Rabu, 08 Januari 2025

Sejarah text alquran 7

 






u dalam membuat dua belas kategori: yang tertinggi bergelar imdm

(pemimpin) dan yang terendah bergelar kadhdhab (pendusta). Penekanan pada

urutan derajat (ranking) para perawi ini memaksa mereka mendapatkan biodata

mereka, guna memasukkan pertumbuhan cabang ilmu baru, al-Iarh wa at￾ta'dil,yang menawarkan sejumlah besar pada perpustakaan mengenai biografi

perawi yang mencapai ribuan jilid.26

ii. Iaringan Riwayat yang Tak Terputus

Jika sikap amanah jadi kata kunci diterimanya suatu riwayat, maka

keberadaan jaringan yang tak terputus merupakan syarat kedua. Jaringan mata

rantai ini dalam ilmu hadith disebut lsndd. Menetapkan nilai setiap isnddpada

intinya akan rnelibatkan kajian biodata perawi yang tertera namanya (datam

contoh yang lalu, seperti A, B, dan C) di mana jika dinyatakan mulus dalam

testing moral dan kemantapan ilmu, berarti membuka peluang kesiapan dalam

menghakimi status isnad itu. Kita juga mesti yakin bahwa setiap perawi

mengambil pernyataan dari yang lain: jika C tidak secara langsung mengambil

dari B, atau B tidak ada kontak sama sekali dengan A, berarti jaringannya jelas

cacat. Sekalipun kita menemukan jaringan mata rantai itu tidak terputus, tidak

juga memberi jaminan analisis kita telah dianggap sempuma.

lii. Me'mberi Drkungan 

"1ro 

gs$qliknya

Langkah akhir adalah pemeriksaan silang menyeluruh terhadap isnid￾isnad lainnya. Katakanlah kita memiliki satu pasangan ilmuwan tepercaya, E

dan F, yang juga meriwayatkan dari A, seperti halnya dalam jaringan A-E-F'

Sekiranya mereka menyampaikan pernyataan mengenai A dan cocok dengan

pernyataan A-B-C, maka hal ini selanjutnya akan menguatkan permasalahan

yang ada yang kita istilahkan sebagai mutdba'ah. Tetapi apa jadinya jika kedua

pernyataan itu tidak setaraf? Jika E dan F ternyata fiengtngguliB dan C, hal ini

akan melemahkan laporan yang diberikan oleh B dan C; dan dalam hal ini

riwayat yang diberikan oleh A-B-C dalam ilmu hadith disebut syadh (nyeleneh

lagi lemah). Keberadaan jaringan mata rantai ke tiga dan ke empat yang

melengkapi laporan versi A-E-F akan membantu dan menggatkan argumentasi

dalam menepis A-B-C. Akan tetapi, jika perawi E dan F memiliki kemampuan

yang serupa dengan B dan C, nasib A akan dianggap sebagai mud@ib (me￾musingkan). Jika A-B-c menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan A-E￾F, tetapi sejalan dengan ratusan riwayat lain (yang bersumber selain A), maka

khabar berita (riwayat) A-E-F mesti dibuang ke wilayah pinggiran.

iv. Satu Ujian Masalah Isn5d yang Mengelinrkan

Cerita-cerita miring, atau yang bukan-bukan, kadang-kadang dapat juga

dipahami. Karena kekurangan ilmu mengenai sistem kritikan jaringan perawi

hadith, beberapa pakar (arang melibatkan pakar hadith yang masyhur)

membuat laporan bohong (palsu), dan berusaha membela atau menepis dengan

menguras banyak energi (tenaga). Sebagai contoh, al-Dhahabi mengutip lapor￾an al-A.masy, .'saya mendengar (sami'tu) Anas bin Melik [seorang sahabat

ternama] rnembaca ( )r, vr-lrbr.l,il,/,Ijjt &3U 0!). Ketika dikatakan,'Hai

Anas, yang betul adalah d1,' maka ia menjawab, 'll dan '+r",1 dua-duanya

sama." Al-Dhahabi menganggap jaringan mata rantai riwayat itu benar

adanya,z1 begitu juga 'Abduq $abur Shahin, bagaimana pun berusaha mem-

betulkan kejadian itu, mengaitkan sikap Anas pada masalah tujuh aln gzr

Namun menurut para pakar ahli kritik hadith al-A'mash tidak pernah belajar

sesuatu dari Anas, sebagaimana dibuktikan dalam ulasan berikut ini:

Anas bin Melik terlewati oleh saya pagi dan petang. Saya selalu berpikir,

"Saya tidak akan mau merengek-rengek ingin belajar dengan Anda

karena setelah berkhidmat dengan Nabi Muhammad ffi semasa hidupnya,

Anda mendekati al-Hajjnj minta jabatan, sehingga dia setuju mengangkat

Anda." Kini saya merasa hina gara-gara pernah meriwayatkan informasi

yang saya dapat dari para muridnya, danbukan langsung dari dia.2e

Kalaulah ia pernah mendengar suatu komentar dari Anas, tentunya ia

akan menyampaikan pada pihak lain atas wewenang atau kekuasaan Anas dan

tidak perlu mengadukan diri sendiri. Hanya saja, pemeriksaan yang teliti

terhadap riwayat hidupnya menyebabkan al-Mizzidan orang lain mempertegas

anggapan walaupun ia selalu melihat Anas, al-A'mash tidak pernah mendapat

ilmu sedikit pun dari padanya,3o sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa

peristiwa itu bisa saja terjadi karena pemalsuan yang disengaja atau semata￾mata kesalahan dari salah satu murid ar-A'mash.3l Guna menentukan ke￾sahihan akan hal ini atau peristiwa lainnya sampai pada sebuah keputusan

terpelajar (ilmiah), memerlukan peninjauan ketat cara mengkritik isndd.

5. AamaGenensi Pafrma

sebelum melangkah lebih jauh, barangkali ada baiknya kita jelaskan

definisi peristilahan generasi para perawi hadith yang digunakan oleh ilmuwan

Muslim.

' Generasi pertama, mereka yang pernah menemani Nabi Muhammad ffi

dan kenal dengan beliau secara pribadi akan disebut 'Sahabat,. Dalam

pandangan Mazhab Sunni, semua Sahabat adalah dianggap ,adl karenaAllah memuji mereka tanpa kecuali, sambil memberi jaminan akhlak

mereka dalam Al-Qur'an berulang kali.

. Generasi kedua, mereka yang pernah belajar melalui Sahabat disebut

sebagai tdbi'in atau 'Pengikut'. Pada umumnya mereka tergolong pada

generasi pertama Hijrah hingga seperempat pertama abad ke dua Hijrah,

dan riwayat [adith mereka dapat diterima selama dikenal sebagai 'orang

tepercaya'. Dalam hal ini tidak ada yang perlu diperiksa lagi karena

mereka melandaskan pernyataannya pada para Sahabat.

. Generasi ketiga, atbd'at-tdbi'in atau 'Penerus Pengikut', kebanyakan

berkelanjutan sampai pertengahan pertama abad kedua Hijrah. Riwayat

dari generasi ketiga ini dapat diterima jika disahkan melalui sumber￾sumber lain, kalau tidak, riwayat itu disebut sebagai gharlb (aneh).

. Terlepas dari reputasinya, pernyataan generasi ke empat akan dapat

tertahan kecuali setelah disahkan melalui jalur lain. Beberapa orang yang

terdapat dalam kelompok ini telah meriwayatkan hingga 200.000 hadith

yang hampir dua atau tiga (kalau tidak kurang) koleksi hadith mereka

tidak mendapat dukungan dari isnad-isndd lain. Akhirnya, seorang

perawi dari generasi ini tidak dapat disahkan secara bebas.32

Meskipun telah tercatat sejak kehidupan Nabi Muhammad W tat itu

bukan sampai pada generasi berikut, hanya dalam masa pertengahan kedua dari

abad pertama, l.radith-hadith itu mulai dikelompokkan menurut topik bahasan

dalam bentuk booklet. Di era abad kedua, sejarah juga menyaksikan ke￾munculan banyak artikel  hadith bertarafkan ensiklopedia, seperti Muwatta'

Malik, Muwatta' Shaibdni, Athar Ab[ Yrisuf, J6mi' Ibn Wahb, dan Kitab Ibn

Majishrin. Abad ketiga akhirnya merupakan demonstrasi lahirnya artikel -artikel 

besar, seperti $a!i[ al-Bukhdri dan Musnad Ibn Hanbal. Sketsa generasi perawi

hadith di atas memberi gambaran kasar mengenai penilaian isndd dan betapa

njlimetnya (kecil kemungkinan) seseorang pemalsu hadith dapat lolos se￾enaknya tanpa terdeteksi oleh pakar hebat yang telah membuat karya tulis

setaraf ensiklopedi.

6. Pemeliharaaa B*u dari Upaya Pemalst,en: Satu Sistem yang Unik

Guna memelihara keutuhan dari keterangan dan pemalsuan yang mung￾kin dilakukan oleh ilmuwan di masa depan, satu metode unik telah diterapkan

yang, hingga saat ini, tak ada yang mampu menyaingi dalam sejarah literatur.

Berdasarkan konsep yang sama seperti pengalihan riwayat hadith, menghendaki setiap ilmuwan yang menyampaikan koleksi hadith mesti menjalin

hubungan langsung dengan pihak yang ia sampaikan, karena pada intinya ia

sedang memberikan kesaksian tentang orang itu dalam bentuk tertulis. Mem￾baca sebuah artikel  tanpa pernah mendengar dari penulisnya (atau tanpa

membaca naskah artikel  di depan pengarang) akan menjadikan orang sebagai

penjahat kesalahan, culprit guilty, karena memberikan kesaksian bohong.

Menyadari dalam pikiran tentang hukum kesaksian, metode berikut

diakui sebagai cara yang benar dalam memperoleh hadith; masing-masing cara

ini memiliki derajat tersendiri, sebagian memerlukan hubungan yang lebih jauh

dari yang lain dan, akhirnya, mencapai kedudukan lebih hebat.

a) Samd'. Dengan cara ini seorang guru membaca di depan muridnya, yang

mencakup cabang bentuk berikut ini: bacaan lisan (hafalan), bacaan teks,

tanya jawab, dan diktean.

b) 'Ard.Dalamsistem ini seorang murid membaca teks di depan maha guru.

c) Mundwalah. Menyerahkan teks pada seseorang termasuk memberi izin

menyampaikan isi riwayat tanpa melalui cara bacaan.

d) KitAbah. Suatu bentuk korespondensi: guru mengirim hadith dalam

bentuk tertulis pada ilmuwan lain.

e) Wagiyyah. Mengamanahkan seseorang dengan artikel  [radith, kemudian

yang diberi amanah dapat disampaikan pada pihak lain atas wewenang

pemilik asli.

Selama tiga abad pertama, metode pertama dan ke dua sangat umum

dipakai, kemudian disusul dengan sistem mundwalah, kitdbah, dan

akhirnya wapiyyah. Periode selanjutnya menyaksikan munculnya tiga

kreasi lain;

0 ljdzah. Meriwayatkan sebuah hadith atau artikel  atas wewenang ilmuwan

yang memberi izin khusus yang diutarakan untuk tujuan ini tanpa

membacakan artikel  itu.

g) I'ldm. Memberi tahu seseorang mengenai artikel  tertentu dan isi

kandungannya. (Kebanyakan pakar hadith tidak mengakui sebagai cara

yang sah untuk meriwayatkan tradith).

h) Wijadah. Cara ini menyangkut penemuan teks (misalnya manuskrip

kuno) tanpa membacanya di depan pengarang atau mendapat izin untuk

meriwayatkannya. Dalam penggunaan metode ini sangat penting untuk

dinyatakan secara jelas bahwa artikel  itu telah ditemukan, dan juga untuk

menulis daftar isi kandungannya.

Masing-masing cara memiliki istilah tersendiri yang berfungsi untuk

menjelaskan bentuk penyampaian riwayat untuk para ilmuwan di masa yang

akan datang. Isi kandungan artikel -artikel  hadith sampai tingkatan tertentudirancang melalui pendekatan ini, karena nama perawi merupakan bagian dari

teks, dan setiap cacat negatif yang pada sifat seorang perawi itu akan berimbas

pada keutuhan dokumen.33 Seperti halnya tiap lradith yang memasukkan

jaringan perawi yang akan bermuara pada Nabi Muhammadffi ataru Sahabat,

begitu juga setiap artikel  memiliki jaringan riwayat akan berakhir pada

pengarang yang sejak semula menyusun artikel  itu. Urutan-urutan mata rantai ini

bisa jadi ditulis pada batang tubuh judul naskah, bab pendahuluan, kedua￾duanya, atau dapat juga sebagai perubahan kecil pada setiap [radith. Perhati￾kanlah contoh pada gambar 123.34

Beberapa baris pertama berbunyi sebagai berikut:35

Terjemahannya:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Muhammad bin BalU Ab[ Talhah telah membacakan kepada kami, me￾nyatakan bahwa 'Abdul-Mun'im bin Idris telah membacakan kepada

kami atas wewenang ayahnya, dari Ab[ Ilyds, yang meriwayatkan dari

Wahb bin Munabbih, di mana ia mengatakan, "Apabila delegasi mulai

masuk mendekati Nabi Muhammad W menyatakan hasrat memeluk

Islam, As'ad bin Zurdrah pergi menemui ayahnya Zwdrahbin As'ad..."

Di sini nama-nama perawi telah jadi tambahan pernanen pada pem_

bukaan teks. Bentuk umum seperti ini dapat juga dilihat pada sahihal-Bukhdri

dan sunan an-Nasd'i sebagai contoh kendati bukan satu-satunya. Karya-karya

tertentu melangkah lebih jauh memasukkan nama pengarang asli pada per￾mulaan setiap hadith, seperti Musannaf 'Abdur-Razzdq, Musannaf Ibn Abi

shaibah, dan (kebanyakan bagian) Sunan at-Tirmidhi. Bentuk variasi yang ke

tiga bahkan menjelaskan keseluruhan urutan mata rantai perawi artikel  pada

awal tiap-tiap hadith. Tampak jelas dengan habisnya beberapa generasi,

penyertaan seluruh jaringan mata rantai ini akan menjadi panjang, dan biasanya

hanya pengarang dan beberapa perawi yang menduduki urutan terdepan yang

disertakan. Sekarang hendak kita selidiki Muwatta' Mdlik bin Anas menurutresensi Suwaid bin Sa'id al-Hadathdni (w. 240 H.). Jaringan mata rantai

riwayat seperti tertera pada permulaan Muwatta' urutannya adalah: (l) Thebit

bin Bunddr al-Baqqdl, dari (2) '[Jmar bin lbrdhim az-Zuhr7, dari (3)

Muhammad bin Gharib, dari (4) Aimad bin Mrrhammad al-Washshd', dari (5)

Suwaid bin Sa'id al-Hadathdni, dari (6) Anas bin Melik, pengarang pertama.

Pada permulaan setiap hadith terdapat satu versi kependekan mata rantai

riwayat seperti ini:

M,rhammad telah membacakan kepada kami bahwa Ahmad meriwayat￾kan atas wewenang Suwaid, yang meriwayatkan dari Melik...36

Kelanjutan dari mata rantai di atas adalah isnid yang tetap untuk hadith

tersebut, yang puncaknya adalah inti teks hadith itu sendiri. Walaupun bentuk

seperti itu tidak secara seragam mendapat perhatian dalam semua manuskrip

yangada, namun nama-nama perawi selalu dimasukkan ke dalam teks.

r. Syarat-Syarat Pengguaan Bulu

Guna mengajar atau memanfaatkan sebuah teks, di antara syarat yang paling

ketat, seorang ilmuwan hendaknya berpegang hanya pada naskah yang nama￾nya tertulis dalam sertifikat bacaan. ljazah ini merupakan surat izin dan bukti

bahwa ia telah menghadiri kelas berkenaan di mana guru menyampaikan ma￾nuskrip tersebut.3T Dengan kebebasan yang diberikan untuk membuat salinan

artikel  gurunya atau menggunakan artikel  yang memiliki wewenang lebih tinggi

dengan jaringan mata rantai riwayat yang sama, ia dilarang secara ketat meng￾gunakan naskah-naskah orang lain. Anggaplah A adalah pengarang pertama,

lalu artikel nya meluas ke berbagai di kalangan murid-murid seperti di bawah ini:Walaupun semua naskah-naskah berasal dari A, kita temukan bahwa M

tidak berhak menggunakan naskah R atau N, atau H dan L. Sebaliknya ia mesti

membatasi diri hanya menggunakan naskah G, M atau A. Main coba-coba

hendak keluar dari batasan ini, berarti suatu penghinaan baginya. Selain itu,

setelah menyalin naskah untuk dirinya ia mesti meneliti teks asli serta me￾ngoreksi jika dirasa perlu dan sekiranya ia memutuskan untuk mengguna￾kannya tanpa merasa perlu merevisi secara cermat, ia harus menyatakan

dengan jelas, kalau tidak akan berisiko mencemarkan namanya.

ii. Keterangan Tambahan: Penambahan Materi dari Luar

Para murid yang mempunyai naskah pribadi bisa jadi sewaktu-waktu

menambah materi terhadap teks yang sudah ditetapkan guna memperjelas kata￾kata yang samar dengan menyajikan bukti baru yang tidak dimuat oleh

pengarang pertama, ataupun terhadap hal-hal yang dianggap mirip dengannya.

Karena bahan tambahan ini ditandai dengan isnid yang betul-betul berlainan,

atau paling kurang nama orang yang memasukkannya, hal ini tak akan merusak

teks sama sekali. Contoh yang paling nyata dapat dilihat pada salah satu karya

saya,38 di mana penyalin telah menambah dua alinea sebelum menyelesaikan

satu kalimat. Contoh lain adalah penyisipan dua alinea dalam al-Muhabbar

karya Abfi Sa'id,3e dan juga bahan tambahan yang diberikan oleh al-Firabri

dalam Sahih al-Bukhdfi,,ao yang mana dalam dua kasus itu isndd baru dapat

diketahui secara mudah.

Sangat berbeda dengan contoh yang terjadi di abad pertama dan kedua di

mana para penyalin Kristen mengubah teks{eks jika yakin bahwa mereka telah

diberi inspirasi,ar atau para penyalin Yahudi yang menyisipkan perubahan￾perubahan itu demi memperkuat doktrin agama mereka,42 penyisipan tidak

pernah diberi peluang dalam kerangka tradisi Islam; setiap komentar seorang

murid yang bersifat pribadi mesti memerlukan tanda tangan dan bahkan

mungkin dengan isn6d baru. Mematuhi peraturan-peraturan itu menjamin

bahwa tambahan keterangan tadi tidak membatalkan teks pertama (asli), karena

sumber-sumber bahan yang baru selalu tampak dengan jelas.Ketika meneliti sebuah manuskrip, yang penulisnya sudah lama me￾ninggal dunia, bagaimana hendak menetapkan bahwa isi kandungannya betul￾betul milikpengarang tersebut? Sebagaimana satu sistem yang jelas bahwa pe￾meriksaan mesti mengesahkan setiap hadith, demikian halnya berlaku terhadap

pada kompilasinya. Gambar 12.5 menunjukkan satu judul halaman sebuah

manuskrip yang ringkasan terjemahannya berbunyi sebagai berikut:Kitdb al-Ashribah [artikel  mengenai bebagai minuman] oleh Abri

'Abdilleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dibacakan kepada Abi al￾Qasim'AbdullSh bin Muhammad bin'Abdul-'Aziz al-Baghawi ibn bint

Ahmad bin Mani'.

[Halaman kedua:]

Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang. per￾mulaan Kitab al-Ashribah. Abu al-Qdsim 'Abdulldh bin Muhammad bin

'AbduI-'AzIz a[-Baghawi ibn bint Ahmad bin Mani,al-Baghdddi telah

dibacakan kepada kami di Baghdad, menyatakan bahwa Abfr ,Abdillilh

Ahmad bin Hanbal telahdibacakan kepadanya pada tahun 228 daiartikel nya...

Carayangbiasa dipakai dalam menetapkan kesahihan karya ini adalah:

a. Memeriksa riwayat hidup pengarang pertama (A[rmad bin Hanbal), yang

kebanyakan tanpa diragukan bersumber dari orang-orang yang hidup satu

zzmar. dengannya. Fokus pencarian kita tertumpu pada dua hal: pertama,

guna memastikan apakah Ibn Hanbal pernah menulis sebuah artikel  yang

berjudul Kitdb a1-Ashriba^h; kedua, menyusun daftar nama semua murid￾nya dan menentukan apakah Abri al-Q6sim ibn bint Ahmad bin Mani,

termasuk di antara mereka. Katakanlah ke dua-duanya ditemukan secara

positif, lalu kita meneruskan dengan:

b. Menganalisis riwayat hidup Abri al-Qdsim ibn bint Ahmad bin Mani,,

dengan tujuan dua haljuga. Pertama untuk menetapkan apakah ia seorang

yang tepercaya, selanjutnya menyusun daftar semua murid-muridnya.

c. Begitu pula seterusnya, kita memeriksa riwayat hidup tiap-tiap jaringan

mata rantai perawinya.

Apabila penelitian kita menyimpulkan bahwa A[rmad bin Hanbal pernah

menulis dengan judul tersebut, maka setiap jaringan mata rantai perawinya

adalah orang-orang yang tepercaya, dan menunjukkan mata rantai yang tidak

pernah putus, ketika itu baru kita memiliki wewenang menetapkan artikel 

karangannya. Biasanya, ada beberapa manuskrip yang tidak begitu jelas dan

kadang-kadang memusingkan; topik seperti itu di luar ruang lingkup dasar kata

pengantar ini. Namun bagi yang tertarik dengan hal itu, saya sarankan agar

menyimak artikel  siapa saja mengenai ilmu Mustalah al-Hadith.a3

7. SertifrkatBacaan

Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, para ilmuwan menghadapi ke￾terbatasan mengenai artikel  yang dapat dianggap sebagai sertifikat bacaan.

Dalam peluncuran artikel  hadith biasanya catatan daftar hadir selalu dipelihara;

ditulis oleh guru atau salah seorang ilmuwan terkenal yang mencatat secara

detail mengenai seseorang yang pernah mendengar bacaan keseluruhan isi

artikel , yang hanya mengikuti sebagian, bagian yang mana yang tertinggal, pria,

wanita, dan anak-anak (dan juga pembantu rumah baik pria mau pun wanita)

yang turut serta, tanggal, lokasi tempat bacaan itu. Siapa yang hadir di bawah

usia lima tahun, terdaftar lengkap dengan kelompok usia dan diberi tanda atau

kata haSar (telah hadir); jika lebih dari lima tahun maka ia disebut sebagai

murid. Sebuah tanda tangan pada bagian belakang artikel  itu biasanya menandai

berakhirnya sertifikat bacaan, menandai tidak adanya tambahan yang boleh

dibuat sesudahnya.s Bagi para muhaddithfin ijazah ini disebut tibaq yait:u

sejenis surat izin eksklusif bagi yang namanya terdaftar boleh membaca

kembali, mengajar, menyalin, atau mengutip dari artikel  itu.

Dalam manuskrip tertulis tahun276 H. (Gambar 12.6) ijazah bacaan ini

memuat aneka ragam informasi; perhatikan bahwa mereka yang hadir telah

menjadi tambahan tetap judul artikel  tersendiri.


Dari sertifikat itu kita dapat menyerap beberapa hal sebagai berikut:

Guru

Judul artikel 

Peserta

Kota

Tanggal

Kata Turunan

Pengarang Asal

Ab[ Is[6q Ibrdhim bin Mrisd

Kitdb ap-Samt

'Ali bin Yalryd

'Abdulldh bin Yflsuf

Muhammad bin Ism6'il

Sulaimdn bin al-Hasan

Nagr, bekas budak'Abdulldh

AsbSl bin Ja'far

Lakhm, bekas budak Silih

Hasan bin Miskin bin Shu'bah

Ahmad bin Is[r6q

Hdtim bin Ya'qrib

'Abdul-'Aziz bin Mtrhammad

'Ali bin Maslamah

Mu[rammad bin Mutayyib

al-Hasan bin Mulrammad bin $dli[r

Asna

Rabiul Awwal276H.

"Saya telah menyalin dua jilid ini dari artikel  Abri ts[rdq

Ibrdhim bin M[s5."a5

['Abdulldh bin Wahb]

artikel  ini bermula:

Ini adalah Kitdb as-Samf, bagian dai Jdmi'Ibn Wahb. Dengan Nama

Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. [Bab ini mengenai]

berkatalah saat ada hal yang tidak boleh dikatakan, dan ketika tidak baik

[untuk berkata]. Ab[ Is[rdq memberitahu kami bahwa Harmalah bin

Yahye menyatakan bahwa 'Abdullih bin Wahb mengatakan kepada￾nya..Pentingnya Catatan Bacaan

Dengan maksud hendak memelihara kompilasi [radith dari pemalsuan,

ijazah-ijazah menyediakan pada para ilmuwan masa kini sebagai lautan infor.

masi yang amat berharga. Jika seorang dapat melacak menyebarnya sebuah artikel 

melalui catatan-catatan ini akan jauh lebih baik dari sekadar berpijak pada data

bibliografi, seperti yang akan saya tunjukkan pada beberapb halaman berikut ini.

a) Mingana Robson, dan Periwayatan Kumpulan Hadith-Hadith

Rev. Mingana telah menerbitkan sebuah karya tulis mengenai pengem￾bangan Satif al-Bukhdri, iementara James Robson menulis mengenai trans￾misi Satril Muslim, Sunan Ab[ Ddwud, Sunan at-Tirmidhi, Sunan an-Nas6'i,

dan Sunan Ibn Majah. Walaupun kedua karya itu dipadati banyak miskonsepsi

yang sangat memprihatinkan, saya lebih baik minggir untuk sementara tanpa

komentar cukup menyalin diagram yang dibuat Robson tentang sistetn trans￾misi yang dipakai oleh Sunan Ibn Mdjah.aTDiagram yang lebih meyakinkan telah dibuat oleh Ishiq Kh6n dalam karya￾nya tentang al-usfrl as-sittah wa Ruwdtuha-,48 meskipun pada dasarnya ia telah

gagal dalam menyampaikan ruang transmisi secara utuh. Di bawah ini kita

hanya sajikan diagram mengenai Ibn Quddmah (aslinya dalam bahasa Arab)Setelah digabung bersama, kedua skema tersebut memberi gambaran bahwa

kurang dari satu lusin murid yang meriwayatkan Sunan Ibn Majah melalui jalur

Ibn Quddmah sebagai ilmuwan kenamaan. Bentuk persepsi dengan memakai

cara yang kikir ini, saya percaya dapat dipatahkan sekiranya kita mau me￾nyelidiki manuskrip at-Taimuriah, No. 522 yang terdapat di Perpustakaan Umum

Mesir, Kairo.

b) Ijazah Bacaan dalam S 'nan Ibn Mdjah

Ibn Quddmah al-Maqdisi (w. 620 H.), pengarang salah satu artikel  ensi￾klopedia fikih Islam yang paling masyhur, al-Mughni (dicetak ke dalam empat

belas jilid), bertindak sebagai penulis manuskrip yang amat berharga. Dengan

membagi ke dalam tujuh belas bagian, ia telah meletakkan lembaran kosong pada akhir tiap bagian guna memberi peluang yang cukup untuk ijazah

bacaan,4e yang ia salin dengan singkatan pada tiap penutupan sambil

menyatakan bahwa ijazah penuh telah ditulis tangan oleh ilmuan terkenal

lainnya, Ibn Jeriq (w.592 H.) Ijazah bagian keenam, misalnya, menunjukkan

bahwa bagian dibacakan oleh 'Abdulldh bin A[rmad bin Ahmad bin Ahmad bin

al-Khashshdb, kepada Syaikh Abri Zur'ah T6hir bin M,rhammad bin Tdhir al￾Maqdisi. Mereka yang hadir termasuk 'AbdullSh bin 'Ali bin M. M. al-Farri',

Duldf, Abfl Hurairah, Ibn Quddmah, 'Abdul-Ghani, Ahmad bin Tdriq, dll.

Tertanggal: Selasa, l9 Rabiul Akhir, 561 H.

Dengan penyalinan ini, walau menggunakan singkatan, tbn Quddmah al￾Maqdisi telah menetapkan dua hal penting:

l) Ia mempunyai otoritas untuk memakai manuskrip ini demi tujuan me￾ngajar dan mengutipnya, karena ia mendapatkannya melalui jalan yang

betul.

2) Naskah Ibn Mdjah ini adalah merupakan salinan asal yang sama yang di￾bacakan kepada gurunya, jadi ia tidak melanggar peraturan periwayatan.

Di bawah ini saya telah sediakan ringkasan catatan bagian keenam.

Karena penjilidan manuskrip dalam kondisi yang kurang memuaskan, dan

beberapa halaman berserakan dan tidak teratur untuk waktu tertentu, ini berarti

beberapa halamannya bisa jadi salah letak dan bahkan mungkin hilang. Saya

telah meneliti bahwa tidak ada lembaran dari bagian yang lain yang menyeruak

ke dalam bagian ini, karena dalam halaman-halaman tersebut tercatat kelom￾pok mana pada catatan bacaan itu.Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak ll5 murid

mengkaji bagian ke enam secara langsung dari Ibn Quddmah; namun yang

belajar dari murid-muridnya berjumlah sekitar 450 orang. Dari sekian banyak

manuskrip Sunan lbn Majah yang beredar ketika itu, kemungkinan besar

terdapat manuskrip lain yang juga memasukkan nama Ibn Qud6mah dalam

ijazah bacaan mereka. Manuskrip-manuskrip itu boleh jadi belum ditemukan

lagi ataupun mungkin tidak akan ditemukan sama sekali. lnformasi mengenai

jurnlah tulisan yang banyak dalam satu manuskrip ini menunjukkan bahwa

seluruh diagram jaringan mata rantai riwayat yang dibuat hingga kini, baik

untuk Ibn Majah atau karya-karya yarrg lain, masih sangat sedikit, dan kita

tidak dapat mengatakan sebagai hal yang belum sempruna, jika tak ingin

mempermalukan diri kita sendiri.

8. Penean h Metodologi lla&fu pafu Cafury llmu Lainnya

Begitu ampuh metode ini, dan mampu tahan uji sehingga begitu cepat

melintasi batasan literatur lradith dan guna memasukkan semua karya ilmiah:

- Beberapa contoh di bidang ilmu tafsir, bhx Tafsir'Abdur-Razzdq (w.

2l I H.) dan Suffan ath-Thauri (w. 16l. H.)

- Dalam bidang sejarah, lihat Tdikh Khalifah bin Khayy6! (w. 240 H.)

- Dalam bidang hukum, lihat Muwalla' ImimMdlik (w. 179 H.)

- Dalam karya sastra dan cerita dongeng, lihat a(-Baydn wa at-Tabyin olehal-Jahiz (150-255 H.) dan al-Aghdni oleh al-Asfahdni (w. 356 H.). Karya

yang disebut terakhir ini terdiri dari dua puluh jilid yang menceritakan

tentang kisah para komposer, penyair, dan artis lagu (pria dan wanita),

juga anekdot-anekdot tak vulgar penghiburkan hati. Yang menarik

adalah, bahkan dalam cerita-cerita yang menggelitik, kita dapatkan hal itu

disertai juga dengan isndd yang lengkap. Apabila pengarang mengambil

bahan dari artikel  yang tidak punya surat izin, ia akan menyatakan, "Saya

mengopi dari artikel  ini dan itu."

9. Iffied dan fiaasmM /J-Qur' dn

Semua kajian ini dapat memunculkan sebuah pertanyaan penting. Apa￾bila metode yang ketat disiplin berfungsi sebagai jalan kerja harian dalam

pengalihan informasi, segalanya dari mulai sunnah sampai kisah cinta para

penyanyi sekali pun, mengapa tidak diterapkan juga untuk Al-eur'dn?

Dalam memberi jawaban, ia menuntut kita mengingat kembali sifat Kitab

Suci ini. Karena ia merupakan Kalam Allah dan sangat penting dalam setiap

shalat, maka penggunaannya selalu lebih luas dari sunnah. Keperluan dalam

penggunaan jaringan mata rantai dan ijazah bacaan bagi setiap orang yang

ingin mempelajari Al-Qur'6n, tentunya akan lebih. Seseorang yang ingin mem￾pelajari seni baca Al-Qur'an secara profesional, hendaknya ia melatih suara

dan makharij (cara mengeluarkan huru| yang digunakan oleh para juru baca

kenamaan pemegang ijazah dengan urut-urutan mata rantai yang akhirnya

sampai pada Nabi Muhammad ffi. aUn al-'Al6' al-Hamadhdni al-,Attdr (4gg-

569 H./1095-1173 M.), seorang ilmuwan yang terkenal, membuat kompilasi

biografi para juru baca Al-Qur'dn yang diberi judul al-Infis dr fi Ma'ifat eurrd,

al-Mudun wa al-Amsdr. artikel  yang terdiri dari dua puluh jilid ini, disayangkan

telah musnah sejak dulu. Namun demikian, kita masih dapat mengutip

beberapa butir kandungan informasi melalui para ilmuwan yang menulis

tentang hal itu; misalnya kita dapat melihat daftar guru-guru pengarang dan

juga guru-guru mereka secara lengkap, dalam satu jalur yang pada akhirnya

bertemu atau sampai pada Nabi Muhammad ffi, yang jumlah halaman bermula

dari 7 hingga I 62 par(artikel  tersebut.5 I Semuanya merupakan para juru baca Al￾Qur'6n yung .d(p telatih. Jika kita ingin memperpanjang skema yang ada

pada daftar itu dengan memasukkan yang nonprofesional akan menjadikan

kerja itu sia-sia. Bahkan kecepatan penyebaran Al-Qur'dn itu sendiri sangat

susah untuk mengukurnya. Guna menenangkan rasa ingin tahu tentang jumlah murid yang belajar kitab ini dari satu halaqah di kota Damaskus, Abrl ad￾Dardd' (w. sekitar 35 H.1655 M.) meminta Muslim bin Mishkdm menghitung

untuknya: hasilnya melebihi 1600 orang. Para murid yang menghadiri

pengajian sistem melingkar (halaqah) Abu ad-Dardd' secara bergiliran setelah

shalat subuh, pertama-tama mereka mendengarkan bacaan yang diikuti oleh

murid-muridnya, dan juga melatih sendiri-sendiri.s2

Dengan menerima keterlibatan dua metode yang berbeda dalam

penyebaran Al-Qur'dn versus Sunnah, masih terdapat beberapa persamaan

mengenai transmisi kedua:

l) Ilmu pengetahuan menghendaki hubungan langsung, dan berpijak se￾penuhnya pada artikel  sangat tidak dibenarkan Semata-mata memiliki

sebuah Mushaf, tidak akan dapat menggantikan fungsi kemestian belajar

membaca dari seorang guru dengan ilmu yang memadai.

2) Standar moralitas yang ketat diperlukan bagi semua guru. Jika seorang

sahabat dekat meragukan kebiasaan akhlaknya, maka tak akan ada siapa

pun yang hendak berguru kepadanya.

3) Melukis diagram tentang transmisi dengan data bibliografi semata, tid4k

dapat memberi gambaran sepenuhnya mengenai besamya ukuran subjek

yang dikaji. Untuk membuat outline pengembangan Al-Qur'dn, seperti

telah kita lakukan pada bagian keenam manuskrip Sunan lbn Majah,

mengharuskan pencatatan bagi setiap Muslim yang pernah menginjakkan

kaki di atas bumi sejak permulaan Islam hingga saat ini.

10. Kesimpulan

Kembali kepada guru yang diakui, penelitian riwayat hidup dilakukan

guna menyingkap akhlak pribadi seseorang, legitimasi yang dibangun melalui

sistem ilazahbacaan, dan berbagai segi lain dari metode ini, disatukan untuk

membuat dinding penghalang terhadap upaya pemalsuan artikel -artikel  tentang

Sunnah. Dengan memberi pengecualian terhadap para juru baca Al-Qur'dn

prgfesional, satu bidang yang tidak mengikuti sistem isndd yang ketat adalah

transmisi Al-Qur'dn, karena-yang satu ini, mustahil akan melahirkan penyebab

yang dapat merusak teks. Kata-katanya tetap sama seperti yang dibaca di setiap

masjid, sekolah, rumah, dan pasar di seluruh penjuru dunia Islam yang me￾rupakan pelindung dari kerusakan yang ampuh dibanding segala sistem yang

mungkin diciptakan oleh manusia.ApA YAIIG DISEBUT MU$HAF IBN N[AS'frO OAX

TI.JDI.JIIAN RAGAI\{ BACAA}.I YA}.[G ADA DI DALAI\d}.TYA

Seperti dikatakan sebelumnya, Arthur Jeffery telah meneliti 170 jilid

artikel  dalam mengumpulkan daftar ragam bacaan yang menghabiskan sebanyak

sekitar 300 halaman dalam bentuk cetakan, memuat apa yarrg disebut mug[af

milik sekitar tiga puluh orang ilmuwan. Dari jumlah ini ia mencadangkan 88

halaman guna mengupas ragam bacaan yang, menurutnya, bermula dari

Muqlraf tbn Mas'[d, sedang 65 halaman yang lain dari Mushaf Ubayy. Sedang

selebihnya (140 halaman) khusus membahas dua puluh delapan ilmuwan yang

lain. Adanya ragam bacaan dengan urutan tinggi yang ditudingkan terhadap Ibn

Mas'fld secara tidak wajar, membuat Mug[raf itu menarik untuk diteliti dengan

lebih mendalam; beberapa anggapan Jeffery mengenai mushaf itu sebagai

berikut.

- Berbeda dengan Mug[raf Uthmani dari sisi susunan sflrah,

- Mengalami perbedaan teks,

- Dan tidak memasukkan tiga sfrraf

Ia melempar semua tuduhan walau tak ada seorang manusi4 termasuk

sumber-sumbernya, yang pernah menyaksikan "Muplraf' tersebut dengan

semua ragam bacaan yang ia-katakan. Pada hakikatnya, tidak sahr pun referensi

yang dipakai menyebut keberadaan "Muglraf Ibn Mas'tid"; sebaliknya mereka

menggunakan perkataan qata'a (membaca), dalam konteks bacaan "[bn

Mas'td terhadap ayat tertentu". Jika kita lihat secara sepintas terhadap sumber

itu, maka akan dapat memunculkan dua bantahan secara spontan. Pertama,

karena mereka tidak pernah menyatakan bahwa Ibn Mas'id membaca dari

naskah tertulis, maka kita dengan mudah menganggap bahwa ia membaca

melalui hafalannya, dan bagaimana mungkin dapat kita menyimpulkan bahwa

bacaan yang salah itu bukan disebabkan oleh ingatan yang meleset? Kedua,

(hal ini pernah saya sampaikan seb€lumnya), kebanyakan referensi Jeffery

sama sekali tidak memiliki isndd yang menyulitkan untuk dapat diterima

karena sumber itu tidak menawarkan sesuatu kecuali fitnah.

Membandingkan sebuah Mupfaf yang dikaitkandengan ilmuwan tertentu

dengan Muphaf 'Uthmeni akan tak membawa faedah, kecuali dapat

nunjukkan bahwa keduanya memiliki status yang sama, membuktikan

benaran yang pertama dengan keyakinan yang kita miliki. Isi kandungan se￾buah Mug[raf, sama seperti [radith atau qir6'at, yang hanya dapat diriwayatkan

melalui carayang ditentukan oleh para ilmuwan:

Sahih dengan keyakinan sepenuhnya, atau

2) Meragukan, atau

3) Sama sekali palsu (baik karena kesalahan disengaja ataupun tidak di￾sengaja).

Katakanlah kebanyakan para murid Ibn Mas'[d (seperti al-Aswad, Masrfiq,

ash-Shaib6ni, Ab[ We'il, al-Hamaddni, 'Alqamah,Zirr, dan lainnya) melapor￾kan satu pernyataan secara sepakat, maka jika dikaitkan dengan lbn Mas,fid

akan dianggap sah dan diterima. Jika sebagian besar dapat menyepakati,

sementara satu atau dua orang murid yang terkenal meriwayatkan sesuatu yang

berlainan, maka anggapan yang minoritas ini disebut "meragukan". Jika yang

minoritas terdiri dari para murid yang bernilai pas-pasan serta tak dikenal,

tetapi pernyataan mereka menyalahi kesepakatan para murid yang ngetop,

maka akan dimasukkan ke dalam kelompok ke tiga yang benar-benar palsu.

Guna menyatukan manuskrip, "kesamaan status" menjadi konsep yang

sangat penting. Jika kita temukan dokumen tulisan tangan pengarang pertama,

kedudukannya seciua ilmiah dari naskah salinan yang dimiliki oleh para murid

yang terkenal (apa lagi murid bayangan) akan secara otomatis hilang nilainya.

Melakukan sebaliknya, atau menyamakan yang asli dengan duplikat dianggap

sangat tidak ilmiah.l Dengan memahami masalah ini, marilah kita hadapi

tuduhan-tuduhan Jeffery.

l. ggsunen Mugbailbn Mas,dd

Tak ada satu dari mereka yang hidup sezaman dengan Ibn Mas,iid

menyebut Mushaf yang dimilikinya memuat susunan sflrah yang berlainan, isu

itu muncul ke permukaan setelah beliau wafat. An-Nadim mengutip al-Fadl bin

ShddhSn, "Saya melihat susunan sfirah dalam Mushaf Ibn Mas'rid sebagai

berikut: al-Baqarah, an-Nisd', '4fi 'Imrdn...[yaitu, tanpa al-Fdtil.tah1."z g"-

terusnya melalui komentar, an-Nadim menyebut bahwa secara pribadi, ia

pernah melihat berbagai Mushaf yang dikaitkan kepada Ibn Mas'[d, akan

tetapi ia tidak pernah melihat dua naskah yang mirip satu sama lain, ditambah

lagi ia juga menemukan satu naskah di abad kedua Hijrah yang memuat srirah

al-Fdtihah. Karena al-Fadl bin Shddhan terhitung rnemiliki wewenang keilmu￾an yang cukup terpandang dalam bidang ini, an-Nadim memutuskan lebih baik

mengutip daripada mengutamakan observasi sendiri.3 Komentar an-Nadimmembuktikan bahwa mereka yang menganggap adanya kelainan pada Mushaf

Ibn Mas'iid tidak dapat menyatakan secara pasti susunan siirah yang sebenar￾nya, walau pada tahapan keyakinan yang paling minim.

Terdapat jumlah signifikan dari murid-murid yang terkenal yang belajar

Shari'ah (hukum Islam dan fiqih) di bawah bimbingan Ibn Mas'fld dan

meriwayatkan Al-Qur'dn darinya. Mengenai Mushafnya, kita menemukan dua

riwayat silang: yang pertama menyebutkan bahwa susunan strah berlainan

dengan yang kita miliki, sementara yang lain mengatakan sama. Yang pertama

gagal mencapai kesepakatan mengenai urutan strah, dan ternyata riwayat ke

dua jauh lebih meyakinkan. Tentunya versi yang lebih konkret akan lebih

menarik perhatian kita. Al-Qur'dn memperjelas apa yang pernah ia lihat

tentang Mushaf Ibn Mas'id, tlbayy, danZaidbin Thdbit, dan melihatnya tidak

terdapat perbedaan.a

Melalui kesepakatan para qari profesional, mereka mengikuti nada

bacaan salah satu dari tujuh qari yarrg memiliki urutan teratas: misalnya

'Uthmdn, 'AlT,Zaidbin Th6bit, Ubayy, Abrl M[sd al-Ash'ari, Abr] ad-Dardd',

dan Ibn Mas'td. Jaringan mata rantai riwayat bacaan mereka langsung sampai

pada Nabi Muhammad W, dunsusunan srirah pada tiap-tiap bacaan persis sama

dengan Al-Qur'dn yang ada sekarang. Kita juga mesti ingat, kalaupun kita

memberi penilaian pada riwayat yang sumbang, perbedaan susunan sflralr tidak

akan berpengaruh pada isi kandungan Al-Qur'6n .5

Karena setelah menghafal sebagian besar dari Al-Qur'5n secara langsung

dari Nabi Muhammad, Ibn Mas'fid ternyata sangat kritis dan bahkan pernah

berang saat tidak diikutsertakan dalam kepanitiaan penyiapan Mug[raf

'Uthmdni, dengan melempar kecaman pedas yang membuat para Sahabat

merasa gerah. Kemudian saat kemarahan mereda, bisa jadi juga ia telah me￾nyatakan penyesalan atas komentarnya yang tergesa-gesa, dan lalu men)rusun

sflrah-siirah dalam Mushaf pribadinya mengikuti urutan Mushaf 'Uthmdni.

Barangkali inilah pemicu munculnya dua riwayat yryg berseberangan, urut￾annya sama, namun berbeda dengan milik 'Uthmdn, kendati yang tahu persis

penyebabnya hanya Allah swt.. Penyimpangan yang mungkin terjadi pada

kebanyakan "Musllaf Ibn Mas'[d" yang muncul setelah wafatnya, di mana satu

sama lain tidak sama, menunjukkan bahwa seluruh Mushaf yang dikaitkan

kepadanya dianggap satu kekeliruan, dan para ilmuwan yang melakukan hal itu

tampaknya juga lalai dalam meneliti sumber-sumber yang ada. Sayangnya,

para peirjual barang-barang kuno itu, lebih suka melihat dari sisi keuntungan,garu-gara mementingkan kepingan fi.1/us perak, berani membuat taruhan

menambah Mus.haf palsu Ibn Mas'rid atau Ubayy ke atas barang dagangan

mereka.6

2. Teks yaag BetMa dengan Mu$baf Kib

Di atas, tadi sudah saya sebut perlunya kepastian tentang Muqhaf lbn

Mas'iid. Ketika meneliti berbagai ragam bacaan, Abu Hayyan an-Na[rawi

menernukan kebanyakan riwayat dikaitkan dengan lbn Mas'fid, mengambil

sumber dari kelompok Syiah. Sementara para ilmuwan Sunni di sisi lain

menyatakan bahwa bacaan Ibn Mas'fld senada dengan bacaan seluruh umat

Islam.T Oleh karena itu, pengaruh dari sumber itu tidak dapat mengubah ke￾yakinan dan pengetahuan kita. Pada halaman 57,73 Ki6b al-Masalif (yang

disunting oleh Jeffery), dalam bab "Musbaf 'AbdulHh bin Mas'[d," kita

mendapat koleksi ragam bacaan yang panjang itu, semuanya bersumber dari al￾A'mash (w. 148 H.). Al-A'rnash bukan saja tidak memberi referensi untuk hal

itu-dan yang lebih mengejutkan, kesukaannya melakukan tadlis (menggelap￾kan sumber informasi)-ia juga dianggap memiliki kecenderungan terhadap

Syiah:8 Banyak contoh yang dapat msnguatkan kesimpulan Ab[ HayySn

mengenai hubungan Syiatr itu. Dalam artikel nya, Jeffery mengaitkan bacaan

berikut terhadap Ubayy dan lbn Mas'rid (walaupun tanpa referensi):e

"Dan mereka yang paling dulu percaya terhadap Nabi Muhammad,

alaihis salam, adalah 'AlI dan keturunannya yang Allah telah pilih dari

kalangan para Sahabat dan dijadikannya rnereka sebagai pemimpin atas

yang lain. Mereka itulah orang-orang yang menang dari yang akan

mewarisi surga Firdaus, mereka kekal selama-lamanya."

Sementara yang disebut dalam Al-Qur'6n adalah 6rlut gr.,Ur

i1;tteUrl ("Dan orang-orang yang paling dahulu beiman, merekalah yang

paling dulu [masuk surga]. Mereka itulah orang yang didekatkan [kepada

AllahJ).to Penghormatan yang berlebihan pada keturunan 'Ali, tanpa

diragukan, menyimpan perasaan membela Syiah. t I

Melibatkan diri dalam penelitian, memerlukan dasar pijakan yang kuat.

Namun dalam hal ini, kita menemukan mereka tenggelam dalam arus kabar

angin yang hampir sama sekali tidak punya jaringan mata rantai transmisi, dan

gagal dalam menyajikan pendapat logis mengenai apa yang dikatakan sebagai

'Mughaf Ibn Mas'frd' itu. Dalam keadaan seperti ini, pendekatan dan pene￾muan Jeffery, seperti yang dapat kita lihat, pada intinya sangat naif.

3. Tiga Sfira$ yang Dihilangkan

Srirah pertama dan dua sura[r yang terakhir (Sfirah al-Fetihah, al-Falaq

dan an-Nas), menurut beberapa riwayat, tidak terdapat dalam Mug[raf lbn

Mas'rid.r2 Tampaknya seluruh masalah yang ada sangat meragukan. Jeffery

mengawali tulisannya dengan melempar tudingan ragam bacaan dari Sfirah al￾Fetihah: arshidnd dan bukan ihdind, dan juga man, bukan alladhina.t3 Di mana

dia berkilah bahwa surah ini tidak pernah ada, jadi dari mana dia mendapat

ragam bacaan ini? Para pembaca tentu masih ingat komentar an-Nadim se￾belum ini bahwa ia pernah menemukan sebuah Muglraf yang dikaitkan dengan

Ibn Mas'id yang memuat sflralr al-Fitihah. Ingat bahwa s[ra[ al-Fati[rah itu tak

perlu dipertanyakan lagi, merupakan stralr yang paling sering dibaca dalam Al￾Qur'dn, danjuga bagian yang tidak terpisahkan dari setiap rakaat dalam shalat.

Dalam shalat berjamaah, sflrah itu menggema dari tiap menara masjid sebanyak

enam kali dalam sehari, dan delapan kali pada tiap hari Jumat. Oleh sebab itu,

tudingan adanya ragam bacaan al-Fatibah tidak perlu dianggap serius, dan

secara logika bacaan sura[r ini diperdengarkan pada telinga setiap Muslim

bermula sejak zaman Nabi Muhamm ad W.r4

Seorang yang cenderung ingin menyalin beberapa s[rah tertentu, kurang

begitu suka dengan yang lain, ia bebas melakukannya, bahkan membuat

tambahan pada sisi halaman juga dibenarkan selama hal itu dipisahkan dari

Kitab Suci. Kejadian seperti itu tidak bisa dipakai untuk berkilah menentang

keutuhan Al-Qur'6n. Mq[raf 'Uthmdni yang memuat Kalam Allah yang tidak

pernah ternodai dan dibagi ke dalam l14 srirah, sudahjadi kepercayaan yang

tak mungkin terusik bagi kaum Muslimin; siapa yang mengelak menerima

pandangan ini, ia akan jadi buangan. Kalaulah Ibn Mas'fid menolak tiga s0ralr

ini, maka nasibnya juga sama.

Al-Baqilldni sampai pada argumentasi yang menyeluruh dan meyakinkan

dalam menafikan laporan miring seperti tersebut di atas. Ia menyatakan bahwa

siapa yang menolak srirah tertentu yang merupakan bagian dari Al-Qur'6n,

maka ia dianggap murtad atau fasik. Jadi salah satu sifat ini akan terkena pada

Ibn Mas'id kalau riwayat itu benar adanya. Dalam banyak hadith, Nabi

Muhammad ffi memuji kesalehannya dan tidak mungkin berbuat macam￾macam. Orang-orang yang hidup sezaman dengan lbn Mas'fld juga ber￾kewajiban, kalau mereka melihat sesuatu yang mencemarkan kepercayaannya,

mengungkapkannya sebagai penyeleweng atau murtad, jika tidak, berarti

mereka mencemarkan diri sendiri. Namun kenyataannya, mereka yang hidup

sezaman dengannya sepakat dalam memuji keilmuan yang dimiliki tanpa satu

orang pun yang berseberangan. Dalam pandangan al-Bdqilldni, keadaan itu

hanya mempunyai dua implikasi: kemungkinan lbn Mas'rid tidak pernah

menolak status sebenarnya mengenai siirah itu, atau para ilmuwan yang

mengenalnya kurang tepat dalam menghadapi fitnah yang semestinya perlu

diganyang ketika itu. r5

r. Analisis Isi Kandungan Muqhaf Ibn Mas'tid

Asal usul munculnya penghapusan siirah-siirah ini, urutannya dapat di￾buat sebagai berikut; dalam hal ini jaringan mata rantai transmisi mendahului

setiap riwayat.

- 'Aqim-Zirr (salah seorang murid Ibn Mas'[d)-Ibn Mas'[d: riwayat mem￾buat tudingan bahwa ia tidak menuliskan dua srirah (no. ll3 dan ll4)dalam Muqhafnya.16

Al-A'mash-Ab[ Is[raq-'Abdur-Ra[rmdn bin Yazrd: Ibn Mas'fld meng￾hapus srira[r Mu'awwidhatain (stxa\ I 13 and I 14) dari Mughafnya dan

mengatakan bahwa keduanya bukan bagian dari Al-Qur'6n .17

Ibn 'Uyaynah-'Abdah dan 'Agim-Zirr: "Saya berkata pada Ubayy, 'Sau￾daramu menghapus surah I 13 dan I 14 dari Muq[rafnya' , yang mana ia

tidak menolaknya. Ketika ditanya apakah yang dimaksudkan itu adalah

Ibn Mas'id, Ibn 'Uyaynah menjawab dengan nada pasti dan menambah

bahwa kedua srirah itu tidak ada dalam Mql.rafnya karena ia menganggap

sebagai doa perlindungan Ilahi yang digunakan oleh Nabi Muhammad $[

untuk cucunya al-Hasan dan al-Husain. Ibn Mas'fld tetap tidak mengubah

pendiriannya, sementara yang lain yakin dan memasukkannya ke dalam

Al-Qur'5n.rs

Jadi, dalam riwayat kedua dan ketiga, Ibn Mas'rld menghapus srirah￾sfirah yang sempat masuk dalam Mugl.rafnya, jika demikian mengapa dia

menulisnya saat pertama kali? Hal ini tentu tidak masuk akal. Kalau dikatakan

Muq[raf itu telah ditulis dan memuat dua siral.r terakhir, sudah tentu keduanya

merupakan satu kesatuan yang utuh dari Mug[raf yang beredar pada saat itu.

Kalau terdapat keraguan, maka menjadi kewajiban Ibn Mas'tid memastikan

masalah yang ada dengan para ilmuwan lain sewaktu di Madinah maupun

tempat lain. Dalam satu fatwanya, ia pernah menyatakan bahwa lelaki yang

mengawini wanita lalu menceraikan sebelum jima', maka ia boleh mengawini

ibu wanita itu. Ketika ia berkunjung ke Madinah dan membahas isu itu

selanjutnya, ia mengakui telah bersalah dan kemudian membatalkan fatwanya.

Misi pertama saat kembali ke Kufah adalah menemui orang yang pernah minta

fatwa dan mengatakan bahwa hal itu tidak benar. Demikianlah sikapnya dalam

bidang ilmiah, maka lebih-lebih lagi dalam isu yang jauh lebih penting

mengenai Al-Qur'dn. Semua bukti yang lebih masuk akal menunjukkan semua

cerita yang tidak wajar mengenai dirinya adalah palsu, dan para ilmuwan

zaman dulu seperti an-Nawawi dan Ibn Hazm menyatakan bahwa yang

ditimpakan pada Ibn Mas'fld itu bohong.re

Ibn Hajar, salah satu mul,taddithfrn terkemuka, menolak kesimpulan itu.

Selagi Ibn Hanbal, Bazzdr, af-Tabardni dan lainnya mengutip kejadian itu

melalui jaringan mata rantai riwayat yang sahih, maka ia memberi alasan

bahwa tudingan itu tidak dapat dinafikan sesederhana itu; melakukan hal itu

berarti menafikan hadith sahih tanpa dukungan sewajarnya. Ibn Hajar berusaha

membuat kompromi pada kedua riwayat yang berseberangan dengan berpijak

pada penafsiran lbn ag-$abbdgh: dalam ulasan pertama lbn Mas'id tetap

enggan mengakui kedudukan keduanya sebagai srira[r Al-Qur'5n, tetapi setelah

diketahui tidak dipersoalkan oleh umat dan merupakan bagian dari Al-Qur'dn,

sikap keraguannya semakin mencair dan akhirnyapercaya seperti yang lain.20

Argumentasi di atas merupakan yang terkuat yang saya pernah lihat

dalam memberi dukungan terhadap tudingan itu. Untuk mengupas persoalan

lebih lanjut, saya akan berpijak pada metode muhaddithrin lain guna me￾nyingkap kekeliruan pendiria-n Ibn Hajar itu.

r'. Keyakinan lbn Mas'iid

Telah saya tegaskan sebelumnya bahwa al-Fdtihah, tujuh ayat yang

paling sering dibaca di masjid dan rumah-rumah semenjak zaman Nabi

Muhammad ffi, secara logika tak mungkin ditolak oleh Ibn Mas'iid. Per￾soalannya, menyangkut suralr I l3 dan I14. Dalam jaringan cerita ke tiga, kita

temukan bahwa Ubayy tidak menolak Ibn Mas'[d, dengan mendengar bahwa

ia telah menghapus sflralr pungkasan itu, ia tidak bermaksud menolak. Apa

artinya? Itu berarti ia setuju, ataupun tidak setuju tapi bertahan setelah melihat

ada perbedaan. Karena kita tahu Mushaf Ubayy memuat kedua sfirah tersebut,

maka kita tidak bisa menerima persetujuannya. Begitu juga kita mesti menolak

ketidaksetujuannya karena sikap tidak peduli sama dengan mengatakan bahwa

masyarakat bebas memilih bagian Al-Qur'dn apa saja yang mungkin dianggap

menarik. Dalam hal ini, tidak seorang pun dapat mendominasi sikap yang

demikian dan masih tetap dianggap sebagai Muslim. Oleh sebab itu, riwayat

mengenai diamnya Ubayy merupakan kepalsuan yangnyata.zl

Sekarang kita hendak melihat penyesuaian yang dilakukan oleh Ibn as-

$abb5gh. Banyak dari kalangan para Sahabat seperti Fdtimah, 'A'ishah, Ab[

Harairah, Ibn 'Abbds dan lbn Mas'fid meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad

# selalu membaca Al-Qur'6n dengan Malaikat Jibril tiap Ramadhan satu kali

dalam setahun, dan dua kali dalam tahun sebelum beliau wafat. Bahkan dalam

tahun terakhir, Ibn Mas'fld juga ikut serta. Dia juga membaca Kitab itu dua kali

bersama Nabi Muhammad$f;yangkemudian memujinya dengan ucapan laqad

absanta (bacaan Anda bagus). Berdasarkan kejadian itu pula Ibn 'Abbds

menganggap bacaan Ibn Mas'fid sebagai yang jelas dan tepat.22 Pujian tersebut

menunjukkan bahwa Al-Qur'6n terekam dalam ingatan yang penuh kepastian;

murid-muridnya yarrg cemerlang, seperti 'Alqamah, al-Aswad, Masrtiq, as￾Sulami, Ab[ Wa'il, ash-Shaibdni, al-Hamaddni, dan Zirr, semuanya me￾riwayatkan Al-Qur'in yang mereka terima dari padanya berjumlah sebanyak

114 s[ra[r. Hanya salah satu murid Zirr, 'Agim, satu-satunya yang memberi

pernyataan konyol kendati ia mengajarkan seluruh isi kandungan Kitab Suci

atas wewenang Ibn Mas'rid.23

Salah satu karya Ibn Hajar, yaitu sebuah risalah ringkas mengenai l.radith

yang berjudtl Nuzhat an-Nazar, memberitahukan kita bahwa jika seorang

perawi yang tepercaya (katakanlah seorang ilmuwan bertahap B) mem￾belakangi pendapat perawi lain yang lebih tinggi kedudukannya (yaitu ilmu￾wan bertahap A), ataupun bila terdapat ilmuwan lebih banyak (yang sama

derajatnya) mendukung satu versi cerita dari yang lain, maka penjelasan yang

dikemukakan oleh yang lebih rendah disebut shddh (nyleneh dan loyo). Dalam

berita di atas kita dihadapkan pada satu pernyataan laksana seorang atlet renang

yang coba-coba hendak melawan arus raksasa, yang menjadikan hal ini dapat

dipandang sebagai satu kebatilan.2a Ini tentunya berlandaskan pada metode

yang dipakai oleh para mubaddithfrn, yang walaupun Ibn Hajar mengutip

ketentuan-ketentuan itu, namun barangkali saat itu mental beliau dalam

keadaan tidak begitu prima atau, dalam hal ini, di mana seorang yang intelijen

pun boleh jadi mengalami hal yang sama. Mungkin ada pendapat yang

menyebut, guna mengangkat permasalahan shddh dan bd[il memerlukan dua

pernyataan silang, sementara apa yang kita hadapi adalah hanya berkaitan

dengan penghapusan sflrah ll3 dan ll4, tanpa ada oposisi. Alasannya se￾derhana, dalam suasana yang normal hanya ketidaknormalan yang biasanya

diangkat menjadi bahan cerita. Contohnya, darah yang mengucur keluar dari

urat kita berwarna merah adalah sesuatu yang biasa, tetapi darah berwarna biru

(sejenis kepiting) adalah sesuatu yang luar biasa dan akan mendapaf liputan

lebih banyak. Hal yang serupa, kita tidak akan mempersoalkan murid-murid

Ibn Mas'rid yang gagal memberitahukan kita apakah guru mereka meyakini

I 14 sflrah, karena itu sudah jadi masalah yang lumrah. Hanya mereka yang

percaya sedikit atau lebih, akan menjadi objek pemberitaan.

Komentar yang saya kemukakan terhadap Muqlraf Ibn Mas'[d dapat juga

diterapkan pada Ubayy bin Ka'b, atau siapa saja dalam masalah tersebut.Kqan S,ualtu Tulisan itu Dapat Diterima sebagai Bagian dai N-Qur'An?

Hammdd bin Salamah meriwayatkan bahwa Mushaf Ubayy memuat dua

srira[r lebih, yang disebut al-Hafad dan al-Khala'.2s Berita ini betul-betul palsu

karena terdapat cacat besar dalam jaringan mata rantai perawinya, karena jarak

waktu yang tak terhitung, sekurang-kurangnya, dua atau tiga generasi antara

kematian Ubayy (w. sekitar 30 H.) dan kegiatan ilmiah Hammdd (w. 167 H.).

Selain itu, kita juga mesti ingat bahwa catatan yang dibuat dalam artikel  tidak

menjadi bagian dari artikel  itu sendiri. Tetapi katakanlah, sekadar untuk adu

alasan dalam berdebat, kita menerima bahwa beberapa alinea lebih tertulis

dalarnMushaf Ubayy. Adakah alinea langsung dan otomatis meningkat sama

kedudukannya dengan Al-Qur'dn? Tentu saja tidak. Mushaf 'Uthm6ni ter￾selesaikan, dan disebarluaskan melalui para guru yang mengajarkannya setelah

mendapat wewenang yang sesuai dan jadi ketentuan dalam menetapkan apakah

sesuatu teks itu Al-Qur'6n, bukan sekadar coret-coretan tak menentu dari

manuskrip ilegal.

l. Prinsip Menentukan Ayat sebagai Al-Qur'an

Tiga pedoman yang hendaknya terpenuhi sebelum cara sebuah bacaan

suatu ayat dapat diterima sebagai Al-Qur'dn:

- Qir6'it mesti tidak diriwayatkan hanya dari satu sumber yang memiliki

otoritas, melainkan melalui sejumlah riwayat besar (yang cukup untuk

melenyapkan kemungkinan adanya kesalahan yang masuk), yang juga

sampai kepada Nabi Muhammadffi yang dapat menjamin keaslian dan

kepastian bacaan.

- Teks bacaan mesti sama dengan apa yang terdapat dalam Mushaf

'Uthmdni.

- Cara pengucapan mesti senada dengan tata bahasa Arab yang benar.

Semua karya tulis yang memiliki otoritas dalam bidang qird'dt, seperti

Kitdb as-Sab'af fi al-Qird'dt oleh lbn Mujahid, pada umumnya menyebut

adanya pembaca tunggal di setiap pusat kegiatan ilmu Islam yang kemudian

diikuti oleh dua atau tiga orang murid. Daftar yang minim seperti itu tampak￾nya berseberangan dengan prinsip pertama. Bagaimana dapat menjelaskan

seorang ahli membaca Al-Qur'dn (qari) dan dua muridnya dari Basrah

misalnya, membuktikan bahwa qird'dt itu diriwayatkan melalui jalur riwayatyang besar? Untuk menjelaskan persoalan ini para pembaca hendaknya melihat

kembali topik "tjazah bacaan" pada bab sebelum ini.26 Prof. Robson dan Is(rdq

Khdn, yang menyajikan jalw riwayat Sunan lbn Mdjah melalui Ibn Qudimah,

hanya bisa mendapatkan beberapa nama saja, sementara dengan melacakijazah

bacaan kami temukan lebih dari 450 murid. Itu pun hanya dari satu manuskrip;

naskah-naskah tambahan lain yang juga dari jaringan mata rantai periwayatan

yang sama, dapat memberi angka yang lebih besar. Sama halnya dengan

menyebut dua atau tiga nama murid adalah semata-mata sebagai yang terwakili

dan dimaksudkan untuk menghemat waktu penyusunan dan juga bahan tulisan,

dan terserah pada para ilmuwan yang merasa berminat akan hal itu untuk

mengupas secara tuntas.

Ada perbedaan mendasar antara Al-Qur'dn dan Sunnah Nabi Muhammad

fi{ dulu hal penyampaian riwayat melalui otoritas tunggal. Satu-satunya

ilmuwan dan hafal satu [radith bisa jadi, ketika ia'mengajar melalui hafalannya,

merasa perlu mencari persamaan kata pengganti saat terlupa pada kata-kata

yang sebenarnya. Jika tak seorang pun yang meriwayatkan hadith itu, maka

ketidaktelitiannya akan berlalu secara mudah tanpa terditeksi. Bandingkan hal

itu dengan Al-Qur'an. Dalam tiga shalat jamaah, shalat Jumat, Tarawih, Idul

Fitri, dan Idul Adha, imam akan membaca dengan suara kuat dan mendapat

dukungan dari jamaah di belakangnya. Jika tidak ada anggota jamaah yang

menegur, berarti bacaannya mendapat restu orang banyak yang jumlahnya

ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu. Tetapi apabila ada teguran ketika

shalat, sedangkan imam tetap memaksakan bacaan yang menyalahi Mug[af

'Uthmdni, ia akan didongkrak secepatnya sebagai imam shalat. Tak akan

mungkin terdapat kekeliruan dalam qird'dt yang dapat lewat begitu saja, dan

semua yang melanggar batas-batas yang telah ditetapkan akan segera di￾singkirkan. Batas-batas yang ditetapkan dengan jelas seperti ini yang merupa￾kan sumber penyelamat utama Al-Qur'6n .27

Mari kita periksa setiap naskah yang dikaitkan dengan Al-Qur'an dengan

berpijak pada prinsip-prinsip di atas. Tampak jelas prinsip yang pertama itutidak ada, karena naskah [dua srirah Ubayy itu] tidak memberi penjelasan

tentang yang meriwayatkan. Mengenai syarat kedua; apakah hal ini sejalan

dengan Mushaf 'Uthmdn? Adanya ketidakserasian sekecil apa pun dalam

masalah kerangka huruf hidup, dapat menyebabkan runtuhnya nilai keper￾cayaan.Ia mungkin bisa dipakai untuk yang lain, kecuali untuk menjadi bagian

dari Al-Qur'en. Itu merupakan kesepakatan kaum Muslimin semenjak empat

belas abad yang lalu.

Berbicara mengenai kerangka huruf mati, perlu kita sebut di sini masalah

huruf hidup (contohnya alif jika terletak di tengah s