirimu sendiri.”  

Pertama, “Hikmat itu akan menjadi kehidupanmu, 

penghiburanmu, dan kebahagiaanmu. Engkau tidak akan 

dapat hidup tanpanya.” Berpeganglah pada petunjuk-pe-

tunjukku, maka engkau akan hidup (ay. 4). Juruselamat 

kita pun setuju dengan itu, “namun  jikalau engkau ingin 

masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” 

(Mat. 19:17). Kita diharuskan untuk menjadi saleh, se-

bab taruhannya yaitu  kesakitan maut, maut yang ke-

kal, atau kehidupan, hidup yang kekal. “Terimalah per-

kataan hikmat, supaya tahun hidupmu menjadi banyak 

(ay. 10), sebanyak yang dianggap baik oleh Hikmat Tak 

Terbatas, dan di dunia yang lain engkau akan menjalani 

kehidupan yang tidak dapat terhitung panjangnya. Oleh 

  sebab  itu, peliharalah dia, berapa pun harganya,   sebab  

Kitab Amsal 4:1-13 

 79

dialah hidupmu (ay. 13). Semua kepuasanmu akan dite-

mukan di dalamnya.” Jiwa yang tidak memiliki hikmat 

dan karunia sejati yaitu  jiwa yang benar-benar mati.  

Kedua, “Hikmat itu akan menjadi penjaga dan pem-

bimbingmu, pelindung dan pemimpinmu melalui sege-

nap marabahaya dan kesukaran dalam perjalananmu 

mengarungi belantara. Kasihilah hikmat dan berpegang-

lah erat-erat kepadanya, maka engkau akan dipelihara 

dan dijaganya (ay. 6) dari dosa, dari kebejatan kejahat-

an, dari musuh yang terbusuk. Dia akan menjagamu 

supaya tidak mencelakai dirimu sendiri, dan tidak ada 

lagi yang dapat mencelakakanmu.” Seperti pepatah orang 

Inggris, “Jagalah tokomu, maka tokomu itu akan men-

jaga engkau,” begitu pula “Jagalah hikmatmu, maka hik-

matmu akan menjagamu.” Hikmat itu akan menjaga kita 

dari hambatan dan sandungan dalam kehidupan dan 

urusan kita (ay. 12).  

1. Sehingga langkah kita tidak akan terhambat jika  

kita melangkah, sehingga kita tidak mendatangkan 

hambatan bagi diri kita seperti yang menimpa Daud 

dulu (2Sam. 24:14). Orang-orang yang menjadikan 

firman Allah sebagai pedoman mereka akan berjalan 

dengan leluasa dan merasa nyaman.  

2.  Sehingga kaki kita tidak akan tersandung saat kita 

berlari. Jika orang-orang bijak dan baik tiba-tiba ter-

libat dalam kesukaran, maka pedoman firman Allah 

yang teguh mereka jalankan itu akan memelihara 

mereka sehingga mereka tidak akan tersandung oleh 

apa pun yang mungkin membahayakan. Kesetiaan 

dan hati yang lurus akan menjaga kita.  

Ketiga, “Hikmat itu akan menjadi kehormatan dan 

nama baikmu (ay. 8): Junjunglah hikmat (tunjukkanlah 

maksud baikmu dalam memajukan hikmat itu) dan 

sekalipun hikmat tidak membutuhkan bantuanmu, dia 

tetap akan memberimu imbalan yang melimpah. Eng-

kau akan ditinggikannya, engkau akan dijadikan terhor-

mat.” Pada waktu itu Salomo akan menjadi raja, namun  

hikmat dan kebijakannyalah yang akan menjadi kehor-


 80

matannya, lebih dibandingkan  mahkota atau takhtanya. Itu-

lah yang membuat semua orang di sekelilingnya menga-

gumi dia. Tidak diragukan lagi, pada masa pemerintah-

annya dan masa pemerintahan Daud, orang-orang yang 

benar dan bijak selalu ditinggikan. Bagaimanapun juga, 

cepat ataupun lambat, agama akan membuat semua 

orang yang memeluknya dengan sungguh-sungguh men-

jadi terhormat. Mereka akan diterima oleh Allah, dan 

disegani oleh semua orang bijak. Mereka akan diakui 

pada hari yang agung itu, dan akan mewarisi kehor-

matan yang abadi. Inilah yang ia tekankan (ay. 9): “Ia 

akan mengenakan karangan bunga yang indah di ke-

palamu, di dunia ini. Dia akan memujimu di hadapan 

Allah dan manusia, dan di dunia yang lain mahkota 

yang indah akan dikaruniakannya kepadamu. Mahkota 

itu tidak akan menjadi rapuh, mahkota kemuliaan yang 

tidak akan pernah pudar.” Inilah kehormatan sejati 

yang mengiringi agama. Nobilitas sola est atique unica 

virtus – kebajikan merupakan satu-satunya hal yang 

mulia! Demikianlah Daud menekankan hikmat kepada 

anaknya. Jadi tidaklah mengherankan, saat Allah ber-

tanya apa yang ia inginkan, dia berdoa, berikanlah ke-

padaku hati yang penuh hikmat dan pengertian. Jadi, 

kita harus menunjukkan melalui doa-doa kita seberapa 

baiknya kita telah dididik. 

Peringatan mengenai Pergaulan Buruk  

(4:14-19) 

14 Janganlah menempuh jalan orang fasik, dan janganlah mengikuti jalan 

orang jahat. 15 Jauhilah jalan itu, janganlah melaluinya, menyimpanglah dari 

padanya dan jalanlah terus. 16   sebab  mereka tidak dapat tidur, bila tidak 

berbuat jahat; kantuk mereka lenyap, bila mereka tidak membuat orang 

tersandung; 17   sebab  mereka makan roti kefasikan, dan minum anggur kela-

liman. 18 namun  jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertam-

bah terang sampai rembang tengah hari. 19 Jalan orang fasik itu seperti kege-

lapan; mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung. 

Beberapa orang menganggap bahwa didikan Daud bagi Salomo, yang 

dimulai di ayat 4, berlanjut sampai akhir pasal ini. Bahkan, beberapa 

menganggapnya terus berlanjut sampai akhir pasal sembilan. Akan 

namun , kemungkinan besar perkataan Salomo dimulai lagi di sini,

Kitab Amsal 4:14-19 

 81

atau justru lebih awal dari ini. sesudah  ia mengimbau kita untuk 

berjalan di jalan-jalan hikmat, dalam ayat-ayat di atas dia memper-

ingatkan kita untuk menghindari jalan orang fasik. 

1.  Kita harus berjaga-jaga terhadap jalan dosa dan menghindari se-

gala sesuatu yang tampak seperti dosa dan menjerumuskan kita 

ke dalam dosa.  

2. Untuk itu kita harus menghindari jalan orang berdosa dan tidak 

bergaul erat dengan mereka. Kita harus menutup diri dari pergaul-

an buruk oleh   sebab  rasa takut terseret ke dalam perbuatan fa-

sik.  

Di sini ada , 

I.   Peringatan itu sendiri (ay. 14-15). 

1. Kita harus berjaga-jaga supaya tidak terjerumus ke dalam 

dosa bersama para pendosa: Janganlah menempuh jalan orang 

fasik. sesudah  menunjukkan kepada kita jalan yang lurus (ay. 

11), di sini guru kita memperingatkan mengenai jalan serong 

yang mungkin saja dapat menjebak kita. Orang-orang yang 

memiliki didikan baik dan telah terlatih untuk memilih jalan 

yang harus mereka tempuh, hendaknya sekali-kali tidak me-

nyimpang ke jalan yang tidak boleh mereka masuki itu. 

Janganlah sampai mereka menempuh jalan itu, janganlah me-

reka berani mencoba-coba, sebab bisa saja perbuatan itu ter-

nyata membahayakan dan mereka akan sukar untuk mundur 

kembali dengan aman. “Jangan berani-berani bercampur de-

ngan orang-orang yang sudah terkena wabah, sekalipun eng-

kau sendiri sudah dilindungi oleh obat pencegahnya.”  

2. Kapan saja kita terbujuk untuk masuk ke dalam jalan yang 

jahat, kita harus cepat-cepat keluar darinya. “Jika, tanpa kau 

sadari, engkau memasuki gerbang jalan itu, oleh   sebab  ger-

bang itu lebar, janganlah terus mengikuti jalan orang jahat. 

Segera sesudah  engkau menyadari kekeliruanmu, keluarlah ce-

pat-cepat, jangan teruskan satu langkah pun, jangan tinggal se-

menit lagi pun di jalan yang pastinya menuju kebinasaan itu.”  

3. Kita harus gentar dan membenci jalan dosa dan jalan para 

pendosa, serta menolaknya dengan sungguh-sungguh. “Jalan 

orang jahat bisa saja terlihat menyenangkan dan ramai, dan 

dari sana kita mungkin dapat melihat jalan terdekat untuk 


 82

mencapai tujuan duniawi. namun  jalan itu jahat, akhirnya pun 

buruk. Oleh   sebab  itu, jika engkau mengasihi Allahmu dan 

jiwamu, jauhilah jalan itu, janganlah melaluinya, sehingga eng-

kau tidak tergoda untuk menempuhnya. Jika engkau menda-

pati dirimu berada di dekat-dekat jalan itu, menyimpanglah 

dari padanya dan jalanlah terus, dan jauhilah jalan itu sedapat 

mungkin.” Cara pengungkapan itu menegaskan marabahaya 

besar yang mengintai kita, kebutuhan kita akan peringatan se-

perti itu dan pentingnya peringatan tersebut, serta bagaimana 

para penjaga kita harus atau seharusnya bersungguh-sungguh 

memperingatkan kita. Hal itu juga menegaskan seberapa jauh-

nya kita harus menjaga jarak dari dosa dan para pendosa. Dia 

tidak berkata, jauhilah dengan jarak yang secukupnya saja, 

melainkan sejauh-jauhnya, makin jauh makin baik. Jangan 

pernah mengira bahwa engkau sudah cukup jauh darinya. Se-

lamatkanlah nyawamu. Janganlah menoleh ke belakang. 

II.   Alasan digaungkannya peringatan tersebut. 

1. “Pertimbangkan tabiat orang-orang yang jalannya tidak boleh 

engkau tempuh itu.” Mereka yaitu  orang-orang jahat (ay. 16-

17). Mereka bukan saja tidak peduli bagaimana mereka men-

celakai orang-orang yang menghalangi jalan mereka, namun  

juga giat berbuat jahat dan gemar melakukannya hanya untuk 

bersenang-senang saja. Mereka terus saja merencanakan dan 

berikhtiar untuk membuat orang tersandung, untuk membina-

sakan tubuh dan jiwa mereka. Kejahatan dan kedengkian 

mengalir dalam diri mereka, dan kelaliman ada dalam tingkah 

laku mereka. Mereka begitu jahatnya, sebab, 

(1) Kejahatan merupakan peristirahatan dan tidur mereka. 

Sama seperti orang tamak dipuaskan saat  ia mendapat-

kan uang, atau orang yang ingin selalu unggul dipuaskan 

saat  dia naik jabatan, atau seperti orang benar dipuas-

kan sesudah  ia melakukan kebaikan, mereka juga dipuas-

kan saat  perkataan dan perbuatan mereka merugikan 

dan mencelakakan orang lain. Mereka menjadi sangat re-

sah jika rasa dengki dan dendam mereka tidak terlampias-

kan, seperti Haman, yang tidak bisa menikmati apa pun 

selama Mordekhai belum digantung. Hal itu menegaskan 

Kitab Amsal 4:14-19 

 83

betapa giat dan tidak kenal lelahnya mereka saat sedang 

mengusahakan kejahatan. Mereka lebih memilih tidak tidur 

saja dibandingkan  tidak mendapatkan kesenangan saat menya-

kiti orang lain.  

(2) Kejahatan merupakan makanan dan minuman bagi mereka. 

Mereka makan dan berpesta dengannya. Mereka makan roti 

kefasikan (memakan habis umat-Ku seperti memakan roti, 

Mzm. 14:4) dan minum anggur kelaliman (ay. 17), menghirup 

kecurangan seperti air (Ayb. 15:16). Semua yang mereka ma-

kan dan minum yaitu  hasil perampasan dan penindasan. 

Bukankah orang fasik menganggap waktu mereka terbuang 

percuma saat mereka tidak mencelakai orang? Marilah 

orang benar juga bergiat seperti itu dalam berbuat kebaik-

an. Amici, diem perdidi – Kawan, aku sudah kehilangan 

satu hari. Jadi marilah semua orang bijak yang ingin 

menjaga diri baik-baik, hindarilah pergaulan dengan orang-

orang jahat, sebab,  

[1] Hal itu sangat memalukan.   sebab  tidak ada sikap pikir-

an lain yang lebih memalukan bagi kodrat manusia, 

yang menjadi musuh besar bagi warga , yang be-

rani menentang Allah dan hati nurani, yang dicemari de-

ngan gambar Iblis, atau lebih dapat dimanfaatkan untuk  

kepentingan Iblis, selain kegemaran berbuat jahat dan 

mencelakakan, menyakiti dan menghancurkan orang.  

[2] Hal itu sangat berbahaya. “Jauhilah orang-orang yang 

gemar berbuat jahat demi keselamatanmu sendiri. Se-

bab, persahabatan apa pun yang mereka perlihatkan 

sebagai kedok, suatu hari nanti mereka pasti akan men-

jahatimu. Engkau akan menghancurkan dirimu sendiri 

jika engkau sehati dengan mereka (1:18), dan mereka 

akan menghancurkan engkau jika engkau tidak sehati 

dengan mereka.” 

2. “Pertimbangkan sifat jalan yang harus engkau jauhi itu, dan 

bandingkan dengan jalan lurus yang engkau harus masuki.”  

(1)  Jalan kebenaran yaitu  terang (ay. 18): jalan orang benar 

itu, yang telah mereka pilih dan mereka tempuh, seperti 

cahaya. Cahaya terang menyinari jalan-jalan mereka (Ayb. 

22:28) dan membuat mereka aman dan senang. Kristus 


 84

yaitu  jalan mereka, dan Dia yaitu  terang. Mereka dipim-

pin oleh firman Allah yang menjadi pelita bagi kaki mereka. 

Mereka sendiri yaitu  terang di dalam Tuhan dan mereka 

hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam 

terang.  

[1] Jalan itu seperti cahaya fajar. Jalan itu menerangi me-

reka dengan sukacita dan penghiburan di dalamnya, 

menyinari orang lain dengan gemilang dan kehormatan-

nya. Terang itu bercahaya di depan orang, yang melihat 

perbuatan mereka yang baik (Mat. 5:16). Mereka terus 

menempuh jalan itu dengan rasa aman yang kudus dan 

ketenangan pikiran, sebagaimana orang-orang yang hi-

dup di dalam terang. Terang itu bagaikan sinar fajar, 

yang terbit dalam gelap (Yes. 58:8-10) dan mengakhiri 

perbuatan-perbuatan kegelapan.  

[2] Jalan itu semakin bercahaya, kian bertambah terang, 

tidak seperti cahaya meteor yang segera memudar, atau 

cahaya lilin yang remang-remang dan cepat mati, me-

lainkan sinar matahari yang terbit, yang terus meninggi 

dan semakin terang. Anugerah, pedoman dari jalan ini, 

selalu bertumbuh. Orang yang bersih tangannya bertam-

bah-tambah kuat. Sukacita yang merupakan kesenang-

an dari jalan ini, kehormatan yang merupakan terang 

darinya, dan segala kebahagiaan yang merupakan caha-

yanya, akan terus bertambah-tambah.  

[3] Pada akhirnya jalan itu akan mencapai rembang tengah 

hari. Cahaya siang akan terus bertambah sampai te-

ngah hari, dan inilah yang dituju oleh jiwa yang telah 

diterangi. Orang-orang kudus tidak akan menjadi sem-

purna sampai mereka tiba di sorga, dan saat di sana 

mereka akan bercahaya seperti matahari yang terik 

(Mat. 13:43). Anugerah dan sukacita mereka akan men-

jadi lengkap. Oleh   sebab  itu, bijaksanalah kita jika 

tetap berada di jalan orang benar. 

(2) Jalan dosa itu seperti kegelapan (ay. 19). Perbuatan yang 

dia hendak tekankan untuk kita hindari yaitu  pergaulan 

dengan perbuatan-perbuatan kegelapan. Kesenangan dan 

kepuasan sejati macam apakah yang dimiliki orang-orang

Kitab Amsal 4:20-27 

 85

 yang tidak mengenal kesenangan dan kepuasan kecuali 

melalui perbuatan jahat mereka? Bimbingan seperti apa-

kah yang dipunyai orang-orang yang menanggalkan firman 

Allah di belakang mereka? Jalan orang fasik itu gelap, dan 

  sebab  itu berbahaya, sebab mereka akan tersandung dan 

tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung. Me-

reka jatuh ke dalam dosa, namun  tidak sadar jalan apa yang 

mendatangkan cobaan yang menyesatkan mereka itu, dan 

  sebab  itulah mereka tidak tahu bagaimana menghindari-

nya di waktu mendatang. Mereka diimpit kesukaran, namun  

tidak pernah bertanya-tanya apakah Allah sedang melawan 

mereka. Mereka tidak sadar bahwa mereka berbuat jahat, 

juga tidak tahu bagaimana akhir perbuatan mereka itu 

(Mzm. 82:5; Ayb. 18:5-6). Inilah jalan yang dianjurkan un-

tuk kita hindari.  

Didikan Orangtua 

(4:20-27) 

20 Hai anakku, perhatikanlah perkataanku, arahkanlah telingamu kepada 

ucapanku; 21 janganlah semuanya itu menjauh dari matamu, simpanlah itu 

di lubuk hatimu. 22   sebab  itulah yang menjadi kehidupan bagi mereka yang 

mendapatkannya dan kesembuhan bagi seluruh tubuh mereka. 23 Jagalah 

hatimu dengan segala kewaspadaan,   sebab  dari situlah terpancar kehidup-

an. 24 Buanglah mulut serong dari padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-

dalik dari padamu. 25 Biarlah matamu memandang terus ke depan dan tatap-

an matamu tetap ke muka. 26 Tempuhlah jalan yang rata dan hendaklah 

tetap segala jalanmu. 27 Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, jauh-

kanlah kakimu dari kejahatan. 

sesudah  memperingatkan kita supaya tidak berbuat jahat, di sini Sa-

lomo mengajari kita untuk berbuat baik. Tidak cukup bagi kita untuk 

menutup peluang dosa saja, namun  kita juga harus belajar cara-cara 

menjalankan kewajiban kita. 

I. Kita harus selalu mengindahkan firman Allah dan berusaha su-

paya firman itu selalu siap kita amalkan. 

1. Ucapan-ucapan hikmat harus menjadi pedoman yang meng-

atur kita, menjadi pengawas yang memperingatkan kita akan 

kewajiban dan marabahaya.   sebab  itu,  

(1) Kita harus siap menerimanya: “Arahkanlah telingamu kepa-

da ucapan-ucapan itu (ay. 20). Tundukkanlah dirimu de-


 86

ngan rendah hati di hadapannya, dan dengarkanlah de-

ngan tekun.” Mendengarkan firman Allah dengan baik me-

nandakan bahwa pekerjaan anugerah telah dimulai di 

dalam hati dan itu merupakan sarana yang bagus untuk 

melanjutkan pekerjaan tersebut. Orang yang mengarahkan 

telinga untuk mengenal nasihat-nasihat itu diharapkan 

untuk menjalankan kewajiban mereka.   

(2) Kita harus memeliharanya dengan saksama (ay. 21). Kita 

harus menempatkannya di hadapan kita sebagai pedoman 

kita: “Janganlah semuanya itu menjauh dari matamu. Perik-

salah, tinjau ulang lagi, dan dalam segala hal berusahalah 

untuk berjalan sesuai dengannya.” Kita harus menanam-

kannya di dalam diri kita sebagai asas yang utama, yang 

pengaruhnya memerintah atas seluruh diri kita: “Simpan-

lah itu di lubuk hatimu, sebagai harta kesayanganmu, yang 

engkau takut bila itu hilang.” Biarlah firman Allah ditulis-

kan di hati kita, dan apa yang tertulis di sana akan tinggal 

tetap. 

2. Alasan mengapa kita harus mengutamakan perkataan hikmat 

yaitu    sebab  perkataan itu akan menjadi makanan dan ke-

sembuhan bagi kita, seperti pohon kehidupan (Why. 22:2; Yeh. 

47:12). Orang-orang yang mencari dan menemukannya, yang 

menemukan dan memeliharanya, akan mendapati di dalam-

nya,  

(1) Makanan:   sebab  itulah yang menjadi kehidupan bagi mere-

ka yang mendapatkannya (ay. 22). Sebagaimana kehidupan 

rohani dibangun oleh firman yang menjadi alatnya, begitu 

pula kehidupan itu masih ditumbuh-kembangkan dan di-

pelihara oleh firman yang sama. Kita tidak dapat hidup 

tanpanya. Dalam iman, kita dapat hidup oleh   sebab nya. 

(2) Kesembuhan. Perkataan hikmat itu merupakan kesembuh-

an bagi seluruh tubuh mereka, manusia seutuhnya, baik 

jiwa maupun raga. Perkataan hikmat itu membantu kedua-

nya di dalam keadaan yang sukar. Perkataan hikmat itu 

merupakan kesembuhan bagi seluruh tubuh (begitulah me-

nurut Septuaginta). Dengannya ada kesembuhan yang cu-

kup untuk memulihkan dunia yang sakit ini. Perkataan 

hikmat itu yaitu  obat bagi seluruh tubuh mereka (begitu-

Kitab Amsal 4:20-27 

 87

lah kalimat aslinya), bagi segala kebejatan mereka, sebab 

mereka disebut daging oleh   sebab  kedukaan mereka yang 

bagaikan duri di dalam daging. Di dalam firman Allah ada 

obat yang cocok untuk menyembuhkan semua penyakit ro-

hani kita. 

II. Kita harus mengawasi dan mengekang segala sikap diri kita (ay. 23).  

Di sini ada :  

1. Kewajiban besar yang dituntut oleh hukum hikmat supaya 

kita memperoleh hikmat dan memeliharanya: Jagalah hatimu 

dengan segala kewaspadaan. Allah, yang memberi kita jiwa, 

juga menyertakan tugas yang ketat mengenainya: Laki-laki 

ataupun wanita , waspyaitu  dan berhati-hatilah (Ul. 4:9). 

Kita harus mempertahankan semangat yang menyala-nyala 

untuk menjaga diri kita, dan berjaga-jaga dengan ketat, meng-

awasi jalan-jalan yang ditempuh jiwa kita. Jagalah hati kita 

supaya tidak melukai dan dilukai, supaya tidak dicemari dosa 

atau dikacaukan oleh kesukaran. Jagalah hati kita seperti per-

mata, seperti kebun anggur kita. Peliharalah hati nurani su-

paya tidak tercemar, jauhi pikiran-pikiran yang buruk, perta-

hankanlah pikiran-pikiran yang baik, kobarkan kasihmu ter-

hadap hal-hal yang baik dalam batas-batas yang semestinya. 

Jagalah baik-baik (begitulah kalimat aslinya). Ada banyak cara 

untuk menjaga sesuatu, yaitu dengan ketekunan, dengan 

kekuatan, dengan meminta bantuan, dan kita harus memakai 

semuanya untuk menjaga hati kita. Oleh   sebab  hati itu begitu 

licik (Yer. 17:9), semuanya itu sebetulnya belumlah cukup. 

Atau dengan sangat baik-baik. Kita harus menjaga hati kita 

dengan lebih tekun dan saksama, lebih dibandingkan  menjaga hal-

hal lainnya. Kita harus menjaga mata kita (Ayb. 31:1), menjaga 

lidah kita (Mzm. 34:14), menjaga kaki kita (Pkh. 5:1), namun , 

lebih dari semua itu, kita harus menjaga hati kita.  

2. Alasan baik untuk memelihara hati, yaitu   sebab  dari situlah 

terpancar kehidupan. Dari hati yang dijaga dengan baik meng-

alirlah hal-hal yang hidup, buah-buah yang baik bagi kemulia-

an Allah dan peneguhan orang lain. Atau, secara umum, se-

gala tindakan kehidupan memancar dari dalam hati, dan kare-

na itulah, memeliharanya berarti mengokohkan pohon dan 


 88

memulihkan sumber airnya. Hidup kita akan teratur atau ka-

cau, nyaman atau tidak nyaman, sesuai dengan keadaan hati 

kita, apakah terpelihara atau terlantar. 

III. Kita harus mengendalikan mulut kita supaya tidak menyinggung 

orang lain dengan lidah kita (ay. 24): Buanglah mulut serong dari 

padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu. 

  sebab  sifat asal hati kita itu cemar, maka dari dalamnya dapat 

muncul banyak sekali perkataan yang cemar, dan   sebab  itulah 

kita harus merasa sangat gentar dan benci terhadap segala per-

kataan jahat, kutukan, sumpah serapah, kebohongan, fitnah, 

gertakan, kenajisan dan percakapan yang sia-sia, yang datang 

dari mulut serong dan bibir dolak-dalik. Mulut dan bibir yang 

seperti itu tidak sudi tunduk kepada akal sehat maupun agama, 

malahan menentang keduanya, dan keduanya merupakan hal 

yang jelek dan tidak diinginkan di hadapan Allah, sama menjijik-

kannya seperti mulut cacat dalam pandangan manusia. Kita ha-

rus menjauhkan segala macam dosa lidah, sejauh-jauhnya dari 

kita, melalui kesiagaan dan tekad yang kuat, dengan cara meng-

hindari segala perkataan buruk dan tidak mau mengenal perkata-

an seperti itu.  

IV. Kita harus berjanji mengenai mata kita sendiri: “Biarlah matamu 

memandang terus ke depan dan tetap ke mukamu (ay. 25). Biarlah 

matamu terarah dan tidak mengembara. Biarlah matamu tidak 

berkelana ke segala hal yang menampakkan diri, sebab jika 

begitu, matamu akan disesatkan dari hal baik dan dijebak dalam 

kejahatan. Berhentilah memandang kesia-siaan. Biarlah matamu 

menjadi utuh dan tidak terbagi-bagi. Biarlah maksudmu tulus 

dan tidak berubah-ubah, dan janganlah melirik ke jalan yang 

menyimpang.” Kita harus mengarahkan pandangan kita kepada 

Guru kita, dan berawas-awas supaya kita tetap mengikuti Dia. 

Arahkan mata kita kepada pedoman kita dan taatilah. Arahkan 

pandangan kita kepada tanda kita, upah panggilan agung kita, 

dan arahkanlah semuanya itu kepada hal tersebut. Oculum in 

metam – Mata terarah ke tujuan. 

V. Kita harus hati-hati dalam segala tindakan kita (ay. 26): Tempuh-

lah jalan yang rata, dan pertimbangkanlah (begitulah kata asli-

Kitab Amsal 4:20-27 

 89

nya). “Letakkanlah firman Allah di satu sisi timbangan, dan apa 

yang telah engkau lakukan, atau apa yang akan engkau lakukan, 

di sisi yang satunya lagi, dan lihatlah bagaimana perbandingan di 

antara keduanya. Bersikap baik dan cermatlah dalam meninjau 

apakah jalanmu baik di hadapan Allah dan apakah jalan itu akan 

berakhir baik.” Kita harus mempertimbangkan jalan yang telah 

kita lalui dan menyelidiki apa yang telah kita lakukan, juga jalan 

yang sekarang sedang kita tempuh, apa yang sedang kita kerja-

kan, ke mana kita melangkah, dan lihatlah apakah kita telah 

berjalan dengan cermat. Kita harus mempertimbangkan apa saja 

kewajiban kita dan kesukarannya, apa saja keuntungan dan tan-

tangan dari jalan kita, supaya kita bisa berlaku dengan tepat. 

“Janganlah terburu-buru bertindak.” 

VI. Kita harus berlaku teguh, cermat dan tidak berubah-ubah. “Hen-

daklah tetap segala jalanmu (ay. 26) dan jangan goyah di dalam-

nya seperti orang yang bercabang pendirian. Janganlah berhenti 

di persimpangan jalan, melainkan teruslah melangkah dengan 

taat. Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, sebab ada 

kesalahan dalam keduanya, dan Iblis mencapai tujuannya jika dia 

berhasil menyesatkan kita ke kiri ataupun ke kanan. Berhati-hati-

lah supaya jauh kakimu dari kejahatan. Berjaga-jagalah supaya 

jangan keluar dari batas, sebab di sana ada  kejahatan, dan 

biarlah matamu memandang terus ke depan, supaya engkau me-

melihara jalan emas itu.” Orang-orang yang hendak bertindak 

bijaksana haruslah berjaga-jaga.     

  

 

 

 

 

 

 

PASAL  5  

ujuan pasal ini sangat mirip dengan pasal 2. Kita tidak perlu risau 

jika menuliskan hal yang sama dengan kata-kata lain, sebab cara 

ini aman (Flp. 3:1). Di sini ada , 

I. Himbauan untuk mengenal hukum-hukum hikmat secara 

umum dan tunduk kepadanya (ay. 2). 

II. Peringatan khusus terhadap dosa persundalan (ay. 3-14). 

III. Penangkal untuk melawan dosa tersebut. 

1. Kasih dalam pernikahan (ay. 15-20). 

2. Rasa hormat terhadap kemahatahuan Allah (ay. 21). 

3. Rasa takut terhadap akhir penuh sengsara yang harus 

dialami orang-orang fasik (ay. 22-23). 

Semua ini cukup untuk mempersenjatai kaum muda melawan 

nafsu daging yang berjuang melawan jiwa. 

 Didikan Orangtua; 

Peringatan terhadap Hawa Nafsu  

(5:1-14) 

1 Hai anakku, perhatikanlah hikmatku, arahkanlah telingamu kepada kepan-

daian yang kuajarkan, 2 supaya engkau berpegang pada kebijaksanaan dan 

bibirmu memelihara pengetahuan. 3   sebab  bibir wanita  jalang menitik-

kan tetesan madu dan langit-langit mulutnya lebih licin dari pada minyak, 4 

namun  kemudian ia pahit seperti empedu, dan tajam s