Minggu, 29 Desember 2024

amsal 23

 


sannya disalahmengerti, 

  sebab  separuhnya dilupakan dan sisanya disampaikan semba-

rangan. Selain itu, ada begitu banyak kekeliruan yang dibuat si 

bebal itu tentang pesan itu sehingga orang yang menyuruh itu 

seperti mematahkan kakinya sendiri, maksudnya lebih baik ia 

tidak pernah menyuruh si bebal itu. Bahkan, orang yang menyu-

ruh itu akan meminum kecelakaan. Orang akan berpikir yang 

bukan-bukan mengenai dia   sebab  mempekerjakan orang seperti 

itu, yang bukannya mengurus urusannya dengan baik, malah me-

rugikan dan mengakali orang yang menyuruhnya. Sebab, dalam 

bahasa Salomo, penipu dan orang bebal mempunyai makna yang 

sama. Jasa orang bebal itu akan berbalik menjadi aib bagi orang 

yang memakai dia, sebab orang akan cenderung menilai tuan 

melalui hambanya.  

2. Mereka tidak pantas mendapatkan kehormatan apa pun. Salomo 

berkata sebelumnya (ay. 1), kehormatan tidak layak bagi orang 

bebal, dan di sini ia menunjukkan bahwa kehormatan yang 

diberikan kepada orang bebal itu lenyap dan terbuang sia-sia bila 

dilemparkan kepadanya, seolah-olah orang melemparkan batu 

permata yang berharga atau batu timbangan ke dalam tumpukan 

batu-batu biasa, yang akan terkubur sia-sia dan tidak berguna. 

Bahkan, memberi kehormatan kepada orang bebal itu sungguh 

tidak masuk akal,   sebab  tampak seolah-olah seperti orang me-

ngenakan kain ungu pada sebuah batu (begitu menurut sebagian 

yang lain). Bahkan lagi, itu berbahaya, seperti menaruh batu di 

umban, yang bisa dipakai untuk menyakiti orang lain. Memberi 

hormat kepada orang bebal sama saja dengan menaruh pedang di 

tangan orang gila, dan kita tidak tahu kejahatan apa yang bisa 

dilakukannya dengan pedang itu, bahkan terhadap orang yang 

menaruh pedang itu di tangannya.  

3. Orang bebal tidak pantas untuk menyampaikan kata-kata bijak, 

tidak pula untuk menangani masalah-masalah yang penting, se-

kalipun mereka boleh dididik mengenai hal itu dan mampu 

mengatakan sesuatu tentangnya. Kata-kata bijak, seperti yang 

disampaikan dan diterapkan oleh orang bebal (dengan cara yang 

sedemikian rupa sehingga orang bisa tahu bahwa ia tidak mema-

haminya dengan betul), kehilangan keunggulan dan kegunaan-

nya: amsal di mulut orang bebal berhenti sebagai amsal, dan men-

jadi sebuah lelucon. Jika orang yang menjalani hidup fasik 

namun berbicara dengan saleh dan mengucapkan kovenan Allah 

dengan mulutnya, maka,  

(1) Ia hanya mempermalukan dirinya dan apa yang diakuinya: 

seperti kaki yang terkulai dari pada orang yang lumpuh, yang 

  sebab nya tidak bisa berjalan sebagaimana seharusnya, begitu 

pula tidak layak bagi orang bebal untuk berpura-pura meng-

ucapkan pepatah, dan memberikan nasihat. Sama pula halnya 

bagi orang untuk berbicara alim sementara perilaku hidupnya 

terus-menerus bertentangan dengan apa yang dikatakannya 

dan mengungkapkan kebohongannya. Kata-katanya yang baik 

meninggikan dia, namun kehidupannya yang buruk lalu me-

nurunkannya, dan dengan demikian kakinya terkulai (KJV: ke-

dua kakinya tidak bisa berdiri sama tegak – pen.). “Perkataan 

yang bijak,” (ujar uskup Patrick) “akan menjadi hal yang bu-

ruk bila diucapkan orang bebal, sama seperti tarian bila dila-

kukan oleh orang pincang. Sebab, seperti halnya kepincangan 

orang pincang terlihat begitu jelas saat  ia berusaha untuk 

tampil gesit, demikian pula kebodohan orang bebal terlihat 

begitu menggelikan saat  ia berusaha untuk tampil bijak.” 

Oleh sebab itu, sama seperti orang pincang sebaiknya tetap 

duduk di tempatnya, demikian pula orang bodoh atau orang 

jahat untuk menahan lidahnya.  

(2) Dengan berbuat demikian ia hanya melakukan kejahatan ter-

hadap dirinya sendiri dan orang lain, seperti seorang pemabuk 

dengan duri atau benda tajam apa saja yang dipegangnya, 

yang dengannya ia mengoyak-oyak dirinya sendiri dan orang-

orang di sekitarnya, sebab ia tidak tahu bagaimana mena-

nganinya. jika  orang berbicara dengan baik namun tidak 

hidup dengan baik, maka kata-kata baik mereka akan mem-

perberat hukuman mereka sendiri, dan orang lain akan dibuat 

mengeras   sebab  melihat perkataan dan hidup mereka yang 

tidak selaras itu. Sebagian orang memberikan pengertian se-

perti ini untuk ayat itu: perkataan yang paling tajam, yang 

melaluinya, sangka orang, si pendosa akan tertusuk hatinya, 

tidak meninggalkan kesan apa pun pada diri orang bodoh, se-

kalipun itu keluar dari mulutnya sendiri. Hal itu sama seperti 

goresan duri pada tangan orang yang sedang mabuk, yang 

tidak merasakannya atau mengeluhkannya (23:35).  


10 Siapa mempekerjakan orang bebal dan orang-orang yang lewat yaitu  

seperti pemanah yang melukai tiap orang. 

Terjemahan KJV mengartikan ayat ini secara berbeda dalam teks dan 

keterangannya (KJV: Allah yang besar yang membentuk segala sesua-

tu mengganjar baik orang bebal maupun para pembuat kejahatan – 

pen.). Dengan demikian, ayat itu mengungkapkan,  

1. Keadilan dari Allah yang baik. Tuan, atau Penguasa (itulah yang 

diartikan dari kata Rab di sini), atau, sebagaimana kita membaca-

nya, Allah yang besar yang membentuk segala sesuatu pada awal 

mulanya, dan masih mengaturnya dengan hikmat tak terbatas, 

membalas setiap orang sesuai dengan perbuatannya. Ia menggan-

jar orang bebal, yang berdosa   sebab  ketidakacuhannya, dan yang 

tidak tahu akan kehendak Tuannya, dengan sedikit pukulan. Ia 

mengganjar para pembuat kejahatan, yang berdosa secara cong-

kak dan dengan tangan teracung, dan yang tahu akan kehendak 

Tuannya, namun  tidak mau melakukannya, dengan banyak pukul-

an. Sebagian orang memahaminya sebagai kebaikan dari pemeli-

haraan umum Allah terhadap orang-orang bebal dan para pembuat 

kejahatan sekalipun, yang untuk mereka Ia membuat matahari-Nya 

bersinar dan hujan-Nya turun. Atau,  

2. Pelanggaran dari seorang penguasa yang buruk (begitulah arti 

tambahannya): seorang pembesar mendukakan semua orang, 

sebab ia mempekerjakan orang bebal. Ia juga mempekerjakan para 

pembuat kejahatan. jika  orang fasik memegang kekuasaan di 

tangannya, oleh dirinya sendiri dan oleh orang-orang bodoh serta 

para penipu yang ia pekerjakan di bawahnya, yang dibayar dan 

dipilihnya untuk menggunakan kekuasaan itu, ia mendukakan 

semua orang di bawahnya dan menyusahkan mereka. Oleh kare-

na itu, kita harus berdoa untuk raja-raja dan untuk semua pem-

besar, agar di bawah pemerintahan mereka, kita dapat hidup te-

nang dan tenteram. 

11 Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang meng-

ulangi kebodohannya. 


Lihatlah di sini: 

1. Betapa kejinya dosa itu, dan betapa kadang-kadang ia menimbul-

kan rasa benci luar biasa saat diperlihatkan, bahkan bagi orang 

berdosa itu sendiri. jika  hati nuraninya diinsafkan, atau ia me-

rasakan penyesalan atas dosanya, maka ia merasa muak dengan-

nya, dan memuntahkannya. Pada saat itu ia tampak membencinya 

dan bersedia untuk lepas darinya. Dosa di dalam dirinya sendiri, 

dan cepat atau lambat bagi orang berdosa itu sendiri, terasa lebih 

menjijikkan dibandingkan  muntahan anjing (Mzm. 36:3).  

2. Kendati demikian betapa orang-orang berdosa cenderung kembali 

kepada dosa mereka. Seperti anjing, sesudah  merasa lega   sebab  

sudah memuntahkan apa yang sudah membebani perutnya, ia 

kembali dan menjilatnya lagi. Demikian pula orang-orang berdosa, 

yang hanya diyakinkan namun tidak dipertobatkan, akan kembali 

berbuat dosa lagi, dengan melupakan betapa dosa sudah mem-

buat mereka muak. Rasul Petrus (2Ptr. 2:22) menerapkan amsal 

ini kepada orang-orang yang sudah mengenal Jalan Kebenaran 

namun  kemudian berbalik darinya. namun  Allah akan memun-

tahkan mereka dari mulut-Nya (Why. 3:16). 

12 Jika engkau melihat orang yang menganggap dirinya bijak, harapan bagi 

orang bebal lebih banyak dari pada bagi orang itu. 

Inilah: 

1. Suatu penyakit rohani diketengahkan di sini, dan itu yaitu  ke-

sombongan diri: jika engkau melihat orang, ya kita melihat banyak 

orang, yang menganggap dirinya bijak, yang sedikit berpengertian, 

namun  bangga dengannya, yang menilai dirinya jauh lebih tinggi 

dibandingkan  yang sebenarnya, melebihi yang dimiliki oleh sesamanya, 

dan menganggap cukup apa yang dimilikinya, sehingga ia tidak 

memerlukan apa-apa lagi. Ia begitu menyombongkan kemampu-

an-kemampuannya sendiri sehingga membuat dirinya berpendiri-

an keras, fanatik, dan suka mencerca kesalahan orang lain. Yang 

dimanfaatkannya dari pengetahuannya hanyalah menyombong-

kan diri dengan pengetahuan itu. Atau, jika yang kita maksudkan 

di sini dengan orang bijak yaitu  orang beragama, maka yang di-

gambarkan di sini yaitu  tabiat orang-orang yang suka mema-

mer-mamerkan suatu perbuatan agama dan menyangka bahwa 

keadaan rohani mereka baik, namun  padahal sebenarnya amat 

buruk, seperti jemaat di Laodikia (Why. 3:17).  

2. Bahaya dari penyakit ini. Bahayanya bisa dikatakan amat gawat: 

harapan bagi orang bebal lebih banyak, yang mengetahui dan 

mengakui dirinya sebagai orang bebal. Harapan bagi orang bebal 

ini lebih dari pada bagi orang yang mengidap penyakit seperti itu. 

Salomo sendiri bukan hanya orang bijak, melainkan juga pengajar 

hikmat. Dan pengamatan ini dilakukannya terhadap murid-mu-

ridnya, bahwa ia mendapati pekerjaannya paling sulit dan paling 

sedikit berhasil bila dilakukan oleh orang-orang yang menganggap 

dirinya baik dan tidak merasa perlu dididik. Oleh   sebab  itu, 

orang yang menyangka dirinya berhikmat harus menjadi bodoh, 

supaya ia berhikmat (1Kor. 3:18). Harapan bagi pemungut cukai 

lebih banyak dibandingkan  bagi orang Farisi yang congkak (Mat. 

21:32). Banyak orang terhalang untuk menjadi sungguh-sungguh 

bijak dan saleh   sebab  kecongkakan yang palsu dan tidak ber-

dasar. Mereka selalu merasa sudah menjadi bijak dan saleh (Yoh. 

9:40-41). 

Aib Kemalasan, 26:13-16 

13 Berkatalah si pemalas: “Ada singa di jalan! Ada singa di lorong!“ 

jika  orang berbicara bodoh, kita menyebutnya berbicara asal-

asalan saja. Dan itu tepat, sebab tidak ada orang yang mengungkap-

kan kebodohan mereka sendiri selain melalui kelakuan mereka yang 

asal-asalan saja dan suka mencari-cari alasan untuk sifat atau ke-

malasan mereka itu. Sama seperti kebodohan orang membuat me-

reka malas, demikian pula kemalasan orang membuat mereka bodoh.  

Amatilah: 

1. Apa yang benar-benar ditakuti si pemalas. Ia takut pada jalan, 

pada lorong atau tempat di mana pekerjaan harus dilakukan dan 

perjalanan harus ditempuh. Ia membenci pekerjaan, membenci 

segala sesuatu yang menuntut usaha dan kerja keras.  

2. Apa yang dimimpikannya, dan berpura-pura ditakutinya: singa di 

jalan. saat  ia didesak untuk menjadi rajin, entah dalam urusan-

urusan duniawinya atau dalam perkara agama, inilah yang men-

jadi alasannya (dan sungguh menyedihkan alasan itu, sama bu-

ruknya seperti tidak ada alasan sama sekali), ada singa di jalan, 

ada suatu kesulitan atau bahaya yang tak dapat diatasi, yang 

tidak bisa berpura-pura dapat dihadapinya. Padahal, singa sering 

pergi ke hutan-hutan dan padang gurun, dan pada waktu siang, 

saat orang melakukan pekerjaan, mereka berada di tempat per-

teduhan mereka (Mzm. 104:22-23). namun  si orang lamban ber-

khayal, atau lebih tepatnya berpura-pura mengkhayalkan, singa 

di lorong, padahal singa itu hanya ada dalam khayalannya, dan 

juga tidak seganas yang digambarkannya. Perhatikanlah, bodoh 

sekali bila kita menakut-nakuti diri sendiri untuk tidak melaku-

kan kewajiban-kewajiban kita yang nyata-nyata ada dengan kesu-

litan-kesulitan hasil khayalan kita yang sebenarnya tidak ada 

(Pkh. 11:4).  


14 Seperti pintu berputar pada engselnya, demikianlah si pemalas di tempat 

tidurnya. 

sesudah  melihat orang malas takut akan pekerjaannya, di sini kita 

mendapati dia cinta akan kenyamanannya. Ia berbaring di satu sisi 

tempat tidurnya sampai ia merasa bosan dengannya, dan kemudian 

berbalik ke sisi lainnya, namun  masih di tempat tidurnya, saat  hari 

sudah sangat siang dan ada pekerjaan yang harus dilakukan. Ia se-

perti pintu digerakkan, namun tidak berpindah. Demikianlah, urus-

annya terabaikan dan kesempatan-kesempatannya dibiarkan berlalu 

begitu saja. Lihatlah tabiat si pemalas. 

1. Ia tidak peduli untuk beranjak keluar dari tempat tidurnya, malah 

tetap tertahan di situ, seperti pintu pada engselnya. Kenyamanan 

tubuh, jika terlalu dituruti, menjadi penyebab menyedihkan dari 

banyaknya penyakit rohani. Orang yang suka tidur pada akhirnya 

terbukti menjadi orang yang mencintai maut.  

2.  Ia tidak peduli untuk maju di dalam urusannya. Ia bergerak sedi-

kit-sedikit dalam urusannya itu, namun  tanpa tujuan apa-apa. Ia 

masih berada di tempatnya sebelumnya. Pekerja-pekerja yang 

malas berputar-putar dalam pekerjaan mereka, seperti pintu pada 

engselnya. Dunia dan daging yaitu  dua engsel yang menjadi 

tempat mereka bergantung. Meskipun mereka bergerak dalam 

pelayanan-pelayanan lahiriah, turun ke jalan-jalan kewajiban dan 

berkeliling di jalan-jalan itu seperti kuda di pacuan, namun me-

reka tidak mendapat kebaikan apa-apa, mereka tidak mendapat 

tempat berpijak, mereka tidak pernah bergerak lebih dekat ke 

sorga. Seperti itulah, orang-orang berdosa tetap tidak berubah 

dan orang-orang kudus tidak menjadi lebih baik. 


15 Si pemalas mencelupkan tangannya ke dalam pinggan, namun  ia terlalu 

lelah untuk mengembalikannya ke mulutnya. 

Sekarang si pemalas, dengan susah payah, sudah keluar dari tempat 

tidurnya. Namun, itu tidak ada bedanya seperti saat ia tetap ber-

baring di sana, sebab apa saja yang bisa dikerjakannya, dilakukan-

nya dengan segala keengganan. 

Amatilah: 

1. Kepura-puraan yang ditunjukkannya untuk kemalasannya: ia me-

lipat tangan di dadanya (KJV)   sebab  takut kedinginan. jika  ia

tidak melakukannya di tempat tidurnya yang hangat, maka masih 

ada dadanya yang hangat. Atau ia berpura-pura lumpuh, seperti 

yang dilakukan sebagian orang yang bekerja sebagai pengemis. 

Ada sesuatu yang membuat sakit tangannya. Ia ingin orang me-

ngira tangannya melepuh   sebab  kerja keras kemarin. Atau, ayat 

di atas menunjukkan, secara umum, kebenciannya terhadap 

urusannya. Ia sudah mencoba, namun  kedua tangannya tidak ter-

biasa untuk bekerja, dan oleh sebab itu ia mendekap dirinya da-

lam kenyamanannya sendiri dan tidak peduli pada siapa pun. Per-

hatikanlah, sudah biasa bagi orang-orang yang tidak mau men-

jalankan kewajiban mereka untuk berpura-pura tidak dapat mela-

kukannya. Mencangkul aku tidak dapat (Luk. 16:3).  

2. Kerugian yang kerap menimpanya   sebab  kemalasannya. Ia sen-

diri menjadi rugi   sebab nya, sebab ia membuat dirinya kelaparan: 

ia terlalu lelah untuk mengembalikan tangannya ke mulutnya, 

maksudnya, ia tidak punya hati untuk memberi makan dirinya 

sendiri, malah takut untuk mengangkat tangan ke kepalanya, 

seolah-olah itu merupakan pekerjaan raksasa. Kalimat kiasan di 

atas, walaupun berlebihan, sungguh mengungkapkan keadaannya 

dengan indah dan memperberat dosanya, bahwa ia tidak mampu 

menahan rasa sakit yang sekecil apa pun sekalipun itu demi keun-

tungan yang sangat besar. Dan semua ini menunjukkan bagai-

mana dosanya itu menjadi hukuman bagi dirinya. Orang-orang 

yang malas dalam urusan agama tidak akan mau bersusah payah 

memberi makan jiwa mereka sendiri dengan firman Allah, roti 

kehidupan itu, atau menimba berkat-berkat yang telah dijanjikan 

melalui doa, padahal mereka bisa mendapatkannya. 

16 Si pemalas menganggap dirinya lebih bijak dari pada tujuh orang yang 

menjawab dengan bijaksana. 

Amatilah: 

1. Bagaimana si pemalas memandang tinggi dirinya sendiri, kendati 

kemalasannya itu sungguh tidak masuk akal dan bodoh: ia 

menganggap dirinya lebih bijak dari pada tujuh orang, dibandingkan  

tujuh orang bijak, yang dapat menjawab dengan bijaksana. Ber-

hikmatlah orang yang bisa menjawab dengan bijaksana, yang bisa 

memberi pertanggungan jawab tentang pengharapan yang ada 

padanya (1Ptr. 3:15). Apa yang kita lakukan harus bisa kita per-

tanggungjawabkan dengan bijaksana, meskipun mungkin kita 

tidak memiliki cukup kecerdasan untuk menunjukkan kekeliruan 

dari setiap keberatan yang diajukan untuk melawannya. Siapa 

berjerih payah dalam perkara agama dapat memberikan pertang-

gungjawaban yang bijaksana untuknya. Ia tahu bahwa ia bekerja 

untuk Tuan yang baik, dan bahwa pekerjaannya tidak akan sia-

sia. namun  si pemalas menganggap dirinya lebih bijak dibandingkan  

tujuh orang seperti itu. Ia beranggapan demikian sebab kalaupun 

ada tujuh orang seperti itu yang membujuknya untuk rajin, de-

ngan segala alasan yang dapat mereka pertanggungjawabkan, itu 

tidak akan berhasil. Ketetapannya sendiri, pikirnya, sudah mem-

berikan jawaban yang cukup untuk mereka dan untuk segala 

alasan mereka.  

2. Bagaimana kecongkakan ini menunjuk pada kemalasannya sen-

diri. Si pemalaslah, melebihi semua orang, yang berlaku congkak 

seperti itu. Sebab,  

(1) Penilaian baiknya tentang dirinya sendiri yaitu  penyebab dari 

kemalasannya. Ia tidak mau bersusah payah mendapatkan 

hikmat   sebab  ia menyangka dirinya sudah cukup berhikmat. 

Kesombongan dan kepuasan terhadap apa yang sudah kita 

raih yaitu  musuh besar bagi peningkatan hidup kita. 

(2) Kemalasannya yaitu  penyebab dari penilaiannya yang tinggi 

tentang dirinya sendiri. Jika saja ia mau berusaha memeriksa 

dirinya sendiri, dan membandingkan dirinya dengan ajaran-

ajaran hikmat, maka ia akan berpikiran lain tentang dirinya. 

Kemalasan yang dimanjakan merupakan dasar dari kecong-

kakan diri yang merajalela.  

(3) Bahkan, betapa menyedihkannya kedunguannya bahwa ia 

menganggap kemalasannya sebagai hikmatnya. Ia menyangka 

dirinya berhikmat bila mengagung-agungkan dirinya sendiri, 

dan menikmati segala kenyamanan yang bisa didapatnya. Ia 

tidak mau berjerih payah dalam perkara agama untuk menghin-

dari penderitaan, namun  hanya duduk diam dan melihat-lihat 

apa yang dilakukan orang lain untuk mencari-cari kesalahan 

mereka dan mendapat kesenangan dengan berbuat demikian. 

Untuk pemalas-pemalas seperti itu, yang bangga atas apa yang 

sebenarnya merupakan aib mereka, hanya ada sedikit harapan 

(ay. 12). 

Kebencian dan Pertengkaran, 26:17-28 

(26:17) 

17 Orang yang ikut campur dalam pertengkaran orang lain yaitu  seperti 

orang yang menangkap telinga anjing yang berlalu. 

1. Apa yang dikecam di sini yaitu  ikut campur dalam pertengkaran 

orang lain. Janganlah kita terburu-buru memperkarakan urusan 

kita sendiri (25:8), apalagi sampai berurusan dalam perkara orang 

lain, terutama perkara orang yang sama sekali tidak berhubungan 

atau bersangkut paut dengan kita, yang hanya kita lihat secara 

tidak sengaja. Bila kita bisa berperan dalam mendamaikan orang-

orang yang berselisih, maka kita harus melakukannya, meskipun 

dengan demikian kita akan dimusuhi oleh kedua belah pihak, 

setidak-tidaknya pada saat mereka bersitegang. namun , menyibuk-

kan diri dengan urusan-urusan orang lain, dan bersuka ria dalam 

pertengkaran-pertengkaran orang lain, bukan hanya mengundang 

masalah ke atas diri kita sendiri, namun  juga menjerumuskan diri 

kita ke dalam pencobaan. Siapa yang mengangkatku sebagai ha-

kim? Biarlah mereka mengakhirinya, sebagaimana mereka memu-

lainya, di antara mereka sendiri. 

2. Kita diperingatkan untuk tidak melakukannya oleh   sebab  ba-

haya yang akan mengancam kita. Sama halnya seperti menang-

kap telinga anjing kampung yang sedang menyalak, yang akan 

mencakar dan menggigitmu. Akan lebih baik jika engkau membi-

arkannya, sebab bila engkau menangkap telinganya, maka eng-

kau tidak akan dapat melepaskan diri darinya, dan akan menye-

sal sendiri bila menderita luka dan rasa malu. Begitu orang 

menangkap telinga anjing dan melepasnya, anjing itu akan menye-

rangnya, dan jika ia terus memegangnya, kedua tangannya akan 

sibuk, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Biarlah setiap orang te-

nang melakukan pekerjaannya dan mengurusi urusannya sendiri, 

dan tidak sibuk berselisih dan mencampuri urusan orang lain. 

18 Seperti orang gila menembakkan panah api, panah dan maut, 19 demi-

kianlah orang yang memperdaya sesamanya dan berkata: “Aku hanya ber-

senda gurau.” 

Lihatlah di sini: 

1. Betapa jahatnya orang yang tidak segan-segan memperdaya se-

samanya. Mereka seperti orang gila yang menembakkan panah 

api, panah dan maut, begitu besarnya penderitaan yang bisa me-

reka timbulkan dengan segala tipu daya mereka itu. Dengan per-

buatan itu mereka menganggap diri sendiri sebagai orang-orang 

yang santun lagi cerdik, namun  sebenarnya mereka seperti orang 

gila. Tidak ada kegilaan yang lebih besar di dunia ini dibandingkan  

dosa yang dilakukan dengan sengaja. Bukan hanya orang yang 

suka marah dan berang, namun  juga orang yang penuh kebencian 

dan tipu daya, yang merupakan orang gila. Pada akhirnya yang 

dilakukannya sama saja dengan menembakkan panah api, panah 

dan maut. Ia melakukan lebih banyak kejahatan dibandingkan  yang 

dapat dibayangkannya. Penipuan dan kebohongan membakar se-

perti panah api, membunuh, bahkan dari kejauhan, seperti panah.  

2.  Lihatlah betapa sepelenya alasan yang biasa diberikan orang un-

tuk kejahatan yang mereka perbuat, bahwa mereka hanya ber-

canda. Dengan alasan ini mereka menyangka akan dimaafkan 

jika  ditegur, aku hanya bersenda gurau. namun  akan terbukti 

berbahaya bila kita bermain-main dengan api dan bercanda dengan 

alat-alat tajam. Orang yang suka cari gara-gara dan tidak bisa 

diajak bercanda tidak boleh dipuji (siapa yang bijak harus sabar 

terhadap orang bodoh, 2Kor. 11:19-20), sebaliknya, harus dikecam 

mereka yang melecehkan sesamanya, yang menyalahgunakan 

kepercayaan orang lain, berbuat curang dalam melakukan jual 

beli dengan orang lain, yang berkata dusta kepada mereka atau 

berkata bohong tentang mereka, berbicara kepada mereka dengan 

kata-kata kasar, atau menodai nama baik mereka, dan kemudian 

menyangka akan dimaafkan dengan berkata bahwa mereka hanya 

bercanda. Aku hanya bersenda gurau. Siapa yang berdosa dengan 

bercanda harus bertobat dengan sungguh-sungguh, atau dosanya 

akan menjadi kehancurannya sendiri. Kebenaran terlalu berharga 

untuk dijual sebagai bahan lelucon, demikian pula dengan nama 

baik sesama kita. Jika dengan bercanda orang berbohong dan 

memfitnah, ia sendiri belajar dan mengajari orang lain untuk 

benar-benar berbohong dan memfitnah. Perkataan bohong yang 

diutarakan dalam canda tawa dapat menyebar dalam kebencian. 

Di samping itu, jika orang berkata bohong untuk membuat diri-

nya bergembira, ia juga bisa melakukannya untuk membuat diri-

nya kaya, dan dengan demikian kebenaran menjadi binasa, dan 

orang membiasakan lidahnya untuk berkata dusta (Yer. 9:5). Jika 

orang mau mempertimbangkan bahwa dusta berasal dari Iblis, 

dan mengantarkan mereka pada api neraka, maka pasti itu akan 

merusakkan senda guraunya. Halnya seperti menembakkan pa-

nah dan maut kepada diri mereka sendiri. 

20 Bila kayu habis, padamlah api; bila pemfitnah tak ada, redalah pertengkar-

an. 21 Seperti arang untuk bara menyala dan kayu untuk api, demikianlah 

orang yang suka bertengkar untuk panasnya perbantahan. 22 Seperti sedap-

sedapan perkataan pemfitnah masuk ke lubuk hati. 

Pertengkaran itu seperti api. Ia membuat panas jiwa, membakar 

habis segala sesuatu yang baik, dan menghanguskan semua keluarga 

dan warga . Sekarang di sini kita diberi tahu bagaimana api itu 

biasanya dinyalakan dan dijaga tetap membakar, agar kita bisa 

menghindar dari kesempatan-kesempatan yang menjurus pada per-

selisihan, dan dengan demikian mencegah akibat-akibat jahat yang 

ditimbulkannya. Jadi, jika kita ingin menjaga ketenteraman, 

1. Kita tidak boleh memberi telinga kepada para pemfitnah, sebab me-

reka memberikan bahan bakar untuk menyalakan api pertengkar-

an. Bahkan, mereka menyebarkannya dengan bahan yang mudah 

terbakar. Cerita-cerita yang mereka bawa yaitu  bola-bola api. 

Mereka yang menjelek-jelekan orang lain, membocorkan rahasia-

rahasia, dan menyalahartikan berbagai perkataan dan perbuatan, 

melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk membuat 

saudara-saudara, teman-teman, dan tetangga-tetangga cemburu 

satu sama lain, untuk menjauhkan satu dari yang lainnya, dan 

menabur perpecahan di antara mereka, harus diusir dari semua 

keluarga dan warga . Dengan begitu, pertengkaran pasti 

akan berhenti   sebab  api akan padam jika  tidak ada bahan 

bakar. Juga, pihak-pihak yang berselisih akan memahami satu 

sama lain dengan lebih baik dan menjadi lebih tenang. Cerita-

cerita lama akan segera terlupakan jika  tidak ada cerita-cerita 

baru yang diberitahukan untuk terus mengingatkannya, dan ke-

dua belah pihak akan melihat bagaimana mereka sudah diper-

daya oleh seorang musuh bersama. Para penggunjing dan pemfit-

nah yaitu  penyulut-penyulut api yang tidak boleh dibiarkan. 

Untuk menggambarkan ini, ia mengulangi (ay. 22) apa yang sudah 

dikatakannya sebelumnya (18:8), bahwa perkataan pemfitnah ada-

lah seperti luka-luka (KJV; TB: perkataan pemfitnah seperti sedap-

sedapan – pen.), luka-luka yang dalam dan berbahaya, luka-luka 

pada bagian-bagian tubuh yang penting. Mereka melukai nama 

baik orang yang dibicarakan dengan dusta, dan mungkin luka itu 

ternyata tidak dapat disembuhkan, dan bahkan plester untuk 

menarik kembali dusta itu (yang jarang bisa didapat) ternyata 

tidak cukup lebar untuk menutupnya. Mereka melukai cinta dan 

kasih yang justru harus dimiliki orang yang mereka ajak bicara 

itu terhadap sesamanya. Mereka menancapkan tikaman yang me-

matikan pada persahabatan dan persekutuan orang-orang Kris-

ten. Oleh sebab itu, kita sendiri bukan saja tidak boleh sekali-kali 

menjadi pemfitnah, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan jahat 

apa saja, namun  juga tidak boleh memberikan sokongan sedikit 

pun kepada para pemfitnah. 

2. Kita tidak boleh bergaul dengan orang yang suka marah-marah dan 

kesal-kesal, yang suka melawan, dan cenderung memburuk-buruk-

kan segala sesuatu, menyulut pertengkaran dari hal-hal kecil, cepat 

panas dan mengamuk saat  disalahi. Mereka yaitu  orang yang 

suka bertengkar, menambah panasnya perbantahan (ay. 21). Se-

makin sedikit kita berurusan dengan orang-orang seperti itu, 

semakin baik adanya, sebab akan sangat sulit untuk menghindar 

dari pertengkaran dengan orang-orang yang suka bertengkar. 


23 Seperti pecahan periuk bersalutkan perak, demikianlah bibir manis dengan 

hati jahat. 

Yang dimaksudkan di sini bisa jadi tentang,  

1. Hati jahat yang menunjukkan dirinya dalam bibir manis (KJV: 

bibir yang membakar – pen.), yang di baliknya mengandung 

kata-kata yang penuh dengan kegeraman, kemarahan, dan 

penghinaan, yang membakar dalam kebencian, dan meng-

aniaya orang-orang yang dengannya mereka sedang berbicara, 

atau tentang orang yang sedang mereka bicarakan. Kata-kata 

jahat dan niat jahat cocok dibandingkan sebagai pecahan 

periuk dan sanga perak, yang   sebab  periuk itu sudah pecah 

dan sanganya sudah dipisahkan dari perak, pantas untuk 

dibuang bersama-sama ke dalam keranjang sampah. 

2. Atau, tentang hati jahat yang menyamarkan dirinya dengan bibir 

manis, yang membakar dengan pengakuan-pengakuan akan 

kasih dan persahabatan, dan bahkan menganiaya orang dengan 

sanjungan-sanjungan. Ini seperti pecahan periuk bersalutkan 

ampas atau sanga perak, yang dengannya orang lemah bisa 

ditipu, seolah-olah barang itu berharga, namun  orang bijak akan 

segera menyadari kecurangannya. Pengertian ini sesuai dengan 

ayat-ayat berikut ini. 

24 Si pembenci berpura-pura dengan bibirnya, namun  dalam hati dikandung-

nya tipu daya. 25 Kalau ia ramah, janganlah percaya padanya,   sebab  tujuh 

kekejian ada dalam hatinya. 26 Walaupun kebenciannya diselubungi tipu 

daya, kejahatannya akan nyata dalam jemaah. 

Ada alasan untuk mengeluhkan bukan hanya tiadanya ketulusan 

saat  orang mengaku-aku sebagai sahabat, dan bahwa mereka tidak 

mengasihi sebaik seperti yang pura-pura mereka katakan, dan juga 

tidak bersedia membantu teman-teman mereka seperti yang mereka 

janjikan, namun  juga, yang jauh lebih buruk, untuk mengeluhkan ran-

cangan-rancangan jahat pada orang yang mengaku-ngaku bersaha-

bat, dan memanfaatkannya untuk melayani maksud-maksud yang 

paling keji. Hal ini di sini dikatakan sebagai suatu hal yang lazim (ay. 

24): si pembenci yang membenci sesamanya dan berusaha berbuat 

jahat terhadapnya, berpura-pura dengan bibirnya. Ia mengaku meng-

hormati dia dan bersedia melayaninya, berbicara ramah terhadapnya, 

seperti Kain dengan Habel, dan seperti Yoab yang bertanya kepada 

Amasa, “Engkau baik-baik, saudaraku?” agar kebenciannya tidak di-

curigai dan diwaspadai, dan supaya ia mempunyai kesempatan yang 

lebih baik untuk menjalankan tujuan-tujuannya. Dalam hati orang 

ini terkandung tipu daya, yakni ia menjaga dalam pikirannya kejahat-

an yang bermaksud dilakukannya terhadap sesamanya sampai ia 

bisa menjeratnya dengan berhasil. Dalam kebencian ini terkandung 

kelicikan yang tidak kurang dari bisa si ular tua. Sekarang, berkena-

an dengan masalah ini, di sini kita diperingatkan,  

1. Untuk tidak berlaku begitu bodoh sehingga membiarkan diri kita 

sendiri diperdaya oleh orang yang mengaku-aku bersahabat. Ingatlah 

untuk tidak percaya jika  orang berbicara ramah. Jangan begitu 

saja percaya kepadanya kecuali engkau mengenalnya dengan 

baik, sebab mungkin saja ada tujuh kekejian dalam hatinya, ren-

cana-rencana jahat yang banyak dan besar untuk melawanmu, 

yang dengan begitu gigih berusaha disembunyikannya dengan 

kata-katanya yang manis. Iblis yaitu  musuh yang membenci 

kita, namun dalam godaan-godaannya ia berbicara manis, seperti 

yang diperbuatnya terhadap Hawa, namun  sungguh gila jika kita 

memujinya,   sebab  tujuh kekejian ada dalam hatinya. Satu roh 

najis membawa tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya.  

2. Untuk tidak berlaku fasik sampai memperdaya orang lain dengan 

mengaku-ngaku sebagai sahabat. Sebab, walaupun penipuan itu 

bisa dijalankan dengan berhasil untuk sementara waktu, namun 

pada akhirnya akan ketahuan juga (ay. 26). Orang yang kebenci-

annya diselubungi tipu daya akan ketahuan pada suatu saat, dan 

kejahatannya akan nyata dalam jemaah sehingga mendatangkan 

aib dan kegelisahan baginya. Tidak ada hal lain lagi yang akan 

membuat orang seperti ini lebih dibenci semua kumpulan orang 

selain kejadian seperti itu. Kasih (kata orang) yaitu  baju zirah 

terbaik, namun  juga bisa menjadi jubah terburuk, dan bisa diman-

faatkan oleh para pendusta untuk menyamarkan diri mereka. 

Ahab mengenakannya, lalu binasa di dalamnya. 

27 Siapa menggali lobang akan jatuh ke dalamnya, dan siapa menggelinding-

kan batu, batu itu akan kembali menimpa dia. 

Lihatlah di sini:  

1. Susah payah apa yang mau dilakukan orang untuk berbuat jahat 

kepada orang lain. Sama seperti mereka berusaha sekuat tenaga 

untuk menyembunyikan rancangan mereka dengan mengaku-

ngaku sebagai sahabat, demikian pula mereka bekerja keras un-

tuk mewujudkan rancangan mereka itu. Yang mereka lakukan 

yaitu  menggali lobang, menggelindingkan batu, suatu pekerjaan 

berat, namun orang mau bertekun di dalamnya untuk memuas-

kan amarah dan nafsu mereka untuk membalas dendam. 

2.  Kejahatan apa yang sedang mereka siapkan bagi diri mereka sen-

diri dengan melakukan semuanya. Kekerasan yang mereka laku-

kan akan berbalik menimpa kepala mereka sendiri. Mereka sen-

diri akan jatuh ke dalam lobang yang mereka gali, dan batu yang 

mereka gulingkan akan kembali menimpa mereka (Mzm. 7:16-17; 

Mzm. 9:16-17). Allah yang benar akan menjerat orang berhikmat, 

bukan hanya dalam kecerdikan mereka sendiri, namun  juga dalam 

kekejaman mereka sendiri. Itulah hukuman bagi orang-orang 

yang berkomplot. Haman digantung pada tiang gantungan yang 

dipersiapkannya sendiri.  

– nec lex est justior ulla 

Quam necis artifices arte perire sua – 

Tidak ada hukum yang lebih adil dibandingkan  bagi si perancang 

kerusakan untuk binasa oleh tipu muslihatnya sendiri. 

28 Lidah dusta membenci korbannya, dan mulut licin mendatangkan kehan-

curan. 

Ada dua jenis dusta yang sama-sama menjijikkan:  

1. Dusta memfitnah, yang secara terang-terangan membenci orang-

orang yang difitnahnya: lidah dusta membenci korbannya. Lidah 

dusta menyakiti mereka dengan fitnah-fitnah dan celaan-celaan 

  sebab  ia membenci mereka, dan dengan demikian dapat meng-

hantam mereka secara diam-diam jika  mereka tidak bisa 

membela diri. Dan ia membenci mereka   sebab  ia telah menyakiti 

mereka dan menjadikan mereka sebagai musuh-musuhnya. Keja-

hatan dari dusta ini terbuka dan jelas. Ia menyakiti, membenci, 

dan ia mengakuinya, dan setiap orang melihatnya.  

2. Dusta menyanjung, yang secara diam-diam mengerjakan kehan-

curan bagi orang-orang yang disanjungnya. Dalam dusta memfit-

nah, kejahatannya jelas, dan orang bersikap sewaspada mungkin 

terhadapnya, namun  dalam dusta menyanjung, kejahatannya ham-

pir tidak dicurigai, dan orang mengungkapkan kelemahan mereka 

jika  mereka mudah percaya terhadap puji-pujian untuk diri 

mereka sendiri dan sanjungan-sanjungan yang diberikan kepada 

mereka. Oleh sebab itu, orang bijak akan lebih takut terhadap 

seorang penyanjung yang mencium lalu membunuh, dibandingkan  ter-

hadap seorang pemfitnah yang menyatakan perang dengan terang-

terangan.   

1 Janganlah memuji diri   sebab  esok hari,   sebab  engkau tidak tahu apa 

yang akan terjadi hari itu.  

Inilah:  

1. Peringatan yang baik untuk tidak menduga-duga apa yang akan 

terjadi di waktu yang akan datang: janganlah memuji diri, jangan, 

janganlah memuji diri   sebab  esok hari, apalagi   sebab  berhari-

hari atau bertahun-tahun yang akan datang. Perintah ini tidak 

melarang kita untuk mempersiapkan diri bagi esok hari, namun  

untuk tidak menduga-duga tentang apa yang akan terjadi esok 

hari. Kita tidak boleh menjanjikan kepada diri kita sendiri kelang-

sungan dan kenyamanan hidup kita hingga esok hari, namun  

harus berbicara tentangnya dengan tunduk pada kehendak Allah, 

dan dengan bersikap seperti ciptaan-ciptaan yang dibiarkan tidak 

pasti mengenai esok hari   sebab  suatu alasan yang baik. Kita 

tidak boleh khawatir akan hari besok (Mat. 6:34), namun  kita harus 

menyerahkan kekhawatiran kita tentangnya kepada Allah. (Yak. 

4:13-15). Kita tidak boleh menunda-nunda pekerjaan besar untuk 

bertobat, satu pekerjaan yang penting itu, hingga esok hari, seolah-

olah kita yakin akan datangnya hari esok, namun  hari ini, selama 

masih dapat dikatakan “hari ini,” dengarkanlah suara Allah.  

2.  Pertimbangan yang baik, yang mendasari peringatan ini: “Kita tidak 

tahu apa yang akan terjadi hari itu, peristiwa apa yang mungkin 

akan terlahir dari rahim waktu. Segalanya yaitu  rahasia sampai 

dilahirkan (Pkh. 11:5). Sedikit waktu bisa saja melahirkan per-

ubahan-perubahan besar, perubahan-perubahan seperti yang se-

dikit kita pikirkan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari 

ini, pada malam harinya baru akan ketahuan. Nescis quid serus 

vesper vehat – Engkau tidak tahu apa yang akan terjadi bersama 

dengan datangnya malam. Allah dengan bijak membiarkan kita 

dalam kegelapan mengenai kejadian-kejadian yang akan datang, 

dan menyimpan bagi diri-Nya sendiri pengetahuan tentangnya, se-

bagai bunga mahkota, supaya Ia bisa melatih kita untuk bergan-

tung pada-Nya dan untuk senantiasa siap sedia menghadapi segala 

peristiwa (Kis. 1:7). 

(27:2) 

2 Biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu, orang yang tidak 

kaukenal dan bukan bibirmu sendiri. 

Perhatikanlah:  

1. Kita harus melakukan apa yang terpuji, yang untuknya bahkan 

orang-orang asing akan memuji kita. Terang kita harus bercahaya 

di depan orang, dan kita harus melakukan perbuatan-perbuatan 

baik yang bisa dilihat, walaupun kita tidak boleh melakukannya 

dengan tujuan supaya bisa dilihat orang. Hendaklah perbuatan-

perbuatan kita menjadi sedemikian rupa sehingga memuji kita, 

bahkan di pintu-pintu gerbang (Flp. 4:8).  

2. jika  kita sudah melakukannya, kita tidak boleh memuji diri 

sendiri, sebab itu yaitu  bukti dari kesombongan, kebodohan, 

dan cinta diri, dan akan sangat mengurangi nama baik kita. Se-

mua orang akan bergegas ingin menjatuhkan orang yang mening-

gikan dirinya sendiri. Mungkin memang ada kesempatan yang 

baik bagi kita untuk membenarkan diri kita sendiri, namun  tidak-

lah patut bagi kita untuk menyanjung-nyanjung diri kita sendiri. 

Proprio laus sordet in ore – Memuji diri mencemarkan mulut. 

3 Batu yaitu  berat dan pasir pun ada beratnya, namun  lebih berat dari 

kedua-duanya yaitu  sakit hati terhadap orang bodoh. 4 Panas hati kejam 

dan murka melanda, namun  siapa dapat tahan terhadap cemburu? 

Kedua ayat ini menunjukkan tak tertanggungnya kejahatan,  

1. Dari amarah yang tak terkendalikan. Murka orang bodoh, yang 

saat  terpancing amarahnya, tidak peduli apa yang dikatakan 

dan dilakukannya, yaitu  lebih menyakitkan dibandingkan  batu besar 

atau muatan pasir. Murkanya membebani dirinya sendiri dengan 

berat. Orang yang tidak menguasai amarahnya justru benar-

benar menenggelamkan diri sendiri di bawah beban amarahnya. 

Murka orang bodoh berat menekan orang-orang yang dimarahi-

nya, dan di dalam kegeramannya, ia bisa melakukan suatu keja-

hatan terhadap mereka. Oleh sebab itu, kita berhikmat jika tidak 

memancing-mancing amarah orang bodoh, namun  jika  ia se-

dang marah, kita pergi menjauhinya. 

2. Dari kebencian yang berakar, yang jauh lebih buruk dibandingkan  

amarah yang tak terkendalikan, seperti tumbuhan yang membara 

lebih buruk dibandingkan  duri-duri berapi. Panas hati (memang benar) 

yaitu  kejam, dan melakukan banyak hal yang biadab, dan mur-

ka melanda. namun  permusuhan sembunyi-sembunyi terhadap 

pribadi orang lain, iri hati pada kemakmurannya, dan keinginan 

untuk membalas dendam   sebab  suatu luka atau penghinaan 

tertentu, yaitu  jauh lebih jahat. Orang bisa menghindar dari 

amarah yang meluap secara tiba-tiba, seperti Daud menghindar 

dari tombak Saul, namun  jika  amarah itu bertumbuh, seperti 

amarah Saul, menjadi cemburu yang berurat akar, tidak ada yang 

dapat tahan dengannya. Cemburu akan mengejar-ngejar, menyer-

gap begitu ia sampai. Orang yang sakit hati dengan kebahagiaan 

orang lain akan terus berusaha untuk menyakiti orang itu, dan 

akan memendam amarahnya untuk selama-lamanya. 

5 Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. 6 

Seorang kawan memukul dengan maksud baik, namun  seorang lawan men-

cium secara berlimpah-limpah. 

Perhatikanlah:  

1. yaitu  hal yang baik bagi kita jika kita ditegur dan diberi tahu 

kesalahan-kesalahan kita oleh teman-teman kita. Jika saja kasih 

sejati di dalam hati memiliki semangat dan keberanian yang cu-

kup untuk menunjukkan dirinya dalam berhubungan secara ter-

buka dengan teman-teman kita, dan menegur mereka atas kesa-

lahan yang mereka katakan dan lakukan, maka ini benar-benar 

lebih baik. Itu bukan hanya lebih baik dibandingkan  kebencian yang 

tersembunyi (seperti dalam Imamat 19:17), namun  juga dibandingkan  

kasih yang tersembunyi, kasih terhadap sesama kita itu, yang 

tidak menunjukkan dirinya dalam buah yang baik ini, yang me-

muji mereka dalam dosa-dosa mereka, dan merugikan jiwa mere-

ka. Seorang kawan menegur dengan maksud baik, meskipun un-

tuk sementara waktu teguran itu terasa menyakitkan seperti 

pukulan. yaitu  pertanda bahwa kawan-kawan kita memang ber-

maksud baik jika, dalam kasih mereka terhadap jiwa kita, mereka 

tidak membiarkan kita berbuat dosa, atau membiarkan kita sen-

dirian di dalamnya. Yang menjadi perhatian seorang dokter yaitu  

menyembuhkan penyakit pasiennya, bukan menyenangkan langit-

langit mulutnya sendiri.  

2. yaitu  berbahaya jika kita dibujuk dan dirayu oleh seorang lawan, 

yang mencium secara berlimpah-limpah. Kita tidak bisa merasakan 

kesenangan dalam ciuman itu   sebab  kita tidak bisa menaruh ke-

percayaan kepadanya (ciuman Yoab dan Yudas itu palsu), dan oleh 

sebab itu kita perlu berjaga-jaga, agar kita tidak terpedaya olehnya. 

Ciuman itu harus kita cela. Sebagian orang membaca ayat itu se-

perti ini: Tuhan akan melepaskan kita dari ciuman-ciuman seorang 

lawan, dari bibir yang berdusta, dan dari lidah yang menipu. 

7 Orang yang kenyang menginjak-injak madu, namun  bagi orang yang lapar 

segala yang pahit dirasakan manis. 

Salomo di sini, yang sering kali tampak dalam kitab ini, menunjuk-

kan bahwa dari segi-segi tertentu, orang miskin merasakan keun-

tungan yang bisa dimiliki orang kaya, sebab, 

1. Mereka menikmati penghiburan-penghiburan mereka lebih baik 

dibandingkan  orang kaya. Rasa lapar membuat semua makanan terasa 

lezat. Makanan seadanya, disertai nafsu makan yang baik, akan 

terasa menyenangkan, yang merupakan hal asing bagi orang yang 

hatinya sarat oleh pesta pora. Orang yang terus makan berme-

wah-mewah setiap hari akan merasa muak bahkan terhadap ma-

kanan yang lezat, seperti yang dirasakan umat Israel pada burung 

puyuh. Sedangkan orang yang hanya makan secukupnya saja, 

yang meskipun oleh orang kenyang akan dirasakan pahit, bagi 

mereka terasa manis. Mereka memakannya dengan senang hati, 

mencernanya, dan disegarkan olehnya.  

2. Mereka lebih bersyukur atas apa yang mereka nikmati: orang 

yang lapar akan memuji Allah untuk makanan dan minuman, 

sedangkan mereka yang kenyang menganggap hidangan-hidangan 

yang paling enak dan lezat sekalipun tidak begitu layak untuk 

disyukuri. Perawan Maria tampak merujuk pada ayat ini saat  ia 

berkata bahwa (Luk. 1:53), orang lapar, yang tahu bagaimana 

menghargai berkat-berkat Allah, dilimpahkan dengan segala yang 

baik, sedangkan orang kaya, yang merendahkannya, dengan adil 

disuruh pergi dengan tangan hampa. 

8 Seperti burung yang lari dari sarangnya demikianlah orang yang lari dari 

kediamannya. 

Perhatikanlah:  

1. Ada banyak orang yang tidak tahu bilamana mereka sudah sejah-

tera, namun  selalu gelisah dengan keadaan mereka pada saat ini, 

dan menginginkan perubahan. Allah, dalam pemeliharaan-Nya, 

sudah menetapkan bagi mereka suatu tempat yang sesuai untuk 

mereka dan telah membuatnya nyaman bagi mereka. namun  mere-

ka tidak suka dengan keadaan yang tetap. Mereka senang ber-

kelana. Mereka senang bepergian ke negeri yang jauh, dan tidak 

mau tinggal lama-lama di suatu tempat. Tanpa ada keperluan me-

reka meninggalkan pekerjaan dan usaha mereka, dan mencam-

puri apa yang bukan urusan mereka.  

2. Orang-orang yang meninggalkan tempat yang sudah ditetapkan 

bagi mereka dengan cara itu yaitu  seperti burung yang lari dari 

sarangnya. Itu merupakan contoh dari kebodohan mereka. Me-

reka seperti burung yang bodoh. Mereka selalu goyah, seperti 

burung yang melompat dari satu dahan ke dahan lain namun  tidak 

singgah di mana pun. Itu tidak aman. Burung yang terbang ke 

mana-mana rentan terhadap bahaya. Tempat manusia yaitu  di 

rumahnya. Orang yang meninggalkannya menjadikan dirinya mang-

sa yang empuk bagi burung pemangsa. saat  burung lari dari 

sarangnya, telur-telur dan anak-anaknya di sana menjadi terlan-

tar. Orang-orang yang suka keluar rumah menelantarkan pekerja-

an mereka di rumah. Oleh   sebab  itu, hendaklah tiap-tiap orang 

tinggal dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil, di sana 

tinggal di hadapan Allah. 

9 Minyak dan wangi-wangian menyukakan hati, namun  penderitaan merobek 

jiwa. 10 Jangan kautinggalkan temanmu dan teman ayahmu. Jangan datang 

di rumah saudaramu pada waktu engkau malang. Lebih baik tetangga yang 

dekat dari pada saudara yang jauh. 

Inilah: 

1. Perintah yang diberikan untuk selalu setia terhadap teman-teman 

kita, teman-teman lama kita, untuk menjaga kedekatan kita de-

ngan mereka, dan untuk siap sedia melakukan apa saja yang 

sanggup kita lakukan untuk mereka. yaitu  baik mempunyai 

seorang teman, teman akrab, yang bersamanya kita bisa bebas, 

dan dengannya kita bisa berbagi nasihat. Tidaklah penting apakah 

teman ini yaitu  seorang kerabat, atau bersaudara dengan kita, 

meskipun yang paling membahagiakan yaitu  jika , di antara 

sanak saudara kita, kita menemukan seseorang yang cocok untuk 

dijadikan teman. Petrus dan Andreas bersaudara, begitu pula de-

ngan Yakobus dan Yohanes. Walaupun demikian, Salomo sering 

kali membedakan antara teman dan saudara. Namun, kita dian-

jurkan untuk memilih teman dari antara tetangga-tetangga yang 

tinggal dekat dengan kita, agar kita menjaga keakraban dengan 

mereka dan semakin sering berbuat baik satu sama lain. Juga 

baik untuk menghormati secara khusus mereka yang selama ini 

sudah menjadi teman-teman bagi keluarga kita: “Temanmu, ter-

utama jika ia sudah menjadi teman ayahmu, jangan kautinggal-

kan. Jangan lupa untuk melayaninya dan meminta pertolongan-

nya, bila ada kesempatan. Ia seorang teman yang sudah teruji. Ia 

mengetahui urusan-urusanmu. Ia memiliki kepedulian khusus 

terhadapmu. Oleh sebab itu, mintalah nasihat darinya.” yaitu  

kewajiban yang harus kita bayar sebagai utang kepada orangtua 

kita jika  mereka sudah tiada, untuk mengasihi teman-teman 

mereka dan meminta nasihat dari mereka. Anak Salomo membuat 

dirinya sendiri binasa dengan meninggalkan nasihat dari teman-

teman ayahnya. 

2. Ada alasan yang baik mengapa kita harus menghargai persaha-

batan sejati seperti itu dan harus memilihnya.  

(1) Oleh   sebab  kesenangan yang dibawanya. Terasa sangat manis 

bila kita bercakap-cakap dan meminta nasihat dari seorang 

teman akrab. Rasanya seperti minyak dan wangi-wangian, 

yang harumnya amat menyenangkan hidung dan menceriakan 

jiwa. Ia menyukakan hati. Beban kekhawatiran dibuat lebih 

ringan dengan mencurahkan isi hati kepada teman kita, dan 

kita merasa sangat puas melihatnya turut merasakan perma-

salahan-permasalahan kita. Manisnya pertemanan tidak ter-

letak pada kegembiraan hati dan gelak tawa sepenuh hati, 

namun  pada nasihat sepenuh hati (KJV), pada saran yang benar, 

yang diberikan dengan tulus hati dan tanpa sanjungan, pada 

nasihat jiwa (begitulah kata yang digunakan), nasihat yang 

mengena pada persoalan dan sampai di hati, nasihat yang me-

nyangkut kepentingan-kepentingan jiwa (Mzm. 66:16). Kita ha-

rus memandang percakapan tentang perkara-perkara rohani se-

bagai hal yang paling menyenangkan dan memajukan kesejah-

teraan jiwa.  

(2) Oleh   sebab  manfaat dan keuntungan darinya, terutama pada 

waktu kita malang. Di sini kita dianjurkan untuk tidak pergi 

ke rumah saudara, untuk tidak mengharapkan bantuan dari 

sanak keluarga hanya   sebab  mereka bersaudara, sebab kewa-

jiban bersaudara biasanya cuma sedikit lebih jauh dari seka-

dar menyebut mereka sebagai saudara, dan tidak tahan uji 

pada saat datang pencobaan terhadap kebaikan yang sesung-

guhnya. namun  lebih baik datang kepada tetangga kita, yang 

dekat dengan kita dan akan siap sedia membantu kita dalam 

keadaan darurat. Kita berhikmat jika memperlakukan dan ber-

sedia membantu mereka sebagai tetangga, dan kita akan men-

dapatkan manfaat darinya di dalam kesusahan, dengan men-

dapati bahwa mereka pun mau membantu kita (18:24). 


11 Anakku, hendaklah engkau bijak, sukakanlah hatiku, supaya aku dapat 

menjawab orang yang mencela aku. 

Anak-anak di sini dianjurkan untuk menjadi bijak dan baik, 

1. Agar mereka menjadi penghiburan bagi orangtua mereka dan da-

pat menyukakan hati mereka, sekalipun tiba hari-hari yang ma-

lang, dan dengan demikian membalas jasa orangtua yang sudah 

membesarkan mereka (23:15).  

2. Agar mereka menjadi pujian bagi orangtua mereka: “Supaya aku 

dapat menjawab orang yang mencela aku   sebab  sudah terlalu 

ketat dan keras dalam membesarkan anak-anakku, dan sudah 

mengambil cara yang salah dalam mengekang mereka dari segala 

kebebasan yang bisa dinikmati oleh anak-anak muda lain. Anak-

ku, hendaklah engkau bijak, maka akan tampak, pada akhirnya, 

bahwa aku sudah mengikuti cara yang paling bijak untuk men-

didik anak-anakku.” Orang-orang yang sudah diberkati dengan 

pendidikan agama haruslah dalam segala hal menunjukkan peri-

laku yang akan membawa pujian bagi pendidikan mereka dan 

membungkam orang-orang yang berkata, muda jadi orang kudus, 

tua jadi Iblis, dan membuktikan sebaliknya, muda jadi orang ku-

dus, tua jadi malaikat. 

12 Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, namun  orang 

yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka. 

Ini sudah kita dapati sebelumnya (22:3).  

Perhatikanlah:  

1. Kejahatan bisa diramalkan. jika  ada godaan, mudah untuk 

meramalkan bahwa jika kita menjerumuskan diri ke dalamnya 

maka akan terjadi dosa. Sama mudahnya untuk meramalkan 

bahwa jika  kita mempertaruhkan diri pada kejahatan dosa, 

maka kejahatan hukuman akan mengikuti. Dan, biasanya, Allah 

memperingatkan sebelum melukai, dengan mengangkat atas 

mereka penjaga-penjaga (Yer. 6:17).  

2. Baik buruknya kita tergantung pada apakah kita memanfaatkan 

atau tidak firasat kita akan kejahatan yang ada di depan kita: 

Kalau orang bijak melihat malapetaka dan meramalkan sebagai-

mana mestinya, maka bersembunyilah ia, namun  orang yang tak 

berpengalaman entah begitu dungunya sampai-sampai tidak bisa 

melihat adanya malapetaka atau begitu keras kepala dan lamban-

nya hingga ia tidak ambil peduli untuk menghindarinya, berjalan 

terus dengan aman lalu kena celaka. Kita berbuat baik bagi diri 

kita sendiri jika kita membuat persediaan bagi kehidupan selan-

jutnya.  

13 Ambillah pakaian orang yang menanggung orang lain, dan tahanlah dia 

sebagai sandera ganti orang asing. 

Ini juga sudah kita dapati sebelumnya (20:16). 

1. Ayat ini menunjukkan siapa yang akan cepat jatuh miskin, yaitu 

orang-orang yang mempunyai begitu sedikit pertimbangan sehing-

ga mau menjadi tanggungan bagi siapa saja yang meminta me-

reka, dan orang-orang yang mata keranjang. Orang-orang seperti 

ini akan meminjam uang sejauh yang bisa diutangkan kepada 

mereka, namun  pada akhirnya mereka akan menipu orang yang 

memberi mereka piutang, bahkan, mereka sudah menipu orang itu 

selama ini. Orang yang jujur bisa saja dibuat menjadi pengemis, 

namun  orang yang menjadikan dirinya sendiri pengemis bukanlah 

orang jujur.  

2. Ayat itu menyarankan kita untuk sangat bijaksana dalam meng-

atur urusan-urusan kita sehingga tidak meminjamkan uang ke-

pada orang yang nyata-nyata memboroskan harta mereka, kecuali 

mereka memberikan jaminan yang sangat pasti untuk itu. Dengan 

memberikan pinjaman secara bodoh, kita berbuat tidak adil ter-

hadap keluarga kita.