rsifat arbitrer. Di
samping relatif memenuhi kriteria yang lazimnya digunakan saat
itu dalam penghimpunan dan penyaringan bacaan – yakni
keselarasan dengan textus receptus, dengan bahasa Arab, dan
tawãtur – tujuh kiraah ini pada faktanya juga mencerminkan
sistem-sistem pembacaan al-Quran yang populer dan berlaku di
berbagai wilayah utama Islam. Ketujuh sistem bacaan ini masing-
masing memiliki dua riwayat (riwãyah) atau versi bacaan yang agak
berbeda dan diturunkan melalui jalan periwayatan (tharîq, jamak:
thuruq),33 yang juga memiliki beberapa perbedaan bacaan. Tujuh
sistem bacaan al-Quran ini dan para perawinya dapat ditampilkan
dalam tabel berikut:
Kiraah Tujuh dan Perawinya
No. Wilayah Qãri’ Rãwî Pertama Rãwî Kedua
1. Madinah Nafi‘ (w. 785) Warsy (w. 812) Qalun (w. 835)
2. Makkah Ibn Katsir (w. 738) Al-Bazzi (w. 864) Qunbul (w. 903)
3. Damaskus Ibn Amir (w. 736) Hisyam (w. 859) Ibn Dakhwan (w. 856)
4. Bashrah Abu Amr (w. 770) Al-Duri (w. 860) al-Susi (w. 874)
5. Kufah Ashim (w. 745/6) Hafsh (w. 796) Syu‘bah (w. 808/9)
6. Kufah Hamzah (w.772) Khalaf (w. 843) Khalad (w. 835)
7. Kufah Al-Kisa’i (w. 804) Al-Duri (Hafsh) Abu al-Harits (w. 854)
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab 8, beberapa
otoritas Sunni telah mengklaim tujuh kiraah di atas sebagai
mutawãtir dalam proses transmisinya, yang merupakan salah satu
kriteria penerimaan keabsahan bacaan. Pandangan ini didasarkan
pada beberapa pertimbangan, yakni:
(i) ada suatu konsensus (ijmã‘) para sarjana Muslim dari
masa yang sangat awal hingga ke masa kini tentang
kemutawatirannya;
(ii) Perhatian penuh yang diberikan para sahabat Nabi dan
generasi Muslim berikutnya kepada al-Quran pasti
mencakup ketidakterputusan transmisi bacaannya;
(iii) Jika tujuh bacaan tidak ditransmisikan secara mutawãtir,
maka al-Quran pun tidak dapat dipandang telah
ditransmisikan secara berkesinambungan (mutawãtir); dan
(iv) Jika bacaan-bacaan ini tidak dipandang sebagai
mutawãtir, maka hal yang sama bisa diterapkan pada
beberapa terma al-Quran, seperti malik dan mãlik, yang
akan membawa konsekuensi bahwa penerimaan salah
satunya sebagai bacaan yang tepat akan merupakan bentuk
kesewenang-wenangan yang tidak berdasar.34
Untuk butir pertama, secara sederhana bisa dikatakan bahwa
sudut pandang berbeda yang muncul dalam Islam tentang
kemutawatiran proses transmisi tujuh bacaan ini , justeru
menunjukkan ketiadaan konsensus dalam hal ini. Butir kedua
hanya merupakan argumen tentang kemutawatiran transmisi al-
Quran, bukan kemutawatiran transmisi kiraahnya yang –
sebagaimana akan ditunjukkan nanti – didasarkan pada ijtihãd
pribadi, seperti tercermin dalam beberapa ketidaksesuaiannya
dengan teks utsmani dan gramatika bahasa Arab, atau pada mata
rantai periwayatan tunggal. Dalam butir ketiga, terlihat
pencampuradukan antara al-Quran dan kiraah. Perbedaan dalam
gaya suatu kata, sebagaimana yang ada dalam kiraah, jelas tidak
menegasikan kesepakatan tentang orisinalitas al-Quran. Contohnya,
sekalipun ada banyak versi tentang rincian-rincian peristiwa
hijrah, namun hal ini tidak menafikan kenyataan bahwa laporan-
laporan tentang peristiwa itu sendiri telah ditransmisikan secara
mutawãtir. Sementara untuk butir terakhir, bisa dikatakan bahwa
membatasi bacaan al-Quran pada kiraah tujuh juga merupakan
kesewenang-wenangan, sebab – sebagaimana diakui para ahli kiraah
– ada beberapa kiraah lain yang lebih penting dan lebih dapat
dipercaya ketimbang kiraah tujuh.35
Masalah kontroversial tentang kemutawatiran kiraah tujuh ini
ada baiknya didudukkan dengan menelaah secara ringkas karir
ketujuh imam kiraah ini dan orang-orang yang meriwayatkan
dari mereka – yakni riwãyãt dan thuruq-nya.36
1. Nafi‘
Nama lengkapnya adalah Nafi‘ ibn Abd al-Rahman ibn Nu‘aim
al-Madani, namun lazimnya dipanggil Abban atau Abu al-Hasan.
Ia berasal dari Isfahan, kemudian menetap di Madinah dan
meninggal di kota ini sekitar 785. Dikabarkan bahwa ia membaca
al-Quran pada sekelompok tãbi‘în – sekitar tujuh puluh orang –
di Madinah. warga kota ini biasanya belajar al-Quran dari
Nafi‘. Ahmad ibn Hanbal menilainya tidak bagus dalam
periwayatan hadits, sementara pakar hadits yang lain – seperti al-
Duri, al-Nasa’i dan Ibn Hayyan – menilainya dapat dipercaya.
Ibn al-Nadim menyebut beberapa nama yang meriwayatkan
bacaan Nafi‘. namun , dua perawi langsungnya yang terkenal adalah
Isa ibn Mina’ ibn Wardan Abu Musa atau lebih populer sebagai
Qalun (w. 835) – nama yang diberikan oleh Nafi‘, yang juga telah
membesarkannya37 – dan Utsman ibn Sa‘id ibn Abd Allah ibn
Sulaiman atau lebih populer sebagai Warsy (w. 812). Ibn Hajar
menilai kiraah Qalun dapat dipercaya. namun , dalam bidang hadits,
hanya beberapa kecil riwayatnya yang layak direkam. Tidak ada
kesepakatan di kalangan otoritas Muslim tentang orang-orang yang
mentransmisikan bacaan Qalun ‘an Nafi‘. namun , dua nama yang
lazim disebut dalam jalan periwayatan ini adalah Abu Nusyaith –
melalui tharîq Ibn Buyan dan tharîq al-Qazaz – dan al-Hulwani –
melalui tharîq Ibn Abi Mahran dan tharîq Ja‘far ibn Muhammad.
Sementara Warsy, menurut Ibn al-Jazari (w. 833H), merupakan
salah seorang pengajar kiraah al-Quran yang paling berhasil di
Mesir pada masanya. Ia adalah otoritas yang terpercaya dan
kompeten dalam pembacaan al-Quran, sekalipun bacaan yang
dipilihnya agak berbeda dari Nafi‘. Sebagaimana dengan Qalun,
tidak ada kesepakatan mengenai orang-orang yang
mentransmisikan kiraah darinya. namun , nama-nama yang lazimnya
disebut dalam jalan periwayatan ini adalah: al-Azraq – melalui
tharîq Ismail al-Nahhas dan tharîq Ibn Sayf – dan al-Ishfahani –
melalui tharîq Ibn Ja‘far dan tharîq al-Muthaw‘i.
2. Ibn Katsir
Abd Allah ibn Katsir ibn Amr ibn Abd Allah ibn Zadzan ibn
Firuzan ibn Hurmuz al-Makki – nama sebenarnya adalah Abu
Sa‘id atau menurut beberapa informasi Abu Bakr – adalah imam
kiraah keturunan Persia. Ia dilahirkan sebagai generasi kedua Is-
lam (tãbi‘în) di Makkah pada 665, dan meninggal di kota yang
sama pada 738. Ia berada di bawah perlindungan Amr ibn al-Qamah
al-Kinani. Nama panggilannya adalah al-Darani, sebab pernah
berprofesi sebagai penjual parfum.38 Ia belajar bacaan al-Quran
dari Abd Allah ibn al-Sa’ib al-Makhzumi, dan memperoleh
persetujuan otoritatif dari Mujahid ibn Jabr dan Darbas, klien
Ibn Abbas. Ali ibn al-Mudaini dan Ibn Sa‘d menganggapnya dapat
dipercaya, namun Abu al-‘Ala’ al-Hamadani memandangnya lemah
atau tidak dikenal.
ada dua nama besar yang meriwayatkan bacaan Ibn Katsir:
yang pertama adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Allah ibn
al-Qasim ibn Nafi‘ ibn Abi Buzza atau al-Buzzi (w. 864), dan yang
kedua adalah Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn Khalid ibn
Muhammad Abu Amr al-Makhzumi atau Qunbal (w. 903). namun ,
sebagaimana terlihat dari masa hidupnya, kedua orang ini
mempelajari bacaan Ibn Katsir melalui otoritas-otoritas perantara.
Al-Buzzi merupakan syaikh kiraah di Makkah pada masanya, namun
al-‘Uqayli dan Abu Hatim menolak periwayatan haditsnya. Tidak
ada kesepakatan tentang orang-orang yang meriwayatkan
bacaan al-Buzzi ‘an Ibn Katsir, namun jalan periwayatannya yang
populer adalah melalui tharîq Abu Rabi‘ah – via tharîq al-Naqqas
dan tharîq Ibn Bunan – dan tharîq Ibn al-Hubab – melalui tharîq
Ibn Shalih dan tharîq Abd al-Wahid ibn Umar.
Perawi kedua bacaan Ibn Katsir, yakni Qunbal, juga merupakan
syaikh kiraah di Hijaz pada masanya. Ia termasuk yang terbesar di
kalangan orang-orang yang meriwayatkan bacaan dari Ibn Katsir.
Al-Bazzi didahulukan dari Qunbal, sebab sanadnya memiliki
kedudukan yang lebih tinggi. Sekalipun tidak ada konsensus
tentang para perawi (thuruq) Qunbal, namun jalan periwayatannya
yang populer adalah melalui tharîq Ibn Mujahid – via tharîq al-
Samiri dan tharîq Shalih – dan tharîq Ibn Syanbudz – melalui
tharîq Ibn al-Farah dan tharîq al-Syathawi.
3. Ibn Amir
Abd Allah ibn Amir ibn Yazid ibn Tamim ibn Rabi’ah ibn
Amir al-Yahshabi, diberi gelar Abu Imran al-Yahshabi, dilahirkan
pada 629 dan meninggal pada 736. Penulis Fihrist, selain
mengabarkan bahwa ia belajar al-Quran pada Utsman,
menyebutnya termasuk ke dalam generasi pertama tabiin di
Damaskus. warga Siria memandangnya sebagai otoritas dalam
bacaan al-Quran. Sembilan laporan yang berbeda telah diriwayatkan
tentangnya, namun yang paling otentik adalah laporan yang
mengemukakan bahwa ia belajar al-Quran dari al-Mugira. Namun,
beberapa laporan lainnya mengungkapkan ia tidak mengetahui
dari siapa ia belajar kiraah.
Dua perawi yang meriwayatkan kiraah Ibn Amir adalah Ibn
Ammar ibn Nushayr ibn Maysarah atau lebih populer dikenal
dengan nama Hisyam (w. 859) dan Abd Allah ibn Ahmad ibn
Basyir atau Ibn Dakhwan (w. 856). Kedua perawi ini pun
mempelajari kiraah Ibn Amir melalui otoritas-otoritas perantara.
Hisyam meriwayatkan kiraah Ibn Amir dari Arrak al-Muni dan
Ayyub ibn Tamim dari Yahya al-Dzimari dari Abd Allah ibn Amir.
Di kalangan pakar hadits, Hisyam dipandang dapat dipercaya.
namun , beberapa otoritas lainnya, seperti al-Ajuri dan Ahmad ibn
Hanbal, memandang periwayatan haditsnya tidak signifikan.
Ibn Wara bahkan mengabarkan bahwa Hisyam meriwayatkan hadits
dengan memungut bayaran. Sehubungan dengan bacaannya,
Ahmad Ibn Hanbal berfatwa bahwa seseorang yang shalat di
belakang Hisyam harus mengulangi shalatnya. Sumber-sumber yang
ada tidak bersepakat tentang para perawi (thuruq) Hisyam, namun
yang lazim disebut adalah melalui tharîq al-Hulwani – lewat tharîq
Ibn Abdan dan tharîq al-Jammal – dan tharîq al-Dajuni – via
tharîq Zayd ibn Ali dan tharîq al-Syadza’i.
Sementara Ibn Dakhwan mengambil kiraah dari Ayyub ibn
Tamim, namun juga belajar pada al-Kisa’i saat yang terakhir ini
datang ke Damaskus. Dalam suatu kesempatan ia pernah berujar
bahwa ia telah tinggal di tempat al-Kisa’i selama tujuh bulan, dan
membaca al-Quran hingga selesai di hadapannya lebih dari sekali.
Orang-orang yang mentransmisikan (thuruq) bacaan Ibn Dakhwan
adalah al-Akhfasy – melalui tharîq al-Naqqasy dan tharîq Ibn al-
Akhram – dan al-Shuri – lewat tharîq al-Ramli dan tharîq al-
Muthaw‘i.
4. Abu Amr
Zabban ibn al-‘Ala’ ibn Ammar ibn Abd Allah ibn al-Hasan
ibn al-Harits ibn Julhum ibn Khuza‘i ibn Mazin ibn Malik ibn
Amr al-Mazini, atau Abu Amr, lahir di Makkah pada 687,
dibesarkan di Bashrah, dan meninggal pada 770. Dikabarkan ia
belajar kiraah al-Quran di Makkah, Madinah, Kufah dan Bashrah
pada beberapa besar guru kiraah. Tidak satu pun di antara imam
kiraah tujuh ataupun sepuluh yang memiliki guru mengaji
sebanyak Abu Amr. Ia mempelajari bacaan al-Quran dari Hasan
al-Bashri, Abu Ja‘far, Humaid ibn Qais al-A‘raj, Abu al-Aliyah Yazid
ibn Ruman, Syaibah ibn Nashah, Ashim ibn Abu al-Najud, Ibn
Katsir, Abd Allah ibn Abu Ishaq, Atha’ ibn Abu Rabah, Ikrimah
ibn Khalid al-Makhzumi, Ikrimah mawla Ibn Abbas, Muhammad
ibn Jabr, Muhammad ibn Muhaishin, Nashr ibn Ashim, Yahya
ibn Ya’mas, dan Sa‘id ibn Jubair. Kiraahnya sangat populer di
Siria lantaran seseorang yang berasal dari Irak telah mengajarkannya
kepada warga di kawasan ini . Di kalangan pakar hadits,
ia dikenal dapat dipercaya. Sekalipun demikian, Abu Khaytsama
melaporkan bahwa ia tidak menghafal hadits.
Tidak terhitung jumlah orang yang meriwayatkan kiraah Abu
Amr, namun dua perawinya yang paling terkenal adalah Hafsh
ibn Amr ibn Abd al-Aziz al-Duri al-Azadi, populer sebagai al-Duri
(w. 860), dan Abu Syu’aib Shalih ibn Ziyad ibn Abd Allah, dikenal
sebagai al-Susi (w. 874). Kedua orang ini mempelajari kiraah Abu
Amr pada Yahya ibn al-Mubarak al-Yazidi. Menurut Ibn al-Jazari,
al-Duri adalah orang yang dapat dipercaya, perekam varian bacaan
yang akurat, dan yang pertama kali menghimpun ragam bacaan
al-Quran. Sekalipun demikian, al-Daraqutni menganggapnya
lemah. Tidak ada kesepakatan tentang orang yang meriwayatkan
bacaan darinya, namun pada umumnya bacaan Abu Amr melalui
riwayat al-Duri diturunkan lewat tharîq Abu al Za‘ra – via tharîq
Ibn Mujahid dan tharîq al-Mu‘addil – dan melalui tharîq Ibn
Farah – lewat tharîq Ibn Abi Bilal dan tharîq al-Muthaw‘i.
Sedangkan perawi kedua bacaan Abu Amr, yakni al-Susi, juga
dipandang oleh Ibn al-Jazari sebagai orang yang dapat dipercaya
dan perekam bacaan yang akurat, namun Muslim ibn Qasim al-
Andalusi memandangnya lemah. Para perawi dari al-Susi juga
diperselisihkan, namun pada umumnya bacaan Abu Amr yang
diriwayatkan al-Susi diturunkan melalui tharîq Ibn Jarir – lewat
tharîq Abd Allah ibn al-Husayn dan tharîq Ibn Habasy – dan
melalui tharîq Ibn Jumhur – via tharîq al-Syaybani dan tharîq al-
Syanabudzi.
5. Ashim
Nama lengkapnya adalah Ibn Abi al-Nujud Abu Bakr al-Asadi.
Ibunya bernama Bahdalah, dan sebab itu ia juga disebut dengan
Ashim ibn Bahdalah. Ia wafat di Kufah pada 745/6. Ashim belajar
al-Quran pada Abu Abd al-Rahman al-Sulami, Abu Maryam Zarr
ibn Hubaisy dan Abu Amr al-Syaibani. Dilaporkan oleh Hafsh,
salah satu perawi terkemukanya, bahwa Ashim mengajarkan
kepadanya bacaan yang dipelajarinya dari Abu Abd al-Rahman al-
Sulami, dan kepada Syu‘bah – perawi Ashim lainnya – bacaan
yang dipelajarinya dari Zarr ibn Hubaisy. Menurut Ibn Sa‘d, Ashim
dapat dipercaya, namun membuat kekeliruan dalam transmisi hadits.
Al-Nasa’i menilainya dapat diterima, namun Ibn Kharasy
mengemukakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkannya
mengandung beberapa hal yang tidak dapat diterima. Sementara
al-Uqayli dan al-Daraquthni menilainya memiliki kelemahan dalam
penghafalan hadits.
Ashim memiliki dua perawi langsung. Yang pertama adalah
Ibn Sulaiman al-Asadi – terkenal sebagai Hafsh (w. 796), anak asuh
yang dibesarkan sendiri oleh Ashim – dan yang kedua adalah
Syu‘bah ibn Ayyas ibn Salim al-Hannath al-Asadi, atau Syu‘bah
(w. 808/9). Menurut al-Dzahabi, Hafsh terpercaya dalam kiraah,
konsisten dan akurat. Hafsh sendiri pernah berkata bahwa ia tidak
menyalahi bacaan Ashim sedikit pun kecuali pada satu kata dalam
30:54, di mana ia membaca dlu‘f, sedangkan Ashim membacanya
sebagai dla‘f. namun , hal ini tidak seirama dalam periwayatan hadits.
beberapa pakar hadits, seperti Ibn Abi Hatim, al-Darimi, bahkan
Bukhari dan Muslim, menilai hadits yang diriwayatkan Hafsh
lemah dan tidak dapat direkam. Ibn Kharasy dan Ibn Hayyan juga
menuduhnya telah merekayasa hadits. Tentang para perawi Hafsh,
tidak ada kesepakatan di kalangan otoritas Muslim tentang
siapa yang telah meriwayatkan darinya. Namun, pada umumnya
kiraah Hafsh ‘an Ashim diturunkan melalui dua jalur riwayat:
tharîq Ubayd ibn Shabah – melalui tharîq Abu al-Hasan al-Hasyimi
dan tharîq Abu Thahir ibn Abi Hasyim – dan tharîq Amr ibn
Shabah – melalui tharîq al-Fil dan tharîq Zar‘an.
Sementara Syu‘bah, menurut al-Jazari, telah membaca tiga kali
di hadapan Ashim untuk memperoleh pengakuan atas bacaan al-
Qurannya. saat menjelang kematiannya, ia berkata kepada
saudara perempuannya yang tengah menangisinya bahwa ia telah
menyelesaikan penghimpunan delapan belas ribu bacaan al-Quran.
Ia juga diakui di kalangan pakar hadits sebagai salah seorang sarjana
besar dalam hadits nabawi. namun , sebagian pakar hadits menilainya
tidak akurat, banyak melakukan kekeliruan atau tidak menghafal
hadits secara patut, meskipun diakui bahwa ia dapat dipercaya
dan jujur. Sebagaimana dengan qurrã’ lainnya, otoritas-otoritas di
kalangan kaum Muslimin tidak bersepakat tentang para perawi
Syu‘bah. Namun biasanya bacaan Syu‘bah ‘an Ashim diturunkan
melalui dua jalan periwayatan. Jalan pertama melalui tharîq Yahya
ibn Adam – lewat tharîq Syu‘aib dan tharîq Abu Hamdun – dan
jalan kedua melalui tharîq al-‘Ulaymi – via tharîq Ibn Khulay‘ dan
tharîq al-Razzaz.
6. Hamzah
Nama lengkapnya adalah Ibn Habib ibn Ammarah ibn Isma‘il
juga pernah berguru bacaan al-Quran pada Ja‘far ibn Muhammad
al-Shadiq – salah satu imam madzhab Syi‘ah. Hamzah dikenal
sebagai maha guru dalam kiraah, otoritas yang kompeten,
terpercaya, dan tiada bandingannya. Abu Hanifah, demikian juga
Sufyan al-Tsawri, bahkan pernah mengemukakan bahwa supremasi
Hamzah atas orang-orang yang semasa dengannya terletak dalam
masalah al-Quran dan ketaatan menjalankan kewajiban agama.
beberapa pakar hadits, seperti Ibn Mu‘in, al-Nasa’i, al-‘Ijli,
mengakuinya terpercaya. namun , menurut al-Saji, Hamzah memiliki
ingatan buruk, sekalipun dapat dipercaya. Sekelompok ahl al-
hadîts lainnya, di antaranya adalah Ahmad ibn Hanbal, bahkan
mengeritik bacaan al-Qurannya dan menegaskan ketidaksahihan
shalat yang menggunakan bacaannya. Abu Bakr ibn Ayyasy juga
mendeklarasikan bacaan Hamzah sebagai bid‘ah. Sementara Ibn
Durayd menginginkan agar kiraah Hamzah lenyap dari Kufah.
Kiraah Hamzah ditransmisikan beberapa perawi. Yang paling
populer diantaranya adalah Khalaf ibn Hisyam (w. 843) dan
Khallad ibn Khalid (w. 835). namun , kedua perawi ini mempelajari
bacaan Hamzah melalui otoritas-otoritas perantara. Khalaf
merupakan salah satu imam kiraah sepuluh. Ia meriwayatkan kiraah
Hamzah berdasar otoritas Sulaim yang mentransmisikannya
dari Hamzah. Ia adalah orang yang terpercaya, terkemuka, zuhud,
saleh dan terpelajar. Ia mengikuti bacaan Hamzah, namun berbeda
dari sang imam pada 120 huruf. Para perawi Khalaf untuk kiraah
Hamzah adalah tharîq Idris melalui tharîq Ibn Utsman, tharîq
Ibn Miqsam, tharîq Ibn Shalih, dan tharîq al-Muthaw‘i.
Sedangkan Khalad meriwayatkan bacaan Hamzah juga
berdasar otoritas Sulaim. Ia merupakan imam atau maha guru
dalam bacaan al-Quran, terpercaya, terpelajar, dan peneliti
otentisitas hadits yang saksama. Tidak ada kesepakatan di kalangan
otoritas Muslim tentang para perawinya. namun , pada umumnya
dikatakan bahwa bacaan Hamzah yang diriwayatkannya diturunkan
melalui tharîq Ibn Syadzan, tharîq Ibn al-Haytsam, tharîq al-
Wazzan, dan tharîq al-Talhi.
7. Al-Kisa’i
Ali ibn Hamzah ibn Abd Allah ibn Bahman ibn Firuz al-
Asadi – atau lebih populer dikenal dengan al-Kisa’i, sebab pernah
berihram hanya dengan satu kain – adalah seorang keturunan Per-
sia yang tahun kematiannya tidak begitu jelas, namun beberapa
sumber menyebutnya pada 804. Ia membaca al-Quran pada
Hamzah al-Zayyat sampai empat kali dan mendapat per-
setujuannya. Dilaporkan bahwa ia juga belajar bacaan al-Quran
pada Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn Abi Layla, Isa ibn Amr
al-A‘masy, Abu Bakr ibn Ayyasy, Sulaiman ibn Arqam, Ja‘far al-
Shadiq, al-‘Azrami, Ibn Uyaina, dan meriwayatkan bacaan Syu‘bah.
Sekalipun demikian, al-Kisa’i sangat selektif dalam mengambil
bacaan. Ia menerima sebagian bacaan Hamzah dan menolak
sebagian lainnya.
Al-Kisa’i memiliki dua perawi langsung untuk bacaannya. Yang
pertama adalah Hafsh ibn Umar al-Duri, atau al-Duri – salah satu
perawi bacaan Ashim, yang karir ringkasnya telah dikemukakan
di atas – dan yang kedua adalah al-Laits ibn Khalid al-Marwazi al-
Bagdadi, atau digelari Abu al-Harits (w. 854). Kiraah al-Kisa’i yang
diriwayatkan Hafsh atau al-Duri diturunkan melalui dua jalan
periwayatan: Yang pertama melalui jalan periwayatan Ja‘far al-
Nushaibi – melalui tharîq al-Julanda dan tharîq Ibn Dizawaihi.
Yang kedua melalui jalan periwayatan Abu Utsman al-Dlarir –
melalui tharîq Ibn Hasyim dan tharîq Ibn Syada’i.
Perawi kedua bacaan al-Kisa’i, Abu al-Harits, adalah orang yang
terpercaya, cerdas, teliti, menguasai betul kiraah al-Kisa’i, dan
perekam bacaan al-Quran yang kompeten. Ia juga meriwayatkan
ahruf dari Hamzah ibn al-Qasim al-ahwal dari al-Yazidi. Sekalipun
tidak ada kesepakatan di kalangan otoritas Muslim tentang
orang-orang yang meriwayatkan kiraah Abu al-Harits ‘an al-Kisa’i,
pada umumnya disebutkan dua jalan periwayatannya: Yang pertama
adalah tharîq Muhammad ibn Yahya – melalui tharîq al-Baththi
dan tharîq al-Qantari. Yang kedua adalah tharîq Salamah ibn Ashim
– lewat tharîq Tsa‘lab dan tharîq Ibn Farah.
Informasi biografis ketujuh imam kiraah terpopuler berikut
data para perawi dan thuruq-nya di atas memperlihatkan bahwa
mata rantai periwayatan yang bersifat mutawãtir hanya bermula
dari para imam kepada para perawi di bawahnya. Sementara
kemutawatiran transmisinya dari Nabi kepada para imam ini ,
terlihat sangat meragukan dan secara jelas bisa dikategorikan sebagai
akhbãr al-ãhãd (periwayatan tunggal). Mata rantai perawinya, seperti
terlihat, tidak mencapai jumlah yang dibutuhkan untuk dipandang
sebagai tawãtur. Al-Zarkasyi (w. 794H) dengan tepat menyimpulkan
bahwa kiraah tujuh ditransmisikan secara mutawãtir dari ketujuh
imam kiraahnya; sementara ada alasan yang kuat untuk
menolak pernyataan tentang periwayatannya secara mutawãtir dari
Nabi kepada ketujuh imam ini . Mata rantai periwayatan tujuh
bacaan ini telah direkam dalam berbagai kitab kiraah, yang justeru
memperlihatkan bahwa ketujuh bacaan itu diriwayatkan secara
suksesif melalui transmisi tunggal.39 Sebagai gambaran umum, bisa
dikemukakan bahwa dari sudut pandang mata rantai periwayatan,
bacaan Nafi‘ dan Ashim terlihat lebih baik kualitasnya dibanding-
kan bacaan tujuh lainnya.40
Sekalipun diklaim bahwa kiraah tujuh dipilih berdasar
kriteria keselarasannya dengan textus receptus utsmani, namun
tujuh kiraah itu juga memiliki beberapa kecil penyimpangan dari
gestalt teks ini . Bentuk teks % (hayya) dalam 8:42, misalnya,
dibaca oleh Nafi‘, al-Bazzi ‘an Ibn Katsir, dan Abu Bakr ‘an Ashim
sebagai hayiya, yang tentunya mesti disalin dalam bentuk teks
semacam ini: %- .41 Demikian pula, bentuk teks ' 4- (ãtãni atau
ãtãnî-llãh) dalam 27:36, dibaca oleh Nafi‘, Abu Amr dan Hafsh
‘an Ashim sebagai ãtãniya-llãh (' #- ).42 Sekalipun demikian,
kasus-kasus semacam ini masih bisa dikatakan berada dalam batas-
batas kebebasan ortografis, sebab gaya penulisan teks utsmani
juga mengenal penghilangan huruf - atau #. .43
namun , penyimpangan radikal terhadap bentuk teks paling sering
muncul dalam bacaan Abu Amr. Bentuk teks N7 (nunsihã ) dalam
2:106, dibaca oleh Abu Amr – juga Ibn Katsir – sebagai Nd7
(nansa’hã).44 Demikian pula, bentuk teks C
(uqqitat) dalam 77:11,
dibaca Abu Amr sebagai wuqqitat.45 Bentuk teks UF& (liahaba) dalam
19:19, dibacanya sebagai liyahaba – sebagaimana juga dibaca oleh
Nafi‘.46 Dalam kasus-kasus semacam ini, bacaan-bacaan kanonik
atau lectio vulgata memperlihatkan bentuk kompromi lama:
membaca lain dari yang tertulis. Sebagai wakil untuk praktek
semacam ini, nama Ashim al-Jahdari biasanya disebutkan.
beberapa varian lainnya juga bisa ditelusuri dalam bacaan
kanonik yang tujuh. Ibn Katsir, Abu Amr, Ibn Dakhwan ‘an Ibn
Amir, Hafsh ‘an Ashim, dan Hamzah, membaca salãsila ( q )
untuk 76: 4, sementara Abu Amr membacanya sebagai salãsilã
( qq ).47 Nafi‘, Ibn Katsir dan Ashim membaca yaqushshu ( P )
untuk 6:57, sementara lainnya membaca yaqdli ( D ).48 Dalam
kasus-kasus semacam ini, perbedaan bacaan yang muncul bisa
dipulangkan pada scriptio defectiva yang digunakan untuk
menyalin textus receptus.49
Secara keseluruhan, bisa dikatakan bahwa yang paling
tergantung atau relatif sesuai dengan teks konsonantal utsmani
adalah bacaan Ibn Amir; yang agak mandiri atau tidak begitu terikat
dari teks ini adalah bacaan Abu Amr, menyusul bacaan
Hamzah. Sementara beberapa kecil ketidaksesuaian dengan textus
receptus juga masih dapat dilacak dalam dua sistem bacaan dari
kiraah tujuh yang digunakan dewasa ini di dunia Islam, yakni
Hafsh ‘an Ashim – yang digunakan mayoritas umat Islam – dan
Warsy ‘an Nafi‘. Namun, teks konsonantal utsmani itu sendiri
hingga kini umumnya belum terusik dengannya.
Sekalipun diklaim bahwa kiraah tujuh memenuhi kriteria
keselarasan dengan kaidah kebahasaan Arab, namun suatu
kontroversi yang akut muncul di kalangan otoritas Muslim
mengenai kekeliruan kebahasaan bacaan-bacaan ini . Ibn Jarir
al-Thabari, misalnya, mempertanyakan dalam berbagai kesempatan
keabsahan bahasa beberapa bacaan dalam sistem kiraah tujuh.50
Zamakhsyari, pakar bahasa penganut paham Mu‘tazilah, juga
melakukan hal yang sama dalam tafsirnya,51 seperti mufassir-
mufassir klasik lainnya.
Beberapa ilustrasi tentang kekeliruan linguistik semacam ini
bisa dikemukakan. Nafi‘, misalnya, dipersalahkan pakar bahasa
saat membaca kata nabîyîna dalam 2:58 sebagai nabî’îna, atau
kata al-barîyah dalam 98:6 sebagai al-barî’ah – sebagaimana juga
dibaca dalam kiraah Ibn Dakhwan ‘an Ibn Amir – dan kata
‘asaytum dalam 2:246 sebagai ‘asîtum.52 Senada dengan itu, al-
Zarkasyi menolak pilihan Hamzah saat membaca kata wa-l-
arhãma dalam dalam 4:1 sebagai wa-l-arhãmi. Abu Zayd, al-Ashma‘i
dan Ya‘qub al-Hadlrami menyalahkan Hamzah saat membaca
kata mushrikhiyya dalam 14:22 sebagai mushrikhiyyî. Mereka juga
mengeritik Abu Amr saat menyambung ungkapan al-Quran
yagfir lakum menjadi yagfir-rakum. Penyingkatan ini bahkan
dipandang al-Zajjaj sebagai kekeliruan yang buruk sekali.53
Sementara para pakar gramatik Bashrah secara kompak menolak
bacaan Ibn Amir untuk ungkapan zayyana ... qatla awlãdihim syura-
kã’uhum dalam 6:137 sebagai zuyyina ... qatlu awlãdahum
syurakã’ihim.54 Dengan berbagai kritisisme semacam ini, dalam
penilaian akhir dapat dikemukakan bahwa bacaan Abu Amr dan
al-Kisa’i merupakan bacaan-bacaan dalam tradisi kiraah tujuh yang
mencapai tataran kefasihan bahasa tertinggi.55
Barangkali lantaran berbagai kelemahan yang ada dalam kiraah
tujuh inilah yang menyebabkan munculnya reaksi dari beberapa
otoritas Muslim saat pembatasan bacaan kanonik kepada ketujuh
sistem bacaan ini ditetapkan. beberapa otoritas Muslim,
misalnya, mulai berbicara tentang “tiga qurrã’ setelah yang tujuh”
(yakni kiraah sepuluh, al-qirã’ãt al-‘asyr) dengan dua versi (riwãyah)
untuk setiap bacaan; atau “empat qurrã’ setelah yang sepuluh”
(yakni kiraah empat belas, al-qirã’ãt al-arba‘ah ‘asyr, sekalipun hanya
dengan satu versi (riwãyah) untuk bacaan-bacaan tertentu. Tiga
imam setelah yang tujuh adalah:
(1) Abu Ja‘far al-Makhzumi al-Madani – nama aslinya adalah
Yazid ibn al-Qa‘qa‘ (w. 747) – yang populer di wilayah
Madinah. Ia memiliki dua perawi, yakni Abu al-Harits Isa
ibn Wardan, atau terkenal sebagai Isa (w. 777), dan
Sulaiman ibn Muslim ibn Jammaz Abu al-Rabi‘ al-Zuhri,
atau terkenal sebagai Ibn Jammaz (w. 786).
(2) Ya‘qub al-Hadlrami – nama lengkapnya adalah Ya‘qub ibn
Ishaq ibn Zayd ibn Abd Allah Abu Muhammad al-
Hadlrami (w. 820) – yang populer di wilayah Bashrah.
Dua perawi yang meriwayatkan bacaan Ya‘qub adalah
Muhammad ibn Mutawakkil Abu Abd Allah al-Lu’lu’i al-
Bashri, atau dikenal sebagai Ruways (w. 949), dan Abu al-
Hasan ibn Abd al-Mu’min al-Hudzali, dikenal sebagai Ruh
(w. 848/9).
(3) Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar, atau Khalaf – salah seorang
perawi bacaan Hamzah – yang populer di Kufah.56 Kiraah
Khalaf diriwayatkan oleh Ishaq ibn Ibrahim ibn Utsman
Abu Abd Allah ibn Ya‘qub, atau dikenal dengan Ishaq (w.
899), dan Idris ibn Abd al-Karim al-Haddad Abu al-Hasan
al-Bagdadi, atau dikenal dengan Idris (w. 904).
Sementara empat imam setelah yang sepuluh – yakni setelah
sepuluh imam kiraah di atas – adalah:
(1) Ibn Muhaishin – nama lengkapnya Muhammad ibn Abd
al-Rahman al-Makki (w. 740) – dari kota Makkah;
(2) Abu Muhammad Yahya ibn al-Mubarak, terkenal dengan
al-Yazidi (w. 817), dari kota Bashrah;
(3) Abu Sa‘id al-Hasan ibn Yasar, atau dikenal sebagai al-Hasan
al-Bashri (w. 728), dari Bashrah; dan
(4) Abu Muhammad Sulaiman ibn Mihran, lebih dikenal
sebagai al-A‘masy (w. 765).
beberapa sarjana muslim lainnya, sebagaimana diungkapkan
al-Jaza’iri, juga mempermasalahkan seleksi Ibn Mujahid terhadap
ketujuh bacaan ini .57 Abu al-Abbas ibn Ammardan Abu
Muhammad al-Makki, misalnya, mengecam Ibn Mujahid sebab
membuang nama Ya‘qub – salah satu imam kiraah sepuluh dalam
daftar di atas – dari jajaran bacaan tujuh dan menggantikannya
dengan al-Kisa’i.58 Demikian pula, seperti telah disinggung, al-
Dajuni memasukkan al-Thabari sebagai salah satu dari imam kiraah
sepuluh.59 Sementara al-Suyuthi, menyitir gagasan beberapa besar
otoritas Muslim lainnya yang menentang pembatasan Ibn Mujahid
atas kiraah tujuh
Berbagai sudut pandang dan daftar para imam kiraah yang
berbeda di atas merefleksikan perdebatan-perdebatan sengit yang
terjadi di kalangan sarjana-sarjana Muslim dari berbagai mazhab
dan pertarungan berbagai kecenderungan yang berbeda dalam
warga Muslim. Namun, lantaran dukungan yang kuat dari
otoritas politik, akhirnya tujuh bacaan yang dihimpun Ibn Mujahid
diakui dan disepakati ortodoksi Islam sebagai bacaan resmi untuk
textus receptus utsmani. Berbagai penyimpangan terhadapnya
kemudian diusaha kan untuk diperas keluar dari lingkungan umat
Islam. usaha untuk mempertahankan pandangan ortodoksi dan
menggagalkan usaha-usaha yang bertujuan mengubahnya dapat
dilihat dalam dua peristiwa yang terjadi pada 934 dan tahun
berikutnya.
Pada 934, Abu Bakar Muhammad ibn al-Hasan ibn Ya‘qub
ibn al-Hasan ibn Miqsam al-‘Aththar – terkenal dengan sebutan
Ibn Miqsam (w. 944),61 seorang qãrî’ dan pakar bahasa terkemuka
di Bagdad – dalam suatu persidangan resmi di hadapan otoritas
politik, fuqahã’ dan qurrã’, diancam dan dipaksa menarik
pandangannya bahwa seorang Muslim berhak memilih bacaan
dalam kerangka konsonantal apapun yang selaras dengan kaidah
kebahasaan dan memiliki makna yang masuk akal, meski tidak
seorang pun yang pernah membaca seperti itu. Ia dipaksa
menyatakan pertobatannya dan menandatangani sebuah mahdlar
(“berita acara,” “pernyataan resmi”) bahwa ia akan meninggalkan
bacaan “khusus”-nya. Namun, diberitakan belakangan – setelah
wafatnya Ibn Mujahid, orang yang telah menentang dan
menyebabkannya diadili – ia kembali kepada bacaan khususnya.
Satu-satunya contoh tentang bacaan Ibn Miqsam yang sampai
kepada kita adalah kata najîyan dalam 12:80 telah dibacanya sebagai
nujabã’a, yang dipandang oleh oposan-oposannya sebagai tidak
masuk akal dan tidak bisa disetujui, sebab baik vokalisasi maupun
pemberian titik-titik diakritis penanda konsonan telah menyimpang
dari kelaziman.62 namun , bacaan Ibn Miqsam, dalam kenyataannya,
bukanlah hal yang aneh di masa-masa sebelumnya. Sebagaimana
telah disinggung di atas, usaha semacam ini juga pernah dilakukan
oleh al-Tsaqafi.
Pada tahun berikutnya (935), sarjana Muslim lainnya,
Muhammad ibn Ahmad ibn Ayyub ibn Syanabudz (w. 939), guru
Ibn Miqsam, diadili wazir Ibn Muqla di depan para hakim, fuqahã’
dan qurrã’ sebab pandangannya yang membolehkan kaum
Muslimin menggunakan bacaan Ibn Mas‘ud dan Ubay ibn Ka‘b.
Orang yang mengadukan dan mengusaha kan pengadilannya adalah
Ibn Mujahid. Di depan pengadilan ini , ia dipersalahkan dan
dihukum dera – bahkan, sebagaimana diberitakan Ibn al-Nadim,
Ibn Muqla yang menjalankan eksekusi itu sendiri63 – dan dipaksa
bertobat. Barangkali lantaran penolakannya, ia lalu dipenjara.
Akhirnya, setelah menandatangani surat pernyataan tobat dan
bersalah atas bacaan-bacaan non-utsmaninya dan mengakui bahwa
versi bacaan utsmani sebagai yang paling benar – sebagaimana
direkam Ibn al-Nadim – ia lalu memperoleh kembali
kebebasannya.64 Bacaan-bacaan Ibn Syanabudz yang menyimpang
dari tradisi teks dan bacaan utsmani bisa ditemukan dalam beberapa
sumber.65 Penelusuran terhadap berbagai bacaan Ibn Syanabudz
menyampaikan kepada kesimpulan bahwa ia mengikuti bacaan-
bacaan yang ada dalam mushaf para sahabat Nabi atau mushaf-
mushaf pra-utsmani.66
Dua kasus di atas memperlihatkan bahwa mulai saat itu variae
lectiones di luar tradisi teks utsmani tidak lagi diakui keabsahannya,
dan usaha -usaha penyelarasan kiraah dengan bahasa berdasar
nalar (‘alã qiyãs al-‘arabiyah) – secara teknis disebut irtijãl –
dipandang sebagai hal yang tabu (bid‘ah). Penolakan bacaan di
luar tradisi teks utsmani – atau tegasnya di luar bacaan kanonik
yang tujuh – bisa dilihat dari pengelompokkan bacaan-bacaan al-
Quran ke dalam tiga kategori utama: (i) bacaan mutawãtir – suatu
istilah yang dipinjam dari terminologi mushthalah al-hadîts (kritik
hadits) dan ushûl al-fiqh – yaitu kiraah tujuh, yang dipandang
sebagai bacaan kanonik untuk textus receptus; (ii) bacaan masyhûr,
yaitu kiraah sepuluh dan kiraah para sahabat Nabi, yang tidak
lagi digunakan dalam makna umum “diakui”, namun – menurut
terminologi mushthalah – merujuk kepada peringkat kedua setelah
tawãtur; dan (iii) bacaan syãdzdz, yaitu bacaan di luar kiraah yang
diakui. Di sini diperdebatkan apakah ia mencakup bacaan di luar
bacaan tujuh, bacaan sepuluh, dan lainnya. Skala penuhnya adalah
pengelompokan bacaan al-Quran ke dalam 4 kategori: (i) mutawãtir;
(ii) masyhûr; (iii) ahad; dan (iv) syãdzdz.67 namun , dalam
kenyataannya, hanya ada dua kategori bacaan al-Quran yang diakui
secara umum pada tataran praxis: bacaan kanonik (mutawãtir),
menunjuk kepada kiraah tujuh, dan bacaan non-kanonik (syãdzdz),
merujuk kepada bacaan-bacaan di luar kiraah tujuh. Kategorisasi
semacam ini barangkali bisa dirujukkan kepada penggunaan bahasa
yang mempertentangkan bacaan tujuh dan syãdzdz, dan dapat
dikembalikan kepada Ibn Mujahid sendiri. Ia telah menyusulkan
sebagai pelengkap Kitãb al-Sab‘ – yang mengemukakan tentang
kiraah tujuh – suatu risalah yang diberinya judul Kitãb al-Syawãdzdz
(bentuk jamak dari syãdzdz).
Eliminasi berbagai bentuk penyimpangan terhadap mushaf
utsmani ini hanya merupakan salah satu dari proses-proses besar
ke arah unifikasi teks dan bacaan al-Quran. Faktor yang
mempengaruhi proses ini adalah prinsip mayoritas (ijmã‘ )
atau kecenderungan umum yang berkonvergensi dalam
perkembangan Islam. Seperti terlihat, proses unifikasi telah
mewarnai sejarah teks al-Quran selama abad pertama Hijriah dan
hampir mencapai tujuannya pada masa Ibn Mujahid, di mana
bentuk tradisionalisme yang kaku berhasil memapankan diri.
Proses unifikasi bacaan untuk textus receptus yang luar biasa
itu, bisa dilihat secara sambil lalu dalam komparasi daftar bacaan
non-kanonik dan beberapa kecil ketidaksesuaian dengan teks
utsmani yang ada dalam kiraah tujuh. Akan terlihat secara
nyata bahwa tidak hanya ragam bacaan yang bersinggungan dengan
aspek bahasa atau teknis dari teks telah dihilangkan, namun
keragaman dialektis juga telah dibatasi sampai ke taraf yang sangat
minim. Salah satu buktinya adalah pengucapan bihû, fîhu atau
fîhû, dan lainnya, untuk kata-kata bihî, fîhi atau fîhî, yang hampir-
hampir telah menghilang eksistensinya dalam literatur-literatur
kiraah.
Dalam kiraah-kiraah kanonik, proses unifikasi bacaan juga
dapat ditelusuri, terutama dalam kaitannya dengan bacaan lama
dan bacaan baru di suatu wilayah yang sama. Contohnya adalah
dalam beberapa besar bacaan di mana Nafi‘ menyimpang dari
seniornya, Abu Ja‘far, dan meninggalkan bacaan yang terisolasi;
atau, yang sangat jarang terjadi, ia meninggalkan bacaan seniornya
yang telah tersebar luas dan menerima bacaan yang jarang
digunakan. Sementara dalam kasus lainnya, ia terlihat
mempertukarkan bacaan-bacaan terkenal antara satu dengan
lainnya.69 Kasus-kasus semacam ini bukanlah kebetulan. Dalam
kenyataannya, Nafi‘ menyadari bahwa bacaannya selaras dengan
bacaan mayoritas, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa
pernyataannya, misalnya: “Aku telah membaca al-Quran di depan
70 orang tabiin, apabila ada dua di antaranya yang bersepakat
tentang suatu bacaan, maka aku ambil bacaan itu, dan bila ada
satu yang menyimpang, maka kutinggalkan, hingga kuhimpun
kiraah ini.”
Aplikasi ikhtiyãr – demikian istilah teknis untuk seleksi
berbagai ragam bacaan – oleh Nafi‘ dalam penghimpunan
bacaannya, juga memiliki kemiripan dengan yang dilakukan oleh
al-Kisa’i. Yang terakhir ini dikabarkan pernah berujar bahwa ia
telah menyeleksi (ikhtãra) dari kiraah Hamzah dan kiraah lainnya
suatu bacaan moderat (mutawassithah) yang tidak menyimpang
dari jejak-jejak yang ditinggalkan imam-imam kiraah sebelumnya.71
Hal pertama yang disepakati dalam proses unifikasi ini, dilihat
dari karakteristik tulisan, adalah titik-titik diakritis untuk kerangka-
kerangka konsonantal yang sama. Kiraah Hasan al-Bashri – salah
satu imam kiraah empat belas yang paling senior – masih memiliki
banyak karakteristik pemberian titik diakritis yang khas, sekalipun
ia telah mulai menapaki titik balik ke arah kesepakatan.72 Sementara
dalam bacaan tujuh, perbedaan pemberian titik diakritis terlihat
sangat jarang.73 Sementara untuk kasus perbedaan vokalisasi
kerangka konsonantal sejenis, suatu teknik penafsiran yang cukup
maju dikembangkan untuk memungkinkan pemaknaan yang
beragam terhadap teks; atau di sisi lain, untuk mencapai tujuannya,
dilakukan penyimpangan vokalisasi teks atau pengubahan kerangka
konsonantalnya, melalui penafsiran. Contohnya adalah tata cara
berwudlu dalam 5:6, tepatnya pada ungkapan )O$ . ada
dua bacaan di sini dalam tradisi kiraah tujuh: (i) Nafi‘, Ibn Amir,
Hafsh ‘an Ashim dan Kisa’i membaca wa arjulakum, yang bermakna
bahwa kaki mesti dibasuh; (ii) Ibn Katsir, Abu Amr, Abu Bakr ‘an
Ashim dan Hamzah membaca wa arjulikum, yang berarti kaki
cukup diusap. Hasan al-Basri membaca bagian ini dengan sebuah
kompromi: wa arjulukum. Dengan demikian, bacaan ini
menunjukkan kepada suatu kalimat baru, dan predikat kalimat
ini dapat merujuk kepada pembasuhan kaki ataupun
pengusapannya dalam berwudu. Keseluruhan mazhab fikih Sunni
– kecuali Syi‘ah – sepakat tentang kewajiban membasuh kaki dalam
kasus ini. Namun, bacaan wa arjulikum yang ada dalam
sebagian tradisi kiraah tujuh tetap dipertahankan.
Uraian-uraian sejauh ini memperlihatkan bahwa proses
unifikasi bacaan al-Quran berlangsung dalam dua etape: Pertama,
unifikasi bacaan di dalam suatu wilayah (mishr); dan kedua,
unifikasi bacaan antara wilayah-wilayah (amshãr). Kedua proses
ini ditempuh melalui apa yang secara teknis disebut sebagai ikhtiyãr
yang berorientasi kepada prinsip mayoritas. namun , proses unifikasi
ini – yang di masa itu tengah berada di etape kedua – terputus
saat gagasan tradisionalisme Ibn Mujahid yang kaku
mendominasi dunia Islam. Gagasan ini tidak memperkenankan
lagi penggabungan antara ragam-ragam bacaan yang memiliki asal-
usul berbeda, dan menuntut bahwa setiap sistem bacaan al-Quran
mesti disampaikan dalam keseluruhan bentuknya tanpa perubahan.
Seandainya proses perkembangan unifikasi ini tidak terganggu,
besar kemungkinannya suatu bacaan resmi untuk textus receptus
utsmani bisa dicapai berdasar prinsip mayoritas, ketimbang
menjadikan salah satu di antara bacaan-bacaan kanonik – yang tidak
satu pun darinya bebas dari kritisisme, seperti ditunjukkan di atas –
sebagai bacaan standar atau semacam supremasi kanonik. Namun,
sebagaimana akan ditunjukkan di bawah, kecenderungan umum
tradisionalisme inilah yang belakangan berlaku di dunia Islam.
usaha untuk mengkritisi setiap ragam bacaan memang masih
berlangsung selama beberapa waktu setelah Ibn Mujahid, seperti
yang dilakukan oleh al-Thabari, al-Bagawi (w. 1117) dan
Zamakhsyari dalam tafsir mereka. Bahkan, dalam kasus al-Thabari,
terlihat bahwa ia secara sadar menjalankan ikhtiyãr dalam mag-
num opus-nya – yakni dalam kitab tafsirnya – yang berorientasi
kepada prinsip mayoritas, untuk membangun suatu sistem bacaan
tersendiri.74 namun , usaha -usaha semacam ini tidak membawa
pengaruh yang berarti dalam pandangan dunia tradisional, dan
kehilangan makna dan kekuatannya saat berhadapan dengan
ortodoksi Islam yang didominasi gagasan Ibn Mujahid.
Kegagalan usaha -usaha di atas barangkali bisa juga dikaitkan
dengan kecenderungan umum yang mulai muncul saat itu –
sekitar abad ke-10 – yang memandang bahwa gerbang ijtihãd telah
tertutup. Memang tidak ada rekaman apapun mengenai
pernyataan resmi penutupan pintu ijtihãd, namun mayoritas ulama
pada masa itu mulai memandang bahwa seluruh permasalahan
keagamaan yang esensial telah dibahas secara tuntas dan, sebab
itu, pelaksanaan ijtihãd tidak lagi diizinkan.75 Dengan demikian,
usaha untuk mengaplikasikan ikhtiyãr, dalam rangka membangun
suatu sistem bacaan yang tersendiri, tentunya merupakan hal yang
tidak diperkenankan lagi selaras dengan elan dasar yang menjiwai
penutupan gerbang ijtihãd.
Ikhtiyãr memang masih juga dijalankan setelah Ibn Mujahid,
namun pada umumnya telah mengalami proses pemiskinan
konseptual, seirama dengan degradasi dalam konseptualisasi
ijtihãd – yakni ijtihãd mutlak tidak lagi diakui eksistensinya,
dan yang dibolehkan hanyalah ijtihãd parsial yang terbatas
penggunaannya pada penjelasan, aplikasi dan penafsiran dari hal-
hal yang telah dirumuskan.76 beberapa besar otoritas yang
mempraktekkan ikhtiyãr tidak lagi menyeleksi berbagai bacaan
untuk membangun sistem bacaannya yang tersendiri, namun hanya
untuk memilih di antara berbagai riwayat dalam suatu sistem
bacaan kanonik, di mana diputuskan memilih salah satu dari
berbagai transmisi yang berbeda tentangnya dan mengisi
kekosongan-kekosongan di dalam sistem ini . Ilustrasi klasik
tentangnya bisa dikemukakan dalam kasus saat Ibn Mujahid
“memilih” salah satu dari dua riwayat bacaan Abu Bakr ‘an Ashim
untuk 18:96, yakni îtûnî dan ãtûnî. Dalam kasus ini Ibn Mujahid
memilih bacaan ãtûnî.77 Bentuk ikhtiyãr yang lebih lemah lagi
dipraktekkan oleh Abu Muhammad Abd Allah ibn Muhammad
Yusuf-effendi-zade (w. 1176), saat memberi pijakan bagi
“seleksi”-nya atas berbagai perbedaan periwayatan dalam bacaan
sepuluh.
Kecenderungan yang kuat ke arah standardisasi bacaan semakin
mengkristal pada masa-masa selanjutnya. Penemuan mesin cetak
oleh Johanes Guetenberg di Mainz, Jerman, pada abad ke-15 dan
penggunaannya dalam pencetakan al-Quran,79 telah mempercepat
penyebaran naskah yang dicetak menurut suatu sistem bacaan.
Sekalipun sistem bacaan yang tujuh disepakati dalam teorinya
sebagai bacaan-bacaan otentik al-Quran, dalam kenyataannya hanya
dua dari empat belas versi (riwãyãt) bacaan ini yang dicetak
dan digunakan dewasa ini di dunia Islam. Versi pertama, Warsy
‘an Nafi‘, digunakan beberapa kecil kaum Muslimin di daerah
barat dan barat laut Afrika, dan di Yaman, khususnya di kalangan
sekte Zaydiyah. Sementara versi kedua, Hafsh ‘an Ashim, digunakan
mayoritas kaum Muslimin di hampir seluruh dunia Islam,
termasuk negara kita . Pencetakan al-Quran edisi standar Mesir pada
1923 yang disalin dengan bacaan Hafsh ‘an Ashim telah
menjadikannya semacam supremasi kanonik, dan dapat
dibayangkan bahwa pada masa-masa mendatang bacaan Hafsh ‘an
Ashim akan mengeliminasi eksistensi tertulis bacaan lainnya yang
tersisa. Indikasinya barangkali bisa dilihat dalam publikasi karya-
karya tafsir lama. Jadi, saat karya tafsir sarjana Muslim Yaman
terkemuka, al-Syawkani (w. 1839), diterbitkan, maka teks al-Quran
di dalam naskah aslinya yang disalin dengan bacaan Warsy ‘an
Nafi‘ telah diganti dengan bacaan Hafsh ‘an Ashim. Demikian
pula, negeri-negeri Muslim telah menjadikan al-Quran edisi Mesir
sebagai panutan dalam berbagai pencetakan al-Quran. Bahkan, edisi
ini mulai menggantikan teks al-Quran edisi Fluegel dalam
penggunaannya di dunia akademik Barat sejak perempatan terakhir
abad ke-20.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses unifikasi
teks dan bacaan al-Quran yang dimotori oleh Khalifah Utsman –
yang mencapai kemajuan berarti pada penghujung abad ke-3H/9,
dengan selesainya penyempurnaan aksara Arab yang digunakan
untuk menyalin al-Quran, dan pada permulaan abad ke-4H/10,
dengan penerimaan ortodoksi atas tujuh bacaan yang dihimpun
Ibn Mujahid – baru mencapai titik kulminasi dengan
dipublikasikannya al-Quran edisi standar Mesir pada 1923. Edisi
Mesir ini, seperti terlihat, telah berhasil menciptakan keseragaman
yang hampir bersifat absolut dalam teks dan bacaan al-Quran.
Eksistensi keragaman bacaan dirasakan tidak lagi
menyenangkan bagi kaum Muslimin modern. Sekte Ahmadiyah,
misalnya, secara tegas menolak keberadaan bacaan yang tujuh
ataupun keragaman bacaan pra-utsmani untuk kepentingan
dakwahnya. Demikian pula, proposal yang diajukan Labib as-Said
pada 1959 untuk merekam dalam bentuk audio bacaan-bacaan
mutawãtir dan masyhûr81 telah mengalami jalan panjang yang
berliku-liku dan hanya berhasil menelurkan rekaman bacaan Hafsh
‘an Ashim – bacaan yang digunakan untuk menyalin al-Quran
edisi standar Mesir, rujukan mayoritas umat Islam di seluruh
dunia.82 Dorongan kuat ke arah standardisasi tampaknya yang
telah menggagalkan usaha as-Said untuk melindungi sebagian
kecil warisan al-Quran.
namun , implikasi dari proses standardisasi ini, dalam
kenyataannya, telah mempersempit ruang gerak berbagai usaha
untuk memikirkan kembali Islam yang secara setia berpijak pada
akar spiritualnya. Hal ini disebab kan usaha -usaha semacam itu
hanya bisa bertumpu pada tradisi teks dan bacaan tunggal yang
disepakati, atau – meminjam istilah yang digunakan Mohammed
Arkoun – berpijak pada “Korpus Resmi Tertutup.”
Al-Quran diwahyukan dalam suatu situasi kesejarahan yangkonkret. Sebagian besar kandungan kitab suci ini merupakan
respon terhadap situasi kesejarahan ini . Situasi politik yang
saat itu didominasi oleh perebutan kekuasaan antara Persia dan
Bizantium – yang dalam kenyataannya memiliki relevansi nyata
terhadap orang-orang Arab – ditanggapi dalam beberapa kesempatan
di dalam al-Quran. Kitab suci ini juga merekam situasi sosio-religius
di jazirah Arab dan memberikan respon melalui ajaran-ajarannya
yang bersifat universal. Karir kenabian Muhammad selama dua
puluh tiga tahun – 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah
– memperlihatkan secara gamblang hal ini .
Al-Quran sejak awal mendaku asal-usul ilahiahnya. beberapa
istilah yang lazim dijadikan rujukan untuknya, atau dengannya kitab
suci itu memperkenalkan diri – seperti qur’ãn, kitãb, dzikr, tanzîl,
dan lainnya – dengan jelas mengungkapkan asal-usul ilahiahnya.
Sekalipun demikian, para penentang kontemporer Nabi –
berdasar kemiripan al-Quran dengan ungkapan kãhin, syã‘ir,
dan lainnya – menduga sumber inspirasi al-Quran berasal dari ruh-
ruh jahat atau kekuatan-kekutan setaniyah. Para oposan Nabi, lebih
jauh bahkan memandang al-Quran sebagai rekayasa imajinasi
kreatifnya, baik tanpa atau dengan bantuan manusia lain yang
diduga berlatar belakang Yahudi atau Kristen. Al-Quran merekam
seluruh tantangan yang diajukan oposan kontemporer Nabi itu
dan menyanggahnya sembari menegaskan asal-usul ilahiahnya.
Konsepsi – atau lebih tepat: miskonsepsi – para oposan Nabi,
sampai taraf tertentu, memiliki kemiripan dengan berbagai gagasan
yang dikembangkan para sarjana Barat sejak abad pertengahan
hingga kini. Dalam kebanyakan kasus, pengembangan yang
dilakukan Barat, terutama pada periode modern, diarahkan untuk
membuktikan “secara ilmiah” sumber-sumber atau asal-usul genetik
al-Quran dalam tradisi Yudeo-Kristen, berpijak pada berbagai
kemiripan ajarannya dengan kedua tradisi keagamaan Semit
ini . namun , kaum Muslimin akan menisbatkan kemiripan ini
pada kesamaan sumber atau asal-usul kitab suci ketiganya. Menurut
keyakinan Islam, seluruh kitab suci – bahkan di luar tradisi ketiga
agama Ibrahim itu – terpancar dari sumber tunggal, yakni umm
al-kitãb atau kitãb maknûn, atau lawh mahfûzh, yang biasanya
dipandang sebagai tafsiran untuk amr.
Dari “luh yang terpelihara” (lawh mahfûzh) inilah Jibril atau
rûh – di dalam al-Quran selalu diasosiasikan dengan amr, seperti
dalam konstruksi rûh min amrinã – “turun” dan masuk ke dalam
hati Nabi kemudian menyampaikan wahyu ilahi dari bawah
sadarnya secara berangsur-angsur, selaras dengan kebutuhan situasi
dan kondisi. Jadi, pewahyuan kepada Nabi jelas bersifat spiritual
dan internal, sekalipun dorongan-dorongan ke arah terjadinya
pengalaman kenabian bisa bersifat eksternal. namun , gagasan
semacam ini jarang ditemukan dalam hadits-hadits, yang justeru
memberi gambaran eksternalistik tentangnya: wahyu datang melalui
“mata atau telinga” Nabi. sebab itu, hadits-hadits semacam itu
mesti dipandang sebagai fiksi-fiksi belakangan yang direkayasa
saat ajaran-ajaran dogmatis Islam tengah dalam proses
pembentukan.
Pengalaman kenabian Muhammad bermula saat ia berusia
sekitar 40 tahun, pada suatu malam yang lazim disebut sebagai
laylat al-qadr – diyakini mayoritas Muslim terjadi pada 17 Ramadlan
– 13 tahun sebelum ia berimigrasi ke Madinah (sekitar 609/610).
Setelah itu, wahyu diterimanya secara berangsur-angsur selama 23
tahun kenabian hingga dipanggil ke hadirat ilahi pada 11H/632.
ada banyak versi yang berkembang, baik di kalangan kaum
Muslimin – yang hampir seluruhnya bertumpu pada gagasan Ibn
Abbas – ataupun sarjana Barat tentang sekuensi kronologis
pewahyuan bagian-bagian al-Quran. namun , hingga dewasa ini, tidak
ada satu pun gagasan tentangnya yang memuaskan. Keseluruhan
aransemen kronologis pewahyuan al-Quran yang diajukan memiliki
beberapa cacat mendasar, baik pada asumsi-asumsi penanggalan
ataupun pada susunan kronologis aktualnya.
Dengan demikian, sekalipun dipandang mustahil oleh sarjana-
sarjana tertentu, rekonstruksi kronologi pewahyuan bagian-bagian
al-Quran sudah semestinya menjadi salah satu perhatian utama
para pakar yang bergelut dengan kitab suci ini . Dari sudut
pandang al-Quran sendiri, keberadaan suatu sistem penanggalan
semacam itu mendapat justifikasi dari prinsip graduasi
pewahyuannya. Lebih jauh, kronologi ini akan menyediakan basis
yang cukup solid untuk penafsiran al-Quran, terutama bagi
pendekatan tematis-kronologis yang tengah mewabah dalam
perkembangan tafsir al-Quran dewasa ini. Refleksi tentang
kronologi al-Quran yang dikemukakan di bagian akhir bab 3
barangkali bisa memberikan kontribusi ke arah rekonstruksi
termaksud.
Wahyu-wahyu al-Quran yang diterima Nabi dan disampaikan
kepada generasi pertama Islam telah dipelihara dalam bentuk
hafalan atau tulisan di atas berbagai bahan untuk menulis. Di
samping tradisi oral al-Quran, beberapa sahabat Nabi – seperti
Ibn Mas‘ud, Ubay ibn Ka‘b, Abu Musa al-Asy‘ari, dan lainnya –
secara individual merekam dalam bentuk tertulis materi-materi
al-Quran, yang setelah wafatnya Nabi dikumpulkan ke dalam
mushaf. ada pandangan-pandangan minoritas, seperti
diajukan kalangan tertentu Syi‘ah dan beberapa pengamat Barat,
bahwa mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini adalah hasil
kompilasi Nabi sendiri. namun , pandangan ini bertabrakan dengan
seluruh kenyataan sejarah yang ada. Fenomena mashãhif awal,
dan kebutuhan yang muncul sepeninggal Nabi untuk merekam
secara tertulis pesan-pesan ilahi, dengan tegas menyangkali
pandangan ini . Di samping itu, ada pandangan
minoritas lain yang memulangkan usaha pengumpulan tertulis
al-Quran – beberapa otoritas Sunni membatasi makna
pengumpulan di sini sebagai penghafalan – kepada Ali ibn Abi
Thalib semasa hidup Nabi atau segera setelah wafatnya. Namun,
pandangan semacam ini juga sangat meragukan dan lebih bersifat
tendensius.
Di antara mushaf-mushaf al-Quran yang awal, ada empat
mushaf sahabat – yakni mushaf Ibn Mas‘ud, Ubay ibn Ka‘b, Abu
Musa al-Asy‘ari, dan Miqdad ibn Aswad – yang menjadi rujukan
kaum Muslimin setelah wafatnya Nabi hingga beberapa saat setelah
kodifikasi Utsman ibn Affan. Dalam gagasan ortodoksi Islam,
ragam bacaan yang eksis di dalam mushaf-mushaf ini, demikian
pula dalam mushaf-mushaf pra-utsmani lainnya, tidak mencapai
derajat mutãwatir atau masyhûr. sebab itu, bacaan-bacaan ini
bukan merupakan bacaan otentik al-Quran dan tidak diperkenankan
penggunaannya dalam shalat. Mazhab Hanafiyah merupakan satu-
satunya mazhab dalam ortodoksi Islam yang tidak mempermasalahkan
penggunaan bacaan para sahabat Nabi dalam shalat, sepanjang tidak
ada perubahan makna dalam bacaan ini .
beberapa otoritas di kalangan ortodoksi Islam bahkan
mempermasalahkan peran bacaan para sahabat dalam penyimpulan
hukum. namun , sudut pandang yang arif di dalam ortodoksi Islam
sendiri membolehkannya berdasar analogi peran hadits yang
terisolasi (ãhãd) dalam kasus senada. Pada titik ini, bacaan-bacaan
non-utsmani berfungsi sebagai penafsir terhadap bacaan-bacaan
kanonik. Dalam pemikiran hukum Islam, banyak ditemukan
derivasi ketentuan hukum yang dipijakkan pada bacaan di luar
tradisi teks utsmani.
Mayoritas sarjana Barat juga mengungkapkan keraguan tentang
historisitas mushaf-mushaf pra-utsmani dari sudut pandang kritik
kesejarahan yang ketat. namun , temuan manuskrip al-Quran pra-
utsmani di San‘a telah meruntuhkan asumsi semacam itu. Jadi,
sekalipun keragaman teks dan bacaan al-Quran yang ada dalam
beberapa laporan yang ada dewasa ini terbukti tidak sejalan dengan
kebenaran sejarah dan lebih menunjukkan sebagai rekayasa
belakangan, hal ini tidak menegasikan kenyataan bahwa keragaman
tradisi teks dan bacaan al-Quran merupakan fenomena kesejarahan
al-Quran yang awal.
Mushaf-mushaf al-Quran yang awal memiliki beberapa
perbedaan dengan mushaf resmi yang dikumpulkan pada masa
Khalifah Ketiga – mulai dari sekuensi dan jumlah surat sampai
kepada perbedaan ortografis, teks dan bacaan. Kenyataan ini, di
samping berbagai alasan lainnya menyangkut kandungan
periwayatan yang meragukan secara historis, dengan jelas menafikan
kemungkinan adanya usaha pengumpulan resmi al-Quran pada
masa kekhalifahan Abu Bakr al-Shiddiq. Bisa saja Abu Bakr telah
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 379
menyuruh Zayd ibn Tsabit untuk mengumpulkan al-Quran, namun
mushaf ini bukanlah mushaf resmi yang pengumpulannya
diotorisasi penguasa politik. Mushaf itu, seandainya benar-benar
eksis, hanya bisa dikategorikan sebagai mushaf pribadi.
Keragaman teks dan bacaan yang eksis dalam mushaf-mushaf
otoritatif para sahabat belakangan mulai menggangu kesatuan
politik umat Islam, sehingga Khalifah Utsman mengambil
kebijakan resmi untuk melakukan unifikasi teks al-Quran,
dilanjutkan dengan pemusnahan mushaf-mushaf lainnya. Sejarah
resmi tradisional juga mengaitkan usaha unifikasi Utsman dengan
kodifikasi Abu Bakr dan secara eksplisit mengungkapkan bahwa
basis dari teks utsmani adalah teks kumpulan pertama, yang saat
itu berada dalam pemilikan Hafshah. namun , pengaitan ini terlihat
ilusif, bahkan ahistoris, dan cenderung mengecilkan peran Utsman
yang amat menentukan dalam hal ini. Laporan tentang usaha
Marwan untuk memusnahkan mushaf Hafshah, lantaran
kekuatirannya mengenai bacaan-bacaan tidak lazim di dalamnya
yang potensial menyebabkan perselisihan di kalangan warga
Muslim, dengan tegas menunjukkan bahwa naskah Hafshah tidak
memadai sebagai basis utama kodifikasi Utsman. Sekalipun
mendapat tantangan dari segelintir sahabat Nabi, mushaf utsmani
belakangan berhasil membenamkan mushaf-mushaf sahabat yang
berpengaruh saat itu ke dalam limbo sejarah. Dengan dukungan
otoritas politik banu Umaiyah, klan Utsman sendiri, banu
Abbasiyah, dan mayoritas Muslim, mushaf ini ber