sekali, kemudian ia shalat lagi
dengan keyakinan bahwa ia lakukan jugashalatfardhu. Tetapi jikashalat
lagi dengan keyakinan bahwa salah satunya yaitu shalat sunnat, maka
ia tidak melanggar larangan ini .
Udzur-udzur yang Memperbolehkan Meninggalkan
Shalat Berjamaah di Masjid
Bersumber dari Ibnu Umar dari Nabi Shollo llahu Alaihi wa Sallam,
sesungguhnya beliau menyuruh seorang mua&in yang biasa menyerukan
shalat. Si muadzin berseru, "Shalatlah dirumah kalia.n pada rnalam yang
sangat dingin, pada malam turun hujan lebat, dan pada saat sedang dalam
perjalanan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
gi*db.qiadalu
Shalat
Bersumber dari Jabir, ia berkata, "Kami keluar bersama Rasulullah
shailaltahu Alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan dan kami
kehujanan. Lalu beliau bersabda, ,"Siapo di antara kalian yang ingin,
silahkan ia shalat di tempat tinggalnya saj a. " ( HR. Ahmad, Muslim, dan
lainnya)
Bersumber dari Ibnu Abbas sesungguhnya ia berkata kepada seomng
mua&innya pada hari turun hujan lebat, "$pabila kamu selesai membaca
kalimat Asy hadu annaMuhammadar Rasulullah, jangan kamu teruskan
dengan kalimat Ho yya alash shalat. Tetapi katakan, "shalatlah di rumah
kalian!" Banyak orang yang seakan-akan tidak suka atas hal itu.
Menanggapi hal ini hnu Abbas berkata, "Kenapa kalian merasa heran
atas hal ini? Padahal ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik
daripada aku. sesungguhnya jamaah itu sunnat muakkad, dan aku tidak
suka membuat kalian harus keluar menempuh jalanan yang becek." (HR.
Al-BukharidanMuslim)
Disebutkan dalam riwayat Muslim, bahwa sesungguhnya hnu Abbas
Radhiyallahu Anhuma menyuruh muadzinnya ini pada hari Jum'at
ketika turun hujan lebat.
Bersumber dari Ibnu Umar, ia berkata, "Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallambersabda,
'p;J:->ti pufur.l!r , c t.. t. . .o-' a/. 'a .:aU- Lf,- ,f )L*Llt ttk st(.>f..
".i>t*sr r 4l
"Apabila salah seorang di antaraknlian sedang maknn, ianganlahia
terburi-buru sampai ia selesai makan, walaupun shalat sudah
diiqamati." (HR. Al-Bukhari)
Bersumber dariAisyah, ia berkata, 'Aku pernah mendengar
Rasulullah S hallallahu Alaihi wa Sallom bersabda,
.rt#!i lJ;ild i'r\'rrtlirr a:h;.
'Tidak seffipurna shalat orang yang tersaji dihadapannya makanan,
dan tidak seffipurna pula slulat orang yang menalmnbuang air lcecil
ataubuang air besar." (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Daud)
g*i/a,96a/a/a
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
J;.t
Bersumber dari Abu Darda' , ia berkata, "Termasuk bukti kedalaman
ilmu seseorang ialah jika ia terus menyelesaikan hajatnya sampai ia siap
melakukan shalat dengan hati yang tenang." (HR. Al Bukhari)
Hadits-hadits tadi sebagai dalil bahwa udara yang sangat dingin,
hujan lebat, dan angin kencang, yaitu u&ur-udzuryang memperbolehkan
orang tidak melakukan shalat jamaah. Hal itu yaitu berdasarkan
kesepakatan para ulama, seperti yang dikutip oleh Ibnu Baththal. Tetapi
menurut pendapat yang populer di kalangan ulama-ulama ma&hab Asy-
Syafi'i, bahwa angin yang kencang itu yaitu udzur yang berlaku hanya
padamalam hari saja.
U&ur-udzur ini juga berlaku bagi shalat Jum'at. Bahkan ada
sebagian ulama ahli fikih yang mengatakan, kalau dalam keadaan sedang
udzur seperti ihr seseorang nekad melakukan shalat maka shalatnya batal.
Yang Berhak Menjadi Imam
Bersumber dari Abu Sa'id, ia berkata, "Rasulullah Sho//o/lahuAlaihi
waSallambersabda,
t 6/ o I6t-t6t2t
-"+:;;r lo)t, f4>\) ol ,// .F.r'-i r*W aD'u ritt rii
0p Nt ,4(.9.yt-at e
.*.\Ur,tt #rS" ,rb i;. e'.r,L-
" Apabila ada tign orang, hendaklnlt snlnh seornng ntereka nwtjadi
im am b a gi mereka. D ut o r an g y an g leb ih b e rhnk me nj n di im am b n gi
merekn ialnh yang poling mengetahui (Kitnb Allalt) di antara
merekn." (HR. Ahmad, Muslim, danAn-Nasa'i)
Bersumber dari Abu Mas'ud alias Uqbah bin Amr, ia berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda,
/ ?/ 1o t t,c l.
P.cV ctj.,, t;s e"3jii'Ar t.(9
s + t;t-{'b\i 6:;*r"&i:uir; ^br e t;L{'aV f,;U
\'1 e:Vu e,tr"St blSt ,ji't', W r*ufiir; erll
gi*i/a.qialab
Shalat
' Y ang @erhak) mengimami suatu kaum itu yaitu or ang y ang lebih
mengetaltui Kitab Allah. Apabilapengetalruai mereka tentang Kitnb
Allah itu sama, mnka yang lebihberhnk mengimnmi adaltth ornng
yang lebih mengetalui as-sunnah' Apabila pengetalunn merekn
tentang as-sunnah itu sama, maka yanglebihberhak mengimami
adalnhyanglebih dahuluberhiirah. Dnn apabila merekn samn dalam
berhijrah, maka yang lebih berhak mengimami ialah ynng lebih tua
usianya. Dan janganlah seseorang menjadi imambagi orang lain
yang dalam ruilayahkekuasaannya. Dan janganlah pula ia duduk di
atas permadani di rumahnya, kecuali dengan ada izinnya." (HR.
Ahmad.danMuslim)
Bersumber dari Malik bin Al-Huwairits, ia berkata, "Aku dan
temanku datang menemui Nab i Sho// allahu Alaihi w a S allam. Ketika kam i
hendak beranjak dari sisi beliau, beliau bersabda kepada kami, Apabilahba
w al<7tt shalat, segera *rukan adz.an dan iqamat, lalu hendakl ah yang meni adi
irnam kalian yaitu yang lebih tua di antara kalian." (HR. Jamaah)
Disebutkan dalam riwayatAhmad dan Muslim, " ...dankamiberdua
seimbang dalom hal ilmu." Disebutkan dalam riwayat Abu Daud, " -'. pada
w al<tu itu kami berdua berimbang dalam hal ilmu. "
Bersumber dari Malik bin Al-Huwairits, ia berkata, 'Aku pernah
mendengar Nab i Shall all ahu AI aihi w a S all am bersab da, " B ar angsiap a
yang mengunjungi suatu kaum, jangan ia menjadi imam mereka. Biarlah
yang mengimami mereka yaitu salah seorang di antara mereka'" (HR.
Imam lima kecualilbnu Majah)
Hadits-hadits ini menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:
Yang paling berhak menjadi imam ialah orang yang paling
mengetahui Kitab Allah, yaitu orang yang lebih banyak hapalAl-Qur'an
daripada yang lain. ia sanggup menghapal dengan bacaan yang sangat
bagus, sebab berdasarkan kesepakatan para ulama menjadi imam dengan
bacaan yang salah sehingga dapat mengubah makna itu, hukumnya
haram.
Orang yang lebih banyak hapal Al-Qur'an lebih didahulukan sebagai
imam shalat daripada orang yang lebih mengetahui fikih darinya, dengan
syarat asalkan ia juga harus punya pengetahuan tentang ilmu fikih. Kalau
tidakpunya iatidakboleh menjadi imam, walaupun ia hapalAl-Qur'an.
gi*ilu,96a/a/u
Berikut Dalilialilnya dalam lslam
Ulama-ulama yang berpendapat seperti itu ialah Al-Ahnaf bin Qais,
Ibnu Sirin, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Abu Hanifah berikut sahabat-
sahabatnya, dan Imam Ahmad berikut sahabat-sahabatnya,
Menurut pendapat Imam fuy-Syaf i berikut sahabat-sahabatrya dan
Imam Malik berikut sahabat-sahabatnya, orang yang ahli fikih itu harus
lebih didahulukan daripada orang yang lebih mengetahui Al-Qur'an. Kata
An-Nawawi, alasannya sebab dalam masalah shalat itu yang sangat
dibutuhkan ialah kemampuan untuk menjaga hal-hal yang benar, dan yang
paling punya kapasitas untuk itu yaitu orang yang ahli fikih.
Mengomentari hadit ini menunrt mereka, pam sahabat yaitu orang-
orang yang selain lebih mengetahui Al-Qur'an sekaligus juga lebih
mengetahui tentang fi kih.
'Kata Imam Asy-Syafi'i, "Pada zaman Nabi Sho/lollahu Alaihi wa
Sallam, orang-orang yang sangat paham Al-Qur'an sekaligus juga sangat
paham tentang fikih. Mereka mendalami fikih terlebih dahulu sebelum
mendalami Al-Qur'an, sehingga setiap orang di antara mereka yang
menguasai Al-Qu/an pastijuga menguasai fikih. Bukan sebaliknya. Tetapi
menurut An-Nawawi, sabda Nabi Sho/lo llahu Alaihi wa Sallam, " Apabila
pengetahuan mereka tentang Kitab Allah sama, maka yang berhak
mengimami ialah yang lebih mengetahui os-sunnoh" merupakan dalil
bahwa secara mutlak orang yang lebih mengetahuiAl-Qur'an itu harus
lebih didahulukan daripada orang yang lebih mengetahuifikih, sebab
pendalaman masalah-masalah yang menyangkut shalat itu pada
hakekatnya bersumber dari as-sunnah, padahal orang yang lebih
mengetahuiAl-Qur'an saja harus lebih didahulukan daripada orang yang
lebih mengatahui as-sunnah, apalagi daripada orang yang lebih
mengetahuifikh."
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Apabila pengetahuan
mereka tentang Kitnb Allah sama, maka yang lebih berhak menEmami ialah
orang yang lbbih mengefohui os-sunnoh" ini merupakan dalil, bahwa orang
yang punya pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat agama itu hans lebih
didahulukan daripada orang yang hanya punya pengetahuan tentang hal-
hal yang bersifat duniawi.
Yang dimaksud dengan kalimat hijrah dalam hadits ini ialah
hijrah yang akan ierus berlangsung hingga Hari Kiamat kelak, yaitu hijrah
dari negeri kafir ke negeri Islam, hijrah dari negeri yang penuh kefasikan
serta kemaksiatan ke negeri yang bersih dari kefasikan, kemaksiatan, dan
g*i/v,giadala
Shalat
tmaraknya dosa-dosa besar tanpa ada orang yang mengingliarirrya, dan
hijrah-hijrah lain yang masih akan terus berlangsung hingga Hari Kiamat
nanti.
Kalimat " Apabila mereka sama dalam berhijrah, maka yang berhak
mengimami ialah yang lebih tua usianya" ini, sebab Islam dan amal saleh
memiliki nilai lebih tersendiri, yang patut untuk dijadikan salah satu skala
prioritas.
Yang dimaksud dengan wilayahkekuasaandalam arti yang luas ialah
kekuasaan pemerintahan, dan dalam artiyang sempit ialah tuan rumah
yang berkuasa atas rumahnya. Jadi di rumahnya dialah yang paling berhak
menjadi imam shalat daripada orang lain, kecuali jika ia sudah memberi
izin kepada orang lain. Inilah etika yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam.
Kata AtiTirmi&i, inilah yang telah diamalkan oleh sebagian besar
ulama dari generasi sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka
mengatakan, fuan rumah itu lebih berhak menjadi imam shalat daripada
tamunya. Tetapi ada sebagian mereka yang mengatakan, kecuali situan
rumah sudah memberi izin kepada tamunya, maka tidak apa-apa
hukumnya jika si tamu yang menjadi imam shalat.
Al-lraqi menambahkan, hal ifu dengan syarat kalau si tamu memang
layak untuk dijadikan imam. Kalau tidak layak, maka statusnya sama
seperti wanita atau orang yang buta huruf yang sama-sama tidak berhak
dijadikanimam.
Jika mereka sama dalam halpengetahuan tentang Kitab Allah, as-
sunnah, dan hijrah, makayang lebih diutamakan menjadi imam yaitu
yang lebih fua usianya. Ini merupakan salah satu etika yang menuntut omng
yang muda untuk menghormatiorang yang lebih fua.
Hukum Orang yang Tuna Netra dan Budak Menjadi
Imam
Bersumber dari Anas, sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam pemah meminta kepada hnu Ummi Maktum untuk menggantikan
beliau menjaga Madinah sebanyak dua kali. Ibnu ummi Maktum shalat
(menjadi imam)bersama mereka, padahalia orang tuna neha." (HR.
Ahmad dan Abu Daud. Hadits ini shahih)
g*i/a,Qiadzlu
Berikut Dalilialilnya dalam lslam
Bersumber dari Ibnu umar, "Ketika orang-orang Muhajirin yang
pertama datang, mereka singgah di Ashbah depan kediaman Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka shalat berjamaah dengan imam
salim, budak Abu Hudzaifah yang paling banyak hapal Al-eur'an, padahal
di antara mereka ada umar bin Al-Khathab, dan Abu Salamah bin Abdul
Asad." (HR. Al-Bukhari dan Abu Daud)
Bersumber dari Ibnu Abu Mulaikah, "sesungguhnya mereka
menemuiAisyah dipuncak jurang. Mereka yaitu ; ia sendiri, ubaid bin
umair, Al-Miswar bin Makhramah, dan beberapa sahabat yang lain.
Mereka shalat berjamaah dengan imam Abu umar, budak Aisyah yang
belum dimerdekakan." (HR. Asy-Syafi'i, dan dianggap shahih oleh Ibnu
Hajar)
Hadits tadi menunjukkan bahwa orang yang tuna netra, maura, dan
budak itu boleh menjadi imam. Salim misalnya, ia yaitu budak milik
seorang wanita Anshar yang kemudian dimerdekakannya. Sebelum
berstatus merdeka ia biasa menjadi imam shalatjamaah. Kalau kemudian
ia disebut budak Hu&aifah, ifu sebab sesudah merdeka ia selalu bersama
Hudzaifah yang kemudian diadopsi. Dan ketika ada larangan adopsi,
orang-orang biasa memanggilnya Salim budak Hudzaifah.
Demikian pula dengan budak Aisy ah Radhiyallahu Anha yang biasa
menj adi imam shalat bagi istri Nab i Sh all all ahu Al aihi w a S al I am dan j uga
bagi orang lain. Demikianlah sikap Islarn yang mengangkat derajat anik
kecil, kaum budak, dan orang-orang yang lemah lainnya. Islam
menyamakan bahkan mengutamakan mereka atas orang-orang besar.
Kerena pada hakekatnya, letak kemuliaan itu ada pada ketakwaan, amal
saleh, dan ilmu.
Hukum Wanita Menjadi Imam
Bersumber dari ummu waraqah binti Abdullah bin Al-Harits Al-
Anshari,
]--;ii|"oi 6;i'rs &'a, or{', oT;st ,;; rt",itt',
$,ilxt/u96ada./u
Shalat
Y"Ia yaitu seorang zoanita yang hapal Al-Qur'an, dan Nabi
Shallaltahu Alaihi ua S allam menywruhny a untuk menj adi imambagi
penglruni rumahnya." (FiR. Abu Daud, Al-Baihaqi, Ad-
Daruquthni, dan Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah yang
menganggapnya sebagai hadits shahih)
Di rumah wanita ini ada seorang mua&in yang sudah cukup tua. Ia
juga punya seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan. Ia biasa
menjadi imam bagi mereka. Inilah yang dibuat dalil oleh Abu Daud, Abu
Tsaur, Al-Muzani, dan AthrThabari, bahwa boleh hukumnya seorang
wanita menjadi imam bagi laki-laki.
Tetapi mayoritas ulama berpendapat, tidak sah hukumnya seorang
wanita menjadi imam bagikaum laki-laki. Mengomentari hadits ini
mereka mengatakan, hadits tadi sama sekali tidak menyinggung bahwa si
mua&in dan si budak laki-laki pemah shalat sebagai makmumnya. Di
samping itu ada riwayat lain dari Ummu Waraqah yang menyatakan bahwa
Nabi Sholla tlahu Alaihi wa Sallammemberi izin kepadanya untuk menjadi
imam bagi sesama kaum wanita.
Adapun tentang seorang wanita yang menjadi imam bagi sesama
wanita juga diperdebatkan. Menurut ulama-ulama dari kalangan madzhab
AsySyafi'i dan Hanbali, hukumnyaboleh. Riwayat darilmam Malik juga
mengatakan demikian. Pendapat yang sama juga dikutip oleh Ibnu Al-
Mun&ir dari Aisyah, Ummu Salamah, Atha', Sufi7an AtsTsauri, Al-Atza'i,
Ishak, danAbu.Gaur.
Dalil yang mereka jadikan sebagai dasar ialah riwayat yang
menyatakan bahwa Aisyah pernah mengimami beberapa wanita dalam
shalat fardhu. Ummu Salamah juga pernah mengimami sesama wanita
dalam shalat ashar, bahkan ia juga yan g mengiqamofi di antara mereka,
seperti yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi.
Menurut Hasan Al-Bashri, Sulaiman bin Yassar, dan ulama-ulama
dari kalangan madzhab Maliki, hal itu hukumnya tidakboleh secam mutlak,
baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnat. Ini yaitu riwayat dari
Imam Malik. Tetapi dalil mereka lemah.
Menurut ulama-ulama darikalangan madzhab Hanafi, hal itu
hukumnya boleh tetapi makruh. Tetapi Ibnu Al-Hammam salah seorang
ulama dari ma&hab Hanafi berpendapat, hukuinnya makruh'
gihh.giada/u
Berikut Dal il-dalilnya dalam lslam
Sementara menurut Asy-Sya'bi, hrahim An-Nakha'i, dan Qatadah,
hukumnya boleh dalam shalat sunnat, bukan dalam shalat fardhu. Tetapi
mereka tidak punya dasar yang bisa dijadikan sebagai dalilatas pendapat
merekaini .
Hukum Orang Fasik Menjadi Imam
Bersumber dari Uqbah bin Amir, ia berkata,'lAku pemah mendengar
Rasulullah S hallallahu laihi wa Sallom bersabda,
t-:--;, '6jlU; U',ta;1t z o l, )'-t's&s& q\;t u6tii;
'€-
t.
l rlei
*):4;;
"Barangsiapa yang menjadi imam bagi manusia, kemudian ia
menepati zoakfu dnn flEnyempurnnkan (sy arat, rukun, dnn lcesunatan-
kesunatnn) shalat, niscaya ia dnn mereka mendapatknn pahaln. Dan
barangsiapa y ang inengurangi sesuatu darip adany a, niscay a ia y ang
menflnggung dosn danbukan mereka." (HR. Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah, dan Al-Hakim yang menilainya sebagai hadits
shahih dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
Bersumber dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
'rJr:.J{r'r!r'up Wj i4i>r*:t ori*i try(
t-; ri;r')'#, ;2'd i ;f q$ *jJ.
rt
. ? olzc)t JJ:-,
,u
",
f,v e
-/ ct
.4'}.-..*'
" Mungkin kalirm akan mendapati beberapa knum yang melakukan
shalat tidakpada utaktunya. Apabihknlian mendnpnti mereka, makn
shnlntlah terlebii t dnl tulu di rumnh knlian p ada tep at u nktu y mtg knlian
ketalui, kemudianbaru shalatlahbersama mereka, dan qnggnp itu
sebagai shalat sunnat." (HR. Muslim)
gfulu,Qiadalv
Shalat
Bersumber dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, " sepeninggalanku nanti
sesungguhnya urusan kalian akan dikuasai oleh orang-orang yang
memadamkan sunnah dan mengada-adakan bid'ah. Mereka biasa
menangguhkan shalat dari waktunya." Ibnu Mas'ud bertanya, "Ya
Rasulullah, bagaimana sikapku jika aku mendapati mereka?" Beliau
bersabda sebanyak tiga kali, "7ldok ada taat sama sekali kepada orang yang
durhaka kepada Allah, wahai putra dari ibu seorang hamba." (HR. Muslim
dan lainnya)
Hadits-hadits tadi merupakan dalil bahwa:
-
Seorang imam ifu bertanggungjawab atasshalatmakmumnya, sebab
sah dan batalnya shalatmereka terkait eratdengan shalatnya.
-
Seorang malrnum itu tidak bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh imam sepanjang ia tidak tahu.
-
Seseorang harus menjaga shalat pada awalwaktu, meskipun ia shalat
sendirian.
-
Boleh hukumnya shalat sebagai makmum orang yang fasik dan para
pemimpin yang zhalim meskipun makruh. Inilah pendapat yang
diunggulkan oleh mayoritas ulama, sebab memang tidak ada syarat
yang menyatakan seorang imam shalat itu harus adil. Sah hukumnya
shalat sebagai makmum orang yang fasik, asalkan ia tidak sampai
merusak salah safu rukun shalat. Kalau itu yang terjadi, lebih baik shalat
sebagai makmum orang selainnya saja.
Menurut ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanbali, hukum
imam orang yang fasik meskipun dengan makmum yang sama-sama fasik
itu hukumnya tidak sah, kecuali dalam shalat Jum'at dan shalat id yang
memang sulit untuk dihindari. Jadi kalau halitu diperbolehkan yaitu
sebab darurat.
fuy-Syaukani dalam kitabnya Nail Al-Author mengatakan, "para
ulama dari sisa generasi sahabat dan generasi tabi'in yang pertama,
sepakat untuk tidak mempeffnasalahkan shalat di belakang orang-orang
yang zhalim. Sebab pada waktu itu para pemimpin pemerintahanlah yang
menjadi imam shalat lima waktu. Kaum muslimin di setiap negara diimami
oleh penguasa mereka yang pada waktu itu didominasi oleh para khalifah
dari dinastiMu'awiyah yang sikap serta perilaku mereka sudah tidak
giki/a.qiadab
Berikut Dalil-dalilnya dalam lslam
rahasia lagi. AlBukhari mengutip riwayat dari hnu Umar, bahwa ia pemah
shalat di belakang Al-Hajjaj. Imam Muslim dan imam-imam pemilik kitab
sunon juga megutip riwayat yang menyatakan bahwa Abu sa' id Al-l{hudri
pernah melakukan shalat id di belakang Marwan. Yang jelas, memang tidak
ada syarat seorang imam shalat itu hans adil. Sebab, orang yang sah shalat
sendirian juga sahshalatbersama orang lain.
Hukum Anak Kecil Menjadi Imam
Bersumber dari Amrbin Salamah, ia berkata, "pada peristiwa
penaklukan kota Mald<ah, setiap kaum bergegas menyatakan masuk Islam.
Tidak ketinggalan ayahku juga bergegas mengabarkan kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallambahwa kaumku juga masuk Islam. Sepulang
dari menemui beliau, ia berkata, "Aku baru saja menemui seorang Nabi
yang sejati. Ia berpesan,' Lakukanlah shalat ini pada waktu ini, dan shalat
ini pada w aldtt ini. Apabila tiba w al<ht shalat, hendaklah salah reorang kalian
menyerukan adzan, dan hendaklah yang menjadi imam kalian yaitu orang
yang lebih mengetahui AI-Qur'an di antara kalian." setelah diteliti mereka
tidak menemukan orang yang seperti itu selain aku, sebab aku sering
menemui orang-orang yang berkendaraan. Mereka lalu mengajukan aku
sebagai imam mereka, padahal usiaku baru enam atau tujuh tahun. Aku
mengenakan mantel yang kalau aku gunakan untuk sujud kelihatan
mengkerut. seorang wanita darisalah satu suku berkata, "Kenapa tidak
kalian futupi bokong imam kalian itu dari pandangan kami?" Mereka lalu
membelikan aku baju gamis. Aku belum pemah merasa gembira segembira
menerima baju gamis itu." (HR. Al-Butfiari)
Hadits yang sama diriwayatkan oleh An-Nasa' i. Di sana disebutkan,
"Aku mengimamimereka, padahalusiaku baru delapan tahun.', Hadits
yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad tanpa menyebut usia
segala. Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud, ,,Setiap
kumpulan kabilah yang aku datangi, aku selalu ditunjuk mengimami mereka
sampaisekarang."
Bersumber dari lbnu Mas'ud, "seorang anak kecil tidak boleh
menjadi imam sampai berlaku hukum had atasnya." (HR. Al-Atsram)
Bersumber dari hnu Abbas, "seord ng anak kecil tidak boleh menjadi
imam sampai ia mengalami mimpi basah." (HR. Al-Atsram)
giln/.v.q6adal,
Shalat
Hadits tadi merupakan dalil yang memperbolehkan seorang anak
kecil yang sudah pintar untuk menjadi imam bagi orang-orang yang lebih
dewasa darinya, jika ia yaitu orang yang lebih mengetahui tentang Kitab
Allah, seperti yang pemah dialami oleh Amr bin Salamah.
Tidak benar kalau Nabi Sholla llahu Alaihi wa Sallam sampai tidak
mendengar hal itu, sebab peristiwa ini terjadi pada saat turunnya
wahyu sehingga tidak mungkin keliru. I-agi pula yang mengaj ukan Amr bin
Salamah sebagai imam yaitu para sahabat. Dan kata lbnu Hazm, pada
saat itu tidak ada seorang pun yang menantang mereka. Demikian pula
yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathu AI -B an.
Fara ulama yang memperbolehkan anak kecil menjadi imam yaitu
Al-Hasan, Ishak, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Yahya. Dan yang
menghukumi makruh yaitu Asy-Syu' b i, Al-Awa' i, AtsJTsauri, dan Imam
Malik. Sementara riwayat dari Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah
berbeda-beda. Tetapi sepertiyang dikatakan oleh hnu Hajar dalam Fathu
Al-Ban, mereka memperbolehkannya dalam shalat sunnat, bukan shalat
fardhu.
Demikianlah. Jadi menurut pendapat yang diunggulkan, boleh
hukumnya anak kecil menjadi imam, berdasarkan peristiwa yang
menceritakan pengalaman Amr bin Salamah yang pernah mengimami
kaumnya dalam shalat-shalat fardhu.
Orang yang Muqim Boleh Menjadi Makmum Orang
yang Musafir dan Sebaliknya
Bersumber dari Imran bin Hushain, ia berkata,"Setiap kali sedang
bepergian Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam selalu shalat dua rakaat,
kecuali shalat maghrib. Kemudian beliau bersabda, 'Wahai penduduk
Makkah, bangkitlah dan shalatlah dua rakaat yang lain, sebab kami yaitu
orang-orang yang sedang bepergian. " (HR. Ahmad dan AtJTirmidzi yang
menilainya sebagai hadits hasan sebab ada beberapa hadits lain yang
menguatkannya, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafizh hnu Hajar)
Hadits ini merupakan dalil yang memperbolehkan seorang yang
muqim shalat di belakang orang yang musafir, dan ini sudah disepakati oleh
para ulama. Yang mengundang perdebatan ialah jika seorang musafir
shalat di belakang orang yang muqim. Sebagian ulama ahli fikih,
gih/u.%a/a/a
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain, tidak mempertolehkannya.
IGta Asy-Syaukani, dalilyang memperbolehkannya secara mutlak ialah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam MusnadAhmad dari
Ibnu Abbas bahwa ia pernah ditanya, kenapa orang musafir boleh shalat
dua rakaat kalau sendirian, dan harus empat rakaat kalau menjadi
makmum orang yang muqim? Ia menjawab, "ltu yaitu sunnah Abul
Qasim ShollallahuAlaihi waSallam. Hadib inijuga diketengahkan oleh Al-
Hafizh lbnu Hajar dalam At-Talkish, tanpa dikomentarinya. Ia hanya
mengatakan, hadits ini aslinya ada pada Imam Muslim dan An-Nasa'i.
Hukum Makmum Orang yang Shalat Fardhu dengan
Imam Orang yang Shalat Sunnat
BersumberdariJabir,
#;;'.iiiq,ffi *u, );'r e
"b-
os ,F Gt6'ri
.a>,br ,tb. t, ji y j J\e;-
" Sesungguhny a Mu' adz pernah shalat isy a' terlambat bersamn N abi
Shallallahu Alaihi za a S allam. Kemudian ia lcemb ali kepada kaumny a,
dan melakukan shalat ynng sama dengan merekn." (HR. Al-Bukhari
danMuslim)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i dan Ad-
Daruquthni dengan ada tambahan, "Baginya ifu yaitu shalat sunnat, dan
bagi kaumnya itu yaitu shalatfardhu isya'."
Hadits tadi menunjukkan boleh hukumnya orang yang shalat fardhu
menjadi makmum orang yang shalat sunnat. Sebab yang dilakukan oleh
Mu'a& ifu yaitu shalat sunnat setelah ia melakukan shalat bersama Nabi.
Kata An-Nawawi, "Menurut saya, boleh hukumnya orang yang shalat
fardhu menjadi makmum orang yang shalat sunnat, orang yang shalat
sunnat menjadi makmum orang yang shalat fardu, dan orang yang shalat
fardhu menjadi makmum orang yang shalat fardhu lainnya. Pendapat
inilah yang diceritakan oleh hnu Al-Mun&ir dari Thawus, Atha', Al-Auza' i,
Imam Ahmad, Abu Gaur, dan Sulaiman bin Harb. Saya cenderung pada
pendapat yang juga dianut oleh Daud ini. "
g*ila.q6a/z/u
Shalat
Hukum Makmum Orang yang Berwudhu Dengan
Imam Orang Yang Bertayamum
Ditetapkan dalam sebuah hadits shahih, "Bahwa sesungguhnya Amr
bin Al-iAsh ketika sedang dalam perjalanan, pernah tayammum dari jinabat,
lalu ia mengimami kaumnya. Ketika hal itu diketahui oleh NabiShol/ollohu
Alaihi wa Sallam, beliau mengakui apa yang dilakukannya ini ."
Disebutkan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Atsram dari
Sa'id bin Jubair, sesungguhnya hnu Abbas pernah mengimamibeberapa
orang makmum dalam perjalanan, dan ia bersuci dengan cara tayamum.
Jadi masalahnya sudah cukup jelas.
Hukum Makmum Orang yang Shalat Berdiri dengan
Imam Orang yang Shalat Duduk
Bersumber dari Aisyah Radhiyallahu Anha tentang kisah shalat
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama sahabat ketika beliau
sedang sakit. Aisyah berkata, "Beliau muncul lalu duduk di sebelah kiri Abu
Bakar. Beliau mengimamipara sahabat dengan posisi duduk, sedangkan
Abu Bakar dalam posisi berdiri. Abu Bakar mengikuti shalat Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan para sahabat mengikuti shalat Abu
Bakar." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi ShallallahuAlaihi waSallam
shalat sebagai imam, sebab posisi Abu Bakar berada di sebelah kanan
beliau. Itulah posisi yang ideal antara imam dan seorang makmum.
Seandainya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat sebagai makmum,
tentu beliau mengambil posisi duduk di sebelah kanan Abu Bakar. Terdapat
banyak riwayat dalam Shahih Al -B ukhan dan Shoh ih Muslim yang j uga
menyatakan bahwa beliau duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Ini menguatkan
bahwa beliau memang shalat sebagai imam. Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar
menentang kebimbangan Al-Qurthubi tentiang apakah pada waktu itu Abu
Bakar sebagai imam atau sebagai makmum.
Hadits ini juga menunjukkan diperbolehkannya seorang makmum
mengambil posisi di sebelah kanan imam, meskipun juga ada makmum
yang lainnya. Hal itu mungkin disebabkan sebab sempitnya shaf, atau
sebab semula ia yaitu imam, atau sebab alasan-alasan lain.
giAilv.q6a/n/a
Berikut Dal ildalilnya dalam lslam
Dan hadits ini juga menunjukkan bahwa seoramg makmum yang
dengan posisi berdiri itu boleh shalat di belakang imam yang shalat dengan
posisi duduk. Itulah pengalarnan terakhir Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam
bersama para sahabatnya. Terjadi perbedaan pendapat yang cukup sengit
di kalangan para ulama tentang masalah ini. Ada yang mengatakan, Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat dengan posisi berdiri, sementara para
sahabat shalat di belakang beliau dengan posisi duduk. Mereka
berdasarkan pada sebuah riwayat yang shahih. Ada yang mengatakan
bahwa, para sahabat shalat di belakang beliau dengan posisiberdiri. Dan
mereka juga berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih.
Ada yang mengatakan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat
sebagai imam. Dan ada yang mengatakan, beliau shalat sebagai makmum.
Tetapi ada pula sebagian ulama yang menghimpun berbagai riwayat berikut
petistiwa-peristiwanya.
Adapun mengenai hukum shalat sebagai makmum orang yang tidak
sanggup berdiri, juga terjadi perbedaan pendapatdikalangan para ulama
ahlifikih. Menurut Imam An-Nawawi, boleh hukumnya bagi orang yang
shalat berdiri menjadi makmum orang yang shalat duduk sebab tidak
sanggupberdiri, dan ia tidakboleh ikut duduk. Pendapat ini didukung oleh
AtsJlsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian ulama dari
kalangan ma&hab Maliki. Sementara menurut pendapat Al-Auza'i, Imam
Ahmad dalam safu versi riwayat, Ishak, dan IbnuAl-Mun&ir, ia boleh ikut
duduk, dan justu tidak boleh berdiri. Menurut Imam Malik dalam salah satu
versi riwayat dan beberapa sahabahrya, secara muflak tidak sah hukumnya
shalat dengan duduk di belakang imam seperti itu. Mereka berdasarkan
hadits Aisyah yang telah dikemukakan di atas. An-Nawawi menuturkan
beberapa riwayat yang memperkuat hadits ini yang sebagiannya
diketengahkan oleh Al-Bukhari dan sebagian lagidiketengahkan oleh
Muslim. Selanjutnya ia mengatakan, "MenurutAsy-Syafi'i berikutsahabar
sahabatnya dan beberapa ulama ahli hadits dan ahli fikih, riwayat-riwayat
ini secara tegas menasakh atau membatalkan hadits Anas yang
dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad dan Al-Auza'i, bahwa N abishallallahu
Alaihi wa Sallampemah bersabda, " Apabila ia shalat dengan duduk, maka
shalatlah kalian semua j uga dengan duduk. "
Apa yang dikatakan oleh Imam fuy-Syafi'idan sahabat-sahabatnya
ini didukung oleh Ai-Humaidi, Ibnu Al-Mubarak, dan berapa ulama
lain. Menurut mereka, riwayat yangmenasokh atau yang membatalkan
ialah, riwayat yang menerangkan bahwa Nabi S hallallahu Alaihi wa Sallam
,qrh/u.qiala/a
Shalat
ketika,sedang sakit keras mengimami shalat bagipara sahabat sambil
duduk, sementara mereka sama berdiri di belakang beliau. Dan beliau tidak
menyuruh mereka untuk ikut duduk. Itulah shalat terakhir yang dilakukan
oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama para sahabat sebelum
beliau mengahadap Allah untuk selama-lamanya.
Imam Ahmad mencoba untuk mengkompromikan kedua hadits
ini dengan dua pendekatan sebagai berikut:
Pertama,apabila seorang imam tetap memulai shalat dengan duduk
sebab alasan sakit, maka para makmum di belakangnya juga boleh ikut
duduk.
Kedua, apabila seorang imam tetap berdiri, maka para makmum di
belakangnya juga harus berdiri, meskipun di tengah-tengah shalat terjadi
sesuatu yang memaksa imam mereka harus duduk atau tidak.
Menggantikan Imam di Tengah-tengah Shalat
Berjamaah
Bersumber dari Amr bin Maimun, ia berkata, "Sesungguhnya aku
sedang berdiri shalat Shubuh. Jarak antara aku dan Umar yang kemudian
mengalamimusibah hanya dipisah oleh Abdullah bin Abbas. Sejenak
setelah bertakbir, aku mendengar Umar mengatakan, 'Siapa telah
memb unuhku?' Atau'Aku dimakan anj ing ! " Umar kemudian menyuruh
Abdunahman bin Auf untuk maju ke depan menggantikannya. Ia lalu shalat
bersama para jamaah dengan agak cepat." (Diringkas dari Al-Bukhari)
Bersumber dari Abu Razin, ia berkata, "Pada suafu hari ketika sedang
mengeluarkan darah dari hidung, NiRadhiyallahuAnhu shalat. Lalu ia
memegang tangan seorang makmum agar maju, kemudian ia mundur."
(HR. Sa'id)
Kata Imam Ahmad bin Hanbal,
"Apabila di tengah-tengah shalat, sebab satu uzur, maka seorang
imam bisa menunjuk orang lain untuk menggantikannya, halitu sudah
pernah dilakukan oleh Umar dan Ali. Dan apabila imam mundur begitu
saja dan membiarkan para makmumnya shalat sendiri-sendiri, hal itu juga
pemah dilakukan oleh Mu'awiyah ketika ia ditusuk saat sedang shalat dan
g*/ag6a/a/u
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
tidak sanggup melanjutkan shalatnya, kemudian para makmum sama
meneruskan shalat sendiri-sendiri."
Jika Di Antara Makmum Dan Imam Ada Sekat Yang
Menghalangi
Bersumber dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata,
;:;Jit )'js,y
.4, o*U a6lt e.)J e g,*
,t
orU
'Nabi shalat di kamarku, sementara para sahabat mengikuti shalat
beliau dibelakangkamar. " (HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan lairurya)
Hadits ini menunjukkan boleh hukumnya seorang makmum shalat
mengikuti imam yang dibatasi oleh sekat berupa dinding dan lain
sebagainya.
Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama mengenai masalah
ini.
An-Nawawi dalam kitabnya Al -Majmu' mengutip kesepakatan para
ulama yang menyatakan, meskipun jarak shaf makmum cukup jauh dari
posisi imam, dan shalatnya dilakukan di masjid, maka shalatnya sah
dengan syarat makmum harus mengetahui shalatnya imam, baik di antara
keduanya terhalang sekat atau tidak, baik jaraknya dekat atau cukup jauh
sebab mungkin masjidnya sangat besar. Setiap bagian dari masjid sah
untuk digunakan shalat berjamaah, asalkan shalatrya imam bisa diketahui,
dan tidak dalam posisi di depannya, baik posisi makmum berada di atas
atau di bawah imam. Dalam masalah inisemua sepakat.
Tetapi kalau posisimakmum di luar masjid, dalam hal ini ada
beberapa masalah:
Pertama, jaraknya dengan imam tidakboleh terlalu jauh. Demikian
pendapat mayoritas ulama. Menurut Imam Asy-Syafi'i, yang disebut dekat
ialah jarak kira-kira tiga ratus hasta. Tetapi menurut Atha', secara mutlak
hukumnya sah, meskipun jaraknya satu mil bahkan lebih. Yang penting
shalatnya imam masih bisa diketahui.
gh/v,giain/u
Shalat
.f)'2'
Kedua, menurut kami, Imam Malik, dan sebagian besar ulama,
meskipun di antara imam dan makmum dipisahkan oleh sebuah jalan
hukumnya tetap sah. sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, tidak
sah. Tetapi dalilyang digunakannya yaitu hadits yang tidak ada dasarnya
samasekali.
Ketiga, jil<aseseorang shalat di rumah mengikuti imam yang shalat
di masjid, sementara mereka dipisahkan oleh sekat, menurut kami shalat
jamaahnya tidak sah. Imam Ahmad sefuju pada pendapat ini. Dan menurut
Imam Malik, hal itu tidak sah, kecuali untuk shalat Jum'at. Sedangkan
menurut Imam Abu Hanifah, secara mutlak hukumnya tidak sah.
Keempat,syaratsahnya ikutpada imam ialah, makmum harus tahu
perpindahan gerak-gerik imam, baik keduanya shalat di masjid maupun di
tempat lain, atau yang satu di masjid dan yang satunya tidak di masjid. Hal
inisudah disepakati oleh para ulama.
Menurut sahabat-sahabat kami, ukuran minimal seorang makmum
mengetahui shalatnya imam ialah, jika ia mendengar langsung apa yang
dibaca imam, atau dari orang yang ada di belakangnya, atau melihat
gerakan imam, atau melihat gerakan orang yang ada dibelakangnya. Jika
makmumnya funa netra, disyaratkan ia harus shalat disamping makmum
lain yang bisa melihat, supaya makmum ini bisa dijadikan sebagai
pedoman.
Merapikan Shaf di Belakang Imam
Bersumber dari Abu Mas'ud Al-Anshari, ia berkata, "Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallampemah menyentuh pundak kami ketika akan
shalat, danbersabda,
riGtri J ri'e
"F;S rii
.rrert
vW \; U?l
o.t. !.. .?
rer:ll #lt
' Luruskanlah! J angan melengkun g, (sebab knlau melengkung), maka
hatikalian pun akan ikut melengkung (tidak sepalmm). Hendaklah
o r an g- o r an g deut as a b e r a d a di b el akan gku, ke mu di an o r an g- or an g
y an g s e su dahny a, dan ke mu di an or an g- or an g y an g se su dahny a. "'
^
(HR.Ahmad dan Muslim)
Efu
W {K"!,ffi^ra,am,s,am
o t. l.
.f+* t
'AV,ltn
Bersumber dari lbnu Mas'ud dari Nabi s hallaltahu Alaihi wa sallam
beliaubersabda,
!ei; L<i'e rE r))t ;,,iiLr>rtri jri'; 9 d.
" Sebaiknya orang-orang deuasa tepat berada di belakangku,
ke mu dian o r an g- or an g se su d ah me r eka, ke mu di an or an g- or nn g
sesudah mereka. D an j auhilah ke gaduhan sebagaimana ke gaduhai
pasar." (HR. Ahmad, Muslim, danlainnya)
Bersumber dari Abu Malik Al-fuy'ari dari Rasulullah shallallahu
Ataihi wa sallam, "sesunggu hnya beliiu menyamakan di antara empat
rakaat dalam kadar bacaan dan berdiri. Beliau menjadikan rakaat pertnma
Iebih panjang suww mantsia masih punya krempdan unhtk mendapotkan
pahala. Dan beliau menempatkan kaum laki-laki di depan anak-anai, anak-
anak di belakang mereka, dan kaum wanita di belakang anak-onak." (HR.
Ahmad).
Tentang hadits Abu Malik Al-fuy'ari ini, fuy-syaukani mengatakan,
"Abu Dawud dan Ibnu Al-Munzdiri diam tidak memberikan komentar
sama sekali. sebab di dalam isnadnya terdapat nama syahr bin
Hausyab, seorang perawi yang kontroversial. Hadits ini dianggap
dha'if oleh Al-Albani sebab ada nama Syahr, seorang perawi ying
hqfalannya buruk."
Dua hadits pertama menunjukkan bahwa seorang imam itu harus
memperhatikan kerapian dan kelurusan shaf makmumnya, dan bahwa
makmum kaum laki-laki yang dewasa itu harus berada tepat di
belakangnya. Anak-anak kecil yang belum akil baligh tidak boleh berdiri di
tempatini .
Diriwayatkan dariUmar bin Al-Khatthab, setiap kali melihat ada
anak kecil berada di shaf pertama di belakang imam, ia menyuruhnya untuk
mundur. Riwayat yang sama j uga dikutip da ri zarrinbin Hubaisy dan Abu
wa'il. Mereka berdua juga biasa melakukan seperti yang dilakukan oleh
Umar.
Ahmad bin Hanbal mengatakan, "Makruh hukumnya anak kecil
dibiarkan berada dishaf pertama di belakang imam dalam masjid bersama
giAih,96a/ah
Shalat
makmum yang lain, kecuali jika ia sudah akil baligh, rambut kemaluannya
sudah tumbuh, dan sudah berusia limabelas tahun."
Dua hadits ini juga memberikan petunjuk bahwa urut-urutan
shaf itu harus diatur sesuai dengan urut-urutan para makmum dari segi
kematangan akal dan tingkat kemuliaannya. Ini artinya, bahwa anak-anak
kecil harus berada di shaf belakang, seperti yang dikemukakan dalam hadib
Abu Malik Al-Asy'ari bahwa anak-anak itu berada di belakang shaf
makmum kaum laki-laki, dan kaum wanita berada di belakang shaf anak-
anak. Kendatipun hadits Abu MalikAl-fuy'ari ini dha'if, tetapi ia diperkuat
oleh hadits yang sebelumnya. sebab itulah Abu Dawud dan Al-Mun&iri
tidak berani mengomentarinya.
Dua hadits ini juga memberi petunjuk agar jangan membikin
kegaduhan, keributan, desak-desakan, dan lain sebagainya di masjid,
sepertiyang lazim terjadidi pasar. Halifu hukumnya makruh, kecualidemi
menolak mudharat yang akan menimpa orang lain, sebab hal itu jelas
haramhukumnya.
Menyangkut anak-anak, ada pendapat yang mengatakan bahwa
ketika makmumnya banyak dan terdiridarikaum laki-laki dan kaum
wanita, sebaiknya setiap dua orang laki-laki ditengah-tengahi seorang
anak. Halinidimaksudkan untuk memberikan pendidikan kepada anak-
anak.
Menurut saya, bagi anak-anak yang sudah paham apa yang harus
dikerjakan dalam shalat dan sudah mengerti adab-adabnya, sebaiknya
mereka disuruh berdiri di belakang kaum laki-laki. Tetapi apabila mereka
ditempatkan dishaf tersendiri, justru mendorong diantara mereka unfuk
saling berbuat iseng dan bermain-main sendiri sehingga melanggaretika
yang diharapkan. Maka sebaiknya disuruh berdiri di antara shaf kaum laki-
laki. Tetapi tidak di shaf yang pertama, sebab shaf ini yaitu milik kaum
laki-laki tertentu yang sewaktu-waktu dibutuhkan untuk menggantikan
imam apabila mengalami uzur yang mendadak, atau yang akan
mengingatkan imam jika lupa atau melakukan kesalahan.
Betapa sering kita melihat anak-anak di masjid pada enggan ikut
shalat dengan baik, tetapi malah melakukan hal-hal yang melanggar etika.
Mereka sering merebut untuk menempati shaf pertama yang sebenarnya
merupakan jatah makmum-makmum tertentu, sehingga terpaksa mereka
memilih mundur ke shaf belakang demi menjauhi ulah anak-anak yang
gi*llu.q6a/a/r'
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
mya
utan
segi
rnak
adib
shaf
nak-
kuat
dzin
rikin
sjid,
lemi
ielas
hwa
rum
ang
rak-
trus
nya
Bka
rtuk
tika
ak-
rum
kan
kan
ikut
il<a.
nya
eka
mg
suka bermain-main dan terkadang sampai melanggar etika-etika syariat di
rumah Allah. yaitu kewajiban para ulama untuk berani menghidupkan
sunnah, dan membasmi bid' ah di rumah Allah S ubhanahu w a Ta, ala.
Meluruskan Shaf
Terdapat beberapa riwayat hadits yang menerangkan tentang
keharusan meluruskan dan merapikan shaf. Di antaranya ialah:
Bersumber dari Anas bin Malik, ia berkata, "Rasulullah shallallahu
Alaihi w a Sall am bersabda,
.tfu,F'U"'-;2t
' Lurusknnlah shaf- shaf kalian, sebab se sun gguhny a kelurus an sluf
yaitu termasuk lce sempurnaan shalat. " (HR. Muslim)
Bersumber dari Anas, ia berkata, "Rasulullah shallallahu Alaihi w a
Sallambersabda,
'
"
''! tr$j ge\t rr!e', W tj G'r'€r;*,rL:,l*..*q
.,.-crAl q,ftS ";;L:t J-.'a ,tr+ t:tbJilt o'r{ jL
'Luiuskanlalt shaf-sho] kation, rapatkanlalt di antaranya, dan
sejajarkanlah pundak-pundak. Demi Allah yang jiuaku berada di
tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dai celafucelarr
sh af s e ol ah- ol ah i a s ep e r ti se eko r an ak kamb in g b e no ar n a hit am. "
(HR. Abu Dawud. Kata Al-Albani dalam Al-Misyka! isnad hadis
inihasan)
Bersumber dari Anas, ia berkata, "Rasulullah s hallatl ahu Alaihi w a
sallambersabda,'sempumakanlah shaf yang depan, lalu shat' berikutnya.
Kalau harus ada yang latrang biarlah shaf yang paling belakang.,, (HR. Abu
Dawud dengan isnad yang shahih).
Bersumber dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata, "Rasulullah
shallallahu Alaihi wa sallam bersabda, 'sesungguh nya Allah dan para
malaikat-Nya selalu membacakan shalawat atas orang-orong yang
gi*i/ugnada/a
Shalat
':.1 op E;,*,r;
meluruskanshat'." (HR. Abu Dawud. Matan hadits inidinilaishahih oleh
Al-Albani. Katanya, isnadnya shahih).
Hukum Orang yang Shalat Sendirian di Belakang
Shaf
Bersumber dari Wabishah bin Ma'bad, ia berkata, "Rasulullah
Shall all ahu AI aihi w a S allam melihat seseorang shalat sendirian di belakang
shaf. Beliau lalu menyuruh orang itu untukmengulangishalatnya." (HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidziyang menilainya sebagai hadits
hasan, dan Al-Albani menilainya sebagai hadits shahih).
Bersumber dari Ali bin Syaiban, sesungguhnya Rasulullah
S hall all ahu Al aihi w a S al I am m elih at seoran g lelaki s haiat di b e lakang shaf .
Beliau berdiri menunggu. Dan ketika lelaki itu hendak berialu beliau
bersabda kepadanya,
."'-"2r + :P. ;>\, N U>V "S4ut.
"Ulnngi lngi shnlatnru. Tidnk ndn shslst yallg senrpurnfl sanw seknli
b n gi o r an g y an g se n dirinn di belnknn g sl nf . " (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah. Kata Ibnu Savyidinnas lpataperawi hadits ini semuanya
bisa dipercaya dan dikenal. Hadie ini dibuatpegangan olel'r Ibnu
Hazmdan ulama lainnya. Kata Imam Ahmad, hadits ini hasan)
Bersumber dari Abu Bakrah, sesungguhnya ia sampai kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau sedang ruku', lalu ia ikut ruku'
sebelum sampaipada shaf. Dan ketika halitu diceritakan kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam beliau bersabda, "Semoga Allah
menambahkan semangat kepadamu, dan kamu tidak usqh mengulangi. "
(HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan lainnya).
Hadits-hadits ini memberikan petunjuk bahwa seseorang tidak boleh
shalat sendirian dibelakang shaf kalau ia yaitu laki-laki. Dan para ulama
salaf berbeda pendapat tentang shalat seorang makmum di belakang shaf
satu-satunya.
Menurut sebagian mereka, hal itu tidak boleh dan shalatnya tidak sah.
Yang berpendapat demikian ialah Ibrahim An-Nakh'i, Hasan bin Shaleh,
Imam Ahmad, Ishak, Hammad, Ibnu Abu Laila, dan Waki'.
$,ih/u96a/n/v
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
l
I
1
Sementara Hasan Al-Bashri, Al-Auza'i, Imam Malik, dan Imam fuy
Syaf i memperbolehkannya.
Kelompok ulama yang mengatakan tidak boleh dan shalatnya tidak
sah, mereka berpegang pada hadits Wabishah dan Alibin Syaiban
ini . Sementara kelompok ulama yang memperbolehkannya, mereka
berpegang pada hadits Abu Bakrah. Menurut mereka, ia melakukan
shalat di belakang shaf, tetapi Nabi Shallallahu Alaihi rira Sallom tidak
menyuruhnya untuk mengulangi. Sedangkan perintah mengulangi shalat
terdapat dalam dua hadits, yang pertama yaitu perintah sunnat yang
lebih menekankan agar setiap orang selalu berusaha melakukan yang
palingutama.
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang mendapati celah
kosong dalam shaf, apa yang harus ia lakukan? Sebagian mereka
mengatakan, "la boleh sendirian, dan tidak perlu menarik makmum lain di
depannya, sebab hal itu akan merugikan orang lain ini yang akan
kehilangan keutamaan berada di shaf pertama akibat ia ditarik ke shaf
belakangnya. Selain itu akan menimbulkan celah kosong pada shaf
pertama. " Demikian pendapat Athjfhabarani dan pendapat yang dikutip
darilmamMalik.
Menurut sebagian besar sahabat Imam fuy-Syafi'i, orang itu harus
menarik salah seorang makmum di shaf pertama untuk menemaninya, dan
makmum yang ditarik seharusnya ikut membantunya. Inilah pendapat yang
diriwayatkan dari Atha' dan lbrahim bin An-Nakh'i. Tetapi Imam Ahmad
bin Hanbal dan Ishak menganggap hal itu sebagai tindakan yang tidak baik.
Al-Auza'i dan Imam Malik menganggapnya makruh.
Sebagian besar sahabat fu y-Syafi' i, Atha', dan Ibrahim An-Nakh' i,
mereka berdasarkan pada riwayat hadits marfu' Muqatilbin Hayyan,
"Apabila seseorang datang, dan ia tidak mendapati siapa pun, sebaiknya
ia menarik seorang makmum dari shaf di depannya dan hendaklah ia
berdiri bersamanya. Alangkah besar pahala si makmum yang ditarik itu. "
(HR. Abu Dawud dalam Al-Marasil).
Diriwayatkan oleh Ath:Thabaridengan sanad dari Ibnu Abbas,
sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh orang yang
baru datang sementara shaf di depannya sudah penuh, supaya menarik
seorang makmum unfuk berdiri di sampingnya.
giki/a.qia/n/,
Shalat
Sementara Imam Ahmad bin Hanbal, Ishak, Al-Auza'i, dan Imam
Malik menganggap dha' if hadits-hadits ini . Tetapi masing-masing
punya pandangan yang berbeda.
Menurut gaya, pendapat yang diunggulkan ialah yang
memperbolehkan menarik seseorang untuk menemaninya, supaya ia
terbebas dari hukum yang membatalkan shalatnya menurut sebagian ulama
yang berpendapat demikian. Dan orang yang bersedia ditariknya ia akan
memperoleh pahala sebab mau membantu saudaranya sesama muslim
dalam hal kebaj ikan dan ketak\p aan. W all ahu A lam'
Hukum Shalat di Antara Dua Tiang
Bersumber dari Al-Humaid bin Mahmud, ia berkata, " Kami shalat di
belakang salah seorang amir. Kami sangat membutuhkan orang lain, tetapi
kami terhalang di antara dua tiang. selesai shalat Anas bin Malik
mengatakan, " Pada zaman Rasulullah Sh o//o / I ahu AI aihi r.r.ro Sollom kami
sangat menghindari hal itu." (HR. Imam Lima kecuali Ibnu Majah. Hadits
ini dianggap hasan oleh At:Tirmi&i).
- Diriwayatkan oleh Al-Hakim yang menganggapnya sebagai hadits
shahih dariAnas, "Kami dilarang shalat di antara dua tiang, dan kami
diusir daripadanya." Beliau juga bersabda, "J anganlah shalat di antara dua
tian g, dan semp umakanl ah shaf . "
Disebutkan dalam Shohih Al-Bukhari dan Shahih Muslim,
sesungguhnya Nabi S hallallahu Alaihi w a S allam ketika masuk ke Ka'bah,
beliau shalat di antara dua tiang.
Dua hadits yang pertama tadi menunjukkan bahwa shalat di antara
dua tiang itu hukumnya makruh. Menurut Abu Bakar alias Ibnu Al-fuabi,
alasannya yaitu sebab dianggap memotong shaf, dan juga sebab
tempat ini yaitu tempat alas kaki.
MenurutAl-Qurthubi, alasannya sebab tempat itu yaitu tempat
shalat parajin yang beriman.
Seperti yang dikatakan oleh AtlTirmidzi, ada sebagian ulama yang
menganggap makuh hukumnya shalat di antara dua tiang. Mereka antara
lain Imam Ahmad, Ishak, dan hrahim An-Nakh' i. Sa' id bin Manshur dalam
sunonnya mengatakan bahwa hal itu dilarang, sepertiyang ia kutip dari
giAl/a.qialalv
Berikut Dal il-dalilnya dalam lslam
I
I
I
I
hnu Maslud, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah. Dan menurut Ibnu Sayyidinnas,
tidak ada seorang pun dari generasi sahabat yang menentang pendapat
merekaini.
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy-Syaf i, dan hnuAl-
Mundzir, memberikan kemurahan bagi imam dan bagi makmum yang
sendirian. Dengan kata lain, bagi mereka berdua tidak makruh shalat di
antara dua tiang. Sesungguhnya hukum makruh ini hanya khusus
berlaku padashaf yang dipisahkan oleh duabuah tiang dalam kasus shalat
Jum'at. Mereka berpegang bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam
sendiri pemah melakukannya. Sepertiyang diceritakan oleh Ibnu Ruslan,
Al-Hasan dan hnu Sirin memperbolehkan hal itu. Sa'id bin Jubair, hrahim
An-Nakh'i, dan Suwaid bin Ghafalah pernah menjadi imam shalat
kaumnya di antara tiang-tiang.
Kata Ibnu Al-Arabi, semua ulama sepakat bahwa hal itu boleh
dilakukan kalau tempatnya sangat sempit. Tetapi kalau tempatnya cukup
luas, hukumnya makruh bagijamaah, bukan bagisatu orang makmum.
Para ulama yang mengatakan bahwa secara mutlak shalat di antara dua
tiang itu hukumnya tidak makruh, mereka tidak punya dalilsama sekali.
Mereka hanya mengaitkan bagi imam dan makmum yang sendirian. Bagi
mereka memang tidak berlaku hukum makruh. Yang berlaku yaitu bagi
jamaah. Inilah pendapat yang diunggulkan.
Hukum Imam yang Berdiri Lebih Tinggi Daripada
Makmum dan Sebaliknya
Bersumber dari Hammam sesunguhnya Hudzaifah mengimami
jamaah di Mada'in di atas sebuah tempat yang iinggi. Abu Mas'ud
memegang baj unya lalu menariknya. Selesai shalat Abu Mas' ud berkata,
"Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka itu melarang dari hal itu?"
Hudzaifah menjawab, "Ya, aku ingat ketika tadi Anda menarik bajuku."
(HR. Abu Dawud dan dianggap shahih oleh lbnu Khuzaimah, Al-Hakim,
dan hnu Hibban).
Bersumber dari lbnu Mas'ud, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam melarang seorang imam berdiri di atas sesuatu sementara
para makmum di belakangnya, maksudnya berada dibawahnya." (HR.
Ad-Daruquthni. Hadits ini diketengahkan oleh Al-HafLh Ibnu Hajar dalam
Al:talkhish, dan ia tidak mengomentarinya).
giAila.q6a/a/a
5halat
Bersumber dari Sahl bin Sa'ad, sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi
wasallam pernah duduk di atas mimbar pada hari pertama benda itu
dibuat. Beliau bertakbir di atasnya. Setelah ruku', beliau turun sambil
mundur ke belakang, kemudian beliau sujud dan para sahabat pun ikut
sujud bersama beliau. Kemudian beliau mengulangi lagi sampai rampung.
Selesai shalat beliau bersabda,
ec t r55,r drt;JU $G',>b Cy utT q$
"Wahai manusia, sesungguhnya apa yang aku lakukan tadi yaitu
sup ay a kalian mengikutiku, dan sup ay a kalian bisa tahu shalatku."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bersumber dari Abu Hurairah, sesungguhnya ia pemah shalat di atas
bangunan masjid sebagai imam. (HR. Sa' id bin Manshur).
Hadits-hadits tadi menunjukkan larangan bagi seorang imam
mengambil tempat yang lebih tinggi daripada para makmum, baik di masj id
atau di tempat lain, dan berapa pun jarak ketinggiannya, berdasarkan
keterangan Abu Sa'id bahwa mereka melarang halitu. Demikian pula
ucapan hnuMas'ud.
Tentang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melakukan shalat
di atas mimbar, ada yang mengaiakan beliau bermaksud untuk
memberikan pelajaran, seperti yang beliau sabdakan sendiri," Dan supaya
kalian m en getahui shal atku. "
Hadits-hadits inilah yang oleh para ulama dijadikan sebagaidalil
bahwa posisi imam yang berada di atas para makmum itu hukumnuya
makruh.
Menurut Imaro fuy-Syafi'i, halitu masih bisa ditolerir kalau jarak
ketinggiannya hanya kira-kira tiga ratus hasta. Tetapi pendapat fuy-Syafi'i
diperdebatkan di kalangan sahabalsahabatnya sendiri.
Menurut Atha', seberapa pun tingginya tidak menjadi masalah. Yang
penting makmum masih bisa melihat imarn.
Dan menurut sebagian ulama ahli fiqih lainnya, posisi seorang imam
tidak boleh di atas makmum setinggi badan. Jika itu dilakukan, jamaahnya
batal. Ini yang berlaku bagi imam. Adapun bagi makmum, jika
ketinggiannya lebih dari tiga ratus hasta sehingga tidak memungkinkan
giAi/v,giada/v
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
untuk mengetahui imam, berdasarkan kesepakatan para ulama hal itu
dilarang, b;ik di masjid ataudi selain masjid. Dan jika kriring darlitu
sehingga masih memungkinkan unfuk mengetahui imam, pada dasamya
diperbolehkan sampai ada dalil yang melarangnya. Halitu diperkuat
dengan apa yang pemah dilakukan oleh Abu Hurairah tanpa ada seorang
pun yang mengingkarinya.
Juga sah hukumnya seorang makmum shalat di rumahnya
sementara imam di masjid, asalkan ia masih bisa mengetahui gerak-gerik
imam.
Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dalam Sunon Sa'id Ibn
Manshur dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia pemah shalat bersama Anas
di rumah Abu Nafi' yang terletak di sebelah kanan masjid, yaitu di sebuah
kamar kira-kira setinggibadan yang punya pintu mengahadp ke masjid di
Bashrah, sementara imamnya di masjid.
H ukum-h ukum Shalat Orang yang Musafir
1. Menurut istilah syariat, safar atau bepergian ialah menempuh jarak yang
dapat merubah hukum seperti mengqashar (menyingkat) shalat,
menjama' (menghimpun ) shalat, boleh berbuka pada puasa Ramadhan,
boleh mengusap sepasang khuf, hilangnya kewajiban melakukan Shalat
Jum'at, Shalat Id, dan diharamkannya seorang wanita yang berstatus
merdeka keluar rumah tanpa ditemani suami atau mahram.
2.Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat tentang jarak yang menurut
pandangan syariat orang yang bersangkutan bisa disebut sebagai
musafir.
Ada yang mengatakan, jaraknya ialah selama perjalanan tiga hari
mulai daripagi sampaisore dengan mengendarai onta yang berjalan
secara wajar. Ada yang mengatakan, jaraknya ialah kira-kira delapan
puluh sembilan (89) kilo meter. Dan masih banyak lagipendapat lain.
Inilah yang mendorong para ulama ahlifiqih memandang dalil-dalilyang
terkait dengan masalah ini secara seksama. Sebelum mencetuskan
keputusan, hendaknya terlebih dahulu mereka melakukan penelitian.
Mereka mengemukakan pendapat yang didukung dengan dalil-dalil yang
kuat, dan yang sesuai dengan semua riwayat, yakni bahwa yang disebut
safar menurut pandangan syariat dan yang punya konsekuensi timbulnya
gik/a,gi-d./.
Shalat
L
--
hukum-hukum tertentu, ialah safar menurut pandangan adat kebiasaan
masyarakat, yaitu minimal jarak tiga forsokh. Satu farsakh itu sama
dengan tigd niil, dan satu militu sama dengan seribu delapan ratus lima
puluh lima meter, atau kurang lebih lima setengah kilo meter.
3. Mengqashar shalat itu merupakan sedekah yang diberikan oleh Allah
kepada hamba-hamba-Nya, dan merupakan anugerah dari Allah
kepada orang yang sedang bepergian, sebab pada dasamya bepergian
itu merupakan aktivitas yang cukup memberaikan. Meskipun sesuai
dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, bepergian sudah
tidak lagi merupakan aktivitas yang memberatkan bahkan cenderung
menyenangkang, nalnun hukum itu berlaku tanpa mempertimbangkan
hal itu, sebab pada dasarnya bepergian itu yaitu aktivitas yang tetap
memberatkan.
4. Para ulama ahlifiqih berselisih pendapat mengenai hukum mengqashar
shalat dalam perjalanan. Ada sebagian mereka yang mengatakan,
hukumnya wajib. Sebagian yang lain mengatakan, hukumnya sunat
muakkad. Dan masing-masing mereka punya dalil. Tetapi ini berlaku
dalam bepergian yang memiliki tujuan melakukan ketaatan; seperti pergi
untuk menunaikan ibadah haji, pergi untuk berjihad, dan lain
sebagainya. Begitu pula dengan bepergian unfukfujuan bemiaga dan
lain sebagainya. Adapun bepergian untuktujuan melakukan malsiat,
menurut pendapat sebagian besar ulama ahli fiqih tidak diperbolehkan
mengqasharshalat.
5. Seorang musafir baru mulai diperbolehkan mengqashar shalat setelah ia
meninggalkan rumah baik di desa maupun di kota dari arah mana ia
keluar. Dan ketika pulang ia masih boleh mengqashar shalatrrya sebelum
masuk ke rumah, baik di desa maupun di kota.
6. Seorang musafir boleh mengqashar shalat selama ia masih dalam
perjalanan. Jika ia tinggaldi suatu tempat sebab ada urusan yang ia
tunggu, dan ia tidak tahu kapan akan selesai, ia masih tetap boleh
mengqashar shalat meskipun selama beberapa tahun. Tetapi ada yang
mengatakan, batasnya hanya sampai dua puluh hari. Setelah ifu ia harus
melakukan shalat dengan sempurna. Dan ada pula yang mengatakan
lain, seperti yang akanditerangkan nanti ketikamembahas tentang dalil-
dalil berikut komentamya. Contohnya; seperti seseorang yang bepergian
untuk berniaga, atau untuk menyampaikan kiriman surat, atau untuk
gi*ib,96adah,
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
t7
urusan-urusan tertentu, lalu ia berkatra, "Besuk aku akan pergi, Besuk lusa
aku juga akan pergi." Dan ia terus berharap tanpa ada batas.
Tetapi kalau ia niat akan tinggal selama lima belas hari, menurut
ulama-ulama dari kalangan ma&hab Hanafi, Ab-Tsauri, Al-Mwani, dan
laits bin Sa'ad, ia harus menyempumakan shalatnya alias tidak boleh
mengqashar. Mereka memiliki dalilyang kuat atas hal itu.
Ada sebagian ulama ahli fiqih lainnya yang mengatakan, apabila ia
niat untuk tinggalselama empat hari selain hari kedatangan dan hari
kepulangan, maka ia juga harus menyempumakan shalat dan ia tidak
bisa disebut sebagai musafir. Tetapi kalau ia niat kurang dari itu, maka
ia dihukumi musafir. Dan inilah pendapatyang kuat.
7. Seorang musafir menyempurnakan shalat sebab tiga hal sebagai
berikut:
a. Niat tinggal dalam waktu tertentu, seperti yang telah dikemukakan
tadi.
b. Jadi makmum kepada imam orang yang muqim (yang tidak
musafir), atau dengan sesama musafir yang sudah niat tinggal,
atau dengan sesama musafir yang menyempumakan shalat.
c. Pulang ke tempat dari mana ia berangkat, atau sampai di tanah
air di mana ia dilahirkan atau tinggalditempat isterinya, atau
sengaja tinggal di tempat itu dan tidak pergi meninggalkannya.
8. Menurut ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanbali, disebut shalat
safar atau bukan safar itu terhitung mulaipada awal waktu, sedangkan
menurut ulama-ulama yang lain terhitung pada akhir waktu. Jadi
misalkan; Orang bepergian sebelum Maghrib dan ia belum shalatfuhar,
maka menurut ulama-ulama darimadzhab Hanbali ia harus shalat
fuhar dalam perjalanan sebanyak empat rakaat, sebab permulaan
waktu Ashar masih berlaku ketika ia belum bepergian. Sementara
menurut ulama-ulama lain, ia shalatfuhar hanya dua rakaat, sebab
yang dijadikan patokan ialah akhir waktu.
9. Tidaklah diperhitungkan niat orang yang ikut seperti pasukan atau
pelayan, kecuali jika ia tahu niat orang yang diikutinya; yaitu niat tinggal
atau niat bepergian. Sama seperti pasukan dan pelayan yaitu seorang
wanita yang ikut suaminya, atau seorang anak yang ikut ayahnya, dan
seterusnya.
giA'ila.qiala/u
Shalat
-10. Barangsiapa yang keluar rumah dalam keadaan bingung tanpa punya
makud bepergian, ia tidak boleh mengqashar shalat, walaupun hal itu
berlangsung selama beberapa tahun.
1 1 . Tidak malauh hukumnya shalat sunnat bagi orang yang mengqashar
shalat dalam perjalanan, baik sunnat rawatib maupun sunnat-sunnat
lainnya seperti shalat sunnat dhuha, tahajjud, dan lain sebagainya,
sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pemah meninggalkan
dua rakaat shalat Shubuh, witir, dan shalat malam saat bepergian.
1 2. Tidak apa hukumnya bepergian pada hari Jum' at sepanjang belum tiba
shalat Jum'atyang ditandai dengan seman a&an. Jika sudah terdengar
seruan adzan,haram hukumnya bepergian dan meninggalkan shalat
Jum'at.
13. Yang boleh diqashar ialah shalat Zhuhur, Ashar, dan Isya. Untuk masing-
masing, seseorang hanya wajib shalat dua rakaat sebagai gantinya
empat rakaat. Adapun shalat Maghrib tetap harus tiga rakaat, dan
Shubuh tetap harus dua rakaat. Tentang menjama' shalat dalam
perjalanan berikut ini yaitu ketentuan-ketentuannya.
Menjama' Dua Shalat
1. Para ulama sepakat bahwa menjama' takdim antara shalat Zhuhur dan
shalat fuhar di Arafah pada hari fuafah, dan menjama' ta'khir antara
shalat Maghrib dan shalat Isya' di Muzdalifah pada hari Arafah itu
hukumnya boleh. Bahkan ini hukumnya sunnat mu'akkad.
Yang dimaks ud iama' takdim ialah mengerjakan dua shalat sekaligus
pada waktu yang pertama di antara keduanya.
Dan yang dimaksud dengan jama' ta'khir ialah mengerjakan dua
shalat sekaligus pada waktu yang terakhir di antara keduanya. Dan yang
bisa dijama' ialah antara shalat Zhuhur dan shalat fuhar, dan antara
shalat Maghrib dan shalat Isya' saja.
Menurut para ulama, boleh hukumnya shalat Zhuhur dan Ashar
dilakukan pada waktu Zhuhur, dan inilah yang disebut jama' takdim.
Atau shalat Zhuhur dan shalatAshar dilakukan pada waktu Ashar, dan
inilah yang disebutjama'ta'khir. Demikian yang berlaku dengan shalat
Maghrib dan shalat Isya' . Adapun shalat Shubuh sama sekali tidak bisa
gfu/v,96adn/v
Berikut Dal il-dalilnya dalam lslam
dijama' dengan Isya' atau dengan shalat Zhuhur. Itulah yang sunnah,
sebab biasa dilakukan oleh Nabi Sho/lallahu Alaihi wa Sallam ketika
sedang bepergian. Orang bisa memilih melakukan jama' takdim atau
jama' ta'khir tergantung situasi. Jika bepergian setelah matahari
condong ke barat, Nabi Shollo llahu Alaihi wa Sallam menjama' takdim
shalat Zhuhur dan shalat Ashar. Dan jika pergi sebelum matahari
condong ke barat, beliau menjama' ta'khir. Demikian pula yang beliau
lakukan terhadap shalat Maghrib dan shalat Isya'. Inilah yang berlaku
bagi seorang musafir sebenamya. Menurut para ulama, sama sepertinya
juga ialah orang yang singgah di suatu tempat atau suatu kota sambil
menunggu perjalanan keesokan harinya, atau lusa, meskipun temyata
berlangsung selama bertahun-tahun. Inilah pendapat sebagian besar
ulama ahli fiqih. Sementara ada sebagian mereka yang mengatakan,
bahwa menjama' shalat itu harus dilakukan ditengah{engah perjalanan,
sebab ketika Nabi singgah di Mina saat menunaikan ibadah haji, beliau
tidak mengqashar dan juga tidak menjama' shalatnya. Oleh sebab itu
bagi orang yang melakukan perjalanan pendek yang tidak terlalu berat,
atau singgah disuatu tempat hanya untuk beristirahat, atau untuk
menyelesaikan urusannya, dianjurkan untuk tidak menjama' shalafrya,
supaya ia tidak menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit di i<alangan
para ulama ahli fiqih.
Ketika ia tinggaldisuatu tempatdan ingin menjama' shalat, ia boleh
memilih jama' takdim atau jama' ta l.,hrir. lldak ada salahnya mana yang
ia pilih di antara keduanya.
3. Boleh menjama' antara shalatMaghrib dan shalat Isya' dengan alasan
turun hujan lebat, atau gelap guliia, atau jalan yang sangat becek, atau
alasan-alasan lain yang sekiranya bisa membahayakan orang yang
shalat. Tetapi kalau hanya hujan gerimis yang bisa diatasi dengan naik
mobil, atau cuaca sangat gelap tetapi orang yang bersangkutan tinggal
di kota yang terang benderang oleh iampuJampu lishik misalnya, maka
ia tidak boleh menjama'nya. sebab kebolehan menjama' itu harus ada
uzur. Jika memang benar-benar ada rzul maka boleh menjama'. Begifu
pula sebaliknya. Dalam hal ini, menjama' shalat Maghrib dan Isya' itu
dilakukan bersama-sama imam di masjid. Jadi siapa pun tidakboleh
menjama' ta'khir, dan juga tidakboleh menjama' takdim di rumahnya,
sebab ia tidak punya uzur sama sekali.
Sebagian ulama ahli fiqih membawa masalah ini pada shalat
Zhuhur dan shalat Ashar, dengan syarat-syarat yang sama.
g*i/a.q6adn/z
Shalat
Sebagian ulama ahli fiqih ada yang tidak setuju menjama' shalat itu
bisa dilakukan secara mutlak, kecuali menjama' pada hari Arafah. Dan
masing-masing mereka mempunyai dalil yang kuat. Tetapi lebih kuat dalil
para ulama yang mengatakan, boleh menjama' shalat Zhuhur bersama
shalat fu har, dan menjama' shalat Maghrib bersama shalat Isya'.
4. Imam Malik, Imam Ahmad, dan beberapa ulama dari kalangan madzhab
Syafi'i memperbolehkan menjama' shalat Zhuhur dengan shalat fuhar
dan shalat Maghrib dengan shalat Isya', jama' takdim atau jama' ta'khir,
bagi orang sakityang merasa berat melakukan masing-masing shalat
fardhu pada waktunya. Ini merupakan bentuk belas kasih Allah kepada
orang-orang yang sedang menderita sakit. Dan Allah memang Maha
Pengasih terhadap seluruh semesta alam.
5. Banyak ulama ahli fiqih yang memperbolehkan menjama' shalat tidak
sedang dalam bepergian sebab darurat. Contohnya; Seperti seorang
polisiyang harus bertugas menjaga keamanan mulai selepas Zhuhur
sampai selepas Maghrib, dan sebab tuntutan tugas ia tidak sempat
melakukan shalat Ashar. Maka ia boleh menjama' takdim shalat Zhuhur
danshalatAshar.
Contoh lain yaitu seperti seorang pelajar yang masuk ujian sebelum
Maghrib dan baru selesai sesudah Isya'. Maka ia boleh menjama' ta'khir
shalat Maghrib dan shalat Isya' jika di tengah-tengah mengerjakan ujian
ia tidak sempat melakukan shalat Maghrib. Atau seorang petugas yang
harus menghadapi alat-alat mekanik jika sampai lalai sedikit bisa
berakibat fatal, sementara ia tidak bisa sempat melakukan shalat di
tengah-tengah menjalankan tugasnya ini . Maka ia juga boleh
menjama' shalatnya. Demikian seterusnya. Mahabenar Allah ketika
berfirman, " Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan." (Al-Hajj: 78). Berikut yaitu dalil-dalil dan
komentamya:
Dalil-dalil dan Komentar4ya
Bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhunro, ia berkata,
Ji: F', * It G *i! iL3lj ffi lt, i;; +e
gih/a.qiadalu
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
--
.uis K/. t'.PJ
"Aku pernah menemani Nabi Shallallalru Alaihi rua Sallam dalam
perj alnnan, danbeliau hanya melakuknn slulat dua raknst. Abu B akar,
Umar, dan Utsman j uga demikian. " (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bersumber dari Abu Ya'la bin Umayyah, ia berkata, "Aku bertanya
kepada Umar bin Al-Khatthab tentang firman Allah surat An-Nisa' : 101
,
" Tidaklah mengaw kamu mengqashar shalat(mu), iika kamu tala:i. diserang
orang-orang kalir ." padahal manusia merasa arnan. Umar berkata, "Seperti
halnya kamu, aku juga merasa heran padanya." Lalu aku tanyakan
mengenai hal itu kepada Rasulullah S hallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau
bersaMa, " Ifu merupakan *dekah yang diberikan oleh Allah kepada kamu.
Makaterimalah sedekah-Nyo ifu. " (HR. Jamaah kecuali Al-Bukhari).
Hadits hnu Umar tadi menunjukkan bahwa Nabi selalu mengqashar
shalat ketika sedang dalam perjalanan, dan tidak pernah melakukannya
secara sempuma, meski satu kalipun. Hal ifu terus beliau lakukan sampai
Allah merenggut nyawanya. Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Bakar
dan Umar. Dan demikian pula yang dilakukan oleh utsman selama enam
tahun sejak ia diangkat sebagai khalifah. Selama kurun waktu itu Utsman
tidak pernah menyempurnakan shalat selain di Mina. Hal itu dibenarkan
oleh hadits hnu umar. Alasan kenapa utsman menyempurnakan shalat di
Mina sebab ia menikah di sana. Seorang musafir yang tinggal di suafu
tempatdan menikah di sana, atau iasudah punya isteri disana, maka ia
harus melakukan shalatnya secara sempuma, seperti yang dikatakan oleh
Ibnul Qayyim. Menurutnya, itulah alasan yang paling bagus kenapa
Utsman melakukan shalat dengan sempurna alias tidak mengqashar.
Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat tentang mengqashar shalat,
apakah itu kewajiban atau hanya kemurahan atau justru lebih baik
menyempumakannya saja?
Ulama-ulama dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat,
mengqashar shalat dalam perjalanan ifu hukumnya wajib. Pendapat yang
sama diriwayatkan dari Umar dan Ali. Dan menurut An-Nawawi,
pendapat ini juga diikuti oleh banyak ulama. Kata Al-Khithabi dalam
kitabnya Ma'alim Al-Sunon, sebagian besar ulama salaf dan para ulama
ahli fiqih Mesir berpendapat, bahwa mengqashar shalat dalam perjalanan
itu hukumnya wajib. Inilah pendapat Ali, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas,
Umar bin Abdul Aziz, Qatadah, dan Al-Hasan, sebab memang ifulah yang
gi&ib.q6adalu
Shalat
' ..ct'dt^3J
dilakukan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam saat sedang bepergian .
Adapun hadits yang menerangkan kalau beliau melakukan shalat secara
sempuma ketika sedang bepergian yaitu hadits yang tidak shahih.
Hammad bin Sulaiman mengatakan, "Orang yang shalat empat
rakaat saat sedang bepergian itu harus mengulangi shalatnya." Dan kata
Imam Malik, "la harus mengulangisepanjang masih dalam waktunya."
Yang mengatakan bahwa qashar itu merupakan kemurahan yaitu
Imam Asy-Syafi'i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan beberapa ulama
lainnya. Pendapat ini dikutip dariAisyah, Utsman, dan Ibnu Abbas.
Kata Ibnu Al-Mundzir, "Para ulama sepakat bahwa seseorang tidak
boleh mengqashar shalat Maghrib dan shalat Shubuh."
Dan kata An-Nawawi, "Mayoritas ulama berpendapat boleh
hukumnya mengqashar shalat dalam setiap bepergian yang tidak dilarang
oleh syariat Islam." Siapa yang ingin mengamati hujjah atau argumen yang
diajukan oleh kedua belah pihak silahkan lihat!
Yang jelas, demi mengikr.rti sunnah dan bukan sebaliknya, orang yang
sedang bepergian itu sebaiknya harus mengqashar shalat.
Setelah mengemukakan hujjah atau argumen kedua belah pihak,
fuy-Syaukani mengatakan, "Berdasarkan sejumlah pendapat di atas, sVd
lebih cenderung bahwa mengqasharshalat dalam perjalanan itu hukumnya
wajib. Pendapat yang mengatakan lebih baik menyempurnakannya ditolak
oleh tradisi Nabi Shollollahu Alaihi wa Sallam yang selalu mengqashar
shalat dalam setiap kepergiannya. Beliau tidak pernah melakukannya
secara sempurna. Dan beliau pastiselalu melakukan sesuatu yang paling
utama."
Diriwayatkan dari Umar Radhiyatlahu Anhu, ia berkata, "shalat
safar itu dua rakaat, shalat dhuha itu dua rakaat, shalat ldul fitri itu dua
rakaat, dan shalatJum'at itu dua rakaat. Semua harus dilakukan secara
penuh tanpa dikurangi lewat lisan Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Sallam." (HR. Ahmad, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Bersumber dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi
w a S all am bersabda, " Ses u nggu hny a All ah itu suka kal au manusia mau
memanf aatkan kemurahan-Nyq sebagaimana Dia hdak suka kalau manusia
berbuatmaksiatkepada-Nya." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam Shohih
lbnu Hibban, dan hnu Khr.zaimah dalam Shahih Ibnu Khuz.aimah).
gi/"i/a,Qladab
Berikut Dal i l-dali lnya dalam lslam
Hadits pertama tadi memberi petunjuk bahwa shalat safar itu dua
rakaat. Ini berlaku untuk shalat Zhuhur, shalat fuhar, dan shalat Isya'. Ini
merupakan kemurahan, dan tidak sepatutnya seorang musafir
melewatkannya. Dan ini menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa
mengqashar shalat dalam perjalanan itu hukumnya wajib.
Dan hadits kedua menunjukkan bahwa keringanan shalat dalam
pedalanan itu merupakan kemurahan dari Allah, Dan Allah To'olo merasa
suka jika kemurahan-Nya ini dimanfaatkan serta diamalkan, supaya
orang muslim merasakan betapa Allah itu Maha Penyayang lagi Maha
Pengasih kepada hamba-hamba-Nya. SebaliknyaAllah memsa benci kalau
ada hamba yang berbuat maksiat kepada-Nya. Sebagaimana
meninggalkan maksiat itu wajib, memanfaatkan kemurahan juga wajib.
Demikian falsafah pemahaman yang benar tentang masalah kemurahan
Allah.
Yang dimaksud dengan kemurahan ialah, memberikan kelapangan,
keleluasaan, dan kemudahan dalam meninggalkan kewajiban-kewajiban
tertentu, atau diperbolehkannya melbkukan lamnganJarangan tertentu pula.
Bersumber dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, "Aku shalat
Zhuhur diMadinah bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
sebanyak empat rakaat. Tetapi aku shalat fuhar di Dzul Hulaifah bersama
beliau hanya dua rakaatsaja." (HR. Al-Bukharidan Muslim).
Hadits tadi menunjukkan bahwa orang yang hendak bepergian ia
baru dihukumi sebagai musafir (yang bepergian) apabila setelah keluar dari
rumah di mana ia tinggal. Soalnya Nabi juga pernah keluar sebagai musafi r,
tetapi beliau baru mengqashar shalat setelah berada di daerah Dzul
Hulaifah yang pada waktu itu berjarak sekitar enam mil dari Madinah.
Dan hadits tadi juga menunjukkan bahwa orang yang beperg.ian
sebagai musafir pada siang hari ia harus melakukan shalat qashar juga
pada siang hari. Ini berbeda dengan sementara ulama yang berpendapat,
bahwa ia baru boleh mengqashar shalat setelah tiba waktu malam hari.
Bersumber dari Syu'bah dari Yahya bin Yazid, ia berkata, "Aku
bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat." Anas menjawab,
"Rasulullah kalau bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh (Syu'bah ragu-
ragu), beliau hanya shalat dua rakaat." (HR.Ahmad, Muslim, dan Abu
Dawud)
g*i/a.%ada/u
Shalat
Dalam pengertian bahasa, satu milmenurutAlJauhari ialah kira-kira
jarak sejauh mata memandang ke permukaan tanah.
Ada yang mengatakan, satu mil ialah jarak batas pandang orang
yang bermata normal kepada sosok orang yang berdiri di atas tanah yang
rata, sehingga ia tidak tahu apakah sosok orang itu laki-laki atau
perempuan, dan apakah ia pergi atau datang.
MenurutAn-Nawawi, satu militu sama panjangnya dengan enam
ribu hasta. Satu hasta itu panjangnya sama dengan dua puluh empat jari
berukuransedang, dan satu jari itusama panjangnyadengan enambutir
gandum berukuran sedang. Dan kata Al-Hafizh hnu Hajar, inilah pendapat
yangpalingpoluler.
Ada pula yang mengatakan, safu mil itu panjangnya sama dengan
dua belas telapak kaki yang normal.
Ada lagiyang mengatakan, satu mil itu sama panjangnya dengan
empatribu hasta.
Dan ada pula yang mengatakan, satu mil itu panjangnya sama
dengan tiga ribu lima ratus hasta. Hal ini dibenarkan oleh Ibnu Abdul Barr.
Sedangkan satu farsakh itu sama dengan tiga mil.
Memang terjadi perbedaan yang ank rp tajam di kalangan para ulama
Islam tentang batas jarak yang memperbolehkan seseorang melakukan
shalatqashar.
Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fo thul B ari,ada sekitar
dua puluh pendapattentang masalah ini, sepertiyang diceritakan oleh hnu
Al-Mundzir dan lainnya. Faling minimalyaitu jarak perjalanan selama
seharisemalam, dan paling maksimal ialah selama ia menghilang dari
negerinya.
Ada pula yang mengatakan, hanya sejauh satu mil, seperti yang
diriwayatkan oleh lbnuAbuSyaibah dengan isnadyangshahih dari Ibnu
Umar. hnu Hazm dari ma&hab Azh-Zhahiri cenderung pada pendapat ini.
Ia berpegang pada kalimat 'pergi' dalam Al-Qur'an. Contohnya; Seperti
firman Allah dalam surat An-Nisa' : lol , " Apabilakamu bepergian di muka
bumi." Dan juga dalam sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam .
Menurutnya, Allah, Rasul-Nya, dan seluruh kaum muslimin tidak pernah
membuat ketentuan atau batasan mengenai yang dimaksud 'pergi'. Jadi
giA,i/u.q6a/a/a
Berikut Dalildalilnya dalam lslam
pokoknya pergi, meskipun dalam jarak kurang dari satu mil. Tetapi
pendapat ini disanggah dengan dalil yang sangat kuat. Nabi sering pergi ke
pemakaman Baqi' untuk ikut menguburkan orang-orang yang meninggal
dunia. Dan beliau juga sering pergi ke tanah lapang unfukkeperluan buang
air besar bersama beberapa orang sahabatnya. Namun nyatanya beliau
tidak pemah mengqashar shalat atau membatalkan puasa. Dalam kitab Al-
Muhalla ia menufurkan pendapat-pendapat para sahabat, para tabi'in,
para imam, dan para ulama ahli fiqih tentang ukuran jarak yang
diperbolehkan melakukan shalat qashar.
Seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi, para ulama darikalangan
ma&hab Zhahiri hanya mengambil apa yang nampak pada hadits Anas
ini . Menurut mereka, jarak minimal qashar shalat itu tiga mil. Dan
seperti yang dikatakan oleh Al-Hafizh lbnu Hajar dalarn kitabnya Fathul
Bori, hadits Anas tadi yaitu hadits paling shahih dan paling tegas yang
menerangkan masalah ini.
Menurut Imam Asy-Syaf i berikut sahabat-sahabatnya, Imam Malik
berikut sahabat-sahabatrya, Al-Laib, Ai-Auza'i, para fukaha yang juga ahli
hadits, dan ulama-ulama yang lain, orang yang bepergian sejauh tiga mil
itu belum diperbolehkan mengqashar shalat. Yang diperbolehkan ialah
jarak dua marhalah yaitu delapan empgt puluh mil Hasyimiyah, seperti yang
dikatakan oleh An-Nawawi.
Nenurut Imam Abu Hanifah dan ulama-ulama Kufah, tidakboleh
hukumnya mengqashar shalat dalam perjalanan yang kurang dari tiga
marhalah. Ada yang mengatakan, tiga marhalah ihr sama dengan dua puluh
empatfarsakh.
Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar, ada riwayat Al-Bukhari yang
menunjukkan bahwa jarak minimal untuk shalat qashar yaitu perjalanan
selama sehari semalam dengan naik onta.
Asy-Syaukani menyanggah beberapa dalil yang dibuat pegangan
oleh sementara ulama ahlifiqih dalam masalah ini, Menurutnya, pendapat
yang diyakinibenamya ialah bahwajaraknya yaitu sejauh tiga farsakh,
sebab menurut keterangan hadits Anas di atas jarak minimalnya ialah tiga
farsakh atau tiga mil. sebab tiga farsakh itu lebih banyak daripada tiga mil,
maka untuk lebih berhati-hari yang diambilyaitu yang lebih banyak.
lalu dari mana seorang musafir mulai mengqashar shalat? Kata hnu
Al-Mundzir, menurut kesepakatan para ulama, seseorang yang hendak
gi/t;/u.q6ada/a
Shalat
bepergian itu harus mengqashar shalat ketika ia keluar dari rumah tempat
ia berangkat. Dan mereka berbeda pendapat jika shalat qashar itu
dilakukan sebelum keluar dari rumah. Mayoritas ulama berpendapat, hal
itu berlaku bagi semua rumah.
Sebagian ulama Kufah berpendapat, apabila seseorang hendak
bepergian ia harus shalat dua rakaat terlebih dahulu di tempatnya.
Sebagian lagi berpendapat tidak seperti itu. Ibnu Al-Munzdir setuju pada
pendapat yang pertama, berdasarkan kesepakatan para ulama bahwa
seseorang harus mengqashar shalat begitu ia meninggalkan rumah. Yang
mereka perdebatkan yaitu kalau shalat qashar itu dilakukan sebelum
meninggalkan ruma







