u dalam membuat dua belas kategori: yang tertinggi bergelar imdm
(pemimpin) dan yang terendah bergelar kadhdhab (pendusta). Penekanan pada
urutan derajat (ranking) para perawi ini memaksa mereka mendapatkan biodata
mereka, guna memasukkan pertumbuhan cabang ilmu baru, al-Iarh wa atta'dil,yang menawarkan sejumlah besar pada perpustakaan mengenai biografi
perawi yang mencapai ribuan jilid.26
ii. Iaringan Riwayat yang Tak Terputus
Jika sikap amanah jadi kata kunci diterimanya suatu riwayat, maka
keberadaan jaringan yang tak terputus merupakan syarat kedua. Jaringan mata
rantai ini dalam ilmu hadith disebut lsndd. Menetapkan nilai setiap isnddpada
intinya akan rnelibatkan kajian biodata perawi yang tertera namanya (datam
contoh yang lalu, seperti A, B, dan C) di mana jika dinyatakan mulus dalam
testing moral dan kemantapan ilmu, berarti membuka peluang kesiapan dalam
menghakimi status isnad itu. Kita juga mesti yakin bahwa setiap perawi
mengambil pernyataan dari yang lain: jika C tidak secara langsung mengambil
dari B, atau B tidak ada kontak sama sekali dengan A, berarti jaringannya jelas
cacat. Sekalipun kita menemukan jaringan mata rantai itu tidak terputus, tidak
juga memberi jaminan analisis kita telah dianggap sempuma.
lii. Me'mberi Drkungan
"1ro
gs$qliknya
Langkah akhir adalah pemeriksaan silang menyeluruh terhadap isnidisnad lainnya. Katakanlah kita memiliki satu pasangan ilmuwan tepercaya, E
dan F, yang juga meriwayatkan dari A, seperti halnya dalam jaringan A-E-F'
Sekiranya mereka menyampaikan pernyataan mengenai A dan cocok dengan
pernyataan A-B-C, maka hal ini selanjutnya akan menguatkan permasalahan
yang ada yang kita istilahkan sebagai mutdba'ah. Tetapi apa jadinya jika kedua
pernyataan itu tidak setaraf? Jika E dan F ternyata fiengtngguliB dan C, hal ini
akan melemahkan laporan yang diberikan oleh B dan C; dan dalam hal ini
riwayat yang diberikan oleh A-B-C dalam ilmu hadith disebut syadh (nyeleneh
lagi lemah). Keberadaan jaringan mata rantai ke tiga dan ke empat yang
melengkapi laporan versi A-E-F akan membantu dan menggatkan argumentasi
dalam menepis A-B-C. Akan tetapi, jika perawi E dan F memiliki kemampuan
yang serupa dengan B dan C, nasib A akan dianggap sebagai mud@ib (memusingkan). Jika A-B-c menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan A-EF, tetapi sejalan dengan ratusan riwayat lain (yang bersumber selain A), maka
khabar berita (riwayat) A-E-F mesti dibuang ke wilayah pinggiran.
iv. Satu Ujian Masalah Isn5d yang Mengelinrkan
Cerita-cerita miring, atau yang bukan-bukan, kadang-kadang dapat juga
dipahami. Karena kekurangan ilmu mengenai sistem kritikan jaringan perawi
hadith, beberapa pakar (arang melibatkan pakar hadith yang masyhur)
membuat laporan bohong (palsu), dan berusaha membela atau menepis dengan
menguras banyak energi (tenaga). Sebagai contoh, al-Dhahabi mengutip laporan al-A.masy, .'saya mendengar (sami'tu) Anas bin Melik [seorang sahabat
ternama] rnembaca ( )r, vr-lrbr.l,il,/,Ijjt &3U 0!). Ketika dikatakan,'Hai
Anas, yang betul adalah d1,' maka ia menjawab, 'll dan '+r",1 dua-duanya
sama." Al-Dhahabi menganggap jaringan mata rantai riwayat itu benar
adanya,z1 begitu juga 'Abduq $abur Shahin, bagaimana pun berusaha mem-
betulkan kejadian itu, mengaitkan sikap Anas pada masalah tujuh aln gzr
Namun menurut para pakar ahli kritik hadith al-A'mash tidak pernah belajar
sesuatu dari Anas, sebagaimana dibuktikan dalam ulasan berikut ini:
Anas bin Melik terlewati oleh saya pagi dan petang. Saya selalu berpikir,
"Saya tidak akan mau merengek-rengek ingin belajar dengan Anda
karena setelah berkhidmat dengan Nabi Muhammad ffi semasa hidupnya,
Anda mendekati al-Hajjnj minta jabatan, sehingga dia setuju mengangkat
Anda." Kini saya merasa hina gara-gara pernah meriwayatkan informasi
yang saya dapat dari para muridnya, danbukan langsung dari dia.2e
Kalaulah ia pernah mendengar suatu komentar dari Anas, tentunya ia
akan menyampaikan pada pihak lain atas wewenang atau kekuasaan Anas dan
tidak perlu mengadukan diri sendiri. Hanya saja, pemeriksaan yang teliti
terhadap riwayat hidupnya menyebabkan al-Mizzidan orang lain mempertegas
anggapan walaupun ia selalu melihat Anas, al-A'mash tidak pernah mendapat
ilmu sedikit pun dari padanya,3o sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa
peristiwa itu bisa saja terjadi karena pemalsuan yang disengaja atau sematamata kesalahan dari salah satu murid ar-A'mash.3l Guna menentukan kesahihan akan hal ini atau peristiwa lainnya sampai pada sebuah keputusan
terpelajar (ilmiah), memerlukan peninjauan ketat cara mengkritik isndd.
5. AamaGenensi Pafrma
sebelum melangkah lebih jauh, barangkali ada baiknya kita jelaskan
definisi peristilahan generasi para perawi hadith yang digunakan oleh ilmuwan
Muslim.
' Generasi pertama, mereka yang pernah menemani Nabi Muhammad ffi
dan kenal dengan beliau secara pribadi akan disebut 'Sahabat,. Dalam
pandangan Mazhab Sunni, semua Sahabat adalah dianggap ,adl karenaAllah memuji mereka tanpa kecuali, sambil memberi jaminan akhlak
mereka dalam Al-Qur'an berulang kali.
. Generasi kedua, mereka yang pernah belajar melalui Sahabat disebut
sebagai tdbi'in atau 'Pengikut'. Pada umumnya mereka tergolong pada
generasi pertama Hijrah hingga seperempat pertama abad ke dua Hijrah,
dan riwayat [adith mereka dapat diterima selama dikenal sebagai 'orang
tepercaya'. Dalam hal ini tidak ada yang perlu diperiksa lagi karena
mereka melandaskan pernyataannya pada para Sahabat.
. Generasi ketiga, atbd'at-tdbi'in atau 'Penerus Pengikut', kebanyakan
berkelanjutan sampai pertengahan pertama abad kedua Hijrah. Riwayat
dari generasi ketiga ini dapat diterima jika disahkan melalui sumbersumber lain, kalau tidak, riwayat itu disebut sebagai gharlb (aneh).
. Terlepas dari reputasinya, pernyataan generasi ke empat akan dapat
tertahan kecuali setelah disahkan melalui jalur lain. Beberapa orang yang
terdapat dalam kelompok ini telah meriwayatkan hingga 200.000 hadith
yang hampir dua atau tiga (kalau tidak kurang) koleksi hadith mereka
tidak mendapat dukungan dari isnad-isndd lain. Akhirnya, seorang
perawi dari generasi ini tidak dapat disahkan secara bebas.32
Meskipun telah tercatat sejak kehidupan Nabi Muhammad W tat itu
bukan sampai pada generasi berikut, hanya dalam masa pertengahan kedua dari
abad pertama, l.radith-hadith itu mulai dikelompokkan menurut topik bahasan
dalam bentuk booklet. Di era abad kedua, sejarah juga menyaksikan kemunculan banyak artikel hadith bertarafkan ensiklopedia, seperti Muwatta'
Malik, Muwatta' Shaibdni, Athar Ab[ Yrisuf, J6mi' Ibn Wahb, dan Kitab Ibn
Majishrin. Abad ketiga akhirnya merupakan demonstrasi lahirnya artikel -artikel
besar, seperti $a!i[ al-Bukhdri dan Musnad Ibn Hanbal. Sketsa generasi perawi
hadith di atas memberi gambaran kasar mengenai penilaian isndd dan betapa
njlimetnya (kecil kemungkinan) seseorang pemalsu hadith dapat lolos seenaknya tanpa terdeteksi oleh pakar hebat yang telah membuat karya tulis
setaraf ensiklopedi.
6. Pemeliharaaa B*u dari Upaya Pemalst,en: Satu Sistem yang Unik
Guna memelihara keutuhan dari keterangan dan pemalsuan yang mungkin dilakukan oleh ilmuwan di masa depan, satu metode unik telah diterapkan
yang, hingga saat ini, tak ada yang mampu menyaingi dalam sejarah literatur.
Berdasarkan konsep yang sama seperti pengalihan riwayat hadith, menghendaki setiap ilmuwan yang menyampaikan koleksi hadith mesti menjalin
hubungan langsung dengan pihak yang ia sampaikan, karena pada intinya ia
sedang memberikan kesaksian tentang orang itu dalam bentuk tertulis. Membaca sebuah artikel tanpa pernah mendengar dari penulisnya (atau tanpa
membaca naskah artikel di depan pengarang) akan menjadikan orang sebagai
penjahat kesalahan, culprit guilty, karena memberikan kesaksian bohong.
Menyadari dalam pikiran tentang hukum kesaksian, metode berikut
diakui sebagai cara yang benar dalam memperoleh hadith; masing-masing cara
ini memiliki derajat tersendiri, sebagian memerlukan hubungan yang lebih jauh
dari yang lain dan, akhirnya, mencapai kedudukan lebih hebat.
a) Samd'. Dengan cara ini seorang guru membaca di depan muridnya, yang
mencakup cabang bentuk berikut ini: bacaan lisan (hafalan), bacaan teks,
tanya jawab, dan diktean.
b) 'Ard.Dalamsistem ini seorang murid membaca teks di depan maha guru.
c) Mundwalah. Menyerahkan teks pada seseorang termasuk memberi izin
menyampaikan isi riwayat tanpa melalui cara bacaan.
d) KitAbah. Suatu bentuk korespondensi: guru mengirim hadith dalam
bentuk tertulis pada ilmuwan lain.
e) Wagiyyah. Mengamanahkan seseorang dengan artikel [radith, kemudian
yang diberi amanah dapat disampaikan pada pihak lain atas wewenang
pemilik asli.
Selama tiga abad pertama, metode pertama dan ke dua sangat umum
dipakai, kemudian disusul dengan sistem mundwalah, kitdbah, dan
akhirnya wapiyyah. Periode selanjutnya menyaksikan munculnya tiga
kreasi lain;
0 ljdzah. Meriwayatkan sebuah hadith atau artikel atas wewenang ilmuwan
yang memberi izin khusus yang diutarakan untuk tujuan ini tanpa
membacakan artikel itu.
g) I'ldm. Memberi tahu seseorang mengenai artikel tertentu dan isi
kandungannya. (Kebanyakan pakar hadith tidak mengakui sebagai cara
yang sah untuk meriwayatkan tradith).
h) Wijadah. Cara ini menyangkut penemuan teks (misalnya manuskrip
kuno) tanpa membacanya di depan pengarang atau mendapat izin untuk
meriwayatkannya. Dalam penggunaan metode ini sangat penting untuk
dinyatakan secara jelas bahwa artikel itu telah ditemukan, dan juga untuk
menulis daftar isi kandungannya.
Masing-masing cara memiliki istilah tersendiri yang berfungsi untuk
menjelaskan bentuk penyampaian riwayat untuk para ilmuwan di masa yang
akan datang. Isi kandungan artikel -artikel hadith sampai tingkatan tertentudirancang melalui pendekatan ini, karena nama perawi merupakan bagian dari
teks, dan setiap cacat negatif yang pada sifat seorang perawi itu akan berimbas
pada keutuhan dokumen.33 Seperti halnya tiap lradith yang memasukkan
jaringan perawi yang akan bermuara pada Nabi Muhammadffi ataru Sahabat,
begitu juga setiap artikel memiliki jaringan riwayat akan berakhir pada
pengarang yang sejak semula menyusun artikel itu. Urutan-urutan mata rantai ini
bisa jadi ditulis pada batang tubuh judul naskah, bab pendahuluan, keduaduanya, atau dapat juga sebagai perubahan kecil pada setiap [radith. Perhatikanlah contoh pada gambar 123.34
Beberapa baris pertama berbunyi sebagai berikut:35
Terjemahannya:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Muhammad bin BalU Ab[ Talhah telah membacakan kepada kami, menyatakan bahwa 'Abdul-Mun'im bin Idris telah membacakan kepada
kami atas wewenang ayahnya, dari Ab[ Ilyds, yang meriwayatkan dari
Wahb bin Munabbih, di mana ia mengatakan, "Apabila delegasi mulai
masuk mendekati Nabi Muhammad W menyatakan hasrat memeluk
Islam, As'ad bin Zurdrah pergi menemui ayahnya Zwdrahbin As'ad..."
Di sini nama-nama perawi telah jadi tambahan pernanen pada pem_
bukaan teks. Bentuk umum seperti ini dapat juga dilihat pada sahihal-Bukhdri
dan sunan an-Nasd'i sebagai contoh kendati bukan satu-satunya. Karya-karya
tertentu melangkah lebih jauh memasukkan nama pengarang asli pada permulaan setiap hadith, seperti Musannaf 'Abdur-Razzdq, Musannaf Ibn Abi
shaibah, dan (kebanyakan bagian) Sunan at-Tirmidhi. Bentuk variasi yang ke
tiga bahkan menjelaskan keseluruhan urutan mata rantai perawi artikel pada
awal tiap-tiap hadith. Tampak jelas dengan habisnya beberapa generasi,
penyertaan seluruh jaringan mata rantai ini akan menjadi panjang, dan biasanya
hanya pengarang dan beberapa perawi yang menduduki urutan terdepan yang
disertakan. Sekarang hendak kita selidiki Muwatta' Mdlik bin Anas menurutresensi Suwaid bin Sa'id al-Hadathdni (w. 240 H.). Jaringan mata rantai
riwayat seperti tertera pada permulaan Muwatta' urutannya adalah: (l) Thebit
bin Bunddr al-Baqqdl, dari (2) '[Jmar bin lbrdhim az-Zuhr7, dari (3)
Muhammad bin Gharib, dari (4) Aimad bin Mrrhammad al-Washshd', dari (5)
Suwaid bin Sa'id al-Hadathdni, dari (6) Anas bin Melik, pengarang pertama.
Pada permulaan setiap hadith terdapat satu versi kependekan mata rantai
riwayat seperti ini:
M,rhammad telah membacakan kepada kami bahwa Ahmad meriwayatkan atas wewenang Suwaid, yang meriwayatkan dari Melik...36
Kelanjutan dari mata rantai di atas adalah isnid yang tetap untuk hadith
tersebut, yang puncaknya adalah inti teks hadith itu sendiri. Walaupun bentuk
seperti itu tidak secara seragam mendapat perhatian dalam semua manuskrip
yangada, namun nama-nama perawi selalu dimasukkan ke dalam teks.
r. Syarat-Syarat Pengguaan Bulu
Guna mengajar atau memanfaatkan sebuah teks, di antara syarat yang paling
ketat, seorang ilmuwan hendaknya berpegang hanya pada naskah yang namanya tertulis dalam sertifikat bacaan. ljazah ini merupakan surat izin dan bukti
bahwa ia telah menghadiri kelas berkenaan di mana guru menyampaikan manuskrip tersebut.3T Dengan kebebasan yang diberikan untuk membuat salinan
artikel gurunya atau menggunakan artikel yang memiliki wewenang lebih tinggi
dengan jaringan mata rantai riwayat yang sama, ia dilarang secara ketat menggunakan naskah-naskah orang lain. Anggaplah A adalah pengarang pertama,
lalu artikel nya meluas ke berbagai di kalangan murid-murid seperti di bawah ini:Walaupun semua naskah-naskah berasal dari A, kita temukan bahwa M
tidak berhak menggunakan naskah R atau N, atau H dan L. Sebaliknya ia mesti
membatasi diri hanya menggunakan naskah G, M atau A. Main coba-coba
hendak keluar dari batasan ini, berarti suatu penghinaan baginya. Selain itu,
setelah menyalin naskah untuk dirinya ia mesti meneliti teks asli serta mengoreksi jika dirasa perlu dan sekiranya ia memutuskan untuk menggunakannya tanpa merasa perlu merevisi secara cermat, ia harus menyatakan
dengan jelas, kalau tidak akan berisiko mencemarkan namanya.
ii. Keterangan Tambahan: Penambahan Materi dari Luar
Para murid yang mempunyai naskah pribadi bisa jadi sewaktu-waktu
menambah materi terhadap teks yang sudah ditetapkan guna memperjelas katakata yang samar dengan menyajikan bukti baru yang tidak dimuat oleh
pengarang pertama, ataupun terhadap hal-hal yang dianggap mirip dengannya.
Karena bahan tambahan ini ditandai dengan isnid yang betul-betul berlainan,
atau paling kurang nama orang yang memasukkannya, hal ini tak akan merusak
teks sama sekali. Contoh yang paling nyata dapat dilihat pada salah satu karya
saya,38 di mana penyalin telah menambah dua alinea sebelum menyelesaikan
satu kalimat. Contoh lain adalah penyisipan dua alinea dalam al-Muhabbar
karya Abfi Sa'id,3e dan juga bahan tambahan yang diberikan oleh al-Firabri
dalam Sahih al-Bukhdfi,,ao yang mana dalam dua kasus itu isndd baru dapat
diketahui secara mudah.
Sangat berbeda dengan contoh yang terjadi di abad pertama dan kedua di
mana para penyalin Kristen mengubah teks{eks jika yakin bahwa mereka telah
diberi inspirasi,ar atau para penyalin Yahudi yang menyisipkan perubahanperubahan itu demi memperkuat doktrin agama mereka,42 penyisipan tidak
pernah diberi peluang dalam kerangka tradisi Islam; setiap komentar seorang
murid yang bersifat pribadi mesti memerlukan tanda tangan dan bahkan
mungkin dengan isn6d baru. Mematuhi peraturan-peraturan itu menjamin
bahwa tambahan keterangan tadi tidak membatalkan teks pertama (asli), karena
sumber-sumber bahan yang baru selalu tampak dengan jelas.Ketika meneliti sebuah manuskrip, yang penulisnya sudah lama meninggal dunia, bagaimana hendak menetapkan bahwa isi kandungannya betulbetul milikpengarang tersebut? Sebagaimana satu sistem yang jelas bahwa pemeriksaan mesti mengesahkan setiap hadith, demikian halnya berlaku terhadap
pada kompilasinya. Gambar 12.5 menunjukkan satu judul halaman sebuah
manuskrip yang ringkasan terjemahannya berbunyi sebagai berikut:Kitdb al-Ashribah [artikel mengenai bebagai minuman] oleh Abri
'Abdilleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dibacakan kepada Abi alQasim'AbdullSh bin Muhammad bin'Abdul-'Aziz al-Baghawi ibn bint
Ahmad bin Mani'.
[Halaman kedua:]
Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang. permulaan Kitab al-Ashribah. Abu al-Qdsim 'Abdulldh bin Muhammad bin
'AbduI-'AzIz a[-Baghawi ibn bint Ahmad bin Mani,al-Baghdddi telah
dibacakan kepada kami di Baghdad, menyatakan bahwa Abfr ,Abdillilh
Ahmad bin Hanbal telahdibacakan kepadanya pada tahun 228 daiartikel nya...
Carayangbiasa dipakai dalam menetapkan kesahihan karya ini adalah:
a. Memeriksa riwayat hidup pengarang pertama (A[rmad bin Hanbal), yang
kebanyakan tanpa diragukan bersumber dari orang-orang yang hidup satu
zzmar. dengannya. Fokus pencarian kita tertumpu pada dua hal: pertama,
guna memastikan apakah Ibn Hanbal pernah menulis sebuah artikel yang
berjudul Kitdb a1-Ashriba^h; kedua, menyusun daftar nama semua muridnya dan menentukan apakah Abri al-Q6sim ibn bint Ahmad bin Mani,
termasuk di antara mereka. Katakanlah ke dua-duanya ditemukan secara
positif, lalu kita meneruskan dengan:
b. Menganalisis riwayat hidup Abri al-Qdsim ibn bint Ahmad bin Mani,,
dengan tujuan dua haljuga. Pertama untuk menetapkan apakah ia seorang
yang tepercaya, selanjutnya menyusun daftar semua murid-muridnya.
c. Begitu pula seterusnya, kita memeriksa riwayat hidup tiap-tiap jaringan
mata rantai perawinya.
Apabila penelitian kita menyimpulkan bahwa A[rmad bin Hanbal pernah
menulis dengan judul tersebut, maka setiap jaringan mata rantai perawinya
adalah orang-orang yang tepercaya, dan menunjukkan mata rantai yang tidak
pernah putus, ketika itu baru kita memiliki wewenang menetapkan artikel
karangannya. Biasanya, ada beberapa manuskrip yang tidak begitu jelas dan
kadang-kadang memusingkan; topik seperti itu di luar ruang lingkup dasar kata
pengantar ini. Namun bagi yang tertarik dengan hal itu, saya sarankan agar
menyimak artikel siapa saja mengenai ilmu Mustalah al-Hadith.a3
7. SertifrkatBacaan
Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, para ilmuwan menghadapi keterbatasan mengenai artikel yang dapat dianggap sebagai sertifikat bacaan.
Dalam peluncuran artikel hadith biasanya catatan daftar hadir selalu dipelihara;
ditulis oleh guru atau salah seorang ilmuwan terkenal yang mencatat secara
detail mengenai seseorang yang pernah mendengar bacaan keseluruhan isi
artikel , yang hanya mengikuti sebagian, bagian yang mana yang tertinggal, pria,
wanita, dan anak-anak (dan juga pembantu rumah baik pria mau pun wanita)
yang turut serta, tanggal, lokasi tempat bacaan itu. Siapa yang hadir di bawah
usia lima tahun, terdaftar lengkap dengan kelompok usia dan diberi tanda atau
kata haSar (telah hadir); jika lebih dari lima tahun maka ia disebut sebagai
murid. Sebuah tanda tangan pada bagian belakang artikel itu biasanya menandai
berakhirnya sertifikat bacaan, menandai tidak adanya tambahan yang boleh
dibuat sesudahnya.s Bagi para muhaddithfin ijazah ini disebut tibaq yait:u
sejenis surat izin eksklusif bagi yang namanya terdaftar boleh membaca
kembali, mengajar, menyalin, atau mengutip dari artikel itu.
Dalam manuskrip tertulis tahun276 H. (Gambar 12.6) ijazah bacaan ini
memuat aneka ragam informasi; perhatikan bahwa mereka yang hadir telah
menjadi tambahan tetap judul artikel tersendiri.
Dari sertifikat itu kita dapat menyerap beberapa hal sebagai berikut:
Guru
Judul artikel
Peserta
Kota
Tanggal
Kata Turunan
Pengarang Asal
Ab[ Is[6q Ibrdhim bin Mrisd
Kitdb ap-Samt
'Ali bin Yalryd
'Abdulldh bin Yflsuf
Muhammad bin Ism6'il
Sulaimdn bin al-Hasan
Nagr, bekas budak'Abdulldh
AsbSl bin Ja'far
Lakhm, bekas budak Silih
Hasan bin Miskin bin Shu'bah
Ahmad bin Is[r6q
Hdtim bin Ya'qrib
'Abdul-'Aziz bin Mtrhammad
'Ali bin Maslamah
Mu[rammad bin Mutayyib
al-Hasan bin Mulrammad bin $dli[r
Asna
Rabiul Awwal276H.
"Saya telah menyalin dua jilid ini dari artikel Abri ts[rdq
Ibrdhim bin M[s5."a5
['Abdulldh bin Wahb]
artikel ini bermula:
Ini adalah Kitdb as-Samf, bagian dai Jdmi'Ibn Wahb. Dengan Nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. [Bab ini mengenai]
berkatalah saat ada hal yang tidak boleh dikatakan, dan ketika tidak baik
[untuk berkata]. Ab[ Is[rdq memberitahu kami bahwa Harmalah bin
Yahye menyatakan bahwa 'Abdullih bin Wahb mengatakan kepadanya..Pentingnya Catatan Bacaan
Dengan maksud hendak memelihara kompilasi [radith dari pemalsuan,
ijazah-ijazah menyediakan pada para ilmuwan masa kini sebagai lautan infor.
masi yang amat berharga. Jika seorang dapat melacak menyebarnya sebuah artikel
melalui catatan-catatan ini akan jauh lebih baik dari sekadar berpijak pada data
bibliografi, seperti yang akan saya tunjukkan pada beberapb halaman berikut ini.
a) Mingana Robson, dan Periwayatan Kumpulan Hadith-Hadith
Rev. Mingana telah menerbitkan sebuah karya tulis mengenai pengembangan Satif al-Bukhdri, iementara James Robson menulis mengenai transmisi Satril Muslim, Sunan Ab[ Ddwud, Sunan at-Tirmidhi, Sunan an-Nas6'i,
dan Sunan Ibn Majah. Walaupun kedua karya itu dipadati banyak miskonsepsi
yang sangat memprihatinkan, saya lebih baik minggir untuk sementara tanpa
komentar cukup menyalin diagram yang dibuat Robson tentang sistetn transmisi yang dipakai oleh Sunan Ibn Mdjah.aTDiagram yang lebih meyakinkan telah dibuat oleh Ishiq Kh6n dalam karyanya tentang al-usfrl as-sittah wa Ruwdtuha-,48 meskipun pada dasarnya ia telah
gagal dalam menyampaikan ruang transmisi secara utuh. Di bawah ini kita
hanya sajikan diagram mengenai Ibn Quddmah (aslinya dalam bahasa Arab)Setelah digabung bersama, kedua skema tersebut memberi gambaran bahwa
kurang dari satu lusin murid yang meriwayatkan Sunan Ibn Majah melalui jalur
Ibn Quddmah sebagai ilmuwan kenamaan. Bentuk persepsi dengan memakai
cara yang kikir ini, saya percaya dapat dipatahkan sekiranya kita mau menyelidiki manuskrip at-Taimuriah, No. 522 yang terdapat di Perpustakaan Umum
Mesir, Kairo.
b) Ijazah Bacaan dalam S 'nan Ibn Mdjah
Ibn Quddmah al-Maqdisi (w. 620 H.), pengarang salah satu artikel ensiklopedia fikih Islam yang paling masyhur, al-Mughni (dicetak ke dalam empat
belas jilid), bertindak sebagai penulis manuskrip yang amat berharga. Dengan
membagi ke dalam tujuh belas bagian, ia telah meletakkan lembaran kosong pada akhir tiap bagian guna memberi peluang yang cukup untuk ijazah
bacaan,4e yang ia salin dengan singkatan pada tiap penutupan sambil
menyatakan bahwa ijazah penuh telah ditulis tangan oleh ilmuan terkenal
lainnya, Ibn Jeriq (w.592 H.) Ijazah bagian keenam, misalnya, menunjukkan
bahwa bagian dibacakan oleh 'Abdulldh bin A[rmad bin Ahmad bin Ahmad bin
al-Khashshdb, kepada Syaikh Abri Zur'ah T6hir bin M,rhammad bin Tdhir alMaqdisi. Mereka yang hadir termasuk 'AbdullSh bin 'Ali bin M. M. al-Farri',
Duldf, Abfl Hurairah, Ibn Quddmah, 'Abdul-Ghani, Ahmad bin Tdriq, dll.
Tertanggal: Selasa, l9 Rabiul Akhir, 561 H.
Dengan penyalinan ini, walau menggunakan singkatan, tbn Quddmah alMaqdisi telah menetapkan dua hal penting:
l) Ia mempunyai otoritas untuk memakai manuskrip ini demi tujuan mengajar dan mengutipnya, karena ia mendapatkannya melalui jalan yang
betul.
2) Naskah Ibn Mdjah ini adalah merupakan salinan asal yang sama yang dibacakan kepada gurunya, jadi ia tidak melanggar peraturan periwayatan.
Di bawah ini saya telah sediakan ringkasan catatan bagian keenam.
Karena penjilidan manuskrip dalam kondisi yang kurang memuaskan, dan
beberapa halaman berserakan dan tidak teratur untuk waktu tertentu, ini berarti
beberapa halamannya bisa jadi salah letak dan bahkan mungkin hilang. Saya
telah meneliti bahwa tidak ada lembaran dari bagian yang lain yang menyeruak
ke dalam bagian ini, karena dalam halaman-halaman tersebut tercatat kelompok mana pada catatan bacaan itu.Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak ll5 murid
mengkaji bagian ke enam secara langsung dari Ibn Quddmah; namun yang
belajar dari murid-muridnya berjumlah sekitar 450 orang. Dari sekian banyak
manuskrip Sunan lbn Majah yang beredar ketika itu, kemungkinan besar
terdapat manuskrip lain yang juga memasukkan nama Ibn Qud6mah dalam
ijazah bacaan mereka. Manuskrip-manuskrip itu boleh jadi belum ditemukan
lagi ataupun mungkin tidak akan ditemukan sama sekali. lnformasi mengenai
jurnlah tulisan yang banyak dalam satu manuskrip ini menunjukkan bahwa
seluruh diagram jaringan mata rantai riwayat yang dibuat hingga kini, baik
untuk Ibn Majah atau karya-karya yarrg lain, masih sangat sedikit, dan kita
tidak dapat mengatakan sebagai hal yang belum sempruna, jika tak ingin
mempermalukan diri kita sendiri.
8. Penean h Metodologi lla&fu pafu Cafury llmu Lainnya
Begitu ampuh metode ini, dan mampu tahan uji sehingga begitu cepat
melintasi batasan literatur lradith dan guna memasukkan semua karya ilmiah:
- Beberapa contoh di bidang ilmu tafsir, bhx Tafsir'Abdur-Razzdq (w.
2l I H.) dan Suffan ath-Thauri (w. 16l. H.)
- Dalam bidang sejarah, lihat Tdikh Khalifah bin Khayy6! (w. 240 H.)
- Dalam bidang hukum, lihat Muwalla' ImimMdlik (w. 179 H.)
- Dalam karya sastra dan cerita dongeng, lihat a(-Baydn wa at-Tabyin olehal-Jahiz (150-255 H.) dan al-Aghdni oleh al-Asfahdni (w. 356 H.). Karya
yang disebut terakhir ini terdiri dari dua puluh jilid yang menceritakan
tentang kisah para komposer, penyair, dan artis lagu (pria dan wanita),
juga anekdot-anekdot tak vulgar penghiburkan hati. Yang menarik
adalah, bahkan dalam cerita-cerita yang menggelitik, kita dapatkan hal itu
disertai juga dengan isndd yang lengkap. Apabila pengarang mengambil
bahan dari artikel yang tidak punya surat izin, ia akan menyatakan, "Saya
mengopi dari artikel ini dan itu."
9. Iffied dan fiaasmM /J-Qur' dn
Semua kajian ini dapat memunculkan sebuah pertanyaan penting. Apabila metode yang ketat disiplin berfungsi sebagai jalan kerja harian dalam
pengalihan informasi, segalanya dari mulai sunnah sampai kisah cinta para
penyanyi sekali pun, mengapa tidak diterapkan juga untuk Al-eur'dn?
Dalam memberi jawaban, ia menuntut kita mengingat kembali sifat Kitab
Suci ini. Karena ia merupakan Kalam Allah dan sangat penting dalam setiap
shalat, maka penggunaannya selalu lebih luas dari sunnah. Keperluan dalam
penggunaan jaringan mata rantai dan ijazah bacaan bagi setiap orang yang
ingin mempelajari Al-Qur'6n, tentunya akan lebih. Seseorang yang ingin mempelajari seni baca Al-Qur'an secara profesional, hendaknya ia melatih suara
dan makharij (cara mengeluarkan huru| yang digunakan oleh para juru baca
kenamaan pemegang ijazah dengan urut-urutan mata rantai yang akhirnya
sampai pada Nabi Muhammad ffi. aUn al-'Al6' al-Hamadhdni al-,Attdr (4gg-
569 H./1095-1173 M.), seorang ilmuwan yang terkenal, membuat kompilasi
biografi para juru baca Al-Qur'dn yang diberi judul al-Infis dr fi Ma'ifat eurrd,
al-Mudun wa al-Amsdr. artikel yang terdiri dari dua puluh jilid ini, disayangkan
telah musnah sejak dulu. Namun demikian, kita masih dapat mengutip
beberapa butir kandungan informasi melalui para ilmuwan yang menulis
tentang hal itu; misalnya kita dapat melihat daftar guru-guru pengarang dan
juga guru-guru mereka secara lengkap, dalam satu jalur yang pada akhirnya
bertemu atau sampai pada Nabi Muhammad ffi, yang jumlah halaman bermula
dari 7 hingga I 62 par(artikel tersebut.5 I Semuanya merupakan para juru baca AlQur'6n yung .d(p telatih. Jika kita ingin memperpanjang skema yang ada
pada daftar itu dengan memasukkan yang nonprofesional akan menjadikan
kerja itu sia-sia. Bahkan kecepatan penyebaran Al-Qur'dn itu sendiri sangat
susah untuk mengukurnya. Guna menenangkan rasa ingin tahu tentang jumlah murid yang belajar kitab ini dari satu halaqah di kota Damaskus, Abrl adDardd' (w. sekitar 35 H.1655 M.) meminta Muslim bin Mishkdm menghitung
untuknya: hasilnya melebihi 1600 orang. Para murid yang menghadiri
pengajian sistem melingkar (halaqah) Abu ad-Dardd' secara bergiliran setelah
shalat subuh, pertama-tama mereka mendengarkan bacaan yang diikuti oleh
murid-muridnya, dan juga melatih sendiri-sendiri.s2
Dengan menerima keterlibatan dua metode yang berbeda dalam
penyebaran Al-Qur'dn versus Sunnah, masih terdapat beberapa persamaan
mengenai transmisi kedua:
l) Ilmu pengetahuan menghendaki hubungan langsung, dan berpijak sepenuhnya pada artikel sangat tidak dibenarkan Semata-mata memiliki
sebuah Mushaf, tidak akan dapat menggantikan fungsi kemestian belajar
membaca dari seorang guru dengan ilmu yang memadai.
2) Standar moralitas yang ketat diperlukan bagi semua guru. Jika seorang
sahabat dekat meragukan kebiasaan akhlaknya, maka tak akan ada siapa
pun yang hendak berguru kepadanya.
3) Melukis diagram tentang transmisi dengan data bibliografi semata, tid4k
dapat memberi gambaran sepenuhnya mengenai besamya ukuran subjek
yang dikaji. Untuk membuat outline pengembangan Al-Qur'dn, seperti
telah kita lakukan pada bagian keenam manuskrip Sunan lbn Majah,
mengharuskan pencatatan bagi setiap Muslim yang pernah menginjakkan
kaki di atas bumi sejak permulaan Islam hingga saat ini.
10. Kesimpulan
Kembali kepada guru yang diakui, penelitian riwayat hidup dilakukan
guna menyingkap akhlak pribadi seseorang, legitimasi yang dibangun melalui
sistem ilazahbacaan, dan berbagai segi lain dari metode ini, disatukan untuk
membuat dinding penghalang terhadap upaya pemalsuan artikel -artikel tentang
Sunnah. Dengan memberi pengecualian terhadap para juru baca Al-Qur'dn
prgfesional, satu bidang yang tidak mengikuti sistem isndd yang ketat adalah
transmisi Al-Qur'dn, karena-yang satu ini, mustahil akan melahirkan penyebab
yang dapat merusak teks. Kata-katanya tetap sama seperti yang dibaca di setiap
masjid, sekolah, rumah, dan pasar di seluruh penjuru dunia Islam yang merupakan pelindung dari kerusakan yang ampuh dibanding segala sistem yang
mungkin diciptakan oleh manusia.ApA YAIIG DISEBUT MU$HAF IBN N[AS'frO OAX
TI.JDI.JIIAN RAGAI\{ BACAA}.I YA}.[G ADA DI DALAI\d}.TYA
Seperti dikatakan sebelumnya, Arthur Jeffery telah meneliti 170 jilid
artikel dalam mengumpulkan daftar ragam bacaan yang menghabiskan sebanyak
sekitar 300 halaman dalam bentuk cetakan, memuat apa yarrg disebut mug[af
milik sekitar tiga puluh orang ilmuwan. Dari jumlah ini ia mencadangkan 88
halaman guna mengupas ragam bacaan yang, menurutnya, bermula dari
Muqlraf tbn Mas'[d, sedang 65 halaman yang lain dari Mushaf Ubayy. Sedang
selebihnya (140 halaman) khusus membahas dua puluh delapan ilmuwan yang
lain. Adanya ragam bacaan dengan urutan tinggi yang ditudingkan terhadap Ibn
Mas'fld secara tidak wajar, membuat Mug[raf itu menarik untuk diteliti dengan
lebih mendalam; beberapa anggapan Jeffery mengenai mushaf itu sebagai
berikut.
- Berbeda dengan Mug[raf Uthmani dari sisi susunan sflrah,
- Mengalami perbedaan teks,
- Dan tidak memasukkan tiga sfrraf
Ia melempar semua tuduhan walau tak ada seorang manusi4 termasuk
sumber-sumbernya, yang pernah menyaksikan "Muplraf' tersebut dengan
semua ragam bacaan yang ia-katakan. Pada hakikatnya, tidak sahr pun referensi
yang dipakai menyebut keberadaan "Muglraf Ibn Mas'tid"; sebaliknya mereka
menggunakan perkataan qata'a (membaca), dalam konteks bacaan "[bn
Mas'td terhadap ayat tertentu". Jika kita lihat secara sepintas terhadap sumber
itu, maka akan dapat memunculkan dua bantahan secara spontan. Pertama,
karena mereka tidak pernah menyatakan bahwa Ibn Mas'id membaca dari
naskah tertulis, maka kita dengan mudah menganggap bahwa ia membaca
melalui hafalannya, dan bagaimana mungkin dapat kita menyimpulkan bahwa
bacaan yang salah itu bukan disebabkan oleh ingatan yang meleset? Kedua,
(hal ini pernah saya sampaikan seb€lumnya), kebanyakan referensi Jeffery
sama sekali tidak memiliki isndd yang menyulitkan untuk dapat diterima
karena sumber itu tidak menawarkan sesuatu kecuali fitnah.
Membandingkan sebuah Mupfaf yang dikaitkandengan ilmuwan tertentu
dengan Muphaf 'Uthmeni akan tak membawa faedah, kecuali dapat
nunjukkan bahwa keduanya memiliki status yang sama, membuktikan
benaran yang pertama dengan keyakinan yang kita miliki. Isi kandungan sebuah Mug[raf, sama seperti [radith atau qir6'at, yang hanya dapat diriwayatkan
melalui carayang ditentukan oleh para ilmuwan:
Sahih dengan keyakinan sepenuhnya, atau
2) Meragukan, atau
3) Sama sekali palsu (baik karena kesalahan disengaja ataupun tidak disengaja).
Katakanlah kebanyakan para murid Ibn Mas'[d (seperti al-Aswad, Masrfiq,
ash-Shaib6ni, Ab[ We'il, al-Hamaddni, 'Alqamah,Zirr, dan lainnya) melaporkan satu pernyataan secara sepakat, maka jika dikaitkan dengan lbn Mas,fid
akan dianggap sah dan diterima. Jika sebagian besar dapat menyepakati,
sementara satu atau dua orang murid yang terkenal meriwayatkan sesuatu yang
berlainan, maka anggapan yang minoritas ini disebut "meragukan". Jika yang
minoritas terdiri dari para murid yang bernilai pas-pasan serta tak dikenal,
tetapi pernyataan mereka menyalahi kesepakatan para murid yang ngetop,
maka akan dimasukkan ke dalam kelompok ke tiga yang benar-benar palsu.
Guna menyatukan manuskrip, "kesamaan status" menjadi konsep yang
sangat penting. Jika kita temukan dokumen tulisan tangan pengarang pertama,
kedudukannya seciua ilmiah dari naskah salinan yang dimiliki oleh para murid
yang terkenal (apa lagi murid bayangan) akan secara otomatis hilang nilainya.
Melakukan sebaliknya, atau menyamakan yang asli dengan duplikat dianggap
sangat tidak ilmiah.l Dengan memahami masalah ini, marilah kita hadapi
tuduhan-tuduhan Jeffery.
l. ggsunen Mugbailbn Mas,dd
Tak ada satu dari mereka yang hidup sezaman dengan Ibn Mas,iid
menyebut Mushaf yang dimilikinya memuat susunan sflrah yang berlainan, isu
itu muncul ke permukaan setelah beliau wafat. An-Nadim mengutip al-Fadl bin
ShddhSn, "Saya melihat susunan sfirah dalam Mushaf Ibn Mas'rid sebagai
berikut: al-Baqarah, an-Nisd', '4fi 'Imrdn...[yaitu, tanpa al-Fdtil.tah1."z g"-
terusnya melalui komentar, an-Nadim menyebut bahwa secara pribadi, ia
pernah melihat berbagai Mushaf yang dikaitkan kepada Ibn Mas'[d, akan
tetapi ia tidak pernah melihat dua naskah yang mirip satu sama lain, ditambah
lagi ia juga menemukan satu naskah di abad kedua Hijrah yang memuat srirah
al-Fdtihah. Karena al-Fadl bin Shddhan terhitung rnemiliki wewenang keilmuan yang cukup terpandang dalam bidang ini, an-Nadim memutuskan lebih baik
mengutip daripada mengutamakan observasi sendiri.3 Komentar an-Nadimmembuktikan bahwa mereka yang menganggap adanya kelainan pada Mushaf
Ibn Mas'iid tidak dapat menyatakan secara pasti susunan siirah yang sebenarnya, walau pada tahapan keyakinan yang paling minim.
Terdapat jumlah signifikan dari murid-murid yang terkenal yang belajar
Shari'ah (hukum Islam dan fiqih) di bawah bimbingan Ibn Mas'fld dan
meriwayatkan Al-Qur'dn darinya. Mengenai Mushafnya, kita menemukan dua
riwayat silang: yang pertama menyebutkan bahwa susunan strah berlainan
dengan yang kita miliki, sementara yang lain mengatakan sama. Yang pertama
gagal mencapai kesepakatan mengenai urutan strah, dan ternyata riwayat ke
dua jauh lebih meyakinkan. Tentunya versi yang lebih konkret akan lebih
menarik perhatian kita. Al-Qur'dn memperjelas apa yang pernah ia lihat
tentang Mushaf Ibn Mas'id, tlbayy, danZaidbin Thdbit, dan melihatnya tidak
terdapat perbedaan.a
Melalui kesepakatan para qari profesional, mereka mengikuti nada
bacaan salah satu dari tujuh qari yarrg memiliki urutan teratas: misalnya
'Uthmdn, 'AlT,Zaidbin Th6bit, Ubayy, Abrl M[sd al-Ash'ari, Abr] ad-Dardd',
dan Ibn Mas'td. Jaringan mata rantai riwayat bacaan mereka langsung sampai
pada Nabi Muhammad W, dunsusunan srirah pada tiap-tiap bacaan persis sama
dengan Al-Qur'dn yang ada sekarang. Kita juga mesti ingat, kalaupun kita
memberi penilaian pada riwayat yang sumbang, perbedaan susunan sflralr tidak
akan berpengaruh pada isi kandungan Al-Qur'6n .5
Karena setelah menghafal sebagian besar dari Al-Qur'5n secara langsung
dari Nabi Muhammad, Ibn Mas'fid ternyata sangat kritis dan bahkan pernah
berang saat tidak diikutsertakan dalam kepanitiaan penyiapan Mug[raf
'Uthmdni, dengan melempar kecaman pedas yang membuat para Sahabat
merasa gerah. Kemudian saat kemarahan mereda, bisa jadi juga ia telah menyatakan penyesalan atas komentarnya yang tergesa-gesa, dan lalu men)rusun
sflrah-siirah dalam Mushaf pribadinya mengikuti urutan Mushaf 'Uthmdni.
Barangkali inilah pemicu munculnya dua riwayat yryg berseberangan, urutannya sama, namun berbeda dengan milik 'Uthmdn, kendati yang tahu persis
penyebabnya hanya Allah swt.. Penyimpangan yang mungkin terjadi pada
kebanyakan "Musllaf Ibn Mas'[d" yang muncul setelah wafatnya, di mana satu
sama lain tidak sama, menunjukkan bahwa seluruh Mushaf yang dikaitkan
kepadanya dianggap satu kekeliruan, dan para ilmuwan yang melakukan hal itu
tampaknya juga lalai dalam meneliti sumber-sumber yang ada. Sayangnya,
para peirjual barang-barang kuno itu, lebih suka melihat dari sisi keuntungan,garu-gara mementingkan kepingan fi.1/us perak, berani membuat taruhan
menambah Mus.haf palsu Ibn Mas'rid atau Ubayy ke atas barang dagangan
mereka.6
2. Teks yaag BetMa dengan Mu$baf Kib
Di atas, tadi sudah saya sebut perlunya kepastian tentang Muqhaf lbn
Mas'iid. Ketika meneliti berbagai ragam bacaan, Abu Hayyan an-Na[rawi
menernukan kebanyakan riwayat dikaitkan dengan lbn Mas'fid, mengambil
sumber dari kelompok Syiah. Sementara para ilmuwan Sunni di sisi lain
menyatakan bahwa bacaan Ibn Mas'fld senada dengan bacaan seluruh umat
Islam.T Oleh karena itu, pengaruh dari sumber itu tidak dapat mengubah keyakinan dan pengetahuan kita. Pada halaman 57,73 Ki6b al-Masalif (yang
disunting oleh Jeffery), dalam bab "Musbaf 'AbdulHh bin Mas'[d," kita
mendapat koleksi ragam bacaan yang panjang itu, semuanya bersumber dari alA'mash (w. 148 H.). Al-A'rnash bukan saja tidak memberi referensi untuk hal
itu-dan yang lebih mengejutkan, kesukaannya melakukan tadlis (menggelapkan sumber informasi)-ia juga dianggap memiliki kecenderungan terhadap
Syiah:8 Banyak contoh yang dapat msnguatkan kesimpulan Ab[ HayySn
mengenai hubungan Syiatr itu. Dalam artikel nya, Jeffery mengaitkan bacaan
berikut terhadap Ubayy dan lbn Mas'rid (walaupun tanpa referensi):e
"Dan mereka yang paling dulu percaya terhadap Nabi Muhammad,
alaihis salam, adalah 'AlI dan keturunannya yang Allah telah pilih dari
kalangan para Sahabat dan dijadikannya rnereka sebagai pemimpin atas
yang lain. Mereka itulah orang-orang yang menang dari yang akan
mewarisi surga Firdaus, mereka kekal selama-lamanya."
Sementara yang disebut dalam Al-Qur'6n adalah 6rlut gr.,Ur
i1;tteUrl ("Dan orang-orang yang paling dahulu beiman, merekalah yang
paling dulu [masuk surga]. Mereka itulah orang yang didekatkan [kepada
AllahJ).to Penghormatan yang berlebihan pada keturunan 'Ali, tanpa
diragukan, menyimpan perasaan membela Syiah. t I
Melibatkan diri dalam penelitian, memerlukan dasar pijakan yang kuat.
Namun dalam hal ini, kita menemukan mereka tenggelam dalam arus kabar
angin yang hampir sama sekali tidak punya jaringan mata rantai transmisi, dan
gagal dalam menyajikan pendapat logis mengenai apa yang dikatakan sebagai
'Mughaf Ibn Mas'frd' itu. Dalam keadaan seperti ini, pendekatan dan penemuan Jeffery, seperti yang dapat kita lihat, pada intinya sangat naif.
3. Tiga Sfira$ yang Dihilangkan
Srirah pertama dan dua sura[r yang terakhir (Sfirah al-Fetihah, al-Falaq
dan an-Nas), menurut beberapa riwayat, tidak terdapat dalam Mug[raf lbn
Mas'rid.r2 Tampaknya seluruh masalah yang ada sangat meragukan. Jeffery
mengawali tulisannya dengan melempar tudingan ragam bacaan dari Sfirah alFetihah: arshidnd dan bukan ihdind, dan juga man, bukan alladhina.t3 Di mana
dia berkilah bahwa surah ini tidak pernah ada, jadi dari mana dia mendapat
ragam bacaan ini? Para pembaca tentu masih ingat komentar an-Nadim sebelum ini bahwa ia pernah menemukan sebuah Muglraf yang dikaitkan dengan
Ibn Mas'id yang memuat sflralr al-Fitihah. Ingat bahwa s[ra[ al-Fati[rah itu tak
perlu dipertanyakan lagi, merupakan stralr yang paling sering dibaca dalam AlQur'dn, danjuga bagian yang tidak terpisahkan dari setiap rakaat dalam shalat.
Dalam shalat berjamaah, sflrah itu menggema dari tiap menara masjid sebanyak
enam kali dalam sehari, dan delapan kali pada tiap hari Jumat. Oleh sebab itu,
tudingan adanya ragam bacaan al-Fatibah tidak perlu dianggap serius, dan
secara logika bacaan sura[r ini diperdengarkan pada telinga setiap Muslim
bermula sejak zaman Nabi Muhamm ad W.r4
Seorang yang cenderung ingin menyalin beberapa s[rah tertentu, kurang
begitu suka dengan yang lain, ia bebas melakukannya, bahkan membuat
tambahan pada sisi halaman juga dibenarkan selama hal itu dipisahkan dari
Kitab Suci. Kejadian seperti itu tidak bisa dipakai untuk berkilah menentang
keutuhan Al-Qur'6n. Mq[raf 'Uthmdni yang memuat Kalam Allah yang tidak
pernah ternodai dan dibagi ke dalam l14 srirah, sudahjadi kepercayaan yang
tak mungkin terusik bagi kaum Muslimin; siapa yang mengelak menerima
pandangan ini, ia akan jadi buangan. Kalaulah Ibn Mas'fid menolak tiga s0ralr
ini, maka nasibnya juga sama.
Al-Baqilldni sampai pada argumentasi yang menyeluruh dan meyakinkan
dalam menafikan laporan miring seperti tersebut di atas. Ia menyatakan bahwa
siapa yang menolak srirah tertentu yang merupakan bagian dari Al-Qur'6n,
maka ia dianggap murtad atau fasik. Jadi salah satu sifat ini akan terkena pada
Ibn Mas'id kalau riwayat itu benar adanya. Dalam banyak hadith, Nabi
Muhammad ffi memuji kesalehannya dan tidak mungkin berbuat macammacam. Orang-orang yang hidup sezaman dengan lbn Mas'fld juga berkewajiban, kalau mereka melihat sesuatu yang mencemarkan kepercayaannya,
mengungkapkannya sebagai penyeleweng atau murtad, jika tidak, berarti
mereka mencemarkan diri sendiri. Namun kenyataannya, mereka yang hidup
sezaman dengannya sepakat dalam memuji keilmuan yang dimiliki tanpa satu
orang pun yang berseberangan. Dalam pandangan al-Bdqilldni, keadaan itu
hanya mempunyai dua implikasi: kemungkinan lbn Mas'rid tidak pernah
menolak status sebenarnya mengenai siirah itu, atau para ilmuwan yang
mengenalnya kurang tepat dalam menghadapi fitnah yang semestinya perlu
diganyang ketika itu. r5
r. Analisis Isi Kandungan Muqhaf Ibn Mas'tid
Asal usul munculnya penghapusan siirah-siirah ini, urutannya dapat dibuat sebagai berikut; dalam hal ini jaringan mata rantai transmisi mendahului
setiap riwayat.
- 'Aqim-Zirr (salah seorang murid Ibn Mas'[d)-Ibn Mas'[d: riwayat membuat tudingan bahwa ia tidak menuliskan dua srirah (no. ll3 dan ll4)dalam Muqhafnya.16
Al-A'mash-Ab[ Is[raq-'Abdur-Ra[rmdn bin Yazrd: Ibn Mas'fld menghapus srira[r Mu'awwidhatain (stxa\ I 13 and I 14) dari Mughafnya dan
mengatakan bahwa keduanya bukan bagian dari Al-Qur'6n .17
Ibn 'Uyaynah-'Abdah dan 'Agim-Zirr: "Saya berkata pada Ubayy, 'Saudaramu menghapus surah I 13 dan I 14 dari Muq[rafnya' , yang mana ia
tidak menolaknya. Ketika ditanya apakah yang dimaksudkan itu adalah
Ibn Mas'id, Ibn 'Uyaynah menjawab dengan nada pasti dan menambah
bahwa kedua srirah itu tidak ada dalam Mql.rafnya karena ia menganggap
sebagai doa perlindungan Ilahi yang digunakan oleh Nabi Muhammad $[
untuk cucunya al-Hasan dan al-Husain. Ibn Mas'fld tetap tidak mengubah
pendiriannya, sementara yang lain yakin dan memasukkannya ke dalam
Al-Qur'5n.rs
Jadi, dalam riwayat kedua dan ketiga, Ibn Mas'rld menghapus srirahsfirah yang sempat masuk dalam Mugl.rafnya, jika demikian mengapa dia
menulisnya saat pertama kali? Hal ini tentu tidak masuk akal. Kalau dikatakan
Muq[raf itu telah ditulis dan memuat dua siral.r terakhir, sudah tentu keduanya
merupakan satu kesatuan yang utuh dari Mug[raf yang beredar pada saat itu.
Kalau terdapat keraguan, maka menjadi kewajiban Ibn Mas'tid memastikan
masalah yang ada dengan para ilmuwan lain sewaktu di Madinah maupun
tempat lain. Dalam satu fatwanya, ia pernah menyatakan bahwa lelaki yang
mengawini wanita lalu menceraikan sebelum jima', maka ia boleh mengawini
ibu wanita itu. Ketika ia berkunjung ke Madinah dan membahas isu itu
selanjutnya, ia mengakui telah bersalah dan kemudian membatalkan fatwanya.
Misi pertama saat kembali ke Kufah adalah menemui orang yang pernah minta
fatwa dan mengatakan bahwa hal itu tidak benar. Demikianlah sikapnya dalam
bidang ilmiah, maka lebih-lebih lagi dalam isu yang jauh lebih penting
mengenai Al-Qur'dn. Semua bukti yang lebih masuk akal menunjukkan semua
cerita yang tidak wajar mengenai dirinya adalah palsu, dan para ilmuwan
zaman dulu seperti an-Nawawi dan Ibn Hazm menyatakan bahwa yang
ditimpakan pada Ibn Mas'fld itu bohong.re
Ibn Hajar, salah satu mul,taddithfrn terkemuka, menolak kesimpulan itu.
Selagi Ibn Hanbal, Bazzdr, af-Tabardni dan lainnya mengutip kejadian itu
melalui jaringan mata rantai riwayat yang sahih, maka ia memberi alasan
bahwa tudingan itu tidak dapat dinafikan sesederhana itu; melakukan hal itu
berarti menafikan hadith sahih tanpa dukungan sewajarnya. Ibn Hajar berusaha
membuat kompromi pada kedua riwayat yang berseberangan dengan berpijak
pada penafsiran lbn ag-$abbdgh: dalam ulasan pertama lbn Mas'id tetap
enggan mengakui kedudukan keduanya sebagai srira[r Al-Qur'5n, tetapi setelah
diketahui tidak dipersoalkan oleh umat dan merupakan bagian dari Al-Qur'dn,
sikap keraguannya semakin mencair dan akhirnyapercaya seperti yang lain.20
Argumentasi di atas merupakan yang terkuat yang saya pernah lihat
dalam memberi dukungan terhadap tudingan itu. Untuk mengupas persoalan
lebih lanjut, saya akan berpijak pada metode muhaddithrin lain guna menyingkap kekeliruan pendiria-n Ibn Hajar itu.
r'. Keyakinan lbn Mas'iid
Telah saya tegaskan sebelumnya bahwa al-Fdtihah, tujuh ayat yang
paling sering dibaca di masjid dan rumah-rumah semenjak zaman Nabi
Muhammad ffi, secara logika tak mungkin ditolak oleh Ibn Mas'iid. Persoalannya, menyangkut suralr I l3 dan I14. Dalam jaringan cerita ke tiga, kita
temukan bahwa Ubayy tidak menolak Ibn Mas'[d, dengan mendengar bahwa
ia telah menghapus sflralr pungkasan itu, ia tidak bermaksud menolak. Apa
artinya? Itu berarti ia setuju, ataupun tidak setuju tapi bertahan setelah melihat
ada perbedaan. Karena kita tahu Mushaf Ubayy memuat kedua sfirah tersebut,
maka kita tidak bisa menerima persetujuannya. Begitu juga kita mesti menolak
ketidaksetujuannya karena sikap tidak peduli sama dengan mengatakan bahwa
masyarakat bebas memilih bagian Al-Qur'dn apa saja yang mungkin dianggap
menarik. Dalam hal ini, tidak seorang pun dapat mendominasi sikap yang
demikian dan masih tetap dianggap sebagai Muslim. Oleh sebab itu, riwayat
mengenai diamnya Ubayy merupakan kepalsuan yangnyata.zl
Sekarang kita hendak melihat penyesuaian yang dilakukan oleh Ibn as-
$abb5gh. Banyak dari kalangan para Sahabat seperti Fdtimah, 'A'ishah, Ab[
Harairah, Ibn 'Abbds dan lbn Mas'fid meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad
# selalu membaca Al-Qur'6n dengan Malaikat Jibril tiap Ramadhan satu kali
dalam setahun, dan dua kali dalam tahun sebelum beliau wafat. Bahkan dalam
tahun terakhir, Ibn Mas'fld juga ikut serta. Dia juga membaca Kitab itu dua kali
bersama Nabi Muhammad$f;yangkemudian memujinya dengan ucapan laqad
absanta (bacaan Anda bagus). Berdasarkan kejadian itu pula Ibn 'Abbds
menganggap bacaan Ibn Mas'fid sebagai yang jelas dan tepat.22 Pujian tersebut
menunjukkan bahwa Al-Qur'6n terekam dalam ingatan yang penuh kepastian;
murid-muridnya yarrg cemerlang, seperti 'Alqamah, al-Aswad, Masrtiq, asSulami, Ab[ Wa'il, ash-Shaibdni, al-Hamaddni, dan Zirr, semuanya meriwayatkan Al-Qur'in yang mereka terima dari padanya berjumlah sebanyak
114 s[ra[r. Hanya salah satu murid Zirr, 'Agim, satu-satunya yang memberi
pernyataan konyol kendati ia mengajarkan seluruh isi kandungan Kitab Suci
atas wewenang Ibn Mas'rid.23
Salah satu karya Ibn Hajar, yaitu sebuah risalah ringkas mengenai l.radith
yang berjudtl Nuzhat an-Nazar, memberitahukan kita bahwa jika seorang
perawi yang tepercaya (katakanlah seorang ilmuwan bertahap B) membelakangi pendapat perawi lain yang lebih tinggi kedudukannya (yaitu ilmuwan bertahap A), ataupun bila terdapat ilmuwan lebih banyak (yang sama
derajatnya) mendukung satu versi cerita dari yang lain, maka penjelasan yang
dikemukakan oleh yang lebih rendah disebut shddh (nyleneh dan loyo). Dalam
berita di atas kita dihadapkan pada satu pernyataan laksana seorang atlet renang
yang coba-coba hendak melawan arus raksasa, yang menjadikan hal ini dapat
dipandang sebagai satu kebatilan.2a Ini tentunya berlandaskan pada metode
yang dipakai oleh para mubaddithfrn, yang walaupun Ibn Hajar mengutip
ketentuan-ketentuan itu, namun barangkali saat itu mental beliau dalam
keadaan tidak begitu prima atau, dalam hal ini, di mana seorang yang intelijen
pun boleh jadi mengalami hal yang sama. Mungkin ada pendapat yang
menyebut, guna mengangkat permasalahan shddh dan bd[il memerlukan dua
pernyataan silang, sementara apa yang kita hadapi adalah hanya berkaitan
dengan penghapusan sflrah ll3 dan ll4, tanpa ada oposisi. Alasannya sederhana, dalam suasana yang normal hanya ketidaknormalan yang biasanya
diangkat menjadi bahan cerita. Contohnya, darah yang mengucur keluar dari
urat kita berwarna merah adalah sesuatu yang biasa, tetapi darah berwarna biru
(sejenis kepiting) adalah sesuatu yang luar biasa dan akan mendapaf liputan
lebih banyak. Hal yang serupa, kita tidak akan mempersoalkan murid-murid
Ibn Mas'rid yang gagal memberitahukan kita apakah guru mereka meyakini
I 14 sflrah, karena itu sudah jadi masalah yang lumrah. Hanya mereka yang
percaya sedikit atau lebih, akan menjadi objek pemberitaan.
Komentar yang saya kemukakan terhadap Muqlraf Ibn Mas'[d dapat juga
diterapkan pada Ubayy bin Ka'b, atau siapa saja dalam masalah tersebut.Kqan S,ualtu Tulisan itu Dapat Diterima sebagai Bagian dai N-Qur'An?
Hammdd bin Salamah meriwayatkan bahwa Mushaf Ubayy memuat dua
srira[r lebih, yang disebut al-Hafad dan al-Khala'.2s Berita ini betul-betul palsu
karena terdapat cacat besar dalam jaringan mata rantai perawinya, karena jarak
waktu yang tak terhitung, sekurang-kurangnya, dua atau tiga generasi antara
kematian Ubayy (w. sekitar 30 H.) dan kegiatan ilmiah Hammdd (w. 167 H.).
Selain itu, kita juga mesti ingat bahwa catatan yang dibuat dalam artikel tidak
menjadi bagian dari artikel itu sendiri. Tetapi katakanlah, sekadar untuk adu
alasan dalam berdebat, kita menerima bahwa beberapa alinea lebih tertulis
dalarnMushaf Ubayy. Adakah alinea langsung dan otomatis meningkat sama
kedudukannya dengan Al-Qur'dn? Tentu saja tidak. Mushaf 'Uthm6ni terselesaikan, dan disebarluaskan melalui para guru yang mengajarkannya setelah
mendapat wewenang yang sesuai dan jadi ketentuan dalam menetapkan apakah
sesuatu teks itu Al-Qur'6n, bukan sekadar coret-coretan tak menentu dari
manuskrip ilegal.
l. Prinsip Menentukan Ayat sebagai Al-Qur'an
Tiga pedoman yang hendaknya terpenuhi sebelum cara sebuah bacaan
suatu ayat dapat diterima sebagai Al-Qur'dn:
- Qir6'it mesti tidak diriwayatkan hanya dari satu sumber yang memiliki
otoritas, melainkan melalui sejumlah riwayat besar (yang cukup untuk
melenyapkan kemungkinan adanya kesalahan yang masuk), yang juga
sampai kepada Nabi Muhammadffi yang dapat menjamin keaslian dan
kepastian bacaan.
- Teks bacaan mesti sama dengan apa yang terdapat dalam Mushaf
'Uthmdni.
- Cara pengucapan mesti senada dengan tata bahasa Arab yang benar.
Semua karya tulis yang memiliki otoritas dalam bidang qird'dt, seperti
Kitdb as-Sab'af fi al-Qird'dt oleh lbn Mujahid, pada umumnya menyebut
adanya pembaca tunggal di setiap pusat kegiatan ilmu Islam yang kemudian
diikuti oleh dua atau tiga orang murid. Daftar yang minim seperti itu tampaknya berseberangan dengan prinsip pertama. Bagaimana dapat menjelaskan
seorang ahli membaca Al-Qur'dn (qari) dan dua muridnya dari Basrah
misalnya, membuktikan bahwa qird'dt itu diriwayatkan melalui jalur riwayatyang besar? Untuk menjelaskan persoalan ini para pembaca hendaknya melihat
kembali topik "tjazah bacaan" pada bab sebelum ini.26 Prof. Robson dan Is(rdq
Khdn, yang menyajikan jalw riwayat Sunan lbn Mdjah melalui Ibn Qudimah,
hanya bisa mendapatkan beberapa nama saja, sementara dengan melacakijazah
bacaan kami temukan lebih dari 450 murid. Itu pun hanya dari satu manuskrip;
naskah-naskah tambahan lain yang juga dari jaringan mata rantai periwayatan
yang sama, dapat memberi angka yang lebih besar. Sama halnya dengan
menyebut dua atau tiga nama murid adalah semata-mata sebagai yang terwakili
dan dimaksudkan untuk menghemat waktu penyusunan dan juga bahan tulisan,
dan terserah pada para ilmuwan yang merasa berminat akan hal itu untuk
mengupas secara tuntas.
Ada perbedaan mendasar antara Al-Qur'dn dan Sunnah Nabi Muhammad
fi{ dulu hal penyampaian riwayat melalui otoritas tunggal. Satu-satunya
ilmuwan dan hafal satu [radith bisa jadi, ketika ia'mengajar melalui hafalannya,
merasa perlu mencari persamaan kata pengganti saat terlupa pada kata-kata
yang sebenarnya. Jika tak seorang pun yang meriwayatkan hadith itu, maka
ketidaktelitiannya akan berlalu secara mudah tanpa terditeksi. Bandingkan hal
itu dengan Al-Qur'an. Dalam tiga shalat jamaah, shalat Jumat, Tarawih, Idul
Fitri, dan Idul Adha, imam akan membaca dengan suara kuat dan mendapat
dukungan dari jamaah di belakangnya. Jika tidak ada anggota jamaah yang
menegur, berarti bacaannya mendapat restu orang banyak yang jumlahnya
ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu. Tetapi apabila ada teguran ketika
shalat, sedangkan imam tetap memaksakan bacaan yang menyalahi Mug[af
'Uthmdni, ia akan didongkrak secepatnya sebagai imam shalat. Tak akan
mungkin terdapat kekeliruan dalam qird'dt yang dapat lewat begitu saja, dan
semua yang melanggar batas-batas yang telah ditetapkan akan segera disingkirkan. Batas-batas yang ditetapkan dengan jelas seperti ini yang merupakan sumber penyelamat utama Al-Qur'6n .27
Mari kita periksa setiap naskah yang dikaitkan dengan Al-Qur'an dengan
berpijak pada prinsip-prinsip di atas. Tampak jelas prinsip yang pertama itutidak ada, karena naskah [dua srirah Ubayy itu] tidak memberi penjelasan
tentang yang meriwayatkan. Mengenai syarat kedua; apakah hal ini sejalan
dengan Mushaf 'Uthmdn? Adanya ketidakserasian sekecil apa pun dalam
masalah kerangka huruf hidup, dapat menyebabkan runtuhnya nilai kepercayaan.Ia mungkin bisa dipakai untuk yang lain, kecuali untuk menjadi bagian
dari Al-Qur'en. Itu merupakan kesepakatan kaum Muslimin semenjak empat
belas abad yang lalu.
Berbicara mengenai kerangka huruf mati, perlu kita sebut di sini masalah
huruf hidup (contohnya alif jika terletak di tengah s