Minggu, 14 Desember 2025

Fikh ibadah 11

 


sekali, kemudian ia shalat lagi

dengan keyakinan bahwa ia lakukan jugashalatfardhu. Tetapi jikashalat

lagi dengan keyakinan bahwa salah satunya yaitu   shalat sunnat, maka

ia tidak melanggar larangan ini .

Udzur-udzur yang Memperbolehkan Meninggalkan

Shalat Berjamaah di Masjid

Bersumber dari Ibnu Umar dari Nabi Shollo llahu Alaihi wa Sallam,

sesungguhnya beliau menyuruh seorang mua&in yang biasa menyerukan

shalat. Si muadzin berseru, "Shalatlah dirumah kalia.n pada rnalam yang

sangat dingin, pada malam turun hujan lebat, dan pada saat sedang dalam

perjalanan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

gi*db.qiadalu

Shalat

Bersumber dari Jabir, ia berkata, "Kami keluar bersama Rasulullah

shailaltahu Alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan dan kami

kehujanan. Lalu beliau bersabda, ,"Siapo di antara kalian yang ingin,

silahkan ia shalat di tempat tinggalnya saj a. " ( HR. Ahmad, Muslim, dan

lainnya)

Bersumber dari Ibnu Abbas sesungguhnya ia berkata kepada seomng

mua&innya pada hari turun hujan lebat, "$pabila kamu selesai membaca

kalimat Asy hadu annaMuhammadar Rasulullah, jangan kamu teruskan

dengan kalimat Ho yya alash shalat. Tetapi katakan, "shalatlah di rumah

kalian!" Banyak orang yang seakan-akan tidak suka atas hal itu.

Menanggapi hal ini  hnu Abbas berkata, "Kenapa kalian merasa heran

atas hal ini? Padahal ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik

daripada aku. sesungguhnya jamaah itu sunnat muakkad, dan aku tidak

suka membuat kalian harus keluar menempuh jalanan yang becek." (HR.

Al-BukharidanMuslim)

Disebutkan dalam riwayat Muslim, bahwa sesungguhnya hnu Abbas

Radhiyallahu Anhuma menyuruh muadzinnya ini  pada hari Jum'at

ketika turun hujan lebat.

Bersumber dari Ibnu Umar, ia berkata, "Nabi Shallallahu Alaihi wa

Sallambersabda,

'p;J:->ti pufur.l!r , c t.. t. . .o-' a/. 'a .:aU- Lf,- ,f )L*Llt ttk st(.>f..

".i>t*sr r 4l

"Apabila salah seorang di antaraknlian sedang maknn, ianganlahia

terburi-buru sampai ia selesai makan, walaupun shalat sudah

diiqamati." (HR. Al-Bukhari)

Bersumber dariAisyah, ia berkata, 'Aku pernah mendengar

Rasulullah S hallallahu Alaihi wa Sallom bersabda,

.rt#!i lJ;ild i'r\'rrtlirr a:h;.

'Tidak seffipurna shalat orang yang tersaji dihadapannya makanan,

dan tidak seffipurna pula slulat orang yang menalmnbuang air lcecil

ataubuang air besar." (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Daud)

g*i/a,96a/a/a

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

J;.t

Bersumber dari Abu Darda' , ia berkata, "Termasuk bukti kedalaman

ilmu seseorang ialah jika ia terus menyelesaikan hajatnya sampai ia siap

melakukan shalat dengan hati yang tenang." (HR. Al Bukhari)

Hadits-hadits tadi sebagai dalil bahwa udara yang sangat dingin,

hujan lebat, dan angin kencang, yaitu   u&ur-udzuryang memperbolehkan

orang tidak melakukan shalat jamaah. Hal itu yaitu   berdasarkan

kesepakatan para ulama, seperti yang dikutip oleh Ibnu Baththal. Tetapi

menurut pendapat yang populer di kalangan ulama-ulama ma&hab Asy-

Syafi'i, bahwa angin yang kencang itu yaitu   udzur yang berlaku hanya

padamalam hari saja.

U&ur-udzur ini  juga berlaku bagi shalat Jum'at. Bahkan ada

sebagian ulama ahli fikih yang mengatakan, kalau dalam keadaan sedang

udzur seperti ihr seseorang nekad melakukan shalat maka shalatnya batal.

Yang Berhak Menjadi Imam

Bersumber dari Abu Sa'id, ia berkata, "Rasulullah Sho//o/lahuAlaihi

waSallambersabda,

t 6/ o I6t-t6t2t

-"+:;;r lo)t, f4>\) ol ,// .F.r'-i r*W aD'u ritt rii

0p Nt ,4(.9.yt-at e

.*.\Ur,tt #rS" ,rb i;. e'.r,L-

" Apabila ada tign orang, hendaklnlt snlnh seornng ntereka nwtjadi

im am b a gi mereka. D ut o r an g y an g leb ih b e rhnk me nj n di im am b n gi

merekn ialnh yang poling mengetahui (Kitnb Allalt) di antara

merekn." (HR. Ahmad, Muslim, danAn-Nasa'i)

Bersumber dari Abu Mas'ud alias Uqbah bin Amr, ia berkata,

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda,

/ ?/ 1o t t,c l.

P.cV ctj.,, t;s e"3jii'Ar t.(9

s + t;t-{'b\i 6:;*r"&i:uir; ^br e t;L{'aV f,;U

\'1 e:Vu e,tr"St blSt ,ji't', W r*ufiir; erll

gi*i/a.qialab

Shalat

' Y ang @erhak) mengimami suatu kaum itu yaitu   or ang y ang lebih

mengetaltui Kitab Allah. Apabilapengetalruai mereka tentang Kitnb

Allah itu sama, mnka yang lebihberhnk mengimnmi adaltth ornng

yang lebih mengetalui as-sunnah' Apabila pengetalunn merekn

tentang as-sunnah itu sama, maka yanglebihberhak mengimami

adalnhyanglebih dahuluberhiirah. Dnn apabila merekn samn dalam

berhijrah, maka yang lebih berhak mengimami ialah ynng lebih tua

usianya. Dan janganlah seseorang menjadi imambagi orang lain

yang dalam ruilayahkekuasaannya. Dan janganlah pula ia duduk di

atas permadani di rumahnya, kecuali dengan ada izinnya." (HR.

Ahmad.danMuslim)

Bersumber dari Malik bin Al-Huwairits, ia berkata, "Aku dan

temanku datang menemui Nab i Sho// allahu Alaihi w a S allam. Ketika kam i

hendak beranjak dari sisi beliau, beliau bersabda kepada kami, Apabilahba

w al<7tt shalat, segera *rukan adz.an dan iqamat, lalu hendakl ah yang meni adi

irnam kalian yaitu   yang lebih tua di antara kalian." (HR. Jamaah)

Disebutkan dalam riwayatAhmad dan Muslim, " ...dankamiberdua

seimbang dalom hal ilmu." Disebutkan dalam riwayat Abu Daud, " -'. pada

w al<tu itu kami berdua berimbang dalam hal ilmu. "

Bersumber dari Malik bin Al-Huwairits, ia berkata, 'Aku pernah

mendengar Nab i Shall all ahu AI aihi w a S all am bersab da, " B ar angsiap a

yang mengunjungi suatu kaum, jangan ia menjadi imam mereka. Biarlah

yang mengimami mereka yaitu   salah seorang di antara mereka'" (HR.

Imam lima kecualilbnu Majah)

Hadits-hadits ini  menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:

Yang paling berhak menjadi imam ialah orang yang paling

mengetahui Kitab Allah, yaitu orang yang lebih banyak hapalAl-Qur'an

daripada yang lain. ia sanggup menghapal dengan bacaan yang sangat

bagus, sebab  berdasarkan kesepakatan para ulama menjadi imam dengan

bacaan yang salah sehingga dapat mengubah makna itu, hukumnya

haram.

Orang yang lebih banyak hapal Al-Qur'an lebih didahulukan sebagai

imam shalat daripada orang yang lebih mengetahui fikih darinya, dengan

syarat asalkan ia juga harus punya pengetahuan tentang ilmu fikih. Kalau

tidakpunya iatidakboleh menjadi imam, walaupun ia hapalAl-Qur'an.

gi*ilu,96a/a/u

Berikut Dalilialilnya dalam lslam

Ulama-ulama yang berpendapat seperti itu ialah Al-Ahnaf bin Qais,

Ibnu Sirin, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Abu Hanifah berikut sahabat-

sahabatnya, dan Imam Ahmad berikut sahabat-sahabatnya,

Menurut pendapat Imam fuy-Syaf i berikut sahabat-sahabatrya dan

Imam Malik berikut sahabat-sahabatnya, orang yang ahli fikih itu harus

lebih didahulukan daripada orang yang lebih mengetahui Al-Qur'an. Kata

An-Nawawi, alasannya sebab  dalam masalah shalat itu yang sangat

dibutuhkan ialah kemampuan untuk menjaga hal-hal yang benar, dan yang

paling punya kapasitas untuk itu yaitu   orang yang ahli fikih.

Mengomentari hadit ini  menunrt mereka, pam sahabat yaitu   orang-

orang yang selain lebih mengetahui Al-Qur'an sekaligus juga lebih

mengetahui tentang fi kih.

'Kata Imam Asy-Syafi'i, "Pada zaman Nabi Sho/lollahu Alaihi wa

Sallam, orang-orang yang sangat paham Al-Qur'an sekaligus juga sangat

paham tentang fikih. Mereka mendalami fikih terlebih dahulu sebelum

mendalami Al-Qur'an, sehingga setiap orang di antara mereka yang

menguasai Al-Qu/an pastijuga menguasai fikih. Bukan sebaliknya. Tetapi

menurut An-Nawawi, sabda Nabi Sho/lo llahu Alaihi wa Sallam, " Apabila

pengetahuan mereka tentang Kitab Allah sama, maka yang berhak

mengimami ialah yang lebih mengetahui os-sunnoh" merupakan dalil

bahwa secara mutlak orang yang lebih mengetahuiAl-Qur'an itu harus

lebih didahulukan daripada orang yang lebih mengetahuifikih, sebab 

pendalaman masalah-masalah yang menyangkut shalat itu pada

hakekatnya bersumber dari as-sunnah, padahal orang yang lebih

mengetahuiAl-Qur'an saja harus lebih didahulukan daripada orang yang

lebih mengatahui as-sunnah, apalagi daripada orang yang lebih

mengetahuifikh."

Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Apabila pengetahuan

mereka tentang Kitnb Allah sama, maka yang lebih berhak menEmami ialah

orang yang lbbih mengefohui os-sunnoh" ini merupakan dalil, bahwa orang

yang punya pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat agama itu hans lebih

didahulukan daripada orang yang hanya punya pengetahuan tentang hal-

hal yang bersifat duniawi.

Yang dimaksud dengan kalimat hijrah dalam hadits ini  ialah

hijrah yang akan ierus berlangsung hingga Hari Kiamat kelak, yaitu hijrah

dari negeri kafir ke negeri Islam, hijrah dari negeri yang penuh kefasikan

serta kemaksiatan ke negeri yang bersih dari kefasikan, kemaksiatan, dan

g*i/v,giadala

Shalat

tmaraknya dosa-dosa besar tanpa ada orang yang mengingliarirrya, dan

hijrah-hijrah lain yang masih akan terus berlangsung hingga Hari Kiamat

nanti.

Kalimat " Apabila mereka sama dalam berhijrah, maka yang berhak

mengimami ialah yang lebih tua usianya" ini, sebab  Islam dan amal saleh

memiliki nilai lebih tersendiri, yang patut untuk dijadikan salah satu skala

prioritas.

Yang dimaksud dengan wilayahkekuasaandalam arti yang luas ialah

kekuasaan pemerintahan, dan dalam artiyang sempit ialah tuan rumah

yang berkuasa atas rumahnya. Jadi di rumahnya dialah yang paling berhak

menjadi imam shalat daripada orang lain, kecuali jika ia sudah memberi

izin kepada orang lain. Inilah etika yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam.

Kata AtiTirmi&i, inilah yang telah diamalkan oleh sebagian besar

ulama dari generasi sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka

mengatakan, fuan rumah itu lebih berhak menjadi imam shalat daripada

tamunya. Tetapi ada sebagian mereka yang mengatakan, kecuali situan

rumah sudah memberi izin kepada tamunya, maka tidak apa-apa

hukumnya jika si tamu yang menjadi imam shalat.

Al-lraqi menambahkan, hal ifu dengan syarat kalau si tamu memang

layak untuk dijadikan imam. Kalau tidak layak, maka statusnya sama

seperti wanita atau orang yang buta huruf yang sama-sama tidak berhak

dijadikanimam.

Jika mereka sama dalam halpengetahuan tentang Kitab Allah, as-

sunnah, dan hijrah, makayang lebih diutamakan menjadi imam yaitu  

yang lebih fua usianya. Ini merupakan salah satu etika yang menuntut omng

yang muda untuk menghormatiorang yang lebih fua.

Hukum Orang yang Tuna Netra dan Budak Menjadi

Imam

Bersumber dari Anas, sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa

Sallam pemah meminta kepada hnu Ummi Maktum untuk menggantikan

beliau menjaga Madinah sebanyak dua kali. Ibnu ummi Maktum shalat

(menjadi imam)bersama mereka, padahalia orang tuna neha." (HR.

Ahmad dan Abu Daud. Hadits ini shahih)

g*i/a,Qiadzlu

Berikut Dalilialilnya dalam lslam

Bersumber dari Ibnu umar, "Ketika orang-orang Muhajirin yang

pertama datang, mereka singgah di Ashbah depan kediaman Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka shalat berjamaah dengan imam

salim, budak Abu Hudzaifah yang paling banyak hapal Al-eur'an, padahal

di antara mereka ada umar bin Al-Khathab, dan Abu Salamah bin Abdul

Asad." (HR. Al-Bukhari dan Abu Daud)

Bersumber dari Ibnu Abu Mulaikah, "sesungguhnya mereka

menemuiAisyah dipuncak jurang. Mereka yaitu  ; ia sendiri, ubaid bin

umair, Al-Miswar bin Makhramah, dan beberapa sahabat yang lain.

Mereka shalat berjamaah dengan imam Abu umar, budak Aisyah yang

belum dimerdekakan." (HR. Asy-Syafi'i, dan dianggap shahih oleh Ibnu

Hajar)

Hadits tadi menunjukkan bahwa orang yang tuna netra, maura, dan

budak itu boleh menjadi imam. Salim misalnya, ia yaitu   budak milik

seorang wanita Anshar yang kemudian dimerdekakannya. Sebelum

berstatus merdeka ia biasa menjadi imam shalatjamaah. Kalau kemudian

ia disebut budak Hu&aifah, ifu sebab  sesudah merdeka ia selalu bersama

Hudzaifah yang kemudian diadopsi. Dan ketika ada larangan adopsi,

orang-orang biasa memanggilnya Salim budak Hudzaifah.

Demikian pula dengan budak Aisy ah Radhiyallahu Anha yang biasa

menj adi imam shalat bagi istri Nab i Sh all all ahu Al aihi w a S al I am dan j uga

bagi orang lain. Demikianlah sikap Islarn yang mengangkat derajat anik

kecil, kaum budak, dan orang-orang yang lemah lainnya. Islam

menyamakan bahkan mengutamakan mereka atas orang-orang besar.

Kerena pada hakekatnya, letak kemuliaan itu ada pada ketakwaan, amal

saleh, dan ilmu.

Hukum Wanita Menjadi Imam

Bersumber dari ummu waraqah binti Abdullah bin Al-Harits Al-

Anshari,

]--;ii|"oi 6;i'rs &'a, or{', oT;st ,;; rt",itt',

$,ilxt/u96ada./u

Shalat

Y"Ia yaitu   seorang zoanita yang hapal Al-Qur'an, dan Nabi

Shallaltahu Alaihi ua S allam menywruhny a untuk menj adi imambagi

penglruni rumahnya." (FiR. Abu Daud, Al-Baihaqi, Ad-

Daruquthni, dan Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah yang

menganggapnya sebagai hadits shahih)

Di rumah wanita ini ada seorang mua&in yang sudah cukup tua. Ia

juga punya seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan. Ia biasa

menjadi imam bagi mereka. Inilah yang dibuat dalil oleh Abu Daud, Abu

Tsaur, Al-Muzani, dan AthrThabari, bahwa boleh hukumnya seorang

wanita menjadi imam bagi laki-laki.

Tetapi mayoritas ulama berpendapat, tidak sah hukumnya seorang

wanita menjadi imam bagikaum laki-laki. Mengomentari hadits ini 

mereka mengatakan, hadits tadi sama sekali tidak menyinggung bahwa si

mua&in dan si budak laki-laki pemah shalat sebagai makmumnya. Di

samping itu ada riwayat lain dari Ummu Waraqah yang menyatakan bahwa

Nabi Sholla tlahu Alaihi wa Sallammemberi izin kepadanya untuk menjadi

imam bagi sesama kaum wanita.

Adapun tentang seorang wanita yang menjadi imam bagi sesama

wanita juga diperdebatkan. Menurut ulama-ulama dari kalangan madzhab

AsySyafi'i dan Hanbali, hukumnyaboleh. Riwayat darilmam Malik juga

mengatakan demikian. Pendapat yang sama juga dikutip oleh Ibnu Al-

Mun&ir dari Aisyah, Ummu Salamah, Atha', Sufi7an AtsTsauri, Al-Atza'i,

Ishak, danAbu.Gaur.

Dalil yang mereka jadikan sebagai dasar ialah riwayat yang

menyatakan bahwa Aisyah pernah mengimami beberapa wanita dalam

shalat fardhu. Ummu Salamah juga pernah mengimami sesama wanita

dalam shalat ashar, bahkan ia juga yan g mengiqamofi di antara mereka,

seperti yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi.

Menurut Hasan Al-Bashri, Sulaiman bin Yassar, dan ulama-ulama

dari kalangan madzhab Maliki, hal itu hukumnya tidakboleh secam mutlak,

baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnat. Ini yaitu   riwayat dari

Imam Malik. Tetapi dalil mereka lemah.

Menurut ulama-ulama darikalangan madzhab Hanafi, hal itu

hukumnya boleh tetapi makruh. Tetapi Ibnu Al-Hammam salah seorang

ulama dari ma&hab Hanafi berpendapat, hukuinnya makruh'

gihh.giada/u

Berikut Dal il-dalilnya dalam lslam

Sementara menurut Asy-Sya'bi, hrahim An-Nakha'i, dan Qatadah,

hukumnya boleh dalam shalat sunnat, bukan dalam shalat fardhu. Tetapi

mereka tidak punya dasar yang bisa dijadikan sebagai dalilatas pendapat

merekaini .

Hukum Orang Fasik Menjadi Imam

Bersumber dari Uqbah bin Amir, ia berkata,'lAku pemah mendengar

Rasulullah S hallallahu laihi wa Sallom bersabda,

t-:--;, '6jlU; U',ta;1t z o l, )'-t's&s& q\;t u6tii;

'€-

t.

l rlei

*):4;;

"Barangsiapa yang menjadi imam bagi manusia, kemudian ia

menepati zoakfu dnn flEnyempurnnkan (sy arat, rukun, dnn lcesunatan-

kesunatnn) shalat, niscaya ia dnn mereka mendapatknn pahaln. Dan

barangsiapa y ang inengurangi sesuatu darip adany a, niscay a ia y ang

menflnggung dosn danbukan mereka." (HR. Ahmad, Abu Daud,

Ibnu Majah, dan Al-Hakim yang menilainya sebagai hadits

shahih dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

Bersumber dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Rasulullah

Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

'rJr:.J{r'r!r'up Wj i4i>r*:t ori*i try(

t-; ri;r')'#, ;2'd i ;f q$ *jJ.

rt

. ? olzc)t JJ:-,

,u 

",

f,v e

-/ ct

.4'}.-..*'

" Mungkin kalirm akan mendapati beberapa knum yang melakukan

shalat tidakpada utaktunya. Apabihknlian mendnpnti mereka, makn

shnlntlah terlebii t dnl tulu di rumnh knlian p ada tep at u nktu y mtg knlian

ketalui, kemudianbaru shalatlahbersama mereka, dan qnggnp itu

sebagai shalat sunnat." (HR. Muslim)

gfulu,Qiadalv

Shalat

Bersumber dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Rasulullah

Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " sepeninggalanku nanti

sesungguhnya urusan kalian akan dikuasai oleh orang-orang yang

memadamkan sunnah dan mengada-adakan bid'ah. Mereka biasa

menangguhkan shalat dari waktunya." Ibnu Mas'ud bertanya, "Ya

Rasulullah, bagaimana sikapku jika aku mendapati mereka?" Beliau

bersabda sebanyak tiga kali, "7ldok ada taat sama sekali kepada orang yang

durhaka kepada Allah, wahai putra dari ibu seorang hamba." (HR. Muslim

dan lainnya)

Hadits-hadits tadi merupakan dalil bahwa:

Seorang imam ifu bertanggungjawab atasshalatmakmumnya, sebab 

sah dan batalnya shalatmereka terkait eratdengan shalatnya.

Seorang malrnum itu tidak bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan

yang dilakukan oleh imam sepanjang ia tidak tahu.

Seseorang harus menjaga shalat pada awalwaktu, meskipun ia shalat

sendirian.

Boleh hukumnya shalat sebagai makmum orang yang fasik dan para

pemimpin yang zhalim meskipun makruh. Inilah pendapat yang

diunggulkan oleh mayoritas ulama, sebab  memang tidak ada syarat

yang menyatakan seorang imam shalat itu harus adil. Sah hukumnya

shalat sebagai makmum orang yang fasik, asalkan ia tidak sampai

merusak salah safu rukun shalat. Kalau itu yang terjadi, lebih baik shalat

sebagai makmum orang selainnya saja.

Menurut ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanbali, hukum

imam orang yang fasik meskipun dengan makmum yang sama-sama fasik

itu hukumnya tidak sah, kecuali dalam shalat Jum'at dan shalat id yang

memang sulit untuk dihindari. Jadi kalau halitu diperbolehkan yaitu  

sebab  darurat.

fuy-Syaukani dalam kitabnya Nail Al-Author mengatakan, "para

ulama dari sisa generasi sahabat dan generasi tabi'in yang pertama,

sepakat untuk tidak mempeffnasalahkan shalat di belakang orang-orang

yang zhalim. Sebab pada waktu itu para pemimpin pemerintahanlah yang

menjadi imam shalat lima waktu. Kaum muslimin di setiap negara diimami

oleh penguasa mereka yang pada waktu itu didominasi oleh para khalifah

dari dinastiMu'awiyah yang sikap serta perilaku mereka sudah tidak

giki/a.qiadab

Berikut Dalil-dalilnya dalam lslam

rahasia lagi. AlBukhari mengutip riwayat dari hnu Umar, bahwa ia pemah

shalat di belakang Al-Hajjaj. Imam Muslim dan imam-imam pemilik kitab

sunon juga megutip riwayat yang menyatakan bahwa Abu sa' id Al-l{hudri

pernah melakukan shalat id di belakang Marwan. Yang jelas, memang tidak

ada syarat seorang imam shalat itu hans adil. Sebab, orang yang sah shalat

sendirian juga sahshalatbersama orang lain.

Hukum Anak Kecil Menjadi Imam

Bersumber dari Amrbin Salamah, ia berkata, "pada peristiwa

penaklukan kota Mald<ah, setiap kaum bergegas menyatakan masuk Islam.

Tidak ketinggalan ayahku juga bergegas mengabarkan kepada Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallambahwa kaumku juga masuk Islam. Sepulang

dari menemui beliau, ia berkata, "Aku baru saja menemui seorang Nabi

yang sejati. Ia berpesan,' Lakukanlah shalat ini pada waktu ini, dan shalat

ini pada w aldtt ini. Apabila tiba w al<ht shalat, hendaklah salah reorang kalian

menyerukan adzan, dan hendaklah yang menjadi imam kalian yaitu   orang

yang lebih mengetahui AI-Qur'an di antara kalian." setelah diteliti mereka

tidak menemukan orang yang seperti itu selain aku, sebab  aku sering

menemui orang-orang yang berkendaraan. Mereka lalu mengajukan aku

sebagai imam mereka, padahal usiaku baru enam atau tujuh tahun. Aku

mengenakan mantel yang kalau aku gunakan untuk sujud kelihatan

mengkerut. seorang wanita darisalah satu suku berkata, "Kenapa tidak

kalian futupi bokong imam kalian itu dari pandangan kami?" Mereka lalu

membelikan aku baju gamis. Aku belum pemah merasa gembira segembira

menerima baju gamis itu." (HR. Al-Butfiari)

Hadits yang sama diriwayatkan oleh An-Nasa' i. Di sana disebutkan,

"Aku mengimamimereka, padahalusiaku baru delapan tahun.', Hadits

yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad tanpa menyebut usia

segala. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud, ,,Setiap

kumpulan kabilah yang aku datangi, aku selalu ditunjuk mengimami mereka

sampaisekarang."

Bersumber dari lbnu Mas'ud, "seorang anak kecil tidak boleh

menjadi imam sampai berlaku hukum had atasnya." (HR. Al-Atsram)

Bersumber dari hnu Abbas, "seord ng anak kecil tidak boleh menjadi

imam sampai ia mengalami mimpi basah." (HR. Al-Atsram)

giln/.v.q6adal,

Shalat

Hadits tadi merupakan dalil yang memperbolehkan seorang anak

kecil yang sudah pintar untuk menjadi imam bagi orang-orang yang lebih

dewasa darinya, jika ia yaitu   orang yang lebih mengetahui tentang Kitab

Allah, seperti yang pemah dialami oleh Amr bin Salamah.

Tidak benar kalau Nabi Sholla llahu Alaihi wa Sallam sampai tidak

mendengar hal itu, sebab  peristiwa ini  terjadi pada saat turunnya

wahyu sehingga tidak mungkin keliru. I-agi pula yang mengaj ukan Amr bin

Salamah sebagai imam yaitu   para sahabat. Dan kata lbnu Hazm, pada

saat itu tidak ada seorang pun yang menantang mereka. Demikian pula

yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathu AI -B an.

Fara ulama yang memperbolehkan anak kecil menjadi imam yaitu  

Al-Hasan, Ishak, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Yahya. Dan yang

menghukumi makruh yaitu   Asy-Syu' b i, Al-Awa' i, AtsJTsauri, dan Imam

Malik. Sementara riwayat dari Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah

berbeda-beda. Tetapi sepertiyang dikatakan oleh hnu Hajar dalam Fathu

Al-Ban, mereka memperbolehkannya dalam shalat sunnat, bukan shalat

fardhu.

Demikianlah. Jadi menurut pendapat yang diunggulkan, boleh

hukumnya anak kecil menjadi imam, berdasarkan peristiwa yang

menceritakan pengalaman Amr bin Salamah yang pernah mengimami

kaumnya dalam shalat-shalat fardhu.

Orang yang Muqim Boleh Menjadi Makmum Orang

yang Musafir dan Sebaliknya

Bersumber dari Imran bin Hushain, ia berkata,"Setiap kali sedang

bepergian Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam selalu shalat dua rakaat,

kecuali shalat maghrib. Kemudian beliau bersabda, 'Wahai penduduk

Makkah, bangkitlah dan shalatlah dua rakaat yang lain, sebab  kami yaitu  

orang-orang yang sedang bepergian. " (HR. Ahmad dan AtJTirmidzi yang

menilainya sebagai hadits hasan sebab  ada beberapa hadits lain yang

menguatkannya, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafizh hnu Hajar)

Hadits ini merupakan dalil yang memperbolehkan seorang yang

muqim shalat di belakang orang yang musafir, dan ini sudah disepakati oleh

para ulama. Yang mengundang perdebatan ialah jika seorang musafir

shalat di belakang orang yang muqim. Sebagian ulama ahli fikih,

gih/u.%a/a/a

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain, tidak mempertolehkannya.

IGta Asy-Syaukani, dalilyang memperbolehkannya secara mutlak ialah

hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam MusnadAhmad dari

Ibnu Abbas bahwa ia pernah ditanya, kenapa orang musafir boleh shalat

dua rakaat kalau sendirian, dan harus empat rakaat kalau menjadi

makmum orang yang muqim? Ia menjawab, "ltu yaitu   sunnah Abul

Qasim ShollallahuAlaihi waSallam. Hadib inijuga diketengahkan oleh Al-

Hafizh lbnu Hajar dalam At-Talkish, tanpa dikomentarinya. Ia hanya

mengatakan, hadits ini aslinya ada pada Imam Muslim dan An-Nasa'i.

Hukum Makmum Orang yang Shalat Fardhu dengan

Imam Orang yang Shalat Sunnat

BersumberdariJabir,

#;;'.iiiq,ffi *u, );'r e 

"b- 

os ,F Gt6'ri

.a>,br ,tb. t, ji y j J\e;-

" Sesungguhny a Mu' adz pernah shalat isy a' terlambat bersamn N abi

Shallallahu Alaihi za a S allam. Kemudian ia lcemb ali kepada kaumny a,

dan melakukan shalat ynng sama dengan merekn." (HR. Al-Bukhari

danMuslim)

Hadits ini  juga diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i dan Ad-

Daruquthni dengan ada tambahan, "Baginya ifu yaitu   shalat sunnat, dan

bagi kaumnya itu yaitu   shalatfardhu isya'."

Hadits tadi menunjukkan boleh hukumnya orang yang shalat fardhu

menjadi makmum orang yang shalat sunnat. Sebab yang dilakukan oleh

Mu'a& ifu yaitu   shalat sunnat setelah ia melakukan shalat bersama Nabi.

Kata An-Nawawi, "Menurut saya, boleh hukumnya orang yang shalat

fardhu menjadi makmum orang yang shalat sunnat, orang yang shalat

sunnat menjadi makmum orang yang shalat fardu, dan orang yang shalat

fardhu menjadi makmum orang yang shalat fardhu lainnya. Pendapat

inilah yang diceritakan oleh hnu Al-Mun&ir dari Thawus, Atha', Al-Auza' i,

Imam Ahmad, Abu Gaur, dan Sulaiman bin Harb. Saya cenderung pada

pendapat yang juga dianut oleh Daud ini. "

g*ila.q6a/z/u

Shalat

Hukum Makmum Orang yang Berwudhu Dengan

Imam Orang Yang Bertayamum

Ditetapkan dalam sebuah hadits shahih, "Bahwa sesungguhnya Amr

bin Al-iAsh ketika sedang dalam perjalanan, pernah tayammum dari jinabat,

lalu ia mengimami kaumnya. Ketika hal itu diketahui oleh NabiShol/ollohu

Alaihi wa Sallam, beliau mengakui apa yang dilakukannya ini ."

Disebutkan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Atsram dari

Sa'id bin Jubair, sesungguhnya hnu Abbas pernah mengimamibeberapa

orang makmum dalam perjalanan, dan ia bersuci dengan cara tayamum.

Jadi masalahnya sudah cukup jelas.

Hukum Makmum Orang yang Shalat Berdiri dengan

Imam Orang yang Shalat Duduk

Bersumber dari Aisyah Radhiyallahu Anha tentang kisah shalat

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama sahabat ketika beliau

sedang sakit. Aisyah berkata, "Beliau muncul lalu duduk di sebelah kiri Abu

Bakar. Beliau mengimamipara sahabat dengan posisi duduk, sedangkan

Abu Bakar dalam posisi berdiri. Abu Bakar mengikuti shalat Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan para sahabat mengikuti shalat Abu

Bakar." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi ShallallahuAlaihi waSallam

shalat sebagai imam, sebab  posisi Abu Bakar berada di sebelah kanan

beliau. Itulah posisi yang ideal antara imam dan seorang makmum.

Seandainya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat sebagai makmum,

tentu beliau mengambil posisi duduk di sebelah kanan Abu Bakar. Terdapat

banyak riwayat dalam Shahih Al -B ukhan dan Shoh ih Muslim yang j uga

menyatakan bahwa beliau duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Ini menguatkan

bahwa beliau memang shalat sebagai imam. Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar

menentang kebimbangan Al-Qurthubi tentiang apakah pada waktu itu Abu

Bakar sebagai imam atau sebagai makmum.

Hadits ini juga menunjukkan diperbolehkannya seorang makmum

mengambil posisi di sebelah kanan imam, meskipun juga ada makmum

yang lainnya. Hal itu mungkin disebabkan sebab  sempitnya shaf, atau

sebab  semula ia yaitu   imam, atau sebab  alasan-alasan lain.

giAilv.q6a/n/a

Berikut Dal ildalilnya dalam lslam

Dan hadits ini juga menunjukkan bahwa seoramg makmum yang

dengan posisi berdiri itu boleh shalat di belakang imam yang shalat dengan

posisi duduk. Itulah pengalarnan terakhir Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam

bersama para sahabatnya. Terjadi perbedaan pendapat yang cukup sengit

di kalangan para ulama tentang masalah ini. Ada yang mengatakan, Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat dengan posisi berdiri, sementara para

sahabat shalat di belakang beliau dengan posisi duduk. Mereka

berdasarkan pada sebuah riwayat yang shahih. Ada yang mengatakan

bahwa, para sahabat shalat di belakang beliau dengan posisiberdiri. Dan

mereka juga berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih.

Ada yang mengatakan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat

sebagai imam. Dan ada yang mengatakan, beliau shalat sebagai makmum.

Tetapi ada pula sebagian ulama yang menghimpun berbagai riwayat berikut

petistiwa-peristiwanya.

Adapun mengenai hukum shalat sebagai makmum orang yang tidak

sanggup berdiri, juga terjadi perbedaan pendapatdikalangan para ulama

ahlifikih. Menurut Imam An-Nawawi, boleh hukumnya bagi orang yang

shalat berdiri menjadi makmum orang yang shalat duduk sebab  tidak

sanggupberdiri, dan ia tidakboleh ikut duduk. Pendapat ini didukung oleh

AtsJlsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian ulama dari

kalangan ma&hab Maliki. Sementara menurut pendapat Al-Auza'i, Imam

Ahmad dalam safu versi riwayat, Ishak, dan IbnuAl-Mun&ir, ia boleh ikut

duduk, dan justu tidak boleh berdiri. Menurut Imam Malik dalam salah satu

versi riwayat dan beberapa sahabahrya, secara muflak tidak sah hukumnya

shalat dengan duduk di belakang imam seperti itu. Mereka berdasarkan

hadits Aisyah yang telah dikemukakan di atas. An-Nawawi menuturkan

beberapa riwayat yang memperkuat hadits ini  yang sebagiannya

diketengahkan oleh Al-Bukhari dan sebagian lagidiketengahkan oleh

Muslim. Selanjutnya ia mengatakan, "MenurutAsy-Syafi'i berikutsahabar

sahabatnya dan beberapa ulama ahli hadits dan ahli fikih, riwayat-riwayat

ini  secara tegas menasakh atau membatalkan hadits Anas yang

dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad dan Al-Auza'i, bahwa N abishallallahu

Alaihi wa Sallampemah bersabda, " Apabila ia shalat dengan duduk, maka

shalatlah kalian semua j uga dengan duduk. "

Apa yang dikatakan oleh Imam fuy-Syafi'idan sahabat-sahabatnya

ini  didukung oleh Ai-Humaidi, Ibnu Al-Mubarak, dan berapa ulama

lain. Menurut mereka, riwayat yangmenasokh atau yang membatalkan

ialah, riwayat yang menerangkan bahwa Nabi S hallallahu Alaihi wa Sallam

,qrh/u.qiala/a

Shalat

ketika,sedang sakit keras mengimami shalat bagipara sahabat sambil

duduk, sementara mereka sama berdiri di belakang beliau. Dan beliau tidak

menyuruh mereka untuk ikut duduk. Itulah shalat terakhir yang dilakukan

oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama para sahabat sebelum

beliau mengahadap Allah untuk selama-lamanya.

Imam Ahmad mencoba untuk mengkompromikan kedua hadits

ini  dengan dua pendekatan sebagai berikut:

Pertama,apabila seorang imam tetap memulai shalat dengan duduk

sebab  alasan sakit, maka para makmum di belakangnya juga boleh ikut

duduk.

Kedua, apabila seorang imam tetap berdiri, maka para makmum di

belakangnya juga harus berdiri, meskipun di tengah-tengah shalat terjadi

sesuatu yang memaksa imam mereka harus duduk atau tidak.

Menggantikan Imam di Tengah-tengah Shalat

Berjamaah

Bersumber dari Amr bin Maimun, ia berkata, "Sesungguhnya aku

sedang berdiri shalat Shubuh. Jarak antara aku dan Umar yang kemudian

mengalamimusibah hanya dipisah oleh Abdullah bin Abbas. Sejenak

setelah bertakbir, aku mendengar Umar mengatakan, 'Siapa telah

memb unuhku?' Atau'Aku dimakan anj ing ! " Umar kemudian menyuruh

Abdunahman bin Auf untuk maju ke depan menggantikannya. Ia lalu shalat

bersama para jamaah dengan agak cepat." (Diringkas dari Al-Bukhari)

Bersumber dari Abu Razin, ia berkata, "Pada suafu hari ketika sedang

mengeluarkan darah dari hidung, NiRadhiyallahuAnhu shalat. Lalu ia

memegang tangan seorang makmum agar maju, kemudian ia mundur."

(HR. Sa'id)

Kata Imam Ahmad bin Hanbal,

"Apabila di tengah-tengah shalat, sebab satu uzur, maka seorang

imam bisa menunjuk orang lain untuk menggantikannya, halitu sudah

pernah dilakukan oleh Umar dan Ali. Dan apabila imam mundur begitu

saja dan membiarkan para makmumnya shalat sendiri-sendiri, hal itu juga

pemah dilakukan oleh Mu'awiyah ketika ia ditusuk saat sedang shalat dan

g*/ag6a/a/u

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

tidak sanggup melanjutkan shalatnya, kemudian para makmum sama

meneruskan shalat sendiri-sendiri."

Jika Di Antara Makmum Dan Imam Ada Sekat Yang

Menghalangi

Bersumber dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata,

;:;Jit )'js,y 

.4, o*U a6lt e.)J e g,*

,t

orU

'Nabi shalat di kamarku, sementara para sahabat mengikuti shalat

beliau dibelakangkamar. " (HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan lairurya)

Hadits ini menunjukkan boleh hukumnya seorang makmum shalat

mengikuti imam yang dibatasi oleh sekat berupa dinding dan lain

sebagainya.

Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama mengenai masalah

ini.

An-Nawawi dalam kitabnya Al -Majmu' mengutip kesepakatan para

ulama yang menyatakan, meskipun jarak shaf makmum cukup jauh dari

posisi imam, dan shalatnya dilakukan di masjid, maka shalatnya sah

dengan syarat makmum harus mengetahui shalatnya imam, baik di antara

keduanya terhalang sekat atau tidak, baik jaraknya dekat atau cukup jauh

sebab  mungkin masjidnya sangat besar. Setiap bagian dari masjid sah

untuk digunakan shalat berjamaah, asalkan shalatrya imam bisa diketahui,

dan tidak dalam posisi di depannya, baik posisi makmum berada di atas

atau di bawah imam. Dalam masalah inisemua sepakat.

Tetapi kalau posisimakmum di luar masjid, dalam hal ini ada

beberapa masalah:

Pertama, jaraknya dengan imam tidakboleh terlalu jauh. Demikian

pendapat mayoritas ulama. Menurut Imam Asy-Syafi'i, yang disebut dekat

ialah jarak kira-kira tiga ratus hasta. Tetapi menurut Atha', secara mutlak

hukumnya sah, meskipun jaraknya satu mil bahkan lebih. Yang penting

shalatnya imam masih bisa diketahui.

gh/v,giain/u

Shalat

.f)'2'

Kedua, menurut kami, Imam Malik, dan sebagian besar ulama,

meskipun di antara imam dan makmum dipisahkan oleh sebuah jalan

hukumnya tetap sah. sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, tidak

sah. Tetapi dalilyang digunakannya yaitu   hadits yang tidak ada dasarnya

samasekali.

Ketiga, jil<aseseorang shalat di rumah mengikuti imam yang shalat

di masjid, sementara mereka dipisahkan oleh sekat, menurut kami shalat

jamaahnya tidak sah. Imam Ahmad sefuju pada pendapat ini. Dan menurut

Imam Malik, hal itu tidak sah, kecuali untuk shalat Jum'at. Sedangkan

menurut Imam Abu Hanifah, secara mutlak hukumnya tidak sah.

Keempat,syaratsahnya ikutpada imam ialah, makmum harus tahu

perpindahan gerak-gerik imam, baik keduanya shalat di masjid maupun di

tempat lain, atau yang satu di masjid dan yang satunya tidak di masjid. Hal

inisudah disepakati oleh para ulama.

Menurut sahabat-sahabat kami, ukuran minimal seorang makmum

mengetahui shalatnya imam ialah, jika ia mendengar langsung apa yang

dibaca imam, atau dari orang yang ada di belakangnya, atau melihat

gerakan imam, atau melihat gerakan orang yang ada dibelakangnya. Jika

makmumnya funa netra, disyaratkan ia harus shalat disamping makmum

lain yang bisa melihat, supaya makmum ini bisa dijadikan sebagai

pedoman.

Merapikan Shaf di Belakang Imam

Bersumber dari Abu Mas'ud Al-Anshari, ia berkata, "Rasulullah

Shallallahu Alaihi wa Sallampemah menyentuh pundak kami ketika akan

shalat, danbersabda,

riGtri J ri'e 

"F;S rii 

.rrert 

vW \; U?l

o.t. !.. .?

rer:ll #lt

' Luruskanlah! J angan melengkun g, (sebab  knlau melengkung), maka

hatikalian pun akan ikut melengkung (tidak sepalmm). Hendaklah

o r an g- o r an g deut as a b e r a d a di b el akan gku, ke mu di an o r an g- or an g

y an g s e su dahny a, dan ke mu di an or an g- or an g y an g se su dahny a. "'

(HR.Ahmad dan Muslim)

Efu

W {K"!,ffi^ra,am,s,am

o t. l.

.f+* t 

'AV,ltn

Bersumber dari lbnu Mas'ud dari Nabi s hallaltahu Alaihi wa sallam

beliaubersabda,

!ei; L<i'e rE r))t ;,,iiLr>rtri jri'; 9 d.

" Sebaiknya orang-orang deuasa tepat berada di belakangku,

ke mu dian o r an g- or an g se su d ah me r eka, ke mu di an or an g- or nn g

sesudah mereka. D an j auhilah ke gaduhan sebagaimana ke gaduhai

pasar." (HR. Ahmad, Muslim, danlainnya)

Bersumber dari Abu Malik Al-fuy'ari dari Rasulullah shallallahu

Ataihi wa sallam, "sesunggu hnya beliiu menyamakan di antara empat

rakaat dalam kadar bacaan dan berdiri. Beliau menjadikan rakaat pertnma

Iebih panjang suww mantsia masih punya krempdan unhtk mendapotkan

pahala. Dan beliau menempatkan kaum laki-laki di depan anak-anai, anak-

anak di belakang mereka, dan kaum wanita di belakang anak-onak." (HR.

Ahmad).

Tentang hadits Abu Malik Al-fuy'ari ini, fuy-syaukani mengatakan,

"Abu Dawud dan Ibnu Al-Munzdiri diam tidak memberikan komentar

sama sekali. sebab  di dalam isnadnya terdapat nama syahr bin

Hausyab, seorang perawi yang kontroversial. Hadits ini  dianggap

dha'if oleh Al-Albani sebab  ada nama Syahr, seorang perawi ying

hqfalannya buruk."

Dua hadits pertama menunjukkan bahwa seorang imam itu harus

memperhatikan kerapian dan kelurusan shaf makmumnya, dan bahwa

makmum kaum laki-laki yang dewasa itu harus berada tepat di

belakangnya. Anak-anak kecil yang belum akil baligh tidak boleh berdiri di

tempatini .

Diriwayatkan dariUmar bin Al-Khatthab, setiap kali melihat ada

anak kecil berada di shaf pertama di belakang imam, ia menyuruhnya untuk

mundur. Riwayat yang sama j uga dikutip da ri zarrinbin Hubaisy dan Abu

wa'il. Mereka berdua juga biasa melakukan seperti yang dilakukan oleh

Umar.

Ahmad bin Hanbal mengatakan, "Makruh hukumnya anak kecil

dibiarkan berada dishaf pertama di belakang imam dalam masjid bersama

giAih,96a/ah

Shalat

makmum yang lain, kecuali jika ia sudah akil baligh, rambut kemaluannya

sudah tumbuh, dan sudah berusia limabelas tahun."

Dua hadits ini  juga memberikan petunjuk bahwa urut-urutan

shaf itu harus diatur sesuai dengan urut-urutan para makmum dari segi

kematangan akal dan tingkat kemuliaannya. Ini artinya, bahwa anak-anak

kecil harus berada di shaf belakang, seperti yang dikemukakan dalam hadib

Abu Malik Al-Asy'ari bahwa anak-anak itu berada di belakang shaf

makmum kaum laki-laki, dan kaum wanita berada di belakang shaf anak-

anak. Kendatipun hadits Abu MalikAl-fuy'ari ini dha'if, tetapi ia diperkuat

oleh hadits yang sebelumnya. sebab  itulah Abu Dawud dan Al-Mun&iri

tidak berani mengomentarinya.

Dua hadits ini  juga memberi petunjuk agar jangan membikin

kegaduhan, keributan, desak-desakan, dan lain sebagainya di masjid,

sepertiyang lazim terjadidi pasar. Halifu hukumnya makruh, kecualidemi

menolak mudharat yang akan menimpa orang lain, sebab  hal itu jelas

haramhukumnya.

Menyangkut anak-anak, ada pendapat yang mengatakan bahwa

ketika makmumnya banyak dan terdiridarikaum laki-laki dan kaum

wanita, sebaiknya setiap dua orang laki-laki ditengah-tengahi seorang

anak. Halinidimaksudkan untuk memberikan pendidikan kepada anak-

anak.

Menurut saya, bagi anak-anak yang sudah paham apa yang harus

dikerjakan dalam shalat dan sudah mengerti adab-adabnya, sebaiknya

mereka disuruh berdiri di belakang kaum laki-laki. Tetapi apabila mereka

ditempatkan dishaf tersendiri, justru mendorong diantara mereka unfuk

saling berbuat iseng dan bermain-main sendiri sehingga melanggaretika

yang diharapkan. Maka sebaiknya disuruh berdiri di antara shaf kaum laki-

laki. Tetapi tidak di shaf yang pertama, sebab  shaf ini yaitu   milik kaum

laki-laki tertentu yang sewaktu-waktu dibutuhkan untuk menggantikan

imam apabila mengalami uzur yang mendadak, atau yang akan

mengingatkan imam jika lupa atau melakukan kesalahan.

Betapa sering kita melihat anak-anak di masjid pada enggan ikut

shalat dengan baik, tetapi malah melakukan hal-hal yang melanggar etika.

Mereka sering merebut untuk menempati shaf pertama yang sebenarnya

merupakan jatah makmum-makmum tertentu, sehingga terpaksa mereka

memilih mundur ke shaf belakang demi menjauhi ulah anak-anak yang

gi*llu.q6a/a/r'

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

mya

utan

segi

rnak

adib

shaf

nak-

kuat

dzin

rikin

sjid,

lemi

ielas

hwa

rum

ang

rak-

trus

nya

Bka

rtuk

tika

ak-

rum

kan

kan

ikut

il<a.

nya

eka

mg

suka bermain-main dan terkadang sampai melanggar etika-etika syariat di

rumah Allah. yaitu   kewajiban para ulama untuk berani menghidupkan

sunnah, dan membasmi bid' ah di rumah Allah S ubhanahu w a Ta, ala.

Meluruskan Shaf

Terdapat beberapa riwayat hadits yang menerangkan tentang

keharusan meluruskan dan merapikan shaf. Di antaranya ialah:

Bersumber dari Anas bin Malik, ia berkata, "Rasulullah shallallahu

Alaihi w a Sall am bersabda,

.tfu,F'U"'-;2t

' Lurusknnlah shaf- shaf kalian, sebab  se sun gguhny a kelurus an sluf

yaitu   termasuk lce sempurnaan shalat. " (HR. Muslim)

Bersumber dari Anas, ia berkata, "Rasulullah shallallahu Alaihi w a

Sallambersabda,

''! tr$j ge\t rr!e', W tj G'r'€r;*,rL:,l*..*q

.,.-crAl q,ftS ";;L:t J-.'a ,tr+ t:tbJilt o'r{ jL

'Luiuskanlalt shaf-sho] kation, rapatkanlalt di antaranya, dan

sejajarkanlah pundak-pundak. Demi Allah yang jiuaku berada di

tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dai celafucelarr

sh af s e ol ah- ol ah i a s ep e r ti se eko r an ak kamb in g b e no ar n a hit am. "

(HR. Abu Dawud. Kata Al-Albani dalam Al-Misyka! isnad hadis

inihasan)

Bersumber dari Anas, ia berkata, "Rasulullah s hallatl ahu Alaihi w a

sallambersabda,'sempumakanlah shaf yang depan, lalu shat' berikutnya.

Kalau harus ada yang latrang biarlah shaf yang paling belakang.,, (HR. Abu

Dawud dengan isnad yang shahih).

Bersumber dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, "Rasulullah

shallallahu Alaihi wa sallam bersabda, 'sesungguh nya Allah dan para

malaikat-Nya selalu membacakan shalawat atas orang-orong yang

gi*i/ugnada/a

Shalat

':.1 op E;,*,r;

meluruskanshat'." (HR. Abu Dawud. Matan hadits inidinilaishahih oleh

Al-Albani. Katanya, isnadnya shahih).

Hukum Orang yang Shalat Sendirian di Belakang

Shaf

Bersumber dari Wabishah bin Ma'bad, ia berkata, "Rasulullah

Shall all ahu AI aihi w a S allam melihat seseorang shalat sendirian di belakang

shaf. Beliau lalu menyuruh orang itu untukmengulangishalatnya." (HR.

Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidziyang menilainya sebagai hadits

hasan, dan Al-Albani menilainya sebagai hadits shahih).

Bersumber dari Ali bin Syaiban, sesungguhnya Rasulullah

S hall all ahu Al aihi w a S al I am m elih at seoran g lelaki s haiat di b e lakang shaf .

Beliau berdiri menunggu. Dan ketika lelaki itu hendak berialu beliau

bersabda kepadanya,

."'-"2r + :P. ;>\, N U>V "S4ut.

"Ulnngi lngi shnlatnru. Tidnk ndn shslst yallg senrpurnfl sanw seknli

b n gi o r an g y an g se n dirinn di belnknn g sl nf . " (HR. Ahmad dan Ibnu

Majah. Kata Ibnu Savyidinnas lpataperawi hadits ini semuanya

bisa dipercaya dan dikenal. Hadie ini dibuatpegangan olel'r Ibnu

Hazmdan ulama lainnya. Kata Imam Ahmad, hadits ini hasan)

Bersumber dari Abu Bakrah, sesungguhnya ia sampai kepada Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau sedang ruku', lalu ia ikut ruku'

sebelum sampaipada shaf. Dan ketika halitu diceritakan kepada Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam beliau bersabda, "Semoga Allah

menambahkan semangat kepadamu, dan kamu tidak usqh mengulangi. "

(HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan lainnya).

Hadits-hadits ini memberikan petunjuk bahwa seseorang tidak boleh

shalat sendirian dibelakang shaf kalau ia yaitu   laki-laki. Dan para ulama

salaf berbeda pendapat tentang shalat seorang makmum di belakang shaf

satu-satunya.

Menurut sebagian mereka, hal itu tidak boleh dan shalatnya tidak sah.

Yang berpendapat demikian ialah Ibrahim An-Nakh'i, Hasan bin Shaleh,

Imam Ahmad, Ishak, Hammad, Ibnu Abu Laila, dan Waki'.

$,ih/u96a/n/v

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

l

I

1

Sementara Hasan Al-Bashri, Al-Auza'i, Imam Malik, dan Imam fuy

Syaf i memperbolehkannya.

Kelompok ulama yang mengatakan tidak boleh dan shalatnya tidak

sah, mereka berpegang pada hadits Wabishah dan Alibin Syaiban

ini . Sementara kelompok ulama yang memperbolehkannya, mereka

berpegang pada hadits Abu Bakrah. Menurut mereka, ia melakukan

shalat di belakang shaf, tetapi Nabi Shallallahu Alaihi rira Sallom tidak

menyuruhnya untuk mengulangi. Sedangkan perintah mengulangi shalat

terdapat dalam dua hadits, yang pertama yaitu   perintah sunnat yang

lebih menekankan agar setiap orang selalu berusaha melakukan yang

palingutama.

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang mendapati celah

kosong dalam shaf, apa yang harus ia lakukan? Sebagian mereka

mengatakan, "la boleh sendirian, dan tidak perlu menarik makmum lain di

depannya, sebab  hal itu akan merugikan orang lain ini yang akan

kehilangan keutamaan berada di shaf pertama akibat ia ditarik ke shaf

belakangnya. Selain itu akan menimbulkan celah kosong pada shaf

pertama. " Demikian pendapat Athjfhabarani dan pendapat yang dikutip

darilmamMalik.

Menurut sebagian besar sahabat Imam fuy-Syafi'i, orang itu harus

menarik salah seorang makmum di shaf pertama untuk menemaninya, dan

makmum yang ditarik seharusnya ikut membantunya. Inilah pendapat yang

diriwayatkan dari Atha' dan lbrahim bin An-Nakh'i. Tetapi Imam Ahmad

bin Hanbal dan Ishak menganggap hal itu sebagai tindakan yang tidak baik.

Al-Auza'i dan Imam Malik menganggapnya makruh.

Sebagian besar sahabat fu y-Syafi' i, Atha', dan Ibrahim An-Nakh' i,

mereka berdasarkan pada riwayat hadits marfu' Muqatilbin Hayyan,

"Apabila seseorang datang, dan ia tidak mendapati siapa pun, sebaiknya

ia menarik seorang makmum dari shaf di depannya dan hendaklah ia

berdiri bersamanya. Alangkah besar pahala si makmum yang ditarik itu. "

(HR. Abu Dawud dalam Al-Marasil).

Diriwayatkan oleh Ath:Thabaridengan sanad dari Ibnu Abbas,

sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh orang yang

baru datang sementara shaf di depannya sudah penuh, supaya menarik

seorang makmum unfuk berdiri di sampingnya.

giki/a.qia/n/,

Shalat

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal, Ishak, Al-Auza'i, dan Imam

Malik menganggap dha' if hadits-hadits ini . Tetapi masing-masing

punya pandangan yang berbeda.

Menurut gaya, pendapat yang diunggulkan ialah yang

memperbolehkan menarik seseorang untuk menemaninya, supaya ia

terbebas dari hukum yang membatalkan shalatnya menurut sebagian ulama

yang berpendapat demikian. Dan orang yang bersedia ditariknya ia akan

memperoleh pahala sebab  mau membantu saudaranya sesama muslim

dalam hal kebaj ikan dan ketak\p aan. W all ahu A lam'

Hukum Shalat di Antara Dua Tiang

Bersumber dari Al-Humaid bin Mahmud, ia berkata, " Kami shalat di

belakang salah seorang amir. Kami sangat membutuhkan orang lain, tetapi

kami terhalang di antara dua tiang. selesai shalat Anas bin Malik

mengatakan, " Pada zaman Rasulullah Sh o//o / I ahu AI aihi r.r.ro Sollom kami

sangat menghindari hal itu." (HR. Imam Lima kecuali Ibnu Majah. Hadits

ini dianggap hasan oleh At:Tirmi&i).

- Diriwayatkan oleh Al-Hakim yang menganggapnya sebagai hadits

shahih dariAnas, "Kami dilarang shalat di antara dua tiang, dan kami

diusir daripadanya." Beliau juga bersabda, "J anganlah shalat di antara dua

tian g, dan semp umakanl ah shaf . "

Disebutkan dalam Shohih Al-Bukhari dan Shahih Muslim,

sesungguhnya Nabi S hallallahu Alaihi w a S allam ketika masuk ke Ka'bah,

beliau shalat di antara dua tiang.

Dua hadits yang pertama tadi menunjukkan bahwa shalat di antara

dua tiang itu hukumnya makruh. Menurut Abu Bakar alias Ibnu Al-fuabi,

alasannya yaitu   sebab  dianggap memotong shaf, dan juga sebab 

tempat ini  yaitu   tempat alas kaki.

MenurutAl-Qurthubi, alasannya sebab  tempat itu yaitu   tempat

shalat parajin yang beriman.

Seperti yang dikatakan oleh AtlTirmidzi, ada sebagian ulama yang

menganggap makuh hukumnya shalat di antara dua tiang. Mereka antara

lain Imam Ahmad, Ishak, dan hrahim An-Nakh' i. Sa' id bin Manshur dalam

sunonnya mengatakan bahwa hal itu dilarang, sepertiyang ia kutip dari

giAl/a.qialalv

Berikut Dal il-dalilnya dalam lslam

I

I

I

I

hnu Maslud, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah. Dan menurut Ibnu Sayyidinnas,

tidak ada seorang pun dari generasi sahabat yang menentang pendapat

merekaini.

Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy-Syaf i, dan hnuAl-

Mundzir, memberikan kemurahan bagi imam dan bagi makmum yang

sendirian. Dengan kata lain, bagi mereka berdua tidak makruh shalat di

antara dua tiang. Sesungguhnya hukum makruh ini  hanya khusus

berlaku padashaf yang dipisahkan oleh duabuah tiang dalam kasus shalat

Jum'at. Mereka berpegang bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam

sendiri pemah melakukannya. Sepertiyang diceritakan oleh Ibnu Ruslan,

Al-Hasan dan hnu Sirin memperbolehkan hal itu. Sa'id bin Jubair, hrahim

An-Nakh'i, dan Suwaid bin Ghafalah pernah menjadi imam shalat

kaumnya di antara tiang-tiang.

Kata Ibnu Al-Arabi, semua ulama sepakat bahwa hal itu boleh

dilakukan kalau tempatnya sangat sempit. Tetapi kalau tempatnya cukup

luas, hukumnya makruh bagijamaah, bukan bagisatu orang makmum.

Para ulama yang mengatakan bahwa secara mutlak shalat di antara dua

tiang itu hukumnya tidak makruh, mereka tidak punya dalilsama sekali.

Mereka hanya mengaitkan bagi imam dan makmum yang sendirian. Bagi

mereka memang tidak berlaku hukum makruh. Yang berlaku yaitu   bagi

jamaah. Inilah pendapat yang diunggulkan.

Hukum Imam yang Berdiri Lebih Tinggi Daripada

Makmum dan Sebaliknya

Bersumber dari Hammam sesunguhnya Hudzaifah mengimami

jamaah di Mada'in di atas sebuah tempat yang iinggi. Abu Mas'ud

memegang baj unya lalu menariknya. Selesai shalat Abu Mas' ud berkata,

"Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka itu melarang dari hal itu?"

Hudzaifah menjawab, "Ya, aku ingat ketika tadi Anda menarik bajuku."

(HR. Abu Dawud dan dianggap shahih oleh lbnu Khuzaimah, Al-Hakim,

dan hnu Hibban).

Bersumber dari lbnu Mas'ud, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu

Alaihi wa Sallam melarang seorang imam berdiri di atas sesuatu sementara

para makmum di belakangnya, maksudnya berada dibawahnya." (HR.

Ad-Daruquthni. Hadits ini diketengahkan oleh Al-HafLh Ibnu Hajar dalam

Al:talkhish, dan ia tidak mengomentarinya).

giAila.q6a/a/a

5halat

Bersumber dari Sahl bin Sa'ad, sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi

wasallam pernah duduk di atas mimbar pada hari pertama benda itu

dibuat. Beliau bertakbir di atasnya. Setelah ruku', beliau turun sambil

mundur ke belakang, kemudian beliau sujud dan para sahabat pun ikut

sujud bersama beliau. Kemudian beliau mengulangi lagi sampai rampung.

Selesai shalat beliau bersabda,

ec t r55,r drt;JU $G',>b Cy utT q$

"Wahai manusia, sesungguhnya apa yang aku lakukan tadi yaitu  

sup ay a kalian mengikutiku, dan sup ay a kalian bisa tahu shalatku."

(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bersumber dari Abu Hurairah, sesungguhnya ia pemah shalat di atas

bangunan masjid sebagai imam. (HR. Sa' id bin Manshur).

Hadits-hadits tadi menunjukkan larangan bagi seorang imam

mengambil tempat yang lebih tinggi daripada para makmum, baik di masj id

atau di tempat lain, dan berapa pun jarak ketinggiannya, berdasarkan

keterangan Abu Sa'id bahwa mereka melarang halitu. Demikian pula

ucapan hnuMas'ud.

Tentang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melakukan shalat

di atas mimbar, ada yang mengaiakan beliau bermaksud untuk

memberikan pelajaran, seperti yang beliau sabdakan sendiri," Dan supaya

kalian m en getahui shal atku. "

Hadits-hadits inilah yang oleh para ulama dijadikan sebagaidalil

bahwa posisi imam yang berada di atas para makmum itu hukumnuya

makruh.

Menurut Imaro fuy-Syafi'i, halitu masih bisa ditolerir kalau jarak

ketinggiannya hanya kira-kira tiga ratus hasta. Tetapi pendapat fuy-Syafi'i

diperdebatkan di kalangan sahabalsahabatnya sendiri.

Menurut Atha', seberapa pun tingginya tidak menjadi masalah. Yang

penting makmum masih bisa melihat imarn.

Dan menurut sebagian ulama ahli fiqih lainnya, posisi seorang imam

tidak boleh di atas makmum setinggi badan. Jika itu dilakukan, jamaahnya

batal. Ini yang berlaku bagi imam. Adapun bagi makmum, jika

ketinggiannya lebih dari tiga ratus hasta sehingga tidak memungkinkan

giAi/v,giada/v

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

untuk mengetahui imam, berdasarkan kesepakatan para ulama hal itu

dilarang, b;ik di masjid ataudi selain masjid. Dan jika kriring darlitu

sehingga masih memungkinkan unfuk mengetahui imam, pada dasamya

diperbolehkan sampai ada dalil yang melarangnya. Halitu diperkuat

dengan apa yang pemah dilakukan oleh Abu Hurairah tanpa ada seorang

pun yang mengingkarinya.

Juga sah hukumnya seorang makmum shalat di rumahnya

sementara imam di masjid, asalkan ia masih bisa mengetahui gerak-gerik

imam.

Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dalam Sunon Sa'id Ibn

Manshur dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia pemah shalat bersama Anas

di rumah Abu Nafi' yang terletak di sebelah kanan masjid, yaitu di sebuah

kamar kira-kira setinggibadan yang punya pintu mengahadp ke masjid di

Bashrah, sementara imamnya di masjid.

H ukum-h ukum Shalat Orang yang Musafir

1. Menurut istilah syariat, safar atau bepergian ialah menempuh jarak yang

dapat merubah hukum seperti mengqashar (menyingkat) shalat,

menjama' (menghimpun ) shalat, boleh berbuka pada puasa Ramadhan,

boleh mengusap sepasang khuf, hilangnya kewajiban melakukan Shalat

Jum'at, Shalat Id, dan diharamkannya seorang wanita yang berstatus

merdeka keluar rumah tanpa ditemani suami atau mahram.

2.Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat tentang jarak yang menurut

pandangan syariat orang yang bersangkutan bisa disebut sebagai

musafir.

Ada yang mengatakan, jaraknya ialah selama perjalanan tiga hari

mulai daripagi sampaisore dengan mengendarai onta yang berjalan

secara wajar. Ada yang mengatakan, jaraknya ialah kira-kira delapan

puluh sembilan (89) kilo meter. Dan masih banyak lagipendapat lain.

Inilah yang mendorong para ulama ahlifiqih memandang dalil-dalilyang

terkait dengan masalah ini secara seksama. Sebelum mencetuskan

keputusan, hendaknya terlebih dahulu mereka melakukan penelitian.

Mereka mengemukakan pendapat yang didukung dengan dalil-dalil yang

kuat, dan yang sesuai dengan semua riwayat, yakni bahwa yang disebut

safar menurut pandangan syariat dan yang punya konsekuensi timbulnya

gik/a,gi-d./.

Shalat

L

--

hukum-hukum tertentu, ialah safar menurut pandangan adat kebiasaan

masyarakat, yaitu minimal jarak tiga forsokh. Satu farsakh itu sama

dengan tigd niil, dan satu militu sama dengan seribu delapan ratus lima

puluh lima meter, atau kurang lebih lima setengah kilo meter.

3. Mengqashar shalat itu merupakan sedekah yang diberikan oleh Allah

kepada hamba-hamba-Nya, dan merupakan anugerah dari Allah

kepada orang yang sedang bepergian, sebab  pada dasamya bepergian

itu merupakan aktivitas yang cukup memberaikan. Meskipun sesuai

dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, bepergian sudah

tidak lagi merupakan aktivitas yang memberatkan bahkan cenderung

menyenangkang, nalnun hukum itu berlaku tanpa mempertimbangkan

hal itu, sebab  pada dasarnya bepergian itu yaitu   aktivitas yang tetap

memberatkan.

4. Para ulama ahlifiqih berselisih pendapat mengenai hukum mengqashar

shalat dalam perjalanan. Ada sebagian mereka yang mengatakan,

hukumnya wajib. Sebagian yang lain mengatakan, hukumnya sunat

muakkad. Dan masing-masing mereka punya dalil. Tetapi ini berlaku

dalam bepergian yang memiliki tujuan melakukan ketaatan; seperti pergi

untuk menunaikan ibadah haji, pergi untuk berjihad, dan lain

sebagainya. Begitu pula dengan bepergian unfukfujuan bemiaga dan

lain sebagainya. Adapun bepergian untuktujuan melakukan malsiat,

menurut pendapat sebagian besar ulama ahli fiqih tidak diperbolehkan

mengqasharshalat.

5. Seorang musafir baru mulai diperbolehkan mengqashar shalat setelah ia

meninggalkan rumah baik di desa maupun di kota dari arah mana ia

keluar. Dan ketika pulang ia masih boleh mengqashar shalatrrya sebelum

masuk ke rumah, baik di desa maupun di kota.

6. Seorang musafir boleh mengqashar shalat selama ia masih dalam

perjalanan. Jika ia tinggaldi suatu tempat sebab  ada urusan yang ia

tunggu, dan ia tidak tahu kapan akan selesai, ia masih tetap boleh

mengqashar shalat meskipun selama beberapa tahun. Tetapi ada yang

mengatakan, batasnya hanya sampai dua puluh hari. Setelah ifu ia harus

melakukan shalat dengan sempurna. Dan ada pula yang mengatakan

lain, seperti yang akanditerangkan nanti ketikamembahas tentang dalil-

dalil berikut komentamya. Contohnya; seperti seseorang yang bepergian

untuk berniaga, atau untuk menyampaikan kiriman surat, atau untuk

gi*ib,96adah,

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

t7

urusan-urusan tertentu, lalu ia berkatra, "Besuk aku akan pergi, Besuk lusa

aku juga akan pergi." Dan ia terus berharap tanpa ada batas.

Tetapi kalau ia niat akan tinggal selama lima belas hari, menurut

ulama-ulama dari kalangan ma&hab Hanafi, Ab-Tsauri, Al-Mwani, dan

laits bin Sa'ad, ia harus menyempumakan shalatnya alias tidak boleh

mengqashar. Mereka memiliki dalilyang kuat atas hal itu.

Ada sebagian ulama ahli fiqih lainnya yang mengatakan, apabila ia

niat untuk tinggalselama empat hari selain hari kedatangan dan hari

kepulangan, maka ia juga harus menyempumakan shalat dan ia tidak

bisa disebut sebagai musafir. Tetapi kalau ia niat kurang dari itu, maka

ia dihukumi musafir. Dan inilah pendapatyang kuat.

7. Seorang musafir menyempurnakan shalat sebab  tiga hal sebagai

berikut:

a. Niat tinggal dalam waktu tertentu, seperti yang telah dikemukakan

tadi.

b. Jadi makmum kepada imam orang yang muqim (yang tidak

musafir), atau dengan sesama musafir yang sudah niat tinggal,

atau dengan sesama musafir yang menyempumakan shalat.

c. Pulang ke tempat dari mana ia berangkat, atau sampai di tanah

air di mana ia dilahirkan atau tinggalditempat isterinya, atau

sengaja tinggal di tempat itu dan tidak pergi meninggalkannya.

8. Menurut ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanbali, disebut shalat

safar atau bukan safar itu terhitung mulaipada awal waktu, sedangkan

menurut ulama-ulama yang lain terhitung pada akhir waktu. Jadi

misalkan; Orang bepergian sebelum Maghrib dan ia belum shalatfuhar,

maka menurut ulama-ulama darimadzhab Hanbali ia harus shalat

fuhar dalam perjalanan sebanyak empat rakaat, sebab  permulaan

waktu Ashar masih berlaku ketika ia belum bepergian. Sementara

menurut ulama-ulama lain, ia shalatfuhar hanya dua rakaat, sebab 

yang dijadikan patokan ialah akhir waktu.

9. Tidaklah diperhitungkan niat orang yang ikut seperti pasukan atau

pelayan, kecuali jika ia tahu niat orang yang diikutinya; yaitu niat tinggal

atau niat bepergian. Sama seperti pasukan dan pelayan yaitu   seorang

wanita yang ikut suaminya, atau seorang anak yang ikut ayahnya, dan

seterusnya.

giA'ila.qiala/u

Shalat

-10. Barangsiapa yang keluar rumah dalam keadaan bingung tanpa punya

makud bepergian, ia tidak boleh mengqashar shalat, walaupun hal itu

berlangsung selama beberapa tahun.

1 1 . Tidak malauh hukumnya shalat sunnat bagi orang yang mengqashar

shalat dalam perjalanan, baik sunnat rawatib maupun sunnat-sunnat

lainnya seperti shalat sunnat dhuha, tahajjud, dan lain sebagainya,

sebab  Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pemah meninggalkan

dua rakaat shalat Shubuh, witir, dan shalat malam saat bepergian.

1 2. Tidak apa hukumnya bepergian pada hari Jum' at sepanjang belum tiba

shalat Jum'atyang ditandai dengan seman a&an. Jika sudah terdengar

seruan adzan,haram hukumnya bepergian dan meninggalkan shalat

Jum'at.

13. Yang boleh diqashar ialah shalat Zhuhur, Ashar, dan Isya. Untuk masing-

masing, seseorang hanya wajib shalat dua rakaat sebagai gantinya

empat rakaat. Adapun shalat Maghrib tetap harus tiga rakaat, dan

Shubuh tetap harus dua rakaat. Tentang menjama' shalat dalam

perjalanan berikut ini yaitu   ketentuan-ketentuannya.

Menjama' Dua Shalat

1. Para ulama sepakat bahwa menjama' takdim antara shalat Zhuhur dan

shalat fuhar di Arafah pada hari fuafah, dan menjama' ta'khir antara

shalat Maghrib dan shalat Isya' di Muzdalifah pada hari Arafah itu

hukumnya boleh. Bahkan ini hukumnya sunnat mu'akkad.

Yang dimaks ud iama' takdim ialah mengerjakan dua shalat sekaligus

pada waktu yang pertama di antara keduanya.

Dan yang dimaksud dengan jama' ta'khir ialah mengerjakan dua

shalat sekaligus pada waktu yang terakhir di antara keduanya. Dan yang

bisa dijama' ialah antara shalat Zhuhur dan shalat fuhar, dan antara

shalat Maghrib dan shalat Isya' saja.

Menurut para ulama, boleh hukumnya shalat Zhuhur dan Ashar

dilakukan pada waktu Zhuhur, dan inilah yang disebut jama' takdim.

Atau shalat Zhuhur dan shalatAshar dilakukan pada waktu Ashar, dan

inilah yang disebutjama'ta'khir. Demikian yang berlaku dengan shalat

Maghrib dan shalat Isya' . Adapun shalat Shubuh sama sekali tidak bisa

gfu/v,96adn/v

Berikut Dal il-dalilnya dalam lslam

dijama' dengan Isya' atau dengan shalat Zhuhur. Itulah yang sunnah,

sebab  biasa dilakukan oleh Nabi Sho/lallahu Alaihi wa Sallam ketika

sedang bepergian. Orang bisa memilih melakukan jama' takdim atau

jama' ta'khir tergantung situasi. Jika bepergian setelah matahari

condong ke barat, Nabi Shollo llahu Alaihi wa Sallam menjama' takdim

shalat Zhuhur dan shalat Ashar. Dan jika pergi sebelum matahari

condong ke barat, beliau menjama' ta'khir. Demikian pula yang beliau

lakukan terhadap shalat Maghrib dan shalat Isya'. Inilah yang berlaku

bagi seorang musafir sebenamya. Menurut para ulama, sama sepertinya

juga ialah orang yang singgah di suatu tempat atau suatu kota sambil

menunggu perjalanan keesokan harinya, atau lusa, meskipun temyata

berlangsung selama bertahun-tahun. Inilah pendapat sebagian besar

ulama ahli fiqih. Sementara ada sebagian mereka yang mengatakan,

bahwa menjama' shalat itu harus dilakukan ditengah{engah perjalanan,

sebab  ketika Nabi singgah di Mina saat menunaikan ibadah haji, beliau

tidak mengqashar dan juga tidak menjama' shalatnya. Oleh sebab  itu

bagi orang yang melakukan perjalanan pendek yang tidak terlalu berat,

atau singgah disuatu tempat hanya untuk beristirahat, atau untuk

menyelesaikan urusannya, dianjurkan untuk tidak menjama' shalafrya,

supaya ia tidak menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit di i<alangan

para ulama ahli fiqih.

Ketika ia tinggaldisuatu tempatdan ingin menjama' shalat, ia boleh

memilih jama' takdim atau jama' ta l.,hrir. lldak ada salahnya mana yang

ia pilih di antara keduanya.

3. Boleh menjama' antara shalatMaghrib dan shalat Isya' dengan alasan

turun hujan lebat, atau gelap guliia, atau jalan yang sangat becek, atau

alasan-alasan lain yang sekiranya bisa membahayakan orang yang

shalat. Tetapi kalau hanya hujan gerimis yang bisa diatasi dengan naik

mobil, atau cuaca sangat gelap tetapi orang yang bersangkutan tinggal

di kota yang terang benderang oleh iampuJampu lishik misalnya, maka

ia tidak boleh menjama'nya. sebab  kebolehan menjama' itu harus ada

uzur. Jika memang benar-benar ada rzul maka boleh menjama'. Begifu

pula sebaliknya. Dalam hal ini, menjama' shalat Maghrib dan Isya' itu

dilakukan bersama-sama imam di masjid. Jadi siapa pun tidakboleh

menjama' ta'khir, dan juga tidakboleh menjama' takdim di rumahnya,

sebab  ia tidak punya uzur sama sekali.

Sebagian ulama ahli fiqih membawa masalah ini  pada shalat

Zhuhur dan shalat Ashar, dengan syarat-syarat yang sama.

g*i/a.q6adn/z

Shalat

Sebagian ulama ahli fiqih ada yang tidak setuju menjama' shalat itu

bisa dilakukan secara mutlak, kecuali menjama' pada hari Arafah. Dan

masing-masing mereka mempunyai dalil yang kuat. Tetapi lebih kuat dalil

para ulama yang mengatakan, boleh menjama' shalat Zhuhur bersama

shalat fu har, dan menjama' shalat Maghrib bersama shalat Isya'.

4. Imam Malik, Imam Ahmad, dan beberapa ulama dari kalangan madzhab

Syafi'i memperbolehkan menjama' shalat Zhuhur dengan shalat fuhar

dan shalat Maghrib dengan shalat Isya', jama' takdim atau jama' ta'khir,

bagi orang sakityang merasa berat melakukan masing-masing shalat

fardhu pada waktunya. Ini merupakan bentuk belas kasih Allah kepada

orang-orang yang sedang menderita sakit. Dan Allah memang Maha

Pengasih terhadap seluruh semesta alam.

5. Banyak ulama ahli fiqih yang memperbolehkan menjama' shalat tidak

sedang dalam bepergian sebab  darurat. Contohnya; Seperti seorang

polisiyang harus bertugas menjaga keamanan mulai selepas Zhuhur

sampai selepas Maghrib, dan sebab  tuntutan tugas ia tidak sempat

melakukan shalat Ashar. Maka ia boleh menjama' takdim shalat Zhuhur

danshalatAshar.

Contoh lain yaitu   seperti seorang pelajar yang masuk ujian sebelum

Maghrib dan baru selesai sesudah Isya'. Maka ia boleh menjama' ta'khir

shalat Maghrib dan shalat Isya' jika di tengah-tengah mengerjakan ujian

ia tidak sempat melakukan shalat Maghrib. Atau seorang petugas yang

harus menghadapi alat-alat mekanik jika sampai lalai sedikit bisa

berakibat fatal, sementara ia tidak bisa sempat melakukan shalat di

tengah-tengah menjalankan tugasnya ini . Maka ia juga boleh

menjama' shalatnya. Demikian seterusnya. Mahabenar Allah ketika

berfirman, " Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama

suatu kesempitan." (Al-Hajj: 78). Berikut yaitu   dalil-dalil dan

komentamya:

Dalil-dalil dan Komentar4ya

Bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhunro, ia berkata,

Ji: F', * It G *i! iL3lj ffi lt, i;; +e

gih/a.qiadalu

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

--

.uis K/. t'.PJ

"Aku pernah menemani Nabi Shallallalru Alaihi rua Sallam dalam

perj alnnan, danbeliau hanya melakuknn slulat dua raknst. Abu B akar,

Umar, dan Utsman j uga demikian. " (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bersumber dari Abu Ya'la bin Umayyah, ia berkata, "Aku bertanya

kepada Umar bin Al-Khatthab tentang firman Allah surat An-Nisa' : 101 

,

" Tidaklah mengaw kamu mengqashar shalat(mu), iika kamu tala:i. diserang

orang-orang kalir ." padahal manusia merasa arnan. Umar berkata, "Seperti

halnya kamu, aku juga merasa heran padanya." Lalu aku tanyakan

mengenai hal itu kepada Rasulullah S hallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau

bersaMa, " Ifu merupakan *dekah yang diberikan oleh Allah kepada kamu.

Makaterimalah sedekah-Nyo ifu. " (HR. Jamaah kecuali Al-Bukhari).

Hadits hnu Umar tadi menunjukkan bahwa Nabi selalu mengqashar

shalat ketika sedang dalam perjalanan, dan tidak pernah melakukannya

secara sempuma, meski satu kalipun. Hal ifu terus beliau lakukan sampai

Allah merenggut nyawanya. Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Bakar

dan Umar. Dan demikian pula yang dilakukan oleh utsman selama enam

tahun sejak ia diangkat sebagai khalifah. Selama kurun waktu itu Utsman

tidak pernah menyempurnakan shalat selain di Mina. Hal itu dibenarkan

oleh hadits hnu umar. Alasan kenapa utsman menyempurnakan shalat di

Mina sebab  ia menikah di sana. Seorang musafir yang tinggal di suafu

tempatdan menikah di sana, atau iasudah punya isteri disana, maka ia

harus melakukan shalatnya secara sempuma, seperti yang dikatakan oleh

Ibnul Qayyim. Menurutnya, itulah alasan yang paling bagus kenapa

Utsman melakukan shalat dengan sempurna alias tidak mengqashar.

Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat tentang mengqashar shalat,

apakah itu kewajiban atau hanya kemurahan atau justru lebih baik

menyempumakannya saja?

Ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat,

mengqashar shalat dalam perjalanan ifu hukumnya wajib. Pendapat yang

sama diriwayatkan dari Umar dan Ali. Dan menurut An-Nawawi,

pendapat ini  juga diikuti oleh banyak ulama. Kata Al-Khithabi dalam

kitabnya Ma'alim Al-Sunon, sebagian besar ulama salaf dan para ulama

ahli fiqih Mesir berpendapat, bahwa mengqashar shalat dalam perjalanan

itu hukumnya wajib. Inilah pendapat Ali, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas,

Umar bin Abdul Aziz, Qatadah, dan Al-Hasan, sebab  memang ifulah yang

gi&ib.q6adalu

Shalat

' ..ct'dt^3J

dilakukan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam saat sedang bepergian .

Adapun hadits yang menerangkan kalau beliau melakukan shalat secara

sempuma ketika sedang bepergian yaitu   hadits yang tidak shahih.

Hammad bin Sulaiman mengatakan, "Orang yang shalat empat

rakaat saat sedang bepergian itu harus mengulangi shalatnya." Dan kata

Imam Malik, "la harus mengulangisepanjang masih dalam waktunya."

Yang mengatakan bahwa qashar itu merupakan kemurahan yaitu  

Imam Asy-Syafi'i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan beberapa ulama

lainnya. Pendapat ini dikutip dariAisyah, Utsman, dan Ibnu Abbas.

Kata Ibnu Al-Mundzir, "Para ulama sepakat bahwa seseorang tidak

boleh mengqashar shalat Maghrib dan shalat Shubuh."

Dan kata An-Nawawi, "Mayoritas ulama berpendapat boleh

hukumnya mengqashar shalat dalam setiap bepergian yang tidak dilarang

oleh syariat Islam." Siapa yang ingin mengamati hujjah atau argumen yang

diajukan oleh kedua belah pihak silahkan lihat!

Yang jelas, demi mengikr.rti sunnah dan bukan sebaliknya, orang yang

sedang bepergian itu sebaiknya harus mengqashar shalat.

Setelah mengemukakan hujjah atau argumen kedua belah pihak,

fuy-Syaukani mengatakan, "Berdasarkan sejumlah pendapat di atas, sVd

lebih cenderung bahwa mengqasharshalat dalam perjalanan itu hukumnya

wajib. Pendapat yang mengatakan lebih baik menyempurnakannya ditolak

oleh tradisi Nabi Shollollahu Alaihi wa Sallam yang selalu mengqashar

shalat dalam setiap kepergiannya. Beliau tidak pernah melakukannya

secara sempurna. Dan beliau pastiselalu melakukan sesuatu yang paling

utama."

Diriwayatkan dari Umar Radhiyatlahu Anhu, ia berkata, "shalat

safar itu dua rakaat, shalat dhuha itu dua rakaat, shalat ldul fitri itu dua

rakaat, dan shalatJum'at itu dua rakaat. Semua harus dilakukan secara

penuh tanpa dikurangi lewat lisan Muhammad Shallallahu Alaihi wa

Sallam." (HR. Ahmad, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Bersumber dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi

w a S all am bersabda, " Ses u nggu hny a All ah itu suka kal au manusia mau

memanf aatkan kemurahan-Nyq sebagaimana Dia hdak suka kalau manusia

berbuatmaksiatkepada-Nya." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam Shohih

lbnu Hibban, dan hnu Khr.zaimah dalam Shahih Ibnu Khuz.aimah).

gi/"i/a,Qladab

Berikut Dal i l-dali lnya dalam lslam

Hadits pertama tadi memberi petunjuk bahwa shalat safar itu dua

rakaat. Ini berlaku untuk shalat Zhuhur, shalat fuhar, dan shalat Isya'. Ini

merupakan kemurahan, dan tidak sepatutnya seorang musafir

melewatkannya. Dan ini menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa

mengqashar shalat dalam perjalanan itu hukumnya wajib.

Dan hadits kedua menunjukkan bahwa keringanan shalat dalam

pedalanan itu merupakan kemurahan dari Allah, Dan Allah To'olo merasa

suka jika kemurahan-Nya ini  dimanfaatkan serta diamalkan, supaya

orang muslim merasakan betapa Allah itu Maha Penyayang lagi Maha

Pengasih kepada hamba-hamba-Nya. SebaliknyaAllah memsa benci kalau

ada hamba yang berbuat maksiat kepada-Nya. Sebagaimana

meninggalkan maksiat itu wajib, memanfaatkan kemurahan juga wajib.

Demikian falsafah pemahaman yang benar tentang masalah kemurahan

Allah.

Yang dimaksud dengan kemurahan ialah, memberikan kelapangan,

keleluasaan, dan kemudahan dalam meninggalkan kewajiban-kewajiban

tertentu, atau diperbolehkannya melbkukan lamnganJarangan tertentu pula.

Bersumber dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, "Aku shalat

Zhuhur diMadinah bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

sebanyak empat rakaat. Tetapi aku shalat fuhar di Dzul Hulaifah bersama

beliau hanya dua rakaatsaja." (HR. Al-Bukharidan Muslim).

Hadits tadi menunjukkan bahwa orang yang hendak bepergian ia

baru dihukumi sebagai musafir (yang bepergian) apabila setelah keluar dari

rumah di mana ia tinggal. Soalnya Nabi juga pernah keluar sebagai musafi r,

tetapi beliau baru mengqashar shalat setelah berada di daerah Dzul

Hulaifah yang pada waktu itu berjarak sekitar enam mil dari Madinah.

Dan hadits tadi juga menunjukkan bahwa orang yang beperg.ian

sebagai musafir pada siang hari ia harus melakukan shalat qashar juga

pada siang hari. Ini berbeda dengan sementara ulama yang berpendapat,

bahwa ia baru boleh mengqashar shalat setelah tiba waktu malam hari.

Bersumber dari Syu'bah dari Yahya bin Yazid, ia berkata, "Aku

bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat." Anas menjawab,

"Rasulullah kalau bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh (Syu'bah ragu-

ragu), beliau hanya shalat dua rakaat." (HR.Ahmad, Muslim, dan Abu

Dawud)

g*i/a.%ada/u

Shalat

Dalam pengertian bahasa, satu milmenurutAlJauhari ialah kira-kira

jarak sejauh mata memandang ke permukaan tanah.

Ada yang mengatakan, satu mil ialah jarak batas pandang orang

yang bermata normal kepada sosok orang yang berdiri di atas tanah yang

rata, sehingga ia tidak tahu apakah sosok orang itu laki-laki atau

perempuan, dan apakah ia pergi atau datang.

MenurutAn-Nawawi, satu militu sama panjangnya dengan enam

ribu hasta. Satu hasta itu panjangnya sama dengan dua puluh empat jari

berukuransedang, dan satu jari itusama panjangnyadengan enambutir

gandum berukuran sedang. Dan kata Al-Hafizh hnu Hajar, inilah pendapat

yangpalingpoluler.

Ada pula yang mengatakan, safu mil itu panjangnya sama dengan

dua belas telapak kaki yang normal.

Ada lagiyang mengatakan, satu mil itu sama panjangnya dengan

empatribu hasta.

Dan ada pula yang mengatakan, satu mil itu panjangnya sama

dengan tiga ribu lima ratus hasta. Hal ini dibenarkan oleh Ibnu Abdul Barr.

Sedangkan satu farsakh itu sama dengan tiga mil.

Memang terjadi perbedaan yang ank rp tajam di kalangan para ulama

Islam tentang batas jarak yang memperbolehkan seseorang melakukan

shalatqashar.

Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fo thul B ari,ada sekitar

dua puluh pendapattentang masalah ini, sepertiyang diceritakan oleh hnu

Al-Mundzir dan lainnya. Faling minimalyaitu   jarak perjalanan selama

seharisemalam, dan paling maksimal ialah selama ia menghilang dari

negerinya.

Ada pula yang mengatakan, hanya sejauh satu mil, seperti yang

diriwayatkan oleh lbnuAbuSyaibah dengan isnadyangshahih dari Ibnu

Umar. hnu Hazm dari ma&hab Azh-Zhahiri cenderung pada pendapat ini.

Ia berpegang pada kalimat 'pergi' dalam Al-Qur'an. Contohnya; Seperti

firman Allah dalam surat An-Nisa' : lol , " Apabilakamu bepergian di muka

bumi." Dan juga dalam sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam .

Menurutnya, Allah, Rasul-Nya, dan seluruh kaum muslimin tidak pernah

membuat ketentuan atau batasan mengenai yang dimaksud 'pergi'. Jadi

giA,i/u.q6a/a/a

Berikut Dalildalilnya dalam lslam

pokoknya pergi, meskipun dalam jarak kurang dari satu mil. Tetapi

pendapat ini disanggah dengan dalil yang sangat kuat. Nabi sering pergi ke

pemakaman Baqi' untuk ikut menguburkan orang-orang yang meninggal

dunia. Dan beliau juga sering pergi ke tanah lapang unfukkeperluan buang

air besar bersama beberapa orang sahabatnya. Namun nyatanya beliau

tidak pemah mengqashar shalat atau membatalkan puasa. Dalam kitab Al-

Muhalla ia menufurkan pendapat-pendapat para sahabat, para tabi'in,

para imam, dan para ulama ahli fiqih tentang ukuran jarak yang

diperbolehkan melakukan shalat qashar.

Seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi, para ulama darikalangan

ma&hab Zhahiri hanya mengambil apa yang nampak pada hadits Anas

ini . Menurut mereka, jarak minimal qashar shalat itu tiga mil. Dan

seperti yang dikatakan oleh Al-Hafizh lbnu Hajar dalarn kitabnya Fathul

Bori, hadits Anas tadi yaitu   hadits paling shahih dan paling tegas yang

menerangkan masalah ini.

Menurut Imam Asy-Syaf i berikut sahabat-sahabatnya, Imam Malik

berikut sahabat-sahabatrya, Al-Laib, Ai-Auza'i, para fukaha yang juga ahli

hadits, dan ulama-ulama yang lain, orang yang bepergian sejauh tiga mil

itu belum diperbolehkan mengqashar shalat. Yang diperbolehkan ialah

jarak dua marhalah yaitu delapan empgt puluh mil Hasyimiyah, seperti yang

dikatakan oleh An-Nawawi.

Nenurut Imam Abu Hanifah dan ulama-ulama Kufah, tidakboleh

hukumnya mengqashar shalat dalam perjalanan yang kurang dari tiga

marhalah. Ada yang mengatakan, tiga marhalah ihr sama dengan dua puluh

empatfarsakh.

Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar, ada riwayat Al-Bukhari yang

menunjukkan bahwa jarak minimal untuk shalat qashar yaitu   perjalanan

selama sehari semalam dengan naik onta.

Asy-Syaukani menyanggah beberapa dalil yang dibuat pegangan

oleh sementara ulama ahlifiqih dalam masalah ini, Menurutnya, pendapat

yang diyakinibenamya ialah bahwajaraknya yaitu   sejauh tiga farsakh,

sebab  menurut keterangan hadits Anas di atas jarak minimalnya ialah tiga

farsakh atau tiga mil. sebab  tiga farsakh itu lebih banyak daripada tiga mil,

maka untuk lebih berhati-hari yang diambilyaitu   yang lebih banyak.

lalu dari mana seorang musafir mulai mengqashar shalat? Kata hnu

Al-Mundzir, menurut kesepakatan para ulama, seseorang yang hendak

gi/t;/u.q6ada/a

Shalat

bepergian itu harus mengqashar shalat ketika ia keluar dari rumah tempat

ia berangkat. Dan mereka berbeda pendapat jika shalat qashar itu

dilakukan sebelum keluar dari rumah. Mayoritas ulama berpendapat, hal

itu berlaku bagi semua rumah.

Sebagian ulama Kufah berpendapat, apabila seseorang hendak

bepergian ia harus shalat dua rakaat terlebih dahulu di tempatnya.

Sebagian lagi berpendapat tidak seperti itu. Ibnu Al-Munzdir setuju pada

pendapat yang pertama, berdasarkan kesepakatan para ulama bahwa

seseorang harus mengqashar shalat begitu ia meninggalkan rumah. Yang

mereka perdebatkan yaitu   kalau shalat qashar itu dilakukan sebelum

meninggalkan ruma