sannya disalahmengerti,
sebab separuhnya dilupakan dan sisanya disampaikan semba-
rangan. Selain itu, ada begitu banyak kekeliruan yang dibuat si
bebal itu tentang pesan itu sehingga orang yang menyuruh itu
seperti mematahkan kakinya sendiri, maksudnya lebih baik ia
tidak pernah menyuruh si bebal itu. Bahkan, orang yang menyu-
ruh itu akan meminum kecelakaan. Orang akan berpikir yang
bukan-bukan mengenai dia sebab mempekerjakan orang seperti
itu, yang bukannya mengurus urusannya dengan baik, malah me-
rugikan dan mengakali orang yang menyuruhnya. Sebab, dalam
bahasa Salomo, penipu dan orang bebal mempunyai makna yang
sama. Jasa orang bebal itu akan berbalik menjadi aib bagi orang
yang memakai dia, sebab orang akan cenderung menilai tuan
melalui hambanya.
2. Mereka tidak pantas mendapatkan kehormatan apa pun. Salomo
berkata sebelumnya (ay. 1), kehormatan tidak layak bagi orang
bebal, dan di sini ia menunjukkan bahwa kehormatan yang
diberikan kepada orang bebal itu lenyap dan terbuang sia-sia bila
dilemparkan kepadanya, seolah-olah orang melemparkan batu
permata yang berharga atau batu timbangan ke dalam tumpukan
batu-batu biasa, yang akan terkubur sia-sia dan tidak berguna.
Bahkan, memberi kehormatan kepada orang bebal itu sungguh
tidak masuk akal, sebab tampak seolah-olah seperti orang me-
ngenakan kain ungu pada sebuah batu (begitu menurut sebagian
yang lain). Bahkan lagi, itu berbahaya, seperti menaruh batu di
umban, yang bisa dipakai untuk menyakiti orang lain. Memberi
hormat kepada orang bebal sama saja dengan menaruh pedang di
tangan orang gila, dan kita tidak tahu kejahatan apa yang bisa
dilakukannya dengan pedang itu, bahkan terhadap orang yang
menaruh pedang itu di tangannya.
3. Orang bebal tidak pantas untuk menyampaikan kata-kata bijak,
tidak pula untuk menangani masalah-masalah yang penting, se-
kalipun mereka boleh dididik mengenai hal itu dan mampu
mengatakan sesuatu tentangnya. Kata-kata bijak, seperti yang
disampaikan dan diterapkan oleh orang bebal (dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga orang bisa tahu bahwa ia tidak mema-
haminya dengan betul), kehilangan keunggulan dan kegunaan-
nya: amsal di mulut orang bebal berhenti sebagai amsal, dan men-
jadi sebuah lelucon. Jika orang yang menjalani hidup fasik
namun berbicara dengan saleh dan mengucapkan kovenan Allah
dengan mulutnya, maka,
(1) Ia hanya mempermalukan dirinya dan apa yang diakuinya:
seperti kaki yang terkulai dari pada orang yang lumpuh, yang
sebab nya tidak bisa berjalan sebagaimana seharusnya, begitu
pula tidak layak bagi orang bebal untuk berpura-pura meng-
ucapkan pepatah, dan memberikan nasihat. Sama pula halnya
bagi orang untuk berbicara alim sementara perilaku hidupnya
terus-menerus bertentangan dengan apa yang dikatakannya
dan mengungkapkan kebohongannya. Kata-katanya yang baik
meninggikan dia, namun kehidupannya yang buruk lalu me-
nurunkannya, dan dengan demikian kakinya terkulai (KJV: ke-
dua kakinya tidak bisa berdiri sama tegak pen.). Perkataan
yang bijak, (ujar uskup Patrick) akan menjadi hal yang bu-
ruk bila diucapkan orang bebal, sama seperti tarian bila dila-
kukan oleh orang pincang. Sebab, seperti halnya kepincangan
orang pincang terlihat begitu jelas saat ia berusaha untuk
tampil gesit, demikian pula kebodohan orang bebal terlihat
begitu menggelikan saat ia berusaha untuk tampil bijak.
Oleh sebab itu, sama seperti orang pincang sebaiknya tetap
duduk di tempatnya, demikian pula orang bodoh atau orang
jahat untuk menahan lidahnya.
(2) Dengan berbuat demikian ia hanya melakukan kejahatan ter-
hadap dirinya sendiri dan orang lain, seperti seorang pemabuk
dengan duri atau benda tajam apa saja yang dipegangnya,
yang dengannya ia mengoyak-oyak dirinya sendiri dan orang-
orang di sekitarnya, sebab ia tidak tahu bagaimana mena-
nganinya. jika orang berbicara dengan baik namun tidak
hidup dengan baik, maka kata-kata baik mereka akan mem-
perberat hukuman mereka sendiri, dan orang lain akan dibuat
mengeras sebab melihat perkataan dan hidup mereka yang
tidak selaras itu. Sebagian orang memberikan pengertian se-
perti ini untuk ayat itu: perkataan yang paling tajam, yang
melaluinya, sangka orang, si pendosa akan tertusuk hatinya,
tidak meninggalkan kesan apa pun pada diri orang bodoh, se-
kalipun itu keluar dari mulutnya sendiri. Hal itu sama seperti
goresan duri pada tangan orang yang sedang mabuk, yang
tidak merasakannya atau mengeluhkannya (23:35).
10 Siapa mempekerjakan orang bebal dan orang-orang yang lewat yaitu
seperti pemanah yang melukai tiap orang.
Terjemahan KJV mengartikan ayat ini secara berbeda dalam teks dan
keterangannya (KJV: Allah yang besar yang membentuk segala sesua-
tu mengganjar baik orang bebal maupun para pembuat kejahatan
pen.). Dengan demikian, ayat itu mengungkapkan,
1. Keadilan dari Allah yang baik. Tuan, atau Penguasa (itulah yang
diartikan dari kata Rab di sini), atau, sebagaimana kita membaca-
nya, Allah yang besar yang membentuk segala sesuatu pada awal
mulanya, dan masih mengaturnya dengan hikmat tak terbatas,
membalas setiap orang sesuai dengan perbuatannya. Ia menggan-
jar orang bebal, yang berdosa sebab ketidakacuhannya, dan yang
tidak tahu akan kehendak Tuannya, dengan sedikit pukulan. Ia
mengganjar para pembuat kejahatan, yang berdosa secara cong-
kak dan dengan tangan teracung, dan yang tahu akan kehendak
Tuannya, namun tidak mau melakukannya, dengan banyak pukul-
an. Sebagian orang memahaminya sebagai kebaikan dari pemeli-
haraan umum Allah terhadap orang-orang bebal dan para pembuat
kejahatan sekalipun, yang untuk mereka Ia membuat matahari-Nya
bersinar dan hujan-Nya turun. Atau,
2. Pelanggaran dari seorang penguasa yang buruk (begitulah arti
tambahannya): seorang pembesar mendukakan semua orang,
sebab ia mempekerjakan orang bebal. Ia juga mempekerjakan para
pembuat kejahatan. jika orang fasik memegang kekuasaan di
tangannya, oleh dirinya sendiri dan oleh orang-orang bodoh serta
para penipu yang ia pekerjakan di bawahnya, yang dibayar dan
dipilihnya untuk menggunakan kekuasaan itu, ia mendukakan
semua orang di bawahnya dan menyusahkan mereka. Oleh kare-
na itu, kita harus berdoa untuk raja-raja dan untuk semua pem-
besar, agar di bawah pemerintahan mereka, kita dapat hidup te-
nang dan tenteram.
11 Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang meng-
ulangi kebodohannya.
Lihatlah di sini:
1. Betapa kejinya dosa itu, dan betapa kadang-kadang ia menimbul-
kan rasa benci luar biasa saat diperlihatkan, bahkan bagi orang
berdosa itu sendiri. jika hati nuraninya diinsafkan, atau ia me-
rasakan penyesalan atas dosanya, maka ia merasa muak dengan-
nya, dan memuntahkannya. Pada saat itu ia tampak membencinya
dan bersedia untuk lepas darinya. Dosa di dalam dirinya sendiri,
dan cepat atau lambat bagi orang berdosa itu sendiri, terasa lebih
menjijikkan dibandingkan muntahan anjing (Mzm. 36:3).
2. Kendati demikian betapa orang-orang berdosa cenderung kembali
kepada dosa mereka. Seperti anjing, sesudah merasa lega sebab
sudah memuntahkan apa yang sudah membebani perutnya, ia
kembali dan menjilatnya lagi. Demikian pula orang-orang berdosa,
yang hanya diyakinkan namun tidak dipertobatkan, akan kembali
berbuat dosa lagi, dengan melupakan betapa dosa sudah mem-
buat mereka muak. Rasul Petrus (2Ptr. 2:22) menerapkan amsal
ini kepada orang-orang yang sudah mengenal Jalan Kebenaran
namun kemudian berbalik darinya. namun Allah akan memun-
tahkan mereka dari mulut-Nya (Why. 3:16).
12 Jika engkau melihat orang yang menganggap dirinya bijak, harapan bagi
orang bebal lebih banyak dari pada bagi orang itu.
Inilah:
1. Suatu penyakit rohani diketengahkan di sini, dan itu yaitu ke-
sombongan diri: jika engkau melihat orang, ya kita melihat banyak
orang, yang menganggap dirinya bijak, yang sedikit berpengertian,
namun bangga dengannya, yang menilai dirinya jauh lebih tinggi
dibandingkan yang sebenarnya, melebihi yang dimiliki oleh sesamanya,
dan menganggap cukup apa yang dimilikinya, sehingga ia tidak
memerlukan apa-apa lagi. Ia begitu menyombongkan kemampu-
an-kemampuannya sendiri sehingga membuat dirinya berpendiri-
an keras, fanatik, dan suka mencerca kesalahan orang lain. Yang
dimanfaatkannya dari pengetahuannya hanyalah menyombong-
kan diri dengan pengetahuan itu. Atau, jika yang kita maksudkan
di sini dengan orang bijak yaitu orang beragama, maka yang di-
gambarkan di sini yaitu tabiat orang-orang yang suka mema-
mer-mamerkan suatu perbuatan agama dan menyangka bahwa
keadaan rohani mereka baik, namun padahal sebenarnya amat
buruk, seperti jemaat di Laodikia (Why. 3:17).
2. Bahaya dari penyakit ini. Bahayanya bisa dikatakan amat gawat:
harapan bagi orang bebal lebih banyak, yang mengetahui dan
mengakui dirinya sebagai orang bebal. Harapan bagi orang bebal
ini lebih dari pada bagi orang yang mengidap penyakit seperti itu.
Salomo sendiri bukan hanya orang bijak, melainkan juga pengajar
hikmat. Dan pengamatan ini dilakukannya terhadap murid-mu-
ridnya, bahwa ia mendapati pekerjaannya paling sulit dan paling
sedikit berhasil bila dilakukan oleh orang-orang yang menganggap
dirinya baik dan tidak merasa perlu dididik. Oleh sebab itu,
orang yang menyangka dirinya berhikmat harus menjadi bodoh,
supaya ia berhikmat (1Kor. 3:18). Harapan bagi pemungut cukai
lebih banyak dibandingkan bagi orang Farisi yang congkak (Mat.
21:32). Banyak orang terhalang untuk menjadi sungguh-sungguh
bijak dan saleh sebab kecongkakan yang palsu dan tidak ber-
dasar. Mereka selalu merasa sudah menjadi bijak dan saleh (Yoh.
9:40-41).
Aib Kemalasan, 26:13-16
13 Berkatalah si pemalas: Ada singa di jalan! Ada singa di lorong!
jika orang berbicara bodoh, kita menyebutnya berbicara asal-
asalan saja. Dan itu tepat, sebab tidak ada orang yang mengungkap-
kan kebodohan mereka sendiri selain melalui kelakuan mereka yang
asal-asalan saja dan suka mencari-cari alasan untuk sifat atau ke-
malasan mereka itu. Sama seperti kebodohan orang membuat me-
reka malas, demikian pula kemalasan orang membuat mereka bodoh.
Amatilah:
1. Apa yang benar-benar ditakuti si pemalas. Ia takut pada jalan,
pada lorong atau tempat di mana pekerjaan harus dilakukan dan
perjalanan harus ditempuh. Ia membenci pekerjaan, membenci
segala sesuatu yang menuntut usaha dan kerja keras.
2. Apa yang dimimpikannya, dan berpura-pura ditakutinya: singa di
jalan. saat ia didesak untuk menjadi rajin, entah dalam urusan-
urusan duniawinya atau dalam perkara agama, inilah yang men-
jadi alasannya (dan sungguh menyedihkan alasan itu, sama bu-
ruknya seperti tidak ada alasan sama sekali), ada singa di jalan,
ada suatu kesulitan atau bahaya yang tak dapat diatasi, yang
tidak bisa berpura-pura dapat dihadapinya. Padahal, singa sering
pergi ke hutan-hutan dan padang gurun, dan pada waktu siang,
saat orang melakukan pekerjaan, mereka berada di tempat per-
teduhan mereka (Mzm. 104:22-23). namun si orang lamban ber-
khayal, atau lebih tepatnya berpura-pura mengkhayalkan, singa
di lorong, padahal singa itu hanya ada dalam khayalannya, dan
juga tidak seganas yang digambarkannya. Perhatikanlah, bodoh
sekali bila kita menakut-nakuti diri sendiri untuk tidak melaku-
kan kewajiban-kewajiban kita yang nyata-nyata ada dengan kesu-
litan-kesulitan hasil khayalan kita yang sebenarnya tidak ada
(Pkh. 11:4).
14 Seperti pintu berputar pada engselnya, demikianlah si pemalas di tempat
tidurnya.
sesudah melihat orang malas takut akan pekerjaannya, di sini kita
mendapati dia cinta akan kenyamanannya. Ia berbaring di satu sisi
tempat tidurnya sampai ia merasa bosan dengannya, dan kemudian
berbalik ke sisi lainnya, namun masih di tempat tidurnya, saat hari
sudah sangat siang dan ada pekerjaan yang harus dilakukan. Ia se-
perti pintu digerakkan, namun tidak berpindah. Demikianlah, urus-
annya terabaikan dan kesempatan-kesempatannya dibiarkan berlalu
begitu saja. Lihatlah tabiat si pemalas.
1. Ia tidak peduli untuk beranjak keluar dari tempat tidurnya, malah
tetap tertahan di situ, seperti pintu pada engselnya. Kenyamanan
tubuh, jika terlalu dituruti, menjadi penyebab menyedihkan dari
banyaknya penyakit rohani. Orang yang suka tidur pada akhirnya
terbukti menjadi orang yang mencintai maut.
2. Ia tidak peduli untuk maju di dalam urusannya. Ia bergerak sedi-
kit-sedikit dalam urusannya itu, namun tanpa tujuan apa-apa. Ia
masih berada di tempatnya sebelumnya. Pekerja-pekerja yang
malas berputar-putar dalam pekerjaan mereka, seperti pintu pada
engselnya. Dunia dan daging yaitu dua engsel yang menjadi
tempat mereka bergantung. Meskipun mereka bergerak dalam
pelayanan-pelayanan lahiriah, turun ke jalan-jalan kewajiban dan
berkeliling di jalan-jalan itu seperti kuda di pacuan, namun me-
reka tidak mendapat kebaikan apa-apa, mereka tidak mendapat
tempat berpijak, mereka tidak pernah bergerak lebih dekat ke
sorga. Seperti itulah, orang-orang berdosa tetap tidak berubah
dan orang-orang kudus tidak menjadi lebih baik.
15 Si pemalas mencelupkan tangannya ke dalam pinggan, namun ia terlalu
lelah untuk mengembalikannya ke mulutnya.
Sekarang si pemalas, dengan susah payah, sudah keluar dari tempat
tidurnya. Namun, itu tidak ada bedanya seperti saat ia tetap ber-
baring di sana, sebab apa saja yang bisa dikerjakannya, dilakukan-
nya dengan segala keengganan.
Amatilah:
1. Kepura-puraan yang ditunjukkannya untuk kemalasannya: ia me-
lipat tangan di dadanya (KJV) sebab takut kedinginan. jika ia
tidak melakukannya di tempat tidurnya yang hangat, maka masih
ada dadanya yang hangat. Atau ia berpura-pura lumpuh, seperti
yang dilakukan sebagian orang yang bekerja sebagai pengemis.
Ada sesuatu yang membuat sakit tangannya. Ia ingin orang me-
ngira tangannya melepuh sebab kerja keras kemarin. Atau, ayat
di atas menunjukkan, secara umum, kebenciannya terhadap
urusannya. Ia sudah mencoba, namun kedua tangannya tidak ter-
biasa untuk bekerja, dan oleh sebab itu ia mendekap dirinya da-
lam kenyamanannya sendiri dan tidak peduli pada siapa pun. Per-
hatikanlah, sudah biasa bagi orang-orang yang tidak mau men-
jalankan kewajiban mereka untuk berpura-pura tidak dapat mela-
kukannya. Mencangkul aku tidak dapat (Luk. 16:3).
2. Kerugian yang kerap menimpanya sebab kemalasannya. Ia sen-
diri menjadi rugi sebab nya, sebab ia membuat dirinya kelaparan:
ia terlalu lelah untuk mengembalikan tangannya ke mulutnya,
maksudnya, ia tidak punya hati untuk memberi makan dirinya
sendiri, malah takut untuk mengangkat tangan ke kepalanya,
seolah-olah itu merupakan pekerjaan raksasa. Kalimat kiasan di
atas, walaupun berlebihan, sungguh mengungkapkan keadaannya
dengan indah dan memperberat dosanya, bahwa ia tidak mampu
menahan rasa sakit yang sekecil apa pun sekalipun itu demi keun-
tungan yang sangat besar. Dan semua ini menunjukkan bagai-
mana dosanya itu menjadi hukuman bagi dirinya. Orang-orang
yang malas dalam urusan agama tidak akan mau bersusah payah
memberi makan jiwa mereka sendiri dengan firman Allah, roti
kehidupan itu, atau menimba berkat-berkat yang telah dijanjikan
melalui doa, padahal mereka bisa mendapatkannya.
16 Si pemalas menganggap dirinya lebih bijak dari pada tujuh orang yang
menjawab dengan bijaksana.
Amatilah:
1. Bagaimana si pemalas memandang tinggi dirinya sendiri, kendati
kemalasannya itu sungguh tidak masuk akal dan bodoh: ia
menganggap dirinya lebih bijak dari pada tujuh orang, dibandingkan
tujuh orang bijak, yang dapat menjawab dengan bijaksana. Ber-
hikmatlah orang yang bisa menjawab dengan bijaksana, yang bisa
memberi pertanggungan jawab tentang pengharapan yang ada
padanya (1Ptr. 3:15). Apa yang kita lakukan harus bisa kita per-
tanggungjawabkan dengan bijaksana, meskipun mungkin kita
tidak memiliki cukup kecerdasan untuk menunjukkan kekeliruan
dari setiap keberatan yang diajukan untuk melawannya. Siapa
berjerih payah dalam perkara agama dapat memberikan pertang-
gungjawaban yang bijaksana untuknya. Ia tahu bahwa ia bekerja
untuk Tuan yang baik, dan bahwa pekerjaannya tidak akan sia-
sia. namun si pemalas menganggap dirinya lebih bijak dibandingkan
tujuh orang seperti itu. Ia beranggapan demikian sebab kalaupun
ada tujuh orang seperti itu yang membujuknya untuk rajin, de-
ngan segala alasan yang dapat mereka pertanggungjawabkan, itu
tidak akan berhasil. Ketetapannya sendiri, pikirnya, sudah mem-
berikan jawaban yang cukup untuk mereka dan untuk segala
alasan mereka.
2. Bagaimana kecongkakan ini menunjuk pada kemalasannya sen-
diri. Si pemalaslah, melebihi semua orang, yang berlaku congkak
seperti itu. Sebab,
(1) Penilaian baiknya tentang dirinya sendiri yaitu penyebab dari
kemalasannya. Ia tidak mau bersusah payah mendapatkan
hikmat sebab ia menyangka dirinya sudah cukup berhikmat.
Kesombongan dan kepuasan terhadap apa yang sudah kita
raih yaitu musuh besar bagi peningkatan hidup kita.
(2) Kemalasannya yaitu penyebab dari penilaiannya yang tinggi
tentang dirinya sendiri. Jika saja ia mau berusaha memeriksa
dirinya sendiri, dan membandingkan dirinya dengan ajaran-
ajaran hikmat, maka ia akan berpikiran lain tentang dirinya.
Kemalasan yang dimanjakan merupakan dasar dari kecong-
kakan diri yang merajalela.
(3) Bahkan, betapa menyedihkannya kedunguannya bahwa ia
menganggap kemalasannya sebagai hikmatnya. Ia menyangka
dirinya berhikmat bila mengagung-agungkan dirinya sendiri,
dan menikmati segala kenyamanan yang bisa didapatnya. Ia
tidak mau berjerih payah dalam perkara agama untuk menghin-
dari penderitaan, namun hanya duduk diam dan melihat-lihat
apa yang dilakukan orang lain untuk mencari-cari kesalahan
mereka dan mendapat kesenangan dengan berbuat demikian.
Untuk pemalas-pemalas seperti itu, yang bangga atas apa yang
sebenarnya merupakan aib mereka, hanya ada sedikit harapan
(ay. 12).
Kebencian dan Pertengkaran, 26:17-28
(26:17)
17 Orang yang ikut campur dalam pertengkaran orang lain yaitu seperti
orang yang menangkap telinga anjing yang berlalu.
1. Apa yang dikecam di sini yaitu ikut campur dalam pertengkaran
orang lain. Janganlah kita terburu-buru memperkarakan urusan
kita sendiri (25:8), apalagi sampai berurusan dalam perkara orang
lain, terutama perkara orang yang sama sekali tidak berhubungan
atau bersangkut paut dengan kita, yang hanya kita lihat secara
tidak sengaja. Bila kita bisa berperan dalam mendamaikan orang-
orang yang berselisih, maka kita harus melakukannya, meskipun
dengan demikian kita akan dimusuhi oleh kedua belah pihak,
setidak-tidaknya pada saat mereka bersitegang. namun , menyibuk-
kan diri dengan urusan-urusan orang lain, dan bersuka ria dalam
pertengkaran-pertengkaran orang lain, bukan hanya mengundang
masalah ke atas diri kita sendiri, namun juga menjerumuskan diri
kita ke dalam pencobaan. Siapa yang mengangkatku sebagai ha-
kim? Biarlah mereka mengakhirinya, sebagaimana mereka memu-
lainya, di antara mereka sendiri.
2. Kita diperingatkan untuk tidak melakukannya oleh sebab ba-
haya yang akan mengancam kita. Sama halnya seperti menang-
kap telinga anjing kampung yang sedang menyalak, yang akan
mencakar dan menggigitmu. Akan lebih baik jika engkau membi-
arkannya, sebab bila engkau menangkap telinganya, maka eng-
kau tidak akan dapat melepaskan diri darinya, dan akan menye-
sal sendiri bila menderita luka dan rasa malu. Begitu orang
menangkap telinga anjing dan melepasnya, anjing itu akan menye-
rangnya, dan jika ia terus memegangnya, kedua tangannya akan
sibuk, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Biarlah setiap orang te-
nang melakukan pekerjaannya dan mengurusi urusannya sendiri,
dan tidak sibuk berselisih dan mencampuri urusan orang lain.
18 Seperti orang gila menembakkan panah api, panah dan maut, 19 demi-
kianlah orang yang memperdaya sesamanya dan berkata: Aku hanya ber-
senda gurau.
Lihatlah di sini:
1. Betapa jahatnya orang yang tidak segan-segan memperdaya se-
samanya. Mereka seperti orang gila yang menembakkan panah
api, panah dan maut, begitu besarnya penderitaan yang bisa me-
reka timbulkan dengan segala tipu daya mereka itu. Dengan per-
buatan itu mereka menganggap diri sendiri sebagai orang-orang
yang santun lagi cerdik, namun sebenarnya mereka seperti orang
gila. Tidak ada kegilaan yang lebih besar di dunia ini dibandingkan
dosa yang dilakukan dengan sengaja. Bukan hanya orang yang
suka marah dan berang, namun juga orang yang penuh kebencian
dan tipu daya, yang merupakan orang gila. Pada akhirnya yang
dilakukannya sama saja dengan menembakkan panah api, panah
dan maut. Ia melakukan lebih banyak kejahatan dibandingkan yang
dapat dibayangkannya. Penipuan dan kebohongan membakar se-
perti panah api, membunuh, bahkan dari kejauhan, seperti panah.
2. Lihatlah betapa sepelenya alasan yang biasa diberikan orang un-
tuk kejahatan yang mereka perbuat, bahwa mereka hanya ber-
canda. Dengan alasan ini mereka menyangka akan dimaafkan
jika ditegur, aku hanya bersenda gurau. namun akan terbukti
berbahaya bila kita bermain-main dengan api dan bercanda dengan
alat-alat tajam. Orang yang suka cari gara-gara dan tidak bisa
diajak bercanda tidak boleh dipuji (siapa yang bijak harus sabar
terhadap orang bodoh, 2Kor. 11:19-20), sebaliknya, harus dikecam
mereka yang melecehkan sesamanya, yang menyalahgunakan
kepercayaan orang lain, berbuat curang dalam melakukan jual
beli dengan orang lain, yang berkata dusta kepada mereka atau
berkata bohong tentang mereka, berbicara kepada mereka dengan
kata-kata kasar, atau menodai nama baik mereka, dan kemudian
menyangka akan dimaafkan dengan berkata bahwa mereka hanya
bercanda. Aku hanya bersenda gurau. Siapa yang berdosa dengan
bercanda harus bertobat dengan sungguh-sungguh, atau dosanya
akan menjadi kehancurannya sendiri. Kebenaran terlalu berharga
untuk dijual sebagai bahan lelucon, demikian pula dengan nama
baik sesama kita. Jika dengan bercanda orang berbohong dan
memfitnah, ia sendiri belajar dan mengajari orang lain untuk
benar-benar berbohong dan memfitnah. Perkataan bohong yang
diutarakan dalam canda tawa dapat menyebar dalam kebencian.
Di samping itu, jika orang berkata bohong untuk membuat diri-
nya bergembira, ia juga bisa melakukannya untuk membuat diri-
nya kaya, dan dengan demikian kebenaran menjadi binasa, dan
orang membiasakan lidahnya untuk berkata dusta (Yer. 9:5). Jika
orang mau mempertimbangkan bahwa dusta berasal dari Iblis,
dan mengantarkan mereka pada api neraka, maka pasti itu akan
merusakkan senda guraunya. Halnya seperti menembakkan pa-
nah dan maut kepada diri mereka sendiri.
20 Bila kayu habis, padamlah api; bila pemfitnah tak ada, redalah pertengkar-
an. 21 Seperti arang untuk bara menyala dan kayu untuk api, demikianlah
orang yang suka bertengkar untuk panasnya perbantahan. 22 Seperti sedap-
sedapan perkataan pemfitnah masuk ke lubuk hati.
Pertengkaran itu seperti api. Ia membuat panas jiwa, membakar
habis segala sesuatu yang baik, dan menghanguskan semua keluarga
dan warga . Sekarang di sini kita diberi tahu bagaimana api itu
biasanya dinyalakan dan dijaga tetap membakar, agar kita bisa
menghindar dari kesempatan-kesempatan yang menjurus pada per-
selisihan, dan dengan demikian mencegah akibat-akibat jahat yang
ditimbulkannya. Jadi, jika kita ingin menjaga ketenteraman,
1. Kita tidak boleh memberi telinga kepada para pemfitnah, sebab me-
reka memberikan bahan bakar untuk menyalakan api pertengkar-
an. Bahkan, mereka menyebarkannya dengan bahan yang mudah
terbakar. Cerita-cerita yang mereka bawa yaitu bola-bola api.
Mereka yang menjelek-jelekan orang lain, membocorkan rahasia-
rahasia, dan menyalahartikan berbagai perkataan dan perbuatan,
melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk membuat
saudara-saudara, teman-teman, dan tetangga-tetangga cemburu
satu sama lain, untuk menjauhkan satu dari yang lainnya, dan
menabur perpecahan di antara mereka, harus diusir dari semua
keluarga dan warga . Dengan begitu, pertengkaran pasti
akan berhenti sebab api akan padam jika tidak ada bahan
bakar. Juga, pihak-pihak yang berselisih akan memahami satu
sama lain dengan lebih baik dan menjadi lebih tenang. Cerita-
cerita lama akan segera terlupakan jika tidak ada cerita-cerita
baru yang diberitahukan untuk terus mengingatkannya, dan ke-
dua belah pihak akan melihat bagaimana mereka sudah diper-
daya oleh seorang musuh bersama. Para penggunjing dan pemfit-
nah yaitu penyulut-penyulut api yang tidak boleh dibiarkan.
Untuk menggambarkan ini, ia mengulangi (ay. 22) apa yang sudah
dikatakannya sebelumnya (18:8), bahwa perkataan pemfitnah ada-
lah seperti luka-luka (KJV; TB: perkataan pemfitnah seperti sedap-
sedapan pen.), luka-luka yang dalam dan berbahaya, luka-luka
pada bagian-bagian tubuh yang penting. Mereka melukai nama
baik orang yang dibicarakan dengan dusta, dan mungkin luka itu
ternyata tidak dapat disembuhkan, dan bahkan plester untuk
menarik kembali dusta itu (yang jarang bisa didapat) ternyata
tidak cukup lebar untuk menutupnya. Mereka melukai cinta dan
kasih yang justru harus dimiliki orang yang mereka ajak bicara
itu terhadap sesamanya. Mereka menancapkan tikaman yang me-
matikan pada persahabatan dan persekutuan orang-orang Kris-
ten. Oleh sebab itu, kita sendiri bukan saja tidak boleh sekali-kali
menjadi pemfitnah, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan jahat
apa saja, namun juga tidak boleh memberikan sokongan sedikit
pun kepada para pemfitnah.
2. Kita tidak boleh bergaul dengan orang yang suka marah-marah dan
kesal-kesal, yang suka melawan, dan cenderung memburuk-buruk-
kan segala sesuatu, menyulut pertengkaran dari hal-hal kecil, cepat
panas dan mengamuk saat disalahi. Mereka yaitu orang yang
suka bertengkar, menambah panasnya perbantahan (ay. 21). Se-
makin sedikit kita berurusan dengan orang-orang seperti itu,
semakin baik adanya, sebab akan sangat sulit untuk menghindar
dari pertengkaran dengan orang-orang yang suka bertengkar.
23 Seperti pecahan periuk bersalutkan perak, demikianlah bibir manis dengan
hati jahat.
Yang dimaksudkan di sini bisa jadi tentang,
1. Hati jahat yang menunjukkan dirinya dalam bibir manis (KJV:
bibir yang membakar pen.), yang di baliknya mengandung
kata-kata yang penuh dengan kegeraman, kemarahan, dan
penghinaan, yang membakar dalam kebencian, dan meng-
aniaya orang-orang yang dengannya mereka sedang berbicara,
atau tentang orang yang sedang mereka bicarakan. Kata-kata
jahat dan niat jahat cocok dibandingkan sebagai pecahan
periuk dan sanga perak, yang sebab periuk itu sudah pecah
dan sanganya sudah dipisahkan dari perak, pantas untuk
dibuang bersama-sama ke dalam keranjang sampah.
2. Atau, tentang hati jahat yang menyamarkan dirinya dengan bibir
manis, yang membakar dengan pengakuan-pengakuan akan
kasih dan persahabatan, dan bahkan menganiaya orang dengan
sanjungan-sanjungan. Ini seperti pecahan periuk bersalutkan
ampas atau sanga perak, yang dengannya orang lemah bisa
ditipu, seolah-olah barang itu berharga, namun orang bijak akan
segera menyadari kecurangannya. Pengertian ini sesuai dengan
ayat-ayat berikut ini.
24 Si pembenci berpura-pura dengan bibirnya, namun dalam hati dikandung-
nya tipu daya. 25 Kalau ia ramah, janganlah percaya padanya, sebab tujuh
kekejian ada dalam hatinya. 26 Walaupun kebenciannya diselubungi tipu
daya, kejahatannya akan nyata dalam jemaah.
Ada alasan untuk mengeluhkan bukan hanya tiadanya ketulusan
saat orang mengaku-aku sebagai sahabat, dan bahwa mereka tidak
mengasihi sebaik seperti yang pura-pura mereka katakan, dan juga
tidak bersedia membantu teman-teman mereka seperti yang mereka
janjikan, namun juga, yang jauh lebih buruk, untuk mengeluhkan ran-
cangan-rancangan jahat pada orang yang mengaku-ngaku bersaha-
bat, dan memanfaatkannya untuk melayani maksud-maksud yang
paling keji. Hal ini di sini dikatakan sebagai suatu hal yang lazim (ay.
24): si pembenci yang membenci sesamanya dan berusaha berbuat
jahat terhadapnya, berpura-pura dengan bibirnya. Ia mengaku meng-
hormati dia dan bersedia melayaninya, berbicara ramah terhadapnya,
seperti Kain dengan Habel, dan seperti Yoab yang bertanya kepada
Amasa, Engkau baik-baik, saudaraku? agar kebenciannya tidak di-
curigai dan diwaspadai, dan supaya ia mempunyai kesempatan yang
lebih baik untuk menjalankan tujuan-tujuannya. Dalam hati orang
ini terkandung tipu daya, yakni ia menjaga dalam pikirannya kejahat-
an yang bermaksud dilakukannya terhadap sesamanya sampai ia
bisa menjeratnya dengan berhasil. Dalam kebencian ini terkandung
kelicikan yang tidak kurang dari bisa si ular tua. Sekarang, berkena-
an dengan masalah ini, di sini kita diperingatkan,
1. Untuk tidak berlaku begitu bodoh sehingga membiarkan diri kita
sendiri diperdaya oleh orang yang mengaku-aku bersahabat. Ingatlah
untuk tidak percaya jika orang berbicara ramah. Jangan begitu
saja percaya kepadanya kecuali engkau mengenalnya dengan
baik, sebab mungkin saja ada tujuh kekejian dalam hatinya, ren-
cana-rencana jahat yang banyak dan besar untuk melawanmu,
yang dengan begitu gigih berusaha disembunyikannya dengan
kata-katanya yang manis. Iblis yaitu musuh yang membenci
kita, namun dalam godaan-godaannya ia berbicara manis, seperti
yang diperbuatnya terhadap Hawa, namun sungguh gila jika kita
memujinya, sebab tujuh kekejian ada dalam hatinya. Satu roh
najis membawa tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya.
2. Untuk tidak berlaku fasik sampai memperdaya orang lain dengan
mengaku-ngaku sebagai sahabat. Sebab, walaupun penipuan itu
bisa dijalankan dengan berhasil untuk sementara waktu, namun
pada akhirnya akan ketahuan juga (ay. 26). Orang yang kebenci-
annya diselubungi tipu daya akan ketahuan pada suatu saat, dan
kejahatannya akan nyata dalam jemaah sehingga mendatangkan
aib dan kegelisahan baginya. Tidak ada hal lain lagi yang akan
membuat orang seperti ini lebih dibenci semua kumpulan orang
selain kejadian seperti itu. Kasih (kata orang) yaitu baju zirah
terbaik, namun juga bisa menjadi jubah terburuk, dan bisa diman-
faatkan oleh para pendusta untuk menyamarkan diri mereka.
Ahab mengenakannya, lalu binasa di dalamnya.
27 Siapa menggali lobang akan jatuh ke dalamnya, dan siapa menggelinding-
kan batu, batu itu akan kembali menimpa dia.
Lihatlah di sini:
1. Susah payah apa yang mau dilakukan orang untuk berbuat jahat
kepada orang lain. Sama seperti mereka berusaha sekuat tenaga
untuk menyembunyikan rancangan mereka dengan mengaku-
ngaku sebagai sahabat, demikian pula mereka bekerja keras un-
tuk mewujudkan rancangan mereka itu. Yang mereka lakukan
yaitu menggali lobang, menggelindingkan batu, suatu pekerjaan
berat, namun orang mau bertekun di dalamnya untuk memuas-
kan amarah dan nafsu mereka untuk membalas dendam.
2. Kejahatan apa yang sedang mereka siapkan bagi diri mereka sen-
diri dengan melakukan semuanya. Kekerasan yang mereka laku-
kan akan berbalik menimpa kepala mereka sendiri. Mereka sen-
diri akan jatuh ke dalam lobang yang mereka gali, dan batu yang
mereka gulingkan akan kembali menimpa mereka (Mzm. 7:16-17;
Mzm. 9:16-17). Allah yang benar akan menjerat orang berhikmat,
bukan hanya dalam kecerdikan mereka sendiri, namun juga dalam
kekejaman mereka sendiri. Itulah hukuman bagi orang-orang
yang berkomplot. Haman digantung pada tiang gantungan yang
dipersiapkannya sendiri.
nec lex est justior ulla
Quam necis artifices arte perire sua
Tidak ada hukum yang lebih adil dibandingkan bagi si perancang
kerusakan untuk binasa oleh tipu muslihatnya sendiri.
28 Lidah dusta membenci korbannya, dan mulut licin mendatangkan kehan-
curan.
Ada dua jenis dusta yang sama-sama menjijikkan:
1. Dusta memfitnah, yang secara terang-terangan membenci orang-
orang yang difitnahnya: lidah dusta membenci korbannya. Lidah
dusta menyakiti mereka dengan fitnah-fitnah dan celaan-celaan
sebab ia membenci mereka, dan dengan demikian dapat meng-
hantam mereka secara diam-diam jika mereka tidak bisa
membela diri. Dan ia membenci mereka sebab ia telah menyakiti
mereka dan menjadikan mereka sebagai musuh-musuhnya. Keja-
hatan dari dusta ini terbuka dan jelas. Ia menyakiti, membenci,
dan ia mengakuinya, dan setiap orang melihatnya.
2. Dusta menyanjung, yang secara diam-diam mengerjakan kehan-
curan bagi orang-orang yang disanjungnya. Dalam dusta memfit-
nah, kejahatannya jelas, dan orang bersikap sewaspada mungkin
terhadapnya, namun dalam dusta menyanjung, kejahatannya ham-
pir tidak dicurigai, dan orang mengungkapkan kelemahan mereka
jika mereka mudah percaya terhadap puji-pujian untuk diri
mereka sendiri dan sanjungan-sanjungan yang diberikan kepada
mereka. Oleh sebab itu, orang bijak akan lebih takut terhadap
seorang penyanjung yang mencium lalu membunuh, dibandingkan ter-
hadap seorang pemfitnah yang menyatakan perang dengan terang-
terangan.
1 Janganlah memuji diri sebab esok hari, sebab engkau tidak tahu apa
yang akan terjadi hari itu.
Inilah:
1. Peringatan yang baik untuk tidak menduga-duga apa yang akan
terjadi di waktu yang akan datang: janganlah memuji diri, jangan,
janganlah memuji diri sebab esok hari, apalagi sebab berhari-
hari atau bertahun-tahun yang akan datang. Perintah ini tidak
melarang kita untuk mempersiapkan diri bagi esok hari, namun
untuk tidak menduga-duga tentang apa yang akan terjadi esok
hari. Kita tidak boleh menjanjikan kepada diri kita sendiri kelang-
sungan dan kenyamanan hidup kita hingga esok hari, namun
harus berbicara tentangnya dengan tunduk pada kehendak Allah,
dan dengan bersikap seperti ciptaan-ciptaan yang dibiarkan tidak
pasti mengenai esok hari sebab suatu alasan yang baik. Kita
tidak boleh khawatir akan hari besok (Mat. 6:34), namun kita harus
menyerahkan kekhawatiran kita tentangnya kepada Allah. (Yak.
4:13-15). Kita tidak boleh menunda-nunda pekerjaan besar untuk
bertobat, satu pekerjaan yang penting itu, hingga esok hari, seolah-
olah kita yakin akan datangnya hari esok, namun hari ini, selama
masih dapat dikatakan hari ini, dengarkanlah suara Allah.
2. Pertimbangan yang baik, yang mendasari peringatan ini: Kita tidak
tahu apa yang akan terjadi hari itu, peristiwa apa yang mungkin
akan terlahir dari rahim waktu. Segalanya yaitu rahasia sampai
dilahirkan (Pkh. 11:5). Sedikit waktu bisa saja melahirkan per-
ubahan-perubahan besar, perubahan-perubahan seperti yang se-
dikit kita pikirkan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari
ini, pada malam harinya baru akan ketahuan. Nescis quid serus
vesper vehat Engkau tidak tahu apa yang akan terjadi bersama
dengan datangnya malam. Allah dengan bijak membiarkan kita
dalam kegelapan mengenai kejadian-kejadian yang akan datang,
dan menyimpan bagi diri-Nya sendiri pengetahuan tentangnya, se-
bagai bunga mahkota, supaya Ia bisa melatih kita untuk bergan-
tung pada-Nya dan untuk senantiasa siap sedia menghadapi segala
peristiwa (Kis. 1:7).
(27:2)
2 Biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu, orang yang tidak
kaukenal dan bukan bibirmu sendiri.
Perhatikanlah:
1. Kita harus melakukan apa yang terpuji, yang untuknya bahkan
orang-orang asing akan memuji kita. Terang kita harus bercahaya
di depan orang, dan kita harus melakukan perbuatan-perbuatan
baik yang bisa dilihat, walaupun kita tidak boleh melakukannya
dengan tujuan supaya bisa dilihat orang. Hendaklah perbuatan-
perbuatan kita menjadi sedemikian rupa sehingga memuji kita,
bahkan di pintu-pintu gerbang (Flp. 4:8).
2. jika kita sudah melakukannya, kita tidak boleh memuji diri
sendiri, sebab itu yaitu bukti dari kesombongan, kebodohan,
dan cinta diri, dan akan sangat mengurangi nama baik kita. Se-
mua orang akan bergegas ingin menjatuhkan orang yang mening-
gikan dirinya sendiri. Mungkin memang ada kesempatan yang
baik bagi kita untuk membenarkan diri kita sendiri, namun tidak-
lah patut bagi kita untuk menyanjung-nyanjung diri kita sendiri.
Proprio laus sordet in ore Memuji diri mencemarkan mulut.
3 Batu yaitu berat dan pasir pun ada beratnya, namun lebih berat dari
kedua-duanya yaitu sakit hati terhadap orang bodoh. 4 Panas hati kejam
dan murka melanda, namun siapa dapat tahan terhadap cemburu?
Kedua ayat ini menunjukkan tak tertanggungnya kejahatan,
1. Dari amarah yang tak terkendalikan. Murka orang bodoh, yang
saat terpancing amarahnya, tidak peduli apa yang dikatakan
dan dilakukannya, yaitu lebih menyakitkan dibandingkan batu besar
atau muatan pasir. Murkanya membebani dirinya sendiri dengan
berat. Orang yang tidak menguasai amarahnya justru benar-
benar menenggelamkan diri sendiri di bawah beban amarahnya.
Murka orang bodoh berat menekan orang-orang yang dimarahi-
nya, dan di dalam kegeramannya, ia bisa melakukan suatu keja-
hatan terhadap mereka. Oleh sebab itu, kita berhikmat jika tidak
memancing-mancing amarah orang bodoh, namun jika ia se-
dang marah, kita pergi menjauhinya.
2. Dari kebencian yang berakar, yang jauh lebih buruk dibandingkan
amarah yang tak terkendalikan, seperti tumbuhan yang membara
lebih buruk dibandingkan duri-duri berapi. Panas hati (memang benar)
yaitu kejam, dan melakukan banyak hal yang biadab, dan mur-
ka melanda. namun permusuhan sembunyi-sembunyi terhadap
pribadi orang lain, iri hati pada kemakmurannya, dan keinginan
untuk membalas dendam sebab suatu luka atau penghinaan
tertentu, yaitu jauh lebih jahat. Orang bisa menghindar dari
amarah yang meluap secara tiba-tiba, seperti Daud menghindar
dari tombak Saul, namun jika amarah itu bertumbuh, seperti
amarah Saul, menjadi cemburu yang berurat akar, tidak ada yang
dapat tahan dengannya. Cemburu akan mengejar-ngejar, menyer-
gap begitu ia sampai. Orang yang sakit hati dengan kebahagiaan
orang lain akan terus berusaha untuk menyakiti orang itu, dan
akan memendam amarahnya untuk selama-lamanya.
5 Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. 6
Seorang kawan memukul dengan maksud baik, namun seorang lawan men-
cium secara berlimpah-limpah.
Perhatikanlah:
1. yaitu hal yang baik bagi kita jika kita ditegur dan diberi tahu
kesalahan-kesalahan kita oleh teman-teman kita. Jika saja kasih
sejati di dalam hati memiliki semangat dan keberanian yang cu-
kup untuk menunjukkan dirinya dalam berhubungan secara ter-
buka dengan teman-teman kita, dan menegur mereka atas kesa-
lahan yang mereka katakan dan lakukan, maka ini benar-benar
lebih baik. Itu bukan hanya lebih baik dibandingkan kebencian yang
tersembunyi (seperti dalam Imamat 19:17), namun juga dibandingkan
kasih yang tersembunyi, kasih terhadap sesama kita itu, yang
tidak menunjukkan dirinya dalam buah yang baik ini, yang me-
muji mereka dalam dosa-dosa mereka, dan merugikan jiwa mere-
ka. Seorang kawan menegur dengan maksud baik, meskipun un-
tuk sementara waktu teguran itu terasa menyakitkan seperti
pukulan. yaitu pertanda bahwa kawan-kawan kita memang ber-
maksud baik jika, dalam kasih mereka terhadap jiwa kita, mereka
tidak membiarkan kita berbuat dosa, atau membiarkan kita sen-
dirian di dalamnya. Yang menjadi perhatian seorang dokter yaitu
menyembuhkan penyakit pasiennya, bukan menyenangkan langit-
langit mulutnya sendiri.
2. yaitu berbahaya jika kita dibujuk dan dirayu oleh seorang lawan,
yang mencium secara berlimpah-limpah. Kita tidak bisa merasakan
kesenangan dalam ciuman itu sebab kita tidak bisa menaruh ke-
percayaan kepadanya (ciuman Yoab dan Yudas itu palsu), dan oleh
sebab itu kita perlu berjaga-jaga, agar kita tidak terpedaya olehnya.
Ciuman itu harus kita cela. Sebagian orang membaca ayat itu se-
perti ini: Tuhan akan melepaskan kita dari ciuman-ciuman seorang
lawan, dari bibir yang berdusta, dan dari lidah yang menipu.
7 Orang yang kenyang menginjak-injak madu, namun bagi orang yang lapar
segala yang pahit dirasakan manis.
Salomo di sini, yang sering kali tampak dalam kitab ini, menunjuk-
kan bahwa dari segi-segi tertentu, orang miskin merasakan keun-
tungan yang bisa dimiliki orang kaya, sebab,
1. Mereka menikmati penghiburan-penghiburan mereka lebih baik
dibandingkan orang kaya. Rasa lapar membuat semua makanan terasa
lezat. Makanan seadanya, disertai nafsu makan yang baik, akan
terasa menyenangkan, yang merupakan hal asing bagi orang yang
hatinya sarat oleh pesta pora. Orang yang terus makan berme-
wah-mewah setiap hari akan merasa muak bahkan terhadap ma-
kanan yang lezat, seperti yang dirasakan umat Israel pada burung
puyuh. Sedangkan orang yang hanya makan secukupnya saja,
yang meskipun oleh orang kenyang akan dirasakan pahit, bagi
mereka terasa manis. Mereka memakannya dengan senang hati,
mencernanya, dan disegarkan olehnya.
2. Mereka lebih bersyukur atas apa yang mereka nikmati: orang
yang lapar akan memuji Allah untuk makanan dan minuman,
sedangkan mereka yang kenyang menganggap hidangan-hidangan
yang paling enak dan lezat sekalipun tidak begitu layak untuk
disyukuri. Perawan Maria tampak merujuk pada ayat ini saat ia
berkata bahwa (Luk. 1:53), orang lapar, yang tahu bagaimana
menghargai berkat-berkat Allah, dilimpahkan dengan segala yang
baik, sedangkan orang kaya, yang merendahkannya, dengan adil
disuruh pergi dengan tangan hampa.
8 Seperti burung yang lari dari sarangnya demikianlah orang yang lari dari
kediamannya.
Perhatikanlah:
1. Ada banyak orang yang tidak tahu bilamana mereka sudah sejah-
tera, namun selalu gelisah dengan keadaan mereka pada saat ini,
dan menginginkan perubahan. Allah, dalam pemeliharaan-Nya,
sudah menetapkan bagi mereka suatu tempat yang sesuai untuk
mereka dan telah membuatnya nyaman bagi mereka. namun mere-
ka tidak suka dengan keadaan yang tetap. Mereka senang ber-
kelana. Mereka senang bepergian ke negeri yang jauh, dan tidak
mau tinggal lama-lama di suatu tempat. Tanpa ada keperluan me-
reka meninggalkan pekerjaan dan usaha mereka, dan mencam-
puri apa yang bukan urusan mereka.
2. Orang-orang yang meninggalkan tempat yang sudah ditetapkan
bagi mereka dengan cara itu yaitu seperti burung yang lari dari
sarangnya. Itu merupakan contoh dari kebodohan mereka. Me-
reka seperti burung yang bodoh. Mereka selalu goyah, seperti
burung yang melompat dari satu dahan ke dahan lain namun tidak
singgah di mana pun. Itu tidak aman. Burung yang terbang ke
mana-mana rentan terhadap bahaya. Tempat manusia yaitu di
rumahnya. Orang yang meninggalkannya menjadikan dirinya mang-
sa yang empuk bagi burung pemangsa. saat burung lari dari
sarangnya, telur-telur dan anak-anaknya di sana menjadi terlan-
tar. Orang-orang yang suka keluar rumah menelantarkan pekerja-
an mereka di rumah. Oleh sebab itu, hendaklah tiap-tiap orang
tinggal dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil, di sana
tinggal di hadapan Allah.
9 Minyak dan wangi-wangian menyukakan hati, namun penderitaan merobek
jiwa. 10 Jangan kautinggalkan temanmu dan teman ayahmu. Jangan datang
di rumah saudaramu pada waktu engkau malang. Lebih baik tetangga yang
dekat dari pada saudara yang jauh.
Inilah:
1. Perintah yang diberikan untuk selalu setia terhadap teman-teman
kita, teman-teman lama kita, untuk menjaga kedekatan kita de-
ngan mereka, dan untuk siap sedia melakukan apa saja yang
sanggup kita lakukan untuk mereka. yaitu baik mempunyai
seorang teman, teman akrab, yang bersamanya kita bisa bebas,
dan dengannya kita bisa berbagi nasihat. Tidaklah penting apakah
teman ini yaitu seorang kerabat, atau bersaudara dengan kita,
meskipun yang paling membahagiakan yaitu jika , di antara
sanak saudara kita, kita menemukan seseorang yang cocok untuk
dijadikan teman. Petrus dan Andreas bersaudara, begitu pula de-
ngan Yakobus dan Yohanes. Walaupun demikian, Salomo sering
kali membedakan antara teman dan saudara. Namun, kita dian-
jurkan untuk memilih teman dari antara tetangga-tetangga yang
tinggal dekat dengan kita, agar kita menjaga keakraban dengan
mereka dan semakin sering berbuat baik satu sama lain. Juga
baik untuk menghormati secara khusus mereka yang selama ini
sudah menjadi teman-teman bagi keluarga kita: Temanmu, ter-
utama jika ia sudah menjadi teman ayahmu, jangan kautinggal-
kan. Jangan lupa untuk melayaninya dan meminta pertolongan-
nya, bila ada kesempatan. Ia seorang teman yang sudah teruji. Ia
mengetahui urusan-urusanmu. Ia memiliki kepedulian khusus
terhadapmu. Oleh sebab itu, mintalah nasihat darinya. yaitu
kewajiban yang harus kita bayar sebagai utang kepada orangtua
kita jika mereka sudah tiada, untuk mengasihi teman-teman
mereka dan meminta nasihat dari mereka. Anak Salomo membuat
dirinya sendiri binasa dengan meninggalkan nasihat dari teman-
teman ayahnya.
2. Ada alasan yang baik mengapa kita harus menghargai persaha-
batan sejati seperti itu dan harus memilihnya.
(1) Oleh sebab kesenangan yang dibawanya. Terasa sangat manis
bila kita bercakap-cakap dan meminta nasihat dari seorang
teman akrab. Rasanya seperti minyak dan wangi-wangian,
yang harumnya amat menyenangkan hidung dan menceriakan
jiwa. Ia menyukakan hati. Beban kekhawatiran dibuat lebih
ringan dengan mencurahkan isi hati kepada teman kita, dan
kita merasa sangat puas melihatnya turut merasakan perma-
salahan-permasalahan kita. Manisnya pertemanan tidak ter-
letak pada kegembiraan hati dan gelak tawa sepenuh hati,
namun pada nasihat sepenuh hati (KJV), pada saran yang benar,
yang diberikan dengan tulus hati dan tanpa sanjungan, pada
nasihat jiwa (begitulah kata yang digunakan), nasihat yang
mengena pada persoalan dan sampai di hati, nasihat yang me-
nyangkut kepentingan-kepentingan jiwa (Mzm. 66:16). Kita ha-
rus memandang percakapan tentang perkara-perkara rohani se-
bagai hal yang paling menyenangkan dan memajukan kesejah-
teraan jiwa.
(2) Oleh sebab manfaat dan keuntungan darinya, terutama pada
waktu kita malang. Di sini kita dianjurkan untuk tidak pergi
ke rumah saudara, untuk tidak mengharapkan bantuan dari
sanak keluarga hanya sebab mereka bersaudara, sebab kewa-
jiban bersaudara biasanya cuma sedikit lebih jauh dari seka-
dar menyebut mereka sebagai saudara, dan tidak tahan uji
pada saat datang pencobaan terhadap kebaikan yang sesung-
guhnya. namun lebih baik datang kepada tetangga kita, yang
dekat dengan kita dan akan siap sedia membantu kita dalam
keadaan darurat. Kita berhikmat jika memperlakukan dan ber-
sedia membantu mereka sebagai tetangga, dan kita akan men-
dapatkan manfaat darinya di dalam kesusahan, dengan men-
dapati bahwa mereka pun mau membantu kita (18:24).
11 Anakku, hendaklah engkau bijak, sukakanlah hatiku, supaya aku dapat
menjawab orang yang mencela aku.
Anak-anak di sini dianjurkan untuk menjadi bijak dan baik,
1. Agar mereka menjadi penghiburan bagi orangtua mereka dan da-
pat menyukakan hati mereka, sekalipun tiba hari-hari yang ma-
lang, dan dengan demikian membalas jasa orangtua yang sudah
membesarkan mereka (23:15).
2. Agar mereka menjadi pujian bagi orangtua mereka: Supaya aku
dapat menjawab orang yang mencela aku sebab sudah terlalu
ketat dan keras dalam membesarkan anak-anakku, dan sudah
mengambil cara yang salah dalam mengekang mereka dari segala
kebebasan yang bisa dinikmati oleh anak-anak muda lain. Anak-
ku, hendaklah engkau bijak, maka akan tampak, pada akhirnya,
bahwa aku sudah mengikuti cara yang paling bijak untuk men-
didik anak-anakku. Orang-orang yang sudah diberkati dengan
pendidikan agama haruslah dalam segala hal menunjukkan peri-
laku yang akan membawa pujian bagi pendidikan mereka dan
membungkam orang-orang yang berkata, muda jadi orang kudus,
tua jadi Iblis, dan membuktikan sebaliknya, muda jadi orang ku-
dus, tua jadi malaikat.
12 Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, namun orang
yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka.
Ini sudah kita dapati sebelumnya (22:3).
Perhatikanlah:
1. Kejahatan bisa diramalkan. jika ada godaan, mudah untuk
meramalkan bahwa jika kita menjerumuskan diri ke dalamnya
maka akan terjadi dosa. Sama mudahnya untuk meramalkan
bahwa jika kita mempertaruhkan diri pada kejahatan dosa,
maka kejahatan hukuman akan mengikuti. Dan, biasanya, Allah
memperingatkan sebelum melukai, dengan mengangkat atas
mereka penjaga-penjaga (Yer. 6:17).
2. Baik buruknya kita tergantung pada apakah kita memanfaatkan
atau tidak firasat kita akan kejahatan yang ada di depan kita:
Kalau orang bijak melihat malapetaka dan meramalkan sebagai-
mana mestinya, maka bersembunyilah ia, namun orang yang tak
berpengalaman entah begitu dungunya sampai-sampai tidak bisa
melihat adanya malapetaka atau begitu keras kepala dan lamban-
nya hingga ia tidak ambil peduli untuk menghindarinya, berjalan
terus dengan aman lalu kena celaka. Kita berbuat baik bagi diri
kita sendiri jika kita membuat persediaan bagi kehidupan selan-
jutnya.
13 Ambillah pakaian orang yang menanggung orang lain, dan tahanlah dia
sebagai sandera ganti orang asing.
Ini juga sudah kita dapati sebelumnya (20:16).
1. Ayat ini menunjukkan siapa yang akan cepat jatuh miskin, yaitu
orang-orang yang mempunyai begitu sedikit pertimbangan sehing-
ga mau menjadi tanggungan bagi siapa saja yang meminta me-
reka, dan orang-orang yang mata keranjang. Orang-orang seperti
ini akan meminjam uang sejauh yang bisa diutangkan kepada
mereka, namun pada akhirnya mereka akan menipu orang yang
memberi mereka piutang, bahkan, mereka sudah menipu orang itu
selama ini. Orang yang jujur bisa saja dibuat menjadi pengemis,
namun orang yang menjadikan dirinya sendiri pengemis bukanlah
orang jujur.
2. Ayat itu menyarankan kita untuk sangat bijaksana dalam meng-
atur urusan-urusan kita sehingga tidak meminjamkan uang ke-
pada orang yang nyata-nyata memboroskan harta mereka, kecuali
mereka memberikan jaminan yang sangat pasti untuk itu. Dengan
memberikan pinjaman secara bodoh, kita berbuat tidak adil ter-
hadap keluarga kita.